kebijakan pablik
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini, digunakan teori
kebijakan publik yang meliputi tahap formulasi hingga implementasi kebijakan
dari William N. Dunn, dan Fadilah Putera serta pakar kebijakan lainnya sebagai
teori pendukung yang relevan untuk digunakan yang mana pada intinya kebijakan
pendanaan pendidikan yang berorientasi pada pembangunan pendidikan disini
merupakan suatu keputusan yang dibuat dan disahkan oleh pemerintah dalam
upaya menyelesaikan permasalahan pendanaan pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang berkualitas. Kemudian dalam teori Kebijakan Pendidikan yang
digunakan pula teori yang bersumber dari dari Ali Imron serta beberapa teori
pendukung lainnya.
2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Publik
Menurut N. Dunn, menyatakan bahwa kebijakan publik (Public policy)
adalah “Pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang
saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk bertindak yang dibuat
oleh badan atau kantor pemerintah” (N. Dunn, 2000:132).
Kebijakan publik merupakan semacam jawaban terhadap suatu masalah
karena merupakan upaya memecahkan, mengurangi dan mencegah suatu
keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur inovasi dan pemuka terjadinya
kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah. Dapat dirumuskan pula bahwa
35
pengetahuan tentang kebijakan publik adalah pengetahuan tentang sebab-sebab,
konsekuensi, dan kinerja kebijakan dan program publik (Kencana, 1999:106).
Menelusuri pengertian kebijakan, pertama kebijakan dalam bahasa
Indonesia berasal dari kata bijaksana yang artinya: (1) selalu menggunakan akal
budinya (pengalaman dan pengetahuan), arif, tajam pikirannya; (2) pandai dan
ingat-ingat dalam menghadapi kesulitan (cermat; teliti). Pengertian kebijakan
sendiri adalah; (1) kepandaian, kemahiran; (2) rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan dan organisasi);
penyertaan cita-cita, tujuan, prinsip dan maksud. Sementara itu pengertian publik
yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti negara atau pemerintah. Serangkaian
pengertian tersebut diambil makna bahwa pengertian kebijakan publik menurut
Santosa adalah :
“Serangkaian keputusan yang dibuat oleh suatu pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan juga petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah” (Santosa, 1988:5).
Ahli-ahli ini selanjutnya memandang kebijakan publik sebagai keputusan-
keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud tertentu, dan
mereka yang menganggap kebijakan publik memiliki akibat-akibat yang bisa
diramalkan. Mewakili kelompok tersebut Nakamura dan Smallwood dalam
bukunya yang berjudul The Politics of Policy Implementation, melihat kebijakan
publik dalam ketiga lingkungannya yaitu :
1. Yaitu lingkungan perumusan kebijakan (Formulation),
2. Lingkungan penerapan (Implementation), dan
36
3. Lingkungan penilaian (Evaluation) kebijakan.
Bagi mereka suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tadi ini berarti
kebijakan publik adalah :
“Serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang mengupayakan baik tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut (A set of instruction from policy makers to policy implementers that spell out both goals and the mean for achieving those goals). Beberapa lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri dari lingkungan pembuatan; lingkungan implementasi dan lingkungan evaluasi” (Nakamura, 1980:31).
Para pakar dalam memberi definisi kebijakan publik sering berbeda sesuai
dengan pendekatan masing-masing, bahkan cenderung berselisih pendapat satu
sama lain. Dye dalam bukunya yang berjudul Understanding Public Policy
memberikan definisi kebijakan publik sebagai What ever government choose to do
or not to do (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan/mendiamkan) (Dye, 1978:12). Selanjutnya Dye mengatakan bahwa
apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya.
Dan kebijakan publik harus meliputi semua tindakan pemerintah jadi bukan
semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat
pemerintah saja. Hal yang tidak dilakukan pemerintah juga merupakan kebijakan
publik karena mempunyai dampak yang sama besar dengan sesuatu yang
dilakukan. Baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan pasti terkait dengan
satu tujuan sebagai komponen penting dari kebijakan.
Kaitannya dengan hal tersebut, kebijakan publik tentunya mempunyai
suatu kepentingan yang bersifat publik dimana menurut Schubert Jr.
37
mengungkapkan bahwa kepentingan publik itu ternyata paling tidak sedikitnya
ada tiga pandangan yaitu :
1. Pandangan rasionalis yang mengatakan kepentingan publik adalah kepentingan terbanyak dari total penduduk yang ada.
2. Pandangan idealis mengatakan kepentingan publik itu adalah hal yang luhur, sehingga tidak boleh direka-reka oleh manusia.
3. Pandangan realis memandang bahwa kepentingan publik adalah hasil kompromi dari pertarungan berbagai kelompok kepentingan.
(Dalam Fadillah, 2001:20-21).
Dengan melihat penjelasan tersebut di atas, nampaknya kita harus
merefleksikan pada kenyataan riil kehidupan politik masyarakat modern,
maksudnya masyarakat masyarakat modern yang ideal adalah masyarakat yang
mampu mengorganisir diri mereka sesuai dengan kepentingan mereka masing-
masing.
2.1.1. Pengertian dan Tahap Formulasi Kebijakan
Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang
melingkupi proses pembuatan kebijakan publik tidak boleh dilepaskan dari
fokus kajiannya. Sebab bila kita melepaskan kenyataan politik dari proses
pembuatan kebijakan publik, maka jelas kebijakan publik yang dihasilkan itu
akan miskin aspek lapangannya. Sebuah produk kebijakan publik yang miskin
aspek lapangannya itu jelas akan menemui banyak persoalan pada tahap
penerapan berikutnya. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah penerapannya
dilapangan dimana kebijakan publik itu hidup tidaklah pernah steril dari unsur
politik. Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam
proses kebijakan publik secara keseluruhan, oleh karena apa yang terjadi pada
38
tahap ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang
dibuat itu pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu perlu adanya kehati-
hatian lebih dari para pembuat kebijakan ketika akan melakukan formulasi
kebijakan publik ini. Yang harus diingat pula adalah bahwa formulasi
kebijakan publik yang baik adalah formulasi kebijakan publik yang
berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab seringkali para pengambil
kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang baik itu adalah
sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal dan normatif,
namun tidak membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik
yang baik itu adalah sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas
sekaligus alternatif solusi yang fisibel terhadap realitas tersebut. Kendati pada
akhirnya uraian yang dihasilkan itu tidak sepenuhnya presisi dengan nilai
ideal normatif, itu bukanlah masalah asalkan uraian atas kebijakan itu presisi
dengan realitas masalah kebijakan yang ada dilapangan (Fadillah, 2001:49-
50).
