kelainan kongenital pada laring

41
KELAINAN KONGENITAL PADA LARING A. PENDAHULUAN Kelainan kongenital laring merupakan suatu kondisi penyebab respiratory distress pada neonatus dan bayi. Prevavalensi kongenital saluran pernapasan terhitung antara 1 diantara 10.000 neonatus dan bayi. Prevalensinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 1. Prevalensi kelainan kongenital pada laring (Dikutip dari kepustakaan 1) Masalah yang terkait dengan fonasi dan menelan dapat mencegah bayi dari berkembang. Stridor adalah tanda umum dalam menyajikan obstruksi laring. Sumber obstruksi dapat dicurigai berdasarkan karakteristik stridor tersebut. Obstruksi supraglottic atau glotis umumnya hadir sebagai stridor inspirasi. Stridor biphasic menunjukkan penyempitan antara glotis dan 1

Upload: hardianty-hamzah

Post on 25-Nov-2015

290 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

kongenital pada laring

TRANSCRIPT

KELAINAN KONGENITAL PADA LARING

A. PENDAHULUANKelainan kongenital laring merupakan suatu kondisi penyebab respiratory distress pada neonatus dan bayi. Prevavalensi kongenital saluran pernapasan terhitung antara 1 diantara 10.000 neonatus dan bayi. Prevalensinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Prevalensi kelainan kongenital pada laring (Dikutip dari kepustakaan 1)Masalah yang terkait dengan fonasi dan menelan dapat mencegah bayi dari berkembang. Stridor adalah tanda umum dalam menyajikan obstruksi laring. Sumber obstruksi dapat dicurigai berdasarkan karakteristik stridor tersebut. Obstruksi supraglottic atau glotis umumnya hadir sebagai stridor inspirasi. Stridor biphasic menunjukkan penyempitan antara glotis dan trakea extrathoracic. Aliran turbulen trakea distal atau bronkus utama dapat menghasilkan stridor ekspirasi. 2

B. EMBRIOGI LARINGSeluruh sistem pernafasan merupakan hasil pertumbuhan faring primitif. Pada saat embrio berusia 3,5 minggu suatu alur yang disebut laringotrakeal groove tumbuh dalam embrio pada bagian ventral foregut. Alur ini terletak disebelah posterior dari eminensia hipobronkial dan terletak lebih dekat dengan lengkung ke IV daripada lengkung ke III. 3 Selama masa pertumbuhan embrional ketika tuba yang single ini menjadi dua struktur, tuba yang asli mula-mula mengalami obliterasi dengan proliferasi lapisan epitel, kemudian epitel diresopsi, tuba kedua dibentuk dan tuba pertama mengalami rekanulisasi. Berbagai malformasi dapat terjadi pada kedua tuba ini, misalnya fistula trakeoesofageal. Pada maturasi lanjut, kedua tuba ini terpisah menjadi esofagus dan bagian laringotrakeal.3 Pembukaan laringotrakeal ini adalah aditus laringeus primitif dan terletak diantara lengkung IV dan V. Aditus laring pada perkembangan pertama berbentuk celah vertikal yang kemudian menjadi berbentuk T dengan tumbuhnya hipobrachial eminence yang tampak pada minggu ke 3 dan kemudian akan tumbuh menjadi epiglottis. Sepasang aritenoid yang tampak pada minggu ke 5 dan pada perkembangan selanjutnya sepasang massa aritenoid ini akan membentuk tonjolan yang kemudian akan menjadi kartilago kuneiforme dan kartilago kornikulata. Kedua aritenoid ini dipisahkan oleh incisura interaritenoid yang kemudian berobliterasi. Ketika ketiga organ ini tumbuh selama minggu ke 5 10, lumen laring mengalami obliterasi, baru pada minggu ke 9 kembali terbentuk lumen yang berbentuk oval. Kegagalan pembentukan lumen ini akan menyebabkan atresia atau stenosis laring. Plika vokalis sejati dan plika vokalis palsu terbentuk antara minggu ke 8 9.3

