kepastian hukum itsbat nikah_drs. h. endang ali ma’sum, sh, mh
TRANSCRIPT
1
KEPASTIAN HUKUM ‘ITSBAT NIKAH’ TERHADAP STATUS PERKAWINAN, STATUS ANAK DAN STATUS HARTA PERKAWINAN
Oleh: Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama Banten
1. Pendahuluan
Meskipun ulama Indonesia pada umumnya menyatakan setuju atas ketentuan
pencatatan perkawinan sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan tidak ada reaksi terbuka atasnya, namun pada
kenyataannya masyarakat muslim Indonesia masih mendua sikap. Ada yang menerima
dan memahami pencatatan nikah sebagai suatu kemaslahatan yang melahirkan
kepastian hukum, namun ada pula yang menanggapinya dengan mempertanyakan
apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu menjadi tidak sah dari segi agama. Efek
domino dari penolakan ini, melahirkan budaya hukum (meminjam istilah Lawrence
Friedman: legal culture) orang Islam Indonesia melakukan kawin di bawah tangan
tanpa memperdulikan akibatnya di kemudian hari.
Di kalangan teoritisi dan praktisi hukum pun, khususnya hakim peradilan
agama, masih bersilang pendapat pengertian yuridis sahnya suatu perkawinan.
Pertama, kalangan teoritisi praktisi hukum yang berpendirian bahwa sahnya suatu
perkawinan semata-mata hanya harus memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan, yakni perkawinannya telah dilaksanakan menurut ketentuan syariat Islam
secara sempurna (memenuhi rukun dan syarat nikah). Sedangkan pencatatan nikah
oleh Pegawai Pencatat Nikah, tidaklah merupakan syarat sahnya nikah, tetapi hanya
kewajiban administratif saja. Kedua, kalangan teoritisi dan praktisi hukum yang
berpendapat bahwa sahnya suatu akad nikah manakala terpenuhinya ketentuan
2
Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) mengenai tatacara agama dan ayat (2)
mengenai pencatatan nikah oleh PPN secara simultan. Dengan demikian, menurut
kelompok ini, ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tersebut merupakan syarat
kumulatif, bukan alternatif. Oleh karena itu, perkawinan yang dilakukan sesuai
ketentuan syariat Islam tanpa pencatatan oleh Pegawai Pencatat Nikah, belumlah
dianggap sebagai perkawinan yang sah.
Dalam konteks ini, Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein,1 membagi ketentuan yang
mengatur tentang pernikahan dalam 2 (dua) kategori, yaitu: 1) peraturan syara’, dan 2)
peraturan tawsiq, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar pernikahan di
kalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat Akta Nikah
secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang.2
2. Perkawinan di bawah tangan
Perkawinan di bawah tangan atau nikah di bawah tangan selalu diidentikkan
dengan pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam
fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi dari instansi berwenang
sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan di bawah tangan juga sering didefinisikan sebagai suatu
perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak memenuhi
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan tata cara perkawinan
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
1Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana,
2005, cet. II, hlm. 29. 2Kategori pertama disebut juga dengan nau’ syar’iyah yaitu yang berkaitan dengan ketentuan
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, sedangkan kategori kedua disebut juga dengan nau’ tautsiqiyah yaitu yang berkaitan dengan ketentuan pencatatan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
3
Setidaknya ada tiga alasan orang lebih memilih untuk nikah di bawah tangan: 1)
untuk menghindari pembayaran biaya administrasi dan berbagai pungutan baik resmi
maupun tidak resmi dari pencatatan perkawinan; 2) mencari barokah dari kiyai bagi
pelaku perkawinan baik wali nikah maupun mempelai laki-laki dari kelompok ‘santeri’;
3) pernikahan dalam rangka poligami liar untuk menghilangkan jejak sehingga bebas
dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari instansinya bagi pegawai negeri
sipil, dan agar tidak diketahui oleh isteri yang sudah ada terlebih dahulu dan
