kecerdasan visual-spasial

21
Meningkatkan Kecerdasan Visual-Spasial Anak Melalui Media Pembelajaran Tangram *) Muliawan Firdaus **) Abstrak Kecerdasan visual-spasial adalah kemampuan memahami, memproses, dan berpikir dalam bentuk visual. Anak dengan kecakapan ini mampu menerjemahkan bentuk gambaran dalam pikirannya ke dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Anak dengan kemampuan ini juga mampu dengan mudah dan cepat memahami konsep spasial serta terlihat antusias ketika melakukan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan ini. Kecerdasan visual-spasial bisa mempengaruhi proses belajar anak di sekolah. Salah satunya, membantu anak memahami soal cerita matematika. Kemampuan ini bukan hanya anugerah semata dari Tuhan Yang Maha Esa tapi juga bisa ditumbuhkan. Umumnya anak cerdas spasial memiliki metode belajar visualisasi berdasarkan penglihatannya. Latihan bisa diterapkan saat anak di usia balita awal lewat kegiatan sehari-harinya. Salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan ini adalah Tangram. Dalam makalah ini diberikan satu bentuk aktivitas untuk anak yang dikembangkan berdasarkan teori belajar van Hiele yang berkaitan dengan geometri. Kata kunci: Kecerdasan visual-spasial, Teori Belajar van Hiele, Tangram. Pendahuluan *) Disajikan pada Konferensi Nasional Pendidikan Matematika III tanggal ____ **) Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNIMED 1

Upload: muliawanfirdaus

Post on 18-Jun-2015

5.817 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: kecerdasan visual-spasial

Meningkatkan Kecerdasan Visual-Spasial Anak Melalui Media Pembelajaran Tangram*)

Muliawan Firdaus**)

Abstrak

Kecerdasan visual-spasial adalah kemampuan memahami, memproses, dan berpikir dalam bentuk visual. Anak dengan kecakapan ini mampu menerjemahkan bentuk gambaran dalam pikirannya ke dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Anak dengan kemampuan ini juga mampu dengan mudah dan cepat memahami konsep spasial serta terlihat antusias ketika melakukan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan ini. Kecerdasan visual-spasial bisa mempengaruhi proses belajar anak di sekolah. Salah satunya, membantu anak memahami soal cerita matematika. Kemampuan ini bukan hanya anugerah semata dari Tuhan Yang Maha Esa tapi juga bisa ditumbuhkan. Umumnya anak cerdas spasial memiliki metode belajar visualisasi berdasarkan penglihatannya. Latihan bisa diterapkan saat anak di usia balita awal lewat kegiatan sehari-harinya. Salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan ini adalah Tangram. Dalam makalah ini diberikan satu bentuk aktivitas untuk anak yang dikembangkan berdasarkan teori belajar van Hiele yang berkaitan dengan geometri.

Kata kunci: Kecerdasan visual-spasial, Teori Belajar van Hiele, Tangram.

Pendahuluan

Kecerdasan visual-spasial merupakan salah satu aspek dari kognisi. Kecerdasan

visual-spasial merupakan konsep abstrak yang meliputi persepsi spasial yang

melibatkan hubungan spasial termasuk orientasi sampai pada kemampuan yang rumit

yang melibatkan manipulasi serta rotasi mental. Dalam kecerdasan visual-spasial

diperlukan adanya pemahaman kiri-kanan, pemahaman perspektif, bentuk-bentuk

geometris, menghubungkan konsep spasial dengan angka dan kemampuan dalam

transformasi mental dari bayangan visual. Pemahaman tersebut juga diperlukan dalam

belajar matematika. Pada anak usia sekolah kecerdasan visual-spasial ini sangat penting

karena kecerdasan visual-spasial erat hubungannya dengan aspek kognitif secara umum.

*) Disajikan pada Konferensi Nasional Pendidikan Matematika III tanggal ____**) Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNIMED

1

Page 2: kecerdasan visual-spasial

Studi dari Guay & McDaniel (1977) dan Bishop (1980) menemukan bahwa

kecerdasan visual-spasial mempunyai hubungan positif dengan matematika pada anak

usia sekolah. Studi dari Shermann (1980) juga menemukan bahwa matematika dan

berpikir spasial mempunyai korelasi yang positif pada anak usia sekolah, baik pada

kecerdasan visual-spasial taraf rendah maupun taraf tinggi. McGee (1979) menemukan

bahwa perbedaan dalam memecahkan soal-soal matematika antara anak laki-laki dan

anak perempuan disebabkan oleh perbedaan dalam kecerdasan visual-spasial mereka.

