kekerasan di dunia pendidikan berbasis gender

Upload: iftitah-indriani

Post on 06-Jul-2018

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    1/34

    1

    TUGAS MATA KULIAH

    LANDASAN DAN KONTEN PENDIDIKAN

    “PENCEGAHAN KEKERASAN DI DUNIA

    PENDIDIKAN BERBASIS GENDER”

    NAMA : IFTITAH INDRIANI

    NPM : 1114500081

    SEMESTER/KELAS : 1/C

    DOSEN PENGAMPU : Dr. Maufur, M.Pd

    YAYASAN PENDIDIKAN PANCASAKTI TEGAL

    UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGALFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

    PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

    Jalan Halmahera KM. 1 

    (0283) 3571222014

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    2/34

    2

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena saya

    dapat menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk 

    memenuhi tugas Landasan Dan Konten Pendidikan. Selain itu, penyusunan makalah

    ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai Pencegahan Kekerasan Di

    Dunia Pendidikan Berbasis Gender. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada

    Bapak Dr. Maufur, M.Pd selaku dosen mata kuliah Landasan Dan Konten

    Pendidikan yang telah membimbing saya agar dapat menyelesaikan makalah ini.

    Akhirnya saya menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan.

    Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya menerima kritik dan saran agar

    penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu saya mengucapkan

    banyak terima kasih dan semoga karya tulis ini bermanfaat untuk saya dan untuk 

    pembaca.

    Tegal, 6 Desember 2014

    Penulis

    IFTITAH INDRIANI

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    3/34

    3

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

    KATA PENGANTAR ..............................................................................................ii

    DAFTAR ISI.............................................................................................................iii

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1

    1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................3

    1.3 Tujuan ............................................................................................................3

    1.4 Manfaat Penulisan..........................................................................................3

    BAB II PEMBAHASAN

    2.1 Pengertian Kekerasan Berbasis Gender ........................................................4

    2.2 Fakta Mengenai Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan .................................12

    2.3 Cara Pencegahan Kekerasan .........................................................................15

    2.4 Dampak Kekerasan Pendidikan Pada Anak ..................................................20

    2.5 Kekerasan Dalam Pendidikan .......................................................................24

    2.6 Belajar Hidup Melalui Pendidikan................................................................27

    BAGIAN III PENUTUP

    3.1 Kesimpulan ...................................................................................................30

    3.2 Saran .............................................................................................................30

    DAFTAR PUSTAKA

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    4/34

    4

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Pendidikan dapat berjalan secara lancar, apabila siswa dan guru tidak 

    mengalami tekanan serius yang dapat menghambat terjadinya proses belajar pada

    siswa dan tugas mengajar pada guru. Banyak faktor yang mempengaruhi

    keberhasilan belajar yang dikelompokkan ke dalam faktor eksternal dan faktor

    internal. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi keberhasilan belajar siswa

    adalah kejahatan dan kekerasan yang dapat menimpa pada siswa. Kekerasan yang

    terjadi antara siswa dengan siswa dilakukan oleh siswa lain yang disebabkan karena

    yang satu merasa superior dibandingkan yang lain sehingga berani untuk melakukan

    kekerasan (bullying).

    Kekerasan juga bisa terjadi disebabkan karena seseorang pernah diperlakukan

    secara kasar oleh orang lain lagi, sehingga ia melakukan tindakan serupa dengan cara

    "balas dendam" atau sebagai kompensasi. Kekerasan ini mungkin akan berupa

    kekerasan fisik, seperti: dorongan, sodokan, tamparan, lemparan, cekikan, pukulan

    keras, tendangan, pukulan, tusukan, jambakan, cakaran, gigitan, goresan dan cubitan;

    atau berupa kekerasan yang lebih halus berupa ejekan, hinaan, ancaman, gossip yang

    salah, bohong, rumor, atau sejenisnya.

    Kekerasan dalam pendidikan atau Bullying adalah suatu tindakan

    menggunakan tenaga dan kekuatan untuk melukai orang lain atau kelompok orang

    naik secara verbal, fisik, ataupun secara psikologis, dan menyebabkan korbannya

    merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya.

    Bullying ditandai dengan perilaku laku seseorang dalam cara-cara tertentu

    untuk mendapatkan kekuatan atas orang lain. Perilaku itu itu termasuk memanggil

    nama dengan panggilan yang kurang baik, dengan ucapan atau dengan caci-makian

    tertulis, dikeluarkan dari aktivitas kelompoknya, dikeluarkan dari lingkungan sosial,

    kekerasan fisik, atau pemaksaan. Pelaku kekerasan bertindak seperti ini dengan

    tujuan agar dia menjadi popular atau menarik perhatian orang. Dia melakukan ini

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    5/34

    5

    bisa juga disebabkan karena suatu kecemburuan atau bertindak seperti ini karena ia

    pernah diperlakukan sebagai target dalam suatu bullying.

    Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam pendidikan muncul akibat

    adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman terutama berupa hukuman fisik.

    Kekerasan terjadi karena guru tidak paham akan makna kekerasan dan akibat

    negatifnya. Guru mengira bahwa peserta didik akan jera dengan hukuman fisik yang

    diberinya. Sebaliknya, mereka akan benci, dendam dan tidak respek lagi padanya.

    Kekerasan dalam dunia pendidikan bisa terjadi karena pendidik sangat kurang

    memiliki kasih sayang terhadap murid atau dahulu dia sendiri pernah diperlakukan

    keras, dan kurangnya kompetensi kepala sekolah membimbing dan mengevaluasi

    pendidik di sekolahnya.

    Seluruh pekerja kemanusiaan harus mengambil tindakan, mulai dari tahap

    awal keadaan darurat, untuk mencegah kekerasan seksual dan menyediakan bantuan

    selayaknya kepada para korban. Kekerasan gender, dan khususnya kekerasan

    seksual, adalah masalah serius yang mengancam jiwa perempuan dan anak-anak 

    perempuan. Dalam banyak kasus, kekerasan berbasis gender adalah masalah

    internasional, berkaitan dengan kesehatan

    masyarakat dan hak asasi manusia dan bahwa pencegahan dan penanganan

    menyeluruh tidak pernah ditemukan di hampir seluruh negara di seluruh dunia.

    Kekerasan gender merupakan persoalan khusus dalam konteks keadaan

    darurat yang pelik dan bencana alam, dimana perempuan dan anak-anak seringkali

    menjadi sasaran kekerasan, dan sangat rentan terhadap eksploitasi, kekerasan dan

    kesewenang-wenangan karena jenis kelamin, usia dan status mereka dalam

    masyarakat. Kekerasan gender adalah pelanggaran hak asasi manusia universal yang

    dilindungi oleh konvensikonvensi hak asasi manusia internasional, termasuk hak 

    seseorang untuk merasa aman, hak untuk mencapai tingkat tertinggi kesehatan fisik 

    dan mental, hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan

    kejam, tidak manusiawi atau melecehkan, dan hak untuk hidup.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    6/34

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    7/34

    7

    BAB II

    PEMBAHASAN

    2.1 Kekerasan Berbasis Gender

    Kekerasan yaitu suatu tindakan yang tidak menyenangkan atau merugikan

    orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk 

    eksploitasi fisik semata, tetapi justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai

    karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si korban. Tindakan

    kekerasan dalam pendidikan sering dikenal dengan istilah bullying. Kekerasan di

    dalam institusi pendidikan dapat terjadi, misalnya ketika komunitas pendidikan di

    dalam sekolah dalam hubungan sosialnya tidak selamanya berjalan mulus karena

    setiap individu memiliki kecenderungan kepribadian masing-masing, memiliki

    latarbelakang agama, budaya masing-masing, dan tidak selalu interaksi yang

    dilakukan setiap hari selalu menguntungkan dan menyenangkan.

    Kekerasan berbasis gender yaitu berbagai tindakan pidana yang dapat dialami

    oleh laki-laki maupun perempuan (baik sebagai pelaku maupun korban).

    Faktanya yang paling sering menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak.

    Bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender :

    1. Kekerasan fisik (menampar, memukul, menarik rambut, menyulut dengan

    rokok, melukai dengan senjata, mengabaikan kesehatan istri dan lain-lain)

    2. Kekerasan psikologis atau emosional (penghinaan, komentar-komentar yang

    dimaksudkan untuk merendahkan atau melukai harga diri pihak lain,

    mengancam, menceraikan istri, memisahkan istri dari anak-anak dan lain-

    lain)

    3. Kekerasan seksual (pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya, pemaksaan

    hubungan seksual, pemerkosaan, menyentuh bagian tubuh perempuan atau

    anak-anak)

    4. Kekerasan ekonomi (tidak memberi nafkah pada istri, memaafkan

    ketergantungan istri secara ekonomi untuk mengontrol kehidupan istri, danlain-lain)

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    8/34

    8

    Faktor penyebab kekerasan:

    • Sosial budaya

    • Penafsiran ajaran agama

    Lemahnya perlindungan Negara

    Jadi dapat dismpulkan bahwa, kekerasan dalam pendidikan berbasis gender ini

    merupakan perilaku melampaui batas kode etik dan aturan dalam pendidikan, baik 

    dalam bentuk fisik maupun pelecehan atas hak seseorang. Pelakunya bisa siapa saja,

    bahkan orang terdekat sekalipun.

    Kekerasan Dan Penelantaran Anak

    Kekerasan dan penelantaran pada anak adalah semua bentuk perlakuan

    menyakitkan secara fisik atau emosiaonal, penyalahgunaan seksual, penelantaran,

    eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera atau kerugian

    nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh

    kembang anak atau martabat anak yang dilakukan dalam konteks hubungan

    tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.

    Dengan bentuk antara lain :

    1. Kekerasan Fisik (Physical Abuse)

    • Hukuman fisik (push up, lari dll).

    • Memukul, melempar sesuatu, menampar, menonjok, mencekik, menganiaya

    bagian tubuh dll.

    • Perploncoan terhadap yunior oleh para senior.

    2. Kekerasan Psikologi (Psychologhy Abuse)

    • Hukuman yang berakibat mempermalukan siswa.

    • Target mencapai ranking kelas.

    • Memberikan target prestasi terlalu tinggi, hingga memaksa anak melakukan

    sesuatu di luar minatnya.

    • Pemberian tugas berlebihan.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    9/34

    9

    • Anak dipaksa memiliki kualifikasi tertentu demi mengejar standardisasi yang

    ditetapkan pemerintah dll.

    • Lewat ujian nasional (unas), mereka dipaksa memiliki kemampuan yang

    memadai dalam mata pelajaran tertentu.

    3. Kekerasan Economi (Economi Abuse)

    • Biaya SPP/ dll yang tinggi.

    • Tambahan biaya macam-macam dari sekolah.

    • Sangsi keterlambatan/ketidakmampuan membayar biaya sekolah, dll.

    4. Kekerasan seksual (Sexs Abuse)

    • Pelecehan seksual/ Sexual Harassment 

    • Perkosaan

    5. Kekerasan Spiritual

    • Adanya ketidaknyamanan dalam menjalankan ajaran dan norma agama

    sesuai dengan yang diyakininya (baik oleh siswa laki-laki dan perempuan)

    Jadi dapat disimpulkan bahwa, kekerasan pada anak akan menimbulkan traumatik 

    pada anak, anak dibawa sepanjang perjalanan hidupnya sampai ketika mereka

    menjadi dewasa dan menjadi orang tua. Traumatik yang dialami ini bisa

    menyebabkan anak menjadi rendah diri, bisa menjadi jahat, bisa mempunyai

    kelainan jiwa. Sehingga akan tumbuh menjadi orang yang bermasalah.

    Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Pendidikan :

    1. Kekerasan Terbuka yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati secara

    langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang berkaitan

    dengan fisik. Sebagai contoh adalah kasus pengeroyokan 4 siswa SMKI

    terhadap temannya Suharyanyo (17 tahun), siswa kelas tiga SMKI yang dianiaya

    hingga meninggal karena alasan dugaan penipuan order mendalang.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    10/34

    10

    2. Kekerasan Tertutup yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara

    langsung, seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang

    menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ancaman

    dianggap sebagai bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya mempercayai kebenaran

    ancaman dan kemampuan pengancam mewujudkan ancamannya. Misalnya,

    kasus demonstrasi mahasiswa menolak SK Rektor UGM Yogyakarta tentang

    Biaya Operasional Pendidikan atau BOP, kedua belah pihak saling mengancam.

    Di satu sisi, pihak UGM akan melakukan   sweeping KTP para demonstran, di

    pihak lain, mahasiswa mengancam akan melakukan demo besar-besaran.

    3. Kekerasan Agresif ( offensive) yakni kekerasan yang dilakukan untuk 

    mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan

    pembunuhan. Indikator kekerasan ini sudah masuk prilaku   kriminal, di mana

    pelakunya dapat dikenakan sanksi menurut hukum tertentu. Contohnya kasus

    pembobolan di Universitas Jember, pencabulan terhadap siswa SD atau SLTP,

    atau penembakan guru SD hingga tewas.

    4. Kekerasan Defensif ( defensive) yakni kekerasan yang dilakukan sebagai

    tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo

    lainnya. Contohnya sengketa tanah warga dengan pihak sekolah.

    Dari sisi tingkat (level) kekerasan, intensitas suatu kekerasan bisa meningkat

    dari kekerasan ringan atau  potensi menjadi kekerasan tingkat sedang bahkan dapat

    berlanjut pada kekerasan tingkat berat, berupa tindak kriminal dalam pendidikan.

    Kekerasan disebut dalam bentuk   potensi, bilamana memiliki indikator sebagai

    berikut: bersifat tetutup, berupa unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi, pelecehan

    nama baik seseorang, dan ancaman atau intimidasi. Bila kekerasan tertutup berubah

    menjadi konflik terbuka, unjuk rasa berubah menjadi bentrok, ancaman berubah

    menjadi tindakan nyata, dan kekerasan defensif menjadi ofensif, maka saat itu juga

     potensi berubah menjadi kekerasan.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    11/34

    11

    Tipologi Kekerasan dalam Pendidikan: Studi Kasus

    Dalam kajian ini, kekerasan dalam pendidikan didefinisikan sebagai sikap

    agresif pelaku yang melebihi kapasitas kewenangannya dan menimbulkan

    pelanggaran hak bagi si korban. Dalam hal ini kekerasan dibedakan dengan

    kriminalitas, karena hukum mengenai kriminalitas telah diatur tersendiri sebagai

    mana hukum yang berlaku di Indonesia. Ditinjau dari tingkatannya, perilaku

    kekerasan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, kekerasan tingkat

    ringan, yakni berupa potensi kekerasan (violence as potential). Pada tingkat ini

    kekerasan yang terjadi umumnya berupa kekerasan tertutup (covert), kekerasan

    defensif, unjuk rasa, pelecehan martabat, dan penekanan psikis. Kedua, kekerasan

    tingkat sedang, yang berupa perilaku kekerasan dalam pendidikan itu sendiri

    (violence in education). Indikator kekerasan tingkat ini mencakup: kekerasan terbuka

    (overt), terkait dengan fisik, pelanggaran terhadap aturan sekolah atau kampus, serta

    membawa simbol dan nama sekolah. Sedang tingkat ketiga adalah kekerasan tingkat

    berat, yakni tindak kriminal (criminal action). Pada tingkat ini kekerasan berbentuk 

    kekerasan ofensif, ditangani oleh pihak yang berwajib, ditempuh melalui jalur

    hukum, dan berada diluar wewenang pihak sekolah atau kampus.

    Kekerasan dalam pendidikan diasumsikan terjadi sebagai akibat kondisi

    tertentu yang melatarbelakanginya, baik faktor internal maupun eksternal, dan tidak 

    timbul secara begitu saja, melainkan dipicu oleh suatu kejadian. Kondisi (atecedent

    variable), faktor (independent variable) dan pemicu (intervening variable) tindak 

    kekerasan dalam pendidikan (dependent variable) terangkai dalam hubungan yang

    bersifat spiral, dapat muncul sewaktu-waktu, oleh pelaku siapa saja yang terlibat

    dalam dunia pendidikan, sepanjang dijumpai adanya pemicu kejadian.

