kerja magang di pangreh praja

12

Click here to load reader

Upload: tsabit-azinar-ahmad

Post on 13-Jun-2015

601 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kerja Magang Di Pangreh Praja

1

MAGANG: SISTEM REKRUITMEN

KORPS PANGREH PRAJA MASA KOLONIAL

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Sejarah Indonesia

Dosen Pengampu Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum.

Oleh TSABIT AZINAR AHMAD

NIM S860209113

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2009

Page 2: Kerja Magang Di Pangreh Praja

2

MAGANG: SISTEM REKRUITMEN KORPS PANGREH PRAJA MASA KOLONIAL

Tsabit Azinar Ahmad

PENDAHULUAN

Pada masa pemerintahan kolonial, terjadi diferensiasi masyarakat yang

diadasarkan pada warna kulit (color line). Golongan yang secara politik dan

ekonomi menduduki tempat teratas dalam susuna masyarakat itu adalah orang-

orang Belanda. Golongan Belanda dan Eropa merupakan salah satu kelompok

sosial baru yang ada setelah berkembangnya imperialisme dan kolonialisme di

Indoesia. Bangsa Eropa ini menempati posisi-posisi yang penting pada saat terjadi

imperlialisme di Indonesia. Golongan-golongan ini terdiri atas (1) Bangsa

Belanda dan keturunannya, (2) bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Portugis,

Perancis, Inggris, dan lain sebagainya, serta (3) orang-orang bangsa lain (bukan

Eropa) yang telah dipersamakan dengan Eropa karena kekayaan, keturunan

bangsawan, pendidikan. Selain itu, ada pula golongan timur asing. Golongan

timur asing pada saat kekuasaan pemeritah kolonial ini terdiri atas masayarakat

yang berasal dari bangsa Cina, India, dan Arab. Golongan timur asing ini telah

datang ke kawasan Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa dan telah

melakukan interaksi dengan masyarakat pribumi dalam bidang perekonomian,

khususnya perdagangan. Pada saat pemerintahan kolonial, mereka memiliki

kedudukan yang istimewa. Mereka memegang posisi yang strategis dalam bidang

perekonomian. Golongan ketiga adalah golongan pribumi. Golongan pribumi

pada dasarnya adalah golongan yang memiliki hak atas kepemilikan negeri. Hal

ini disebabkan golongan pribumi telah turun-temurun mendiami dan mengolah

alam di Nusantara. Pada saat penguasaan kolonial di Nusantara, golongan

pribumi menjadi korban penindasan. Golongan ini memiliki status sosial yang

lebih rendah dibandingkan dengan golongan-golongan lainnya.

Diferensiasi yang disebabkan oleh warna kulit ini memunculkan

konsekuensi adanya perbedaan dalam sistem birokrasi yang mengatur kehidupan

masyarakat masa kolonial. Pada kuartal kedua abad XIX mucul dualisme birokras

di daerah kolonial. Di satu sisi terdapat sistem politik yang berpusat pada seorang

Page 3: Kerja Magang Di Pangreh Praja

3

Gubernur Jenderal di Batavia yang dibantu oleh suatu Dewan Hindia membawahi

berbagai departemen. Di bawah Gubernur Jenderal terdapat berbagai pejabat

administrasi dan kedinasan seperti Residen, Asisten Residen, Controleur, dan

Aspirant Controleur. Elite birokrasi itulah yang dinamakan Binnenlands Bestuur

(BB), yang dalam praktiknya hanya berkaitan dengan masyarakat eropa dan timur

asing (Leirissa, 1985: 9-10). Sementara itu masyarakat pribumi diatur oleh sistem

birokrasi tradisional yang berada di bawah BB, yang dinamakan Inlandsche

Bestuur atau Pangreh Praja (PP). Adanya pejabat-pejabat pribumi yang terdiri atas

para bupati, patih, wedana, camat, dan lain-lain merupakan bagian dari indirect

rule dari pemerintahan kolonial, yang berarti sebuah strategi pemeritahan yang

masih tetap menggunakan penguasa-penguasa lokal untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu ketika sistem baru yang disusun ternyata tidak dapat sampai pada tingkat

rakyat bawah.

Adanya dualisme birokrasi masa kolonial merupakan hal yang menarik.

