kerangka paper heteronormativitas dalam film lovely man

15
HETERONORMATIVITAS DALAM FILM “LOVELY MAN” KARYA SUTRADARA TEDDY SOERIAATMADJA Oleh: Nadya Afdholy, Wulan Yunita R., Siti Rachma F., Arif Fatchur R. Latar Belakang Lovely Man adalah sebuah film karya sutradara Teddy Soeriaatmadja yang diperankan oleh Donny Damara dan Raihaanun sebagai pemeran utamanya. Film ini menceritakan tentang seorang santriwati bernama Cahaya (diperankan oleh Raihaanun) belia berjilbab lulusan pesantren yang jauh-jauh datang dari Jawa menuju Jakarta hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu dan rindu terpendam kepada ayahnya yang sejak balita pergi meninggalkannya. Dengan berbekal secarik kertas bertuliskan alamat rumah susun yang diduga tempat tinggal ayahnya, ia sampai ke alamat yang dituju. Cahaya tidak dapat bertemu dengan ayahnya, karena menurut informasi tetangga ayahnya, ia sedang bekerja, padahal hari sudah malam. Akhirnya Cahaya berhasil menemui ayahnya yang “bekerja” di pinggir jalan di bawah jalan layang, berpenampilan seperti wanita, dan menjajakan “jasa” untuk siapa saja yang lewat. Cahaya yang melihat sosok ayahnya adalah seorang waria, kaget, ragu, dan memilih untuk menghindar dari ayahnya. Sementara sang ayah, Syaiful yang akan kita kenal dengan panggilan Ipuy (diperankan oleh Donny Damara), juga merasa kaget dan terganggu dengan kehadiran Cahaya, sedang menjadi incaran bandit kelas malam karena kasus pencurian. Tak ingin masalahnya bertambah, Ipuy pun mengusir Cahaya tanpa ada sedikit rasa empati terhadap