menghindari ijin poligami yang harus diurus di pengadilan.3
Dalam makalah ini, pernikahan di bawah tangan diangkat lantaran nikah model
inilah cikal bakal melonjaknya permohonan itsbat ke pengadilan4 menyertai keluarnya
fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mensahkan pernikahan di bawah tangan.5
Meski pembahasan mengenai masalah ini cukup alot, karena ada peserta ijtima’ yang
semangat sekali mengharamkan dan ada pula yang bergairah untuk menghalalkannya
tanpa catatan harus mendaftarkan ke Kantor Urusan Agama,6 tetapi peserta ijtima’
akhirnya menyepakati bahwa pernikahan di bawah tangan hukumnya sah, karena telah
terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Namun dalam forum yang dihadiri sekitar seribu
ulama ini keluar suatu pendapat bahwa nikah di bawah tangan bisa menjadi haram
apabila di kemudian hari terjadi kemudharatan, seperti istri dan anak-anaknya
telantar. Peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara
3Menurut catatan Inspektrat Kota Tangerang, setidaknya 30 pegawai Pemkot di antarany
eselon III dan IV yang beristeri lebih dari satu tanpa prosedur resmi, bahkan terdapat PNS perempuan yang masih bersuami menjadi iateri pejabat. www.radarbanten.com, 4 Mei 2012.
4Di wilayah Pengadilan Tingg Agama Banten, itsbat nikah tahun 2011 berjumlah 2143 perkara.
5Pengesahan ini dihasilkan dari Forum Ijtima’ yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai
unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. www.mui.org
6KH Ma'ruf Amin, Ketua Panitia Pengarah Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia II,
www.hukumonline.com
4
resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak
negative mudharat (saddan li al-dzari ‘ah).
Komisi Fatwa MUI sendiri memakai istilah nikah di bawah tangan, selain untuk
membedakan dengan nikah sirri yang sudah dikenal di masyarakat,7 juga istilah ini
lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam.8
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang dibaca sebagai satu kesatuan,
maka perkawinan di bawah tangan bukan merupakan perkawinan yang sah dalam
perspektif hukum dan Negara. Sehingga, meskipun perkawinan di bawah tangan
dipandang sah secara agama, akan tetapi karena tidak memenuhi syarat administrative
pencatatan, maka pernikahan tersebut dianggap bukan perkawinan yang legal
procedure.
Meskipun dikenal secara sosiologis, ternyata istilah ‘perkawinan di bawah
tangan’ itu sendiri tidak dikenal dalam system hukum Indonesia, sehingga tak heran
jika perkawinan semacam itu tidak diatur secara khusus dalam sebuah peraturan.
3. Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan
Akibat hukum yang timbul dari perkawinan di bawah tangan dan tidak
dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah antara lain: Pertama, meskipun perkawinan
tersebut dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara
perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama
atau Kantor Catatan Sipil. Kedua, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan
7Nikah sirri yang sebenarnya adalah akad antara antara seorang lelaki dengan seorang
perempuan tanpa wali dan tanpa hadirnya saksi. Kalau pengertian sirri itu dianggap hanya berdua saja, tanpa dilengkapi syarat dan rukun nikah lainnya, menurut KH. Ma’ruf Amin, bisa dipastikan pernikahan semacam ini tidak sah.
8Dalam fiqh konvensional, sejatinya tidak dikenal istilah ‘nikah sirri’, sedangkan padanan yang
cocok bagi istilah ‘nikah di bawah tangan’ adalah nikah ‘urfi.
5
ibu dan keluarga ibu. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan
yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan).
Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada9. Ketiga, baik anak maupun
ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. Akibatnya, baik isteri maupun anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah ataupun
warisan dari ayahnya. Harta yang didapat dalam perkawinan di bawah tangan hanya
dimiliki oleh masing-masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta
bersama.
