key word: water management, law, traditional wisdom

21
Key word: water management, law, traditional wisdom

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Key word: water management, law, traditional wisdom

198 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halaman 197-217

Latar Belakang

Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi manusia . Sebagai sumber daya, air dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia seperti sumber air minum, perumahan, irigasi, peternakan, perikanan, pembangkit listrik, transportasi, industri dan sebagai tempat rekreasi .1 Pemanfaatan air sebagai sumber daya bagi beberapa kepentingan yang berbeda menimbulkan konflik kepentingan, misalnya perebutan air untuk irigasi dan kegiatan industri . Di sisi lain, pembangunan yang dilakukan di wilayah-wilayah tempat penyimpanan air menyebabkan ekosistem terganggu dan mengancam ketersediaan air di wilayah tersebut . Agar kondisi ini tidak semakin parah, pengelolaan sumber daya air perlu dilaksanakan secara berkelanjutan .

Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air . Arah pembangunan pengelolaan sumber daya air diarahkan untuk menjamin keberlanjutan daya dukungnya dengan menjaga kelestarian fungsi daerah tangkapan air dan keberadaan air tanah; mewujudkan keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan melalui pendekatan

demand management yang ditujukan untuk

meningkatkan efektivitas dan efisiensi

penggunaan dan konsumsi air dan pendekatan

supply management yang ditujukan untuk

meningkatan kapasitas dan keandalan pasokan

air; serta memperkokoh kelembagaan sumber

daya air untuk meningkatkan keterpaduan dan

kualitas pelayanan terhadap masyarakat .2

Pengelolaan Sumber Daya Air di Indonesia

dilakukan dengan pendekatan pengelolaan

sumber daya air secara terpadu,3 yaitu proses

yang mendorong terciptanya pengembangan

dan pengelolaan sumber daya air, lahan,

dan sumber daya lainnya yang terkait secara

terkoordinasi sehingga upaya optimalisasi

keuntungan ekonomi dan kesejahteraan

sosial dapat dicapai secara berkeadilan tanpa

mengorbankan keberlanjutan ekosistem

dalam satu Wilayah Sungai .4 Pendekatan

pengelolaan sumber daya air secara terpadu

merupakan pengelolaan sumber daya air yang

didasari prinsip pembangunan berkelanjutan .

Pendekatan ini menekankan pentingnya

keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan

sumber daya air . Kebutuhan sumber daya air

dilakukan dengan menjaga keseimbangan

antara kebutuhan air untuk kehidupan manusia

(umumnya dalam bentuk blue water) dan

kebutuhan air untuk ekosistem (green water) .

Sementara pasokan sumber daya air, dicapai

1 Nadia Astriani, “Mengatur Sumber Daya Air secara Adil dan Berkelanjutan” dalam Nadia Astriani dkk (ed), Sistem Hukum Lingkungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang berkelanjutan, (Bandung: Logoz Publishing, 2018), hlm 280

2 Lihat Lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, hlm 30-60 .

3 Kemenpupera, Profil BBWS Citarum, (Bandung, 2017), hlm . 34 Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih aliran sungai dan/

atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2 .000 Km2

Astriani, Nurlinda, Imami, Asdak, Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan... 199

melalui upaya-upaya pengembangan sumber

daya air, terutama melalui peningkatan

cadangan sumber daya air dan efisiensi

pemanfaatan air .5

Pengelolaan sumber daya alam sangat

dipengaruhi oleh cara pandang manusia

terhadap lingkungannya . Dalam teori

ekologi-manusia, hubungan Manusia

dengan lingkungannya (sumber daya

alamnya) dijelaskan oleh Merchant sebagai

suatu hubungan yang terbagi atas tiga

paradigma yang mempunyai dasar pemikiran

yang berbeda-beda .6 Masyarakat adat

mengidentifikasi dirinya sebagai bagian

yang terintegrasi dengan alam semesta dalam

hubungan yang saling terkait, tergantung

dan saling mempengaruhi . Oleh karena ini

sangat penting untuk menciptakan hubungan

yang selaras, serasi dan seimbang untuk

mencapai suasana harmonis antar manusia

dengan lingkungannya . Menurut alam pikir

masyarakat adat yang bercorak religius

magis alam semesta ini dihuni oleh roh-roh

yang bertugas menjaga keseimbangan

struktur, mekanisme dan irama alam .7 Jika

perilaku manusia menjadi serakah, merusak

keseimbangan alam dan tidak selaras dengan

irama alam maka akan terjadi gangguan,

ketidakselarasan dan kegoncangan dalam

alam semesta dalam bentuk bencana alam,

wabah penyakit, banjir, kekeringan dan tanah

longsong sebagai wujud kemarahan roh-roh

penjaga alam tersebut . Pola pikir seperti ini

menimbulkan praktik-praktik pengelolaan

sumber daya alam yang bijaksana, bertanggung

jawab dan berkelanjutan .

Keanekaragaman masyarakat Indonesia

termasuk didalamnya adalah masyarakat adat

merupakan keniscayaan dan memperkaya

kehidupan bangsa Indonesia, termasuk

juga mempengaruhi perkembangan dan

pembangunan hukum Indonesia . Indonesia

menganut pluralisme hukum . Pluralisme

hukum diartikan sebagai berlakunya beragam

sistem hukum dalam suatu negara/masyarakat,

sedangkan secara sempit, pluralisme hukum

dianggap ada ketika negara mengakui

keberadaan hukum adat atau hukum lokal di

5 Chay Asdak, Kebijakan Nasional Sumber Daya Air Terpadu.(Jakarta: Bappenas, 2015), hlm 7 .6 Martua Sirait, Chip Fay dan A Kusworo, dalam makalahnya berjudul Bagaimana Hak-hak Masyarakat Hukum

Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur? (Bogor: ICRAF-SE Asia, 2000), hlm 4-5, menyatakan dalam Paradigma Society in Self (Lingkungan di dalam Diri Sendiri), Masyarakat adat dan masyarakat pendatang lama yang telah hidup bergenerasigenerasi, melihat bahwa dirinya merupakan bagian dalam lingkungan sehingga intinya merupakan lingkungan itu sendiri . Nilai dan norma yang berlaku di masyarakat terbentuk berdasarkan pengalaman hidupnya berinteraksi dengan lingkungannya . Sedangkan dalam Paradigma ini disebut Self in Society (Diri Sendiri di dalam Lingkungan), masyarakat yang terdiri dari beragam etnisitas dan merupakan pendatang baru pada satu tempat, menempatkan dirinya sebagai inti yang sangat menentukan kesejahteraan hidupnya dan melihat lingkungan sebagai sumber daya yang harus di usahakan semaksimal mungkin dengan jumlah yang tak terbatas . Paradigma Self versus Society (Diri Sendiri terhadap Lingkungan) berkembang pada masyarakat modern yang umumnya tinggal diperkotaan . Akibat adanya perkembangan informasi, manusia merubah persepsinya terhadap lingkungannya dimana m demikian pula manusia mempertanyakan kembali nilai dan norma yang berlaku di masyarakat serta hubungannya dengan lingkungan, sehingga terdapat jarak antara dirinya dan lingkungan .

7 I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publishing, 2008), hlm 179

200 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halaman 197-217

samping hukum yang dibuat oleh negara .8 Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam mengamanatkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus memberi ruang hidup bagi kebudayaan lokal termasuk kearifan lingkungan dan kemajemukan hukum yang secara nyata hidup dan berkembang dalam masyarakat .

Dalam sejarah pengaturan bidang air di Indonesia,9 regulasi yang pertama kali secara khusus mengatur tentang sumber daya air adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (selanjutnya UU Pengairan 1974), yang kemudian pelaksanaannya dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air, Peraturan Pemerintah No . 23 Tahun 1982 tentang Irigasi dan Drainase . Hak masyarakat adat dalam Undang-Undang ini diakui secara terbatas, dimana pada Pasal 3 ayat 2 disebutkan bahwa pelaksanaan hak menguasai negara tetap menghormati hak yang dimiliki masyarakat ada setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional . Dalam penjelasannya disebutkan bahwa hak-hak masyarakat adat diakui sepanjang hak-hak tersebut pada kenyataannya masih ada dan pelaksanaannya harus sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu tercapainya tujuan yang dicantumkan dalam undang-undang ini dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional . Dengan penjelasan

ini, maka hak masyarakat adat merupakan pelengkap terhadap pengelolaan alam yang dilakukan oleh pemerintah .