Kecerdasan visual-spasial anak laki-laki lebih baik daripada anak perempuan.

Ike R Sugianto (dalam Zoelandari, 2009) mengatakan cerdas visual spasial

adalah kemampuan memahami, memproses, dan berpikir dalam bentuk visual. Anak

dengan kecakapan ini mampu menerjemahkan bentuk gambaran dalam pikirannya ke

dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Menurut Howard Gardner (dalam Armstrong,

2003), anak yang memiliki kepintaran visual akan dapat menyelesaikan masalah ruang

(spasial). Anak mampu mengamati dunia spasial secara akurat, bahkan membayangkan

bentuk-bentuk geometri dan tiga dimensi, serta kemampuan memvisualisasikan dengan

grafik atau ide tata ruang (spasial). Dari hasil penelitiannya, orang-orang yang memiliki

kepintaran visual spasial ini lebih banyak dipengaruhi otak kanan, yaitu bagian otak

yang bertugas memproses ruang. Anak yang cerdas visual tak hanya menggambarkan

tapi juga mengkonstruksikan obyek ide di dalam pikiran mereka. Selain itu, kepintaran

ini juga memberi kemampuan membedakan dan menemukan berbagai kombinasi atau

gradasi warna. Namun, kemampuan ini bukan hanya anugerah semata dari Tuhan Yang

Maha Esa tapi juga bisa ditumbuhkan. Asalkan orangtua bisa menstimulasi kemampuan

ini melalui beragam kegiatan. Biasanya anak tipe ini sangat menggemari permainan-

permainan “melihat melalui pikiran” seperti menggambar atau membayangkan obyek

dan permainan “acting” atau berpura-pura. Latihan bisa diterapkan saat anak di usia

balita awal lewat kegiatan sehari-harinya.

Dari pengalaman penulis dalam menangani anak usia sekolah yang mengalami

penurunan prestasi di sekolah, mereka mengeluhkan sulitnya memahami pelajaran

matematika dan sebagian besar dari mereka memperoleh nilai matematika yang lebih

rendah dibandingkan dengan nilai mata pelajaran lainnya. Selain itu, nampaknya faktor

kecerdasan visual-spasial kurang diperhitungkan sebagai kemungkinan salah satu faktor

penyebabnya.

2

Page 3: kecerdasan visual-spasial

Kecerdasan visual-spasial

Menurut Spearman, kecerdasan ialah kemampuan umum untuk

berpikir dan menimbang. Thurstone melihat kecerdasan sebagai

suatu rangkaian kemampuan yang terpisah. Kemampuan-

kemampuan seperti kemampuan numerik, ingatan, dan kefasihan

berbicara secara bersama-sama membentuk perilaku pandai. Heim

mendefinisikan kemampuan sebagai perbuatan pandai yang terdiri

dari pemahaman hal-hal yang pokok di dalam suatu keadaan dan

penanggapan secara tepat terhadap keadaan tersebut. Definisi Heim

ini mempunyai persamaan dengan pemikiran Piaget dan Bruner

tentang perkembangan kognitif yaitu seseorang yang melakukan

usaha-usaha untuk berhubungan secara efektif dengan

lingkungannya (Hardy dan Heyes, 1988).

Kognisi sebagai salah satu aspek dalam diri manusia berfungsi pada adaptasi

seseorang terhadap lingkungan yaitu bagaimana seseorang mengatasi lingkungan serta

mengorganisasikan pikiran dan tindakannya. Menurut Piaget (dalam Santrock, 2005)

adaptasi tersebut melibatkan asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses

pengambil-alihan informasi baru dan menyesuaikannya dengan konsep yang ada pada

dirinya. Akomodasi adalah proses dimana seseorang menyesuaikan yang ada pada

dirinya sebagai akibat dari informasi baru agar sesuai dengan pengalaman baru.

Selanjutnya Piaget menambahkan bahwa kognisi adalah hasil interaksi yang

berkesinambungan antara seseorang dengan lingkungannya.

