kertas dari bagasse
DESCRIPTION
buat kertasTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pulp merupakan bahan baku utama dalam pembuatan kertas. Oleh sebab itu
perkembangan kertas dan perkembangan pulp tidak dapat dipisahkan. Dan kebutuhan akan kertas
pada suatu negara dapat digunakan sebagai indeks kemajuannya. Mengingat kertas merupakan
salah satu alat yang sangat penting dalam proses perkembangan pendidikan. Semakin tinggi
angka kebutuhan kertas suatu negara maka semakin tinggi tingkat pendidikan negara tersebut
yang kemudian mengarah pada kualitas sumber daya manusianya yang pada akhirnya mengarah
pada indikasi kemajuan suatu negara.
Di Indonesia produksi kertas mangalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke
tahun. Peningkatan kebutuhan kertas akan menyebabkan peningkatan kebutuhan pulp. Indonesia
sendiri masih harus mengimport pulp untuk memenuhi kebutuhannya (Data Import Badan Pusat
Statistik Indonesia, 2006-2010). Oleh karena itu perlu didirikan industri pulp yang dapat
mensuplai kebutuhan pulp di Indonesia.
Kebijakan soft landing Departemen Kehutanan di antaranya adalah mengurangi peranan
hutan alam produksi sebagai pemasok kayu bahan baku serpih (BBS) untuk pulp dan kertas, dan
secara berangsur-angsur diganti oleh hutan tanaman industri (HTI) kayu pulp. Pada tahun 2005,
kemampuan pasokan kayu untuk BBS dalam negeri dari hutan alam dan HTI mencapai berturut-
turut 10,1-11,3 juta m3/tahun dan 8,3-8,7 juta m3/tahun, sedangkan keseluruhan kebutuhan kayu
untuk BBS adalah 23-25 juta m3/tahun sehingga terjadi kekurangan bahan baku BBS untuk
industri pengolahan pulp/kertas sebesar 4,6-5,0 juta m3/tahun (BPS 2005) Di lain pihak,
kebutuhan bahan baku BBS akan cenderung semakin meningkat di masa mendatang (BPS,
2009). Untuk HTI pulp, Departemen Kehutanan mentargetkan penanamannya sampai tahun 2009
mencapai 3,9 juta ha, di mana realisasinya hingga 2004 baru mencapai 1,65 juta ha (BPS, 2005).
Selanjutnya dengan memperhatikan luas hutan alam produksi yang rusak di mana dewasa ini
kerusakan tersebut mencapai 44 juta ha, dengan demikian HTI menjadi harapan diunggulkan
menggantikan hutan alam produksi guna mencukupi kebutuhan kayu BBS sebagai bahan baku
industri pulp/kertas saat ini dan di masa mendatang.
Keuntungan HTI antara lain kayu/pohon yang ditanam memiliki daur tebang lebih
pendek (sekitar 7–8 tahun) sehingga cepat dipanen; jenis yang ditanam disesuaikan dengan
karakteristik pulp/kertas; dan penanganan bahan baku lebih mudah karena jenisnya monokultur
sehingga biaya produksi kayu pulp yang lebih murah. Jenis HTI yang telah ditanam untuk
produksi pulp/kertas antara lain Acacia mangium, Eucalyptus grandis, E. urrophylla, E. saligna,
E. urrophylla, E. pellita, Gmelina arborea, meranti, dan sungkai (BPS, 2005). Walaupun
beberapa jenis kayu HTI telah dimanfaatkan untuk pulp/kertas, pertanyaan yang timbul apakah
daur teknis yang diterapkan untuk memanen jenis HTI tersebut sudah optimal atau belum.
Daur teknis optimal berguna untuk memberikan informasi pada umur berapa pohon bisa
menghasilkan volume kayu secara maksimal dan secara bersamaan menghasilkan pulp/kertas
bermutu tinggi. Umur dapat mempengaruhi kecepatan pembentukan sel-sel baru, penebalan
dinding sel (termasuk serat), sifat pertumbuhan seperti tinggi dan diameter pohon, dan sekaligus
akhirnya volume kayu dan tiap pertumbuhan (Gintings, 1990; dan Sinnott dan Wilson, 1955).
