kelembagaan bbm

21
Ahmad Erani Yustika Anatomi Kelembagaan Sektor Pertanian Oleh: Ahmad Erani Yustika Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute), dosen Unibraw, Malang Sumber: Suara Pembaruan, 09 Desember 2005 (Suara Pembaruan) – Berita basi untuk kesekian kalinya muncul lagi. Hasil sementara Survei Pendapatan Petani yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengabarkan dalam lima tahun terakhir lahan pertanian yang dikonversi untuk kepentingan lain mencapai 25.000 hektare. Data lainnya, sebanyak 60 persen petani mengatakan kondisi ekonomi rumah tangganya tidak berubah dibandingkan setahun sebelumnya. Bahkan, 14-26 persen responden mengaku keadaan ekonomi rumah tangganya menurun. Sedangkan penelitian yang saya lakukan sendiri pada tahun 2000 menunjukkan, petani yang memiliki lahan di bawah satu hektare (merupakan mayoritas petani di Indonesia), sekitar 80 persen pendapatan rumah tangganya berasal dari kegiatan non-pertanian (non-farm). Lalu, penelitian saya pada tahun 2003/2004 (kasus petani tebu di Jawa Timur) mewartakan 50 persen dari total biaya yang dikeluarkan petani berwujud biaya transaksi, sisanya adalah biaya produksi. Model Jepang dan AS Menyikapi data-data di atas, sebetulnya yang luput dilakukan pemerintah adalah melihat persoalan sektor pertanian dari perspektif ekonomi kelembagaan. Selama ini pemerintah menguliti

Upload: tajib

Post on 28-Nov-2015

30 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kelembagaan BBM

Ahmad Erani   Yustika

Anatomi Kelembagaan Sektor PertanianOleh: Ahmad Erani Yustika Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute), dosen Unibraw, Malang

Sumber: Suara Pembaruan, 09 Desember 2005

(Suara Pembaruan) – Berita basi untuk kesekian kalinya muncul lagi. Hasil sementara Survei Pendapatan Petani yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengabarkan dalam lima tahun terakhir lahan pertanian yang dikonversi untuk kepentingan lain mencapai 25.000 hektare.

Data lainnya, sebanyak 60 persen petani mengatakan kondisi ekonomi rumah tangganya tidak berubah dibandingkan setahun sebelumnya. Bahkan, 14-26 persen responden mengaku keadaan ekonomi rumah tangganya menurun.

Sedangkan penelitian yang saya lakukan sendiri pada tahun 2000 menunjukkan, petani yang memiliki lahan di bawah satu hektare (merupakan mayoritas petani di Indonesia), sekitar 80 persen pendapatan rumah tangganya berasal dari kegiatan non-pertanian (non-farm).

Lalu, penelitian saya pada tahun 2003/2004 (kasus petani tebu di Jawa Timur) mewartakan 50 persen dari total biaya yang dikeluarkan petani berwujud biaya transaksi, sisanya adalah biaya produksi.

Model Jepang dan AS

Menyikapi data-data di atas, sebetulnya yang luput dilakukan pemerintah adalah melihat persoalan sektor pertanian dari perspektif ekonomi kelembagaan. Selama ini pemerintah menguliti masalah di sektor pertanian hanya dari pendekatan ekonomi konvensional, yang tentu saja sudah usang dan kurang relevan.

Analisis ekonomi kelembagaan ini intinya melihat persoalan dari ‘aturan main’ (rules of the game), baik pada level makro (institutional environment) maupun mikro (institutional arrangement) (Kherallah dan Kirsten, 2001).

Pada level makro, fokus kajian ekonomi kelembagaan adalah mendesain seperangkat aturan ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang menjadi basis kegiatan produksi, distribusi, dan pertukaran. Sedangkan pada tingkat mikro, konsentrasi ekonomi kelembagaan adalah membuat kesepakatan yang sejajar antar-pelaku ekonomi sehingga mereka bisa melakukan kerjasama maupun kompetisi.

Jika pada tingkat makro peran pemerintah yang lebih banyak, pada tingkat mikro porsi pelaku ekonomi itu sendiri yang dominan. Untuk itu, mestinya pada tingkat makro peran pemerintah

Page 2: Kelembagaan BBM

adalah mendesain regulasi yang memberi insentif pelaku ekonomi bergelut di sektor pertanian, atau setidaknya membuat nyaman individu yang sudah tinggal di dalamnya.

Kasus Jepang dan AS mengilustrasikan dengan baik kecanggihan pemerintahnya menyusun kelembagaan di sektor pertanian. Hayami dan Ruttan (1985) menjelaskan karakteristik faktor produksi sektor pertanian di Jepang dan AS sangat berbeda. Di Jepang, jumlah tenaga kerja melimpah tetapi lahannya terbatas. Sebaliknya, di AS lahannya luas, namun tenaga kerjanya langka.

Dengan karakteristik itu, kebijakan kelembagaan pemerintah Jepang diarahkan untuk mengembangkan teknologi biologis, seperti bibit dan pupuk, sehingga hemat lahan dan intensif pekerja. Sementara pemerintah AS menyusun kebijakan dengan mengutamakan penemuan teknologi mekanik yang hemat pekerja. Hasilnya, sektor pertanian di kedua negara tersebut berjaya. Di AS produktivitas tenaga kerjanya lebih besar 10,2 kali dibandingkan Jepang, sebaliknya di Jepang produktivitas lahan/hektare lebih besar 10,5 kali ketimbang AS.

Di Indonesia, kondisinya setiap saat lahan sektor pertanian terus berkurang karena insentif laba di sektor tersebut semakin menurun. Atau, pelaku sektor pertanian sendiri yang lari karena mengalami kerugian setiap kali panen. Itu berarti, pemerintah memberi insentif kebijakan yang lebih besar di sektor industri/jasa dibandingkan di sektor pertanian.

Sedangkan berkaitan dengan kebijakan internal di sektor pertanian, sudah sejak 20 tahun terakhir ini, khususnya di Jawa, ciri sektor pertanian tidak lagi mudah dikenali. Di satu sisi, lahan semakin menyempit (seperti kasus Jepang), tetapi tenaga kerjanya juga kian langka (mirip kasus AS).

