kecap ikan_liem pamela lukito_13.70.0014_e3_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Kecap ikan adalah produk hidrolisa jaringan ikan yang salah satu cara pembuatannya adalah dengan fermentasi enzim. Enzim papain dapat merombak jaringan ikan dan dapat mempersingkat waktu pembentukan kecap ikan.TRANSCRIPT
Acara III
KECAP IKAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama: Liem Pamela Lukito
NIM: 13.70.0014
Kelompok: E3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI METODE
1.1. ALAT DAN BAHAN
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah adalah pisau, kain saring, blender,
toples, panci, kompor, kain saring, pengaduk, dan timbangan analitik.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan bawal, enzim
papain komersial, garam, gula kelapa dan bawang putih.
1.2. METODE
1
Tulang dan kepala ikan bawal
dihancurkan dan disiapkan 50 gram.
Dimasukkan ke dalam toples.
Ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%,
0,4%, 0,6%, 0,8% dan 1%.
Toples ditutup rapat dan dilakban.
2
Diinkubasi (fermentasi) pada suhu
ruang selama 4 hari.
Hasil fermentasi disaring
Filtrat direbus 30 menit, setelah mendidih ditambah
bumbu-bumbu yang sudah dihaluskan (50 gram
bawang putih, 50 gram garam, 1 butir gula kelapa).
Setelah direbus 30 menit dan agak dingin,
dilakukan penyaringan kedua.
Dilakukan pengamatan sensoris meliputi warna, rasa,
penampakan dan aroma, serta pengamatan salinitas
menggunakan refraktometer.
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kecap ikan dengan penambahan enzim papain dapat dilihat di Tabel
1.
Tabel 1. Karakteristik Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain
Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)E1 Enzim papain 0,2% +++ ++++ ++++ ++ 5,0E2 Enzim papain 0,4% ++++ +++++ +++ +++ 9,0E3 Enzim papain 0,6% +++ +++++ ++++ ++ 5,5E4 Enzim papain 0,8% ++++ ++++ +++ ++ 5,5E5 Enzim papain 1% +++ +++++ +++ ++ 6,0
Keterangan:Warna : Aroma : + : tidak coklat gelap + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang tajam+++ : agak coklat gelap +++ : agak tajam++++ : coklat gelap ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat tajamRasa : Penampakan :+ : sangat tidak asin + : sangat cair++ : kurang asin ++ : cair+++ : agak asin +++ : agak kental++++ : asin ++++ : kental+++++ : sangat asin +++++ : sangat kental
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kecap ikan dengan berbagai perlakuan
konsentrasi enzim papain menghasilkan warna yang berkisar dari agak coklat gelap
hingga coklat gelap. Selain itu dilakukan peninjauan tehadap karakteristik rasa yang
terbentuk, yaitu mayoritas kecap ikan yang dihasilkan berasa asin hingga sangat asin.
Kecap ikan yang terbentuk dari penambahan enzim papain ini juga memiliki aroma
tajam dengan penampakan yang cenderung cair. Kemudian dilakukan juga pengukuran
salinitas dimana salinitas tertinggi ada pada perlakuan 0,4% enzim papain.
3
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan kecap ikan secara enzimatis dengan
menggunakan variasi konsentrasi enzim papain. Kemudian dari kecap ikan yang
dihasilkan diamati karakteristiknya. Ikan adalah produk pangan yang merupakan
sumber protein hewani yang sangat bermanfaat bagi manusia. Namun sering dijumpai
bahwa ikan mudah rusak akibat autolisis, biokimia, maupun mikrobiologi. Hal ini
disebabkan karena ikan memiliki kandungan air yang cukup tinggi dengan pH
mendekati netral yang mana kondisi tersebut sangat disukai oleh mikroorganisme.
Edible portion dari ikan berkisar pada angka 70% dimana bagian kepala, ekor, sirip dan
isi perut seringkali dibuang (Irawan,1995). Oleh karena itu pada praktikum kali ini
dilakukan cara untuk memanfaatkan bagian-bagian ikan tersebut, yaitu dengan
pembuatan kecap ikan yang berasal dari limbah kulit, sirip dan tulang ikan bawal yang
digunakan pada proses pembuatan surimi.
