kh abdurrahman wahid sebagai sumber inspirasi …repository.usd.ac.id/35525/2/141124037_full.pdf ·...
TRANSCRIPT
KH ABDURRAHMAN WAHID SEBAGAI SUMBER INSPIRASI
KATEKESE KEBANGSAAN DI INDONESIA
S K R I P S I
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan
Program Studi Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Paskalis Dimaz Priambodo
141124037
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada keluargaku terkasih, yaitu ayah, ibu, dan adik-
adik, serta para sahabat tercinta mahasiswa-mahasiswi Program Studi Pendidikan
Agama Katolik dari berbagai angkatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTTO
―Membangun Indonesia sesuai dengan kehendak Allah adalah bagian dari
panggilan kita untuk menyempurnakan tata dunia.‖
(Pesan Sidang KWI 2017)
―Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi
seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik
sebab kita juga merasa 100% Katolik.‖
(Mgr. Albertus Soegijapranata SJ)
―Perbedaan antarmanusia adalah tidak mungkin dihindari. Orang yang beriman
pasti yakin bahwa Tuhan sendirilah yang menciptakan perbedaan itu. Oleh
karenanya, kaum Muslim di Indonesia haruslah menghargai dan meninggikan
martabat manusia demi menjaga kesejahteraan hidup bersama di tengah
masyarakat yang majemuk.‖
(KH Abdurrahman Wahid)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebut dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta:
Nama : Paskalis Dimaz Priambodo
NIM : 141124037
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul: KH ABDURRAHMAN
WAHID SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KATEKESE KEBANGSAAN DI
INDONESIA beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).
Dengan demikian, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelola, dan mendistribusikan secara terbatas untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta izin maupun memberikan royalti, selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikianlah pernyataan ini saya buat
dengan sebenarnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “KH ABDURRAHMAN WAHID SEBAGAI
SUMBER INSPIRASI KATEKESE KEBANGSAAN DI INDONESIA”.
Judul ini dipilih berdasarkan keprihatinan penulis terhadap situasi di Indonesia
dewasa ini yang kurang menghargai keberagaman serta memudarnya rasa cinta
tanah air. Dari keprihatinan tersebut penulis merasa khawatir masyarakat
Indonesia terjerumus dalam jurang intoleransi dengan bertindak diskriminatif
terhadap perbedaan. Bertitik tolak dari kekhawatiran tersebut, skripsi ini
dimaksudkan untuk mencari arah dan bentuk katekese yang mengajak umat untuk
menanamkan rasa cinta tanah air dan lebih menghargai keberagaman di Indonesia.
Persoalan pokok dari skripsi ini adalah inspirasi macam apa yang dapat
digali dari sosok KH Abdurrahman Wahid untuk mengonstruksi Katekese
Kebangsaan di Indonesia. Persoalan tersebut diolah dengan menggunakan studi
pustaka terhadap sosok KH Abdurrahman Wahid terkait biografi singkat, cita-cita,
serta berbagai pemikiran dan tindakan konkret dalam hidup beragama dan
bernegara. Studi pustaka juga dilakukan terhadap hakikat Katekese Kebangsaan
terkait asal-usul, unsur-unsur pokok, dan penerapannya di Indonesia. Metode
penulisan dalam skripsi ini menggunakan deskriptif interpretatif yakni
menggambarkan bagaimana KH Abdurrahman Wahid dapat menginspirasi praktik
Katekese Kebangsaan di Indonesia.
KH Abdurrahman Wahid adalah sosok pribadi yang cerdas, bersahaja,
sederhana, peduli, serta bersikap inklusif dan pluralis. Beliau bersedia bergaul
dengan semua orang dari berbagai kalangan tanpa kecuali. Karena nilai-nilai
tersebut, beliau terpilih menjadi Ketua Umum PBNU sebanyak tiga periode dan
kemudian menjadi Presiden NKRI periode 1999-2001. Hal ini menjadikan beliau
menjadi sosok tepat untuk dijadikan teladan dalam kehidupan beragama dan
bernegara.
Katekese Kebangsaan merupakan bagian dari kesadaran Gereja dalam
mengajak umatnya untuk mewujudnyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-
tengah dunia dengan semakin terlibat aktif dalam kegiatan bermasyarakat.
Katekese Kebangsaan membentuk kehidupan beriman yang semakin kontekstual
serta praksis sosial yang semakin terlibat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Inspirasi-inspirasi yang dapat dipetik dari kerinduan hati terdalam KH
Abdurrahman Wahid terhadap bangsa Indonesia untuk mengonstruksi Katekese
Kebangsaan yaitu visi kemanusiaan, persaudaraan, kebangsaan, serta
kesederhanaan. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian integral yang dibutuhkan
dalam Katekese Kebangsaan agar dapat berjalan secara optimal. Berangkat dari
inspirasi-inspirasi tersebut, penulis mengusulkan kegiatan Lokakarya Katekese
Kebangsaan sebagai upaya untuk membantu memperkembangkan karya Katekese
Kebangsaan di Indonesia agar semakin konteksual sesuai dengan kebutuhan umat
di masa sekarang.
Kata kunci: KH Abdurrahman Wahid, Katekese Kebangsaan, Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
This undergraduate thesis entitled “KH ABDURRAHMAN WAHID AS
AN INSPIRATION FOR NATIONHOOD CATECHESIS IN INDONESIA”.
This title is chosen based on the author‘s personal concern about Indonesia
situation nowadays which is the lack of tolerance and nationalism in the society.
From that concern, the author worrying that Indonesian society falls into depth
intolerance by discriminatory action towards diversity. Based on the anxiety, this
undergraduate thesis is intended to find a catechesis model which lead people to
love the country and appreciate diversity.
