kerja keras memandirikan badan keswadayaan masyarakat

4
artikel khusus Kerja Keras Memandirikan BKM/LKM Melalui PLPBK Oleh: Maizil Jalaludin Semua pelaku sepakat, Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) atau Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) harus mandiri. Yang disebut mandiri adalah BKM/LKM yang telah memiliki gagasan inovatif dan pandangan ke depan. Ini tentu bukan pekerjaan ringan. Lantas, sejauh mana kemandirian BKM/LKM di PNPM Mandiri Perkotaan? Data status perkembangan organisasi BKM/LKM menyebutkan, saat ini ada 4.965 BKM/LKM mandiri di lokasi PNPM Mandiri Perkotaan. Persentasenya mencapai 45% dari total BKM/LKM baik di wilayah 1 (loan dari Islamic Development Bank) dan wilayah 2 (loan dari World Bank). Data yang sama juga menunjukkan, jumlah BKM/LKM berdaya saat ini mencapai 5.539 atau 52% dari total BKM/LKM yang ada. Dari sisi persentase terlihat, diperlukan usaha keras dari seluruh pelaku di semua level agar BKM/LKM yang masih berstatus berdaya ini naik level ke mandiri. Secara konseptual, upaya memandirikan BKM/LKM ini ditempuh dengan mengarahkan seluruh pimpinan kolektif BKM/LKM agar punya visi atau pandangan jauh ke depan dalam menanggulangi kemiskinan di kelurahan/ desanya. Visi yang bagus ini juga harus didukung dengan profesionalitas dan integritas yang tinggi dalam melayani masyarakat khususnya warga miskin. Dalam artikelnya berjudul Konsep Ideal Kemandirian BKM/LKM (30 Januari 2013), Koorkot Situbondo-Bondowoso Jawa Timur Achmad Zaini menulis, sejauh ini hanya sedikit sekali BKM/LKM yang mampu mandiri dengan indikator menyelesaikan masalah penggulangan kemiskinan dalam bentuk kerja sama dengan pihak luar. Keprihatinan Zaini patut menjadi perhatian semua pihak, baik pelaku di PNPM Mandiri Perkotaan maupun pihak luar yang peduli dan punya kontribusi terhadap pelaksanaan program ini.

Upload: wildan-hakim

Post on 08-Dec-2014

116 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kerja Keras Memandirikan Badan Keswadayaan Masyarakat

artikel khusus

Kerja Keras Memandirikan BKM/LKM Melalui PLPBK

Oleh: Maizil Jalaludin

Semua pelaku sepakat, Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) atau Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) harus mandiri. Yang disebut mandiri adalah BKM/LKM yang telah memiliki gagasan inovatif dan pandangan ke depan. Ini tentu bukan pekerjaan ringan. Lantas, sejauh mana kemandirian BKM/LKM di PNPM Mandiri Perkotaan?

Data status perkembangan organisasi BKM/LKM menyebutkan, saat ini ada 4.965 BKM/LKM mandiri di lokasi PNPM Mandiri Perkotaan. Persentasenya mencapai 45% dari total BKM/LKM baik di wilayah 1 (loan dari Islamic Development Bank) dan wilayah 2 (loan dari World Bank). Data yang sama juga menunjukkan, jumlah BKM/LKM berdaya saat ini mencapai 5.539 atau 52% dari total BKM/LKM yang ada.

Dari sisi persentase terlihat, diperlukan usaha keras dari seluruh pelaku di semua level agar BKM/LKM yang masih berstatus berdaya ini naik level ke mandiri. Secara konseptual, upaya memandirikan BKM/LKM ini ditempuh dengan mengarahkan seluruh pimpinan kolektif BKM/LKM agar punya visi atau pandangan jauh ke depan dalam menanggulangi kemiskinan di kelurahan/ desanya. Visi yang bagus ini juga harus didukung dengan profesionalitas dan integritas yang tinggi dalam melayani masyarakat khususnya warga miskin.

Dalam artikelnya berjudul Konsep Ideal Kemandirian BKM/LKM (30 Januari 2013), Koorkot Situbondo-Bondowoso Jawa Timur Achmad Zaini menulis, sejauh ini hanya sedikit sekali BKM/LKM yang mampu mandiri dengan indikator menyelesaikan masalah penggulangan kemiskinan dalam bentuk kerja sama dengan pihak luar. Keprihatinan Zaini patut menjadi perhatian semua pihak, baik pelaku di PNPM Mandiri Perkotaan maupun pihak luar yang peduli dan punya kontribusi terhadap pelaksanaan program ini.