Daur teknis jenis pohon tertentu, bila dikaitkan dengan pengolahan kayunya untuk pulp/ kertas,
adalah masa tebang di mana kayunya bila diolah menjadi pulp/kertas diharapkan memberikan
sifat pengolahan dan mutu produk terbaik pula. Sifat dasar kayu umumnya spesifik. Pada jenis
pohon sama tetapi pada lokasi tempat tumbuh yang berbeda dan pada umur pohon berbeda bisa
juga mengakibatkan perbedaan sifat dasar kayu (Haygreen dan Bowyer, 1989; Hoadley, 1990).
Secara ideal yang dikehendaki adalah diperoleh daur teknis optimal sama dengan daur
fisik. Kenyataannya, hal tersebut jarang terjadi secara bersamaan. Oleh sebab itu dalam
penentuan daur teknis optimal jenis pohon tertentu (termasuk jenis HTI pulp), perlu
memperhitungkan daur fisik. Di samping daur fisik, faktor eksploitasi juga harus dilibatkan.
Faktor ekploitasi berguna untuk menentukan target produksi pemanenan hutan. Faktor tersebut
merupakan nilai perbandingan antara volume kayu aktual yang bisa dimanfaatkan dengan
potensi volume kayu yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Dengan demikian faktor ekploitasi
memegang peranan penting dalam pengelolaan hutan tanaman karena faktor tersebut digunakan
sebagai dasar untuk menentukan target produksi kayu,termasuk BBS. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kegiatan pemanenan hutan dan sekaligus mempengaruhi nilai faktor eksploitasi
antara lain lokasi geografis, iklim, kondisi medan, keadaan tegakan, dan industri yang dimiliki.
Sampai saat ini publikasi besarnya nilai faktor eksploitasi hutan tanaman masih sangat terbatas
bahkan dapat dikatakan belum ada. Terkait dengan segala uraian tersebut, telah dilakukan kajian
kegiatan “Penentuan Daur Teknis Optimal dan Faktor Ekspolitasi Kayu HTI jenis Eucalyptus
hybrid untuk Bahan Baku Pulp Ditinjau dari Sifat Dasar Kayu, Sifat Pengolahan Pulp, dan Sifat
Produk Pulp/Kertas”, dan rincian hasilnya disajikan dalam tulisan ini. Itulah sebabnya, produksi
pulp yang berbahan baku non-kayu mulai digalakkan.
Alasan pemilihan bagasse sebagai bahan baku karena bagasse mengandung serat
selulosa yang dapat dibuat pulp dan dapat di panen secara periodik setiap tahun . Potensi bagase
di Indonesia cukup besar. Menurut data statistik Indonesia tahun 2002, luas tanaman tebu di
Inonesia sebesar 395.399,44 ha, yang tersebar di Pulau Sumatera seluas 99.383,8 ha, Pulai Jawa
seluas 265.671,82 ha, Pulau Kalimantan seluas 13.970,42 ha, dan Pulau Sulawesi seluas 16.373,4
ha. Diperkirakan setiap ha tanaman tebu mampu menghasilkan100 ton bagasse. Maka potensi
bagasse nasional yang dapat tersedia dari total luas tanaman tebu mencapai 39.539.944 ton per
tahun.
Proses pembuatan pulp menurut bahan kimia yang digunakan dalam proses
pemasakannya ada 4 macam. Yaitu : proses sulfit, proses sulfat, proses soda dan proses soda
antrakinon. Dipilih proses sulfat karena waktu pemasakannya lebih singkat, kualitas fiber
terutama kekuatannya paling unggul sehingga lebih banyak digunakan. Limbahnya dapat
ditangani karena bahan kimianya dapat direcycle dan diregenerasi. Yieldnya lebih tinggi. Bahan
bakunya paling mudah dipenuhi.
I.2 Sejarah Perkembangan Industri Pulp dan Kertas
Pada mulanya manusia membuat catatan dengan mengukir di atas batu, kemudian kulit
kayu, gading, tulang, lilin, dan tanah liat. Antara 2500-2000 SM, di Mesir orang mulai menulis
di atas daun Papyrus.
Pembuatan kertas secara nyata ditemukan di China tahun 150 M. Pada tahun 1799 M
orang Prancis bernama Louis Robert menemukan cara pembuatan kertas dengan ban berjalan.
Orang prancis ini menjual penemuannya pada M. Didot dan John Gamble, yang
menyempurnakan penemuannya tersebut dan kemudian menjualnya pada Fourdrinier bersaudara
pada 1804. Mesin ini sekarang dikenal dengan mesin Fourdrinier.