The main issue in this undergraduate thesis is what kind of inspiration based
on the figure of KH Abdurrahman Wahid to construct a Nationhood Catechesis in
Indonesia. This issue was elaborated by using literature study on the figure of KH
Abdurrahman Wahid related to his short biography, aspirations, and also thoughts
and concrete actions in religious and national life. The literature study is also
applied on the essence of Nationhood Catechesis related to its origin, principal
elements, and use in Indonesia. The method used in this undergraduate thesis is
interpretative descriptitive which is describing how can KH Abdurrahman Wahid
inspire the practice of Nationhood Catechesis in Indonesia.
KH Abdurrahman Wahid is a smart, modest, humble, caring, also be
inclusive and pluralist person. He is willing to associate with everyone from
various circles without exception. Because of those values, he is elected to be
PBNU chairman for three periods and President of the Republic of Indonesia at
1999-2001 period. This makes him the right person to be a role model in religious
and national life.
Nationhood Catechesis is a part of Church consciousness in aware the
people to manifest the values of The Kingdom of God by actively involved in
society activities. Nationhood Catechesis forms the understanding of faith which
is more contextual also social praxis to be more involved in religious and national
life.
The inspirations which can be taken from KH Abdurrahman Wahid‘s
deepest longing are humanity, fraternity, nationality, and humility visions. Those
points are an integral part which needed in Nationhood Catechesis in order to run
optimally. Based on those inspirations, the author suggests a Nationhood
Catechesis, Workshop as an effort to develop Nationhood Catechesis in Indonesia
to be more contextual in acordance with the needs of the people nowadays.
Keywords: KH Abdurrahman Wahid, Nationhood Catechesis, Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Atas berkat dan rahmat penyertaan Allah Yang Maharahim, penulis
mengucapkan syukur karena skripsi berjudul: KH ABDURRAHMAN WAHID
SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KATEKESE KEBANGSAAN DI
INDONESIA dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun melalui proses
yang cukup panjang, mulai dari pencarian sumber buku, konsultasi dengan
berbagai pihak, dan juga bagaimana menuangkan pikiran dalam bentuk karya tulis
ilmiah. Penulis mengalami banyak hal dalam menulis skripsi ini, baik yang
mendukung maupun yang membuat tersendat. Banyak sekali suka dan duka yang
membuat penulis semakin mengerti arti dari sebuah pembelajaran dan perjuangan.
Hal yang tersulit dalam proses penulisan ini yaitu membangun niat yang stabil
dalam setiap harinya untuk menyusun skripsi ini secara optimal. Melalui segala
pasang surut dan suka duka yang dialami, penulis menyadari bahwa penulisan
skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rama Drs. FX Heryatno Wono Wulung SJ, M.Ed. selaku dosen pembimbing
skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik yang senantiasa mengingatkan
dan menyemangati penulis agar menyelesaikan studinya dengan optimal,
meminjamkan buku-buku penunjang, membimbing dengan telaten, serta
menjadi partner diskusi yang asyik. Terima kasih atas bimbingannya selama
ini yang telah menuntun penulis untuk berefleksi dalam menemukan the
deepest longing dan menjadi alter-Kristus bagi diri sendiri dan orang lain
yang membutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Rama Patrisius Mutiara Andalas SJ, SS, STD selaku dosen penguji kedua
yang bersedia menguji skripsi ini, membuatnya menjadi semakin optimal dan
komprehensif sehingga dapat berguna bagi banyak orang.
3. Rama Dr. Ignatius Loyola Madya Utama SJ sebagai dosen penguji ketiga
yang juga membantu penulis melalui diskusi hangat yang amat sangat
membangun selama ini, memberikan tambahan wawasan dan rujukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
dokumen, serta menyemangati agar skripsi ini dapat diselesaikan secara
optimal.
4. Bapak Hairus Salim HS yang di tengah kesibukannya telah rela membantu
membimbing penulis dalam lebih mendalami sosok KH Abdurrahman Wahid
lewat meminjamkan dan mengarahkan untuk membaca beberapa sumber, dan
juga menjadi sarana diskusi yang amat sangat membangun.
5. Keluarga terkasih, ayah saya Th Budi Prakosa dan ibu saya V Kartini, serta
adik-adik saya Raras dan Nines yang turut serta memberi semangat dan
mendoakan dalam hidup sehari-hari sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini dengan baik.
6. Perpustakaan Puskat, Perpustakaan Kolsani, Perpustakaan Sanata Dharma,
Perpustakaan Daerah Yogyakarta, serta Toko buku second hand masih layak
baca via facebook yakni Bukunya Mantan dan Andi Anang Firmansyah yang
turut memberi suplai sumber buku terkait penulisan skripsi ini.
7. Segenap dosen Program Studi Pendidikan Agama Katolik antara lain Rama
Suhardiyanto SJ, Rama Ruki SJ, Bapak Kris, Bapak Bintang, Bapak Dapi,
Bapak Banyu, Rama Setyawan SJ, Rama Sumarno SJ, Bapak Bambang
Hendarto, Ibu Supri, Rama Hendra Asmara SJ, Bapak Rudi Winarto, Rama
Rubiyatmoko Pr, Rama Kusmaryanto SCJ, Rama Indra Sanjaya Pr, Rama
Eko Riyadi Pr, dan Rama Putranto SJ, serta karyawan-karyawati Pusat
Kateketik antara lain Bapak Widiastono, Bapak Bambang Kiswantoto, Bapak
Supanto, Bapak Suwarno, Bapak Subari, Ibu Surti, Mas Diono, Mbak Wulan,
Mbak Sandra, dan Bapak Eddy yang begitu berperan dalam mendidik penulis
menjadi pribadi yang pradnya widya selama proses perkuliahan dan menjadi
titik tolak untuk ke depannya.
