kekerasan terhadap aliran.doc
DESCRIPTION
KEKERASAN TERHADAP ALIRANTRANSCRIPT
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir, kerukunan antara umat beragama di
Indonesia ternodai dengan adanya beberapa konflik antaraumat beragama
maupun antar kelompok pemeluk aliran keyakinan tertentu. Kekerasan demi
kekerasan banyak dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok
aliran minoritas hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Wahid Institute, sebuah lembaga yang aktif mengumpulkan data dan
melakukan sosialisasi tentang pentingnya menghargai keberagaman, mencatat
selama tahun 2011, telah terjadi peningkatan pelanggaran kebebasan
beragama dan berkeyakinan di berbagai daerah di Indonesia. Apabila tahun
sebelumnya hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat 18% menjadi 93
kasus. Meningkatnya jumlah pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan ini bahkan menyita perhatian dunia internasional. Hal terlihat
pada sidang dewan HAM Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) di Jenewa,
Swiss. 40 persen anggota sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB melalui
mekanisme UPR (Universal Periodic Review) di Jenewa, Swiss, mendesak
Indonesia untuk memperhatikan dengan serius isu intoleransi beragama ini.
Beberapa kasus yang paling banyak mendapat sorotan dan hingga kini
belum menemukan penyelesaian diantaranya adalah kasus GKI Yasmin yang
sampai hari ini masih terombang-ambing dalam ketidakjelasannya, kasus
penutupan sejumlah Gereja di Aceh Singkil juga belum menjadi perhatian
pemerintah, dan kasus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia di
Bekasi, Jawa Barat dimana jemaat terpaksa harus beribadah di luar tempat
ibadahnya, padahal tidak ada pelanggaran baik dalam kaitan dengan syarat
ijin membangun gereja atau syarat lainnya. Kasus lain yang hingga saat ini
juga masih terombang – ambing adalah perlakuan diskriminatif dan kekerasan
1
yang terus terjadi pada para pengikut Ahmadiyah dan syiah di berbagai
wilayah di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah masih terombang – ambing
dengan berbagai tekanan di luar pemerintah mengenai sesat atau tidaknya
aliran keagamaan ini.
Yang patut disayangkan dalam beberapa kasus ini adalah absennya
negara dalam melindungin kaum minoritas yang dianggap
‘menyimpang/sesat’. Bahkan menurut laporan hasil survei dan penelitian
yang dilakukan oleh Setara Institute pada tahun 2011, diskriminasi dan
kekerasan terhadap beberapa kelompok keagamaan ini melibatkan tidak saja
aktor non negara, melainkan juga beberapa aktor negara.
Jika sebenarnya dasar – dasar hukum di Indonesia telah mengatur dan
melindungi kebebasan seseorang beragama dan melaksanakan ibadahnya, lalu
mengapa tindakan intoleransi ini masih muncul dan meningkat jumlahnya?
Selanjutnya, bagaimana sebenarnya kondisi kebebasan beragama dan
toleransi di Indonesia, apa saja dasar hukum yang menjamin kebebasan
beragama dan berkeyakinan di Indonesia, serta mengapa negara absen dan
bagaimana seharusnya negara memposisikan dirinya akan dibahas dalam
makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi kebebasan beragama dan toleransi di Indonesia tahun
2011 - 2012?
2. Apa saja dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama dan
berkeyakinan di Indonesia?
3. Mengapa dasar hukum ini tidak cukup efektif dalam menjamin kebebasan
beragama di Indonesia?
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memetakan bagaimana kondisi yang sebenarnya
kebebasan beragama dan toleransi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir 2
terutama menyangkut kasus – kasus yang banyak mendapat sorotan dan
menimbulkan banyak konflik dan kekerasan, lalu menganalisa bagaimana
konflik – konflik ini muncul di tengah ekspektasi yang tinggi terhadap
perlindungan HAM dan dasar – dasar hukum dalam perangkat konstitusi di
Indonesia yang menjamin kebebasan memeluk suatu agama dan beribadah
menurut apa yang seseorang yakini.