Pada tahun 1841 kellel dan Saxony, menemukan proses mekanik pembuatan pulp dari
kayu. Pada 1853-1854 proses soda ditemukan oleh Watt dan Burgess. Pada 1866-1867 kimiawan
Amerika, Tilghman mematenkan proses sulfit. Walaupun komersialisasi proses sulfit dilakukan
oleh Tilghman tapi pembuatannya dilakukan oleh C.D. Ekman di Swedia pada tahun 1874.
Proses sulfat atau proses Kraft dikembangkan oleh C.F. Dahl pada 1879 di Danzig. Pada 1908
proses sulfat dikenalkan di Amerika. Saat ini produksi pulp dibagi menjadi : 48% proses
mekanik, 40% proses sulfit dan 12% proses soda.
Pulp merupakan bahan baku untuk produksi kertas, karton dan produk – produk lain yang
sejenis. Dalam bentuk murni, pulp merupakan sumber selulosa bagi industri rayon, selulosa ester
dan produk turunan selulosa lain.
Pulp dalam industri kertas dapat digunakan sebagai bahan baku kertas cetak, kertas koran, kertas
tisu dan kertas bungkus.
I.3 Bahan Baku
I.3.1. Bagasse
Bagase adalah hasil samping industri gula yang merupakan residu berserat dari tanaman
tebu (Saccharum officinarum) setalah dilakukan ekstraksi dan pengempaan (Casey, 1960).
Menurut Baskoro (1986) bagase mempunyai komposisi yang hampir sama dengan komposisi
kimia kayu daun lebar, kecuali kadar airnya. Misra (1980 dalam Baskoro, 1986) menyebutkan
bahwa bagase terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) kulit (rind) yang meliputi epidermis, kortek,
dan perisikel, (2) ikatan serat pembuluh, (3) jaringan dasar (parenkim) atau pith dengan ikatan
yang tersebar tidak teratur. Ampas tebu merupakan limbah lignoselulosa yang dihasilkan oleh
pabrik gula setelah tebu diambil niranya.
Komponen utama ampas tebu antara lain fiber (serat) sekitar 43 – 52 %, air 46 – 52 %,
dan padatan terlarut 2 – 3 %. Syarat bahan baku yang dapat dijadikan pulp dan kertas adalah
bahan baku yang mempunyai serat yang panjang, luas dengan kadar hemiselulosa tinggi dan
ampas tebu memiliki syarat tersebut
Berdasarkan penelitian tentang dimensi serat, bagase yang dipakai untuk bahan baku pulp
dan kertas oleh PT Kertas Leces, Probolinggo, rata-rata memiliki panjang serat 1,43 mm,
diameter 10,33 nm, tebal dinding serat 0,68 nm, diameter lumen 8,51 nm, dan nisbah serat
dengan diameter serat 138,43 (Baskoro,1986).
Batang tebu tersusun atas 2 sel utama yaitu :
1. Bagian berserat, tersusun dari kulit berserabut panjang & berdinding tebal serta
fibrovascular. Bagian ini menyebabkan suatu batang tebu tampak utuh dan padat,
terletak di bagian kulit batang.
2. Bagian yang tak berserat/pith, berasal dari dinding sel tipis yang merupakan dasar
dari anyaman – anyaman / parenchym tangkai. Bagian ini menyimpan juice dalam
tebu.
Kedua bagian ini saling terikat erat, tidak dapat dipisahkan secara sempurna. Kandungan
pith (Cane Sugar Handbook 12th ed) adalah 20% berat dari bagasse yang terdiri dari sel-sel
perenkim, jika tidak dihiangkan maka kan menyerap larutan pemasak kimia dan tidak diharapkan
untuk kertas.
Perbedaan dari kedua fraksi tersebut yaitu kulit yang bersert dan fibrovascular dengan
pith adalah pada sifat fisiknya dan pada keadaan waktu mengalami proses pulping. Berdasarkan
sifatnya, pith sukar untuk dibuat kertas, maka jika pith sampai terdapat dalam pulp akan
menurunkan rate pengaliran dan kekuatan kertas yang dihasilkan, bahkan lebih dari itu pith akan
menyebabkan luas permukaan menjadi lebih besar sehingga bahan kimia yang dibutuhkan pada
proses pulping bertambah. Dengan alasan ini maka kandungan pith diusahakan hilang sebelum
proses pulping. Selain itu pith mengandung abu lebih banyak dan lebih sedikit α-selulosa –
fibernya, efeknya dalam sugar mill dan saat disimpan sampai ke pulp mill adalah :
1. Efek penghancuran (crushing) dalam sugar mill :
Dalam sel-sel pith terdapat juice, maka ketika di crusher sel tersebut akan rusak,
maka di dalam batang tebu yang tidak mengandung juice tidak akan mengalami
kerusakan seberat pada pith.