Pada 18 Maret 2004, Indonesia memberlakukan sebuah undang-undang baru untuk menggantikan UU Pengairan 1974 itu yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (selanjutnya UU SDA 2004) . Substansi pengaturan sumber daya air dalam UU No . 7 Tahun 2004 lebih komprehensif, meliputi domain pengelolaan (konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, pengendalian dan penanggulangan daya rusak air) dan proses pengelolaannya . UU No . 7 Tahun 2004 juga mengemukakan hak dan peran masyarakat dalam proses pengelolaan sumber daya air termasuk mengakui keberadaan hak ulayat atas sumber daya air . Pengaturan mengenai Hak ulayat dalam undang-undang ini tidak berbeda jauh dengan yang telah diatur oleh Undang-Undang Pengairan . Dalam penjelasannya dikatakan bahwa pengakuan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat termasuk hak yang serupa dengan itu hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan . Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada

apabila memenuhi tiga unsur, yaitu:10

8 Ida Nurlinda, Membangun Pluralisme Hukum dalam Kerangka Unifikasi Hukum Agraria, (Bandung: LoGoz Publishing, 2015), hlm 3

9 Sulastriyono dan Totok Dwiantoro, “Kebijakan Sektoral Lingkungan/SDA”, dalam, La Ode Syarif dan Andri Wibasana (ed), Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan Studi Kasus, (Jakarta: USAID, 2016), hlm 605

10 Penjelasan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Astriani, Nurlinda, Imami, Asdak, Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan... 201

a . Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya

sekelompok orang yang masih merasa

terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai

warga bersama suatu persekutuan hukum

tertentu, yang mengakui dan menerapkan

ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut

dalam kehidupannya seharihari;

b . Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah

ulayat tertentu yang menjadi lingkungan

hidup para warga persekutuan hukum

tersebut dan tempatnya mengambil

keperluan hidupnya sehari-hari; dan

c . Unsur hubungan antara masyarakat

tersebut dengan wilayahnya, yaitu

terdapatnya tatanan hukum adat

mengenai pengurusan, penguasaan, dan

penggunaan tanah ulayatnya yang masih

berlaku dan ditaati oleh para warga

persekutuan hukum tersebut .

Berbeda dengan masyarakat Indonesia

pada umumnya, masyarakat adat masih

menjaga hubungan mereka dengan alam

melalui nilai-nilai yang mereka yakini .

Relasi masyarakat adat dengan alam yang

selaras, serasi dan seimbang ini dapat

menjadi contoh dalam mengelola sumber

daya air secara berkelanjutan . Berdasarkan

latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk

meneliti secara lebih mendalam mengenai

praktik-praktik pengelolaan sumber daya

air berdasarkan kearifan tradisional yang

dilakukan masyarakat adat di Indonesia dan

apakah pengelolaan sumber daya air yang

berdasarkan kearian tradisional ini dapat

dijadikan contoh pengelolaan sumber daya

alam yang berkelanjutan . Metode penelitian

yang dilakukan dalam penulisan artikel ini

adalah penelitian normatif melalui kajian data

sekunder yang terdiri atas bahan-bahan hukum

primer berupa peraturan perundang-undangan,

bahan-bahan hukum sekunder berupa

rancangan peraturan perundang-undangan dan

hasil-hasil penelitian dan bahan-bahan hukum

tersier, berupa laporan dan berita (cetak

maupun internet) . Adapun pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan perbandingan,

dengan membandingkan beberapa bentuk

kearifan tradisional di beberapa wilayah

di Indonesia . Selanjutnya hasil penelitian

dianalisis secara kualitatif untuk menemukan

jawaban atas identifikasi masalah yang

ditentukan sebelumnya .

Pembahasan

Pasal 18B ayat (2) UUD Negara Republik

Indonesia tahun 1945 menyatakan bahwa

”Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam

undang-undang” Adapun Pasal 28I ayat

3 UUD Negara Republik Indonesia tahun

1945 menyatakan bahwa ”Identitas budaya

dan hak masyarakat tradisional dihormati

selaras dengan perkembangan zaman

dan peradaban” . Berdasarkan pengakuan

dalam undang-undang dasar tersebut,

maka masyarakat adat memiliki hak untuk

202 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halaman 197-217

mengelola lingkungan dan sumber daya alam

yang ada di wilayahnya . Hak masyarakat adat

dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut

merupakan bagian dari hak asasi manusia .11

Dalam kaitannya dengan pengelolaan

sumber daya alam, masyarakat adat dengan

kearifan tradisional yang dimilikinya, telah

mengelola sumber daya alam secara arif

sejak dulu . Pengaturan hak masyarakat adat

dalam hal pengelolaan sumber daya air dapat

ditemukan dalam peraturan-perundang-

undangan yang mengatur mengenai sumber

daya air . Pemerintah menjamin pelindungan

dan pemberdayaan masyarakat termasuk

masyarakat adat dalam upaya konservasi air

dan sumber air,12 pemerintah tetap mengakui

hak ulayat masyarakat hukum adat setempat

dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang

tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional dan peraturan perundang-undangan13

dan sepanjang kenyataannya masih ada dan

telah dikukuhkan dengan peraturan daerah

setempat .14

A. Bentuk Pengelolaan Sumber Daya Air oleh Masyarakat Adat Agraris

Masyarakat adat merupakan komunitas

yang hidup dan berkembang di Indonesia

selama ribuan tahun . Mereka hidup dengan

sistem sosialnya, sistem kepercayaan dan

tradisi serta aturan adat yang unik . Penelitian yang dilakukan Lynch dan Talbott mengatakan bahwa masyarakat adat memiliki kapasitas budaya, sistem pengetahuan dan teknologi, religi, tradisi serta modal sosial berupa etika dan kearifan lingkungan, norma-norma dan institusi hukum untuk mengelola sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan .15

Sementara menurut Ter Haar adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya .16

Konvesi internasional ILO 169 tahun 1989 merumuskan masyarakat adat sebagai masyarakat yang berdiam di negara-negara yang merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi

11 Sandra Moniaga, Masyarakat Adat, Hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia disampaikan pada Orasi Ilmiah Lustrum FH UNPAR, (Bandung: FH UNPAR, 2018), hlm .2

12 Pasal 3 RUU Sumber Daya Air13 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Sumber Daya Air tahun 2004, Pasal 9 ayat (2) RUU Sumber Daya Air14 Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Sumber Daya Air tahun 2004, Pasal 9 ayat (3) RUU Sumber Daya Air15 Imamulhadi, Penegakan Hukum Lingkungan berbasis Kearifan Masyarakat Adat Nusantara, (Bandung:

Unpad Press, 2011), hlm 12516 Ibid.,

Astriani, Nurlinda, Imami, Asdak, Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan... 203

masyarakat adat tersebut atau dengan hukum

dan peraturan khusus . Sedangkan masyarakat

adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat

Adat Nusantara (AMAN) merumuskan

masyarakat adat sebagai suatu komunitas

yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-

temurun hidup di wilayah geografis tertentu,

serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi

politik, budaya dan sosial yang khas .17

Sebagai negara yang terletak di wilayah

khatulistiwa, Indonesia diberkahi oleh

sumber daya air yang melimpah . Oleh

karena itu, masyarakat di negeri ini sangat

akrab dengan Budaya Air . Di Sumatera dan

Kalimantan, sebagian besar penduduknya

berbudaya sungai . Sungai menjadi pusat

kehidupan masyarakat yang tinggal di

dekatnya, rumah-rumah dibangun menghadap

sungai besar, dimana sungai tersebut

menjadi media transportasi untuk melakukan

sosialisasi maupun perdagangan . Sementara

di Pulau Jawa, masyarakat memiliki budaya

bersawah dengan irigasi . Belum diketahui

secara pasti kapan masyarakat agraris ini

mengenal sistem irigasi . Sebuah prasasti

yang ditemukan di Jawa Barat menuliskan

bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan

Hindu Tarumanegara pada abad ke-5 telah

memerintahkan untuk membuat saluran

pengelak banjir sepanjang kurang lebih 10 km

di sebuah sungai . Sementara beberapa prasasti

yang ditemukan di Jawa tengah dan Jawa Timur mencatat bahwa teknologi irigasi sawah baru dibangun pada abad 7-8 M .18 Adapun prasasti Manukaya yang berangka tahun 960 (abad ke 10) di Bali menyebutkan bahwa raja Chandrabhayangsingha Warmmadewa memperbaiki tanggul pada sumber mata air di Tirta Empul yang setiap tahun dihanyutkan oleh banjir .19 Kesemua prasasti ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia telah mengenal teknologi irigasi sejak lama . Meskipun demikian, berbeda dengan pengembangan irigasi oleh pemerintah yang tujuannya adalah untuk memproduksi beras sebesar-besarnya untuk mencapai ketahanan pangan . Teknologi irigasi yang dikelola oleh masyarakat adat tidak terlepas dari nilai-nilai hidup yang dianut oleh masyarakat tersebut, sebagaimana yang terlihat pada pengelolaan sumber daya air oleh masyarakat adat di Ciptagelar, Sukabumi dan sistem Subak, Bali .

1. Pengelolaan Sumber Daya Air oleh Masyarakat Kasepuhan, Ciptagelar

Di dalam kawasan hutan, di wilayah Gunung Halimun terdapat kelompok masyarakat yang membentuk perkampungan yang terpisah dari masyarakat desa pada umumnya . Perkampungan itu terpencar di bukit-bukit dan gunung-gunung . Di antara

mereka ada pula yang tinggai berbaur

17 AMAN, Surat Keputusan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara No.01/kman/1999 tentang Statuta Aliansi Masyarakat Adat.(Jakarta: AMAN, 1999)

18 Gunawan Jusuf, Blue Gold: Emas Biru Sumber Nyawa Kehidupan, (Jakarta: Penerbit Berita Nusantara, 2015), hlm 6

19 Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Prasasti-prasasti tentang Subak, https://kebudayaan .kemdikbud .go .id/ditpcbm/pra sasti-klungkung-a-dan-manukaya-tentang-subak/ diakses pada 15 Januari 2019

204 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halaman 197-217

bersama masyarakat desa yang kemudian

membentuk kampung campuran . Pola

perilaku sosiobudaya mereka hingga kini

masih menunjukkan karakteristik budaya

Sunda abad ke-16 . Walaupun demikian,

mereka tidak menutup diri dalam pergaulan

dengan masyarakat desa pada umumnya yang

tinggal di seputar wilayah Gunung Halimun .

Oleh masyarakat desa pada umumnya,

kelompok masyarakat adat ini diseput warga

Kasepuhan . Sepanjang perjalanan sejarahnya,

warga kasepuhan yang bermukim di sekitar

kawasan hutan kompleks Gunung Halimun

secara turun-temurun telah mengembangkan

pola pertanian ladang . Namun, karena adanya

kekhawatiran dari kalangan pemerintah

terhadap penggundulan hutan yang dapat

menyebabkan erosi dan banjir, maka warga

kasepuhan tidak diperkenankan lagi membuka

kawasan perladangan baru . Terhadap

pembatasan pemerintah ini, warga kasepuhan

meresponnya dengan cara melakukan

pengembangan kegiatan ke pola pengelolaan

sawah, sebagaimana yang dikehendaki

pemerintah . Selain itu, mereka juga secara

terbatas mengembangkan pola pertanian

lahan kering .20

Soesilo dalam penelitian disertasinya

menemukan bahwa Masyarakat Kasepuhan

Ciptagelar adalah sedikit dari kelompok

adat yang masih mempertahankan nilai-

nilai dari sistem kepercayaan dan religi

budaya padi (rice culture) hingga sekarang .

Kasepuhan Ciptagelar melihat bahwa spirit

padi merupakan salah satu penyusun alam

raya (komos) yang tersulam dan terjalin

dengan rumit dengan alam materi, tubuh,

pikiran, maupun jiwa . Aktivitas dan tata

kehidupan masyarakat tidak lepas dari ritus

budidaya padi yang berorientasi pada proses

pemeliharaan keselarasan kosmik, sebuah cara

pandang yang tetap mempertahankan kaidah

antropokosmos alih-alih antroposentris .

Kehidupan masyarakat Jawa Barat (Sunda)

menurut Hidding harus dilihat sebagai

bentuk partisipasi dalam tata kosmik, di

mana adat, ritual, kewajiban, dan buyut

(tabu), mcrupakan panduan yang tepat untuk

menjalani kehidupan . Sebagai masyarakat

yang kehidupannya secara rutin dan ritual

berdasarkan budava padi, bertani adalah ajaran

kehidupan yang paling hakiki . Menanam padi

bukanlah mata pencaharian; bertani adalah

kehidupan bagi warga Ciptagelar .21

Sebagai kelompok masyarakat adat

yang berbasis budaya padi, Kasepuhan

Ciptagelar memiliki beberapa keunikan

tertentu dibandingkan dengan kelompok adat

lain di sekitarnya, yaitu: (1) menggunakan

pola pertanian akulturatif antara huma dan

sawah; (2) menerima modernitas walaupun

terbatas pada kehidupan di luar perpadian;

(3) memiliki tradisi ngalalakon dalam budaya

bermukimnya, yaitu tradisi memindahkan

20 Kusnaka Adimihardja, Kasepuhan: Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh - Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional Di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat, (Bandung: Penerbit Tarsito, 1992), hlm .4

21 Susilo Kusdiwanggo, “Pancer-Pangawinan sebagai Konsep Spasial Masyarakat Adat Budaya Padi Kasepuhan Ciptagelar”, Disertasi, Ilmu Arsitektur Institut Tekonologi (Bandung: ITB, 2015), tidak dipublikasikan, hlm 1-2 .

Astriani, Nurlinda, Imami, Asdak, Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan... 205

kasepuhan .22 Kehidupan masyarakat

Kasepuhan di Ciptagelar yang berakar

pada tradisi dan budaya padi tidak dapat

dipisahkan dengan pengelolaan hutan dan

sumber daya air . Keberlangsungan budaya

dan tradisi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar

tidak dapat dipisahkan dengan kondisi

hutan yang baik . Oleh karena itu, tidak

mengherankan bila masyarakat Kasepuhan

Ciptagelar juga memiliki perangkat adat

dan ritual yang secara khusus melindungi

serta merawat wilayah hutan beserta dengan

semua penghuninya . Dalam sistem tata kelola

hutan, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar

membagi wilayah hutan ke dalam 3 zona

ataupun kategori yang spesifik, yaitu: (1)

hutan titipan; (2) hutan tutupan; dan (3) hutan

garapan .Wilayah hutan titipan merupakan

wilayah sakral yang dilindungi secara ketat

oleh aturan adat . Sementara itu, hutan tutupan

merupakan wilayah lindung yang juga tidak

boleh diganggu keberadaannya . Dalam hal

ini, kegiatan pertanian dan pengembangan

permukiman hanya dapat dilakukan di

wilayah hutan garapan dengan tata aturan

yang juga ditentukan oleh aturan adat yang

berlaku . Zona hutan titipan dan hutan tutupan

merupakan wilayah yang dilindungi karena

di dalamnya terdapat sumber air serta sumber

daya alam yang penting bagi kelangsungan

budaya dan tradisi pertanian masyarakat

Kasepuhan Ciptagelar .23

Tata kelola air di kalangan masyarakat

Kasepuhan Ciptagelar juga diatur secara

khusus oleh lembaga dan perangkat adat .