Menurut Habiburrahman, Hakim Agung bahwa kawin di bawah tangan tanpa
akta nikah bagaikan pemilik kendaraan yang tidak memiliki BPKB atau STNK yang bebas
menggunakan kendaraannya sepanjang tidak melanggar rambu lalulintas atau
tertimpa kecelakaan. Ketika melanggar rambu lalulintas atau tertimpa kecelakaan,
muncullah masalah yang merepotkan pemiliknya.10
4. Perkawinan yang dimohonkan itsbat.
Ada kesamaan persepsi di kalangan praktisi hukum, khususnya hakim peradilan
agama, bahwa yang dimaksud dengan itsbat nikah merupakan produk hukum
declarative sekadar untuk menyatakan, perkawinan yang dilaksanakan secara sah
menurut hukum agama namun tidak dicatatkan tersebut setelah diisbatkan menjadi
memiliki kepastian hukum (rechtszekerheid). Dalam beberapa event pembinaan dan
9Perkembangan terkini setelah terbitnya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 Tanggal 27 Februari 2012, anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahna.(Pasal 43 ayat (1) UUP baru hasil reviu Mahkamah Konstitusi).
10Dr. H. Habiburrahman, M. Hum, Anak Luar Nikah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, dalam
Varia Peradilan Nomor 317 April 2012, Jakarta: IKAHI, hlm. 29.
6
bimbingan tehnis hakim peradilan agama, H.M. Tahir Hasan, Ketua Pengadilan Tinggi
Agama Banten menekankan bahwa itsbat nikah tidak identik dengan istilah ‘tashih
nikah’ yang mengesahkan matter peristiwa akadnya atau subsansi nikahnya. Itsbat
nikah hanya sebuah pernyataan (declaratoir) terhadap perkawinan yang secara
substantive telah sah dan memenuhi ketentuan syari’at Islam. Oleh karena hanya
bersifat declaratoir saja, itsbat nikah tak ubahnya bagaikan surat keterangan penting
lainnya semisal surat kematian dan surat kelahiran.
Dari ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI)11 dan Pasal 100
KUH Perdata,12 dapat disimpulkan bahwa adanya suatu perkawinan hanya bisa
dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register.
Bahkan ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah merupakan satu-satunya alat
bukti perkawinan. Namun demikian, menurut Undang-Undang Perkawinan itu sendiri,
akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan satu-satunya alat bukti keberadaan atau
keabsahan perkawinan. Oleh karena itu, walaupun dipandang sebagai alat bukti, akta
nikah bukan sebagai alat bukti yang menentukan sahnya perkawinan. Hukum
perkawinan agamalah yang menentukan keberadaan dan keabsahan perkawinan.
Kalau demikian, fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan pada Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama (bagi pasangan suami istri yang beragama Islam) adalah
untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) semata.
Tidak ada yang meragukan ketertiban hukum merupakan instrumen kepastian
hukum. Karena itu, bagi pasangan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan
11
Pasal 7 Ayat (1) KHI menyebutkan bahwa Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
12Pasal 100 KUH Perdata menentukan bahwa adanya perkawinan tidak dapat dibuktikan
dengan cara lain, melainkan dengan akta perlangsungan perkawinan itu, yang telah dibukukan dalam register-register catatan sipil, kecuali dalam hal-hal tertentu.
