kemandirian dan akuntabilitas perguruan tinggi swasta i. perguruan tinggi … · 2018-08-02 ·...
TRANSCRIPT
Kemandirian dan Akuntabilitas Perguruan Tinggi 1
KEMANDIRIAN DAN AKUNTABILITASPERGURUAN TINGGI SWASTA
I. PERGURUAN TINGGI INDONESIA SAAT INI
Dunia pendidikan kita saat ini sangat memprihatinkan. Dibanding
dengan negara tetangga, dari 77 perguruan tinggi di Asia, Undip ada
diperingkat 68. Bahkan UI yang kita bangga-banggakan hanya
menduduki peringkat 61 (Asia Week, June 30, 2000). Jika pada awal
tahun 1970-an Malaysia banyak meminta bantuan Indonesia untuk
dikirim guru-guru MIPA, sebaliknya kini Guru dan Dosen Indonesia
banyak belajar di Malaysia. Tidak sedikit pula para dosen Indonesia
yang melakukan studi lanjut ke Philipina, Muangthai, dan Singapura. Ini
menandakan adanya kemandekan pengembangan ilmu di Indonesia.
Perguruan Tinggi kita sangat terpuruk dibanding dengan perguruan
tinggi di negara-negara lain.
Secara fisik Indonesia mempunyai segala-galanya. Indonesia
penghasil minyak yang setara dengan negara-negara OPEC lainnya.
Indonesia penghasil gas alam terbesar di dunia. Indonesia penghasil
tambang yang amat besar. Indonesia mempunyai hutan tropis yang
menyimpan harta yang melimpah. Tanah pertaniannya sangat subur, dan
sebagainya. Belum lagi potensi taut yang tidak terhingga, yang sampai
saat ini belum dapat dieksploitasi karena rendahnya kemarnpuan surnber
daya manusia yang kita miliki. Mengapa perguruan tinggi besar yang
selama ini dibiayai oleh negara tidak dapat berbuat banyak ? dan tidak
satupun perguruan tinggi yang dibiayai negara mampu mengembangkan
Kemandirian dan Akuntabilitas Perguruan Tinggi 2
ilmu sehingga dapat mengeksploitasi kekayaan kita ? Apa yang salah
dalam menetapkan kebijakan mengenai sistem pendidikan kita ?
Nampaknya selama ini kita terlalu berani mempermainkan nasib
bangsa. Sudah berapa kali repelita disusun dan dilaksanakan ; Sudah
berapa kali menteri Pendidikan diganti ; Sudah berapa kali kurikulum
diubah ; Hasitnya seperti yang kita hadapi sekarang. Perguruan tinggi
kita tetap terpuruk. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada kesalahan
kebijakan pemerintah di dalam menangani pendidikan tinggi.
II. PARADIGMA LAMA :
ETATISME - FEODALISTIS ; BIROKRATIS-SENTRALISTIS
Para pendiri negara telah menyusun Undang-Undang Dasar 1945.
Di dalam Pembukaan UUD-45 tersebut tercantum bentuk negara
Indonesia adalah Negara kesatuan Republik Indonesia. UUD-45 yang
dibuat agak tergesa-gesa maka belum memikirkan bagaimana mengurus
negara yang baik dengan melibatkan partisipasi warga negara dalam
pembangunan, termasuk dalam pengambilan keputusan-keputusan.
Menurut para pendiri negara pada waktu itu jalan terbaik dengan
mengendalikan negara adalah apabila semua urusan di urus oleh negara.
Akibatnya hajad hidup rakyat seperti urusan ekonomi, pendidikan,
agama, sosial kemasyarakatan yang seharusnya cukup diselenggarakan
oleh masyarakat ditangani dan di urus oleh negara. Pada awal
kemerdekaan mungkin hal itu masih dapat dibenarkan rnengingat
kondisi rakyat yang saat itu masih sangat lemah dan kurang
berpendidikan. Pada waktu itu pemimpin negara sangat kuat
kedudukannya dan bahkan berperilaku feodalistis. Akhirnya hubungan
Kemandirian dan Akuntabilitas Perguruan Tinggi 3
yang terjadi bukan lagi antara pemimpin negara dan rakyatnya, tetapi
berubah menjadi antara "gusti dengan kawulo". Rakyat dianggap tidak
mampu, harus menurut segala sesuatu yang diatur oleh negara.