Menurut Elmer et al. (2005) kecap ikan adalah produk yang dihasilkan dari proses
hidrolisis ikan melalui 3 cara, yaitu secara enzimatis, fermentatif atau kimiawi. Giri, A.
et al. (2012) menyatakan bahwa proses fermentasi yang semakin lama akan
menghasilkan produk kecap ikan yang memiliki kemampuan untuk menangkal hampir
80% radikal bebas. Kemampuannya dibuktikan dari perannya dalam menghambat
oksidasi asam lemak linoleat, dimana kemampuannya ini lebih baik dan tidak toksik
daripada penggunaan antioksidan sintetis. Beberapa asam amino yang berpotensi
sebagai antioksidan adalah lisin, histidin, glisin, dan valin. Histidin merupakan asam
amino yang memiliki aktivitas antioksidan paling kuat dikarenakan adanya dekomposisi
dari cincin imidazole.
Selama proses inkubasi atau fermentasi terjadi perombakan protein menjadi komponen
yang lebih sederhana lagi, seperti peptida dan asam amino. Kualitas kecap ikan
ditentukan oleh jumlah garam dan lama fermentasi yang dilakukan. Kecap ikan atau
yang sering dijumpai adalah kecap asin ini memiliki karakteristik berwarna coklat jernih
dan berbentuk cair. Astawan & Astawan (1991) menyatakan bahwa kecap asin ini
berasal dari sumber hewani, seperti ikan, udang dan daging. Hal ini berbeda dari kecap
4
5
manis yang menggunakan kedelai yang difermentasikan sehingga cairan yang
dihasilkan akan jauh lebih kental. Ibrahim (2010) menambahkan bahwa kecap ikan
dapat digunakan sebagai penyedap rasa pada makanan. Kandungan dari kecap ikan
adalah asam amino dan protein. Dougan & Howard (1975) berpendapat bahwa kecap
ikan memiliki aroma yang khas dan tidak tergantikan, sebagai akibat dari kehadiran
asam amino glutamat. Namun menurut Fidler et al. (2004) kecap ikan mengandung
NaFeEDTA yang sifatnya tidak tahan cahaya matahari langsung sehingga kemasan
yang digunakan perlu diperhatikan.
Pembuatan kecap ikan ini diawali dengan menyisihkan bagian tulang, sirip dan kulit
dari ikan bawal yang digunakan sebagai bahan dasar. Kemudian bagian-bagian tersebut
dihancurkan dan diambil sebanyak 50 gram. Menurut Afrianto & Liviawaty (1989)
sebaiknya ikan yang digunakan masih segar. Ketika kesegaran ikan menurun maka
kualitas kecap ikan yang dihasilkan akan menurun juga. Penghancuran bahan dilakukan
dengan tujuan untuk mengoptimalkan proses yang terjadi sebagai akibat dari
peningkatan luas permukaan atau kontak (Arpah, 1993). Kemudian dimasukkan ke
dalam toples dan diberikan tambahan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%;
0,6%; 0,8% dan 1%. Menurut Lay (1994) enzim papain berasa dari getah buah pepaya
segar yang merupakan enzim proteolitik. Himonides et al. (2011) menyatakan bahwa
enzim papain sangat tepat untuk digunakan sebagai penghidrolisa daging atau jaringan
ikan dan dapat diaplikasikan untuk skala produksi karena konsumsi energi rendah.
Enzim proteolitik ini, dilanjutkan oleh Ng et al. (2011) dapat menghidrolisis protein
dengan memecah ikatan peptida pada protein. Winarno (1995) menambahkan bahwa
enzim papain dari buah nanas dan pepaya merupakan golongan endopeptidase yang
proses pemecahannya berlangsung dari dalam. Selain itu digunakannya enzim papain
atau proteolitik ini menurut Lay (1994) dikarenakan untuk mempersingkat waktu
pembuatan kecap ikan. Adanya perombakan protein menjadi bentuk sederhananya
mengakibatkan daya cerna di dalam tubuh meningkat. Afrianto & Liviawaty (1989)
menambahkan bahwa pembuatan kecap ikan secara fermentasi enzimatis ditentukan
oleh rasio enzim yang ditambahkan dengan bahan, yang pada umumnya perbandingan
bahan dengan enzim adalah 1:5.