7
menurut hukum agamanya,13 tanpa dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor
Urusan Agama Kecamatan, maka pasangan suami isteri tersebut dapat mengajukan
permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Akan tetapi, Itsbat Nikah dimaksud
hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: a) dalam rangka penyelesaian perceraian;
b) hilangnya akta nikah; c) adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan; d) perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan; e) perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974.14
Artinya, bila terdapat salah satu dari kelima alasan di atas, dapat mengajukan
permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Namun demikian, Pengadilan Agama
hanya akan mengabulkan permohonan itsbat nikah, sepanjang perkawinan yang telah
dilangsungkan itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan secara syariat Islam dan
tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur di dalam Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Ditolaknya permohonan itsbat nikah Aisyah
Muchtar alias Machicha Muchtar oleh majelis hakim Pengadilan Agama Tigarakra
meneguhkan pernyataan, selain memenuhi ketentuan syari’at agama juga kepastian
tidak adanya pelanggaran larangan perkawinan menurut Undang-Undang
Perkawinan.15
Perkembangan terakhir, permohonan itsbat nikah diajukan ke Pengadilan
Agama dengan berbagai alasan di antaranya: 1) Itsbat nikah untuk melengkapi
persyaratan akta kelahiran anak; 2) Itsbat nikah untuk melakukan perceraian secara
13
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan,
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan keperc ayaannya itu”.
14Pasal 7 ayat (3) KHI.
15Putusan Nomor 46/Pdt.P/2008/PA. Tgrs tanggal 18 Juni 2008.
8
resmi di pengadilan; 3) Itsbat nikah untuk mendapatkan pensiunan janda; 4) Itsbat
nikah isteri poligami;
Permasalahan yang timbul dari itsbat nikah tersebut adalah berkaitan dengan
ketentuan waktu pelaksanaan perkawinan sebelum berlakunya Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diatur Pasal 7 Ayat 3 (d) KHI,
sedangkan kenyataaannya permohonan Itsbat nikah tersebut diajukan terhadap
perkawinan yang dilaksanakan sesudah atau di atas tahun 1974. Terhadap hal
demikian perlu meramu legal ratio dan mencari alas hukum yang membolehkan
pengadilan agama menerima perkara itsbat nikah meski perkawinan yang dimohonkan
itsbat tersebut terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan.
Setidaknya terdapat dua alasan pengadilan agama dapat menerima dan
memutus perkara itsbat nikah terhadap perkawinan pasca berlakunya Undang-Undang
Perkawinan. Pertama, berkaitan dengan asas ius curia novit yakni hakim dianggap
mengetehui hukum itsbat nikah, dan asas kebebasan Hakim untuk menemukan
hukumnya terhadap masalah atau kasus yang tidak terdapat peraturan hukumnya
(rechtsvacuum).16 Kedua, pendekatan sosiologis yang mendorong hakim menganalisis
suatu kasus dengan pendekatan sosiologi hukum dan melakukan penafsiran baru
terhadap peraturan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi supaya
hukum tidak stagnan, melainkan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat,
16 Beberapa ketentuan yang menjadi alas hukum argumentasi ini antara lain: 1) Pasal 16 Ayat
1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi: ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya;“ 2) Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; 3) Pasal 56 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya;”
9
seperti yang dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah bahwa hukum itu berubah
karena ada perubahan, waktu, tempat, keadaan, adat istiadat.17 Langkah-langkah ini
kemudian dikenal dengan sebutan penemuan hukum (rechtsvinding).
Setidaknya ada tiga karateristik yang sesuai dengan penemuan hukum yang
progresif: 1) Metode penemuan hukum bersifat visioner dengan melihat permasalah
hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang ke depan dengan melihat case by
case; 2) Metode penemuan hukum yang berani dalam melakukan terobosan (rule
breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi tetap berpedoman pada
hukum, kebenaran, dan keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan
bangsa dan negaranya; 3) Metode penemuan hukum yang dapat membawa
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan juga membawa bangsa dan Negara
keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan social seperti saat ini.18
Dalam sosiologi hukum, dikenal istilah the maturity of law atau hukum yang
matang yaitu hukum yang benar-benar efektif sebagai busana masyarakat (clothes
body of society), yang bersifat praktis, rasional dan actual sehingga dapat
menjembatani dinamika nilai kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat,
tanpa terbelenggu formalistik melaksanakan suatu peraturan. Kalau perlu, dibutuhkan
adanya keberanian untuk melakukan contra legem untuk menghadapi peraturan atau
ketentuan yang kurang logis.19 Dalam kajian hukum Islam, terdapat kaidah ushuliyah
al-hukmu yaduru ma’a illatih wujudan wa’adaman (hukum itu terkait dengan ada
17
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’in, Bairut: Dar al-Fikr, Juz VII, 1397H/1977M,
hlm. 14-15. 18
Ahmad Rifai, SH, MH, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perpektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. I, 2010, hlm. 93.
