kebijakan pablik

60
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini, digunakan teori kebijakan publik yang meliputi tahap formulasi hingga implementasi kebijakan dari William N. Dunn, dan Fadilah Putera serta pakar kebijakan lainnya sebagai teori pendukung yang relevan untuk digunakan yang mana pada intinya kebijakan pendanaan pendidikan yang berorientasi pada pembangunan pendidikan disini merupakan suatu keputusan yang dibuat dan disahkan oleh pemerintah dalam upaya menyelesaikan permasalahan pendanaan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas. Kemudian dalam teori Kebijakan Pendidikan yang digunakan pula teori yang bersumber dari dari Ali Imron serta beberapa teori pendukung lainnya. 2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Publik 35

Upload: operator-warnet-vast-raha

Post on 28-Jul-2015

84 views

Category:

Education


1 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini, digunakan teori

kebijakan publik yang meliputi tahap formulasi hingga implementasi kebijakan

dari William N. Dunn, dan Fadilah Putera serta pakar kebijakan lainnya sebagai

teori pendukung yang relevan untuk digunakan yang mana pada intinya kebijakan

pendanaan pendidikan yang berorientasi pada pembangunan pendidikan disini

merupakan suatu keputusan yang dibuat dan disahkan oleh pemerintah dalam

upaya menyelesaikan permasalahan pendanaan pendidikan untuk mencapai tujuan

pendidikan yang berkualitas. Kemudian dalam teori Kebijakan Pendidikan yang

digunakan pula teori yang bersumber dari dari Ali Imron serta beberapa teori

pendukung lainnya.

2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Publik

Menurut N. Dunn, menyatakan bahwa kebijakan publik (Public policy)

adalah “Pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang

saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk bertindak yang dibuat

oleh badan atau kantor pemerintah” (N. Dunn, 2000:132).

Kebijakan publik merupakan semacam jawaban terhadap suatu masalah

karena merupakan upaya memecahkan, mengurangi dan mencegah suatu

keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur inovasi dan pemuka terjadinya

kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah. Dapat dirumuskan pula bahwa

35

pengetahuan tentang kebijakan publik adalah pengetahuan tentang sebab-sebab,

konsekuensi, dan kinerja kebijakan dan program publik (Kencana, 1999:106).

Menelusuri pengertian kebijakan, pertama kebijakan dalam bahasa

Indonesia berasal dari kata bijaksana yang artinya: (1) selalu menggunakan akal

budinya (pengalaman dan pengetahuan), arif, tajam pikirannya; (2) pandai dan

ingat-ingat dalam menghadapi kesulitan (cermat; teliti). Pengertian kebijakan

sendiri adalah; (1) kepandaian, kemahiran; (2) rangkaian konsep dan asas yang

menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,

kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan dan organisasi);

penyertaan cita-cita, tujuan, prinsip dan maksud. Sementara itu pengertian publik

yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti negara atau pemerintah. Serangkaian

pengertian tersebut diambil makna bahwa pengertian kebijakan publik menurut

Santosa adalah :

“Serangkaian keputusan yang dibuat oleh suatu pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan juga petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah” (Santosa, 1988:5).

Ahli-ahli ini selanjutnya memandang kebijakan publik sebagai keputusan-

keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud tertentu, dan

mereka yang menganggap kebijakan publik memiliki akibat-akibat yang bisa

diramalkan. Mewakili kelompok tersebut Nakamura dan Smallwood dalam

bukunya yang berjudul The Politics of Policy Implementation, melihat kebijakan

publik dalam ketiga lingkungannya yaitu :

1. Yaitu lingkungan perumusan kebijakan (Formulation),

2. Lingkungan penerapan (Implementation), dan

36

3. Lingkungan penilaian (Evaluation) kebijakan.

Bagi mereka suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tadi ini berarti

kebijakan publik adalah :

“Serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang mengupayakan baik tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut (A set of instruction from policy makers to policy implementers that spell out both goals and the mean for achieving those goals). Beberapa lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri dari lingkungan pembuatan; lingkungan implementasi dan lingkungan evaluasi” (Nakamura, 1980:31).

Para pakar dalam memberi definisi kebijakan publik sering berbeda sesuai

dengan pendekatan masing-masing, bahkan cenderung berselisih pendapat satu

sama lain. Dye dalam bukunya yang berjudul Understanding Public Policy

memberikan definisi kebijakan publik sebagai What ever government choose to do

or not to do (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak

dilakukan/mendiamkan) (Dye, 1978:12). Selanjutnya Dye mengatakan bahwa

apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya.

Dan kebijakan publik harus meliputi semua tindakan pemerintah jadi bukan

semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat

pemerintah saja. Hal yang tidak dilakukan pemerintah juga merupakan kebijakan

publik karena mempunyai dampak yang sama besar dengan sesuatu yang

dilakukan. Baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan pasti terkait dengan

satu tujuan sebagai komponen penting dari kebijakan.

Kaitannya dengan hal tersebut, kebijakan publik tentunya mempunyai

suatu kepentingan yang bersifat publik dimana menurut Schubert Jr.

37

mengungkapkan bahwa kepentingan publik itu ternyata paling tidak sedikitnya

ada tiga pandangan yaitu :

1. Pandangan rasionalis yang mengatakan kepentingan publik adalah kepentingan terbanyak dari total penduduk yang ada.

2. Pandangan idealis mengatakan kepentingan publik itu adalah hal yang luhur, sehingga tidak boleh direka-reka oleh manusia.

3. Pandangan realis memandang bahwa kepentingan publik adalah hasil kompromi dari pertarungan berbagai kelompok kepentingan.

(Dalam Fadillah, 2001:20-21).

Dengan melihat penjelasan tersebut di atas, nampaknya kita harus

merefleksikan pada kenyataan riil kehidupan politik masyarakat modern,

maksudnya masyarakat masyarakat modern yang ideal adalah masyarakat yang

mampu mengorganisir diri mereka sesuai dengan kepentingan mereka masing-

masing.

