kepentingan indonesia dalam pembentukan apsc
DESCRIPTION
Perumusan kebijakan luar negeri Indonesia dalam pembentukan APSC yang didasari oleh berbagai kepentingan nasional Indonesia.TRANSCRIPT
Perumusan kebijakan luar negeri Indonesia menggagas pembentukan ASEAN Political-Security Community (APSC) berdasarkan pada persepsi dan interpretasi para pembuat kebijakan luar negeri mengenai perkembangan situasi global, regional dan domestik pasca perang dingin 1990-2003.
2010
School Working PaperRyan Ananta
KEPENTINGAN INDONESIA DALAM PEMBENTUKAN ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY
Oleh: Ryan Ananta
Perumusan kebijakan luar negeri Indonesia menggagas pembentukan ASEAN Political-Security Community (APSC) berdasarkan pada persepsi dan interpretasi para pembuat kebijakan luar negeri mengenai perkembangan situasi global, regional dan domestik pasca perang dingin 1990-2003. Dalam hal ini, para pembuat kebijakan luar negeri Indonesia berasal dari kalangan Departemen Luar Negeri Indonesia (DEPLU) terutama Menteri Luar Negeri Indonesia yang dahulu masih dijabat oleh Hassan Wirajuda, dan para pejabat Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, yang mendapat masukan dari kalangan think tank yang ikut merumuskan konsep APSC yakni dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
ASEAN Political-Security Community: Membangun Citra Indonesia
sebagai Negara Demokratis
Pasca jatuhnya rezim Soeharto, perjuangan diplomasi Indonesia
dalam mengembangkan regionalisme Asia Tenggara dengan mengajukan
konsep APSC harus mencakup dan menyajikan suatu konsep keamanan
yang berlandaskan ketahanan nasional dan ketahanan regional, yang
berlandaskan keamanan komprehensif, yang sudah disesuaikan dengan
perubahan global seputar demokrasi dan hak azasi manusia yang
merupakan bagian integral dari dimensi keamanan manusia. Sehingga
dalam hal ini, demokrasi merupakan elemen vital dalam memperbaiki citra
Indonesia.
Demokratisasi Indonesia membawa perubahan politik yang
berlangsung di semua aspek kehidupan sosial-politik di Indonesia.
Perubahan tersebut bahkan menyentuh bidang diplomasi dan politik luar
2
negeri yang selama ini merupakan kewenangan pihak eksekutif. Di masa
pemerintahan Orde Baru yang otoritarian, konsultasi antara pemerintah
dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kalangan publik mengenai
politik luar negeri dan diplomasi hanya terjadi dalam level yang sangat
minimal. Karena itu, perumusan kebijakan diplomasi dan politik luar negeri
yang melibatkan semakin banyak aktor akan membuka kemungkinan
bahwa setiap kebijakan dalam dua bidang tersebut akan
merepresentasikan kepentingan nasional Indonesia secara lebih luas.1
Awal transisi demokrasi Indonesia telah dimulai sejak masa
pemerintahan Habibie. Usaha konsolidasi untuk demokrasi di Indonesia,
dibantu oleh dorongan yang bersumber dari luar negeri, seperti
condionality yang diterapkan oleh IMF berkenan dengan bantuan
keuangan pada masa krisis ekonomi. Tetapi selain itu, Indonesia pada
saat itu juga mulai menggunakan diplomasi dan politik luar negeri untuk
mengkonsolidasikan demokrasinya. Meskipun menghadapai masalah
legitimasi yang serius, pemerintahan Presiden Habibie mampu
menghasilkan Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan
atas hak asasi manusia; membentuk Komisi nasional perempuan serta
mendorong ratifikasi konvensi-konvensi internasional dalam masalah hak-
hak pekerja. Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam
bidang HAM, Presiden Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih
besar dari masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya
1 Philips J Vermonte, “Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra Diri”, hal. 37.
3
legitimasi dari kalangan domestik. Namun, menguatnya dukungan
internasional terhadap transisi demokrasi Indonesia masa pemerintahan
Habibie juga membawa dampak negatif terhadap pemerintahannya.
