kemampuan profesional guru
TRANSCRIPT
-
7/31/2019 Kemampuan Profesional Guru
1/13
Kemampuan Profesional Guru
I. Pendahuluan
Komisi Internasional UNESCO untuk pendidikan memasuki abad ke-21 menyatakan bahwa
berbeda dengan periode sebelumnya, dalam memasuki abad ke-21 ini guru memiliki peranan
yang sangat strategis karena diharapkan dapat ikut membentuk karakter dan kecerdasangenerasi muda atau dalam bahasa aslinya moulding character and minds of young
generation[1]
Karena itu dalam menyoroti upaya perlindungan terhadap profesi guru, terlebih dahulu akan
menganalisis masalah kemampuan profesional guru, dan upaya peningkatan mutu pendidikan
nasional.
Pada tahun 1982 dalam diskusi kependidikan Konsorsium Ilmu Pendidikan di Malang, saya
menyajikan makalah dengan judul Kemampuan Profesional Tenaga Kependidikan
(Terutama Guru) dan Implikasinya dalam Penyusunan Kurikulum LPTK. Tulisan itu
didasarkan atas pengalaman ketidakberhasilan penulis, sebagai Kepala Pusat PengembanganKurikulum Depdikbud (19741981), dalam menerapkan pendekatan Program
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) dalam rangka pelaksanaan kurikulum 1975, yang
dalam analisis penulis berangkat dari terlalu tingginya harapan terhadap guru untuk
melaksanakan tugas yang seharusnya dilakukan oleh tenaga profesional. Kini (dua puluh tiga
tahun kemudian) kita masih dihadapkan kepada tuntutan agar guru kita dari Pra- Sekolah
sampai SLTA memiliki kemampuan profesional agar mampu melaksanakan pendekatan baru
dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang
selanjutnya diterapkan dalam wujud KTSP. Baik penerapan pendekatan PPSI maupun KBK
keduanya bertujuan agar pendidikan kita tambah relevan dan bermutu sesuai dengan tuntutan
perkembangan masyarakat. Karena itu memenuhi harapan panitia, penulis menyajikan
makalah Kemampuan Profesional Guru yang sesuai dengan Upaya Meningkatkan Relevansi
dan Mutu Pendidikan Nasional.
Dalam menyoroti topik tersebut makalah ini secara berturut-turut akan membahas : (1) Guru
sebagai Jabatan Profesional dan Mengapa Guru di abad ke-21 ini Harus Bertaraf Profesional
?; (2) Program Pengadaan Guru (Pendidik) dan Tenaga Kependidikan ; (3) Peran Guru dalam
Peningkatan Mutu Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar; (4) Jaminan
kesejahteraan dan Perlindungan bagi Guru sebagai Pendidik Profesional.
II. Mengapa Guru di Abad ke-21 Harus Profesional ?
Kalau kita menjejaki sejarah pendidikan Indonesia, kita akan mendapatkan pengetahuanbahwa kualifikasi guru yang mengajar di SD, SLTP, dan SLTA pada jaman penjajahan, dan
jaman Indonesia merdeka sampai dengan tahun terakhir dekade 1950-an dan permulaan
dekade 1960-an jauh dibawah kualifikasi guru pada saat ini. Pada jaman penjajahan Belanda
pendidikan guru SD 3 yang lamanya 7 tahun) adalah HIK (6 tahun setelah HIS) dan untuk
SMP (MULO) adalah HooftAkte (Kursus seperti PGSLP). Praktek ini berlanjut setelah
Indonesia merdeka. Sampai dengan tahun 1957 pendidikan guru SD adalah Sekolah Guru B
(SGB4 tahun setelah SD), guru SMP adalah SGA (6 tahun setelah SD atau 3 tahun setelah
SMP/SGB kelas III), dan guru SLTA adalah B I (2 tahun setelah SMA). Setelah tahun 1957
guru SD haruslah lulusan SGA. Pada saat itu Perguruan Tinggi
Pendidikan Guru (PTPG) belum menghasilkan lulusannya.
http://www.ispi.or.id/2010/07/31/kemampuan-profesional-guru/http://www.ispi.or.id/2010/07/31/kemampuan-profesional-guru/http://www.ispi.or.id/2010/07/31/kemampuan-profesional-guru/ -
7/31/2019 Kemampuan Profesional Guru
2/13
Kini terutama sejak tahun 1989 kualifikasi minimum untuk mengisi jabatan guru ditingkatkan
yaitu untuk guru SD adalah Diploma II Kependidikan (2 tahun pasca SLTA), untuk guru
SLTP adalah D3 kependidikan (3 tahun pasca SLTA), dan untuk guru SLTA adalah S1
kependidikan dan S1 dengan Akta Mengajar (Akta IV). Pertanyaannya mengapa pada masa
penjajahan dan permulaan kemerdekaan, guru dengan kualifikasi pendidikan yang jauh lebih
rendah dari kualifikasi pendidikan guru pada saat ini dipandang telah berhasil menghasilkanlulusan yang bermutu sedangkan sekarang dengan kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi
banyak dipersoalkan mutu dari pendidikan yang dihasilkan.
Memang tidak proporsional membandingkan mutu pendidikan pada tahun 1950-an dengan
mutu pendidikan pada tahun 1989 keatas. Karena jumlah peserta didik pada dua periode
tersebut perbedaannya berlipat. Murid SD pada tahun 1955 sebanyak 7.113.456 orang, tahun
1989/1990 19.296.714. Siswa SLTP pada tahun 1955 berjumlah 197.189 orang, pada tahun
1989/1990 jumlah siswa SLTP 13.672.438; siswa SLTA pada tahun 1955 berjumlah 103.267
orang, sedangkan pada tahun 1989/1990 berjumlah 4.338.386 orang. Disamping itu sekolah
pada waktu itu pendidikan mengutamakan fungsi memilih dan memilah daripada
mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Karena itu banyak SD yang hanyaberhasil meluluskan murid kelas VI-nya sekitar 10 % demikian juga SLTP dan SMA.
