kelompok 4
TRANSCRIPT
PEMBAHASAN
1. ASETAMINOFEN (PARACETAMOL)
Parasetamol (asetaminofen) seringkali dikelompokkan sebagai
NSAID, walaupun sebenarnya parasetamol tidak tergolong jenis obat-
obatan ini, dan juga tidak pula memiliki khasiat anti nyeri yang
nyata.Merupakan penghambat prostaglandin yang lemah.Parasetamol
mempunyai efek analgetik dan antipiretik, tetapi kemampuan
antiinflamasinya sangat lemah. Intoksikasi akut parasetamol adalah N-
asetilsistein, yang harus diberikan dalam 24 jam sejak intake parasetamol.
Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen dapat
dilihat strukturnya pada gambar 2.1. Asetaminofen (parasetamol)
merupakan metabolik fenasetin dengan efek antipireutik yang sama dan
telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipireutik ditimbulkan oleh gugus
amino benzen. Fenazetin tidak digunakan lagi dalam pengobatan karena
penggunaannya dikaitkan dengan terjadinya analgesik nefropati, anemia
hemolitik dan mungkin kanker kandung kemih. Asetaminofen di Indonesia
lebih dikenal dengan nama Paracetamol dan tersedia sebagai obat bebas.
Walaupun demikian laporan kerusakan faal hepar akibat takar lajak akut
perlu diperhatikan. Tetapi perlu dilakukan pemakaian maupun dokter
bahwa efek anti inflamasi parasetamol hampir tidak ada.
1
1.1. Farmakodinamik
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.
Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga
juga berdasarkan efek sentral seperi salisilat.
Efek anti inflamasinya sangat lama, oleh karena itu parasetamol
tidak digunakan sebagai anti reumatik. Parasetamol merupakan
penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan
perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga
gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa.
1.2. Farmakokinetik
Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran
cerna. Konsentrasi tinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam
dan masa paruh plasma 1 – 3 jam. Obat ini tersebar keseluruh cairan
tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat protein plasma. Obat
ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen
(80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya
dengan asam sulfat. Selain itu obat ini juga dapat mengalami
hidroksilasi. Metabolik hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan
methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini di ekskresikan
melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian
besar dalam bentuk terkonjugasi.
2
Indikasi
Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai anlagesik dan
antipireutik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai
analgesik lainnya parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama
karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik. Jika dosis
terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak
menolong. Karena hampir tidak mengiritasi lambung, parasetamol
sering dikombinasi dengan AINS untuk efek analgesik.
1.3. Sediaan dan Pasologi
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500
mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5 mL. Selain itu parasetamol
terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun
cairan. Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg-1g per kali, dengan
maksimum 4g perhari ; untuk anak 6-12 tahun : 150 – 300 mg/kali,
dengan maksimum 1,2 g/hari. Untuk anak 1-6 tahun : 60-120 mg/kali
3
dan bayi dibawah 1 tahun : 60 mg/kali ; pada keduanya diberikan
maksimum 6 kali sehari.
1.4. Efek Samping
Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi.
Manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat
berupa demam dan lesi pada mukosa. Fenasetin dapat menyebabkan
anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik
dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi enzim
G6PD dan adanya metabolit yang abnormal.
Methemoglobinemia dan Sulfhemoglobinemia jarng
menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3%
Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru merupakan
masalah pada takar lajak. Insidens nefropati analgesik berbanding lurus
dengan penggunaan Fenasetin. Tetapi karena Fenasetin jarang
digunakan sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat sukar
disimpulkan. Eksperimen pada hewan coba menunjukkan bahwa
gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat Asetosal daripada
Fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara
menahun terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan nefropati
analgetik.
1.5 Mekanisme Toksisitas
Pada dosis terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat
hepatotoksik, didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam
merkapturi yang bersifat non toksik dan diekskresikan melalui urin,
tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik meningkat
melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga
metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis
sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan keracunan
4
Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation.
Dengan proses yang sama Parasetamol juga bersifat nefrotoksik.
Dosis Toksik
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada
orang dewasa berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan
15g pada dewasa dapat menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga
terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis lebih dari 20g bersifat fatal.
Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang
menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik
meningkat karena produksi metabolit meningkat.
Gambaran Klinis
Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 4 stadium :
a. Stadium I (0-24 jam)
Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual,
muntah, pucat, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering terjadi
muntah-muntah tanpa berkeringat.
b. Stadium II (24-48 jam)
Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghilang
dan muncul ikterus, nyeri perut kanan atas, meningkatnya bilirubin
dan waktu protombin. Terjadi pula gangguan faal ginjal berupa
oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.
c. Stadium III ( 72 - 96 jam )
Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul
kembali, ikterus dan terjadi penurunan kesadaran, ensefalopati
hepatikum.
d. Stadium IV ( 7- 10 hari)
Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan
progresif dapat terjadi sepsis, Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) dan kematian. (Lusiana Darsono 2002)
5
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan :
a. Adanya riwayat penggunaan obat.
b. Uji kualitatif: sampel diambil dari urin, isi lambung atau residu di
tempat kejadian. Caranya: 0,5ml sampael + 0,5ml HCL pekat,
didihkan kemudian dinginkan, tambahkan 1ml larutan O-Kresol
pada 0,2ml hidrolisat, tambahkan 2ml larutan ammonium hidroksida
dan aduk 5 menit, hasil positip timbul warna biru dengan cepat. Uji
ini sangat sensitive
c. Kuantitatif:
Kadar dalam plasma diperiksa dalam 4 jam setelah paparan dan
dapat dibuat normogram untuk memperkirakan beratnya paparan.
d. Pemeriksaan laboratorium:
Elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, transaminase hati dan
prothrombin time.
Penanganan
a. Dekontaminasi
Sebelum ke Rumah Sakit:
Dapat diberikan karbon aktif atau sirup ipekak untuk
menginduksi muntah pada anak-anak dengan waktu paparan 30
menit.
Rumah Sakit:
Pemberian karbon aktif, jika terjadi penurunan kesadaran
karbon aktif diberikan melalui pipa nasogastrik. Jika dipilih
pemberian metionin sebagai antidotum untuk menstimulasi
glutation, karbon aktif tidak boleh diberikan karena akan mengikat
dan menghambat metionin.
b. Antidotum
N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk
keracunan Parasetamol. N-asetil-sistein bekerja mensubstitusi
6
glutation, meningkatkan sintesis glutation dan mening-katkan
konjugasi sulfat pada parasetamol. N-asetilsistein sangat efektif
bila diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi
metabolit.
Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat
aman dan murah tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan
N asetilsistein
Dosis - Cara pemberian N-asetilsistein
a. Bolus 150 mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 % : secara
perlahan selama 15 menit, dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml
dextrose 5 % selama 4 jam, kemudian 100 mg/KBB dalam 1000
ml dextrose melalui IV perlahan selama 16 jam berikut.
b. Oral atau pipa nasogatrik
Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi dosis
pemeliharaan 70 mg / kg BB setiap 4jam sebanyak 17 dosis.
Pemberian secara oral dapat menyebabkan mual dan muntah.
Jika muntah dapat diberikan metoklopropamid ( 60-70 mg IV
pada dewasa ). Larutan N-asetilsistein dapat dilarutkan dalam
larutan 5% jus atau air dan diberikan sebagai cairan yang dingin.
Keberhasilan terapi bergantung pada terapi dini, sebelum
metabolit terakumulasi.
2. ANTASIDA
2.1. Pendahuluan
Antasida (antacid,antiacid ) merupakan salah satu pilihan obat
dalammengatasi sakit maag. Antasida diberikan secara oral (diminum)
untukmengurangi rasa perih akibat suasana lambung yang terlalu asam,
dengan caramenetralkan asam lambung. Asam lambung dilepas untuk
embantu memecahprotein. Lambung, usus, dan esophagus dilindungi
7
dari asam dengan berbagaimekanisme. Ketika kondisi lambung semakin
asam ataupun mekanismeperlindungan kurang memadai, lambung, usus
dan esophagus rusak oleh asammemberikan gejala bervariasi seperti
nyeri lambung, rasa terbakar, dan berbagaikeluhan saluran cerna lainnya.
2.2. Pengertian
Antacid adalah obat yang menetralkan asam lambung sehingga
berguna untuk menghilangkan nyeri tukak peptik. Antacid tidak
mengurangi volume HCl yang dikeluarkan lambung, tetapi peninggian
PH akan menurunkan aktivitas pepsin. Beberapa antacid misalnya,
alumunium hidroksida, diduga menghambat pepsin secara langsung.
Kapasitas menetralkan asam dari berbagai antacid pada dosis terapi
bervariasi, tetapi umumnya PH lambung tidak sampai diatas 4, yaitu
keadaan yang jelas menurunkan aktivitas pepsin ; kecuali bila
pemberiannya sering dan terus menerus. Mula kerja antacid sangat
bergabtung pada kelarutan dan kecepatan netralisasi asam ; sedangkan
kecepatan pengosongan lambung sangat menentukan masa kerjanya.
