keragaman karakter agronomi pada fase …digilib.unila.ac.id/55141/3/skripsi tanpa bab...

53
KERAGAMAN KARAKTER AGRONOMI PADA FASE GENERATIF GENERASI M 2 CABAI (Capsicum annuum L.) VARIETAS FEROSA YANG DIINOKULASI Colletotrichum sp. PENYEBAB ANTRAKNOSA (Skripsi) Oleh IBNU PRASOJO FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

Upload: danghuong

Post on 04-Jun-2019

242 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

KERAGAMAN KARAKTER AGRONOMI PADA FASE GENERATIF

GENERASI M2 CABAI (Capsicum annuum L.) VARIETAS FEROSA

YANG DIINOKULASI Colletotrichum sp. PENYEBAB ANTRAKNOSA

(Skripsi)

Oleh

IBNU PRASOJO

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

ABSTRAK

KERAGAMAN KARAKTER AGRONOMI PADA FASE GENERATIF

GENERASI M2 CABAI (Capsicum annuum L.) VARIETAS FEROSA

YANG DIINOKULASI Colletotrichum sp. PENYEBAB ANTRAKNOSA

Oleh

IBNU PRASOJO

Produktivitas cabai yang rendah akibat penyakit antraknosa dapat diatasi dengan

perakitan varietas unggul melalui program pemuliaan tanaman. Keragaman

genetik suatu tanaman memiliki arti penting dalam program pemuliaan tanaman.

Mutasi melalui iradiasi sinar gamma merupakan salah satu cara yang digunakan

untuk memperluas keragaman genetik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

nilai keragaman karakter agronomi mutan cabai generasi M2 varietas Ferosa yang

diinokulasi dengan isolat Colletotrichum sp. penyebab penyakit antraknosa cabai.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan dan

Laboratorium Lapang Terpadu yang kemudian dilakukan pengamatan lebih lanjut

di Laboratorium Benih dan Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas

Lampung pada Juli 2017 sampai dengan Januari 2018.

Ibnu Prasojo

Penelitian ini menggunakan rancangan perlakuan tunggal tidak terstruktur dengan

rancangan percobaan tanpa ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)

keragaman yang luas didapatkan pada seluruh karakter yang diamati, kecuali

periode inkubasi. (2) terdapat genotipe harapan terpilih berdasarkan kemampuan

tanaman cabai menghasilkan buah merah sehat terbanyak, yaitu genotipe nomor

136 dengan jumlah buah merah sehat sebanyak 41 buah dan genotipe harapan

terpilih berdasarkan potensi produksi tertinggi, yaitu genotipe nomor 90 dengan

jumlah buah total sebanyak 392 buah.

Kata kunci: Keragaman, mutan cabai, penyakit antraknosa

KERAGAMAN KARAKTER AGRONOMI PADA FASE GENERATIF

GENERASI M2 CABAI (Capsicum annuum L.) VARIETAS FEROSA

YANG DIINOKULASI Colletotrichum sp. PENYEBAB ANTRAKNOSA

Oleh

IBNU PRASOJO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada 18 Januari 1996, merupakan putra

bungsu dari tiga bersaudara pasangan Bapak Harjono dan Ibu Sri Mulya Arjuni.

Penulis telah menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-Kanak Among Putra

Gunung Sulah Bandar Lampung pada tahun 2002, Sekolah Dasar Negeri 1

Surabaya Bandar Lampung pada tahun 2008, Sekolah Menengah Pertama Negeri

12 Bandar Lampung pada tahun 2011, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 12

Bandar Lampung pada tahun 2014.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Agroteknologi Fakultas

Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan

Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2014. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa

penerima Bantuan Biaya Pendidikan Bidikmisi Angkatan kelima Universitas

Lampung tahun 2014. Selama menjadi mahasiswa, penulis tergabung dalam Unit

Kegiatan Mahasiswa Fakultas Lembaga Studi Mahasiswa Pertanian (UKMF LS-

MATA) Fakultas Pertanian Universitas Lampung sebagai anggota bidang

Penelitian dan Pengembangan periode kepengurusan 2015-2016. Selain itu,

penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-Dasar Fisiologi

Tumbuhan dan Teknik Pemuliaan Tanaman.

Pada Januari – Februari 2017, penulis melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata

(KKN) Tematik Universitas Lampung di Desa Sidoluhur Kecamatan Bangun Rejo

Kabupaten Lampung Tengah. Pada Juli – Agustus 2017, penulis melaksanakan

Praktik Umum di PT Great Gaint Pineapple Terbanggi Besar Lampung Tengah.

“Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah

diusahakannya.” (QS. An-Najm : 39)

“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian

sendiri ...” (QS. Al-Isra : 7)

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

(HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni)

“Sesungguhnya Allah akan menolong seorang hamba-Nya selama hamba itu

menolong orang lain.” (HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)

Alhamdulillahi Robbil‟alamin, dengan penuh rasa syukur kepada Allah

Subhanahu wa Taala dan dengan segala kerendahan hati, Aku persembahkan

karya ilmiah ini kepada

Keluarga tercinta

Ayahanda Harjono, Ibunda Sri Mulya Arjuni, Peni Anissa, Joko Ahmadi dan

seluruh keluarga sebagai wujud bakti atas segala doa, dukungan, dan kasih sayang

yang tak pernah putus

Sahabat-sahabat yang selalu hadir dalam suka maupun duka, yang mau menerima

segala kekurangan, yang tidak pernah berhenti memberikan dukungan

Serta almamater tercinta

Universitas Lampung

SANWACANA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Taala atas

berkah, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini. Shalawat teriring salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad

Shalallahu Alaihi Wassalam beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga

akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa selama penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak

terlepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari banyak pihak. Oleh karena itu

pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung.

2. Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi

Universitas Lampung.

3. Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc., selaku Ketua Bidang Agronomi dan

Hortikultura.

4. Dr. Ir. Nyimas Sa‟diyah, M.P., selaku Pembimbing Utama atas ilmu

pengetahuan, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis selama penelitian

hingga penyelesaian skripsi.

iii

5. Dr. Ir. Suskandini Ratih Dirmawati, M.P., selaku Pembimbung Kedua atas

ilmu pengetahuan, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis selama

penelitian hingga penyelesaian skripsi.

6. Ir. Rugayah, M.P., selaku Pembahas atas ilmu pengetahuan, bimbingan, saran,

motivasi serta segala masukan yang membangun dalam penulisan skripsi ini.

7. Ir. Nur Yasin, M.Si., selaku Pembimbing Akademik atas motivasi, nasihat,

serta dukungannya kepada penulis selama menjadi mahasiswa Fakultas

Pertanian Universitas Lampung.

8. Kedua orang tua tercinta Bapak Harjono dan Ibu Sri Mulya Arjuni, kakak-

kakak penulis Peni Anissa dan Joko Ahmadi serta seluruh keluarga yang

selalu memberikan doa, dukungan dan kasih sayang kepada penulis selama

ini.

9. Rekan-rekan penelitian Adawiah, S.P., Dion Auguta Wicaksono, Erik

Suwandana, dan Lidya Khoirunnisa, yang telah banyak membantu dan

berjuang bersama dalam melaksanakan penelitian hingga penyelesaian skripsi.

10. Sahabat-sahabat penulis Diky Virgiawan, Dita Nurul Hidayah, Heppy

Kurniati, Ikhlasul Imam, Jatmiko Umar Sidik, Kenny Titian Mutiara, Kurnia

Oktavia, Lidya Khoirunnisa, Lily Agustini Waruwu, dan Muhammad

Afriansyah atas persahabatan dan semangat kebersamaan selama kuliah di

Universitas Lampung.

11. Sahabat-sahabat penulis Dhanu Evantam E.S., Eki Valen, Erwin Faizal Nur,

Indra Cahyadi Kurniwan, Irvan Saputra, Izzaturrijal, dan Khusni Ekky

Susanto atas bantuannya selama penelitian berlangsung, serta kesediaannya

iv

menerima penulis ketika penulis membutuhkan tempat yang nyaman untuk

singgah.

12. Rekan-rekan Agroteknologi 2014 atas rasa kekeluargaan, dukungan dan

keceriaan selama ini.

