ketidakberdayaan masyarakat tanjung siambang...
TRANSCRIPT
KETIDAKBERDAYAAN MASYARAKAT TANJUNG SIAMBANG
DALAM RELOKASI PEMUKIMAN PENDUDUK
NASKAH PUBLIKASI
DISUSUN OLEH :
NAMA : HOT WENOVSKA
NIM : 100569201046
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2016
1
SURAT PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
Yang bertanda tangan dibawah ini adalah Dosen Pembimbing Skripsi mahasiswa yang disebut dibawah ini:
Nama : HOT WENOVSKA
NIM : 100569201046
Jurusan/Prodi : SOSIOLOGI
Alamat : Jalan Bhayangkara, Gang Tongkol IV VII Blok B No. 13
Nomor TELP : 0812 7014 6649
Email : [email protected]
Judul Naskah : KETIDAKBERDAYAAN MASYARAKAT TANJUNG SIAMBANG
DALAM RELOKASI PERUMAHAN PENDUDUK
Menyatakan bahwa judul tersebut sudah sesuai dengan aturan tata tulis naskah ilmiah dan
untuk dapat diterbitkan.
Tanjungpinang, 16 Agustus 2016
Yang menyatakan,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
SITI ARIETA,MA RAHMA SYAFITRI, S.Sos,M.Sos
NIP.1983040620150420023 NIP. 1985082020150420001
2
KETIDAKBERDAYAAN MASYARAKAT TANJUNG SIAMBANG
DALAM RELOKASI PERUMAHAN PENDUDUK
HOT WENOVSKA
SITI ARIETA,MA
RAHMA SYAFITRI, S.Sos,M.Sos
ABSTRAK
Ketidakberdayaan merupakan ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk merubah nasib mereka
baik dikarenakan faktor internal maupun faktor eksternal hingga mempengaruhi lingkungan, ekonomi dan masa
depannya, sedangkan faktor-faktor keberhasilan relokasi yaitu masyarakat ikut berpartisipasi dalam
perencanaan, pemilihan lokasi, identifikasi kebutuhan dasar, desain rumah, pelaksanaan pembangunan, mata
pencaharian tidak terganggu, sarana dan prasarana tersedia, hingga komunikasi yang intensif perlu dilakukan,
sebagaimana tujuan penelitian maka perlu untuk mengetahui bentuk-bentuk ketidakberdayaan masyarakat
Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau dengan menggunakan dimensi-dimensi variabel ketidakberdayaan oleh Narayan (2000) karena
apabila relokasi tersebut tidak berhasil maka akan semakin menyebabkan masyarakat menjadi semakin tidak
berdaya.
Untuk menjawab tujuan tersebut dilaksanakan penelitian secara deskriptif dengan pendekatan
kualitatif, dan alat yang digunakan yaitu pedoman wawancara yang ditujukan kepada sampel bertujuan
berjumlah 24 informan dari 844 penduduk Tanjung Siambang yang kesemuanya merupakan warga dalam
Rukun Warga I Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang.
Hasil analisa dari variabel ketidakberdayaan dengan 10 dimensi dan indikator masing-masing didapati
bahwa hasil penelitian ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk
kecenderungannya mengarah pada bahwa masyarakat mengalami bentuk ketidakberdayaan dalam hal lokasi
yang terpencil, beresiko, kekurangan informasi, pendidikan, keterampilan, kepercayaan diri karena penghasilan
yang tidak menentu, tidak memadai dan tidak tersedianya cukup sarana karena penghasilan didapat secara
musiman, dan kurangnya nilai tawar masyarakat dalam menentukan segala hal terkait relokasi.
Adapun saran dari penelitian ini yaitu diharapkan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau lebih
optimal dalam memberdayakan masyarakat, memenuhi sarana dan prasarana pemukiman masyarakat serta
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan sehingga tidak ada
kendala nantinya dikemudian hari.
Kata Kunci: Ketidakberdayaan, Relokasi, Kemiskinan
3
KETIDAKBERDAYAAN MASYARAKAT TANJUNG SIAMBANG
DALAM RELOKASI PERUMAHAN PENDUDUK
HOT WENOVSKA
SITI ARIETA,MA
RAHMA SYAFITRI, S.Sos,M.Sos
ABSTRACT
Powerlessness are disability of individual or community to change the events of his life, because
internal factor or external factor until that influence his environment, economic and his future, meanwhile
factor that make the relocation gets success are society participated in planning, choosing the location, can
identified their basic needs, designing their homes, participating in development, livelihood are safed,
infrastructure and services is good, until the communication are intensife between them, so it can shows the
purpose of this research and therefore is to see the forms of powerlessness in Tanjung Siambang communities in
their relocation to the new place as the government of Riau Islands Province ask them to do which use the
interlocking dimension of powerlessness by Narayan (2000), if the relocation is not success there will make the
society more suffer in powerless.
To answer the goal of the research which is use descriptive research with the qualitative approach,
was used the interview guide to gather data from 24 informan that choose in purposive sampling from 844
people village of Tanjung Siambang that all of it in the neighbourhood I of Dompak urban communities of
Tanjungpinang City.
Results of the analysis of the powerlessness variable with the 10 interlocking dimensions and the
indicator within were found that results of the research are trend to form of powerlessness like people are
isolated, risky, lack of information, lack of education, lack of skills, lack of confidence because the livelihoods is
precarious, inadequate and also unserviced, then the livelihood are seasonal, lack of bargainng power or
powerlessness in decision making for relocations.
As for the suggestion from this research that is expected from Government of Riau Islands Province to
be more optimalise in empowerment, fulfill the services and infrastructure and also let the society get
participated in development so there is no problem in the future.
Keywords:Powerlessness, Relocation, Poverty
4
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam proses pembangunan,
masyarakat semestinya terlibat dalam
keseluruhan proses baik dari identifikasi
kebutuhan, tahap perencanaan, tahap
pelaksanaan hingga tahap monitoring dan
evaluasi secara terus menerus sebagai satu
kesatuan proses, ini biasanya disebut dengan
pembangunan partisipatif. Oleh karena itu
keberhasilan pembangunan tidak semata-mata
mengandalkan pemerintah karena peran serta
masyarakat juga diperlukan. Dikarenakan
masyarakat yang nantinya akan menikmati
dan menggunakan hasil pembangunan
tersebut. Pembangunan yang dilakukan
dengan partisipatif merupakan salah satu
bentuk dari pemberdayaan kepada
masyarakat, memberdayakan masyarakat
berarti merubah masyarakat yang tidak
berdaya atau tingkat ketidakberdayaan
masyarakat yang tinggi menjadi masyarakat
yang berdaya menuju kearah masyarakat yang
maju, makmur dan sejahtera.
Provinsi Kepulauan Riau adalah
provinsi ke-32 sejak pembentukannya pada
tahun 2002 sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2002. Dimana pada pasal 7
disebutkan ibukota Provinsi Kepulauan Riau
berkedudukan di Kota Tanjungpinang, oleh
sebab itu perlu dilakukan pembangunan pusat
pemerintahan provinsi tersebut di Kota
Tanjungpinang. Sesuai dengan Surat
Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor
308.a Tahun 2006 ditetapkanlah lokasi
perkantoran Pemerintahan Provinsi
Kepulauan Riau yaitu di Pulau Dompak,
Kelurahan Dompak, Kecamatan Bukit Bestari,
Kota Tanjungpinang.
Pulau Dompak setelah penetapan
tersebut, pada awalnya dihuni oleh 202
Kepala Keluarga yang hampir keseluruhannya
adalah bersuku Melayu dan mendiami bagian
pesisir dari pulau Dompak. Pulau Dompak
dengan luas 957 Ha adalah sebuah pulau yang
sepi dengan tingkat kepadatan penduduk yang
rendah. Masyarakat yang mendiami pulau
Dompak berpusat di Tanjung Siambang yang
merupakan ujung barat dari pulau Dompak
tersebut. Dahulu untuk menuju Tanjung
Siambang dengan menggunakan perahu
tambang, hal ini dikarenakan belum adanya
akses jalan beraspal menuju Tanjung
Siambang. Dikarenakan beberapa faktor inilah
pulau Dompak dipilih untuk menjadi lokasi
pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau.
Proses pembangunan pusat
pemerintahan tidak serta merta mudah, hal ini
dikarenakan tanah yang nantinya akan
dijadikan perkantoran dan fasilitas penunjang
pusat pemerintahan adalah milik masyarakat
Tanjung Siambang dan masyarakat lainnya,
sehingga perlu dilakukan pembebasan lahan
terlebih dahulu. Dalam proses pembebasan
lahan masyarakat Tanjung Siambang telah
memberikan lahan mereka untuk
pembangunan Gedung Pemerintahan Provinsi
Kepulauan Riau, dimana saat ini lokasi
gedung tersebut sangat dekat dengan daerah
yang dulunya disebut dengan Tanjung
Siambang. Pasca pembangunan pusat
pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau pada
tahun 2012 dibuatkanlah perumahan
penduduk tipe 36 yang berlokasi di Tanjung
Siambang untuk masyarakat Tanjung
Siambang sebagai bentuk apresiasi
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau terhadap
partisipasi dalam pembangunan oleh
masyarakat Tanjung Siambang, akan tetapi
konsekuensinya adalah masyarakat Tanjung
Siambang yang tinggal di bagian pesisir pulau
Dompak itu harus rela direlokasi ke
perumahan tersebut dan meninggalkan rumah
lama mereka yang berlokasi di pinggiran
pantai tersebut. Perumahan baru yang
dibangun pada tahun 2011 hingga 2012
berjumlah 100 unit, jikalau dipikirkan jumlah
tersebut kurang dikarenakan jumlah Kepala
Keluarga pada saat itu berjumlah 202 Kepala
Keluarga. Walaupun ada penduduk
masyarakat yang pindah dari Tanjung
Siambang menuju daerah yang lain, akan
tetapi jumlah yang pindah tidak terlalu
signifikan.
Pada proses pembangunan
perumahan untuk masyarakat Tanjung
Siambang tersebut yang didanai dari APBD
Provinsi Kepulauan Riau ada terdapat hal-hal
yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Hal
tersebut diantaranya adalah penentuan lokasi
perumahan Tanjung Siambang yang letaknya
agak jauh dari laut padahal perumahan
tersebut diperuntukkan bagi masyarakat
Tanjung Siambang yang notabene pekerjaan
mereka sehari-hari kebanyakan adalah
nelayan. Sehingga letak geografis perumahan
baru akan membawa pengaruh terhadap
pekerjaan mereka. Selain itu merubah
kebiasaan atau budaya yang sudah melekat
pada masyarakat pesisir juga tidaklah mudah,
terlebih lagi menyangkut bentuk fisik rumah
yang berubah dari dinding kayu ke dinding
bata, lokasi yang berada di darat jauh dari
laut, kebiasaan meletakkan perahu untuk
mencari ikan yang dekat dengan rumah,
kebiasaan mandi, cuci dan kakus serta
kebiasaan-kebiasaan lainnya. Selain itu
selama ini masyarakat Tanjung Siambang
merupakan salah satu masyarakat yang miskin
dikarenakan hanya mengandalkan hidupnya
5
sebagai nelayan, dikarenakan mereka hidup di
daerah pesisir, jadi dapat dikatakan bahwa
masyarakat Tanjung Siambang tersebut
termasuk masyarakat yang tidak berdaya
dilihat sisi ekonomi dan sangat tergantung
kepada daerah pesisir dan laut untuk
kehidupan karena mata pencahariannya adalah
nelayan. Sehingga memunculkan pertanyaan
apakah pembangunan perumahan bagi
masyarakat Tanjung Siambang yang berada di
darat atau agak jauh dari pesisir pantai/laut
tidak mempengaruhi mereka dalam pekerjaan
sebagai nelayan. Apabila setelah itu mereka
direlokasi malah akan semakin menjauhkan
mereka dari pesisir pantai sehingga semakin
susah untuk melaut. Oleh karena itu dari
masyarakat yang miskin yang tergantung
ekonominya kepada laut dan pesisir yang
kurang berdaya itu setelah dipindahkan ke
darat malah akan membuat mereka semakin
tidak berdaya.
Proses pembangunan perlu dilakukan
bersama-sama baik yang nantinya akan
menjadi obyek pembangunan maupun subjek
pembangunan, sehingga perlu melihat siapa
saja yang ikut serta dalam proses
pembangunan tersebut. Terkait hal tersebut
pemerintah dan masyarakat perlu melakukan
dialog guna tercapai pembangunan yang tepat
guna. Dalam sudut pemerintah tidak hanya
dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau,
akan tetapi perlu juga dari Pemerintah Kota
Tanjungpinang, hal ini dikarenakan pulau
Dompak termasuk dalam wilayah
administratif Kota Tanjungpinang, sehingga
Pemerintah Kota Tanjungpinang perlu juga
menjadi anggota dalam dialog tersebut, selain
itu dalam sudut masyarakat perlu juga ikut
dalam proses dialog pembangunan perumahan
tersebut, terutama kepada Kepala Keluarga
yang nantinya akan direlokasi, tokoh
masyarakat hingga pemuka agama yang ada di
wilayah Tanjung Siambang tersebut.