Umumnya antacid merupakan basa lemah. Senyawa oksi-
alumunium (basa lemah) sukar untuk meninggikan PH lambung lebih
dari 4, sedangkan basa yang lebih kuat seperti magnesium hidroksida
secara teoritis dapat meninggikan PH sampai 9, tapi kenyataannya tidak
terjadi. Semua antasid meningkatkan produksi HCl berdasarkan
kenaikan PH yang meningkatkan aktivitas gastrin.
Antasid di bagi dalam dua golongan yaitu antacid sistemik dan
antacid nonsitemik. Antasid sistemik, misalnya natrium bikarbonat,
diabsorpsi dalam usus halus sehingga menyebabkan urin bersifat alkalis.
Pada pasien dengan kelainan ginjal, dapat terjadi alkalosis metabolis.
Penggunaan kronik natrium bikarbonat memudahkan nefrolitiasis fospat.
Antasid nonsistemik hampir tidak di arbsorpsi dalam usus sehingga tidak
menimbulkan alkalosis metabolic. Contoh antasid nonsistemik adalah
sediaan magnesium, alumunium dan kalsium.
8
Antasid sistemik
Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena
daya larutnya tinggi; reaksi kimianya ialah sebagai berikut :
NaHCO3 + HCl NaCl + H2O + CO2
Karbon dioksida (CO2) yang terbentuk dalam lambung akan
menimbulkan efek carminative yang menyebebkan sendawa. Distensi
lambung dapat terjadi, dan dapat menimbulkan perforasi. Selain
menimbulkan alkalosis metabolik obat ini dapat menyebabkan
resistensi natrium dan udem.
Natrium bikarbonat sudah jarang digunakan sebagai antasid.
Obat ini digunakan untuk mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi
urin dan pengobatan lokal pruritus.
Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-1000 mg.
Satu gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis
yang dianjurkan 1-4 gr. Pemberian dosis besar NaHCO3 atau CaCO3
bersama – sama susu atau krim pada pengobatan tukak peptic
menimbulkan sindrom alkali susu (milk alkali syndrome).
Antacid non sistemik
Alumunium hidroksida (Al (OH)3)
Reaksi yang terjadi di dalam lambung ialah sebagai berikut :
Al (OH)3 + 3 HCl AlCl3 + 3H2O
Daya menetralkan asam lambungnya lambat tetapi masa
kerjanya lebih panjang. Al (OH)3 bukan merupakan obat yang unggul
dibandingkan dengan obat yang tidak larut lainnya. Al (OH)3 dan
sediaan Al lainnya bereaksi dengan fospat dapat membentuk
9
alumunium fospat yang sukar diasorpsi di usus kecil, sehingga ekskresi
fospat melaui urin berkurang, sedangkan melaui tinja bertambah. Ion
alumunium dapat bereaksi dengan protein bersifat astringen. Antasid
ini mengadsorpsi pepsin dan menginaktivasinya. Absorpsi makanan
setelah pemberian AL tidak banyak di pengaruhi dan komposisi tinja
tidak berubah. Aluminium juga bersifat demulsen dan adsorben.
Efek samping AL (OH)3 yang utama ialah konstipasi. Ini dapat
diatasi dengan memberikan antsid garam Mg. Mual dan muntah dapat
terjadi. Gangguan absorpsi fospat dapat terjadi sehingga menimbulkan
sindrom deplesi fospat disertai osteomalasia. Al (OH)3 dapat
mengurangi absorpsi bermacam – macam vitamin dan tetrasiklin. Al
(OH)3 lebih sering menyebabkan konstipasi pada usia lanjut.
Alumunium hidroksida digunakan untuk mengobati tukak
peptic, nefrolitiasis fospat dan sebagai adsorben pada keracunan.
Antacid AL tersedia dalam bentuk suspense. AL (OH)3 yang
mengandung 3,6-4,4% AL2O3. Dosis yang dianjurkan 8 ml. tersedia
pula dalam bentuk tablet Al (OH)3 yang mengandung 50% Al2O3. Satu
gram Al (OH)3 dapat menetralkan 25 mEq asam. Dosis tunggal yang
dianjurkan 0,6 gram.
Kalsium karbonat
Kalsium karbonat merupakan antacid yang efektif, karena mula
kerjanya cepat, masa kerjanya lama dan daya menetralkan asamnya
cukup tinggi.
Kalsium karbonat dapat menyebabkan konstipasi, mual,
muntah, perdarahan saluran cerna dan disfungsi ginjal dan fenomen
acid rebound. Fenomena tersebut bukan berdasar daya netralisasi asam,
tetapi merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang mensekresi
gastrin yang merangsang sel parietal yang mengeluarkan HCl (H+).
Sebagai akibatnya, sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggi
yang akan mengurangi efek netralisasi obat ini. Efek serius yang dapat
10
terjadi ialah hiperkalsemia, kalsifikasi metastasik, alkalosis, azotemia,
terutama terjadi pada penggunaan kronik kalsium karbonat bersama
susu dan antacid lain (milk alkali syndrome). Pemberian 4 gram
kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia ringan, sedangkan
pemberian 8 gram dapat menyebabkan hiperkalsemia sedang.
Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 dan 100 mg.
1 gram kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang
dianjurkan 1-2 gram.
Magnesium hidroksida (Mg(OH)2).
Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antacid.
Obat ini praktis tidak larut dan tidak efektik sebelum obat ini bereaksi
dengan HCl membentuk MgCl2. Magnesium hidroksida yang tidak
bereaksi akan tetap berada dalam lambung dan akan menetralkan HCl
yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama. Antacid ini
dan natrium bikarbonat sama efektif dalam hal menetralkan HCl.
Ion magnesium dalam usus akan diarbsorpsi dan cepat
diekskresikan melalui ginjal, hal ini akan membahayakan pasien yang
fungsi ginjalnya kurang baik. Ion magnesium yang diabsorpsi akan
bersifat sebagai antacid sistemik sehingga menimbulkan alakaliuria,
tetapi jarang terjadi alkalisis.
Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan
diare akibat efek katartiknya,sebeb magnesium yang larut tidak
diabsorbsi, tetap berada dalam usus dan akan menarik air. Sebanyak 5-
10% magnesium diarbsorbsi dan dapat menimbulkan kelainan
neurologik, neuro muscular, dan kardiovaskular.
Sediaan susu magnesium (milk of magnesia) berupa suspensi
yang berisi 7-8,5% Mg (OH)2. Satu ml susu magnesium dapat
menetralkan 2,7 mEq asam. Dosis yang di anjurkan 5-30ml. bentuk
lain ialah tablet susu magnesium berisi 325 mg Mg(OH)2 yang dapat
menetralkan 11,1 mEq asam.
11
Magnesium trisilikat
Magnesium trisilikat (Mg2Si3O8nH2O) sebagai antacid non
sistemik bereaksi dalam lambung sebagai beriukut :
Mg2Si3O8(n)H2O + 4H+ Mg++ + 3SiO2 + (n+2) H2O
Silicon dioksid berupa gel yang berbentuk dalam lambung
diduga berfungsi menutup tukak. Sebanyak 7% silica dari magnesium
trisilikat akan diarbsorbsi melalu usus dan di ekskresi dalam urin.
Silica gel dan magnesium trisilikat mrupakan adsorben yang baik;
tidak hanya mengarbsorbsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam
makanan. Mula kerja magnesium trisilikat lambat , untuk menetralkan
30% HCl 0,1 N diperlikan waktu 15 menit sedangkan untuk
menetralkan 60% HCl 0,1 N diperlukan waktu 1 jam. Dosis tinggi
magnesium trisilikat menyebabkan diare. Banyak di laporkan
terjadinya batu silikat setelah penggunaan kronik magnesium trisilikat.
Di tinjau dari efektivitasnya yang rendah dan potensinya untuk
menimbulkan toksisitas yang khas, kurang beralasan untuk
menggunakan obat ini sebagai antacid.
Magnesium trisilikat tersedia dalam bentuk tablet 500 mg ;
ddosis yang di anjurkan 1-4 gram. Tersedia pula sebagai bubuk
magnesium trisilikat yang mengandung sekurang-kurangnya 20%
MgO dan 45% silicon dioksida. 1 gram magnesium trisilikat dapat
menetralkan 13-17 mEq asam.
Sediaan antacid lain dan pasologinya dapat dilihat pada tabel 34-1
Tabel 34-1 : Sediaan Antasid Lain
12
13
Nama Obat Bentuk sediaan
dan dosis
Toksisitas Keterangan
Natrium
bikarbonat
Tablet : 500 mg
Dosis : 1-4
g/hari
Alkalosis sistemik, udem,
perforasi lambung
Digunakan untuk
mengobati asidosis
sistemik.
Untuk menbuat urin
alkali.
Untuk mengatasi
pruritus pada
penggunaan lokal.
Aluminium
hidroksida
Tablet
Suspensi 4%
Dosis tunggal
0,6 g
Ekskresi Al-fosfat melalui
tinja
meningkat,menimbulkan
sindroma deplesi fosfat.