19Abdul Manaf, Refleksi beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama,
Bandung: CV.Mandar Maju, Cet.I., 2008, hlm. 215.
10
tidaknya causalitas hukum), sehingga dapatlah terus diadakan pembaruan hukum
Islam yang menyesuaikan dengan situasi, kondisi serta perkembangan zaman. Ijtihad
untuk melakukan pembaruan hukum Islam bukanlah sesuatu yang terlarang melainkan
suatu yang dianjurkan jika menghadapi suatu permasalahan hukum.20 Dengan
demikian, menolak permohonan itsbat nikah sebelum dilakukan pemeriksaan dengan
alasan tidak ada hukum yang mengaturnya, bukan merupakan pilihan utama.
Selain itu, dalam hal Itsbat nikah pun terdapat kekosongan hukum atau
rechtsvacuum, yakni tidak adanya peraturan itsbat nikah pasca berlakunya Undang-
Undang Perkawinan, yang ditengarai sebagai ‘politik hukum’ agar setiap perkawinan
dicatatkan pada instansi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
pencatatan nikah.
Menurut Purnadi Purbatjaraka dan Soerjono Soekanto, sebagaimana dikutip
oleh Ahmad Rifai, hakim mempunyai diskresi bebas, perasaannya tentang apa yang
benar dan apa yang salah merupakan pengarahan sesungguhnya untuk mencapai
keadilan.21 Selanjutnya dikemukakan, ajaran hukum bebas (freirechtslehre)
memberikan kepada hakim kehendak bebas dalam pengambilan keputusan. Hakim
dapat menentukan putusannya tanpa harus terikat pada Undang-Undang. Indonesia
sebagai Negara yang menganut ajaran hukum bebas, memberikan kebebasan kepada
hakim untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat untuk dijadikan
dasar dari pengambilan putusannya.22
20
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet.I,
2006, hlm. 296.
21 Ahmad Rifai, SH, MH, Op. Cit, hlm. 78.
22Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
11
Karena fungsi dan peran Hakim untuk menggali hukum yang hidup dalam
masyarakat lantaran tidak lengkapnya peraturan perundang-undangan untuk
memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum, maka dengan mengalaskan
pada ajaran Cicero ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat di sanalah ada hukum),
maka kekosongan hukum pun dipandang tidak pernah ada, dengan reasioning setiap
masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum apabila
hukum resmi tidak memadai atau tidak ada.23
Selain bersifat legal, suatu peraturan juga bersifat sociological, empirical yang
tak bisa dipisahkan secara mutlak. Dengan menggunakan pisau interpretasi, hakim
tidak semata-mata membaca peraturan melainkan juga membaca kenyataan yang
terjadi dalam masyarakat sehingga keduanya dapat disatukan. Dari situlah akan timbul
suatu kreatifitas, inovasi serta progresifisme yang melahirkan konstruksi hukum.24
Pola pikir inilah yang mengarahkan Pengadilan Agama untuk dapat menerima
perkara permohonan itsbat nikah untuk keperluan Akta Kelahiran Anak yang belum
memiliki akta meskipun berusia lebih dari satu tahun dengan merujuk pada Pasal 32
ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
yang menyatakan bahwa pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu satu
tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan yang menyatakan anak itu
anak orangtua yang bersangkutan. Dengan demikian itsbat nikah untuk keperluan
membuat akta kelahiran anak merupakan sintesa penyimpangan hukum yang dibina
atas dasar pengisian kekosongan hukum (rechtsvacuum) karena selain tidak ada
23
Abdurrahman dkk, Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah
Pengabdian), Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2008, hlm.13. 24
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta
Publishing, Cet.I , 2009, hlm. 127.