Sedangkan pada tahun 1980-an pada saat telah dicanangkan wajib belajar pendidikan dasar 6
tahun dan dirancang wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun fungsi sekolah seyogyanya tidak
hanya menseleksi melainkan dan terutama adalah mengembangkan kemampuan peserta
didik. Karena itu tidak dapat diterima kalau banyak murid SD dan SMP yang dinyatakan
tidak lulus, karena sekolah harus menyediakan tempat bagi anak-anak baru yang jumlahnya
berlipat dan harus ditampung. Disinilah letak masalahnya. Peranan guru pada saat melayani
jumlah murid yang jumlahnya sedikit dan peranan sekolah yang terutama adalah memilah
dan memilih, tidak dapat disamakan dengan peranan guru, pada saat tugasnya adalah
mengembangkan potensi peserta didik yang heterogen latar belakangnya, baik kemampuan
dasar, sosial, ekonomi, dan budaya. Dan kenyataan baru inilah yang menjadikan jabatan guru
dituntut menjadi jabatan profesional.
Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jerman, yang menjadikan sekolah
sebagai lembaga untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal dan
mengarahkannya sesuai dengan kemampuan dasar, bakat dan minatnya telah lama
menjadikan jabatan guru sebagai jabatan profesional yang pendidikannya setara dengan
pendidikan jabatan profesional lainnya, yaitu dokter dan pengacara.
Mengapa pendidikan yang menjadi massal Education for All diabad ke-21 diperlukan guru
yang profesional? Untuk menjawab pertanyaan ini berikut akan dianalisis karakteristikpendidikan yang bersifat massal di era globalisasi.
Diabad ke-21 ini tidak ada negara didunia ini yang tidak menerapkan wajib belajar, hanya
satu negara berbeda dari negara lainnya berbeda dalam penetapan lamanya wajib belajar. Ada
negara yang menerapkan wajib belajar 12 tahun; seperti Amerika Serikat, ada negara yang
menerapkan wajib belajar 10 tahun seperti Inggris dan Jerman, dan ada negara yang
menarapkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun seperti Indonesia, disamping masih ada
negara negara di Afrika dan Asia Selatan yang menerapkan wajib belajar pendidikan dasar 6
tahun.
Penerapan wajib belajar ini yang berarti bahwa semua anak dengan perbedaan latar belakangbaik kemampuan dasar kognitif, latar belakang sosial ekonomi dan minat serta bakat harus
-
7/31/2019 Kemampuan Profesional Guru
3/13
memperoleh pendidikan yang bermutu dan dilayani serta dapat berkembang sesuai dengan
kemampuan, minat dan bakatnya.
Dalam pada itu diera globalisasi ini ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan sumber
bahan untuk dipelajari berkembang demikian cepat. Dalam kondisi yang demikian tuntutan
terhadap kualitas manusia terdidik baik kemampuan intelektual, kemampuan vokasional danrasa tanggung jawab kemasyarakatan, kemanusiaan dan kebangsaan juga meningkat sesuai
dengan perkembangan masyarakat yang terus berubah dan meningkat tuntutannya kepada
para warganya.
Heterogenitas peserta didik dalam berbagai dimensi (intelektual, kultural, dan ekonomi),
terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sumber obyek belajar, terus
berubahnya masyarakat dengan tuntutannya merupakan faktor yang menjadikan guru harus
profesional. Karena itu peranan guru tidak lagi hanya memberikan pelajaran dengan ceramah
atau mendikte tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan, bakat dan minat peserta didik.
Guru juga tidak dapat lagi menggunakan bahan pelajaran yang sudah ketinggalan jaman.
Guru juga tidak dapat lagi hanya membantu peserta didik untuk dapat menjawab pertanyaanyang siftanya hafalan. Guru dalam era globalisasi perlu mampu merancang, memilih bahan
pelajaran dan strategi pembelajaran (dalam bahasa KBK dan KTSP Sylabus) yang sesuai
dengan anak dengan latar belakang yang berbeda, serta mengelola proses pembelajaran
secara taktis dan menyenangkan, mampu memilih media belajar dan merancang program
evaluasi yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang berorientasi kepada penguasaan
kompetensi.
Untuk itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan pendidikan guru yang berderajat
profesional. Dikatakan berderajat karena dalam setiap jabatan profesional dikenal hierarki
profesional yaitu : profesional, semi profesional, teknisi, juru, dan tukang. Kalau dalam dunia
kedokteran kita mengenal : tenaga dokter (profesional), para medik, yang lulusan Akademi
sebagai semi profesional, yang lulusan SLTA sebagai teknisi (perawat) dan juru rawat. Di
Amerika Serikat, guru, baik guru SD, guru SMP maupun SMA harus berpendidikan S1
ditambah satu sampai dua tahun kuliah dan latihan keguruan untuk mendapat sertifikat guru.
Di Jerman, untuk guru SD, harus berpendidikan PAEDAGOGISCHE HOCHSCHULE4
tahun setelah SMA, untuk guru (Gymnasium) dituntut pendidikan pada Fakultas Ilmu
Pendidikan pada Universitas yang meliputi 6 semester untuk penguasaan ilmu pengetahuan
sebagai sumber bahan ajar dan 2 semester paedagogik. Kesemuanya baik guru SD, SMP
maupun SMA setelah lulus pendidikan di Perguruan Tinggi/Universitas tidak otomatis
berwenang sebagai guru (certified teacher) melainkan harus melalui tahap magang selama 18
bulan dan diakhiri dengan ujian kewenangan mengajar sebelum dapat memperoleh tandasebagai guru yang berwenang.