Salah satu aspek dari kognisi adalah kecerdasan visual-spasial. Piaget &

Inhelder (1971) menyebutkan bahwa kecerdasan visual-spasial sebagai konsep abstrak

yang di dalamnya meliputi hubungan spasial (kemampuan untuk mengamati hubungan

posisi objek dalam ruang), kerangka acuan (tanda yang dipakai sebagai patokan untuk

menentukan posisi objek dalam ruang), hubungan proyektif (kemampuan untuk melihat

objek dari berbagai sudut pandang), konservasi jarak (kemampuan untuk

memperkirakan jarak antara dua titik), representasi spasial (kemampuan untuk

merepresentasikan hubungan spasial dengan memanipulasi secara kognitif), rotasi

mental (membayangkan perputaran objek dalam ruang).

3

Page 4: kecerdasan visual-spasial

Kecerdasan visual-spasial diperoleh anak secara bertahap, dimulai dari

pengenalan objek melalui persepsi dan aktivitas anak di lingkungannya. Pada awalnya,

kecerdasan visual-spasial anak belum menunjukkan pengetahuan konseptual dari

hubungan spasial. Dalam menentukan letak posisi objek dan orientasi dalam ruang,

anak masih menggunakan patokan diri. Dengan bertambahnya usia, patokan tersebut

berkembang menjadi patokan orang dan patokan objek. Mulai dari orientasi yang

sifatnya egosentris yaitu menekankan pada dirinya sebagai patokan dalam melihat

hubungan spasial, arah kiri-kanan dari dirinya, berkembang menjadi kerangka acuan

objek pada salib sumbu pasangan titik yaitu salib sumbu utara-selatan dan timur barat.

Menurut Piaget & Inhelder (1971) kecerdasan visual-spasial yang merupakan

aspek dari kognisi berkembang sejalan dengan perkembangan kognitif yaitu konsep

spasial pada tahapan sensori-motor, konsep spasial pada tahapan pra-operasional,

konsep spasial pada tahapan konkret-operasional dan konsep spasial pada tahapan

formal-operasional. Kecerdasan visual-spasial ini diperoleh anak melalui alur

perkembangan berdasarkan hubungan spasial topologi, proyektif dan euclidis.

Pada hubungan spasial topologi anak mengerti spasial dalam hubungannya

dengan relasi topologi yaitu “di samping” atau “di depan”. Dalam mengorganisasikan

dan membangun bagian gambar atau pola masih didasarkan pada hubungan yang

bersifat proksimitas, keterpisahan, urutan, ketertutupan dan kontinuitas. Objek atau

gambar masih dilihat dalam isolasi, tidak dihubungkan dengan objek lain. Hubungan

spasial semacam ini adalah bersifat hubungan satu-satu atau hubungan

berkesinambungan. Penekanan hubungan spasial topologi adalah pada suatu kenyataan

yang berkaitan atau keberikatan. Pada tahapan topologi, anak mulai mampu

merepresentasikan spasial untuk dirinya dan patokan yang digunakan untuk menetukan

posisi objek adalah dirinya.

Tahapan proyektif dan tahapan euclidis berkembang pararel pada saat anak

memasuki tahapan konkret-operasional. Anak mulai dapat melihat objek dari berbagai

sudut pandang. Lambat laun, anak memahami bahwa perspektif merupakan suatu sistem

yang terintegrasi dan saling berkaitan secara logis, yaitu kanan menjadi kiri bila dilihat

dari arah yang berlawanan. Secara pararel tahapan proyektif dan euclidis dicapai bila

anak sudah dapat melihat objek dengan mempertimbangkan hubungan terhadap sudut

pandang. Pada saat ini anak mencapai apa yang disebut dengan kerangka acuan.

4

Page 5: kecerdasan visual-spasial

Kerangka acuan adalah kemampuan yang berhubungan dengan orientasi, lokasi dan

perpindahan objek dalam ruang. Piaget & Inhelder (1971) mencirikan kerangka acuan

sebagai organisasi yang simultan dari segala posisi dalam tiga dimensi, dimana poros

dalam kerangka acuan menjadi objek atau posisi yang tidak berubah yang disebabkan

oleh perubahan dalam sistem. Spasial proyektif meliputi kemampuan untuk berespon

saling koordinasi objek yang terpisah dalam ruang. Spasial euclidis menunjukkan

kriteria ukuran dan jarak antara objek dan letak lokasi. Hubungan spasial diterapkan

pada tiga dimensi yaitu kiri-kanan, atas-bawah dan depan belakang.