Semoga Allah Subhanahu wa Taala membalas semua kebaikan yang telah

diberikan kepada penulis. Mohon maaf atas segala kekurangan penulis dan

semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Desember 2018

Ibnu Prasojo

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ viii

I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1

1.2 Tujuan Penelitian ......................................................................... 4

1.3 Kerangka Pemikiran ..................................................................... 5

1.4 Hipotesis ...................................................................................... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 9

2.1 Tanaman Cabai ............................................................................ 9

2.1.1 Gambaran umum tanaman cabai ........................................ 9

2.1.2 Perkembangan produksi cabai di Indonesia ....................... 9

2.1.3 Taksonomi cabai merah ...................................................... 11

2.1.4 Morfologi tanaman cabai .................................................... 11

2.2 Penyakit Antraknosa .................................................................... 13

2.3 Keragaman Genetik ..................................................................... 15

2.4 Mutasi Tanaman ........................................................................... 16

2.5 Silsilah Tanaman Cabai Varietas Ferosa Generasi M2 ................ 18

III. BAHAN DAN METODE .................................................................. 19

3.1 Tempat dan Waktu ........................................................................ 19

vi

3.2 Bahan dan Alat ............................................................................. 19

3.3 Metode Penelitian ........................................................................ 20

3.4 Analisis Data ................................................................................ 21

3.5 Pelaksanaan Penelitian ................................................................. 21

3.5.1 Perbanyakan inokulum ....................................................... 22

3.5.2 Penyemaian benih ............................................................... 22

3.5.3 Penyiapan lahan .................................................................. 23

3.5.4 Pindah tanam ...................................................................... 23

3.5.5 Pelabelan ............................................................................. 24

3.5.6 Pemeliharaan ...................................................................... 24

3.5.7 Panen .................................................................................. 25

3.6 Parameter Pengamatan .................................................................. 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 29

4.1 Hasil ............................................................................................. 29

4.1.1 Kriteria keragaman ............................................................. 29

4.1.2 Karakter yang diamati ........................................................ 30

4.1.3 Ketahanan terhadap penyakit antraknosa cabai .................. 31

4.2 Pembahasan .................................................................................. 37

V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 44

5.1 Kesimpulan .................................................................................. 44

5.2 Saran ............................................................................................ 44

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 46

LAMPIRAN .............................................................................................. 50

Gambar 10 – 18 ...................................................................................... 51 – 55

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Pemberian pupuk NPK dan jumlah hara yang diterima per tanaman .. 24

2. Kriteria ketahanan tanaman terhadap antraknosa ................................ 27

3. Keragaman karakter agronomi generasi M2 cabai varietas Ferosa

yang diinokulasi Colletotrichum sp. penyebab antraknosa .................. 30

4. Kriteria ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada cabai

varietas Ferosa generasi M2 ................................................................. 32

5. Kriteria ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada cabai

varietas Ferosa generasi M0 ................................................................. 34

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai ....................................... 14

2. Skema silsilah generasi M2 varietas Ferosa hasil iradiasi

sinar gamma ......................................................................................... 18

3. Tata letak percobaan ............................................................................ 20

4. Nilai rata-rata masing-masing karakter yang diamati antara

cabai varietas Ferosa generasi M2 dan M0 ........................................... 31

5. 3 kategori buah, meliputi a) buah merah sehat, b) buah merah

terinfeksi, dan c) buah hijau terinfeksi ................................................. 32

6. Jumlah buah cabai dalam 3 kategori antara cabai varietas

Ferosa generasi M2 dan M0 .................................................................. 35

7. Nilai keterjadian penyakit antraknosa pada cabai varietas Ferosa

generasi M2 sesuai dengan kriteria ketahanan ..................................... 36

8. Buah cabai merah sehat dari a) genotipe nomor 136 dan b) 90 ........... 36

9. Jumlah buah merah sehat dan jumlah buah total dari

genotipe nomor 90 dan 136 .................................................................. 37

10. Kondisi lahan dari pengolahan tanah hingga pemasangan

mulsa plastik ........................................................................................ 51

11. a) pembibitan, b) pengukuran tinggi bibit, c) pindah tanam bibit,

dan d) pemasangan yellow trap ............................................................ 51

12. Cabai merah sehat yang tidak terinfeksi Colletotrichum sp. ............... 52

13. Cabai merah yang terinfeksi Colletotrichum sp. .................................. 52

14. Cabai hijau yang terinfeksi Colletotrichum sp. .................................... 53

ix

15. Gejala antraknosa pada daun dan batang tanaman cabai ..................... 53

16. Pengukuran bobot, diameter dan panjang buah cabai .......................... 54

17. Tampilan buah merah sehat baik pada M0 dan M2 (a) dan jumlah

biji cabai pada generasi M2 dan M0 (b) ................................................ 54

18. Skema pengaruh perubahan nilai rata-rata karakter yang diamati

pada generasi M2 terhadap keragaman ................................................. 55

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran yang

mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Pada tahun 2016, luas panen cabai

di Indonesia mencapai 123 ribu hektar (BPS dan Dirjen Hortikultura, 2016).

Secara umum perkembangan luas panen cabai di Indonesia selama periode tahun

1980-2016 berfluktuatif, namun cenderung meningkat dengan rata-rata

pertumbuhan per tahun sebesar 4,27%. Peningkatan luas panen disebabkan karena

harga cabai yang cukup menjanjikan dan dibutuhkan oleh masyarakat secara luas,

baik untuk dikonsumsi rumah tangga maupun industri makanan (Indarti, 2016).

Pada musim tertentu, kenaikan harga cabai cukup signifikan sehingga

mempengaruhi tingkat inflasi. Apabila pasokan cabai lebih rendah dari konsumsi

masyarakat, maka akan terjadi kenaikan harga. Kurangnya pasokan cabai tersebut

dikarenakan produksi cabai di Indonesia tidak mampu memenuhi permintaan

pasar. Produktivitas cabai besar di Indonesia hanya mencapai 8,47 ton/ha. Pada

tahun 2014, produktivitas cabai di Jawa Barat mencapai 14,99 ton/ha. Angka

tersebut menunjukkan bahwa produktivitas di Indonesia sebenarnya memiliki

potensi hasil mencapai 15 ton/ha (BPS dan Dirjen Hortikultura, 2016).

2

Menurut Direktorat Pengkajian Ekonomi (2013), faktor-faktor penyebab

rendahnya produktivitas cabai di Indonesia antara lain teknik budidaya yang

konvensional, kualitas benih rendah, belum banyak digunakannya varietas

berdaya hasil tinggi, penanganan pascapanen kurang tepat, dan serangan hama

dan penyebab penyakit tanaman. Antraknosa merupakan salah satu penyakit yang

hingga saat ini masih menjadi kendala utama dalam budidaya cabai, karena bisa

menyebabkan kegagalan panen. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai

disebabkan oleh jamur Colletotrichum sp. Adanya infeksi jamur ini berakibat

pada menurunnya produksi cabai dalam jumlah besar serta menurunnya nilai jual

cabai yang telah terinfeksi. Kehilangan potensi hasil cabai akibat penyakit

antraknosa berkisar 10-80% di musim hujan dan 2-35% di musim kemarau

(Nura dkk., 2015).

Penggunaan varietas yang tahan terhadap penyakit merupakan salah satu cara

yang dapat dijadikan pilihan untuk mengatasi masalah penyakit antraknosa. Untuk

mendapatkan varietas yang tahan, perlu dilakukan perakitan varietas unggul

melalui program pemuliaan tanaman untuk memperoleh genetik cabai yang

memiliki daya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit antraknosa. Program

pemuliaan tanaman meliputi empat tahap, yaitu seleksi tetua, peningkatan

keragaman genetik, seleksi tanaman superior, dan uji tanaman superior. Proses

seleksi hanya akan berhasil jika terdapat keragaman genetik yang luas.

Keragaman genetik suatu karakter yang diwariskan sangat berguna dalam

pengembangan tanaman (Jalata dkk., 2011).