Terilhami oleh praktek pendidikan calon guru didua negara tersebut, dan pengalaman
menerapkan berbagai inovasi pendidikan dalam periode 19741981, penulis pada tahun
1982 sampai kepada kesimpulan perlunya peningkatan jabatan guru sebagai jabatan
profesional, suatu jabatan yang memerlukan pendidikan lanjut dan latihan khusus, yaitu S1
plus sebagai yang saya tulis dalam artikel yang diterbitkan pada tahun 1989.
Penerapan KBK hakekatnya sama dengan penerapan kurikulum berorientasi tujuan yang
diterapkan melalui kurikulum 1975, yang menuntut guru menyusun Satuan Pelajaran. Dalam
pelaksanaan KBK guru dituntut menyusun Sylabus. Untuk dapat melakukan tugas tersebut
dituntut kemampuan yang didukung oleh penguasaan ilmu pengetahuan sebagai sumberbelajar dan sebagai ways of learning, mengenal peserta didik dengan karakteristiknya
-
7/31/2019 Kemampuan Profesional Guru
4/13
(kemampuan dasar, minat, bakat, dan pola belajarnya), memahami kompetensi yang harus
dikuasai peserta didik pada akhir jenjang pendidikan, pada akhir semester, dan pada akhir
setiap penggalan belajar, karena tanpa menguasai berbagai pengetahuan dasar tentang ilmu
pengetahuan, tentang peserta didik, tentang masyarakat dan budaya tempat sekolah
beroperasi, teori belajar, berbagai model belajar, dan berbagai model evaluasi, sukar
diharapkan guru akan dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan barupenyelenggaraan pendidikan nasional yang terus berubah, seperti penerapan KBK. Di dunia
kedokteran, sebagai salah satu bidang profesi yang telah lama mapan, para dokter tidak
mengenal penataran hanya karena adanya cara baru dalam pengobatan. Tidak lain karena
sebagai tenaga profesional mereka telah benar-benar siap dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk terus mengembangkan kemampuan profesionalnya sesuai dengan tuntutan
dunia profesi kedokteran yang terus berubah.
Dibandingkan dengan dunia kedokteran, dunia keguruan, terutama di Indonesia masih jauh
tertinggal. Karena itu tepat sekali kalau berbagai pihak melakukan upaya meningkatkan
profesionalisme guru untuk memenuhi tuntutan kurikulum berbasis kompetensi. Karena
bagaimanapun juga pelaksanaan KBK menuntut guru yang profesional, sedang tingkatkemampuan profesional guru kita masih beragam. Karena itu lahirnya UU No. 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen merupakan langkah yang sangat strategis.
III. Program Pengadaan Guru (Pendidik) dan Tenaga KependidikanDalam bagian terdahulu secara jelas kita memperoleh pengetahuan bahwa guru sebagai
jabatan profesional, untuk guru yang memiliki kemampuan profesional penuh perlu
memperoleh pendidikan S1 plus atau dalam tulisan saya yang diterbitkan tahun 1989 perlu
berpendidikan S2, tetapi bukan S2 akademik seperti yang sekarang kita kenal tetapi S2
profesional yang mengutamakan kemampuan mengembangkan, melaksanakan, menilai,
mengorganisir, dan memperbaharui program belajar mengajar atau dalam bahasa UU No. 14
Tahun 2005 S1+ dan D4+. Guru dengan tingkat kemampuan profesional yang demikian akan
selalu mampu mengembangkan dirinya untuk memenuhi tuntutan baru pembaharuan
pendidikan seperti penerapan KBK. Tetapi kenyataan yang kita hadapi bukanlah demikian
sebelum lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen : kualifikasi guru SD kita
secara resmi yang tertinggi berpendidikan D II, walaupun ada yang S1 dan S2, tetapi S1 dan
S2-nya kebanyakan akademik bukan profesional disamping masih ada yang belum
berpendidikan D II; guru SLTP kita secara resmi disyaratkan D III, walaupun ada yang belum
mencapai itu dan ada yang sudah berpendidikan S1, S2, bahkan mengikuti program S3.
Tetapi umumnya tidak selalu relevan dengan tugas profesionalnya sebagai guru. Demikian
juga dengan guru SLTA secara resmi kualifikasi guru SLTA adalah S1, tetapi masih ada yang
belum S1, disamping ada yang telah memiliki gelar S2, bahkan mungkin ada yang sedangmengikuti program Doktor (terutama dikota-kota besar), walaupun umumnya pendidikan
lanjutannya tidak selalu terkait dengan tugas profesionalnya sebagai guru. Misalnya guru
kimia SMA, seharusnya memiliki S1 pendidikan kimia, dan S2 pendidikan Kimia, tetapi
banyak yang S2-nya bukan pendidikan kimia atau S2 ilmu kimia.
Berangkat dari heterogennya kualifikasi pendidikan dan kemampuan profesional guru dalam
upaya meningkatkan kemampuan profesional guru, yaitu : (1) merancang program
pembelajaran termasuk menyusun sylabus, (2) melaksanakan, memimpin, mengelola, dan
menilai program pembelajaran; (3) mendiagnosis masalah dan hambatan yang dihadapi oleh
peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran dan menguasai kompetensi yang
ditetapkan ; dan (4) menyusun dan merancang berbagai pilihan yang harus dikembangkanuntuk membantu mereka, tidaklah mudah. Kiranya perlu diketahui bahwa keempat gugus
-
7/31/2019 Kemampuan Profesional Guru
5/13
kemampuan profesional penguasaannya perlu ditunjang oleh pernguasaan berbagai
pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan : (1) karakteristik peserta didik; (2) ilmu
pengetahun sebagai obyek belajar dan ways of learning atau mode of inquiry; (3) hakekat
tujuan pendidikan dan kompetensi yang harus dicapai dan dikuasai peserta didik; (4) teori
belajar umum dan khusus; (5) model-model pembelajaran sesuai dengan bidang studi; (6)
teknologi pendidikan; dan (7) sistem dan teknik evaluasi. Ketujuh gugus pengetahuan inidalam bahasa UU No. 14 Tahun 2005 dikategorikan dalam gugus : (1) kompetensi
paedagogik; (2) kompetensi kepribadian; (3) kompetensi sosial; dan (4) kompetensi
profesional.