Siapnya pembangunan perumahan
Tanjung Siambang membawa pengaruh baru
kepada masyarakat Tanjung Siambang, bahwa
harus bersedia untuk direlokasi, salah satu
prinsip relokasi menurut Jha dalam Martanto
dan Sagala (Tanpa Tahun: 70) yaitu relokasi
bukan sekedar merumahkan kembali manusia,
namun juga menghidupkan dan membangun
kembali masyarakat, lingkungan dan modal
sosial. Selain itu perlu dilakukan perencanaan
yang efektif dalam membangun daerah
sebagai lokasi relokasi. Pemilihan lokasi
perumahan memang melihat salah satu prinsip
yang disebutkan oleh Jha yaitu lokasi relokasi
mengambil tempat sedekat mungkin dengan
lokasi asal, akan tetapi dalam konteks
masyarakat pesisir yang akan direlokasi ke
perumahan yang sepenuhnya berada di darat
itu cukup memberikan perubahan yang
berbeda kepada mereka. Dimana hal ini
menimbulkan pertanyaan apakah pemilihan
lokasi ini tidak melalui proses dialog dan
tidak meminta partisipasi dari masyarakat
yang akan direlokasi. Lokasi yang dirasa
sangat berpengaruh pada masyarakat pesisir
yang diminta untuk relokasi ke wilayah darat
pasti akan mempengaruhi keadaan ekonomi
masyarakat yang sangat tergantung kepada
pesisir dan laut sebagai mata pencaharian
utama mereka.
Permasalahan lain yang menjadi
perhatian masyarakat Tanjung Siambang
terhadap perumahan yang telah disediakan
oleh Pemerintah tersebut yaitu tipe rumah
yang hanya bertipe 36, kecil bagi beberapa
masyarakat. Terutama bagi mereka yang telah
memiliki rumah yang besar, bentuk rumah
yang lebih bagus bahkan lokasi rumah yang
sudah mereka sukai sangat berpengaruh pada
kesediaan mereka untuk direlokasi. Tetapi
untuk beberapa masyarakat rumah dengan tipe
36 tersebut sudah dirasa cukup untuk
kehidupan mereka. Selain itu masalah yang
muncul kemudian adalah fasilitas yang
terdapat di perumahan tersebut baik dari
listrik dan air. Listrik belum masuk ke Pulau
Dompak sehingga mereka juga belum
merasakan listrik dari PLN, akan tetapi listrik
dari warga setempat yang memiliki mesin
cukup memadai bagi mereka walau waktu
nyala listrik hanya beberapa jam saja.
Dari beberapa masalah di atas dapat
disimpulkan kembali yaitu penentuan lokasi
perumahan untuk relokasi masyarakat
Tanjung Siambang perlu dikaji apakah telah
melalui proses pembangunan yang partisipatif
dari masyarakat sehingga perlu dilihat jenis
partisipasi yang terjadi, dalam proses
pembangunan siapa saja pihak yang ikut
berpartisipasi dalam penentuan lokasi, jumlah
rumah, bentuk rumah, luas rumah maupun
dari jumlah keluarga yang nantinya akan
mendiami satu rumah tersebut, dan pada
akhirnya yang akan dilihat adalah bagaimana
partisipasi masyarakat Tanjung Siambang
dalam perencanaan pembangunan, penentuan
lokasi, dorongan partisipasi masyarakat, jalur
partisipasi masyarakat hingga menuju pada
bentuk pemberdayaan masyarakat. Dari
beberapa masalah di atas yang menjadi dasar
dalam upaya mengangkat sebuah judul
penelitian mengenai Ketidakberdayaan
Masyarakat Tanjung Siambang dalam
Relokasi Pemukiman Penduduk.
6
B. Perumusan Masalah
Oleh karena itu setelah melihat
uraian latar belakang di atas, maka yang
menjadi rumusan masalah adalah sebagai
berikut:
Bagaimanakah bentuk - bentuk
ketidakberdayaan masyarakat Tanjung
Siambang dalam relokasi pemukiman
penduduk?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini
yaitu:
Untuk mengetahui bentuk-bentuk
ketidakberdayaan masyarakat Tanjung
Siambang dalam relokasi pemukiman
penduduk.
2. Kegunaan Penelitian
Dan kegunaan penelitian ini adalah,
yaitu:
a. Dari hasil penelitian ini diharapkan
mampu memberikan masukan
tentang pembangunan daerah
terutama pada konsep pembangunan
berbasis masyarakat serta
memberikan masukan dalam
pengembangan Sosiologi.
b. Hasil penelitian ini juga diharapkan
mampu memberikan masukan
dalam pengembangan konsep-
konsep ketidakberdayaan
masyarakat dalam pembangunan.
D. Konsep Operasional
Agar dapat memberikan gambaran
yang jelas, serta untuk menghindari
kesalahpahaman tentang istilah atau variabel
yang ada dalam penelitian ini. Maka perlu
kiranya diberikan definisi yang jelas secara
konseptual dan operasional yaitu mengenai
analisis ketidakberdayaan untuk menjawab
rumusan masalah yaitu mengenai
bagaimanakah ketidakberdayaan masyarakat
Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman
penduduk maka digunakan pengertian-
pengertian sebagai berikut :
1. Ketidakberdayaan yaitu ketidakmampuan
seseorang atau kelompok untuk merubah
nasib mereka dikarenakan lack of power
yaitu ketiadaan kekuasaan, bahwa
seseorang atau kelompok itu tidak
memiliki kekuasaan terhadap diri mereka
sendiri maupun lingkungan di luar mereka
dikarenakan pengetahuan yang kurang,
pendidikan yang kurang dan lainnya.
2. Kerentanan yaitu ketidakberdayaan karena
ketiadaan kontrol diri (lack of personal
control) yang berarti tidak mampu untuk
menguasai diri sendiri baik secara internal
maupun eksternal.
3. Ketergantungan yaitu ketidakberdayaan
seseorang atau kelompok yang hanya
mengandalkan mata pencaharian dan
kebutuhan mereka kepada 1 jenis usaha.
4. Relokasi adalah upaya pemindahan
sebagian atau seluruh aktivitas berikut
sarana dan prasarana penunjang aktivitas
dari suatu tempat ke tempat lain guna
mempertinggi faktor keamanan,
kelayakan, legalitas pemanfaatan dengan
tetap memperhatikan keterkaitan antara
yang dipindah dengan lingkungan alami
dan binaan di tempat tujuan.
II. KERANGKA TEORITIS
A. Alienasi
Amitai Etzioni memberikan definisi
tentang alienasi yaitu “a social situation which is
beyond the control of the actor, and hence
unresponsive to his basic needs”. Yang berarti
alienasi adalah situasi sosial dimana melampaui
kemampuan dari aktor dan dikarenakan itu tidak
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Melvin
Seeman memberikan 5 cara dasar untuk melihat
alienasi yaitu : ketidakberdayaan (powerlessness),
ketidakberartian (meaninglessness),
ketidakberaturan (normlessness), isolasi (isolation)
dan pengucilan diri sendiri (self-estrangement).
B. Ketidakberdayaan (Powerlessness)
Melvin Seeman memberikan definisi
ketidakberdayaan (powerlessness) yaitu : "the
expectancy or probability held by the individual
that his own behavior cannot determine the
occurrence of the outcomes or reinforcements he
seeks" yang berarti bahwa harapan atau
kemungkinan yang dimiliki oleh seseorang yang
perilakunya sendiri tidak mampu menentukan
tercapai atau tidaknya hasil atau bantuan yang
dicari. Atau lebih dapat dimengerti dengan "the
depiction of man's relation to the larger social
order” yaitu gambaran hubungan seorang manusia
dengan tatanan sosial masyarakat yang besar.
Sebagaimana didefinisikan oleh Seeman,
ketidakberdayaan memiliki 2 aspek, yaitu :
pertama, “that the person has no confidence in
being able to influence the events of his life”. Yang
berarti bahwa seseorang tidak memiliki
kepercayaan dalam mengubah jalan kehidupannya.
Yang dimaksudkan disini yaitu bahwa pihak luar,
lingkungan sekitar, masyarakat sekitar, pihak yang
berwenang tidak memperhatikan kebutuhan dasar
mereka dan mereka sendiri tidak dapat mengubah
walau sudah berusaha. Aspek pertama ini lebih
mengarah pada faktor eksternal atau berasal dari
luar diri seseorang. Sedangkan aspek yang kedua,
“the effect it has upon the individual”. Yang berarti
bahwa ketidakberdayaan itu diakibatkan oleh
dalam diri individu itu sendiri. Aspek ini lebih
mengarah pada faktor internal, yang dapat
dikarakterisasikan seperti bersikap apatis, putus
asa, kehilangan harapan, depresi, pengucilan diri
7
dan ketiadaan motivasi. Akan tetapi Seeman juga
melihat bahwa dari 2 faktor itu ketidakberdayaan
yang diakibatkan oleh pihak luar akan dapat
dipahami sedikit demi sedikit berdasarkan
pengalaman seseorang akan tetapi seseorang
tersebut tidak mampu berbuat banyak dalam
mengatasinya sebagaimana dikatakan oleh Seeman
yaitu “a person will definitely learn less from
experiences he conceives to dominated by
outsiders, or by chance, which he feels cannot
influence”.
Pengertian ketidakberdayaan lainnya yaitu
menurut Kalekin dan Fishman (1996:97) dalam
Senekal (1970:23) yaitu “powerlessness refers to a
gap existing between what a person wants to do
and what that person feels capable of doing”, yang
berarti ketidakberdayaan adalah jarak yang ada
antara apa yang seseorang ingin lakukan dan apa
yang seseorang rasa mampu untuk dilakukan.
Pendapat Kalekin dan Fishman ini diperjelas juga
oleh Seeman yang mengatakan bahwa
ketidakberdayaan terkait kedalam hal kemampuan
dan ketidakmampuan, baik dari dalam diri sendiri
maupun dikarenakan pengaruh dari luar diri orang
tersebut.
Menurut pendapat ahli lainnya yaitu
Robert Chambers yang memasukkan
ketidakberdayaan dalam 5 unsur perangkap
kemiskinan (deprivation trap) yang terdiri dari : 1.
Poverty (kemiskinan itu sendiri), 2. Kelemahan
fisik, 3. Keterasingan atau kadar isolasi, 4.
Kerentanan (vulnerability) dan 5.
Ketidakberdayaan (powerlessness). Menurut
Chambers dalam Suyanto (2010) yang mengatakan
bahwa ketidakberdayaan kaum miskin itu
disebabkan oleh ketidakberdayaan mereka dalam
menghadapi kaum yang berkuasa/penguasa atau
yang memiliki kekuasaan. Ketidakberdayaan
menjadi kunci dalam perangkap kemiskinan selain
dari kerentanan, hal ini dikarenakan
ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk
merubah nasib mereka dari kemiskinan akan
memperburuk keadaan mereka sendiri selain itu
ditambah adanya pengaruh kekuasaan dari luar
yang tidak menginginkan masyarakat yang miskin
itu untuk berubah atau penguasa itu melakukan
penipuan dengan mengatakan akan memberikan
perubahan akan tetapi hanya merubah masyarakat
yang tidak tahu-menahu malah bertambah menjadi
miskin karena kebijakan yang salah.
Selain beberapa pendapat di atas terdapat
beberapa bentuk ketidakberdayaan yang salah satu
disebutkan oleh Sadan (1997:116) yang
mengatakan bahwa salah satu bentuk
ketidakberdayaan adalah ketergantungan ekonomi
(economic dependence). Sadan mengatakan
ketidakberdayaan merupakan kunci untuk proses
pemberdayaan sesuai dengan definisinya tentang
pemberdayaan yaitu pemberdayaan individu
merupakan proses pembangunan dalam kerangka
sosial: yaitu sebuah proses dari ketidakberdayaan
dan dari bayang-bayang ketidakberdayaan tersebut
kearah kehidupan yang aktif dan kemampuan untuk
bertindak dan untuk mengambil inisiatif dalam
hubungan ke lingkungannya dan masa depannya.
Salah satu bentuknya yaitu ketergantungan
ekonomi, jika seseorang atau masyarakat masih
tergantung ekonominya kepada 1 (satu) atau sedikit
kegiatan untuk menghidupi keluarganya atau
tergantung kepada suatu keadaan dan kekuasaan
maka perlu dilakukan pemberdayaan. Maka apa
yang dikatakan oleh Sadan ini sama dengan apa
yang dikatakan oleh Seeman dan Rotter mengenai
ketidakberdayaan yaitu ketidakberdayaan manusia
dalam merubah nasib mereka dikarenakan
ketergantungan baik itu berasal dari diri mereka
sendiri maupun ketergantungan dari luar.
Sehingga dari beberapa pengertian di atas
dapat disimpulkan pengertian ketidakberdayaan
yaitu ketidakmampuan seseorang atau kelompok
untuk merubah nasib mereka baik dikarenakan
faktor internal maupun faktor eksternal hingga
mempengaruhi lingkungan, ekonomi dan masa
depannya.