    Potensi Kekerasan (Kekerasan Ringan)

    a) Masalah sistem penerimaan siswa baru (PSB)

    Dalam peralihan sistem PSB yang diselenggarakan kali pertama pada tahun

    2002 ini, dibeberapa SLTP/MTS tertentu dijumpai beberapa kasus yang

    potensial bagi perilaku kekerasan. Penyebabnya berbeda-beda, bisa karena

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    12/34

    12

    pelaksanaan yang urang tertib, adanya ketidakberesan, ketidakadilan dan

    kebingungan pihak orang tua/wali murid siswa.

    b) Masalah kenaikan biaya pendidikan

    Dampak dari krisis ekonomi nasional yang berlangsung sejak 1997, hingga kini

    masih terasa. Harga barang membumbung tinggi, kebutuhan meningkat

    sementara daya beli masyarakat menurun. Dalam konteks inilah, persoalan

    kenaikan biaya pendidikan menjadi hal yang dilematis. Di satu sisi, biaya

    pendidikan harus disesuaikan dengan perkembangan harga, di sisi lain

    masyarakat menuntut pendidikan murah. Akibatnya, isu seperti kenaikan

    Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) menjadi hal sensitif.

    c) Masalah demokratis dan transparansi

    Seiring dengan gelombang reformasi yang bergulir sejak 1998, isu

    demokratisasi dan transparansi kerap mewarnai berbagai gerakan, khususnya

    yang dilakukan oleh mahasiswa.

    d) Masalah sosial dan lingkungan

    Masalah ini lebih tepat dikatakan sebagai masalah sosial dan lingkungan yang

    mempengaruhi nilai-nilai pendidikan.

    e) Masalah yang terkait dengan momen tertentu

    Momen tertentu disini adalah waktu atau peristiwa yang menyebabka elemen

    pendidikan, baik peserta didik ataupun pendidik, memberikan respons, baik 

    dengan cara mengkritik, memprotes ataupun melakukan aksi unjuk rasa.

    f) Masalah Lain-lain

    Klasifikasi ini menujuk pada kasus-kasus yang tidak bisa digolongkan dalam

    tipologi sebelumnya, sedaang kasusnya terjadi bersifat temporal dan sporadis.

    Hanya saja, unsur pemicu bisa dijumpai pada kasus ini sehingga kemungkinan

    kekerasan yang akan muncul bisa diprediksi sebelumnya.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    13/34

    13

    Kekerasan Dalam Pendidikan (Tingkat Sedang)

    a) Kasus Kekerasan Antar Pihak Sekolah

    Kasus ini disebut juga konflik internal antar sesama pendidik maupun

    pimpinannya. Konflik pada salah satu Yayasan Sekolah Tinggi (ST) di

    Yogyakarta. Misalnya, merupakan perseteruan antara dua kubu yang

    memperebutkan kursi kepemimpinan Yayasan, yang kemudian menjadi

    kekerasan antara sesama pimpinan.

    b) Kasus Kekerasan Antar Mahasiswa/Pelajar

    Kasus kekerasan antar mahasiswa/pelajar jauh lebih banyak dijumpai

    ketimbang konflik internal antar pendidik dan pimpinannya.

    c) Kasus Kekerasan Guru Terhadap Siswa

    Kekerasan yang ditimbulkan kasus ini meliputi hukuman yang melebihi

    kepatutan, penganiayaan, sampai dengan tindak asusila.

    d) Kasus Kekerasan Pelajar Terhadap Guru

    Dapat diketahui bahwa munculnya kekerasan dimulai dengan hukuman yang

    dianggap berlebihan oleh pihak siswa. Hal ini kemudian menimbulkan aksi

    balas dendam dan kekerasan susulan. Ada kecenderungan bahwa intensitas

    pelecehan guru oleh siswa makin meningkat.

    e) Kasus Kekerasan Mahasiswa Terhadap Masyarakat

    Hanya ditemukan satu kasus dalam kategori ini, yakni penyanderaan wartawan

    oleh mahasiswa salah satu PTN di Yogyakarta. Kasus ini berawal dari proposal

    sosialisasi festival, perploncohan (BBM), dan berujung disekapnya 4

    wartawan. Polisi memanggil 4 mahasiswa , dua diantaranya menjadi calon

    tersangka. Selain itu, pihak rektorat PTN tersebut juga berusaha

    mengumpulkan fakta dan berjanji akan memberikan kesaksian. Rektor PTN

    tersebut juga secara resmi mengajukan permohonan maaf dan mendukung

    penyelesaian kasus sesuai hukum yang berlaku.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    14/34

    14

    f) Kasus Kekerasan Oleh Masyarakat

    Kasus kekeeasan oleh masyarakat terdiri atas berbagai bentuk, dari sekedar

    pengaduan, unjuk rasa, penyegelan, sampai tindak kriminal berupa pencabulan

    dan pembunuhan.

    Kriminalitas Dalam Pendidikan (Tingkat Berat)

    Bila ditinjau dari sisi pelaku, korban, dan pemicunya, kekerasan kategori ini

    memiliki unsur-unsur yang sama dengan dua kategori kekerasan sebelumnya. Hal

    yang membedakan adalah, kekerasan yang terjadi lebih berat sifatnya. Umumnya

    kekerasan dalam kategori ini mengambil bentuk tindakan agresif atau kekerasan

    offensive, baik secara individual maupun kolektif (crowd).

    Tindak kriminal jelas meresahkan masyarakat karena menimbulkan perasaan

    tidak aman di hati masyarakat. Kekerasan yang kerap terjadi di masyarakat adalah

    pencabulan, penculikan, pencurian dan pembunuhan. Siswi-siswi SD dan SLTP

    sering menjadi korban pencabulan, yang acap kali dilakukan oleh pelaku yang sudah

    dikenal atau dekat dengan korban. Sedang kasus penculikan dilakukan karena motif 

    tertentu, seperti permintaan uang tebusan.

    Jadi dapat disimpulkan bahwa, kekerasan dalam pendidikan tidak selalu

    terjadi secara berurutan dari potensi (ringan), menjadi kekerasan (sedang), lalu

    tindak kriminal (berat). Bisa saja kekerasan yang berlangsung hanya sampai pada

    tingkat potensi saja, tidak berlanjut ke tingkat diatasnya. Kadang juga terjadi

    kekerasan berbentuk tindak kriminal tanpa didahului oleh potensi manapun

    kekerasan sebelumnya. Akan tetapi, dari kajian ini ditemukan bahwa pada kasus

    tertentu potensi kekerasan (kekerasan ringan) berlanjut menjadi kekerasan sedang,

    bahkan menjadi tindak kriminal. Bila dicermati, kekerasan yang demikian

    intensitasnya menjadi meningkat karena kondisi dan pemicu kekerasan masih tetap

    ada.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    15/34

    15

    2.2 Fakta Mengenai Kekerasan Yang Terjadi Di Dunia Pendidikan

    Anak yang melakukan tindak pidana umumnya dikeluarkan dari sekolah,

    padahal masalah ini belum ada keputusan tetap yang mengikat, apakah anak tersebut

    bersalah atau tidak, maka hal ini menyalahi prinsip praduga tak bersalah sehingga

    menghilangkan hak anak atas pendidikan. Anak korban kekerasan berbasis gender

    (hamil yang tidak dikehendaki, dilecehkan dan lain-lain) , Sering menerima

    kekerasan bertingkat (dikucilkan, dicemoohkan, dikeluarkan, tidak diterima dan lain-

    lain).

    Contoh kasus JIS (Jakarta International School)

    Upaya yang dapat dilakukan bukan hanya tanggung jawab pihak sekolah atau dinas

    pendidikan saja, tetapi tanggung jawab semua elemen termasuk masyarakat. Untuk 

    mengatasi dan mencegah masalah kekerasan diperlukan kebijakan menyeluruh.

    Artinya sebuah kebijakan yang melibatkan komponen guru, siswa, kepala sekolah

    dan orang tua murid. Kerjasama antara guru, orang tua dan pihak lain yang terkait,

    seperti kepolisian atu aparat hukum.