Umumnya alokasi penggunaan air dibagi

ke dalam tiga fungsi utama, yaitu untuk

pengelolaan sawah, kebutuhan sehari-hari,

serta turbin mikrohidro sebagai sumber

listrik bagi warga .24 Pengelolaan sumber

daya air umumnya ditangani oleh Rorokan

Manintin atau Ulu-Ulu25 yang memiliki

tanggungjawab untuk memastikan bahwa

sumber air secara rutin dijaga dan dirawat

secara teratur . Rorokan Manintin secara rutin

memimpin proses pemeriksaan dan perawatan

sumber serta saluran air yang mengalir ke

sawah dan perkampungan . Sementara untuk

pengelolaan turbin mikrohidro berada dalam

tanggungjawab Rorokan Turbin, Rorokan

Turbin melakukan perawatan rutin saluran air

dan turbin mikrohidro, memperbaiki turbin

22 Susilo Kusdiwanggo, “Kasepuhan Ciptagelar: Entitas Bangun Pengetahuan Nusantara”, Makalah Lokakarya INNOVATION FACTORY 2016, (Kabupaten Bandung: Kampung Karuhun Sutan Raja, 2016), hlm .2

23 Gustaff H. Iskandar, “Tata Kelola Hutan dan Air yang Lestari : Pembelajaran dari Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar”, Diskusi Pembangunan Sumber Daya Air, Pangan dan Energi dalam Lingkungan yang Kompetitif, (Jakarta: Forum Irigasi Indonesia, 2018), hlm 3-5

24 Di kalangan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, penggunaan turbin mikrohidro sebagai sumber listrik dapat dikatakan relatif baru . Turbin pertama dibangun di wilayah Cicemet secara gotong royong oleh warga kasepuhan yang bekerjasama dengan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Yayasan IBEKA) pada tahun 1997 . Sampai sekarang pengelolaan turbin mikrohidro dikelola secara mandiri oleh warga . Dalam hal pemenuhan kebutuhan listrik, warga dapat menentukan sendiri besaran daya listrik untuk kebutuhan mereka sesuai dengan keperluan dan kemampuan yang mereka miliki .

25 Dalam menjalankan tatanan budaya, tradisi dan kehidupan sehari-hari, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memiliki perangkat ataupun struktur lembaga adat yang dipimpin oleh seorang Abah (ayah) dengan pendamping seorang Emak (ibu) . Untuk menjalankan peran sebagai pemimpin adat, Abah juga dibantu oleh Rendang Kande (semacam asisten) serta sejumlah Rorokan yang memiliki peran dan tanggungjawab yang diatur secara spesifik

206 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halaman 197-217

bila terjadi kerusakan, selain mengumpulkan iuran listrik warga kasepuhan setiap bulan .Di dalam lembaga adat kasepuhan, Rorokan Manintin atau Ulu-Ulu berada di bawah koordinasi Rorokan Pamakayaan yang menangani urusan pertanian . Sementara Rorokan Turbin merupakan bagian dari Rorokan Pakakas/Rorokan Pandai dan berada di bawah naungan Rorokan Jero yang sekaligus berkoordinasi langsung dengan Abah . Sebagaimana lazimnya mekanisme penentuan figur yang memiliki kewenangan tertentu dalam lembaga adat, tanggungjawab Rorokan Manintin dan Rorokan Turbin juga ditentukan berdasar garis keturunan selain dengan pertimbangan petunjuk leluhur dan kompetensi yang dimiliki . Masing-masing Rorokan ini memiliki tim khusus (barisan) yang siap membantu setiap saat bila diperlukan .

2. Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Sistem Subak, Bali

Subak di Bali adalah sistem irigasi tradisional yang diperkirakan dikenal sejak adanya persawahan di Bali sebelum abad ke IX dengan adanya tulisan tentang “huma” yang berarti sawah . Subak menurut Geertz adalah suatu areal persawahan yang mendapatkan air dari satu sumber dan memiiki banyak saluran irigasi . Dalam Pasal 4 Perda Propinsi Bali No 2 tahun 1972 tentang Irigasi Daerah Propinsi

Bali, Subak didefinisikan sebagai:

“masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris religius yang secara historis didirikan sejak dahulu kala dan berkembang terus sebagai organisasi pengusaha tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-laian untuk persawahan dari suatu sumber air di dalam suatu daerah”

Sebagai bagian dari desa adat di Bali, Subak dipengaruhi oleh konsep Tri Hita Karana dalam agama Hindu yang meliputi keharmonisan hubungan manusia dengan Pencipta (Parahyangan), hubungan manusia dengan alam sekitar (Palemahan) dan hubungan manusia dengan manusia (Pawongan) .26 Menurut Purwita, bumi (Palemahan) yang diciptakan sebagai suatu elemen dari alam semesta adalah anugrah Tuhan yang Maha Esa (Parahyangan), karena kecintaannya pada umat manusia (Pawongan) . Oleh karenanya manusia harus menjaga hubungan yang harmnis dengan sesamanya (Pawongan), dan dengan alam lingkungannya (Palemahan) sebagai perwujudan dari rasa hormatnya kepada Tuhan Yang Maha Esa (Parahyangan) .

Sebagai suatu organisasi tradisional di Bali, subak memiliki ciri:27

1 . Mempunyai staf pengurus yang disebut prajuru subak

2 . Mempunyai anggota petani sawah yang disebut krama subak

26 I Gusti Ayu Wahyu Utari, “Penerapan Tri Hita Karana Pada Subak Kelawanan, Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar”, dwijenAgro Vol. 7, No. 2, (2017): 83-84

27 Sutawan dalam I Nyoman Gede Ustriyana dan Ni Wayan Putu Artini, “Kajian Konsep Tri Hita Karana Pada Lembaga Subak sebagai Sumberdaya Budaya di Bali (Studi Subak Juwuk Manis dan Subak Temesi di Kabupaten Gianyar)”, SOCA, Vol . 9, No . 3, (2009): 380-382

Astriani, Nurlinda, Imami, Asdak, Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan... 207

3 . Mempunyai wilayah berupa areal persawahan dengan batas-batas yang jelas

4 . Mempunyai sumber irigasi dari sebuah empelan (bendungan)

5 . Mempunyai satu atau lebih pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri)

6 . Mempunyai awig-awig (peraturan dasar)7 . Mempunyai otonomi penuh, baik ke

dalam untuk mengurus rumah tangganya sendiri, maupun berhubungan dengan pihak luar .

Struktur organisasi dalam subak sangat jelas, ada pembagian status keanggotaan, memiliki awig-awig (peraturan) dan dipimpin oleh seperangkat pengurus disebut Prajuru . Prajuru terdiri dari Pekaseh, wakil pekaseh, sekretaris (penyarikan), bendahara (patengan) dan pembantu umum (saya) .28

Pelaksanaan kegiatan persubakan sampai saat ini masih mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana dan diatur dalam awig-awig subak . Implementasi Tri Hita Karana dalam Subak dapat dilihat melalui contoh pelaksanaannya di Subak Pulagan29 yang terdiri atas: (1) Implementasi aspek Parahyangan

(hubungan dengan pencipta) mencakup:

pelaksanaan upacara ritual di Pura melalui rangkaian ritual30 yang dilaksanakan oleh masing masing anggota subak mulai dari ritual mapag toya31 hingga ritual mantenin .32

(2) Implementasi aspek Pawongan (hubungan dengan manusia), diatur di dalam Awig-Awig yang dibuat dan disepakati secara bersama sama oleh para pemimpin (prajuru) serta krama (anggota) subak dalam suatu bentuk tertulis . Awig-awig ini berisi susunan organisasi subak dan tugas serta kewajiban masing-masing organ, aturan pengelolaan, batas sawah, hak dan kewajiban anggota, serta pembagian hasil dan penyelesaian masalah/konflik.