Kebijakan yang memberikan referendum bagi persoalan Timor-Timur yang
kemudian memojokkan pemerintahan Habibie. Dan akhirnya, Presiden
Habibie kehilangan legitimasi baik dari domestik internal negara maupun
internasional yang menganggap ketergantungan Presiden dengan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) pada saat itu, berujung pada tindakan kekerasan
di Timor Timur setelah referendum.2
Dalam hal ini, politik luar negeri yang digunakan Presiden Habibie
sebagai alat untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim
autotitarian yang digantikannya, serta kerjasama internasional dengan
negara-negara yang mapan demokrasinya akan semakin baik dan pada
akhirnya memberi kontribusi positif bagi proses konsolidasi internal.3
Kebijakan ini juga terlihat pada masa pemerintahan sesudah
pemerintahan transisi demokrasi Habibie.
Demokrasi yang mengantarkan Megawati Soekarnoputri sebagai
Presiden Indonesia masa jabatan 2001-2004. Sejalan dengan UUD 1945,
pemerintahan Megawati berupaya menerapkan tatanan politik baru, yang
diawali dengan pengembangan sistem kepartaian baru, sistem pemilihan
umum yang baru, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung, reformasi birokrasi di tingkat pusat dan daerah. Menurut peneliti
2 Ibid., hal. 30-32.3 Ibid. hal. 29.
4
CSIS, Philips J. Vermonte mengatakan bahwa pencitraan diri sebagai
negara demokratis di luar negeri dapat memberi sumbangan positif bagi
proses konsolidasi demokrasi di dalam negeri. Karena itu, Indonesia
berkepentingan untuk menciptakan lingkungan eksternal yang kondusif
bagi proses konsolidasi tersebut.4
Dalam kebijakan luar negeri, Presiden Megawati telah belajar dari
pemerintahan Presiden sebelumnya, dengan lebih mempertimbangkan
dan memperhatikan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri
dan diplomasi yang seperti diamanatkan UUD 1945. Meskipun cara yang
digunakan Megawati sama dengan cara yang digunakan Presiden Wahid
dengan mencoba menggalang dukungan internasional melalui kunjungan
kenegaraan di negara-negara sahabat. Namun dengan cara tersebut,
Presiden Megawati mampu mengembalikan kepercayaan publik
internasional melalui pertemuan di New York bulan September 2002.
Sekjen PBB Kofi A. Annan telah menyampaikan kepada Presiden
Megawati Soekarnoputri bahwa PBB dan seluruh negara anggotanya
mendukung keutuhan wilayah dan kedaulatan Indonesia.
Menteri Luar Negeri Indonesia pada saat itu, Hassan Wirajuda,
pernah mengatakan bahwa proses demokrasi di Indonesia akan memberi
kontribusi yang sangat penting bagi politik luar negeri dan diplomasi
Indonesia, dalam arti bahwa faktor itu akan menstimulasi Indonesia untuk
4 Philips J Vermonte, “Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra Diri”, op. cit., hal. 27.
5
memainkan peran regional dan internasional yang lebih aktif.5 Dalam
konteks ini, sisi demokratisasi yang hendak ditonjolkan di kawasan Asia
Tenggara akan berdampak positif bagi kepentingan Indonesia dalam
memperbaiki citra diri Indonesia di ASEAN dan internasional.
Tantangan kemudian muncul ketika pemerintahan Megawati
memperbaiki citra Indonesia baik di regional maupun internasional serta
menjaga kestabilitasan demokratisasi domestik. Peristiwa serangan
terorisme di AS pada 11 September 2001, pemboman di Bali dan Jakarta,
serta invasi AS ke Afghanistan dan separatisme di Indonesia menjadi
variabel internal dan eksternal yang mewarnai demokratisasi di Indonesia.