Menyebabkan konstipasi,
mual, muntah, dan
obstruksi usus
Masa kerja sebagai
antasid lama.
Mempunyai sifat
astringen dan
demulsen.
Dapat digunakan untuk
mengobati nefrolitiasis
fosfat.
Aluminium fospat Suspensi 4-5%
Dosis : 15-45
ml
konstipasi
Al-karbonat basa Suspensi berisi
5%
Al2O3 dan 2-4%
CO2
Dosis : 8 ml
Konstipasi Sifat farmakologi sama
seperti aluminium
hidroksida.
Satu ml suspensi dapat
menetralkan 1,2-1,5
mEq asam.
Al-natrium
dihidroksikarbonat
Tablet : 300 mg
Dosis : 300-600
mg
Konstipasi Kombinasi antara
NaHCO3 dan
aluminium hidroksida
Kalsium karbonat Dosis : 2-3
g/hari
Tablet : 0,5-0,6
g
Fenomen acid rebound;
tinja menjadi keras,
konstipasi, kerusakan
ginjal,
hiperkalsemia, alkalosis,
milk alkali syndrome
Mula kerja cepat, masa
kerja panjang.
Magnesium
karbonat
Dosis : 0,6-2
g/hari
Diare Efeknya lebih lambat
daripada kalsium
karbonat.
Kebutuhannya lebih
besar daripada kalsium
2.3. Jenis - jenis Antasida dan Karakteristiknya
Umumnya antasida merupakan basa lemah. Biasanya terdiri dari zat
aktif yang mengandung alumunium hidroksida, madnesium hidroksida, dan
kalsium.Terkadang antasida dikombinasikan juga dengan simetikon yang
dapatmengurangi kelebihan gas.
Aluminium
karbonat
Dapat digunakan dalam terapi hiperfosfatemia
(abnormalitaskadar fosfat dalam darah) dengan cara
mengikat senyawaanfosfat di saluran cerna sehingga
menghambat prosesabsorbsinya. Karena kemampuan ini
juga aluminium karbonatdapat digunakan untuk mencegah
pembentukan batu ginjal (batuginjal terbentuk dari
berbagai macam senyawaan salah satunyaadalah fosfat)
Calcium karbonat Dapat digunakan pada kondisi kekurangan kalsium
contohnya osteoporosis posmenopause
Magnesium
karbonat
Dapat digunakan pada kasus defisiensi magnesium
2.4. Nama dan Struktur Kimia
- Aluminium Hydroxide (Al(OH)),
- Magnesia magma, milk of magnesia (MOM), magnesium hydroxide
(Mg(OH)2.),
- Magnesii trisilicas,
- Magnesii subcarbonas.
- Aluminum magnesium hydroxide sulfate ((Al5Mg10(OH)31(SO4)2,xH2O.),
- Calcii carbonas((CaCO3 ))
14
2.5. Macam ± macam Merek Dagang
- Aludonna
- Aludonna D
- Asidrat
- Biogastron
- Corsamag
- Dexanta
- Di-Gel
- Flatucid
- Gastran
- Gastrinal
- Gastrucid
- Gelusil MPS
- Gestabil
- Gestamax
- Lagesil
- Lambucid
- Lexacrol
- Lexacrol Forte
- Madrox
- Magalat
- Magasida
- Magnidicon
- Magtacid
- Magtral
- Magtral Forte
- Mepromaag
- Mylanta
- MylantaForte
- Neosanmag
- Neusilin
- Nudramag
- Promag - Simeco
2.6. Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Antasida:dewasa:oral:600-1200 mg antara waktu makan dan sebelum
tidur malam.
Hiperfosfatemia:anak:50-150 mg/kg/24 jam dalam dosis terbagi tiap 4-
6 jam, titrasi dosis sampai tercapai kadar fosfat dalam rentang
normal.Dewasa:dosis awal:300-600 mg 3 kali/hari bersama makanan.
Magnesium hidroksida sebagai antasida diberikan dalam dosis
sampaidengan 1 g per oral. Sebagai laksatif osmotik magnesium
hidroksidadiberikan dengan dosis sekitar 2-5 g per oral.
Diberikan dengan dosis sampai dengan 2 g per oral.1 Magaldrate
diberikandi antara waktu makan dan malam sebelum tidur .
Dosis sebagai antasida biasanya sampai dengan 1,5 g per oral.
Kalsiumkarbonat mengikat posfat dalam saluran cerna untuk membentuk
komplekyang tidak larut dan absobsi mengurangi posfat.
15
2.7. Indikasi
1. Pengobatan hiperasiditas, hiperfosfatemia.
2. Pengobatan jangka pendek konstipasi dan gejala-gejala hiperasiditas,terapi
penggantian magnesium. Magnesium hidroksida juga digunakansebagai bahan
tambahan makanan dan suplemen magnesium padakondisi defisiensi magnesium.
2.8. Kontraindikasi
1. Hipersensitivitas terhadap garam aluminum atau bahan-bahan lain dalamformulasi.
2. Hipersensitivitas terhadap bahan-bahan dalam formulasi, pasien dengankolostomi
atau ileostomi, obstruksi usus, fecal impaction, gagal ginjal,apendisitis.
3. Pada pasien yang harus mengontrol asupan sodium (seperti:gagal jantung,
hipertensi, gagal ginjal, sirosis, atau kehamilan)
2.9. Efek samping
Tidak ada antacid yang bebas efek samping, terutama pada
penggunaan dosis besar jangka lama. Efek samping yang timbul antara
lain;
a. Sindroma susu alkali
Sindroma ini hanya timbul pada pasien yang memakai atau
menggunakan antasida sistemik atau kalsium karbonat dan minum
susu dalam jumlah besar untuk jangka lama. Gejalanya antara lain ;
sakit kepala, iritabel, lemah, mual, dan muntah. Sindroma ini
ditandai dengan hiperkalsemia, alkalosis ringan, kalsifikasi dan
terbentuknya batu ginjal serta gagal ginjal kronik. Keadaan ini
diduga di sebabkan protein dalam susu yang meningkatkan
absorbsi kalsium. Hiperkalsemia yang timbul mungkin menekan
sekresi hormone paratiroid yang selanjutnya meningkatkan
ekskresi kalsium urin, dan dapat membentuk batu kalsium kerena
pengendapan di saluran kemih.
16
b. Batu ginjal,osteomlasia dan osteoporosis
Aluminium hidroksida dan fospat dapat menbentuk senyawa yang
sukar larut dalam usus halus, sehingga mengurangi absorpsi fospat
dan diikuti penurunan ekskresi fospat urin. Penurunan absorpsi ini
berakibar resorpsi tulang yang selanjutnya menyebabkan
hiperkalsiuria dan meningkatnya absorpsi kalsium dari usus halus.
Perubahan metabolisme kalsium ini dapat berakibat batu kalsium
saluran kemih, osteomalasia, dan osteoporosis.
c. Neurotoksisitas
Aluminium yang di absorpsi dalam jumlah kecil dapat tertimbun
dalam otak, dan di duga mendasari sindroma ensefalopati yang
terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dan pasien penyakit
alzheimer.
d. Saluran cerna
Penggunaan antacid yang mengadung magnesium dapat
menyebabkan diare dan yang mengandung aluminium
menimbulkan obstruksi terutama berbahaya pada orang tua dengan
perdarahan usus
e. Asupan natrium
Hampir semua antacid mengandung natrium, sehingga perlu
diperhatikan penggunaanya pada pasien yang harus diet rendah
natrium, misalnya pada penyakit kardiovaskuler
f. Interaksi dengan obat lain
Antacid dapat mengurangi absorpsi berbagai obat misalnya INH,
penisilin, tetrasiklin, nitrofurantoin, asam nalidiksat, sulfonamide,
fenilbutazon, digoksin dan klorpromazin. Antacid sistemik dapat
meningkatkan PH urin, sehingga menurunkan ekskresi amin
misalnya kina dan afetamin serta meningkatkan ekskresi salisil.
17
3. FUROSEMID
Loop Diuretik (Diuretik Kuat/High-ceiling diuretics)
Termasuk dalam kelompok ini adalah asam etakrinat,
furosemid dan bumetanid. Asam etakrinat termasuk diuretik yang
dapat diberikan secara oral maupun parenteral dengan hasil yang
memuaskan. Furosemid atau asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfomail
antranilat masih tergolong derivat sulfonamid. Diuretik loop bekerja
dengan mencegah reabsorpsi natrium, klorida, dan kalium pada
segmen tebal ujung asenden ansa Henle (nefron) melalui inhibisi
pembawa klorida. Obat ini termasuk asam etakrinat, furosemid da
bumetanid, dan digunakan untuk pengobatan hipertensi, edema, serta
oliguria yang disebabkan oleh gagal ginjal. Pengobatan bersamaan
dengan kalium diperlukan selama menggunakan obat ini.