3
BAB 2. PEMBAHASAN
A. Kondisi kebebasan beragama dan toleransi di Indonesia saat ini
Berdasarkan laporan yang dirilis oleh The Wahid Institute dan SETARA
Institute, tindak intoleransi yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2011
hingga awal 2012 adalah 184 kasus, atau sekitar 15 kasus terjadi setiap
bulannya. Angka ini naik 16 % dari tahun sebelumnya yang berjumlah 134
kasus.
Berikut ini adalah tabel kategori bentuk tindakan intoleransi yang terjadi:
Sedangkan kategori pelaku tindakan intoleransi diantaranya adalah: FPI 38
kali (18%), kelompok massa terorganisir 33 kali (15%), pemkab/pemkot 22
kali (10%), massa tidak teridentifikasi 19 kali (9%), MUI 17 kali (8%), serta
perorangan 14 kali (7%).
Untuk kategori korban, Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah kelompok
yang paling sering menjadi korban tindak intoleransi. Berikut ini adalah tabel
lengkap mengenai korban tindak intoleransi sepanjang tahun 2011.
NO KORBAN JUMLAH %1 JAI 65 262 Individu 42 173 Pemilik usaha 24 10
4
4 Umat kristen 21 95 Pejabat/pegawai pemerintah 16 76 Kelompok/individu yang terduga sesat 16 77 Tempat ibadah 15 68 Jemaat GKI Yasmin 11 49 Artis/pelaku seni 7 310 Kelompok pelajar 6 211 Properti umum 4 212 Pengikut syi’ah 5 213 Akademisi 3 114 LSM 3 115 Polisi 4 216 Warga NU 2 117 Ormas agama 2 118 Media 1 0
B. Dasar hukum yang menjamin perlindungan HAM dalam kebebasan beragama
dan berkeyakinan di Indonesia.
Data tentang tindakan diskriminasi terhadap beberapa kelompok aliran
minoritas di atas tentu saja merupakan catatan hitam dari pelaksanaan
kebebasan berkeyakinan di Indonesia. Padahal, Indonesia telah memiliki
beberapa dasar hukum yang menjamin seseorang untuk memilih agama yang
diyakini dan beribadah menurut apa yang diyakininya. Dasar hukum tersebut
adalah: Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD
1945”):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu, dalam Pasal 28I ayat (1)
UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi
manusia. Selanjutnya, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa
5
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk
agama.
Namun, dasar hukum di atas tampaknya belum cukup untuk membuat
harmoni di tengah beragamnya kehidupan beragama di Indonesia. Lalu,
apakah yang salah sehingga konflik keagamaan masih saja ada, bahkan
menunjukkan peningkatan yang signifikan. Ahmad Suaedy dalam tulisannya
‘Kebebasan beragama dalam konstitusi dan perundang – undangan di
Indonesia’ mengutarakan bahwa setidaknya ada beberapa alasan masih
seringnya terjadi konflik keagamaan ini.
Pertama, penyebutan nama-nama agama yang berimplikasi bahwa seolah
hanya enam agama yang disebut di dalam penjelasan UU itulah yang dijamin
oleh pemerintah dan UU, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan
Konghuchu. Hal ini menyebabkan bahwa seolah pemerintah dan hukum di
Indonesia tidak berkewajiban untuk melayani dan memproteksi warga negara
yang beragama dan kepercayaan di luar yang enam tersebut.
Kedua, kondisi itu diperparah dengan adanya disharmoni antara hukum satu
dengan lainnya, khususnya tentang jaminan kebebasan beragama ini. Seperti
ditunjukkan di atas jaminan Konstitusi atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan terdistorsi oleh UU No.1/PNPS 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Undang – undang inilah yang
selanjutnya dikritisi oleh sekelompok pengacara yang menamakan diri
sebagai Tim Advokasi Kebebasan Beragama (Asfinawati SH, dkk) dengan
mengajukan permohonan uji materiil UU No. 1/PNPS/1965 tersebut kepada
Mahkamah Konstitusi (MK), pada tanggal 1 Desember 2009 yang lalu.