Di satu sisi, perang melawan terorisme mengharuskan Indonesia untuk
membuka diri dalam kerjasama internasional terkait dalam persoalan
tersebut, bahkan di Indonesia memberlakukan sejumlah UU yang terkait
terorisme di dalam negeri. Namun di sisi lain, upaya pemerintah
memberantas terorisme ini kemudian menjadi isu besar mengenai
perlindungan terhadap kebebasan sipil di tengah demokratisasi, seiring
dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan mendapatkan
momentum untuk mengembalikan prinsip security approach di dalam
negeri.6
Sehingga Deplu sebagai ujung tombak diplomasi Indonesia
melakukan restrukturisasi dengan membangun struktur dan birokrasi baru,
5 Kompas, 22 Oktober 2004. Dikutip dari, Bantarto Bandoro, “The Hassan Initiative dan Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia”, dalam Bantarto Bandoro (ed), Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: CSIS, 2005), hal. 41.6 Philips J Vermonte, “Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra Diri”, op. cit., hal. 36
6
sebagai penyesuaian terhadap perubahan global pasca peristiwa 11
September 2001 di AS. Restrukturisasi Deplu ditujukan untuk
mendekatkan faktor internasional dan faktor domestik dalam mengelola
diplomasi. Diplomasi tidak hanya dipahami dalam kerangka mampu
memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia ke luar, tetapi juga
mampu mengkomunikasikan perkembangan dunia luar ke dalam negeri,
yakni dengan diplomasi publik melalui penguatan networking dengan
media, masyarakat, akademisi, bahkan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM).7 Tujuan restrukturisasi adalah untuk melibatkan seluruh sektor
masyarakat Indonesia dalam profil diplomatik Indonesia.8 Keikutsertaan
seluruh sektor masyarakat tersebut merupakan buah dari proses
demokratisasi yang memperlihatkan bahwa sentra kekuasaan telah
mengalami divertifikasi.9
Menciptakan kondisi eksternal yang kondusif bagi proses
konsolidasi demokrasi domestik, maka pemerintahan Megawati bersama
Deplu menempatkan pentingnya dukungan regional, terutama ASEAN.
Kemudian Indonesia menyadari bahwa dalam kapasitasnya di dalam
ASEAN, perkembangan demokratisasi domestik akan mempengaruhi
perkembangan regional ke arah yang sama. Sehingga perubahan politik
dalam negeri yang menuju arah demokratis, perlu direfleksikan ke dalam
politik luar negeri Indonesia. Indonesia melihat peluang ini lewat salah 7 Ibid.8 Bantarto Bandoro, “The Hassan Initiative dan Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia”, dalam Bantarto Bandoro (ed), Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: CSIS, 2005), hal. 42.9 Philips J Vermonte, “Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra Diri”, op. cit., hal. 37.
7
satu isu yang telah lama ada di dalam ASEAN, yakni penyelesaian konflik
secara damai sebagai pilihan utama. Kebijakan Indonesia mengajukan
proposal ASPC tahun 2003 memperlihatkan bahwa politik luar negeri
Indonesia menuju pada perubahan ke arah yang lebih demokratis, sebab
masyarakat demokratis adalah masyarakat yang selalu menempatkan
penyelesaian konflik dengan cara damai sebagai pilihan utama. APSC
menempatkan diplomasi sebagai pertahanan negara di masa damai, yang
bertujuan membentuk masyarakat Asia Tenggara yang bersepakat untuk
mengeliminasi penggunaan kekerasan atau instrumen militer dalam
menyelesaikan konflik. Karena itu, untuk mendukung konsep tersebut,
Indonesia konsisten menyelesaikan isu separatisme internal dengan cara
damai. Supaya tidak terjebak pada standar ganda, dimana di satu sisi
mengupayakan penyelesaian konflik secara damai di regional tetapi di
dalam negeri justru memakai kekerasan dalam penyelesaian konflik. Inilah
yang menjadi pertimbangan para pembuat kebijakan luar negeri bahwa
pencitraan diri sebagai negara demokratis di luar negeri akan menjadi
dorongan untuk pencitraan diri sebagai negara demokratis di dalam
negeri. Dan Indonesia telah menunjukkan diri sebagai penganjur
penyelesaian damai dalam berbagai konflik di kawasan Asia Tenggara.10
Seperti yang tertuang dalam Deklarasi Bali Concord II, Bagian II
Karakteristik dan Elemen dalam APSC pada Butir 1, menyebutkan11 :
10 Ibid., hal. 38-3911 ASEAN Secretariat, Roadmad for an ASEAN Community 2009-2015 (Jakarta: ASEAN Secretariat, April 2009), hal. 5.
