kebudayaan suku tengger
DESCRIPTION
Tugas ISBDTRANSCRIPT
MAKALAH
Kebudayaan Suku Tengger
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)
Disusun oleh:Saiful Hidayat B100136004Luthfi Adam B100136005
Jurusan Ekonomi ManajemenFakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Surakarta
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masyarakat suku tengger merupakan salah satu suku yang mendiami
lereng gunung Bromo. Gunung Bromo (2392m) adalah gunung yang
dianggap suci bagi masyarakat tengger karena merupakan lambang tempat
dewa Brahma, tempat wisata terkenal di Jawa Timur yang dapat ditempuh
lewat empat kabupaten, yaitu: Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang.
Puncak gunung Bromo yang luasnya 10 km merupakan perpaduan antara
lembah dan ngarai dengan panorama yang menakjubkan bisa menikmati
hamparan lautan pasir seluas 50km. Kawah gunung Bromo berada dibagian
utara berketinggian 2392 m diatas permukaan laut yang masih aktif dan setiap
saat mengeluarkan kepulan asap ke udara. Suhu rata-rata di gunung Bromo
antara 3-170C. Bagian selatan merupakan dtaran tinggi yang dipisahkan oleh
lembah dan ngarai, danau-danau kecil yang membentang di kaki gunung
Semeru yang dirimbuni hutan dan pepohonan sungguh merupakan pesona
alam yang mengagumkan.
Disamping pemandangan alam yang indah gunung Bromo juga memiliki
daya tarik yang luar biasa karena tradisi masyarakat tengger yang tetap
berpegang teguh pada adat istiadat dan budaya yang menjadi pedomannya.
Masyarakat tengger memiliki rasa persaudaraan dan solidaritas yang sangat
tinggi. Menurut narasumber di masyarakat tengger kriminalitas sangatlah
kecil semua itu disebabkan oleh rasa percaya pada tradisi, kualat, serta akibat
yang akan didapat dari Sang Hyang Widhi jika mereka melakukan suatu
kesalahan. Masyarakat suku tengger berjumlah sekitar 40 ribu (1985) tinggal
dilereng gunung semeru dan disekitar kaldera tengger.
B. RUMUSAN MALASAH
1. Bagaimana kebudayaan masyarakat suku tengger ?
2. Bagaimana adat-istiadat masyarakat suku tengger ?
3. Bagaimanakah pewarisan budaya masyarakat suku tengger kepada generasi
muda ?
C. TUJUAN MASALAH
1. Agar dapat mengetahui kebudayaan masyarakat suku tengger
2. Agar dapat mengetahui adat-istiadat masyarakat suku tengger
3. Agar dapat mengetahui pewarisan budaya masyarakat suku tengger kepada
generasi muda
BAB II
PEMBAHASAN
A. ADAT ISTIADAT
1. Konsep Tentang Manusia Menurut Falsafah Tengger
Sifat umum di dalam kehidupan sehari-hari orang tengger mempunyai
kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mereka adalah petani. Ladang
mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang berbukit-bukit. Alat
pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul, sabit dan
semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adlah jagung, kopi, kentang,
kubis, bawang prei, wortel dsb. Kebanyakan mereka bertempat tinggal jauh
dari ladangnya, sehingga harus membuat gubuk-gubuk sederhana di
ladangnya untuk berteduh sementara waktu siang hari. Mereka bekerja sangat
rajin dari pagi hingga petang hari di ladangnya. Pada umumnya masyarakat
tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan penjualan hasil ladang
ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah
tangga lainnya. Kehidupan masyarakat tengger sangat dekat dengan adat-
istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun temurun.
Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara adat. Dukun berperan
dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau
kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi
kesulitan ataupun berbagai masalah kehidupan.
Kehidupan masyarakat tengger penuh dengan kedamaian dan kondisi
masyarakat sangat aman. Segla masalah dapat diselesaikan dengan mudah
atas peranan orang berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan sistem
musyawarah.
Pelanggaran yang dilakukan cukup diselesaikan oleh petinggi (Kepala
Desa) dan biasanya mereka patuh. Apabila cara ini tak juga menolong
biasanya si pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak diajak bicara) oleh
seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan
pemerintah yang ada, seperti kewajiban membayar pajak, kerja bakti dan
sebagainya.
2. Bahasa Suku Tengger
Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Jawa yang masih berbau
Jawa Kuno. Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko, bahasa
sehari-hari terhadap sesamanya, dan krama untuk komunikasi terhadap yang
lebih tua atau orang yang dihormati. Pada masyarakat tengger tidak terdapat
adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka berkedudukan sama.
Contoh: Aku (Laki-laki) = Raeng, Aku (Wanita) = Isun, Kamu (untuk seusia)
= Sira, Kamu (untuk yang lebih tua) = Rika, Bapak/Ayah = Pak, Ibu = Mak,
Kakek = Wek, Kakak = Kang, Mbak = Yuk.