Bertolak dari keprihatinan di atas, upaya mendorong BKM/LKM agar mampu bermitra dengan pihak luar juga terus dilakukan. Terlepas dari hasilnya yang belum maksimal dan merata, kerja sama atau kemitraan dengan berbagai pihak terus difasilitasi. Dua di antaranya melalui penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Penanggulangan Kemiskinan Terpadu (Paket) dan Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK). Sedari awal, pemberian BLM Paket dan BLM PLPBK bertujuan merangsang BKM/LKM yang sudah mandiri untuk bermitra dengan berbagai pihak di wilayahnya yang peduli terhadap penanggulangan kemiskinan.

Page 2: Kerja Keras Memandirikan Badan Keswadayaan Masyarakat

PLPBK sebagai Pembelajaran

Pembelajaran bukan dimaknai sebagai proses belajar. Lebih jauh, pembelajaran PLPBK merupakan proses belajar dan mengajarkan PLPBK (baca: menjadikan contoh) bagi desa atau kelurahan lain. PLPBK yang juga dikenal dengan Neighbourhood Development (ND) merupakan produk perencanaan partisipatif yang akan menjadi produk unggulan PNPM Mandiri Perkotaan. Perencanaan partisipatif yang diterapkan di PLPBK merupakan salah satu cara menggali visi warga dalam menanggulangi kemiskinan melalui penataan lingkungan. Dari sisi program, diharapkan PLPBK ini menjadi bisnis inti Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan di Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum.

Sejalan dengan harapan itulah, lokasi awal yang terpilih untuk mendapatkan BLM PLPBK adalah kelurahan atau desa terbaik yang melaksanakan PNPM Mandiri Perkotaan. Yakni, desa atau kelurahan yang BKM atau LKM-nya masuk kategori mandiri. Guna menjamin mutu pelaksanaannya di kelurahan atau desa terpilih, hanya pelaku terbaik di Konsultan Manajemen Wilayah (KMW) yang bisa ditugaskan menjadi Asisten Kota (Askot) Urban Planner dan fasilitator kelurahan (Faskel) PLPBK. Meski dirancang sebagus mungkin, dalam praktiknya, PLPBK tetap menghadapi kendala teknis maupun non teknis.

Tantangan mengelola lokasi PLPBK ini kian besar pada 2011. Ini dipicu adanya kebijakan penggabungan lokasi PLPBK (biasa juga disebut lokasi advance) dan PNPM Mandiri Perkotaan reguler. Penggabungan lokasi reguler dan advance ternyata memunculkan pertentangan antarpelaku di lapangan. Produktivitas tim Koorkot dan Faskel turun. Askot Urban Planner dan Faskel PLPBK tidak mendapat dukungan maksimal dari timnya. Pelaku tim Korkot dan Faskel secara umum terlihat belum peduli terhadap pelaksanaan kegiatan PLPBK di wilayah dampingannya.

Pertentangan antarpelaku ini mereda seiring keluarnya kebijakan penghapusan jabatan Askot Urban Planner dan fasilitator khusus PLPBK. Kebijakan tersebut otomatis mendorong tim Koorkot dan Faskel mendampingi dan memfasilitasi lokasi PLPBK secara maksimal. Dampaknya, Koorkot di beberapa provinsi kian gigih meningkatkan kapasitasnya. Ini bisa dilihat dari kian efektifnya kegiatan Komunitas Belajar Internal Konsultan (KBIK) yang dilakukan secara mandiri.

Namun harus diakui, beragam persoalan berikut solusinya melalui kebijakan belum memberikan berdampak signifikan dan menyeluruh terhadap pelaksanaan kegiatan PLPBK. Lokasi pilot PLPBK yang sudah memasuki tahun ke-lima dan lokasi PLPBK 2009 yang memasuki tahun ke-empat ternyata sudah melampaui target waktu pelaksanaan kegiatan. Belum ada pernyataan yang tegas untuk menjelaskan bentuk perubahan positif yang terjadi di tingkat masyarakat. Secara tersirat ini menunjukkan, PLPBK merupakan pembelajaran yang prosesnya belum usai dan masih harus dipantau terus oleh semua pelaku.

Artinya, upaya keras memandirikan BKM/LKM dari sisi pelaksanaan kegiatan PLPBK takkan lepas dari aktivitas komunikasi dan koordinasi. Sebagaimana pernah ditulis Koorkot

Page 3: Kerja Keras Memandirikan Badan Keswadayaan Masyarakat

Pamekasan, Sumenep, Bangkalan Jatim Eddy Iwantoro (10 Februari 2012), kemandirian BKM/LKM hanya bisa diwujudkan ketika para pihak ikut peduli. Kepedulian ini harus dibangun melalui komunikasi, koordinasi, dan eksekusi kebijakan yang memihak kepentingan BKM/LKM dalam melaksanakan peran penanggulangan kemiskinan. Untuk itulah, BKM/LKM harus difasilitasi agar kian mampu bersinergi dengan program atau pihak lain yang berorientasi pada penanggulangan kemiskinan. Dengan begitu, kemandirian BKM/LKM kelak akan berdaya guna bagi masyarakat. Seluruh pelaku masih harus bekerja keras.