6
Setelah itu dilakukan inkubasi selama 4 hari pada suhu ruang. Inkubasi tidak dilakukan
dalam waktu yang lama karena menurut Afrianto & Liviawaty (1989) adanya enzim
protease dapat mempersingkat waktu fermenasi. Tungkawachara et al. (2001)
menyatakan bahwa selama proses inkubasi, enzim yang terlibat dalam pembuatan kecap
ikan akan menghidrolisis protein ikan. Giri A. et al. (2012) menambahkan bahwa pada
tahap awal fermentasi, mayoritas peptida dengan berat molekul tinggi akan terdegradasi
secara cepat. Moeljanto (1992) menambahkan bahwa selama inkubasi akan terbentuk
aroma, warna dan rasa yang khas dari kecap ikan sebagai hasil dari katabolisme dimana
terjadi perombakan komponen kompleks dari jaringan ikan menjadi lebih sederhana
akibat penambahan enzim protease. Selain itu proses inkubasi harus dilakukan dalam
keadaan tertutup rapat, karena ketika ada sedikit lubang yang terbuka maka akan ada
organisme yang tumbuh di dalamnya dan untuk menghambat masuknya oksigen. Dincer
et al. (2010) menambahkan, proses fermentasi enzimatis yang berlangsung selama
inkubasi dapat memperkuat flavor dari kecap ikan. Kemudian ditambahkan 300 ml air
dan diaduk. Setelah itu hasil disaring dengan kain saring. Penyaringan ini bertujuan
untuk mendapatkan cairan hasil fermentasi yang murni dan sudah dalam keadaan
teprisah dari padatannya (Moeljanto, 1992).
Selanjutnya cairan yang diperoleh dipanaskan hingga mendidih selama 15 menit.
Selama pemanasan atau perebusan dilakukan penambahan 50 gram garam, 50 gram
bawang putih dan 50 gram gula kelapa. Menurut Fachruddin (1997) perebusan cairan
tersebut dilakukan untuk mengurangi atau bahan mematikan mikroorganisme
kontaminan yang bisa jadi tumbuh selama proses fermentasi. Selain itu perebusan akan
meningkatkan rasa dari kecap ikan dan meningkatkan viskositas sebagai hasil dari air
yang teruapkan. Adanya penambahan bumbu seperti bawang putih, gula kelapa dan
garam bertujuan untuk memperkuat aroma dan rasa dari kecap ikan yang dihasilkan.
Bawang juga mengandung senyawa antimikroba berupa allicin yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Garam ditambahkan untuk meningkatkan rasa asin,
penguat rasa, menurunkan aw dan sebagai bahan pengawet alami. Garam mampu
mereduksi tingkat kelarutan oksigen sehingga mikroorganisme patogen dan pembusuk
yang bersifat aerob tidak dapat tumbuh (Intan et al., 2014). Selain itu garam mampu
menekan energi untuk kompensasi aliran proton dalam sel mikroba sehingga mikroba
7
akan mati. Menurut Murakami et al. (2009) garam yang berlebihan dapat menyebabkan
kecap ikan menjadi rusak pada pH di atas 5,5. Gula jawa ditambahkan untuk
memberikan sedikit rasa manis (mengurangi keasinan) dan aroma yang khas, serta dapat
berpengaruh pada kekentalan produk akhir kecap ikan. Gula jawa juga dapat
mengadakan reaksi dengan asam amino yang mengakibatkan terjadinya reaksi Maillard,
membentuk warna coklat (Desrosier & Desrosier, 1977). Penambahan bumbu ini perlu
dilakukan karena menurut Astawan & Astawan (1991) penambahan bumbu yang tepat
dapat meningkatkan kualias (aroma dan rasa) kecap ikan yang dihasilkan, di samping
jumlah garam dan lama fermentasi yang berlangsung. Sepanjang perebusan, dilakukan
pengadukan yang bertujuan untuk menghomogenkan bumbu dan kecap ikan.
