keefektifan penerapan pendekatan saintifik dengan model...
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hakikat IPA di SD
Standar isi IPA di SD yang terdapat dalam Badan Standar Nasional
pendidikan (BNSP) mengatakan bahwa” Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga
IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-
konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan.
Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk menjadi diri
sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan
pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar
menjelajahi dan memahami alam sekitar secara alamiah.
Trianto (2010:153) menyatakan bahwa hakikat IPA meliputi empat unsur
yaitu: 1) Sikap : rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup,
serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat
dipecahkan melalui prosedur yang benar: IPA bersifat open ended. 2) Proses:
prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah, meliputi penyusunan
hipotesis, perencanaan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan
penarikan kesimpulan. 3) Produk: berupa fakta, prinsip, teori dan hukum. 4)
Aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat unsur itu merupakan ciri IPA yang utuh yang sebenarnya tidak dapat
dipisahkan satu sama lain.
Manusia dalam kehidupannya senantiasa berkeinginan agar kehidupannya
tidak tertinggal dengan manusia yang lain. Oleh karena itu manusia memerlukan
cara-cara untuk tetap berkembang dan maju ke kehidupan yang lebih baik. Salah
satu usaha manusia agar kehidupannya terus berkembang dan tidak tertinggal
adalah dengan belajar. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
11
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya (Slameto, 2010:2). Belajar tidak hanya dilakukan di lingkungan
formal saja, tetapi dapat juga dilakukan di lingkungan non formal seperti keluarga,
masyarakat, bahkan juga dari setiap peristiwa yang dialami.
Pembelajaran merupakan kata jamak dari kata belajar, yang menurut
Purwadarminta (dalam Mahfud, 2012:211) sama artinya dengan instruction atau
pengajaran yaitu cara (pembuatan) mengajar atau mengajarkan. Menurut Undang-
undang nomor 20 tahun 2000 pasal 1 tentang pendidikan nasional menyatakan
bahwa pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar. Sedangkan menurut Oemar Hamalik
(dalam Mawardi dan Puspasari, 2011:198) pembelajaran adalah suatu kombinasi
yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitator, perlengkapan
dan proses yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat IPA
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang gejala-gejala alam dengan
menggunakan metode ilmiah yang digunakan untuk memecahkan masalah ilmiah.
2.1.2. Pengertian Pendekatan Saintifik
Pembelajaran dengan pendekatan saintifik menurut Kurniaasih (2013:29)
adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar siswa secara
aktif mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan
mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan
masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan
berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan
konsep, hukum atau prinsip yang “ditemukan”.
Pendekatan saintifik dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada
siswa dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan pendekatan
ilmiah, bahwa informasi bisa berasal dari mana saja, tidak bergantung pada
informasi searah dari guru. Oleh karena itu kondisi pembelajaran yang diharapkan
tercipta diarahkan untuk mendorong siswa dalam mencari tahu dari berbagi
sumber melalui observasi, dan bukan hanya diberi tahu.
12
Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan
keterampilan proses seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur, meramalkan,
menjelaskan, dan menyimpulkan. Dalam melaksanakan proses-proses tersebut,
bantuan guru diperlukan. Akan tetapi bantuan guru tersebut harus semakin
berkurang dengan semakin bertambah dewasanya siswa atau semakin tingginya
kelas siswa .
Karakteristik dengan pendekatan saintifik menurut Daryanto (2014: 53)
adalah sebagai berikut: 1) Berpusat pada siswa . 2) Melibatkan keterampilan
proses sains dalam mengkonstruksi konsep, hukum dan prinsip. 3) Melibatkan
proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek,
khususnya keterampilan berpikir tingkat siswa . 4) Dapat mengembangkan
karakter siswa .
2.1.3. Langkah-langkah Pendekatan Saintifik
1. Mengamati
Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran
(meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti
menyajikan media obyek secara nyata, siswa senang dan tertantang, dan mudah
pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini
biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga
relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan
pembelajaran.
Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu
siswa. Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi.
Dengan metode observasi siswa menemukan fakta bahwa ada hubungan antara
obyek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.
2. Menanya
Guru yang efektif mampu menginspirasi siswa untuk meningkatkan dan
mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru
bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu siswanya belajar
dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan siswanya, ketika itu pula dia
mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
13
Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyata,
pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal. Istilah
“pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapat
dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal.
Bentuk pertanyaan, misalnya: Apakah ciri-ciri kalimat yang efektif? Bentuk
pernyataan, misalnya: Sebutkan ciri-ciri kalimat efektif!
3. Mengumpulkan data / informasi
Istilah menalar dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan
ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru
dan siswa merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan
situasi siswa harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir
yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk
memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud merupakan
penalaran ilmiah, meski penalaran non ilmiah tidak selalu tidak bermanfaat.
Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan
terjemanan dari reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau
penalaran. Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada
Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar
asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk
pada kemamuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam
peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori. Selama
mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam
referensi dengan peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan
di memori otak berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang
sudah tersedia. Proses itu dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif
psikologi, asosiasi merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental
sebagai hasil dari kesamaan antara pikiran atau kedekatan dalam ruang dan
waktu.