3. Asal-Usul Manusia Menurut Falsafah Tengger
Ajaran tentang asal-usul manusia adalah seperti terdapat pada mantra
purwa bhumi. Sedangkan tugas manusia di dunia ini dapat dipelajari melalui
cara masyarakat tengger memberi makna kepada aksara Jawa yang mereka
kembangkan. Adapun makna yang dimaksud adalah seperti tersebut dibawah
ini
h, n, c, r, k : hingsun nitahake cipta, rasa karsa
d, t, s, w, l : dumadi tetesing sarira wadi laksana
p, dh, j, y, ny : panca dhawuh jagad yekti nyawiji
m, g, b, th, ng : marmane gantia binuka thukal ngakasa
Apabila diartikan secara harfiah kurang lebih sebagai berikut: Tuhan Yang
Maha Esa menciptakan cahaya, rasa dan kehendak pada manusia, (manusia)
dijadikan melalui badan gaib untuk melaksanakan lima perintah di dunia
dengan kesungguhan hati, agar saling terbuka tumbuh (berkembang) penuh
kebebasan (ngakasa menuju alam bebas angkasa).
Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan, yang dilahirkan dari tidak
ada menjadi ada atau dari alam gaib, untuk mengemban tugas di dunia ini
melaksanakan lima perintah Nya dengan menyatukan diri pada tugasnya, agar
didunia ini tumbuh keterbukaan dan perkembangan menuju kesempurnaan.
Masih ada lagi tafsiran tentang Aksara Jawa yang dikaitkan dengan cerita
tentang Aji Saka, yaitu bahwa ada utusan, yang keduanya saling bertengkar
(berebut kebenaran). Keduanya sama kuatnya (sama-sama berjaya), yang
akhirnya keduanya mengalami nasib yang sama, yaitu menjadi mayat. Hal ini
mengandung makna bahwa baik-buruk, senang-susah, sehat-sakit, adalah ada
pada manusia dan tak dapat dihindari. Kesempurnaan hidup manusia apabila
dapat menyeimbangkan kedua hal itu.
4. Hubungan Badan dan Roh Menurut Falsafah Tengger
Masyarakat tengger beranggapan bahwa badan manusia itu hanya
merupakan pembungkus sukma (roh). Sukma adalah badan halus yang
bersifat abadi. Jika orang meninggal, badannya pulang ke pertiwi (bumi),
sedangkan sukmanya terbebas dari mengalami suatu proses penyucian di
dalam neraka, dan selama itu mereka mengembara tidak mempunyai tempat
berhenti. Cahaya, api dan air dari arah timur akan melenyapkan semua
kejahatan yang dialami sukma sewaktu berada didalam badan.
Masyarakat tengger percaya bahwa neraka itu terdiri dari beberapa bagian.
Bagian terakhir ialah bagian timur yang disebut juga kawah candradimuka,
yang akan menyucikan sukma sehingga menjadi bersih dan suci srta masuk
surga. Hal ini terjadi pada hari ke 1000 sesudah kematian dan melalui upacar
Entas-entas.
5. Hubungan Antar-manusia Menurut Falsafah Tengger
Sesuai dengan ajaran yang hidup di masyarakat tengger seperti tekandung
dalam ajaran tentang sikap hidup dengan senantiasa panca setia, yaitu:
Setya budaya artinya, taat, tekun, mandiri; setya wacana artinya
setia pada ucapan
Setya semya artinya setia pada janji
Setya laksana artinya patuh, tuhu, taat
Setya mitra artinya setia kawan
Ajaran kesetiaan berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat tengger.
Hal ini tampak pada sifat taat, tekun bekerja, toleransi tinggi, gotong royong,
serta rasa tanggung jawab. Umpamanya menunjukkan bahwa pada umumnya
mereka bekerja di ladangnya dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore setiap hari
secara tekun. Sikap gotong royongnya terlihat pula pada waktu mendirikan
pendopo agung di Tosari, adalah sebagai hasil jerih payah rakyat membuat
jalan sepanjang 15 km dari Tosari menuju Bromo (tahun 1971-1976).
Demikian pula tanggungjawab mereka terhadap lingkungan sosial tercermin
pada kesadaran rakyat untuk ikut serta menjaga keamanan, serta merelakan
sebagian tanahnya apabila terkena pembangunan jalan.
Sifat lain yang positif adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap
perkembangan, yaitu kesediaan mereka untuk menerima orang asing atau
orang lain, meskipun mereka tetap pada sikap yang sesuai dengan identiasnya
sebagai orang tengger.
Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada sikap bahwa pria adalah
sebagai pengayom bagi wanita, yaitu ngayomi, ngayani, ngayemi, artinya
memberikan perlindungan, memberikan nafkah, serta menciptakan suasan
tentram dan damai.