Setelah mendidih, dilakukan penyaringan kedua. Penyaringan ini bertujuan untuk
memisahkan bumbu-bumbu yang masih tersisa dari kecap ikan, sehingga kecap ikan
yang dihasilkan bersifat cair, tanpa ada padatan. Menurut Buckle et al. (2007)
perubahan yang terjadi setelah kecap ikan difermentasi adalah perubahan warna dari
kuning muda menjadi kecoklatan. Hal ini disebabkan karena adanya reaksi browning
non enzimatis, di mana gula reduksi dan asam amino saling berinteraksi. Selain dari
warna, kecap ikan akan memiliki rasa asin, bukan rasa manis. Kemudian dilakukan
pengukuran salinitas menggunakan hand refractometer dan uji sensori meliputi warna,
rasa, penampakan dan aroma. Menurut Kultsum (2009) untuk mengukur kadar padatan
terlarut, digunakan alat hand refractometer yang hasilnya menunjukan angka dengan
satuan derajat brix. Derajat brix adalah derajat padatan terlarut (gram) per 100 gram
larutan. Padatan terlarut yang diukur disini adalah garam.
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, warna kecap ikan berkisar antara agak
coklat gelap hingga coklat gelap (bertambah gelap). Menurut Afrianto & Liviawaty
(1989) kecap ikan yang baik memiliki warna coklat dan dalam bentuk cair. Warna
coklat diperoleh dari adanya penambahan enzim papain atau protease yang mampu
menguraikan protein menjadi lebih sederhana, selama proses fermentasi enzimatis.
Warna coklat (melanoidin) dihasilkan sebagai akibat dari adanya reaksi Maillard yang
berasal dari gugus amino pada ikan dan gula pereduksi dalam gula jawa (Witono et al.,
2015 dan Lees & Jackson, 1973). Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan bahwa
8
semakin tinggi konsentrasi papain yang ditambahkan maka semakin banyak asam amino
yang terbentuk dan bereaksi dengan gula pereduksi sehingga warna akan menjadi
semakin gelap (Intan et al., 2014).
Selanjutnya dari segi rasa yang diamati, rata-rata dengan semakin meningkatnya
konsentrasi enzim papain yang ditambahkan maka rasa akan semakin asin. Ibrahim
(2010) menyatakan bahwa kecap ikan memiliki krakateristik rasa yang asin, karena
adanya kandungan garam yang tinggi. Astawan & Astawan (1988) menambahkan
bahwa penambahan enzim papain dapat menghidrolisis protein menjadi peptida, pepton
dan asam amino yang ketiganya saling berinteraksi menciptakan rasa asin yang khas
pada kecap ikan. Selain itu menurut Murakami et al. (2009) asam amino juga berperan
dalam pembentukan rasa umami. Namun ketika protein terlalu banyak maka akan
berakibat pada ketidakstabilan terhadap pH dan menjadikan fermentasi tidak stabil.
Afrianto & Liviawaty (1989) melanjutkan bahwa rasa khas kecap ikan tercapai ketika
semua senyawa nitrogen terlarut berada dalam bentuk asam amino bebas, di mana
pembentukkan asam amino bebas sangat dipengaruhi oleh lama fermentasi. Lebih
detailnya, asam amino dominan yang berperan dalam pembentukkan cita rasa tersebut
adalah glutamat (Giri, A et al., 2012).