Dengan karakteristik tersebut, tidak cukup pemerintah melakukan kebijakan intensifikasi, tetapi juga harus diimbangi dengan penemuan teknologi baru (yang hemat pekerja) yang bisa dijangkau oleh petani. Di luar itu, jelas pemerintah harus berpikir untuk mendesain kelembagaan produksi kolektif agar satuan luas lahan menjadi lebih luas sehingga skala usahanya layak.

“Structure of Power”

Aspek lainnya yang tidak diurus adalah kesepakatan kelembagaan antara petani dengan pelaku ekonomi lainnya, misalnya koperasi, pedagang, tengkulak, asosiasi, maupun industri hilir. Sekadar contoh, petani tebu harus berinteraksi dengan pabrik gula agar tebunya bisa digiling.

Dalam proses interaksi tersebut ada banyak pemain yang harus dilewati, seperti koperasi, asosiasi petani tebu (APTR), tengkulak, dan pabrik gula. Faktanya, proporsi pendapatan yang diterima petani jauh dari laik dibandingkan ongkos yang telah dikeluarkan.

Sebaliknya, pelaku ekonomi lainnya yang tidak memberi nilai tambah malah menikmati jatah yang menggiurkan. Akibatnya, walaupun produksi pertanian meningkat (seperti diungkapkan bekas Menteri Pertanian Bungaran Saragih), tetap saja pendapatan petani rendah.

Page 3: Kelembagaan BBM

Kesepakatan kelembagaan (institutional arrangements) di tingkat mikro yang tidak efisien inilah yang menjadi sumber tingginya biaya transaksi (high transaction costs).

Biaya transaksi tersebut bisa didefinisikan sebagai ongkos yang muncul untuk mencari informasi, melakukan negosiasi, membikin kontrak, dan menegakkannya (law enforcement). Untuk petani tebu, dalam penelitian saya, sekurangnya terdapat 20 variabel biaya transaksi, misalnya biaya bunga kredit, marjin bunga, biaya oportunitas antre giling, iuran koperasi/APTR, pajak lahan dan desa, pembuatan kontrak, potongan keamanan, dan masih banyak lagi.

Celakanya, seluruh beban itu ditanggung oleh petani karena posisi tawarnya yang rendah. Dalam kasus antre giling, misalnya, seharusnya biaya oportunitas dibebankan kepada pabrik gula karena mereka yang mengatur jadwal tebang. Dengan deskripsi itu, pada level mikro masalah yang terjadi sesungguhnya amat rumit, namun pemerintah kurang berupaya menanganinya secara benar.

Kalaupun ada kebijakan, selalu yang diutak-atik adalah biaya produksi. Tentu saja kebijakan ini perlu, tapi jelas tidak memadai untuk menangani persoalan kelembagaan yang pelik tersebut.

Oleh karena itu, dalam jangka panjang pemerintah perlu memahami dan mendalami struktur persoalan sektor pertanian sampai di tingkat mikro, sehingga diperoleh informasi yang akurat untuk mendesain kebijakan. Pada titik ini, pemerintah perlu membuka diri terhadap pendekatan baru sehingga memperoleh deskripsi yang lebih tajam.

Jika pendekatan lama yang digunakan, berita basi seperti di atas akan terus berulang setiap tahun, yakni lahan pertanian semakin berkurang dan petani pendapatannya kian merosot, tanpa tahu penyebabnya.

Pada titik ini, pendekatan ekonomi kelembagaan menawarkan perspektif yang lebih kaya, yakni melihat persoalan ekonomi bukan sekadar mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya, tetapi juga mengamati struktur kekuasaan/kekuatan (structure of power) antar-pelaku ekonomi.

Dengan pendekatan inilah, anatomi persoalan di sektor pertanian (sampai di tingkat mikro) akan lebih mudah dikenali dan dicarikan pemecahannya. *

Penulis adalah Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute), dosen Unibraw, Malang

Page 4: Kelembagaan BBM

Kelembagaan InflasiOleh Ahmad Erani Yustika

ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Pascasarjana FE Unibraw, direktur eksekutif Indef di Jakarta.

Sumber: (Jawa Pos Online), April 12, 2008

Sebagian besar ekonom meyakini bahwa inflasi Maret 2008 akan lebih rendah daripada Februari 2008. Ternyata, prediksi itu jauh dari kenyataan karena inflasi Maret 2008 melambung ke angka 0,95%. Secara keseluruhan, triwulan I 2008 inflasi mencapai 3,41%. Angka itu sudah lebih dari separo target pemerintah yang mematok inflasi 2008 sebesar 6,5%. Jadi, rasanya, total inflasi 2008 pasti akan melonjak di atas 7%.

Bahkan, apabila inflasi dihitung year-on-year (Maret terhadap Maret), maka inflasi sekarang sudah mencapai 8,17%. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, inflasi Maret 2008 jauh lebih tinggi daripada Maret 2006 (0,03%) dan Maret 2007 (0,24%).

Fenomena inflasi kali ini sangat menarik untuk dicermati. Sebab, terdapat gejala yang kian pasti bahwa sumber inflasi tersebut tidak lagi dalam area moneter maupun jumlah produksi dan harga internasional (khususnya komoditas pangan). Faktor-faktor nonmoneter inilah yang mesti diperiksa secara saksama.

Inflasi dan Kemiskinan

Inflasi kali ini pasti memukul golongan masyarakat miskin karena sumber utama inflasi berasal dari kenaikan harga pangan dan bahan makanan. Padahal, struktur pengeluaran masyarakat miskin sekitar 80% digunakan untuk konsumsi pangan. Tentu saja implikasi inflasi seperti sekarang akan memiliki dampak yang berlainan apabila sebagian besar penyumbang inflasi berasal dari nonpangan (misalnya barang elektronika). Jika itu yang terjadi, kaum miskin tidak terlalu terkena beban.