12
peraturan yang mengatur tentang Itsbat Nikah untuk keperluan membuat akta
kelahiran anak, juga perkawinan secara syar’iyah tersebut dilaksanakan sesudah
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
Lain halnya dengan itsbat nikah untuk melegalkan perkawinan isteri poligami
liar, karena kasus ini ditengarai sekali lagi ditengarai sarat dengan unsur
penyelundupan hukum. Untuk mencegah dan mengeliminasi penyelundupan hukum
tersebut, maka proses pengajuan, pemeriksaan dan penyelesaian permohonan itsbat
nikah mempedomani petunjuk Buku II khususnya ketentuan pada angka 3 dan 4 yang
berkaitan permohonan Itsbat nikah yang diajukan sepihak maka ketentuannya adalah
sebagai berikut:
Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salah seorang
suami atau isteri bersifat kontensius dengan mendudukkan isteri atau suami
yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon, produknya
berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diupayakan banding dan
kasasi.
Apabila dalam proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah tersebut,
diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam perkawinan sah dengan
perempuan lain, maka isteri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam
perkara. Jika pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan
memasukkan istri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus
dinyatakan tidak dapat diterima.
Oleh karena dalam perspektif global itsbat nikah akan membuka peluang
berkembangnya praktek nikah sirri, maka hakim harus mempertimbangan secara
13
sungguh-sungguh apakah dengan mengitsbatkan nikah tersebut akan membawa
kebaikan atau justru mendatangkan madharat bagi semua pihak dalam keluarga
tersebut.25
Namun demikian, dalam mengambil suatu keputusan sikap hakim bersifat
bebas dengan pertimbangan dan penafsiran peraturan perundangan demi
kemaslahatan dan keadilan bagi masyarakat. Seperti ketentuan Pasal 6 Ayat (1) KHI
bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan
PPN, dan pada Ayat (2) disebutkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar
pengawasan PPN tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan menggunakan metode
Argumentum a Contra riro (mungkin tidak pas), dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak
mempunyai kekuatan hukum itu tidak berarti bahwa perkawinan tersebut tidak sah
atau batal demi hukum.
Pemikiran ini didasari pada pemahaman bahwa yang menjadi patokan
keabsahan suatu perkawinan itu adalah dilaksanakan berdasarkan hukum Agama
(Islam) dan kepercayaannya itu. Belum ditemukan satu pasal pun yang menyatakan
bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan tidak sah atau batal demi hukum.
Prof. DR. Bagir Manan, SH, LLM, salah seorang narasumber dalam Seminar
Sehari Hukum Terapan Peradilan Agama, tanggal 1 Agustus 2009, sebagaimana dikutip
oleh Dr. H. Andi Syamsu Alam, SH, MH, Tuada Uldilag,26 menyimpulkan bahwa
pencatatan perkawinan adalah suatu yang penting saja untuk dilakukan, oleh karena
itu tidak mengurangi keabsahan perkawinan itu sendiri. Sedangkan Prof.DR.Mahfud
25
Prof. Dr. Muchsin, SH, Problematika Perkawinan Tidak Tercatat dalam Pandangan Hukm Islam dan Hukum Positif, Materi Rakernas Perdata Agama Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 21.
26Dr. H. Andi Syamsu Alam (Tuada Uldilag), Beberapa permasalahan Hukum di Lingkungan
Uldilag; Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI, 2009, hlm. 6-7.
14
MD, SH, Ketua Mahkmah Konstitusi, menyatakan bahwa perkawinan Sirri tidak
melanggar konstitusi, karena dijalankan berdasarkan akidah Agama yang dilindungi
Undang-Undang Dasar 1945. DR.H.Harifin A, Tumpa,SH; MH., Ketua Mahkamah Agung
saat itu berpandangan bahwa kalau perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan
gejala umum dan didasarkan atas itikad baik atau ada factor darurat, maka hakim
harus mempertimbangkan.