2. Efek pada proses penyimpanan
Setelah keluar dari pabrik gula biasanya ampas tebu mengandung juice antara 3-5%
dan kandungan moisture 49% (Cane Sugar Handbook 12th ed). Proses yang biasa
terjadi pada bagasse selama penyimpanan adalah :
a. Perubahan kimiawi disebabkan oleh serangan bakteri atau fungi
b. Proses Bio-chemical karena sistem gula yang ada dalam batang tersebut
mengalami proses fermentasi alkohol dan kemudian dioksidasi menjadi asam
organik.
Kedua hal di atas menyebabkan serat rusak. Reaksi berjalan sampai kandungan moisture bagasse
berkurang sampai pada suatu level dimana reaksi dapat berhenti.
Morfologi atau sifat fisik bagasse ditabelkan sebagai berikut :
Tabel I.3.1. Morfologi Serat Bagasse
content % by weight % cell type distribution
True Fibers 55 35
Vessel Segments 20 17
Pith 50 35
Other Nonfibrous, etc 5 13
TOTAL 100 100
(Cane Sugar Handbook 12th ed)
Tabel I.3.2. Analysis Bagasse
Proximate Analysis Ultimate Analysis
Fixed Carbon 7,0 % by weight Carbon 23,7 % by weight
Volatile 42,5 Hydrogen 3,0
Moisture 49 Oxygen 22,8
Ash 1,5 Moisture 49,0
Ash 1,5
(Cane Sugar Handbook 12th ed)
I.3.2. NaOH
Adapun beberapa sifat dari Natrium Hidroksida (Perry & Green, 1999) yaitu :
Berat Molekul : 40 gr/mol
Densitas : 1040 kg/m3
Titik lebur : 318,4C
Titik Didih : 1390C
Kelarutan dalam air : 111 g/100 ml (20C)
Berupa Kristal putih
Berbau
Tidak larut dalam air
Dalam larutan bersifat Alkali
I.3.3. Na2S
Adapun beberapa sifat dari Natrium Sulfida (Perry & Green, 1999) yaitu :
Berat Molekul : 78,04 gr/mol
Warna : Pink
Spesifik Grafity : 1,856
Kelarutan dalam air : - Air dingin (10C) : 15,4
- Air panas (90C) : 57,3 Padatan kuning merah
Bersifat korosif
Tidak berbau
Titik didih : 216 oF
Titik leleh : 25 oF
PH : 14
I.4 Produk
Pulp merupakan serat – serat yang dapat dibuat dari kayu atau material lignoselulosa
lain yang telah diolah secara fisik dan atau kimiawi dan dpat didispersikan ke dalam air dan
dapat dibentuk menjadi suatu jaringan. (Biermann J. Christopher, 1996)
Komponen penyusun utama dari pulp adalah selulosa. Komponen penyusun lainnya
adalah hemiselulosa dan lignin.
Rumus molekul selulosa adalah (C6H10O5)n. Selulosa mempunyai berat molekul yang
tinggi dan disusun oleh rantai kimia panjang. Hidrolisa, oksidasi dan perusakan oleh fotokimia
atau oleh setiap gaya mekanik dapat memutuskan ikatan rantai dan mengurangi berat molekul.
Selulosa menurut jenisnya dapat dibagi menjadi :
α-selulosa, yaitu selulosa yang tidak larut dalam larutan 17,5% NaOH pada suhu 200C.
β-selulosa, yaitu selulosa yang larut dalam 17,5% NaOH dan dapat diendapkan setelah
larutannya dinetralkan pada suhu 15 – 35 0C.
γ-selulosa, yaitu selulosa yang larut dalam larutan 17,5% NaOH tapi tidak dapat
diendapkan pada suhu 15 – 30 0C.
α-selulosa sangat menentukan sifat tahan lamanya kertas. Semakin banyak α-selulosa
maka semakin tahan lama kertas tersebut.