    Faktor-faktor Penyebab Kekerasan di dalam dunia Pendidikan

    Ada beberapa faktor yang menyebabkan guru melakukan kekerasan pada siswanya,

    yaitu:

    a. Kurangnya pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif 

    untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan

    trauma psikologis dan melukai harga diri siswa.

    b. Persepsi yang parsial dalam menilai siswa. Bagaimana pun juga, setiap anak 

    punya konteks kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap kata dan

    tindakan yang terlihat saat ini, termasuk tindakan siswa yang dianggap

    "melanggar" batas. Apa yang terlihat di permukaan, merupakan sebuah tanda / 

    sign dari masalah yang tersembunyi di baliknya. Yang terpenting bukan sebatas

    "menangani" tindakan siswa yang terlihat, tapi mencari tahu apa yang melandasi

    tindakan / sikap siswa.

    c. Adanya masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelolaemosi hingga guru menjadi lebih sensitif dan reaktif.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    16/34

    16

    d. Adanya tekanan kerja : target yang harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi

    kurikulum, materi maupun prestasi yang harus dicapai siswa didiknya sementara

    kendala yang dirasakan untuk mencapai hasil yang ideal dan maksimal cukup

    besar.

    e. Pola authoritarian masih umum digunakan dalam pola pengajaran di Indonesia.

    Pola authoritarian mengedepankan faktor kepatuhan dan ketaatan pada figure

    otoritas sehingga pola belajar mengajar bersifat satu arah (dari guru ke murid).

    Implikasinya, murid kurang punya kesempatan untuk berpendapat dan

    berekspresi. Dan, pola ini bisa berdampak negatif jika dalam diri sang guru

    terdapat insecurity yang berusaha di kompensasi lewat penerapan kekuasaan.

    f. Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung

    mengabaikan kemampuan afektif (Rini, 2008). Tidak menutup kemungkinan

    suasana belajar jadi "kering" dan stressful, dan pihak guru pun kesulitan dalam

    menciptakan suasana belajar mengajar yang menarik, padahal mereka dituntut

    mencetak siswa-siswa berprestasi.

    2) Dari siswa

    Salah satu faktor yang bisa ikut mempengaruhi terjadinya kekerasan, adalah

    dari sikap siswa tersebut. Sikap siswa tidak bisa dilepaskan dari dimensi psikologis

    dan kepribadian siswa itu sendiri. Kecenderungan sadomasochism tanpa sadar bisa

    melandasi interaksi antara siswa dengan pihak guru, teman atau kakak kelas atau

    adik kelas. Perasaan bahwa dirinya lemah, tidak pandai, tidak berguna, tidak 

    berharga, tidak dicintai, kurang diperhatikan, rasa takut diabaikan, bisa saja membuat

    seorang siswa clinging pada powerful /  authority figure dan malah "memancing"

    orang tersebut untuk  actively responding to his / her need meskipun dengan cara

    yang tidak sehat.Contohnya, tidak heran jika anak berusaha mencari perhatian dengan

    bertingkah yang memancing amarah, agresifitas,atau pun hukuman. Tapi, dengan

    demikian, tujuannya tercapai, yakni mendapat perhatian. Sebaliknya, bisa juga

    perasaan inferioritas dan tidak berharga di kompensasikan dengan menindas pihak 

    lain yang lebih lemah supaya dirinya merasa hebat.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    17/34

    17

    3) Dari Keluarga

    Kekerasan yang dilakukan baik oleh guru maupun siswa, perlu juga dilihat dari

    faktor kesejarahan mereka. Orangtua mengalami masalah psikologis Jika orangtua

    mengalami masalah psikologis yang berlarut-larut, bisa mempengaruhi pola

    hubungan dengan anak. Misalnya, orang tua yang stress berkepanjangan, jadi

    sensitif, kurang sabar dan mudah marah pada anak, atau melampiaskan kekesalan

    pada anak. Lama kelamaan kondisi ini mempengaruhi kehidupan pribadi anak. Ia

    bisa kehilangan semangat, daya konsentrasi, jadi sensitif, reaktif, cepat marah, dll.

    Keluarga yang mengalami disfungsi punya dampak signifikan terhadap sang

    anak. Keluarga yang salah satu anggotanya sering memukul, atau menyiksa fisik 

    atau emosi, intimidasi anggota keluarga lain; atau keluarga yang sering konflik 

    terbuka tanpa ada resolusi, atau masalah berkepanjangan yang dialami oleh

    keluarga hingga menyita energi psikis dan fisik, hingga mempengaruhi interaksi,

    komunikasi dan bahkan kemampuan belajar, kemampuan kerja beberapa anggota

    keluarga yang lain. Situasi demikian mempengaruhi kondisi emosi anak dan lebih

     jauh mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Sering dijumpai siswa

    "bermasalah", setelah diteliti ternyata memiliki latar belakang keluarga yang

    disfungsional.

    4) Dari Lingkungan

    Kekerasan yang terjadi selama ini juga terjadi karena adanya faktor lingkungan,

    yaitu:

    a. Adanya budaya kekerasan : seseorang melakukan kekerasan karena dirinya

    berada dalam suatu kelompok yang sangat toleran terhadap tindakan kekerasan.

    Anak yang tumbuh dalam lingkungan tersebut memandang kekerasan hal yang

    biasa / wajar.

    b. Mengalami sindrom Stockholm : Sindrom Stockholm merupakan suatu kondisi

    psikologis dimana antara pihak korban dengan pihak  aggressor terbangun

    hubungan yang positif dan later on korban membantu aggressor  mewujudkan

    keinginan mereka. Contoh, kekerasan yang terjadi ketika mahasiswa senior

    melakukan kekerasan pada mahasiswa baru pada masa orientasi bersama terjadi

    karena mahasiswa senior meniru sikap seniornya dulu dan dimasa lalunya juga

    pernah mengalami kekerasan pada masa orientasi

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    18/34

    18

    c. Tayangan televisi yang banyak berbau kekerasan : Jika seseorang terlalu sering

    menonton tayangan kekerasan maka akan mengakibatkan dirinya terdorong

    untuk mengimitasi perilaku kekerasan yang ada di televisi. Sebab, dalam

    tayangan tersebut menampilkan kekerasan yang diasosiasikan dengan

    kesuksesan, kekuatan dan kejayaan seseorang. Akibatnya, dalam pola berpikir

    muncul premis bahwa jika ingin kuat dan ditakuti, pakai jalan kekerasan.

    D. Dampak kekerasan pada siswa

    Kekerasan yang terjadi pada siswa di sekolah dapat mengakibatkan berbagai

    dampak fisik dan psikis, yaitu:

    1) Dampak fisik : kekerasan secara fisik mengakibatkan organ-organ tubuh siswa

    mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka, dll.

    2) Dampak psikologis : trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, dendam,

    menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya inisiatif,

    serta daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri, inferior, stress,

    depresi dsb. Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat dari penurunan

    prestasi, perubahan perilaku yang menetap,

    3) Dampak sosial : siswa yang mengalami tindakan kekerasan tanpa ada

    penanggulangan, bisa saja menarik diri dari lingkungan pergaulan, karena takut,

    merasa terancam dan merasa tidak bahagia berada diantara teman-temannya.

    Mereka juga jadi pendiam, sulit berkomunikasi baik dengan guru maupun

    dengan sesama teman. Bisa jadi mereka jadi sulit mempercayai orang lain, dan

    semakin menutup diri dari pergaulan.

    2.3 Cara Pencegahan Kekerasan

    Ada 7 hal yang harus dipahami dan kemudian diterapkan oleh pendidik untuk 

    memperoleh kepercayaan anak didik agar mencapai maksud dari pendidikan itu,

    tanpa harus menggunakan kekerasan.

    1. Tindakan alternatif 

    Cara pendidikan tanpa kekerasan digambarkan sebagai sebuah cara ketiga

    atau alternatif ketiga, setelah tindakan menyalahkan dan aksi kekerasan karena hal

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    19/34

    19

    itu. Seorang pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa, mempunyai tiga pilihan

    setelah itu, apakah dia akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk 

    memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu atau menggunakan cara ketiga yang

    tanpa kekerasan.

    Menahan diri untuk tidak menyalahkan tentu bukan perkara mudah bagi

    orang dewasa apabila melihat sebuah kesalahan dilakukan oleh anak di depan

    matanya. Tapi perlu diingat bahwa sebuah tudingan bagaimanapun akan berbuah

    balasan dari anak, karena secara insting dia akan mempertahankan dirinya. Reaksi

    atas sikap anak yang membela diri inilah yang ditakutkan akan berbuah kekerasan

    dari pendidik terhadap anak didik.