Karena di satu sisi terdapat sistem birokrasi yang modern, tetapi di satu sisi masih

terdapat satu sistem birokrasi yang bersifat tradisional, baik dari susunan

hierarkisnya maupun dari sistem rekruitmennya. Susunan hierarkis dari PP berada

di tangan para penguasa lokal meliputi Bupati dan jajarannya sampai pada tingkat

desa. Ditinjau dari sisi rekruitmen, pola rekruitmen sebagian pangreh praja masih

menggunakan pola rekruitmen lama yang didasari pada konsep ngenger dan

magang. Dari latar belakang pemikiran di atas, tulisan ini secara ringkas berupaya

untuk menjelaskan sistem rekruitmen korps pangreh praja, terutama pada konsep

magang sebagai satu sarana untuk masuk dalam jajaran birokrasi.

MUCUL DAN BERKEMBANGNYA KORPS PAGREH PRAJA

Pada abad XIX ketika Kumpeni diambil alih penguasaanya oleh

pemerintah Belanda, daerah-daerah yang menjadi yuridiksi Kumpeni di Jawa

menjadi daerah administrasi pemerintah kolonial Belanda (Sartono Kartodirdjo,

A. Sudewo, & Suhardjo Hatmosuprobo, 1993: 14). Daerah-daerah yang menjadi

wilayah yuridiksi Kumpeni yang diambil alih penguasaannya oleh pemeritah

kolonial Belanda adalah wilayah pesisir. Ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada

1755, wilayah pesisir sudah menjadi milik VOC. Wilayah Surakarta dan

Page 4: Kerja Magang Di Pangreh Praja

4

Yogyakarta tinggal Kuthagara, Negara Agung, dan Mancanegara saja (Wasino,

2005: 19). Wilayah Pesisir meliputi Pesisir Barat (Pekalongan, Nrebes, Wiradesa,

Bantar, Lebaksiu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, dan Demak) dan Pesisir

Timur (Jepara, Kudus, Cengkal Sewu, Pati, Juana, Pejangkungan, Rembang,

Tuban, Sidayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Bangil, Besuki,

Blambangan, Banyuwangi, dan Madura).

Pada perkembangannya, pada masa pemerintahan Inggris daerah

kekuasaan kerajaan di Jawa mengalami penyempitan kembali. Hal ini seperti yang

terjadi di daerah Kedu yang pada tahun 1812 berhasil dikuasai oleh Inggris

melalui perjanjian dengan Hamengku Buwono II yang kalah dalam pertempuran.

Kemudian, setelah akhir perang Diponegoro daerah luaran atau mancanegara oleh

raja Jawa diserahkan pada Belanda sebagai ganti jerih payah mereka menindas

pemberontakan (Ong Hok Ham, 1984:3). Pringgodigdo seperti dikutip Wasino

(2005) menyatakan Mancanegara barat meliputi Banyumas, Banjar, Pasir, Ayah,

Kalibeber, Roma, Jabarangkah, Pamerden, Wora-Wari, Tersono, Kerincing,

Bobotsari, Kartanegara, Daya Luhur, Brebes, Lebaksiu, Balapulang Bentar,

Banjarnegara, Purbalingga, serta daerah Jepara, Salatiga, dan Blora. Daerah

mancanegara timur meliputi Panaraga, Kediri, Madiun, Pacitan, Keduwang,

Magetan, Caruban, Pace, Kertosono, Srenget, Blora, Rawa, Kalangbret,

japan/Lamongan, Wirasaba, Brebeg, Jagaraga. Wilayah mancanegara pesisir

inilah yang sering disebut oleh orang Jawa sebagai wilayah Gupernemen.

Di daerah Gupernemen ini posisi bupati-bupati beserta keluarga dan

kerabatnya pada dasarnya tetap dipertahankan seperti pada masa Kumpeni.

Namun ketika masa Daendels (1808-1811) pemerintah kolonial mengadakan

penertiban dengan menerbitkan resolusi tanggal 1 September 1808 yang berisi

tentang pengubahan status bupati-bupati di daerah Gubernemen menjadi pegawai

kerajaan dengan gaji tetap dan pasti. Mereka dimasukkan dalam hirarki

administrasi pemerintahan kolonial dan menjalankan kewajibannya atas perintah

dan pengawasan pembesar kolonial, yaitu prefect (Sartono Kartodirdjo, A.