I.5 Perkiraan Kebutuhan Pulp dan Penentuan Kapasitas Pabrik
Dalam pendirian suatu pabrik, analisa pasar untuk penentuan kapasitas pabrik adalah
penting. Dengan kapasitas yang ada maka dapat ditentukan perhitungan neraca massa, neraca
panas, spesifikasi alat dan analisa ekonomi. Bahan baku yang digunakan oleh pabrik pulp ini
adalah bagasse atau ampas tebu yang merupakan limbah dari pabrik gula.
Berikut adalah beberapa faktor penting dalam perhitungan kapasitas pabrik yaitu :
Ketersediaan bahan baku
Potensi bagasse di Indonesia cukup besar, menurut data statistik Indonesia tahun
2002, luas tanaman tebu di Indonesia 395.399,44 ha, yang tersebar di Pulau
Sumatera seluas 99.383,8 ha, Pulau Jawa seluas 265.671,82 ha, Pulau Kalimantan
seluas 13.970,42 ha, dan Pulau Sulawesi seluas 16.373,4 ha. Diperkirakan setiap ha
terdapat 312,5 ton tanaman tebu yang mampu menghasilkan 100 ton bagasse. Maka
potensi bagasse nasional yang dapat tersedia dari total luas tanaman tebu mencapai
39.539.944 ton per tahun.
Jumlah Ekspor Pulp di Indonesia
Jumlah Import Pulp di Indonesia
Jumlah kebutuhan / konsumsi Pulp di Indonesia
Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pendirian pabrik pulp dari bagasse
adalah kapasitas pabrik. Pabrik pulp dengan bahan baku bagasse ini direncanakan akan mulai
beroperasi pada tahun 2013, dengan mengacu pada pemenuhan kebutuhan impor.
Dengan analogi dari persamaan untuk menghitung bunga, maka perkiraan volume
kebutuhan impor pulp (dalam ton) pada tahun 2013 dapat dihitung. Berikut persamaan yang
digunakan :
F = Fo (1 + i)n (Peter & Timmerhaus, 2003)
Dimana :
F = Perkiraan kebutuhan pulp pada tahun 2013
Fo = Kebutuhan pulp pada tahun 2010
i = Perkembangan rata-rata
n = Selisih waktu
Berikut ini adalah data impor, ekspor dan produksi pulp untuk tahun 2006-2010 :
Tabel 1.1 Impor Pulp di Indonesia Tahun 2013
Tahun Berat Bersih (ton)/tahun perkembangan
2006 3.488.558,9 0
2007 3.584.375,6 0,0274
2008 4.078.868,8 0,1379
2009 3.964.315,1 0,0280
2010 4.214.144,2 0,0630
Perkembangan rata-rata (i) 0,0500
(sumber : Badan Pusat Statistik nasional Indonesia, 2010)
Perhitungan dengan menggunakan persamaan F = Fo (1 + i)n
Maka perkiraan impor pada tahun 2013 adalah :
F = Fo (1 + i)n
F = 4.214.144,2 * (1+ 0,0500)(2013-2010)
F = 4.214.144,2 * (1,0500)3
F = 4.879.649,01 ton /tahun
F = 14.786,81 ton/hari
Tabel 1.2 Ekspor Pulp di Indonesia
Tahun Berat Bersih (ton)/tahun perkembangan
2006 2.251 0
2007 2.324 0,03239
2008 2.691 0,158105
2009 2.180 0,19006
2010 2.387 0,094918
Perkembangan rata-rata (i) 0,023839
(sumber : Badan Pusat Statistik nasional Indonesia, 2010)
Maka perkiraan ekspor pada tahun 2013 adalah :
F = Fo (1 + i)n
F = 2.387 * (1+ 0,023839)(2013-2010)
F = 2.387 * (1,023839)3
F = 2561,655 ton /tahun
F = 7,762 ton/hari
Tabel 1.3 Perkembangan Produksi Pulp di Indonesia Tahun 2013
Tahun Berat Bersih (ton)/tahun perkembangan
2006 280.872 0
2007 2.093.992 6,455
2008 2.114.658 0,009
2009 1.055.089 -0,501
2010 1.076.276 0,021
Perkembangan rata-rata (i) 1,4961
(sumber : Badan Pusat Statistik nasional Indonesia, 2010)
F = Fo (1 + i)n
F = 1.076.276 * (1+ 1,4961)(2013-2010)
F = 1.076.276 * (2, 4961)3
F = 16.737.371 ton /tahun
F = 50.719 ton/hari
Maka Perkiraan kebutuhan pulp pada tahun 2013 = [Import + Produksi - Ekspor] 2013
= 14.786,81 + 50.719 - 7,762
= 65.498,048 ton/hari
