kejahatan jalanan

12
UPAYA KEPOLISIAN DALAM MEMBERANTAS KEJAHATAN JALANAN A. Latar Belakang Kejahatan jalanan atau yang biasa dikenal dengan street crimes merupakan jenis kejahatan tradisional yang sangat meresahkan warga masyarakat. Terlebih hal ini dirasakan di kota-kota besar seperti Jakarta. Di saat hiruk pikuk kejahatan kerah putih (white collar crime) seperti korupsi, money laundering, carding, dan lain sebagainya terus-menerus menghiasi setiap media massa kita saat ini, kejahatan jalanan tetap merupakan ancaman yang amat nyata bagi masyarakat kita. Apalagi bila kejahatan jalanan ini disertai dengan kekerasan (crime by using force) semisal penjambretan, penodongan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, perampokan, pembunuhan, dan sebagainya. Pada beberapa bulan terakhir ini, jajaran Polda Metro Jaya telah melakukan operasi preman yang cukup dapat dirasakan hasilnya. Meskipun sepi dari pemberitaan di media massa, namun berdasarkan data yang dihimpun ratusan preman berhasil terjaring dalam operasi ini. Wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Timur memiliki tingkat kerawanan yang lebih tinggi mengenai kejahatan jalanan ini. Jenis kejahatan jalanan yang paling sering mengganggu masyarakat adalah pencurian dengan kekerasan yang acap kali menimbulkan korban luka bahkan merenggut nyawa korban.

Upload: wahyu-nugroho

Post on 26-Jun-2015

97 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kejahatan Jalanan

UPAYA KEPOLISIAN DALAM MEMBERANTAS

KEJAHATAN JALANAN

A. Latar Belakang

Kejahatan jalanan atau yang biasa dikenal dengan street crimes merupakan

jenis kejahatan tradisional yang sangat meresahkan warga masyarakat. Terlebih hal

ini dirasakan di kota-kota besar seperti Jakarta. Di saat hiruk pikuk kejahatan kerah

putih (white collar crime) seperti korupsi, money laundering, carding, dan lain

sebagainya terus-menerus menghiasi setiap media massa kita saat ini, kejahatan

jalanan tetap merupakan ancaman yang amat nyata bagi masyarakat kita. Apalagi bila

kejahatan jalanan ini disertai dengan kekerasan (crime by using force) semisal

penjambretan, penodongan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, perampokan,

pembunuhan, dan sebagainya.

Pada beberapa bulan terakhir ini, jajaran Polda Metro Jaya telah melakukan

operasi preman yang cukup dapat dirasakan hasilnya. Meskipun sepi dari pemberitaan

di media massa, namun berdasarkan data yang dihimpun ratusan preman berhasil

terjaring dalam operasi ini. Wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Timur memiliki tingkat

kerawanan yang lebih tinggi mengenai kejahatan jalanan ini. Jenis kejahatan jalanan

yang paling sering mengganggu masyarakat adalah pencurian dengan kekerasan yang

acap kali menimbulkan korban luka bahkan merenggut nyawa korban.

Bentuk-bentuk kejahatan di atas tentu saja akan sangat berpengaruh pada

keamanan dan ketertiban masyarakat. Mengapa? Karena kejahatan-kejatahan inilah

yang paling dekat dengan mayarakat, dan apabila dibiarkan akan menimbulkan

ketakutan, perasaan tidak aman dalam masyarakat dan tentunya akan sangat

berpengaruh terhadap produktivitas masyarakat dalam melaksanakan kehidupannya

sehari-hari.

Kejahatan jalanan merupakan bagian terbesar dari angka statistik kriminalitas.

Sistem Peradilan Pidana kita sangat disibukkan oleh “street crimes” ini. Mungkin

sebagian besar dari aktivitas penanggulangan kejahatan oleh Kepolisian, Kejaksaan

dan Pengadilan berpusat pada kejahatan jalanan ini. Dan apabila kita melihat populasi

Lembaga Pemasyarakatan, maka pelaku-pelaku kejahatan jalanan inilah yang

memenuhi lembaga.

Page 2: Kejahatan Jalanan

Meskipun realita diatas tidak serta merta menjawab apa yang menjadi

permasalahan utama kejahatan di Indonesia, namun setidaknya, kejahatan jalanan

telah memberikan andil yang besar dalam menimbulkan ancaman dan keresahan

dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itulah perlunya polisi memiliki strategi yang

tepat untuk terus menekan angka kejahatan jalanan ini. Karena tidak dapat dipungkiri

bahwa hulu dari kejahatan ini merupakan akibat masalah kehidupan sosial masyarakat

kita yang amat pelik. Kita tidak dapat memandang masalah kejahatan jalanan dari segi

hukum saja, tanpa memperhatikan aspek sosiologis dalam masyarakat.