    2. Keakraban penuh keterbukaan

    Keakraban maksudnya berbagi dengan orang lain dengan tidak membeda-

    bedakan anak-anak didik, dan terbuka adalah tidak menutup-nutupi hal apa pun atau

    mencoba mengambil keuntungan dari hal-hal yang tidak diketahui siswa. Sebuah

    keakraban yang penuh keterbukaan hanya bisa terjalin apabila ada rasa persaudaraan

    kemanusiaan antara pihak pendidik dan siswa.

    Di dalam keakraban ada kasih sayang, keramahan, sopan-santun, saling

    menghargai dan menghormati. Sedang keterbukaan mengandung unsur kejujuran,

    kerelaan dan menerima apa adanya.

    Keakraban yang terbuka ini ibarat pintu bagi masuknya sebuah

    kepercayaan. Ketika anak didik sudah merasakan keakraban yang terbuka dari

    gurunya, maka dia dengan senang akan mendengarkan apa pun yang disampaikan

    oleh sang guru.

    3. Komunikasi yang jujur

    Penipuan adalah sesuatu yang sulit dipisahkan dari kekerasan, disebabkan

    kurangnya rasa hormat kepada orang lain atau takut terhadap kenyataan. Tindakan

    dengan kasih sayang didasarkan pada ukurannya dalam kebenarannya setiap orang,

    yang tidak bisa memisahkan dirinya dari kebenaran dan kenyataan.

    Jadi, untuk menjadi benar kepada diri sendiri, kita juga harus benar terhadap

    orang lain. Sampaikan kepada anak didik kebenarannya; arahkan kemarahan kita

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    20/34

    20

    terhadap kesalahannya, bukan kepada orangnya. Temukan solusi dalam konflik dan

    kesalahpahaman, dan itu tidak bisa dibangun apabila kita menggunakan kebohongan

    dan penipuan.

    4. Hormati Kebebasan dan Persamaan

    Di dalam pendidikan tanpa kekerasan ini, kita semuanya bebas dan setara,

    setiap orang mendengarkan suara nurani sendiri dan saling berbagi perhatian. Lalu

    kemudian dengan bebas diputuskan, berdasarkan pada semua pertimbangan

    individu-individu, bagaimana keinginan bersama ingin diwujudkan. Dengan

    demikian kita harus mengenali dengan jelas kebebasan memilih dan hak yang sama

    setiap orang untuk mengambil bagian dalam kegiatan itu.

    Yang lebih penting lagi adalah kita menyadari persamaan semua manusia dan

    menghormati kebebasan anak didik sama seperti kita menghendaki kebebasan kita

    sendiri dihormati. Tindakan tanpa kekerasan bukanlah bentuk usaha untuk 

    mengendalikan yang lain atau penggunaan paksaan terhadap mereka. Jika kita

    mencintai anak didik, kita menghormati otonomi mereka untuk membuat keputusan-

    keputusan mereka sendiri. Kita pasti dapat berkomunikasi dengan mereka, dan kita

    bahkan dapat menghadapi mereka dengan kehadiran kita untuk memaksa mereka

    tanpa kekerasan untuk membuat sebuah pilihan, jika kita yakin mereka telah

    melakukan kesalahan. Perbedaan yang penting adalah kita tidak memaksa mereka

    secara fisik atau dengan kasar untuk mencapai apa yang kita inginkan.

    5. Rasa kasih yang berani

    Bertentangan dengan kepercayaan umum, pendidikan tanpa kekerasan bukan

    sebuah metoda pasif dan lemah, dan itu pasti bukan untuk para penakut. Tindakan

    tanpa kekerasan lebih banyak membutuhkan keberanian dibanding perkelahian

    dengan kekerasan seperti dalam peperangan, meski tampaknya itu semacam

    keberanian. Karena jika kita melihat lebih jauh penggunaan senjata merupakan

    kompensasi dari rasa takut terhadap lawan. Dan tindakan kekerasan merupakan bukti

    adanya perasaan takut lawan lebih dulu melakukannya terhadap kita. Jadi melakukan

    tindakan tanpa kekerasan menunjukkan ketinggian martabat yang penuh keberanian.

    Rasa kasihan adalah anugerah kepada hati kita. Rasa kasihan bisa

    digambarkan sebagai kasih yang tidak hanya berempati terhadap orang lain di dalam

    merasakan apa yang mereka alami, tetapi juga mempunyai keberanian dan

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    21/34

    21

    kebijaksanaan untuk melakukan sesuatu terhadap hal itu. Di dalam rasa kasihan, kita

    tidak melampiaskan kemarahan dan rasa benci kepada anak didik yang melakukan

    kesalahan, namun dengan kemurahan hati dan kepedulian, kita memperbaikinya.

    Rasa kasihan datang dari rasa kesatuan dengan orang lain, memperluas hati kita

    sehingga kita bisa merasakan empati atas penderitaan orang lain dan menolong

    mereka.

    6. Saling mempercayai secara penuh

    Cara dengan kasih sayang didasarkan pada keyakinan bahwa jika kita

    bertindak dengan cara yang baik tidak akan pernah merugikan bagi siapapun, dan

    akan menghasilkan kebaikan juga. Alih-alih mengendalikan anak didik dengan

    ancaman dan kekuasaan kita, lebih baik menggunakan kecerdasan masing-masing

    pihak untuk memecahkan masalah dengan komunikasi yang baik dan negosiasi.

    Untuk mempercayai anak didik secara penuh kita harus melepaskan

    kepercayaan itu dari kendali kita sendiri, dan membiarkan situasi memprosesnya.

    Tentu saja melepaskan kepercayaan tidak berarti kita mempercayai dengan

    membabi buta. Kita harus tetap memonitor apa yang terjadi dan memantau hasilnya

    secara terus menerus.

    7. Ketekunan dan kesabaran

    Dalam pendidikan tanpa kekerasan, kesabaran adalah kebaikan yang bersifat

    revolusioner. Kesabaran bukanlah sebuah pembiaran tanpa tindakan apa pun, tetapi

    peningkatan kualitas dari sebuah pertolongan yang bertahan pada tuntutannya, dan

    melanjutkannya dengan cara cerdas penuh ketenangan. Ketika kita terperangkap

    dalam situasi konflik, emosi kita sering sangat aktif dan bergolak. Kita harus hati-

    hati dengan reaksi tanpa pemikiran atas apa yang sedang kita lakukan dan

    konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi. Kesabaran memberikan kepada kita

    waktu untuk berpikir tentang tindakan-tindakan kita agar terhindar dari kekerasan

    dan bertindak efektif. Lebih baik menunggu dan kehilangan sebuah peluang kecil

    dibandingkan terburu-buru namun menemui sesuatu yang bodoh dan tidak 

    dipersiapkan. Peluang baru pasti akan muncul kemudian, jika kita berusaha

    memecahkan persoalan, karena di lain waktu kita akan siap untuk bertindak dengan

    cara yang baik.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    22/34

    22

    Tidak seperti cara militer yang cepat dan kasar, pendidikan tanpa kekerasan

    bersifat melambat dan dimulai dengan peringatan-peringatan untuk memberikan

    kesempatan kepada anak didik secara sadar berpikir bagaimana seharusnya. Kita

    tidak menghendaki anak didik bereaksi dengan cepat secara insting. Kita

    menghendaki anak didik mengetahui metoda-metoda kita sehingga mereka dapat

    menanggapi sama tenang dan cerdasnya.

    Ketekunan juga berarti kita harus fleksibel di dalam strategi dan taktik kita.

    Jika metodanya tidak berhasil, kita perlu mencoba cara lain. Jika jalannya

    mendapatkan halangan, kita dapat beralih ke hal lain yang juga memerlukan

    perhatian. Jika anak didik seperti kehilangan minatnya, kita dapat dengan kreatif 

    mencoba pendekatan baru terhadap permasalahan.

    Pendidikan tanpa kekerasan harus dipenuhi kesabaran dan memaafkan, di

    saat yang sama gigih dalam membantu. Ketika anak didik mengakui bahwa mereka

    sudah melakukan kesalahan, kita harus menunjukkan sifat pemaaf kepada mereka.

    Sasaran terakhir dari pendidikan tanpa kekerasan bukanlah kemenangan atas anak-

    anak didik kita tetapi menemukan sebuah kehidupan yang harmonis antara pendidik 

    sebagai orang tua, bersama-sama dengan anak didik dalam damai dan keadilan.