Berdasarkan paparan di atas maka semakin tinggi konsentrasi enzim papain memang
akan mengakibatkan rasa kecap ikan akan semakin asin, karena terjadi pembentukkan
asam amino yang semakin banyak. Namun ketika dilakukan pengukuran secara
kuantitatif terhadap presentase salinitas, pada penambahan enzim papain sebesar 0,4%
dihasilkan kecap ikan dengan salinitas paling tinggi. Sedangkan hasil kelompok lain
sudah sesuai, yaitu semakin tinggi konsentrasi enzim papain, maka salinitas yang
terukur juga akan semakin tinggi. Menurut Wibisono (2004) salinitas adalah suatu
ukuran yang menunjukkan kadar garam terlarut dalam 1000 gram air yang dinyatakan
dalam satuan persen (per mil). Ketidaksesuaian yang terjadi dikarenakan menurut
Kasmidjo (1990) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembuatan kecap
ikan, yaitu terkait dengan berat atau proporsi bahan-bahan yang digunakan. Bisa jadi
penambahan bahan tidak dilakukan sebanyak 50 gram namun lebih. Kemudian
perbedaan pengujian rasa dengan sensori dan menggunakan hand refractometer
9
dikarenakan uji sensori memiliki beberapa kelemahan, yaitu tingkat subjektivitas yang
tinggi sehingga hasil yang diperoleh kurang akurat.
Kemudian dilakukan pengujian terhadap karakteristik aroma kecap ikan yang
dihasilkan. Berdasarkan hasil pengamatan aroma kecap ikan yang terbentuk berkisar
antara agak tajam hingga tajam. Menurut Dincer et al. (2010) aroma kecap ikan berasal
dari komponen nitrogen, seperti arginin, histidin, amonia, putresin dan kadaverin.
Aroma khas kecap ikan juga dapat berasal dari asam glutamat, hasil penguraian protein.
Selain itu menurut Wiratma (1995) dalam Witono et al. (2015) aroma dari kecap ikan
dapat dipengaruhi dari reaksi Maillard dan karamelisasi yang disebabkan oleh adanya
gula. Berdasarkan paparan tersebut, semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang
ditambahkan maka semakin banyak asam amino yang terbentuk sehingga aroma yang
dihasilkan akan semakin tajam (Intan et al., 2014). Hal tersebut sudah sesuai dengan
hasil pengamatan yang diperoleh.
Selain parameter warna, rasa, aroma dan salinitas, dilakukan juga pengujian terhadap
penampakan atau wujud dari kecap ikan sendiri. Didapatkan dari hasil pengamatan,
kecap ikan yang dihasilkan berwujud cair. Hal ini sesuai dengan teori Kumalaningsih
(1986) dalam Witono et al. (2015) dan Sayed (2010) bahwa pada umumnya kecap ikan
memiliki wujud yang cair (encer). Menurut Fachruddin (1997) viskositas dari kecap
ikan yang terbentuk ditentukan oleh proses pemasakannya. Ketika proses pemasakan
tidak merata maka kecap ikan yang dihasilkan akan memiliki viskositas yang berbeda-
beda sebagai akibat dari perbedaan jumlah air yang teruapkan. Martassasmita et al.
(1975) menambahkan bahwa konsentrasi enzim papain yang tinggi akan semakin
menghasilkan senyawa sederhana turunan protein yang semakin banyak pula dan mudah
larut air. Berdasarkan paparan di atas maka semakin tinggi konsentrasi enzim papain
yang ditambahkan maka kecap ikan yang dihasilkan akan semakin kental. Kasmidjo
(1990) menambahkan bahwa gula jawa yang ditambahkan dapat pula meningkatkan
kekentalan karena terjadi proses karamelisasi. Witono et al. (2015) menyebutkan
penyebab lain bahwa penambahan gula juga dapat meningkatkan kekentalan sebagai
akibat dari pengikatan air oleh gula.