Sudewo, & Suhardjo Hatmosuprobo, 1993: 15). Deandels mengeluarkan

kebijakan demikian karena bertujuan membentuk sebuah negara modern seperti di

Perancis di mana para pejabat disusun menurut hirarki dan digaji, sehingga terjadi

Page 5: Kerja Magang Di Pangreh Praja

5

pemisahan antara kepentingan pribadi dan jabatan yang pada mulanya berbaur

menjadi satu (Sutherland, 1983).

Untuk melaksanakan maksudnya Daendels menghapus Gubernemen

Pantai Jawa Timur Laut. Demikian puula Residen yang berkedudukan di Kerajaan

Jawa yang berada di bawah Gubernur diambilalih langsung di bawah pemerintah

pusat di Batavia. Daerah Jawa di luar kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dibagi

menjadi sembilan daerah administratif yang disebut dengan Perfectur , yang kelak

pada masa pemerintahan Raffles diubah dengan nama Karesidenan yang

kemudian terkenal dengan nama Gewest . Tiap Perfectur dikuasasi oleh seorang

Perfect yang berada di bawah perintah langsung pemerintah pusat di Batavia

(Soegijanto Padmo, 2007).

Namun karena pemerintahan Daendels yang singkat, perubahan-perubahan

dalam sistem birokrasi masih belum sepenuhnya diimplementasikan. Perubahan

yang sebenarnya baru terjadi da terwujud pada pemerintahan Raffles (1811-1816)

dengan landrent system-nya, yang merupakan defeodalisasi terhadap seluruh

aristrokrasi lokal (Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, & Suhardjo Hatmosuprobo,

1993: 17). Pada perkembangannya, Bupati dan kerabatnya bergeser menjadi

birokrat-birokrat pribumi pada sistem administrasi pemerintahan kolonial.

Birokrat-birokrat ini merupakan satu korps yang disebut dengan korps pangreh

praja (PP).

Pangreh praja secara istilah berarti penguasa kerajaan. Namun demikian

makna tersebut tidak dipahami secara mentah, tetapi kemudian dimaknai sebagai

sebuah pemerintahan pribumi (Inlandsche bestuur). Para pangreh praja menurut

H. Sutherland (1983) merupakan suatu elite birokrasi dengan sistem cara kerja

dengan etos dan juga dengan hubungan-hubungan sosial, ekerabatan yang saling

jalin-menjalin. Pemerintahan ini oleh Belanda dianggap satu tingkat lebih rendah

daripada pemerintahan Binnenlands Bestuur.

Inlandsche Bestuur dapat dibedakan antara yang berada di bawah langsung

dan yang tidak berada di bawah langsungPemerintah Hindia Belanda. Di daerah

yang di bawah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda dapat dibedakan antara

Inheemsche Gouvernemen Bestuur atau Pemerintahan Bumi Putera dan

Inlandsche Gemeentelijk Bestuur atau Pemerintahan masyarakat Hukum Bumi

Page 6: Kerja Magang Di Pangreh Praja

6

Putera. Dalam Inheemsche Gouvernement Bestuur Bupati merupakan pejabat

yang tertinggi. Di atas Inlandsche Gemeentelijk Bestuur yang sudah ada sebelum

kedatangan orang Belanda diangkat Kepala Distrik dan kepala Onder-distrik yang

pada pokoknya bertugas sebagai penghubung antara Pemerintahan Masyarakat

Hukum Bumi Putera dengan Pemerintahan Hindia Belanda. Di daerah yang tidak

langsung dikuasai pemerintah Hindia belanda disebut Zelfbestuurende

Landschappen atau daerah Swapraja, Daerah Istimewa (Soegijanto Padmo, 2007).

Pemerintahan daerah ini diatur berdasarkan kontrak-kontrak politk. Ada

dua macam kontrak politik yaitu kontrak politik panjang dimana hubungan antara

pemerintah lokal Swapraja dengan pemerintah Hindia Belanda diatur secara

terinci. Adapun kontrak politik pendek berisi aturan tentang hubungan antara

pemerintahan lokal swapraja dengan pemerintaha Hindia Belanda diatur secara

rinci dalam format yang lebih pendek (Soegijanto Padmo, 2007).