Aplikasi pengembangan aktivitas pembelajaran untuk meningkatkan daya
menalar siswa:
1. Guru menyusun bahan pembelajaran.
14
2. Guru tidak banyak menerapkan metode ceramah atau metode kuliah.
3. Bahan pembelajaran disusun secara berjenjang atau hierarkis.
4. Kegiatan pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat)diukur dan
diamati.
5. Setiap kesalahan harus segera dikoreksi atau diperbaiki.
6. Perlu dilakukan pengulangan dan latihan agar perilaku yang diinginkan
dapat menjadi kebiasaan atau pelaziman.
7. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang nyata atau otentik.
8. Guru mencatat semua kemajuan siswa untuk kemungkinan memberikan
tindakan pembelajaran perbaikan.
4. Mengasosiasi
Hasil belajar yang nyata atau otentik, dapat diperoleh melalui peran serta
siswa dalam melakukan percobaan atau menunjukan, terutama untuk materi atau
substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA misalnya, siswa harus memahami
konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Siswa harus
memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam
sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar apabila: (1) Guru hendaknya
merumuskan tujuan eksperimen yang akan dilaksanakan murid (2) Guru bersama
murid mempersiapkan perlengkapan yang dipergunakan (3) Perlu
memperhitungkan tempat dan waktu (4) Guru menyediakan kertas kerja untuk
pengarahan kegiatan murid (5) Guru membicarakan masalah yanga akan yang
akan dijadikan eksperimen (6) Membagi kertas kerja kepada murid (7) Murid
melaksanakan eksperimen dengan bimbingan guru, dan (8) Guru mengumpulkan
hasil kerja murid dan mengevaluasinya, bila dianggap perlu didiskusikan secara
klasikal.
5. Mengkomunikasikan
Comunicating adalah kegiatan siswa untuk membentuk jejaring pada
kelas. Kegiatan belajarnya adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan
berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. Kompetensi
15
yang dikembangkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi,
kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan
jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Pada
tahapan ini siswa mempresentasikan kemampuan mereka mengenai apa yang
telah dipelajari sementara siswa lain menanggapi. Tanggapan siswa lain bisa
berupa pertanyaan, sanggahan atau dukungan tentang materi presentasi. Guru
berfungsi sebgai fasilitator tentang kegiatan ini.
Dalam kegiatan ini semua siswa secara proporsional akan mendapatkan
kewajiban dan hak yang sama. Siswa akan terlatih untuk menjadi narasumber,
menjadi orang yang akan mempertahankan gagasannya secara ilmiah dan orang
yang bisa mandiri serta menjadi orang yang bisa dipercaya. Para siswa
melakukan kegiatan networking ini harus dengan perasaan riang dan gembira
tanpa ada rasa takut dan tekanan dari siapapun. Guru akan melakukan penilaian
otentik dalam proses pembelajaran ini dan penilaian hasil Pembelajaran. Siswa
yang aktif dan berani mengemukakan gagasan/pendapatnya secara ilmiah tentu
akan mendapatkan nilai yang lebih baik. Siswa yang masih mempunyai rasa takut
dan kurang percaya diri akan terlatih sehingga menjadi pribadi yang mandiri., dan
pribadi yang bisa dipercaya. Semua kegiatan pembelajan akan kembali kepada
pencapaian ranah pembelajaran yaitu ranah sikap, ranah kognitif dan ranah
ketrampilan.
2.1.4. Model Discovery Learning
2.1.4.1. Pengertian Model Discovery Learning
Discovery Learning (Kurniasih, 2014: 64) adalah teori belajar yang didefinisikan
sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan
pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan siswa mengorganisasi sendiri
Discovery Learning masalah yang dihadapkan kepada siswa semacam masalah
yang direkayasa oleh guru. Dalam mengaplikasikan model Discovery Learning,
guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa
untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing
dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan.
16
Bruner (dalam Mulyatiningsih, 2013:236) menyarankan agar siswa belajar
melalui keterlibatannya secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip yang dapat
menambah pengalaman dan mengarah pada kegiatan eksperimen.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa model
Discovery Learning adalah proses pembelajaran yang terjadi apabila materi
pembelajaran tidak disajikan dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan siswa
mengorganisasi sendiri. Sebagai strategi belajar, Discovery Learning mempunyai
prinsip yang sama dengan inquiri dan Problem Solving.
2.1.4.2. Langkah-Langkah Operasioanal Model Discovery Learning
Langkah-langkah dalam metode Discovery Learning menurut Kurniasih
(2014: 68) adalah sebagai berikut: a) Langkah persiapan strategi Discovery
Learning learning 1) Menentukan tujuan pembelajaran. 2) Melakukan
identifikasi karakteristik siswa. 3) Memilih materi pelajaran. 4) Menentukan
topik-topik yang harus diipelajari siswa secara induktif. 5) Mengembangkan
bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya
untuk dipelajari siswa. 6) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke
kompleks, dari yang konkrit ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke
simbolik. 7) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
Prosedur aplikasi strategi Discovery Learning menurut kurniasih (2014: 68)
Ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar
yaitu:
1) Stimulation (stimulasi/ pemberian rangsangan) Pertama-tama pada tahap ini
pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya,
kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul
keinginan untuk menyelidiki sendiri. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk
menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan
membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan.
2) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah) Guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-
agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah
satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara
17
atas pertanyaan masalah). Memberikan kesempatan siswa untuk
mengidentifikasi dan menganalisa permasalahann yang mereka hadapi,
merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka
terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
3) Data collection (pengumpulan data) Ketika eksplorasi berlangsung guru juga
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan informasi
sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya
hipotesis. Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau
membuktikan benar tidaknya hipotesis, dengan demikian anak didik diberi
kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang
relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara
sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap
ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang
berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara
tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang
telah dimiliki.
4) Data processing (pengolahan data) Pengolahan data merupakan kegiatan
mengolah data dari informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui
wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan, dan semuanya diolah,
diacak, diklasifikasikan pada tingkat kepercayaan tertentu. Data processing
disebut juga dengan pengkodean coding/ kategori yang berfungsi sebagai
pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan
mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang
perlu mendapat pembuktian secara logis.
5) Verification (pembuktian) Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan
secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang
ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data
processing.
6) Generalization (menarik kesimpulan/ generalisasi) Tahap genelasisasi/
menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat
dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang
18
sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi. Setelah menarik kesimpulan
siswa harus memperhatikan prosesmatas makna dan kaidah atau prinsip-
prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya
proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.
2.1.4.3. Keuntungan Model Discovery Learning
Keuntungan model Discovery Learning menurut Kurniasih (2014:66) adalah
sebagai berikut:
a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-
keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan
kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara
belajarnya.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan
ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c. Menimbulkan rasa senang pada siswa , karena tumbuhnya rasa
menyelidiki dan berhasil.
d. Model ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai
dengan kecepatannya sendiri.
e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan
melinatkan akalnya dan motivasi sendiri.
f. Model ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena
memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
g. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan
gagasan-gagasan.
h. Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena
mengarah pada kebenaran yang final dan tentu atau pasti.
i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
j. Membantu dan mengembangkan ingatan dan teransfer kepada situasi
proses belajar yang baru.
k. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
l. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
m. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
19
n. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada
pembentukan manusia seutuhnya.
o. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa .
p. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis
sumber belajar.
q. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
2.1.4.4. Kelemahan Metode Pembelajaran Discovery Learning
Kelemahan model Discovery Learning menurut Kurniasih (2014:67)
adalah sebagai berikut:
a) Model ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk
belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan
abstrak atau berpikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-
konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan
menimbulkan frustasi.
b) Model ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak,
karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka
menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.
c) Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar
berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-
cara belajar yang lama.
d) Pengajaran Discovery Learning lebih cocok untuk mengembangkan
aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang
mendapat perhatian.
e) Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk
mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa .
f) Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan
ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.
20
2.1.4.5. Komponen Model Discovery Learning
Joyce Dan Weil dalam Winataputra (2001:8) berpendapat bahwa model Discovery Learning seperti halnya model-model
pembelajaran yang lain memiliki lima komponen yang terdiri atas sintagmatik, prinsip reaksi, sistem sosial, daya dukung, dampak
instruksional dan pengiring. Kelima komponen tersebut akan dijelaskan pada uraian berikut:
1. Sintagmatik
Menurut Winataputra (2001:8), sintagmatik adalah tahap-tahap kegiatan dari sebuah model.
Tabel 2
Sintaks Model Discovery Learning dalam Pembelajaran IPA Materi Energi
Sintaks Discovery Learning
Langkah- langkah dalam Pembelajaran
Mengamati Menanya Mengumpulkan data/
informasi Mengasosiasi Mengkomunikasikan
Stimulus
Guru menampil kan gambar-gambar sumber energi
Siswa bertanya tentang gambar yang ditampilkan guru
Identifikasi masalah
Siswa mendiskusikan tentang pengaruh energi terhadap suatu benda
Mengum pulkan data
Siswa mengumpulkan
21
informasi dari kegiatan diskusi melaku kan percobaan
Mengolah data
Berdasarkan dari percobaan yang dilakukan siswa dapat menyebutkan sifat-sifat energi
Menguji hasil
Guru menampilkan video tentang percobaan yang sebenarnya
Menyimpulkan
Siswa persentasi didepan kelas untuk melaporkan hasil diskusi kelompok
22
Tabel 3.
Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran IPA Materi Energi Dengan Model Discovery Learning
Kegiatan Guru Tahap
Pelaksanaan Kegiatan Siswa
1. Guru menampilkan gambar-gambar sumber energy
Stimulus - Siswa mengamati gambar yang ditampilkan guru - Siswa bertanya tentang apa yang diamati
2. Guru membagi siswa kedalam beberapa kelompok
Identifikasi masalah
- Dalam kelompok siswa melakukan percobaan tentang pengaruh energi pada suatu benda
3. Guru membagikan alat peraga Mengumpulkan data
- Melalui percobaan siswa dapat mengidentifikasi sifat-sifat energi
4. Guru memantau kegiatan belajaran pada saat siswa mengisi lembar kerja.
5. Guru mendampingi para siswa dan menjadi tempat bertanya apabila siswa menemui kesulitan.
6. Guru mengarahkan dan membimbing siswa pada saat siswa mengidentifikasi sifat-sifat energi.
Mengolah data
- Dari hasil percobaan yang dilakukan siswa diminta untuk menyebutkan sifat-sifat energi
- Dari hasil percobaan yang dilakukan siswa diminta untuk menyebutkan bentuk-bentuk enrgi
- Dari hasil percobaan siswa diminta untuk menyebutkan contoh energi listrik, energi panas, energi kimia.