10
Menurut Astawan & Astawan (1991) ada beberapa faktor yang menentukan sukses
tidaknya proses pembuatan kecap ikan. Faktor-faktor tersebut adalah enzim papain yang
digunakan, tingkat kesegaran ikan yang digunakan, lama tidaknya proses fermentasi,
higenitas, sanitasi, dan bumbu yang ditambahkan. Semakin tinggi konsentrasi enzim
papain yang ditambahkan maka semakin banyak asam amino hasil hidrolisis protein
yang terbentuk. Asam amino tersebut berkontribusi terhadap pembentukkan aroma yang
khas sehingga semakin tinggi konsentrasi enzim papain maka aroma kecap ikan akan
semakin khas. Lopetcharat & Park (2002) menambahkan bahwa ketika tingkat
kesegaran ikan tinggi maka kualitas kecap ikan meliputi warna dan rasa akan semakin
optimal. Kondisi fermentasi yang optimal adalah ketika suhu tinggi diminimalisasi
sebisa mungkin. Selain itu menurut Beddows et al. (1979) dalam Intan et al. (2014)
dikatakan bahwa produksi dari kecap ikan ditentukan oleh kondisi dan budaya dari
setiap negara, dimana setiap negara memiliki ciri khas kecap ikan yang berbeda-beda
ditinjau dari aroma dan flavornya.
4. KESIMPULAN
Kecap ikan berwarna coklat jernih dan memiliki aroma dan rasa yang khas.
Kecap ikan dapat diproduksi dengan cara enzimatis, fermentasi dengan garam
maupun kimiawi.
Pembuatan kecap ikan secara enzimatis dapat dilakukan dengan penambahan enzim
papain dari pepaya muda dimana waktu yang dibutuhkan lebih singkat daripada
secara fermentasi dengan garam.
Penghancuran atau penghalusan bahan bertujuan untuk meningkatkan luas kontak
permukaan sehingga proses pembuatan kecap ikan berjalan optimal.
Selama inkubasi toples harus tertutup dikarenakan untuk mencegah adanya
organisme yang tumbuh dan menekan suplai oksigen.
Perebusan cairan berguna untuk mematikan mikroorganisme patogen yang mungkin
tumbuh, meningkatkan cita rasa dan mengentalkan kecap ikan.
Penambahan gula jawa berfungsi untuk memberi rasa manis supaya rasa asin tidak
terlalu dominan dan memberikan warna coklat serta meningkatkan kekentalannya.
Penambahan garam berfungsi untuk memberi rasa dan membunuh mikroorganisme.
Penambahan bawang putih berfungsi sebagai bahan antimikroba dan memberikan
aroma serta rasa yang enak pada kecap ikan.
Semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang ditambahkan maka kecap ikan yang
dihasilkan akan semakin berwarna gelap, semakin asin, salinitias semakin tinggi,
aroma semakin tajam, dan kecap semakin kental.
Keberhasilan proses pembuatan kecap ikan ditentukan oleh jumlah garam yang
ditambahkan, proporsi bumbu tambahan yang digunakan, lama waktu dan kondisi
fermentasi, konsentrasi enzim proteolitik dan tingkat kesegaran ikan.
11
Semarang, 31 Oktober 2015
Liem, Pamela Lukito13.70.0014
Asisten Dosen:Michelle Darmawan
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarselo. Bandung.
Astawan, M.W. & M.Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV Akademika Pressindo. Jakarta.
Astawan,M.W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., and Wootton, M., (2007). Ilmu Pangan. Penerjemah: Hari Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia. Jakarta
Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Dincer, Tolga., Sukran Cakli., Berna Kilinc., & Sebnem Tolasa. (2010). Amino Acids and Fatty Acid Composition Content of Fish Sauce. Journal of Animal and Veterinary Advances 9 (2): 311-315, 2010.
Dougan, J and G. G. Howard. (1975). Some Flavoring Constituents of Fermented Fish Sauce. Journal of Food Agriculture. 26 : 887-894.
Elmer-Rico E. Mojica, Alejandro Q. Nato Jr., Maria Edlyn T. Ambas, Chito P. Feliciano. Maria Leonora D.L. Francisco and Custer C. (2005).Deocaris Application of Irradiation as Pretreatment Method in the Production of Fermented Fish Paste.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.
Fidler, M.C., A. Krzystek, T. Walczyk, And R.F. Hurrell. (2004). Photostability of Sodium Iron Ethylenediaminetetraacetic Acid (NaFeEDTA) in Stored Fish Sauce and Soy Sauce. Journal of Food Science.