8
Komunitas Politik-Keamanan ASEAN (APSC) yang dibayangkan akan membawa kerjasama politik dan keamanan ASEAN ke tingkat lebih tinggi. APSC menjamin negara anggota ASEAN hidup damai satu sama lain dan dengan dunia didalam lingkungan yang adil, demokratis dan lingkungan yang harmonis.
Kepentingan Indonesia Menstabilkan Kerjasama ASEAN
Ketika memasuki dasawarsa 1990, ASEAN Free Trade Area
disepakati dan mulai diimplementasikan dengan kesadaran yang dipicu
oleh munculnya tantangan ekonomi baru di Asia sehubungan dengan
kemajuan ekonomi Jepang, India dan Cina. Untuk dapat bersaing dengan
negara-negara tersebut, ASEAN perlu mengintegrasikan perekonomian
kawasan Asia Tenggara menjadi satu kesatuan entitas ekonomi yang
secara kuantitas dan kualitas dapat bersaing dengan perekonomian
kawasan Asia. Pada saat yang sama, ASEAN menghadapi arus
globalisasi yang mana perekonomian negara-negara di dunai saling terkait
satu sama lain (interdependensi). Globalisasi selain berdampak positif
dengan keuntungan masuknya arus investasi, juga mengakibatkan
dampak negatif seperti saat krisis ekonomi melanda kawasan Asia
Tenggara, yang mengakibatkan keluarnya modal secara besar-besaran
(Massive Capital Outflows).
Datangnya krisis merubah persepsi para pemimpin ASEAN, bahwa
bukan hanya kehidupan sosial yang terguncang tetapi juga fondasi politik-
keamanan negara mereka. Peristiwa krisis ekonomi yang melanda
kawasan, mendorong para pemimpin ASEAN untuk secara cepat
mengambil kebijakan dalam integrasi perekonomian regional, untuk
menghindari termarginalisasi arus globalisasi. Prakarsa paling penting,
9
saat KTT ASEAN ke-8 di Phnom Penh bulan November 2002, dimana
para pemimpin ASEAN menyepakati usulan Perdana Menteri Singapura
Goh Chok Tong mengenai pembentukan ASEAN Economic Community
(AEC) sebagai tujuan akhir dari proses integrasi ekonomi ASEAN.
Dalam hal ini, Indonesia tampaknya masih menunjukkan sikap ‘asal
ikut’ dan enggan mengambil peran lebih banyak di bidang ekonomi
regional. Meski Indonesia kurang bergairah dalam prakarsa integrasi
ekonomi tersebut, namun eksistensi Indonesia dibutuhkan di ASEAN.
Menurut Hadi Soesastro, ASEAN yang maju dan kuat adalah dalam
kepentingan Indonesia dan kawasan. Sebagai negara besar di kawasan
barangkali Indonesia memang dapat berkiprah sendiri, tetapi kawasan
yang lemah dan tidak stabil akan berdampak negatif bagi Indonesia.
Dalam persaingan ekonomi global dewasa ini, ASEAN sebagai suatu
kesatuan ekonomi mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk
berkiprah. Sebaliknya, peran Indonesia sangat diharapkan, khususnya
sebagai pihak pendorong upaya mewujudkan pembentukan ASEAN
Community. 12
Dalam konteks ini, peran aktif Indonesia terasa saat krisis ekonomi
yang melanda kawasan Asia Tenggara memunculkan isu-isu baru seputar
keamanan seperti terorisme, kejahatan lintas batas negara, konflik internal
suatu negara yang berpotensi merambah ke negara-negara tetangga
12 Hadi Soesastro, “FAktor Ekonomi Dalam Politik Luar Negeri Indonesia”, dalam Bantarto Bandoro (ed), Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia (Jakarta: CSIS, 2005), hal. 82-83.
10
lainnya. Gagasan Indonesia mengenai pembentukkan APSC terkait
dengan gagasan Singapura mengenai pembentukan AEC.
