kesantunan bertutur mahasiswa dalam diskusi …digilib.unila.ac.id/55671/3/tesis tanpa bab...
TRANSCRIPT
KESANTUNAN BERTUTUR MAHASISWA DALAM DISKUSI
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DAN IMPLIKASI DALAM MATA KULIAH BERBICARA
TESIS
Oleh
HEPI ROSANTI
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
THE POLITENESS STRATEGIES IN A DISCUSSION BY UNIVERSITY
STUDENTS OF INDONESIAN LANGUAGE AND LITERATURE STUDY
PROGRAM AND ITS IMPLICATIONS IN SPEAKING SUBJECT
By
Hepi Rosanti
ABSTRACT
The problem in this study is the degree of politeness of students' speech in a
discussion and its implications in Speaking subject at the University. The purpose
of the study was to describe the politeness degree of students' speech in a
discussion and its implications in Speaking subject.
This study applied a qualitative description method. The data source was taken
from politeness utterances spoken by students of STKIP (College of Teachers
Training and Education). The research data were students' utterances containing
politeness. The data collection technique was carried out using note recording
technique (descriptive and reflective) and the analysis of continuity of speech was
done using heuristic analysis technique, while the analysis of politeness was done
based on Leech theory.
The results showed that students obeyed and violated the maxim of politeness
which included the maxim of wisdom, generosity, sympathy and agreement. The
compliance with politeness maxims made by STKIP students was the maxim of
sympathy and the violations of maxims made by students included the maxim of
wisdom, humility and sympathy. The speech politeness itself consisted of two
utterances: direct and indirect speech. The direct speech was marked by politeness
expressions, such as: would you mind, may I, please, yes please, let us, would you
try, would you kindly, and apologize, while the indirect speech was marked by
two forms of speech: declarative and introgative speech. This study on politeness
can be applied by lecturers as an additional learning material for speaking subject
at the University.
Keywords: speech of politeness, continuity of speech, maxim of politeness.
KESANTUNAN BERTUTUR MAHASISWA DALAM DISKUSI
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DAN IMPLIKASI DALAM MATA KULIAH BERBICARA
Oleh
Hepi Rosanti
ABSTRAK
Masalah dalam penelitian ini ialah kesantunan bertutur mahasiswa di Universitas
ketika berdiskusi dan implikasinya dalam pembelajaran mata kuliah berbicara di
Universitas. Tujuan penelitian ialah untuk mendeskripsikan kesantunan bertutur
mahasiswa dalam diskusi dan implikasinya dalam pembelajaran mata kuliah
berbicara.
Penelitian ini menggunakan metode deskripsi kualitatif. Sumber data berupa
tuturan kesantunan bertutur mahasiswa STKIP. Data penelitian ialah tuturan
mahasiswa yang mengandung kesantunan. Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik rekam catat (deskriptif dan reflektif) dan teknik analisis
kelangsungan tuturan menggunakan analisisi heuristik, sedangkan analisis
kesantunan menggunakan teori Leech.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat tuturan mahasiswa yang menaati dan
melanggar maksim kesantunan yang mencakup maksim kearifan, kedermawanan,
simpati, dan kesepakatan. Penaatan maksim kesantunan yang cenderung
dilakukan mahasiswa STKIP ialah maksim simpati dan pelanggaran maksim yang
dilakukan mahasiswa ialah maksim kearifan, kerendahan hati, dan simpati.
Kesantunan tuturan mahasiswa menggunakan dua tuturan, yaitu tindak tutur
langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung ditandai dengan
penanda kesantunan tolong, mohon, maaf, mari, silahkan, terima kasih, coba dan
Bapak/Ibu, sedangkan tindak tutur langsung ditandai dengan dua bentuk tuturan,
yaitu tuturan deklaratif dan introgatif.
Kata Kunci: kesantunan bertutur, kelangsungan tuturan, maksim kesantunan.
KESANTUNAN BERTUTUR MAHASISWA DALAM DISKUSI
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DAN IMPLIKASI DALAM MATA KULIAH BERBICARA
Oleh
HEPI ROSANTI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar
MAGISTER PENDIDIKAN
Pada
Program Pascasarjana Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Way Kanan, pada tanggal 23 November
1993, anak kedua dari empat bersaudara, pasangan
Bapak Panggih Wiono dengan Ibu Setri Asihono.
Penulis pertama kali menempuh pendidikan di Sekolah
Dasar (SD) Negeri Tanjung Bringin, Way Kanan, tamat
dan berijazah pada tahun 2005. Penulis menyelesaikan
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tri Sukses Natar Lampung Selatan, tamat dan
berijazah tahun 2008. Selanjutnya jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) Tri
Sukses Natar Lampung Selatan, tamat dan berijazah tahun 2011.
Pada tahun 2011 penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan di STKIP PGRI Bandar Lampung dan penulis lulus
pada tahun 2015. Pada tahun 2016 penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana pada
Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan
Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung.
MOTO
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya”
(AL-Baqarah: 286)
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang beriman”
(Al-Imron: 139)
PERSEMBAHAN
Alhamdullillahi Rabbil Alamin, Dengan menyebut nama Allah yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang
Dengan penuh rasa syukur dan bangga, kupersembahkan karya kecilku ini
sebagai bukti rasa cinta, sayang, dan hormatku kepada:
1. Ayahanda (Panggih Wiono) dan Ibunda (Setri Asihono) tersayang yang
selalu mendoakan tiada henti agar aku selalu diberikan kemudahan dan
kelancaran oleh Allah Subhanahu Wataala dalam belajar dan motivasi
terbesarku untuk meraih cita-cita.
2. Kakak dan Adik-adikku tercinta: (Hendri Wianingsih, S.Pd.), (Hesti
Wiranti), dan (Herma Handani) terima kasih untuk rindu, canda, dan
senyuman yang tak pernah habis.
3. Terima kasih kepada SMA Tri Sukses, SMK Global Surya, SMA Global
Surya, serta Kejora (Kelompok Jokam Raja Basa).
4. Keluarga besarku yang ikut serta memberikan doa dan dukungan terbaik.
5. Seluruh sahabatku yang telah memberikan doa dan dukungan.
6. Dosen-dosen tercinta yang telah bersedia memberikan ilmu pengetahuan
yang bermanfaat.
7. Allhamdullilahijazakaluhoiro untuk pendamping hidupku Mutofa Lutfi,
yang selalu memberi dukungan dan doanya.
8. Terima kasih untuk teman teman yang telah menghabiskan waktu dan
candamu bersama saya (Try Wahyuni, Husnul Hotima, Rima Gustiana,
Rifany Maulidia, Cahya Utami, Yuspa meza
9. Allhamdullilahijazakaluhoiro teman satu atap saya yaitu Nikken Fallupi
yang telah sabar dan setia memberikan dukungan kepada saya.
10. Allhamdullilahijazakaluhoiro terhadap kelompok Brang-Brang (Muchsi
Rahma, Sanusi Aji, Mustofa Lutfi, Nurudin, dan Umi mahtum)
11. Allhamdullilahijazakaluhoiro kepada tim editor (Om Gabril), dan
Allhamdullilahijazakaluhoiro juga kepada Aziz Masthuri yang membantu
dalam teks bimbingan.
12. Allhamdullilahijazakaluhoiro kepada seluruh dewan guru SMA Tri Sukses
dan para pengelola sekolah (Ahmad Muslih, Marta Heti Maryani, Nany
Widowati, Rika Putri Andini, Aziz Masthuri)
13. Terima kasih kepada seluruh dewan guru SMK dan SMA Global Surya
(Bunda lis, Bella, Eka, Putri, Kiki, Liza, Roza. Dll)
14. Terima kasih juga untuk kabupaten Way Kanan.
15. Almamater Universitas Lampung.
SANWACANA Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah, puji syukur penulis haturkankehadirat Allah Subhanahu Wataala . karena
atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat
dan salam kita haturkan kepada Nabi kita yaitu Muhammad Shalallahualaihi Wasallam.
Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan di
Universitas Lampung. Penulisan dalam tesis ini penulis banyak menerima bantuan,
bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan
terima kasih setulus-tulusnya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P. selaku Rektor Universitas Lampung;
2. Prof. Drs. Mustofa, MA., Ph.D. selaku Direktur Pascasarjana Universitas Lampung.
3. Prof. Dr. Patuan Raja, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lampung.
4. Dr. Mulyanto Widodo, M.Pd. selaku Pembimbing II sekaligus Ketua Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Lampung,yang telah memberikan dorongan, bimbingan, nasihat, dan kritik serta
dukungan dalam penyelesaian tesis ini;
5. Dr. Edy Suyanto, M.Pd. selaku Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia.
6. Dr. Sumarti, M.Hum selaku pembimbing I yang dengan begitu sabar telah
membimbing, membantu, dan mengarahkan penulis selama proses penyusunan tesis
ini.
7. Dr. Munaris., M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Lampung.
8. Dr. Nurlaksana Eko, M.Pd sebagai pembahas yang telah memberikan nasihat, arahan,
saran, kesabaran dan motivasi kepada penulis.
9. Dr. Siti Samhati, M.Pd. sebagai validator serta pembimbing akademik yang
senantiasa memberikan dukungan, memberikan pengarahan, nasihat dan saran-saran.
10. Dr. Riswandi, M.Pd. selaku validator untuk bahan ajar dari unsur media pembelajaran
yang telah membantu penulis selama penelitian.
11. Dr. Meilisa, M.Pd. selaku validator untuk bahan ajar dari unsur praktisi
pembelajaran yang telah membantu penulis selama penelitian
12. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat.
13. Dr. Rifnida, M.Pd sebagai dosen Bahasa Indonesia di STKIP PGRI Bandar Lampung,
dan Dwi Rohmanto,M.Pd dosen Bahasa Indonesia di STKIP PGRI Bandar Lampung
yang telah banyak membantu penulis selama proses penelitian.
14. Keluarga besarku yang senantiasa memberikan kasih sayang, dorongan, semangat,
motivasi dan doa.
15. Teman-teman Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2016
terima kasih atas persahabatan, doa serta kebersamaan yang telah teman-teman
berikan.
16. Semua Pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu
penulis menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah swt. selalu memberikan balasan yang lebih besar untuk Bapak, Ibu dan
teman-teman semua. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk kemajuan pendidikan,
khususnya Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, amin. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bandar Lampung, Desemberr 2018
Penulis,
Hepi Rosanti
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................iii
PERSEMBAHAN .......................................................................................... iv
MOTO ............................................................................................................ v
SANWACANA .............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
1.3 Tujuan Masalah ........................................................................................ 4
1.4 Ruang Lingkup .......................................................................................... 5
1.5 Manfaat penelitian .................................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pragmatik ................................................................................................ 7
2.2 Tindak Tutur ........................................................................................... 8
2.3 Unsur Suprasegmental ........................................................................... 11
2.4 Konteks ................................................................................................... 13
2.5 Kesantunan ............................................................................................. 16
2.5.1 Teori Rahardi............................................................................... 17
2.5.2 Teori Leech ................................................................................ 18
2.5.1.1 Maksim Kearifan (tact Maxim) ...................................... 18
2.5.1.2 Maksim Kedermawanaan (generosity maxsim) .............. 19
2.5.1.3 Maksim Pujian ( approbation maxim) ............................ 20
2.5.1.4 Maksim Kerendahan Hati ( modesty maxsim) ................ 20
2.5.1.5 Maksim Kesepakatan (agreement maxim) ...................... 21
2.5.1.6 Maksim Simpati (sympathy maxsim) .............................. 22
2.6 Skala Kesantunan .................................................................................... 23
2.7 Kesantunan Linguistik dan Pragmatik ................................................... 25
2.7.1 Kesantunan Linguistik .................................................................. 26
2.7.2 Kesantunan pragmatik tuturan imperatif dalam Bahasa
Indonesia ........................................................................................ 34
2.8 Kategori Fatis ........................................................................................... 41
2.9 Pembelajaran Keterampilan Berbicara di Perguruan Tinggi
(Universitas Lampung) ........................................................................... 45
2.10 Rencana Pembelajaran Semester (RPS) Berbicara ............................... 47
2.11 Kontrak Pembelajaran Berbicara ........................................................... 57
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian .................................................................................... 65
3.2 Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 65
3.3 Teknik Analisis Data .............................................................................. 66
3.4 Pedoman analisis Data Penelitian ........................................................... 69
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil ........................................................................................................ 77
4.2 Pembahasan ............................................................................................. 78
4.2.1 Penaatan Maksim-Maksim Kesantunan .............................................. 78
4.2.1.1 Maksim Kearifan ........................................................................ 79
4.2.1.2 Maksim Kedermawanaan ........................................................... 81
4.2.1.3 Maksim Pujian ........................................................................... 83
4.2.1.4 Maksim Kerendahan Hati .......................................................... 85
4.2.1.5 Maksim Kesepakatan ................................................................. 86
4.2.1.6 Maksim Simpati ......................................................................... 87
4.2.2 Pelanggaran Maksim-Maksim Kesantunan .......................................... 89
4.2.2.1 Pelanggaran Maksim Kearifan ................................................. 89
4.2.2.2 Pelanggaran Maksim Kedermawanaan .................................... 91
4.2.2.3 Pelanggaran Maksim Pujian ..................................................... 91
4.2.2.4 Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati ................................... 92
4.2.2.5 Pelanggaran Maksim Kesepakatan ......................................... 94
4.2.2.6 Pelanggaran Maksim Simpati .................................................. 95
4.2.3 Kesantunan Tindak Tutur Langsung ................................................... 96
4.2.3.1 Ungkapan Penanda Kesantuan Linguistik Dengan Kata
Tolong ....................................................................................... 95
4.2.3.2 Ungkapan Penanda Kesantuan Linguistik Dengan Kata
Mohon ..................................................................................... 98
4.2.3.3 Ungkapan Penanda Kesantuan Linguistik Dengan Kata
Silahkan ................................................................................. 99
4.2.3.4 Ungkapan Penanda Kesantuan Linguistik Dengan Kata
Mari ...................................................................................... 101
4.2.3.5 Ungkapan Penanda Kesantuan Linguistik Dengan Kata
Ayo ......................................................................................... 102
4.2.3.6 Ungkapan Penanda Kesantuan Linguistik Dengan Kata
Coba ....................................................................................... 103
4.2.3.7 Ungkapan Penanda Kesantuan Linguistik Dengan Kata
Harap ....................................................................................... 105
4.2.3.8 Ungkapan Penanda Kesantuan Linguistik Dengan Kata
Maaf ......................................................................................... 106
4.2.4 Kesantunan Tindak Tutur Tidak Langsung ......................................... 109
4.2.4.1 Kesantunan Pragmatik Dalam Tuturan Deklaratif ........... 109
4.2.4.2 Kesantunan Pragmatik Dalam Tuturan Introgatif ............ 113
4.2.5 Implikasi Kesantunan Bertutur Terhadap Pembelajaran Bahasa
Indonesia di Perguruan Tinggi .......................................................... 118
4.2.6 Hasil Uji Ahli ...................................................................................... 128
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ................................................................................................ 138
5.2 Saran ....................................................................................................... 139
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang perlu bersosialisasi
dengan lingkungan. Proses bersosialisasi ini salah satunya dengan berkomunikasi
satu sama lain. Saat berkomunikasi penutur melakukan kegiatan bertutur sebagai
suatu proses pertukaran informasi kepada lawan bicaranya. Kegiatan lawan
bicaranya. Kegiatan bertutur itu sendiri sebagai suatu kegiatan (ucapan) untuk
mengkomunikasikan maksud seseorang kepada penyimak melalui bahasa lisan.
Maksud tersebut dapat tersampaikan dengan baik apabila pendengar memahami
makna yang ingin disampaikan penutur.