6. Sikap dan Pandangan Hidup
Sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya,
yaitu waras (sehat, wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang),
wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu,
teknologi, berpengetahuan dan terampil). Mereka mengembangkan
pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu:
Prasaja Sikap dan pandangan hidup orang tengger tercermin pada
harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra berarti jujur, tidak
dibuat-buat apa adanya
Prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana
Pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau
pemerintah
Prasetya berarti setya
Prayitna berarti waspada
Atas dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat tengger
mengembangkan sikap kepribadian tertentu sesuai dengan kondisi dan
perkembangan yang ada. Antara lain mengembangkan sikap seperti kelima
pandangan hidup tersebut, disamping dikembangkan pula sikap lain sebagai
perwujudannya.
Mereka mengembangkan sikap rasa maulu dalam arti positif, yaitu rasa
malu apabila tidak ikut serta dalam kegiatan sosial. Begitu mendalamnya rasa
malu itu, sehingga pernah ada kasus (di Tosari) seorang warga masyarakat
yang bunuh diri hanya karena tidak ikuy serta dalam kegiatan gotong royong.
Sikap teloransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa mereka dapat
bergaul dengan orang beragama lain, ataupun kedatangan orang beragama
lain. Dalam keagamaan mereka tetap setia kepada agama yang telah dimiliki
namun toleransi tetap tinggi, sebab mereka lebih bororentasi pada bertujuan
satu, yaitu mencapai Tuhan, meskipun jalannya beraneka ragam. Sikap
toleransi itu tampak pula dalam hal perkawinan, yaitu sikap orang tua yang
memberikan kebebasan bagi para putra-putrinya untuk memilih calan istri
atau suaminya. Pada dasarnya perkawinan bersikap bebas. Mereka tetap dapat
menerima apabila anak-anaknya ada yang berumah tangga dengan wanita
atau pria yang berlainan agama sekalipun. Namun dalam hal melaksanakan
adat, pada umumnya para generasi muda masih tetap melakukannya sesuai
dengan adat kebiasaan orang tuanya.
Sikap hidup masyarakat tengger yang penting adalah tata tentrem (tidak
banyak resiko), aja jowal jawil (jangan suka mengganggu orang lain), kerja
keras dan tetap mempertahankan tanah milik secara turun temurun. Siakp
terhadap kerja adalah positif dengan titi lurinya, yaitu meneruskan sikap
nenek moyangnya sebagai penghormatan kepada leluhur.
Sikap terhadap hasil kerja bukanlah semata-mata hidup untuk
mengumpulkan hartademi kepentingan pribadi, akan tetapi untuk menolong
sesama. Dengan demikian, dalam masyarakat tengger tidak pernah terjadi
kelaparan. Untuk mencapai keberhasilan dalam hidup semata-mata
diutamakan pada hasil kerja sendiri, dan mereka menjauhkan diri dari sikap
nyadhang (menengadahkan telapak tangan ke atas).
Masyarakat tengger mengharapkan generasi mudanya mampu mandiri
sperti ksatria tengger. Orang tua tidak lagi ingin mempunyai anak yang
memalukan, dengan harapan agar anak mampu untuk mikul dhuwur
mendhem jero, yaitu memuliakan orang tuanya. Sikap mereka terhadap
perubahan cukup baik, terbukti mereka dapat menerima pengaruh model
pakaian, dan tehnologi, serta perubahan lain yang berkaitan dengan cara
mereka mengharapkan masa depan yang lebih baik dan berkeyakinan akan
datangnya kejayaan dan kesejahteraan masyarakatnya.
7. Siklus Hidup Menurut Falsafah Tengger
Ada 3 tahap penting siklus kehidupann menurut pandangan masyarakat
tengger, yakni:
1. Umur 0 samapai 21 (wanita atau 27 (pria), dengan lambang bramacari yaitu
masa yang tepat untuk pendidikan
2. Usia 21 (wanita) atau 27 (pria) samapai 60 tahun lambang griasta, masa yang
tepat untuk membangun rumah dan mandiri
3. 60 tahun ke atas, dengan lambang biksuka, membangun diri sebagai manusia
usia lanjut untuk lebih mementingkan masa akhir hidupnya
Pada masa griasta ada ungkapan yang berbunyi kalau masih mentah sama
adil, kalau sudah masak tidak ada harga, yang dimaksudkan adalah hendaklah
manusia itu pada waktu mudanya bersikap adil dan masa dewasa menyiapkan
dirinya untuk masa tuanya dan hari akhirnya.