Dengan begitu, tanpa pengendalian inflasi atau mencari terobosan pemecahan lain, maka inflasi kali ini berpotensi menambah jumlah orang miskin baru. Di luar itu, inflasi sekarang juga tidak memiliki dampak peningkatan pendapatan terhadap petani meski harga komoditas pertanian sedang melesat. Hal itu terjadi karena komoditas pangan tersebut sudah tidak di tangan petani dan posisinya yang selalu marginal berhadapan dengan pelaku di sektor hilir.

Berikutnya, penyebab inflasi kali ini juga tidak bisa disederhanakan hanya karena kenaikan harga minyak dan komoditas pangan di pasar internasional. Sumber kenaikan harga itu dapat dipakai untuk menerangkan inflasi pada akhir 2007 dan awal 2008 -sebelum Maret-, tapi tidak sahih lagi pada saat ini. Sebab, sejak Maret 2008 sudah terdapat tendensi stabilitas harga komoditas di pasar internasional -meski tetap dalam kisaran harga yang tinggi- sehingga inflasi domestik mestinya sudah diserap sebelum Maret 2008.

Page 5: Kelembagaan BBM

Oleh karena itu, harga pangan domestik yang tidak menunjukkan gejala penurunan (setidaknya stabil) bukan lagi disebabkan oleh pergerakan harga internasional. Di sinilah perlu ditelusuri secara mendalam kelembagaan inflasi saat ini. Maksud kelembagaan di sini adalah koridor aturan main yang telah didesain, tetapi dalam implementasinya mengalami banyak gangguan.

Salah satu sebab yang paling mungkin adalah soal kelembagaan distribusi komoditas pangan (pertanian secara umum) yang tidak tuntas sampai sekarang. Kelembagaan distribusi komoditas pangan di Indonesia sangat oligopolis, di antaranya komoditas gula, kedelai, dan minyak goreng. Pelaku di sektor hilir (untuk minyak goreng juga terjadi di hulu) yang jumlahnya hanya segelintir inilah yang menguasai rantai distribusi sehingga dengan mudah dapat mengendalikan pasokan di pasar. Kekuatan pelaku distribusi ini sangat besar sehingga hanya pemerintah yang dapat meregulasi agar kontrol harga dan pasokan tidak lagi di tangan mereka.

Tetapi, desain regulasi itu bukan pada tataran teknis, seperti dengan membuat HPP (harga pokok pemerintah) atau penetapan harga dasar, melainkan juga membuka kesempatan pelaku ekonomi yang mau masuk ke rantai distribusi sehingga struktur pasarnya tidak lagi terkonsentrasi (oligopolistis).

Kebijakan Alternatif

Setelah memahami karakter inflasi semacam itu, sebetulnya kebijakan apa yang bisa disusun pemerintah (termasuk bank sentral/BI) untuk mengatasinya? Sejak beberapa tahun terakhir ini BI memang telah fokus menerapkan kebijakan panargetan inflasi (inflation targeting) dengan hasil yang cukup bagus.

Tapi, tampaknya BI harus berhitung ulang untuk memakai kebijakan tersebut pada situasi sekarang. Pertama, kondisi saat ini memperlihatkan bahwa penyumbang inflasi tidak lagi dalam ruang lingkup moneter, misalnya kenaikan pangan dan minyak, sehingga kemampuan BI menjadi sangat berkurang untuk mengendalikannya.

Kedua, BI sendiri sudah mulai kedodoran untuk mengendalikan inflasi inti (khususnya yang berasal dari kurs rupiah/dolar). Jadi, dalam posisi ini, untuk mengendalikan inflasi inti saja sebenarnya kesanggupan BI sudah mulai merosot. Mungkin, hal itu juga disebabkan persoalan internal, seperti kasus yang menimpa Burhanuddin Abdullah.

Menurut saya, dalam situasi ini mesti ada salah satu variabel ekonomi yang dikorbankan. Secara teoretis, memang tidak logis menurunkan BI rate di tengah situasi inflasi yang tinggi. Tapi, jika kita berpikir text-book, bisa jadi semuanya tidak akan tercapai.

Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk menurunkan BI rate yang nantinya akan ditransmisikan ke dalam penurunan suku bunga kredit. Harapannya, penurunan suku bunga akan mendorong investasi. Seterusnya, peningkatan investasi akan membuka lapangan kerja dan penambahan output. Pemerintah tinggal memberikan insentif agar investasi itu lari ke sektor padat karya (pertanian dan industri menengah/kecil) sehingga lapangan kerja yang dibuka menjadi lebih besar.

Page 6: Kelembagaan BBM

Jadi, kalaupun dengan kebijakan itu inflasinya tetap tinggi, akan bisa dikompensasi oleh kenaikan daya beli (akibat memperoleh pekerjaan). Kebijakan ini jauh memberikan kepastian ketimbang memaksakan pengendalian inflasi yang sulit dilakukan.

Ahmad Erani Yustika, ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Pascasarjana FE Unibraw, direktur eksekutif Indef di Jakarta. (Jawa Pos Online)

Horton dan Hunt: “… institution do not have members, they have followers”

gejolak harga minyak(perspektif kelembagaan)

pasca era reformasi kenaikan harga minyak dunia pasti akan direspon oleh sedikit kegusaran dalam APBN/P Indonesia. hipotesis yang bisa ditarik jika melihat secara time series fenomena yang terjadi apabila harga minyak dunia naik maka harga minyak dalam neegeri yang bisa kita sebut BBM akan naik pula atau dengan kata lain keduanya mempunyai hubungan positif.apabila hal ini disearahkan pada teori-teori peentuan harga yang kesemuanya ditentuiakan oleh market mechanism (mekanisme pasar)hal ini sah-sah saja diterima.

masalahnya sekarang kita mempunyai pemerintah yang selalu meregulasi kegiatan ekonomi,apakah layak jika harga minyak dunia naik harga BBM dalam negeri juga naik?kita juga mempunyai menteri perokonomian,terus kalo harga BBM diserahkan pada market mechanism apakah masih layak ada menteri perekonomian?bukankah menteri perekonomian mempunyai tugas untuk menyiasati segala bentuk goncangan (shock) dalam perkonomian agar tidak menimbulkan kegaduhan dalam pasar domestik.kalo menteri perekonomian tidak bisa menyiasati shock yang terjadi saya rasa semua orang bisa jadi menteri ekonomi tidak perlu kualifikasi pendidikan yang tinggi!