Hal inilah yang akhirnya timbul tindak tutur ketika terjadi pertukaran informasi
antara penutur dan mitra tutur. Dalam tindak tutur terdapat konteks yang menjadi
bahan tuturan seorang penutur dan mitra tutur agar peristiwa tutur tersebut dapat
dipahami oleh kedua belah pihak. Jika penutur dan mitra tutur berada dalam
konteks yang berbeda, maka peristiwa tutur tersebut tidak akan berjalan dengan
baik, sehingga maknadalam tuturan itu tidak tersampaikan. Hal ini juga
membuktikan bahwasannya jika dalam ilmu pragmatik, bahasa dan konteks
merupakan satu kesatuan yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan.
Ketika seseorang bertutur ada hal yang patut diperhatikan. Saat bertutur, penutur
harus melihat situasi, kapan, di mana, dan dengan siapa. Ketika hal tersebut
2
dilakukan, penutur dapat menempatkan posisinya dan menjaga ucapan saat
bertutur misalnya, saat berkomunikasi dengan mitra tutur yang lebih tua cara
bertuturnya harus lebih merendah. Hal itu dirasa lebih santun karena pada
hakikatnya orang yang lebih tua adalah yang patut dihormati. Tidak hanya itu,
ketika penutur ingin meminta tolong atau ketika bertanya kepada mitra tutur, baik
yang lebih tua, lebih muda ataupun sebaya tuturan yang kita ucapkan haruslah
dengan tuturan yang santun.
Penggunaan tuturan yang santun dapat kita lakukan dengan menggunakan kata
atau kalimat ramah didengar oleh mitra tutur atau yang tidak membuat mitra tutur
merasa dirugikan. Tidak hanya itu penggunaan intonasi dan nada bicara juga
harus diperhatikan oleh penutur ketika sedang berkomunikasi dengan mitra tutur.
Hal tersebut dapat membuat mitra tutur merasa nyaman, sehingga hubungan
antara mitra tutur dan penutur dapat terjaga. Sopan santun berarti berkenaan
dengan interaksi tuturan antara penutur dan mitra tutur. Hubungan yang dimaksud
tersebut ialah hubungan dalam berkomunikasi ketika melakukan tindak tutur.
Pada kesantunan bertutur ada sejumlah pakar yang mengajukan teori kesantunan
diantaranya, Lakoff (1973), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), Leech
(1983) dan Pranowo (2009). Pada penelitian ini penulis merujuk pada teori
kesantunan Leech, yang menggunakan maksim-maksim kesantunan. Maksim-
maksim tersebut yaitu, maksim kearifan, maksim kedermawanaan, maksim
kesepakatan, maksim kerendahan hati, maksim pujian dan maksim simpati. Dalam
penelitian ini, penulis akan meneliti bagaimana tuturan mahasiswadiskusi yang
menaati dan melanggar maksim-maksim kesantunan Leech. Tidak hanya itu
3
sebagai bentuk kesantunan dan penataat maksim pada tuturan. Penulis juga
mengaitkan tuturan langsung yang ditandai dengan kesantunan yang ditandai
dengan kesantunan linguistik dengan penanda kesantunan serta tuturan tidak
langsung yang ditandai dengan kesantunan pragmatik dengan tuturan deklaratif
dan introgatif.
Apabila kita menggunakan kesopanan sebagai konsep yang tegas, seperti gagasan
‗tingkah laku sosial yang sopan‘ atau etika yang terdapat dalam budaya. Hal itu
dapat menentukan prilaku sopan dalam interaksi sosial. Akan tetapi, dalam suatu
interaksi ada tipe khusus kesopanan yang lebih sempit di tempat perkuliahan.
Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan objek penelitian pada tuturan
mahasasiswa dalam diskusi yang sedang berlangsung di dalam pembelajaran di
kelas. Penelitian ini penting, karena ketika mahasiswa diskusi menggunakan
tuturan yang snatun kepada pendengar hal itu dapat membuat pendengar merasa
nyaman atas diskusi yang diberikan oleh penyaji diskusi mahasiswa. Jika
pendengar merasa nyaman maka pendengar akan merasa aman untuk bertutur
keada penyaji diskusi.
Penulis juga mengaitkan penelitian ini dengan pembelajaran yang ada di
Universitas. Materi bahan ajar yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu materi
tentang diskusi dalam mata kuliah berbicara semester dua. Materi bahan ajar ini
berkaitan dengan kesantunan bertutur, karena ketika penutir berinteraksi dengan
mitra tutur diskusi, tuturan yang digunakan penutur haruslah tuturan yang santun.
Saat berinteraksi tujuan utama dari penutur agar mitra tutur setuju dengan hasil
4
pendapat penutur pada saat diskusi berlangsung. Jika bahasa yang digunakan saja
tidak santun, maka mitra tutur akan mengkahiri diskusi.
Sama halnya dengan mahasiswa diskusi yang berkomunikasi atau berinteraksi
kepada pendengar, ketika proses negosisasi tersebut tidak didampingi dengan
bahasa yang santun, maka peserta diskusi akan tidak nyaman untuk melakukan
diskusi tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya terbatas pada hal-hal
berikut.
1. Bagaimakah kesantunan bertutur mahasiswa yang menaati dan melanggar
maksim-maksim kesantunan dalam diskusi PBSI semester genap ?
2. Bagaimanakah kesantunan bertutur langsung dalam diskusi PBSI semester
genap?
3. Bagaimanakah kesantunan bertutur tidak langsung dalam diskusi PBSI
semester genap?
4. Bagaimanakah impikasi hasil penelitian terhadap penyusunan bahan ajar
keterampilan berbicara PBSI semester genap.
1.3 Tujuan Masalah
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan
1. kesantunan bertutur mahasiswa yang menaati dan melanggar maksim-
maksim kesantunan dalam diskusi PBSI semester genap;
2. kesantunan tuturan langsung dalam diskusi PBSI semester genap;
5
3. kesantunan tuturan tidak langsung dalam diskusi PBSI semester genap; dan
4. implikasi hasil penelitian terhadap penyusunan panduan praktikum
pembelajaran keterampilan berbicara PBSI semester genap.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoretis maupun secara praktis. Manfaat secara teoritis dikaitkan dengan teori-
teori yang sudah ada sebelumnya, sedangkan manfaat praktis dikaitkan dalam
penerapan metode diskusi pada mata kuliah berbicara.
a. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat (1) memberikan manfaat
terhadap perkembangan ilmu bahasa dalam bidang pragmatik pada umumnya
dan pada kajian kesantunan bertutur khususnya, dan (2) menambah referensi
penelitian, khusunya tentang kesantunan bertutur sehingga penelitian ini dapat
memberikan sumbangan sebagai bahan pemikiran bagi para penelitian
selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
Manfaat ini diharapkan dapat bermanfaat bagi (1) bagi pengajar atau dosen
mata kuliah keterampilan berbicara di Perguruan Tinggi hendaknya
menggunakan cara kesantunan bertutur yang bervariasi atau dapat melatih cara
kesantunan bertutur mahasiswa, khususnya pada metode diskusi sesuai dengan
hasil temuan dalam penelitian ini (2) bagi mahasiswa dapat menerapkan
kesantunan bertutur dalam metode diskusi saat pembelajaran, dan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari saat terjadi tuturan (3) bagi peneliti
6
selanjutnta, agar dapat lebih memperdalam dan mengembangkan kajian
kesantunan bertutur sebagai hasil penelitian pembelajaran yang sesuai dengan
validitas pembelajaran dengan mengimplikasikannya dalam desain model yang
teruji sehingga temuan selanjutnya lebih bervariasi dan dapat digunakan dalam
subjek yang luas.
1.5 Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Subjek penelitian ini adalah Mahasiswa yang mengikuti mata kuliah
berbicara PBSI STKIP PGRI Bandar Lampung.
2. Objek penelitian ini adalah kesantunan tindak tutur dalam mahasiswa
diskusi pada pembelajaran berbicara PBSI STKIP PGRI Bandar Lampung.
3. Parameter kesantunan dalam penelitian ini yang digunakan formula
kesantunan menurut Leech (2011). Yang meliputi maksim, yaitu (1)
maksim kearifan, (2) maksim kedermawanaan, (3) maksim pujian, (4)
maksim kerendahan hati, (5) maksim kesepakatan, (6) maksim simpati.
7
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini disajikan landasan teori sebagai tolak ukur untuk membahas
kesantunan bertutur yang meliputi, yaitu pragmatik, tindak tutur, konteks, teori
kesantunan Leech, skala kesantunan, kesantunan linguistik dan pragmatik, dan
pembelajaran berbicara di perguruan tinggi (Universitas Lampung). Berikut uraian
lengkap berdasarkan topik-topik.
2.1 Pragmatik
Pragmatik merupakan telaah mengenai makna dalam hubungannya dengan aneka
situasi dan ujarannya (Tarigan,2009: 29). Pragmatik adalah kajian mengenai
bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi menurut (Parker ,1986 dalam
Rustono 1999: 3). Pragmatik adalah language in use, studi terhadap makna ujaran
dalam situasi tertentu. Sifat-sifat bahasa dapat dimengerti melalui pragmatik,
yakni bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi (Djajasudarma, 2012: 71).
Selain itu, pakar lain seperti Levinson telah berusaha meliput berbagai aspek yang
terkait dengan pragmatik. Aspek-aspek itu adalah relasi tanda dan penafsirannya,
penggunaan bahasa, fungsi bahasa, konteks, penutur, kepatutan, dan topik-topik
pragmatik. Yang tidak tepat adalah penggunaan istilah kalimat di dalam salah satu
batasannya. Hal itu terjadi karena yang dibicarakan di dalam pragmatik itu
bukanlah kalimat. Melainkan tuturan sebagai hasil tindak tutur, selain itu topik-
8
topik pragmatik yang disebutkan pun masih sedikit, belum mencakup semua
pokok-pokok bahasa pragmatik. Jadi, dapat disimpulkan pragmatik merupakan
sebuah ilmu yang membahas mengenai makna ujaran atau tuturan manusia di
dalam suatu situasi tertentu (Nandar, 2013: 5)
2.2 Tindak Tutur
Aktivitas bertutur tidak hanya berbatas pada penuturan sesuatu, tetapi juga
melakukan sesuatu atas dasar tuturan itu, pendapat Austin didukung oleh Searle
yang mengemukakan bahwa tindak tutur adalah teori yang mencoba mengkaji
makna bahasa yang didasarkan pada hubungan tuturan dengan tindakan yang
dilakukan oleh penuturnya (Austin dalam Rohmanto, 2012: 66)
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa untuk berbagai
kegiatan. Secara pragmatis, berbahasa merupakan salah satu tindakan yang lazim
disebut dengan tindak tutur. Berkenaan dengan tuturan, Austin (1980: 94)
membedakan tiga jenis tindakan: (1) tindak tutur lokusi, yaitu tindak
mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam
kamus dan menurut kaidah sintaksisnya; (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur
yang mengandung maksud berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan,
dan di mana tindak tutur itu dilakukan; dan (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak
tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk memengaruhi mitra tutur.
Pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan
sesuatu. Pada saat seseorang menggunakan kata kerja promise „berjanji‘,
apologize ‗meminta maaf‘, name ‗menamakan‘, pronounce ‗menyatakan‘,
9
misalnya tuturan ‗saya berjanji saya akan datang tepat waktu‘, ‗saya minta maaf
karena datang terlambat‘, ‗saya menamakan kapal ini Elizabeth‘, maka yang
bersangkutan tidak hanya mengucapkan tetapi juga melakukan tindakan berjanji,
meminta maaf, dan menamakan. Tuturannya juga disebut kata kerja performatif
(Austin dalam Nandar, 2013: 11)
Setelah mengetahui definisi dari tindak tutur, selanjutnya, tindak tutur dibagi atas
tiga klasifikasi, yaitu:
5. Tindak Lokusi
Tindak proposisi yang berada pada kategori mengatakan sesuatu. Oleh karena itu,
yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi tuturan yang diungkapkan oleh
penutur. Wujud tindak lokusi adalah tuturan-tuturan yang berisi pernyataan atau
informasi tentang sesuatu.
6. Tindak Ilokusi
Tindak tuturan yang mengandung data untuk melakukan tindakan tertentu dalam
hubungannya dengan mengatakan sesuatu. Tindakan tersebut seperti janji,
tawaran, atau pertanyaan, yang terungkap dalam tuturan.
7. Tindak Perlokusi
Efek atau dampak yang ditimbulkan oleh tuturan terhadap mitra tutur, sehingga
mitra tutur melakukan tindakan sesuai dengan isi tuturan. Tindak perlokusi lebih
mementingkan hasil, sebab tindak ini dikatakan berhasil jika mitra tutur
melakukan sesuatu yang berkaitan dengan tuturan penutur. (Austin dalam
Rohmanto, 2012: 67-68). Sejalan dengan itu Searle dalam Leech (1993:163)
mengklasifikasikan tindakan ilokusi berdasrakan pada berbagai kriteria. Secara
garis besar kategori Searle dalam Leech (1993: 164-165)
10
1. Asertif
Pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran tuturan yang diujarkan. Tuturan
ilokusi ini misalnya, menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh,
mengemukakakan pendapat, melaporkan.
2. Direktif
Ilokusi ini bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan
penutur, ilokusi ini misalnya, memesan, meemrintah, memohon, menuntut,
memberi nasiha
3. Komisit
Pada ilokusi ini penutur sedikit banyak terikat pada suatu tindakan di masa depan.
Ilokusi ini misalnya, menjanjikan, menawarkan, berkaul. Jenis ilokusi ini tidak
mengacu pada kepentingan penutur, tetapi pada kepentingan tindak tutur.
4. Ekspresif
Ilokusi ini berfungsi untuk mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis
penutur terhadap suatu keadaan. Ilokusi ini misalnya, mengucapkan terima kasih,
mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan
belasungkwan, dan sebagainya.
5. Deklarasi
Jika pelaksanaan ilokusi ini berhasil akan mengakibatkan adanya kesesuaian
antara isi tuturan dengan kenyataan. Ilokusi ini misalnya, mengundurkan diri,
membatasi, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/
membuang, mengangkat (pegawai) dan sebagainya.
11
2.3 Unsur Suprasegmental
Menurut Abdul Chaer (2009: 53), unsur suprasegmental ini ―bekerja‖ atau
berlangsung sewaktu bunyi segmental diproduksikan. Unsur suprasegmental
yang disebut juga ciri-ciri prosodi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Tekanan
Tekatan atau stres menyangkut masalah keras lemahnya bunyi. Suatu bunyi
segmental yang diucapkan dengan arus udara yang kuat sehingga menyebabkan
amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah
bunyi segemntal yang diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat, sehingga
amplitudonya menyempit pasti dibarengi dengan tekanan lunak.
2. Nada
Nada atau pitch berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu
bunyi segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan
disertai dengan nada yang tinggi. Sebaliknya, kalau diucapkan dengan frekuensi
getaran yang rendah, tentu akan disertai juga dengan nada rendah.
Dalam bahasa bahasa indonesia nada juga tidak ―bekerja‖ pada tingkat fonemis,
melainkan ―bekerja‖ pada tingkat sintaksis, karena dapat membedakan makna
kalimat. Varriasi nada ynag menyertai unsur segmental dalam kalimat disebut
intonasi yang biasanya dibedakan menjadi empat, yaitu;
a. Nada rendah, ditandai dengan angka 1
b. Nada sedang, ditandai dengan angka 2
c. Nada tinggi, ditandai dengan angka 3
d. Nada sangat tingggi, ditandai dengan angka 4
12
3. Jeda atau Persediaan
Jeda atau persediaan berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujaran. Disebut
jeda karena adanya hentian itu, dan disebut persediaan karena tempat di tempat
berhenti itulah terjadinya persambungan antara dua segmen ujaran. Jeda itu
dapat bersifat penuh atau bersifat sementara. Biasanya dibedakan adanya sendi
dalam dan sendi luar.