8. Pertunangan dan Perkawinan
Pada umumnya msyarakat tengger mempunyai pendirian yang cukup
bermoral atas perkawinan. Poligami dan perceraibna boleh dikatakan tidak
pernah terjadi. Perkawinan dibawah umur juga jarang terjadi. Dalam
pertunangan ( pacangan), lamaran dilakukan oleh orangtua pria. Sebelumnya
didahului dengan pertemuan antara kedua calon, atas dasar rasa senang kedua
belah pihak. Apabila kedua belah pihak telah sepakat, maka orangtua pihak
wanita (sebagai calon) berkunjung ke orangtua pihak pria untuk menanyakan
persetujuannya atau notok. Selanjutnya apabila orangtua pria telah
menyetujui, diteruskan dengan kunjungan dari pihak orangtua pria untuk
menyampaikan ikatan (peningset) dan menentuka hari perkawinan yang
disetujui oleh kedua belah pihak. Sesudah itu barulah upacara perkawinan
dilakukan.
Sebelum upacara perkawinan biasanya telah dimintakan nasihat kepada
dukun mengenai kapan sebaiknya hari perkawinan itu dilaksanakan. Dukun
akan memberika saran (menetapkan) hari yang baik dan tepat, papan tempat
pelaksanaan perkawinan, dan sebagainya. Setelah hai untuk upacara
perkawinan ditentukan, maka diawali selamatan kecil (dengan sajian bubur
merah dan bubur putih). Sebagai kelengkapan upacara perkawinan, maka
pasangan pengantin diarak (upacara ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis
dan empat jejaka dengan diiringi gamelan. Pada upacara perkawinan
pengantin wnita memberikan hadian bokor tembaga berisi sirih lengkap
dengan tembakau, rokok dan lain, sedangkan pengantin pria memberikan
hadiah berupa sebuah keranjang berisi buah-buahan, beras dan mas kawin.
Pada upacara asrah pengantin, masing-masing pihak diawali oleh seorang
utusan. Para wakil mengadakan pembicaraan mengenai kewajiban dalam
perkawinan dengan disaksikan oleh dukun. Pada upacara pernikahan dibuat
petra (petara: boneka sebagai tempat roh nenek moyang) supaya roh nenek
moyangnya bisa hadir menyaksikan. Biasanya setelah melakukan perkawinan
kemanten pria harus tinggal dirumah (mengikuti) kemanten wanita.
9. Hak Waris
Pada dasarnya masyarakat tengger mempertahankan hak waris tanah untuk
anak keturunan meraka saja. Apabila ada keluarga yang terpaksa menjual hak
tanah, diusahakan untuk dibeli oleh keluarga yang terdekat. Pewarisan kepada
anak-turunnya ditentukan oleh kerelaan pihak orang tua, bukan atas dasar
aturan ketat yang dibakukan.
10. Tata Rumah
Rumah penduduk tengger dibangun di atas tanah, yang sedapat mungkin
dipilih pada daerah datar, dekat air, atau kalau terpaksa dipilih tanah yang
dapat dibuat teras, dan jauh dari gangguan angin. Rumah-rumah letaknya
berdekatan atau menggerombol pada suatu tempat yang dapat dimau=suki
dari berbagai jurusan yang dihubungkan dengan jalan sempit atau agak lebar
antara satu desa dengan desa lain. Desa induk yang biasa disebut jorajan
biasanya terletak di tengah dengan jaringan jalan-jalan yang menghubungkan
dengan desa lain. Pembangunan sebuah rumah selalu diawali dengan
selamatan, demikian pula apabila bangunan telah selesai diadakan selamatan
lagi. Pada setiap banguna yang sedang dikerjakan salalu terdapat sesajen,
yang digantungkan pada tiang-tiang, berupa makan, ketupat, lepet, pisang raja
dan lain-lain. Bangunan rumah orang tengger biasanya luas sebab pada
umumnya dihuni oleh beberapa keluarga bersama-sama. Ada kebiasaan
bahwa pria yang baru saja kawin akan tinggal bersama mertuanya. Tiang dan
dinding rumahnya terbuat dari kayu dan atapnya terbuat dari bambu yang
dibelah. Setelah bahan itu sulit diperoleh, dewasa ini masyarakat telah
mengubah kebiasaan itu dengan menggunakan atap dari seng, papan atau
genteng.
Alat rumah tangga tradisional yang hingga sekarang pada umumnya masih
tetap ada adalah balai-balai, semacam dipan yang ditaruh didepan rumah. Di
dalam rungan rumah itu disediakan pula tungku perapian (pra pen) yang
terbuat dari batu atau semen. Perapian ini kurang lebih panjangnya ¼ dari
panjang rungan yang ada. Di dekat perapian terdapat tempat duduk pendek
terbuat dari kayu (dingklik bahasa jawa) yang meliputi kurang lebih separuh
dari seluruh rungan. Apabila seorang tamu diterima dan dipersilahkan duduk
ditempat ini menunujukkan bahwa tamu tersebut diterima dengan hormat.