8. Teman-teman Program Studi Pendidikan Agama Katolik angkatan 2014,
terutama pasangan Rena-Gereh, Santi-Tembong, Gaung-Codot sebagai
pembuat heboh yang meramaikan suasana, lalu teman-teman satu DPA yakni
Dhian, Yunita, dan Retno, kemudian Cika, Sesi, Uly, Yuli, Niken, Lusi,
Merianti, Vero, Septiana, Wikan, Ulis, Adswi, Fritz, Niko, Iwan, Jiw, Arni,
Manuk, Ira Dhone, Maxima Boy, Gradiana Dangul, dan Riana Sijabat sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
teman sekelas yang menjadi pelengkap kegembiraan dan penderitaan, dan
juga Jose De Deus, Eduardus Joni, Fortunatus Sandy Febrian, Matilda
Mumut, Bernadetta Salli, dan Eko Wawan Kurniawan yang pernah berjuang
bersama meski tak sampai separuh jalan.
9. Ibu Didik selaku pemilik indekos yang saya tempati selama kuliah, teman-
teman kos yakni Hendri Chus, Yongki Januardi, dan Otong Kurniawan, serta
tetangga kos yakni Ibu Karman dan keluarga, juga Mas Hendri dan keluarga.
10. Segenap warga Lingkungan Petrus Paroki Antonius Padua Kotabaru
Yogyakarta yang selama ini telah bersedia ketempatan dan membantu penulis
dalam memperkembangkan karya katekese saat praktik pendalaman iman
lingkungan, serta segenap warga Stasi Buntu Paroki Paulus Wonosobo yang
sempat ditinggali selama pelaksanaan Karya Bakti Paroki.
11. Teman-teman Program Studi Pendidikan Agama Katolik dari berbagai
angkatan (2008 hingga 2017) yakni Kebo, Antok, Guruh, Kupret, Bejok,
Gembul, Ucup, Yones, Galang, Yohan CKP, Gaplek, Gaboel, Franssenthir,
Mael, Didimus, Putri Dinanti, Bonny PS, Patrick Marius, Putri Kenanga,
Bernadeta Wahyu, Natalia Yustika, Yohana Susmi, Jamil, Dikta Ganda, Arthi
Rosa, Martatik, Nurcahyanti, Tarsius, Afrizal, Angela Merici Agrieny, Valen,
Mela, Marcel, Aryo, Betti, Frisca Yuyun, Julbob, Tulus Panjaitan, Natalis,
Onelan, Otongmen, Delmi Olivia, Severina Jenita, Dinda Nurmalasari,
Priatmoko, Kristhalia Dessindi, Ledyana Lamak, Tasya Mora, Widyastuti,
Widyaningrum, Puspita Rahayu, Teo, Adi, dan nama-nama lain yang jika
disebutkan membuat skripsi ini semakin penuh.
12. Para penyuplai makanan selama kuliah yakni angkringan malam Oom Sono
depan kampus, gerobak merah Oom Aji, warung makan Bu Desi, depot
makan depan kampus, warung belakang depot, angkringan malam Mas Kris
depan GKS, warung makan Mbak Yuni, dan penyetan malam. Begitu juga
Bintang Laundry yang berjasa mencucikan pakaian-pakaian penulis selama
kuliah. Kemudian juga para penyuplai sukacita selama hidup yakni The
Beatles, Queen, Helloween, Kiss, SNSD, Westlife, Hanoman, Power Rangers,
Kamen Rider, Liverpool FC, Timnas Indonesia (untuk segala jenis olahraga),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
Asian Games 2018, Roger Federer, Rowan Atkinson a.k.a Mr Bean, Michael
Schummacher, Casey Stoner, One Piece, Kungfu Boy, Break Shoot, Detective
Conan, Marvel Cinematic Universe, Yakuza Games, Windows, Google,
Android, serta hal-hal lainnya.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini, masih terdapat kekurangan dan
keterbatasan. Maka, penulis terbuka untuk menerima berbagai macam saran yang
berguna, sehingga skripsi ini dapat diterima dan semakin memberikan sumbangan
yang berarti untuk sekarang dan ke depannya. Penulis berharap semoga skripsi ini
memberi manfaat dan inspirasi bagi para pembaca. Ecclessia semper reformanda
est. Ad maiorem Dei gloriam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv
MOTTO ............................................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................................................. vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS ........................................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
ABSTRACT ........................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ......................................................................................... x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiv
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 7
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 8
D. Manfaat Penulisan .................................................................................... 8
E. Metode Penulisan ...................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ............................................................................... 9
BAB II. KH ABDURRAHMAN WAHID SANG ―KATEKIS‖ KEBANGSAAN 11
A. Biografi Singkat ....................................................................................... 11
B. Cita-cita .................................................................................................... 21
C. Sumbangan Pemikiran ............................................................................... 25
1. Pemikiran tentang kehidupan beragama ........................................... 26
2. Pemikiran tentang kehidupan bernegara ........................................... 32
3. Pemikiran tentang hubungan hidup beragama dengan bernegara ..... 35
D. Perjuangan Konkret ................................................................................... 39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
BAB III. HAKIKAT KATEKESE KEBANGSAAN ........................................... 54
A. Asal Usul Gagasan ................................................................................. 54
1. Berawal dari Katekese Kontekstual .................................................. 55
2. Allah yang inkarnatoris ..................................................................... 61
3. Gabungan antara discipleship dengan citizenship ............................. 64
4. Keterlibatan Gereja dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat 67
B. Pokok-pokok Mengenai Katekese Kebangsaan ...................................... 71
1. Subjek dan objek Katekese Kebangsaan ........................................... 71
2. Mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di dunia ............................... 73
3. Sebagai kebutuhan umat di masa kini ................................................ 75
C. Penerapan Katekese Kebangsaan di Indonesia ....................................... 77
BAB IV. INSPIRASI YANG DAPAT DIGALI DARI KERINDUAN
TERDALAM HATI KH ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP BANGSA
INDONESIA UNTUK MENGONSTRUKSI KATEKESE KEBANGSAAN..... 81
A. Nilai-nilai Inspiraif dari Sosok KH Abdurrahman Wahid ..................... 82
1. Kemanusiaan ..................................................................................... 82
2. Persaudaraan ...................................................................................... 85
3. Kebangsaan ....................................................................................... 87
4. Kesederhanaan .................................................................................. 90
B. Usulan Kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan .............................. 92
1. Latar belakang kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan .............. 92
2. Tujuan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ........................... 95
3. Gambaran pelaksanaan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan . 95
4. Pemilihan materi kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ........... 96
5. Matriks kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan .......................... 98
6. Contoh persiapan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan .......... 102
BAB V. PENUTUP .............................................................................................. 107
A. Kesimpulan .......................................................................................... 107
B. Saran .................................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
DAFTAR SINGKATAN
Untuk singkatan nama-nama kitab disesuaikan dengan Alkitab
Deuterokanonika terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (2005).