harga minyak mentah di pasar dunia mulai mengalami kenaikan. Data perkembangan terakhir harga minyak dunia pada penutupan perdagangan di bursa minyak dunia tanggal 14 Maret 2011 menunjukan harga minyak mentah di WTI (Nymex) telah mencapai US$101,19 per barel, Brent London US$113,67 per barel, Platts Dubai US$106,35 per barel, dan Minas Sumatera Light Crude sebesar US$ 111,77 per barel

Sedangkan harga rata-rata minyak mentah Indonesia sepanjang Januari hingga Maret 2011 juga relatif mengalami kenaikan. Pada Maret 2011, harga ICP untuk sementara bertahan di level US$113,03 per barel. Harga itu lebih sedikit lebih rendah dari ICP sepanjang bulan Februari yang mencapai US$103,31 per barel.Berdasarkan data Kementerian ESDM, ICP Januari 2010 sebesar US$77,33 per barel, Februari (US$74,05), Maret (US$78,71), April (US$85,54), Mei (US$77,02), dan Juni (US$75,97).

kenaikan harga minyak ini disebabkan oleh dua hal;pertama,dari sisi permintaan, pasca pemulihan krisi global permintaan minyak di negara USA menunjukkan trend yang selalu meningkat hal ini juga terjadi di negara-negara eropa.sedang di asia permintaan minyak banyak dilakukan oleh negara China yang memang sedang booming

Page 7: Kelembagaan BBM

kegiatan industrinya.kedua, dari sisi penawaran,posisi haraga minyak yang selalu naik bisa disbakan oleh masalah cuaca yang sangat menganggu pengoboran minyak lepas pantai seperti di teluk meksiko. sedangkan supply minyak dari timur tengah banyak dipengaruhi oleh krisis politik di timur tengah seperti Mesir,Lebanon,Jordan dan Libia.mengingat Libia memproduksi 5% dari permintaan mionyak minyak dunia.

dalam APBN Indonesia sendiri harga minyak dunia di asumsikan US$80 per barel. dari asumsi ini bisa kita proyeksikan setiap kenaikan US$1 minyak perbarel subsisdi BBM pemerintah akan membengkak 70milyar.apabila harga minyak dunia menembus harag US$100 perbarel tingal dikalikan saja subsidi tambahan yang akan ditanggung pemerintah (20X70 milyar)per hari.

pembengkakan subsidi BBM selalu dijadikan indokator logis bagi pemerintah utk menaikkan BBM.bukan seharusnya pemerintah yang mempunyai goo will bagi kesejahtraan rakyatnya harus berani melindungi rakyatnya dari ancaman inflasi yang akan mengurangi pendapatan riil mereka.

ada kelembagaan ekonomi  salah yang sedang terjadi dalam kabinet ekonomi SBY saat ini. mereka masih saja melakukan kebijakan turunan tanapa pernah memikirkan reformasi struktural dan reformasi mikro di bidang perminyakan dan regulasi(campur tangan)pemeriintah di bidang ekonomi.

Dua Cara untuk Menyelamatkan APBN 2013By Ahmad Erani Yustika on 31 March 2013 | 127 views

Pin It

Pada APBN 2013 pemerintah kembali mendesain anggaran defisit, artinya pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Seperti biasa, defisit anggaran itu akan dibiayai oleh utang, baik utang domestik maupun luar negeri. Dalam beberapa tahun terakhir, porsi utang domestik lebih besar dari utang luar negeri sehingga saat ini total utang domestik sudah lebih banyak dibandingkan luar negeri. Utang domestik itu bersumber dari surat utang negara (SUN) yang bunganya lebih tinggi, sehingga pemerintah mesti hati-hati mencermati hal ini karena menjadi beban APBN. Di luar itu, APBN 2013 berpotensi mengalami penggelembungan pengeluaran akibat asumsi harga BBM yang kemungkinan lebih rendah dari kenyataan. Implikasinya, jika pemerintah tidak mengambil opsi kebijakan penghematan atau kenaikan harga, maka subsidi dipastikan akan menjadi lebih besar, baik untuk minyak maupun listrik. Pada APBN 2013 pemerintah mengalokasikan subsidi BBM sebesar Rp 193,8 triliun dengan asumsi harga ICP sebesar US$ 100/barrel.

Secara lebih detail, pembengkakan subsidi BBM itu bisa bersumber karena tiga hal berikut. Pertama, seperti yang telah diungkapkan di muka, kemungkinan rata-rata harga minyak internasional sepanjang 2013 diperkirakan di atas US$ 100/barrel akibat pemulihan ekonomi secara bertahap di Eropa dan AS. Jika ini yang terjadi, maka kebutuhan subsidi akan meningkat.

Page 8: Kelembagaan BBM

Kedua, dipastikan pemerintah akan sulit mengendalikan volume konsumsi BBM pada kisaran 48 juta kiloliter, seperti dalam asumsi APBN, jika upaya penghematan dan kenaikan harga tidak diambil pemerintah. Sangat mungkin terjadi volume konsumsi menembus angka 50 juta sehingga subsidi meningkat. Terakhir, subsidi juga akan meningkat bila lifting minyak lebih kecil dari asumsi yang sebesar 900 ribu barrel/hari. Dalam beberapa tahun terakhir lifting minyak selalu di bawah angka asumsi itu, sehingga diprediksi tahun inipun kondisinya tidak jauh berbeda.

Tentu saja potensi pembengkakan pengeluaran APBN 2013 tidak hanya berasal dari subsidi, tapi dimungkinkan pula oleh risiko fiskal yang membesar, pembayaran utang yang lebih banyak karena depresiasi rupiah, atau pos lainnya. Pertanyaannya, jika memang pembengkakan pengeluaran itu benar-benar terjadi, dari mana sumber untuk menutupnya? Jawaban yang paling gampang tentu saja dengan menambah utang. Namun, model ini sangat riskan karena menjadi beban fiskal dalam jangka panjang dan membuatnya menjadi tidak sehat. Selama ini saja sekitar Rp 120 triliun uang dihabiskan untuk pembayaran bunga dan cicilan pokok utang, sehingga mengurangi kapasitas fiskal untuk menggerakkan perekonomian. Jadi pemerintah  mesti bekerja keras untuk mencari sumber lainnya, misalnya peningkatan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Tentu saja langkah ini jauh lebih berat dan rumit ketimbang lewat jalur utang.