2.1.1. Pengertian dan Tahap Formulasi Kebijakan

Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang

melingkupi proses pembuatan kebijakan publik tidak boleh dilepaskan dari

fokus kajiannya. Sebab bila kita melepaskan kenyataan politik dari proses

pembuatan kebijakan publik, maka jelas kebijakan publik yang dihasilkan itu

akan miskin aspek lapangannya. Sebuah produk kebijakan publik yang miskin

aspek lapangannya itu jelas akan menemui banyak persoalan pada tahap

penerapan berikutnya. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah penerapannya

dilapangan dimana kebijakan publik itu hidup tidaklah pernah steril dari unsur

politik. Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam

proses kebijakan publik secara keseluruhan, oleh karena apa yang terjadi pada

38

tahap ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang

dibuat itu pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu perlu adanya kehati-

hatian lebih dari para pembuat kebijakan ketika akan melakukan formulasi

kebijakan publik ini. Yang harus diingat pula adalah bahwa formulasi

kebijakan publik yang baik adalah formulasi kebijakan publik yang

berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab seringkali para pengambil

kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang baik itu adalah

sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal dan normatif,

namun tidak membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik

yang baik itu adalah sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas

sekaligus alternatif solusi yang fisibel terhadap realitas tersebut. Kendati pada

akhirnya uraian yang dihasilkan itu tidak sepenuhnya presisi dengan nilai

ideal normatif, itu bukanlah masalah asalkan uraian atas kebijakan itu presisi

dengan realitas masalah kebijakan yang ada dilapangan (Fadillah, 2001:49-

50).

Solichin menyebutkan, bahwa seorang pakar dari Afrika, Chief J.O.

Udoji (1981) merumuskan secara terperinci pembuatan kebijakan negara

dalam hal ini adalah formulasi kebijakan sebagai :

“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)” (Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan

39

pelaksanaan/implementasi monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik) (Dalam Solichin. 2002:17).

Menurut pendapatnya, siapa yang berpartisipasi dan apa peranannya dalam

proses tersebut untuk sebagian besar akan tergantung pada struktur politik

pengambilan keputusan itu sendiri.

Untuk lebih jauh memahami bagaimana formulasi kebijakan publik

itu, maka ada empat hal yang dijadikan pendekatan-pendekatan dalam

formulasi kebijakan publik dimana sudah dikenal secara umum oleh khalayak

kebijakan publik yaitu :

1. Pendekatan Kekuasaan dalam pembuatan Kebijakan Publik2. Pendekatan Rasionalitas dan Pembuatan Kebijakan publik3. Pendekatan Pilihan Publik dalam Pembuatan Kebijakan Publik4. Pendekatan Pemrosesan Personalitas, Kognisi dan Informasi

dalam Formulasi Kebijakan Publik(Fadillah, 2001:50-62).

Oleh sebeb itu dalam proses formulasi kebijakan publik ini Fadillah mengutip

pendapat dari Yezhezkhel Dror yang membagi tahap-tahap proses-proses

kebijakan publik dalam 18 langkah yang merupakan uraian dari tiga tahap

besar dalam proses pembuatan kebijakan publik yaitu :

A. Tahap Meta Pembuatan kebijakan Publik (Metapolicy-making stage):1. Pemrosesan nilai;2. Pemrosesan realitas;3. Pemrosesan masalah;4. Survei, pemrosesan dan pengembangan sumber daya;5. Desain, evaluasi, dan redesain sistem pembuatan kebijakan

publik;6. Pengalokasian masalah, nilai, dan sumber daya;7. Penentuan strategi pembuatan kebijakan.

B. Tahap Pembuatan Kebijakan Publik (Policy making)1. Sub alokasi sumber daya;2. Penetapan tujuan operasional, dengan beberapa prioritas;

40

3. Penetapan nilai-bilai yang signifikan, dengan beberapa prioritas;

4. Penyiapan alternatif-alternatif kebijakan secara umum;5. Penyiapan prediksi yang realistis atas berbagai alternatif

tersebut diatas, berikut keuntungan dan kerugiannya;6. Membandingkan masing-masing alternatif yang ada itu

sekaligus menentukan alternatif mana yang terbaik;7. Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif terbaik yang telah

dipilih tersebut diatas.C. Tahap Pasca Pembuatan Kebijakan Publik (Post policy-making

stage)1. Memotivasi kebijakan yang akan diambil;2. Mengambil dan memutuskan kebijakan publik;3. Mengevaluasi proses pembuatan kebijakan publik yang telah

dilakukan;4. Komunikasi dan umpan balik atas seluruh fase yang telah

dilakukan.(Dalam Fadillah, 2001:75-76)

Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan

mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu

atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap tahap tersebut

mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu.

Setiap tahap berhubungan dengan tahap yang berikutnya, dan tahap terakhir

(penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda),

atau tahap ditengah, dalam lingkaran aktivitas yang tidak linear. Aplikasi

prosedur dapat membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan

yang secara langsung mempengaruhi asumsi, keputusan, dan aksi dalam satu

tahap yang kemudian secara tidak langsung mempengaruhi kinerja tahap-

tahap berikutnya. Aktivitas yang termasuk dalam aplikasi prosedur analisis

kebijakan adalah tepat untuk tahap-tahap tertentu dari proses pembuatan

kebijakan, seperti ditunjukan dalam segi empat (tahap-tahap pembuatan

kebijakan) dan oval yang digelapkan (prosedur analisis kebijakan) dalam

41

bagan 2.1. terdapat sejumlah cara dimana penerapan analisis kebijakan dapat

memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya (N. Dunn. 2000:23).

Tabel 2.1.Tahap-tahap dalam Proses Pembuatan Kebijakan

FASE KARAKTERISTIKPENYUSUNAN AGENDA Para pejabat yang dipilih dan diangkat

menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.

FORMULASI KEBIJAKAN

Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.

ADOPSI KEBIJAKAN Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesnsus diantara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.

PENILAIAN KEBIJAKAN

Unit-unit pemeriksanaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif. Legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.

Sumber : William N. Dunn, 2000:24.

42

Bagan 2.1. Kedekatan prosedur Analisis Kebijakan dengan Tipe-tipe Pembuatan

Kebijakan

Penyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

ImplementasiKebijakan

Sumber : William N. Dunn, 2000:25.

Keterangan :

1. Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi

masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan

agenda (agenda setting). Perumusan masalah dapat membantu

menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-

penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan memadukan

43

Penilaian

Perumusan masalah

Peramalan

Rekomendasi

Pemantauan

Penilaian Kebijakan

pandangan-pandangan yang bertentangan dan merancang peluang-peluang

kebijakan yang baru.

2. Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang masalah yang akan terjadi dimasa mendatang sebagai

akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini

dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji

masa depan yang potensial, dan secara normatif bernilai mengestimasi

akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-

kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan dan

mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai

pilihan.

3. Rekomendasi membuahkan pengatahuan yang relevan dengan kebijakan

tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya dimasa

mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu

pengambilan kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi

membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenal

eksternalitas dan akibat ganda, menentukan kriteria dalam pembuatan

pilihan, dan mentukan pertanggungjawaban administratif bagi

implementasi kebijakan.

4. Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini

membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan

dengan menggunakan berbagai indikator kebijakan di bidang pendidikan,

44

kesehatan, perumahan, kesejahteraan, dan lain-lain. Pemantauan

membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang

tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan

dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang

bertanggungjawab pada setiap tahap kebijakan.

5. Evaluasi (Penilaian) membuahkan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang

diterapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu

pengambilan kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi

tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah

terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap

nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan

perumusan kembali masalah.

(Dunn. 2000:26-29).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan / kebijakan

menurut Nigro and Nigro dalam buku karya M. Irfan Islamy yang berjudul

Prinsip-prinsip perumusan Kebijaksanaan Negara adalah sebagai berikut :

a. Adanya pengaruh tekanan dari luarb. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konsevatisme)c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadid. Adanya pengaruh dari kelompok luare. Adanya pengaruh keadaan masa lalu.(Dalam Islamy, 1986:25-26)

Hal tersebut selalu saja terjadi pada setiap usaha perumusan kebijakan

khususnya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat

dimana ternyata pada kenyataannya proses penentuan keputusan atau

45

kebijakan tersebut kental dengan berbagai macam pengaruh-pengaruh yang

bersifat negatif.

Sebaliknya kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi dalam

proses pembuatan keputusan menurut Nigro and Nigro adalah sebagai berikut:

a. Cara berfikir yang sempit (Cognitive nearsightedness)b. Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lalu

(Assumption that future will repeat past)c. Terlampau menyederhanakan sesuatu (Over simplication)d. Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang

(Overreliance on one’sown experience)e. Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh prakonsepsi para

pembuat keputusan (Preconceived nations)f. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan

(Unwillingness to experiment)g. Keengganaan untuk membuat keputusan (Reluctance to decide).(Dalam Islamy, 1986:25-26).

Kesalahan-kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang sangat fatal sekali

khususnya didalam pembuatan suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan

bersama sehingga semaksimal mungkin kesalahan tersebut harus

diminimalisir atau dihilangkan jika tidak ingin mendapatkan masalah pada

tahap pengimplementasian dilapangan yang berdampak pada citra buruk para

penentu kebijakan tersebut sekaligus kebijakan itu sendiri.

2.1.2. Implementasi Kebijakan

2.1.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan serta Faktor Keberhasilan dan Kegagalannya dalam Implementasi

46

Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan sesungguhnya

bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran

keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat

saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut

masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari

kebijakan. Oleh karena itu tidak terlalu salah jika dikatakan

implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan

proses kebijakan. Sebaik apapun sebuah kebijakan tidak akan ada

manfaatnya bila tidak dapat diterapkan sesuai dengan rencana.

Penerapan adalah suatu proses yang tidak sederhana (Dalam Solichin,

1997:45). Bahkan Udoji mengatakan dengan tegas bahwa “The

execution of policies is a important if not more important than policy-

making. Policy will remain dreams or blue prints file jackets unless they

are implemented” (Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting,

bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan.

Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus

yang tersimpan rapih dalam arsip jika tidak diimplementasikan). Oleh

karena itu implementasi kebijakan perlu dilakukan secara arif, bersifat

situasional mengacu pada semangat kompetensi dan berwawasan

pemberdayaan (Dalam Solichin, 1997:45). Untuk mengimplementasikan

suatu kebijakan diperlukan lebih banyak yang terlibat baik tenaga kerja

maupun kemampuan organisasi. Penerapan kebijakan bersifat interaktif

dalam proses perumusan kebijakan. Penerapan sebagai sebuah proses

47

interaksi antara suatu tujuan dan tindakan yang mampu untuk

meraihnya. Penerapan merupakan kemampuan untuk membentuk

hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang

menghubungan tindakan dengan tujuan.

Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah masalah yang

mudah terutama dalam mencapai tujuan bersama, cukup sulit untuk

membuat sebuah kebijakan publik yang baik dan adil. Dan lebih sulit

lagi untuk melaksanakannya dalam bantuk dan cara yang memuaskan

semua orang termasuk mereka yang dianggap klien. Masalah lainnya

adalah kesulitan dalam memenuhi tuntutan berbagai kelompok yang

dapat menyebabkan konflik yang mendorong berkembangnya pemikiran

politik sebagai konflik.

Definisi dan konsep implementasi kebijakan publik ini sangat

bervariasi. Menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Fadillah

menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah :

“Pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai tercapainya hasil kebijakan”. Kemudian merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai : “Policy implementation encompasses those actions by public or private individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions” (pernyataan ini memberikan makna bahwa implementasi kebijakan adalah keseluruhan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan) (Dalam Fadillah, 2001:81).

48

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan

meliputi semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau

perumusan kebijakan dan dampak aktualnya.

Didalam artikel yang membahas mengenai Studi Niat

Berimigrasi di Tiga Kota, Determinan dan Intervensi Kebijaksanaan

ditulis, bahwa untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan menurut

pendapat Keban yang dikutip dari pendapat Van Meter dan Van Horn

yang menyatakan menyatakan “Suatu kebijakan tentulah menegaskan

standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana

kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas

tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut”. Lebih sederhana lagi

kinerja (performance) merupakan tingkat pencapaian hasil atau the

degree of accomplishment. Dalam model Van Meter dan Van Horn ini

ada enam faktor yang dapat meningkatkan kejelasan antara kebijakan

dan kinerja implementasi, variabel-variabel tersebut adalah standar dan

sasaran kebijakan, komunikasi antar organisasi dan pengukuran

aktivitas, karakteristik organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi

sosial, ekonomi dan politik, sumber daya, sikap pelaksana (Dalam

Keban, 1994:1).

Pada dasarnya indikator kinerja untuk menilai derajat pencapaian

standar dan sasaran kebijakan dapat dijelaskan bahwa kegiatan itu

melangkah dari tingkat kebijakan yang masih berupa dokumen

peraturan menuju penentuan standar spesifik dan kongkrit dalam

49

menilai kinerja program. Dengan standar dan sasaran dapat diketahui

seberapa besar keberhasilan program yang telah dicapai.

Ripley dan Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan

Implementasi Kebijakan (Policy Implementation and Bureaucracy)

menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan atau program

dapat ditujukan dari tiga faktor yaitu :

1. Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan strect level bereau crats terhadap atasan mereka.

2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.

3. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan”.