Gambar 2. Pengembangan laring. A, Pada janin 4 minggu, laring berkembang di ujung proksimal dari alur laryngotracheal. B, Pada janin 5-minggu, arytenoid ditemukan di lateral aditus laring. Garis tengah pembesaran anterior (epiglotis masa depan) merupakan turunan dari eminensia hypobranchial. C, Pada janin 6 minggu, pembengkakan arytenoid telah berpindah ke medial dan menuju lidah, dan aditus laring telah menjadi T-berbentuk. Lumen laring hanya berbentuk celah. D, Pada janin 10 minggu, struktur tulang rawan dan otot laring telah terbentuk dari lengkungan branchial keempat dan keenam (Dikutip dari kepustakaan 4)Pembentukan vokal dan vestibular terkait dengan kondensasi mesenkim. Kartilago laring berkembang dari mesenkim dari lengkungan branchial. Kartilago tiroid berkembang dari lengkung keempat sebagai dua piring lateral yang bertemu di garis tengah. Otot-otot laring intrinsik berkembang dari mesoderm dari lengkungan keempat dan keenam. Otot-otot laring pada mulanya muncul sebagai suatu sfingter intrinsik yang terletak dalam tunas kartilago tiroid dan krikoid. Selama perkembangan selanjutnya, sfingter ini terpisah menjadi massa otot-otot tersendiri (mudigah 13 16 mm). Otot-otot laring pertama yang dikenal adalah interaritenoid, ariepiglotika, krikoaritenoid posterior dan krikotiroid. Otot-otot laring intrinsik berasal dari mesoderm lengkung brakial ke 6 dan dipersarafi oleh N. Rekuren Laringeus. M. Krikotiroid berasal dari mesoderm lengkung brakial ke 4 dan dipersarafi oleh N. Laringeus Superior. Kumpulan otot ekstrinsik berasal dari eminensia epikardial dan dipersarafi oleh N. Hipoglosus. 3,4Tulang hyoid akan mengalami penulangan pada enam tempat, dimulai pada saat lahir dan lengkap setelah 2 tahun. Katilago tiroid akan mulai mengalami penulangan pada usia 20 sampai 23 tahun, mulai pada tepi inferior. Kartilago krikoid mulai usia 25 sampai 30 tahun inkomplit, begitu pula dengan aritenoid.3

C. ANATOMI & FISIOLOGI LARING1. Anatomi LaringLaring merupakan bagian terbawah dari saluran napas atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Bagian atas laring adalah aditus laring, sedangkan bagian bawahnya adalah batas kaudal kartilago krikoid. 5Rongga laring dibagi atas 3 bagian yaitu supraglotis, glotis, dan subglotis. Daerah supraglotis terdiri dari epilaring dan vestibulum. Epilaring merupakan gabungan dari permukaan epiglotis, plika ariepiglotika dan aritenoid, sedangkan vestibulum terdiri dari pangkal epiglotis, plika vestibularis, dan ventrikel. Daerah glotis terdiri dari pita suara dan 1 cm di bawahnya. Daerah subglotis adalah dari batas bawah glotis sampai dengan batas bawah kartilago krikoid. 5Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid dan beberapa tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago tiroid, kartilago mkrikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata dan kartilago kuneiformis. 3,5Jaringan elastis laring terdiri dari 2 bagian yaitu membran kuadrangular supraglotis dan konus elastikus. Membran kuadrangular melekat di anterior pada batas lateral epiglotis dan melingkar ke posterior dan melekat di kartilago aritenoid dan kornikulata. Struktur ini dan mukosa yang melapisinya akan membentuk plika ariepiglotika. Plika ini juga merupakan dinding medial dari sinus piriformis. 3,5Konus elastikus merupakan struktur elastis yang lebih tebal dibanding membran kuadrangular. Di bagian inferior melekat pada batas superior dari kartilago krikoid yang kemudian berjalan ke atas dan medial melekat di superior pada komisura anterior kartilago tiroid dan prosesus vokalis dari aritenoid. Di antara perlekatan di superior ini konus menebal dan membentuk ligamen vokalis. Di bagian anterior konus membentuk membran krikotiroid pada garis tengah. Membran ini memadat dan membentuk ligamen krikotiroid. Ligamen-ligamen dan membran ini akan menyatukan kartilago dan distabilkan oleh mukosa yang meliputinya. 5