Sendi dalam menunjukkan batas antara satu silabes dengan silabes yang lain.
Sendi dalam ini yang menjadi batas silabes biasanya ditandai dengan tanda (+).
Contoh:
[am+bil]
[lak+sa+na]
[ke+le+la+war]
Sandi luar menunjukkan batas yang lebih besar dari silabel. Dalam hal ini
biasanya dibedakan adanya:
a. Jeda antarkata dalam frase, ditandai dengan garis miring tunggal (/)
b. Jeda antarfrase dalam klausa, ditandai dengan garis miring ganda (//)
c. Jeda antarkalimat dalam wacana/ paragraf, ditandai dengan garis silang
ganda (#)
Tekanan dan jeda dalam bahasa Indonesia sangat penting karena tekanan dan jeda
itu dapat mengubah makna kalimat. Contoh:
#buku // sejarah / baru#
#buku / sejarah // baru#
Kalimat pertama bermakna ‗buku mengenai sejarah baru‘; sedangkan kalimat
kedua bermakna ‗buku baru mengenai sejarah‘.
13
4. Durasi
Durasi berkaitan dengan masalah panjang pendeknya atau lama singkatnya suatu
bunyi diucapkan. Tanda untuk bunyi panjang adalah titik dua di sebelah kanan
bunyi yang diucapkan (....:); atau tanda garis kecil di atas bunyi segmental yang
diucapkan (-). Dalam bahasa Indonesia durasi ini tidak bersifat fonemis, tidak
dapat membedakan makna kata; tetapi dalam beberapa bahasa lain seperti bahasa
Arab, unsur durasi bersifat fonemis.
2.4 Konteks
Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan sangat bergantung pada konteks
yang melatarbelakangi peristiwa tertentu. Wijana menyebutkan bahwa pragmatik
mengkaji makna yang terikat konteks, dan oleh Searle, Kiefer dan Bierwich yang
mengatakan bahwa pragmatik berkaitan dengan interprestasi suatu ungkapan yang
dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu dan cara menginterprestai ungkapan
tersebut tergantung pada kondisi-kondisi khusus penggunaan ungkapan tersebut
dalam konteks (Nandar, 2013: 4)
Konteks mencakup berbagai komponen yang disebutnya dengan akronim
SPEAKING. Akronim ini dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Setting, yang meliputi waktu, tempat atau kondisi fisik lain yang berbeda di
sekitar tempat terjadinya peristiwa tutur.
2. Participants, yang meliputi penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam
peristiwa tutur.
14
3. Ends, yaitu tujuan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai dalam peristiwa
tutur yang sedang terjadi.
4. Act sequences, yaitu bentuk dan isi pesan yang ingin disampaikan.
5. Key, yaitu cara berkenaan dengan sesuatu yang harus dikatakan oleh penutur
(serius, kasar, dan main-main)
6. Instrumentalities, yaitu saluran yang digunakan dan dibentuk tuturan yang
dipakai oleh penutur dan mitra tutur.
7. Norm, yaitu norma-norma yang digunakan dalam intteraksi yang sedang
berlangsung.
8. Genres, yaitu register khusus yang dipakai dalam peristiwa tutur. (Hymes
dalam Rusminto,2012: 56)
Leech (2011: 19-21) mengungkapkan bahwa situasi ujaran/tuturan terdiri atas
beberapa aspek.
1. Penutur dan mitra tutur
Aspek-aspek yang perlu dicermati dari penutur dan mitra tutur adalah jenis
kelamin, umur, daerah asal, tingkat keakraban, dan latar belakang sosial budaya
lainnya yang dapat menjadi penentu hadirnya makna sebuah tuturan.
2. Konteks tuturan
Konteks tuturan dalam penelitian linguistik mencakup semua aspek fisik dan
seting sosial yang relevan dari sebuah tuturan. Konteks yang bersifat fisik disebut
konteks (cotext), sedangkan konteksn seting sosial disebut konteks. Dalam
kerangka pragmatik, konteks merupakan semua latar belakang pengetahuan yang
15
diasumsikan dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, serta
yang mendukung untuk minterpretasi maksud penutur dalam tuturan.
3. Tujuan tuturan
Bentuk-bentuk tuturan muncul karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan
tertentu. Dengan kata lain, penutur dan mitra tuturb terlibat dalam suatu kegiatan
yang berorientasi pada tujuan tertentu. Secara pragmatik, suatu bentuk tuturan
dapat memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Tuturan dapat
memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Sebaliknya, satu maksud
atau tujuan tuturan akan dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda –
beda.
4. Tuturan sebagai bentuk tindakan
Pragmatik menagani bahasa dalam suatu tingkatan yang lebih konkret
dibandingkan dengan gramatikal, tuturan disebut sebagai suatu tindakan konkret
(tindak tutur) dalam suasana tertentu. Segala hal yang berkaitan dengannya,
seperti jati diri penutur dan mitra tutur yang terlibat, waktu, dan tempat dapat
diketahui secara jelas.
5. Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan pada dasarnya adalah hasil tindak verbal dalam aktivitas bertutur sapa.
Oleh sebab itu, tuturan dibedakan dengan kalimat. Kalimat adalah identitas
produk struktural, sedangkan tuturan adalah produk dari suatu tindak verbal yang
muncul dari suatu penutur.
16
2.5 Kesantunan
Kesantunan dalam bertutur sangat penting sebab dapat menciptakan komunikasi
yang efektif antara penutur dan mitra tutur. Hal ini sejalan dengan Markhamah
dan Sabardila bahwa kesantunan berbahasa pada dasarnya ialah cara penutur di
dalam berkomunikasi agar mitra tutur tidak merasa tertekan, tersudut, atau
tersinggung.
Secara umum, masalah kesantunan berbahasa sangat berhubungan dengan
masalah menjaga harga diri. Dalam bahasa bugis, istilah ini dikenal dengan
sebutan jagai siri sementara Brown dan Levinson memopulerkannya dengan
istilah tindakan mengancam muka (FTA). Menjaga keterancaman muka atau
menjaga harga diri ini penting dilakukan baik penutur maupun mitra tuturnya.
Kata santun mempunyai makna yang sangat berbeda dengan kata sopan,
meskipun sebagian besar masyarakat menganggapnya sama. Kata sopan memiliki
makna menunjukkan rasa hormat terhadap mitra tutur, sedangkan kata santun
memiliki makna memperhalus ujaran atau tuturan yang dapat mengancam muka
atau harga diri Pramujiono dan dapat melukai perasaan. Sejalan dengan
pandangan tersebut, Holmes dan Haugh menyatakan bahwa kesantunan
merupakan hal yang sangat kompleks dalam berbahasa karena tidak hanya
melibatkan pemahaman aspek kebahasaan saja. Kesantunan berbahasa tidak hanya
berhubungan dengan pemahaman tentang bagaimana mengucapkan apa kabar,
terima kasih, dan maafkan secara tepat, tetapi juga perlu memahami nilai-nilai
sosial dan budaya suatu masyarakat tutur.
Ada beberapa pakar yang telah menulis mengenai teori kesantunan berbahasa.
Diantaranya adalah Leech (2011), dan Rahardi (2005).
17
2.5.1 Teori Rahardi
Kesantunan dalam tindak tutur langsung ditandai dengan ungkapan penanda
kesantunan sebagai berikut (Rahardi, 2005:125).
1. Penanda kesantunan tolong digunakan untuk meminta bantuan kepada orang
lain.
2. Penanda kesantunan mohon digunakan sebagai bentuk permintaan dengan
hormat atau berharap supaya mendapatkan sesuatu.
3. Penanda kesantunan silahkan digunakan untuk menyatakan maksud
menyuruh, mengajak, dan mengundang.
4. Penanda kesantunan mari digunakan sebagai makna ajakan yang dituturkan
secara tidak langsung menyatakan makna suruhan dan perintah.
5. Penanda kesantunan ayo digunakan untuk menyatakan maksud mengajak atau
memberikan semangat dan dorongan kepada mitra tutur agar melakukan
sesuatu
6. Penanda kesantunan coba digunakan untuk memperhalus makna memerintah
atau menyuruh yang berfungsi agar mitra tutur merasa sejajar dengan penutur
meskipun kenyataanya tidak.
7. Penanda kesantunan harap berfungsi sebagai makna harapan dan imbauan.
8. Penanda kesantunan maaf digunakan untuk ungkapan permintaan maaf atas
kesalahan atau ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu yang
diperkirakan akan menyinggung perasaan orang lain.
9. Penanda kesantunan terima kasih sebagai penghormatan atas kebaikan yang
dilakukan orang lain.
18
2.5.2 Teori Leech
Menurut Leech (2011) prinsip kesantunan dapat dirumuskan ke dalam enam butir
maksim. Keenam maksim itu adalah maksim (1) kearifan (tact); (2)
kedermawanaan (generosity); (3) pujian (approbation); (4) kerendahan hati
(modesty); (5) kesepakatan (agreement); (6) simpati (sympathy). Berikut uraian
lengkap mengenai keenam maksim kesantunan Leech
2.5.1.1 Maksim kearifan (teact maxsim)
Maksim kearifan mengandung prinsip sebagai berikut.
1. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin
2. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin
Maksim kearifan ini mengacu pada mitra tutur. Ilokusi tidak langsung cenderung
lebih sopan daripada ilokusi yang bersifat langsung. Hal ini didasari dua alas an
sebagai berikut.
1) Ilokusi tidak langsung menambah derajat kemanasukaan
2) Ilokusi tidak langsung memiliki daya yang semakin kecil dan semakin
tentative.
Contoh (1) sampai dengan (5) berikut ini memperlihatkan bahwa semakin tidak
langsung ilokusi disampaikan semakin tinggi, derajat kesopanaan yang tercipta
demikian pula yang terjadi sebaliknya.
Wijana dan Rohmadi (2011: 55) contoh sebagai berikut.
(1) Dating ke rumah saya!
(2) Datanglah ke rumah saya!
(3) Silahkan (Anda) dating ke rumah saya!
(4) Sudikiranya (Anda) dating ke rumah saya!
19
(5) Kalau tidak keberatan, sudilah (Anda) dating ke rumah saya!
Dalam hal itu dapat dikatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin
besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya.
Demikian pula tuturan yang diutarakan secara langsung. Menerima dengan
kalimat berita atau kalimat Tanya dipandang lebih sopan dibandingkan dengan
kalimat perintah.
2.5.1.2 Maksim Kedermawanaan (generosity maksim)
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.
1. Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin.
2. Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
Maksim kedermawanaan ini menggunakan skala pragmatic yang sama dengan
maksim kearifan, yakni skala unrung rugi, karena maksim kedermawanaan
mengacu pada diri penutur. Hal inilah yang menyebabkan maksim
kedermawanaan berbeda dengan maksim kearifan, sebab dalam maksim kearifan
tidak tersirat adanya unsure kerugian pada diri penutur (Rusminto, 2015. 98)
Contoh kalimat-kalimat sebagai berikut.
(1) Kamu dapat memin meminjamkan mobilmu pada saya.
(2) Aku dapat meminjamkan mobilku kepadamu.
(3) Kamu harus dating dan makan malam di rumah kami.
(4) Kami harus dating dan makan malam di tempatmu.
Kalimat (2) dan (3) dianggap sopan karena dua hal tersebut menyiratkan
keuntungan bagi mitra tutur dan kerugian bagi mitra penuturnya, sedangkan
kalimat (1) dan (4) hubungan antara penutur dan mitra tutur pada skala untung-
rugi menjadi terbalik (Leech, 2011: 209).
20
2.5.1.3 Maksim Pujian (approbation maxsim)
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.
1) Kecamlah orang lain sedikit mungkin.
2) Pujilah orang lain sebanyak mungkin.
Maksim ini lebih mementingkan aspek negatifnya, yaitu ‗jangan mengatakan hal-
hal yang tidak menyenangkan tentang orang lainterutama tentang penutur kepada
mitra tutur (Leech, 2011: 212). Berikut contoh mengenai maksim pujian.
(1) + permainanmu sangat bagus.
- Tidak saya kira biasa-biasa saja.
(2) + Permainan Aanda sangat bagus.
- Jelas siapa dulu yang main.
(3) Masakanmu sungguh enak.
- Masakanmu tidak enak.
Tokoh (+) dalam contoh (1) bersikap sopan karena memaksimalkan keuntungan (-
) mitra tuturnya. Mitra tutur (-) menrepkan paradods pragmatic dengan berusaha
meminimalkan penghargaan diri sendiri, sedangkan (-) pada contoh (2) melanggar
paradox pragmatic dengan berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Jadi
(-) dalam contoh (2) tidak berlaku sopan. Dengan ketentuan di atas dapat
ditentukan secara serta merta bahwa tuturan (3) lebih sopan dibandingkan (4)
(Wijana dan Rohmadi, 2011: 56)
2.5.1.4 Maksim Kerendahan hati (modesty maxsim)
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.
1) Pujilah diri sendiri sedikit mungkin.
2) Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
Maksim kerendahan hati ini juga diungkapkan dengan ekpresif dan asertif. Bila
maksim pujian berpusat pada diri sendiri. Maksim kerendahan hati menurut setiap
21
peserta meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri (Wijana dan Rohmadi, 2011:
57).
(1) + mereka baik skala i kepada kita
- Ya betul
(2) Kamu baik skala i kepada kita.
- Ya saya harus begini.
Wacana (1) mematuhi prinsip kesopanaan karena (+) memuji kebaikan pihak lain,
dan respon yang diberikan (-) memuji orang lain yang dibicarakan itu. Wacana (2)
memiliki bagian yang melanggar maksim kesopanaan. Tuturan (-) dalam wacana
(2) tidak mematuhi maksim kesopanaan karena memaksimalkan rasa bangga
terhadap diri sendiri.
2.5.1.5 Maksim kesepakatan (agreement maxim)
Maksim ini mengandung maksim sebagai berikut (a) usakan agar kata sepakat
antara diri dan lain terjadi sedikit mungkin [(b) usahakan agar kesepakatan antar
diri dengan lain terjadi sebanyak mungkin]. Seperti halnya ketiga maksim
sebelum ini, maksim kesepkatan menggariskan setiap penutur dan mitra tutur
untuk memaksimalkan kesepakatan diantara mereka dan meminimalkan
ketidaksepakataan. Untuk lebih jelas perhatikan contoh berikut ini.
(1) + Bahasa Inggris sukar ya?
- Ya
(2) + Bahasa Inggris sukar ya/
- Siapa bilang mudah skala i.
Kontribusi (-) pada tuturan (1) lebih sopan dibandingkan dengan tuturan (2),
karena pada tuturan (2) kontribusi (-) memaksimalkan ketidaksepaktaan dengan
pernyataan (+). Dalam hal ini tidak berarti orang harus setuju dengan pendapat
atau pernyataan mitra tuturnya. Dalam hal ini tidak menyetujui apa yang
22
dinyatakan oleh mitra tuturnya ia dapat membuat pernyataan yang mengandung
ketidaksetujuan atau ketidaksepakatan.
2.5.1.6 Maksim simpati (sympathy maxim)
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.
1) Kurangilah rasa antipasti antara diri dan lain hingga sekecil mungkin
2) Tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain.
Sebagaimana halnya maksim kesepakatan, maksim ini juga diungkapkan dengan
tuturan asertif. Maksim simpati ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antisipati kepada mitra
tuturnya. Jika mitra tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur
wajib memeberikan selamat. Bila mitra tutur mendapatkan kerusakan, atau
musibah, maka penutur layak berduka atau mengutarakan ucapan belasungkawan
sebagai tanda kesimpatian (Wijana dan Rohmadi, 2011: 59) berikut contoh untuk
memperjelas uraian tersebut.
(1) + bukuku yang kedua sudah terbit?
- Selamat ya, Anda menang hebat.
(2) + Aku gagal masuk SNMPTN tahun ini.