Hubungan Antara Kecerdasan visual-spasial dengan Matematika

Menurut Hamley (dalam McGee, 1979) kemampuan matematika adalah

gabungan dari inteligensi umum, pembayangan visual, kemampuan untuk mengamati

angka, konfigurasi spasial dan menyimpan konfigurasi sebagai pola mental. Dalam

kecerdasan visual-spasial diperlukan adanya pemahaman kiri-kanan, pemahaman

perspektif, bentuk-bentuk geometris, menghubungkan konsep spasial dengan angka,

kemampuan dalam mentransformasi mental dari bayangan visual. Faktor-faktor tersebut

juga diperlukan dalam belajar matematika. Peranan kecerdasan visual-spasial terhadap

matematika disokong beberapa studi validitas. Hills (dalam McGee, 1979) meneliti

hubungan antara berbagai tes kecerdasan visual-spasial yang melibatkan visualisasi dan

orientasi dari Guiford dan Zimmerman dengan nilai matematika Ditemukan ada korelasi

yang tinggi antara kecerdasan visual-spasial dengan nilai matematika, bila dibandingkan

dengan tes verbal dan penalaran.

Demikian pula studi yang dilakukan oleh Bishop (1980), Benbow dan

McGuinness (dalam Geary, 1996) menemukan adanya hubungan antara pemecahan

masalah matematika dengan kemampuan visuospasial. Dalam mempelajari peran

kecerdasan visual-spasial terhadap prestasi belajar matematika, Smith (1980)

menyimpulkan bahwa antara kecerdasan visual-spasial dengan konsep matematika taraf

tinggi terdapat hubungan yang positif, tetapi kurang mempunyai hubungan dengan

perolehan konsep-konsep matematika taraf rendah seperti hitungan.

Penggunaan contoh spasial seperti membuat bagan, dapat membantu anak

menguasai konsep matematika. Metode pengajaran matematika yang memasukkan

berpikir spasial seperti bentuk-bentuk geometris, mainan (puzzle) yang menghubungkan

5

Page 6: kecerdasan visual-spasial

konsep spasial dengan angka, menggunakan tugas-tugas spasial dapat membantu

terhadap pemecahan masalah dalam matematika (Newman, dalam Elliot, 1987).

Demikian pula pengertian terhadap konsep pembagian, proporsi tergantung dari

pengalaman spasial yang mendahuluinya (Clements, dalam Eliot, 1987). Penelitian oleh

Tambunan (2003) yang dilakukan terhadap 220 anak usia sekolah, berusia 7-11 tahun

dengan memberikan tes kecerdasan visual-spasial yang terdiri dari hubungan spasial

topologi, proyektif, euclidis dan tes matematika. Hasil menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara kecerdasan visual-spasial total, topologi dan euclidis dengan prestasi

belajar matematika, tetapi tidak terdapat hubungan antara kecerdasan visual-spasial

proyektif dengan prestasi belajar matematika.

Teori Belajar van Hiele

Teori ini menekankan bahwa meskipun perkembangan pemikiran spasial dalam

diri seorang anak berlangsung secara alami, tindakan instruksional juga dibutuhkan

untuk menghantarkannya melalui beberapa tingkatan dalam pemahaman geometris dan

kemampuan berfikir. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa adalah tidak cukup

mengajarakan geometri Euclid pada seorang anak dengan mengikuti persis konstruksi

logis dari aksioma, definisi, teorema dan pembuktian yang digunakan oleh Euclid untuk

membangun sistem tersebut. Seorang anak tidak berfikir dalam tingkat deduktif formal,

dan dengan demikian hanya dapat menghafal fakta-fakta geometris dan aturan-aturan

saja, tetapi tidak memahami keterkaitan antara ide-idenya, jika diajarkan dengan

pendekatan ini.

Teori van Hiele menempatkan sebuah hirarki tingkatan pemikiran yang

merentang antara usia sekitar lima tahun sampai dewasa di bagian terdepan. Awalnya,

pada teori ini terdapat lima tingkatan yang telah diadaptasi dan dinamakan kembali oleh

beragam peneliti, tetapi van Hiele memusatkan perhatian pada tiga tingkatan yang

melingkupi periode normal pendidikan sekolah. Pokok pembahasan dari isi makalah ini

adalah bentuk (bidang) dua-dimensi.