Menurut Narayan, Dkk telah menyusun
dimensi dari ketidakberdayaan sebagai dikatakan
oleh Narayan yaitu :
“Powerlessness it has multiple
dimensions, interlocking dimensions. The
dimensions combine to create and sustain
powerlessness, a lack of freedom of choice
and action. Each dimension can cause or
compound the others. Not all aplly all the
time or in every case, but many apply
much of the time. For those caught in
multiple deprivations, escape is a struggle.
To describe this trap poor people use the
metaphor of bondage, of slavery, of being
tied like bundles of straw. Ten interlocking
dimensions of powerlessness and illbeing
emerge from poor people’s experiences :
(1). Livelihoods and assets are precarious,
seasonal adn inadequate; (2) places of the
poor are isolated, risky, unserviced and
stigmatized; (3) the body is hungry,
exhausted, sick and poor in appearance;
(4) gender relations are troubled and
unequal; (5) social relations are
discriminating and isolating; (6) security
is lacking in the sense of both protection
and peace of mind; (7) behaviors of those
more powerfull are marked by disregard
and abuse; (8) institutions are
disempowering and excluding; (9)
organizations of the poor are weak and
disconnected; (10) capabilities are weak
because of the lack of information,
education, skills and confidence.
8
Dari Narayan, Dkk tersebut dapat disusun
dimensi ketidakberdayaan dan indikatornya, yaitu
sebagai berikut :
1. Mata Pencaharian (Livelihoods) yaitu sumber
penghasilan dengan indikator yaitu : sumber
penghasilan tidak menentu (precarious),
sumber penghasilan didapat secara musiman
(seasonal), sumber penghasilan tidak memadai
(inadequate);
2. Tempat (Places) yaitu tempat tinggal dengan
melihat apakah tempat tinggal itu letaknya
terpencil (isolated), tempat tinggalnya berisiko
(risky), tempat tinggalnya tidak memiliki
sarana yang memadai (unserviced) dan tempat
tinggalnya memberikan kesan buruk atau tidak
baik (stigmatized);
3. Keamanan (Security) yaitu perasaan psikologi
berkaitan kenyamanan dan aman dan melihat
ketidakberdayaan dalam hal keamanan yaitu
ketiadaan perlindungan (lack of protection)
dan ketiadaan ketenangan pikiran (peace of
mind);
4. Sikap (Behaviors) yaitu sikap dari pihak yang
berwenang apakah sikap mereka kepada pihak
yang dibawahnya yaitu bersikap tidak
peduli/mengacuhkan (Disregard) dan sikap
mereka menyalahi aturan atau menyalahi
kewenangan yang ada pada mereka (abuse by
the more powerfull);
5. Institusi (Institutions) yaitu tindakan institusi
yang berwenang kepada masyarakat yaitu
bertindak melemahkan masyarakat
(disempowering) dan bertindak mengucilkan
atau mengecualikan masyarakat (excluding);
6. Organisasi (Organizations) yaitu melihat
organisasi yang ada di masyarakat apakah
organisasi masyarakat tersebut lemah (weak)
dan organisasi tersebut kurang terorganisir atau
tidak berhubungan dengan masyarakat
(disconnected);
7. Kemampuan (Capabilities) yaitu melihat
kemampuan masyarakat lemah karena
kekurangan informasi (lack of information),
kurang berpendidikan (lack of education),
kurang terampil (lack of skills) dan kurang
percaya diri (lack of confidence);
8. Hubungan Gender (Gender Relations) yaitu
melihat hubungan gender yang ada di
masyarakat apakah bermasalah (troubled) dan
terjadi ketidaksetaraan gender di masyarakat
(unequal);
9. Hubungan Sosial (Sosial Relations) yaitu
melihat hubungan sosial yang ada di
masyarakat bersifat diskriminasi
(discriminating) dan bersifat terkucil
(isolating);
10. Tubuh Manusia (The Body) yaitu melihat
kondisi keadaan masyarakat apakah dalam
kondisi kelaparan (hungry), dalam kondisi
kelelahan (exhausted), dalam kondisi sakit
(sick) dan dalam kondisi miskin dalam
penampilan (poor in appearance).
C. Masyarakat Pesisir
Hal yang penting dipahami sebelum
membahas karakteristik sosial masyarakat pesisir,
khususnya kaum nelayan, adalah konsep
masyarakat itu sendiri. Telah banyak definisi
masyarakat. Salah satunya, Horton et al (1991)
dalam Satria (2015) mendefinisikan masyarakat
sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif
mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama,
mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki
kebudayaan sama, dan melakukan sebagian besar
kegiatannya dalam kelompok tersebut. Ada lagi
Ralph Linton (1956) dalam Sitorus et al (1998)
dalam Satria (2015) yang mengartikan masyarakat
sebagai kelompok manusia yang telah hidup dan
bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat
mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka
sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas
yang dirumuskan secara jelas. Sementara itu,
Soerjono Soekanto (1995) dalam Satria (2015)
merinci unsur-unsur masyarakat sebagai berikut:
a. Manusia yang hidup bersama,
b. Mereka bercampur untuk waktu yang lama,
c. Mereka sadar sebagai suatu kesatuan, dan
d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.
Sedangkan menurut Koentjaraningrat
(1990) dalam Satria (2015) memaknai masyarakat
sebagai komunitas dengan mengacu pada satuan-
satuan sosial dan unsur-unsur pengikat satuan
sosial tersebut, satuan sosial mencakup kerumunan,
golongan sosial, kategori sosial, jaringan sosial,
kelompok, himpunan dan komunitas. Sementara
itu, unsur pengikat mencakup pusat orientasi,
sarana interaksi, aktivitas interaksi,
kesinambungan, identitas tempat, lokasi, sistem
adat dan norma, organisasi tradisional, organisasi
buatan dan pimpinan, dan masih menurut
Koentjaraningrat, identitas tempat merupakan
unsur pengikat yang penting dan dapat
membedakannya dari satuan sosial lainnya, sebagai
contoh dalam penelitian ini yaitu masyarakat
Tanjung Siambang, masyarakat mengikat satuan
sosial mereka pada identitas tempat mereka tinggal
yaitu Tanjung Siambang sehingga mereka
menamakan masyarakat mereka masyarakat
Tanjung Siambang. Baik yang sudah pindah ke
perumahan baru maupun masih di kampung lama,
masyarakat masih lekat pada identitas tempat yaitu
Tanjung Siambang.
D. Relokasi
Menurut Jha et al (2010) dalam Martanto
dan Sagala (2010:70) relokasi adalah sebuah proses
dimana pemukiman masyarakat, aset dan
infrastruktur publik dibangun kembali di lokasi
lain, sedangkan menurut Kementerian Pekerjaan
Umum (2011) relokasi merupakan bagian dari
pemukiman kembali (resettlement) di lokasi yang
9
baru di luar kawasan rawan bencana. Menurut
Martanto dan Sagala (2010:70) relokasi adalah
upaya pemindahan sebagian atau seluruh aktivitas
berikut sarana dan prasarana penunjang aktivitas
dari suatu tempat ke tempat lain guna
mempertinggi faktor keamanan, kelayakan,
legalitas pemanfaatan dengan tetap memperhatikan
keterkaitan antara yang dipindah dengan
lingkungan alami dan binaan di tempat tujuan.
Dalam melaksanakan relokasi terdapat
beberapa prinsip yang harus dipegang sebagai
pedoman. Menurut Jha et al (2010) dalam Martanto
dan Sagala (2010:70) menyebutkan beberapa
prinsip tentang relokasi yaitu:
a. Perencanaan relokasi yang efektif adalah yang
bisa membantu membangun dan melihat secara
positif;
b. Relokasi bukanlah sebuah pilihan yang harus
dilakukan karena resiko bisa dikurangi dengan
mengurangi jumlah penduduk pada suatu
pemukiman daripada memindahkan seluruh
pemukiman;
c. Relokasi bukan sekedar merumahkan kembali
manusia, namun juga menghidupkan dan
membangun kembali masyarakat, lingkungan
dan modal sosial;
d. Lebih baik menciptakan insentif yang
mendorong orang untuk merelokasi daripada
memaksa mereka untuk meninggalkan;
e. Relokasi seharusnya mengambil tempat
sedekat mungkin dengan lokasi asal mereka;
f. Masyarakat di lokasi yang akan ditempati
merupakan salah satu yang mendapatkan
dampak dari relokasi dan harus dilibatkan
dalam perencanaan.
Jha et al (2010) dalam Martanto dan
Sagala (2010:71) menyebutkan beberapa kriteria
mengenai faktor-faktor keberhasilan relokasi, yaitu
sebagai berikut:
a. Masyarakat yang direlokasi ikut berpartisipasi
dalam relokasi dan keputusan implementasi
(pemilihan lokasi, identifikasi kebutuhan
dasar, perencanaan pemukiman, desain rumah
dan implementasi pembangunan);
b. Mata pencaharian tidak spesifik pada lokasi
sehingga tidak terganggu;
c. Air, angkutan umum, pelayanan kesehatan,
pasar dan sekolah dapat diakses dan
terjangkau;
d. Orang dapat membawa barang-barang yang
berhubungan dengan spiritual, budaya atau
nilai emosional tinggi (benda-benda
keagamaan, bagian-bagian bangunan
diselamatkan, patung atau landmark lokal
lainnya);
e. Orang pada kelompok masyarakat yang sama,
bersama-sama dipindahkan ke lokasi baru;
f. Keterikatan emosional, spiritual dan budaya
lampiran pada lokasi yang sama tidak terlalu
tinggi;
g. Desain rumah, tatanan pemukiman, habitat
alami, dan fasilitas masyarakat sesuai dengan
cara hidup masyarakat;
h. Penilaian resiko sosial, lingkungan dan bahaya
mengkonfirmasi bahwa resiko tidak dapat
dikurangi di lokasi lama, sementara
masyarakat yakin dengan kesesuaian tempat
relokasi;
i. Komunikasi yang intensif dengan kelompok
sasaran dan transparan;
j. Mekanisme penyelesaian keluhan yang efektif;
k. Relokasi dan bantuan untuk mengurangi
dampak ekonomi yang didanai secara memadai
selama periode waktu yang wajar.
Faktor-faktor kegagalan relokasi yang
juga menurut Jha (2010) yaitu adalah sebagai
berikut :
a. Tidak memadainya lokasi yang baru;
b. Jarak yang jauh dari sumber penghidupan dan
jaringan sosial;
c. Susunan pemukiman yang tidak sesuai dengan
keadaan sosial budaya;
d. Kurangnya partisipasi masyarakat;
e. Kurangnya anggaran untuk relokasi.
Dalam penelitian ini selaras pada pemikiran Jha et
al (2010) dalam Martanto dan Sagala (2010:73)
yaitu partisipasi semua pihak terkait dalam
pelaksanaan suatu kebijakan dalam hal ini relokasi
merupakan salah satu pendukung dari keberhasilan
pelaksanaan kebijakan itu. Singkatnya kegagalan
dan keberhasilan relokasi dipengaruhi oleh faktor
partisipasi masyarakat, masyarakat yang direlokasi
berpartisipasi dalam relokasi dan juga
berpartisipasi dalam penentuan keputusan
implementasi (pemilihan lokasi, identifikasi
kebutuhan dasar, perencanaan pemukiman, desain
rumah dan implementasi).
III. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Lebih lanjut
Arikunto (2010:3) yang dimaksud
penelitian deskriptif adalah penelitian
yang dimaksudkan untuk menyelidiki
keadaan, kondisi atau hal lain-lain yang
sudah disebutkan, yang hasilnya
dipaparkan dalam bentuk laporan
penelitian.
Tujuan dari penelitian deskriptif
ini adalah untuk membuat deskripsi,
10
gambaran atau lukisan secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antar fenomena
yang terdapat atau terjadi di masyarakat
khususnya mengenai .
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian diambil secara
purposive (sengaja), yaitu ditetapkan
secara sengaja berdasarkan kriteria atau
pertimbangan tertentu (Faisal, 2001).
Penelitian mengambil lokasi di Tanjung
Siambang, Pulau Dompak, Kelurahan
Dompak, Kecamatan Bukit Bestari, Kota
Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau.
Pemilihan lokasi didasari alasan
yang sangat penting yaitu karena lokasi
pusat pembangunan kantor Pemerintahan
Provinsi Kepulauan Riau terletak di pulau
Dompak yang terdampak pada masyarakat
Tanjung Siambang yang akan direlokasi
ke Perumahan Tanjung Siambang yang
berdekatan dengan kantor Gubernur
Kepulauan Riau.
3. Populasi Dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah suatu
kumpulan menyeluruh dari suatu
objek yang merupakan perhatian
penelitian atau populasi adalah
keseluruhan subjek penelitian untuk
dipelajari dan ditarik kesimpulannya.
Populasi adalah keseluruhan
subjek penelitian Arikunto
(2010:173). Menurut Spradley
(dalam Sugiyono,2011:215) dalam
penelitian kualitatif tidak
menggunakan istilah populasi,
tetapi social situation atau situasi
sosial yang terdiri atas tiga elemen
yaitu: tempat (place), pelaku
(actors), dan aktivitas (activity)
yang berinteraksi secara sinergis.