- Jangan sedih, masih ada SBMPTN
Sebagai simpulannya terhadap teori kesantunan Leech maksim-maksim
kesantunan sebagai berikut.
a. Maksim kearifan, maksim kedermawanaan, maksim pujian, dan maksim
kerendahan hati adalah maksim yang berhubungan dengan keuntungan
atau kerugian diri sendiri dan orang lain.
b. Maksim kesepkatan dan simpati adalah maksim yang berhubungan dengan
penilaian buruk atau baik penutur terhadap dirinya sendiri atau orang lain.
23
c. Maksim kearifan dan pujian adalah maksim yang berpusat pada orang lain.
d. Maksim kedermawanaan dan kerendahan hati adalah maksim yang
berpusat pada diri sendiri.
2.6 Skala Kesantunan
Setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat
kesantunan sebuah tutran. Berikut skala kesantunan yang disampaikan Leech.
1. Skala kerugian dan keuntungan (Cost-benefit scale)
Skala ini menunjuk pada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang
diakibatkan oleh sebuah tindak tutur. Makna skala biaya-keuntungan itu adalah
semakin memebrikan baiaya (sosial) kepada mitra tutur semakin kurang santunlah
tuturan itu. Sebaliknya, semakin memberikan keuntungan kepada mitra tutur,
semakin santunlah tuturan itu. Tuturan yang memberikan keuntungan kepada
penutur merupakan tuturan yang kurang santun. Sementara itu, tuturan yang
membebani biaya (sosial) yang besar kepada penutur merupakan tuturan yang
santun.
Contoh:
(1) Ambilkan tas saya!
(2) Buka tas itu!
(3) Jangan tergesa-gesa!
(4) Rebahkan tubuhmu di sofa!
(5) Nikmatilah hidangan ini!
Berdasarkan contoh tuturan di dalam skala biaya-keuntungan itu dapatlah
dinyatakan bahwa tuturan (1) merupakan tutran kurang santun karena membebani
mitra tuturnya dan memberikan keuntungan kepada penutur. Beban biaya yang
24
harus dikeluarkan oleh mitra tutur adalah tenaga dan biaya sosial yang berupa
tuturannya harga diri mitra tutur. Sebaliknya tuturan (5) adalah tuturan yang
paling santun karena memberikan keuntungan yang lebih kepada mitra tutur dan
juga tidak membebani.
2. Skala Keopsionalan (optionally scale)
Skala keopsionalan adalah rentangan pilihan untuk menghitung jumlah pilihan
tindakan bagi mitra tutur. Makna skala keopsionalan itu adalah semakin
memberikan banyak pilihan kepada mitra tutur semakin santunlah tuturan itu.
Sebaliknya, semakin tidak memberikan pilihan tindakan kepada mitra tutur,
semakin kurang santunlah tuturan itu.
Contoh:
(1) Belikan pulsa!
(2) Kalau ada waktu, belikan pulsa!
(3) Kalau ada waktu dan tidak merepotkan, belikan pulsa!
(4) Kalau ada waktu dan tidak merepotkan, belikan pulsa, itu kalau kamu
tidak keberatan!
Dari contoh tuturan di dalam skala keopsionalan itu tampak bahwa tuturan (1)
merupakan tuturan yang paling kurang santun karena tuturan itu tidak
memberikan pilihan tindakan kepada mitra tuturnya. Tuturan (3) lebih santun jika
dibandingkan dengan tuturan (2) karena lebih banyak memberikan pilihan
tindakan kepada mitra tuturnya. Tuturan (4)paling santun diantara tuturan-tuturan
itu karena memberikan pilihan tindakan yang paling banyak kepada mitra
tuturnya.
25
3. Skala Ketaklangsungan (indirectness scale)
Skala ketaklangsungan menyangkut ketaklangsungan tuturan. Skala ini berupa
rentangan ketaklangsungan tuturan sebagai indikator kesantunannya. Makna skala
ketaklangsungan itu adalah semakin taklangsung, semakin santunlah tuturan itu.
Sebaliknya, semakin langsung semakin kurang santunlah tuturan itu.
Contoh:
(1) Kembalikan bukunya!
(2) Saya ingin mengembalikan bukunya.
(3) Maukah Anda mengembalikan bukunya?
(4) Anda dapat mengembalikan bukunya?
(5) Keberatankah Anda mengembalikan bukunya?
Atas dasar rentangan skala ketaklangsungan, tuturan itu dapat dinyatakan bahwa
tuturan (1) merupakan tuturan yang paling kurang santun karena tuturan itu
merupakan tuturan langsung. Jarak tempuh daya ilokusioner menuju tujuan
ilokusioner paling pendek. Tuturan (3) lebih santun dibandingkan dengan tuturan
(2) sebabnya adalah jarak tempuh daya ilokusioner menuju tujuan ilokusioner
lebih panjang dari pada jarak yang dikandung tuturan (2). Tuturan (5) merupakan
tuturan yang paling santun di antara tuturan-tuturan itu. Hal itu terjadi karena
tuturan itu lebih taklangsung dibandingkan dengan tuturan lainnya. Jarak tempuh
ilokusioner menuju tujuan ilokusioner juga paling panjang. (Leech dalam Rahardi,
2005: 86)
2.7 Kesantunan Linguistik dan Pragmatik
Wujud-wujud kesantunan berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif dalam
bahasa Indonesia. Wujud kesantunan pertama menyangkut ciri linguistik yang
26
selanjutnya mewujudkan kesantunan linguistik. Sedangkan wujud kesantunan
kedua menyangkut ciri nonlinguistik tuturan impreatif yang selanjutnya
mewujudkan kesantunan pragmatik (Rahardi, 2005: 118). Dari pernyataan di atas
dapat kita simpulkan bahwasannya wujud kesantunan linguistik merupakan wujud
kesantunan yang diungkapkan secara langsung oleh penutur lewat tuturan
langsung. Sedangkan jika wujud penuturannya prakmatik diungkapkan secara
tidak langsung atau tersirat.
2.7.1 Kesantunan Linguistik
Kesantunan linguistik tuturan imperatif bahasa Indonesia mencakup hal-hal
sebagai berikut:
1. Panjang-pendek turunan,
2. Urutan tuturan,
3. Intonasi tuturan dan isyarat-isyarat kinesik, dan
4. Pemakaian ungkapan penanda kesantunan.
Keempat hal tersebut dipandang sebagai faktor penentu kesantunan linguistik
tuturan impreatif dalam bahasa Indonesia.
1. Panjang- Pendek Tuturan Sebagai Penentu Kesantunan Linguistik
Tuturan
Masyarakat bahasa dan kebudayaan Indonesia, panjang pendeknya tuturan yang
digunakan dalam menyampaikan kesantunan penutur dapat diidentifikasi dengan
jelas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa semakin panjang tuturan yang
digunakan , akan semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek
27
sebuah tuturan, akan cenderung menjadi semakin tidak santunlah tuturan itu.
Berikut contoh-contoh panjang-pendek tuturan.
(1) Buku tugasnya!
(2) Buku tugasnya bang!
(3) Bisa saya lihat buku tugasnya bang!
Berdasarkan tuturan di atas dapat kita lihat, bahwa banyaknya kata pada tuturan
tersebut tidak sama begitu juga dengan panjang-pendeknya tuturan. Pada contoh
(1) kata yang diungkapkan sangat singkat, sehingga unsur memerintahnya sangat
langsung diungkapkan, contoh (2) diberi sapaan bang, artinya tuturan tersebut
diperjelas untuk seorang laki-laki di atas penutur usianya, contoh (3) pada tuturan
ini terdapat kalimat meminta izin ‗bisa saya lihat‘ yang diungkapkan penutur
untuk lawan tuturnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin panjang
sebuah tuturan, maka semakin santunlah tuturan itu Rahardi (2005: 118-120).
2. Urutan Tuturan Sebagai Penentu Kesantunan Linguistik
Kegiatan bertutur selalu mempertimbangkan apakah tuturan yang digunakan itu
ntergolong sebagai tuturan santun ataukah tuturan tidak santun. Dengan demikian,
urutan tuturan sebagai tuturan berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya
peringatan kesantunan tuturan sebuah tuturan berpengaruh besar terhadap tinggi
rendahnya peringkat kesantunan tuturan yang digunakan pada saat bertutur.
Lihatlah contoh berikut ini.
(1) Bu Rifnida sebentar lagi akan datang, segera rapihkan seluruh kelas ini!
(2) Segera rapihkan seluruh kelas ini, Bu Rifnida akan datang sebentar lagi.
Informasi indeksal:
28
Pada tuturan (1) dan (2) mengandung maksud yang sama, namun kedua tuturan itu
berbeda dalam hal peringkat kesantunan. Tuturan (1) lebih santun dari tuturan (2)
karena menyatakan maksud imperatif terlebih dahulu dengan informasi lain yang
melatar belakangi imperatif yang diungkapkan selanjutnya. Dengan demikian
tuturan imperatif yang didahulukan tuturan informasi nonimperatif memiliki kadar
kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan tuturan imperatif yang tanpa diawali
informasi nonimperatif terlebih dahulu (Rahardi, 2005: 121-122).
3. Intonasi dan Insyarat-Isyarat Kinesik Sebagai Penentu Kesantunan
Linguistik Tuturan
Pada pertuturan intonasi memiliki peranaan besar dalam menentukan tinggi
rendahnya peringkat kesantunan sebuah imperatif, disamping intonasi.
Kesantunan penggunaan tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia juga
dipengaruhi oleh isyarat-isyarat kinesik yang dimunculkan lewat bagian-bagian
tubuh penutur. Sistem pralinguistik yang bersifat kinestik itu dapat disebutkan
diantaranya sebagai berikut: (1) ekspresi wajah, (2) sikap tubuh, (3)gerakan jari-
jemari, (4) gerakan tangan, (5) ayunan lengan, (6) gerakan pundak, (7) goyangan
pinggul, (8) gelengan kepala. Gerakan tubuh ini berfungsi mempertegas maksud
tuturan. Berikut contoh berkaitan dengan hal tersebut.
(1) Taruh kunci itu disini!
Informasi indeksal:
Tuturan ini tuturkan dengan intonasi yang halus dengan wajah tersenyum sambil
menujukkan tempat menaruh kunci.
(2) Cepat taruh kunci itu disini sebelum dosen datang!
29
Informasi indeksal:
Tuturan ini di tuturkan dengan intonasi keras, wajah tidak bersahabat sambil
menggebrak meja.
Dapat dikatakan bahwa intonasi dan sistem pralinguistik yang sifatnya kinestik
memegang peranaan sangat penting di dalam menentukan tinggi-rendahnya
peringatan kesantunan pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia.
4. Ungkapan-Ungkapan Penanda Kesantunan Sebagai Penentu Kesantunan
Linguistik
Kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia sangat
ditentukan oleh muncul atau tidaknya ungkapan-ungkapan penanda kesantunan
seperti: tolong, mohon, silahkan, mari, ayo, biar, coba, harap, hendaknya,
hendaklah, sudi kiranya, sudilah kiranya, sudi apalah kiranya (Rusminto,
2012:125). Berikut penjelasan secara terperinci.
a) Penanda kesantunan tolong sebagai penentu kesantunan linguistik
tuturan imperatif
Seorang penutur dapat memperhalus maksud tuturan imperatifnya dengan
menggunakan penanda kesantunan tolong, namun penanda tersebut tidak semata-
mata dianggap perintah melainkan dapat dianggap permintaan.
Contoh : ―tolong dengarkan temannya yang sedang presentasi‖
Informasi indeksal:
Tuntunan di atas dituturkan oleh dosen kepada Mahasiswanya agar mendengarkan
sejenak temannya yang sedang presentasi di depan.
30
b) Penanda kesantunan mohon sebagai penentu kesantunan linguistik
tuturan imperatif
Tuturan imperatif dapat bermakna permohonan apabila menggunakan penanda
kesantunan mohon, seringkali didapatkan bahwa pemakaian penanda kesantunan
mohon itu digunakan bersama unsur lain, seperti kiranya atau sekiranya. Berikut
contoh tuturan mohon.
(1) Ambil minum ini!
(2) Mohon terima minum ini!
(3) Mohon sekiranya dapat menerima minum ini!
Jika kita lihat ketiga tuturan di atas memiliki maksud yang sama, namun dengan
peringkat kesantunan yang berbeda. Tuturan (1) memiliki tingkat kesantunan
paling rendah dari (2) dan (3). Perlu dicatat penanda kesantunan mohon seringkali
digunakan dalam bentuk pasif dimohonkan pada ragam formal.
c) Penanda kesantunan silahkan sebagai penentu kesantunan linguistik
tuturan imperatif
Tuturan imperatif akan memiliki makna persilaan dengan menggunakan penanda
kesantunan silahkan, jadi. Kata silahkan yang dilekatkan pada awal tuturan
imperatif dapat berfungsi sebagai penghalus tuturan dan penentu kesantunan
imperatif itu, berikut contoh tuturannya.
(1) Pakai pena itu!
(2) Silahkan pakai pena itu!
(3) Silahkan dipakai pena itu!
Informasi indeksal:
Tuturan (1),(2) dan (3) dituturkan oleh mahasiswa A kepada mahasiswa B yang
akan hendak mengisi absen. Dilihat dari tuturan di atas, tuturan (1) merupakan
tuturan yang paling rendah tingkat kesantunannya dibandingkan dengan tuturan
31
(2) dan (3). Namun dengan demikian jika dibandingkan tuturan (2) dan (3) maka
tuturan (3) lebih santun.
d) Penanda kesantunan mari sebagai penentu kesantunan linguistik
tuturan imperatif
Tuturan imperatif yang mengguankan penanda kesantunan mari, yakni bermakna
ajakan akan lebih santun dibandingkan tuturan yang tidak menggunakan tuturan
itu. Pada komunikasi sehari-hari kata mari sering kali diganti ayo atau yo. Ayo
atau yo, dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tuturan imperatif yang dilekati
penanda kesantunan mari memiliki tingkat kesantunan lebih tinggi daripada ayo
atau yo.
Berikut contoh tuturan.
(1) Duduk!
(2) Mari duduk!
(3) Ayo duduk!
(4) Yo duduk!
Informasi indeksal:
Tuturan-tuturan di atas siungkapkan oleh seorang mahasiswa yang
mempersilahkan duduk temannya. Sebagai imperatif yang memiliki makna
ajakan. Tuturan (2) lebih santun dibandingkan tuturan yang lainnya.
e) Penanda kesantunan biar sebagai penentu kesantunan linguistik
tuturan imperatif
Penanda kesantunan biar, biasanya, digunakan untuk menyatakan makna imperatif
permintaan izin. Berikut contoh tuturannya.
(1) Biar saya saja yang membeli baju ini.
(2) Saya saja yang membeli baju ini.
32
Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seorang pembeli kepada penjual baju, ketika pembeli lain tidak
cukup uang untuk membelinya.
Dapat dilihat bahwasannya tuturan (1) lebih halus dan terlihat lebih santun
dibandingkan tuturan (2) yang terlihat kasar yang mengandung maksud memaksa.
f) Penanda kesantunan ayo sebagai penentu kesantunan linguistik
tuturan imoeratif
Penggunaan kata ayo di awal tuturan, maka imperatif yang didukung di dalam
tuturan itu akan dapat berubah menjadi ajakan. Maka imperatif mengajak jauh
lebih santun dibandingkan memerintah. Dikatakan demikian karena imperatif
ajakan melibatkan si penutur dan mitra tutur. Berikut contoh tuturan.
(1) Ayo, masuk dulu!
(2) Masuk dulu!
