kesenjangan human capital antar wilayah: agenda yang ... · pusat kajian anggaran badan keahlian...

12
1 Kesenjangan Human Capital Antar Wilayah: Agenda yang Belum Selesai p. 02 Pembangunan Berdimensi Wilayah Melalui APBN p. 06 Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id Edisi 5, Vol. I. Maret 2016

Upload: phungxuyen

Post on 09-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Kesenjangan Human Capital Antar Wilayah: Agenda yang Belum Selesai

p. 02

Pembangunan Berdimensi

Wilayah Melalui APBN

p. 06

Buletin APBNPusat Kajian Anggaran

Badan Keahlian DPR RIwww.puskajianggaran.dpr.go.id

Edisi 5, Vol. I. Maret 2016

2

Update APBN

Neraca perdagangan Indonesia Februari 2016 mengalami surplus senilai 1,14 miliar USD. Dibandingkan dengan bulan sebelumnya surplus tersebut mengalami kenaikan sebesar 1,09 miliar USD dari 0,05 miliar USD. Surplus di bulan Februari tersebut dipicu oleh surplus sektor non migas 1,14 miliar USD, berbeda dengan bulan Januari 2016, surplus pada bulan lalu dipicu oleh surplus sektor non migas sebesar 0,16 miliar USD. Sementara neraca perdaganan sektor migas defisit 0,11 miliar USD.Dari sisi volume perdagangan, Februari 2016 neraca volume perdagangan Indonesia mengalami surplus 25,51 juta ton. Hal tersebut didorong oleh surplusnya neraca volume perdagangan migas 0,06 juta ton dan sektor non migas 25,45 juta ton. Sementara itu di bulan Januari 2016, volume perdagangan neraca volume perdagangan Indonesia mengalami surplus 27,40 juta ton pada Januari 2016. Hal tersebut didorong oleh surplusnya neraca sektor migas 0,02 juta ton dan sektor migas 27,38 juta ton.

Dewan RedaksiPenanggung Jawab

Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.Pemimpin Redaksi

Slamet Widodo, S.E., M.E.Redaktur

Robby Alexander Sirait, S.E., M.E. Dahiri, S.Si., M.Sc

Adhi Prasetyo S. W., S.M.Dwi Resti Pratiwi, S.T., MPM.

EditorMarihot Nasution, S.E., M.Si.

Ade Nurul Aida, S.E.Daftar Isi

Update APBN....................................................................................................................p.01 Kesenjangan Human Capital Antar Wilayah: Agenda yang Belum Selesai .......................p.02 Pembangunan Berdimensi Wilayah Melalui APBN...........................................................p.06

Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.puskajianggaran.dpr.go.id

Sumber : BPS, data diolah.

1

Kesenjangan Human Capital Antar Wilayah: Agenda yang Belum Selesai

oleh Robby Alexander Sirait*)

Bertumbuh-kembangnya perekonomian suatu negara ke

arah yang lebih baik sangat bergantung pada kesiapan dan kualitas modal manusia (human capital) yang dimiliki negara tersebut. Semakin siap dan berkualitasnya manusia sebuah negara, maka dapat dipastikan negara tersebut mampu berkembang dan bertumbuh jauh lebih baik dibandingkan dengan negara lainnya. Ramirez et.al (1998) menyebutkan bahwa ada hubungan timbal balik (two-way relationship) antara modal manusia dan pertumbuhan ekonomi. Tidak jauh berbeda dengan temuan Ramirez et.al, penelitian Baldacci et.al (2004) dengan menggunakan data panel 120 negara berkembang dalam kurun waktu tahun 1975-2000, menemukan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara modal manusia dengan pertumbuhan output suatu negara. Penelitian Baldacci et.al (2004) menyebutkan bahwa modal pendidikan (education capital) dan modal kesehatan (health capital) memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan output, tetapi melalui rute yang sedikit berbeda. Sejalan dengan temuan Ramirez et.al (1998) dan Baldacci et.al (2004), perbedaan capaian pertumbuhan dan pembangunan ekonomi antar wilayah di Indonesia juga dipengaruhi oleh perbedaan atau ketimpangan human capital yang dimiliki setiap daerah.