Kemudian pada awal tahun 1966 terjadi perubahan pernegang
kekuasaan dari Presiden I ke Presiden II. Perilaku pemerintahan tidak
berubah dengan pola etatisme-feodalistis yang tetap berlanjut dan
semakin mengental. Lebih-lebih dengan adanya "oil booming" packa
tahun 1973 kekuasaan etatisme-feodalistis diperkokoh dengan birokrasi-
sentralistis yang cengkeramannya mulai dari pusat kekuasaan sampai ke
desa-desa dan sampai RT-RT.
Tidak kecuali di dunia pendidikan. Piranti pendidikan ditata
sedemikian hirarkis dan departemen sampai dengan sekolah-sekolah dan
kampus-kampus. Semua yang dapat diseragamkan, harus seragam.
Semua kebij&kan diambil oleh pusat. Lembaga pendidikan (kampus)
tinggal melaksanakan. Tidak perduli apakah perguruan tinggi harus
melaksanakan peraturan pusat bahkan harus melaksanakan walaupun
hanya berupa surat edaran pejabat pusat. Dan kondisi ini diperkuat
dengan kebutuhan birokrasi yang pada waktu itu dipakai sebagai alat
politik kekuasaan.
Adanya birokratis sentralistis tersebut menyebabkan terbentuknya
organisasi departemen pendidikan yang merekayasa dan menyedot
banyak anggaran hanya untuk kepentingan jalannya organisasi.
Sehingga anggaran yang sebenarnya untuk keperluan pengajaran,
penelitian dan pengabdian masyarakat terabaikan. Sebagai gambaran
kasar diperkirakan anggaran organisasi Depdiknas untuk keperluan
Kemandirian dan Akuntabilitas Perguruan Tinggi 4
organisasi mencapai 70% sedangkan untuk kegiatan utama (Tri Dharma)
hanya sekitar 30%.
Anggaran untuk kegiatan Tri Dharma itu pun belum teralokasikan
secara adil clan proposional. Sampai saat ini anggaran tersebut sebagian
besar untuk keperluan Perguruan Tinggi. Bagi Perguruan Tinggi
memperoleh cipratan 2 % setahun saja sudah besar. Padahal kalau kita
perhatikan siapa yang belajar di Perguruan Tinggi dan Perguruan
Tinggi. Mereka semua adalah anak bangsa yang perlu mendapat
perlakuan sama dalam memperoleh anggaran negara yang nota bene
adalah uang rakyat juga.
Kebijakan yang tidak adil ini mengakibatkan ekses lain yang
bersifat ambivaeln, afirmatif, arogan dan akut. Contoh-contoh kebijakan
yang ambivalen, pemerintah memberi otonomi kepada perguruan tinggi,
tetapi ketika perguruan tinggl/ manjalankan kreatifitasnya tiba-tiba
pemerintah melarang (distance learning, distance class, dll). Contoh
yang kedua adalah kebijakan yang afirmatife ya'tu pemerintah
manyatakan kemitraan antara Perguruan Tinggi dan Perguruan Tinggi
tetapi kenyataannya kurang terjadi. Setiap tahun dosen Perguruan Tinggi
yang mendapat jatah studi lanjut cukup besar, tetapi dosen Perguruan
Tinggi, hampir tidak diberi jatah. Kebijaksanaan yang arogan juga
nampak jelas. Pemerintah menyelenggarakan Perguruan Tinggi tetapi
tidak pernah memikirkan adanya Perguruan Tinggi. Kebijakan yang
akut, contoh kekuasaan lulusan yang setara dengan S-1 harus menempuh
144 -160 SKS.
Dengan model pengelolaan negara yang etatisme feocialiszis dan
menyelengaraan yang sentralistis tersebut: berakibat fatal terhadap
Kemandirian dan Akuntabilitas Perguruan Tinggi 5
pengembangan perguruan tinggi di Indonesia. Akibat-akibat yang dapat
dilihat antara lain :
1. Mematikan Inovasi dan Kreativitas.
Adangan peraturan perundangan yang sentralistis membuat
inovasi dan kreativitas di lingkungan Perguruan Tinggi jadi
mati. Sebagai contoh penarnbahan program studi baru dan
penyelenggaraan distance learning tidak mudah untuk segera
dilaksanakan.