(Ripley dan Franklin, 1986:89)

Secara sederhana ketiga faktor diatas merupakan suatu kepastian dalam

menilai keberhasilan suatu implementasi kebijakan sehingga kurang

hilangnya salah satu faktor mempengaruhi sekali terhadap kinerja

kebijakan tersebut.

Kemudian sebaliknya Jam Marse mengemukakan bahwa ada tiga

faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam implementasi

kebijakan yaitu:

1. Isu kebijakan. Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih ketidaktetapan atau ketidak tegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukan adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.

2. Informasi. Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.

50

3. Dukungan. Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaanya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.

(Solichin, 1997:19)

Ketiga faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam proses

implementasi kebijakan sebelumnya harus sudah difikirkan dalam

merumuskan kebijakan, sebab tidak tertutup kemungkinan kegagalan

didalam penerapan kebijakan sebagaian besar terletak pada awal

perumusan kebijakan oleh pemerintah sendiri yang tidak dapat bekerja

maksimal dan bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

2.1.2.2. Model-model Implementasi Kebijakan

Sekalipun dalam khasanah ilmu kebijakan negara atau analisis

kebijakan negara telah banyak dikembangkan model-model atau teori

yang membahas tentang implementasi kebijakan namun penulis hanya

akan membicarakan beberapa model implementasi kebijakan yang

relatif baru dan banyak mempengaruhi berbagai pemikiran maupun

tulisan para ahli.

Pertama, model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood

dan lewis A. Gunn (1978; 1986). Model ini kerap kali disebut sebagai

“The top down approach”, menurutnya untuk mengimplementasikan

kebijakan negara secara sempurna maka diperlukan beberapa

persyaratan tertentu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius

51

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia

4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya

6. Hubungan saling ketergantungan harus sedikit7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap

tujuan8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang

tepat9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang dan kekuasaan dapat

menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.(Dalam Solichin, 2002:70-78)

Kedua, model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van

Horn (1975), yang disebut sebagai A model of the policy implementation

process (model proses implementasi kebijakan) dimana dalam teorinya

beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses

implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan

dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu pendekatan yang

mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan

implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan

kebijakan dengan prestasi kerja (performance). Kedua hali ini

menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan

bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur

implementasi. Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha membuat

tipologi kebijakan sebagai berikut :

a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan,

52

b. Jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara

pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi

Alasan yang dikemukakannya ini ialah bahwa proses implementasi itu

akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu,

dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil apabila

perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan

terhadap tujuan --- terutama dari mereka yang mengoperasikan program

dilapangan relatif tinggi (Dalam Solichin, 2002:78-79).

Ketiga, model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan

Paul A. Sbatier yang disebut A frame work for implementation analisys

(kerangka analisis implementation). Kedua ahli ini berpendapat bahwa

peran penting dari analisis implementasi kebijaksanaan negara ialah

mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya

tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-

variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori

besar, yaitu :

1. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan

2. Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara

tepat proses implementasinya; dan

3. Pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan

dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan

tersebut.

(Dalam Solichin, 2002:81).

53

Dari model-model yang disajikan tersebut ada yang relatif

abstrak, dan ada pula yang relatif operasional. Sekalipun demikian

peneliti tidak bermaksud untuk menilai mana yang diantara model-

model tersebut yang baik atau paling tepat, sebab penggunaan model ini

untuk keperluan penelitian/analisis sedikit banyak akan tergantung pada

kompleksitas permasalahan kebijakan yang dikaji serta tujuan dan

analisis itu sendiri. Sebagai pedoman awal barangkali ada baiknya

diingat bahwa semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin

mendalam analisis yang dilakukan, semakin diperlukan teori atau model

yang relatif operasional yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas

antar yang menjadi fokus analisis.

2.1.3. Pengertian Kebijakan Keuangan Negara

untuk memahai makna keuangan negara, pertama-tama perlu diketahui

apa arti negara dan keuangan yang diperlukan oleh negara dalam menjalankan

pemerintahan untuk mencapai tujuannya. Keberhasilan negar dalam mencapai

tujuan tersebut, tergantung pada bagaimana negara itu manghimpuan dana

masyarakat, utamanya pajak guna menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Hal

ini dapat dipahami, karena untuk menjalankan roda pemerintahan, negara

perlu dukungan dana yang sangat besar yang bersumber dari pendapatan

negara yang potensial. Kebijakan pemerintah sejalan dengan perkembangan

kebutuhan negara guna mensejahterakan warga masyarakatnya berkembang

menjadi lebih luas menjadi kebijakan di bidang keuangan negara. Hal-hal

54

yang dikelola oleh pemerintah disebut sebagai keuangan negara, yang

pengertiannya selalu berkembang dan berbeda, baik menurut tempat negara

yang mengelolanya maupun menurut pendapat para ahli diantaranya menurut

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara adalah “Semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan, serta

segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang dapat dijadikan milik

negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”

(Pemerintah RI, 2003:2). Kemudian menurut M. Subagio (1988) adalah :

“Keuangan negara terdiri atas hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban itu. Hak negara meliputi menciptakan uang; hak mendatangkan hasil; hak melakukan pungutan; hak meminjam dan hak memaksa. Kewajiban negara meliputi kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat; dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga” (Didalam BPK, 2000:16).

Dari pendapat M. Subagio tersebut nampak unsur-unsur keuangan negara,

yaitu uang dan barang yang dijadikan milik negara, kekayaan negara, hak dan

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Pakar lainnya Bambang

Kusmanto menyatakan :

“Public finance (keuangan negara) diinterpretasikan dalam arti sempit, yakni Government Finance (keuangan pemerintah), sedangkan makna “Finance” (keuangan) sudah ada kata sepakat, hakni menggambarkan segala kegiatan (pemerintah) didalam mencari sumber-sumber dana (Sources of fund) dan kemudian bagaimana dana-dana tersebut digunakan (uses of fund) untuk mencapai tujuan (pemerintah) tertentu. Jadi keuangan negara mencerminkan kegiatan-kegiatan pemerintah, sedangkan kegiatan pemerintah itu sendiri berada dalam sektor swasta (private sector)” (Didalam BPK, 2000:19-20).

55

Apabila dianalisis pendapat yang dikemukakan oleh Bambang Kusmanto,

amaka unsur-unsur keuangan negara yang dikemukakan meliputi : kegiatan

mencari dana dan kegiatan menggunakan dana untuk mencapai tujuan

pemerintah tertentu.

2.1.3.1. Pengelolaan Keuangan Negara

1. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara

Sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945

menempatkan presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara

tertinggi dibawah MPR. Presiden memiliki kekuasaan penyelengaraan

pemerintahan negara, meliputi apa yang dalam trias politica disebut

kekuasaan eksekutif dan legislatif, dengan pengertian bahwa kekuasaan

legislatif itu dijalankan oleh presiden dengan persetujuan DPR.