Perubahan hubungan antar pemerintahan dari rezim sentralisasi menjadi desentralisasi sejak tahun 1999 merupakan terobosan kebijakan

yang salah satu tujuannya adalah untuk memecahkan bottleneck kesenjangan human capital antar wilayah di Indonesia. Dengan perubahan rezim ini, diharapkan ‘jarak’ antara masyarakat dengan pembuat kebijakan (pemerintah daerah) menjadi lebih dekat dan erat baik secara politik maupun geografis, sehingga pemerintah daerah akan memiliki posisi yang lebih baik untuk menetapkan prioritas-prioritas kebijakan yang benar dan fleksibel dibandingkan pemerintah pusat atau regional serta diharapkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan kebutuhan hidup masyarakat. Kesenjangan yang Masih Lebar

Rezim desentralisasi sudah diterapkan di Indonesia kurang lebih selama 17 tahun. Harapan memecah bottleneck ketimpangan hasil pembangunan ekonomi di Indonesia melalui penerapan desentralisasi, tampaknya belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini jelas terlihat dari struktur dan pola ketimpangan pendapatan yang masih relatif sama, meskipun sudah sedikit mengalami perbaikan. Indeks ketimpangan pendapatan antar provinsi maupun antar regional pada tahun 2014 telah mengalami sedikit perbaikan dibanding tahun 2005. Tabel 1 menunjukan perbaikan tersebut. Meskipun demikian, angka indeks yang masih relatif sangat besar (mendekati 1) menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah/wilayah di Indonesia masih sangat lebar.

Indikator lain yang menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan

Tahun Indeks Williamson

Propinsi

Indeks Williamson Propinsi*

Indeks Williamson Propinsi**

Indeks Williamson

Regional2005 0,78 0,78 0,60 0,222014 0,70 0,73 0,49 0,18

Tabel 1. Indeks Williamson Provinsi dan Regional

Sumber : diolah. *Data Kalimantan Utara di gabung dengan Kalimantan Timur **Data Kalimantan Utara di gabung dengan Kalimantan Timur dan tidak memasukkan data DKI*) Redaktur Buletin APBN

2

ekonomi masih lebar adalah kontribusi regional terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hingga tahun 2014, perekonomian Indonesia terkonsentrasi di pulau Sumatera, Jawa dan Bali. Hal ini terlihat dari kontribusi Sumatera, Jawa dan Bali terhadap PDB sebesar 80 persen. Tidak jauh berbeda dengan tahun 2005.

Ketimpangan pembangunan ekonomi yang terjadi dan masih lebar saat ini, tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan faktor inputnya. Salah satu ketimpangan faktor input tersebut adalah ketimpangan capaian human capital tiap daerah, yang

dan kesehatan. Angka indeks pada tabel tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan modal pendidikan dan kesehatan antar provinsi pada tahun 2013 mengalami perbaikan ke arah yang semakin rendah, dibandingkan dengan tahun 2005.

Akan tetapi, jika capaian AHH dan RRLS tersebut di klaster dengan menggunakan pendekatan standar deviasi dan rata-rata capaian, jelas terlihat kondisi antara tahun 2005 dengan 2013 relatif sama atau stagnan. NTT, NTB, Malaku, Maluku Utara, Kalbar, Kalsel, Gorontalo, Sulbar dan Sulteng yang merupakan provinsi di timur Indonesia memperoleh kategori capaian AHH-nya “buruk” dibandingkan dengan provinsi lain. Sedangkan Papua dan Papua Barat masuk dalam kategori cukup, meskipun capaiannya merupakan terendah dibanding provinsi lain dalam kategori yang sama. Kategorisasi atau pengklasteran terhadap capaian modal pendidikan yang diproksi dengan RRLS juga menunjukkan kondisi yang relatif tidak jauh berbeda.

Kondisi antara tahun 2005 dan 2013 yang relatif sama tersebut mengindikasikan bahwa persoalan ketimpangan modal manusia antara wilayah, barat dan timur Indonesia, belum mengalami perbaikan yang cukup berarti. Ketimpangan tersebut, tidak dapat dilepaskan dari ketimpangan faktor input yang mempengaruhi capaian modal pendidikan dan kesehatan di setiap provinsi.

Tahun Indeks WilliamsonRRLS AHH

2005 0,11 0,042013 0,10 0,03

Sumber : diolah.