Tingkatan 1: Visual

Tingkatan ini dimulai dari pemikiran non-verbal. Bentuk dipastikan dengan rupa

dan secara umum diperlihatkan sebagai “satu keseluruhan”, bukan bagian-bagian yang

6

Page 7: kecerdasan visual-spasial

terpisah. Meskipun anak menggunakan nama-nama dasar untuk menyebutkan sebuah

bidang, mereka biasanya tidak memberikan penjelasan tentang penggunaan nama

tersebut atau mereka hanya mengaitkan bidang dengan objek yang biasa mereka lihat.

Sebagai contoh, seorang anak mungkin berkata, “Ini adalah persegi karena memang

terlihat demikian”, atau “Saya tahu ini adalah segiempat karena terlihat seperti sebuah

kotak”. Hal seperti ini dapat dihubungkan dengan kemampuan anak dalam mengenal

beberapa kata, sebelum mereka memahami bunyi huruf yang berdiri sendiri dan

bagaimana huruf-huruf itu tercampur bersama untuk membentuk kata-kata.

Tingkatan 2: Deskriptif

Pada tingkatan ini, seorang anak dapat mengidentifikasi dan menggambarkan

bagian-bagian komponen dan sifat-sifat dari bangun. Sebagai contoh, segitiga sama sisi

dapat dibedakan dari segitiga lainnya karena ketiga sisinya yang sama panjang, sudut-

sudut yang sama besar dan kesimetrisannya. Seorang anak perlu mengembangkan

bahasa (kosakata) yang sesuai untuk dapat melanjutkan pada konsep-konsep spesifik

yang baru. Namun demikian, pada tahap ini sifat-sifat tidaklah terurut secara logis, yang

berarti bahwa seorang anak belum mengerti hubungan esensial diantara sifat-sifat

tersebut. Jadi, dengan segitiga sama sisi sebagai contoh, mereka belum paham bahwa

jika sebuah segitiga memiliki tiga sisi yang sama panjang, segitiga tersebut pastilah

memiliki tiga sudut yang sama besar.

Tingkatan 3: Deduksi Informal

Dalam tingkatan ini, sifat-sifat dari bangun sudah terurut secara logis. Seorang

anak mampu memahami bahwa satu sifat mendahului atau mengikuti sifat yang lainnya,

dan dengan demikian dapat mengenali satu sifat dari sifat yang lainnya. Mereka mampu

untuk menerapkan apa yang telah mereka ketahui untuk menjelaskan keterkaitan antara

bentuk, dan mereka juga mampu merumuskan definisi. Meskipun deduksi informal

seperti ini akan membentuk deduksi formal, peran dari aksioma, definisi, teorema dan

kebalikannya, masih belum dipahami.

Fase-fase Aktifitas untuk Mengembangkan Pemikiran Geometris

7

Page 8: kecerdasan visual-spasial

Dalam teori van Hiele terdapat serangkaian lima fase tipe aktifitas yang

dirancang untuk mempercepat perkembangan pemikiran seorang anak dari satu

tingkatan ke tingkatan selanjutnya. Ada bermacam cara dalam penerapan fase-fase ini

bilamana seorang guru hendak menyusun sebuah rencana pembelajaran. Sebagai

contoh, guru mungkin memilih topik persegi, lalu merancang semua kegiatan yang

melibatkan manipulasi, konstruksi, diskusi dan sebagainya, tentang persegi. Cara lain

untuk menggunakan fase-fase ini adalah dengan mengambil satu pendekatan yang lebih

umum dan mengeksplorasi sejumlah bangun yang berbeda-beda secara bersamaan.

Dengan melewati semua fase-fase ini menggunakan media pembelajaran seperti

tangram atau potongan-potongan puzzle membuat anak dapat membangun latarbelakang

yang cukup kaya dalam visual dan pemikiran deskriptif tentang bangun dan sifat-

sifatnya.

Contoh Aktifitas: Tangram klasik dengan sekumpulan tujuh-potongan bangun dua-

dimensi biasanya adalah media pembelajaran yang mudah didapatkan bahkan dibuat,

dan dengan demikian dapat digunakan sebagai dasar aktifitas untuk mengilustrasikan

setiap fase. Perhatikan bahwa topiknya bukanlah “tangram”, tetapi “sifat-sifat bangun

dua-dimensi”, aktifitas tidak dibatasi pada anak usia tertentu, tetapi aktifitas ini akan

lebih cocok untuk anak dalam rentang usia 7 sampai 10 tahun. Sebaiknya setiap anak

dalam kelas memiliki tangramnya masing-masing. Tangram dapat diduplikasi pada

selembar kertas karton dan dimasukkan kedalam amplop untuk dibagikan kepada anak.