Pada situasi sosial atau partisipan,
dapat diamati secara mendalam
aktivitas (activity) orang-orang
(actors) yang ada pada tempat
(place) tertentu. Adapun Populasi
yang diambil yaitu seluruh
masyarakat Tanjung Siambang,
Pulau Dompak.
b. Sampel
Arikunto (2010:174)
menyebutkan “Sampel adalah
sebagian atau wakil populasi yang
diteliti”. Sedangkan menurut
Sugiyono (2011:81) “Sampel adalah
bagian dari jumlah dan karakteristik
yang dimiliki oleh populasi tersebut.
Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah purposive
sampling yaitu sampel bertujuan
dilakukan dengan dengan cara
mengambil subjek bukan didasarkan
atas strata, random atau daerah tetapi
didasarkan atas adanya tujuan
tertentu.
Pengambilan sampel
dimaksudkan untuk mendapatkan
informasi sebanyak mungkin dari
berbagai sumber. Maksud kedua dari
sampling adalah mengenali informasi
yang akan menjadi dasar dari
rancangan dan teori yang muncul.
Adapun yang menjadi sampel dalam
penelitian ini adalah sebanyak 24
orang informan. Adapun alasan
pengambilan sampel sebanyak ini
untuk memperoleh informasi yang
akurat dan sampel yang diambil
adalah yang kompeten dan
berdasarkan keterwakilan gender
baik laki-laki maupun perempuan
serta berhubungan langsung dengan
ketidakberdayaan masyarakat
Tanjung Siambang dalam relokasi
pemukiman penduduk yaitu dengan
kriteria pemilihan informan adalah
masyarakat Tanjung Siambang
dengan rentang umur antara 20 tahun
hingga 75 tahun baik penduduk yang
telah relokasi ke perumahan baru
Tanjung Siambang maupun
penduduk yang masih bertempat
tinggal di kampung Tanjung
Siambang.
4. Jenis Dan Sumber Data
a. Jenis Data
1) Data Primer yaitu data yang
diterima langsung dari
informan, berkaitan dengan
partisipasi masyarakat Tanjung
Siambang dalam relokasi
pemukiman penduduk.
2) Data sekunder yaitu sumber
data kedua selain data primer
berupa data tertulis yakni data
yang diperoleh atau yang
dikumpulkan berupa buku-buku
dalam daftar pustaka dan akses
internet serta dokumen
pendukung lainnya dalam
kebijakan. Serta data dari media
massa, dan dari Kelurahan
Dompak dan dari Pemerintah
Provinsi Kepulauan Riau.
b. Sumber Data
Menurut Lofland (dalam
Moleong, 2009:157) sumber data
utama dalam penelitian kualitatif
ialah kata-kata, dan tindakan,
11
selebihnya adalah data tambahan
seperti dokumen dan lain-lain.
Sumber data pada penelitian ini
didapat dari wawancara dan
observasi yang dilakukan terhadap
informan.
5. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data
merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan dari
penelitian adalah mendapatkan data
Sugiyono (2011:224). Tanpa mengetahui
teknik pengumpulan data, maka tidak
akan mendapatkan data yang memenuhi
standar data yang ditetapkan. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini didasarkan atas metode serta
situasi dan kondisi lapangan yang
dijadikan objek dalam penelitian. Untuk
itu perlu ditentukan teknik pengumpulan
data yang digunakan sebagai berikut :
a. Wawancara (interview)
Teknik pengumpulan data
yang paling utama digunakan yaitu
wawancara, dapat dipandang sebagai
teknik pengumpulan data dengan
tanya jawab, yang dilakukan dengan
sistematis dan berlandaskan pada
tujuan penelitian. Menurut Moleong
(2009:135) bahwa “Wawancara
adalah percakapan dengan maksud
tertentu.Percakapan itu dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu”.
Selanjutnya Esterber dalam
Sugiyono (2011:231) menjelaskan
bahwa: “wawancara adalah
merupakan pertemuan dua orang
untuk bertukar informasi dan ide
melalui tanya jawab, sehingga dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu
topik tertentu”.
Wawancara dilakukan untuk
mendapatkan informasi secara
langsung dari informan, sehingga
data yang diperoleh dapat dipercaya.
Kemudian berguna untuk mengetahui
lebih mendalam mengenai masalah
penelitian dari sudut pandang
ketidakberdayaan masyarakat
Tanjung Siambang dalam relokasi
pemukiman penduduk yang
dilakukan dengan menggunakan
pedoman pertanyaan (interview
guide).
b. Observasi (observation)
Observasi ini dilaksanakan
untuk mengamati secara langsung
objek penelitian, baik berupa bentuk
kegiatan yang dilaksanakan maupun
keadaan lingkungan, sarana,
prasarana, dan lain-lain. Berdasarkan
alasan tersebut, sesuai dengan
pengamatan observasi menurut
Nasution (dalam Sugiyono,
2011:226) menyatakan bahwa,
observasi adalah dasar semua ilmu
pengetahuan.
Guba dan Lincolin (dalam
Moleong, 2009:125) mengemukakan
bahwa: “Teknik pengamatan
didasarkan atas pengamatan secara
langsung, memungkinkan melihat
dan mengamati sendiri, kemudian
mencatat perilaku dan kejadian
sebagaimana terjadi pada keadaan
sebenarnya”. Sebagaimana menurut
Nazir (2003:175) observasi langsung
atau pengamatan langsung adalah
cara pengambilan data dengan
menggunakan mata tanpa ada
pertolongan alat standar lain untuk
keperluan tersebut.
Pada dasarnya observasi
dijadikan sebagai salah satu cara
pengumpulan data secara langsung
berdasarkan pengamatan. Dalam
penelitian ini, observasi digunakan
untuk memperkaya sumber data
lainnya. Adapun aspek-aspek yang di
observasi yaitu proses pembelajaran,
proses interaksi, peserta didik,
instruktur dan lingkungan
pembelajaran. Observasi dilakukan
untuk melihat atau mengamati
ketidakberdayaan masyarakat
Tanjung Siambang dalam relokasi
pemukiman penduduk, dengan alat
pengumpulan data yaitu check list
atau panduan pengamatan.
6. Teknik Analisa Data
Adapun teknik analisa data yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif,
sebagaimana penjelasan tersebut
dikemukakan oleh Moleong (2009:248),
yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, mengorganisasikan
data, memilah-milahnya menjadi satuan
yang dapat dikelola, menyintesiskan data,
mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa
yang dipelajari dan memutuskan apa yang
dapat diceritakan kepada orang lain.
Selanjutnya data-data yang
didapat dari para informan dan selanjutnya
12
di analisa antara data dari satu informan
dengan informan yang lain sehingga dapat
diketahui segala bentuk ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang dalam
relokasi pemukiman penduduk.
IV. ANALISA DATA
4.1 Karakteristik Informan
Sebelum membahas mengenai ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi
pemukiman penduduk, maka terlebih dahulu akan
dikemukakan karakteristik informan dalam
penelitian ini. Adapun karakteristik yang disajikan
meliputi jenis kelamin informan, umur informan,
pekerjaan informan dan pendidikan terakhir
informan. Seluruh informan merupakan masyarakat
Tanjung Siambang Kelurahan Dompak Kota
Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau.
4.2 Analisa Data Ketidakberdayaan
Masyarakat Tanjung Siambang Dalam Relokasi
Pemukiman Penduduk
Analisa data variabel dalam penelitian ini
yaitu ketidakberdayaan dilakukan dengan analisa
deskriptif kualitatif. Dalam analisa deskriptif
kualitatif ini dilakukan untuk mengetahui bentuk-
bentuk ketidakberdayaan masyarakat Tanjung
Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk
yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau. Analisa data ini menggunakan
konsep ketidakberdayaan (powerlessness) oleh
Narayan, Chambers, Shah dan Petesch (2000) yang
mengemukakan 10 Dimensi Ketidakberdayaan (10
dimensions of powerlessness and illbeing) yang
dikembangkan untuk penelitian tentang kemiskinan
dan ketidakberdayaan kepada 20.000 orang miskin
di 23 negara di dunia termasuk di Indonesia.
Berikut analisa data untuk mengetahui
bentuk-bentuk ketidakberdayaan masyarakat
Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman
penduduk, yaitu :
4.2.1 Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan yaitu ketidakmampuan
seseorang atau kelompok untuk merubah nasib
mereka dikarenakan lack of power yaitu ketiadaan
kekuasaan, bahwa seseorang atau kelompok itu
tidak memiliki kekuasaan terhadap diri mereka
sendiri maupun lingkungan di luar mereka
dikarenakan pengetahuan yang kurang, pendidikan
yang kurang dan lainnya.
Uraian tentang ketidakberdayaan dalam
tanggapan informan dapat dilihat melalui beberapa
indikator yaitu sebagai berikut :
a. Terpencil (Isolated)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah tempat tinggal itu letaknya terpencil,
beresiko, tidak memiliki sarana atau memberikan
kesan tidak baik..
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat dengan melihat lokasi tempat
perumahan warga dengan dimensi terpencil dengan
hasil wawancara kepada pak J (38) yang
merupakan informan kunci, mengatakan bahwa:
“lokasi perumahan baru Tanjung
Siambang lokasinya tidak sesuai dengan
keinginan masyarakat Tanjung Siambang,
karena lokasinya agak jauh dari bibir
pantai yang digunakan warga untuk
meletak sampan, sehingga tidak dapat
mengawasi sampan tersebut, sudahlah
jarak agak jauh, itupun komplain
masyarakat, karena saya juga baru jadi
RW tapi saya tau kalo masyarakat
berkeberatan pada lokasi ini, kalo untuk
lokasi perumahan Tanjung Siambang
maupun kampung lama Tanjung
Siambang itu memang terpencil lokasinya,
jauh dari pusat kota Tanjungpinang, mau
ke kota juga jauh, tidak ada transportasi
umum dari sini ke kota”.
Senada dengan pendapat pak M.A (62)
yang menyatakan bahwa:
“lokasi Tanjung Siambang ini terpencil,
dibelakang Tanjung Siambang ini baru ada
kota Tanjungpinang, cobalah lihat peta,
hampir diselatan. Transportasi umum
susah, dulu jalan raya juga susah, sekarang
aja sejak dibukanya ibukota Provinsi
Kepulauan Riau di Dompak, maka akses
jalan raya sudah ada, lampu penerangan
juga sudah ada, tapi kalo dilihat dari
tempat atau lokasi, Tanjung Siambang ini
masih dapat dikatakan terpencil”.
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
kampung Tanjung Siambang itu letaknya agak
terpencil diujung barat daya pulau Dompak.
Dengan letak rumah yang tidak jauh dari bibir
pantai dan bahkan terdapat pelantar pelabuhan yang
lumayan panjang untuk akses ke kampung Tanjung
Siambang, sedangkan dulu akses jalan belum
terlalu baik, akan tetapi sekarang akses jalan raya
sudah beraspal dan sudah lebih baik, itupun hanya
sampai depan kampung Tanjung Siambang
sedangkan untuk di Perumahan Baru Tanjung
Siambang akses jalan raya sudah beraspal dengan
sangat baik, sampai di depan rumah sudah beraspal
dan sudah seperti perumahan di perkotaan. Apabila
di perumahan Baru Tanjung Siambang tidak dapat
dikatakan terpencil walau lokasi sangat jauh, hal ini
dikarenakan letak Perumahan Baru Tanjung
Siambang hanya berjarak 700 meter dari Pusat
Pemerintahan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau.
Hal tersebut di atas sesuai dengan
pendapat Narayan, dkk yaitu “poor people live in
areas that are geographically isolated” yang
13
berarti masyarakat miskin tinggal di area yang
secara geografis terisolasi. Sama hal nya seperti
hasil wawancara di atas didapati bahwa lokasi
Tanjung Siambang itu terpencil dan terisolasi
dulunya tetapi sekarang sudah terdapat akses jalan
dan dekat dengan pusat ibukota Provinsi Kepulauan
Riau.
b. Beresiko (Risky)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah tempat tinggal itu letaknya terpencil,
beresiko, tidak memiliki sarana atau memberikan
kesan tidak baik..
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
kampung Tanjung Siambang itu letaknya agak
beresiko dikarenakan banyak rumah warga yang
menghadap ke laut. Apabila terjadi angin kuat
maka beresiko tertiup angin, atau atap terangkat
oleh angin. Jikalau ombak kuat maka agak tidak
terlalu beresiko dikarenakan rumah-rumah di
kampung Tanjung Siambang agak jauh dar bibir
pantai sekitar 25 meter dari bibir pantai. Oleh
karena itu yang paling beresiko adalah angin kuat
yang mempengaruhi resiko rumah-rumah di
kampung Tanjung Siambang.
Dalam penelitian ini membandingkan
dengan rumah di Perumahan Baru Tanjung
Siambang yang terbuat dari batu bata, resiko
ketahanan terhadap angin sudah lebih baik,
ketimbang rumah-rumah di kampung Tanjung
Siambang yang kebanyakan terbuat dari kayu.