Tabel 2. Indeks Williamson RRLS dan AHH

dapat diukur dari modal pendidikan dan kesehatan. Kesenjangan Human Capital Antar Daerah

Kondisi modal pendidikan dan kesehatan antar provinsi di Indonesia masih dibayang-bayangi oleh kesenjangan antar daerah atau wilayah, khusususnya antar wilayah bagian barat dan timur Indonesia. Indeks Williamson Rata-Rata Lama Sekolah (RRLS) dan Angka Harapan Hidup (AHH) pada tabel 2 menunjukkan kesenjangan kondisi modal pendidikan

Gambar 1. Kategorisasi atau Klaster Capaian AHH dan RRLS

Sumber : diolah.

3

Kesenjangan Faktor Input Kesehatan dan Pendidikan

Tinggi atau rendahnya capaian AHH sangat dipengaruhi berbagai variabel sebagai faktor input. Rasio ketersediaan dokter di puskesmas dan puskesmas density sebagai proksi aksesibilitas masyarakat ke puskesmas merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi capaian kesehatan. Jika membandingkan capaian kedua variabel tersebut pada tahun 2005 dan 2014 menurut regional, maka dapat disimpulkan bahwa pola ketimpangan antar regional mengalami perbaikan ke arah yang lebih kecil. Akan tetapi, perbaikan tersebut relatif belum begitu signifikan jika memperhatikan besaran delta perbedaan rasio dokter/

capaian modal pendidikan antar wilayah. Salah satu ukuran yang dapat menunjukkan ketimpangan tersebut adalah perbandingan seberapa jauh seorang siswa dapat mengakses sekolahnya atau sering disebut sekolah density. Tabel 4 menunjukkan, seorang siswa SMP di Pulau Jawa & Bali hanya membutuhkan jarak rata-rata ke sekolah 6,13 km dan SMA hanya 15,63 km. Sedangkan, siswa di regional Nusa Tenggara, Maluku dan Papua membutuhkan jarak 183,6 km dan 452,15 km.

Kesenjangan faktor input kesehatan dan pendidikan tersebut dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satu faktor adalah kemampuan pemerintah daerah menyediakan sarana dan prasarana layanan pendidikan dan kesehatan di daerahnya. Kemampuan keuangan daerah menjadi salah satu kunci kemampuan daerah dalam memberikan pelayanan publik di bidang kesehatan dan pendidikan kepada masyarakatnya. Kesenjangan kemampuan keuangan daerah yang masih terjadi saat ini merupakan salah satu penyebab terjadinya kesenjangan faktor input pendidikan dan kesehatan antar wilayah.

Indeks Williamson anggaran kesehatan per kapita antar provinsi sebesar 0,61 dan anggaran pendidikan sebesar 0,44, menunjukan bahwa kesenjangan anggaran (kemampuan penganggaran keuangan daerah) antar provinsi untuk kesehatan

2005 2014 2005 2014Sumatera 1.46 2.29 279.53 205.30Jawa & Bali 1.62 2.22 37.59 34.12Kalimantan 1.41 1.71 788.30 624.43Sulawesi 1.43 2.07 265.50 161.47Nusa Tenggara, Maluku & Papua 0.73 1.35 812.73 366.68 Nusa Tenggara Barat 1.20 1.61 145.10 117.55 Nusa Tenggara Timur 0.72 1.00 213.68 131.67 Maluku 0.49 0.78 430.40 238.14 Maluku Utara 0.82 1.72 571.12 251.83 Papua 0.43 0.37 1899.02 809.74 Papua Barat 0.70 2.64 1617.07 651.17

REGIONALRASIO

DOKTER/PUSKESMASPUSKESMAS DENSITY

Tabel 3. Rasio Dokter/Puskesmas Dan Puskesmas Density Regional

Sumber : diolah.puskesmas dan puskesmas density, khususnya antara regional Nusa Tenggara, Maluku & Papua dengan Sumatera atau Jawa & Bali.