Korps pangreh praja menjadi bagian dari administrasi pemerintahan

kolonial yang khusus mengurusi kepentingan penduduk pribumi. Bupati menjadi

pimpinan tertinggi pemerintahan pribumi itu. Walaupun menjadi bagian dari

pemerintahan kolonial, pangreh praja tidak kehilangan sifat-sifat dasarnya yang

bersifat feodal. Hubungan tradisional antara pejabat-pejabat pemerintahan pribumi

dengan desa da masyarakatnya masih tetap bersifat feodal. Berhubungan dengan

itu, beberapa unsur yang menunjukkan kewibawaan feodal masih tetap

dipertahankan seperti lambang-lambang, upacara-upacara, gaya hidup, gelar,

bahkan sistem pergantian dan rekruitmen masih dipertahankan. Pemerintah

kolonial bahkan mengeluarkan undang-undang bahwa posisi bupati masih tetap

turun-temurun. Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, & Suhardjo Hatmosuprobo

(1993: 19) menyebutkan bahwa sejak tahun 1836 pemerintah kolonial menetapkan

secara konstitusional posisi bupati sebagai basis kekuasaannya pada Reegerings-

Reglement (RR) pasal 67 dan pada RR 1854 ini 69 ayat 4 dinyatakan posisinya

yang turun-temurun. Apabila ada lowongan bupati maka yang pertama-tama

mengisi adalah salah seorang anak atau saudara-saudara dari bupati yang

meninggalkan jabatan itu.

Page 7: Kerja Magang Di Pangreh Praja

7

MENJADI PRIYAYI: MAGANG SEBAGAI SISTEM REKRUITMEN

Dalam pandangan beberapa ahli seseorang yang mendapatkan posisi

sebagai pegawai dalam struktur birokrasi pada masa kolonial sering pula disebut

dengan priyayi. Istilah priyayi berasal dari kata “para yayi” yang berarti adik-adik

raja. Namun demikian, istilah tersebut bukan hanya sebatas pada adik raja saja,

melainkan juga meluas untuk kalangan yang berada di sekitar pusat kekuasaan,

termasuk pegawai-pegawai kerajaan atau pemerintahan. Priyayi pada dasarnya

adalah status sosial yang didapat melalui upaya-upaya tertentu maupun karena

keturunan. Priyayi terdiri atas orang-orang yang berada pada strata atas pada

masyarakat Jawa yang memimpin, mengatur, dan menuntun masyarakat. Para

pejabat pemerintahan pada masa kolonial Hindia Belanda, golongan profesional

yang terpelajar dan terdidik, serta kerabat-kerabat penguasa, dalam hal ini bupati,

wedana, dan sebagainya yang menduduki posisi-posisi penting adalah mereka

yang disebut dengan kalangan priyayi.

Pendapat bahwa priyayi identik dengan para birokrat ini seperti pendapat

yang diungkapkan oleh van Neil yang menyatakan bahwa golongan priyayi terdiri

atas pejabat-pejabat administrasi pemerintahan tertentu (Sartono Kartodirdjo, A.

Sudewo, & Suhardjo Hatmosuprobo, 1993: 4-7). Selain itu ada pula pendapat dari

Heather Sutherland (1983) yang menekankan priyayi sebagai kelompok sosial

yang menguasai jabatan-jabatan pada administrasi pemerintahan dalam negeri.

Priyayi merupakan administrasi pemerintahan, mereka adalah pegawai dalam

rangka sistem pemeritahan tidak langsung. Dilihat dari kaca mata rakyat,

golongan priyayi menjadi pewaris penguasa tradisional yang bersifat feodal.

Hubungannya dengan rakyat yang bersifat patrimonial sedapat mungkin

dipertahankan.

Oleh karena statusnya inilah, menjadi bagian dari pangreh praja

merupakan satu proses yang sulit, apalagi bagi mereka yang tidak berasal dari

kalangan berada. Ada aturan-aturan yang membatasi penduduk pribumi untuk

menjadi pegawai negeri. Tidak sembarang orang atau setiap penduduk pribumi

dapat dengan mudah menjadi pegawai pemerintah, khususnya untuk menjadi

pejabat kepala daerah (Inlands Hoofden), seperti misalnya asisten Wedana,

Wedana, dan Bupati (Sudarmo, 2006: 2).