Kemudian resiko terhadap ombak besar juga tidak
terlalu berpengaruh di Perumahan Baru Tanjung
Siambang. Hal ini dikarenakan letak Perumahan
Baru Tanjung Siambang sekitar 40 meter.
Hal tersebut sesuai dengan hasil
wawancara dengan informan yang diwakili oleh
pak Ju (39) yang mengatakan bahwa:
“setiap rumah itu memiliki resiko bang,
kalo rumah di kampung Tanjung
Siambang itu resiko lebih besar karena
lebih dekat ke laut dan kebanyakan
rumahnya terbuat dari kayu walau ada
beberapa yang terbuat dari bata, resiko
paling utama yang angin kuat atau
kencang atau ketimpa oleh pohon-pohon
yang tumbang karena ditiup angin
kencang, kalo di perumahan baru Tanjung
Siambang mungkin resiko lebih sedikit,
walau lokasi juga agak berdekatan dengan
laut akan tetapi resiko ketimpa pohon
mungkin kecil tapi kalo resiko atap
terangkat angin lumayan besar karena
berada di tanah yang terbuka, jadi intinya
rumah-rumah di Tanjung Siambang ini
memiliki resikonya tersendirilah.”
Yaitu seperti pernyataan pak J (38) dan
semua informan lainnya menyatakan bahwa:
“bahwa lokasi Tanjung Siambang beresiko
terhadap angin dan musim hujan badai”. Narayan,
dkk menyatakan bahwa lokasi yang beresiko itu
tidak memiliki infrastruktur dasar, tidak sehat dan
rentan kepada bencana alam.
c. Ketiadaan Perlindungan (Lack of Protection)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah masyarakat merasakan ada atau tidak
adanya perlindungan.
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
untuk di kampung Tanjung Siambang masyarakat
sangat merasa aman dikarenakan hampir semua
orang di dalam masyarakat saling mengenal dan
hampir kesemuanya memiliki persamaan yaitu
persamaan dalam hal persaudaraan. Menurut
beberapa informan, di kampung Tanjung Siambang
sangat aman, tidak pernah terjadi hal-hal yang
buruk terkait keamanan, dan perbandingan untuk di
Perumahan Baru Tanjung Siambang, menurut
informan kunci yang diwawancarai dan informan
lainnya mengatakan agak aman di lingkungan
tersebut, cuma agak cemas dikarenakan mereka
tinggal di perumahan, sehingga nanti dipikir yang
tinggal disitu adalah orang-orang berada yang
memiliki banyak uang, apalagi jikalau malam agak
gelap dikarenakan beberapa rumah tidak memiliki
penerangan karena belum teraliri listrik, jikapun
teraliri listrik itu berasal dari mesin generator set
yang dimiliki tidak semua warga masyarakat dan
jangka waktu nyala listrik tidak terlalu lama. Selain
itu yang membuat cemas adalah tidak adanya portal
perumahan, sehingga orang dari luar dapat masuk
dengan leluasa, sehingga kewaspadaan masyarakat
yang dituntut lebih untuk menjaga keamanan
rumah mereka sendiri.
Yaitu seperti pernyataan pak J (38) dan
semua informan lainnya menyatakan bahwa: “tidak
ada yang salah dengan pemerintah dalam
memberikan keamanan, dikarenakan rasa aman itu
muncul dari masyarakat itu sendiri”.
d. Ketenangan Pikiran (Peace of Mind)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah masyarakat merasakan ada atau tidak
adanya ketenangan pikiran.
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
hampir kebanyakan masyarakat Tanjung Siambang
sudah merasa tenang di dalam pikiran mereka.
Hanya ada beberapa hal yang mengganjal terutama
untuk di kampung Tanjung Siambang yaitu
ketidaktenangan pikiran dalam hal keharusan untuk
pindah dan mendapat ganti rugi yang tidak
seberapa dari pemerintah. Sedangkan untuk warga
di perumahan baru Tanjung Siambang tidak terlalu
cemas masalah relokasi, dikarenakan mereka sudah
berada di tempat relokasi, hanya saja yang masih
14
mengganjal yaitu sarana dan prasarana serta rasa
aman sebagaimana tersebut di indikator di atas.
Yaitu seperti pernyataan pak J (38) dan
semua informan lainnya menyatakan bahwa:
“bahwa kami masih bisa berpikir tenang dan tidak
terlalu pusing, hanya saja sarana yang sampai
sekarang belum didapat”.
e. Tidak mengacuhkan/tidak peduli (Disregard)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah sikap pihak berwenang itu tidak peduli
kepada masyarakat atau peduli kepada masyarakat.
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
dari informan yang berada di kampung Tanjung
Siambang, mereka merasakan sikap pemerintah
Provinsi Kepulauan Riau tidak terlalu
memperdulikan mereka dikarenakan biaya ganti
rugi yang diminta oleh masyarakat tidak dapat
dinegosiasikan lebih lanjut karena secara sepihak
pemerintah provinsi telah menentukan harga tanah
ganti rugi kepada masyarakat. Dari informan
memang tidak mau menyebutkan berapa harga
tanah yang ditawarkan kepada masyarakat Cuma
mereka berkata bahwa harga itu tidak cukup dan
tidak masuk akal, bahkan sangat merugikan
masyarakat. Untuk warga masyarakat yang sudah
relokasi, mereka pindah dikarenakan kondisi rumah
mereka sudah rusak dan tanah mereka tidak terlalu
luas, sedangkan yang masih berada di kampung
Tanjung Siambang itu menganggap bahwa harga
yang dtetapkan tidak sesuai karena tanah mereka
luas dan apabila dijual tidak dapat dibagi kepada
saudara-mara yang ada. Selain itu berbeda respon
dari warga masyarakat di perumahan baru Tanjung
Siambang, mereka juga merasa pemerintah tidak
peduli dengan mereka, akan tetapi dalam hal
sarana, dikarenakan sampai dengan sekarang
rumah-rumah tersebut belum teraliri listrik dari
proses relokasi tahun 2014 belum juga teraliri
listrik.
Yaitu seperti pernyataan pak J (38) dan
semua informan lainnya menyatakan bahwa:
“pemerintah masih peduli pada masyarakat, tidak
ada rasa yang muncul di masyarakat bahwa
pemerintah itu tidak peduli”.
f. Penyalahgunaan wewenang (Abuse by the
more powerful)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah sikap pihak berwenang itu tidak peduli
kepada masyarakat atau peduli kepada masyarakat.
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
dari informan baik di kampung Tanjung Siambang
maupun di perumahan baru Tanjung Siambang,
mereka tidak mengetahui dan tidak terlalu peduli
apakah pihak berwenang dari Pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau itu menyalahgunakan wewenang
atau tidak. Dan masyarakat pun tidak merasakan
adanya paksaan harusnya relokasi. Sebagaimana
hasil wawancara dengan informan kunci dan para
ketua Rukun Tetangga menyatakan bahwa tidak
ada paksaan harus relokasi, siapa warga masyarakat
yang mau pindah dipersilahkan pindah dan
masyarakat yang belum mau tidak dipaksa.
Yaitu seperti pernyataan pak J (38) dan
semua informan lainnya menyatakan bahwa: “kami
tidak ada merasakan adanya penyalahgunaan
kekuasaan, semua masih dapat dibicarakan dengan
baik”. Narayan, dkk menyatakan bahwa
penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah
maupun orang-orang di dalam pemerintahan itu
seperti korupsi, menggunakan wewenang secara
berlebihan, menghina masyarakat, menolak
melayani masyarakat maupun mengganggu
aktivitas masyarakat dengan berbagai bentuk.
Berdasarkan hasil wawancara didapati bahwa hal-
hal tersebut tidak terjadi, yaitu tidak ada satu pihak
pun yang melakukan penyalahgunaan wewenang
walau dalam beberapa kesempatan dapat dilihat
bahwa penentuan harga tanah ditentukan oleh
pemerintah, akan tetapi masyarakat tidak melihat
itu sebagai penyalahgunaan wewenang.
g. Pelemahan institusi (Disempowering)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah tindakan institusi pihak berwenang itu
melemahkan atau tidak.
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
masyarakat baik di kampung Tanjung Siambang
maupun di perumahan baru Tanjung Siambang tdak
merasakan adanya tindakan pihak berwenang dari
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau itu
melemahkan posisi masyarakat, hanya saja
masyarakat selama ini hanya sebagai pengguna
(user) tidak ikut serta dalam menentukan keputusan
baik dalam hal harga tanah, lokasi perumahan baru
maupun penentuan fasilitas yang diperlukan
masyarakat.
Yaitu seperti pernyataan pak J (38) dan
semua informan lainnya menyatakan bahwa: “kami
tidak ada merasakan adanya pelemahan dari
pemerintah, tidak ada upaya melemahkan
organisasi masyarakat, mungkin hanya institusi
masyarakat yang kurang aktif”. Seperti pendapat
Narayan, dkk (2000: 199) yaitu: “poor people
describe and hoping, state, private, and civil
society institutions are more propoor”. Yang
berarti masyarakat miskin menyatakan dan
berharap bahwa institusi negara, pribadi, dan
kemasyarakatan lebih memihak pada masyarakat
miskin. Kemungkinan dikarenakan tidak adanya
upaya penggantian tokoh masyarakat, pembubaran
organisasi masyarakat sehingga masyarakat
Tanjung Siambang tidak menganggap adanya
pelemahan institusi, apalagi mereka merasa masih
dipedulikan oleh pemerintah.
15
h. Pengecualian institusi (Excluding)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah tindakan institusi pihak berwenang itu
mengucilkan/mengecualikan atau tidak.
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
masyarakat baik di kampung Tanjung Siambang
maupun di perumahan baru Tanjung Siambang tdak
merasakan adanya tindakan pihak berwenang dari
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau itu
mengucilkan posisi masyarakat, hanya saja
masyarakat selama ini memang dalam rapat dengan
pihak berwenang hanya diwakili oleh tokoh
masyarakat, tetapi dalam keikutsertaan rapat
mungkin hanya sesekali saja dan pendapat
masyarakat tidak selalu terakomodir dalam setiap
hasil rapat dan kenyataan di lapangan.
Yaitu seperti pernyataan pak J (38) dan
semua informan lainnya menyatakan bahwa: “kami
tidak ada merasakan adanya pengecualian dari
pemerintah, ada apa-apa selalu diberitahu, mungkin
hanya suara kami aja yang kurang didengar”.
Seperti pendapat Narayan, dkk (2000: 281) yaitu:
“poor people are excluded from participation in
decisionmaking and in equal sharing of benefits
from government programs”. Yang berarti
masyarakat miskin dikecualikan dari berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan dan dan dari
mendapatkan bantuan dari program-program
pemerintah. Kemungkinan karena informan tidak
terlalu paham bahwa mereka tidak diikutsertakan
dalam pengambilan keputusan sehingga para
informan menjawab tidak adanya pengecualian
oleh pemerintah.
i. Kekurangan informasi (Lack of information)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah kurangnya kemampuan masyarakat itu
dikarenakan kurangnya informasi atau tidak.
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
hampir kesemua informan menyadari dan paham
bahwa kemampuan masyarakat terbilang cukup
rendah dilihat dari ketiadaan akses kepada
informasi yang lebih. Baik informasi yang berasal
dari buku, internet, media massa dan lainnya,
sehingga kemampuan masyarakat hanya bertumpu
pada kemampuan alam yakni kemampuan untuk
menentukan kapan baiknya untuk melaut
menangkap ikan dan hewan laut lainnya. Hanya
itulah kemampuan dasar mereka yang diakui oleh
para informan.
Hal tersebut di atas sesuai dengan
konfirmasi dengan informan kunci pak J (38) dan
informan lainnya yang mengatakan:
“kalo dulu masyarakat dapat informasi
darimana sih bang?, mau dengar radio gak
semua warga punya, mau baca koran gak
semua mau beli koran, lagian untuk apa,
mau nonton TV, gak semua warga punya
TV apalagi kayak sekarang mau internet
gak semua warga ngerti gunakan internet,
jadi masyarakat sudah paham dan maklum
dari ketiadaan fasilitas bagaimana
masyarakat mendapatkan informasi, kalo
dikatakan kurang informasi ya sangat jelas
sekali masyarakat Tanjung Siambang
kurang mendapatkan informasi.”
Hal tersebut di atas sesuai dengan
pendapat Narayan, dkk (2000: 239) yaitu:
“poor people’s isolation from information
is compounded by lack of access to
communication and information
technology, including telephones, internet,
radio, printed material and television. The
degree of isolation varies across regions”.
Hal tersebut di atas berarti yaitu
masyarakat miskn terisolasi dari informasi
disebabkan oleh ketiadaan akses pada komunikasi
dan teknologi informasi, termasuk telepon, internet,
radio, media cetak dan televisi. Tingkat isolasi
berbeda di setiap daerah.
j. Kurang berpendidikan (Lack of education)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah kurangnya kemampuan masyarakat itu
dikarenakan kurangnya pendidikan atau tidak.