Selain digunakan untuk penghangat tubuh bagi penghuni rumah, perapian
juga dimanfaatkan untuk mengeringka jagung, atau bahan makan lainnya
yang memerlukan pengawetan dan ditaruh di atas paga. Dekat tempat
peraipan itu terdapat pula alat-alat dapur, lesung dan tangga. Halaman rumah
mereka pada umumnya sempit (kecil) dan tidak ditanami pohon-pohonan. Di
halaman itu pula terdapat sigiran, tempat utnuk menggantung jagung yang
belum dikupas. Selain itu, sigiran dimanfaatkan untuk menyimpan jagung,
sehingga juga berfungsi sebagai lumbung untuk menyimpan sampai panen
mendatang.
B. KEBUDAYAAN MASYARAKAT TENGGER
1. Agama Masyarakat Suku Tengger
Agama masyarakat suku tengger adalah agama hindu yang masih mewarisi
tradisi hindu sejak zaman kejayaan majapahit. Namun saat ini juga beberapa
dari masyarakat tersebut telah menganut agaa lain yaitu : Islam, Kristen,
Protestan, Katholik serta Budha. Walaupun orang Tengger beragama Hindu,
mereka tidak dapat dianggap sebagai kelompok etnis berbeda dari orang jawa
lain. Mereka adalah orang Hindu tetapi tidak melakukan pembakaran mayat
seperti orang Hindu di Bali. Namun demikian, selama sejarah manusia
Tengger daerahnya dikurangi oleh orang pendatang yang beragama Islam dari
daerah lain di Jawa. Sampai tengah abad 19 kebanyakan desa-desa Tengger
lebih rendah dari 1400m dikuasai oleh pendatang yang beragama Islam.
Upacara yang terkenal adalah upacara kasada yang terkenal hingga manca
negara dan selalu ramai dihadiri banyak turis luar negeri maupun lokal.
2. Upacara Keagamaan Masyarakat Suku Tengger
a. Pujan Karo (Bulan Karo)
Hari raya terbesar masyarakat tengger adalah upacara karo atau hari raya
karo diawali tanggal 15 kalender saka Tengger. Masyarakat menyambutnya
dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru, kadang pula
membeli pakaian hingga 2-5 pasang, perabotan pun juga baru. Makanan dan
meinuman pun melimpah pada adat ini kepada semua sanak saudara, tetangga
semua masyarakat Tengger. Uniknya setiap kali berkunjung harus
menikmatihidangan yang diberikan oleh tuan rumah. Tujuan penyelenggaraan
uapacara karo adalah : mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi
Wasa dan menghormati leluhurnya, memperingati asal-usul manusia, untuk
kembali pada kesucian, dan untuk memusnahkan angkara murka.
b. Pujan Kapat (Bulan Keempat)
Upacara kapal jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka
disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta
selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin yang dilakukan
bersama-sama disetiap desa (rumah kepala desa) yang dihadiri para pini
sepuh desa, dukun dan mayarakat desa.
c. Pujan Kapitu (Bulan Ketujuh)
Pujan kapitu (bulan tujuh), semua pini sepuh desa dan kaharusan pandita
dukun melakukan tapa brata dalam arti diawali dengan peti geni (nyepi) satu
hari satu malam, tidak makan dan tidak tidur. Selanjutnya diisi dengan puasa
mutih (tidak boleh makan makanan yang enak), biasanya hanya makan nasi
jagung dan daun-daunan selama satu bulan penuh. Setelah selesai ditutup satu
hari dengan pati geni. Pada bulan kapitu ini masyarakat suku tengger tidak
diperbolehkan mempunyai hajat.
d. Pujan Kawulo
Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wulo) tanggal 1 tahun saka. Pujan
kawulo sebagai penutipan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala
desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan
dan bintang. Pujan kawulo dilakukan bersama dirumah kepala desa.
e. Pujan Kesanga
Upacara ini jatuh pada bulan kesembilan (sanga) tanggal 24 setelah
purnama tahun saka. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyika
kentongan dan membawa obor. Upacara diawali oleh para wanita yang
mengantarkan sesaji ke kapal desa, untuk dimantrai oleh pendeta, selanjutnya
pendeta dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi
desa. Tujuan mengadakan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang
Widhi Wasa untuk keselamatan masyarakat tengger. Masyarakat bersama
anak-anak keliling desa membawa alat kesenian dan obor.
f. Kasada (Bulan Dua Belas)
Upacara kasada dilaksanakan tanggal 14 dan 15 dilakukan di ponten pure
luhur, semua masyarakat tengger berkumpul menjelang pagi. Tidak hanya
masyarakat tengger yang beragama hindu saja, tetapi semua masyarakat
tengger yang beragaman lainnya pula. Setelah upacara, melabuhkan sesaji
berupa hasil bumi yang sudah dimantrai dukun ke kawah bromo. Tidak hanya
upacara saja tetapi juga bermusyawarah dan bersilaturahmi dengan dukun dan
masyarakat Tengger. Upacara dilaksanakan pada saat purnama bulan kasada
(ke dua belas) tahun saka, upacara ini juga disebut dengan hari Raya Kurba.