Dari sinilah hakim mempertimbangkan itsbat nikah apakah akan dikabulkan
atau ditolak dengan pertimbangan yang memadai dan tidak terjebak oleh
onvooldoende gemotiveerd (putusan yang kurang pertimbangan).
Setelah terbit penetapan yang menyatakan sahnya suatu perkawinan, apakah
penetapan tersebut dengan sendirinya sebagai bukti dari sahnya suatu perkawinan
atau berdasarkan penetapan pengadilan tersebut perkawinan dicatatkan di Kantor
urusan Agama. Ada dua pandangan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama,
penetapan itsbat nikah merupakan produk hukum pengadilan yang bersifat final,
sehingga berfungsi sebagai alat bukti yang sah bagi suatu perkawinan dan karenanya
tidak perlu dilakukan pencatatan pada kantor Urusan Agama. Masalah yang muncul
dari model ini adalah tetapnya perkawinan tanpa tercatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah. Kedua, penetapan pengadilan terhadap itsbat nikah tersebut menjadi alat bukti
yang harus dicatatkan pada Kantor Urusan Agama untuk mendapatkan Akta Nikah.
Dalam hal ini penyaji lebih cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa dengan
penetapan itsbat nikah, pemohon dapat mengajukan ke KUA setempat untuk
mendapatkan Kutipan Akta Nikah. Namun masalah yang timbul adalah peristiwa
perkawinan yang menjadi dasar pencatatan, karena ada perbedaan antara peristiwa
15
perkawinan dengan peristiwa pencatatan. Itulah sebabnya kemudian Pegawai
Pencatat Nikah melakukan tajdid nikah, dengan memperbaharui pernikahannya. Jika
dilakukan pembaharuan nikah, bagaimana status anak yang dilahirkan sebelumnya?
Terlepas dari kedua model dengan implikasi masalahnya, pencatatan
perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah inilah, maka masing-masing suami
isteri memiliki bukti autentik atas pernikahan sebagai perbuatan hukum yang mereka
lakukan, sehingga hidup tenang dalam kehidupan masyarakat, dan dapat melakukan
upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing.
Dengan demikian, itsbat nikah sebagai alas hukum dari pencatatan perkawinan,
melahirkan kepastian hukum terhadap status perkawinan, status anak dan harta benda
dalam perkawinan.
Kepastian hukum model apa yang lahir dari itsbat nikah? Kepastian hukum
sesungguhnya merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normative,
bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normative adalah ketika suatu peraturan
dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas
dalam arti tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis dalam arti ia
menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma berbentuk kentestasi norma, reduksi norma atau distorsi
norma. JIka konstatasi ini parameternya, maka kepastian hukum ‘itsbat nikah’
terhadap status perkawinan, status anak dan status harta bersama, masih terus
menarik gairah untuk mempertanyakan dan membahsanya.
16
5. Simpul dan saran
Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah simpul sebagai berikut:
Perkara itsbat nikah yang akhir ini banyak ditangani oleh pengadilan agama, di
satu sisi sebagai cerminan adanya kesadaran hukum dari pelakunya untuk
mengoreksi kelalaiannya tidak mencatatkan perkawinannya, di sisi lain terbersit
satu harapan kuat akan lahirnya kepastian hukum atas perkawinannya.
Perkawinan di bawah tangan sesungguhnya merupakan pengbangkangan
secara diam-diam terhadap keharusan pencatatan nikah yang dianggap
assesoris dan bukan merupakan keharusan mutlak dari sumber agama,
dipastikan akan menimbulkan madharat di kemudian hari terhadap hak anak
dan status perkawinan, sehingga pencatatan perkawinan disepakati oleh ijtima’
ulama sebagai sesuatu yang harus dilakukan oleh orang yang melaksanakan
perkawinan.