7. Guru menampilkan video tentang pengaruh energi pada suatu benda
Menguji hasil - Siswa melakukan pembuktian hasil percobaan
perpindahan energi 8. Guru memberikan arahan dan bimbingan pada
saat siswa mempersentasikan hasil diskusinya tentang energy
9. Guru memberikan komentar dan saran bagi para siswa yang membutuhkan
10. Guru bersama siswa menyamakan jawaban dari semua hasil diskusi siswa
Menyimpulkan
- Secara bergantian siswa mempersentasikan hasil diskusi kelompoknya
- Siswa yang lain memperhatikan dan menanggapi hasil diskusi yang disampaikan oleh kelompok persentasi
- Siswa dapat menerapakan hemat energi dalam kehidupan sehari-hari.
23
2. Prinsip Reaksi
Winataputra (2001:8-9) berpendapat bahwa sistem reaksi adalah pola
kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan
memperlakukan siswa , termasuk bagaimana seharusnya guru memberikan
respon terhadap para siswa . Sunaryo (2011) mengemukakan bahwa dalam
model kreatif guru berperan sebagai pembimbing, pendamping, fasilitator,
serta pengaruh pada saat siswa sedang menjalankan setiap langkah dalam
tahap model pembelajaran.
3. Sistem sosial
Winatapura (2001:8), sistem sosial adalah situasi atau suasana dan
norma yang berlaku dalam model tersebut. Sunaryo (2011) mengemukakan
bahwa suasana kelas pada saat pembelajaran dilaksanakan adalah suasana yang
demokratis, dialogis, kooperatif, dan penuh tanggung jawab.
4. Daya dukung
Winatapura (2001:9), mengemukakan bahwa sistem pendukung adalah
segala sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk melaksanakan model
tersebut. Sarana yang digunakan dalam model ini adalah materi dan media
yang relevan dengan tujuan pembelajaran serta model yang akan
dilaksanakan.Dalam materi energi sarana yang digunakan adalah LCD, dan alat
peraga.
5. Dampak instruksional dan dampak pengiring
Dampak instruksional adalah dampak atau hasil belajar yang dicapai
langsung dengan cara mengarahkan para siswa pada tujuan yang diharapkan.
Dampak instruksional secara umum dalam model ini adalah:
a) Pemahaman terhadap suatu nilai, konsep, atau masalah tertentu. Dalam
model Discovery Learning. Masalah yang diberikan kepada siswa adalah
mengapa saat kita berada dibawah sinar matahari akan terasa panas.
b) Kemampuan penerapan konsep/memecahkan masalah. Dalam pelajaran IPA
dengan KD mengidentifikasi sumber energi dan kegunaannya dengan
indikatator 1) mengidentifikasi sifat-sifat energi, 2) menyebutkan macam-
macam bentuk energi, 3) menyebutkan sumber-sumber energi, 4)
24
memberikan contoh-contoh kegunaan energi, 5) menerapkan cara
menghemat energi dirumah dan sekolah.
c) Kemampuan mengkreasikan sesuatu berdasarkan pemahaman tersebut.
Dampak penggiring adalah hasil belajar lainnya yangdihasilkan oleh
suatu proses pembelajaran, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang
dialami langsung oleh para siswa tanpa pengaruh langsung dari pengajar. Dari
dampak segi pengiring (nurturant effects), melalui model Discovery Learning
learning diharapkan dapat dibentuk kemampuan berpikir kritis dan kreatif,
produktif, bertanggung jawab, serta bekerja sama, yang semuanya merupakan
tujuan pembelajaran jangka panjang.
Dampak instruksional dan pengiring yang sudah diuraikan diatas dapat
digambarkan dalam bagan berikut ini
Keterangan:
Dampak instruksional
Dampak penggiring
Toleransi
Kreatif
Demokratis
Kerja keras
Mandiri
Menghargai prestasi
Bersahabat / komunikatif
Model Discovery Learning
Mengidentifikasi sumber energi dan kegunaannya
Memberikan contoh-contoh
kegunaan energi dalam kehidupan sehari-hari sehari
Menerapkan cara menghemat energi dirumah dan sekolah Tanggung jawab
25
2.1.4.6. Pendekatan Saintifik melalui Model Discovery Learning
Dibawah Ini Tabel 4
Uraian Tentang Pendekatan Saintifik Melalui Model Discovery Learning
Saintintifik Menga
mati Mena nya
Mengum pulkan
data/informasi
Mengaso siasi
Meng Komunika
sikan
Discovery Learning
Stimulation Identifikasi masalah
Pengumpulan data
Pengolahan data
Pembuktian Menarik kesimpulan
Dalam model Discovery Learning mempunyai enam komponen yang
semua komponennya berhubungan dengan pendekatan Saintifik. Langkah awal
pemberian rangsangan merupakan tahapan pada mengamati, identifikasi masalah
termasuk kedalam tahapan mengamati dan menanya, pengumpulkan data masuk
pada tahap mengumpukan data, mengolah data dan menguji hasil masuk pada
tahapan mengasosiasi, dan yang terakhir menarik kesimpulan pada tahapan
mengkomunikasikan.