Biasanya lima hari sebelum upacara Kasada, diadakan berbagai tontonan
seperti : tari-tarian, balapan kuda dilautan pasir, jalan santai, pameran. Sekitar
pukul 05.00 pendeta dari masing-masing desa, serta masyarakat tengger
mendaki gunung Bromo untuk melempar kurban (sesaji) ke kawah gunung
Bromo. Setelah pendeta melempar ongkeknya (tempat sesaji) baru diikuti
oleh masyarakat lainnya.
g. Upacara Unan-Unan
Upacara ini diadakan hanya tiap lima tahun sekali. Unan-unan adalah
tahun panjang (seperti tahun kabisat) melakukan upacara ngruwat jagat,
mensucikan hal-hal yang tidak baik dengan mengorbankan kerbau. Unan
yaitu mengarungi bulan. Tujuan unan-unan yaitu untuk mengadkan
penghormatan terhadap roh leluhur. Dalam acara ini selalu diadakan acara
penyembelihan binatang ternak yaitu kerbau. Kepala kerbau dan kulitnya
diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak kesanggar
pemujaan.
h. Upacara Yang Dilakukan Secara Individu
1. Upacara tujuh bulanan (sayut) dipimpin oleh pandita dukun
2. Upacara indungi anak, anak yang menginjak masa remaja
3. Upacara tugel gombak (laki-laki) dan tugel kuncung (perempuan),
memotong sedikit rambut sekitar pusar anak-anak yang menginjak usia 5
tahun.
4. Upacara ngruwat, jika ada saudara 2 laki-laki atau salah satu anak laki-laki
dan perempuan atau anak tunggal.
5. Upacara kawiahan (kawin), upacara ini sama halnya dengan ijab kabul
6. Upacra wala gara (temu manten)
7. Upacara mendirikan rumah
8. Upacara kematian, minimal 4 hari setelah meninggal dilakukan upacara
untas-untas (roh meninggal diharapkan kembali pada pemiliknya)
i. Upacara Entas-Entas
Yakni upacara kematian yang terakhir kali. Upacara entas-entas oleh
masyarakat tengger seperti halnya upacara pembakaran mayat (Ngaben di
Bali). Bedanya, dimasyarakat tengger yang dibakar adlah boneka dari yang
meninggal dunia.
3. Tempat Keagamaan Masyarakat Suku Tengger
Pemeluk agama hindu suku Tengger tidak sama dengan pemeluk agama
hindu pada umumnya, mereka memiliki candi-candi tempat peribadatan,
namun bila melakukan peribadatan bertempat di punden, danyang dan poten.
Poten merupakan sebidang lahan dilautan pasir sebagai tempat pemujaan bagi
masyarakat tengger yang beragama hindu, poten terdiri dari beberapa
bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi dipekarangan yang
dibagi tiga mandalan/ zone yaitu:
a. Mandala Utama
Disebut juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan
yang terdiri dari:
Padma berfungsi sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa.
Bentuknya serupa candi yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan.
Bedawang nala melukiskan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit
oleh seekor atau dua ekor naga, garuda dan angsa posisi terbang dibelakang
badan padma yang masing-masing menurut mitologi melukiskan keagungan
bentuk dan fingsi padmasana.
Bangunan sekepat (tiang empat) fungsinya untuk penyajian sarana upacara
atau aktifitas serangkaian upacara. Bale pawedan serta tempat dukun sewktu
melakukan pemujaan.
Kori Agung Candi Bentar, bentuknya mirip denga tugu kepalanya memakai
gelang mahkota segi empat yang bertingkat-tingkat mengecil ke atas.
b. Mandala Madya
Disebut juga jaba tengah, tempat persiapan dan pengiringan upacara terdiri
dari:
Kori Agung Candi Bentar, bentuknya serupa dengan tugu, kepalanya
memakai gelang empat bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan
bujur sangkar.
Bale kentongan letaknya disudut depan pekarangan pura, bentuknya susunan
tepas, batur, sari dan atap penutup ruangan kentongan. Fungsinya untuk
tempat kentongan yang dibunyikan di awal, akhir dan saat tertentu rangkaian
upacara.
Bale Bengong, disebut juga pawerangan suci letaknya diantara jaba tengah,
mandala nista. Bentuk bangunannya empat persegi. Fungsinya untuk
mempersiapkan keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura
yang umumnya jauh dari desa tempat pemukiman.
c. Mandala Nista
Disebut pula jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar kedalam pura yang
terdiri dari bangunan candi. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok penyeker
batas pekarangan pintu masuk didepan dan pintu masuk ke jeroan utama
memakai kori Agung. Tembok penyeker candi dan kori agung ada berbagai
bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya.