Upload: rachmafathiya

Post on 08-Nov-2015

31 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

kerangka paper heteronormativitas dalam film Lovely Man

TRANSCRIPT

HETERONORMATIVITAS DALAM FILM LOVELY MAN KARYA SUTRADARA TEDDY SOERIAATMADJAOleh: Nadya Afdholy, Wulan Yunita R., Siti Rachma F., Arif Fatchur R.Latar BelakangLovely Man adalah sebuah film karya sutradara Teddy Soeriaatmadja yang diperankan oleh Donny Damara dan Raihaanun sebagai pemeran utamanya. Film ini menceritakan tentang seorang santriwati bernama Cahaya (diperankan oleh Raihaanun) belia berjilbab lulusan pesantren yang jauh-jauh datang dari Jawa menuju Jakarta hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu dan rindu terpendam kepada ayahnya yang sejak balita pergi meninggalkannya. Dengan berbekal secarik kertas bertuliskan alamat rumah susun yang diduga tempat tinggal ayahnya, ia sampai ke alamat yang dituju. Cahaya tidak dapat bertemu dengan ayahnya, karena menurut informasi tetangga ayahnya, ia sedang bekerja, padahal hari sudah malam. Akhirnya Cahaya berhasil menemui ayahnya yang bekerja di pinggir jalan di bawah jalan layang, berpenampilan seperti wanita, dan menjajakan jasa untuk siapa saja yang lewat. Cahaya yang melihat sosok ayahnya adalah seorang waria, kaget, ragu, dan memilih untuk menghindar dari ayahnya. Sementara sang ayah, Syaiful yang akan kita kenal dengan panggilan Ipuy (diperankan oleh Donny Damara), juga merasa kaget dan terganggu dengan kehadiran Cahaya, sedang menjadi incaran bandit kelas malam karena kasus pencurian. Tak ingin masalahnya bertambah, Ipuy pun mengusir Cahaya tanpa ada sedikit rasa empati terhadap anaknya sendiri. Dibaluti rasa canggung satu sama lain, Cahaya yang tak menduga mendapati keadaan seperti itu, perlahan-lahan berhasil melunakkan Ipuy hingga pada akhirnya mereka menghabiskan malam Jakarta bersama. Menapaki hubungan ayah dan anak yang romantis namun miris melalui perbincangan-perbincangan sederhana yang pelan-pelan menguliti pribadi masing-masing mulai dari soal jilbab, kesalahan fatal Cahaya yang dirahasiakannya, sejarah Ipuy berkeluarga, pilihannya menjadi PSK, hingga motif utama Cahaya ingin menemui ayahnya. Film Lovely Man ini mengangkat tema salah satu sisi dari kehidupan waria di Jakarta. Terdapat film-film bertemakan serupa seperti Taman Lawang (2013), Madame X (2010), Panggil Aku Puspa (FTV) yang sebelumnya juga dibintangi oleh Donny Damara. Yang membedakan Lovely Man dengan film-film serupa adalah, film ini menampilkan banyak sekali pertentangan. Mulai dari penampilan Cahaya yang santun, sangat kontras dengan penampilan Ipuy dengan dandanan mencolok ala waria. Ipuy yang kelihatannya acuh tak acuk terhadap sang anak, diam-diam khawatir akan kabar sang anak dan ialah yang selama ini membiayai pendidikan Cahaya. Selain itu, film ini juga mendapatkan banyak penghargaan dan apresiasi baik dari dalam negeri maupun di luar negeri. Pada tahun 2012, film ini mendapatkan banyak award di luar negeri yaitu, mendapatkan 2 AFA Trophy di Asian Film Awards, Hong Kong, 2 Golden Reel Award di Tiburon International Film Festival, dan Best International Narative Feature di Tel Aviv LGBT International Film Festival. Tak sampai di situ, pada tahun 2013 film ini juga mendapatkan apresiasi berupa 2 Penghargaan Jati Emas di Penghargaan Akademi Film Indonesia.Di Indonesia, kebanyakan orang-orang memandang waria sebagai salah satu sampah masyarakat karena dianggap tidak jelas, mereka adalah seorang laki-laki tetapi berpenampilan layaknya seperti seorang perempuan seksi. Identifikasi diri sebagai laki-laki atau perempuan adalah landasan utama bagi identitas diri yang banyak diyakini sebagai hasil dari bentuk tubuh dan atribut tertentu yang melekat pada diri seseorang. Reduksionisme biologis menyatakan bahwa struktur biokimia dan struktur genetik manusia menentukan perilaku laki-laki dan perempuan. Secara alamiah laki-laki diyakini memiliki karakter yang mendominasi, berorientasi hierarki dan haus kekuasaan. Sementara perempuan diyakini memiliki karakter merawat, mengasuh, dan berorientasi domestik. Perbedaan secara genetik dan biokimia antara perempuan dan laki-laki terlihat dalam kemampuan bahasa, penilaian spasial, agresi, dorongan seks, kemampuan untuk fokus dalam tugas atau terkait dengan kemampuan otak kanan dan otak kiri (Barker, 2004:244). Identitas diri seorang waria yang tidak jelas inilah dianggap sebagai sesuatu di luar norma hetero dan dianggap tidak lazim. Pandangan yang berbasiskan norma-norma heteroseksual disebut heteronormativitas.Indonesia merupakan negara yang menganut sistem patriarki dimana nilai-nilai yang diterapkan adalah nilai-nilai heteronormatif. Heteronormativitas sendiri merupakan sebuah konsep yang menilai bahwa seksualitas diakui dan dapat diterima oleh masyarakat adalah relasi antara perempuan dengan laki-laki atau sebaliknya laki-laki dengan perempuan. Sedangkan hubungan diluar heteroseksual dianggap sebagai suatu bentuk penyimpangan, bahkan dianggap sebagai tindakan yang tidak normal. Bagaimana masyarakat Indonesia memaknai heteronormativitas pada film Lovely Man merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih dalam.