3

Sujiprihati dkk. (2003) menyatakan bahwa keragaman populasi tanaman memiliki

arti penting dalam pemuliaan tanaman. Usaha perbaikan genetik tanaman cabai

memerlukan adanya plasma nutfah dengan keragaman genetik yang luas.

Keragaman genetik cabai yang luas diperlukan untuk proses seleksi pada karakter

yang diinginkan. Yunianti dkk. (2010) menyatakan bahwa keragaman genetik

yang luas pada karakter tertentu menunjukkan bahwa karakter tersebut potensial

diperbaiki karena lebih leluasa diseleksi. Menurut Utomo (2012), sumber

keragaman dapat diperluas dengan beberapa cara di antaranya eksplorasi,

introduksi, hibridisasi seksual, hibridisasi somatik, rekayasa genetik, dan mutasi.

Salah satu alternatif untuk meningkatkan keragaman tanaman agar dapat

menghasilkan varietas unggul adalah melalui teknik mutasi melalui iradiasi sinar

gamma. Secara umum kegiatan pemuliaan tanaman melalui teknik mutasi, masih

dalam tahapan penelitian yang terkait dengan jenis, cara aplikasi, dosis yang

paling efektif dan lethal dosis dari mutagen, sensitivitas bagian tanaman baik

biakan in vitro maupun in vivo terhadap mutagen dan keragaman yang

ditimbulkan pada tanaman akibat pemberian mutagen.

Induksi mutasi merupakan salah satu cara yang sering digunakan para peneliti

sebagai usaha untuk memperoleh tanaman yang lebih tahan terhadap suatu

penyakit. Fitri (2010), menyatakan bahwa uji ketahanan cabai keriting pada

generasi kedua hasil induksi mutasi terhadap penyakit antraknosa adalah rentan

sampai dengan sangat rentan. Hasil penelitian tersebut masih belum dapat

diaplikasikan secara langsung karena gen-gen yang mengalami mutasi mungkin

dapat kembali seperti normal, akibat adanya mutasi balik. Oleh karena itu, untuk

4

memperoleh mutan yang seragam secara genetik perlu dilakukan seleksi sifat-sifat

yang diinginkan di antara individu-individu pada generasi kedua (M2).

Menurut Crowder (1990), pada generasi kedua tanaman akan mengalami

segregasi sesuai dengan hukum Mendel sehingga akan menyebabkan peningkatan

keragaman. Keragaman genetik yang luas akan mempengaruhi keberhasilan

seleksi. Dengan demikian, seleksi pada populasi generasi M2 akan sangat efektif

untuk memperoleh individu tanaman yang memiliki sifat seperti yang diharapkan.

Pada penelitian ini digunakan benih mutan cabai generasi M2 varietas Ferosa yang

kemudian diinokulasi dengan isolat Colletotrichum sp. Setelah itu dilihat nilai

keragaman dari populasi mutan cabai tersebut. Berdasarkan latar belakang

permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk menjawab sebuah

pertanyaan, apakah terdapat nilai keragaman yang luas pada karakter agronomi

mutan cabai generasi M2 varietas Ferosa yang diinokulasi Colletotrichum sp.

penyebab penyakit antraknosa?

1.2 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah disusun, tujuan dilakukannya

penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai keragaman karakter agronomi mutan

cabai generasi M2 varietas Ferosa yang diinokulasi dengan isolat Colletotrichum

sp. penyebab penyakit antraknosa cabai.

5

1.3 Kerangka Pemikiran

Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan cabai dikarenakan poduktivitas

cabai di Indonesia masih tergolong rendah. Menurut Semangun (2008), rendahnya

produksi cabai besar di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal diantaranya

adalah teknik budidaya yang belum optimal, minimnya benih bermutu, tingginya

serangan hama dan penyebab penyakit serta faktor lingkungan yang kurang

menguntungkan. Salah satu faktor dominan yang menyebabkan rendahnya

produktivitas cabai di Indonesia adalah adanya gangguan hama dan penyakit

(Semangun, 2000).

Hasil penelitian Boga (2014) menunjukkan bahwa lonjakan harga cabai

berkorelasi positif dengan tingginya curah hujan yang biasanya terjadi pada bulan

Oktober sampai dengan bulan Februari. Pada bulan-bulan tersebut terjadi

penurunan produktivitas dan luas panen cabai akibat meningkatnya serangan

Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang biasanya diikuti oleh harga yang

tinggi (2 sampai 4 kali lipat dari harga normal). Akibatnya kebijakan impor

menjadi jalan untuk mengurangi gejolak harga cabai.

Hasil survei yang dilakukan oleh Setiawati dkk. (2015) di Jawa Barat, DI.

Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali pada musim kemarau, kemarau basah dan

musim penghujan menempatkan antraknosa (Colletotrichum spp.), hawar daun

(Phytophthora capsici), dan layu bakteri (Ralstonia solanacearum) sebagai OPT

penting pada tanaman cabai merah dan cabai rawit. Kehilangan hasil yang

diakibatkan oleh OPT tersebut mencapai 25–100%. Perakitan varietas unggul

merupakan salah satu cara yang tepat untuk mengatasi masalah OPT tersebut.

6

Induksi mutasi telah banyak dilakukan oleh para peneliti untuk merakit varietas

unggul. Indriatama dkk. (2016) melaporkan bahwa induksi mutasi melalui iradiasi

sinar gamma pada penelitiannya terbukti efektif meningkatkan keragaman genetik

karakter hasil pada populasi gandum. Iradiasi sinar gamma menginduksi perluasan

keragaman genetik semua karakter agronomi populasi M2 yang diamati, kecuali

tinggi tanaman. Adanya nilai keragaman genetik yang tinggi pada karakter

tertentu memungkinkan dimulainya seleksi pada generasi tersebut, serta

mempermudah proses seleksi untuk mendapatkan ideotipe tanaman yang

diharapkan.

Secara teori, seleksi pada populasi generasi M2 akan sangat efektif untuk

memperoleh individu tanaman yang memiliki sifat seperti yang diharapkan,

dikarenakan generasi ini mengalami segregasi sesuai dengan hukum Mendel,

sehingga akan menimbulkan keragaman. Dalam penelitian Rosidah dkk. (2014),

pendugaan parameter genetika ketahanan tanaman cabai terhadap penyakit

antraknosa yang dilakukan, nilai keragaman tertinggi pada generasi F2. Generasi

F2 dihasilkan dari penyerbukan sendiri populasi F1. Gen-gen F1 yang mengalami

penyerbukan sendiri bersegregasi sehingga diperoleh progeni dengan kombinasi

gen yang bervariasi. Sebagian progeni memiliki gen yang mengarah kepada tetua

1, sebagian mengarah kepada tetua 2, dan sebagian mengarah kepada F1.

Induksi mutasi juga telah banyak dilakukan oleh para peneliti untuk memperoleh

tanaman yang tahan terhadap berbagai penyakit. Nura dkk. (2015) melakukan

penelitian terkait induksi mutasi menggunakan iradiasi sinar gamma dengan

menggunakan 3 galur cabai dengan kelompok ketahanan berbeda terhadap

7

antraknosa. Galur IPB C2 sebagai genotipe rentan terhadap antraknosa, IPB C10

sebagai genotipe moderat terhadap antraknosa, dan IPB C15 sebagai genotipe

tahan terhadap antraknosa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mutan

genotipe IPB C2 cenderung mengarah ke sangat rentan, mutan genotipe IPB C10

cenderung mengarah pada kriteria tahan, dan mutan genotipe IPB C15 cenderung

mengarah pada kriteria sangat tahan. Dari data tersebut terlihat bahwa terdapat

peningkatan ketahanan terhadap antraknosa pada mutan genotipe IPB C10 dan

mutan genotipe IPB C15 akibat pengaruh iradiasi sinar gamma.

Aksuri (2017) melakukan pendugaan nilai keragaman cabai varietas Ferosa yang

telah diinduksi sinar gamma dengan beberapa dosis yang berbeda. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa dosis iradiasi 300 Gy menghasilkan jumlah buah

dan bobot buah tertinggi. Selain itu, penelitian tersebut juga menunjukkan

keragaman fenotipe yang luas untuk semua karakter yang diamati. Namun, untuk

keragaman genotipenya bernilai sempit pada seluruh karakter yang diamati.