Tuturan (1) terkandung makna bahwa yang masuk tidak hanya dilakukan oleh
mitra tutur melainkan dengan si penutur juga. Namun berbeda dengan tuturan (2)
yang tidak di lakukan bersama-sama, melainkan hanya mitra tutur saja. Tuturan
(1) juga dilihat lebih santun dibandingkan dengan tuturan (2).
g) Penanda kesantunan coba sebagai penentu kesantunan linguistik
tuturan imperatif
Tuturan untuk memerintah atau menyuruh dengan tuturan imperatif, pemakaian
kata coba akan merendahkan kadar tuntunan imperatifnya, pengguanaan bentuk
yang demikian, seolah-olah mitra tutur diajak diperlakukan sebagai orang yang
sejajar dengan penutur, namun peringkat kedudukan diantara keduanya berbeda.
33
Anggapan mitra tutur akan sejajar dengan penutur itu akan menyelamatkan muka
kedua belah pihak. Berikut contoh tuturan:
(1) Coba ambil buku itu!
(2) Ambil buku itu!
Pada tuturan (2) merupakan tuturan suruhan yang kasar, kasar dan tidak santun.
Sedangkan tuturan (1) merupakan sebuah imperatif yang bermakna halus, santun
dan sangat bijak sana.
h) Penanda kesantunan harap sebagai penentu kesantunan linguistik
tuturan imperatif
Penanda kesantuan harap yang ditetapkan pada bagian awal tuturan imperatif akan
dapat memperhalus tuturan itu. Disamping bermakna harapan, tuturan imperatif
yang diawali penanda kesantunan harap juga dapat memiliki makna himbauan.
Berikut contoh tuturan:
(1) Belajar lagi!
(2) Saya harap kalian belajar lagi!
Pada tuturan (1) merupakan perintah yang tegas dan keras yang ditunjukan untuk
orang tertentu. Tuturan (2) tidak lagi bermakna suruhan melainkan bermakna
imbauan.
i) Penanda kesantunan hendak (Lah-Nya) sebagai penentu kesantunan
linguistik tuturan imperatif
Penanda kesantunan hendaklah atau hendaknya yang semulanya merupakan
imperatif suruhan dapat berubah menjadi imperatif yang bermakna imbauan atau
saran. Berikut contoh tuturan:
34
(1) Tunggu sebentar!
(2) Hendaknya tunggu sebentar!
(3) Hendaklah tunggu sebentar!
Tuturan (1) memiliki kadar tuntunan lebih tinggi dan tingkat kesantunan lebih
rendah dibandingkan dengan tuturan (2) dan (3) yang memiliki makna saran.
j) Penanda kesantunan sudi kiranya/ sudilah kiranya/ sudi apalah
kiranya sebagai penentu kesantunan linguistik tuturan imperatif
Penanda kesantunan tersebut sebuah tuturan imperatif yang bermakna perintah itu
dapat menjadi lebih halus konotasi maknanya. Selain itu, tuturan impertaif
tersebut juga dapat berubah makna menjadi permintaan dan permohonan sangat
halus. Berikut contoh tuturannya.
(1) Sudikiranya ibu jika mengizinkan saya untuk mengikuti quis susulan
2.7.2 Kesantunan pragmatik tuturan imperatif dalam Bahasa Indonesia
Gunarwan (Gunarwan, 1997) menggunakan terminologi ―kompetensi pragmatik‖
dalam pengertian kefasihan dalam berbahasa atau berbicara. Seseorang yang tidak
fasih dalam berbahasa atau berbicara dianggap tidak memiliki kompetensi
pragmatik dalam bahasa tersebut. Baskoro (Baskoro, 2014) juga mengatakan
bahwa pelaku tutur yang memiliki kemampuan menghasilkan dan memahami
tindak komunikatiflah yang dikategorikan memiliki kompetensi pragmatik.
Makna pragmatik imperatif dalam bahasa Indonesia dapat diwujudkan dengan
tuturan yang bermacam-macam. Makna pragmatik imperatif itu kebanyakan tidak
diwujudkan dengan tuturan imperatif melainkan dengan non imperatif. Makna
35
pragmatik imperatif melainkan dengan non imperatif banyak diucapkan dalam
tuturan deklaratif dan tuturan interogatif.
1. Kesantunan Pragmatik Imperatif dalam Tuturan Deklaratif
Kesantunan pragmatik dapat juga diidentifikasikan di dalam tuturan deklaratif.
Kesantunan pragmatik imperatif pada tuturan deklaratif dapat dibedakan menjadi
beberapa macam, yaitu:
a) Tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik imperatif
suruhan
Dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya, penutur cenderung menggunakan
tuturan nonimperatif untuk menyatakan makna pragmatik imperatif. Demikian
pula untuk menyatakan makna pragmatik imperatif suruhan, penutur dapat
menggunakan tuturan yang deklaratif, tuturan deklaratif banyak diguanakn untuk
menyatakan makna pragmatik suruhan (Rahardi, 2005:135) berikut contoh tuturan
yang berkaitan dengan hal tersebut.
―buku catatan yang kemarin dibuat kumpulkan hari ini!‖
Informasi indeksal:
Tuturan di atas dituturkan oleh seorang dosen kepada mahasiswa yang telah
mengerjakan tugas.
b) Tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik imperatif
ajakan
Kegiatan bertutur yang sesungguhnya, makna pragmatik imperatif ajakan, tanya,
banyak diwujudkan dengan menggunakan tuturan deklaratif. Pemakaian tuturan
36
yang demikian lazimnya memiliki ketidaklangsungan yang tinggi karena di dalam
bertutur terkadang maksud-maksud kesantunan (Rahardi, 2005: 136-137) hal
tersebut dapat dilihat dari contoh di bawah ini.
―Marilah kita buka acara ini dengan mengucap lafadz basmalah‖
Informasi indesal:
Tuturan di atas dituturkan oleh pembawa acara untuk aundience yang sedang
mengikuti acara pembukaan.
c) Tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik imperatif
permohonan
Bentuk deklaratif ternyata banyak digunakan untuk menyatakan makna pragmatik
permohonan. Dengan menggunakan tuturan deklaratif maksud memohon menjadi
tidak terlalu ketara dan dapat dipandang lebih santun (Rahardi, 2005: 138) berikut
contoh tuturannya.
Pegawai JNE : ―Mohon ditanda tangani mbak surat penerimaanya‖
Penerima :‖Oh iya mas, disini ya‖
Informasi indeksal:
Tuturan tersebut merupakan percakapan antara pegawai JNE yang sedang
mengirim barang kepada penerima.
d) Tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik imperatif
persilaan
Pada saat berkomunikasi sehari-hari seringkali ditemukan bahwa makna
pragmatik imperatif persilaan diungkapkan dengan menggunakan deklaratif.
37
Dengan cara yang demikian, makna pragmatik imperatif persilaan itu
diungkapkan dengan lebih santun (Rahardi, 2005:140). Berikut contoh tuturannya.
Ina :‖Mbak boleh saya lewat‖
Yuli :‖Oh iya boleh... boleh...‖
Informasi indeksal:
Tuturan tersebut merupakan percakapan antara dua mahasiswa yang berada di
dalam lorong kampus.
e) Tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik imperatif
larangan
Secara pragmatik, makna imperatif larangan seringkali diungkapkan dengan
menggunakan tuturan deklaratif. Dengan demikian ciri ketidaklangsungan sangat
tinggi. Karena hal tersebut tuturan itu mengandung maksud-maksud kesantunan
(Rahardi: 2005:141). Berikut contoh tuturannya.
―batas suci, alas kaki harap lepas‖
Informasi indeksal:
Bunyi sebuah peringatan yang ada di lantai masjid ketika pengunjung ingin
masuk.
2. Kesantunan Pragmatik Imperatif dalam Tuturan Introgatif
Sebelumnya telah disampaikan bahwa imperatif pragmatik dapat diwujudkan
dengan deklaratif, hal yang sama juga dapat ditemukan pada tuturan interogatif.
Digunakannya tuturan introgatif untuk menyatakan makna imperatif itu, dapat
mengandung makna ketidaklangsungan yang cukup besar (Rahardi, 2005:142)
38
a) Tuturan introgatif yang menyatakan makna pragmatik imperatif
perintah
Lazimnya, tuturan introgatif digunakan untuk menyatakan sesuatu kepada si mitra
tutur. Tuturan introgatif dapat pula digunakan untuk menyatakan maksud dan
makna pramatik imperatif, misalnya Perintah (Rahardi, 2005; 143). Berikut ini
contoh tuturan mengenai hal tersebut.
Ketua Kelas : ―Tolong kamu fotocopy buku ini dua rangkap ya?‖
Mahasiswa :‖Oh iya‖
Informasi indeksal:
Percakapan di atas terjadi di ruang dosen antara mahasiswa dan dosen yang ingin
memberikan perintah kepada mahasiswanya.
b) Tuturan introgatif yang menyatakan makna pragmatik imperatif
ajakan
Maksud imperatif ajakan yang diungkapkan dengan tuturan introgatif akan lebih
santun daripada diungkapkan dengan tuturan imperatif (Rahardi,2005:144).
Berikut contoh tuturan introgatif yang menyatakan makna ajakan.
Alpiana : Mbak udah selesai belum ngetiknya?aku pengen pipis nih.
Eli :Iya ini dikit lagi, bentar ya.
Informasi indiksal:
Percakapan di atas terjadi di perpustakaan ketika mereka berdua sedang
mengerjakan proposal.
Tuturan tersebut dianggap lebih sopan, dalam menyatakan maksud pragmatik
imperatif ajakannya, yang mengandung ketidaklangsungan yang tinggi, sehingga
tuturan tersebut kadar kesantunannya yang tinggi pula.
39
c) Tuturan introgatif yang menyatakan makna pragmatik impertaif
permohonan
Kegiatan bertutur yang sesungguhnya, ternyata banyak ditemukannya bahwa
tuturan introgatif dapat menyatakan maksud imperatif permohonan. Konotasi
makna kesantunan yang dimunculkan dari tuturan itu lebih tinggi dari pada
tuturan imperatif (Rahardi, 2005: 145-146). Berikut ini contoh mengenai hal
tersebut.
―Bu, apakah kami ingin diberi tugas lagi? Yang kemarin dan yang minggu lalu
saja belum ibu periksa bu‖
Informasi indeksal:
Tuturan tersebut dituturkan oleh mahasiswa kepada dosen yang ingin memberikan
tugas lagi.
d) Tuturan introgatif yang menyatakan makan pragmatik imperatif
persilaaan
Bentuk persilaaan dengan tuturan nonimperatif lazimnya diguankan dalam situasi
formal yang penuh dengan pemakaian basa basi. Situasi tersebut dapat ditemukan,
misalnya dalam kegiatan-kegiatan resmi (Rahardi, 2005:147). Berikut contoh
tuturan introgatif makna persilaan.
Mahasiswa : Dosen pembimbimbing dan dosen pembahas sudah bisa
hadir semua pak, apakah bapak bisa hadir hari ini pak?
Dosen : Oh iya tentu, lima menit lagi saya kesana.
Informasi indeksal:
40
Percakapan antara dosen dan mahasiswa di atas (via telepon) yang akan
mengadakan seminar proposal.
e) Tuturan introgatif yang menyatakan makna pragmatik imperatif
larangan
Tuturan –tuturan yang bermakna imperatif larangan sangat jarang ditemukan
dengan bentuk non imperatif. Dari penelitian di dapatkan bahwa tuturan non
imperatif banyak digunakan untuk menyatakan maksud imperatif larangan
(Rahardi, 2005 : 147-148). Berikut ini contoh tuturan yang berkaitan dengan hal
tersebut.
Guru : ―Ada yang mau berbicara kedepan untuk menggantikan
ibu?‖
Murid :‖Tidak bu‖
Informasi indeksal:
Percakapan di atas terjadi di ruang kelas ketika guru sedang menerangkan
pelajaran dengan murid yang berisik.
Selain dari sepuluh penanda kesantunan yang dipapparkan oleh Rahardi, masih
ada ungkapan kesantunan yang lain yang digunkan untuk menjaga tuturan agar
terdengar lebih santun. Pranowo (dalam Chaer, 2010:62)memberi saran agar
tuturan terasa santun, sebagai berikut:
a. Gunakan kata ‗tolong‘ untuk meminta bantuan kepada orang lain.
b. Gunakan kata ‗maaf‘ untuk tuturan yang diperkirakan akan menyinggung
perasaan orang lain.
c. Gunakan kata ‗ terimakasih‘ sebagai penghormatan atas kebaikan orang
41
lain.
d. Gunakan kata ‗berkenan‘ untuk meminta kesediaan orang lain melakukan
sesuatu.
e. Gunakan kata ‗beliau‘ untuk menyebut orang ketiga yang dihormati.
f. Gunakan kata ‗Bapak/Ibu‘ untuk menyapa orang ketiga.
2.8 Kategori Fatis
Basa-basi merupakan fenomena bahasa yang muncul secara tiba-tiba,
sesungguhnya pemakaian basa-basi meresap pada akar social budaya. Basa-basi
didefinisikan sebagai ungkapan atau tuturan yang dipergunakan hanya untuk
sopan santun dan tidak menyampikan informasi (KBBI, 2008: 143). Tuturan basa-
basi digunakan untuk memulai, memperlakukan atau mengukuhkan antara penutur
dan mitra tutur (Kridalaksanaka, 2005:111)
Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau
mengukuhkan pembicaraan antara penutur dan mitra tutur. Kelas kata ini biasanya
terdapat dalam konteks dialog atau wawancara bersambutan, yaitu kalimat-
kalimat yang diucapkan oleh penutur dan mitra tutur.
Kategori fatis mempunyai bentuk bebas, misalnya kok, deh, atau selamat dan
wujud terikat, misalnya –lah atau pun. Bentuk kategori fatis terbagi atas:
1) Partikel dan Kata Fatis
a. Ah menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh, misalnya ―ayo ah kita
pergi‖.
b. Ayo menekankan ajakan, misalnya ―ayo kita pergi‖
42
Ayo memmpunyai variasi yo bila diletakkan di akhir kalimat. ayo juga
bervariasi dengan ayuk dan ayuh.
c. Deh digunakan untuk menekankan:
(1) Pemaksaan dengan membujuk, misalnya:
―makna deh, jangan malu-malu‖
Dalam hal ini deh berdekatan tugasnya dengan partikel –lah
(2) Pemberian persetujuan, misalnya ―boleh deh‟.
(3) Pemberian garansi, misalnya ―makanan dia enak deh‖.
(4) Sekedar penekanan, misalnya ― saya benci deh sama dia‖.
d. Dong digunakan untuk menghaluskan perintah dan menekankan
kesalahan.
e. Ding menekanakan pengakuan kesalahan penutur, misalnya ―bohong
ding!‖.
f. Halo digunakan untuk memulai dan mengukuhkan pembicaraan.
g. Kan apabila diletakkan di akhir atau di awal kalimat, maka kan merupakan
kependekan dari bukan atau bukankah, dan tegasnya ialah menekankan
pembuktian, misalnya ―kan dia sudah tau?‖. Apabila kan berada di tengah
kalimat, maka kan juga bersifat menekankan pembuktian atau bantahan,
misalnya ―tadi kan sudah dikasih tau!‖.
h. Kek mempunyai tugas menekankan perincian, menekankan perintah dan
menggantikan kata saja.
i. Kok menekankan alas an dan pengingkaran, misalnya ―saya hanya ingin Tanya
saja kok!”.
43
j. –lah menekankan kalimat imperative dan penguat sambutan dalam kalimat,
misalnya ―tutuplah pintu itu!‖.
k. Lho bila terletak di awal kalimat, bersifat seperti interjeksi yang menyatakan
kekagetan, misalnya ―lho kata mereka syaratnya ini saja‖. Bila terletak
ditengah atau diakhir kalimat, maka lho menekankan kepastian, misalnya
―temen saya juga mau buat lho‖.
l. Nah selalu terletak di awal kaliamat dan bertugas untuk meminta supaya mitra
mengalihkan perhatian ke hal lain. Misalnya ―nah, bawalah kartu ini nanti
dipanggil‖.