(3) Implementasi aspek Palemahan (hubungan dengan alam sekitar) diatur dalam awig-awig Subak, mencakup: menetapan batas wilayah subak, pengaturan air (toya) dan bangunan irigasi, penetapan tetanduran, wewalungan di area subakdan berbagai larangan (patikawenang) disawah . Secara lebih lengkap dapat dilihat dalam awig-awig33 tentang persubakan pada Subak

Pulagan yang berisi pengaturan yang:

28 Pitana dalam I Nyoman Gede Ustriyana dan Ni Wayan Putu Artini, Ibid29 I Nyoman Norken1, I Ketut Suputra, I Gusti Ngurah Kerta Arsana, “Implementasi Tri Hita Karana Pada Subak

Pulagan Sebagai Warisan Budaya Dunia Di Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar”,https://simdos .unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/a7557e77edd8b6b561cea8822ba28d72.pdf, diakses pada 7 Januari 2019

30 Terdapat kurang lebih 10 jenis ritual dalam satu kali masa tanam31 Ritual Mapag Toya merupakan ritual yang dilakukan kepada penguasa air sebagai ungkapan rasa syukur dan

permohonan izin atas air yang digunakan, dengan memulai mengalirkan air dari bendungan ke sawah-sawah subak

32 Ritual mantenin adalah akhir rangkaian ritual upacara dimana padi yang telah dipanen disimpan di lumbung masing-masing anggota subak .

33 Awig-awig adalag peraturan yang disepakati Bersama terdiri atas Palet (bagian) dan Pawos (Pasal)

208 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halaman 197-217

a . Berkaitan dengan Palemahan/Indik

Palemahan (Palet 1) yaitu berkaitan

dengan batas sawah sesuai dengan

ukuran masing masing, serta kepemilikan

tanaman yang ada di jalan dalam wilayah

subak (Pawos 22) . Sementara Pawos

23 mengatur/melarang tentang tanaman

tahunan (tanem tuwuh), berhubungan

badan di wilayah subak/sawah . Apabila

ada yang melanggar akan dikenakan

denda sesuai dengan kesepakatan serta

membersihkan secara keagamaan

(mrayascita) tempat tersebut .

b . Berkaitan dengan air (indik toya) diatur

pada Palet 2 yang memuat: Pawos

24 tentang tempat memperoleh air/

bangunan air seperti: empelan (bendung),

tembuku aya (bangunan bagi primer)

dan bangunan bagi masing masing

anggota (tembuku pengalapan) . Biaya

pembangunan bangunan air (empelan,

telabah/saluran, aungan/terowongan,

dan lain lain), disediakan oleh anggota

subak dan bantuan pihak luar, sementara

pemeliharaannya dilakukan oleh anggota

subak . Pawos 25, mengatur tentang

larangan merusak saluran dan bangunan,

serta menutup air/bangunan air anggota

lain, apabila diketemukan akan dikenakan

denda sesuai kesepatanan . Sementara

Pawos 26 mengatur berkaitan dengan

kekurangan air dengan melaksanakan

pergiliran yang diatur oleh Prajuru Subak,

apabila anggota yang tidak meperoleh air

diwajibkan untuk menanam palawija .

c . Berkaitan dengan tanaman (indik

tetanduran) diatur pada Palet 3 yang

diuraikan dalam Pawos 27, memuat:

pola tanam yang mengikuti kerta masa

(bersamaan) saat musim hujan dan

ngegadon (saat musim kemarau), bibit

padi yang ditanam antara lain: padi del

(padi dengan umur panjang), cicih (padi

dengan umur pendek) serta bibit unggul,

cara menanam padi, memelihara dan

merabuk padi, membuat sunari (buluh

perindu), baling baling serta kentungan

disawah, memotong padi yang efisien,

jenis tanaman yang boleh ditanam,

tanaman yang tidak boleh ditanam .

d . Berkaitan dengan peternakan (indik

wewalungan) diatur pada Palet 4

yang memuat: jenis ternak yang boleh

dipelihara serta larangan untuk melepas

(nglumbar) ternak di lahan anggota

subak yang lain . Apabila dilanggar

akan dikenakan denda sesuai dengan

kesepakatan (perarem) .

e . Berkaitan dengan hama (indik merana)

diatur pada Palet 5 Pawos 29, yang

memuat: jenis hama, pengendalian

hama secara sekala (alam nyata)

seperti: membasmi tikus, menghalau

burungg, membasmi padi yang kena

hama, penyeprotan dengan racun .

Sementara secara niskala (alam tidak

nyata) dilakukan dengan upacara neduh,

nanggluk merana, ngaben (mengabukan)

tikusserta penyepian setelah upacara

mebalik sumpah .

Astriani, Nurlinda, Imami, Asdak, Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan... 209

f . Berkaitan dengan larangan terhadap

adanya binatang disawah (indik

patikawenang) diatur pada Palet 6

pada Pawos 30, yang memuat: Setelah

maenanam padi dan sebelum padi

cukup umur, tidak diperbolehkan:

menggebala itik, ayam dan ternak kaki

empat, mencari keong dan sayur sayuran

disawah tetangga, mencari belut serta

menyusuri dan merusak pematang sawah

serta meracun ikan . Apabila melanggar

akan dikenakan biaya dan denda sesuai

dengan kesepakatan . Disamping itu tidak

dibenarkan meracun ikan, memancing

serta mencari ikan dilahan anggota subak

yang lain, apabila ditemui akan dikenakan

denda sesuai kesepakatan .

Semua pawos dalam awig-awig yang

tertera berkaitan dengan aspek palemahan

dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh

anggota subak . Termasuk dalam kondisi subak

kekurangan air . Pergiliran dilakukan dengan

tertib dawasi oleh Wakil Pekaseh(Pangliman)

selaku pengawas pelaksanaan pergiliran air,

pergiliran dilakukan terutama saat membajak

sawah, anggota yang sedang melakukan

pengolahan tanah mendapat prioritas dalam

memperoleh air, sehingga air sepenuhnya

dialirkan dengan menutup aliran kebagian

hilir dari sawah tersebut . Pergiliran umumnya

dilakukan selama 2 jam dan dilakukan disiang

hari . Berkaitan dengan pemeliharaan bangunan

air, beberapa persoalan yang dihadapi antara

lain adanya kobocoran air, sebagian saluran

tersier (kekalen) masih terbuat dari tanah

dengan kondisi yang kurang baik . Disamping

itu adanya sampah disepanjang saluran akibat

adanya pemuangan sampah yang tidak pada

tempatnya menyebabkan sebagian saluran

tersumbat sampah . Untuk itu selain dari

anggota, subak juga menerima bantuan dari

pihak luar untuk memperbaiki bangunan air .34

B. Bentuk-Bentuk Konservasi Sumber Daya Air berdasarkan Kearifan Tradisional

Kearifan tradisional merupakan bagian

dari etika dan moralitas yang membantu

manusia untuk menjawab pertanyaan moral

apa yang harus dilakukan, bagaimana harus

bertindak (dalam hal ini terkait bidang

pengelolaan lingkungan dan sumberdaya

alam) . Pengertian ini menyiratkan bahwa

kearifan lokal memainkan peran dalam

mengembangkan perilaku, baik secara

individu maupun secara kelompok dalam

kaitan dengan lingkungan dan upaya

pengelolaan sumberdaya alam .35 Ranger dan

Hobsbawm mengatakan kearifan tradisional

sebagai seperangkat praktik, yang biasanya

ditentukan oleh aturan-aturan yang diterima

secara jelas atau samar-samar maupun

suatu ritual atau sifat simbolik, yang ingin

menanamkan nilai-nilai dan norma-norma

perilaku tertentu melalui pengulangan, yang

secara otomatis mengimplikasikan adanya

34 I Nyoman Norken, I Ketut Saputra, I Gusti Ngurah Kerta Arsana, Op.,Cit35 Nanang Widarmanto, “Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”, Sabda Vol.13, No. 1, (Juni

2018): 20

210 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halaman 197-217

kesinambungan dengan masa lalu . Pengertian

tersebut mengandung arti bahwa kearifan

lokal memiliki ciri bermatra tiga waktu

(masa lalu, sekarang, dan yang akan datang),

sehingga dimungkinkan ada upaya sambung-

menyambung dan seiring kehidupan manusia

dalam setting dan konteks yang berubah-

ubah sesuai zamannya .36 Kearifan tradisional

yang telah terkristalisasi dalam suatu

hukum adat, berbentuk sistem norma yang

mengejawantahkan nilai-nilai, asas, struktur,

kelembagaan, mekanisme, religi yang tumbuh,

berkembang dan dianut masyarakat lokal,

dalam fungsinya sebagai instrumen untuk

menjaga keteraturan interaksi antar warga

masyarakat, ketertiban hubungan dengan

sang pencipta dan roh-roh yang dipercaya

memiliki kekuatan supranatural dan menjaga

keteraturan perilaku masyarakat dengan alam

lingkungannya .37 Kearifan lokal oleh Undang-

Undang RI No .32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup dimaknai sebagai nilai-nilai luhur yang

berlaku dalam tata kehidupan masyarakat

yang antara lain dipakai untuk melindungi dan

mengelola lingkungan hidup secara lestari .38

Penelitian Chay Asdak mengenai

Konservasi Sumber Daya Air Terpadu

tahun 2015 menunjukkan bahwa kearifan

tradisional terkait sumber daya air masih bisa

ditemukan di berbagai daerah di Indonesia .