Pertama, Indonesia menilai bahwa integrasi ekonomi regional
hanya bisa terwujud jika didukung oleh pembentukan kebijakan dari suatu
komunitas keamanan. Sebaliknya, komunitas keamanan tidak akan
berkelanjutan tanpa dasar yang kuat dari kepentingan bersama yang
dihasilkan oleh masyarakat ekonomi. Dengan kata lain, kedua harus
saling terkait dan saling memperkuat satu sama lain.13 Proses integrasi
ekonomi ASEAN yang semakin mendalam sebagaimana diusung melalui
sebuah Komunitas Ekonomi, mutlak diimbangi dengan proses
pembentukan dasar-dasar pondasi politik yang kuat. Dasar pondasi politik
yang dimaksud berupa landasan ideologis, yang mana Indonesia sepakat
mengangkat demokrasi dan HAM untuk menopang gagasan APSC.
Tujuannya menciptakan kerangka kerjasama politik-keamanan kawasan
dimana terdapat derajat kepercayaan yang tinggi diantara negara-negara
ASEAN. Dengan derajat kepercayaan tinggi diantara negara-negara
ASEAN akan menjamin keberlangsungan pembangunan ekonomi setiap
negara anggota. Pembangunan ekonomi merupakan landasan dasar bagi
upaya mencapai stabilitas, sebagaimana stabilitas pada gilirannya
merupakan kunci keberhasilan pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Kedua, Indonesia berpandangan bahwa kerjasama ASEAN
sebagai organisasi regional tidak akan berhasil jika secara terus menerus
13 Ali Alatas, pidato “Towards an ASEAN Security Community”, Instituto Diplomatico, Lisbon 3 Juni 2004, hal. 2.
11
melakukan penekanan hanya pada aspek kerjasama ekonomi. Keadaan
ini terjadi sejak pasca Perang Dingin, yang mana penekanan kerjasama
ekonomi ASEAN lebih intensif daripada kerjasama di bidang politik
keamanan. Bahkan karena tingginya intensitas kerjasama di bidang
ekonomi, ASEAN seakan lupa menguatkan kerjasama di bidang politik-
keamanan, dan seringkali cenderung mengabaikan konflik dan potensi
konflik di antara negara-negara ASEAN. Kondisi ini mengakibatkan
hubungan di antara negara-negara ASEAN terjalin tidak sehat. Dalam arti
bukan semangat kekeluargaan, rasa kekitaan atau kebersamaan yang
hidup, namun semangat berkompetisi yang tidak sehat.
Hasil KTT ASEAN ke-8 yang merupakan pengembangan sebuah
free trade area yang telah dibangun pada dasawarsa 1990-an, berupa
komitmen-komitmen dengan lingkup implementasi kegiatan yang semakin
teknis. Implementasi kegiatan yang sepenuhnya bersifat liberalisasi dalam
ekonomi pasar bebas. Karena terlalu dipusatkan pada kepentingan
ekonomi, kepentingan bersama dan rasa persaudaraan pada gilirannya
akan dikorbankan, sehingga logika ekonomi pasar bebas tanpa
penyeimbangan kerjasama politik-keamanan akan bersifat kapitalis,
dimana semua kepentingan bersama tenggelam menerima kemajuan dan
keuntungan dalam mekanisme pasar bebas.
Gagasan komunitas politik-keamanan oleh Indonesia merupakan
alat penyeimbang dari semangat integrasi ekonomi regional. Negara-
negara ASEAN yang dahulunya hanya mengenal economic roads towards
12
peace yang terlihat jelas pada Deklarasi Bangkok 1967, kini melalui
Indonesia mengenalkan security roads towards peace. Sebuah langkah
utama dalam menempuh jalur perdamaian menuju stabilitas keamanan
ASEAN.
Pada tahun 2004, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda
mengatakan14:
In the long run, to sustain the momentum of economic integration and to achieve durable peace and stability in the region, ASEAN countries need to complement the economic road towards peace with a security road towards peace. Through the habits of cooperation nurtured for more than three decades, ASEAN members should now be mature enough to define and elaborate their Association’s political and security objectives beyond normative and abstract terms.
Sehingga pandangan Indonesia dalam jangka panjang adalah
untuk mempertahankan momentum integrasi ekonomi dan sekaligus untuk
menjaga perdamaian dan stabilitas yang berkelanjutan di kawasan,
negara-negara ASEAN perlu melengkapi kerjasama ekonomi (economic
roads towards peace) dengan kerjasama politik-keamanan (security roads
towards peace).