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
hampir kesemua informan menyadari dan paham
bahwa kemampuan masyarakat terbilang cukup
rendah dilihat dari rata-rata pendidikan terakhir
warga masyarakat hanyalah tamatan Sekolah Dasar
(SD). Atau bahkan ada juga yang tidak
menamatkan Sekolah Dasarnya, kemampuan
mereka berorientasi pada kemampuan dasar yaitu
mampu membaca, menulis dan menghitung. Akan
tetapi ada kesadaran dari masyarakat untuk
menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, apalagi sekarang
perguruan tinggi sudah dekat, hanya saja Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah
Atas atau Kejuruan yang lokasinya masih jauh dari
wilayah Tanjung Siambang. Hal itu semua di atas
berdasarkan hasil wawancara kepada informan dan
diwakili oleh informan kunci yaitu pak J (38) yang
mengakan bahwa:
“jikalau abang mengumpulkan data dari
kantor Lurah nanti, abang cek berapa
jumlah masyarakat Tanjung Siambang
dari pendidikan terakhinya, kalo secara
kasat mata dan sepengetahuan saya
masyarakat Tanjung Siambang itu
kebanyakan tamatan SD, jadi dapat
dikatakan kurang berpendidikan tinggilah
16
bang, bahkan ada juga yang tak tamat SD,
kalo orang-orang dulu tu berpikir untuk
apa pendidikan tinggi, kalo bisa makan
sudah cukup lah, kita ni kan ikut aja kata
orang tua. Maka oleh itu banyak
masyarakat Tanjung Siambang yang tak
sekolah tinggi, selain jauh sekolah seperti
SMP atau SMA dulunya kebanyakan
masyarakat juga tak mampu untuk
melanjutkan sekolah. Kalaupun ada
masyarakat yang pendidikannya SMP atau
SMA atau lebih tinggi lagi tu pasti bukan
masyarakat asli Tanjung Siambang
kemungkinannya pendatang atau anak dari
penduduk asli yang sudah tinggi
pendidikannya, karena sarana dan
prasarana sudah cukup memadai
sekarang.”
Hal tersebut di atas sesuai dengan
pendapat Narayan, dkk (2000: 245) yaitu :
“poor people make distinctions between
literacy and education, the important is
for reading, for checking prices and they
see basic literacy as a key ability,
nowadays poor people in community after
community indicate that they value
education highly as a key to a better future
for themselves and especially for their
children”
Yang berarti bahwa masyarakat miskin
membuat perbedaan diantara literatur dan
pendidikan, yang penting adalah untuk membaca,
mengecek harga dan mereka melihat kemampuan
dasar adalah kunci dari semuanya, saat sekarang ini
masyarakat miskin di komunitas-komunitas
mengindikasikan bahwa mereka sangat menghargai
pendidikan sebagai kunci untuk masa depan yang
lebih baik untuk mereka sendiri dan terutama untuk
anak-anak mereka. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat informan yaitu orang-orang dulu
menganggap hal yang paling penting adalah bisa
membaca, menulis dan menghitung atau calistung,
tetapi untuk orang tua di zaman sekarang sangat
mementingkan pendidikan untuk masa depan
anaknya sehingga akan berpengaruh pada masa
depan orang tua mereka juga nantinya. Akan tetapi
untuk masyarakat Tanjung Siambang hal ini hampir
sama, hanya saja dikarenakan kurangnya
pendidikan masyarakat Tanjung Siambang yang
dikarenakan kata orang tua-orang tua dulu yang
menyatakan cukup bisa calistung maka pendidikan
masyarakat Tanjung Siambang hanya terbatas pada
kemampuan dasar itu dan hingga tamat SD saja.
Dengan terbatasnyaa pendidikan tersebut
berpengaruh pada ketidakberdayaan masyarakat
yang tidak memiliki mata pencaharian yang tinggi
atau formal, dikarenakan pendidikan tersebut.
k. Tidak terampil (Lack of skills)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah kurangnya kemampuan masyarakat itu
dikarenakan kurangnya keterampilan atau tidak.
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
hampir kesemua informan menyadari dan paham
bahwa kemampuan masyarakat terbilang cukup
rendah dilihat dari hal keterampilan, masyarakat
masih kurang mampu menghasilkan pekerjaan
yang menunjukkan keterampilan masyarakat, hal
ini mungkin masih dipengaruhi oleh karakteristik
masyarakat pesisir yang bergantung pada alam
sehingga keterampilan masyarakat pesisir hanya
berputar pada laut dan keterampilan dalam
memancing ikan dan hewan laut lainnya, atau
keterampilan dasar mereka yaitu kemampuan untuk
berenang dan menyelam. Hal tersebut semua diakui
oleh masyarakat Tanjung Siambang. Sebagaimana
hasil wawancara dengan informan kunci pak J (38)
yaitu:
“mau dibilang tak terampil masyarakat
harus dilihat dulu keterampilan seperti apa
ya bang, kalo keterampilan memancing
atau nelayan, masyarakat disini cukup
terampil, tapi kalo keterampilan lain yang
berkaitan dengan pekerjaan ya kayak
keterampilan komputer, keterampilan
menjahit untuk ibu-ibu, keterampilan las
dan permesinan ya masyarakat disini
kurang terampil kalo seperti itu, kalo
masyarakat disini keterampilannya yaitu
keterampilan yang turun temurun yaitu
nelayan, keterampilan dasarnya seperti
berenang dan menyelam karena dekat
dengan laut sehingga yang diasah ya
hanya keterampilan seperti itu,
keterampilan lain seperti menjaring,
menjala, memancing, menyondong udang,
menangkap sotong atau gurita itu
keterampilan yang diajar oleh orang-orang
tua dulu kepada anaknya.”
Hal tersebut di atas sesuai dengan
pendapat Narayan, dkk (2000: 245) yaitu :
“in the world poor people speak about the
importance of learning practical skills to
enable them to make a livelihood, the
importance of skills of poor people in
every family is learning from they father
when they are children”.
Yang berarti bahwa di dalam dunia
masyarakat miskin berbicara tentang pentingnya
belajar kemampuan praktis untuk dapat dijadikan
sebagai mata pencaharian, pentingnya kemampuan
masyarakat miskin di setiap keluarga diajarkan oleh
ayah mereka ketika mereka masih anak-anak.
Senada dengan hasil wawancara yaitu kemampuan
17
atau keterampilan masyarakat didapat dari orang-
orang tua dulu yang diturunkan kepada anak-
anaknya.
l. Tidak percaya diri (Lack of confidence)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah kurangnya kemampuan masyarakat itu
dikarenakan kurangnya kepercayaan diri atau tidak.
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan kunci pak J (38)
didapati hasil yaitu :
“masyarakat Tanjung Siambang yang
kebanyakan pendidikan tamat SD atau
kadang tak tamat SD agak kurang percaya
diri karena rendahnya pendidikan
sehingga terkadang masyarakat kurang
percaya diri untuk tampil atau bicara
dengan orang luar.”
Dari hasil bahwa hampir kesemua
informan menyadari dan paham pada kemampuan
diri mereka sendiri dan mereka percaya diri
mengakuinya. Mereka tidak sungkan mengatakan
bahwa mereka tidak mengetahui hal tersebut dan
tidak malu pada kemampuan diri mereka, mereka
yakin dan percaya setiap masyarakat memiliki
kemampuannya sendiri-sendiri.
Sesuai dengan pendapat Narayan, dkk
(2000: 237) yaitu:
“poor people are disadvantage by lack of
confidence, they limited from schooling,
and these thing contribute to limited
confidence, and together they reinforce
powerlessness and voicelessness and
marginalization in society”.
Yang berarti yaitu masyarakat miskin
dalam keadaan rugi diakibatkan oleh tidak percaya
diri sendiri, mereka terbatas dari tingkat
pendidikannya, dan hal tersebut mengakibatkan
pada terbatasnya kepercayaan diri, dan bersama
menciptakan ketidakberdayaan dan
ketidakmampuan memberikan pendapat dan
termarginalisasi di dalam masyarakat.
4.2.2 Kerentanan
Kerentanan yaitu ketidakberdayaan karena
ketiadaan kontrol diri (lack of personal control)
yang berarti tidak mampu untuk menguasai diri
sendiri baik secara internal maupun eksternal.
Uraian tentang kerentanan dalam tanggapan
informan dapat dilihat melalui beberapa indikator
yaitu sebagai berikut :
a. Tidak Menentu (Precarious)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah mata pencaharian masyarakat itu hasilnya
tidak menentu atau dapat dipastikan hasilnya.
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
mata pencaharian masyarakat Tanjung Siambang
yang kebanyakan adalah nelayan masih bersifat
tidak menentu. Selain nelayan masyarakat di
Tanjung Siambang juga bekerja sebagai tenaga
harian lepas atau buruh dengan penghasilan yang
tidak menentu juga, terkadang apabila terdapat
pekerjaan maka penghasilan dapat dipastikan,
sedangkan apabila tidak ada pekerjaan bangunan
maka penghasilan menjadi tidak menentu. Begitu
pula dengan nelayan, apabila pergi melaut untuk
memancing ikan, apabila mendapat tangkapan
maka akan mendapat penghasilan sedangkan
apabila tidak memancing ataupun memancing akan
tetapi tidak mendapat hasil tangkapan maka
penghasilan menjadi tidak menentu bahkan merugi.
Rugi apabila memancing mengeluaran modal
seperti umpan dan bahan bakar sampan yang
digunakan untuk memancing. Apabila
dibandingkan dengan masyarakat di Perumahan
Baru Tanjung Siambang hal ini tidak jauh berbeda
dikarenakan pekerjaan masyarakat kebanyakan
masih nelayan dan karyawan swasta yang
penghasilannya tidak menentu.
Hal tersebut di atas berdasarkan
wawancara dengan informan kunci pak J (38) yang
menyatakan bahwa:
“mata pencaharian penduduk Tanjung
Siambang banyak yang tak menentu pak,
kalau melihat pekerjaan tetap mereka akan
mengatakan kalau mereka nelayan,
termasuk saya juga nelayan, tapi macam
bapak lihat saya sekarang tak melaut, jadi
hasil tu tak menentu betulllah pak, kalo
istri yang mengurus rumah tangga ni kerja
sambilan jual-jual makanan sarapan, jadi
adalah sedikit-sedikit tambahan
penghasilan pak, tapi sekarang sudah
banyak warga yang buat usaha rumahan
juga jadi penghasilan istri saya pun tak
menentu juga.”
Hal tersebut sesuai dengan wawancara
dengan pak MH (41) yang mengatakan bahwa:
“kalo bapak tanya saya pekerjaannya
nelayan, tapi nelayan tradisional pak,
dengan alat seadanya, kalo cuaca lagi
bagus dan musim ikan, saya turun melaut,
tapi kalo tidak ya saya dirumah saja, kalo
ditanya penghasilan jelas tak menentulah
pak, tak macam pegawai yang
penghasilannya bulanan, penghasilan
sebagian besar penduduk Tanjung
Siambang tu tak menentu pak, kalo melaut
baru dapat penghasilan itupun kalau
mendapat ikan untuk dijual atau paling
tidak untuk dimakan istri dan anak”
Senada dengan informan sebelumnya hasil
wawancara dengan pak I (67) pula mengatakan
dengan ringkas yaitu “kami ni nelayan pak, pasti
penghasilan tak menentu, terkadang besar,
18
terkadang kecil, terkadang tak ada hasil, terkadang
rugi pun ada”.
Pendapat lain dari penduduk yang
pekerjaannya bukan nelayan yaitu berdasarkan
hasil wawancara dengan pak R (24) yang
mengatakan bahwa:
“kalo pekerjaan sesuai KTP saya
Karyawan Swasta, kalo ditanya benarnya
saya buruh harian lepas, atau tukang
bangunan orang taunya begitu,
penghasilan sesuai dengan namanya pak,
harian lepas, jadi kalo ada pekerjaan
borongan, ya saya kerja, tapi kalo tak ade
ya saya dirumah bantu-bantu lain atau
melaut, mancing. Untuk makan sehari-hari
saja. Penghasilan jelas tak menentu lah
pak, tak bisa kaya orang kayak kami ni
pak. Kalo orang bilang kerja serabutan
pak, serampangan lah kerjanya, kalo lagi
banyak borongan, lumayan sikit, tapi duit
tu tak boleh pakai semua, simpan. Jaga-
jaga kalo lagi tak ada duit nak beli beras
atau bayar sekolah anak”.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut
semua dan hasil wawancara lainnya dengan
pendapat yang hampir sama, dapat diketahui bahwa
mata pencaharian penduduk Tanjung Siambang itu
hasilnya tidak menentu.
Seperti pendapat Narayan, dkk (2000:
248) yaitu:
“precariousness is compounded by limited
ownership and access to assets – physical,
financial, human, environmental and
social, to cope with such precarious
livelihood conditions, poor people often
struggle to diversify their sources of
income and food; they work on the land
and in quarries and mines; they hunt down
temporary jobs and sell an endless variety
of goods on the streets; they do piecework
in factories and from homes; the patch
together remittances. Many poor people
count on local moneylenders and
shopkeepers for credit in emergencies and
during lean times; few have access to
formal credit and savings services”.