Kepastian hukum dari itsbat nikah masih mengundang diskusi panjang sebagai
akibat dari kekosongan hukum dan imperatifnya ketentuan pencatatan nikah,
sehingga muncul suatu kekhawatiran selain itsbat nikah sebagai pelegalan
penyelundupan hukum, juga itsbat nikahnya itu sendiri bermuatan unsur-unsur
penyelundupan dan penyimpangan hukum walau dengan metode yang benar
dan lumrah dipergunakan dalam memutus suatu perkara.
Dari paparan yang seputar itsbat nikah, perkawinan di luar nikah dan simpul
yang diraikan penyaji, berikut ini penyaji menyampaikan saran-saran berikut:
Perlu adanya payung hukum terhadap kekosongan hukum itsbat nikah, baik
perupa Peraturan Ketua Mahkamah Agung atau berujud Undang-Undang
17
Terapan Peradilan Agama mengenai kebolehan itsbat nikah yang terjadi setelah
berlakunya Undang-Undang Perkawinan, mengingat semakin banyak peristiwa
perkawinan yang tidak tercatat yang pada saatnya selain merugikan hak sipil
perempuan yang menjadi isteri dalam perkawinan di bawah tangan dan
merugikan hak perdata anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Jika tidak demikian, perlu keberanian para ulama untuk memasukkan
pencatatan perkawinan sebagai salah satu rukun perkawinan ala fiqh
Indonesia, agar jelas status perkawinan yang tidak tercatat meruapakan
perkawinan yang tidak sah sehingga masyaraka muslim Indonesia akan lebih
berhati-hati dalam menyikapinya.
Perlu upaya sosialisasi terhadap pentingnya pencatatan nikah di satu sisi dan
pemahaman terhadap putusan itsbat nikah, apa pun jenisnya, telah melalui
proses secara seksama dengan mengunakan metode interpretasi dan metode
argumentum serta sistem lain yang lazin dipergunakan dalam pengambilan
putusan oleh hakim, agar hakim tidak menjadi sorotan dan bulan-bulanan
masyarakat atas produk putusannya.
18
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manaf, Refleksi beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama,
Bandung: CV.Mandar Maju, Cet.I., 2008.
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Cet.I, 2006.
Abdurrahman dkk, Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah
Pengabdian), Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2008.
Ahmad Rifai, SH, MH, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perpektif Hukum Progresif,
Jakarta: Sinar Grafika, Cet. I, 2010.
al-Jauziyah, Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in, Bairut: Dar al-Fikr, Juz VII,
1397H/1977M.
Andi Syamsu Alam, Dr., SH, MH., (Tuada Uldilag), Beberapa permasalahan Hukum di
Lingkungan Uldilag; Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI,
2009.
Habiburrahman, Dr., M. Hum, Anak Luar Nikah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi,
dalam Varia Peradilan Nomor 317 April 2012, Jakarta: IKAHI.
Muchsin, Prof. Dr., SH., Problematika Perkawinan Tidak Tercatat dalam Pandangan
Hukm Islam dan Hukum Positif, Materi Rakernas Perdata Agama
Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008
M. Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta:
Kencana, 2005, cet. II.
Putusan Nomor 46/Pdt.P/2008/PA. Tgrs tanggal 18 Juni 2008.
Satjipto Rahardjo, Prof. Dr, SH., Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
Yogyakarta : Genta Publishing, Cet.I , 2009.
www.hukumonline.com, KH Ma'ruf Amin, Ketua Panitia Pengarah Ijtima' Ulama Komisi
Fatwa MUI se-Indonesia II.
www.mui.org, Nikah Di bahwah tangan sah, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI si-
Indonesia.
www.radarbanten.com, 4 Mei 2012, Puluhan Pejabat Beristeri lebih dari Satu.