2. Kaku
Kekakuan peraturan dapat dilihat dari penyelengaaraan proses
belajar mengajar, Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat.
Peraturan di Indonesia bahwa menyelesaikan S-1 harus
menempuh 144 SKS - 160 SKS. Berdasarkan referens dari
negara lain (USA, Australia, Eropah, Asean) di negara-negara
tersebut diatas untuk mencapai gelar BA., B.Sc. (setara S-1)
diperlukan hanya 120 SKS. Di Indonesia perguruan tinggi
menerapkan 120 SKS dengan melakukan pengkajian kurikulum
secara cermat masih ditegur.
Pendek kata, perguruan harus menjadi "anak manis" mengikuti
perintah "Ibu/ Bapak" dari pusat. Bahkan baju dinaspun
diseragamkan. Pemasungan kreativitas dan Jaya inovasi yang
berada di perguruan tingi selama ini berakibat fatal, yaitu
terjadinya kemandekan dan tidak berkembangnya perguruan
tinggi, ini semua tampaknya disebabkan adanya paradigma
lama, yang dilakukan elit penyelenggaraan negara untuk
melanggengkan kekuasaan orde-orde yang berkuasa.
Kemandirian dan Akuntabilitas Perguruan Tinggi 6
Dari uraian diatas jetas menunjukkan bahwa paradigma lama telah
memporak-porandakan dunia pendidikan di Indonesia. Yang menjadi
pertanyaan adalah apakah kita tetap menggunakan model etatisme-
feodalistis dan birokrasi-sentralistis itu ? Jika kita benar-benar cinta
bangsa dan negara, jika kita ingin bangsa dan negara Indonesia maju dan
sejajar dengan negara-negara lain maka tidak ada pilihan lain kecuali
meninggalkan paradigma lama dan memulai dengan paradigma baru.
III. PARADIGMA BARU :
DEMOKRASI - OTONOMI ; PEMBERDAYAAN -MASYARAKAT
Birokrasi sentralistis yang berbau otoriter yang selama ini kita anut
ternyata gagal dalam mengemban misi mengembangkan pendidikan
tinggi di Indonesia. Betapapun superiornya seseorang dan betapapun
rapinya penataan birokrasi serta betapapun besarnya kekuatan
pendukungnya, ternyata tidak dapat "mengurung" masyarakat dalam
kurungan tunggal. Mungkin satu atau dua kebutuhan dapat dipenuhi
oleh sistem lama tetapi ribuan kebutuhan dari masyarakat yang tidak
dapat dipenuhi. Salah satu kebutuhan pokok individu/ masyarakat adalah
"self actualization".
Self actualization merupakan kebutuhan yang bersifat individual
masyarakat, yang pemenuhannya diperlukan kreasi dan inovasi yang
tinggi. Tidak terkecuali self actualization yang diperlukan oleh para
pemimpin lembaga pendidikan tinggi.
Agar mereka kreatif dan inovatif dalam mencapai self actualization
demi kemajuan lembaga yang dipimpinnya maka diperlukan ruang
gerak yang longgar agar apa yang diinginkan oleh seorang pemimpin
Kemandirian dan Akuntabilitas Perguruan Tinggi 7
perguruan tinggi dapat direalisasi. Ruang gerak yang longgar tersebut
tidak lain adalah otonomisasi institusi perguruan tinggi yang diatur
dalam Undang-Undang yang memberi rambu-rambu pokok kehidupan
perguruan tinggi dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi pengelolaan pendidikan tinggi tidak berarti tidak ada
campur tangan negara/pemerintah. Akan tetapi campur tangan tidak
pada hal-hal yang bersifat mikro organisasi. Tugas pemerintah pusat
dibidang pendidikan hanya berkaitan dengan tujuan membentuk negara,
yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan ini bukar berarti
negara/pemerintah harus menyelenggarakan semua urusan pendidikan.
Negara/pemerintah tidak mungkin untuk mengurus pendidikan secara
adil terhadap 200 juta penduduk negara Indonesia. Kalau hal itu
dikerjakan negara/pemerintah pasti akan berbuat tidak adil. Seperti yang
nampak sampai sekarang, pemerintah/negara seolah-olah hanya
mengurus dan memperhatikan 56 Perguruan Tinggi Negeri dan tidak
terlalu menghiraukan 1.350 Perguruan Tinggi Swasta !.