Gambar 3. Kartilago dan ligament pada laring (Dikutip dari kepustakaan 3)Otot-otot laring terdiri atas otot ekstrinsik dan otot instrinsik. Otot ekstrinsik terdiri dari m. digastrikus, m. geniohioid, m. stilohioid, m. milohioid, m. sternohioid, m. omohioid, dan m. tirohioid. Sedangkan otot intrinsic laring adalah m.krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika, m. vokalis, m. tiroaritenoid, m. ariepiglotika, m.krikotiroid, m. ariteoid transversum, m. ariteoid oblik, dan m. krikoaritenoid posterior. 5Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n. laringeus inferior dan n. laringeus superior. Kedua saraf ini merupakan saraf motorik dan sensorik. Sedangkan perdarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu a. laringeus inferior yang merupakan cabang dari a. tiroid inferior dan a. laringeus superior yang merupakan cabang dari a. tiroid superior. 52. Fisiologi LaringLaring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi. Yang paling utama dari fungsi laring adalah perlindungan jalan napas. Laring menghubungkan faring dengan trakea. Pada manusia, laring telah berkembang menjadi sangat organ yang kompleks dan khusus tidak hanya untuk perlindungan jalan nafas dan kontrol respirasi, tetapi juga untuk suara. Kontrol dari semua mekanisme, serta struktur anatomi yang tepat, diperlukan untuk laring berfungsi normal. Laring telah memilki beberapa refleks penting untuk tujuan perlindungan jalan nafas terhadap rangsangan eksternal dan benda asing. Mekanisme refleks oleh mukosa (aferen sensorik), myotatic, dan artikular reseptor laring melalui saraf laring superior. 3,6Yang paling kompleks dan sangat khusus dari fungsi laring adalah mengeluarkan suara . Kemampuan untuk fonasi dengan artikulasi dan resonansi memungkinkan untuk mengelurakan suar . Mengeluarkan surara mensyaratkan bahwa beberapa sifat mekanik harus dipenuhi. Harus ada napas yang memadai untuk menghasilkan tekanan yang cukup pada subglottic . Juga harus ada kontrol yang memadai dari otot-otot laring untuk menghasilkan tidak hanya penutupan glotis , tapi juga panjang yang tepat dan ketegangan dari pita suara. Harus ada kelenturan dan kapasitas getaran dari jaringan pita suara . Setelah kondisi ini terpenuhi , suara dihasilkan dari getaran plika vokalis. Dalam studi laring manusia pada elektromiografi , ditemukan bahwa otot intrinsik laring tidak hanya sangat khusus untuk khusus aksi vektor , tetapi mereka juga mengontrol waktu kontraksi, dan tingkat perekrutan selama fonasi. 3Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk : Teori Myoelastik Aerodinamik.3Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali. Teori Neuromuskular.3 Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral).Fonasi merupakan proses yang kompleks dan khusus yang melibatkan tidak hanya batang otak refleks dan tindakan otot , tetapi tingkat tinggi kontrol kortikal juga. Kapasitas paru-paru, kontraksi dinding dada, faring , hidung , dan anatomi mulut juga berperan . Proses ini dimulai dengan inhalasi dan penutupan glottis. Peningkatan tekanan subglottis sampai tekanan ini dapat menutupi glottis dan udara dapat melewati antara plika vokalis . Setelah udara melewati antara plika vokalis , konsep body - cover fonasi berlaku . Teori body -cover menggambarkan gelombang seperti gerakan mukosa longgar plika vokalis , lebih terorganisir ligamen vokal dan otot vocalis. Gerakan ini dikenal sebagai gelombang mukosa . Gelombang dimulai infraglottica dan disebarkan ke atas ke tepi bebas plika vokalis dan kemudian lateral ke atas permukaan superior Akhirnya , tepi rendah menjadi reapproximated untuk penurunan tekanan pada glotis yang terbuka , dan untuk elastisitas dari jaringan itu sendiri. 3Laring juga berfungsi sebagai proses menelan. Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat berlangsungnya proses menelan, yaitu : 3 Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.