Mereka adalah kuasa hukum dari para pemohon uji materiil baik yang
bertindak sebagai pribadi maupun badan hukum. Pemohon pribadi itu KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, Prof. M.
Dawam Raharjo, dan KH. Maman Imanul Haq. Sedang pemohon badan
hukum antara lain YLBHI, Yayasan Desantara, IMPARSIAL, ELSAM, dan
6
PBHI. Mereka mengajukan uji materil terhadap UU No 1/PNPS/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Yang mereka
permasalahkan utamanya adalah pasal 1 UU No 1/PNPS/1965 yang
berbunyi,"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk
melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
agama itu, penafsiran atau kegiatan mana menyimpang dari pokok - pokok
ajaran dari agama itu." Mereka berargumen antara lain dengan mengatakan
ada kesulitan menentukan mana yang disebut pokok ajaran suatu agama.
Mungkin satu pihak menganggap suatu ajaran sebagai pokok ajaran,
sementara pihak lain tidak. Mereka menyatakan juga pasal tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 khususnya pasal 28 yang menjamin
kebebasan beragama.
Ketiga, dengan demikian, melalui UU ini seolah pemerintah bisa memberi
pengakuan secara resmi dan tidak atas agama dan kepercayaan tertentu.
Implikasi dari pasal ini adalah munculnya diskriminasi, karena pemerintah
bisa melarang agama atau keyakinan tertentu berdasarkan UU tersebut. Kalau
pun tidak melarang, maka pemerintah berpotensi untuk memperlakukan
secara berbeda terhadap agama dan kepercayaan tertentu dengan tidak
menfasilitasi keberadaan agama dan kepercayaan tertentu.
keempat, implikasi dari campur tangan pemerintah atas agama dan keyakinan
adalah adanya lembaga yang secara hukum sah untuk mengawasi dan
meneliti aliran-aliran agama dan kepercayaan, dan memiliki otoritas untuk
merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengakui atau melarang suatu
aliran agama dan kepercayaan tertentu. Lembaga itu disebut Bakor-Pakem
atau Badan Koordinasi-Pengawas Aliran Kepercayan Masyarakat. Lembaga
ini bisa menjadi manipulasi agama-agama mainstream untuk melakukan
pelarangan atau pembatasan oleh pemerintah atas aliran-aliran dan keyakinan
7
tertentu. Implikasinya adalah diskriminasi dan bahkan pelanggaran terhadap
Konstitusi dan UU yang ada.
Jadi, secara umum Pemerintah menghargai kebebasan beragama; namun,
keputusan pemerintah yang menetapkan beberapa undang-undang, kebijakan-
kebijakan, dan tindakan-tindakan tertentu lainnya yang justru berkebalikan
karena membatasi kebebasan beragama dan kadang-kadang Pemerintrah
mentolerir diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum
tertentu terhadap individu-individu berdasarkan pada keyakinan agama
mereka. Kita bisa melihatnya pada beberapa kasus penyerangan yang terjadi
pada kelompok Ahmadiyah dan Syi’ah yang terjadi di beberapa wilayah
(Sampang, Jember, dan beberapa wilayah lainnya), bahkan hingga
menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
8
BAB 3. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan data dari SETARA institute, kondisi kebebasan beragama
dan beribadah di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Angka pelanggaran
yang terjadi terutama terhadap aliran – aliran minoritas semakin menunjukkan
peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Masyarakat kita tampaknya
semakin tidak bijak dalam memandang perbedaan dengan memilih jalan
kekerasan.
Dasar hukum di Indonesia yang menjamin Hak Asasi Manusia dalam
kebebasan beragama sebenarnya sudah tercantum dalam Undang Undang
Dasar, namun beberapa undang - undang, kebijakan, dan tindakan tertentu
lainnya masih perlu pengkajian ulang. Di samping itu, yang paling
memperihatinkan adalah Pemerintrah seringkali mentolerir diskriminasi dan
kekerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu terhadap individu-
individu berdasarkan pada keyakinan agama mereka, seperti tidak adanya
sanksi serius terhadap beberapa pelaku kekerasan.
9