Solichin menyebutkan, bahwa seorang pakar dari Afrika, Chief J.O.
Udoji (1981) merumuskan secara terperinci pembuatan kebijakan negara
dalam hal ini adalah formulasi kebijakan sebagai :
“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)” (Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan
39
pelaksanaan/implementasi monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik) (Dalam Solichin. 2002:17).
Menurut pendapatnya, siapa yang berpartisipasi dan apa peranannya dalam
proses tersebut untuk sebagian besar akan tergantung pada struktur politik
pengambilan keputusan itu sendiri.
Untuk lebih jauh memahami bagaimana formulasi kebijakan publik
itu, maka ada empat hal yang dijadikan pendekatan-pendekatan dalam
formulasi kebijakan publik dimana sudah dikenal secara umum oleh khalayak
kebijakan publik yaitu :
1. Pendekatan Kekuasaan dalam pembuatan Kebijakan Publik2. Pendekatan Rasionalitas dan Pembuatan Kebijakan publik3. Pendekatan Pilihan Publik dalam Pembuatan Kebijakan Publik4. Pendekatan Pemrosesan Personalitas, Kognisi dan Informasi
dalam Formulasi Kebijakan Publik(Fadillah, 2001:50-62).
Oleh sebeb itu dalam proses formulasi kebijakan publik ini Fadillah mengutip
pendapat dari Yezhezkhel Dror yang membagi tahap-tahap proses-proses
kebijakan publik dalam 18 langkah yang merupakan uraian dari tiga tahap
besar dalam proses pembuatan kebijakan publik yaitu :
A. Tahap Meta Pembuatan kebijakan Publik (Metapolicy-making stage):1. Pemrosesan nilai;2. Pemrosesan realitas;3. Pemrosesan masalah;4. Survei, pemrosesan dan pengembangan sumber daya;5. Desain, evaluasi, dan redesain sistem pembuatan kebijakan
publik;6. Pengalokasian masalah, nilai, dan sumber daya;7. Penentuan strategi pembuatan kebijakan.
B. Tahap Pembuatan Kebijakan Publik (Policy making)1. Sub alokasi sumber daya;2. Penetapan tujuan operasional, dengan beberapa prioritas;
40
3. Penetapan nilai-bilai yang signifikan, dengan beberapa prioritas;
4. Penyiapan alternatif-alternatif kebijakan secara umum;5. Penyiapan prediksi yang realistis atas berbagai alternatif
tersebut diatas, berikut keuntungan dan kerugiannya;6. Membandingkan masing-masing alternatif yang ada itu
sekaligus menentukan alternatif mana yang terbaik;7. Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif terbaik yang telah
dipilih tersebut diatas.C. Tahap Pasca Pembuatan Kebijakan Publik (Post policy-making
stage)1. Memotivasi kebijakan yang akan diambil;2. Mengambil dan memutuskan kebijakan publik;3. Mengevaluasi proses pembuatan kebijakan publik yang telah
dilakukan;4. Komunikasi dan umpan balik atas seluruh fase yang telah
dilakukan.(Dalam Fadillah, 2001:75-76)
Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan
mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu
atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap tahap tersebut
mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu.
Setiap tahap berhubungan dengan tahap yang berikutnya, dan tahap terakhir
(penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda),
atau tahap ditengah, dalam lingkaran aktivitas yang tidak linear. Aplikasi
prosedur dapat membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
yang secara langsung mempengaruhi asumsi, keputusan, dan aksi dalam satu
tahap yang kemudian secara tidak langsung mempengaruhi kinerja tahap-
tahap berikutnya. Aktivitas yang termasuk dalam aplikasi prosedur analisis
kebijakan adalah tepat untuk tahap-tahap tertentu dari proses pembuatan
kebijakan, seperti ditunjukan dalam segi empat (tahap-tahap pembuatan
kebijakan) dan oval yang digelapkan (prosedur analisis kebijakan) dalam
41
bagan 2.1. terdapat sejumlah cara dimana penerapan analisis kebijakan dapat
memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya (N. Dunn. 2000:23).
Tabel 2.1.Tahap-tahap dalam Proses Pembuatan Kebijakan
FASE KARAKTERISTIKPENYUSUNAN AGENDA Para pejabat yang dipilih dan diangkat
menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
FORMULASI KEBIJAKAN
Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.
ADOPSI KEBIJAKAN Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesnsus diantara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.
PENILAIAN KEBIJAKAN
Unit-unit pemeriksanaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif. Legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.
Sumber : William N. Dunn, 2000:24.
42
Bagan 2.1. Kedekatan prosedur Analisis Kebijakan dengan Tipe-tipe Pembuatan
Kebijakan
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
ImplementasiKebijakan
Sumber : William N. Dunn, 2000:25.
Keterangan :
1. Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi
masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan
agenda (agenda setting). Perumusan masalah dapat membantu
menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-
penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan memadukan
43
Penilaian
Perumusan masalah
Peramalan
Rekomendasi
Pemantauan
Penilaian Kebijakan
pandangan-pandangan yang bertentangan dan merancang peluang-peluang
kebijakan yang baru.
2. Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang masalah yang akan terjadi dimasa mendatang sebagai
akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini
dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji
masa depan yang potensial, dan secara normatif bernilai mengestimasi
akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-
kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan dan
mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai
pilihan.
3. Rekomendasi membuahkan pengatahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya dimasa
mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu
pengambilan kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi
membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenal
eksternalitas dan akibat ganda, menentukan kriteria dalam pembuatan
pilihan, dan mentukan pertanggungjawaban administratif bagi
implementasi kebijakan.
4. Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini
membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan
dengan menggunakan berbagai indikator kebijakan di bidang pendidikan,
44
kesehatan, perumahan, kesejahteraan, dan lain-lain. Pemantauan
membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang
tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan
dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang
bertanggungjawab pada setiap tahap kebijakan.
5. Evaluasi (Penilaian) membuahkan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang
diterapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu
pengambilan kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi
tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah
terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap
nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan
perumusan kembali masalah.