Kekuasaan penyelenggaraan pemerintah itu meliputi didalamnya tiga

kekuasaan pengelolaan keuangan negara, yaitu kekuasaan otorisasi

(kekuasaan untuk mengambil tindakan atau keputusan yang dapat

mengakibatkan kekayaan negara menjadi bertambah atau berkurang)

yang dibedakan atas kekuasaan otorisasi umum (berupa peraturan

perundang-undangan) dan otorisasi khusus (menetapkan keputusan yang

mengikat orang ataupihak tertentu yang bersifat umum). Kedua

kekuasaan ordonansi (kekuasaan untuk menerima, meneliti, mengguji

keabsahan dan menertibkan surat perintah menagih atau membayar

tagihan yang membebani anggaran penerimaan dan pengeluaran negara

56

sebagai akibat tindakan otorisator). Ketiga kekuasaan kebendaharaan

(kekuasaan untuk menerima, menyimpan atau membayar/mengeluarkan

uang atau barang, serta pertanggungjawaban uang atau barang yang

berada dalam pengelolaannya.

2. Pendelegasian Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara

Dalam rangka efisiensi dan efektifitas peleksanaan kekuasaan

pengelolaan kekuangan negara sesuai dengan sistem pemerintahan

negara berdasarkan UUD 1945, presiden mendelegasikan sebagian

kekuasaan pengelolaan keuangan itu kepada aparatur pemerintah di

pusat dan daerah, BUMN dan BUMD serta pihak lain yang berdasarkan

peraturan perundang-undangan.

(BPK, 2000:37-40)

2.1.3.2. Pertanggungjawaban Keuangan Negara

Mengingat bahwa kekuasaan pemyelenggaraan pemerintah

tertinggi dibawah MPR adalah presiden, maka konsekuensi tanggung

jawab penyelenggaraan seluruh keuangan negara berada pula ditangan

presiden. Telah diketahui bersama bahwa dalam tubuh pemerintah,

selain presiden, terdapat pula para menteri, gubernur, bupati dan

walikota, dan berbagai pejabat yang mempunyai fungsi dan kedudukan

tertentu dalam keterlibatannya mengelola keuangan negara. Masing-

masing pejabat tersebut memikul tanggung jawab atas pelaksanaan

keuangan negara di bidang tugasnya. Dalam pengertian pengelolaan

57

keuangan negara terkandung pengertian pertanggungjawaban yang harus

dibuat oleh semua instansi pemerintah maupun pejabat yang melakukan

penglolaan keuangan negara yang meliputi pelaksanaan APBN, APBD,

pelaksanaan anggaran BUMN, BUMD, serta pelaksanaan anggaran

yayasan yang didirikan oleh pemerintah, BUMN dan BUMD atau badan

hukum lain dimana terdapat kepentingan negara atau yang menerima

bantuan pemerintah. Laporan pertanggungjawaban tersebut disampaikan

kepada pejabat atau instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Pertanggungjawaban diperlukan untuk

mengetahui pelaksanaan program pemerintah, baik program

pembangunan maupun kegiatan rutin pelayanan pemerintah, mengenai

tingkat ketaatannya pada peraturan perundang-undangan, serta

mengetahui tingakat kehematan, efisiensi dan efektifitas dari program

atau pelayanan pemerintah. Bentuk tangung jawab keuangan negara

pada umum berupa laporan keuangan yang disajikan secara berkala.

Laporan keuangan ini harus disajikan secara lengkap sepadan dengan

luas lingkup keuangan negara yang dilimpahkan oleh MPR kepada

presiden yang meliputi keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah,

BUMN dan BUMD, hakekatnya mencakup seluruh kekayaan negara.

Bentuk tanggung hawab masing-masing bagian keuangan negara pada

dasarnya berupa : laporan realisasi pelaksanaan anggaran (kinerja

keuangan), laporan mutasi kekayaan dari hasil pelaksanaan anggaran,

dan laporan perhitungan anggaran secara rinci. (BPK, 2000:43-47)

58

2.2. Kebijakan Pendidikan

2.2.1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan

A. Definisi Pendidikan

Bertanya mengenai hakikat pendidikan adalah bertanya mengenai

apakah pendidikan itu? Walaupun telah sama-sama mengarah pada suatu

tujuan tertentu, para ahli masih belum seragam dalam mendefinisikan istilah

pendidikan. Drikarya (1980) mengatakan bahwa pendidikan itu adalah

memanusiakan manusia muda pengangkatan manusia muda ketaraf mendidik

atau menjadi pendidik. Dalam Dictionary of Education bahwa pendidikan

adalah :

1. Proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan tingkah laku lainnya didalam masyarakat tempat mereka hidup.

2. Proses sosial yang terjadi pada orang yang diharapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum.

(Dalam Fattah, 1996:4)

Dengan kata lain pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan atas individu untuk

menghasilkan perubahan-perubahan yang sifatnya permanen (tetap) dalam

tingkah laku, fikiran, dan sikapnya. Pengertian lain dikemukakan oleh Crow

and Crow (1980); “Modern educational theory and practice not only are

eimed at preparation for future living but also are operative in determining

the patern of present, day-bay-day attitude and behavior”. (Pendidikan tidak

hanya dipandang sebagai sarana untuk persiapan hidup yang akan datang

tetapi, juga untuk kehidupan sekarang yang dialami individu dalam

perkembangannya menuju ketingkat kedewasaannya) (Dalam Fattah, 1996:4-

59

5). Berdasarkan pengertian tersebut dapat didefinisikan beberapa ciri

pendidikan menurut Fattah antara lain :

a. Pendidikan mengandung tujuan yaitu, kemampuan untuk berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidup.

b. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha terencana dalam memilih isi (materi), strategi, dan teknik penilaiannya yang sesuai.

c. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (formal dan non formal).

(Fattah, 1996:5)

Apabila dikaitkan dengan keberadaan dan hakekat kehidupan manusia

kemanakah pendidikan itu diarahkan? Jawabannya untuk pembentukan

kepribadian manusia, yaitu pengembangan manusia sebagai mahluk individu,

mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk beragama (religius). Dengan

demikian, maka dalam proses pendidikan pengedepanan faktor manusia yang

mana diharapkan mempunyai ilmplikasi bagi pengembangan kehidupan

masyarakat secara sosial, kultural, ekonomi, ideologi dan sebagainya (Fattah,

1996:5).