3.1. Farmakodinamik
Loop dieuretik terutama bekerja dengan menghambat
reabsorbsi elektrolit Na+/K+/2Cl- di ansa henle ascenden bagian epitel
tebal; tempat kerjanya di permukaan sel epitel bagian luminal (yang
menghadap ke lumen tubuli). Pada pemberian IV obat ini cenderung
menigkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi
glomerulus. Peningkatan aliran darah ginjal ini relative hanya
berlangsung sebentar. Dengan berkurangnya cairan ekstra sel akibat
dieresis, maka aliran darah ginjal menurun dan hal ini akan
mengakibatkan meningkatnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli
proksimal. Hal terakhir ini merupakan suatu mekanisme kompensasi
yang membatasi jumlah zat terlarut yang mencapai bagian epitel tebal
Henle ascendens sehingga mengurangi dieresis.
18
Masih dipertentangkan apakah diuretik kuat juga bekerja di
tubuli proksimal. Furosemid dan juga bumetanid mempunyai daya
hambat enzim karbonik anhidrase karena keduanya merupakan
derivat sulfonamid, seperti tiazid dan asetazolamid, tetapi aktivitasnya
terlalu lemah untuk menyebabkan diuresis di tubuli proksimal. Asam
etakrinat tidak menghambat enzim karbonik anhidrase.
Gambar 1. Tempat kerja dan mekanisme kerja diuretik
kuat (furosemide) di ansa Henle.
Diuretik kuat juga menyebabkan meningkatnya eksresi K+ dan
kadar asam urat plasma, mekanismenya kemungkinan besar sama
dengan tiazid. Eksresi Ca++ dan Mg++ juga ditingkatkan sebanding
dengan peningkatan ekskresi Na+. Berbeda dengan tiazid, golongan ini
tidak meningkatkan re-absorbsi Ca++ di tubuli distal. Berdasarkan atas
19
efek kalsiuria ini, golongan diuretik kuat digunakan untuk pengobatan
simptomatik hiperkalsemia.
Diuretik kuat meningkatkan ekskresi asam yang dapat dititrasi
(titrable acid) dan ammonia. Fenomena yang terjadi karena efeknya di
nefron distal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya alkalosis
metabolik. Bila mobilisasi cairan edema terlalu cepat, alkalosis
metabolik oleh diuretik kuat ini terutama terjadi akibat penyusutan
volume cairan ekstrasel.
Gambar 2. Struktur Kimia Furosemide, azomide, Bumetanide,
dan Piretanide
3.2. Farmakokinetik
Absorbsi
Loop diuretic mudah diserap melelui saluran cerna, dengan
derajat yang berbeda-beda. Bioavalabilitas furosemid 65% sedangkan
bumetenid hampir 100%.
Distribusi
20
Obat golongan ini terikat pada protein plasma secara ekstensif,
sehingga tidak difiltrasi glomerulus tetapi cepat sekali disekresi
melalui system transport asam organic di tubulus proksimal.
Metabolisme
Obat terakumulasi di cairan tubuli dan mungkin sekali di
tempat kerja didaerah yang lebih distal lagi.
Eksresi
Kira-kira 2/3 dari asam etakrinat yang diberikan IV diekskresi
melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa
sulfhidil terutama sistein dan N-asetil sistein.
3.3. Indikasi atau Penggunaan klinik
Gagal jantung
Furosemid merupakan obat standar untuk gagal jantung yang
disertai edem dan tanda-tanda bendungan sirkulasi seperti peninggian
tekanan vena jugular, edema paru, edema tungkai, dan asites.
Furosemid lebih banyak digunakan dari pada asam etakrinat, karena
gangguan saluran cerna lebih ringan dan kurva dosis respons kurang
curam. Untuk edema paru akut diperlukan pemberian secara intravena.
Pada keadaan ini perbaikan klinik dicapai karena terjadi perubahan
hemodinamik dan penurunan volume cairan ekstrasel dengan cepat,
sehingga alir balik vena dan curah ventrikel kanan berkurang.
Edema refrakter
Untuk mengatasi edema refrakter diuretic loop biasanya
diberikan bersama diuretic lain, misalnya thiazid atau diuretic hemat
kalium. Pemakaian dua macam obat diuretic loop secara bersamaan
merupakan tindakan tidak rasional.
21
Asites dan edema akibat gagal ginjal
Diuretic loop merupakan obat efektif untuk asites akibat
penyakit sirosis hepatis. Dan edema akibat gagal ginjal.
Gagal ginjal akut
Loop diuretic diberikan pada pasien gagal ginjal akut yang
masih awal baru terjadi namun hasilnya tidak konsisiten.
Menurunkan kadar kalsium plasma
Diuretic loop dapat menurunkan kadar kalsium plasma pada
pasien hiperkalsemia simptomatis dengan cara meningkatkan ekskresi
kalsium melalui urin. Bila digunakan untuk tujuan ini, maka perlu pula
diberika suplemen Na+ dan Cl- untuk menggantikan kehilangan Na+
dan Cl- melalui urin.
3.4. Cara pemberian dan dosis
Sebaiknya diberikan secara oral, kecuali bila diperlukan untuk
dieresis segera, maka dapat diberikan IM satu IV. Bila ada nefrosis
atau gagal ginjal kronik maka diperlukan dosis furosemid jauh lebih
besar daripada dosis biasa. Hal ini disebabkan oleh banyaknya protein
dalam cairan tubuli yang akan mengikat furosemid sehingga
menghambat dieresis. Selain itu pada pasien dengan uremia, sekresi
furosemid melalui tubuli menurun.
Furosemide ada yang dalam bentuk oral (tablet) dan injeksi
(IV/IM). Untuk yang penggunaan oral mungkin pasien sudah familiar ,
tetapi untuk yang injeksi biasanya pasien diberikan injeksi oleh dokter.
Untuk penggunaan injeksi dirumah, maka pasien akan diberikan
latihan tentang cara penggunaan injeksi oleh petugas kesehatan. Dalam
hal ini pasien harus benar-benar mengerti apa yang telah diajarkan baik
tentang pengaturan dosis sampai teknik aseptic sebelum melalukan
22
Obat Sediaan Dosis Efek
Furosemid Tab.20&40 mg ;
Injeksi
20mg/ampl 2 ml
10-40 mg oral
2x sehari (HT)
20-80 mg iv, 2-
3 x sehari
(CHF)
Sampai 250-
2000 mg
oral/iv
Diuresis
dalam 10-
20 menit
Efek
maksimal
1,5 jam
Lama kerja
4-5 jam
Torsemid 5-10 mg oral,
1 x sehari
(HT),
10-20 mg
(CHF), oral
atau iv, dapat
naik sampai
200 mg
Onset 10
menit
Efek
maksimal
60 menit
Lama kerja
6-8 jam
Butenamid Tab.0,5&1mg ;
Inj. 5 mg
0,5-2 mg, oral
1-2x sehari
Maksimum 10
mg/hari
Onset 75-90
menit
Lama kerja
4-5 jam
Asam
etakrinat
Tab 25& 50 mg ;
Injeksi 50mg/amp
50-200mg/hari
0,5-1 mg/kg
BB
injeksi.
23
Pasien tidak diijinkan untuk meningkatkan dosis sendiri lebih
dari yang telah diresepkan atau berhenti menggunakan obat tanpa
konsultasi terlebih dahulu kepada dokter. Dosis yang diberikan
tergantung pada keadaan klinis pasien dan respon terhadap terapi.
Pada anak-anak penggunaan dosis lebih dari 6 mg/kgBB tidak
dianjurkan. Pemakaian dosis pertama mungkin akan meningkatkan
jumlah urin atau pasien akan sering BAK, oleh karena itu supaya tidak
mengganggu kenyamanan tidur pasien, maka dianjurkan untuk
mengkonsumsi obat sebelum jam 6 sore.
Untuk pemberian injeksi dosis Minimal/Maximal untuk dewasa
adalah 10 mg/600mg. untuk anakanak dosis Minimal/Maximal adalah
0.5mg/kg / 6 mg/kg. Sedangkan untuk pemberian secara oral untuk
dewasa dosis Minimal/Maximal adalah 20mg / 600mg, dan untuk
anak-anak dosis Minimal/ Maximal adalah 0.5mg/kg / 6mg/kg.
Untuk pengobatan edema, pada dewasa bisa digunakan
Furosemide tablet 20-80 mg sigle dose. Jika dibutuhkan, pada dosis
yang sama dapat diberikan 6-8 jam berikutnya atau dosis bisa
ditingkatkan. Dosis bisa ditingkatkan 20 atau 40 mg dan tidak
diberikan kurang dari 6-8 jam berikutnya. Pasien dengan sigle dose
harus diberikan satu atau dua kali sehari (misal : pada jam 8 pagi dan 2
siang). Untuk anak-anak dapat juga diberikan per oral tablet dengan
dosis 2 mg/kg BB diberikan single dose. Jika respon diuretik tidak juga
hilang maka dosis dinaikkan 1-2 mg/kg BB diberikan 6-8 jam setelah
pemberian sebelumnya, asalkan pemberian dosis tidak mencapai kadar
minimal yaitu lebih dari 6 mg/kgBB.