Pajak sangat mungkin dinaikkan karena rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) masih rendah, hanya di kisaran 12%, padahal potensi tax ratio bisa di atas 15%. Sampai 2011 lalu ketaatan membayar pajak hanya sekitar 55% untuk pajak perorangan dan 33% untuk pajak badan. Jika ketaatan pajak dinaikkan menjadi 75% saja, baik perorangan maupun badan, maka tax ratio bisa naik mendekati 15%. Bila hal itu diiringi dengan penambahan wajib pajak (tax payer), yakni mereka yang sudah punya NPWP, maka tidak sulit mendapatkan tax ratio sebesar Rp 16%. Sumber lainnya juga tak kalah besar, yaitu penerimaan dari hasil sumber daya alam (minyak, gas, batu bara, ikan, hutan, dan lain-lain) yang kerap bocor karena tata kelola yang buruk. Isu tata kelola ini juga terjadi di BUMN sehingga laba yang diperoleh belum mencapai titik optimal. Jadi, sumber penerimaan sebetulnya sangat banyak, namun jalan yang harus ditempuh memang berliku. Sekarang terpulang kepada pemerintah untuk memilih jalur yang mana.

Harga BBM dan Ledakan PolitikBy Ahmad Erani Yustika on 29 April 2013 | 99 views

Pin It

Pemerintahan yang efektif kerap kali diukur dari kesigapan mengambil kebijakan dan keterampilan menjalankannya di lapangan. Pemerintah mesti gesit mengambil keputusan, sebab mereka menjadi pemandu tiap kali muncul masalah. Demikian pula, pemerintah harus terampil karena kebijakan yang baik akan gagal di lapangan bila syarat pokok itu tak dimiliki.  Celakanya, dua hal penting itu tak dipunyai pemerintah sekarang, khususnya jika melihat cara pemerintah menangani persoalan minyak. Sejak tahun lalu pemerintah selalu gamang dalam mengambil kebijakan harga BBM: apakah harus mengurangi subsidi (dengan konsekuensi kenaikan harga) atau tetap mempertahankan harga BBM subsidi (dengan risiko penambahan subsidi dalam pos APBN). Serangkaian studi/riset sudah dilakukan (bahkan melibatkan konsorsium Perguruan Tinggi besar di tanah air pada tahun lalu), rapat-rapat digelar secara intensif, dan opsi-opsi

Page 9: Kelembagaan BBM

bentuk kenaikan atau pembatasan konsumsi dibentangkan, tapi pemerintah tak juga mengambil keputusan permanen.

Ekspektasi InflasiOpsi terbaru yang didalami pemerintah adalah membuat dua jenis harga minyak subsidi. Pertama, untuk kendaraan mobil pribadi harus membeli BBM subsidi dengan harga pada kisaran Rp 6.500-7.000, di luar pilihan pertamax dengan harga pasar (sekitar Rp 10.000). Skema ini dianggap laik oleh pemerintah karena asumsinya pemilik mobil adalah golongan berpendapatan menengah ke atas sehingga memiliki kemampuan membeli dengan harga tersebut. Kedua, untuk kendaraan motor dan transportasi publik tetap diperbolehkan membeli BBM subsidi dengan harga Rp 4.500 (tidak ada kenaikan harga). Argumennya, kelompok ini memiliki pendapatan yang tidak terlalu tinggi dan transportasi publik melayani kepentingan masyarakat golongan bawah (di samping membawa barang/jasa untuk didistribusikan ke masyarakat). Dengan menggunakan kalkulasi ini, menurut versi pemerintah, diperkirakan akan didapat penghematan subsidi sebesar Rp 20 triliun.

Pemerintah nampak yakin dengan pilihan itu, apalagi para gubernur juga sudah mendukung (asalkan kebutuhan BBM di daerah dipenuhi jumlahnya). Tapi gelagatnya pemerintah kembali ragu untuk mengambil pilihan itu. Bahkan, dalam beberapa hari ini kegamangan nampak terlontar dari pemerintah karena ada tanda-tanda penolakan masif dari kelompok masyarakat tertentu, khususnya buruh. Jika itu benar terjadi, maka situasi tersebut melengkapi seluruh “drama keraguan” yang dipertontonkan pemerintah selama ini, nyaris dalam semua hal. Ketidakpastian ini telah membawa korban yang cukup banyak, di antaranya terjadi kelangkaan solar di mana-mana (akibat terjadi pemborongan solar), bahkan di beberapa tempat truk-truk harus antre berhari-hari. Di beberapa wilayah, misalnya di Jawa Timur, truk yang beroperasi turun sekitar 30% dari biasanya akibat kelangkaan solar. Implikasinya, distribusi barang menjadi terhambat dan harga barang-barang terkerek naik.

Pemerintah juga lupa dalam satu hal, bahwa masyarakat memiliki ekspektasi terhadap kebijakan dan kemudian bereaksi untuk menghadapi kemungkinan kebijakan tersebut. Rencana kenaikan itu (yang belum pasti) sudah disikapi dengan praktik penimbunan solar dan aneka moral hazard lainnya sehingga melumpuhkan sebagian kegiatan transportasi (khususnya truk-truk pengangkut barang). Masyarakat telah menjadi korban dari kebijakan yang belum tentu diambil akibat manajemen keputusan yang buruk, yakni dalam wujud kenaikan harga komoditas (inflasi). Jika pada awal tahun sampai Maret inflasi tinggi diakibatkan oleh kekacauan pasokan komoditas pertanian, seperti daging, bawang, dan cabai (akibat carut-marut kebijakan impor), maka inflasi April ini lebih banyak disebabkan ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan harga BBM. Pemerintah nampak sekali tidak pernah mau belajar dari pengalaman sebelumnya, atau memang tidak paham dengan psikologi masyarakat.