Tujuh gugus pengetahuan dan teknologi tersebut ditambah dengan pengetahuan dan
pemahaman tentang filsafat pendidikan, dasar negara Pancasila, UUD Negara RI 1945,
sejarah nasional bangsa dan sistem pendidikan nasional, merupakan pengetahuan yang
seharusnya dimiliki guru Indonesia yang berderajat profesional. Dengan guru yang
pengetahuan dan kemampuan profesionalnya demikian, pembaharuan pendidikan apapun
yang dilakukan seperti KBK, tidak akan dipandang sebagai masalah. Karena guru dengan
derajat profesional yang demikian akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan tuntutantugas.
Atas dasar pemahaman saya tentang pengetahuan dan kemampuan profesional guru yang
demikianlah yang menjadikan penulis mengusulkan kurikulum bagi pendidikan prajabatan
guru seperti yang tertulis dalam makalah yang telah saya sebut pada pembukaan tulisan ini.
Masalah yang harus dibahas selanjutnya adalah bagaimana kita merancang program
pendidikan yang dapat menghasilkan pendidik (guru) dan tenaga kependidikan yang
profesional ?
Sebelum memasuki jawaban atas pertanyaan Bagaimana kita merancang program
pendidikan yang dapat menghasilkan guru (pendidik) dan tenaga kependidikan yang
profesional ?, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan pandangan saya bahwa tenaga
kependidikan, baik tenaga konselor, administrasi pendidikan, teknologi pendidikan, ahli
kurikulum, dan tenaga kependidikan lainnya seyogyanya berbasis guru profesional. Karena
yang akan dikelola, yang akan dibimbing adalah peserta didik dalam situasi kependidikan
yang memerlukan pengetahuan dasar dan pengetahun serta kemampuan profesional seorang
guru. Inilah pendirian profesional penulis yang telah penulis ajukan sejak tahun 1982 yang
lalu, yang perlu kita bahas secara profesional pula.
Dalam merancang program pengadaan guru dan tenaga kependidikan lainnya yangprofesional yang perlu menguasai delapan gugus pengetahuan dasar akademik profesional
dan lima kemampuan profesional, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
(1) bagaimana memilih calon mahasiswa untuk menjadi guru dan tenaga kependidikan
lainnya yang profesional ?
(2) bagaimana kurikulum kita rancang dan laksanakan yang relevan ?
(3) siapa yang dapat menjadi dosen dan apa peranan dosen ?
(4) model pembelajaran manakah yang relavan ?
(5) sistem evaluasi yang bagaimana yang perlu diterapkan ?
(6) praktek profesional yang bagaimanakah yang perlu dialami oleh calon guru ?
(7) fasilitas kependidikan seperti apa yang perlu disediakan ?
-
7/31/2019 Kemampuan Profesional Guru
6/13
Selanjutnya akan dicoba satu persatu dianalisis ketujuh pertanyaan/masalah yang telah
diidentifikasikan.
1. Bagaimanakah Kita Memilih Calon Mahasiswa yang Secara Potensial dapat Disiapkan
untuk Menjadi Guru sebagai Jabatan Profesional
Sebagai pelajar pendidikan saya tidak pernah terkejut mebaca laporan studi tentang tingkatpenguasaan guru, baik SD, SMP, maupun SLTA yang sangat rendah terhadap materi
pelajaran yang harus dijadikan obyek belajar peserta didik. Tidak lain karena pendidikan pra
jabatan guru akhir-akhir ini sangat sukar untuk memperoleh calon mahasiswa dari lulusan
SMA yang terbaik. Pada umumnya mereka yang masuk LPTK adalah mereka yang tidak
dapat masuk Fakultas Kedokteran, Fakultas Teknik, Fakultas Ekonomi, bahkan Fakultas yang
lain. Padahal pada akhir tahun 1950-an dan permulaan tahun 1960-an di Amerika Serikat oleh
J.B. Conant diusulkan bahwa yang dapat diterima menjadi calon guru adalah mereka yang
tergolong kelompok 20 % teratas lulusan High School, yaitu mereka yang selama High
School mengambil Kalkulus, Trigonometri, Fisika, dan Bahasa Asing. Di Jerman hanya
mereka yang telah melalui Gymnasium (pendidikan 13 tahun) yang dapat memasuki
PAEDAGOGISCHE HOCHSCHULE (calon guru SD dan HAUPTH SCHULE) dan FakultasPaedagogik (untuk guru Gymnasium). Ini berarti bahwa calon guru adalah mereka yang
termasuk kelompok 20 % teratas dari kelompok umurnya.
Kualitas para calon mahasiswa untuk pendidikan prajabatan guru yang selama ini; disatu
pihak hampir tidak dapat memilih lulusan SMA yang terbaik, dan dilain pihak proses
pembelajarannya yaitu 4 (empat) semester untuk D II, 6 (enam) semester untuk D III, dan 8
(delapan) semester untuk S1, tidak ada bedanya dengan program untuk lulusan SMA yang
terbaik, tanpa program matrikulasi bagi mereka yang penguasaan pelajaran SMA-nya pas-
pasan. Diantara mereka sedikit yang tidak lulus. Hal ini menjadikan saya tidak heran bahwa
penguasaan guru pada umumnya terhadap materi ajar rendah. Akibatnya sangat parah, mutu
pendidikan makin menurun. Dan ini kurang disadari pengaruhnya pada pembangunan negara
bangsa. Padahal negara semaju Amerika Serikat dalam menghadapi persaingan global tidak
pernah melupakan pentingnya pendidikan.