(Dunn. 2000:26-29).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan / kebijakan
menurut Nigro and Nigro dalam buku karya M. Irfan Islamy yang berjudul
Prinsip-prinsip perumusan Kebijaksanaan Negara adalah sebagai berikut :
a. Adanya pengaruh tekanan dari luarb. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konsevatisme)c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadid. Adanya pengaruh dari kelompok luare. Adanya pengaruh keadaan masa lalu.(Dalam Islamy, 1986:25-26)
Hal tersebut selalu saja terjadi pada setiap usaha perumusan kebijakan
khususnya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat
dimana ternyata pada kenyataannya proses penentuan keputusan atau
45
kebijakan tersebut kental dengan berbagai macam pengaruh-pengaruh yang
bersifat negatif.
Sebaliknya kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi dalam
proses pembuatan keputusan menurut Nigro and Nigro adalah sebagai berikut:
a. Cara berfikir yang sempit (Cognitive nearsightedness)b. Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lalu
(Assumption that future will repeat past)c. Terlampau menyederhanakan sesuatu (Over simplication)d. Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang
(Overreliance on one’sown experience)e. Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh prakonsepsi para
pembuat keputusan (Preconceived nations)f. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan
(Unwillingness to experiment)g. Keengganaan untuk membuat keputusan (Reluctance to decide).(Dalam Islamy, 1986:25-26).
Kesalahan-kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang sangat fatal sekali
khususnya didalam pembuatan suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan
bersama sehingga semaksimal mungkin kesalahan tersebut harus
diminimalisir atau dihilangkan jika tidak ingin mendapatkan masalah pada
tahap pengimplementasian dilapangan yang berdampak pada citra buruk para
penentu kebijakan tersebut sekaligus kebijakan itu sendiri.
2.1.2. Implementasi Kebijakan
2.1.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan serta Faktor Keberhasilan dan Kegagalannya dalam Implementasi
46
Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan sesungguhnya
bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran
keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat
saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut
masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari
kebijakan. Oleh karena itu tidak terlalu salah jika dikatakan
implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan
proses kebijakan. Sebaik apapun sebuah kebijakan tidak akan ada
manfaatnya bila tidak dapat diterapkan sesuai dengan rencana.
Penerapan adalah suatu proses yang tidak sederhana (Dalam Solichin,
1997:45). Bahkan Udoji mengatakan dengan tegas bahwa “The
execution of policies is a important if not more important than policy-
making. Policy will remain dreams or blue prints file jackets unless they
are implemented” (Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting,
bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan.
Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus
yang tersimpan rapih dalam arsip jika tidak diimplementasikan). Oleh
karena itu implementasi kebijakan perlu dilakukan secara arif, bersifat
situasional mengacu pada semangat kompetensi dan berwawasan
pemberdayaan (Dalam Solichin, 1997:45). Untuk mengimplementasikan
suatu kebijakan diperlukan lebih banyak yang terlibat baik tenaga kerja
maupun kemampuan organisasi. Penerapan kebijakan bersifat interaktif
dalam proses perumusan kebijakan. Penerapan sebagai sebuah proses
47
interaksi antara suatu tujuan dan tindakan yang mampu untuk
meraihnya. Penerapan merupakan kemampuan untuk membentuk
hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang
menghubungan tindakan dengan tujuan.
Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah masalah yang
mudah terutama dalam mencapai tujuan bersama, cukup sulit untuk
membuat sebuah kebijakan publik yang baik dan adil. Dan lebih sulit
lagi untuk melaksanakannya dalam bantuk dan cara yang memuaskan
semua orang termasuk mereka yang dianggap klien. Masalah lainnya
adalah kesulitan dalam memenuhi tuntutan berbagai kelompok yang
dapat menyebabkan konflik yang mendorong berkembangnya pemikiran
politik sebagai konflik.
Definisi dan konsep implementasi kebijakan publik ini sangat
bervariasi. Menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Fadillah
menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah :
“Pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai tercapainya hasil kebijakan”. Kemudian merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai : “Policy implementation encompasses those actions by public or private individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions” (pernyataan ini memberikan makna bahwa implementasi kebijakan adalah keseluruhan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan) (Dalam Fadillah, 2001:81).
48
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan
meliputi semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau
perumusan kebijakan dan dampak aktualnya.
Didalam artikel yang membahas mengenai Studi Niat
Berimigrasi di Tiga Kota, Determinan dan Intervensi Kebijaksanaan
ditulis, bahwa untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan menurut
pendapat Keban yang dikutip dari pendapat Van Meter dan Van Horn
yang menyatakan menyatakan “Suatu kebijakan tentulah menegaskan
standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana
kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas
tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut”. Lebih sederhana lagi
kinerja (performance) merupakan tingkat pencapaian hasil atau the
degree of accomplishment. Dalam model Van Meter dan Van Horn ini
ada enam faktor yang dapat meningkatkan kejelasan antara kebijakan
dan kinerja implementasi, variabel-variabel tersebut adalah standar dan
sasaran kebijakan, komunikasi antar organisasi dan pengukuran
aktivitas, karakteristik organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi
sosial, ekonomi dan politik, sumber daya, sikap pelaksana (Dalam
Keban, 1994:1).
Pada dasarnya indikator kinerja untuk menilai derajat pencapaian
standar dan sasaran kebijakan dapat dijelaskan bahwa kegiatan itu
melangkah dari tingkat kebijakan yang masih berupa dokumen
peraturan menuju penentuan standar spesifik dan kongkrit dalam
49
menilai kinerja program. Dengan standar dan sasaran dapat diketahui
seberapa besar keberhasilan program yang telah dicapai.
Ripley dan Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan
Implementasi Kebijakan (Policy Implementation and Bureaucracy)
menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan atau program
dapat ditujukan dari tiga faktor yaitu :
1. Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan strect level bereau crats terhadap atasan mereka.
2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.
3. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan”.
(Ripley dan Franklin, 1986:89)
Secara sederhana ketiga faktor diatas merupakan suatu kepastian dalam
menilai keberhasilan suatu implementasi kebijakan sehingga kurang
hilangnya salah satu faktor mempengaruhi sekali terhadap kinerja
kebijakan tersebut.
Kemudian sebaliknya Jam Marse mengemukakan bahwa ada tiga
faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam implementasi
kebijakan yaitu:
1. Isu kebijakan. Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih ketidaktetapan atau ketidak tegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukan adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.
2. Informasi. Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.
50
3. Dukungan. Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaanya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.