Pendidikan menurut sumber yang terdapat dalam Undang-Undang No.

20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah :

“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak, dan budi mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara” (Sisdiknas, 2003:2).

Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan

60

untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggungjawab (Sisdiknas. 2003:5).

B. Tujuan Pendidikan

Notoarmodjo mengatakan, Pendidikan pada hakikatnya bertujuan

untuk mengubah tingkah laku sasaran pendidikan. Tingkah laku baru (hasil

perubahan) itu dirumuskan dalam suatu tujuan pendidikan (educational

objective). Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah suatu deskripsi dari

pengetahuan, sikap, tindakan, penampilan, dan sebagainya yang diharapkan

akan memiliki sasaran pendidikan pada periode tertentu. Lahirnya tujuan

pendidikan disebabkan karena diperlukannya suatu kurikulum yang efisien

dan efektif. Maksudnya menetapkan tujuan pendidikan terlebih dahulu, agar

memudahkan dan mengarahkan penyusunan kurikulum. Dalam rangka

pengembangan kurikulum, tujuan pendidikan perlu dibedakan berdasarkan

tingkatan tujuan pendidikan sesuai dengan ruang lingkup proses belajar

(Notoatmodjo. 2003:41-42). Tujuan pendidikan tersebut sebagai berikut :

1. Tujuan Pendidikan NasionalTujuan pendidikan ini merupakan tingkatan yang tertinggi. Pada tujuan ini digambarkan harapan masyarakat atau negara tentang ciri-ciri seorang manusia yang dihasilkan oleh proses pendidikan atau manusia yang terdidik. Dengan kata lain tujuan pendidikan nasional ini menggambarkan harapan tentang karakteristik manusia sebagai warga negara yang harus dihasilkan oleh setiap usaha pendidikan. Hal ini berarti bahwa seriap lembaga pendidikan harus mengarahkan tujuannya pada tujuan pendidikan nasional.

2. Tujuan Institusional

61

Tiap tingkat dan jenis lembaga pendidikan, mengembangkan tujuan institusinal. Isi tujuan institusional adalah tingkah laku yang bagaimanakah yang diharapkan oleh lembaga pendidikan tersebut. Dengan kata lain lembaga pendidikan itu akan menghasilkan manusia-manusia yang diinginkan dengan pengertian bahwa tujuan institusional ini harus mendukung tujuan pendidikan nasional. Untuk menyusun tujuan institusional yang baik diperlukan criteria-kriteria yaitu jelas, dapat dengan mudah diobservasi, dan realistis.

3. Tujuan Antara (Intermediare Objective)Tujuan pendidikan ini bersifat mengantari tujuan institusional dan tujuan instruksional. Isinya masih agak luas, tapi sudah mengarah pada tiap-tiap bidang ilmu pengetahuan. Karena tujuan ini sudah mengarah pada kurikulum (dalam arti sempit) dari institusi itu maka disebut “tujuan kurikulum” tujuan ini sudah merinci tujuan-tujuan tiap-tiap departemen ilmu, maka sering juga disebut tujuan departemen (departement objective).

4. Tujuan InstruksionalTujuan instruksional mempunyai fungsi :a. Membantu para pengajar untuk memilih isi/topik pengajaran

yang relevanb. Membantu proses pengintegrasian kurikulum baik secara

instruksional maupun kurikulumc. Membantu para pengajar mengarah pada proses pengajarannyad. Mengarahkan dan memberi gambaran pada sasaran tentang apa

yang akan mereka peroleh dari pendidikan/pelatihane. Merupakan indikator untuk evaluasi proses pendidikanf. Merupakan pasangan sasaran dan juga para pengajar untuk

bekerja secara efektif dan efisieng. Membantu para pengajar memilih metode pengajaran yang

tepat.(Notoatmodjo, 2003:41-45)

Suatu lembaga pendidikan, terutama pendidikan formal sebenarnya

dibentangkan harapan tentang tingkat dan jenis perubahan tingkah laku

sasaran pendidikan, antara lain perubahan pengetahuan, sikap dan kemampuan

mereka. Sudah tentu bukan sembarang perubahan tingkah laku, sebagai akibat

dari berlengsungnya proses pendidikan. Demikian pula bukan setiap

perubahan tingkah laku dapat dipakai sebagai ukuran berhasilnya proses

pendidikan. Itulah sebabnya maka harapan perubahan tingkah laku tersebut

62

perlu dirumuskan dahulu dalam suatu pendidikan. Dengan kata lain tujuan

pendidikan adalah rumusan pada tingkah laku dan jenis tingkah laku: yang

lazimnya dirumuskan dalam kategori pengetahuan, kecerdasan sikap,

keterampilan yang diharapkan untuk dimiliki oleh sasaran pendidikan setelah

menyelesaikan program pendidikan (serangkaian proses belajar).

2.2.2. Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan telah dipertegas melalui pengenalan konsep

dasar kebijakan pendidikan yang meliputi latar belakang perlunya kebijakan

pendidikan, batasan kebijakan pendidikan, kebijakan pendidikan dan

kebijakan negara, sistem politik dan kebijakan pendidikan, tingkat-tingkat

kebijakan pendidikan, dan studi mengenai kebijakan pendidikan (Imron.

1996:1).

Kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan penggabungan

n dari kata education dan policy. Kebijakan adalah seperangkat aturannya,

sedangkan pendidikan menunjukan kepada bidangnya. Dengan demikian

kebijakan pendidikan tidak terlalu berbeda dengan kebijakan pemerintah di

bidang pendidikan. Carter V. Good (1959) memberikan pengertian kebijakan

pendidikan (educational policy) dalam buku karya Ali Imron yang berjudul

Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, yakni :

“Educational policy judgement, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within instituationalized education as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives. (Suatu pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situasional;

63

pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga; pertimbangan tersebut merupakan perencanaan umum yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai)” (Dalam Imron, 1996:18).

Sebagaimana dijelaskan diatas, melihat kebijakan sebagai suatu proses, tak

terkecuali ketika melihat kebijakan pendidikan. Yaitu sebagai suatu proses

dimana pertimbangan-pertimbangan itu mesti diambil dalam rangka

pelaksanaan pendidikan yang bersifat melembaga.

Dalam melakukan petimbangan, ada dua hal yang harus

dipertimbangkan, ialah sistem nilai yang berlaku dan faktor-faktor

situasionalnya. Dan, pertimbangan yang mempedomani terhadap sistem nilai

dan faktor-faktor situasional tersebut, khususnya dalam melaksanakan

pendidikan, akan dapat mengantarkan pemdidikan pada pencapaian tujuannya.