Rumusan Masalah1. Bagaimana konsep heteronormativitas dimunculkan dalam film Lovely Man karya sutradara Teddy Soeriaatmadja?Landasan Teoria. RepresentasiDalam bukunya yang berjudul Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (2001), Eriyanto menyatakan bahwa teks mengandung wacana atau ideologi. Teks dipandang sebagai sarana sekaligus media yang dapat digunakan suatu kelompok untuk mengunggulkan diri sendiri dan memarjinalkan kelompok lain. Karena itulah, representasi penting dibicarakan. Representasi adalah bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan, pendapat, realitas atau objek tertentu ditampilkan dalam sebuah teks. Dalam representasi sangat mungkin terjadi misrepresentasi yang artinya ketidakbenaran penggambaran atau kesalahan penggambaran. Salah satu bentuk misrepresentasi adalah marjinalisasi. Marjinalisasi adalah penggambaran yang buruk kepada pihak atau kelompok lain. Eriyanto menyebutkan ada 4 praktik pemakaian bahasa sebagai strategi wacana dari marjinalisasi, yakni dengan menghaluskan makna (eufemisme), memakai bahasa pengasaran (disfemisme), labelisasi, dan stereotipe. Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif (tetapi umumnya negatif) kepada orang, kelas, atau seperangkat tindakan. Dalam keterkaitannya dengan representasi, stereotipe merupakan praktik representasi yang menggambarkan sesuatu yang penuh prasangka, konotasi yang negatif dan bersifat subjektif. Banyak sekali contoh praktik stereotipe, misalnya yang berhubungan dengan gender. Stereotipe ini pada akhirnya adalah sebuah praktik dimana kelompok tertentu digambarkan secara buruk oleh kelompok lain.b. HeteronormativitasIdentifikasi diri sebagai laki-laki atau perempuan adalah landasan utama bagi identitas diri yang banyak diyakini sebagai hasil dari bentuk tubuh dan atribut tertentu yang melekat pada diri seseorang. Reduksionisme biologis menyatakan bahwa struktur biokimia dan struktur genetik manusia menentukan perilaku laki-laki dan perempuan. Secara alamiah laki-laki diyakini memiliki karakter yang mendominasi, berorientasi hierarki dan haus kekuasaan. Sementara perempuan diyakini memiliki karakter merawat, mengasuh, dan berorientasi domestik. Perbedaan secara genetik dan biokimia antara perempuan dan laki-laki terlihat dalam kemampuan bahasa, penilaian spasial, agresi, dorongan seks, kemampuan untuk fokus dalam tugas atau terkait dengan kemampuan otak kanan dan otak kiri (Barker, 2004:244). Catherine Mackinnon (Barker, 2004:249) lebih mengutamakan kesetaraan gender daripada perbedaan. Dia berpendapat bahwa subordinasi perempuan adalah kekuasaan sosial yang didasarkan atas dominasi laki-laki (heteroseksualitas institusional) meskipun tidak semua laki-laki memiliki kekuasaan setara dan tidak semua perempuan mengalami bentuk penindasan yang sama. Heteronornativitas adalah sebuah pandangan, pola pikir, kerangka, tindakan berbasis heteroseksual. Heteroseksual sendiri adalah suatu hubungan seksual yang dijalin oleh laki-laki dan perempuan. Dalam heteronormativitas hubungan yang dianggap lazim adalah hubungan yang dijalin antara laki-laki dan perempuan sedangkan hubungan percintaan dan seksual diluar norma hetero (hubungan antara laki-laki dengan laki-laki/perempuan dengan perempuan) dianggap sebagai sesuatu diluar kebiasaan atau tidak lazim.Heteronormativitas sendiri akhirnya memunculkan aturan-aturan yang bias dan diskriminatif. Diantaranya mengatur cara perempuan atau laki-laki seharusnya berpenampilan, memicu stereotype, dan diskriminasi pada identitas gender tertentu. Jenis kelamin merupakan bentuk biologi tubuh sedangkan gender mengacu pada asumsi dan praktek kultural yang mengatur konstruksi sosial laki-laki, perempuan, dan relasi sosial mereka. Karena gender adalah konstruksi kultural, maka ia tidak digambarkan sebagaimana gambaran biologi. Identitas seksual bukanlah suatu refleksi atas kondisi alamiah melainkan masalah representasi. Menurut Judith Butler jenis kelamin dari awal bersifat normatif yang disebut oleh Foucault sebagai kondisi ideal regulatif. Jenis kelamin tidak hanya berfungsi sebagai norma, namun menjadi bagian dari praktik regulatif yang memproduksi tubuh yang diperintahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin adalah kondisi ideal regulatif yang perwujudannya dipaksakan dan perwujudan ini berlangsung melalui praktik-praktik yang sangat teratur. Dengan kata lain jenis kelamin adalah suatu konstruksi ideal yang diwujudkan secara paksa seiring berjalannya waktu (Barker, 2004:259).