Untuk itu beberapa pernyataan Gubernur beberapa negara bagian di Amerika Serikat akan
dikutipkan berikut ini :
1) As a nation, and as a state, we are engaged in protracted economic war of attrition that
will not be won with bombers but with blackboardA war that will not be won or lost in the
battlefield but in the classroom (Gov. Richard D Lamm, Colorado)
2) Education is the fuel that drives the engine of economic growth and job creation in
Americas modern society (Gov. Rudy Perpich, Minnesota)3) If the state is going to be serious about industrial recruitment, legislatures and citizens
must become serious about improving the quality of our educational system (Gov. Toney
Anaya, New Mexico)
4) I believe that in a global economy, Ohios ability to overtake our competition is directly
linked to the level of our investment in education
Excellent schooling requires excellent teachers and principals. Excellent people have
self-confidence and self-esteem and expect reasonable otonomy. Therefore, if we want
excellent schools, we must give more power to the teachers and principals
Kelima kutipan ini diambil dari A NATION PREPARED : Teachers for the 21st Century* .
Dalam laporan ini untuk menghadapi abad ke 21, memasuki pendidikan guru disyaratkan
-
7/31/2019 Kemampuan Profesional Guru
7/13
-
7/31/2019 Kemampuan Profesional Guru
8/13
Mereka yang telah lulus program pendidikan guru profesional inilah yang selanjutnya dapat
mengikuti pendidikan pasca sarjana untuk menjadi tenaga kependidikan seperti : bimbingan
dan konseling, ahli kurikulum, ahli administrasi pendidikan dan ahli teknologi pendidikan.
Dengan demikian tenaga kependidikan yang profesional, dalam pandangan saya, hendaknya
adalah mereka yang telah mengikuti pendidikan guru profesional dan/atau telah juga
berpengalaman sebagai guru profesional, sehingga dapat berperanan memberikan bantuanprofesional kepada guru untuk terus memperbaiki mutu pendidikan.
Dengan kata lain, sebagai pelajar pendidikan penulis berpendapat bahwa tenaga kependidikan
yang profesional adalah mereka yang telah memiliki kualifikasi sebagai guru profesional dan
melanjutkan studi pasca sarjana atau spesialisasi dibidang-bidang yang telah disebut diatas.
Ini sejajar dengan dunia profesi lainnya seperti dokter.
3. Siapa yang Berhak Menjadi Pengajar dan Apa Peranan Pengajar ?
Kalau untuk menjadi guru, baik SD, SMP, maupun SLTA yang sampai sekarang ditetapkan
berkualifikasi minimum D II untuk SD, D III untuk SLTP, dan S1 untuk SLTA, dan dalam
pemikiran ini semuanya harus berderajat profesional yaitu minimum S1 (sekarang sudahmerupakan ketentuan dalam UU No, 14 Tahun 2005), sudah sepantasnyalah kalau untuk
menjadi pengajar calon guru profesional adalah minimum S2 dengan judisium minimal
BAIK atau IPK B+. Dibandingkan dengan persyaratan tenaga pengajar, terutama pada jalur
profesorship (Assistant Profesor, Associate Profesor, dan Profesor) di Amerika Serikat yaitu
Ph. D. dengan judisium minimum sangat memuaskan dan mengalami masa percobaan selama
dua tahun, persyaratan minimum S2 dengan IPK minimum B+, kiranya tuntutan minimum S2
bagi dosen merupakan, seperti yang telah ditetapkan dalam UU No. 14 Tahun 2005, suatu
kebijaksanaan yang perlu segera direalisasikan.
Karena gugus mata kuliah pengetahuan dasar akademik profesional meliputi : (1) ilmu
pengetahuan sebagai sumber obyek belajar dan ways of knowing; (2) filsafat dan teori
pendidikan termasuk filsafat dan teori kurikulum; (3) karakteristik peserta didik; (4)
teknologi pendidikan; (5) teori belajar dan model pembelajaran; (6) sistem evaluasi dan
teknik evaluasi; dan (7) sejarah dan sistem sosial budaya Negara Bangsa Indonesia; program
pendidikan guru profesional memerlukan para pengajar yang sekaligus berkualifikasi peneliti
dari bidang ilmu pengetahuan : (1) ilmu-ilmu dasar science, mathematics, engineering
science, social sciences/sociology, economy, politics, anthropology, dan bahasa, baik sebagai
ilmu murni maupun ilmu kependidikan bidang-bidang ilmu tersebut; (2) ilmu pendidikan,
yang meliputi filsafat pendidikan, teori kurikulum, teknologi pendidikan, sistem dan teknik
evaluasi; dan (3) psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan, termasuk didalamnya
ahli teori belajar; memerlukan tenaga pengajar dengan kualifikasi yang memadai.
Peranan para dosen dari setiap bidang ilmu pengetahuan tersebut adalah membimbing dan
mendorong para mahasiswa untuk menguasai dan memahami setiap mata kuliah yang
menjadi tanggung jawabnya melalui proses pembelajaran yang menerapkan empat pilar
belajar yaitu : (1) learning to know;( 2)learning to do; (3) learning to live together; dan (4)
learning to be, yang didukung dengan sistem evaluasi sebagai bagian dari proses pendidikan
yang dilakukan secara terus menerus, komprehensif, dan obyektif sesuai dengan hakekat ilmu
pengetahuan yang dipelajari dan pendekatan empat pilar belajar yang ditempuh.