24
Pada pengobatan hipertensi dapat juga diberikan furosemide
tablet 80 mg, biasanya dibagi menjadi 40 mg dan diberikan dua kali
sehari. Jika respon tidak begitu memuaskan, dapat ditambahkan agen
antihipertensi yang lain. Tetapi perubahan tekanan darah harus selalu
dimonitor ketika furosemide diberikan dengan agen antihipertensi yang
lain. Untuk mencegah tekanan darah yang turun secara mendadak,
dosis agen-agen yang lain harus dikurangi minimal 50% ketika
furosemide tablet ditambahkan ke dalam regimen.
Durasi furosemide adalah 6-8 hari dimana waktu paruhnya
adalah 2 hari, sehingga pemberian ulang dosis setiap dua hari jika
perlu. Obat diekskresikan lewat urin.
3.5. Efek samping
Efek samping asam etakrinat dan furosemid dapat dibedakan
atas :
1. Reaksi toksik berupa gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit yang sering terjadi
2. Efek samping yang tidak berhubungan dengan kerja utamanya
jarang terjadi.
Gangguan saluran cerna lebih sering terjadi dengan asam
etakrinat daripada furosemid. Tidak dianjurkan pada wanita hamil
kecuali bila mutlak diperlukan. Sebagian efek samping ini berkaitan
dengan gangguan keeimbangan cairan dan elektrolit, antara lain
hipotensi, hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
Gangguan cairan elektrolit
25
Sebagian efek berkaitan dengan gangguan keseimbangan
elektrolit dan cairan antara lain: hipotensi, hiponatremia, hipokalemia,
hipokloremia, hipokalsemia, dan hipomagnesia
Ototoksisitas
Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun
menetap, dan ini merupakan efek samping serius. Ketulian sementara
juga dapat terjadi pada furosemid dan jarang pada butenamid. Ketulian
disebabkan oleh perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfa.
Efek metabolik
Hiperuresemia, hiperglikemia, penigkatan kolesterol LDL dan
trigliserida serta penurunan HDL.
Reaksi alergi
Berkaitan dengan struktur model yang menyerupai
sulfonamide, sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat
alergi sulfonamide.
Nefritis intersisialis alergik
Furosemid dapt menyebabkan nefritis intersisialis alergik yang
menyebabkan gagal ginjal reversible.
3.6. Kontraindikasi dan perhatian
Gagal ginjal yang disertai anuria, Hati-hati pada pasien yang
dicurigai hipokalemia, gout, hiperkalsemia, pengguna digitalis dan
sirosis hepatik Tidak dianjurkan pada wanita hamil.
3.7. Interaksi obat
26
Pemberian diuretic loop dapat meningkatkan risiko aritmia
pada pasien yang juga mendapat digitalis atau obat antiaritmia.
Pemberian bersama obat yang bersifat nefrotoksik seperti
amininoglikosida dan anti kanker sispaltin akan meningkatkan
risiko nefrositotoksisitas.
Probenesid mengurangi sekresi diuretic ke lumen tubulus
sehingga efek diuresisnya berkurang.
Berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui penggeseran
ikatannya dengan protein.
Pada penggunaan jangka lama diuretic loop dapat menurunkan
klirens litium.
Penggunaan bersama sefalosporin dapat menigkatkan
nefrotoksisitas sefalosporin
Anti inflamasi non steroid terutama indometasin dan
kortikosteroid melawan kerja furosemid.
4. DIGOXIN
4.1. Pendahuluan
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau
kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolic
secara abnormal. Gagal jantung merupakan komplikasi yang paling
sering dijumpai dari segala jenis penyakit jantung congenital (bawaan)
maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal
jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal,
beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-
keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan
27
cacat septum ventrikel; dan beban akhir meningkat pada keadaan
dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas
miokardium dapat menurun pada infark miokardium dam
kardiomiopati.
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk
mengurangi beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap
ketiga penentu utama dari fungsi miokardium, baik secara sendiri-
sendiri maupun secara gabungan dari : 1) beban awal, 2) kontraktilitas,
dan 3) beban akhir.
Prinsip penatalaksanaan gagal jantung :
1. Menigkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan
menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas.
2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
Obat inotropik positif Obat inotropik positif bekerja dengan
meningkatkan kontraksi otot jantung (miokardium) dan digunakan
untuk gagal jantung, yakni keadaan dimana jantung gagal untuk
memompa darah dalam volume yang dibutuhkan tubuh. Keadaan
tersebut terjadi karena jantung bekerja terlalu berat atau karena suatu
hal otot jantung menjadi lemah. Beban yang berat dapat disebabkan
oleh kebocoran katup jantung, kekakuan katub, atau kelainan sejak
lahir dimana sekat jantung tidak terbentuk dengan sempurna.
Ada 2 jenis obat inotropik positif, yaitu
a. Glikosida jantung
Glkosida jantung adalah alkaloid yang berasal dari tanaman
Digitalis purpurea yang kemudian diketahui berisi digoksin dan
digitoksin. Keduanya bekerja sebagai inotropik positif pada gagal
jantung.
b. Penghambat fosfodiesterase
Obat-obat dalam golongan ini merupakan penghambat enzim
fosfodiesterase yang selektif bekerja pada jantung. Hambatan enzim ini
28
menyebabkan peningkatan kadar siklik AMP (cAMP) dalam sel
miokard yang akan meningkatkan kadar kalsium intrasel. Diantaranya
adalah Milrinon dan Aminiron.
Dalam case study obat yang diberikan adalah digoksin, berikut
akan menjelaskan mengenai digoksin.
4.2. Pembahasan
Digoksin adalah suatu obat yang diperoleh dari tumbuhan
Digitalis lanata, diekstraksi dari tanaman foxglove. Digoksin
digunakan terutama untuk meningkatkan kemampuan memompa
(kemampuan kontraksi) jantung dalam keadaan kegagalan
jantung/congestive heart failure (CHF). Obat ini juga digunakan untuk
membantu menormalkan beberapa dysrhythmias ( jenis abnormal
denyut jantung). Obat ini termasuk obat dengan Therapeutic Window
sempit (jarak antara MTC [Minimum Toxic Concentration] dan MEC
[Minimum Effectiv Concentration] mempunyai jarak yang sempit.
Artinya rentang antara kadar dalam darah yang dapat menimbulkan
efek terapi dan yang dapat menimbulkan efek toksik sempit. Sehingga
kadar obat dalam plasma harus tepat agar tidak melebihi batas MTC
yang dapat menimbulkan efek toksik. Digoksin memiliki rumus
molekul C41H64O14 dengan bobot molekul 780,938 g/mol. Rumus
struktur digoksin adalah sebagai berikut:
Gbr. Struktur kimia digoksin
29
4.3.Farmakokinetik
Absorpsi
Setelah pemberian dosis oral baik dalam bentuk tablet maupun
eliksir, sekitar 60-85% digoksin akan diabsorpsi. Digoksin dalam
sediaan kapsul cair akan diabsorpsi sekitar 90-100%. Absorpsi
terutama terjadi pada usus kecil yang kemungkinan melalui proses
nonsaturable. Penundaan pengosongan lambung atau adanya makanan
mungkin akan memperlambat penyerapan digoksin, tetapi tidak
mengurangi tingkat penyerapannya. Penyerapan digoksin dari saluran
cerna akan mengalami penurunan hanya jika digoksin diberikan
bersama makanan tinggi serat. pH lambung tidak menghalangi
penyerapan digoksin. Penyerapan digoksin dapat terganggu akibat
keadaan malabsorpsi.
Konsentrasi plasma digoksin bervariasi pada tiap-tiap individu
dengan dosis tertentu dapat mengakibatkan efek terapeutik pada
seseorang, namun dapat juga menghasilkan efek toksik pada orang
lain. Ambilan digoksin dari otot jantung pada bayi hampir 2 kali lebih
besar dibandingkan pada orag dewasa. Untuk mengetahui konsentrasi
plasma digoksin pada pasien maka sampel darah harus diambil pada 6-
8 jam setelah pemberian digoksin. Konsentrasi plasma yang
menghasilkan efek terapeutik pada orang dewasa umumnya sekitar 0,5-
2 ng/mL, sedangkan pada pasien dengan fibrilasi atrial memerlukan
konsentrasi yang lebih tinggi yaitu sekitar 2-4 ng/mL akibat adanya
pelambatan laju ventrikel. Pada orang dewasa kecuali dengan fibrilasi
atrial toksisitas dapat terjadi pada kondisi plasma yang stabil lebih dari
2 ng/mL. Neonatus umumnya mampu mentolerir konsentrasi plasma
yang lebih tingg dibanding orang dewasa. Pada pemberian IV 400-600
mcg dalam dosis tunggal menghasilkan onset pada 5-30 menit dan efek
30
maksimum terjadi pada 1-4 jam. Efek digoksin dapat bertahan selama
3-4 hari.