Fragmentasi PolitikSampai saat ini masyarakat merasa rasionalisasi yang dibangun oleh pemerintah untuk menaikkan harga BBM masih sulit diterima karena beberapa kenyataan berikut. Pertama, banyak sekali praktik tak terpuji dalam bisnis minyak (dari mulai eksplorasi sampai impor minyak) yang tidak pernah secara serius diselesaikan pemerintah, sehingga setiap kebijakan kenaikan harga dianggap merupakan jalan pintas untuk merampungkan masalah. Produksi yang

Page 10: Kelembagaan BBM

terus turun, biaya eksplorasi yang tidak jelas, pengolahan kilang minyak yang tak bertambah, praktik penyelundupan ke luar negeri, impor yang tidak transparan, eksplorasi Pertamina yang sangat kecil, ongkos pemulihan (cost recovery) yang amat besar, dan hal-hal lain nyaris tidak disentuh. Publik merasa direnggut hak-haknya, sehingga tidak terima jika terus dikorbankan ketika masa-masa sulit terjadi (misalnya pada saat harga minyak internasional meningkat seperti sekarang). Perasaan kolektif seperti ini mengendap dalam pikiran dan hati masyarakat, apalagi di tengah berita korupsi yang hampir tiap hari tersiar.

Kedua, kapasitas pemerintah mengisolasi kenaikan harga minyak terhadap terkereknya harga-harga komoditas lain, khususnya barang pangan, amat lemah. Implikasinya, pihak yang justru menjadi korban paling berat adalah kaum miskin, sebab sebagian besar pendapatannya dipakai untuk membeli komoditas pangan. Inflasi tambahan akibat kenaikan harga minyak barangkali hanya sekitar 2%, tapi kenaikan harga pangan bisa sampai 30%. Inilah yang memukul golongan berpendapatan menengah ke bawah, sehingga mereka resisten tiap kali pemerintah hendak menaikkan harga minyak. Oleh karena itu, pada saat pemerintah menyampaikan argumen bahwa subsidi minyak lebih banyak dinikmati golongan berpendapatan menengah-atas mereka tetap tidak peduli. Realitas yang mereka rasakan, tiap kali harga minyak naik, maka harga barang lain juga meningkat berlipat dan beban hidup menjadi lebih berat. Jadi, pokok soalnya adalah kemampuan pemerintah mengendalikan harga komoditas lain  (pangan) yang amat lemah, seperti yang sekarang sudah terjadi.

Ketiga, kebijakan ekonomi apapun yang diambil pemerintah akan efektif di lapangan jika terdapat dukungan politik dan situasi sosial yang layak. Hari-hari ini kita melihat adanya fragmentasi politik yang kian tajam menjelang pemilihan umum dan kondisi sosial yang rawan akibat kehidupan ekonomi yang dirasakan makin sulit (bagi golongan berpendapatan menengah ke bawah). Dua hal itu merupakan pupuk yang baik untuk menyuburkan inefektivitas implementasi kebijakan (apalagi yang kontroversial seperti kenaikan harga minyak). Dalam konteks ini sangat penting bagi pemerintah untuk masuk ke kalkulasi yang lebih detail atas manfaat dan mudharat yang bakal diperoleh apabila kebijakan itu diambil. Perhitungan defisit APBN yang bakal naik bila subsidi diteruskan bisa jadi benar; tapi risiko inflasi yang melonjak, suku bunga yang terkerek, pertumbuhan ekonomi yang jatuh, investasi yang turun, PHK dan pengangguran yang meningkat, dan hal-hal lain mesti pula dianalisis secara cermat. Saran sederhana yang bisa disampaikan: jangan memaksakan kebijakan ekonomi di tengah situasi yang serba rentan, sebab berpotensi menjadi ledakan sosial dan politik.

BBM dan KesejahteraanBy Ahmad Erani Yustika on 21 March 2012 | 722 views

Pin It

Perdebatan soal subsidi BBM kian memanas seiring dengan rencana pemerintah per 1 April 2012 menaikkan harga premium dan solar pada kisaran Rp 6000. Silang pendapat bermunculan di media dan forum-forum diskusi yang membuat lalu lintas opini begitu bergemuruh, baik yang menyepakati maupun menolak usulan pemerintah tersebut. Umumnya, titik tekan dari yang memufakati kenaikan BBM adalah demi penyelamatan fiskal dan subsidi itu dinikmati kaum kaya. Sebaliknya, barisan yang menolak rencana tersebut mengungkit persoalan rapuhnya

Page 11: Kelembagaan BBM

kesejahteraan masyarakat dan malpraktik pengelolaan sumber daya alam/SDA nasional. Kelompok terakhir bersikeras kenaikan BBM akan membebani hidup kaum miskin meskipun aneka program kompensasi telah disiapkan pemerintah. Tulisan ini tidak akan menambahkan perdebatan tersebut, tapi berupaya menunjukkan bagaimana sebetulnya status kesejahteraan sebagian besar rakyat saat ini.

Informalisasi EkonomiTeori ekonomi pembangunan menempatkan kesempatan kerja penuh (full employment) sebagai kondisi yang harus dicapai agar ekonomi berjalan optimal dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Dalam situasi kesempatan kerja penuh, seluruh sumber daya ekonomi telah digunakan sehingga pasar tenaga kerja berada di titik keseimbangan/tidak ada pengangguran. Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Data menunjukkan pengangguran terbuka relatif rendah (6,8%), meskipun belum mencapai titik terendah seperti 1997 (4,7%). Masalahnya, mereka yang betul-betul bisa dianggap bekerja penuh (minimal 35 jam/minggu) hanya sekitar 60%, sedangkan sisanya adalah setengah penganggur. Lebih dramatis lagi, mereka yang dianggap bekerja penuh ternyata 65% bekerja di sektor informal dan hanya 35% bekerja di sektor formal (BPS, 2011). Dengan begitu telah terjadi proses informalisasi ekonomi sehingga guncangan ekonomi yang tidak terlalu berat pun akan melantakkan daya hidup masyarakat.