ASEAN Political-Security Community: Untuk Mengembalikan Peran
Kepemimpinan Indonesia di ASEAN
Hubungan Indonesia dan ASEAN dapat dikategorikan sebagai
hubungan rasional, dimana Indonesia berpandangan fungsi ASEAN bagi
Indonesia seperti halnya yang telah dijelaskan oleh Dewi Fortuna Anwar 14 Hassan Wirajuda, “Towards an ASEAN Security Community”, dalam Igor Herlisrianto, Kebutuhan dan Kepentingan Nasional Indonesia Dalam Bidang Politik dan Keamanan Menggagas Pembentukan ASEAN Secuity Community, diunduh dari http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126157-SK-HI%20008%202008%20Her%20f%20-%20Faktor-faktor%20-%20Analisis.pdf, tanggal 11 Mei 2010, hal. 108.
13
pada pembahasan sub-bab sebelumnya, dan ASEAN berpendapat posisi
Indonesia didalam organisasi tersebut sebagai jangkar stabilitas kawasan.
Keikutsertaan Indonesia di ASEAN merupakan salah satu langkah terbaik
tidak saja untuk menghindarkan diri dari keterkucilan di dunia
internasional, tetapi juga sekaligus dapat mengembalikan kepercayaan
dunia. Sejarah mencatat ketika pada saat itu, Indonesia terkucil dalam
pergaulan dunia internasional yang menyebabkan kredibilitas Indonesia
merosot karena politik konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia. Sehingga
dengan membangun hubungan baik dengan negara-negara tetangga
akan berdampak pada keuntungan dalam menjalin hubungan dengan
negara-negara lain di dunia.
Dalam kerjasama politik keamanan, Indonesia setidaknya memiliki
dua peran: peran pertama sebagai regional leader, yakni peran dimana
pemerintah Indonesia berpandangan memiliki tugas dan tanggung jawab
terhadap keamanan kawasan Asia Tenggara. Sumber ancaman dan
gangguan keamanan di kawasan memiliki pengaruh besar pada
keamanan nasional Indonesia dan demikian pula sebaliknya. Sehingga
melalui politik luar negeri, Indonesia berinisiatif dalam menyelesaikan
masalah-masalah internal kawasan. Hal ini terlihat dari sikap Indonesia
terhadap isu maritim kawasan Asia Tenggara dengan sengketa yang rumit
di Laut Cina Selatan dimana perairan tersebut diperebutkan oleh hampir
sebagian negara anggota ASEAN dengan Cina, penanganan krisis
Vietnam-Kamboja, perumusan konsep ZOPFAN. Peran kedua, Indonesia
14
sebagai active independent, yakni peran dimana Indonesia menekankan
pentingnya meningkatkan hubungan dengan banyak negara dan sewaktu-
waktu juga menjadi penengah (mediator) dalam konflik antarnegara. Hal
ini terlihat misalnya dari usaha Indonesia mengemukakan gagasan TAC
dalam KTT ASEAN I di Bali, tahun 1976 disepakati sebagai konsep dasar
di dalam menyelesaikan persengkataan antarnegara di Asia Tenggara.
Selain kedua peran tersebut, terdapat beban moral yang menyertai
Indonesia sebagai negara anggota ASEAN yang pro-aktif dan lebih
banyak memimpin dengan inisiatif-inisiatifnya untuk menggerakkan
ASEAN. Dengan kata lain, partisipasi Indonesia dalam agenda ASEAN
dipandang sangat penting pula bagi kelangsungan ASEAN. Bisa
dikatakan bahwa sejak pembentukan ASEAN, Indonesia memiliki citra
sangat baik dalam regional maupun internasional dan peran sentral dalam
organisasi regional tersebut.
Tetapi krisis ekonomi yang melanda Asia tahun 1997, praktis
segala sentralitas dan persepsi positif mengenai relevansi ASEAN
tersebut hilang seiring dengan konsentrasi penuh negara-negara ASEAN,
terutama Indonesia dalam mengatasi lumpuhnya multisektor akibat krisis
tersebut. Krisis ekonomi yang melanda kawasan membawa dampak
negatif bagi Indonesia secara berkepanjangan. Kondisi tersebut
diperburuk ketika Indonesia memasuki masa transisi menjadi negara
demokratis, yang mana kepemimpinan Presiden Habibie dan Presiden
Wahid dinilai lemah, tidak konsisten, dan kebijakan luar negeri tanpa arah.