Pada penelitian ini, dilakukan pendugaan nilai keragaman karakter agronomi

generasi M2 cabai varietas Ferosa hasil iradiasi sinar gamma pada dosis 300 Gy.

Cabai tersebut diharapkan mengalami perubahan dan menghasilkan keragaman

genetik baru. Adanya keragaman genetik baru memungkinkan populasi mutan

cabai pada penelitian ini memiliki nilai keragaman yang luas, sehingga akan

mempermudah proses seleksi untuk mendapatkan tanaman dengan karakter yang

diharapkan. Adanya inokulasi Colletotrichum sp. pada pertanaman cabai

diharapkan mampu menggambarkan keragaman genetik ketahanan terhadap

penyakit antraknosa cabai.

8

1.4 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, hipotesis yang

diajukan adalah nilai keragaman karakter agronomi mutan cabai generasi M2

varietas Ferosa yang diinokulasi Colletotrichum sp. penyebab penyakit antraknosa

cabai adalah luas.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Cabai

2.1.1 Gambaran umum tanaman cabai

Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) adalah tanaman yang berasal dari benua

Amerika yang pertama kali ditemukan oleh Christophorus Columbus pada tahun

1490. Saat itu tanaman cabai sudah dibudidayakan oleh suku Indian untuk

keperluan memasak sejak tahun 7000 SM. Semenjak tahun 1502, tanaman cabai

mulai diperkenalkan ke benua lain, dan kini sudah menyebar ke seluruh dunia

sebagai salah satu bahan utama masakan. Capsicum annuum L. merupakan salah

satu jenis cabai yang banyak digunakan sebagai bahan bumbu masakan. Tanaman

cabai cenderung lebih tahan cuaca panas daripada tomat dan terung. Tanaman

cabai memiliki potensi tumbuh dengan baik pada temperatur antara 16-23oC.

Pembungaan dapat terhambat jika temperatur di bawah 16oC pada malam hari dan

temperatur di atas 23oC. Temperatur optimum untuk pertumbuhan tanaman cabai

adalah 15-20oC (Ashari, 2006).

2.1.2 Perkembangan produksi cabai di Indonesia

Sejalan dengan perkembangan luas panen, produksi cabai selama tahun 1980 -

2015 berfluktuasi cenderung meningkat. Pada tahun 1980 produksi cabai

10

Indonesia sebesar 207,55 ribu ton, peningkatan produksi terjadi cukup tinggi

dimana pada tahun 2015 produksi cabai telah mencapai 1.915,12 juta ton dengan

rata-rata pertumbuhan selama periode tersebut sebesar 9,76% per tahun.

Perkembangan produksi cabai di pulau Jawa memiliki pola yang sama dengan

pertumbuhan cabai Indonesia, dengan rata-rata pertumbuhan per tahun selama

1980 – 2015 mengalami peningkatan sebesar 10,22% per tahun, dengan

persentase rata-rata pertumbuhan produksi yang cukup besar terjadi pada tahun

1983, 1995 dan 2003 masing-masing naik sebesar 143,18 %, 68,14 % dan 50,74

% per tahun. Sementara itu produksi cabai di Luar Jawa rata-rata meningkat

sebesar 12,00%.

Produksi bulanan cabai merah dan cabai rawit di Indonesia selama empat

tahun terakhir (2012-2015) cenderung fluktuatif. Selama periode 2012-2015

puncak panen cabai merah dan cabai rawit terjadi sekitar bulan Mei dan Juni.

Pada tahun 2012 panen cabai merah tertinggi terjadi pada bulan Februari

sedangkan panen cabai rawit tertinggi di bulan Mei. Pada tahun 2013 panen

puncak cabai merah terjadi pada bulan Mei (988 ton), sedangkan panen puncak

cabai rawit pada bulan Juni sebesar 707 ton. Pada tahun 2014 puncak panen cabai

merah terjadi pada bulan Juni dengan produksi sebesar 997 ton, sedangkan pada

cabai rawit puncak panennya terjadi di bulan Mei sebesar 852 ton. Pada tahun

2015 puncak panen cabai merah terjadi di bulan Maret sebesar 118.024 ton. Pada

puncak panen pada cabai rawit terjadi di bulan Mei sebesar 92.200 ton

(Indarti, 2016).

11

2.1.3 Taksonomi cabai merah

Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman sayuran yang

tergolong tanaman tahunan berbentuk perdu. Berasal dari benua Amerika tepatnya

Amerika Selatan, kemudian menyebar ke Amerika Tengah dan Meksiko melalui

bantuan hewan khususnya burung. Menurut Wulandari (2011), klasifikasi

tanaman cabai merah adalah sebagai berikut.

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Subkelas : Sympetalae

Bangsa : Solanales

Suku : Solanaceae

Marga : Capsicum

Jenis : Capsicum annuum L.

Tanaman cabai (Capsicum annuum L.), umumnya dibudidayakan oleh

petani di dataran rendah ataupun di dataran tinggi, di lahan sawah maupun di

tegalan (Nawangsih dkk., 1995).

2.1.4 Morfologi tanaman cabai

a) Bunga

Bunga berbentuk seperti terompet, corong, atau bintang, termasuk dalam bunga

lengkap yang memiliki tangkai bunga, kelopak bunga, mahkota bunga, benang

12

sari, dan putik. Selain itu karena memiliki benang sari dan putik dalam satu

tangkai maka bunga cabai juga termasuk bunga berkelamin ganda. Bunga cabai

tumbuh pada bagian ketiak daun (Tarigan dan Wiryanta, 2003). Bunga cabai

tumbuh dalam posisi menggantung dengan panjang tangkai bunga 1-2 cm,

mahkota bunga terdiri dari 5-6 helai petala berwarna putih dengan panjang 1-1,5

cm dan lebar 0,5 cm, benang sari berjumlah 5-6 buah terdiri dari kepala sari yang

berwarna biru atau ungu dan tangkai sari berwarna putih dengan panjang sekitar

0,5 cm, putik terdiri dari kepala putik yang berwarna kuning kehijauan dan

tangkai putik berwarna putih dengan panjang sekitar 0,5 cm (Setiadi, 2006).

b) Buah

Buah berbentuk memanjang atau panjang bergelombang, dengan panjang buah

sekitar 11-14 cm dan tekstur mulus untuk cabai besar, berwarna hijau saat masih

muda dan berwarna merah, kuning, atau oranye saat buah masak tergantung dari

varietasnya, sedangkan biji cabai berbentuk bulat, pipih, dan terdapat bagian yang

sedikit runcing, memiliki diameter 3-5 mm ( Tarigan dan Wiryanta, 2003).

c) Batang

Batang utama tanaman cabai tumbuh tegak, pangkalnya berkayu, dan memiliki

banyak cabang, dengan lebar tajuk mencapai 90 cm. Memiliki daun yang

umumnya berbentuk lonjong, bulat telur dan oval, dengan ujungnya yang

meruncing, dengan panjang 4- 10 cm dan lebar 1,5-4 cm, berwarna hijau muda

atau hijau gelap tergantung dari varietasnya, memiliki pertulangan daun menyirip

dan letaknya berselang - seling. Tangkai daunnya memiliki panjang 1,5-4,5 cm

dengan posisi miring atau horizontal (Tarigan dan Wiryanta, 2003).

13

d) Daun

Daun merupakan organ yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya

fotosintesis, transpirasi, dan respirasi. Secara morfologi, daun terdiri dari helaian

daun (lamina) dan tangkai daun. Daun pada tanaman cabai umumnya berbentuk

oval dan berwarna hijau keunguan, namun terdapat juga jenis cabai yang memiliki

daun berwarna hijau kekuningan.

e) Akar

Sistem perakaran tanaman cabai merupakan perakaran tunggang yang agak

menyebar dan terdiri dari akar utama (primer) dan akar lateral dengan serabut

akar. Akar cabai mampu tumbuh menyebar selebar 45 cm dan sedalam 50 cm

(Harpenas dan Dermawan, 2010). Kemampuan adaptasi tanaman cabai sangat

baik pada berbagai jenis lahan seperti, lahan sawah (basah), tegalan (kering),

pinggir laut (dataran rendah), atau pun daerah pegunungan (dataran tinggi) hingga

ketinggian 1300 m dpl, dan tanaman cabai juga mampu beradaptasi pada berbagai

jenis tanah mulai dari tanah liat hingga tanah berpasir. Curah hujan yang tinggi

dapat menyebabkan terjadinya genangan air pada lahan bertanam, hal ini dapat

meningkatkan resiko terserang penyakit akar dan kerontokan daun, selain itu,

kelembaban udara yang tinggi dapat meningkatkan penyebaran dan

perkembangan hama serta penyakit tanaman (Harpenas dan Dermawan, 2010).