2.1.5. Model pembelajaran Problem Solving
2.1.5.1. Pengertian model Problem Solving
Model pemecahan masalah (Problem Solving) adalah penggunaan model
dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai
masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok
untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama (Ahmadi, IIF Khoiru dkk,
2011:55). Penyelesaian masalah merupakan proses dari menerima tantangan dan
usaha-usaha untuk menyelesaikannya sampai menemukan penyelesaiannya.
Menurut Syaiful Bahri Djamara (2006 : 103) menyatakan bahwa model Problem
Solving (model pemecahan masalah) bukan hanya sekedar model mengajar tetapi
juga merupakan suatu model berfikir, sebab dalam Problem Solving dapat
26
menggunakan meodel lain yang dimulai dari mencari data sampai kepada menarik
kesimpulan.
Menurut Nasution (2008: 170) memecahkan masalah dapat dipandang
sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah
dipelajarinya lebih dahulu yang digunakannya untuk memecahkan masalah yang
baru. Lebih lanjut Nasution (2008: 170) menyatakan bahwa memecahkan masalah
tidak sekedar menerapkan aturan-aturan yang diketahui, akan tetapi juga
menghasilkan pelajaran baru. Dalam memecahkan masalah pelajar harus berpikir,
mencobakan hipotesis dan bila memecahkan masalah itu ia dapat mempelajari
sesuatu yang baru.
Arends (2008 : 45) pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Solving)
merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan
permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka
sendiri. Menurut Made Wena (2009; 22) mengemukakan bahwa pemecahan
masalah dipandang sebagai suatu proses untuk menemukan kombinasi dari
sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi baru, jadi
dengan menerapkan pembelajaran Problem Solving atau pemecahan masalah
siswa diharapkan setelah mengetahui teori teori yang dipelajari dapat digunakan
untuk memecahkan masalah, dengan memecahkan masalah siswa akan lebih
diasah kemampuannya untuk menerapkan teori teori yang dipelajari dalam
pelajaran.
Pada pembelajaran berbasis masalah siswa dituntut untuk melakukan
pemecahan masalah-masalah yang disajikan dengan cara menggali informasi
sebanyak-banyaknya, kemudian dianalisis dan dicari solusi dari permasalahan
yang ada. Solusi dari permasalahan tersebut tidak mutlak mempunyai satu
jawaban yang benar artinya siswa dituntut pula untuk belajar secara kritis. Siswa
diharapkan menjadi individu yang berwawasan luas serta mampu melihat
hubungan pembelajaran dengan aspek-aspek yang ada di lingkungannya.
Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan metode pembelajaran
Problem Solving adalah suatu penyajian materi pelajaran yang menghadapkan
siswa pada persoalan yang harus dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai
27
tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran ini siswa di haruskan melakukan
penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang
diberikan. Mereka menganalisis dan mengidentifikasikan masalah,
mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi dan
membuat kesimpulan.
Joyce dan Weil (dalam Winataputra 2001:8), menyebutkan bahwa setiap
model pembelajaran memiliki 5 unsur yang terdiri atas sintagmatis, sistem sosial,
prinsip reaksi, daya dukung, dampak instruksional dan pengiring. Komponen-
komponen tersebut akan dijelaskan pada uraian sebagai berikut:
1) Sintakmatik
Menurut Winataputra (2001:8) sintagmatik adalah tahapan-tahapan
kegiatan dari sebuah model. Sintak pembelajaran model Problem Solving
adalah: a)Identifikasi masalah, b) mengorganisasi siswa dalam pemecahan
masalah, c) Membimbing penyelidikan baik individu maupun kelompok,
d) mengembangkan dan mempersentasikan hasil karya, e) Menganalisa
dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
2) Sistem Sosial
Menurut Winaputra (2001: 8) sistem sosial adalah situasi atau suasana,
dan norma yang berlaku dalam model tersebut. Dalam pembelajaran
menggunakan model Problem Solving sistem sosial menekankan
konstruksi pengetahuan yang dilakukan setiap individu peserta didik
secara aktif atas tanggungjawabnya sendiri, namun konstruksi individu
tersebut akan semakin kuat jika dilakukan secara berkolaboratif dalam
kelompok kooperatif yang mutual yaitu kelompok kooperatif yang
menekankan pada upaya terjadinya diskusi yang dilandasi rasa
keterbukaan, sehingga timbul rasa nyaman dan rasa persahabatan dalam
kelompok peserta didik dalam berkolaborasi untuk memecahkan masalah
IPA yang dihadapi.
3) Prinsip Pengelolaan/ Reaksi
Menurut Winaputra (2001:8) prinsip reaksi adalah pola kegiatan yang
mengambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan
28
para pelajar, termasuk bagaimana seharusnya pengajar memberikan respon
terhadap mereka. Prinsip ini memberi petunjuk bagaimana seharusnya para
pengajar menggunakan aturan permainan yang berlaku pada setiap model.
Respon terhadap proses dan kinerja peserta didik dalam memecahkan
masalah didasarkan atas prinsip “Guru sebagai fasilitator” daalm proses
pembelajaran. Artinya sebagai fasilitator dalam membantu siswa dalam
proses pemecahan masalah.