Untuk singkatan nama-nama ordo/tarekat/kongregrasi disesuaikan dengan
kaidah yang berlaku.
Dokumen Gereja
AA : Apostolicam Actuositatem (Dekrit Konsili Vatikan II mengenai
kerasulan kaum awam)
CT : Catechesi Tradendae (Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus
II mengenai penyelenggaraan katekese)
DFI : Direktorium Formatio Iman (acuan, petunjuk, arah, dan
pegangan dalam pengembangan iman umat yang berada di
wilayah Keuskupan Agung Semarang)
DV : Dei Verbum (Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II mengenai
wahyu Ilahi)
EG : Evangelii Gaudium (Anjuran Apostolik Paus Fransiskus
mengenai misi penginjilan utama Gereja pada masa modern)
FR : Fides et Ratio (Ensiklik Paus Yohanes Paulus II mengenai
hubungan antara iman dan akal budi)
GS : Gaudium et Spes (Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II
mengenai Gereja di dunia masa kini)
LG : Lumen Gentium (Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II
tentang Gereja)
NA : Nostra Aetate (Deklarasi Konsili Vatikan II mengenai
hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen)
PUK : Petunjuk Umum Katekese (arah pembaharuan katekese di
Gereja-Gereja partikular yang dikeluarkan oleh Kongregasi
untuk para imam)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
Organisasi/Kelembagaan
ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Bakorstranas : Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional
Bulog : Badan Urusan Logistik
DIAN/Interfidei : Dialog Antar Iman (sering disebut juga dengan Interfidei)
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat (lembaga legislatif NKRI)
Fordem : Forum Demokrasi
GAM : Gerakan Aceh Merdeka
GDCC : Gus Dur Crisis Center
Golkar : Golongan Karya (partai politik)
ICMI : Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
KAS : Keuskupan Agung Semarang
KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia
LP3ES : Lembaga Pengkajian Pengetahuan, Pendidikan, Ekonomi,
dan Sosial
MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat (lembaga legislatif NKRI)
NII : Negara Islam Indonesia
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
NU : Nahdlatul Ulama
PBNU : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
PDI-P : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (partai politik)
PKB : Partai Kebangkitan Bangsa (partai politik)
PKI : Partai Komunis Indonesia (partai politik)
PPP : Partai Persatuan Pembangunan (partai politik)
RI : Republik Indonesia
Lain-lain
AD/ART : Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
APP : Aksi Puasa Pembangunan
bdk. : bandingkan
BKSN : Bulan Kitab Suci Nasional
dkk. : dan kawan-kawan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
dsb. : dan sebagainya
ed. : editor
HAM : Hak Asasi Manusia
Inpres : Instruksi Presiden RI
Kapolri : Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
KH : Kiai Haji
KKN : Korupsi, Kolusi, dan Nepotismee
lih. : lihat
litsus : penelitian khusus
Mgr. : Monsignor (Monsinyur, gelar untuk uskup)
Munas : Musyawarah Nasional
P4 : Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
par. : paralel (dengan Injil/kitab lain)
pelita : pembangunan lima tahun
pemilu : pemilihan umum
repelita : rencana pembangunan lima tahun
SAW : Shallallahu`alaihi Wa Sallam (artinya adalah Semoga Allah
memberikan shalawat dan salam kepadanya, sebuah lafadz
yang disematkan kepada Nabi Muhammad sebagai rasul Allah)
SCP : Shared Christian Praxis (salah satu model katekese)
terj. : terjemahan
UUD ‗45 : Undang-Undang Dasar 1945 (konstitusi NKRI)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini banyak terjadi peristiwa yang melanda Indonesia. Begitu sering
kita jumpai berbagai perlakuan diskriminatif, seperti misalnya memutus tali
persahabatan karena latar belakang budaya atau agama yang berbeda. Situasi ini
mengundang berbagai keprihatinan. Salah satu halnya yaitu kekhawatiran bahwa
intoleransi dimanfaatkan untuk kepentingan politik identitas (Hidup: Mingguan
Katolik No.10 Tahun ke-72, 11 Maret 2018: 9). Bentuk keprihatinan yang lain
yaitu ada orang-orang tertentu yang merekayasa dan memanfaatkan isu agama
untuk mengadu domba dan menciptakan konflik (Hidup: Mingguan Katolik No.10
Tahun ke-72, 11 Maret 2018: 11).
Penulis melihat adanya urgensi akan kesadaran masyarakat dalam berbangsa
dan bernegara secara pluralis dan inklusif, mengingat dewasa ini marak terjadi
kasus-kasus kekerasan mengarah pada intoleransi yang jika dibiarkan dapat
berdampak pada perpecahan suatu bangsa. Penulis merasa adanya krisis moral
dalam negeri ini, beberapa oknum merasa paling benar dan berhak untuk main
hakim sendiri mengadili kaum yang berbeda pendapat dengan mereka. Penulis
juga merasa bahwa dewasa ini rasa nasionalisme dalam diri masyarakat semakin
berkurang dan hal ini dapat berdampak pada keutuhan bangsa Indonesia ke
depannya. Padahal rasa cinta tanah air sudah ditanamkan sejak awal dan perlu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
diperkembangkan dengan menghargai keberagaman yang ada dan menjunjung
tinggi rasa persatuan.