2) Kesantunan pragmatik Imperatif dalam Tuturan Introgatif
Sebelumnya telah disampaikan bahwa makna imperatif pragmatik dapat
diwujudkan dengan tuturan deklaratif, hal yang sama juga dapat ditemukan paada
tuturan introgatif. Digunakannya tuturan introgatif untuk menyatakan makna
imperatif itu, dapat mengandung makna ketidaklangsungannya yang cukup besar
(Rahardi, 2005: 142)
m. Toh bertugas menguatkan maksud, adakalanya memiliki arti yang sama
dengan tetapi, misalnya ― saya toh tidak merasa bersalah‖.
n. Ya bertugas:
1) Mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan mitra tutur, bila
dipakai di awal ujaran, misalnya “ya tentu saja‖.
2) Mitra persetujuan atau pendapat mitra tutur. Bila dipakai di akhir ujaran,
misalnya ―saya isi data dulu ya pak ya?‖.
44
o. Yah digunakn pada awal kalimat atau ditengah-tengah ujaran, tetapi tidak
pernah di akhir ujaran, untuk mengungkapkan keragu-raguan atau ketidak
pastian terhadap apa yang diungkapkan oleh mitra tutur, misalnya ―yah apa
besok masih bisa Mbak?‖.
3) Frasa fatis
a. Frase dengan selamat digunakan untuk memulai dan mengakhiri interaksi
anatar penutur dan mitra tutur sesuai dengan keperluan dan situasinya,
misalnya selamat pagi, selamat siang, selamat jalan, selamat makan, dan
lain-lain.
b. Tuturan berduka cita digunakan sewaktu penutur menyamapikan bela
sungkawan.
c. Asalamualaikum digunakan ketika penutur memulai interaksi.
d. Walaikumsalam digunakan ketika penutur membalas mitra tutur yang
mengucap salam.
e. Insa Allah diucapkan oleh penutur ketika menerima tawaran mengenai
sesuatu dari mitra tutur (kridalaksana, 2005:111-117)
2.9 Pembelajaran Keterampilan Berbicara di Perguruan Tinggi
(Universitas Lampung)
Kemampuan yang harus dimiliki mahasiswa melalui pembelajaran bahasa
Indonesia empat aspek keterampilan berbahasa, yakni keterampilan menyimak,
keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Salah
satu keterampilan berbahasa yang diajarkan dan penting dikuasi mahasiswa adalah
keterampilan berbicara. Tujuan pembelajaran keterampilan berbicara adalah
45
melatih mahasiswaq menuturkan kata-kata secara lisan dengan santun, baik dan
benar, dan dapat menyampaikan pikiran secara efektif pada forum resmi dengan
penuh percaya diri.
Peneliti mengimpilikasikan hasil penelitian dengan pengajaran mata kuliah
Keterampilan berbicara sebagai tambahan materi ajar. Pada buku bahan ajar
penyelenggara Program sarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di
Universitas Lampung, berdasarkan kurikulum program studi Bahasa dan Sastra
Indonesia, mata Kuliah Keterampilan Berbicara merupakan mata kuliah wajib
dengan kode mata kuliah BHS 616109 dengan bobot 3 SKS. Penyajian mata
kuliah Keterampilan Berbicara mencakup 1)komponen- komponen keterampilan
berbicara, 2) berbicara sebagai suatu keterampilan berbahasa, 3) berbicara sebagai
suatu cara berkomunikasi, 4) pengertian dan tujuan berbicara, 5) metode-metode
penyampaian berbicara, 6) jenis-jenis kegiatan berbicara, 7) faktor-faktor
penunjang keefektifavan berbicara, 8) hambatan-hambatan dalam berbicara, 9)
dasar-dasar berpidato, 10) presentasi kegiatan berbicara (individu). Berdasarkan
Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) dalam kurikulum tersebut,
terdapat enambelas capaian pembelajaran, yaitu sebagai berikut
1. Menjelaskan komponen-komponen keteramilan berbahasa;
2. Menjelaskan berbicara sebagai suatu keterampilan berbahasa;
3. Menjelaskan berbicara sebagai suatu keterampilan berkomunikasi;
4. Menjelaskan pengertian dan tujuan berbicara;
5. Menjelaskan metode-metode penyampaian berbicara;
6. Menjelaskan jenis-jenis kegiatan berbicara;
7. Menjelaskan faktor- faktor penun jang keefektivan berbicara;
46
8. Menjelaskan hambatan-hambatan dalam berbicara;
9. Menjelaskan dasar-dasar keterampilan berpidato; dan
10. Mempresentasikan kegiatan berbicara.
Untuk ketetapan implikasi sesuai penelitian, peneliti mengimplikasikan hasil
penelitian ke dalam Kopetensi dasar yang ke sepuluh, yaitu kegiatan diskusi
dalam mata kuliah berbicara. Hasil temuan ini dapat dimanfaatkan menjadi
tambahan materi pemeblajaran dalam pola kesantunan bertutur mahasiswa dalam
pembeljaran mata kuliah keterampilan berbicara.
Tujuan dalam perkuliahan ini agar, (1) mahasiswa dapat mendeskripsikan
kegiatan diskusi, (2) mahasiswa dapat menjelaskan kegiatan diskusi, (3)
mahasiswa dapat memahami kegiatan diskusi. Untuk lebih jelas dan rincinya,
peneliti akan mencantumkan RPS mata kuliah berbicara pada lampiran (RPS
keterampilan berbicara).
47
2.10 Rencana Pembelejaran Semester (RPS) Berbicara
KEGIATAN PEMBELAJARAN
NO. Minggu
ke-
Kemampuan
Akhir yang
diharapkan
Bahan Kajian Bentuk
Pembelajaran
waktu Pengalman
Belajar
Mahasiswa
Kriteria
Penilaian
Bobot
Nilai
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1. 1 Mahasiswa
mengetahui:
1. Kontrak
perkuliaha
n, silabus,
ketentuan,
tata tertib,
referensi.
2. Pembagia
n
kelompok.
1. Cerama
h
2. Tanya
Jawab
150‘ 1. Menyi
mak
2. Tanya
Jawab
3. Membe
ntuk
Kelom
pok
….. …..
2. 2 1. Mahasisw
a dapat
mendeskri
psikan/me
njelaskan
dan
memaham
i konsep
1. Definisi
Berbicar
a
1. Cerama
h
(presen
tasi
hasil
diskusi
kelomp
ok)
150‘ 1. menjela
skan/
mempr
esentasi
kan
2. menyi
mak
1. Pengua
saan
materi
2. Cara
menjela
skan
20
20
48
berbicara
2. Mahasisw
a dapat
mendeskri
psikan/
menjelask
an dan
memaham
i
komponen
-
komponen
berbicara
2. Kompon
en-
kompone
n
berbicara
2. Tanya
jawab
3. penuga
san
3. Tanya
jawab
4. Menan
ggapi/
menyan
ggah/
mengkr
ititisi
3. Cara
menjaw
ab
4. Keaktif
fan
5. PPT/
media
20
10
10
3. 3 1. Mahasisw
a dapat
mendeskri
psikan/
menjelask
an dan
memaham
i
hubungan
berbicara
dengan
keterampil
an
berbahasa
yang lain.
1. Hubunga
n
berbicara
dengan
keteramp
ilan
berbicara
yang
lain.
2. Berbicar
a sebagai
cara
berkomu
nikasi
1. Cerama
h
(presen
tasi
hasil
diskusi
kelomp
ok)
2. Tanya
jawab
3. Penuga
san
150‘ 1. Menjel
askan /
mempr
esentasi
kan
2. Menyi
mak
3. Tanya
jawab
4. Menan
ggapi/
menyan
ggah/
mengkr
itisi
1. Pengua
saan
materi
2. Cara
menjela
skan
3. Cara
menjaw
ab
4. Keaktif
an
5. PPT/
media
20
20
20
10
10
49
2. Mahasisw
a dapat
mendeskri
psikan/
menjelask
an dan
memhami
berbicara
sebagai
cara
berkomuni
kasi
4. 4 Mahasiswa dapat
mendeskripsikan/
mejelaskan, dan
memahami
tujuan-tujuan
berbicara
3. Mahasisw
a dapat
mendeskri
psikan,
dan
memaham
i metode-
metode
berbicara
1. Tujuan-
tujuan
berbicara
2. Metode-
metode
berbicara
1. Cerama
h
2. Tanyab
3. Penuga
san
150‘
1. Menjel
askan/
mepres
entasik
an
2. Menyi
mak
3. Tanya
jawab
4. Menan
ggapi/
menyi
mak/
mengkr
itisi
1. Pengua
saan
materi
2. Cara
menjela
skan
3. Cara
menjaw
ab
4. Keaktif
an
5. PPT/m
edia
20
20
20
10
10
50
5. 5 mahasiswa dapat
menjawab soal
kuis!
Materi
pertemuan 1—4
penugasan Menjawab/me
ngerjakan soal
Kejelasan
jawaban,
penggunaan
kalimat,
penggunaan
100
6. 6 Mahasiswa dapat
mendeskripsikan/
menjelaskan dan
member contoh
jenis-jenis
berbicara
Jenis-jenis
berbicara dan
contoh-
contohnya
1. Cerama
h
2. Tanya
jawab
3. penuga
san
150‘ 1. menjela
skan/
mempr
esentasi
kan
2. menyi
mak
3. Tanya
jawab
4. Menan
ggapi/
menyan
ggah/
mengkr
itisi
1. Penuga
san
materi
2. Cara
menjela
skan
3. Cara
menjaw
ab
4. Keaktif
an
5. PPT/
media
20
20
20
10
10
7. 7 Mahasiswa dapat
mendeskripsikan
dan memebri
contoh faktor-
faktor penunjang
keaktivan
berbicara
Faktor-faktor
penunjang
keefektifan
berbicara dan
contohnya
1. Cerama
h
2. Tanya
jawab
3. penuga
san
150‘ 1. menjela
skan /
mempr
esentasi
kan
2. menyi
mak
3. Tanya
1. Penuga
san
materi
2. Cara
menjela
skan
3. Cara
menjaw
20
20
20
51
jawab
4. Menan
ggapi/
menyan
ggah/m
engkriti
si
ab
4. Keaktif
an
5. PPT/m
edia
10
10
8. 8 Mahasiswa dapat
menjawab soal
Materi
pertemuan ke
5—7
Penugasan 150‘ Menjawab/
mengerjakan
soal
Kejelasan dan
ketepatan
jawaban,
penggunaan
kalimat, dan
penggunaan
ejaan.
100
9. 9 Mahasiswa dapat
mendeskripsikan/
menjelaskan dan
memahami
hambatan-
hambatan dalam
berbicara
Hambatan-
hambatan dalam
berbicara
1. Cerama
h
2. Tanya
jawab
3. penuga
san
150‘ 1. Menjel
askan/
mempr
esentasi
kan
2. Menyi
mak
3. Tanya
jawab
4. Menan
ggapi/
menyan
ggah/
mengkr
1. Penuga
saan
materi
2. Cara
menya
mpaika
n
3. Cara
menjaw
ab
pertany
aan
4. Penggu
naan
20
20
20
10
52
itisi/
menjela
skan
kalimat
5. PPT/
media
10
10 10 Mahasiswa dapat
mendeskripsikan/
menjelaskan/
memahami
kegiatan diskusi
Kegiatan diskusi 1. Cerama
h
2. Tanya
jawab
3. penuga
san
150‘ 1. menjela
skan/
mepres
entasik
an
2. menyi
mak
3. Tanya
jawab
4. Menan
ggapi/
menyan
ggah/
mengkr
itisi/
menjela
skan
1. Pengua
saan
materi
2. Cara
menya
mpaika
n
3. Cara
menjaw
ab
pertany
aan
4. Penggu
naan
kalimat
5. PPT/
media
20
20
20
10
10
11. 11-13 1. Mahasisw
a dapat
mendeskri
psikan/
menjelask
an/memah
ami
definisi
1. Definisi
pidato
2. Tata
1. Cerama
h
2. Tanya
jawab
3. penuga
san
150‘ 1. menjela
skan /
mempr
esentasi
kan.
2. Menyi
mak
3. Tanya
1. Pengua
saan
materi
2. Cara
menjela
skan
3. Cara
menjaw
20
20
20
53
pidato
2. Mahasisw
a dapat
mendeskri
psikan/
menjelask
an/
memaham
i tata
karma
pidato
3. Mahasisw
a dapat
mendeskri
psikan/
menjelask
an/
memhami
sistematik
a pidato
4. Mahasisw
a dapat
mendeskri
psikan/
menjelask
an
langkah-
langkah
karma
pidato
3. Sistemati
ka pidato
4. Langkah
-langkah
pidato
5. Metode-
metode
pidato
jawab
4. Mengg
api/
menyan
ggah/
mengkr
itisi/
menjela
skan
ab
4. Keaktif
an
5. PPT/
media
10
10
54
pidato
5. Mahasisw
a dapat
mendeskri
psikan/
menjelask
an/
memaham
i metode-
metode
pidato
6. Mahasisw
a dapat
mendeskri
psikan/
menjelask
an/
memaham
i jenis-
jenis
pidato
7. Mahasisw
a dapat
mendeskri
psikan/
menjelask
an/
memaham
6. Jenis-
jenis
pidato
Tujuan-tujuan
pidato
55
i tujuan-
tujuan
pidato
memprakti
kan
kegiatan
pidato
13. 16 Reviu materi Materi
pertemuan 1-15
1. Cerama
h
2. Tanya
jawab
150‘ 1. Menyi
mak
2. Menan
ya
------------------
-
14. 17 UAS Materi
pertemuan 1-13
Penugasan 150‘ Mengerjakan/
menjawab
pertanyaan.
Ketepatan
jawaban,
penggunaan
kalimat, dan
penggunaan
ejaan.
100
56
DAFTAR REFERENSI
Abdullah, Aceng. 2001. Press Relation Kiat Berhubungan dengan Media Massa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Arsyad, Maidar G. Dan Mukti U.S. 1991. Pembinaan Kemampuan Berbicara. Jakarta: Erlangga.
J.Ch. Suryanto. 1988. Keterampilan Berbahasa Membaca-menulis-Berbicara. Jakarta: Depdikbud Kependidikan Tinggi.
Karomani. 2015. Dasar-Dasar Keterampilan Berbicara Menuju Komunikasi yang Efektif. Bandar Lampung: Aura
Keraf, Gorys. 1978. Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah.
Muda, Deddy Iskandar. 2003. Jurnalistik Televisi Menjadi Reporter Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Paerera, D. 1988. Belajar Mengemukakakan Pendapat. Jakarta: Erlangga.
Romli, Asep Syamsul M. Jurnalistik Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tarigan, Henry Guntur. 1983. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
57
2.11 Kotrak Pembelajaran Berbicara
KONTRAK PEMBELAJARAN
Nama Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI )
Nama Mata Kuliah : Dasar-Dasar Berbicara
Kode Mata Kuliah : BHS 616109
SKS : 3
Hari/waktu : Senin/13.00 - 15.30
Kamis/ 13.00 – 15.30
DosenPengampu : Dr.IingSunarti, M.Pd.
TempatPertemuan : C2/F1
1. Manfaat Mata Kuliah
Mata kuliah Dasar-Dasar Berbicara merupakan matakuliah wajib yang
perlu dipelajari oleh mahasiswa PBSI sebagai calon guru dan peneliti
dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia agar mahasiswa mengetahui,
memahami, dan dapat mempraktikan halihwalruang lingkup yang
dipelajari dalam matakuliah ini sehingga mahasiswa dapat menerapkannya
dalam pembelajaran, penelitian, dan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Deskripsi Mata Kuliah
Mata kuliah Dasar-Dasar Berbicara merupakan matakuliah wajib diikuti
oleh mahasiswa PBSI semester 2 bebobot 3 SKS. Mata
kuliahinimembahas (1) Keterampilan Berbahasa (Komponen-
Komponennya), (2) Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (3)
Berbicara Sebagai Suatu Cara Berkomunikasi, (4) Pengertian dan tujuan-
tujuan Berbicara, (5) Metode-Metode Berbicara, (6) Jenis-jenis berbicara,
(7) Faktor-Faktor Penunjang Keefektivan Berbicara, dan (8) Praktik
Berbicara.