4) Sistem Pendukung
Menurut Winaputra (2001:9) sistem pendukung ialah segala sarana, bahan
dan alat yang diperlakukan untuk melaksanakan model tersebut. Untuk
menunjukan kelancaran dalam pelaksanaan model pembelajaran Problem
Solving yang dikembangkan ini diperlukan perangkat pendukung terdiri
dari: a) Kumpulan masalah IPA; b) Rencan pembelajaran yang disusun
atas prinsip Problem Solving dikombinasikan dengan pendekatan
kooperatif; c) Lembar kerja siswa (LKS) yang memuat masalah-masalah
IPA dan; d) Asesmen pembelajaran yang lengkap dengan pedoman
pensekoran masalah IPA.
5) Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring
Menurut Winaputra (2001: 9) dampak instruksional ialah hasil belajar
yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para siswa pada tujuan
yang diharapkan. Sedangkan dampak pengiring ialah hasil belajar lainnya
yang dihasilkan oleh suatu proses pembelajaran, sebagai akibat terciptanya
suasana belajar yang dialami langsung oleh para siswa tanpa pengarahan
langsung dari pengajar. Model Problem Solving ini memiliki dampak
pembelajaran bagi siswa. Hal ini merupakan kompetensi yang ingin di
capai melalui model pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan
masalah yang meliputi kompetensi peserta didik dalam:
a) Mengerti konsep, prinsip dan ide-ide dalam pembelajaran
IPA dalam kehidupan sehari-hari,
b) Memilih dan menyelenggarakan proses dan strategi
pemecahan masalah,
29
c) Menjelaskan dan mengkomunikasikan mengapa strategi
itu berfungsi dan,
d) Mengidentifikasikan dan melihat kembali alasan-alasan
mengapa solusi dan prosedur menuju solusi itu adalah
benar.
Keempat kompetensi ini akan dijadikan kriteria dasar pengukuran
mengenai efektifitas model pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian
ini. Dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu
proses pembelajaran, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami
langsung oleh para siswa tanpa pengarahan langsung dari pengajar. Dari segi
dampak pengiring melalui model Problem Solving diharapkan dapat dibentuk
kemampuan jujur, bertanggung jawab, bergaya hidup sehat, disiplin, bekerja
keras, percaya diri, berwira usaha, berpikir kreatif, mandiri ingin tau serta cinta
ilmu.
Dampak yang akan diperoleh siswa dalam pembelajaran IPA materi
“Energi ” dengan menggunakan model Problem Solving adalah bersahabat,
bertanggung jawab, menghargai prestasi, mandiri, bekerja keras, toleransi,
berpikir kreatif, demokratis.
Dampak instruksional dan pengiring yang sudah diuraikan diatas dapat
digambarkan dalam bagan berikut ini
Keterangan:
Dampak instruksional
Dampak penggiring
Toleransi Kreatif Demokratis
Kerja keras
Mandiri
Menghargai prestasi
Bersahabat / komunikatif
Model Problem Solving
Mengidentifikasi sumber energi dan kegunaannya
Memberikan contoh-contoh kegunaan energi dalam kehidupan sehari-hari sehari
Menerapkan cara menghemat energi dirumah dan sekolah Tanggung jawab
30
2.1.5.2. Langkah langkah Pembelajaran Problem Solving
Langkah-langkah model Problem Solving menurut Djamarah dan Zain (2006: 92)
adalah sebagai berikut:
a) Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan. Siswa akan
dihadapkan dengan sebuah masalah. Masalah ini muncul dari
siswa disesuaikan dengan taraf kemampuannya.
b) Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan
untukmemecahkan masalah misalnya dengan membaca buku,
menelitiberdiskusi, dll.
c) Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut.
Dugaanjawaban ini didasarkan kepada data yang telah diperoleh
pada tahap pengumpulan dan pencarian data.
d) Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah
ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-
betulyakin bahwa jawaban tersebut betul-betul cocok. Apakah
sesuaidengan jawaban sementara atau tidak.
e) Menarik kesimpulan. Dalam tahap ini siswa harus sampai
kepadakesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi.
Dewey (dalam Nasution, 2008: 170) mengemukakan langkah-langkah model
pembelajaran Problem Solving adalah sebagai berikut:
a. Pelajar dihadapkan dengan masalah
b. Pelajar merumuskan masalah itu
c. Ia merumuskan hipotesis
d. Ia menguji hipotesis itu
Dari beberapa pendapat di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa langkah-
langkah model Problem Solving adalah diawali dengan pemberian masalah,
selanjutnya siswa mengumpulkan data, merumuskan hipotesis atau jawaban
sementara, dan dilanjutkan dengan menguji jawaban sementara tersebut, setelah
itu siswa menarik kesimpulan.
31
2.1.5.3. Kelebihan dan Kelemahan Problem Solving
Kelebihan pembelajaran Problem Solving adalah sebagai berikut:
1) Mendidik siswa untuk berpikir sistematis
2) Mampu mencari jalan keluar terhadap situasi yang
dihadapi
3) Belajar menganalisis suatu masalah dari berbagai aspek
4) Mendidik siswa percaya diri sendiri
5) Berpikir dan bertindak kreaktif
6) Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
7) Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan
kehidupan, khususnya dunia kerja
8) Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa
untuk menyelesaikan
9) masalah yang dihadapi dengan tepat.
Kelemahan pembelajaran Problem Solving
1) Memerlukan waktu yang cukup banyak
2) Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah berbeda
beda ada yang sempurna dalam memecahkan masalah
tetapi ada juga yang kurang dalam memecahkan masalah.