Sama halnya dengan kesehatan, ketimpangan faktor input antar wilayah juga menjadi penyebab ketimpangan

SD SMP SMA SD SMP SMA

Sumatera 13.88 60.73 138.31 14.00 41.80 103.80Jawa & Bali 1.49 7.92 19.44 1.51 6.13 15.63Kalimantan 46.45 210.05 548.04 45.85 139.33 390.77Sulawesi 12.88 69.15 188.61 12.31 35.46 106.87Nusa Tenggara, Maluku & Papua 59.44 328.10 850.03 47.94 183.60 452.15 Nusa Tenggara Barat 5.38 19.95 42.69 4.74 11.51 25.87 Nusa Tenggara Timur 11.33 67.01 209.09 9.78 32.92 113.83 Maluku 24.85 119.68 323.55 25.07 68.49 165.19 Maluku Utara 24.77 122.54 278.11 23.29 59.67 128.96 Papua Barat 121.43 678.49 1865.85 95.87 376.06 822.24 Papua 168.89 960.95 2380.87 128.90 552.92 1456.79

REGIONAL/PROVINSISEKOLAH DENSITY 2005 SEKOLAH DENSITY 2013

Sumber : diolah.

Tabel 4. Sekolah Density Regional

Sumber : diolah.

Tabel 5. Indeks Williamson Anggaran Pendidikan dan Kesehatan Per Kapita

Variabel IW

Anggaran Kesehatan Per Kapita 0,61Anggaran Pendidikan Per Kapita 0,44

4

dan pendidikan masih sangat besar atau lebar.Catatan Redaksi: Pemerintah Harus Selesaikan Kesenjangan Faktor Input Human Capital

Kesenjangan hasil pembangunan ekonomi antar wilayah di Indonesia hingga saat ini, yang tergambar dari indeks Williamson PDRB per kapita antar regional/provinsi, hanya dapat dipersempit jika pemerintah mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang menyebabkan terjadinya ketimpangan di hulunya. Ketersedian human capital yang mumpuni merupakan salah satu pangkal atau hulu yang memberikan kontribusi kuat dan positif terhadap pendapatan masyarakat sebagai salah satu hasil akhir pembangunan ekonomi.

Ketimpangan capaian human capital antar wilayah atau provinsi yang masih terjadi di sisi hulu merupakan persoalan serius yang harus diselesaikan oleh pemerintah ke depan. Kesenjangan ini tidak bisa dilepaskan karena masih lebarnya kesenjangan faktor input pembentuk human capital. Oleh karena itu, anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen dan anggaran kesehatan yang telah mencapai 5 persen dalam APBN sudah saatnya dialokasikan sebesar-besarnya untuk menyelesaikan ketimpangan faktor input tersebut. Selain itu, desain kebijakan transfer ke daerah juga harus mampu menyelesaikan kesenjangan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai pelayanan publik di bidang kesehatan dan pendidikan.

Sebagai penutup, sudah saatnya pemerintah berkomitmen penuh mewujudkan pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan yang berdimensi “ketimpangan antar wilayah” dalam bentuk aksi yang lebih nyata dan tidak lagi hanya sebatas perencanaan di atas kertas atau bahkan hanya sebatas jargon pembangunan. Daftar PustakaBadan Pusat Statistik. (2015). Perkembangan Beberapa Indikator Utama

Sosial-Ekonomi Indonesia November 2015. Jakarta: BPS.Badan Pusat Statistik. (2007). Indikator Kunci Indonesia: Edisi Khusus 2007. Jakarta: BPS.Badan Pusat Statistik. (2009). Statistik Indonesia 2009. Jakarta: BPS.Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Indonesia 2015. Jakarta: BPS.Baldacci, Emanuele,dkk. (2004). Social Spending, Human Capital, and Growth in Developing Countries: Implications for Achieving the MDGs. IMF Working Paper, WP/04/217.Bappenas. (2011). Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011. Jakarta: Bappenas.Bappenas. (2013). Data dan Informasi Kinerja Pembangunan 2004-2012. Jakarta: Bappenas.Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Khalegian, P (2003). Decentralization and Public Services: The Case of Immnuization. World Bank Policy Research Working Paper 2989. Washington DC: World Bank.Liebermen, S.S (2002). Decentralization and Health in Philipines and Indonesia: an Interim Report. East Asia Rebounds. Washington DC: World Bank.Litvack, J & Seddon, J. (1999). Decentralization Briefing Notes. WBI Working Papers. Washington DC :World Bank Insitute.Ramirez, Alejandro.,Ranis, Gustav., & Stewart,Frances. (1998). Economic Growth and Human Development. QEH Working Paper Series - QEHWPS18.Seldadyo, Harry. (2009). Pemekaran Daerah: Mencari Alternatif Ke Arah Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: UNDP-Bappenas.