Bahkan kearifan tradisional ini bisa diadopsi

oleh pemerintah daerah dan menjadi bagian

kebijakan pemerintah . Bentuk-bentuk kearifan

tradisional tersebut adalah sebagai berikut39:

1. Lubuk Larangan, Kearifan tradisional ini

dapat ditemukan di wilayah Sumatra Utara

dan Sumatra Barat . Di Kab . Mandailing

Natal, Sumatera Utara, merupakan

kesepakatan lokal antar masyarakat

dan pemuka masyarakat untuk menjaga

kelestarian dan kebersihan air sungai

dengan cara pelarangan mengambil ikan

di luar waktu yang telah ditentukan dan

disepakati bersama . Ikan tersebut sengaja

ditebar ke sungai untuk dimanfaatkan

bagi pengembangan desa di Kabupaten

Mandailing Natal . Pemanenan ikan secara

kolektif diatur waktunya sesuai dengan

aturan yang disepakati dalam Lubuk

Larangan. Pelanggaran terhadap aturan

yang disepakati dikenakan denda Rp 5

juta/kejadian pelanggaran untuk kas desa .

Keberadaan aturan lokal Lubuk Larangan

ini mendukung upaya konservasi sumber

daya air karena melalui aturan tersebut,

masyarakat setempat sepakat untuk

menjaga keutuhan ekosistem sungai dan

daerah tangkapan airnya . Di Kabupaten

Dharmasraya, Sumatra Barat, Lubuk

Larangan dilestarikan oleh masyarakat

Kampung Surau, aturan mengenai Lubuk

36 Ibid.,37 I Nyoman Nurjaya, Loc Cit38 Siswadi, Tukiman Taruna, Hartuti Purnawen, “Kearifan Lokal Dalam Melestarikan Mata Air (Studi Kasus di

Desa Purwogondo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal)”, Jurnal Ilmu Lingkungan Vol . 9, Issue . 2, (2011):6439 Chay Asdak, Op Cit, hlm 34-36 .

Astriani, Nurlinda, Imami, Asdak, Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan... 211

Larangan dibuat secara tertulis dalam:40

“Jorong Kampuang Surau dalam Bab

VIII tentang Racun dan Tuba dalam

Pasal 1 yang berbunyi Barang siapa

yang tertangkap/ terbukti menangkap

ikan/ udang di sungai atau dirawa

memakai racun, tuba dan sentrum akan

dibawa dalam pengadilan Ninik Mamak

(pengadilan adat) . Pasal 2 berbunyi

Dilarang menangkap/ mengambil ikan di

lokasi lubuk larangan atau ikan larangan

kecuali sudah dibuka resmi dalam

musyawarah Ninik Mamak (perangkat

adat), apabila tertangkap/ terbukti akan

ditangkap oleh Dubalang (perangkat

adat) dan disidangkan dalam pengadilan

Ninik Mamak (pengadilan adat)”

2. Ilengi dari Provinsi Gorontalo merupakan

kearifan lokal Praktek pemanfaatan lahan

dengan mempertimbangkan pemanfaatan

dan perlindungan keragaman hayati .41

Agroforestri ilengi merupakan hamparan

kebun campuran, dikelola turun temurun

sehingga membentuk struktur vegetasi

yang menyerupai hutan alam ini sangat

relevan dengan kebijakan konservasi

sumber daya air karena sistem tanam ini

menciptakan stratifikasi tajuk tanaman

bertingkat sehingga efektif dalam

pengendalian laju erosi . Dengan adanya

tajuk yang bertingkat, kecepatan dan

besarnya butiran air hujan dapat direduksi

sehingga ketika air hujan tersebut sampai

ke permukaan tanah, energi kinetik yang

dihasilkan sangat kecil/minimal . Namun

demikian, perkembangan sistem Ilengi

terhambat oleh kegiatan pertambangan,

perkebunan, dan perluasan pertanian .

Keberlanjutan Ilengi ini penting

terutama mempertimbangkan sebagian

wilayah hulu DAS di provinsi Gorontalo

memiliki karakteristik curah hujan tinggi,

kemiringan lereng besar, dan stabilitas

tanah sedang-rendah (tanah berbatu

dengan humus tanah tipis) . Sistem tanam

Ilengi ini sesuai dengan karakteristik

biofisik setempat sehingga keberadaannya

cukup luas dan efektif untuk mencegah

terjadinya erosi, mencegah longsor, dan

meningkatkan laju infiltrasi. Sehingga

keberadaannya perlu dipertahankan dan

cakupannya diperluas .

3. Mondau di Sulawesi Tenggara tepatnya

di Kabupaten Konawe . Bentuk kearifan

lokal ini adalah mengganti tanaman

padi dengan tanaman tahunan ketika

melakuan pembukaan lahan/tanah adat

di kawasan hutan . Relevansinya dengan

program konservasi sumber daya air

adalah penanaman tanaman tahunan

40 Amin Pawarti, Hartuti Purnaweni, dan Didi Dwi Anggoro, “Nilai Pelestarian Lingkungan dalam Kearifan Lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung di Kampuang Surau Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat”, Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, (Semarang: 11 September 2012), hlm . 100

41 Abdul Shamad Hiola, “Agroforestri Ilengi: Suatu Kajian Pelestarian Dan Pemanfaatan Jenis Pohon (Studi Kasus di Desa Dulamayo Selatan, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo)”, Tesis, Sekolah Pascasarja, (Institut Pertanian Bogor : 2011), https://repository .ipb .ac .id/bitstream/handle/123456789/51396/2011ash .pdf?sequence=1&isAllowed=y, diakses pada 23 Januari 2019, hlm . 2-3

212 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halaman 197-217

(pohon, buah) termasuk tumbuhan bahwa yang menyertainya sangat efektif dalam mengurangi besarnya run-off dan besarnya erosi .42

4 . Kearifan lokal lainnya ditemukan di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Buton Utara dalam bentuk Kaindea43, yaitu upaya lokal perlindungan mata air (tidak boleh menebang pohon, tapi boleh mengambil hasil non-kayunya) . Di kabupaten Wakatobi juga ditemukan kesepakatan/kearifan lokal yang diberi nama Motika, yaitu hutan diperuntukkan terbatas untuk bangunan rumah dan tidak dijual secara komersial .

5 . Di Tana Toraja, Sulawesi Selatan beberapa kearifan lokal dalam hal pengelolaan air . Antara lain adalah Ma’pesung (setiap sumber mata air menjadi tempat peribadatan sehingga areal dan lanskap di sekitar sumber mata air harus dijaga keberadaannya) . Karama atau Romang Karamaka (perlindungan terhadap mata air, hutan/saukang tidak boleh dieksploitasi karena mengganggu sumber/mata air) .44

6 . Bentuk kearifan lokal lain adalah Tudang Sipulung (suku bugis),45 Kombongan

(suku toraja), dan Empo Sipitangari (suku makassar), melalui ketiga kearifan lokal ini masyarakat melakukan musyawarah untuk menetapkan waktu tanam dan pemanfaatan air bersama (pemanfaatan air dilakukan secara komunal/common pool water resource management) .