Perlu ada solusi agar berbagai tindakan intoleransi tidak semakin menjadi-
jadi. Sesegera mungkin kita merumuskan langkah-langkah konkret dan tepat
sasaran, tidak menunda-nunda lagi untuk menghidupkan nilai-nilai kebinekaan
dan toleransi. Hal ini membutuhkan peran kita bersama sebagai warga masyarakat
yang peduli akan getaran-getaran kebersamaan, pluralitas, dan kegotongroyongan.
Perlu ada kerja sama antarlini kemasyarakatan, seperti halnya organisasi atau
tokoh-tokoh keagamaan dan kemasyarakatan dalam memupuk dan menumbuhkan
semangat toleransi, nilai-nilai kemanusiaan, kepekaan sosial, serta penghargaan
pada keanekaragaman. Ucapan dan tindakan para tokoh tersebut, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat menjadi teladan bagi kita dalam bertindak
di kehidupan sehari-hari.
Penulis terinspirasi dari semboyan yang dikemukakan oleh Mgr.
Soegijapranata mengenai menjadi pribadi yang sungguh-sungguh religius
sekaligus sungguh-sungguh nasionalis (seratus persen Katolik, seratus persen
Indonesia). Penulis juga terinspirasi dari tindakan Yesus yang membayar pajak
dan bea Bait Allah (Mat 17:24-27) dan nasihat Rasul Paulus untuk taat kepada
pemerintah (Rm 13:1-8). Penulis merasa bahwa orang Katolik pada masa kini
perlu kembali disadarkan akan rasa cinta dan bangga terhadap tanah air Indonesia.
Penulis melihat sosok yang inspiratif dalam menjadi pribadi yang sungguh-
sungguh religius sekaligus nasionalis dari seorang Kiai Haji (KH) Abdurrahman
Wahid. Beliau lebih kerap disapa dengan panggilan Gus Dur. Beliau adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
seorang pemuka agama Islam yang pernah menjabat sebagai ketua umum dalam
kepengurusan besar organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dalam tiga kali masa
jabatan (1984-1999) dan terpilih menjadi Presiden Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang keempat pada periode 1999-2001. Penulis memilih Gus
Dur yang bukan tokoh dari kalangan Katolik sebagai sosok yang dapat
menginspirasi dalam Katekese Kebangsaan karena ingin meninjau lebih jauh
aspek kebangsaan yang bersifat lintas agama. Penulis melihat bahwa sosok Gus
Dur adalah seorang yang berpandangan inklusif dan pluralis.
Gus Dur berpandangan bahwa pluralisme agama bukan hanya terletak pada
pola hidup berdampingan secara damai, tetapi juga disertai dengan kesediaan
untuk menerima ajaran-ajaran baik dari agama-agama yang lain (Muhaimin
Iskandar, 2000: 16). Sebagai ulama, Gus Dur melihat perlunya semua pihak di
kalangan umat Islam memikul tanggung jawab untuk menumbuhkan rasa
memiliki terhadap semua warga masyarakat bangsa, sehingga dengan cara
demikian Islam dapat tumbuh bersama dengan seluruh penduduk negeri (Parera &
Koekerits, 1999: 18). Bagi Gus Dur, heterogenitas Indonesia adalah anugerah dari
Allah. Menurut Franz Magnis-Suseno (2017: 15), Gus Dur bisa disebut sebagai
perwujudan akan tiga sikap yaitu keindonesiaan, agama, dan pluralisme.
Aspirasi atau cita-cita hidup KH Abdurrahman Wahid semenjak kecil adalah
menjadi pribadi yang berguna bagi banyak orang, yakni guru bangsa. Beliau
terinspirasi oleh beberapa tokoh, seperti Ki Hajar Dewantara, Ki Mangunsarkoro,
dan juga kakeknya sendiri Hasyim Asyari (Tim INCReS, 2000: 8). Seiring
berjalannya waktu, Gus Dur semakin memantapkan cita-citanya sebagai guru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
bangsa, dengan lebih menimba inspirasi dari tokoh-tokoh lainnya, yakni Kim Dae
Jung, Sulakshi Bharaksa, Sun Yat Sen, Soekarno, Mahatma Gandhi, Jawaharlal
Nehru, Joze Rizal, dan Gamal Abdul Nasser (Tim INCReS, 2000: 22-23).
Berbagai hal telah dilakukan oleh Gus Dur dalam menjaga kebebasan
beragama di Indonesia ini. Seperti misalnya saja mengeluarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa yang membuat Konghucu diakui
sebagai agama oleh negara dan Hari Raya Imlek ditetapkan sebagai Hari Libur
Nasional Fakultatif (news.liputan6.com/read/814735/sukarno-gus-dur-dan-imlek).
Hal lainnya yaitu menjadi penengah dalam kasus penutupan Sekolah Sang Timur
di Tangerang (metro.tempo.co/read/49828/gus-dur-kasus-sang-timur-berbau-
politik).
Walaupun memiliki identitas sebagai pemuka agama Islam, Gus Dur lebih
dikenal sebagai tokoh lintas agama, karena pandangannya yang inkulsif dan
pluralis tersebut. Gus Dur kerap bergaul dengan tokoh-tokoh lintas budaya dan
agama, temasuk Katolik. Melalui pikiran, sikap, dan tindakan pluralis-inklusif
tersebut, Gus Dur menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai kalangan, termasuk
Katolik.
Gereja sebagai institusi agama di tengah-tengah masyarakat juga memiliki
peran untuk mendidik umat. Salah satu upaya Gereja dalam mendidik umat demi
pertumbuhan iman, serta sikap toleransi dan inklusivitas yaitu melalui katekese.
Katekese merupakan kegiatan pendalaman iman bagi umat Katolik. Katekese
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
sering dilihat dalam arti sempit yaitu kegiatan pendalaman iman di lingkungan-
lingkungan yang diadakan pada saat-saat tertentu, misalnya saja pada masa adven,
prapaskah, atau Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN), sehingga tema yang
ditawarkan cenderung tematis mengikuti bahan yang telah dipersiapkan
keuskupan. Padahal katekese dapat diadakan kapan saja dan di mana saja (bdk.