Berikutnya, seberapa berat dampak turbulensi ekonomi akan melumat masyarakat berdasarkan stratifikasi kelas pengeluaran sebagian bisa dilihat dari pertumbuhan pengeluaran masing-masing kelas. Jika pengeluaran masyarakat dibagi dalam 10 kelas (desil), maka akan dijumpai data sebagai berikut. Pengeluaran terendah kelompok pertama dan kedua, yakni sekitar Rp 153 ribu dan 204 ribu/kapita/bulan, pada 2010 hanya tumbuh 9,08% dan  8,25%. Sebaliknya, pengeluaran tertinggi kelompok pertama dan kedua, yaitu sekitar 1,48 juta dan Rp 768 ribu/kapita/bulan, pada tahun yang sama tumbuh 15,36% dan 18,77% (BPS, 2011). Jelasnya, mereka yang pengeluarannya besar bisa dikatakan pertumbuhan pendapatannya dua kali lipat dibandingkan dengan kelompok miskin. Ini pula yang menjadi sebab ketimpangan pendapatan makin tinggi saat pertumbuhan ekonomi nasional juga melesat, yakni gini rasio pada 2010 mencapai 0,38 (rekor tertinggi selama ini).

Struktur perekonomian seperti itulah yang membuat pemerintah amat sulit menurunkan kemiskinan karena hanya sektor tertentu yang menjadi penyumbang perekonomian/PDB. Tercatat sektor pertanian dan industri tumbuh rendah, misalnya pertanian cuma tumbuh 2,9% (2010) dan 3% (2011). Hal yang sama juga terjadi di sektor industri sehingga kontribusi sektor ini merosot dari 28% terhadap PDB (2005) menjadi 24% (2011), yang kemudian disebut dengan istilah deindustrialisasi. Implikasinya, kedua sektor yang menampung tenaga kerja/TK sekitar 55% dari total TK itu status kesejahteraan pekerjanya sangat rendah. Nilai Tukar Petani (riil) pada 2005 masih 110,95, tapi pada 2010 tinggal 95,79. Hasilnya, periode 1970-1990 jumlah orang miskin turun dari 59% menjadi 15,2% (turun 44%), namun pada 1990-2010 kemiskinan hanya turun dari 15,2% menjadi 13,3% (berkurang 2%). Bahkan jika dibandingkan dengan 1996 (11,2%), kemiskinan pada 2011 (12,49%) justru naik 1,3%.

Akrobat HidupSebagian soal di muka disebabkan oleh praktik penyimpangan pranata ekonomi. Sektor keuangan, misalnya, diciptakan dan didukung dengan harapan dapat mendorong sektor riil,

Page 12: Kelembagaan BBM

khususnya sektor pertanian dan industri. Tapi, celakanya, sektor keuangan (khususnya perbankan) makin menjauh dari fitrahnya, di mana dukungan terhadap sektor riil makin menyusut. Pada 2000 kredit yang diperoleh kedua sektor itu mencapai 46,11% dari total kredit perbankan. Namun, sepuluh tahun kemudian (2010) total kredit yang diperoleh tinggal 20,75%. Lebih miris lagi, pada 2010 dana bank yang ditaruh di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) mencapai Rp 319,3 triliun (11,54% dari penyaluran dana bank umum). Problem kian rumit ketika kredit yang telah disetujui tapi tidak diserap (undisbursed loan) terus meningkat, yang pada 2011 mencapai Rp 670 triliun (2005 hanya Rp 152 triliun). Hal ini bisa terjadi karena tingkat bunga kredit yang tinggi dan pemerintah yang tak sigap memfasilitasi kegiatan investasi.

Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah liberalisasi tidak terukur (kebablasan) yang malah dianggap sebagai berkah perekonomian. Semua sektor/ komoditas ekonomi terpenting  telah dibuka, bahkan dalam banyak hal lebih telanjang dibanding negara lain, seperti perdagangan dan perbankan. Dalam kasus ACFTA neraca perdagangan makin menyusut, khususnya dengan China. Pada 2006 defisit perdagangan dengan China sebesar US$ 0,03 miliar, tapi pada 2011 defisit melonjak menjadi US$ 3,94 miliar. Secara keseluruhan terdapat fakta yang kasat mata, ekspor nasional sejak 2006 nilainya naik cukup besar, tapi surplus perdagangan nilainya statis. Hal ini disebabkan pada periode 2006-2011 ekspor tumbuh 98%, tapi impor pada kurun yang sama tumbuh 128% (BPS, 2012). Penyakit ini tentu disebabkan dua sumber penting: liberalisasi perdagangan dan besarnya kandungan bahan baku impor untuk sektor industri (karena tidak bersandarkan sumber daya ekonomi domestik).

Teramat banyak aspek lain yang dapat diungkap untuk menunjukkan rapuhnya pondasi ekonomi nasional  (di luar praktik korupsi yang dahsyat, perampokan SDA, dan borosnya anggaran birokrasi), yang berujung kepada deskripsi ringkihnya kehidupan rakyat. Pengetahuan pengambil kebijakan tentang akrobat hidup sehari-hari yang dialami kelompok masyarakat amat terbatas, karena seluruhnya didasari oleh generalisasi yang terlalu berlebihan. Celakanya, instrumen subsidi yang dianggarkan dalam APBN pun makin lama kian menciut. Subsidi energi (minyak dan listrik) pada 2004 masih 23,21% dan turun menjadi 17,47% (2012), sedangkan subsidi non-energi (pangan, pupuk, benih, dan lain-lain) pada 2004 sebesar 7,57% yang turun menjadi 4,18% (2012) terhadap total belanja pemerintah pusat. Jadi, sikap penolakan terhadap kenaikan harga minyak, saya kira, sebagian berakar dari pikiran/perasaan ini: tidak diwujudkannya amanah “penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” oleh pemerintah.