5

AbstrakSebagai negara kepulauan yang sedang berkembang Indonesia, menyadari pentingnya

strategi pembangunan berdimensi kewilayahan. Konsep pembangunan itu meletakkan pemahaman terhadap pembangunan ekonomi lokal sebagai bagian pembangunan nasional. Indonesia mengadaptasi pentingnya konsep pembangunan berdimensi kewilayahan, mulai dari proses perencanaan pembangunan hingga pengalokasian anggaran pembangunan. Dari tahapan perencanaan nampak sekali keinginan pemerintah memberikan penekanan terhadap pentingnya sektor-sektor tertentu ataupun wilayah-wilayah tertentu agar mendapatkan perhatian pengganggaran yang lebih. Begitu juga dalam tahapan pengalokasian anggaran, indikator dan data-data teknis kewilayahan menjadi penentu besaran alokasi anggaran yang menjadi porsi daerah tertentu.

Pembangunan Berdimensi Wilayah Melalui APBNHandriyanto Setiadi1)

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terbagi

oleh pulau-pulau besar dan kecil. Bentuk wilayah Indonesia yang berupa kepulauan menyebabkan ketidakmerataan pembangunan yang terjadi di Indonesia selama ini. Untuk itu pemerintah harus menciptakan kebijakan pembangunan yang tepat dalam upaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi sekaligus menciptakan pemerataan pembangunan. Hal ini dikarenakan peningkatan laju ekonomi tidak selalu dibarengi dengan pemerataan.

Pentingnya upaya pemerataan pembangunan telah disadari sejak awal berdirinya bangsa Indonesia. Sesuai dengan amanat UUD 1945, kemakmuran seluruh rakyat yang diutamakan, bukan kemakmuran individu, kelompok maupun daerah tertentu. Pemerataan pembangunan bertujuan menunjang upaya mewujudkan perekonomian nasional yang mandiri dan andal, serta mampu mengatasi ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial.

Pada masa orde baru, pemerataan hasil pembangunan mulai mendapatkan perhatian. Saat itu pemerintah menerapkan kebijaksanaan pemerataan melalui delapan jalur pemerataan. Delapan jalur pemerataan ini antara lain meliputi pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, sandang, dan papan), kesempatan memperoleh

pendidikan dan pelayanan kesehatan, pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, pemerataan penyebaran pembangunan, dan memperoleh keadilan.

Dengan format yang disesuaikan dengan perkembangan, kebijakan pemerataan ini diteruskan oleh pemerintah orde reformasi hingga sekarang. Dari historis kebijakan pemerataan ini dipahami bahwa masalah terkait pemerataan pembangunan sangat kompleks dan berdimensi luas karena terkait dengan permasalahan dimana kesenjangan ekonomi berada.Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah

Dimensi dalam kesenjangan ekonomi setidaknya bisa dikelompokkan dalam (1) kesenjangan antar wilayah, (2) kesenjangan antar sektor, dan (3) kesenjangan antar golongan ekonomi. Di Indonesia salah satu permasalahan yang mengemuka adalah besarnya kesenjangan pembangunan antarwilayah.

Masih besarnya kesenjangan pembangunan antarwilayah tampak dalam beberapa indikator. Pertama, kegiatan ekonomi masih terpusat di Jawa-Bali dan Sumatera. Hingga tahun 2013, setidaknya kedua wilayah tersebut menyumbang lebih dari 80 persen dalam perekonomian nasional. Dalam distribusi investasi, 71 persen dari PMDN (penanaman modal

1) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

6

Pembangunan Berdimensi WilayahBagaimana sebenarnya konsep

pembangunan berdimensi kewilayahan ini? Secara sederhana pakem pembangunan berdimensi kewilayahan adalah ide pembangunan ekonomi yang berbasis lokal. Saat para ahli ekonomi pembangunan membahas keberlangsungan pembangunan di beberapa negara berkembang, mereka sangat peduli dengan ide pengembangan ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah berbagai strategi pembangunan ekonomi lokal (local economic development/LED). Strategi ini terangkum dalam berbagai teori dan analisis yang terkait dengan pembangunan ekonomi lokal. Salah satu analisis yang relevan dengan strategi ini adalah model pembangunan tak seimbang, yang dikemukakan oleh Hirscman (1990), yang mengutarakan bahwa:

“Jika mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua periode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti pula bahwa pembangunan berjalan dengan baik walaupun sektor berkembang dengan tidak seimbang. Perkembangan leading sector akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu pula perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang

dalam negeri) dan 91 persen dari PMA (penanaman modal asing) berada di wilayah Jawa-Bali. Beberapa analisis menyebutkan keterkaitan kualitas infrastruktur dan keterkaitan dengan pasar global terhadap wilayah Jawa-Bali. Pemusatan aktivitas ekonomi juga tampak pada interaksi perdagangan antarwilayah yang terkonsentrasi di wilayah tersebut. Kedua, sebagai salah satu gambaran faktor produksi, persebaran penduduk nasional juga menunjukkan ketidakseimbangan spasial. Pulau Jawa yang luasnya hanya 6,7 persen dari luas wilayah Indonesia dihuni oleh sekitar 58 persen jumlah penduduk.

Gambaran kesenjangan antarwilayah juga bisa digambarkan melalui kontribusi wilayah dalam pembentuk PDB Nasional, dimana dari tahun ke tahun dominasi Jawa-Bali dan Sumatera terlihat jelas di tabel 1.

Dalam berbagai kesempatan Pemerintah menegaskankan bahwa kesenjangan antar wilayah ini perlu diatasi dengan pembangunan berdimensi kewilayahan. Tahun 2001, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa pembangunan di Indonesia harus berdimensi kewilayahan sebagai bagian dari pertumbuhan berimbang sebagaimana yang disepakati oleh kelompok perekonomian 20 (G20)1. Penegasan hal yang sama tentang pendekatan kewilayahan dalam proses pembangunan diutarakan Presiden Joko Widodo di tahun 20152.

Wilayah 1978 1983 1988 1993 1998 2003 2008 2013

Sumatera 27,6 28,7 24,9 22,8 22,0 22,4 22,9 23,8

Jawa 50,6 53,8 57,4 58,6 58,0 60,0 57,9 58,0

Kalimantan 10,2 8,7 8,9 9,2 9,9 8,9 10,4 8,7

Sulawesi 5,5 4,2 4,1 4,1 4,6 4,0 4,3 4,8

Bali & Nusa Tenggara 3,1 2,8 3,0 3,3 2,9 2,8 2,5 2,5

Maluku & Papua 2,9 1,8 1,7 2,0 2,5 1,8 2,0 2,2

Total 100 100 100 100 100 100 100 100

Tabel 1. Kontribusi Wilayah dalam Pembentukan PDB Indonesia Tahun 1978-2013 (dalam persen)

Sumber: BPS 2016, diolah

1) http://www.antaranews.com/berita/241220/presiden-pembangunan-harus-berdimensi-kewilayahan 2) http://news.metrotvnews.com/read/2015/07/10/411871/apbn-dan-pembangunan-kewilayahan.

7

perkembangan industri-industri lain yang terkait dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut”.

Model pembangunan tak seimbang menolak pemberlakuan sama pada setiap sektor yang mendukung perkembangan ekonomi suatu wilayah. Model pembangunan ini mengharuskan adanya konsentrasi pembangunan pada sektor yang menjadi leading sector sehingga pada akhirnya akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Hirscman (1987) dalam ulasan pembangunan negara Latin Amerika juga menggambarkan pentingnya memperlakukan secara berbeda pembangunan di daerah-daerah yang memiliki perbedaan karakteristik kewilayahan tertentu, sehingga akan mempengaruhi berjalannya proses pembangunan.

Dari pemahaman sederhana teori pembangunan kewilayahan ini, penulis mencoba mencermati kondisi pembangunan yang terjadi di Indonesia melalui pengamatan proses perencanaan dan pengalokasian anggaran, dan berusaha menarik kesimpulan mengenai implementasi pembangunan berbasis kewilayahan ini dalam pembangunan Indonesia. Dengan adanya keterbatasan pengamatan, penulis hanya akan melihat apa yang dirumuskan Pemerintah terkait hal-hal yang diamati dalam RPJMN 2015 – 2019 dan APBN 2016 beserta Nota Keuangannya.Strategi Pengembangan Wilayah dalam RPJMN 2015 – 2019

Sebagai latar belakang proses perencanaan, hingga awal 2015, masih disadari besarnya kesenjangan antar wilayah, khususnya kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hal ini tercermin salah satunya dari digunakannya indikator kontribusi PDRB terhadap PDB dalam RPJMN, dimana selama 30 tahun (1983-2013), kontribusi PDRB KBI sangat dominan dan tidak pernah berkurang dari 80 persen terhadap PDB3.