Metode Penelitiana. Analisis WacanaAnalisis wacana tidak semata-mata dipahami sebagai objek dari studi bahasa. Dalam penjabarannya, analisis berarti upaya atau proses dalam memberikan penjelasan sebuah teks yang akan dan sedang digunakan seseorang atau kelompok tertentu yang cenderung memiliki tujuan untuk mencapai hal yang diinginkan. Hal ini berarti, dalam memahami sebuah konteks harus disadari adanya kepentingan. Dalam tulisan Haryatmoko, wacana sering dipahami sebagai interaksi simbolis dalam berbagai bentuk seperti pembicaraan, tulisan, kial, gambar, diagram, film atau musik. (M. Bloor, 2007:1-2). Sehingga dapat disimpulkan bahwa analisis wacana merupakan cara bagaimana bahasa digunakan untuk menyampaikan pesan yang didalamnya terdapat makna tersirat (realitas sosial) sebagai pencapaian dari tujuan sosial. Dalam Eriyanto (2001), dijabarkan terdapat beberapa model analisis wacana. Dalam buku Analisis Wacana-nya, disajikan model-model analisis wacana yang dikembangkan, misalnya oleh Roger Fowler dkk. (1979), Theo van Leeuwen (1986), Sara mills (1992), Norman Fairclough (1998) dan Teun A. Van Dijk (1998). Analisis wacana kritis berangkat dari gagasan Foucault yang menyatakan bahwa wacana merupakan sistem pengetahuan yang memberi informasi tentang teknologi sosial dan teknologi memerintah yang merupakan bentuk kekuasaan dalam masyarakat modern. (Haryatmoko). Hal itulah yang membawa para ahli Analisis Wacana Kritis yakni, van Dijk, Faircluogh, van Leuween mengembangkan gagasan dari Foucault tentang hubungan pengetahuan, kekuasaan, dan kebenaran yang beracuan pada wacana.b. Analisis Wacana Kritis Model Norman FaircloughNorman Fairclough dikenal dengan pemikirannya tentang analisis wacana kritis. Konsep yang ia bentuk menitikberatkan pada tiga level, pertama, setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk teks. Kedua, praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi; sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media. Ketiga, praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media, dan wacananya. Pembahasan praktik sosial budaya meliputi tiga tingkatan Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi dan konteks situasinya Tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal maupun eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan.Fairclough sebenarnya bukanlah akademisi ilmu komunikasi. Dia meminati masalah kajian kritis wacana dalam teks berita dimulai sejak tahun 1980-an. Dia melihat bagaimana penempatan dan fungsi bahasa dalam hubungan sosial khususnya dalam kekuatan dominan dan ideologi. Faiclough berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah, bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Konsep ini mengasumsikan dengan melihat praktik wacana bias jadi menampilkan efek sebuah kepercayaan (ideologis) artinya wacana dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas dimana perbedaan itu direpresentasikan dalam praktik sosial. Analisis Wacana melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan yang saling berkaitan antara peristiwa yang bersifat melepaskan diri dari dari sebuah realitas, dan struktur sosial.Dalam memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan realitas di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks. Dikarenakan dalam sebuah teks tidak lepas akan kepentingan yang bersifat subjektif. Di dalam sebuah teks juga dibutuhkan penekanannya pada makna (meaning) (lebih jauhdari interpretasi dengan kemampuan integratif, yaitu inderawi, daya piker dan akal budi) Artinya: Setelah kita mendapat sebuah teks yang telah ada dan kita juga telah mendapat sebuah gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk membedah masalah, maka kita langkah selanjutnya adalah kita memadukann kedua hal tersebut menjadi kesatuan yaitu dengan adanya teks tersebut kita memakai sebuah teori untuk membedahnya.Kemudian Norman Fairclough mengklasifikasikan sebuah makna dalam analisis wacana sebagai berikut: Translation (mengemukakan subtansi yang sama dengan media). Artinya: Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Sedangkan sebagai seorang peneliti memulainya dengan membuat sampel yang sistematis dari isi media dalam berbagai kategori berdasarkan tujuan penelitian. Interpretation (berpegang pada materi yang ada, dicari latarbelakang, konteks agar dapat dikemukakan konsep yang lebih jelas). Artinya: Kita konsen terhadap satu pokok permasalahan supaya dalam menafsirkan sebuah teks tersebut kita bisa mendapat latar belakang dari masalah tersebut sehingga kemudian kita