3. CapaianPembelajaran
Setelah mengikuti perkuliahan ini ,diharapkan mahasiswa mampu
1. Menjelaskan komponen-komponen keterampilan berbahasa;
58
2. Menjelaskan berbicara sebagai suatu keterampilan berbahsa;
3. Menjelaskan berbicara sebagai suatu cara berkomunikasi;
4. Menjelaskan pengertian dan tujuan berbicara;
5. Menjelaskan metode-metode penyampaian berbicara;
6. Menjelaskan jenis-jenis kegiatan berbicara;
7. Menjelaskan factor-faktor penunjang keefektivan berbicara;
8. Menjelaskan hambatan-hambatan dalam berbicara;
9. Menjelaskan dasar-dasar keterampilan berpidato;
10. Mempersentasikan kegiatan berbicara (berpidato ).
4. Indikator Capaian Pembelajaran
Untuk mengetahui capaian pembelajaran berhasil atau tidak berhasil,
dosen menyampaikan soal dan tugas dalam bentuk kuis, UTS,
praktik/presentasi dan UAS.
5. Strategi Pembelajaran
(1) Perkuliahan dilaksanakan dengan bentuk ceramah, diskusi, presentasi,
Tanya-jawab, dan reviu materi yang dibahas.
(2) Secara berkelompok mahasiswa membahas materi yang ditentukan
untuk dipresentasikan di dalam kelas dan menjawab pertanyaan dan
sanggahan dari peserta diskusi.
(3) Secara individu mahasiswa menyajikan/ mempresentasikan metode
dan jenis kegiatan berbicara.
(4) Setiap mahasiswa diminta aktif mengikuti perkuliahan dengan
mengajukan pertanyaan, mengkritisi, atau menanggapi penyajian,
presentasi kelompok. Bentuk pertanyaan, tanggapan, dan sanggahan
dinilai sebagai poin keaktifan mahasiswa.
(5) Penilaian pelaksanaan melaluikuis, UTS, tugas presentasi individu dan
kelompok, UAS, kehadiran, keaktifan, dansikap.
6. Tugas :
1. Mandiri
Menyiapkan sebuah naskah /materi, menentukan/memilih jenis,
metode kegiatan berbicara (berpidato), dan mempresentasikan di depan
kelas dalam waktu maksimal 5 menit.
2. Kelompok
Membahas topik yang ditugaskan, melaksanakn diskusi kelompok,
membuat rangkuman hasil diskusi dalam bentuk makalah, membuat
PPT, dan mempresentasikan hasil diskusi kelompok di depan kelas
dalam waktu 20 menit.
59
7. Materi dan Sumber Belajar
(A) Materi
1. Komponen –komponen keterampilan berbahasa.
2. Berbicara sebagai suaatu keterampilan berbahasa.
3. Berbicara sebagai suatu cara berkomunikasi.
4. Pengertian dan tujuan berbicara.
5. Metode – metode penyampaian berbicara.
6. Jenis-jenis kegiatan berbicara.
7. Faktor-faktor penunjang keefektivan berbicara.
8. Hambatan-hambatan dalam berbicara;
9. Dasar-dasar keterampilan berpidato;
10. Presentasi kegiatan berbicara (individu).
(B) SumberBelajar
1. Abdullah, Aceng, 2001. Press Relation Kiat Berhubungan dengan
Media Massa,
Bandung; PT Remaja Rosdakarya.
2. Arsyad, Maidar G. danMukti U.S.1991. Pembinaan Kemampuan
Berbicara.
Jakarta :Erlangga.
3. J.Ch. Suyanto. 1988. Keterampilan Berbahasa Membaca-Menulis-
Berbicara.
Jakarta :Depdikbud Kependidikan Tinggi.
4. Karomani. 2015 .Dasar-Dasar Ketermapilan Berbicara Menuju
Komunikasi yang
Efektif. Bandar Lampung: Aura
5. Keraf, Gorys. 1978. Komposisi.Ende-Flores : Nusa Indah.
6. Tarigan, henry Guntur. 1983. Berbicara sebagai suatu
keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
7. Muda, Deddy Iskandar. 2003. Jurnalistik Televisi Menjadi
Reporter Profesional.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
8. Parera, D. 1988. Belajar Mengemukakan Pendapat .Jakarta
:Erlangga.
9. Romli, AsepSyamsul M. Jurnalistik Praktis. Bandung: PT
RemajaRosdakarya
10. Tarigan, Henry Guntur. 1983. Berbi cara sebagai suatu
Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
60
8. KriteriaPenilaian
Nilai Rentang
A ≤ 76
B+ 71 – 75
B 66 – 70
C+ 61 – 65
C 56 – 60
D 51 – 55
E ≤ 50
Nilai akhir menggunakan pembobotan sebagai berikut .
1. Tugas mandiri : 15%
2. Tugas kelompok : 15 %
3. Kuis I : 15 %
4. UTS : 20 %
5. UAS : 20 %
6. Keaktifan : 5 %
7. Kehadiran : 5 %
8. Sikap/etika : 5 %
Jumlah - 100 %
9. Jadwal Perkuliahan
No Hari/ Tanggal PertemuanKe Materi
1. Kamis, Jum‘at
8, 9 Maret 2018
1 1. Kontrak, silabus
perkuliahan
2. Senin, Kamis
12, 15
2 1. Komponen
Berbicara
2. Keterampilan
Berbahasa
3. Berbicara Sebagai
Cara
Berkomunikasi
3. Senin, Kamis
19, 22
3 1. Hakikat /Definisi
Berbicara.
2. Tujuan-Tujuan
Berbicara.
3. Contoh-Contoh
Tujuan Berbicara.
4. Senin, Kamis
26, 29
4 1. Metode-Metode
Berbicara.
2. Contoh- Contoh
Metode Berbicara.
5. Senin, Kamis 5 Kuis I
61
2 April, 5
6. Senin, Kamis
9, 12
6 1. Jenis-Jenis
Berbicara.
2. Contoh-Contoh
Jenis Berbicara.
7. Senin, Kamis
16, 19
7 Faktor-Faktor Penunjang
Berbicara :
a. Faktor
Kebahasaan
b. Faktor Non
kebahasaan.
8. Senin, Kamis
23, 26
8 UTS
9. Senin, Kamis
30 April, 3 Mei
9 Diskusi
10. Senin, Kamis
7, 10
10 Praktik Diskusi
11. Senin, Kamis
14, 17
11 Pidato
12. Senin, Kamis
21, 24
12 Pidato
13. Senin, Kamis
28. 31
13 Praktik/Presentasi
berpidato
14. Senin, kamis
4, 7
14 Praktik/Presentasi
berpidato
15. Senin, Kamis
11, 14
15 Praktik/Presentasi
berpidato
16. Senin, kamis
18, 21
16 Reviu Pertemuan 1 - 15
17. Senin, Kamis
2 Juli, 5 Juli
17 UAS
10. Tata Tertib
1. Mahasiswa berpakaian rapi, sopan, tidak memakai rok/velana
berbahan jeans, bersepatu.
2. Bersikap sopan dan santun di dalam kelas maupun di luar kelas.
3. Hadir sebelum perkuliahan dimulai atau minimal tepatwaktu.
4. Toleransi waktu keterlambatan maksimal 15 menit.
5. Mahasiswa yang berhalangan hadir( sakit, keperluan
mendesak/darurat) harus member informasi via surat orang
tua/keterangandokter.
6. Mahasiswa harus mengumpulkan tugas sesuai dengan waktu yang
ditentukan.
Keterlambatan waktu pengumpulan tugas dikenai pengurangan
nilai per 1 hari.
62
7. Mahasiswa yang tidak ikut diskusi kelompok/presentasi nilainya
dikurangi 1.
8. Syarat mengikuti UAS minimal kehadiran 80 %.
Bandar lampung, 7 Maret 2018
Dosen PJ, Mahasiswa,
Dr. Iing Sunarti, M.Pd. Riko Ari Setiyawan Nano Romadoni
NIP 195811161987032001 NPM 1753041003 NPM 1713041046
63
UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2017/2018
Mata Kuliah : Dasar – DasarBerbicara
Kode Mata Kuliah : BHS 616109/ 3 Sks
Jurusan/Prodi : Pend. Bahasa&Seni/PBSI
Hari/Tanggal : Senin/2 Juli 2018
Dosen : Dr. Iing Sunarti, M.Pd.
Jawablahpertanyaan di bawahinidengantepatdanjelas !
1. Sebut dan jelaskan Tujuan – Tujuan Berpidato ! (20)
2. Apa yang Anda ketahui tentang Tata Krama, Sistematika, dan Persiapan
Berpidato ? (30)
3. Jelaskan gangguan-gangguan dalam berbicara ! (30)
4. Jelaskan Fator-Faktor Kebahasaan dan Nonkebahasaan dalam berbicara !
(20)
UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2017/2018
Mata Kuliah : Dasar – Dasar Berbicara
Kode Mata Kuliah : BHS 616109/ 3 Sks
Jurusan/Prodi : Pend. Bahasa&Seni/PBSI
Hari/Tanggal : Kamis/5Juli 2018
Dosen : Dr. Iing Sunarti, M.Pd.
Jawablahpertanyaan di bawahinidengantepatdanjelas !
1. Apa yang Anda ketahui tentangMetode-MetodeBerpidato ? ( 20 )
2. Apa yang Anda ketahui tentang Tata Krama, Sistematika, dan
Persiapan Berpidato ? ( 30 )
64
3. Jelaskan gangguan-gangguan dalam berbicara ! ( 30 )
4. JelaskanFaktor-Faktor yang menunjang keberhasilan dalam berbicara !
( 20 )
65
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ialah metode deskripsi
kualitatif. Metode kualitatif adalah suatu metode yang digunakan untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Pemilihan metode ini sesuai
dengan tujuan penelitian, yakni medeskripsikan kesantuan bertutur diskusi
Mahasiswa dengan demikian, untuk mencapai tujuan tersebut penulis
menggunakan metode penelitian deskripsi kualitatif (Moeleong, 2013: 6)
Metode deskripsi merupakan metode penelitian untuk membuat gambaran
mengenai situasi dan kejadian dengan laporan penelitian berupa kata-kata yang
berisi kutipan-kutipan data untuk member gambaran penyajian laporaan penelitian
diharapkan dapat mendeskripsikan tindak tutur dalam kesantunan bertutur
mahasiswa saat diskusi dan terhadap pembelajaran berbicara.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data mengguankan teknik catat dan teknik observasi. Teknik
observasi digunakan untuk mengumpulkan data berupa tindak tutur mahasiswa
dalam pembelajaran dalam berbicara di PBSI STKIP. Adapun untuk panduan
pedoman observasi digunakan catatan lapangan yang terdiri atas catatan deskriptif
dan catatan reflektif. Catatan deskripsi diguanakn untuk mengumpulkan data
66
secara objektif semua tuturan yang dilafalkan mahasiswa. Sedangkan catatan
reflektif digunakan untuk mengklasifikasikan data tuturan tindak tutur
berdasarkan data deskriptif.
3.3 Teknik Analisis Data
Teknik analsisi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analissis
heuristic. Analisis heuristic berusaha mengidentifikasikan daya pragmatic sebuah
tuturan dengan merumuskan hipotesis-hipotesis dan kemungkinan mengujinya
berdasarkan data-data yang tersedia . bila hipotesis tidak teruji, akan dibuat
hipotesis yang baru. Hipotesis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pragaapan atau dugaan sementara.
Gambar 1. Analisis Heuristik (Leech, 2011 : 62)
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini berupa mengidetifikasi jenis tuturan
diskusi mahasiswa dengan merumuskan hipotesis-hipotesis dan kemudian
1. Proble
m
2.
2. Hipotesis
3. Pemeriksaan
5. Pengujian Berhasil 4. Pengujian Gagal
6. Interpretasi Defaul
67
mengujinya berdasarkan data-data yang tersedia. Apabila proses analisis hipotesis
tidak teruji, maka dibuat hipotesis yang baru. Hipotesis yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah dugaan sementara. Seluruh proses ini terus menerus akan
berulang sampai akhirnya tercapai suatu pemecahan masalah, yaitu berupa
hipotesis yang teruji kebenarannya dan tidak bertentangan dengan bukti yang ada.
Gambar 2. Bagan Contoh Analisis Kesantunan Bertutur Mahasiswa STKIP
PGRI Bandar Lampung
Problem
―Apa Talita? Bisa diulangin?‖
Hipotesis
1. Penutur meminta kepada mitra tutur untuk mengulangi
2. Penutur malas mendengarkan
Pemeriksaaan
1. Penutur dan mitra tutur adalah sahabat dekat
2. Pertanyaan mitra tutur sangatlah panjang
3. Penutur ragu dengan yang di dengarnya
4. Suara mitra tutur memang pelan
Penguji hipotesis 1
Berhasil
Penguji Hipotesis 2
Gagal
Interpretasi Default
68
Dari analisis Heuristik di atas, hipotesis tersebut diuji dengan bukti-bukti yang
ada. Kemudian berdasarkan konteks yang ada disimpulkan bahwa secara
pengujian hipotesis 1 berhasil, yaitu penutur memebri tahu bahwa kepada mitra
tutur bahwa untuk mengulang. Sedangkan hipotesis 2 gagal karena penutur tidak
memiliki masksud malas mendengarkan. Kemudian dalam pemeriksaan
berdasarkan penggunaan prinsip sopan santun hipotesis 1 tersirat adanya
kerendahan hati dari penutur dengan mengecam diri sendiri yang menuturkan
―pertanyaanmu itu sangatlah bagus” semakin penututur mengecam dirinya maka
semaki sopanlah tuturan tersebut. Oleh sebab itu, tuturan tersebut merupakan
tuturan yang menatati maksim kesepakatan.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data adalah sebagai berikut.
4. Data dianalisis menggunakan metode heuristik, yaitu jenis tugas
pemecahan masalah yang dihadapi mitra tutur dalam menginterprestasi
sebuah tuturan atau ujaran. Bagan berikut akan memperjelas uraian
tersebut.
5. Selanjutnya, hasil analisis heuristik tersebut disandingkan dengan
indikator-indikator kesantunan bertutur 2,3,4 dan 5 untuk menentukan
penaatan maksi dan pelanggaran maksim kesantunan Leech dan
menentukan kesantunan linguistik dan pragmatik.
6. Mengelompokkan tuturan diskusi mahasiswa ke dalam maksim-maksim
kesantunan yaitu kesantunan kearifan, kedermawanaan, pujian,
kerendahan hati, simpati dan kesepakatanan.
7. Mengidentifikasi dan mengelompokkan tuturan diskusi mahasiswa yang
melanggar maksim kesantunan.
69
8. Mengidentifikasikan dan mengelompokkan tuturan diskusi mahasiswa
yang di dalamnya mengandung kesantunan linguistik dan pragmatik.
9. Mengidentifikasi apersepsi mitra tutur (mahasiswa) mengenai kesantunan
bertutur diskusi mahasisswa.
10. Penarikan simpulan sementara.
11. Mengecek kembali data yang diperoleh (verifikasi)
12. Penarikan simpulan akhir.
13. Mendeskripsikan penelitian kesantunan bertutur pada pembelajaran
berbicara di STKIP.
3.4 Pedoman Analisis Data Penelitian
Sebagai pedoman dalam menganalisis data penelitian, perlu disajikan indikator
atau parameter untuk menentukan penataan dan pelanggaran maksim, serta
kesantunan linguistik dan pragmatik.