Yang berarti yaitu ketidakmenentuan
berasal dari terbatasnya kepemilikan dan akses
pada harta atau fisik, keuangan, manusia lainnya,
lingkungan dan sosial, untuk mengatasi kondisi
mata pencaharian yang tidak menentu tersebut,
masyarakat miskin selalu berusaha untuk
melakukan diversifikasi sumber pendapatan dan
makanan, mereka bekerja di daratan dan di
penggalian dan pertambangan, mereka selalu
mencari pekerjaan tambahan yang bersifat
sementara dan menjual segala jenis barangan di
tepi jalan, mereka melakukan pekerjaan di pabrik-
pabrik dan dari rumah, mereka menanggung
bersama pembayaran-pembayaran. Banyak
masyarakat miskin bergantung pada pemberi
pinjaman lokal dan pemilik warung untuk
mendapatkan kredit pada saat darurat dan ketika
butuh pinjaman, sedikit akses kepada layanan
lembaga simpan dan pinjam yang resmi. Sehingga
benarlah bahwa pendapatan masyarakat Tanjung
Siambang itu tidak menentu sehingga rentan pada
ketidakberdayaan dalam mata pencaharian dan
kehidupannya sehari-hari.
b. Tidak Memadai (Inadequate)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah mata pencaharian masyarakat itu hasilnya
memadai atau tidak memadai.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan
ke informan terkait mata pencaharian yang hasilnya
tidak memadai, hasil wawancara dengan bu N (51)
memberikan pendapat yaitu:
“saya hanya ibu rumah tangga, tapi ada
usaha sikit-sikitlah, suami saya Cuma
nelayan, jelas penghasilan hanya sikit dan
tidaklah besar jelas tidak memadai untuk
setiap bulannya, maka saya bantu dengan
berjualan kue. Kalau ditanya memadai
atau tidak ya tidak memadai lah pak,
bukan saya mau buka aib keluarga, tapi
penghasilan kami warga miskin ni tak
seberapa dan tak memadai lah pak, tapi
dicukup-cukupkan untuk hidup lah pak.
Pandai-pandailah kata orang.”
Begitu pula hasil wawancara dengan bu E
(41) yang menyatakan bahwa:
“penghasilan saya tidaklah besar pak,
apalagi Cuma ibu rumah tangga dan saya
hanya menunggu hasil dari anak saya,
karena saya sudah tidak memiliki suami
lagi, anak saya kasih saya hanya untuk
dapat hidup sebulan lah pak, jelas tidak
memadai, apalagi anak saya hanya
nelayan, jelas tidak mencukupi dan tidak
memadai untuk hidup, tapi orang macam
saya ni untuk apa juga banyak-banyak
uang, kan tak ada lagi yang dikejar, jadi
hidup sederhana saja, mencukup-cukupi
hidup untuk waktu-waktu tertentu.”
Senada dengan wawancara dengan A (39)
yang menyatakan bahwa:
“pekerjaan saya hanya nelayan,
penghasilan tak memadai setiap bulan,
cukup untuk makan aja sudah syukur,
cukup untuk biaya anak sekolah dan uang
jajan anak juga sudah syukur. Ya harus
rajin melaut, kalo lagi musim ikan, harus
selalu sering melaut, agar bisa
mendapatkan hasil yang besar, terus uang
disimpan kalo nanti-nanti tak melaut.
Yang penting hidup sederhana, tidak
19
untuk hal-hal yang mewah lah, maka bisa
cukuplah untuk sebulan, kalo tak cukup ya
dicukup-cukupkan.”
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara tersebut di atas kepada informan
didapati hasil bahwa mata pencaharian masyarakat
Tanjung Siambang yang kebanyakan adalah
nelayan dan buruh harian lepas yaitu penghasilan
mereka hampir tidak memadai setiap bulannya,
apalagi untuk biaya sekolah anak, makan sehari-
hari dan biaya transportasi ke kota yang jauh.
Sebelum adanya jembatan dari pulau dompak ke
Tanjungpinang, masyarakat menggunakan jasa
kapal kecil bertenaga mesin atau disebut boat.
Namun sekarang setelah adanya jembatan,
kebanyakan masyarakat mengambil kredit
kendaraan bermotor roda dua, dan penghasilan
yang tidak menentu tersebut dan mengikut musim
semakin tidak memadai. Akan tetapi dari semua
hasil wawancara, informan mengatakan
penghasilan mereka dicukup-cukupkan untuk setiap
bulannya. Jawaban ini hampir sama di masyarakat
baik masyarakat di kampung Tanjung Siambang
maupun di masyarakat Perumahan Baru Tanjung
Siambang.
Hal di atas seperti yang dikatakan oleh
Narayan, dkk (2000: 53) yaitu
“for people had a formal sector jobs used
to be provided adequate earnings, but for
poor people the earning is inadequate, so
their patching for temporary jobs, bundles
of livelihood activities can sometimes be a
way forward”
Yang berarti yaitu untuk beberapa orang
memiliki pekerjaan di sektor formal adalah untuk
mendapatkan penghasilan yang memadai, akan
tetapi untuk masyarakat miskin pendapat mereka
tidak memadai, sehingga mereka menutupinya
dengan pekerjaan sementara, melakukan
sekumpulan aktivitas mata pencaharian lain
terkadang dapat menjadi jalan keluarnya. Senada
dengan hasil wawancara yang menyatakan bahwa
pendapatan mereka memang tidak memadai, akan
tetapi mereka akan melakukan pekerjaan lain
seperti hasil wawancara yaitu dengan berjualan kue
sebagai pekerjaan lainnya.
c. Tidak Memiliki Sarana (Unserviced)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah tempat tinggal itu letaknya terpencil,
beresiko, tidak memiliki sarana atau memberikan
kesan tidak baik..
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
kampung Tanjung Siambang itu sudah memilki
sarana seperti sekolah dasar dan mesjid, kemudian
listrik di setiap rumah sudah tersedia dari PLN, dan
walaupun air masih menggunakan air sumur.
Sedangkan apabila dibandingkan dengan
di Perumahan Baru Tanjung Siambang sarana
masih belum banyak tersedia, yang paling utama
yaitu listrik, sampai dengan tahun 2016 listrik
belum teraliri di rumah-rumah, walaupun peralatan
listrik seperti kabel sudah diinstalasi, tetapi box
listrik di rumah masyarakat belum tersedia. Air
juga agak susah, masyarakat di perumahan baru
mengandalkan pada mesin pompa air untuk
mengalirkan air dari rumah ke rumah dengan
sumber air yang berasal dari kolam penampungan
di sekitar perumahan atau dari sumur bersama.
Sekolah tidak tersedia sehingga anak-anak masih
bersekolah di sekolah yang lama yang berlokasi di
kampung Tanjung Siambang. Mesjid juga tidak ada
yang ada hanyalah mushola kecil. Dan untuk
pendidikan yang tersedia hanya Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD) itupun baru akhir 2015
beroperasi. Dilihat dari hasil perbandingan, lebih
baik sarana di kampung Tanjung Siambang
daripada di Perumahan Baru Tanjung Siambang.
Hal tersebut di atas sesuai dengan
konfirmasi kepada informan kunci yaitu pak J (38)
dan informan lainnya yang mengatakan bahwa:
“sarana di perumahan baru belum ada
selain rumah, seperti listrik, air dan
fasilitas umum lainnya belum ada. Yang
baru dibangun pada tahun 2015 itu hanya
ada PAUD. Kalo listrik pake genset bagi
yang punya genset dan masyarakat lain
bisa numpang kalo kabelnya sampai
kerumah atau bisa pasang sendiri,
sedangkan air yang numpang dengan
masyarakat yang punya sumur dan mesin
sedot air, kalo tidakpun masyarakat ambil
di kolam penampungan yang letaknya
berdekatan dengan perumahan baru
Tanjung Siambang.”
Berbeda dengan pendapat pak M.H (41)
yang mengatakan bahwa :
“sarana di kampung lama Tanjung Siambang
lumayan sudah adalah bang, seperti listrik sudah
masuk, air dari sumur juga ada disetiap rumah
penduduk, mesjid ada, sekolah ada walau hanya
SD, pelabuhan ada juga. Jadi sarana di kampung
lama lebih banyak daripada di perumahan baru
Tanjung Siambang, alasan ini juga yang membuat
saya masih enggan untuk relokasi, apalagi jumlah
rumah yang disediakan tidak cukup, dari semua
total Kepala Keluarga tidak terfasilitasi dari rumah
yang ada yang hanya sekitar 150an rumah.”
Hal tersebut di atas sesuai dengan
pendapat Narayan, dkk (2000: 72) yang
menyatakan bahwa:
“poor people has serious gaps in access to
basic services and infrastructure, a great
many lists indicate difficulties with service
to water, roads and transport, housing,
20
fuel, energy sources or electricity, supplies
and sanitation”
Yang berarti bahwa masyarakat miskin
memiliki jurang yang serius dalam mendapatkan
akses ke pelayanan dasar dan infrastruktur, banyak
daftar yang mengindikasikan kesulitan dalam
mendapatkan pelayanan dasar tersebut sepert air
bersih, jalan dan transportasi, perumahan, bahan
bakar, sumber energi atau listrik, perlengkapan dan
sanitasi yang baik. Dari hal tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa apabila sarana masih belum baik
maka masih terdapat ketidakberdayaan di tengah-
tengah masyarakat, karena keterbatasan dalam
mendapatkan akses kepada pelayanan dasar
tersebut sehingga masyarakat masih rentan pada
ketidakberdayaan.
4.2.3 Ketergantungan
Ketergantungan yaitu ketidakberdayaan
seseorang atau kelompok yang hanya
mengandalkan mata pencaharian dan kebutuhan
mereka kepada 1 (satu) jenis usaha. Uraian tentang
ketergantungan dalam tanggapan informan dapat
dilihat melalui beberapa indikator yaitu sebagai
berikut :
a. Musiman (Seasonal)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah mata pencaharian masyarakat itu hasilnya
mengikut kepada musim atau tidak mengikut
kepada musim.
Berdasarkan hasil wawancara kepada
informan yaitu dengan pak M (55) memberikan
pendapat terkait mata pencaharian masyarakat
Tanjung Siambang yang musiman, menurut pak M
(55) mengatakan bahwa:
“mata pencaharian penduduk Tanjung
Siambang, terutama yang nelayan itu
turun kelaut berdasarkan musim, kalo lagi
musim angin tak kuat, maka banyaklah
yang turun melaut, baik menjaring ikan,
memancing ikan, menangkap udang, atau
mencari gonggong dan mencari hasil laut
yang lainnya, tapi melihat musim, kalo tak
melihat musim ya sama aja tau tak dapat
hasil”
Senada pula dengan pendapat di atas, hasil
wawancara dengan pak J (39) memberikan
pendapat yaitu:
“saya turun melaut pastilah melihat
musim, kalo tak lihat musim ngapain turun
ke laut, kalo Cuma mancing-mancing aja,
ikan untuk makan tak perlu lihat angin
atau musim, cukup mancing dekat-dekat
tubir pantai atau kalau tak mau keluar
biaya, mancing di pelantar pelabuhan aja,
tapi kalo saya yang ditanya untuk kapan
melaut ya pastinya saya akan melihat
musim angin dulu, baru melaut”
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara tersebut di atas. kepada informan
didapati hasil bahwa mata pencaharian masyarakat
Tanjung Siambang yang kebanyakan adalah
nelayan, penghasilan mereka tergantung pada
musim memancing atau bahkan musim ikan yang
akan didapatkan. Jadi hasil memancing para
nelayan bergantung pada musim angin dan ombak,
nelayan akan melihat apabila angin sedang kuat
dan ombak sedang tinggi, maka nelayan tidak akan
melaut untuk memancing, namun apabila angin
sedang tenang dan ombak juga tenang maka
nelayan akan melaut untuk memancing. Tetapi
tidak terlepas juga pada musim ikan yang ada,
seperti ketika bulan terang maka nelayan tidak akan
memancing ikan akan tetapi akan memancing
sotong, atau ada jenis-jenis ikan yang muncul
sesuai dengan musimnya. Selain itu strategi
nelayan yaitu memperbanyak melaut untuk
memancing ikan sebelum datangnya musim angin
utara yang merupakan musim angin dengan angin
yang kuat. Selain dengan metode memancing
nelayan di Tanjung Siambang biasanya
menggunakan metode menjaring ikan. Bahkan
terdapat musim menangkap udang dengan
menggunakan alat yang bernama condong dan
masyarakat biasanya menamakannya dengan
menyondong udang. Hal ini terjadi baik kepada
masyarakat yang sudah pindah maupun masyarakat
yang belum pindah dari kampung Tanjung
Siambang.