Sedangkan para pengajar pada tahapan kedua yaitu pendidikan dan praktek profesional
diperlukan dosen yang tidak hanya menguasai bidang ilmu yang menjadi tanggung jawabnyamelainkan juga mempunyai kepiawaian dalam mengelola proses pembelajaran. Untuk itu
-
7/31/2019 Kemampuan Profesional Guru
9/13
tenaga yang berpengalaman dalam proses pembelajaran diperlukan. Dalam kaitan ini
diangkatnya para guru senior yang berpengalaman mengajar menjadi staf pengajar pada
tahapan ini sangat diperlukan.
4. Model Pembelajaran yang Perlu Diterapkan
Untuk tahap pendidikan untuk menguasai pengetahuan dasar akademik profesionalpendekatan belajarnya seperti telah disinggung adalah pendekatan empat pilar belajar yaitu
learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be.
Melalui pendekatan ini diharapkan para mahasiswa calon guru akan dapat menguasai ilmu
pengetahuan sebagai ways of knowing (mode of inquiry) dan penerapannya sehingga dapat
diharapkan tumbuhnya minat yang makin mendalam tentang ilmu pengetahuan tersebut dan
selanjutnya dapat menimbulkan rasa percaya diri.
Sedangkan untuk tahap kedua pendidikan dan praktek profesional, pendekatan proyek perlu
ditempuh, yaitu suatu pendekatan yang menuntut seorang calon guru melakukan kegiatan dari
merencanakan dan mengembangkan, melaksanakan, menilai, sampai dengan memperbaiki
suatu program pembelajaran dalam suatu bidang mata pelajaran, untuk sesuatu kelompokpeserta didik pada jenjang pendidikan tertentu dalam jangka waktu belajar yang jelas.
5. Sistem Evaluasi yang Perlu Diterapkan
Dengan diterapkannya model pembelajaran yang menggunakan pendekatan empat pilar
belajar, evaluasi yang diterapkan perlu relevan dengan digunakannya empat pilar belajar
tersebut. Dengan demikian para calon guru tidak hanya dinilai pemahamannya tentang
konsep melainkan dinilai juga : (1) kemampuannya menerapkan mode of inquiry suatu
disiplin ilmu pengetahuan, seperti melakukan observasi, eksperimen, dan lainnya untuk
learning to know; (2) kemampuan menerapkan prinsip atau hukum dari suatu bidang ilmu
pengetahuan untuk memecahkan masalah untuk learning to do; dan (3) kemampuannya
untuk bekerjasama dalam bidang ilmu yang sedang dipelajari, untuk learning to live
together.
Sedangkan penilaian dalam tahap kedua benar-benar menilai kinerja seorang calon guru
profesional yang meliputi : (1) kemampuan merencanakan dan mengembangkan program
pembelajaran; (2) kemampuan mengelola proses pembelajaran; (3) mengembangkan program
evaluasi dan melaksanakannya; (4) menganalisis kekuatan, kelemahan, dan masalah dari
program yang telah dirancang dan dilaksanakan; dan (5) meyempurnakan program
pembelajaran berdasarkan masukan.
6. Tentang praktek profesional
Hakekatnya telah diulas pada saat membahas model pembelajaran. Yang penting bahwa padatahap ini calon guru profesional harus sudah benar-benar berada dalam situasi nyata dari
proses pembelajaran di kelas dan sekolah dimana setelah lulus mereka akan ditugaskan.
7.Fasilitas Pendidikan
Yang jelas agar segala model pembelajaran dapat dilaksanakan, berbagai sarana dan
prasarana harus tersedia; baik perpustakaan, laboratorium, kebun botani, lapangan olahraga,
dan sekolah tempat praktek profesional. Akan lebih ideal lagi kalau mahasiswa calon guru
profesional memperoleh fasilitas asrama sebagai bagian integral dari fasilitas pendidikan
guru.
IV. Peranan Guru Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Anak Usia Dini dan PendidikanDasar
-
7/31/2019 Kemampuan Profesional Guru
10/13
Keberhasilan suatu bangsa dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusianya akan
tergantung kepada keberhasilan kita dalam menyelenggarakan pendidikan anak usia dini dan
pendidikan dasar.
Berbagai studi menyimpulkan bahwa kualitas perkembangan anak dari usia 18 tahun (usia
dini) akan menentukan keberhasilan anak-anak dalam mengikuti pendidikan dasar,pendidikan menengah dan produktifitas kerjanya di masa depan. Kesimpulan salah satu studi
menyimpulkan sebagai berikut :
Thirty years of research have shown that such progams* can improve primary and evensecondary school performance, increase childrens prospect for higher productivity and future
income, and reduce the probability that will become burdens on public health and social
budget[2]
Karena itu pula usul Dirjen Diklusepora pada tahun 1997, waktu itu kebetulan dijabat
penulis, untuk merintis program pendidikan anak usia dini di tiga tempat : Pandeglang,
Denpasar, dan Makassar diterima. Dan kini, program itu telah melembaga walaupun
pelaksanaannya belum merata, baik akses maupun mutunya.
Di negara maju lebih dari 80 % anak usia dini mengikuti program pendidikan anak usia dini
(Nursery School, Playgroup, dan Kindergarden = TK). Sedangkan di Indonesia angka
partisipasi belum melampaui 20 % (untuk TK) dan dibawah itu untuk penitipan anak dan
kelompok bermain. Karena itu bila kita akan meningkatkan mutu jangan lupa pemerataannya.