    Strategi Pencegahan Kekerasan pada Siswa di Sekolah :

    1. Menciptakan Kondisi Sekolah yang Kondusif.

    2. Melalui Norma Agama yang dianut

    3. Melalui Tata Tertib Sekolah

    4. Pembiasaan Melaksanakan Nilai-nilai Budaya

    5. Pembiasaan Tanggung Jawab Sikap, Perilaku dan Bahasa

    Penanganan Kasus Kekerasan di Sekolah :

    • Tidak adanya lembaga hukum rujukan

    • Polisi tidak merujuk kasus

    • Ketersediaan dana dan SDM terbatas

    • Sistem hukum dan budaya masyarakat masih diskriminatif.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    23/34

    23

    • Penanganan anak-anak yang jadi korban kekerasan seksual terhambat oleh

    kurangnya tenaga ahli

    • Kasus kekerasan seksual terhadap anak dianggap aib, sehingga banyak kasus

    akhirnya diselesaikan di luar pengadilan.

    Peran Guru Bidang Studi dan Guru Bimbingan Konseling :

    1. Guru Sebagai Peran Orang Tua

    2. Guru Sebagai Peran Pemimpin

    3. Guru Sebagai Peran Motivator

    4. Guru Sebagai Peran Dinamisator

    5. Guru Bimbingan Konseling Sebagai Peran Koordinator dan memberibimbingan kepada siswa yang tidak bermasalah, memberi konseling kepada

    siswa yang bermasalah agar menjadi siswa-siswi yang berakhlak mulia.

    2.4 Dampak Kekerasan Pendidikan pada Anak

    a) Secara fisik, kekerasan ini mengakibatkan adanya kerusakan tubuh seperti:

    luka-luka memar, luka-luka simetris di wajah (di kedua sisi), punggung, pantat,

    tungkai, luka lecet, sayatan-sayatan, luka bakar, pembengkakan jaringan-

     jaringan lunak, pendarahan dibawah kulit, dehidrasi sebagai akibat kurangnya

    cairan, patah tulang, pendarahan otak, pecahnya lambung, usus, hati, pankreas.

    Sedangkan pada penganiayaan seksual bisa berakibat kerusakan organ

    reproduksi seperti: terjadi luka memar, rasa sakit dan gatal-gatal di daerah

    kemaluan, pendarahan dari vagina atau anus, infeksi saluran kencing yang

    berulang, keluarnya cairan dari vagina, sulit untuk berjalan dan duduk serta

    terkena infeksi penyakit kelamin bahkan bisa terjadi suatu kehamilan.

    b) Secara psikis, anak yang mengalami penganiayaan sering menunjukkan:

    penarikan diri, ketakutan atau bertingkah laku agresif, emosi yang labil, depresi,

     jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur, phobia, kelak bisa

    tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras, gangguan stress pasca

    trauma dan terlibat penggunaan zat adiktif, kesulitan berkomunikasi atau

    berhubungan dengan teman sebayanya. Mereka akan menutupi luka-luka yang

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    24/34

    24

    dideritanya serta tetap bungkam merahasiakan pelakunya karena ketakutan akan

    mendapatkan pembalasan dendam.

    Jenis-jenis Kekerasan yang Sering Diterima Anak:

    1. Kekerasan Fisik 

    Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat

    pada tubuh korban Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%)

    dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul,

    mencekik, menempelkan benda panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak 

    dari kekerasan seperti ini selain menimbulkan luka dan trauma pada korban, juga

    seringkali membuat korban meninggal.

    2. Kekerasan secara Verbal

    Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan

    dianggap sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian,

    maupun celaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk 

    mengucapkan kata-kata kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa

    menyebabkan anak menjadi rendah diri.

    3. Kekerasan secara Mental

    Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa

    lebih besar dari kekerasan secara verbal. Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian

    orang tua terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering

    membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa

    menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak 

    merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu

    untuk bangkit.

    4. Kekerasan secara seksual

    Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun pemerkosaan.

    Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam, juga seringkali

    menimbulkan luka secara fisik.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    25/34

    25

    Pelaku tindak kekerasan di sekolah

    Kekerasan dalam dunia pendidikan sudah lazim terjadi di negara kita. Hal ini

    sebenarnya tidak layak terjadi namun tetap saja ada kasus-kasus serupa sehingga

    mencoreng nama baik pendidikan termasuk sekolah yang bersangkutan atau bahkan

    guru dan siswa sekolah tersebut. Faktor yang menyebabkan kekerasan tersebut

    biasanya berasal dari siswa. Siswa merasa tidak di hargai oleh temannya sehingga

    menimbulkan perkelahian antar siswa seiring dengan merosotnya pemahaman agama

    dan moral remaja. Ketidak harmonisan hubungan antar siswa ini menyebabkan

    kesenjangan diantara mereka sehingga terjadilah perkelahian yang bahkan sampai

    menimbulkan tawuran antar pelajar. Sebab yang lain adalah masih adanya anggapan

    siswa atau pelajar bahwa mereka tidak di katakan keren atau gagah oleh sesamateman mereka kalau tidak berpenampilan layaknya seorang preman dan belum

    pernah berkelahi. Hal ini masih sering terjadi dan tak jarang perkelahian antar pelajar

    timbul akibat hal ini.

    Kekerasan juga terjadi oleh guru terhadap siswa. Hal ini juga sudah sangat

    sering terjadi. Media santer memberitakan hal serupa yang terjadi di beberapa

    daerah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang kebanyakan berasal dari siswa

    namun kadang-kadang juga berasal dari guru. Kekerasan terjadi akibat siswa kurang

    begitu memahami peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah tersebut.

    Beberapa memang sudah ada yang tahu namun tetap saja mereka tetap melanggar.

    Hal ini biasanya muncul akibat siswa yang kurang mengerti mengapa dan untuk apa

    peraturan itu dibuat. Yang mereka rasakan merasa tertekan dengan adanya peraturan

    tersebut sehingga mereka melanggar dan pelanggaran tersebut tidak bisa di toleransi.

    Akibatnya seorang guru bisa saja menghukum siswa tersebut dengan hukuman yang

    tidak wajar bahkan sampai menimbulkan luka terhadap siswa yang bersangkutan.

    Faktor yang berasal dari pihak guru ialah seorang guru kurang bisa mengendalikan

    emosi ketika tahu siswanya melakukan pelanggaran berat.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    26/34

    26

    Solusi mengatasi kekerasan dalam dunia pendidikan antara lain:

    1. Diadakan pertemuan diantara guru, orang tua dan murid.

    2. Menerapkan peraturan atau tata tertib sekolah.

    3. Bagi yang melanggar peraturan, diberi hukuman tetapi yang bersifat positif,

    misalnya mengerjakan tugas tambahan, membersihkan ruang kelas atau

    halaman sekolah, mengerjakan soal-soal tertentu di papan tulis yang

    diberikan oleh guru, memberikan bimbingan belajar khusus, dan lain-lain.

    4. Membuat kontrak belajar yang disepakati oleh guru dan muridnya.

    5. Memperlakukan semua murid sama dengan yang lainnya.

    6. Melayani murid dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.

    7. Mengadakan program pengarahan orang tua murid demi pencegahan

    kekerasan dalam mengatasi perilaku bermasalah dari anak mereka.

    8. Membahas perilaku murid yang bermasalah dengan orang tuanya.

    9. Menggunakan psikolog sekolah atau BK untuk mengatasi masalah kekerasan

    di sekolah.

    10. Mewujudkan program pelaksanaan disiplin yang efektif.

    11. Hindari konfrontasi dengan murid agar tidak dipermalukan temannya.

    12. dan Bijaksanalah!

    Agar pendidikan berjalan tanpa kekerasan, maka perlu dipertimbangkan nilai

    yang efektif, penerapan metode pembelajaran yang humanis, dan internalisasi nilai-

    nilai Agama, moral dan budaya nasional dalam keseluruhan proses pendidikan.

    Untuk itu, pemahaman yang cukup tentang pendidikan yang humanis perlu diketahui

    semua pihak yang terlibat dalam pendidikan. Tugas sebagai pendidik adalah tugas

    yang berat bagi seorang guru. Guru dituntut mampu menanamkan nilai-nilai moral,

    kedisiplinan, sopan santun dan ketertiban sesuai dengan peraturan atau taat tertib

    yang berlaku di sekolah masing-masing. Dengan demikian diharapkan siswa tumbuh

    menjadi pribadi yang sigap, mandiri, dan disiplin. Sebagai motivator, guru harus

    mampu menjadi pemicu semangat siswanya dalam belajar dan meraih prestasi.