Potongan-potongan dalam contoh di bawah ini telah dinomori dengan alasan

kemudahan referensi dalam makalah ini, tetapi akan sangat baik jika tangram yang

diberikan pada anak, penomoran seperti pada contoh dibawah ini diganti dengan warna-

warna yang berbeda untuk tiap potongannya.

8

Page 9: kecerdasan visual-spasial

Fase 1: Inkuiri

Pembelajaran dimulai dengan bermain. Anak sebaiknya didorong untuk secara

bebas mengeksplorasi media pembelajaran tangram dan dengan demikian menemukan

beberapa sifat dan struktur. Sementara anak sedang bermain, guru memiliki kesempatan

untuk mengamati dan secara informal menaksir pemikiran dan bahasa atau kosakata

yang digunakan anak.

Contoh: Berikan pada setiap anak di kelas satu set tangram dan kemudian berikan

pertanyaan yang sederhana: “Apa yang dapat kamu perbuat dengan potongan-potongan

ini?” Berikan dorongan kepada anak untuk berbagi dan berbicara tentang bangun-

bangun dan gambar-gambar yang telah mereka buat. Berikan waktu yang banyak pada

anak untuk secara bebas mengeksplorasi potongan-potongan tersebut. Selama itu

berlangsung anak akan menjadi terbiasa dengan ukuran dan bentuk dari potongan-

potongan tersebut, dan mereka mulai mengerti bagaimana mereka mencocokkan tiap

potongan. Dengan kata lain, mereka mulai menemukan sifat-sifat dan hubungan-

hubungannya.

Fase 2: Orientasi Langsung

Aktifitas-aktifitas dipresentasikan dalam cara sedemikian rupa, sehingga

perhatian anak terpusat pada karakteristik tertentu dari bangun-bangun atau potongan-

potongan puzzle. Gagasan untuk aktifitas-aktifitas langsung akan muncul dari

memperhatikan anak yang sedang asyik memainkan potongan-potongan tersebut,

sebagaimana beberapa kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya.

Contoh: Dalam bermain bebas seorang anak mungkin telah menggunakan potongan

bernomor 3 dan 5 untuk membuat potongan 6. Maka mintalah anak tersebut untuk

menemukan apakah semua potongan dapat dibuat dari dua potongan yang lebih kecil.

Mereka mungkin akan melakukannya dengan mencocokkan dua potongan secara

bersama dan meletakkannya di atas potongan yang lebih besar. Pertanyaan-pertanyaan

lain yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi adalah:

1. Potongan mana yang dapat dibuat dari tiga potongan lainnya? Arahkan anak untuk

mencatat atau menggambar apa yang mereka temukan dengan cara meletakkan

potongan di atas kertas kemudian melukiskan garis-garis mengikuti keliling bangun.

9

Page 10: kecerdasan visual-spasial

2. Satu aktifitas akan selalu mengarah pada aktifitas lain; Berapa banyak cara yang

berbeda yang dapat dilakukan untuk membuat segitiga terbesar (potongan 1) dengan

menggunakan potongan-potongan lainnya?

3. Pilih dua bangun. Berapa banyak bangun yang berbeda yang dapat kamu buat

dengan dua bangun itu? Gambarkan bangun-bangun itu dan beri mereka nama.

Gunakan tiga bangun untuk membuat satu bangun (bukan seperti yang satu dari

potongan yang lainnya). Berapa banyak cara yang dapat kamu lakukan untuk

membuat bangun ini? Dapatkah kamu membuatnya dengan dan tanpa melihat

nomornya? Gambarkan semua hasil pekerjaanmu.

Dari aktifitas-aktifitas ini anak memperoleh pemahaman yang lebih spesifik

akan sifat-sifat dari bangun-bangun. Mereka akan memperhatikan panjang sisi-sisi, ada

beberapa sisi yang sama dan sisi lainnya yang setengah atau dua kali panjang yang

lainnya. Mereka akan memvisualisasikan bagaimana sudut-sudut akan cocok secara

bersama dan bagaimana membalik dan memutar bangun untuk disesuaikan pada

berbagai ruang.