(Solichin, 1997:19)
Ketiga faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam proses
implementasi kebijakan sebelumnya harus sudah difikirkan dalam
merumuskan kebijakan, sebab tidak tertutup kemungkinan kegagalan
didalam penerapan kebijakan sebagaian besar terletak pada awal
perumusan kebijakan oleh pemerintah sendiri yang tidak dapat bekerja
maksimal dan bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
2.1.2.2. Model-model Implementasi Kebijakan
Sekalipun dalam khasanah ilmu kebijakan negara atau analisis
kebijakan negara telah banyak dikembangkan model-model atau teori
yang membahas tentang implementasi kebijakan namun penulis hanya
akan membicarakan beberapa model implementasi kebijakan yang
relatif baru dan banyak mempengaruhi berbagai pemikiran maupun
tulisan para ahli.
Pertama, model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood
dan lewis A. Gunn (1978; 1986). Model ini kerap kali disebut sebagai
“The top down approach”, menurutnya untuk mengimplementasikan
kebijakan negara secara sempurna maka diperlukan beberapa
persyaratan tertentu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius
51
2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai
3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia
4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal
5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya
6. Hubungan saling ketergantungan harus sedikit7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap
tujuan8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang
tepat9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang dan kekuasaan dapat
menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.(Dalam Solichin, 2002:70-78)
Kedua, model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van
Horn (1975), yang disebut sebagai A model of the policy implementation
process (model proses implementasi kebijakan) dimana dalam teorinya
beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses
implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan
dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu pendekatan yang
mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan
implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan
kebijakan dengan prestasi kerja (performance). Kedua hali ini
menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan
bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur
implementasi. Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha membuat
tipologi kebijakan sebagai berikut :
a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan,
52
b. Jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara
pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi
Alasan yang dikemukakannya ini ialah bahwa proses implementasi itu
akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu,
dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil apabila
perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan
terhadap tujuan --- terutama dari mereka yang mengoperasikan program
dilapangan relatif tinggi (Dalam Solichin, 2002:78-79).
Ketiga, model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan
Paul A. Sbatier yang disebut A frame work for implementation analisys
(kerangka analisis implementation). Kedua ahli ini berpendapat bahwa
peran penting dari analisis implementasi kebijaksanaan negara ialah
mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya
tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-
variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori
besar, yaitu :
1. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan
2. Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara
tepat proses implementasinya; dan
3. Pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan
dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan
tersebut.
(Dalam Solichin, 2002:81).
53
Dari model-model yang disajikan tersebut ada yang relatif
abstrak, dan ada pula yang relatif operasional. Sekalipun demikian
peneliti tidak bermaksud untuk menilai mana yang diantara model-
model tersebut yang baik atau paling tepat, sebab penggunaan model ini
untuk keperluan penelitian/analisis sedikit banyak akan tergantung pada
kompleksitas permasalahan kebijakan yang dikaji serta tujuan dan
analisis itu sendiri. Sebagai pedoman awal barangkali ada baiknya
diingat bahwa semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin
mendalam analisis yang dilakukan, semakin diperlukan teori atau model
yang relatif operasional yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas
antar yang menjadi fokus analisis.
2.1.3. Pengertian Kebijakan Keuangan Negara
untuk memahai makna keuangan negara, pertama-tama perlu diketahui
apa arti negara dan keuangan yang diperlukan oleh negara dalam menjalankan
pemerintahan untuk mencapai tujuannya. Keberhasilan negar dalam mencapai
tujuan tersebut, tergantung pada bagaimana negara itu manghimpuan dana
masyarakat, utamanya pajak guna menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Hal
ini dapat dipahami, karena untuk menjalankan roda pemerintahan, negara
perlu dukungan dana yang sangat besar yang bersumber dari pendapatan
negara yang potensial. Kebijakan pemerintah sejalan dengan perkembangan
kebutuhan negara guna mensejahterakan warga masyarakatnya berkembang
menjadi lebih luas menjadi kebijakan di bidang keuangan negara. Hal-hal
54
yang dikelola oleh pemerintah disebut sebagai keuangan negara, yang
pengertiannya selalu berkembang dan berbeda, baik menurut tempat negara
yang mengelolanya maupun menurut pendapat para ahli diantaranya menurut
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara adalah “Semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang dapat dijadikan milik
negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”
(Pemerintah RI, 2003:2). Kemudian menurut M. Subagio (1988) adalah :
“Keuangan negara terdiri atas hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban itu. Hak negara meliputi menciptakan uang; hak mendatangkan hasil; hak melakukan pungutan; hak meminjam dan hak memaksa. Kewajiban negara meliputi kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat; dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga” (Didalam BPK, 2000:16).
Dari pendapat M. Subagio tersebut nampak unsur-unsur keuangan negara,
yaitu uang dan barang yang dijadikan milik negara, kekayaan negara, hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Pakar lainnya Bambang
Kusmanto menyatakan :
“Public finance (keuangan negara) diinterpretasikan dalam arti sempit, yakni Government Finance (keuangan pemerintah), sedangkan makna “Finance” (keuangan) sudah ada kata sepakat, hakni menggambarkan segala kegiatan (pemerintah) didalam mencari sumber-sumber dana (Sources of fund) dan kemudian bagaimana dana-dana tersebut digunakan (uses of fund) untuk mencapai tujuan (pemerintah) tertentu. Jadi keuangan negara mencerminkan kegiatan-kegiatan pemerintah, sedangkan kegiatan pemerintah itu sendiri berada dalam sektor swasta (private sector)” (Didalam BPK, 2000:19-20).
55
Apabila dianalisis pendapat yang dikemukakan oleh Bambang Kusmanto,
amaka unsur-unsur keuangan negara yang dikemukakan meliputi : kegiatan
mencari dana dan kegiatan menggunakan dana untuk mencapai tujuan
pemerintah tertentu.
2.1.3.1. Pengelolaan Keuangan Negara
1. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
Sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945
menempatkan presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara
tertinggi dibawah MPR. Presiden memiliki kekuasaan penyelengaraan
pemerintahan negara, meliputi apa yang dalam trias politica disebut
kekuasaan eksekutif dan legislatif, dengan pengertian bahwa kekuasaan
legislatif itu dijalankan oleh presiden dengan persetujuan DPR.