Distribusi
Pada konsentrasi plasma terapeutik, sekitar 20-30% digoksin
terikat pada protein plasma. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal
berat memiliki volume distribusi yang lebih kecil dibandingkan pada
pasien dengan fungsi ginjal normal. Saat berada dalam darah, seluruh
glikosida jantung secara luas didistribusikan ke jaringan, termasuk
sistem saraf pusat.
Metabolisme
Umumnya hanya sedikit digoksin yang akan mengalami
metabolisme, namun tingkat metabolisme ini dapat bervariasi dan
berakibat fatal pada beberapa pasien. Sebagian kecil metabolisme
terjadi dihati, dan metabolisme juga dapat terjadi oleh bakteri dilumen
usus setelah pemberian oral atau setelah eliminasi empedu pada
pemberian IV. Digoksin mengalami reaksi pembelahan bertahap dari
gugus gula untuk membentuk digoksigenin-bisdigitoxosida,
digoksigenin-monodigitoxosida, dan digoksigenin, metabolit tersebut
bersifat menurunkan kardioaktivitas digoksin. Digoksin juga
mengalami pengurangan cincin lakton membentuk dihidrodigoksin
yang kemudian juga mengalami pembelahan bertahap pada gugus
gulanya.
Eliminasi
Waktu paruh distribusi (t1/2) digoksin setelah pemberian IV
adalah sekitar 30 menit baik pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal maupun normal. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal waktu
31
paruh eliminasinya sekitar 34-44 jam. Waktu paruh eliminasi
berkepanjangan akan terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal. Pada pasien anephrik waktu paruh eliminasi dapat mencapai 4,5
hari atau lebih. Waktu paruh eliminasi digoksin akan menurun pada
pasien dengan overdosis akut. Waktu paruh eliminasi meningkat pada
pasien hipotiroid dan menurun pada pasien hipertiroid. Pada pasien tak
terdigitalisasi, yang menerima dosis pemeliharaan tanpa loading dose
yang telah mencapai konsentrasi steady-state akan mengalami
peningkatan waktu paruh eliminasi yaitu sekitar 4-5 kali waktu paruh
eliminasi atau sekitar 7 hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Eliminasi harian pada pasien dengan fungsi ginjal normal adalah
sekitar 30%, dan 14% pada pasien anurik. Presentase eliminasi harian
digoksin dapat dihitung dengan persamaan: %Eliminasi = 14+
(bersihan kreatinin (ml/menit)/5). Penggunaan persamaan diatas harus
ekstra hati-hati karena bersihan kreatinin tidak akurat menggambarkan
fungsi ginjal dan bersihan digoksin total dari dalam tubuh pasien.
4.4. Farmakodinamik
32
Mekanisme kerja digoksin yaitu dengan menghambat pompa
Na+- K+ATPase yang menghasilkan peningkatan natrium intracellular
yang menyebabkan lemahnya pertukaran natrium/kalium dan
meningkatkan kalsium intracellular. Hal tersebut dapat meningkatkan
penyimpanan kalsium intrasellular di sarcoplasmic reticulum pada otot
jantung, dan dapat meningkatkan cadangan kalsium untuk memperkuat
/meningkatkan kontraksi otot. Ion Na+ dan Ca2+ memasuki sel otot
jantung selama/setiap kali depolarisasi. Ca2+ yang memasuki sel
melalui kanal Ca2+ jenis L selama depolarisasi memicu pelepasan Ca2+
intraseluler ke dalam sitosol dari retikulum sarkoplasma melalui
reseptor ryanodine (RyR). Ion ini menginduksi pelepasan Ca2+
sehingga meningkatkan kadar Ca2+ sitosol yang tersedia untuk
berinteraksi dengan protein kontraktil, sehingga kekuatan kontraksi
dapat ditingkatkan. Selama repolarisasi myocyte dan relaksasi, Ca2+
dalam selular kembali terpisahkan oleh Ca2+ sarkoplasma retikuler –
ATPase. dan juga akan dikeluarkan dari sel oleh penukar Na+- Ca2+
(NCX) dan oleh Ca2+ sarcolemmal -ATPase. Kapasitas dari penukar
untuk mengeluarkan Ca2+ dari sel tergantung pada konsentrasi Na+
intrasel. Pengikatan glikosida jantung ke sarcolemmal Na+,K+-ATPase
dan penghambatan aktivitas pompa Na+ seluler menghasikan
pengurangan tingkat aktifitas ekstrusi Na+ dan peningkatan sitosol
Na+. Peningkatan Na+ intraseluler mengurangi gradien transmembran
Na+ yang mendorong ekstrusi Ca2+ intraseluler selama repolarisasi
myocyte. Dengan mengurangi pengeluaran Ca2+ dan masuknya
kembali Ca2+ pada setiap kali potensial aksi, maka Ca2+ terakumulasi
dalam myocyte: serapan Ca2+ ke dalam SR meningkat; ini juga
meningkatkan Ca2+ sehingga dapat dilepaskan dari SR ke troponin C
dan protein Ca2+-sensitif dari aparatus kontraktil lainnya selama siklus
berikutnya dari gabungan eksitasi-kontraksi, sehingga menambah
kontraktilitas myocyte (Gambar 33-8). Peningkatan dalam pelepasan
33
Ca2+ dari retikulum sarkoplasma adalah merupakan substrat biologis di
mana glikosida jantung meningkatkan kontraktilitas miokard.
Glikosida jantung berikatan secara khusus ke bentuk terfosforilasi dari
a subunit dari Na+, K+-ATPase. Ekstraselular K+ mendorong
defosforilasii enzim sebagai langkah awal dalam translokasi aktif
kation ke dalam sitosol, dan juga dengan demikian menurunkan
afinitas enzim dari glikosida jantung. Hal ini menjelaskan sebagian
pengamatan bahwa dengan meningkatnya ekstraselular K+ dapat
membalikkan beberapa efek toksik dari glikosida jantung.
Selain itu, digoksin juga bekerja secara aksi langsung pada otot
lunak vascular dan efek tidak langsung yang umumnya dimediasi oleh
system saraf otonom dan peningkatan aktivitas vagal (refleks dari
system saraf otonom yang menyebabkan penurunan kerja jantung).
4.5. Indikasi
Digoksin sebagai glikosida jantung digunakan untuk digitalisasi
dan terapi pemeliharaan. Digoksin juga digunakan secara intravena
(IV) untuk digitalisasi cepat pada kondisi darurat.
4.6. Dosis dan Cara Pemberian
Cara Pemberian
Digoksin umumnya diberikan secara oral sebagai dosis harian
tunggal. Sedangkan untuk bayi dan anak kurang dari 10 tahun, dosis
harian sebaiknya diberikan dalam dosis terbagi. Guna tercapainya
konsentrasi serum puncak yang lebih tinggi yang belum terbentuk,
maka dosis harian terbagi direkomendasikan bagi pasien dengan
kriteria berikut:
1. Bayi dan anak dengan umur kurang dari 10 tahun
2. Pasien yang memerlukan dosis harian 300 mcg atau lebih
34
3. Pasien dengan riwayat atau beresiko terhadap toksisitas dalam
penggunaan glikosida jantung
4. Pasien tanpa masalah kepatuhan terapi, jika pasien cenderung
melanggar kepatuhan maka dosis harian tunggal lebih
direkomendasikan
Jika terapi oral kurang efektif atau karena diperlukannya efek
terapi yang cepat, maka digoksin dapat diberikan melalui injeksi IV.
Namun terapi oral harus segera menggantikan injeksi IV bila telah
memungkinkan. Untuk injeksi IV, digoksin harus dilarutkan terlebih
dahulu setidaknya 5 menit atau dilarutkan dengan 4 kali lipat atau lebih
besar dari volume dengan menggunakan air untuk injeksi, dekstrosa
5%, atau NaCl 0,9% dengan lama pemberian sekurang-kurangnya 5
menit. Penyuntikan digoksin dengan volume pengenceran kurang dari
4 kali volume awal dapat menyebabkan presipitasi digoksin. Pelarutan
digoksin harus dilakukan secara perlahan. Infus intravena lambat lebih
direkomendasikan daripada pemberian secara cepat. Infus IV cepat
digoksin dapat menyebabkan penyempitan arteriolar sistemik dan
koroner, yang dapat berakibat fatal, pemberian digoksin ini harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah terlatih. Jika pengukuran
dosis digoksin yang sangat kecil dengan menggunakan jarum suntik
tuberkulin, maka ini akan berpotensi overdosis. Pencampuran digoksin
dengan obat lain dalam satu jarum suntik, atau dengan pemberian
simultan sangat tidak direkomendasikan.
Meskipun digoksin dapat juga diberikan melalui injeksi
intramuskular (IM), namun cara pemberian ini kurang
direkomendasikan karena sering menyebabkan iritasi lokal yang parah
disamping timbulnya rasa nyeri, disamping itu pemberian secara IV
dapat menghasilkan efek yang lebih cepat dan dapat diprediksi.