Puasa dan Prahara HargaBy Ahmad Erani Yustika on 19 July 2012 | 384 views

Pin It

Akhir minggu ini ritual umat muslim tiap tahun telah tiba, yakni datangnya bulan puasa. Kaum muslim tentu bahagia menyambut kehadiran bulan ramadhan (dan lebaran) ini, yang tidak hanya dimaknai sebagai ritual keagamaan tapi juga rutinitas sosial pulang kampung menemui handai taulan. Namun, kegembiraan itu juga selalu disertasi kecemasan tiap tahun akibat lompatan harga-harga (pangan) yang tak bisa dibendung. Kali ini, hal serupa terulang lagi nyaris tanpa perubahan apapun. Harga daging, gula, susu, kedelai, cabai, jagung, dan lain-lain dilaporkan meningkat drastis menjelang ramadhan. Rumah tangga mesti menyiasati kenyataan ini dengan

Page 13: Kelembagaan BBM

pengelolaan keuangan yang esktra ketat agar tidak jebol, lebih-lebih di ujung puasa nanti mereka harus menyisihkan dana yang tak kecil untuk mudik lebaran. Kenyataan tahunan ini selalu menerbitkan pertanyaan: di manakah kehadiran pemerintah?

Segi Tiga Masalah

Problem kenaikan harga pangan ini sebetulnya sudah diketahui dengan baik sebabnya oleh pemerintah, sehingga penanganan terhadapnya secara teoritis mudah dilakukan. Tiga segi tiga utama berikut merupakan sumbu peledak kenaikan harga tahunan, yakni ketergantungan impor, konsentrasi distribusi, dan lemahnya peran stabilisasi Bulog. Menyangkut ketergantungan impor, sejak liberalisasi ekonomi yang dipilih pemerintah (akibat tekanan IMF) usai krisis ekonomi 1997/1998 secara pasti diikuti dengan penurunan produksi sejumlah komoditas penting di sektor pangan, seperti jagung, kedelai, daging, susu, garam, dan lain sebagainya. Liberalisasi pertanian menyebabkan insentif petani merosot sehingga implikasinya produksi merosot di tengah situasi permintaan yang terus meningkat. Tidak bisa dihindari, impor merupakan jalan keluar yang harus diambil pemerintah. Tentu saja, fleksibilitas jumlah pasokan menjadi tidak bisa diharapkan sehingga memicu inflasi.

Setelah itu, ketergantungan impor disempurnakan dengan tingkat konsentrasi distribusi pelaku atas beberapa komoditas pangan, semacam gula, kedelai, jagung, daging, dan (juga) beras. Penguasaan jalur distribusi yang oligopolis tersebut bersumber dari dua hal: tata niaga domestik yang konsentrik dan jalur impor. Tata niaga domestik yang terkonsentrasi itu, misalnya, sangat terasa di komoditas gula, di mana produk tebu setelah digiling di pabrik gula langsung ditangkap oleh distributor besar (yang jumlahnya tak lebih dari 9 perusahaan). Sisi lainnya, hampir semua impor komoditas pangan juga hanya dikuasai oleh segelintir pelaku melalui lisensi impor yang mereka dapat. Bahkan, bisnis impor pangan ini sudah menjadi “political rent-seeking”, seperti kasus impor daging beberapa waktu lalu. Implikasi dari semua ini, barang hanya mengerucut ke sedikit pemain yang gampang mengontrol pasokan dan harga.

Terakhir, dua sumber di atas sebetulnya masih dapat disumbat bila pemerintah memiliki badan penyangga yang memiliki kekuatan besar menstabilisasi pasokan dan harga. Sayangnya, Bulog yang diserahi untuk fungsi tersebut sekarang sudah merosot kemampuannya karena dipreteli otoritasnya. Saat ini Bulog hanya menangani komoditas beras (dulunya 9 bahan pokok), itupun dengan kapasitas yang tidak besar. Dalam standar internasional, sekurangnya cadangan komoditas pangan (khususnya beras) tidak boleh kurang dari 20% dari kebutuhan domestik agar stabilitas pasokan dan harga mudah dikerjakan. Tapi, Bulog rata-rata cadangan berasnya kurang dari 10%, bahkan kadang hanya 4% saja.  Angka cadangan beras ini jauh lebih rendah ketimbang negara-negara Asean lainnya [Asean Food Security Information System, 2011) Dalam situasi seperti sekarang, jelas sangat sulit bagi Bulog berperan optimal mengendalikan harga.

Struktur Pasar Distribusi

Menyimak problem struktural di atas (di luar masalah teknis semacam penetapan harga pokok, infrastruktur, dan operasi pasar) sangat dibutuhkan agenda perubahan kebijakan yang sistematis untuk mengurai soal pasokan dan harga komoditas pangan nasional. Paling mendasar adalah liberalisasi sektor pertanian harus dihentikan karena ini menjadi malapetaka bagi kemandirian

Page 14: Kelembagaan BBM

dan kedaulatan pangan. Pemerintah bisa mendayagunakan seluruh potensi yang dimilikinya, termasuk BUMN, untuk menguatkan kembali sektor pertanian dari hulu sampai hilir. Sekarang untuk bibit saja ketergantungan terhadap impor nyaris absolut, juga merembet ke sektor hilirnya. Pemerintah harus menyadari situasi di lapangan telah amat mencemaskan, sehingga tidak bisa ditangani lagi oleh kebijakan-kebijakan “teknikal”. Selama kerangka kebijakan ini tidak diambil, maka jangan diharap kegaduhan pasokan dan harga dapat diatasi.

Berikutnya, konsentrasi struktur pasar distribusi harus dipecah dengan memanfaatkan dua jalur. Pertama, pemain domestik diperbanyak dengan jalan mengatur pembatasan penguasaan barang pada segelintir pelaku/kelompok. Penyebaran ini diperlukan agar kemampuan kontrol pasokan dan harga tidak ditentukan oleh segelintir pemain, sehingga pasar tidak gampang diombang-ambingkan. Kedua, Bulog diperluas lagi kapasitasnya tidak hanya beras, tetapi beberapa komoditas penting lainnya disertasi dengan anggaran yang memadai. Bahkan, impor komoditas pangan yang semula dilakukan sektor swasta, sudah saatnya sebagian dikembalikan kepada Bulog. Langkah ini akan bermanfaat dalam dua hal langsung: mengurangi penguasaan swasta (yang dapat digunakan untuk mengontrol pasokan) dan mereduksi praktik rente politik. Dengan langkah ini, rakyat tidak lagi dihantui prahara harga setiap kali menyongsong bulan puasa.