7 . Di Yogyakarta, kearifan lokal ditemukan dalam bentuk Wono Deso (hutan desa), dan Telogo Deso (pembuatan embung/kolam retensi) . Pembangunan hutan desa dan terutama Telogo Deso dapat menjadi alternatif untuk penyediaan air untuk pertanian dan perikanan/peternakan, utamanya pada musim kemarau . Untuk kebutuhan lahannya, Pemerintah D .IYogyakarta membeli lahan dengan memanfaatkan dana yang dihimpun dari dana corporate social responsibility (CSR) . Selain itu, pemerintah juga menggunakan tanah desa/bengkok, dan tanah lain yang dikuasai Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa sebagai lokasi Wono Deso dan Telogo Deso .46

8 . Di Kab . Lombok Tengah (NTB) terdapat kearifan lokal suku Sasak Bekerase dalam bentuk pembuatan embung

untuk budidaya ikan . Embung tersebut

42 Chay Asdak, Op.,Cit, hlm 34-3643 Nur Arafah, Dudung Darusman, Didik Suharjito, Leti Sundawati , “Kaindea: Dinamika Pengelolaan Hutan

Adat di Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi)”, Jurnal Ilmu Kehutanan Vol . V, No 1, (2011), mengatakan bahwa Kaindea merupakan hutan yang sengaja ditanam oleh masyarakat adat sebagai tempat pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat pada saat panceklik, berfungsi menguatkan hubungan masyarakat dan memiliki fungsi lindung . Semua Kaindea dimiliki dan dikelola oleh adat terutama untuk fungsi ekologi .

44 Loc Cit45 Baharuddin Dollah, “Tudang Sipulung sebagai Komunikasi Kelompok dalam Berbagi Informasi”, Jurnal

Pekommas Vol. 1, No. 2, (Oktober 2016): 177-178 mengatakan bahwa Tudang Sipulung merupakan suatu pola komunikasi dalam suatu kelompok yang sama untuk mencapai keputusan melalui musyawarah .

46 Loc Cit.

Astriani, Nurlinda, Imami, Asdak, Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan... 213

kemudian disewakan kepada pengusaha

ikan . Pengaturan pemanfaatan embung

untuk budidaya ikan berdasarkan

kesepakatan antara aparat, masyarakat,

penyewa . Kesepakatannya adalah

penyewa embung diberi kesempatan

melakukan pemanenan pertama dan kedua

dalam satu tahun . Sedangkan masyarakat

diberi kesempatan memanen ikan pada

kesempatan ketiga pada tahun yang

sama . Pemeliharaan ikan pada embung

mensyaratkan kualitas air embung terjaga,

laju erosi dan tanah longsor yang masuk

ke dalam embung diupayakan seminimal

mungkin . Dengan demikian, budaya suku

Sasak Bekerase mendorong terjaganya

kualitas tutupan lahannya sedemikian

rupa sehingga mengurangi laju erosi

dan sedimentasi, dan dengan demikian,

memungkinkan ikan dapat tumbuh dan

berkembang secara optimal . Selain itu,

budaya pengembangan embung juga

bermanfaat untuk meningkatkan jumlah

air yang dapat ditahan dalam embung

yang sekaligus berlaku sebagai kolam

retensi air .47

9 . Di Kalimantan Selatan, suku Dayak

Meratus melarang peladangan berpindah

dan penebangan pohon di pegunungan,

sebagaimana terlihat di desa Angkipih

dan desa Peramasan, Kabupaten Banjar,

Kalimantan Selatan . Aturan lokal tersebut

dilandasi pemahaman bahwa kerusakan/

degradasi yang terjadi di gunung tersebut

akan mengganggu sumber daya air .48

C. Pembelajaran dari praktek-praktek Pengelolaan Sumber Daya Air yang dilakukan oleh Masyarakat Adat.

Dengan melihat praktek-praktek

pengelolaan sumber daya air yang dilakukan

oleh masyarakat adat terdapat beberapa

pembelajaran yang bisa diambil, yaitu :

1 . Pengelolaan Sumber Daya Air yang

dilakukan berdasarkan kearifan

tradisional menekankan keseimbangan

hubungan manusia dengan lingkungan .

Hal ini muncul dari filosofi hidup

masyarakat adat itu sendiri dan berkaitan

dengan kepercayaan yang dianut

masyarakat adat tersebut. Filosofi hidup

yang selaras dengan alam ini yang

menjadi dasar keberhasilan pengelolaan

sumber daya air yang berkelanjutan . Hal

ini tentunya menjadi tantangan untuk

diterapkan dalam masyarakat modern

yang cenderung melihat sumber daya

air sebagai sarana untuk pembangunan

sehingga pemanfaatannya seringkali

eksploitatif . Menghadapi tantangan ini

peran hukum sebagai sarana pembaruan

masyarakat menjadi penting . Pengaturan

tentang Pengelolaan Sumber Daya

Air harus dilandasi filosofi hidup

masyarakat adat yang selaras dengan

47 Chay Asdak, Op Cit, hlm 34-3648 Ibid

214 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halaman 197-217

alam sebagaimana telah terelaborasi

dalam falsafah hidup Pancasila . Hukum

yang dibentuk dari hukum yang hidup

dengan bersandar pada jiwa bangsa

(volkgeist) akan lebih mudah membentuk

kesadaran hukum masyarakat untuk

mentaati hukum, karena hukum itu

dirasakan sesuai, bermanfaat dan dirasa

adil oleh masyarakat .49 Mengadopsi

kearifan tradisional yang tumbuh

dan berkembang di masyarakat ke

dalam peraturan perundang-undangan

sebagaimana yang dilakukan oleh

pemerintah D .I . Yogyakarta membuat

peraturan perundang-undangan berjalan

lebih efektif dan mudah diterima oleh

masyarakat karena sejalan dengan

kebutuhan mereka .

2 . Pengaturan terkait sumber daya air dan

sumber daya alam lainnya yang ada

di masyarakat adat, selain merupakan

turunan dari filosofis hidup yang ada

juga merupakan kesepakatan yang

dibuat bersama . Sebagaimana terlihat

dalam pembuatan awig-awig atau lubuk

larangan . Dengan adanya partisipasi dari

anggota masyarakat dalam pembuatan

peraturan, maka masyarakatlebih mudah

mentaati aturan yang ada karena merasa

menjadi bagian yang membuat peraturan

dan telah menyepakati poin-poin yang

diatur dalam peraturan tersebut . Hal

ini menunjukkan bahwa partisipasi

masyarakat dalam pembuatan peraturan

terkait pengelolaan sumber daya air

sangatlah penting . Sehingga aturan yang

dibuat dirasakan adil oleh pihak-pihak

yang menjalaninya .

3 . Organisasi pengelolaan sumber daya air

pada masyarakat adat memiliki struktur

dan kewenangan yang jelas dengan

kepemimpinan yang tegas dan dihormati .

Sementara salah satu masalah pengelolaan

sumber daya air yang dihadapi dalam

pemerintahan saat ini adalah benturan

kewenangan dan kurangnya koodinasi

antar instansi yang memiliki kepentingan

terhadap sumber daya air, sehingga perlu

dipikirkan cara terbaik untuk mengatasi

persoalan kelembagaan tersebut .