Kekuasaan penyelenggaraan pemerintah itu meliputi didalamnya tiga
kekuasaan pengelolaan keuangan negara, yaitu kekuasaan otorisasi
(kekuasaan untuk mengambil tindakan atau keputusan yang dapat
mengakibatkan kekayaan negara menjadi bertambah atau berkurang)
yang dibedakan atas kekuasaan otorisasi umum (berupa peraturan
perundang-undangan) dan otorisasi khusus (menetapkan keputusan yang
mengikat orang ataupihak tertentu yang bersifat umum). Kedua
kekuasaan ordonansi (kekuasaan untuk menerima, meneliti, mengguji
keabsahan dan menertibkan surat perintah menagih atau membayar
tagihan yang membebani anggaran penerimaan dan pengeluaran negara
56
sebagai akibat tindakan otorisator). Ketiga kekuasaan kebendaharaan
(kekuasaan untuk menerima, menyimpan atau membayar/mengeluarkan
uang atau barang, serta pertanggungjawaban uang atau barang yang
berada dalam pengelolaannya.
2. Pendelegasian Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka efisiensi dan efektifitas peleksanaan kekuasaan
pengelolaan kekuangan negara sesuai dengan sistem pemerintahan
negara berdasarkan UUD 1945, presiden mendelegasikan sebagian
kekuasaan pengelolaan keuangan itu kepada aparatur pemerintah di
pusat dan daerah, BUMN dan BUMD serta pihak lain yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
(BPK, 2000:37-40)
2.1.3.2. Pertanggungjawaban Keuangan Negara
Mengingat bahwa kekuasaan pemyelenggaraan pemerintah
tertinggi dibawah MPR adalah presiden, maka konsekuensi tanggung
jawab penyelenggaraan seluruh keuangan negara berada pula ditangan
presiden. Telah diketahui bersama bahwa dalam tubuh pemerintah,
selain presiden, terdapat pula para menteri, gubernur, bupati dan
walikota, dan berbagai pejabat yang mempunyai fungsi dan kedudukan
tertentu dalam keterlibatannya mengelola keuangan negara. Masing-
masing pejabat tersebut memikul tanggung jawab atas pelaksanaan
keuangan negara di bidang tugasnya. Dalam pengertian pengelolaan
57
keuangan negara terkandung pengertian pertanggungjawaban yang harus
dibuat oleh semua instansi pemerintah maupun pejabat yang melakukan
penglolaan keuangan negara yang meliputi pelaksanaan APBN, APBD,
pelaksanaan anggaran BUMN, BUMD, serta pelaksanaan anggaran
yayasan yang didirikan oleh pemerintah, BUMN dan BUMD atau badan
hukum lain dimana terdapat kepentingan negara atau yang menerima
bantuan pemerintah. Laporan pertanggungjawaban tersebut disampaikan
kepada pejabat atau instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pertanggungjawaban diperlukan untuk
mengetahui pelaksanaan program pemerintah, baik program
pembangunan maupun kegiatan rutin pelayanan pemerintah, mengenai
tingkat ketaatannya pada peraturan perundang-undangan, serta
mengetahui tingakat kehematan, efisiensi dan efektifitas dari program
atau pelayanan pemerintah. Bentuk tangung jawab keuangan negara
pada umum berupa laporan keuangan yang disajikan secara berkala.
Laporan keuangan ini harus disajikan secara lengkap sepadan dengan
luas lingkup keuangan negara yang dilimpahkan oleh MPR kepada
presiden yang meliputi keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah,
BUMN dan BUMD, hakekatnya mencakup seluruh kekayaan negara.
Bentuk tanggung hawab masing-masing bagian keuangan negara pada
dasarnya berupa : laporan realisasi pelaksanaan anggaran (kinerja
keuangan), laporan mutasi kekayaan dari hasil pelaksanaan anggaran,
dan laporan perhitungan anggaran secara rinci. (BPK, 2000:43-47)
58
2.2. Kebijakan Pendidikan
2.2.1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan
A. Definisi Pendidikan
Bertanya mengenai hakikat pendidikan adalah bertanya mengenai
apakah pendidikan itu? Walaupun telah sama-sama mengarah pada suatu
tujuan tertentu, para ahli masih belum seragam dalam mendefinisikan istilah
pendidikan. Drikarya (1980) mengatakan bahwa pendidikan itu adalah
memanusiakan manusia muda pengangkatan manusia muda ketaraf mendidik
atau menjadi pendidik. Dalam Dictionary of Education bahwa pendidikan
adalah :
1. Proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan tingkah laku lainnya didalam masyarakat tempat mereka hidup.
2. Proses sosial yang terjadi pada orang yang diharapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum.
(Dalam Fattah, 1996:4)
Dengan kata lain pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan atas individu untuk
menghasilkan perubahan-perubahan yang sifatnya permanen (tetap) dalam
tingkah laku, fikiran, dan sikapnya. Pengertian lain dikemukakan oleh Crow
and Crow (1980); “Modern educational theory and practice not only are
eimed at preparation for future living but also are operative in determining
the patern of present, day-bay-day attitude and behavior”. (Pendidikan tidak
hanya dipandang sebagai sarana untuk persiapan hidup yang akan datang
tetapi, juga untuk kehidupan sekarang yang dialami individu dalam
perkembangannya menuju ketingkat kedewasaannya) (Dalam Fattah, 1996:4-
59
5). Berdasarkan pengertian tersebut dapat didefinisikan beberapa ciri
pendidikan menurut Fattah antara lain :
a. Pendidikan mengandung tujuan yaitu, kemampuan untuk berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidup.
b. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha terencana dalam memilih isi (materi), strategi, dan teknik penilaiannya yang sesuai.
c. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (formal dan non formal).
(Fattah, 1996:5)
Apabila dikaitkan dengan keberadaan dan hakekat kehidupan manusia
kemanakah pendidikan itu diarahkan? Jawabannya untuk pembentukan
kepribadian manusia, yaitu pengembangan manusia sebagai mahluk individu,
mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk beragama (religius). Dengan
demikian, maka dalam proses pendidikan pengedepanan faktor manusia yang
mana diharapkan mempunyai ilmplikasi bagi pengembangan kehidupan
masyarakat secara sosial, kultural, ekonomi, ideologi dan sebagainya (Fattah,
1996:5).
Pendidikan menurut sumber yang terdapat dalam Undang-Undang No.
20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah :
“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak, dan budi mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara” (Sisdiknas, 2003:2).
Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
60
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab (Sisdiknas. 2003:5).