Pemberian injeksi IM tidak memberikan keuntungan dibanding injeksi
35
IV, kecuali jika injeksi IV dikontraindikasikan. Jika terpaksa obat
harus diberikan melalui injeksi IM, maka obat harus diberikan jauh ke
dalam otot dengan disertai pijatan dari tempat suntikan, dengan volume
penyuntikan tidak boleh lebih dari 2 mL pada satu sisi tempat
penyuntikan. Terapi digoksin oral seyogyanya segera menggantikan
terapi injeksi tersebut.
Dosis
Pertimbangan Umum
Pedoman dosis yang diberikan didasarkan pada respon rata-rata
pasien dan berbagai variabel substansial yang dapat diamati pada
pasien. Penentuan dosis harus didasarkan pada kondisi klinis masing-
masing pasien. Dokter umumnya mendasarkan pemilihan dosis
berdasarkan konsentrasi serum digoksin. Radioimmunoassay dapat
digunakan untuk memantau efek khasiat dan toksisitas dari digoksin.
Digoksin memiliki indeks terapi sempit, sehingga penentuan dosis
harus sangat berhati-hati. Dosis biasa adalah dosis rata-rata yang pada
beberapa pasien memerlukan modifikasi dengan memperhatikan
kebutuhan dan respon tiap individu, kondisi umum, status
kardiovaskular, fungsi ginjal, berat badan dan usia pasien, kondisi
penyakit penyerta, obat-obatan lain, dan faktor-faktor lain yang
mungkin mengubah farmakodinamika dan farmakokinetika digoksin,
dan konsentrasi plasma digoksin. Perbedaan ketersediaan hayati
digoksin pada pemberian oral, IV atau IM harus diperhatikan saat
pasien beralih dari satu rute pemberian ke rute pemberian lainnya.
Tidak ada perbedaan yang berarti pada ketersediaan hayati sediaan oral
digoksin baik yang berbentuk tablet maupun eliksir, kedua bentuk
sediaan tersebut dapat digunakan secara bergantian. Namun saat rute
pemberian digoksin diubah dari oral atau IM ke IV, maka dosis
digoksin harus dikurangi sekitar 20-25%.
36
Pertimbangan Pengurangan Dosis pada Pasien dengan Pemantauan
EKG
Pemantauan fungsi jantung dengan EKG harus dilakukan
selama terapi digoksin pada kondisi:
1. Terapi digoksin diberikan secara intravena
2. Terapi digoksin diberikan secara oral dalam waktu lama
3. Bila terapi digoksin diberikan pada pasien dengan resiko reaksi
negatif terhadap digoksin seperti pada pasien dengan penyakit
jantung atau ginjal yang berat
Dosis glikosida jantung, termasuk digoksin harus dikurangi
pada kelompok pasien-pasien berikut:
1. Pasien dengan hipokalemia
2. Pasien dengan hipotiroid
3. Pasien dengan kerusakan miokard yang luas
4. Pasien dengan gangguan konduksi
5. Pasien geriatri, terutama bila disertai penyakit arteri koroner
6. Dosis digoksin individual harus diberikan pada pasien yang juga
menerima terapi quinidin, karena eliminasi dan volume distribusi
digoksin kemungkinan akan menurun
Dosis bagi Pasien Gagal Jantung Kongestif
Pada kondisi ini digoksin dapat diberikan baik secara
digitalisasi cepat ataupun digitalisasi lambat yang berfrekuensi pada
dosis maupun frekuensi pemberiannya.
1. Digitalisasi cepat (hanya jika diperlukan secara medis), loading
dose digoksin harus diberikan dengan memperhatikan proyeksi
penyimpanan digoksin dalam tubuh. Dosis pemeliharaan harian
harus mengikuti loading dose, dan dihitung sebagai prosentase
37
dari loading dose. Puncak penyimpanan digoksin dalam tubuh
umumnya sebesar 8-12 mcg/Kg BB yang akan memberikan efek
terapi dengan resiko toksisitas mimimum pada pasien dengan
gagal jantung kongestif, irama sinus normal, dan fungsi ginjal
yang normal.
2. Digitalisasi lambat, terapi ini harus dimulai dengan dosis
pemeliharaan harian yang tepat yang memungkinkan penyimpanan
digoksin dalam tubuh secara perlahan. Konsentrasi steady-state
umumnya akan dicapai dalam waktu 5 kali waktu paruh obat pada
setiap pasien tergantung pada kondisi ginjal pasien. Umumnya
memerlukan waktu 1-3 minggu.
Loading Dose (Untuk Digitalisasi Cepat)
Loading dose adalah pemberian obat dalam dosis terbagi
dengan pemberian awal sekitar 50% dari total dosis, dan diikuti dengan
fase pemberian berikutnya sebesar 25% pada interval 6-8 jam setelah
pemberian pertama baik pada pemberian secara oral, IM maupun IV.
Loading dose ini harus disertai dengan pemantauan klinis pasien
terlebih bila dilakukan penambahan dosis. Jika berdasarkan respon
klinisnya pasien memerlukan perubahan dosis, maka dosis
pemeliharaannya dihitung berdasarkan jumlah loading dose yang
sebenarnya, yaitu dosis totalnya. Biasanya dosis inisiasi oral sebesar
500-750 mcg (0,5-0,75 mg) digoksin tablet, atau 400-600 mcg (0,4-0,6
mg) digoksin kapsul cair menghasilkan efek terdeteksi setelah 0,5-2
jam dan terjadi efek maksimal pada waktu 2-6 jam. Dosis tambahan
sekitar 125-375 mcg tablet digoksin atau 100-300 mcg digoksin kapsul
cair bila perlu dapat diberikan secara hati-hati pada 6-8 jam setelah
pemberian dosis inisiasi hingga diperoleh respon klinis yang memadai.
Pasien dengan berat badan 70 Kg umumnya mendapatkan respon klinis
38
yang memadai pada dosis 750-1250 mcg digoksin tablet atau setara
dengan 600-1000 mcg digoksin kapsul cair.
Dosis inisiasi IV umumnya adalah 400-600 mcg (0,4-0,6 mg)
yang segera akan menghasilkan efek terdeteksi setelah 5-30 menit
pemberian dan mencapai efek maksimum setelah 1-4 jam setelah
pemberian pada pasien dewasa. Dosis tambahan 100-300 mcg digoksin
dapat diberikan secara hati-hati setelah 6-8 jam setelah pemberian
dosis inisiasi hingga diperoleh respon klinis yang memadai. Dosis IV
digoksin pada pasien dewasa dengan berat badan 70 Kg adalah sekitar
600-1000 mcg.
Dosis Pemeliharaan
Dosis pemeliharaan harian berfungsi untuk menggantikan
digoksin yang tereliminasi dari tubuh pasien, maka dosis tersebut dapat
diperkirakan dengan mengalikan prosentase eliminasi dengan
penyimpanan tubuh (loading dose) yang menghasilkan respon klinis
memadai. Pasien dengan fungsi ginjal normal umumnya
mengeliminasikan sekitar 30% dosis harian total, sedangkan pasien
anurik umumnya mengeliminasikan sekitar 14% dari total dosis harian
digoksin. Dosis pemeliharaan digoksin pada pasien dewasa umumnya
adalah 125-500 mcg sekali sehari, dosis harus dititrasi sesuai umur,
berat badan, dan fungsi ginjal. Dosis pemeliharaan umumnya dimulai
dengan dosis 250 mcg sekali perhari pada pasien dewasa dengan usia
kurang dari 70 tahun dengan fungsi ginjal normal, dosis dapat
ditingkatkan setiap 2 minggu sesuai dengan respon klinis. Sedangkan
dosis pemeliharaan oral dengan kapsul cair umumnya sebesar 150-350
mcg setiap hari pada pasien dengan bersihan kreatinin lebih dari 50
ml/menit. Dosis pemeliharan digoksin IV biasanya 125-350 mcg sekali
perhari pada pasien dengan bersihan kreatinin 50 ml/menit atau lebih.
39
Dosis pada Pasien Dewasa dengan Fibrilasi Atrial
Penyimpanan digoksin tubuh lebih dari 8-12 mcg/Kg
diperlukan untuk sebagian besar pasien gagal jantung koroner dan
irama sinus normal untuk mengendalikan laju ventrikel pada pasien
dengan fibrilasi atrial. Dalam pengobatan pasien dengan fibrilasi atrial
kronis, dosis digoksin harus dititrasi ke dosis minimum untuk
menghasilkan efek yang diinginkan pada ventrikel.
Dosis Pediatrik
Dosis pada neonatus terutama bayi prematur harus dititrasi
secara sangat berhati-hati karena kemungkinan klirensnya menurun.
Bayi dan anak umur dibawah 10 tahun umumnya secara proporsional
memerlukan dosis yang lebih besar dari anak umur lebih dari 10 tahun
dan orang dewasa yang dihitung berdasarkan berat badan atau luas
permukaan tubuh. Anak usia lebih dari 10 tahun memerlukan dosis
dewasa dengan perhitungan berat badan anak-anak. Kapsul cair tidak
direkomendasikan penggunaannya pada neonatus dan anak-anak.