CT 47), tidak harus menunggu masa-masa adven, prapaskah, atau BKSN tersebut.
Melihat hal tersebut, sekiranya pemahaman mengenai katekese sejatinya perlu
ditinjau kembali.
Marinus Telaumbanua (1999: 5) merumuskan katekese sebagai ―usaha-usaha
Gereja dalam membantu umat semakin memahami, menghayati, dan mewujudkan
imannya dalam kehidupan sehari-hari‖. Katekese perlu diadakan sebagai sarana
bagi umat untuk memperdalam dan memperkembangkan imannya agar merasa
semakin mantap sebagai pengikut Kristus. Tema-tema katekese juga perlu
diperluas mengikuti perkembangan zaman agar umat dapat lebih bersemangat
dalam memberi kesaksian tentang iman mereka sehingga dapat semakin
mematangkan dan meneguhkan iman yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (bdk.
CT 24-25).
Katekese sebagai kegiatan pendalaman iman memiliki berbagai macam
bentuk, model, dan metode. Penulis selama ini lebih sering mengikuti katekese
dengan menggunakan model biblis dan Shared Christian Praxis (SCP) yang
disesuaikan dengan tema-tema yang dibuat oleh keuskupan terkait dengan masa-
masa prapaskah, BKSN, dan adven. Perlu adanya peninjauan kembali bentuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
katekese lain yang dapat diperkenalkan kepada umat demi memupuk rasa
nasionalisme dan cinta tanah air, yakni Katekese Kebangsaan.
Penulis melihat perlunya pemahaman bahwa katekese masih lebih-lebih
berorientasi pada keselamatan surgawi dan belum terlalu memerhatikan
bagaimana mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (GS 45)
dengan berkontribusi bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Katekese Kebangsaan
dapat diselenggarakan dalam rangka mewujudkan Kerajaan Allah di tengah-
tengah dunia dengan terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
mewujudkan cita-cita kemerdekaan sekaligus merupakan perwujudan iman dalam
menanggapi tanda-tanda zaman. Gereja juga perlu turut serta dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.
Melalui Katekese Kebangsaan, Gereja dapat turut beperan menanamkan rasa
cinta tanah air dan mencegah tindakan-tindakan kekerasan yang mengarah pada
intoleransi tersebut. Gereja dapat berperan langsung dalam mencerdaskan
kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, menanamkan nilai-nilai moral
yang menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi rasa persatuan Indonesia.
Katekese Kebangsaan berawal dari gagasan akan perlunya sebuah katekese
yang bersifat mengajak umat terlibat dalam keprihatinan berbangsa dan
bermasyarakat. Dalam Sarasehan Kebangsaan "Menjadi Warga Indonesia yang
Inklusif dan Transformatif" yang diselenggarakan oleh Komisi Kateketik
Kevikepan DIY pada Minggu, 24 September 2017, FX Sugiyana Pr
mengungkapkan bahwa membangun Indonesia adalah bagian dari iman. Oleh
karena itu Gereja sebagai bagian dari NKRI turut serta bertanggung jawab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
membuat Indonesia menjadi lebih baik. Beliau juga mengatakan bahwa Arah
Dasar Keuskupan Agung Semarang (KAS), bersama masyarakat Indonesia yang
sedang menghidupi nilai-nilai Pancasila di era kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi umat, ingin mewujudkan Gereja yang inklusif, inovatif, dan
transformatif. Inklusif artinya keterbukaan dan toleran terhadap keberagaman,
inovatif berarti bergerak membawa perubahan, kemajuan, dan pembaharuan, serta
transformatif yaitu bersama-sama membangun bangsa dan negara
(gerejapelemdukuh.com/2017/10/sarasehan-kebangsaan-menjadi-warga.html).
Berangkat dari berbagai gagasan di atas, penulis berpendapat bahwa Katekese
Kebangsaan dapat belajar dan mengambil inspirasi dari sosok KH Abdurrahman
Wahid. Menyadari hal tersebut, penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan
judul KH ABDURRAHMAN WAHID SEBAGAI SUMBER INSPIRASI
KATEKESE KEBANGSAAN DI INDONESIA.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka masalah
pokok dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Seperti apa sosok KH Abdurrahman Wahid?
2. Apa yang dimaksud dengan Katekese Kebangsaan?
3. Inspirasi macam apa yang dapat dipetik dari KH Abdurrahman Wahid
dalam mengonstruksi Katekese Kebangsaan di Indonesia?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka penulisan ini dilakukan
dengan tujuan:
1. Mendeskripsikan sosok KH Abdurrahman Wahid.
2. Menemukan hakikat dan pokok-pokok Katekese Kebangsaan.
3. Mengetahui seberapa besar inspirasi KH Abdurrahman Wahid dalam
mengonstruksi Katekese Kebangsaan di Indonesia.
D. MANFAAT PENULISAN
Adapun penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi:
1. Penulis
Penulisan ini diharapkan dapat membantu penulis dalam mempersiapkan
diri sebagai calon katekis agar memiliki pemahaman mengenai Katekese
Kebangsaan serta inspirasinya dari KH Abdurrahman Wahid dan dapat
menerapkannya kelak dalam berkatekese di berbagai tempat, waktu, dan
kesempatan.
2. Mahasiswa
Penulisan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa Program Studi
Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma agar memiliki pemahaman
secara utuh mengenai Katekese Kebangsaan sehingga memupuk rasa
nasionalisme melalui berkatekese, serta dapat belajar dari KH Abdurrahman
Wahid mengenai wawasan menjadi sungguh-sungguh religius sekaligus
nasionalis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
3. Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma
Penulisan ini diharapkan dapat membantu memberikan sumbangan untuk
Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma dalam
membekali mahasiswanya mengenai Katekese Kebangsaan sehingga mampu
memberi sumbangan dan kontribusi yang berarti dalam kegiatan kemasyarakatan
melalui Katekese Kebangsaan serta dapat belajar dari KH Abdurrahman Wahid
sebagai sumber inspirasinya.