Oleh sebab itu agar negara tidak terjebak perilaku tidak adil
terhadap semua anak bangsa maka seyogyanya pemerintah/negara
membagi anggaran pendidikan yang dimiliki secara proposional kepada
semua lembaga pendidikan tinggi yang ada. Jangan timbul anggapan ada
anak kandung-anak tiri terhadap Perguruan Tinggi Negeri -Perguruan
Tinggi Swasta.
Oleh karena itu perlu disususn Undang-Undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang baru dengan Paradigma baru dibidang
Pendidikan Tinggi. Adapun prinsip-prinsip yang dianut dalam
paradigma baru : tonomi demokrasi dan pemberdayaan masyarakat.
Kemandirian dan Akuntabilitas Perguruan Tinggi 8
Undang-Undang tersebut diharapkan dapat memacu pengembangan
ilmu, pengembangan perguruan tinggi (otonomi dalam pengelolaan,
tanggung jawab dalam pelaksanaan tree dharma, akuntabel dalam
kualitas hasil perguruan tinggi), dan pemberdayaan masyarakat
(koordinasi asosiasi dan kontrol oleh masyarakat).
IV. OTONOMI PERGURUAN TINGGI SWASTA
Otonomi penyelenggaraan Perguruan Tinggi Swasta pertama-tama
menyangkut hubungan pemerintah/negara dengan perguruan tinggi yang
menjamin kemandirian perguruan tinggi. Hubungan ini harus
berlandaskan pada prinsip kebebasan akademik dan kemandirian
kelembagaan. Kemandirian ini diperlukan untuk menjamin kreativitas
dan kebebasan mengkritik. Sedangkan pemerintah pusat menjadikan
dirinya sebagai penentu grand strategi, dengan pernyataan-pernyataan
yang persifat macro serta memfasilitasi iklim agar Perguruan Tinggi
Swasta dapat hidup mandri.
KONSEKWENSI OTONOMI
Pelaksanaan Otonomi Perguruan Tinggi mempunyai konsekwensi
yang tidak ringan. Agar supaya otonomi perguruan tinggi mempunyai
makna bagi kemajuan Bangsa dan masyarakat, maka konsep otonomi
Perguruan Tinggi harus terkait erat dengan jaminan mutu atas proses
belajar mengajar serta productnya, sekaligus harus meningkatkan
akuntabilitas Perguruan Tinggi Swasta kepada stakeholder. Untuk itu
maka evaluasi terus menerus baik secara internal maupun oleh lembaga
akreditasi yang independen merupakan keharusan yang tidak dapat
Kemandirian dan Akuntabilitas Perguruan Tinggi 9
ditawar. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan terhadap quality adalah
reievansinya terhadap kebutuhan masyarakat.
Mempernatikan kondisi Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia
dewasa ini maka peranan kerja sama lewat assosiasi Perguruan Tinggi
Swasta sangat mutlak di perlukan. Jejaring antar Perguruan Tinggi
Swasta dengan koordinasi assosiasi akan sangat membantu kekurangan
dari suatu perguruan tinggi dengan mempergunakan bantuan dari
perguruan tinggi lain baik di bidang soffware, hardware maupun
brainware.
Otonomi Perguruan Tinggi menyangkut pula kewenangan
kelembagaan untuk menentukan tujuan-tujuan dan program-program
sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta kewenangan kelembagaan
untuk menggunakan cara-cara mencapai tujuan tersebut. Sedangkan
Otonomi Perguruan Tinggi yang paling hakiki adalah kebebasan
akademik berupa kebebasan dosen dan ilmuwan yang secara personal
mencari dan mencapai kebenaran lewat pengajaran dan penelitiaii tanpa
takut hukuman ataupun tindakan administratif. Pendek kata greater
autonomy bagi Perguruan Tinggi Swasta harus bermakna dan
mempunyai konsekwensi. Greater responsibility, greater quality
assurance dan greater accountability.
Greater autonomy dalam hal pengelolaanonanajerial dan
dalam pengembangan program studi kurikulum yang
dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat.