Bangunan pura pada umumnya menghadap ke barat, memasuki pura
menghadap ke arah timur (ke arah terbitnya matahari). Komposisi masa-masa
banguna pura berjajar antara selatan menghadap ke barat dan sebagaian disisi
utara menghadap selatan.
d. Prosesi Upacara Kasada
Upacara ini dilaksanakan setahun sekali oelh masyarakat hindu tengger
yang mendiami 41 desa pada 4 kecamatan di Probolinggo, Lumajang, Malang
dan Pasuruan. Upacara kasada diadakan mulai tengah malam hingga dini hari,
dan persiapannya dilaksanakan sejak 24.00 WIB bergerak mulai di depan
rumah dukun (pendeta), sampai ke pantai pasir di pura Agung Puten kira-kira
pukul 04.00 WIB. Menjelang matahari terbit yang disebut dengan Surya
Serwana. Pada pukul 05.00 WIB upacara kasada dilaksanakan dengan
terlebih dahulu dilakukan ritual di Pura Puten yang dilanjutkan turun menuju
kawah gunung Bromo yang berjarak 2 km untuk melakukan ritual sesaji yang
terdiri dari dua unsur penting, yaitu kepala bungkah dan kepala gantung.
Kepala bungkah itu artinya buah-buahan yang berasal dari tanah seperti
kentang dan ketela, serta kepala gantung yaitu buah-buahan yang
bergantung. Ritual sesaji ini merupakan sesembahan sebagai ciri utama
kehidupan dari masyarakat tengger, kecuali ada secara spesifik yang memiliki
permohonan khusus, biasanya korbannya yaitu ayam atau kambing. Pada
pengambilan sesajen para pengambil sesajen memakai gala dari kain goni,
banayak tamu yang melemparkan sesajen ke kawah gunung Bromo. Namun
adapula yang mengambil uang kedalam kawah tersebut. Pada upacara kasada
para petani juga melemparkan hasil pertaniaannya ke dalam kawah. Orang
yang mengambil lemparan tidak boleh hanya mengambil satu kali, tetapi
harus tujuh kali berturut-turut. Apabila melanggar maka orang tersebut
mendapat musibah, seperti sakit. Cara penyembuhannya adalah dengan cara
meminta maaf dan juga membuat acara ruwatan.
e. Dukun Masyarakat Suku Tengger
Dukun Tengger berbeda dengan dukun jawa yang lain, mereka
mempunyai tujuan menjaga kebudayaan dan melakukan upacra-upacara
tradisional, dalam setiap desa Tengger ada dukun diatas mereka ada satu
dukun yang mengurus smua acara keagamaan, bernama “Lurah Dukun”.
Walaupun agama masyarakat Tengger masih kuat, saat ini dalam desa-desa
Tengger juga ada penduduk beragama Islam dan Kristen. Lurah Dukun
dirumahnya melakukan semeninga. Semeninga adalah persiapan untuk
upacara-upacara bertujuan untuk memberitahu para dewa-dewa bahwa sesaji
akan dimulai. Kemudian satu hari setelah itu baru sebelum para dukun turun
sampai laut pasir mereka melakukan semeninga lagi. Kemudian para dukun
berjalan sampai potenyang yang terletak di kaki Gunung Bromo. Sementara
massa berkumpul di laut pasir sekitar Poten itu siap untuk memulai
upacaranya. Pada tengah malam upacara kasada dimulai dengan lurah dukun
menceritakan tentang Legenda Kasada dan berdoa kepada dewa Gunung
Bromo dan dewa Kusuma. Dan apabila ada dukun baru dia akan diresmikan
oleh dukun lainnya pada saat itu. Pemilihan dukun baru dengan cara
demokrasi, dukun yang baru tersebut merupakan dukun yang dipilih yang
sudah banyak hafal mantra keagamaan.
f. Legenda Kasada.
Gunung Bromo tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan
masyarakat suku Tengger. Legenda kasada adlah cikal bakal rakyat Tengger
dan menggambarkan hubungan manusia dan makhluk halus gunung Bromo.
Dalam legenda kasada, mkhluk halus gunung Bromo tidak memiliki nama
sendiri tetapi dipanggil dengan nama Sang Hyang Widhi. Cikal bakal
Tengger dalam ceritanya digambarkan sebagai asal-usulnya dari kerajaan
majapahit dari sebelum keturunan Hindhi-Budha di Jawa. Tujuan legenda
kasada adalah bahwa suatu nenek moyang Tengger bernama Dewa Kusuma
anak dari Joko Seger dan Rara Anteng, mengorbankan jiwanya untuk
keluarganya dan orang Tengger. Akibatnya adalah perjanjian diantara roh
leluhur Dewa Kusuma dan orang Tengger untuk memberi sesajian setiap
tanggal 14 bulan kasada dalam katanggalan Tengger. Upacara sesajian itu
bernama Upacara Kasada dan diikuti oleh orang Tengger satu tahun sekali
sampai sekarang. Dalam permulaannya legenda kasada ada tiga peran pokok.