D. KELAINAN KONGENITAL LARING Kelainan ini dapat berupa laringomalasi, stenosis subglotik, selaput di laring, kista kongenital,dan hemangioma. Pada bayi dengan kelainan kongenital laring dapat menyebabkan gejala sumbatan jalan napas, suara tangis melemah sampai tidak ada sama sekali, serta kadang-kadang terdapat juga disfagia. 5,7

1. LARINGOMALASIa. Etiologi dan PatogenesisLaringomalasia merupakan penyebab utama stridor pada bayi. Kelainan ini ditandai dengan adanya kolaps struktur epiglotis pada saat inspirasi akibat memendeknya plika ariepiglotika, prolaps mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih, atau melekuknya epiglottis ke arah posterior. 5Penyebab pasti laringomalasia masih belum diketahui. Terdapat banyak teori yang menjelaskan patofisiologi laringomalasia antara lain imaturitas struktur kartilago, reflux gastroesophageal, dan imaturitas kontrol neuromuskular. 5Terdapat hipotesis yang dibuat berdasarkan embriologi. Epiglotis dibentuk oleh lengkung brankial ketiga dan keempat. Pada laringomalasia terjadi pertumbuhan lengkung ketiga yang lebih cepat dibanding yang keempat sehingga epiglotis melengkung ke dalam. 2,5Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia yaitu teori anatomi dan teori neuromuskuler. Menurut teori anatomi terdapat hipotesis bahwa terjadi abnormalitas kelenturan tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya struktur supraglotis. Teori anatomi pertamakali disampaikan oleh Sutherland dan Lack 1897, setelah mempelajari 18 kasus obstruksi laring kongenital. Mereka menyimpulkan bahwa kelainan ini merupakan kelainan congenital disertai imaturitas jaringan pada bayi yang baru lahir. 5Pada kepustakaan lain disebutkan bahwa hal ini merupakan kelainan kongenital yang bersifat otosomal dominan. Teori ini didukung oleh penemuan Prescott yang mempelajari 40 pasien dengan laringomalasia. Semuanya mempunyai plika ariepiglotika yang pendek dan sebanyak 68% mempunyai bentuk epiglotis infantile yang semuanya bermanifestasi berat dan membutukanintervensi bedah. Dari penelitian Wilson pada 10 bayi dengan laringomalasia, didapatkan bentuk laring infantile pada 2 bayi, 3 bayi dengan epiglotis yang melipat seperti omega dan 5 sisanya memiliki epiglotis normal. 5Pada teori neuromuskuler dipercaya penyebab primer kelainan ini adalah terlambatnya perkembangan kontrol neuromuskuler pada struktur supraglotis. Lebih banyak peneliti yang lebih setuju dengan teori neuromuskuler dibanding dengan teori anatomi. Thompson dan Turner melaporkan terjadinya prolaps struktur supraglotis setelah dilakukan pemotongan saraf laring pada percobaan binatang. Penelitian ini didukung dengan beberapa laporan tentang pasien yang menderita laringomalasia setelah mengalami luka neurologi. Peron dkk melaporkan 7 pasien mengalami flasiditas plika ariepiglotika setelah mengalami kerusakan otak berat. Keadaan ini digolongkan sebagai laringomalasia didapat. Dua dari 7 pasien ini mengalami perbaikan keadaan neurologi yang diikuti dengan kembali normalnya fungsi laring. Dilaporkan pula terjadinya laringomalasia pada pada pasien yang mengalami cerebral palsy, overdosis obat, meningitis, stroke, retardasi mental dan trisomi 21. 5Penyakit refluks gastroesofageal (PRGE) juga dicurigai sebagai penyebab laringomalasia. Bibi dkk menemukan PRGE pada 7 dari 11 (63%) bayi denganlaringomalasia, dan 14 dari 16 bayi dengan laringotrakeomalasia. Sedangkan pada kepustakaan lain disebutkan PGRE ditemukan pada 35-68% bayi dengan laringomalasia dan dianggap berperan menyebabkan edema di supraglotis sehingga terjadi peningkatan hambatan saluran nafas yang cukup mampu menimbulkan obstruksi nafas. Namun dapat pula terjadi sebaliknya dimana laringomalasia menyebabkan PGRE akibat perubahan gradien tekanan intraabdominal/intratorakal. 5Terdapat suatu keadaan yang disebut laringomalasia akibat latihan fisik (exercise induced laringomalasia/EIL), yang dapat terjadi baik pada anakanakatau dewasa. EIL biasanya terjadi pada pada atlit yang biasa melakukan inspirasi paksa yang terlampau kuat sehingga menarik plika ariepiglotika ke endolaring danterjadi obstruksi nafas. Sering terjadi kesalahan diagnosis dan dianggap asma, keadaan tidak sehat atau abnormalitas fungsi. EIL merupakan sindrom dimana terjadi sesak nafas yang berat, stridor dan mengi selama latihan fisik yang berlebihan yang tidak berespon dengan pengobatan betaagonis dan kromolium sodium, namun gejala dapat berkurang bila latihan fisik dikurangi. 2,5b. Manifestasi KlinisLaringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan pada 70% bayi saat usia 1-2 tahun Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul segera setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu atau bulan ke depan. Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum, interkostal, dan epigastrium akibat usaha pernafasan. 5Pada beberapa bayi tidak menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau dipicu oleh infeksi saluran nafas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan bernada tinggi. Stridor akan bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan dan bersifat intermitten dan hanya timbul bila usaha bernafas bertambah seperti saat anak aktif, menangis, makan, kepala fleksi atau posisi supinasi. Setelah itu keadaan makin membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah selama 4 tahun 2 bulan. Tidak ada korelasi antara lama berlangsungnya stridor dengan derajat atau waktu serangan. 2,5Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi nafas yang berat. Penderita laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntahsesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks lambung terjadi pada 80% dan regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan dipercaya sebagai akibat sekunder dari tekanan negatif yang tinggi di esofagus intratorak pada saat inspirasi. Ostructive sleep apnea (23%) dan central sleep apnea (10%) juga ditemukan pada laringomalasia. 5,8