Menyadari hal itu, pemerintah

melakukan pengembangan wilayah dalam RPJM dengan mendorong transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah KTI, yaitu Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Namun, dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan di wilayah Jawa – Bali dan Sumatera.

Dalam RPJMN juga ditekankan strategi untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing daerah melalui (1) pembangunan kawasan strategis, yaitu: pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, (2) pembangunan kawasan perkotaan. Pembangunan Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa, meliputi: (1) pembangunan kawasan perbatasan, (2) pembangunan desa dan kawasan pedesaan, (3) pembangunan daerah tertinggal dan pulau-pulau terpencil, (4) pengembangan tata kelola pemerintahan daerah dan otonomi daerah4.

Dari latar belakang hingga perumusan strategi jelas bahwa pemerintah menyadari perlunya pembangunan berdimensi kewilayahan. Perencanaan langkah strategis dilakukan dengan mendasarkan pengamatan terhadap kondisi kewilayahan, kemudian langkah-langkah konstruktif dibangun dengan mempertimbangkan aspek kewilayahan tersebut.Kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun 2016

Untuk mengamati adanya implementasi pembangunan berbasis kewilayahan dalam pengalokasian anggaran, pengamatan difokuskan pada belanja APBN yang merupakan mandat dari desentralisasi fiskal, yaitu alokasi anggaran belanja transfer ke daerah. Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa merupakan bagian dari Belanja Negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal. Sebagai instrumen untuk mempercepat pembangunan daerah, implementasi kebijakan desentralisasi fiskal diarahkan untuk dapat mendukung pelaksanaan rencana pembangunan nasional. Dalam format alokasi transfer ke daerah ini pemerintah membagi alokasi-alokasi anggaran desentralisasi untuk seluruh kabupaten/

3) Dokumen RPJMN 2015 – 2019. 4) Dokumen RPJMN 2015 – 2019. Sesuai agenda ketiga dari Nawa Cita

8

kota berdasarkan formulasi yang telah ditetapkan dan dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Landasan pemikiran untuk mengutamakan pengembangan wilayah juga menjadi dasar pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan kebijakan transfer ke daerah ini untuk dapat mempercepat penguatan peran daerah dalam penyediaan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dalam pengamatan penulis, setidaknya terdapat beberapa catatan perubahan pada kebijakan transfer ke daerah pada APBN 2016 yang meliputi perubahan struktur dan ruang lingkup, pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah serta kebutuhan pendanaan daerah serta reformulasi alokasi transfer.

Secara umum terdapat 5 (lima) perubahan kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa tahun 2016 sebagai berikut:

peningkatan alokasi anggaran Transfer 1. ke Daerah dan Dana Desa menjadi lebih besar dari anggaran kementerian negara dan lembaga (belanja K/L);reformulasi alokasi DAU guna 2. meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah (sebagai equalization grant);reformulasi dan penguatan DAK 3. untuk mendukung Nawa Cita dan pencapaian prioritas nasional, dengan: a. meningkatkan besaran alokasi DAK untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah guna mempercepat pembangunan/penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana publik; dan b. meningkatkan efektivitas pelaksanaan DAK melalui penyesuaian dana pendamping dengan kemampuan keuangan daerah, percepatan penetapan petunjuk teknis, serta perbaikan pola penyaluran, pelaporan, monitoring dan evaluasi.reformulasi DID untuk memberikan 4. penghargaan yang lebih besar kepada daerah yang berkinerja baik dalam pengelolaan keuangan, perekonomian dan kesejahteraan daerah;

peningkatan alokasi Dana Desa minimal 5. 6 persen dari dan di luar transfer ke Daerah sesuai Road Map Dana Desa tahun 2015-2019, guna memenuhi amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang DesaSebagaimana konsep Hirscman

(1990) tentang pembangunan berdimensi wilayah, pemerintah terus mendorong kenaikan porsi belanja transfer ke daerah berbanding belanja K/L yang lebih sentralistik. Selain itu reformulasi perhitungan DAU, dimana proporsi celah fiskal (CF) diupayakan lebih besar dari alokasi dasar (AD), dengan membatasi proporsi alokasi dasar terhadap pagu DAU mengisyaratkan niat pemerintah untuk memberi keleluasaan lebih terhadap anggaran pembangunan daerah. Makin kecil peran AD dalam formula DAU, maka makin besar peran formula berdasarkan CF, sehingga DAU memiliki peran besar dalam mengoreksi ketimpangan fiskal antardaerah. Adanya penguatan peran CF dalam formula DAU, dapat menghasilkan tingkat pemerataan yang lebih baik dengan penggunaan tolok ukur kesenjangan fiskal. Dengan demikian diharapkan daerah dapat lebih berperan dalam mengkoreksi ketimpangan yang terjadi antar daerah.