Simpulan

Indonesia sebagai negara yang menganut

pluralisme hukum, mengakui kearifan

tradisional sebagai bagian dari hukum

Indonesia . Pengelolaan sumber daya air yang

dilakukan berdasarkan kearifan tradisional

dilandaskan pada falsafah hidup yang selaras,

serasi dan seimbang dengan alam . Oleh

karena itu, praktik pengelolaan sumber daya

air berdasarkan kearifan tradisional sesuai

dengan prinsip pengelolaan sumber daya air

yang berkelanjutan . Lebih lanjut, beberapa

praktik kearifan tradisional ini dapat diadopsi

ke dalam peraturan perundang-undangan dan

diintegrasikan ke dalam kebijakan pemerintah

49 Maria S .W . Sumardjono, Pluralisme Hukum Sumber Daya Alam dan Keadilan dalam Pemanfaatan Tanah Ulayat, (Yogyakarta: FH UGM, 2018), hlm 5

Astriani, Nurlinda, Imami, Asdak, Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan... 215

sebagaimana hasil penelitian diatas . Peraturan

perundang-undangan yang dibuat berdasarkan

kearifan tradisional lebih mudah diterima oleh

masyarakat karena sejalan dengan nilai-nilai

kehidupan yang dijalankan sehari-hari dan

pada akhirnya peraturan tersebut berjalan

lebih efektif karena sesuai dengan kebutuhan

dan rasa keadilan masyarakat .

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adimihardja, Kusnaka . Kasepuhan:

Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh

-Pengelolaan Lingkungan Secara

Tradisional Di Kawasan Gunung

Halimun Jawa Barat . Bandung:

Penerbit Tarsito, 1992 .

Imamulhadi . Penegakan Hukum Lingkungan

berbasis Kearifan Masyarakat Adat

Nusantara, Bandung: Unpad Press,

2011 .

Jusuf, Gunawan . Blue Gold: Emas Biru

Sumber Nyawa Kehidupan . Jakarta :

Penerbit Berita Nusantara, 2015 .

Kemenpupera . Profil BBWS Citarum.

Bandung: BBWS, 2017 .

Nurjaya, I Nyoman . Pengelolaan Sumber

Daya Alam dalam Perspektif

Antropologi Hukum . Jakarta: Prestasi

Pustaka Publishing, 2008 .

Nurlinda, Ida . Membangun Pluralisme Hukum

dalam Kerangka Unifikasi Hukum

Agraria. Bandung: LoGoz Publishing,

2015 .

Sumardjono, Maria S .W . Pluralisme Hukum

Sumber Daya Alam dan Keadilan

dalam Pemanfaatan tanah Ulayat,

Yogyakarta: FH UGM, 2018 .

Kumpulan Tulisan dalam Buku

Astriani, Nadia . “Mengatur Sumber Daya Air

secara Adil dan Berkelanjutan” . Sistem

Hukum Lingkungan dn Pengelolaan

Sumber Daya Alam yang berkelanjutan.

Bandung: Logoz Publishing, 2018 .

Sulastriyono dan Totok Dwiantoro . “Kebijakan

Sektoral Lingkungan/SDA”, dalam, La

Ode Syarif dan Andri Wibasana (ed),

Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi

dan Studi Kasus, Jakarta: USAID,

2016 .

Jurnal

Arafah, Nur dkk . “Kaindea: Dinamika

Pengelolaan Hutan Adat di Pulau Kecil

(Studi Kasus: Pulau Wangi-Wangi

Kabupaten Wakatobi)” . Jurnal Ilmu

Kehutanan Vol. V, No.1, (2011)

Dollah, Baharuddin . “Tudang Sipulung

sebagai Komunikasi Kelompok dalam

Berbagi Informasi” . Jurnal Pekommas

Vol. 1, No. 2, (Oktober 2016)

Siswadi, dkk . “Kearifan Lokal Dalam

Melestarikan Mata Air (Studi Kasus di

Desa Purwogondo, Kecamatan Boja,

Kabupaten Kendal)”, Jurnal Ilmu

Lingkungan Vol. 9, Issue. 2, (2011)

216 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halaman 197-217

Ustriyana, I Nyoman Gede dan Ni Wayan

Putu Artini . “Kajian Konsep Tri Hita

Karana Pada Lembaga Subak sebagai

Sumberdaya Budaya di Bali (Studi

Subak Juwuk Manis dan Subak Temesi

di Kabupaten Gianyar)” . SOCA Vol. 9,

No. 3, (2009) .

Utari, I Gusti Ayu Wahyu . “Penerapan Tri Hita

Karana Pada Subak Kelawanan, Desa

Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh,

Kabupaten Gianyar” . dwijenAGRO Vol.

7, No.2, (2017)

Widarmanto, Nanang . “Kearifan Lokal Dalam

Pengelolaan Sumberdaya Perikanan” .

Sabda Vol.13, No. 1, (Juni 2018)

Tesis dan Disertasi

Hiola, Abdul Shamad . “Agroforestri

Ilengi: Suatu Kajian Pelestarian Dan

Pemanfaatan Jenis Pohon (Studi Kasus

di Desa Dulamayo Selatan, Kecamatan

Telaga, Kabupaten Gorontalo, Provinsi

Gorontalo)” . Tesis, Sekolah Pascasarja,

Institut Pertanian Bogor, Bogor : 2011,

https://repository .ipb .ac .id/bitstream/

handle/123456789/51396/2011ash .

pdf?sequence=1&isAl lowed=y,

diakses pada 23 Januari 2019

Kusdiwanggo, Susilo . “Pancer-Pangawinan

sebagai Konsep Spasial Masyarakat

Adat Budaya Padi Kasepuhan

Ciptagelar” . Disertasi, Ilmu Arsitektur

Institut Tekonologi, Bandung: 2015,

tidak dipublikasikan

Makalah

Amin Pawarti, Hartuti Purnaweni, dan Didi

Dwi Anggoro, “Nilai Pelestarian

Lingkungan dalam Kearifan Lokal

Lubuk Larangan Ngalau Agung

di Kampuang Surau Kabupaten

Dharmasraya Provinsi Sumatera

Barat”, Prosiding Seminar Nasional

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan, Semarang: 2012

Chay Asdak, Kebijakan Nasional Sumber

Daya Air Terpadu. Bappenas, Jakarta:

2015 .

Gustaff H. Iskandar, “Tata Kelola Hutan dan

Air yang Lestari : Pembelajaran dari

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar”,

Diskusi Pembangunan Sumber

Daya Air, Pangan dan Energi dalam

Lingkungan yang Kompetitif, Forum

Irigasi Indonesia, Jakarta : 2018 .

Martua Sirait, Chip Fay dan A Kusworo,

Bagaimana Hak-hak Masyarakat

Hukum Adat dalam Mengelola Sumber

Daya Alam Diatur?, ICRAF-SE Asia,

Bogor: 2000 .

Sandra Moniaga, “Masyarakat Adat, Hukum

dan Hak Asasi Manusia di Indonesia”,

Orasi Ilmiah Lustrum FH UNPAR, FH

UNPAR, Bandung: 2018 .

Susilo Kusdiwanggo, “Kasepuhan Ciptagelar:

Entitas Bangun Pengetahuan

Nusantara”, Makalah Lokakarya

INNOVATION FACTORY 2016,

Kampung Karuhun Sutan Raja,

Kabupaten Bandung: 2016 .

Astriani, Nurlinda, Imami, Asdak, Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan... 217

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945

Undang - Undang Nomor 11 tahun 1974

tentang Pengairan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang

Sumber Daya Air

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007

tentang Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Nasional Tahun 2005-2025

Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumber Daya Alam

Peraturan Daerah Propinsi Bali No 2 tahun

1972 tentang Irigasi Daerah Propinsi

Bali

Komisi V DPR RI, Rancangan Undang-

Undang Sumber Daya Air

AMAN, Surat Keputusan Aliansi Masyarakat

Adat Nusantara No .01/kman/1999

tentang Statuta Aliansi Masyarakat

Adat

Internet

I Nyoman Norken, I Ketut Suputra, I Gusti

Ngurah Kerta Arsana, “Implementasi

Tri Hita Karana Pada Subak Pulagan

Sebagai Warisan Budaya Dunia Di

Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten

Gianyar”, https://simdos .unud .

ac .id/uploads/fi le_peneli t ian_1_

dir/7e77edd8b6b561cea8822ba28d72 .

pdf, diakses pada 7 Januari 2019

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan

Permuseuman, Prasasti-prasasti

tentang Subak, https://kebudayaan .

kemdikbud .go .id/ditpcbm/pra sasti-

klungkung-a-dan-manukaya-tentang-

subak/, diakses pada 15 Januari 2019