Page 8: Kerja Magang Di Pangreh Praja

8

Menjadi priyayi bukan semata-mata pekerjaan, melainkan juga berarti

kehormatan. Kutowijoyo (2003: 203) mejelaskan untuk menjadi priyayi

seseorang harus suwita (mengabdi seseorang, dilihat kesetiaannya), kemudian

magang (in-job training) untuk dilihat kemampuan profesionalnya. Semua itu

agar supaya setelah jadi priyayi tidak memalukan. Etiket itu ialah kepandaian

berbahasa, gerakan tubuh, air muka, dan moral yang baik; kesalahan etiket

berarti dosa terhadap sang amurbeng bumi (penguasa dunia). Sesudah selesai

magang lalu ada wisudha. Biasanya, setelah wisuda seseorang jadi jajar. Sesudah

jajar jenjangnya berturut-turut adalah bekel, lurah, mantri, panewu, kliwon, dan

bupati.

Untuk sampai kepada jabatan pimpinan, seperti camat, wedana dan bupati,

seseorang harus menjalani magang, suatu perjuangan yang cukup berat dan lama.

Itu tergantung kepada atasannya. Proses ini untuk menguji kesetiaan seseorang

pegawai, agar jika kelak menjadi pimpinan supaya memiliki loyalitias yang tinggi

kepada pemerintah (Sudarmo, 2006: 4). Untuk menjadi pegawai seperti tersebut

diatas adalah sangat sulit, karena ada syarat-syarat berat dapat dilalui. Syarat-

syarat itu antara lain adalah keturunan bangsawan atau aristokrat, pejabat atau

kepala pribumi (inlands hoofden), kaya, loyal, berpendidikan. Syarat yang disebut

terakhir ini yang umumnya harus dilalui dan dijalani oleh calon pegawai yang

berasal dari pegawai rendahan, misalnya seorang (mantri) guru. Magang adalah

suatu pekerjaan yang harus dijalani dalam waktu yang tak terbatas bagi seseorang

(penduduk pribumi) sebelum dipercaya menduduki jabatan-jabatan tinggi di

lingkungan kerja Pangreh Praja (Inlandsche bestuur). Magang dapat dilakukan

pada pejabat dari orang Pribumi maupun Belanda (Sudarmo, 2006: 6-7).

Pemagang tidak hanya diberi pekerjaan administratif di kantor sebagai

jurutulis (pegawai rendahan) namun juga pekerjaan di luar kedinasan, misalnya

sebagai pembantu di rumah yang diikuti magang. Ini dengan maksud agar

pemagang itu mengetahui sopan-santun, etika, dan perilaku seorang pejabat, di

samping mengetahui urusan-urusan administratif. Walaupun sudah bertahun-tahun

ikut magang tetapi tidak memiliki prestasi kerja yang menonjol, disiplin, dan

tekun, pemagang itu belum akan dinyatakan lulus, maka selamanya akan hanya

menjadi sorang pemagang atau jurutulis saja. Kerja magang ini ada yang digaji

Page 9: Kerja Magang Di Pangreh Praja

9

ada yang tidak diberi gaji. Yang disebut terakhir ini biasanya adalah kerja magang

yang dilakukan oleh priyayi di rumah keluarga pejabat tinggi (orang Pribumi atau

Belanda) (Sudarmo, 2006: 6-7).

Sistem magang ini telah menjadi satu sistem yang secara turun temurun.