B. Tujuan Pendidikan
Notoarmodjo mengatakan, Pendidikan pada hakikatnya bertujuan
untuk mengubah tingkah laku sasaran pendidikan. Tingkah laku baru (hasil
perubahan) itu dirumuskan dalam suatu tujuan pendidikan (educational
objective). Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah suatu deskripsi dari
pengetahuan, sikap, tindakan, penampilan, dan sebagainya yang diharapkan
akan memiliki sasaran pendidikan pada periode tertentu. Lahirnya tujuan
pendidikan disebabkan karena diperlukannya suatu kurikulum yang efisien
dan efektif. Maksudnya menetapkan tujuan pendidikan terlebih dahulu, agar
memudahkan dan mengarahkan penyusunan kurikulum. Dalam rangka
pengembangan kurikulum, tujuan pendidikan perlu dibedakan berdasarkan
tingkatan tujuan pendidikan sesuai dengan ruang lingkup proses belajar
(Notoatmodjo. 2003:41-42). Tujuan pendidikan tersebut sebagai berikut :
1. Tujuan Pendidikan NasionalTujuan pendidikan ini merupakan tingkatan yang tertinggi. Pada tujuan ini digambarkan harapan masyarakat atau negara tentang ciri-ciri seorang manusia yang dihasilkan oleh proses pendidikan atau manusia yang terdidik. Dengan kata lain tujuan pendidikan nasional ini menggambarkan harapan tentang karakteristik manusia sebagai warga negara yang harus dihasilkan oleh setiap usaha pendidikan. Hal ini berarti bahwa seriap lembaga pendidikan harus mengarahkan tujuannya pada tujuan pendidikan nasional.
2. Tujuan Institusional
61
Tiap tingkat dan jenis lembaga pendidikan, mengembangkan tujuan institusinal. Isi tujuan institusional adalah tingkah laku yang bagaimanakah yang diharapkan oleh lembaga pendidikan tersebut. Dengan kata lain lembaga pendidikan itu akan menghasilkan manusia-manusia yang diinginkan dengan pengertian bahwa tujuan institusional ini harus mendukung tujuan pendidikan nasional. Untuk menyusun tujuan institusional yang baik diperlukan criteria-kriteria yaitu jelas, dapat dengan mudah diobservasi, dan realistis.
3. Tujuan Antara (Intermediare Objective)Tujuan pendidikan ini bersifat mengantari tujuan institusional dan tujuan instruksional. Isinya masih agak luas, tapi sudah mengarah pada tiap-tiap bidang ilmu pengetahuan. Karena tujuan ini sudah mengarah pada kurikulum (dalam arti sempit) dari institusi itu maka disebut “tujuan kurikulum” tujuan ini sudah merinci tujuan-tujuan tiap-tiap departemen ilmu, maka sering juga disebut tujuan departemen (departement objective).
4. Tujuan InstruksionalTujuan instruksional mempunyai fungsi :a. Membantu para pengajar untuk memilih isi/topik pengajaran
yang relevanb. Membantu proses pengintegrasian kurikulum baik secara
instruksional maupun kurikulumc. Membantu para pengajar mengarah pada proses pengajarannyad. Mengarahkan dan memberi gambaran pada sasaran tentang apa
yang akan mereka peroleh dari pendidikan/pelatihane. Merupakan indikator untuk evaluasi proses pendidikanf. Merupakan pasangan sasaran dan juga para pengajar untuk
bekerja secara efektif dan efisieng. Membantu para pengajar memilih metode pengajaran yang
tepat.(Notoatmodjo, 2003:41-45)
Suatu lembaga pendidikan, terutama pendidikan formal sebenarnya
dibentangkan harapan tentang tingkat dan jenis perubahan tingkah laku
sasaran pendidikan, antara lain perubahan pengetahuan, sikap dan kemampuan
mereka. Sudah tentu bukan sembarang perubahan tingkah laku, sebagai akibat
dari berlengsungnya proses pendidikan. Demikian pula bukan setiap
perubahan tingkah laku dapat dipakai sebagai ukuran berhasilnya proses
pendidikan. Itulah sebabnya maka harapan perubahan tingkah laku tersebut
62
perlu dirumuskan dahulu dalam suatu pendidikan. Dengan kata lain tujuan
pendidikan adalah rumusan pada tingkah laku dan jenis tingkah laku: yang
lazimnya dirumuskan dalam kategori pengetahuan, kecerdasan sikap,
keterampilan yang diharapkan untuk dimiliki oleh sasaran pendidikan setelah
menyelesaikan program pendidikan (serangkaian proses belajar).
2.2.2. Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan telah dipertegas melalui pengenalan konsep
dasar kebijakan pendidikan yang meliputi latar belakang perlunya kebijakan
pendidikan, batasan kebijakan pendidikan, kebijakan pendidikan dan
kebijakan negara, sistem politik dan kebijakan pendidikan, tingkat-tingkat
kebijakan pendidikan, dan studi mengenai kebijakan pendidikan (Imron.
1996:1).
Kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan penggabungan
n dari kata education dan policy. Kebijakan adalah seperangkat aturannya,
sedangkan pendidikan menunjukan kepada bidangnya. Dengan demikian
kebijakan pendidikan tidak terlalu berbeda dengan kebijakan pemerintah di
bidang pendidikan. Carter V. Good (1959) memberikan pengertian kebijakan
pendidikan (educational policy) dalam buku karya Ali Imron yang berjudul
Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, yakni :
“Educational policy judgement, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within instituationalized education as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives. (Suatu pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situasional;
63
pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga; pertimbangan tersebut merupakan perencanaan umum yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai)” (Dalam Imron, 1996:18).
Sebagaimana dijelaskan diatas, melihat kebijakan sebagai suatu proses, tak
terkecuali ketika melihat kebijakan pendidikan. Yaitu sebagai suatu proses
dimana pertimbangan-pertimbangan itu mesti diambil dalam rangka
pelaksanaan pendidikan yang bersifat melembaga.
Dalam melakukan petimbangan, ada dua hal yang harus
dipertimbangkan, ialah sistem nilai yang berlaku dan faktor-faktor
situasionalnya. Dan, pertimbangan yang mempedomani terhadap sistem nilai
dan faktor-faktor situasional tersebut, khususnya dalam melaksanakan
pendidikan, akan dapat mengantarkan pemdidikan pada pencapaian tujuannya.
Pertimbangan tersebut ketika dirumuskan dapat berupa perencanaan umum.
Dan, perencanaan yang bersifat umum ini dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam pengambilan-pengambilan keputusan pendidikan (Imron, 1996:18).