Hal tersebut di atas senada dengan
pendapat Narayan, dkk (2000: 71) yaitu:
“many of the worst deprivations that come
with living in these places are seasonal in
nature like rain and wind” dan “seasonal
fluctuations in rural and also urban
opportunities and rewards for work can be
sharply seasonal, during the rains in
Somalia, livestock sales plummet and
prices for food rise sharply, putting at a
disadvantage those poorer people who
need to sell animals to buy food and the
other season, fishing in some countries
like Bangladesh, Egypt, Indonesia, India
are reported to be highly seasonal”
dengan hasil wawancara penelitian
tersebut yaitu “nothing to do during three
to four months of rainy/stormy season”
(2000: 55-56).
Yang berarti bahwa “banyak perangkap
kemiskinan di beberapa daerah atau tempat
dipengaruhi oleh musim dan alam terutama hujan
dan angin” dan “fluktuasi musiman di pedesaan
dan juga wilayah perkotaan dapat memberikan
kesempatan dan penghasilan sesuai dengan musim
yang terjadi, (dengan contoh) seiring hujan di
Somalia, penjualan pakan ternak dan harga bahan
makanan meningkat tajam, memberikan pengaruh
21
pada ketidakmampuan bagi warga miskin yang
memelihara hewan ternak dan untuk membeli
makanan, di musim yang lain, memancing di
beberapa negara seperti Bangladesh, Mesir,
Indonesia dan India dilaporkan sangat musiman”,
dengan hasil wawancara penelitian tersebut yaitu
“tidak ada yang dapat dilakukan dalam tiga hingga
empat bulan kedepan dengan keadaan musim hujan
lebat dan berbadai”.
Masyarakat Tanjung Siambang dalam hal
ini sangat tergantung kepada musim untuk
mendapatkan penghasilan dari memancing
walaupun dilain pihak musim tersebut memberikan
lahan pekerjaan yang lain yaitu apabila tidak bisa
melaut maka kesempatan untuk mencari pekerjaan
seperti menjadi buruh kerja bangunan dapat
dilakukan ketika tidak bisa memancing karena
cuaca yang ekstrim.
b. Tidak terhubungnya organisasi
(Disconnected)
Untuk melihat ketidakberdayaan
masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat
apakah organisasi yang ada di masyarakat itu
terhubung ke masyarakat atau terorganisir atau
tidak.
Berdasarkan data yang diterima dari hasil
wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
masyarakat baik di kampung Tanjung Siambang
maupun di perumahan baru Tanjung Siambang
tidak merasa organisasi mereka itu kurang
komunikasi atau tidak terhubung ke masyarakat
atau bahkan merasa organisasi mereka itu lemah,
bahkan mereka memiliki organisasi tersendiri yaitu
Persatuan Masyarakat Tanjung Siambang (PMTS)
dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang
bersifat birokrasi baik dari Rukun Tetangga (RT)
hingga Rukun Warga (RW), karena yang menjadi
anggota organisasi adalah mereka-mereka yang
mempunyai hubungan persaudaraan dengan
masyarakat sehingga antara organisasi masyarakat
dengan masyarakat selalu terhubung, akan tetapi
dari hasil wawancara lebih mendalam didapati
bahwa keterhubungan masyarakat dengan
organisasi sudah baik, akan tetapi keterhubungan
antara organisasi dan nilai tawar dari organisasi
tersebut untuk mewakili suara warga dengan
komunikasi dengan institusi pemerintah dalam hal
ini Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau masih
minim, minim dalam nilai tawar, pengaruh dan
lainnya.
Hal tersebut di atas sesuai dengan hasil
wawancara dengan pak J (38) yang mengatakan
bahwa :
“organisasi masyarakat di Tanjung
Siambang itu saling terhubung pak, karena
satu sama lainnya saling kenal, dan contoh
organisasi yang ada di masyarakat yaitu
RT dan RW dan saya selaku Ketua RW
juga memiliki banyak hubungan
persaudaraan dengan warga Tanjung
Siambang, dan juga RT-RT yang ada di
RW I (satu) ini juga memiliki hubungan
persaudaraan dengan warga, jadi tidak
mungkin antara warga dengan ketua RT
dan RW tidak saling terhubung, apatah
lagi ada organisasi baru masyarakat
Tanjung Siambang yaitu Persatuan
Masyarakat Tanjung Siambang (PMTS)
yang dibentuk oleh warga untuk wadah
organisasi masyarakat Tanjung Siambang
dengan berbagai fungsi sesuai kebutuhan
masyarakat Tanjung Siambang, tapi kalo
untuk mewakili masyarakat dalam hal
relokasi sih dek masih belum kuat, kami
yang RT dan RT aja masih tidak kuat
dalam memberikan pengaruh ke
pemerintah, apalagi PMTS, tentu juga
begitu, sudah jumpa ke Pemko yaitu pihak
kelurahan, masih tidak ditanggapi karena
mereka bilang bukan kewenangan
kelurahan, tetapi kewenangan pemerintah
Provinsi Kepulauan Riau, dalam
pengambilan keputusan pun RT dan RW
itu hanya sebagai yang menyaksikan aja,
bukan yang ikut mengambil keputusan”
Hal tersebut sebagaimana pendapat
Narayan, dkk (2000:250) yaitu sebagai berikut :
“poor women dan men participate in a
range of informal and formal local
networks and organizations, although by
and large these groups are limited in
number, resources and leverage. These
groups and networks rarely connect with
other similar groups or with resources of
the state or other agencies. Isolated and
disconnected, poor people’s organizations
have difficulties shifting their bargaining
power with institutions of the state, market
and civil society”
Yang berarti bahwa, “wanita dan pria
berpartisipasi dalam jaringan dan organisasi yang
bersifat informal dan formal, walaupun
keikutsertaan dan besarnya grup terbatas dalam
jumlah, sumber daya dan pengaruh. Organisasi
(grup) dan jaringan jarang terhubung dengan
organisasi lain yang serupa atau dengan institusi
pemerintah atau lembaga yang lain. Terisolasi dan
tidak terhubung menjadi masalah bagi organisasi
masyarakat miskin terutama dalam nilai tawar
mereka terhadap institusi pemerintah, pasar dan
masyarakat”. Dengan demikian walau organisasi
terhubung akan tetapi nilai tawar organisasi
masyarakat di mata institusi pemerintah masih
minim dalam memberikan pengaruh.
Dari 17 indikator di atas merupakan
bentuk-bentuk ketidakberdayaan masyarakat
Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman
penduduk.
22
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari kesepuluh dimensi ketidakberdayaan
yang dijelaskan di atas, dihasilkan beberapa bentuk
ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang
dalam upaya relokasi pemukiman penduduk dari
kampung Tanjung Siambang ke Perumahan Baru
Tanjung Siambang. Bentuk-bentuk
ketidakberdayaan yang paling jelas terlihat adalah
dari dimensi :
1. Kerentanan dimana ketika berada di kampung
Tanjung Siambang mata pencaharian dengan
hasil yang tidak menentu dan tidak memadai
dengan relokasi mata pencaharian hampir sama
ketika masih berada di kampung sehingga
upaya relokasi tidak berpengaruhi terhadap hal
ini, atau hanya berpengaruh kepada segelintir
pihak yang diberikan pekerjaan sebagai tenaga
honorer di Pemerintah Provinsi Kepulauan
Riau, itupun pekerjaan seperti penjaga dan
petugas kebersihan, serta dimana ketika
masyarakat tidak berdaya ketika lokasi mereka
tinggal diambil alih hanya untuk resort
pariwisata dan penentuan lokasi tersebut tidak
mengikutsertakan masyarakat dalam
mengambil keputusan dalam hal penentuan
lokasi relokasi dan harga tanah untuk ganti
kerugian kepada masyarakat serta model atau
tipe rumah relokasi yang tidak sesuai dengan
harapan masyarakat baik dalam segi besaran,
sarana dan fasilitas umum lainnya;
2. Ketergantungan, dimana upaya relokasi tidak
mengubah ketidakberdayaan masyarakat dari
yang berkemampuan rendah untuk dapat
memiliki kemampuan yang lebih, dikarenakan
upaya relokasi hanya berdasarkan pada pola
ekonomi tidak berdasarkan kemampuan
masyarakat.
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam
penelitian ini yaitu :
1. Diharapkan kepada Pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau untuk dapat lebih
memperhatikan masyarakat kampung Tanjung
Siambang dengan lebih mengoptimalkan
upaya pemberdayaan masyarakat dari segala
bidang, terutama bidang ekonomi, sosial dan
kesejahteraan masyarakat.
2. Diharapkan kepada Pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau untuk dapat memenuhi janji-
janji dalam upaya relokasi dengan terlebih
dahulu melengkapi sarana untuk perumahan
Baru Tanjung Siambang dan fasilitas-fasilitas
umum yang lengkap untuk kenyamanan dan
sebagai salah satu langkah upaya
pemberdayaan masyarakat.
3. Diharapkan kepada Pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau untuk dapat memberikan
kesempatan kepada masyarakat Tanjung
Siambang untuk dapat berpartisipasi lebih
dalam pembangunan dan terutama
berpartisipasi dalam memberikan pendapat dan
pengambilan keputusan, dikarenakan
masyarakat Tanjung Siambang merupakan
yang merasakan relokasi dan pembangunan ke
masa depannya sehingga tidak ada kendala
dalam pembangunan daerah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan, 2007, Penelitian Kualitatif:
Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
Dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta:
Kencana
Chambers, Robert. 2013. Rural Development:
Putting the Last First. London and New
York:Routledge.
Dwirianto, Sabarno. 2013. Kompilasi Sosiologi
Tokoh dan Teori. Pekanbaru : UR Press
Irawan, Prasetya, 2006, Penelitian Kualitatif &
Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Jakarta: DIA FISIP UI.
Kamanto, Sunarto. 2000. Pengantar Sosiologi
(Edisi Kedua). Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Narayan, Deepa dan Robert Chambers, Meera K.
Shah, Patti Petesch. 2000. Voices of The
Poor Crying Out for Change. New York:
Oxford University Press for the World
Bank.
Nurcahyono, Okta Hadi. 2014. Perangkap
Kemiskinan Pada Warga Relokasi (Studi
Korelasional Unsur-Unsur Perangkap
Kemiskinan Pada Warga Relokasi Pucang
Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Jebres,
Surakarta). Tesis. Surakarta:Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Poe, William D dan Jerry H. Borup. 2014. The
Sociology of Client Alienation in Relation
to Societal Structure. Dalam The Journal
of Sociology & Social Welfare: Vol. 1:Iss.
1, Article 4.
Poloma, Margaret M., 2010, Sosiologi
Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Raho, Bernard SVD., 2007, Teori Sosiologi
Modern, Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Ritzer, G, dan Goodman, D.J., 2010, Teori
23
Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J.
2010. Teori Sosiologi Modern. 6.
Jakarta: Kencana
Satria, Arif. 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat
Pesisir. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Scott, John. 2011. Sosiologi the Key Concepts.
1. Jakarta: PT. Raja Grifindo Persada
Silalahi, Ulber, 2010, Metode Penelitian Sosial,
Bandung : Refika Aditama
Soekanto, Soerjono, 2010, Sosiologi Suatu
Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Sugiyono, 2009, Metode Penelitian
Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta
Sumber lain :
Monografi Kelurahan Dompak, Kecamatan Bukit
Bestari, Kota Tanjungpinang, Provinsi
Kepulauan Riau Tahun 2016.
Chambers. Robert. 1994. Poverty and Livelihoods:
Whose Reality Counts? Institute of
Development Studies University of Sussex
Brighton BNI 9Re, England.
Elmiyah, Nurul. 2011. Ketidakberdayaan
Masyarakat Adat di Bidang Pertambangan
Pada Suku Dayak Basap: Di Kecamatan
Bengalon dan Kecamatan Sangkulirang
Kutai Timur, Kalimantan Timur. Jurnal
Ilmu Hukum, Vol. 14, No. 1, Maret
2011:63-89.
Kartono, Rinikso. Tanpa Tahun. Ketidakberdayaan
(Powerlessness) Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA) di Kota Malang. Jurnal Ilmu
Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas
Muhammadiyah Malang.
Martono, Fakhrudin dan Sagala, Saut Aritua H.
2010. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Persoalan Relokasi Pasca Bencana Lahar
Dingin di Kali Putih (Studi Kasus Dusun
Gempol, Desa Jumoyo, Kecamatan Salam,
Kabupaten Magelang). Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota B Sekolah Arsitektur,
Perencanaan dan Pengembangan
Kebijakan ITB V3N1:69-82.
Sarfraz, Hamid. 1997. Alienation: A Theoretical
Overview. Pakistan Journal of
Psychological Research Vol. 12, Nos. 1-2:
45-60.
Schmidt, Kenneth A. 2011. Alienational
Powerlessness and Meaninglessness: A
Neo-Thomistic Approach. The Journal for
the Sociological Integration of Religion
and Society. Volume 1, No. 2.
Seeman, Melvin. 1982. On The Meaning of
Alienation. American Sociological Rev.
24:783-91. University of California, Los
Angeles.
Senekal, B.A. 2010. Alienation in Irvine Welsh’s
Trainspotting. Department of Afrikaans &
Dutch, German & French University of
the Free State. Literator 31(1): 19-35.