Tabel 1
Indikator Analisis Prinsip Kesantunan Leech
NO Maksim Deskriptor
1 Kearifan Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin
dan buatlah keuntungan orang lain sebesar
mungkin.
Contoh :
Diyah : Pakai saja motorku, supaya kau
tidak telat.
Alpian : aduh merepotkan terimakasih yaa.
2 Kedermawanaan Buatlah kerugian diri sendiri sebesar
70
mungkin dan buatlah keuntungan orang lain
sebesar mungkin.
Contoh :
A : taruk saja piring kotornya disitu nanti
saya yang bersihkan.
B : oh, baiklah
3 Pujian Pujilah orang lain sebanyak mungkin dan
kencamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
Contoh :
Anak : Bu bagaimana penampilanku tadi?
Ibu : Waaah bagus sekalih, sampai
merinding ibu mendengar suara kamu.
4 Kerendahan Hati Pujilah diri sendiri sedikit mungkin dan
kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin
Contoh :
Adi : Wah Karikaturmu Bagus sekalih.
Budi : Ahh tidak ini masih sangat kurang,
masih banyak yang harus saya perbaiki lagi.
5 Kesepakatan Usahkan agar ketaksepakatan antara diri dan
orang lain terjadi sedikit mungkin dan
usahkan kesepakatan antara diri dengan
orang lain terjadi sebanyak mungkin.
Contoh :
Nuno : Besok kita jalan yuk Ta ke puncak!
Tita : Wah mau banget, boleh boleh boleh.
6 Simpati Kurangilah rasa antisipasi antara diri dan
orang lain hingga sekecil mungkin dan
tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya
antar diri dan orang lain.
71
Contoh :
Buya : Ber, Adek aku kumat lagi sakitnya.
Berta : Waduh, semoga cepet di angkat ya
penyakitnya.
Sumber. Leech (1993: 206)
Selain menggunakan prinsip kesantunan Leech tuturan diskuisi mahasiswa juga di
analisis kesantunan berdasarkan Rahardi dan di analisis berdasarkan penanda
kesantunan yang menggunakan tuturan secara langsung dan tidak langsung kedua
hal pokok tersebut mencakup wujud-wujud kesantunan berkaitan dengan
pemakaian tuturan Imperatif dalam Bahasa Indonesia (Rahardi, 2005: 118)
Tabel 2
Indikator Analisis dengan Penanda Kesantunan
(Rahardi, 2005: 125)
NO Maksim Deskriptor
1 Tolong Penggunaan kata ‗tolong‘ pada tuturan dapat
memperhalus maksud tuturan imperatifnya.
Namun, penanda tersebut tidak semata-mata
dianggap perintah melainkan dapat dianggap
permintaan
2 Mohon Penggunaan kata ‗mohon‘ digunakan meminta
dengan hormat, berharap supaya mendapat
sesuatu
3 Silahkan Penggunaan kata ‗silahkan‘ digunakan untuk
memperhalus tuturan yang digunakan pada saat
menyuruh, mengajak dan mengundang supaya
72
dapat memperhalus suatu tuturan tersebut dan
mitra tutur merasa dihormati.
4 Mari Penggunaan kata „mari‟ digunakan untuk
mengajak dan mendorong mitra tutur melakukan
sesuatu.
5 Biar Pengguna kata ‗biar‘ digunakan untuk
menjadikan mitra tutur sebagai seseorang yang
tidak melakukan sesuatu yang diberikan oleh
penutur itu senidiri
6 Ayo Penggunaan kata ‗ayo‘ditunjukan untuk
mengajak mitra tutur melakukan sesuatu
7 Coba Penggunaan kata „coba‟ digunakan untuk
menghaluskan suruhan atau ajakan fungsi dari
penanda ‗coba‘ adalah agar mitra tutur merasa
sejajar dengan penutur meskipun kenyataanya
tidak.
8 Harap Penggunaan kata ‗harap‘ yang diteteapkan pada
bagian awal tuturan imperatif akan dapat
memperhalus tuturan. Disamping bermakna
harapan, tuturan imperatif yang diawali penanda
kesantunan harap juga memiliki makna
himbauan.
9 Hendaklah Penanda kesantunan ‗Hendaklah‘ dan
‗hendaknya‘ yang semulanya merupakan
73
imperatif suruhan dapat berubah menjadi
imperatif yang bermakna imbauan atau saran.
10 Sudi kiranya/
Sudilah
Penanda kesantunan tersebut sebuah tuturan
imperatif yang bermakna perintah itu dapat
menjadi lebih halus konotasi maknanya. Selain
itu, tuturan imperatif tersebut juga dapat berubah
makna menjadi permintaan dan permohonan
sangat halus.
(Sumber: Rahardi, 2005: 125)
Selain menggunakan kesantunan linguistik dengan penanda kesantunan yang
terdapat di dalamnya, penulis juga menggunakn kesantunan secara tidak
langsung. Berikut ini pedoman analisis dari kesantunan pragmatik.
Tabel 3
Indikator analisis kesantunan dalam tindak tutur tidak langsung
(kesantunan pragmatik)
(Rahardi, 2005: 125)
NO Indikator Deskriptor
Deklaratif Introgatif
1 Suruhan - Merupakan tuturan yang menaati
kesantunan pragmatik yang memiliki
maksud menyuruh atau perintah
supaya melakukan sesuatu dengan
menggunakan tuturan deklaratif ,
tuturan ini terdengan lebih santun
74
daripada tuturan yang tidak memiliki
basa basi.
2 Ajakan - Merupakan tuturan berupa
penjelasan yang memiliki maksud
mengajak atau mengikuti apa yang
dibicarakan. Tuturan deklaratif yang
sebagai ekspresi pragmatik ajakan
akan terdengar lebih santun dari pada
tuturan yang langsung berupa ajakan.
3 Persilaaan - Merupakan tuturan yang menaati
kesantunan pragmatik dengan
maksud menyuruh, mengajak,
mengundang dengan hormat,
menggunakan tuturan deklaratif.
Tuturan ini akan terdengar lebih
santun dari pada tidak basa basi.
4 Larangan - Merupakan tuturan yang menaati
kesantunan pragmatik yang memiliki
maksud melarang seseorang dengan
tuturan deklaratif . tuturan ini akan
terdengar lebih santun dari pada
tuturan yang tidak menggunakan
basa basi.
5 - Perintah Menyatakan espresi kesantunan
75
dengan menaati kesantunan
pragmatik yang meiliki maksud
perintah dengan tuturan introgartif.
Tuturan ini dirasa secara langsung
karena perintah yang tuturan
menggunakan kalimat introgatif
6 - Ajakan Tuturan ini bermaksud mengajak
seseorang untuk melakukan sesuatu
dengan menggunakan kalimat
introgatif tuturan lebih santun
digunakan dibandingkan dengan
mengajak tanpa adanya basa basi
terlebih dahulu. Yang akan
mengancam wajah mitra tutur.
7 (5) Permohonan Tuturan ini bermaksud memohon
sesuatu kepada seseorang dengan
menggunakan kalimat introgatif.
Tuturan ini lebih santun dilakukan
dari pada memohon secara langsung
tanpa menggunaakn tuturan basa
basi.
8 - Perlisanaaan Menyatakan tuturan permohonan
dengan menggunakan kalimat
introgatif biasanya banyak terjadi
76
lingkungan formal yang banyak
memeprlukan basa basi untuk
mempersilahkan seseorang terhadap
suatu tindakan. Tindakan ini dirasa
lebih santun karena menggunakan
kalimat yang dapat menunjang
keramah tamahan.
9 - Larangan Tuturan larangan dengan kalimat
introgatif biasanya ini terjadi agar
seseorang tidak terlalu tersinggung
dengan larangan yang dituturkan.
Hal ini dirasa lebih santun
dibandingkan dengan melarang
seseorang secara langsung.
138
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian kesantunan bertutur mahasiswa diskusi di Universitas
terdapat 66 data tuturan kesantunan yang menataati dan melanggar maksim-
maksim kesantunan serta kesantunan linguistik dan kesantunan pragmatik.
Berikut simpulan yang diproleh dalm penelitian ini.
1. Penataan maksim kesantunan yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu
maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim
kerendahan hati, maksim simpati, maksim simpati, dan maksim simpati.
Penaataan maksim yang paling banyak ditemukan adalah maksim simpati,
yaitu sebanyak empat puluh data tuturan dari keseluruhan data maksim
enam puluh enam data. Pelanggaran maksim kesantunan tidak banyak
dijumpai dalam diskusi mahasiswa di STKIP. Bentuk pelanaggaran
maksim kesantunan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah bentuk
maksim kesepakatan.
2. Kesantunan tuturan langsung (kesantunan linguistik) dengan penanda
kesantunan yang terdapat dalam tuturan mahasiswa, yaitu tolong, mohon,
silakan, mari, ayo, coba, harap, dan maaf. Penanda kesantunan yang
cenderung mahasiswa gunakan ketika diskusi ialah penanda kesantunan
silakan.
139
3. Kesantunan tuturan tidak langsung (kesantunan pragmatik) yang
ditemukan dalam penelitian ini dengan dua bentuk tuturan, yaitu tuturan
introgatif dan tuturan deklaratif sebagai ekpresi kesantunan pragmatik
suruhan, ajakan, permohonan, perintah, dan persilaan. Pada penelitian ini
tuturan mahasiswa lebih dominan menggunakan tuturan deklaratif sebagai
ekpresi kesantunan pragmatik suruhan.
4. Hasil penelitian diimplikasikan pada mata kuliah keterampilan berbicara
program studi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai tambahan
bahan pembelajaran. Pada buku panduan penyelenggaraan Program
Sarjana Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
Tahun 2015 mata kuliah keterampilan berbicara merupakan mata kuliah
wajib dengan kode mata kuliah BHS 616109 dengan bobot 3 SKS. Oleh
karena itu, sebelum mahasiswa ditugaskan untuk berdiskusi, dosen
sebaiknya menyampaikan hal-hal berkaitan dengan kesantunan bertutur
terlebih dahulu.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dan pembahasan kesantunan
bertutur pada mahasiswa dapat disarankan sebagai berikut.
1. Bagi pengajar atau dosen mata kuliah keterampilan berbicara di perguruan
tinggi hendaknya menggunakan cara kesantunan bertutur yang bervariasi
atau dapat melatih cara kesantunan bertutur mahasiswa. Khususnya pada
metode diskusi sesuai dengan hasil temuan dalam penelitian ini.
140
2. Bagi mahasiswa sebaiknya agar menggunakan cara kesantunan bertutur
sesuai dengan situasi tuturan yang sedang terjadi terutama dalam
berdiskusi, kapan menjadi penutur dan kapan menjadi mitra tutur yang
komunikatif, dengan memperhatikan prinsip kerja sama dan prinsip
kesantunan.
3. Bagi peneliti selanjutnya, hendaknya dapat mengembangkan kajian
kesantunan bertutur sebagai hasil penelitian yang bermanfaat bagi
pembelajaran yang sesuai dengan aturan pembelajaran yang berlaku
dengan mengimplikasikannya dalam desain model yang teruji, atau dengan
menerapkan model penelitian Research and Development (R&D) sehingga
temuan selanjutnya lebih bervariasi dan dapat digunakan dalam subjek
yang luas.
141
DAFTAR PUSTAKA
Adia, H.R. 2009. Tata Cara Diskusi. Bogor: Quandra.
Adia, H.R. 2010. Pentingnya Kemahiran Berbicara. Bogor: Quandra.
Cahyaningrum. Fitri. 2018. Kesantunan Berbahasa Siswa Dalam Konteks
Negosiasi Di Sekolah Mengenah Atas. Pena Indonesia. Volume 4, Nomor 1,
Universitas Sebelas Maret. Diunduh tanggal 20 Oktober 2018.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
__________. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Dirman dan Juarsih, Cicih. (2014)Teori Belajar dan Prinsip-prinsip Pembelajar
yang Mendidik. Jakarta: Rineka Cipta.
Ekawati. Mursia. 2017. Kesantunan Semu pada Tindak Tutur Ekpresif Marah
dalam Bahasa Indonesia. Jurnal Bahasa dan sastra. Volume 1, Nomor 1. Halaman
1-22, FKIP Universitas Tidar. Diunduh tanggal 20 Oktober 2018.
Gunawan. Fahmi. 2014. Representasi Kesantunan Brown dan Levinson dalam
Wacana Akademik. Kandai. Volume 10, Nomor 1. Halaman 16-17. STAIN Sultan
Qaimuddin Kendari. Diunduh 20 Oktober 2018.
Gunawan. Fahmi. 2013. Wujud Kesatunan Berbahasa Mahasiwa Terhadap Dosen
di STAIN Kendari. Journal Arbitrer. Volume 1, Nomor 1. STAIN Sultan
Qaimuddin Kendari. Diunduh 20 Oktober 2018.
Hamdayama, Jumanta. (2014) Model dan Metode Pembelajaran Kreatif dan
Berkarakter. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hendrajati. Enie. 2017. Strategi Pragmatik Bahasa Humor dalam Acara “Mario
Teguh Golden Ways” di Metro TV. Sosial Humaniora. Volume 10,UPM Soshum,
Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya. Diunduh 20 Oktober 2018.
Hendrikus, Dori Wuwur. 1991. Retorika Terampil Berpidato. Berdiskusi,
Berargumentasi, Bernegosisasi. Yogyakarta: Kanisius (Anggota Ikapi).
https://kesantunanberbahasa.wordpress.com/bab-i-pendahuluan (Diakses pada 6
Juni 2018: 20.22 WIB)
142
Http://Muslich-M.Blogspot.Co.Id/2007/04/Kesantunan-Berbahasa-Sebuah-
Kajian.Html (Diakses pada 6 Juni 2018: 22.15 WIB)
http:// www.astalog. com/2014/03/ tujuan-diskusi.htm [20 November 2015]
(Diakses 7 April 2018: 18.20 WIB)
https:// zainurrahmans.wordpress.com/2011/02/27/teori-kesantunan-berbahasa/
(Diakses pada 20 Januari 2018: 23.30 WIB)
http:// curcol berilmu.blogspot. co. id/ 2012/ 04/ esensi- diskusi. html [20
November 2015] (Diakses pada 20 Januari 2018: 22.14 WIB)
https://id.wikipedia.org/wiki/metode_diskusi) (Diakses 20 Januari 2018: 18.20
WIB)
https:// publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/4367/13.%20 Agus
%20Wijayanto. p df?sequence=1 (Diakses pada 20 Januari 2018: 23.12 WIB)
Kuntarto, Ninik M.(2010) Cermat dalam Berbahasa, Teliti dalam Berpikir.
Jakarta: Mitra Wacana Media.
Leech, Geoffrey, 2011. Prinsip-Prinsip Pragmatik (diterjemahkan oleh M.D.D
Oka dan Setyadi Setyapranata). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Nandar, f.x. 2013. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta:Graha Ilmu.
Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Roestiyah NK. (2012) Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Rusminto, Nurlaksana Eko. 2015. Analisis Wacana Sebuah Kajian Teroritis dan
Praktis. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suwarna, Dadan. 2012. Cerdas Berbahasa Indonesia. Tanggerang: Jelajah Nusa.
Tarigan, Henry Guntur. 2011. Pengajaran Analisis Keslahan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
_____________________.2008. Berbicara. Bandung: Angkasa.
_____________________.2015 Pengajaran Prakmatik. Bandung: Angkasa.
_____________________.2009. Pengajaran Kompetensi Bahasa. Bandung:
Angkasa.
Wahyuni, Sri dan Ibrahim, Syukur. (2012) Asesmen Pembelajaran Bahasa.
Bandung: Reefika Aditama.
143
Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad. 2011. Analisis Wacana
Pragmatik Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yama Pustaka.
Wulandari, Anugerah.2009. Etika Diskusi. Dalam Wordpress. Com/ 2009/ 04/27
/Etika-Diskusi/