E. METODE PENULISAN
Skripsi ini merupakan studi pustaka dengan menggunakan metode deskriptif
interpretatif. Penulis memperoleh data melalui berbagai sumber dokumen, buku,
artikel (majalah, jurnal, surat kabar, dan internet), dsb. mengenai Katekese
Kebangsaan serta pemikiran KH Abdurrahman Wahid yang menunjukkan
inklusivitas dan pluralitas dalam kehidupan beragama dan bernegara. Dalam
penulisan skripsi ini, penulis menggambarkan bagaimana KH Abdurrahman
Wahid dapat menginspirasi praktik Katekese Kebangsaan di Indonesia.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Skripsi ini mengambil judul KH ABDURRAHMAN WAHID SEBAGAI
SUMBER INSPIRASI KATEKESE KEBANGSAAN DI INDONESIA. Judul
tersebut akan diuraikan menjadi lima bab sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan, rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika
penulisan.
Bab II membahas sosok KH Abdurrahman Wahid yang meliputi biografi
singkat, berbagai macam pemikiran beliau tentang kehidupan beragama dan
berbangsa, cita-cita beliau terhadap kehidupan berbangsa dan beragama, serta
tindakan-tindakan beliau dalam memperjuangkan kebinekaan dan kebebasan
beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bab III memuat hakikat dan pokok-pokok Katekese Kebangsaan yang
meliputi asal usul pemikiran, pemahaman mengenai Katekese Kebangsaan, dan
bagaimana penerapan Katekese Kebangsaan tersebut, secara khusus di Indonesia.
Bab IV menguraikan bagaimana sosok KH Abdurrahman Wahid dapat
menjadi sumber inspirasi dalam mengonstruksi Katekese Kebangsaan di
Indonesia, kemudian memberikan usulan kegiatan Lokakarya Katekese
Kebangsaan sebagai usaha meningkatkan praktik pengembangan Katekese
Kebangsaan di Indonesia dengan mengambil inspirasi dari sosok KH
Abdurrahman Wahid.
Bab V adalah penutup. Dalam penutup ini penulis akan menyampaikan
kesimpulan dari keseluruhan permasalahan penulisan dan memberikan saran yang
dapat meningkatkan pemahaman akan Katekese Kebangsaan dan dapat belajar
dari sosok KH Abdurrahman Wahid sebagai sumber inspirasinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
BAB II
KH ABDURRAHMAN WAHID SANG “KATEKIS” KEBANGSAAN
Pada bab sebelumnya penulis sudah membahas latar belakang penulisan
skripsi ini. Sudah dipaparkan mengapa penulis memilih KH Abdurrahman Wahid
dan Katekese Kebangsaan dalam penulisan skripsi ini. Kemudian penulis sudah
memaparkan berbagai rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan,
metode penulisan, serta sistematika penulisannya.
Pada bab ini penulis akan membahas mengenai sosok KH Abdurrahman
Wahid sebagai ―katekis‖ kebangsaan. Secara gamblang memang beliau tidak
berbicara mengenai nilai dalam Agama Katolik tetapi lebih-lebih nilai universal
dari iman yang melampaui batas agama. Keterkaitan tersebut akan dipaparkan
dalam biografi KH Abdurrahman Wahid secara singkat, mulai dari latar belakang
keluarga hingga jenjang karirnya sebagai ulama dan guru bangsa. Nilai-nilai
universalitas sang ―katekis‖ kebangsaan ini juga tersirat lewat berbagai macam
sumbangan beliau dalam memperjuangkan kebinekaan dan kebebasan beragama
di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dituangkan dalam berbagai bentuk
tulisan di berbagai media serta tindakan-tindakan konkret dalam perjuangannya
tersebut.
A. Biografi Singkat
Abdurrahman Wahid lahir pada 7 September 1940 di Denayar, Jombang.
Sebagian sumber menuliskan bahwa beliau lahir pada 4 Agustus 1940. Akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
tetapi, kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah hari
keempat dalam bulan kedelapan pada kalender Islam, yakni tanggal 4 Sya‘ban,
sama dengan 7 September dalam kalender masehi (Ali Masykur Musa, 2010: 4).
Walaupun begitu, ulang tahun beliau selalu dirayakan pada 4 Agustus (Barton,
2016: 25).
Beliau dilahirkan dengan nama Abdurrahman Addakhil. ―Abdurrahman‖
berarti hamba Allah Sang Maha Penyayang, sedangkan ―Addakhil‖ berarti Sang
Penakluk (Ari Subagyo, 2012: 38). Namun nama ini dirasa berat, maka kemudian
nama belakang diganti menggunakan nama depan sang ayah, yakni ―Wahid‖,
sehingga seterusnya beliau dikenal sebagai Abdurrahman Wahid (Barton, 2016:
35). Beliau lebih populer dengan nama Gus Dur di kalangan masyarakat. ―Gus‖
sebutan yang berasal dari Jawa Timur, sebetulnya merupakan kependekan dari
ucapan ―Bagus‖, yang kemudian disematkan kepada seorang anak kiai, laki-laki,
terutama bagi mereka yang dihormati dan diteladani selama belajar di pesantren
(Tim INCReS, 2000: 26). Pada umumnya panggilan ini ditujukan kepada seorang
santri sebelum ia menjadi kiai, akan tetapi pada kenyataannya tidak sedikit juga
mereka yang sudah menjadi kiai tetap dipanggil ―Gus‖ (Tim INCReS, 2000: 26).
Sedangkan panggilan ―Dur‖ sendiri berasal dari kependekan namanya, yakni
―Abdurrahman‖. Panggilan ―Gus Dur‖ memang terasa lebih dominan dan akrab
dibanding dengan ―Kiai Haji Abdurrahman Wahid‖.