Dalam kaitan dengan mutu kiranya perlu diutamakan disini bahwa kebutuhan perkembangan
anak usia dini yang meliputi : (1) kesehatan; (2) makanan yang bergizi (mineral, protein,
Micro Nutrien); (3) rangsangan intelektual; (4) perkembangan emosi; dan (5) perkembangan
sosial (termasuk belajar bekerjasama)
Berangkat dari hakekat perkembangan anak usia dini yang titik beratnya pada perkembangan
intelektual, emosional, dan sosial yang keberhasilannya tergantung dari mutu gizi, dan
suasana lingkungan yang memungkinkan terjadinya rangsangan intelektual, emosional, dan
sosial, peranan guru dalam tahapan pendidikan anak usia dini dan kemampuan yang harus
dimiliki memerlukan pendidikan pra-jabatan yang berbeda dari guru SD, apalagi guru SMA.
Modal utama bagi guru pada tingkatan ini adalah adanya rasa menyayangi dalam pengertian :
peduli, menghargai, dan bertanggung jawab. Dengan modal ini guru yang secara profesional
telah memenuhi syarat akan secara optimal melaksanakan peranannya. Bagi guru yang belum
memenuhi persyaratan profesional dengan bermodalkan rasa tanggung jawab, peduli,
menghargai anak dalam asuhannya akan berusaha untuk terus belajar memahami kebutuhan
perkembangan anak menuju kematangannya memasuki sekolah baik secara intelektual,
emosional, dan sosial.
Berbeda dengan guru untuk anak usia dini, untuk tingkat pendidikan dasar, SD dan SMP,
disamping tetap dituntut menyayangi anak juga dituntut untuk memahami obyek belajar
sebagai Realms of Meaning dan berbagai model pembelajaran, berbagai bentuk evaluasi,
agar dapat merancang dan mengelola proses pembelajaran yang benar-benar dapat bermakna
sebagai proses pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap. Dengan guru yang
mampu merancang dan mengelola proses pembelajaran serta menyusun dan melaksanakan
program evaluasi sehingga dapat menciptakan suasana pembelajaran yang sesuai dengan
tuntutan pasal 1 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003, peranan pendidikan dasar untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak generasi muda dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa akan dapat terwujud.
-
7/31/2019 Kemampuan Profesional Guru
11/13
Mungkin tidak banyak yang menyadari mengapa semua negara moderen yang demokratis
mewajibkan setiap warga negaranya mengikuti pendidikan dasar dan penyelenggaraannya
sepenuhnya dibiayai oleh Pemerintah, seperti tuntutan pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Latar
belakangnya adalah karena negara demokrasi adalah negara yang kebijaksanaan
pemerintahannya didasarkan atas persetujuan yang diperintah. Karena itu supaya setiap
warga negara mampu ikut dalam proses politik demokrasi secara cerdas perlu memperolehpendidikan dasar. Dalam kaitan ini pendidikan dasar yang bermutu, indikatornya bukan
hanya lulus UN, melainkan memiliki : (1) kompetensi sebagai warga negara dari NKRI yang
demokratis; (2) kompetensi untuk memasuki dunia kerja; (3) kompetensi sosial budaya; (4)
kompetensi intelektual untuk belajar terus (melanjutkan pelajaran); dan (5) kompetensi
moral.
Untuk itu semua SD dan SMP harus benar-benar menjadi pusat pembudayaan segala
kemampuan, nilai, dan sikap, sehingga generasi muda benar-benar mampu menjadi warga
negara Indonesia yang demokratis, cerdas, terampil, bertanggung jawab, bermoral, berwatak,
dan mampu belajar sepanjang hayat. Agar fungsi sekolah sebagai pusat pembudayaan dapat
terlaksana secara efektif diperlukan sekolah yang memenuhi standar yang ditetapkan dalamPP No. 19 tahun 2005. Itu berarti disamping memiliki guru profesional, juga memiliki
perpustakaan, ruang kerja guru, laboratorium, kebun botani, lapangan olah raga, ruang
kesenian, dan lainnya yang ditetapkan dalam PP No. 19 Tahun 2005. Pertanyaan selanjutnya
adalah bagaimana jaminan kesejahteraan bagi guru agar dapat melaksanakan fungsi
profesionalnya secara efektif? Bagian berikut akan mencoba menganalisisnya.
V. Jaminan Kesejahteraan dan Perlindungan Bagi Guru Sebagai Pendidik Profesional
Dari serangkaian ulasan dari bagian Pendahuluan sampai bagian IV, jelas betapa berat,
kemampuan yang dituntut dan tugas yang dilakukan seorang guru sebagai pemegang jabatan
professional. Mengapa kemampuan, persyaratan pendidikan dan tugas yang harus dilakukan
demikian berat? Bagian terdahulu telah mencoba menganalisisnya. Dan adalah pandangan
penulis bahwa hanya guru yang demikian, yang dapat merancang, menganalisis, dan menilai
proses pembelajaran yang bermakna proses pembudayaan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Karena itu bagi penulis terbitnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
adalah suatu UU yang dalam sejarah pendidikan Indonesia sangat bermakna dan
revolusioner. Namun berbagai ketentuan tentang guru sebagai jabatan professional itu akan
kurang bermakna kalau guru hanya memandangnya sebagai suatu beban semata. Adalah
pandangan penulis bahwa tanggung jawab professional guru sebagai pendidik seperti yang
digariskan dalam UU No. 14 Tahun 2005 akan dipandang sebagai tantangan professional
yang menyenangkan bila diberi dukungan yang memadai, baik dalam hal sarana dan
prasarana, dan kesejahteraannya. Untuk ketersediaan sarana dan prasarana PP No. 19 Tahun2005 telah menetapkan standardnya. Sedangkan tentang kesejahteraan UU No. 20 Tahun
2003 telah mengaturnya dalam pasal 14 dan pasal 15 yang untuk jelasnya dapat dibaca dalam
kutipan berikut :
Pasal 14 ayat (1)
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak :
a. Memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup dan kesejahteraan social
Pasal 15 ayat (1)
Penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1)
huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan
lain berupa tunjangan professi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat
tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsippenghargaan atau dasar prestasi
-
7/31/2019 Kemampuan Profesional Guru
12/13
Sedangkan tentang tunjangan professional pasal 16 ayat (2) menggariskan dalam kalimat
berikut :
Pasal 16 ayat (2) :
Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (pasal 16), diberikan setara dengan
1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama
Tentang siapa yang berhal mendapat tunjangan profesi pasal 16 ayat (1) menjelaskan dalam
kalimat berikut :
Pasal 16 ayat (1) :
Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagai dimaksud dalam pasal 15 ayat (1),
kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan
dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat
Dengan berbagai penghasilan yang dijanjikan, seperti yang digariskan dalam UU No. 14
tahun 2005 tersebut, dalam kondisi ekonomi yang stabil (inflasi) diharapkan guru akan
sepenuhnya mencurahkan tenaga dan kemampuannya untuk membantu peserta didikberkembang sesuai dengan kemampuan, minat, dan bakatnya (pasal 12 ayat 1 (b)) sehingga
tujuan pendidikan seperti yang digariskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 yaitu lahirnya
manusia yang :
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab
Adalah pandangan penulis bahwa dikuasainya sembilan karakteristik sebagai digariskan
dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 adalah indicator dari pendidikan yang bermutu, dan
bukan diukur melalui hasil Ujian Nasional semata.