Kebijakan yang juga berubah di tahun 2016 adalah ketentuan mengenai Dana Transfer Khusus yang terdiri atas Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan DAK Nonfisik. Sebagaimana diketahui DAK, dianggap sebagai alokasi APBN yang paling mendekati konsep pembangunan berdimensi wilayah. Hal ini dikarenakan konsep dan formulasi yang sangat mengadaptasi konsep tersebut.

Kebijakan DAK 2016 diarahkan untuk percepatan pembangunan infrastruktur publik daerah, dan terutama mengakomodasi usulan kebutuhan dan prioritas daerah dalam mendukung pencapaian prioritas nasional (proposal based), memperkuat kebijakan afirmasi untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan. Mekanisme proposal based ini baru dilakukan pada tahun 2016.

Selain kebijakan DAK yang regular, pada 2016 dialokasikan juga DAK Infrastruktur Publik dan DAK Affirmasi.

9

DAK Infrastruktur Publik Daerah yang dialokasikan kepada kabupaten/kota untuk membantu mempercepat penyediaan infrastruktur publik secara memadai agar dapat mendukung konektivitas transportasi, perbaikan pemukiman, peningkatan produksi pertanian, serta pengembangan sektor kelautan dan perikanan. Mengingat kondisi dan kebutuhan daerah relatif berbeda, maka daerah diberikan diskresi untuk menentukan bidang infrastuktur tertentu yang akan diprioritaskan untuk didanai dari DAK Infrastruktur Publik Daerah. Sementara DAK Afirmasi merupakan tambahan DAK yang dialokasikan khusus kepada daerah yang termasuk dalam kategori daerah tertinggal, perbatasan dengan negara lain, dan kepulauan. Mengingat kondisi beberapa jenis infrastruktur dasar daerah-daerah tersebut masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lain, maka DAK Afifrmasi diarahkan dapat digunakan oleh daerah tersebut untuk menambah pendanaan bagi pembangunan/penyediaan infrastruktur tertentu.

Tahun 2016 ini juga merupakan tahun kedua dari pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dimana APBN mempunyai kewajiban juga untuk mengalokasikan dana desa. Dana desa ini juga merupakan format pendanaan pembangunan yang berdimensi wilayah.

Saran / RekomendasiSesuai dengan kaidah secara utuh

konsep pembangunan berdimensi kewilayahan, deteksi dan analisis leading sector setiap wilayah menjadi penting dalam rangka merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu pula analisis untuk mengenali perkembangan wilayah-wilayah pelopor. Selain itu karena dalam proses perencanaan hingga pengalokasian anggaran, semua keputusan dilakukan berdasarkan data maka database potensi ekonomi dan kewilayahan memiliki peran penting. Untuk itu pemerintah hendaknya terbuka dan melibatkan seluruh stakeholder dalam menyusun database potensi kewilayahan ini agar hasil yang diperoleh mampu dijadikan acuan bagi pengambilan keputusan yang optimal.Daftar PustakaKementerian Keuangan. (2015). Nota Keuangan APBN 2016. IndonesiaHirschman, Albert Otto. ( 1987). The Political Economy of Latin American Development: Seven Exercises in Retrospection. Latin American Research Review 22Hirschman, Albert Otto. (1990). National Power and the Structure of Foreign Trade 1980 expanded ed., Berkeley : University of California Press. Tarigan, Robinson. (2004). Perencanaan Pembangunan Wilayah: Bumi Aksara.Alisyahbana, A . Abdullah. (2002). Daya Saing Daerah, Konsep Dan Pengukurannya Di Indonesia: BPFE Yogyakarta.

10

Buletin APBNPusat Kajian AnggaranBadan Keahlian DPR RI

www.puskajianggaran.dpr.go.idTelp. 021-5715635/5715528, Fax. 021-5715528

e-mail [email protected]