Terdapat tingkat-tingkat kebijakan pendidikan yang menunjukan
kepada level kebijakan tersebut dirumuskan dan dilaksanakan, juga menunjuk
pada cakupannya, tingkatan pelaksanaan dan mereka yang terlibat
didalamnya. Ada empat tingkat kebijakan, yaitu :
1. Tingkatan Kebijakan Nasional (national policy level)
2. Tingkatan Kebijakan Umum (general policy level)
3. Tingkat Kebijakan Khusus (special policy level)
4. Tingkat Kebijakan Teknis (technical policy level)
64
Sistem Politik yang berlaku dalam suatu negara senantiasa terkait
dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara, termasuk kebijakan
pendidikan. Letak kaitan tersebut dapat dilihat pada, bagaimana kebijakan
tersebut pada saat dirumuskan, dilegitimasikan, dikhalayakan,
dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Berbedanya perumusan
kebijakan dinegara yang satu dangan yang lain dapat disebabkan berbedanya
sistem politik yang dianut. Berbedanya pelaksanaan dan evaluasi kebijakan
negara, kebijakan pendidikan, antara negara yang satu dangan yang lain dapat
disebabkan berbedanya sistem politik yang dianut oleh negara-negara tersebut
(Imron, 1996:20-25).
2.2.3. Perumusan Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan berproses melalui tahapan-tahapan perumusan
kebijakan pendidikan, legitimasi pendidikan, komunikasi dan sosialisasi
kebijakan pendidikan, implementasi kebijakan pendidikan, mengupayakan
partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan dan evaluasi kebijakan
pendidikan. Pembahasan dalam perumusan kebijakan pendidikan meliputi;
lingkungan kebijakan pendidikan, aktor-aktor perumusan kebijakan
pendidikan, masalah dan agenda kebijaksanaan pendidikan, formulasi
kebijakan pendidikan dan problema-problemanya (Imron, 1996:31).
65
2.2.3.1. Lingkungan dan Aktor Kebijakan Pendidikan
Yang dimaksud dengan lingkungan kebijakan pendidikan
menurut Anderson adalah “segala hal yang berada diluar kebijakan
tetapi mempunyai pengaruh terhadap kebijakan pendidikan, pengaruh
tersebut bisa besar, kecil, langsung, tidak langsung, laten, dan jelas”
(Imron, 1996:31).
Yang termasuk lingkungan kebijakan pendidikan dirumuskan
secara berbeda-beda oleh para ahli ilmu kebijakan pendidikan. Supandi
(1988) menyebut lingkungan kebijakan meliputi; kondisi sumber alam,
iklim, topografi, demografi, budaya politik, struktur sosial, dan kondisi
ekonomik. Sementara yang dianggap paling berpengaruh terhadap
kebijakan tersebut adalah budaya politik (Dalam Imron, 1996:32).
Orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan
pendidikan negara disebut sebagai aktor perumusan kebijakan
pendidikan. Sebutan lain dari aktor ini adalah: partisipan, peserta
perumusan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu kebijakan pendidikan
mempunyai tingkatan-tingkatan (nasional, umum, khusus dan teknis),
maka para aktor perumusan kebijakan disetiap tingkatan-tingkatan
tersebut berbeda. Aktor tersebut yakni: Legislatif, Eksekutif,
Administrator, Partai politik, Interest Group, Organisasi Massa,
Peruruan Tinggi, dan Tokoh Perorangan (Imron, 1996:38-45).
66
2.2.3.2. Formulasi Kebijakan Pendidikan
Aktifitas sekitar formulasi adalah interaksi peranan antar peserta
perumusan kebijakan pendidikan baik formal maupun non formal.
Kapan suatu perumusan kebijakan pendidikan dianggap selesai? Suatu
kebijakan dianggap final setelah disahkan oleh peserta perumusan
kebijakan formal. Pengesahan tersebut dapat berupa penerbitan
keputusan dan dapat berupa ketetapan. Dapat juga berupa undang-
undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dan peraturan
pemerintah.
Agar rumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan yang
baik, haruslah memenuhi kriteria; Pertama, rumusan kebijakan
pendidikan tidak mendiktekan keputusan spesifik atau hanya
menciptakan lingkungan tertentu. Kedua, rumusan kebijakan pendidikan
dapat dipergunakan dalam menghadapi masalah atau situasi yang timbul
secara berulang. Hal ini berarti, bahwa waktu, biaya dan tenaga yang
telah banyak dikeluarkan tidak sekedar dipergunakan untuk
memecahkan satu masalah atau satu situasi saja (Imron, 1996:49).
2.2.4. Pengertian, Batasan dan Faktor Implementasi Kebijakan Pendidikan
Setelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan dikomunikasikan, kepada
khalayak kemudian dilaksanakan atau diimplementasikan. Implementasi ini,
adalah aktualisasi kebijakan pendidikan yang telah disahkan, bergantung
kepada bagaimana pelaksanaannya dilapangan. Tolak ukur keberhasilan
67
kebijakan pendidikan adalah pada implementasinya. Sebaik apapun rumusan
kebijakan, jika tidak diimplementasikan, tidak akan dirasakan gunanya.
Sebaliknya sesederhana apapun rumusan kebijakan, jika sudah
diimplementasikan, akan lebih berguna, apapun dan seberapa pun gunanya
(Imron, 1996:65).
Yang dimaksud dengan implementasi kebijakan pendidikan adalah
pengupayaan agar rumusan-rumusan kebijakan pendidikan berlaku didalam
praktik. Nakamura (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan
pendidikan sebagai keberhasilan mengevaluasi masalah dan
menerjemahkannya kedalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus
(Imron, 1996:65). Jones (1977) lebih banyak mengkritik batasan-batasan
implementasi kebijakan. Ia sendiri mendasarkan konsepsi implementasi
kebijakan berdasarkan aktifitas fungsional.
“Implementasi kebijakan pendidikan, ia katakan sebagai konsep yang dinamis, memerlukan usaha-usaha yang untuk mencari apa yang akan dan dapat dilaksanakan. Implementasi akhirnya dipahami sebagai pengaturan aktifitas yang mengarah pada penempatan program kedalam suatu dampak” (Dalam Imron, 1996:65-66).