Pertanyaannya adalah apakah dengan jaminan penghasilan semata, dalam kondisi ekonomi
diabad ke21 yang tidak stabil ini, cukup untuk menjadikan guru dapat sepenuhnya
mengabdikan dirinya sebagai pendidik professional sebagai diulas terdahulu? Penulis
memandang bahwa jaminan kesejahteraan social sebagai yang dijanjikan dalam pasal 14 ayat
(1) perlu diperjelas.
Dalam hubungan dengan ini penulis belajar dari pembaharuan pendidikan China sejak tahun
1993 yang menetapkan pemberian perumahan bagi guru merupakan bagian reformasi
pendidikan* Nampaknya jaminan kesejahteraan social yang tertulis dalam UU No. 14 Tahun
2005 harus dimaknai:
1. Pemberian perumahan;2. Asuransi kesehatan; dan
3. Tabungan masa depan.
Setelah diulas jaminan kesejahteraan yang diperlukan bagi guru, seperti yang diatur dalam
UU No. 14 Tahun 2005, agar dapat sepenuhnya, dengan penuh pengabdian, melaksanakan
tanggung jawab profesionalnya dalam mewujudkan upaya moulding character and mind of
the Young Generation atau dalam bahasa UU No. 20 Tahun 2003 dalam mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak,UU No. 14 Tahun 2005 menggariskan ketentuan tentang
perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugasnya. Ini maknanya tidak lain adalah
agar guru dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pendidik professional tidak
terganggu baik diintimidasi, tindak kekerasan, perlakuan diskriminatif, dan perlakuan tidakadil. Di samping itu UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 39 ayat (4)
-
7/31/2019 Kemampuan Profesional Guru
13/13
dan ayat (5) menggariskan jaminan perlindungan terhadap guru dalam masalah pemutusan
hubungan kerja, pelecehan, gangguan keamanan, dan berbagai hal yang dapat mengganggu
ketenangan guru dalam melaksanakan tugasnya.
Dengan berbagai ketentuan tentang jaminan kesejahteraan dan perlindungan terhadap guru
yang demikian ideal sebagai yang digariskan dalam UU No. 14 Tahun 2005, bila semuanyaini dapat dilaksanakan secara konsisten tidak ada alasan bagi guru untuk tidak melaksanakan
tanggung jawab profesionalnya secara prima.
Dan sebaliknya bila guru dengan segala jaminan tersebut melanggar kode etik dan
melaksanakan tugasnya secara professional kurang bertanggung jawab atau salah praktek,
masyarakatterutama masyarakat profesi guruharus memberikan sanksi.
Dengan demikian akan ada rasa aman bagi para guru dalam menjalankan tugas
profesionalnya serta bertanggung jawab dengan sepenuh waktu dan sepenuh hati.
Demikianlah beberapa pemikiran yang dapat penulis sajikan.
Jakarta, Mei 2008
Penulis/Penyaji,
Prof. Dr. H. Soedijarto, MA
Guru Besar UNJ
Ketua Umum ISPI
Ketua DD CINAPS
Anggota Forum Konstitusi
* Disajikan dalam Seminar Nasional Tentang PERLINDUNGAN BAGI PROFESI GURU
yang diselenggarakan oleh FGII tanggal 25 Mei 2008 di Jakarta. Sebagian dari makalah ini
telah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan BEDAH UU NO. 14 TAHUN 2005
TENTANG GURU DAN DOSEN DALAM KERANGKA PENINGKATAN PROFESI
PENDIDIK DI INDONESIA , yang diselenggarakan oleh Forum Masyarakat Peduli
Pendidikan Indonesia (ForMaPPI), di Lampung 4 Mei 2008
[1] Delors, J. LEARNING : The Treasure Within , Report of The International Commission
on Education for The 21st Century (1996), Paris, UNESCO
* A NATION PREPARED : Teachers for the 21st Century. The Report of The Taskforce on
Teaching as a Profesion, (1986), Carnegie Forum on Education and Economy
* maksudnya Early Child Development Programs[2] Young, Mary Eming, EARLY CHILD DEVELOPMENT : INVESTING IN THE
FUTURE, (1996) Washington DC, The World Bank
* Li Lancing Education For 1.3 Bilion : On Ten Years of Education Reform and
Development, (2004), Pearson Education : Foreign Language Teaching & R.P