Gambar 4. Laringomalasi (Dikutip dari kepustakaan 2)

Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi nafas atas yang lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa dan timbul hipertensi pulmonal yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung, penyakit paru obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder dari laringomalasia.5 Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis. Olney dkk membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasinya adalah:Tipe 1, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih; Tipe 2, yaitu memendeknya plika ariepiglotika; Tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis ke arahposterior. 5

Gambar 4. Klasifikasi Laringomalasia (Dikutip dari kepustakaan 5)

c. DiagnosisDiagnosis laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laringoskopi fleksibel dan radiologi. Pemeriksaan utama untuk diagnosis laringomalasia adalah dengan menggunakan laringoskopi fleksibel. Hawkins dan Clark menyatakan bahwa laringoskopi fleksibel efektif untuk diagnosis bahkan pada neonatus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi tegak melalui kedua hidung. Melalui pemeriksaan ini dinilai pasase hidung, nasofaring dan supraglotis. Dengan cara ini bentuk kelainan yang menjadi penyebab dapat terlihat dari atas. 5Laringoskopi fleksibel dapat membantu menyingkirkan diagnosis anomali laring lainnya seperti kista laring, paralisis pita suara, malformasi pembuluh darah, neoplasma, hemangioma subglotis, gerakan pita suara paradoks, stenosis glotis dan web glotis. Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu risiko terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien menangis dan kurang akurat dalam menilai keadaan subglotis dan trakea. 5Masih menjadi perdebatan di kalangan ahli apakah setiap bayi dengan laringomalasia harus melalui pemeriksaan laringoskopi dan bronkoskopi meskipun pemeriksaan tersebut masih merupakan standar baku untuk menilai obstruksi nafas, mengingat pemeriksaan ini memiliki beberapa kelemahan bagi kelompok umur neonatus, seperti resiko anestesi dan instrumentasi, alat endoskopi yang khusus, membutuhkan ahli anestesi yang handal, dan biaya yang mahal. Olney dkk membuat kategori kandidat yang sebaiknya dilakukan laringoskopi dan bronkoskopi. Kriterianya adalah: 5 Bayi laringomalasia dengan gangguan pernafasan yang berat, gagal tumbuh, mengalami fase apnea, atau pneumonia berulang. Bayi dengan gejala yang tidak sesuai dengan gambaran laringomalasia yang ditunjukkan oleh laringoskopi fleksibel. Bayi dengan lesi di laring. Bayi yang akan dilakukan supraglotoplasti.d. PenatalaksanaanKira-kira hampir 90% kasus laringomalasia bersifat ringan dan tidak memerlukan intervensi bedah. Pada keadaan ini, hal yang dapat dapat dilakukan adalah memberi keterangan dan keyakinan pada orang tua pasien tentang prognosis dan tidak lanjut yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang dan pertumbuhan yang normal dicapai. Pada keadaan ringan, bayi diposisikan tidurtelungkup, tetapi hindari tempat tidur yang terlalu lunak, bantal dan selimut. Jika secara klinis terjadi hipoksemia (saturasi oksigen