Dosis pemeliharaan pada anak usia 2-5 tahun dengan fungsi ginjal
normal adalah 10-15 mcg/Kg BB, anak usia 5-10 tahun dengan fungsi
ginjal normal adalah 7-10 mcg/Kg BB, sedangkan anak usia lebih dari
10 tahun dengan fungsi ginjal normal adalah 3-5 mcg/Kg BB. Dosis
digitalisasi IV umumnya adalah 80% dari dosis tablet atau eliksir.
Dosis Geriatrik
Pada pasien geriatrik dosis harus dikurangi terlebih bila pasien
menderita penyakit jantung koroner. Usia lanjut dapat menjadi
indikator adanya penurunan fungsi ginjal. Dosis pemeliharaan pada
pasien dengan usia lebih dari 70 tahun umumnya dimulai dengan dosis
125 mcg sekali sehari peroral (daam bnetuk tablet).
Dosis pada Pasien dengan Penurunan Fungsi Hati
40
Tak ada penyesuaian dosis untuk pasiendengan penurunan
fungsi hati.
Dosis pada Pasien dengan Penurunan Fungsi Ginjal
Dosis digoksin pada pasien dengan insufisiensi ginjal (bersihan
kreatinin kurang dari 10 ml/menit, maka penyesuaian dosis ditentukan
berdasarkan konsentrasi puncak penyimpanan digoksin dalam tubuh
(6-10 mcg/Kg BB) karena penurunan fungsi ginjal ini akan
mempengaruhi pola distribusi dan eliminasi digoksin.
Dosis pemeliharaan digoksin pada pasien dewasa dengan
gangguan fungsi ginjal dapat dimulai dengan 125 mcg sekali sehari
(tablet) atau 62,5 mcg pada pasien yang ditandai mengalami kerusakan
ginjal, dosis dapat ditingkatkan setiap 2 minggu sesuai dengan respon
klinis.
4.7. Kontraindikasi
Intermittent complete heart block ; Blok AV derajat II ;
supraventricular arrhytmias yang disebabkan oleh Wolff-Parkinson-
White Syndrome ; takikardia ventricular atau fibrilasi ; hypertropic
obstructive cardiomyopathy.
4.8. Efek Samping
Biasanya berhubungan dengan dosis yang berlebih, termasuk :
anoreksia, mual , muntah, diare, nyeri abdomen, gangguan penglihatan,
sakit kepala, rasa capek, mengantuk , bingung, delirium, halusinasi,
depresi ; aritmia, heart block ; jarang terjadi rash, isckemia intestinal ;
gynecomastia pada penggunaan jangka panjang , trombositopenia.
4.9. Interaksi dengan Obat lain
41
Efek Cytochrome P450: substrat CYP3A4 (minor):
Meningkatkan efek/toksisitas : senyawa beta-blocking (propanolol),
verapamil dan diltiazem mempunyai efek aditif pada denyut jantung.
Karvedilol mempunyai efek tambahan pada denyut jantung dan
menghambat metabolisme digoksin. Kadar digoksin ditingkatkan oleh
amiodaron (dosis digoksin diturunkan 50 %), bepridil, siklosporin,
diltiazem, indometasin, itrakonazol, beberapa makrolida (eritromisin,
klaritromisin), metimazol, nitrendipin, propafenon, propiltiourasil,
kuinidin dosis digoksin diturunkan 33 % hingga 50 % pada
pengobatan awal), tetrasiklin dan verapamil. Moricizine dapat
meningkatkan toksisitas digoksin . Spironolakton dapat mempengaruhi
pemeriksaan digoksin, namun juga dapat meningkatkan kadar digoksin
secara langsung. Pemberian suksinilkolin pada pasien bersamaan
dengan digoksin dihubungkan dengan peningkatan risiko aritmia.
Jarang terjadi kasus toksisitas akut digoksin yang berhubungan dengan
pemberian kalsium secara parenteral (bolus). Obat-obat berikut
dihubungkan dengan peningkatan kadar darah digoksin yang
menunjukkan signifikansi klinik : famciclovir, flecainid, ibuprofen,
fluoxetin, nefazodone, simetidein, famotidin, ranitidin, omeprazoe,
trimethoprim.
Menurunkan efek : Amilorid dan spironolakton dapat
menurunkan respon inotropik digoksin. Kolestiramin, kolestipol,
kaolin-pektin, dan metoklopramid dapat menurunkan absorpsi
digoksin. Levothyroxine (dan suplemen tiroid yang lain) dapat
menurunkan kadar digoksin dalam darah. Penicillamine dihubungkan
dengan penurunan kadar digoksin dalam darah.
4.10. Sediaan Digoksin
42
Digoksin tersedia dalam bentuk tablet, eliksir, kapsul cair, dan injeksi.
Contoh sediaan injeksi digoksin
Contoh sediaan tablet digoksin
Contoh sediaan eliksir drop digoksin untuk anak-anak dan bayi
43
Contoh sediaan eliksir digoksin
Contoh sediaan kapsul lunak digoksin
ANALISA OBAT
1. Furosemide mg 40 setiap hari di pagi hari
Sangat mungkin bahwa furosemid sedang diberikan kepada Mrs A
sebagai terapi diuretik untuk mengobati retensi cairan yang biasanya terkait
dengan Gagal Jantung kongestif. Dosis Mrs A dari 40 mg setiap hari di pagi
hari adalah dosis awal standar namun harus disesuaikan dengan respon. Dosis
pagi sudah benar diimplementasikan untuk mengurangi sulit tidur dan
44
mengurangi gangguan lambung.Furosemide bisa meningkatkan sensitivitas
Mrs A ke digoxin. Selain itu, diet kalium tinggi dapat membantu mengurangi
kerugian kalium dan risiko hipokalemia sementara menghilangkan kebutuhan
untuk suplemen kalium.
2. Digoxin 250 mikrogram sehari
Digoxin digunakan untuk mengobati CHF. Dosis 250 mikrogram
setiap hari jauh melebihi dosis pemeliharaan rutin untuk pasien usia seperti
kasus tersebut. Dengan demikian Mrs A menderita toksisitas digoxin yang
dapat diperparah dengan pemberian furosemid. Gejala Mrs A kebingungan,
lekas marah kelelahan, dan gangguan visual merupakan gejala keracunan
digoxin. Mylanta (yang juga digunakan) dapat menekan efektivitas digoxin
namun dalam kasus ini dosis digoxin begitu tinggi sehingga Mylanta akan
memiliki dampak minimal.
Dosis digoxin Mrs A harus disesuaikan dengan kondisi klinis dan
kadar serum nya dipantau. Digoxin harus diambil dengan makanan untuk
mengurangi efek iritasi lambung yang dapat menyertai pengobatan
3. Parasetamol 500 mg, 1-2 tablet 4-jam jika nyeri sendi
Parasetamol diberikan kepada Mrs A untuk mengobati rasa sakit yang
terkait dengan osteoarthritis.Dosis yang diambil relatif tinggi. Parasetamol
tidak bereaksi negatif dengan obat lain yang diambil oleh Mrs A, namun dosis
nya harus dipantau dan disesuaikan menurut kebutuhan.
4. Mylanta suspension, 20 ml prn
Mylanta yang mungkin digunakan untuk meningkatkan sensitivitas
furosemide dan penurunan penyerapan pada digoxin.
45
KESIMPULAN ANALISA KASUS
Berdasarkan analisa obat yang telah dijabarkan, terjadi masalah
penggunaan dosis yang tidak pantas. Mrs A menerima dosis berlebihan dalam
penggunaan digoxin. Hal ini menyebabkan gejala keracunan digoxin yang
terjadi pada Mrs. A. Dengan demikian Mrs A menderita toksisitas digoxin
yang dapat diperparah dengan pemberian furosemid. Gejala Mrs A
kebingungan, lekas marah kelelahan, dan gangguan visual merupakan gejala
keracunan digoxin. Mylanta (yang juga digunakan) dapat menekan efektivitas
46
digoxin namun dalam kasus ini dosis digoxin begitu tinggi sehingga Mylanta
akan memiliki dampak minimal
DAFTAR PUSTAKA
1. Gailbraith, A, Bullock, S & Manias, E, Ed 2001, Fundamentals of
Pharmacology. A textbook for nurses and allied health professionals.
Australia: Addison-Wesley.
2. Estuningtyas, Ari dan Azalia Arif.2009. “Obat Lokal” dalam
Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal : 518-522.
3. Setiawati, Arini dan Nafrialdi. 2009. “Obat Gagal Jantung” dalam
Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal : 309-310.
47
4. Wilmana, P. Freddy dan Sulistia Gan.2009. “Analgesik-Antipireutik,
Analgesi-Anti inflamasi non steroid, dan Obat Gangguan Sendi
Lainnya” dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal :
237-239.
5. Setiawati, Arini dan Nafrialdi. 2009. “Obat Gagal Jantung” dalam
Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal : 305-306.
48