Kejahatan jalanan merupakan kejahatan konvensional yang selalu mewarnai

kehidupan sosial masyarakat kita. Di kota besar seperti Jakarta, hampir dapat dipastikan

setiap hari terjadi kejahatan semacam ini. Meskipun kejahatan ini sifatnya konvensional

namun penyebab bentuk kejahatan ini tidak sederhana lagi. Sehingga polisi dalam hal ini

tidak dapat bekerja sendiri untuk memerangi kejahatan jalanan ini. Pada bab ini, penulis ingin

membahas apa yang melatarbelakangi para pelaku kejahatan jalanan melakukan aksinya dan

bagaimana seharusnya aparat kepolisian melakukan upaya dalam memberantasnya.

A. Pelaku Kejahatan Jalanan

Telah banyak ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai pelaku

kejahatan, baik dari segi sosiologis, psikologi, krimonologi, maupun dari segi

hukumnya. Salah satu teori yang dapat kita gunakan untuk melihat bagaimana pelaku

kejahatan melakukan sebuah aksi kriminalitas adalah menggunakan teori motivasi

yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Yaitu bahwasannya tindakan manusia

merupakan hasil motivasi 5 (lima) kebutuhan secara hierarki, yakni :

1. Fisiologis : Meliputi kebutuhan akan udara, air, makan, seks, dll

2. Rasa Aman : mencakup kebutuhan akan keselamatan, ketertiban, dan

bebas dari rasa takut dan ancaman.

3. Rasa memiliki dan cinta / kebutuhan sosial, hubungan manusiawi.

4. Penghargaan : mencakup kebutuhan akan harga diri, rasa hormat dari

orang lain.

5. Aktualisasi diri : meliputi kebutuhan untuk berkembang, untuk menyadari

potensi seseorang.

Page 3: Kejahatan Jalanan

Kebutuhan tersebut di atas disusun secara hierarkis, yang artinya memiliki gradasi

kepentingan. Dari yang paling atas merupakan yang paling pokok selanjutnya sampai

yang terakhir. Dalam pengertian kebutuhan yang dibawahnya akan timbul apabila

kebutuhan yang di atasnya sudah terpenuhi terlebih dahulu.

Teori ini dapat menjelaskan mengapa sebagian besar atau bahkan hampir

semua pelaku kejahatan jalanan adalah berasal dari golongan orang miskin,

pengangguran, orang-orang yang tidak memiliki penghasilan/tempat tinggal yang

layak, dan tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Hal ini didorong oleh kebutuhan

akan fisiologis. Karena mereka hidup di bawah garis kemiskinan, disertai tidak

adanya penghasilan yang mencukupi, akhirnya timbul motivasi dalam diri mereka

untuk melakukan perbuatan jahat agar dapat mencukupi kebutuhan dasar seperti

makan, minum, serta kebutuhan sehari-hari mereka. Dan tentu saja kejahatan yang

paling dekat dengan mereka atau dapat mereka lakukan adalah kejahatan jalanan

seperti menjambret, menodong, merampok, dan lain-lain. Mereka tidak mungkin

melakukan kejahatan dalam skala yang lebih besar seperti korupsi, penggelapan

dalam jabatan dan lainnya, karena mereka tidak memiliki akses ke dalam bentuk-

bentuk kejahatan seperti itu.

Untuk memerangi faktor kemiskinan ini, tentu polisi tidak dapat bertindak

sendiri. Dalam hal ini polisi harus menjalin kerja sama dengan pihak-pihak terkait.

Misalnya dengan pemerintah daerah, departemen sosial, tokoh-tokoh masyarakat,

Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), dan lain sebagainya. Adapun program yang dapat

dibuat utamanya bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan dengan cara perluasan

lapangan dan kesempatan kerja.

Polisi harus memiliki andil dalam program-program pengentasan kemiskinan

seperti ini. Kendati hal ini tidak langsung bersentuhan dengan tugas kepolisian, tapi

perlu diyakini bahwa kemiskinan adalah sumber dari segala masalah, termasuk

implikasinya dalam bentuk gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.

B. Tindakan polisional pada waktu dan tempat tertentu

Di dalam ilmu kepolisian dikenal adanya istilah faktor korelatif kriminogen

(FKK), yakni faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak kejahatan. Faktor-

faktor inilah yang menjadi penyebab terjadinya tindak kriminalitas. Faktor ini akan

Page 4: Kejahatan Jalanan

makin tumbuh subur karena sistem yang mengatur, sarana, dan prasarana yang ada

tidak memadai serta tidak bisa mengakomodasikan persoalan yang muncul.