2.2 Penyakit Antraknosa

Antraknosa merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman cabai di

Indonesia. Selain dapat menyebabkan kerugian di lapangan, penyakit ini dapat

menimbulkan kerugian pada saat pascapanen. Menurut Efri (2010) kehilangan

14

hasil yang terjadi akibat penyakit antraknosa di sentra penanaman cabai di daerah

Liwa propinsi Lampung sebesar 70% pada tahun 2002.

Menurut Semangun (2007), gejala antraknosa pada buah cabai diawali dengan

bercak cokelat kehitaman kemudian meluas menjadi busuk lunak, seperti pada

Gambar 1 yang disajikan oleh Badan Litbang Pertanian (2016). Kumpulan titik-

titik hitam yang di antaranya adalah konidia jamur dan kumpulan seta terdapat

pada bagian tengah bercak. Serangan berat mengakibatkan buah menjadi

mengering dan mengerut. Buah cabai yang semula berwarna merah, berubah

warna menjadi seperti warna jerami.

Gambar 1. Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai.

Penyebab penyakit dari gejala antraknosa tersebut salah satunya adalah jamur

Colletotrichum capsici. Jamur tersebut mempunyai banyak aservulus yang

tersebar pada permukaan atau di bawah kutikula dengan garis tengahnya

mencapai 100 μm berwarna hitam dengan banyak seta. Seta berwarna cokelat tua,

bersekat dan kaku serta meruncing ke atas dengan berukuran 75-100 x 2-6,2 μm.

Konidia hialin berbentuk tabung (silindris) berukuran 18,6-25 x 3,5-5,3 μm

dengan ujung-ujungnya yang tumpul atau bengkok mirip bulan sabit. C. capsici

15

banyak membentuk sklerotium dalam jaringan tanaman sakit atau dalam medium

biakan (Semangun, 2007).

Penyakit antraknosa dapat menyebar melalui benih cabai sejak di persemaian.

Selain itu, antraknosa juga dapat menyebar melalui konidia yang terbawa oleh

angin. Gejala serangan patogen muncul pada fase generatif yang dapat menyerang

pada bagian batang, daun, dan buah cabai. Patogen jarang menginfeksi tanaman

cabai pada masa vegetatif, namun patogen bertahan hidup pada masa tersebut

hingga masa generatif tanaman. Patogen bersifat saprofit yang dapat bertahan

hidup pada sisa-sisa tanaman yang sakit (Semangun, 2007).

2.3 Keragaman Genetik

Proses pemuliaan tanaman diawali dengan mendapatkan keragaman genetik, yaitu

melalui persilangan, introduksi dan mutasi, kemudian dilakukan kegiatan seleksi

pada sumber genetik yang bervariasi tersebut. Proses selanjutnya adalah

pemurnian, uji generasi lanjut, uji multilokasi, kemudian pelepasan varietas

(Kusandriani, 1996). Keragaman genetik menunjukkan kriteria keanekaragaman

genetik. Seleksi merupakan suatu proses pemuliaan tanaman dan merupakan dasar

dari seluruh perbaikan tanaman untuk mendapatkan kultivar unggul baru.

Keragaman genetik yang luas merupakan salah satu syarat efektifnya program

seleksi, dan seleksi suatu karakter yang diinginkan akan lebih berarti apabila

karakter tersebut mudah diwariskan. Evaluasi keragaman genetik akan

mendapatkan perbaikan-perbaikan sifat disamping juga diperolehnya keleluasaan

dalam pemilihan suatu genotipe unggul (Bari dkk., 1982).

16

2.4 Mutasi Tanaman

Mutasi adalah perubahan genetik baik gen tunggal atau sejumlah gen atau

susunan kromosom. Mutasi menyebabkan perubahan materi genetik yang akan

menciptakan keragaman genetik. Keragaman genetik tersebut dapat berguna

dalam proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Mutasi berperan penting

dalam proses evolusi dan akibat mutasi pula dapat tersedia keragaman genetik

sebagai „bahan baku‟ dalam program pemuliaan tanaman (Poespodarsono, 1988).

Mutasi induksi/buatan bertujuan untuk meningkatkan peluang terjadinya

mutasi yang menghasilkan perubahan karakter yang diinginkan. Mutasi induksi

dapat dilakukan dengan menggunakan mutagen. Mutagen adalah wahana/agen

yang dapat menyebabkan mutasi. Mutagen dapat diklasifikasikan sebagai

mutagen fisik, mutagen kimia, dan mutagen biologi. Mutagen fisik dibedakan dari

tipe radiasinya. Secara umum para pemulia menggunakan sinar X, sinar gamma,

ultraviolet, dan neutron sebagai mutagen fisik (Aisyah, 2006).

Menurut Ahnstrom (1977) jenis bahan tanaman yang dapat diradiasi yaitu

tanaman utuh, benih, serbuk sari, bagian yang terdiri atas jaringan meristem,

kultur sel dan kultur jaringan. Jenis mutasi terdiri atas mutasi kromosom,

mutasi gen, dan mutasi genom. Mutasi kromosom adalah perubahan pada tingkat

ruas DNA atau tingkat kromosom. Mutasi kromosom dibedakan menjadi dua,

yaitu mutasi struktur kromosom dan mutasi jumlah kromosom. Variasi struktur

kromosom dapat berupa delesi atau defisiensi (segmen kromosom hilang/

berkurang), duplikasi (segmen kromosom bertambah), inversi (urutan segmen dari

kromosom berubah), atau translokasi (penambahan segmen dari kromosom bukan

17

pasangan homolog). Variasi jumlah kromosom terbagi menjadi dua jenis, yaitu

euploid dan aneuploid. Euploid adalah kelompok tanaman atau individu yang

setiap inti sel somatik memiliki jumlah kromosom kelipatan seluruh set

kromosom (genom). Aneuploid adalah kelompok tanaman atau individu yang

setiap inti sel somatik memiliki jumlah kromosom bukan kelipatan set kromosom

dasar (haploid/monoploid). Set kromosom dasar dilambangkan dengan x. Menurut

Poespodarsono (1988) mutasi gen dapat terjadi dua arah yaitu dari dominan ke

resesif atau sebaliknya. Mutasi genom menyebabkan perubahan banyak gen,

sehingga berkaitan dengan sifat kuantitatif. Induksi mutasi menggunakan iradiasi

menghasilkan mutan paling banyak (sekitar 75%) dibandingkan menggunakan

perlakuan lain seperti mutagen kimia.

Sinar gamma merupakan salah satu mutagen fisik yang lazim digunakan oleh para

pemulia. Sinar gamma merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang

gelombang yang lebih pendek dari sinar X, yang dapat menghasilkan energi

dengan tingkat radiasi energi mencapai lebih dari 10 MeV. Sinar gamma

ditemukan oleh P. Villard pada tahun 1990. Radiasi sinar gamma diperoleh dari

disintegrasi radioisotop-radioisotop 60

Co atau 137

Cs. 60

Co menghasilkan

radioaktivitas lebih besar dari 137

Cs dengan kuantitas yang sama. Radioisotop

137Cs memiliki waktu paruh lebih lama daripada

60Co.

60Co memiliki dua puncak

spektrum energi radiasi, yaitu pada 1,33 MeV dan 1,17 MeV dengan waktu paruh

5,27 tahun, sedangkan 137

Cs puncak energi sebesar 0,66 MeV dengan waktu paruh

33 tahun. Secara umum, sinar gamma melewati jaringan, proses ionisasi terjadi

melalui tiga mekanisme utama yaitu efek fotolistrik, hamburan Compton, dan

produksi pasangan (Mba dan Shu, 2011).