Greater responsibility, berarti bertanggungjawab kepada
semua stake holder (mewakili seluruh masysrakat) dalam
pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Kemandirian dan Akuntabilitas Perguruan Tinggi 10
Greater quality assurance, berarti jaminan lebih besar
terhadap qualitas proses maupun product, metalui evaluasi
internal didalam Perguruan Tinggi Swasta sendiri), evaluasi
exsternal oteh badan independen tuar negeri atau dalam
negeri (seperti BAN-PT ) maupun evaluasi oleh assosiasi
Perguruan Tinggi Swasta sendiri serta proses sertifikasi.
Greater Accountabibty dalam hat pengembangan ilmu,
kwatitas tulusan penggunaan dana dan hasil-hasil riset serta
manajemen pada umumnya.
V. AKUNTABILITAS PERGURUAN TINGGI SWASTA
Akuntabilitas berarti tanggungjawab, serta tanggung gugat dan
tanggung urai. Akuntabilitas Perguruan Tinggi Swasta tidak saja hanya
kepada Pemerintah, tetapi yang lebih utama adalah akuntabilitas kepada
masyarakat terutama semua stakeholder pemakai product Perguruan
Tinggi, pemanfaat lutusan,assosiasi dan dunia profesi, assosiasi profesi
dan ilmuwan.
Pada dasarnya Perguruan Tinggi Swasta adalah juga usaha
layanan jasa. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen.
Jasa Pendidikan mempunyai ciri khusus :
1. Dapat diukur misalnya layanan adminitrasinya.
2. Tidak dapat diukur (misalnya kwalitas pendidikan, disini ada andil
dari peserta didik).
Kemandirian dan Akuntabilitas Perguruan Tinggi 11
3. Prestasi yang diberikan oleh lembaga pendidikan sebenarnya adalah
upaya bukar, hasil.
Memperhatikan hal-hal tersebut diatas maka pengelola perguruan
tinggi harus sadar bahwa setiap saat harus selalu membuktikan bahwa
dirinya melaksanakan manajemen yang baik, kinerja yang baik yang
diharuskan oleh regulasi yang ada. Disini akuntabilitas merupakan
tanggung jawab dan tanggung gugat atas keberhasilan dan kegagaian
pelaksanaan misinya dalam memberikan pelayanan kepada publik,
sesuai dengan standar kwalitas atau tidak.
Ketika Perguruan Tinggi menjalankan fungsinya pada waktu itu
sebenarnya telah terjadi transaksi antara Perguruan Tinggi dan
konsumen dalam hal ini mahasiswa dan masyarakat pada umumnya.
Transaksi ini dapat di lihat dari :
Transaksi awal berupa : iklan, brosur, seleksi penerimaan,
Transaksi utama berupa : 1. Proses ; administrasi ; Proses belajar
Mengajar.
2. Product ; berupa lulusan
Dengan berlakunya Undang-Undang Perlindungan konsume, UU
No. 8 Tahun 1999, maka setiap penyelenggara Perguruan Tinggi wajib
mewaspadai kinerjanya. Karena pada gilirannya apabila masyarakat
konsumen pengguna usaha jasa Perguruan Tinggi telah sadar akan hak-
haknya. Tidak mustahil akan terjadi banyak gugatan dan tuntutan
kepada Perguruan Tinggi yang metakukan "mal praktek".
Akuntabilitas kepada Pemerintah pastilah menyangkut seberapa
besar kesesuaian pelaksanaan pendidikan di suatu Perguruan Tinggi
dengan syarat-yarat yang diadakan Pemerintah. Perguruan Tinggi
Kemandirian dan Akuntabilitas Perguruan Tinggi 12
diminta juga akuntabilitasnya dalam penggunaan dananya laporan tiap
tahun oleh akuntan pablik adalah suatu yang kehausan bagi menjamin
kepercayaan Publik. Tidak kalah pertingnya adalah Akuntabilitas
Perguruan Tinggi Swasta kepada dunia profesi dalam rangka
melanggengkan pengertian, kecakapan dan ketrampilan.
Terakhir secara filosofis Perguruan Tinggi Swasta harus
bertanggungjawab secara moral dan spiritual atas segala aktivitasnya
yang dengan menunjukkan integritasnya dan pasti akan meningkatkan
martabat umat manusia pada umumnya.
Semoga!