2.2. Hasil Belajar
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) pasal 58, Evaluasi hasil belajar siswa dilakukan oleh pendidik untuk
memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar siswa secara
berkesinambungan.
Sudjana (2003:3) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah perubahan
tingkah laku yang mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik yang
dimiliki oleh siswa setelah menerima pengalaman belajar. Gagne dalam Slameto
( 2010 : 14) juga mengatakan bahwa segala sesuatu yang dipelajari oleh manusia
dapat dibagi menjadi 5 kategori, yang disebut “ The domains of learning” yaitu:
32
1. Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan
dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis.
2. Ketrampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan
konsep dan lambang. Ketrampilan intelektual terdiri dari
kemampuan mengategorisasi, kemampuan analitis fakta-konsep
dan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Keterampilan
intelekatual merupakan kemampuan melakukan aktivitas kognitif
bersifat khas.
3. Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurk dan mengarahkan
aktifitas kognitif sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan
konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.
4. Keteranpilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian
gerak jasmani dalam urusan koordinasi sehingga terwujud
otomatisme gerak jasmani.
5. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek
berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap merupakan
kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku.
Menurut Bloom dalam Agus suprijono (2011 : 5) menyebutkan bahwa hasil
belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Domain
kognitif adalah knolegde (pengetahuan, pengalaman), comprehension
( pemahaman , menjelaskan, meringkas, contoh) application (menerapkan,
meenntukan hubungan), synthetis (mengorganisasikan, merencanakan,
membentuk bangunan baru), dan evaluation ( menilai) . Domain afektif
adalah receiving (sikap menenrima), responding (memberikan respon),
valuing (nilai), organization (organisasi), characterization ( karakterisasi).
Domain psikomotor juga mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik,
sosial, menejerial, dan intelektual. Sementara menurut Lindgren dalam Agus
suprijono (2011 : 6) hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi,
pengertian dan sikap.
33
2.3. Kajian Penelitian yang Relevan
Muntiana (2012) dalam penelitian yang berjudul Perbedaan Pengaruh
Pendekatan Inquiri dengan Menggunakan Metode Discovery Learning dan
Metode Eksperimen Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV SD Gugus
Muhammad Syafi’i Kecamatan Randublatung Kab Blora Tahun Pelajaran
2011/2012. Menyimpulkan bahwa: (1) terdapat pengaruh yang positif dan
signifikan antara model penggunaan model Discovery Learning dan metode
eksperimen terhadap hasil belajar IPA siswa kelas IV SD N Sambongwangan 01
dan SDN Plosorejo 02 Kecamatan Randublatung kecamatan Blora Tahun
pelajaran 2011/2012. (2) Hasil uji t-tes menunjukkan nilai t adalah 3.731 dengan
probabilitas signifikan 0,001<0,05 artinya mean nilai setelah menggunakan
metode Discovery Learning berbeda dengan mean nilai setelah menggunakan
metode eksperimen. (3) pembelajaran menggunakan model Discovery Learning
dan metode eksperimen memperoleh skor rata-rata kelompok eksperimen adalah
70,50 dan skor rata-rata kelompok kontrol 61,47 dengan selisih skor 9,029. (4)
Model Discovery Learning lebih berpengaruh positif terhadap hasil belajar IPA
siswa kelas IV SD N Sambongwangan 01 dibandingkan hasil belajar SD N
Plosorejo 02 yang menggunakan metode eksperimen.
Menurut Lisa Saputri (2011) Dalam Penelitian Yang Berjudul Pengaruh
Penggunaan Metode Discovery Learning pada Pelajaran IPA pokok bahasan
Bunyi Terhadap Hasil Belajar Siswa kelas IV SD Kristen Satya Wacana Salatiga
semester II Tahun ajaran 2011/2012 menyimpulkan bahwa: penggunaan metode
Discovery Learning pada pelajaran IPA pokok bahasan bunyi berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa kelas IV SD Kristen Satya Wacana Salatiga Semester
II Tahun Pelajaran 2011/2012.
Penelitian Yuli Astutik yang berjudul “Efektivitas Penggunaan Metode
Discovery Terhadap Hasil Belajar Kognitif, Afektif, dan Psikomotor Siswa Pada
Pelajaran IPA Kelas 5 Sekolah Dasar Gugus Pangeran Diponegoro Kecamatan
Geyer Kabupaten Grobogan Semester 2 Tahun Pelajaran 2011/2012”. Hasil
penelitian menggunakan analisis uji t dan deskriptif data. Nilai rata-rata post test
untuk kelas eksperimen sebesar 81,20 dan rata-rata kelas kontrol sebesar 70,31
34
dengan probabilitas signifikasi ranah kognitif 0,001<0,05, serta rata-rata skor
angket untuk kelas eksperimen sebesar 20,67 dan rata-rata kelas kontrol sebesar
15,92 dengan probabilitas signifikasi ranah afektif 0,00>0,05, maka terdapat
perbedaan yang signifikan untuk pembelajaran dengan menggunakan metode
discovery dengan metode konvensional. Serta hasil deskriptif data ranah
psikomotor diperoleh hasil penilaian unjuk kerja lebih besar dari 34 dengan skor
rata-rata sebesar 48. Sehingga da\pat disimpulkan bahwa penggunaan metode
discovery efektif terhadap hasil belajar kognitif, afektif, dan psikomotor siswa
pada pelajaran IPA kelas 5.