Pertimbangan tersebut ketika dirumuskan dapat berupa perencanaan umum.

Dan, perencanaan yang bersifat umum ini dapat dijadikan sebagai pedoman

dalam pengambilan-pengambilan keputusan pendidikan (Imron, 1996:18).

Terdapat tingkat-tingkat kebijakan pendidikan yang menunjukan

kepada level kebijakan tersebut dirumuskan dan dilaksanakan, juga menunjuk

pada cakupannya, tingkatan pelaksanaan dan mereka yang terlibat

didalamnya. Ada empat tingkat kebijakan, yaitu :

1. Tingkatan Kebijakan Nasional (national policy level)

2. Tingkatan Kebijakan Umum (general policy level)

3. Tingkat Kebijakan Khusus (special policy level)

4. Tingkat Kebijakan Teknis (technical policy level)

64

Sistem Politik yang berlaku dalam suatu negara senantiasa terkait

dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara, termasuk kebijakan

pendidikan. Letak kaitan tersebut dapat dilihat pada, bagaimana kebijakan

tersebut pada saat dirumuskan, dilegitimasikan, dikhalayakan,

dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Berbedanya perumusan

kebijakan dinegara yang satu dangan yang lain dapat disebabkan berbedanya

sistem politik yang dianut. Berbedanya pelaksanaan dan evaluasi kebijakan

negara, kebijakan pendidikan, antara negara yang satu dangan yang lain dapat

disebabkan berbedanya sistem politik yang dianut oleh negara-negara tersebut

(Imron, 1996:20-25).

2.2.3. Perumusan Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan berproses melalui tahapan-tahapan perumusan

kebijakan pendidikan, legitimasi pendidikan, komunikasi dan sosialisasi

kebijakan pendidikan, implementasi kebijakan pendidikan, mengupayakan

partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan dan evaluasi kebijakan

pendidikan. Pembahasan dalam perumusan kebijakan pendidikan meliputi;

lingkungan kebijakan pendidikan, aktor-aktor perumusan kebijakan

pendidikan, masalah dan agenda kebijaksanaan pendidikan, formulasi

kebijakan pendidikan dan problema-problemanya (Imron, 1996:31).

65

2.2.3.1. Lingkungan dan Aktor Kebijakan Pendidikan

Yang dimaksud dengan lingkungan kebijakan pendidikan

menurut Anderson adalah “segala hal yang berada diluar kebijakan

tetapi mempunyai pengaruh terhadap kebijakan pendidikan, pengaruh

tersebut bisa besar, kecil, langsung, tidak langsung, laten, dan jelas”

(Imron, 1996:31).

Yang termasuk lingkungan kebijakan pendidikan dirumuskan

secara berbeda-beda oleh para ahli ilmu kebijakan pendidikan. Supandi

(1988) menyebut lingkungan kebijakan meliputi; kondisi sumber alam,

iklim, topografi, demografi, budaya politik, struktur sosial, dan kondisi

ekonomik. Sementara yang dianggap paling berpengaruh terhadap

kebijakan tersebut adalah budaya politik (Dalam Imron, 1996:32).

Orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan

pendidikan negara disebut sebagai aktor perumusan kebijakan

pendidikan. Sebutan lain dari aktor ini adalah: partisipan, peserta

perumusan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu kebijakan pendidikan

mempunyai tingkatan-tingkatan (nasional, umum, khusus dan teknis),

maka para aktor perumusan kebijakan disetiap tingkatan-tingkatan

tersebut berbeda. Aktor tersebut yakni: Legislatif, Eksekutif,

Administrator, Partai politik, Interest Group, Organisasi Massa,

Peruruan Tinggi, dan Tokoh Perorangan (Imron, 1996:38-45).

66

2.2.3.2. Formulasi Kebijakan Pendidikan

Aktifitas sekitar formulasi adalah interaksi peranan antar peserta

perumusan kebijakan pendidikan baik formal maupun non formal.

Kapan suatu perumusan kebijakan pendidikan dianggap selesai? Suatu

kebijakan dianggap final setelah disahkan oleh peserta perumusan

kebijakan formal. Pengesahan tersebut dapat berupa penerbitan

keputusan dan dapat berupa ketetapan. Dapat juga berupa undang-

undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dan peraturan

pemerintah.

Agar rumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan yang

baik, haruslah memenuhi kriteria; Pertama, rumusan kebijakan

pendidikan tidak mendiktekan keputusan spesifik atau hanya

menciptakan lingkungan tertentu. Kedua, rumusan kebijakan pendidikan

dapat dipergunakan dalam menghadapi masalah atau situasi yang timbul

secara berulang. Hal ini berarti, bahwa waktu, biaya dan tenaga yang

telah banyak dikeluarkan tidak sekedar dipergunakan untuk

memecahkan satu masalah atau satu situasi saja (Imron, 1996:49).

2.2.4. Pengertian, Batasan dan Faktor Implementasi Kebijakan Pendidikan

Setelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan dikomunikasikan, kepada

khalayak kemudian dilaksanakan atau diimplementasikan. Implementasi ini,

adalah aktualisasi kebijakan pendidikan yang telah disahkan, bergantung

kepada bagaimana pelaksanaannya dilapangan. Tolak ukur keberhasilan

67

kebijakan pendidikan adalah pada implementasinya. Sebaik apapun rumusan

kebijakan, jika tidak diimplementasikan, tidak akan dirasakan gunanya.

Sebaliknya sesederhana apapun rumusan kebijakan, jika sudah

diimplementasikan, akan lebih berguna, apapun dan seberapa pun gunanya

(Imron, 1996:65).

Yang dimaksud dengan implementasi kebijakan pendidikan adalah

pengupayaan agar rumusan-rumusan kebijakan pendidikan berlaku didalam

praktik. Nakamura (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan

pendidikan sebagai keberhasilan mengevaluasi masalah dan

menerjemahkannya kedalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus

(Imron, 1996:65). Jones (1977) lebih banyak mengkritik batasan-batasan

implementasi kebijakan. Ia sendiri mendasarkan konsepsi implementasi

kebijakan berdasarkan aktifitas fungsional.

“Implementasi kebijakan pendidikan, ia katakan sebagai konsep yang dinamis, memerlukan usaha-usaha yang untuk mencari apa yang akan dan dapat dilaksanakan. Implementasi akhirnya dipahami sebagai pengaturan aktifitas yang mengarah pada penempatan program kedalam suatu dampak” (Dalam Imron, 1996:65-66).