Berbagai perilaku yang menyimpang itu kerap muncul dalam berbagai

aktivitas masyarakat, baik di lingkungannya maupun di lokasi-lokasi aktivitas

masyarakat lainnya, seperti di areal pemukiman, perkantoran, pertokoan, mal, dan

pusat-pusat hiburan maupun lokasi-lokasi wisata. Selain itu bisa pula terjadi di lokasi-

lokasi kepentingan umum seperti terminal bus, stasiun kereta api, pelabuhan, bandara

ataupun tempat-tempai ibadah.

Di lokasi-lokasi inilah yang memungkinkan terjadinya kejahatan jalanan,

sehingga di tempat-tempat kegiatan ini perlu diantisipasi secara maksimal oleh aparat

kepolisian. Dalam istilah kepolisian bentuk dan tempat kegiatan ini dikenal sebagai

police hazard (PH), suatu aktivitas atau lokasi yang dimungkinkan terjadinya masalah

polisional.

Hal ini didukung adanya Routine Activities Theory yang dikemukakan oleh

Marcus Felson dan Robert K. Cohen yang menyatakan bahwa kejahatan akan terjadi

bila dalam satu tempat dan waktu hadir secara bersamaan elemen sebagai berikut ;

1. A motivated offender (Penjahat yang memiliki motivasi).

2. A suitable target (target yang mudah).

3. The absesnce of Capable guardian (tidak adanya penjaga yang mumpuni).

Untuk mencegah terjadinya kejahatan ini, maka setidaknya salah satu faktor di

atas harus dihilangkan. Elemen yang pertama tumbuh dan berada pada diri seorang

pelaku kejahatan, sehingga dalam hal ini akan lebih sulit untuk mengenali bagaimana

motivasi yang ada dalam diri orang yang berada di sekitar kita. Elemen nomor 2

(dua), biasanya diartikan sebagai golongan kaum rentan. Hal ini terdiri dari kaum

wanita, anak-anak, maupun orang yang sudah lanjut usia. Karena golongan ini,

memiliki potensi melawan atau mengganggu jalannya aksi kejahatan yang relatif

lebih kecil dari pada kaum laki-laki dewasa. Meskipun pendapat ini tidak menutup

kemungkinan terjadinya tindak kejahatan terhadap kaum laki-laki dewasa.

Sesuai tugas fungsi kepolisian maka elemen nomor 3 (tiga) yang perlu

mendapatkan perhatian. Disinilah perlunya keberadaan personil polisi baik

berseragam maupun tidak berseragam di tempat-tempat yang memiliki tingkat

kerawanan yang tinggi. Polisi berseragam diperlukan, karena dengan seragamnya

yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya akan lebih mudah dikenal. Baik

Page 5: Kejahatan Jalanan

pelaku kejahatan maupun orang yang menjadi sasaran kejahatan dapat lebih mudah

mengenal seorang polisi dengan seragamnya yang khas.

Daerah police hazard yang luas, tentu memerlukan personil polisi yang lebih

banyak daripada daerah yang kecil. Sehingga keterbatasan personil polisi ini dapat

diatasi dengan dilakukannya patroli untuk mengurangi peluang bagi pelaku untuk

melakukan aksi kejahatannya. Patroli yang dilakukan secara mobile, selain efektif

dalam mengelola pemberdayaan personil juga cukup efektif dalam menekan peluang

terjadinya tindak kejahatan.

Dengan adanya personil polisi sebagai penjaga yang memiliki kemampuan

(mumpuni), dalam hal ini dilengkapi dengan kemampuan menjaga diri dan properti

disekitarnya serta diberikan peralatan seperti tongkat polisi, borgol, dan senjata api,

maka penjahat pun akan berpikir kembali untuk melakukan kejahatannya di tempat

itu. Dia akan lebih memilih tempat dimana tidak ada personil polisi yang dengan

sigap berjaga-jaga, sehingga lebih mudah baginya untuk melakukan aksi kejahatan.

C. Efek Jera dan Kepastian Hukum

Pelaku kejahatan jalanan harus diberikan hukuman yang dapat menimbulkan

efek jera sebagai wujud kepastian hukum, dengan harapan para pelaku ini dapat sadar

dan tidak mengulangi perbuatannya kembali serta kepada calon pelaku kejahatan

lainnya agar tidak mengikuti perbuatan serupa. Hal ini dikemukakan oleh Cesare

Beccaria dalam Deterence Theory, bahwasanya untuk menimbulkan efek jera pelaku

kejahatan harus dihukum yang memiliki prinsip :

1. Harus ada kepastian (Certainty)

2. Harus membebani (Severity)

3. Harus segera (Celerity)

Hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan memiliki dua bentuk. Yang

pertama adalah penghukuman substantive, yaitu dirumuskan oleh hukum materiil.