Yang pertama bernama Kyai Dadap Putih, seorang dukun dari kerajaan
Majapahit. Dia datang ke daerah Tengger bertujuan untuk bersemedi. Peran
yang kedua adalah seorang perempuan muda bernama Rara Anteng, ia pula
datang dari kerajaan Majapahit. Dia datang ke daerah Tengger untuk mencari
ayahnya yang hilang dan sambil semedi di gunungnya. Peran ketuga adalah
Joko Seger orang dari desa di daerah gunungnya. Dia pula mencari orang,
pamannya yang hilang sambil semedi di gunungnya. Kyai Dadap Putih
bertemu dengan Rara Anteng dan mengangkat dia sebagai anaknya. Saat Rara
Anteng bersemedi dia bertemu dengan Joko Seger.
4. Pusaka Yang Dimiliki Oleh Suku Tengger
Jimat Klonthongan / Jodang Wasiat
Jimat klonthongan / jodang wasiat jumlahnya ada dua, yang pertama
disimpan oleh masyarakat suku Tengger Brang Wetan tepatnya di desa
Ngadisari kecamatan Sukapura kabupaten Probolinggo, bentuknya berupa
kotak terbuat dari kayu. Sidang jimat klonthong / jodang wasiat yang kedua
disimpan di wilayah Brang Kulon yaitu di desa Tosari kecamatan Tosari
kabupaten Pasuruan dan bentuknya berbeda dengan yang ada di wilayah
brang wetan yaitu berbentu bumbung terbuat dari kayu.
Kedua jimat klonthong / jodang wasiat tersebut merupakan benda warisan
nenek moyang (Joko Seger dan Roro Anteng) berisi gayung, sarak, sodar,
tumbu, cepel, ontokusuma sejenis pakaian nenek moyang, dan sejumlah uang
satak (uang logam kuno). Termasuk mantra-mantra, yaitu mantra Purwobumi
dan mantra Mandala Giri.
Di Tengger masih terdapat lontar (keropak) sebanyak 21 ikat, berisi tulisan
Jawa lama, yang orang Tengger sendiri tidak bisa membacanya. Pusakan
TRISULA, yaitu berbentuk tombak yang mempunya ujung mata tiga.
5. Peralatan Upacara
Baju adat Tengger Hitam, sehelai kain baju tanpa jahitan, udeng dan kain
selempang berwarna kuning. Hal ini sesuai dengan yang diperoleh sebagai
warisan dari nenk moyang suku Tengger. Prasen, berasal dari kata rasi atau
praci (sansekerta) yang berarti zodiak. Prasen ini berupa mangkuk bergambar
binatang dan zodiak. Beberapa prasen yang dimiliki oleh dukun berangka
Saka: 1249, 1251, 1253, 1261, dan pada dua prasen lainnya terdapat tanda
tahun Saka 1275. Tanda tahun ini menunjukkan masa berkuasanya
pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi di Majapahit. Tali sampet, terbuat
dari kain batik, atau kain berwarna kuning yang dipakai oleh dukun Tengger.
Genta, keropak dan prapen, sebagai pelengkap upacara.
C. LAIN-LAIN
Masyarakat suku Tengger tidak mengenal nama marga (keluarga) karena
di dalam suku Tengger tidak mengenal kasta, namun biasanya cara
memanggil nama orang yang sudah berkeluarga dan mempunyai keturunan,
mereka memanggil nama yang bersangkutan dengan nama anak pertamanya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jadi dari paparan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pewaris budaya
Etnografi masyarakat Suku Tengger di Gunung Bromo adalah proses
pewarisan watak khas atau etos, akal serta pikiran suku Tengger yang
mendiami suatu daerah terhadap generasi penerusnya yang sudah terkait
dengan hal yang sering kali dilakukan sehingga menjadi suatu kebiasaan atau
tradisi yang tidak terpisahkan. Masyarakat suku Tengger yang mendiami
daerah di Gunung Bromo disekitar empat kabupaten di Jawa Timur, yaitu:
Probolinggo, Malang, Lumajang dan Pasuruan.
B. SARAN
Berdasarkan uraian yang telah kami sampaikan, kami berharap agar kita
semua dapat mengambil pelajaran yang berharga dari setiap limpah ruah
kebudayaan yang ada di Indonesia ini. Seperti yang ada dalam kebudayaan
masyarakat Tengger yang tetap mempertahankan idealisme mereka dalam
kemajuan era modernisasi ini.
DAFTAR PUSAKA
1. http:// jurnalistik-fakta. Blogspot.com/2012/12/kebuyaan-tengger.html
2. Amin, Darori. 2000. Islam Dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gema Media
3. Hefner, Robert. 1985. Masyarakat Tengger Dalam Sejarah Nasional
Indonesia. Baston: Universitas Baston
4. http://id.wikipedia.org/wiki/Suku-Tengger
5. http://bladeeevolution.blogspot.com/2011/12/mengenal-lebih-dalam-suku-
tengger.html