Salah seorang pejabat di Solo pada masa kolonial di penghujung abad XIX pernah

menulis bahwa barang siapa ingin mencapai pangkat tinggi, mulailah dengan

mengabdi kepada seorang terkemuka, kalau dapat kepada seorang pangeran atau

seorang perdana menteri, sekurang-kurangnya seorang bupati, ia harus

beranggapan tidak ada kesulitan yang terlalu besar, atau pekerjaan yang terlalu

hina, untuk merebut perhatian tuannya, ia harus selalu memperhatikan perubahan

wajah tuannya dan menyusun jawaban atas pertanyaan sepatutnya, bertujuan

untuk senantiasa menyenangkan tuannya. Kemudian ia harus selalu ringan tangan

dan menyenangkan setiap orang yang dihubunginya. Dengan berlaku demikian,

lamat laun ia bukan saja akan memperoleh perhatian dari tuannya, melainkan juga

mendapat nama yang baik di antara priyayi lainnya. Apabila akhirnya ia berhasil

diterima ke dalam kalangan pejabat, ia harus mempertahankan kehormatan

pangkat yang diperolehnya, dan melalui perbuatannya membuktikan bahwa

dirinya pantas bagi kedudukan tersebut. Dengan cara demikian, dalam jangka

panjang ia akan naik ke kedudukan yang pantas dan mencapai tingkat tertinggi

yang akan dicapai (Sutherland, 1983).

Berkaitan dengan sistem magang, Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, &

Suhardjo Hatmosuprobo (1993: 18) menjelaskan bahwa sejak usia dewasa, anak-

anak priyayi dimagangkan di ligkungan pangreh praja sebagai persiapan

menduduki jabatan-jabatan pemreintahan pribumi. Khusus bagi anak bupati,

magang dilakukan sebagai persiapan untuk menggantikan posisi ayahnya. Bagi

kelompok masyarakat luas, saluran langsung untuk magang dapat dikatakan tidak

ada. Bagi masyarakat luas, ketika ingin magang menjadi priyayi sebelumnya sejak

usia muda mengabdikan diri pada seorang priyayi. Proses ini disebut dengan

ngenger agar di kemudian hari dapat magang menjadi priyayi dengan perantaraan

priyayi yang diabdinya itu. Kesempatan magang diberikan jika selama mengabdi

menunjukkan kelakuan yang baik, rajin, cakap, dan sebagainya.

Page 10: Kerja Magang Di Pangreh Praja

10

H. Sutherland (1983) menjelaskan bahwa dengan cara magang yang

demikian, seorang magang akan terserap dalam kehidupan sehari-hari priyayi

yang dilayaninya. Dengan demikian, ia menjadi mengerti tugas-tugas seorang

priyayi, tentang ikatan-ikatan pribadi, etika dan keagamaan priyayi dengan

pejabat-pejabat lain dan rakyat. Dengan magang, seseorang tidak hanya

menguasai keterampilan-keterampilan dasar perkantoran, tetapi juga hal yang

lebih penting, yakni tujuan dan arti dirinya dalam masyarakat.

Di dalam magang tidak ada batasan jumlah untuk seseorang yang

mengabdikan diri kepada seorang pejabat atau priyayi. Bahkan ada anggapan

bahwa semaki banyak magang yang dibimbing oleh seorang priyayi, maka

semakin tinggi prestise yang dimilikinya. Hal ini karena banyaknya magang

menunjukkan kemampuan keuangan dan tingkat kedudukan seseorang

(Sutherland, 1983).

Proses dan lamanya magang berbeda-beda. Raden Tumenggung

Sastrodiningrat, satu-satunya bukan-keluarga raja yang dikuburkan di Imogiri,

makam keluarga raja. Sebagai seorang priyayi sejati, ia memulai kariernya

sebagai magang di keraton menjadi punakawan (abdi dalem kawan),

sedangkan jabatan resminya diperoleh tahun 1881. Setelah mengabdi selama

dua puluh tahun, ia jadi kepala sekretariat yang mengetuai semua abdi dalem

carik (juru tulis). Ia menjadi tokoh populer di kota, dan berakhir sebagai Ketua

Boedi Oetomo Cabang Solo (Kuntowijoyo, 2003: 204).