Kedua adalah penghukuman yang terkait dengan prosedur yang harus dilalui pelaku

(procedural punishment). Penghukuman yang kedua inilah yang berkaitan dengan

pekerjaan polisi. Untuk menciptakan efek jera dari kegiatan penegakkan hukum, maka

polisi harus menjamin adanya kepastian hukum. Polisi tidak seharusnya tebang pilih,

semaksimal mungkin pelaku harus ditindak. Prinsip ketiga adalah kesegeraan, polisi

Page 6: Kejahatan Jalanan

dituntut untuk bertindak segera bila ada tindak kejahatan, tidak menunggu atau

mengulur waktu.

Dalam sistem peradilan pidana aspek pemberian efek jera dan asas kepastian

hukum ini harus dapat dilaksanakan secara konsisten dan sustainable. Baik polisi,

jaksa, maupun hakim harus dapat memproses sebuah perkara kejahatan sesuai dengan

ketentuannya. Dan apabila perlu pelaku kejahatan yang telah menjadi residivis, serta

menimbulkan kerugian baik materiil maupun moril yang besar harus dihukum

seberat-beratnya, dengan tujuan memberikan efek jera kepada pelaku maupun calon

pelaku kejahatan lainnya.

A. Kesimpulan

Kejahatan jalanan meskipun telah menjadi masalah yang klasik dalam

kehidupan sosial masyarakat, namun telah memberikan dampak yang luar biasa

terhadap kenyamanan , keamanan dan ketertiban. Disinilah fungsi kepolisian yang

paling dapat dirasakan oleh masyarakat pada garis terdepan. Meskipun kepolisian

berhasil mengungkap kasus-kasus besar, tetapi apabila kejahatan jalanan ini masih

merajalela, maka masyarakat belum dapat hidup dengan tenang.

Pangkal masalah kejahatan jalanan ditinjau dari teori yang ada, tidak dapat

dipisahkan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Di kota besar seperti

Jakarta masih banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, kepadatan

penduduk yang terus meningkat, kesulitan lapangan kerja, dan belum adanya tempat

tinggal yang layak.

Kondisi seperti inilah yang harus dihadapi setiap hari oleh masyarakat

kalangan bawah yang mengais rejeki ditengah ketatnya persingan kota metropolitan.

Tuntutan pemenuhan kebutuhan fisiologis mau tidak mau harus mereka penuhi.

Sedangkan meretas jalan untuk meraih penghasilan dengan cara yang halal tidaklah

mudah. Maka menggunakan jalan pintas dengan melakukan kejahatan jalanan yang

sesuai dengan tingkat kemampuan mereka adalah salah satu cara tercepat yang dapat

ditempuh.

B. Saran

Page 7: Kejahatan Jalanan

Untuk memerangi kejahatan jalanan ini, polisi tidak dapat bekerja dengan

sendirian untuk memberantas sampai ke akar-akarnya. Karena sesuai pembahasan di

atas, masalah kejahatan jalanan bukanlah semata masalah penegakkan hukum belaka.

Untuk itu penulis menyarankan beberapa hal untuk dapat ditelaah lebih lanjut sebagai

upaya dalam pemberantasan kejahatan jalanan di kota besar, yaitu sebagai berikut :

1. Melakukan kerjasama dengan pihak terkait untuk melaksanakan program

pengentasan kemiskinan.

2. Bekerja sama dengan departemen sosial untuk pembinaan lebih lanjut

terhadap preman/pelaku kejahatan jalanan untuk mendapatkan pelatihan

kerja.

3. Menyarankan pemerintah, tokoh masyarakat/LSM untuk membuka

lapangan pekerjaan.

4. Bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menekan laju urbanisasi

yang terus meningkat.

5. Melakukan kegiatan kepolisian seperti penjagaan dan patroli di wilayah

yang memiliki tingkat kerawanan kejahatan jalanan.

6. Menghimbau kaum rentan (wanita, anak-anak, dan lanjut usia) untuk tidak

menggunakan perhiasan atau membawa barang yang menarik perhatian

pelaku kejahatan.

7. Memproses setiap pelaku kejahatan agar mendapat hukuman yang

maksimal atas kejahatan yang dilakukannya.

8. Berkoordinasi dengan Criminal Justice system dengan prinsip memberikan

kepastian hukum, serta agar menimbulkan efek jera.