18

2.5 Silsilah Tanaman Cabai Varietas Ferosa Generasi M2

Cabai varietas Ferosa generasi M2 berasal dari benih mutan cabai generasi M1

hasil iradiasi sinar gamma yang ditanam di Laboratorium Lapang Terpadu

Universitas Lampung. Berikut ini adalah silsilah tanaman cabai varietas Ferosa

generasi M2 (Gambar 2).

Gambar 2. Skema silsilah generasi M2 varietas Ferosa hasil iradiasi sinar gamma.

IRADIASI SINAR GAMMA

Benih cabai varietas Laris, Ferosa, dan Romario diberikan penyinaran iradiasi sinar

gamma di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi, Pasar

Jumat, Jakarta pada tanggal 15 Juni 2016. Dosis yang diberikan pada masing-masing

varietas yaitu 0 Gy, 100 Gy, 200 Gy, 300 Gy, dan 400 Gy.

M1

Mutan M1 ditanam di Lapangan Terpadu Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

pada Oktober 2016 sampai dengan Januari 2017.

Varietas Hasil

Laris Dosis Iradiasi sinar gamma sebesar 400 Gy berpotensi

menghasilkan mutan terbaik dengan jumlah bunga terbanyak

(585,00 bunga), bobot buah total terberat (278,14 gram), dan

panjang buah sampel terpanjang (12,53 cm)

Tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan fase generatif

(Handayani, 2017).

Ferosa Iradiasi sinar gamma dengan dosis 0 Gy, 100 Gy, 200 Gy, 300 gy,

dan 400 Gy menghasilkan keragaman fenotipe yang luas untuk

semua karakter yang diamati, sedangkan keragaman genotipe

yang dihasilkan bernilai sempit untuk seluruh karakter yang

diamati.

Dosis iradiasi 300 Gy sinar gamma menghasilkan jumlah buah

terbanyak (124,27) dan bobot buah per tanaman terberat

(283,73 g) (Aksuri, 2017).

Romario Dosis iradiasi sinar gamma berpengaruh terhadap perkecambahan

benih cabai dan berpengaruh nyata terhadap variabel tinggi bibit,

umur berbunga, dan umur panen.

Dosis terbaik pada fase perkecambahan yaitu 200 Gy.

M2

150 butir benih mutan M2 varietas Ferosa hasil iradiasi sinar gamma dosis 300 Gy

dan 30 butir benih M0 varietas Ferosa ditanam di Laboratorium Lapang Terpadu

Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada Juli 2017 sampai dengan Januari

2018.

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan dan

Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Kemudian dilakukan pengamatan lebih lanjut di Laboratorium Benih dan

Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Penelitian ini

dilaksanakan pada Juli 2017 sampai dengan Januari 2018.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan antara lain isolat jamur Colletotrichum sp. yang berasal

dari cabai merah yang bergejala antraknosa, media Potato Sukrose Agar (PSA)

dan aquades. Bahan yang digunakan untuk penanaman cabai di lapang adalah

benih yang berasal dari generasi M1 varietas Ferosa dengan dosis 300 Gy dan

Ferosa dengan 0 Gy sebagai tetua, pupuk NPK cair, pupuk kandang, dan

insektisida.

Alat-alat yang digunakan untuk isolasi dan pemurnian Colletotrichum sp. adalah

cawan petri, gelas ukur, pipet tetes, jarum ose, penggores gelas, haemocytometer,

dan mikroskop. Alat yang digunakan di lapang adalah cangkul, mulsa plastik,

20

yellow trap, plastik ukuran, botol semprot, timbangan elektronik, jangka sorong,

meteran, ember, selang air, gunting, kamera dan alat tulis.

3.3 Metode Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan dalam perumusan masalah dan menguji hipotesis,

maka rancangan perlakuan yang digunakan adalah rancangan perlakuan tunggal

tidak terstruktur, sedangkan rancangan percobaan yang digunakan adalah

rancangan percobaan tanpa ulangan. Pengulangan tidak dilakukan karena benih

yang digunakan merupakan benih M2 yang masih bersegregasi. Dalam penelitian

ini tanaman yang diamati yaitu seluruh tanaman yang diuji. Tata letak satuan

percobaan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Tata letak percobaan.

Keterangan: o = tanaman tetua dan x = tanaman M2

21

3.4 Analisis Data

Data hasi pengamatan akan disajikan dalam bentuk data kuantitatif, yang

kemudian akan dilakukan analisis terhadap keragaman tiap karakter yang diamati.

Kriteria keragaman dapat ditentukan berdasarkan nilai IQR (Interquartile Range)

menggunakan program pengolahan data Microsoft Office Excel.

Range = Nilai Maksimum – Nilai Minimum

IQR = Q3 – Q1

Cara menentukan nilai kuartil (Q):

Q1 = QUARTILE(array;1)

Q3 = QUARTILE(array;3)

Kriteria Keragaman :

Luas = Range ≥ 2(IQR)

Sempit = Range < 2(IQR)

Nilai keragaman dinyatakan luas apabila kisaran total (Range) lebih besar atau

sama dengan dua kali Interquartile Range (IQR). Sebaliknya, apabila kisaran total

(Range) lebih kecil dari pada dua kali Interquartile Range (IQR), maka nilai

keragaman dinyatakan sempit (Laksmana, 2015).

3.5 Pelaksanaan Penelitian

Percobaan ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu perbanyakan inokulum

Colletotrichum sp, penyemaian benih, penyiapan lahan, pindah tanam,

pemeliharaan, infeksi Colletotrichum sp. di lapang, panen, dan pengamatan.

22

3.5.1 Perbanyakan inokulum

Perbanyakan inokulum diawali dengan mengidentifikasi cabai merah bergejala

antraknosa menggunakan mikroskop. Bagian buah cabai yang bergejala dipotong

dan dibiakkan di media PSA untuk menjadi biakan murni. Pembuatan isolat

dilanjutkan dengan menyiapkan potongan dari konidia (biakan murni), kemudian

dimurnikan pada media PSA dalam cawan petri.

Setelah biakan berumur 1 minggu, konidia dipanen dengan memasukkan sedikit

air ke dalam cawan hingga terlarut dan dihitung kerapatan konidianya. Suspensi

ditambah air hingga mencapai volume 30 ml. Sebanyak 0,1 ml suspensi diteteskan

pada haemocytometer dan diamati di bawah mikroskop untuk menghitung

kerapatannya.

C =

C = Kerapatan konidia

t = Jumlah total konidia dalam kotak yang diamati (kotak sedang)

Vs = Volume kotak sedang (4 x 10-6

ml)

Dari pengamatan yang dilakukan, diperoleh kerapatan spora 106 sel/ml suspensi.

Inokulasi dilakukan 2 kali dengan metode semprot ke tanaman pada saat tanaman

pertama kali berbunga dan berbuah.

3.5.2 Penyemaian benih

Media tanam yang digunakan dalam penyemaian benih berupa campuran tanah

dan kompos dengan perbandingan 1:1. Media semai dimasukkan ke dalam plastik

berukuran 4 x 12,5 cm. Sebelum penyemaian, benih direndam dengan air hangat

23

kuku selama 30 menit. Benih cabai generasi M2 yang akan ditanam berasal dari

benih yang telah di seleksi pada generasi M1.

Setiap plastik yang telah diisi media tanam ditanami dengan satu butir benih.

Total benih generasi M2 yang disemai berjumlah 300 benih dan benih generasi M0

berjumlah 150 benih. Penyemaian benih dilakukan sampai tanaman siap untuk

dipindah ke lapang yaitu setelah berumur ± 4 minggu.

3.5.3 Penyiapan lahan

Lahan yang digunakan berukuran 12 x 10 m. Pengolahan tanah dilakukan dua kali

yaitu pembukaan lahan dan pembuatan guludan. Pengolahan tanah pertama

berupa kegiatan pembalikan tanah dan penggemburan tanah menggunakan

cangkul yang dilakukan satu minggu sebelum pindah tanam. Olah tanah kedua

berupa pembuatan guludan berukuran 1 x 12 m dengan jarak antar guludan 0,6 m.