    Diharapkan dengan penegakan disiplin di semua unsur, tidak terdengar lagi seorang

    guru menghukum siswanya dengan marah-marah atau menampar. Diharapkan juga

    tidak ada lagi siswa yang melakukan tindakan kekerasan terhadap temannya. Sebab,

    kalau terbukti melanggar berarti siap mendapatkan sanksi.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    27/34

    27

    Jadi dapat disimpulkan bahwa, kekerasan dalam pendidikan merupakan perilaku

    melampaui batas kode etik dan aturan dalam pendidikan, baik dalam bentuk fisik 

    maupun pelecehan atas hak seseorang. Pelakunya bisa siapa saja; pimpinan sekolah,

    guru, staf, murid, orang tua atau wali murid, bahkan masyarakat. Jika perilaku

    kekerasan sampai melampaui batas otoritas lembaga, kode etik guru dan peraturan

    sekolah, maka kekerasan tersebut dapat mengarah pada pelanggaran atas Hak Asasi

    Manusia (HAM), dan bahkan tindak pidana. Guru yang menghukum murid sehingga

    mengakibatkan luka fisik, atau murid yang menganiaya guru karena alasan nilai,

    termasuk pelanggaran HAM dan merupakan tindak pidana.

    2.5 Kekerasan Dalam Pendidikan

    Kondisi Internal Pendidikan

    Kondisi internal pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh langsung pada

    perilaku pelajar/mahasiswa dan para pendidiknya, termasuk perilaku kekerasan.

    Menurut Merton pendidikan yang salah akan “mempengaruhi” guru dan anak didik 

    kepada perilaku preman. Oleh karenanya, untuk berbicara perihal kekerasan dalam

    pendidikan, terlebih dahulu perlu diketahui kondisi internal dunia pendidikan

    tersebut.

    Kondisi Eksternal Pendidikan

    Kondisi eksternal adalah kondisi non-pendidikan yang menjadi faktor tidak langsung

    bagi timbulnya potensi kekerasan dalam pendidikan. Kondisi eksternal ini terutama

    tampak dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat, dimana pelaku pendidikan

    berada di dalamnya.

    Masalah narkoba cukup meresahkan masyarakat dan dunia pendidikan. Selama

    empat tahun terakhir, angka kejahatan narkoba di indonesia naik cukup signifikan.

    Pengguna narkoba tidak lagi terbatas pada masyarakat umum, namun juga kalangan

    mahasiswa dan pelajar.

    Pengaruh tayangan televisi tidak bisa dikesampingkan. Hasil penelitian

    membuktikan bahwa siaran TV berpengaruh secara signifikan terhadap perilakuanak. Tayangan TV umumnya berfungsi dalam tiga hal, yaitu sebagai media

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    28/34

    28

    rekreatif, informatif dan edukatif. Namun, dari ketiga fungsi tersebut, sebagian besar

    pemirsa boleh dibilang lebih banyak mengkonsumsi tayangan TV pada fungsi

    rekreatif ini cenderung kondusif bagi tampilnya kekerasan. Film anak-anak yang

    biasa diputar dalam bentuk kartun pun sering mengandung unsur adu otot dan baku

     jotos. Pola kekerasan sebagai penyelesaian masalah yang diterima oleh anak-anak 

    melalui TV ini dalam jangka panjang dapat membentuk metalitas anak-anak 

    tersebut untuk memilih jalan pintas, diantaranya dalam bentuk kekerasan.

    Kondisi eksternal pendidikan yang memprihatinkan tersebut meniscayakan

    pentingnya kontrol sosial, nilai budaya dan agama, agar ekses modernisasi tidak 

    merusak moralitas agama. Menurut Prof. Dr. Sudarwan Danim, reformasi moral

    harus mewarnai pendidikan. Kekerasan dalam pendidikan bisa dipengaruhi secara

    tidak langsung oleh kondisi eksternal ini.

    Jadi dapat disimpulkan bahwa, kondisi internal pendidikan dan kondisi eksternal

    pendidikan keduanya merupakan hal yang sangat penting dan mempengaruhi

    kekerasan dalam pendidikan.

    Kekerasan bila ditinjau dari berbagai landasan pendidikan di Indonesia:

     A. Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan

    Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:

    1. pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang

    Sistem Pendidikan Nasional, “fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan

    kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam

    rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi

    peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

    Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

    warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

    2. pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara

    demikratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak 

    asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU

    Sisdiknas)

    3. Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

    Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    29/34

    29

    (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan,

    atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3

    (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh

    puluh dua juta rupiah).

    (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku

    dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling

    banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

    (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku

    dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda

    paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

    (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

    ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

     B. Tinjauan dari Landasan Psikologi Pendidikan

    Tindakan kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik 

    dan psikis. Kekerasan fisik dapat diidentifikasi berupa tindakan pemukulan

    (menggunakan tangan atau alat), penamparan, dan tendangan. Dampaknya, tindakan

    tersebut dapat menimbulkan bekas luka atau memar pada tubuh, bahkan dalam kasus

    tertentu dapat mengakibatkan kecacatan permanen yang harus ditanggung seumur

    hidup oleh si korban.

    Adapun kekerasan psikis antara lain berupa tindakan mengejek atau

    menghina, mengintimidasi, menunjukkan sikap atau ekspresi tidak senang, dan

    tindakan atau ucapan yang melukai perasaan orang lain.

    Dampak kekerasan secara psikis dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman,

    takut, tegang, bahkan dapat menimbulkan efek traumatis yang cukup lama. Selain

    itu, karena tidak tampak secara fisik, penanggulangannya menjadi cukup sulit karena

    biasanya si korban enggan mengungkapkan atau menceritakannya.

    Dampak lain yang timbul dari efek bullying ini adalah menjadi pendiam atau

    penyendiri, minder dan canggung dalam bergaul, tidak mau sekolah, stres atau

    tegang, sehingga tidak konsentrasi dalam belajar, dan dalam beberapa kasus yang

    lebih parah dapat mengakibatkan bunuh diri.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    30/34

    30

    C. Tinjauan dari Landasan Filsafat Pendidikan

    Menurut Sekjen KPA, Arist Merdeka Sirait, pada tahun 2009 telah terjadi

    aksi bullying atau kekerasan di sekolah sebanyak 472 kasus. Angka ini meningkat

    dari tahun 2008, yang jumlahnya sebanyak 362 kasus.

    Begitu banyak kekerasan yang terjadi di sekolah merupakan hal yang

    menyedihkan bagi dunia pendidikan. Kekerasan seharusnya tidak terjadi di negara

    kita yang berfalsafah Pancasila, apalagi ini terjadi dalam dunia pendidikan. Bangsa

    kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai

    dengan sila kedua Pancasila. Segala bentuk kekerasan tentunya melanggar nilai-nilai

    kemanusiaan khususnya hak asasi manusia. Dan pelanggaran hakasasi manusia akan

    mendapatkan konsekuensi hukum sesuai dengan perundang-undangan yang belaku

    di negara kita.

     D. Tinjauan dari Landasan Sosial Budaya

    Pada landasan sosial budaya, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan

    hubungan antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok serta

    mengembangkan nilai-nilai budaya Indonesia. Namun, hal tersebut hanya menjadi

    wacana saat kekerasan terjadi dalam pendidikan. Siswa tidak dapat mengembangkan

    hubungan yang baik antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok ketika

    “budaya senioritas” masih melekat di sekolah. Di sisi lain, terkikisnya budaya

    bangsa yang dikenal dunia dengan sopan santunnya akibat maraknya tindak 

    kekerasan khususnya dalam dunia pendidikan.