Fase 3: Eksplikasi

Fase ini melibatkan kegiatan-kegiatan dan permainan-permainan yang dengan

secara sengaja membangun kosakata yang dikaitkan dengan gagasan-gagasan yang telah

ditemukan sejauh ini, sementara melanjutkan untuk mengeksplorasi sifat-sifat dari

bangun-bangun tersebut. Guru mengklarifikasi istilah-istilah yang telah digunakan oleh

anak dan memperkenalkan istilah-istilah baru. Aktifitas-aktifitas yang mendorong anak

untuk menggunakan kosakata sebagaimana yang telah mereka katakan dan tuliskan

tentang pengalaman mereka sebaiknya diterapkan.

Contoh: Selama kegiatan berlangsung, guru memberi nama pada bangun seperti persegi,

segitiga sama kaki, dan jajaran genjang, sebagaimana kosakata lain yang dikaitkan

dengan sifat-sifatnya seperti: serupa, sisi yang sama, sudut yang sama, sudut siku-siku,

sisi-sisi simetri dan sejajar. Pertanyaan-pertanyaan seperti yang berikut ini akan

memberikan peluang pada istilah-istilah tersebut untuk digunakan sebagaimana

mengklarifikasi konsep-konsep terkait:

10

Page 11: kecerdasan visual-spasial

1. Bangun-bangun mana yang memiliki sudut siku-siku? Cocokkan mereka dalam satu

tumpukan. (Berapa besar ukuran sudut-sudut yang lain?)

2. Tempelkan setiap bangun pada selembar kertas, kemudian buat gambar pada kertas

dengan mengikuti garis di sekeliling bangun itu, kemudian potonglah. Berapa

banyak garis simeti yang dimiliki setiap bangun?

3. Apa yang sama dari semua segitiga?

4. Bangun-bangun mana yang memiliki sisi-sisi sejajar?

5. Bangun-bangun mana yang memiliki sisi sama panjang? Bangun-bangun mana yang

memiliki sisi sama panjang dengan bangun yang lainnya? Setengahnya atau dua kali

panjangnya?

6. Mainkan permainan “Kantung Misteri” dimana seorang anak meraba bangun yang

tersembunyi dalam kantung dan menggambarkannya.

Anak sebaiknya didorong untuk menjelaskan dan mendemonstrasikan apa yang

mereka temukan, mungkin dengan menggunakan proyektor, atau membuat sebuah

poster.

Fase 4: Orientasi Bebas

Anak diikutsertakan dalam aktifitas-aktifitas dan kegiatan-kegiatan pemecahan

masalah yang berbentuk open-ended atau dapat dilengkapi dengan cara-cara yang

berbeda. Tujuannya adalah agar anak menerapkan apa yang telah mereka pelajari dan

agar anak menjadi lebih cakap.

Contoh: Anak sebaiknya dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang lebih menantang,

yang diambil dari pengetahuan dan kemampuan yang telah dikembangkan sebelumnya,

seperti:

1. Berapa banyak cara yang dapat kamu lakukan untuk membuat sebuah persegi dari

beberapa atau semua potongan?

2. Lengkapi puzzle tangram klasik dengan outline burung dan binatang atau benda-

benda lainnya seperti gambar di bawah ini.

11

Page 12: kecerdasan visual-spasial

3. Gambarkan sebuah persegi tangram yang lengkap (seperti yang diilustrasikan di

atas) pada kertas dengan grid persegi 8×8, periksa potongan-potongan tersebut

dengan hati-hati terutama hubungan pada grid tersebut, kemudian temukan cara

untuk memperbesar semua potongan.

Fase 5: Integrasi

Kesempatan-kesempatan diberikan pada anak untuk menarik secara bersama

pengetahuan baru mereka dan merefleksikannya sebagai satu keseluruhan. Mereka

harus mampu mengekspresikan atau menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari

dalam beberapa cara.

Contoh: Kelompok kecil dari anak-anak dapat merancang grafik, buku-buku

dokumentasi kelas dan suatu bentuk tayangan yang memperlihatkan apa yang telah

mereka pelajari tentang bangun-bangun tangram. Pasangan-pasangan dari anak-anak

dapat mempersiapkan kartu-kartu “Bangun apakah saya?” yang dapat digunakan dalam

permainan individu atau pun tim. Permainan kelas seperti “Duapuluh Pertanyaan” akan

membantu anak untuk mengorganisasi pengetahuan mereka tentang sifat-sifat dari

bangun-bangun secara logis. Penaksiran individual dapat dilakukan dengan memberikan

kegiatan-kegiatan open-ended pada anak seperti “pilih satu bangun dan tuliskan apa

yang kamu ketahui tentang bangun itu”, dan “pilih bangun lain dan rancang sebuah

kartu “Bangun apakah saya?”.