3.5.4 Pindah tanam

Pindah tanam dilakukan pada saat bibit cabai berumur 4 minggu setelah semai dan

telah memiliki 4-6 daun sejati. Jarak tanam yang digunakan adalah 50 cm x 70

cm. Bibit yang dipindah tanam berjumlah 150 bibit untuk generasi M2 dan 30

bibit untuk generasi M0. Bibit cabai dipindah dengan cara memotong bagian

bawah plastik kemudian bibit dikeluarkan secara hati-hati dan ditanam pada

lubang tanam yang telah disiapkan sesuai dengan tata letak yang telah ditentukan.

Setiap lubang tanam diberi 150 g kompos dan Furadan 1-2 g untuk mencegah

serangan nematoda.

24

3.5.5 Pelabelan

Pelabelan dilakukan pada seluruh tanaman cabai yang telah dipindah tanam ke

lahan pertanaman. Pelabelan bertujuan untuk memudahkan dalam pengamatan.

3.5.6 Pemeliharaan

Pemeliharaan yang dilakukan berupa penyiraman, pengajiran, pemupukan dan

pengendalian OPT. Peyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari menggunakan

ember. Pengajiran dilakukan satu bulan setelah pindah tanam, ajir yang

digunakan terbuat dari belahan bambu dengan tinggi 1,5 m. Metode pemupukan

yang digunakan adalah metode kocor. Pupuk yang digunakan adalah pupuk NPK

(32-11-11) dan NPK (15-11-32). Pemupukan NPK (32-11-11) dilakukan pada saat

tanaman berumur 3, 6, dan 9 minggu setelah pindah tanam dengan konsentrasi

pupuk 1 g/l air dengan takaran 250 ml per tanaman (1 gelas plastik). Pemupukan

NPK (15-11-32) dilakukan pada saat tanaman berumur 3 dan 6 minggu setelah

pindah tanam dengan konsentrasi pupuk 1,5 g/l air dengan takaran 250 ml per

tanaman (Tabel 1). Pengendalian OPT dilakukan secara manual, mekanik, dan

kimiawi. Pestisida yang digunakan untuk pengendalian kutu berbahan aktif

imidacloprid 200 g/l.

Tabel 1. Pemberian pupuk NPK dan jumlah hara yang diterima per tanaman.

Jenis pupuk

Waktu

aplikasi

(mst)

Konsentrasi

(g/l)

Takaran

(ml)

Unsur

hara

Jumlah unsur hara

yang diterima

(g) (ml)

Pupuk NPK

(32-11-11) 3, 6, dan 9 1,0 250

N 0,2400 240,0

P2O5 0,0825 82,5

K2O 0,0825 82,5

Pupuk NPK

(15-11-32) 3 dan 6 1,5 250

N 0,1125 75,0

P2O5 0,0825 55,0

K2O 0,2400 160,0

25

3.5.6 Panen

Pemanenan pertama dilakukan terhadap buah cabai yang sudah masak yaitu

berwarna merah atau telah berumur 70-75 HST. Buah yang terinfeksi sebelum

buah masak, maka dilakukan pemanenan lebih awal. Buah dipanen dengan cara

dipetik secara manual dengan menyertakan tangkai buah. Pemanenan dilakukan

dengan interval dua kali dalam seminggu.

3.6 Parameter Pengamatan

1. Umur berbunga

Umur berbunga dihitung berdasarkan jumlah hari sejak pindah tanam bibit

hingga pertama kali tanaman berbunga.

2. Tinggi tanaman saat berbunga

Tinggi tanaman saat berbunga diukur saat tanaman pertama kali berbunga dengan

mengukur dari pangkal hingga titik tertinggi tanaman.

3. Jumlah bunga

Jumlah bunga dihitung berdasarkan jumlah ruas percabangan pada setiap tanaman

cabai.

4. Periode inkubasi

Periode inkubasi adalah waktu yang diperlukan patogen menginfeksi tanaman

sampai menimbulkan gejala penyakit. Periode inkubasi dihitung dari waktu

inokulasi sampai dengan timbulnya gejala penyakit.

26

5. Umur panen

Umur panen dihitung berdasarkan jumlah hari sejak pindah tanam bibit hingga

pertama kali menghasilkan buah siap panen.

6. Jumlah cabang produktif

Jumlah cabang produktif dihitung berdasarkan jumlah cabang primer yang

menghasilkan buah pada setiap tanaman. Cabang primer adalah cabang yang

tumbuh pada batang utama.

7. Tinggi tanaman saat akhir panen

Tinggi tanaman saat akhir panen dihitung dengan mengukur tinggi tanaman dari

pangkal hingga titik tertinggi tanaman saat panen terakhir.

8. Masa panen

Masa panen dihitung berdasarkan jumlah hari panen dari awal hingga akhir panen.

Pemanenan berakhir saat populasi tanaman cabai dipastikan tidak lagi mampu

menghasilkan buah cabai masak berwarna merah dan sehat.

9. Jumlah buah per tanaman

Jumlah buah per tanaman adalah jumlah seluruh buah yang mampu dihasilkan

masing-masing tanamam. Jumlah buah dihitung per tanaman pada saat panen,

selanjutnya dijumlahkan dari panen pertama hingga panen terakhir.

10. Keterjadian penyakit (Disease Incidence)

Keterjadian penyakit dihitung berdasarkan jumlah buah merah dan hijau terinfeksi

terhadap jumlah buah total yang dihasilkan per tanaman.

Keterjadian Penyakit (DI) = n/N x 100%

27

Keterangan:

n = Jumlah buah terinfeksi

N = Jumlah buah total

Tabel 2. Kriteria ketahanan tanaman terhadap antraknosa oleh Rosidah dkk.

(2014)

Kriteria ketahanan Keterjadian Penyakit (%)

Sangat tahan 0 – 10

Tahan 11 – 20

Moderat 21 – 40

Rentan 41 – 70

Sangat rentan >70

11. Bobot buah

Bobot buah yang diukur adalah buah merah yang mampu dihasilkan masing-

masing tanaman, baik buah merah sehat maupun buah merah terinfeksi. Bobot

buah diukur dengan menimbang berat tiap buah masing-masing tanaman pada

setiap panen, kemudian dirata-ratakan dari panen pertama hingga panen terakhir.

12. Diameter buah

Diameter buah yang diukur adalah buah merah yang mampu dihasilkan masing-

masing tanaman, baik buah merah sehat ataupun buah merah terinfeksi. Diameter

buah diukur menggunakan jangka sorong pada bagian terbesar. Diameter buah

yang diukur adalah diameter tiap buah masing-masing tanaman pada setiap panen,

kemudian dirata-ratakan dari panen pertama hingga panen terakhir.

13. Panjang buah

Panjang buah yang diukur adalah buah merah yang mampu dihasilkan masing-

masing tanaman, baik buah merah sehat ataupun buah merah terinfeksi. Panjang

buah diukur dari pangkal buah sampai ujung buah. Panjang buah yang diukur

28

adalah panjang tiap buah masing-masing tanaman pada setiap panen, kemudian

dirata-ratakan dari panen pertama hingga panen terakhir.

14. Jumlah biji per tanaman

Jumlah biji per tanaman adalah jumlah total biji buah cabai merah yang dihasilkan

masing-masing tanaman dari panen pertama hingga panen terakhir.

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Keragaman yang luas didapatkan pada karakter umur berbunga, tinggi

tanaman saat berbunga, jumlah bunga, umur panen, jumlah cabang produktif,

tinggi tanaman saat akhir panen, masa panen, jumlah buah per tanaman,

keterjadian penyakit, bobot buah, diameter buah, panjang buah, dan jumlah

biji per tanaman. Keragaman yang sempit didapatkan pada karakter ketahanan

yaitu periode inkubasi.

2. Genotipe harapan yang dipilih berdasarkan kemampuan tanaman cabai

menghasilkan buah merah sehat terbanyak didapatkan pada genotipe nomor

136 dengan jumlah buah merah sehat sebanyak 41 buah dan genotipe harapan

yang dipilih berdasarkan potensi produksi tertinggi didapatkan pada genotipe

nomor 90 dengan jumlah buah total 392 buah.