Giri Anumpam, Midori Nasu, Toshiaki Oshima. (2012). Bioactive Properties of Japanese Fermented Fish Paste, Fish Miso, Using Koji Inoculated with Aspergillus oryzae. International Journal of Nutrition and Food Sciences. Vol 1(1): 13-22.
12
13
Himonides A.T., Anthony K.D., Anne J.M. (2011). A Study of The Enzymatic Hydrolysis of Fish Frames Using Model Systems. Journal of Food and Nutrition Sciences. Vol 2, 575-585.
Ibrahim, Sayed Mekawy. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172 (2010).
Intan Nadiah, Nurul Huda, Wan Nadiah, Abbas Fadhl. (2014). Protein Quality of Fish Fermented Product: Budu and Rusip. Asian Pasific Journal of Sustainable Agriculture Food and Energy. Vol 2(2): 17-22. ISSN 2338-1345.
Irawan, A. (1995). Pengolahan Hasil Perikanan Home Industri dan Usaha Perikanan dan Mengomersilkan Hasil Sampingnya. Penerbit Aneka. Solo.
Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Kultsum, Umi. (2009). Pengaruh variasi nira tebu (Saccharum officinarum) dari beberapa varietas tebu dengan penambahan sumber nitrogen (N) dari tepung kedelai hitam (Glycine soja) sebagai substrat terhadap efisiensi fermentasi etanol. Fakultas Sains dan Teknologi. UIN Maulana Malik Ibrahim. Skripsi.
Lay, B. W. (1994). Analisa Mikroba dalam Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Lees, R. & E.B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.
Lopetcharat, K. & J.W. Park. (2002). Characteristics of Fish Sauce Made from Pacific Whiting and Surimi By-products During Fermentation Stage. Journal of Food Science; 67(2).
Martassasmita, S.; Winarno, F.G.; & Kristiaty. D. (1975). Buletin Penelitian Teknologi Hasil Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pengaruh Jenis Kapang, Waktu Fermentasi dan Varietas Kedelai Terhadap Mutu Kecap.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Murakami, M., Masataka, S., Masahi, A., Yasuyuki, T., Ken-ichi K. (2009) Evaluation of New Fish Sauces Prepared by Fermenting Hot-Water Extraction Waste of
14
Stock From Dried Fish Using Various Kojis. Journal of Food, Agriculture & Environment. Vol 7 (2): 175-181.
Ng., T.S Afiza., Lim, Y.K., Muhammad Afif., A.G., Liong, M.T., Rosma, A. and Wan Nadiah, W.A. (2011). Proteolytic Action in Valamugil seheli and Ilisha melastoma for Fish Sauce Production. As. J. Food Ag-Ind. 2011, 4(04), 247-254
Sayed M.I. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) for Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172 (2010).
Tungkawachara, S. ,Park, J.W, and Choi, Y.J. (2001). Biochemical Properties and Consumer Acceptance of Pacific Whiting Fish Sauce. Food Chemistry and Toxicology 2001 Marine Drive #253,Astoria, OR 97103.
Wibisono, M.S. (2004). Pengantar Ilmu Kelautan. PPPTMGB LEMIGAS.
Winarno, F.G. (1995). Enzim Pangan. Gramedia. Jakarta.
Witono Y., Wiwik S.W., Asmak A., Imeilda N.P. (2015). Production of Inferior Fish Hydrolyzate Sauce Under Different Concentration of Coconut Sugar and Caramel. International Journal of ChemTech Research. Vol 8 No 1 pp 37-43. ISSN 0974-4290.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus : Salinitas = hasil1000 x 100%
Kelompok E1
Salinitas = 50
1000 x 100% = 5%
Kelompok E2
Salinitas = 90
1000 x 100% = 9%
Kelompok E3
Salinitas = 55
1000 x 100% = 5,5%
Kelompok E4
Salinitas = 55
1000 x 100% = 5,5%
Kelompok E5
Salinitas = 60
1000 x 100% = 6%
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
15