Tiga aktifitas utama dalam implementasi kebijakan pendidikan ialah

interpretasi, organisasi, dan aplikasi. Yang dimaksud dengan interpretasi

adalah aktifitas menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang

dapat diterima dan dijalankan. Organisasi adalah unit atau wadah yang

dipergunakan untuk menempatkan program. Sementara aplikasi adalah

konsekuensi yang berupa pemenuhan perlengkapan serta biaya yang

dibutuhkan (Imron, 1996:65-66).

68

Supandi (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan

(implementasi kebijakan pendidikan) sebagai suatu proses menjalankan,

menyelenggarakan atau mengupayakan agar altenatif-alternatif yang telah

diputuskan didalam praktik. Berarti, rumusan-rumusan kebijakan yang

umumnya abstrak tersebut, baru nyata dan kongkrit setelah diimplementasikan

secara nyata. Meskipun demikian, Islami (1991) memandang lain mengenai

implementasi kebijakan ini. Ia menyatakan bahwa ada kebijakan-kebijakan

yang telah dirumuskan tersebut secara otomatis terimplementasikan dengan

sendirinya.

“Meskipun banyak pula rumusan-rumusan kebijakan yang implementasinya harus diupayakan; atau tidak secara otomatis terimplementasikan. Kebijakan-kebijakan yang terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal dengan self-executing, sedangkan kebijakan-kebijakan yang tidak secara otomatis terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal dengan non self-executing” (Dalam Imron, 1996:66).

Berhasil tidaknya implementasi kebijakan pendidikan menurut Ali Imron

ditentukan oleh banyak faktor. Faktor tersebut adalah :

1. Kompleksitas kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Semakin kompleks suatu kebijakan yang dibuat, semakin rumit dan sulit untuk diimplementasikannya.

2. Bila rumusan masalah kebijakan dan alternatif pemecahan masalah kebijakan yang diajukan dalam rumusan tidak jelas.

3. Faktor sumber-sumber potensial yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan.

4. Keahlian pelaksana kebijakan.5. Dukungan dari khalayak sasaran terhadap kebijakan yang

diimplementasikan.6. Faktor-faktor efektifitas dan efisiensi birokrasi.(Imron, 1996:76-77)

69

Oleh sebab itu analisis faktor yang dapat menentukan keberhasilan dalam

implementasi kebijakan pendidikan sangat perlu untuk dijadikan

pertimbangan utama oleh para penentu dan pelaksana kebijakan dilapangan.

2.3. Pengertian Pembangunan

Menurut Arief dalam buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga,

mengungkapkan bahwa konsep-konsep pembangunan saat ini telah diperluas yang

melibatkan aspek-aspek lingkungan dan keadilan sosial yang pada dasarnya masih

bersifat materialistis. Yang dipersoalkan masih terbatas pada persoalan materi

yang mau dihasilkan dan yang mau dibagi. Hal ini disebabkan karena teori

pembangunan masih sangat didominasi oleh para ahli ekonomi. Kalau kita

renungkan, pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok. Pertama masalah

materi yang mau dihasilkan dan dibagi. Kedua masalah manusia yang menjadi

pengambil inisatif, yang menjadi manusia pembangunan. Bagaimanapun juga,

pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia,

manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif. Untuk bisa kreatif manusia

tersebut harus merasa bahagia, merasa aman dan bebas dari rasa takut. Hanya

manusia seperti inilah yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan

memecahkan masalah yang dijumpainya. Pembangunan pada akhirnya merupakan

masalah yang harus didekati secara interdisipliner melalui berbagai disiplin ilmu

(Arief, 1996:13-15). Menurut Soerjono Soekanto, pembangunan merupakan :

“Suatu proses perubahan disegala bidang kehidupan yang dilakukan secara sengaja berdasarkan suatu rencana tertentu. Proses pembangunan terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik

70

secara spritual maupun secara material, yang mencakup seperangkat cita-cita meliputi hal-hal sebagai berikut :1. Pembangunan harus bersifat rasionalistis, haluan yang diambil harus

didasarkan pada fakta, sehingga nantinya merupakan suatu kerangka yang singkron.

2. Adanya rencana pembangunan dan proses pembangunan artinya, adanya keinginan untuk selalu membangun pada ukuran dan haluan yang terkoordinasi secara rasional dalam satu sistem.

3. Peningkatan produktifitas.4. Peningkatan standar kehidupan.5. Kedudukan, peranan, dan kesempatan yang sederajat yang sama

dibidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum.6. Pengembangan lembaga-lembaga sosial dan sikap-sikap dalam

masyarakat mencakup; efisiensi, kerajinan/ketekunan, keteraturan, ketetapan, kesederhanaan dan kecermatan, ketelitian dan kejujuran, bersifat rasional dalam mengambil keputusan, siap menghadapi perubahan, giat dan menggunakan kesempatan yang benar, integritas dan dapat berdiri sendiri, bersikap kooperatif”.

(Soekanto, 2000:454)

Diatas telah dijelaskan secara singkat tujuan yang ingin dicapai oleh

pembangunan. Disamping itu juga telah uraikan cita-cita yang terkandung dalam

pembangunan itu. Pembangunan untuk mencapai tujuan tertentu itu, dapat

dilakukan melalui cara-cara tertentu.

Pada dasarnya cara melakukan pembangunan adalah sebagai berikut :1 Struktural, mencakup perencanaan, pembentukan dan evaluasi

terhadap lembaga-lembaga sosial, produsernya serta pembangunan secara materil.

2 Spiritual, yang mencakup watak dan pendidikan dalam penggunaan cara-cara berfikir secara ilmiah.

(Soekanto, 2000:455)

Cara-cara tersebut diatas dapat ditempuh, oleh karena secara analitis

masyarakat terdiri dari struktur sosial yang mencakup ekonomi, teknologi dan

sistem kedudukan serta peranan. Kecuali itu, juga terdapat sistem pemerintahan

yang mengatur distribusi kekuasaan dan wewenang, serta adanya kebudayaan

yang mencakup sistem nilai.

71

Konsep pembangunan tersebut merupakan upaya pembangunan

berwawasan manusia, dimana menurut The World Commision on Environment

and Development (WCED) dimaksudkan sebagai :

1. Koreksi terhadap pembangunan yang berwawasan lebih pada pertumbuhan

ekonomi dan kurang pada keadilan sosial.

2. Jawaban terhadap kepincangan SDM model negara berkembang dibandingkan

dengan model negara maju.

3. Pembangunan yang berorientasi tidak hanya pada kepentingan manusia saja,

malainkan juga pada hubungan dengan lingkungannya.

(Dalam Ndraha, 1999:20).

72