5.2 Saran

Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan pada genotipe harapan nomor 136 dan 90

pada generasi M3 untuk menguji tingkat ketahanan terhadap penyakit antraknosa

45

dan mengetahui potensi produksi cabai yang mampu dicapai kedua genotipe

tersebut tanpa diinokulasikan Colletotrichum sp.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S. I. 2006. Induksi mutagen fisik pada anyelir (Dianthus caryophyllus

Linn.) dan pengujian stabilitas mutannya yang diperbanyak secara vegetatif.

Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 195 hlm.

Aksuri, F. 2017. Keragaman genotipe dan fenotipe cabai merah (Capsicum

annuum L.) hasil iradiasi sinar gamma. (Skripsi). Universitas Lampung.

Bandar Lampung. 44 hlm.

Ashari, S. 2006. Hortikultura Aspek Budidaya. Universitas Indonesia (UI-Press).

Jakarta. 485 hlm.

Badan Litbang Pertanian. 2016. Pengendalian Penyakit Antraknose pada Tanaman

Cabai. http://www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/2630/. Diakses pada 4

Februari 2018.

Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura. 2016. Produktivitas

Cabai Besar Menurut Provinsi, 2012-2016.

http://www.pertanian.go.id/ap_pages/mod/datahorti. Diakses pada 4

Februari 2018.

Balai Penelitian Pertanian. 2011. Pemanfaatan sinar radiasi dalam pemuliaan

tanaman. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan

Sumberdaya Genetik Pertanian. 33 (1) : 7-8.

Bari, A., Musa, S., dan Sjamsudin, E. 1982. Pengantar Pemuliaan Tanaman.

Institut Pertanian Bogor. Bogor. 124 hlm.

Boga, A. K. 2014. Chili Value Chain Assessment in West Java. Asian Vegetable

Research and Development Center.

Cronquist, A. 1981. An Integrated System of Clasification of Flowering Plants.

Columbia University Press. New York.

Crowder, L. V. 1990. Genetika Tumbuhan. Terjeramah dari: Plant Genetics.

Penerjemah: Kusdiari, L. dan Sutarso. Gajah Mada University Press.

Yogyakarta.

47

Direktorat Pengkajian Ekonomi. 2013. Meningkatkan produktivitas pertanian

guna mewujudkan ketahanan pangan dalam rangka ketahanan nasional.

Jurnal Kajian Lemhannas RI (15) : 12-19.

Efri. 2010. Pengaruh ekstrak berbagai bagian tanaman mengkudu (Morinda

citrifolia) terhadap perkembangan penyakit antraknosa pada tanaman cabai

(Capsicum annuum L.) Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika 10

(1): 52-58.

Fitri, D. R. K. 2010. Uji ketahanan tanaman cabai keriting (Capsicum annuum L.)

hasil induksi mutasi dengan ethyl methane sulphonate (EMS) pada generasi

kedua terhadap penyakit antraknosa. J. Sainstek. 1 : 16-22.

Hakim, A., Syukur, M., dan Widodo. 2014. Ketahanan penyakit antraknosa

terhadap cabai lokal dan cabai introduksi. Bulletin Agrohorti 2 (1) : 31-36.

Handayani, M. 2017. Pengaruh iradiasi sinar gamma pada benih terhadap

pertumbuhan fase generatif cabai merah (Capsicum annuum L.) kultivar

Laris. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 33 hlm.

Harpenas, Asep, dan Dermawan, R. 2010. Budidaya Cabai Unggul, Cabai Besar,

Cabai Keriting .Cabai Rawit, dan Paprika. Penebar Swadaya. Bogor.

Hersanti, F. L. dan Zulkanaen, I. 2001. Pengujian Kemampuan Campuran

Senyawa Benzothiadiazole 1%-Mankozeb 48% dalam Meningkatkan

Ketahanan Tanaman Cabai Merah Terhadap Penyakit Antraknosa.

Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Hasil. PFI, Bogor, 22-24

Agustus 2001.

Indarti, D. 2016. Outlook Cabai – Komoditas Pertanian Subsektor Hortikultura.

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementrian Pertanian. Jakarta.

89 hlm.

Indriatama, W. M., Trikoesoemaningtyas, Aisyah, S. I., dan Human, S. 2016.

Pendugaan ragam genetik dan heritabilitas karakter agronomi gandum

(Triticum aestivum L.) hasil berbagai perlakuan teknik iradiasi sinar gamma.

Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi 12 (2) : 79-88.

Jalata, Ayana, Z. A., Zeleke, H. 2011. Variability, heritability and genetic advance

for some yield and yield related traits in Ethiopian barley (Hordeum vulgare

L.) landraces and crosses. Int. J. Plant Breed. Genet (5) : 44-52.

Kusandriani, Y. 1996. Pembentukkan Hibrida Cabai. Balai Penelitian Tanaman

Sayuran. Bandung.

Laksmana, M. D. 2015. Evaluasi karakter agronomi 114 klon F1 ubi kayu

(Manihot esculenta Crantz) keturunan tetua betina UJ 3 di kebun percobaan

48

BPTP Natar Lampung Selatan. (Skripsi). Fakultas Pertanian Universitas

Lampung.

Mba, C. dan Shu, Q. Y. 2011. Gamma irradiation. In: Shu Q.Y., Forster B.P., dan

Nakagawa H., (Eds). Plant Mutation Breedig and Biotechnology. CAB

International and FAO. Roma.

Natawigena, H. H. 1993. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Trigenda Karya.

Bandung.

Nawangsih, A. A., Imdad, H. P., dan Wahyudi, A. 1995. Cabai Hot Beauty.

Penebar Swadaya. Jakarta. 114 hlm.

Nura, Syukur, M., Khumaida, N., dan Widodo. 2015. Radiosensitivitas dan

heritabilitas ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada tiga populasi

cabai yang diinduksi iradiasi sinar gamma. J. Agron. Indonesia 43 (3) : 201-

206.

Poespodarsono, S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. PAU IPB.

Bogor.

Rosidah, S., Syukur, M., dan Widodo. 2014. Pendugaan parameter genetika

ketahanan tanaman cabai terhadap penyakit antraknosa. Jurnal Fitopatologi

Indonesia 10 (6) : 202-209.

Sa‟diyah, N., Basoeki, T. R., Putri, A. E., Maretha, D., dan Utomo, S. D. 2009.

Korelasi, keragaman genetik, dan heritabilitas karakter agronomi kacang

panjang populasi F3 keturunan persilangan Testa Hitam x Lurik. Jurnal

Agrotropika 14 (1): 37 – 41.

Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Semangun, H. 2008. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.

Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Setiadi. 2006. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.

Setiawati, W., Koesandriani, Y., dan Hasyim, A. 2015. Inovasi Hortikultura

Pengungkit Peningkatan Pendapatan Rakyat. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Sujiprihati, S., Sale, G. B., dan Ali, E. S. 2003. Heritability, performance and

correlation studies on single cross hybrids of tropical maize. Asian J. Plant

Sci. 2 (1) : 51-57.

Sujitno, E., dan Dianawati, M. 2015. Produksi panen berbagai varietas unggul

baru cabai rawit (Capsicum frutescens) di lahan kering Kabupaten Garut,

49

Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas

Indonesia. 1 (4) : 874 – 877.

Syukur, M., Sujiprihati, S., dan Yunianti, R. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman.

Penebar Swadaya. Jakarta.

Syukur, M., Yunianti, R., Dermawan, R. 2012. Sukses Panen Cabai Tiap Hari.

Penebar Swadaya. Jakarta.

Tarigan, S. dan Wiryanta, W. 2003. Bertanam Cabai Hibrida Secara Intensif.

Agromedia Pustaka. Jakarta.

Utomo, S. D. 2012. Pemuliaan Tanaman Menggunakan Rekayasa Genetik.

Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Yunianti, R., Sastrosumarjo, S., Sujiprihati, S., Surahman, M., dan Hidayat, S. H.

2010. Kriteria seleksi untuk perakitan varietas cabai tahan Phytophthora

capsici Leonian. J. Agron. Indonesia 38 (2) : 122-129.