Menurut penelitian dari Erni arinawati, St. Y. Slamet, Chumdari
(Universitas Sebelas Maret Surakarta) yang berjudul “Pengaruh Model
Pembelajaran Discovery Learning terhadap hasil belajar Matematika Ditinjau Dari
Motivasi Belajar” menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh model
pembelajaran Discovery Learning terhadap hasil belajar matematika, terdapat
perbedaan pengaruh motivasi belajar tinggi dan rendah terhadap hasil belajar
matematika, tidak terdapat interaksi model pembelajaran dan motivasi belajar
terhadap hasil belajar matematika.
Menurut penelitian dari I Made Putrayasa, H. Syahruddin, I Gede
Margunaya (Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia) yang berjudul
“Pengaruh Model Pembelajaran Discovery Learning Dan Minat Belajar Terhadap
Hasil Belajar IPA Siswa ” menyimpulkan bahwa: (1) Terdapat perbedaan yang
signifikan hasil belajar IPA yang signifikan antara kelompok siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan model Discovery Learning dan kelompok siswa
yang mengikuti pembelajaran dengan pembelajaran konvensional. (2) Terdapat
pengaruh interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dan minat terhadap
hasil belajar IPA siswa . Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran Discovery Learning dan minat belajar siswa berpengaruh terhadap
hasil belajar IPA siswa . (3) Pada kelompok siswa yang memiliki minat tinggi,
terdapat perbedaan hasil belajar IPA yang signifikan antara kelompok siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan model Discovery Learning dengan kelompok
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pembelajaran konvensional. (4) Pada
35
kelompok siswa yang memiliki minat rendah, tidak terdapat perbedaan hasil
belajar IPA yang signifikan antara kelompok.
2.4. Kerangka Pikir
Pembelajaran IPA menggunakan model Discovery Learning membuat
siswa aktif secara langsung dalam Proses Belajar Mengajar (PBM). Sehingga
siswa lebih tertarik dengan mata pelajaran IPA. Selain itu dengan model
Discovery Learning , siswa dimungkinkan untuk menemukan sendiri keterkaitan-
keterkaitan baru dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan melalui kegiatan
mandiri.
Berdasarkan uraian diatas, maka pelaksanaan pembelajaran IPA dengan
model Discovery Learning pada dasarnya adalah untuk mengetahui terdapat atau
tidaknya pengaruh penggunaan model Discovery Learning terhadap hasil belajar
siswa kelas III SDN gugus Diponegoro.
36
Bagan Kerangka Pikir
Hasil belajar
kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam
mengeksplorasi bahan pelajaran.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan
menganalisa permasalahan yang mereka hadapi
Siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang
berhubungan dengan masalah yang dihadapi
Semua informasi yang didapat siswa akan memperoleh pengetahuan baru tentang
jawaban/penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis
siswa membuktikan benar atau tidaknya hipotesis kemudian
dihubungkan dengan hasil data progesing.
Siswa melaporkan
semua hasil yang telah didapat
Stimulus
Menguji hasil
Menarik kesimpulan Identifikasi
masalah
Mengumpul kan data
Mengolah data
37
Langkah yang dilakukan peneliti adalah menentukan kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol. Selanjutnya, melakukan pretest pada kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol. Menganalisis hasil pretest dari kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol dengan uji homogenitas untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
yang signifikan dari kedua kelompok tersebut. Dan dari uji homogenitas diketahui
bahwa kedua kelompok homogen, maka dapat diperlakukan.
Kelompok eksperimen dilakukan pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan saintifik dan model Discovery Learning . Model Discovery Learning
adalah pembelajaran yang terjadi bila siswa tidak disajikan dengan pelajaran dalam
bentuk finalnya saja,tetapi siswa mengorganisasi sendiri atau menemukan sendiri.
Setelah diberikan treatmen atau (perlakuan) yang berbeda kemudian kedua
kelompok tersebut diberi posttest yang sama. Posstest merupakan alat atau prosedur
yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan
cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan.
Bandingkan hasil belajar kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dalam
proses pembelajaran, hasil belajar merupakan hal yang paling penting karena dapat
menjadi petunjuk untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan guru dan siswa dalam
proses pembelajaran yang telah dilakukan. Dengan melihat hasil belajar kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen dapat diketahui hasil belajarnya, sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa terdapat atau tidaknya pengaruh pendekatan saintifik
melalui model Discovery Learning terhadap hasil belajar siswa.
2.5. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
kalimat pernyataan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru
didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang
diperoleh melalui pengumpulan data (Sugiyono 2010: 96).
38
Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis tindakan, yaitu hasil
belajar kelompok eksperimen dengan penggunaan model Discovery Learning lebih
baik secara signifikan atau dengan kata lain model Discovery Learning berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa dibandingkan dengan hasil belajar kelompok kontrol
dengan penggunaan model Problem Solving pada pembelajaran IPA di SD.
Ho= Tidak ada perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA siswa kelas III SD gugus
Diponegoro yang menggunakan model Discovery Learning dengan siswa
yang menggunakan model Problem Solving.
Ha= Ada perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA siswa kelas III SD gugus
Diponegoro yang menggunakan model Discovery Learning dengan siswa
yang menggunakan model Problem Solving