    2.6 Belajar Hidup Melalui Pendidikan

    Selama ini, Pendidikan dikonsep sebagai pemindahan nilai dan IPTEK dari

    orang dewasa kepada anak-anak, dan kepemilikan nilai atau IPTEK dari orang

    dewasa yng berfungsi sebagai guru itu pun melalui proses serupa dan seterusnya

    demikian dalam urutan sejarah ke masa lalu. Model dan praktik pendidikan seperti

    ini menyebabkan anak-anak tidak memiliki pengalaman memperoleh nilai dan

    IPTEK seperti yang dialami para guru mereka sebelumnya.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    31/34

    31

    Nilai dan teori IPTEK bukan menjadi bagian dri kehidupan anak-anak yang

    tumbuh dari yang di dalam dirinya, tapi sesuatu yang telah datang dari luar. Akibat

    lebih jauh dari model pendidikan di atas, pendidikan gagal berfungsi sebagai wahana

    anak-anak untuk bisa belajar hidup dengan segala persoalan yang ada di dalamnya.

    Peluang terbuka lebih tersedia di luar lembaga pendidikan formal di dalam

    kehidupan sosial, tanpa kontrol dan sistem yang jelas.

    Selama ini pendidikan formal bagaikan sebuah paket kiriman tentang nilai

    dan IPTEK dari subyek yang tak dikenal yang harus diterima anak-anak karena

    mereka memang tidak mempunyai pilihan lain. Perilaku anak-anak dan juga warga

    masyarakat seringkali berbeda dan bertentangan dengan paket nilai dan IPTEK yang

    telah mereka terima selama ini. Melalui kritik pendidikan sebagai wahana belajar

    itulah mungkin bisa dipahami berbagai bentuk kekerasan, keberingasan dan

    kesadisan dalam kehidupan di berbagai kota besar, yang sudah menjadi berita harian.

    Dunia pendidikan mengalami situasi yang tak jauh beda dengan dunia sosial

    yang lebih luas dengan maraknya kekerasan antar pelajar bahkan justru di kalangan

    mahasiswa sepanjang tahun. Patut kita bertanya, apa yang salah dengan kehidupan

    sosial yang telah dan sedang kita jalani, apa yang salah dalam kebijakan dan praktik 

    pendidikan yang kita tempuh. Kecenderungan tersebut menunjukkan fenomena

    kemanusiaan yang lebih serius di dalam peradaban yang modern. Manusia bukan

    hanya menghadapi keterasingan atas orang dan benda teknologi serta alam, tapi juga

    mengalami dehumanisasi modernitas yang telah kehilangan semangat kemanusiaan.

    Manusia seperti mengalami titik balik praktik kelelahan yang amat serius,

    akibat diterpa mekanika rasionalitas dan logika linier dari kehidupan sehari-hari di

    dalam setiap langkah hidupnya.

    Pil koplo, ganja, dan obat-obatan perangsang lain menjadi tempat pelarian

    anak-anak yang mengalami pengasingan yang mengasyikan sekaligus memperbesar

    dan mempermudah dorongan perilaku beringas dan sadis. Formula mekanis

    kehidupan terus menerus mengejar manusia kemana pun merek berada, di rumah, di

    sekolah, di jalan, dan di pusat-pusat berbelanjaan, bahkan di pusat-pusat hiburan dan

    kantor pemerintahan. Manusia anak-anak itu hendak lari dari dunia yang tidak 

    memberi kesempatan bagi mereka untuk bisa menyadari dan merenungkankemanusiaannya sendiri, tetapi hampir selalu berakhir dengan kegagalan.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    32/34

    32

    Bentrok antar pelajar dan mahasiswa, yang kembali terulang dan berulang

    terus sepanjang tahun merupakan persoalan yang integral dan sikap terhadap

    kehidupan. Kekerasan demi kekerasan diatas juga dilakukan dan terjadi di seluruh

    strata sosial hingga yang tertinggi, melalui dan dalam berbagai bentuk berbeda.

    Sesuai tingkatan sosial setiap warga atau anak-anak, kekerasan di strata lebih tinggi,

    bersifat non-fisik seperti kolusi atau korupsi serta selingkuh moral, ekonomi dan

    politik lainnya, tapi dampak tindakan amoral tak kalah kerasnya dengan kekerasan

    fisik yang dilakukan di strata lebih bawah.

    Fenomena kekerasan, memerlukan petunjuk mengenai pandangan mengenai

    kehidupan. Hidup manusia bagaikan roh dan jiwa, menjadi sekedar mekanisme dunia

    materiel yang terbatas dan pendek yang dilembagakan secara sistematis dalam

    praktik pendidikan, tidak akan bisa mengusung manusia untuk bisa menahan diri.

    Harapan hidup manusia menjadi terbatas di dalam wilayah dan ruang fisik yang

    terbagi habis tanpa sisa bagi orang lain. Akibatnya, sulit bagi seseorang memberi

    tempat orang lain di sisinya secara bersama, sementara pada saat yang sama juga tak 

    ada ruang sosial bagi dirinya di tempat orang lain, kecuali orang lain atau dirinya

    sendiri tersingkir atau mati dan kalah dalam pertempuran budaya yang lebih sengit

    dan perang fisik.

    Sayangnya, praktik pendidikan justru lebih banyak berhenti hanya sebagai

    usaha penyiapan bagimana menyikapi posisi ekonomi dan membuat ruang

    kehidupan yang lebih luas yang dapat ditempati banyak orang lain. Pendidikan

    cenderung terperangkap sebagai pembiasaan menduduki posisi yang terbatas dan

    yang sebaliknya gagal mendorong peserta didik untuk bisa belajar bagaimana hidup

    dalam serba keterbatasan dengan tetap bisa dan bersedia memberi ruang bagi orang

    lain. Karena itu, pendidikan seharusnya merupakan pendidikan untuk belajar

    mengenai situasi dimana peserta didik itu harus dan akan hidup.

    Jadi dapat disimpulkan bahwa, kita belajar melalui pendidikan agar kita dapat

    menghindari perilaku menyimpang yang sering terjadi yakni kekerasan antar pelajar

    maupun mahasiswa. Selain itu kita juga dapat belajar bagaimana cara mengindari

    kekerasan di dalam dunia pendidikan.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    33/34

    33

    BAB III

    PENUTUP

    3.1 Kesimpulan

    Agar pendidikan berjalan tanpa kekerasan, yang terpenting untuk 

    menanggulangi munculnya praktik bullying di sekolah adalah ketegasan sekolah

    dalam menerapkan peraturan dan sanksi kepada segenap warga sekolah, termasuk di

    dalamnya guru, karyawan, dan siswa itu sendiri. Untuk itu, pemahaman yang cukup

    tentang pendidikan yang humanis perlu diketahui semua pihak yang terlibat dalam

    pendidikan.

    Tindakan kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik 

    dan psikis. Kekerasan fisik dapat diidentifikasikan berupa tindakan pemukulan,

    penamparan dan tendangan. Dampaknya, tindakan tersebut dapat menimbulkan

    bekas lukaatau memar pada tubuh, bahkan dalam kasus tertentu dalam menimbulkan

    kecacatan permanen yang harus ditanggung seumur hidup oleh si korban.

    3.2 Saran

    Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok 

    bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan

    karena terbatasnya pengetahuan dan kekurangan rujukan atau referensi yang ada

    hubungannya dengan judul makalah yang saya susun tersebut.

    Saya selaku penulis banyak berharap para pembaca sudi memberikan kritik 

    dan saran yang tentunya membangun kepada saya, demi mencapainya

    kesempurnaan dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi saya dan

    pada khususnya seluruh pembaca makalah ini.

  • 8/16/2019 Kekerasan Di Dunia Pendidikan Berbasis Gender

    34/34

    DAFTAR PUSTAKA

    • Douglas, Jack D dan Frances Chaput Waksler, “Kekerasan” dalam Thomas

    Santoso (Penerjemah). Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia, 2002

    • Drs. ABD. Rahman Assegaf, M.A “Pendidikan Tanpa Kekerasan” .

    Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004

    • Stevan M. Chan “Pendidikan Liberal Berbasis Sekolah” dalam Dr. Abdul

    Munir Mulkhan (Pengantar) : Kreasi Wacana, 2002

    • Kusumah, Mulyana W. Analisa Kriminoligi Tentang Kejahatan-Kejahatan

    Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982

    • Darminta, J. SJ, “ Mengubah Tanpa Kekerasan”. Yogyakarta: Kanisius. 1993

    • Krishnamurti, J “ Bebas Kekerasan”. Malang: Yayasan Krishnamurti Indonesia.

    1982

    • Morin,Edgar. “Tujuh Materi Bagi Dunia Pendidikan”. Yogyakarta: Kanisius,

    2005.