15
Dengan kondisi internal negara semakin tidak stabil, negara semakin
kehilangan dukungan dari berbagai kelompok, dicabutnya modal asing
yang keluar dalam gelombang besar, praktis Indonesia kehilangan
kepercayaan terhadap investor asing. Instabilitas ekonomi dan politik yang
menyebabkan Indonesia terfokus pada normalisasi kondisi internal
negara, praktis posisi Indonesia di ASEAN merosot drastis. Diikuti dengan
hubungan semakin buruk antarnegara ASEAN, akibat dari penyampaian
kritik terbuka karena tidak adanya kesepakatan bersama dalam mengatasi
krisis ekonomi kawasan, yang mengancam disintegrasi kawasan.
Kerenggangan hubungan dengan ASEAN berlangsung hingga akhir masa
pemerintahan Presiden Wahid.
Bagi Indonesia, pulihnya kepercayaan dunia internasional kepada
Indonesia adalah suatu hal yang sangat penting untuk dipertahankan
bahkan ditingkatkan dalam upaya mengharumkan profil ataupun citra
Indonesia di forum internasional. Sehingga untuk mengembalikan
sentralitas Indonesia di dalam ASEAN, Indonesia mengusulkan gagasan
APSC.
Indonesia senantiasa memandang penting kerjasama ASEAN baik
bagi pencapaian kepentingan nasional, regional dan global. Dalam masa
kepemimpinan Indonesia sebagai Ketua ASEAN Standing Committee
tahun 2003-2004, Indonesia telah menyelenggarakan dan mengetuai
rangkaian Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM), Post Ministerial
Conference (PMC), dan ASEAN Regional Forum (ARF) 29 Juni - 2 Juli
16
2004. Pembahasan AMM ke-37 dititikberatkan pada tindak lanjut KTT
ASEAN ke-9 pada Oktober 2003 di Bali, khususnya mengenai APSC-PoA.
Pada AMM ke-37 dan pada Pertemuan Informal AMM di New York
September 2004, para Menlu ASEAN menyepakati konsep Plan of Action
(PoA) secara konsensus, dan merekomendasikan pengesahannya
kepada para pemimpin ASEAN pada KTT ASEAN ke-10 di Vientiane,
Laos November 2004. KTT tersebut menjadi peristiwa penting karena
konsep Komunitas ASEAN yang digulirkan Indonesia pada KTT ASEAN
ke-9 di Bali, tahun 2003 menjadi lengkap dengan disahkannya APSC-
PoA.15
Bukti-bukti tersebut yang menunjukkan bahwa dalam konteks
Indonesia menggagas pendirian APSC pada KTT ASEAN ke-9 di Bali
tahun 2003, menjadi salah satu inisiatif politik luar negeri Indonesia.
Dengan gagasan APSC, Indonesia berupaya keras memulihkan
perannya, baik dunia internasional maupun regional, yang sempat
terpuruk semenjak krisis ekonomi dan politik 1997-1998, yang semakin
diperburuk dengan instabilitas keamanan dalam negeri. Kesempatan
sebagai penerus ketua Panitia Tetap ASEAN ke-37, digunakan Indonesia
untuk memajukan sebuah inisiatif gagasan APSC untuk perkembangan
kerjasama ASEAN. Sehingga, hal tersebut mencerminkan bahwa
Indonesia meningkatkan peran kepemimpinan sebagai aktor utama dalam
ASEAN, sekaligus sebagai ketua Panitia Tetap ASEAN yang mempunyai
15 Faustinus Andrea, “Indonesia dan Asia Tenggara Dalam Desian Baru Politik Luar Negeri Indonesia”, dalam Bantarto Bandoro (ed), Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia (Jakarta: CSIS, 2005), hal. 90.
17
inisiatif dalam pengembangan kerjasama ASEAN untuk lebih
terkonsolidasi dan kohesif.
18