Tiga aktifitas utama dalam implementasi kebijakan pendidikan ialah
interpretasi, organisasi, dan aplikasi. Yang dimaksud dengan interpretasi
adalah aktifitas menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang
dapat diterima dan dijalankan. Organisasi adalah unit atau wadah yang
dipergunakan untuk menempatkan program. Sementara aplikasi adalah
konsekuensi yang berupa pemenuhan perlengkapan serta biaya yang
dibutuhkan (Imron, 1996:65-66).
68
Supandi (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan
(implementasi kebijakan pendidikan) sebagai suatu proses menjalankan,
menyelenggarakan atau mengupayakan agar altenatif-alternatif yang telah
diputuskan didalam praktik. Berarti, rumusan-rumusan kebijakan yang
umumnya abstrak tersebut, baru nyata dan kongkrit setelah diimplementasikan
secara nyata. Meskipun demikian, Islami (1991) memandang lain mengenai
implementasi kebijakan ini. Ia menyatakan bahwa ada kebijakan-kebijakan
yang telah dirumuskan tersebut secara otomatis terimplementasikan dengan
sendirinya.
“Meskipun banyak pula rumusan-rumusan kebijakan yang implementasinya harus diupayakan; atau tidak secara otomatis terimplementasikan. Kebijakan-kebijakan yang terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal dengan self-executing, sedangkan kebijakan-kebijakan yang tidak secara otomatis terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal dengan non self-executing” (Dalam Imron, 1996:66).
Berhasil tidaknya implementasi kebijakan pendidikan menurut Ali Imron
ditentukan oleh banyak faktor. Faktor tersebut adalah :
1. Kompleksitas kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Semakin kompleks suatu kebijakan yang dibuat, semakin rumit dan sulit untuk diimplementasikannya.
2. Bila rumusan masalah kebijakan dan alternatif pemecahan masalah kebijakan yang diajukan dalam rumusan tidak jelas.
3. Faktor sumber-sumber potensial yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan.
4. Keahlian pelaksana kebijakan.5. Dukungan dari khalayak sasaran terhadap kebijakan yang
diimplementasikan.6. Faktor-faktor efektifitas dan efisiensi birokrasi.(Imron, 1996:76-77)
69
Oleh sebab itu analisis faktor yang dapat menentukan keberhasilan dalam
implementasi kebijakan pendidikan sangat perlu untuk dijadikan
pertimbangan utama oleh para penentu dan pelaksana kebijakan dilapangan.
2.3. Pengertian Pembangunan
Menurut Arief dalam buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga,
mengungkapkan bahwa konsep-konsep pembangunan saat ini telah diperluas yang
melibatkan aspek-aspek lingkungan dan keadilan sosial yang pada dasarnya masih
bersifat materialistis. Yang dipersoalkan masih terbatas pada persoalan materi
yang mau dihasilkan dan yang mau dibagi. Hal ini disebabkan karena teori
pembangunan masih sangat didominasi oleh para ahli ekonomi. Kalau kita
renungkan, pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok. Pertama masalah
materi yang mau dihasilkan dan dibagi. Kedua masalah manusia yang menjadi
pengambil inisatif, yang menjadi manusia pembangunan. Bagaimanapun juga,
pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia,
manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif. Untuk bisa kreatif manusia
tersebut harus merasa bahagia, merasa aman dan bebas dari rasa takut. Hanya
manusia seperti inilah yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan
memecahkan masalah yang dijumpainya. Pembangunan pada akhirnya merupakan
masalah yang harus didekati secara interdisipliner melalui berbagai disiplin ilmu
(Arief, 1996:13-15). Menurut Soerjono Soekanto, pembangunan merupakan :
“Suatu proses perubahan disegala bidang kehidupan yang dilakukan secara sengaja berdasarkan suatu rencana tertentu. Proses pembangunan terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik
70
secara spritual maupun secara material, yang mencakup seperangkat cita-cita meliputi hal-hal sebagai berikut :1. Pembangunan harus bersifat rasionalistis, haluan yang diambil harus
didasarkan pada fakta, sehingga nantinya merupakan suatu kerangka yang singkron.
2. Adanya rencana pembangunan dan proses pembangunan artinya, adanya keinginan untuk selalu membangun pada ukuran dan haluan yang terkoordinasi secara rasional dalam satu sistem.
3. Peningkatan produktifitas.4. Peningkatan standar kehidupan.5. Kedudukan, peranan, dan kesempatan yang sederajat yang sama
dibidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum.6. Pengembangan lembaga-lembaga sosial dan sikap-sikap dalam
masyarakat mencakup; efisiensi, kerajinan/ketekunan, keteraturan, ketetapan, kesederhanaan dan kecermatan, ketelitian dan kejujuran, bersifat rasional dalam mengambil keputusan, siap menghadapi perubahan, giat dan menggunakan kesempatan yang benar, integritas dan dapat berdiri sendiri, bersikap kooperatif”.
(Soekanto, 2000:454)
Diatas telah dijelaskan secara singkat tujuan yang ingin dicapai oleh
pembangunan. Disamping itu juga telah uraikan cita-cita yang terkandung dalam
pembangunan itu. Pembangunan untuk mencapai tujuan tertentu itu, dapat
dilakukan melalui cara-cara tertentu.
Pada dasarnya cara melakukan pembangunan adalah sebagai berikut :1 Struktural, mencakup perencanaan, pembentukan dan evaluasi
terhadap lembaga-lembaga sosial, produsernya serta pembangunan secara materil.
2 Spiritual, yang mencakup watak dan pendidikan dalam penggunaan cara-cara berfikir secara ilmiah.
(Soekanto, 2000:455)
Cara-cara tersebut diatas dapat ditempuh, oleh karena secara analitis
masyarakat terdiri dari struktur sosial yang mencakup ekonomi, teknologi dan
sistem kedudukan serta peranan. Kecuali itu, juga terdapat sistem pemerintahan
yang mengatur distribusi kekuasaan dan wewenang, serta adanya kebudayaan
yang mencakup sistem nilai.
71
Konsep pembangunan tersebut merupakan upaya pembangunan
berwawasan manusia, dimana menurut The World Commision on Environment
and Development (WCED) dimaksudkan sebagai :
1. Koreksi terhadap pembangunan yang berwawasan lebih pada pertumbuhan
ekonomi dan kurang pada keadilan sosial.
2. Jawaban terhadap kepincangan SDM model negara berkembang dibandingkan
dengan model negara maju.
3. Pembangunan yang berorientasi tidak hanya pada kepentingan manusia saja,
malainkan juga pada hubungan dengan lingkungannya.
(Dalam Ndraha, 1999:20).
72