Kapasitas pabrik = [ Kebutuhan Pulp Indonesia]2013 – [Produksi Pulp Indonesia]2013
= 65.498,048 – 50.719
= 14.779,048 ton/hari ( 22,5% dari kebutuhan pulp di Indonesia tahun 2013)
Karena direncanakan pabrik yang dibangun dapat mengambil peluang pasar sebesar 0,15% dari
total kebutuhan pulp Indonesia pada tahun 2013, maka kapasitas pabrik yang akan di bangun
adalah :
Kapasitas pabrik = (0,15% / 22,5%) * 14.779,048 ton/ hari
= 100,762 ton/hari
= 100 ton/hari
= 33.000.000 kg/tahun
I.6 Penentuan Lokasi Pabrik
Lokasi suatu pabrik dapat mempengaruhi kedudukan pabrik dalam persaingan maupun
penentuan kelancaran produksinya. Pemilihan lokasi pabrik yang tepat, ekonomis dan
menguntungkan dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Idealnya lokasi pabrik ini dapat memberikan kemungkinan-kemungkinan perluasan
pabrik dan memberikan keuntungan untuk jangka panjang. Adapun faktor-faktor yang mendasari
dalam pemilihan pabrik meliputi :
Faktor Primer
Faktor Sekunder
1. Faktor Primer
Faktor primer secara tidak langsung mempengaruhi tujuan utama dari pendirian suatu
pabrik. Tinjauan ini meliputi kelancaran proses produksi dan distribusi produk yang
dibutuhkan konsumen pada tingkat harga yang terjangkau dan masih dapat memperoleh
keuntungan. Yang termasuk faktor-faktor primer tersebut antara lain :
Letak pabrik terhadap pasar
Letak pabrik terhadap bahan baku
Tersedianya sarana dan prasarana yang meliputi : listrik, air dan jalan raya
(transportasi)
Tersedianya tenaga kerja
2. Faktor Sekunder
Disamping faktor primer, penempatan lokasi pabrik harus juga memperhatikan aspek-
aspek sekunder. Adapun faktor sekunder yang perlu diperhatikan adalah :
Harga tanah dikaitkan dengan rencana d imasa yang akan datang
Kemungkinan perluasan pabrik
Peraturan daerah setempat
Keadaan masyarakat daerah
Iklim
Keadaan tanah untuk rencana pondasi bangunan
Adanya perumahan penduduk
Dengan pertimbangan faktor-faktor diatas, maka lokasi pabrik didaerah Malang- Jawa
Timur, dengan pertimbangan dan alasan sebagai berikut :
1) Penyediaan Bahan Baku
Pertimbangannya adalah karena lokasi pabrik dekat dengan daerah budidaya
tanaman tebu dan dekat dengan lokasi pabrik gula, sehingga memudahkan
tersedianya bahan baku.
2) Pemasaran Produk
Didaerah Malang, Jawa Timur merupakan daerah yang letaknya cukup strategis
karena merupakan kawasan yang mudah dijangkau Industri Indonesia, diharapkan
akan memudahkan pemasaran, terutama untuk orientasi dalam negeri.
3) Sarana Transportasi
Sarana transportasi baik seperti jalan raya dan bandara udara.
4) Tenaga kerja
Ketersediaan tenaga kerja yang terampil harus diperlukan untuk mengoperasikan
peralatan pabrik. Daerah Jawa Timur terdapat banyak tenaga yang potensial dan
ahli dalam industri. Selain itu juga mengurangi tingkat pengangguran daerah Jawa
Timur. Diharapkan dengan berdirinya pabrik Pulp di daerah tersebut akan
mengurangi jumlah pengangguran yang ada.
5) Kebijakan Pemerintah
Untuk mengantisipasi pengembangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor
produksi kertas akan meningkatkan orientasi penggunaan bahan baku nonkayu,
yakni ampas tebu dari limbah pabrik gula. pemanfaatan ampas tebu telah mulai
dikembangkan pada BUMN produksi kertas di Pulau Jawa dan akan terus ditingkat
produksinya. orientasi pemanfaatan bahan baku ampas tebu seiring dengan
meningkatnya produksi tebu yang dipicu naiknya produksi gula nasional.