Penutup

Sebagai satu konsekuensi dari penerapan sederetan aktifitas sebagaimana yang

telah dijelaskan di atas, sebagian besar anak akan mengalami kemajuan dari pengenalan

secara sederhana beberapa bangun, kepada kemampuan untuk mendiskusikan bangun-

bangun dalam istilah sifat-sifat geometris spesifik dan mungkin membuat beberapa

perbandingan diantara bangun-bangun. Dengan kata lain, mereka akan melangkah dari

tingakatan 1 Pemikiran Visual ke tingkatan 2 Pemikiran Deskriptif dalam hal bangun-

bangun yang diberikan pada aktifitas-aktifitas di atas. Meskipun pengetahuan dan

kosakata dikembangkan dengan mengacu pada sekumpulan bangun-bangun spesifik,

akan membantu anak dalam pelajaran bangun-bangun lainnya, banyak pengalaman-

12

Page 13: kecerdasan visual-spasial

pengalaman serupa lainnya yang akan dibutuhkan untuk mengembangkan pemikiran

geometris tentang bidang-bidang yang berbeda. Sebagai contoh, bidang-bidang puzzle

yang diberikan di bawah ini akan memberikan kesempatan yang bagus pada anak untuk

mengeksplorasi jenis-jenis segitiga dan segiempat.

Daftar Pustaka

Armstrong, T. 2003. Sekolah Para Juara, Bandung: Mizan Media Utama.

_________. 2002. 7 Kinds of Smart, disadur oleh T Hermaya, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

_________. 2002. Setiap Anak Cerdas disadur oleh Rina Buntaran, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Bishop, A.J. 1980. Spatial Abilities and Mathematic Education: A review. Education studies in mathematic, 11, (pp. 257-269)

Eliot, J. 1987. Model of Psychological Space:Psychometric, Developmental andExperimental Approaches. New York: Springer-Verlag.

Fuys, Geddes & Tischler. 1988. The van Hiele model of Geometric Thinking Among Adolescents. Journal of Research in Mathematics Education Monograph 3.

Geary, D.C. 1996. Children’s Mathematical Development. Washington: American Psychological Association.

Guay, R. dan E. McDaniel. 1977. The Relation between Math Achievement and Spatial Abilities among Elementary School Children. Journal of Research in Mathematics Education, 7, (pp. 211-215)

Hardy, Malcolm dan Heyes, Steve. 1988. Pengantar Psikologi. Terjemahan Soenardji. Beginning Psychology. Jakarta: Erlangga

McGee, M.F. 1979. Human Spatial Ability: Psychometric Studies and Environment: Genetic, Hormonal, and Neurological Influences. Psychological Bulletin, 5, (pp. 887-902)

13

Page 14: kecerdasan visual-spasial

Pegg, J. & Davey, G. 1991. Levels of Geometric Thought. The Australian Mathematics Teacher. Vol.7. No.2.

Piaget, J. dan Inhelder, B. 1971. Mental Imagery in Child. New York: Basic Books.

Santrock, J.W. 2005. Life-Span Development. USA: Brown & Benchmark.

Sherman, J.A. 1980. Mathematics, Spatial Visualization, and Related Factors: Changes in Girl and Boys grade 8-11. Journal of Educational Psychology, 72, (pp. 476-482)

Smith, P.K. 1980. Spatial Ability. London: University of London Press.

Tambunan, S.M. 2006. Hubungan Antara Kemampuan Spasial dengan Prestasi Belajar Matematika, Makara, Sosial Humaniora, vol. 10, no. 1, hal: 27-32

Van Hiele, P. 1999. Developing Geometric Thinking Through Activities that Begin with Play. Teaching Children Mathematics. February 1999. (pp. 310-316)

Zoelandari, M. 2009. Jika Anak Berimajinasi Lewat Gambar, http://www.inspiredkidsmagazine.com/ArtikelEducation.php?artikelID=68. 20 Maret 2009.

14