Pada tahun 1915, Sewaka, seorang asisten wedana telah magang selama 12

tahun sebelum ia dapat dinaikkan ke dalam kdudukan wedana. Tirtokoesoemo

adalah seorang anak dari Wedana Madiun yang sederhana, dengan bekal ijazah

sekolah rendah dari Lagere Inlandsche School (Sekolah Rendah Pribumi) dan

menguasai pengetahuan membaca, menulis (bahasa Jawa dan Melayu) dan

berhitung, harus melewai masa magang sebelum mendapatkan pekerjaan

dilingkungan pemerintahan mulai dari sebagai mantri polisi, patih, sampai dengan

bupati. Pertama kali, ia bekerja magang di keluarga MR. Ph. (sic.) – sorang jaksa

(omgaand rechter) berkebangsaan Belanda. Tidak lama kemudian, sebelum

mendapatkan promosi sebagai pegawai kejaksaan, institusi omgaand rechter itu

dihapus. Karena pengalaman magangnya itu ia diperkenankan menjadi siswa

Page 11: Kerja Magang Di Pangreh Praja

11

Sekolah Perkebunan (Landbouwschool) di Bogor pada tahun 1884. Oleh karena

kecakapannya ia dapat berbahasa bahasa Belanda dengan baik, sehingga diangkat

Direktur sekolah Perkebunan itu yaitu Prof. DR. M. Treub sebagai asisten guru

(assistant-leeraar) pada tahun 1887. Tidak lama kemudian ia dapat bekerja di

lingkungan kerja Inlandsche Bestuur (Pangreh Praja) sebagai Mantri Polisi di

Temanggung, Karesidenan Kedu. Tirtokoesoemo, semenjak itu, kariernya mulai

menajak, sehingga pada tahun 1900 diangkat menjadi Patih (Wakil Bupati di

Magelang, kemudian tahun 1993 diankat menjadi Bupati di Kabupaten

Karanganyar (Sudarmo, 2006: 7).

Proses kegiatan kerja magang ini tampaknya merupakan kebijakan

pemerintah kolonial untuk mencetak kepala-kepala daerah yang memiliki tingkat

loyalitas yang tinggi untuk mempertahankan bentuk adminitasi pemerintahannya

yang bercorak beamstenstaat (negara pegawai) di lingkungan lembaga

Kepangrehprajaan (Sutherland, 1983).

PENUTUP

Sistem birokrasi yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang

bersifat dualistik mengakibatkan terjadinya paradoks. Di satu sisi terdapat sistem

birokrasi yang disaring berdasarkan kriteria modern, di satu sisi masih tetap

dipertahankannya system tradisional melalui magang. Magang merupakan salah

satu upaya yang diakukan untuk rekruitmen korps pangreh praja. Melalui magang

yang masih bersifat feodalistik diharapkan akan muncul para pejabat yang

memiliki loyalitas tinggi terhadap atasan. Hal ini boleh jadi merupakan suatu

strategi yang sengaja untuk tetap diselenggarakan pada masa colonial untuk

mendukung terwujudnya uatu beamtenstaat, yakni sebuah negara apolitis di mana

politik adalah pertama-tama sebagai sebuah alat untuk benar-benar mewujudkan

suatu pemerintahan yang kokoh, bukannya alat untuk mewujudkan tuntutan-

tututan sosial yang bersaingan.

Page 12: Kerja Magang Di Pangreh Praja

12

DAFTAR PUSTAKA

Kuntowijoyo. 2003. “Lari dari Kenyataan: Raja, Priyayi, dan Wong Cilik Biasa di

Kasunanan Surakarta 1900-1915”. Dalam Humaniora Volume XV, No. 2/2003. Hlm. 200-211.

Ong Hok Ham. 1984. “Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan

Pengaruhnya terhadap Penguasaan Tanah”. Dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Peny.). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakata: Yayasan Obor Indonesia dan Penerbit PT Gramedia. Hlm. 3-27.

Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, & Suhardjo Hatmosuprobo. 1993.

Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soegijanto Padmo. 2007. Desentralisasi Pemerintahan Daerah di Indonesia.

Dalam http://sejarah.fib.ugm.ac.id/artdetail.php?id=11. Diunduh pada 27 Oktober 2009.

Sudarno. 2006. “Kerja Magang: Dari Juru Tulis sampai Bupati di Hindia Belanda

Menjelang Abad XX”. Makalah. Disampaikan dalam Konferensi Nasional Sejarah VIII di Jakarta pada 13-16 November 2006.

Sutherlan, Heather. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Terjemahan.

Jakarta: Grafiti Wasino. 2005. Tanah, Desa, dan Penguasa: Sejarah Pemilikan dan Penguasaan

Tanah di Pedesaan Jawa. Semarang: Unnes Press