bisa menentukan sebuah konsep rumusan masalah untuk membedah masalah tersebut. Ekstrapolasi (menekankan pada daya pikir untuk menangkap hal dibalik yang tersajikan). Artinya: kita harus memakai sebuah teori untuk bisa menganalisis masalah tersebut, karena degnan teori tersebut kita bisa dengan mudah menentukan isi dari teks yang ada. Meaning (lebih jauh dari interpretasi dengan kemampuan integrative, yaitu inderawi, daya piker dan akal budi). Artinya: Setelah kita mendapat sebuah teks yang telah ada dan kita juga telah mendapat sebuah gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk membedah masalah, maka kita langkah selanjutnya adalah kita memadukann kedua hal tersebut menjadi kesatuan yaitu dengan adanya teks tersebut kita memakai sebuah teori untuk membedahnya. Dan menurutnya dalam analisis wacana Norman Fairclough juga memberikan tingkatan, seperti sebagai berikut: Analisis Mikrostruktur (Proses produksi): menganalisis teks dengan cermat dan fokus supaya dapat memperoleh data yang dapat menggambarkan representasi teks. Dan juga secara detail aspek yang dikejar dalam tingkat analisis ini adalah garis besar atau isi teks, lokasi, sikap dan tindakan tokoh tersebut dan seterusnya. Analisis Mesostruktur (Proses interpretasi): terfokus pada dua aspek yaitu produksi teks dan konsumsi teks. Analisis Makrostruktur (Proses wacana) terfokus pada fenomena dimana teks dibuat.Dengan demikian, menurut Norman Fairclough untuk memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan realitas di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks.Teknik Pengumpulan DataDenzin dan Lincoln memberikan rumusan bahwa penelitian kualitatif adalah kajian fenomena (budaya) empirik di lapangan. Penelitian kualitatif adalah wilayah kajian multimetode, yang memfokuskan pada interpretasi dan pendekatan naturalistik bagi suatu persoalan. Kajian ini akan meliputi berbagai hal pengumpulan data lapangan, seperti life history, pengalaman pribadi, wawancara, pengamatan, sejarah, teks visual dan sebagainya. Pandangan ini memberikan kejelasan bahwa penelitian kualitatif budaya akan memanfaatkan aneka metode. Kajian budaya memiliki langkah-langkah tertentu seperti wawancara dan observasi untuk memperoleh aneka data. (Endraswara, 2006: 86)Data penelitian komunikasi kualitatif pada umumnya berupa informasi kategori substansif yang sulit di numerasikan. Secara garis besar data dalam penelitian kualitatif dikelompokkan menjadi tiga jenis : (a) data yang diperoleh dari interview, (b) data yang diperoleh dari observasi, dan (c) data berupa dokumen, teks, atau karya seni yang kemudian di narasikan (dikonversikan ke dalam bentuk-bentuk narasi). (Pawito, 2007: 96)Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah penulis mengumpulkan data berupa film dengan cara mengunduh film Lovely Man, yang mana film tersebut menjadi objek kajian dalam penelitian ini serta menggunakan kajian studi pustaka sebagai pendukung dalam analisis film Lovely Man. Teknik ini mencari data-data yang sesuai dengan jenis penelitian yang akan dilaksanakan. Kajian studi pustaka dilakukan agar penelitian lebih terarah dengan cara mengumpulkan data-data yang relevan. Selain itu bahan pustaka hasil pengamatan, pemikiran, serta data-data dari media cetak, perpustakaan Departemen, Fakultas, maupun Universitas Airlangga, e-book dan elektronik lainnya membantu dalam penelitian. Analisis DataDalam penelitian ini, kami melihat Film Lovely Man yang diteliti sebagai sebuah teks yang terdiri dari gambar dan suara. Adapun langkah-langkah penelitian ini; yang pertama, akan melakukan pengamatan terhadap film tersebut dengan membaginya menjadi beberapa scene (capture screen) dan kemudian menuliskan kalimat-kalimat yang digunakan dalam film Lovely Man. Kemudian dari scene dan kalimat-kalimat tersebut dianalisis menggunakan analisis heteronormativitas Judith Butler.

Daftar Pustaka:Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori & Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.Butler, Judith. 1990. Gender Trouble. New York: Routledge.Endaswara. Suwardi. 2006. Metode, Teori, Tehnik; Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistimologi, Aplikasi. Sleman: Pustaka Widya TamaEriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.Lasmiah, Umi (2011). Dekontruksi, Rekontruksi Sosial: Film dan Pesan-pesan Tersurat. Ultimart, Vol. 3 No. 1.Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS.http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-l009-11-071944_lovely-man/award#.VRjkdS7eKVQ (diakses 30 Maret 2015)