Gus Dur semasa hidupnya berada di tengah-tengah kalangan intelektual,
sehingga dirinya pun berkembang sebagai pribadi yang cerdas dan mumpuni.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Bahkan dapat dikatakan, secara genetis, Gus Dur tergolong seorang santri dan
priyayi sekaligus (Tim INCReS, 2000: 4). Kedua kakeknya, KH Hasyim Asyari
dari pihak ayah dan KH Bisri Syansuri dari pihak ibu, merupakan tokoh-tokoh
kunci lahirnya Organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sementara ayahnya, KH Wahid
Hasyim, menjadi tokoh perjuangan nasional dan menteri agama pada era
pemerintahan Presiden Soekarno (Barton, 2016: 26).
Semasa kecilnya Gus Dur tinggal di Pondok Pesantren Tebuireng
Jombang, diajari mengaji, membaca Alquran, dan ilmu-ilmu agama oleh
kakeknya, KH Hasyim Asyari (Tim INCReS, 2000: 6). Beliau tinggal di
lingkungan pesantren Tebuireng Jombang hingga tahun 1949. Kemudian ketika
ayahnya, KH Wahid Hasyim, diangkat sebagai Menteri Agama, seluruh keluarga,
termasuk Gus Dur, diajak ke Jakarta. Gus Dur memulai pendidikan formalnya di
Sekolah Dasar KRIS hingga kelas empat, kemudian pindah ke Sekolah Dasar
Matraman Perwari hingga lulus (Barton, 2016: 42).
Selama di Jakarta, suasana keagamaan seakan menghilang dalam sisi
kehidupan Gus Dur (Tim INCReS, 2000: 6-8). Gus Dur kecil sering diajak
menemani ayahnya ke berbagai pertemuan dan dianjurkan oleh ayahnya untuk
membuka wawasan seluas-luasnya dengan membaca apa saja yang disukai, serta
membicarakan berbagai ide yang ditemukan, sebagai bentuk pendidikan bagi Gus
Dur (Barton, 2016: 42-44). Pada 1954, setelah ayahnya, KH Wahid Hasyim
meninggal pada 1953, Gus Dur pindah ke Yogyakarta melanjutkan studinya di
Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dan lulus pada 1957.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Setelah lulus, Gus Dur mulai mengikuti pelajaran pesantren secara penuh
di Tambakberas. Saat inilah suasana keagamaan dalam kehidupan Gus Dur mulai
tumbuh kembali. Pada 1959-1963 Gus Dur berhubungan secara intensif dengan
KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri (Barton, 2016: 53). Dalam periode
tersebut Gus Dur juga mendapat kesempatan mengajar di madrasah modern yang
didirikan di kompleks pesantren dan juga menjadi kepala sekolahnya.
Kemudian pada November 1963 Gus Dur berangkat ke Kairo, Mesir,
karena mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di
Universitas Al-Azhar (Barton, 2016: 88). Gus Dur menganggap masa studinya di
Kairo adalah pengalaman yang mengecewakan. Baginya, institut ini tidak sesuai
dengan pamornya, sebab ia bosan dengan pendekatan dan metode yang diterapkan
di sana, lebih memberikan pokok-pokok pelajaran klasik dengan memprioritaskan
hafalan dibandingkan dengan analisis (Barton, 2016: 88-102). Gus Dur
berpendapat bahwa metode kuliah yang dipergunakan di Universitas Al-Azhar
bertentangan dengan semangat Islam yang asli (Barton, 2016: 58). Karena itulah
Gus Dur menjalani studinya di Universitas Al-Azhar dengan setengah hati.
Pada pertengahan 1966, Gus Dur dinyatakan gagal dalam studinya di
Universitas Al-Azhar. Akan tetapi, Gus Dur menerima kabar baik yaitu mendapat
beasiswa di Universitas Baghdad (Barton, 2016: 102). Gus Dur menggunakan
kesempatan kedua ini dengan baik. Di Universitas Baghdad ini Gus Dur
mengalami hal yang sama sekali lain dengan di Al-Azhar. Gus Dur memperoleh
dorongan intelektual yang sejati dengan berpikir kritis dan banyak membaca,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
sehingga memiliki jadwal belajar yang lebih ketat dari sebelumnya. Pada
pertengahan 1970, Gus Dur berhasil menyelesaikan studinya di Universitas
Baghdad dengan hasil riset mengenai sejarah Islam di Indonesia sebagai tugas
akhirnya (Barton, 2016: 111). Ia memperoleh gelar Lc—setingkat S1 di
Indonesia—Sastra Arab (Tim INCReS, 2000: 18).
Pada 1971 Gus Dur kembali pulang ke Indonesia dan menikah dengan
Nuriyah secara resmi. Perkawinan mereka dianugerahi empat orang puteri, yaitu
Alissa pada 1973, Yenny pada 1974, Anita pada 1977, dan Inayah pada 1982.
Selama periode ini Gus Dur lebih memilih mengembangkan pendidikan di pondok
pesantren. Gus Dur merasa miris dan prihatin dengan kemiskinan pesantren yang
ia lihat, sehingga ia mengupayakan membantu pesantren mengadopsi kurikulum
pemerintah tetapi juga tetap memelihara nilai-nilai tradisional (Ali Masykur
Musa, 2010: 8). Gus Dur kemudian mendapat rekomendasi untuk mengajar
kaidah fikih dan Kitab Al-Hikam pada 1974 di Pesantren Tambakberas Jombang.
Pada 1978, ketika hendak menuju Pesantren Denayar Jombang, Gus Dur
mengalami kecelakaan cukup keras hingga membuat retina mata kirinya terlepas.
Ketika masa pengobatan dan penyembuhan, Gus Dur tidak tahan untuk berdiam
diri, sehingga mengalami istirahat yang kurang. Hal ini mengakibatkan retinanya
itu tidak kembali menyatu dengan baik (Barton, 2016: 125). Semenjak kejadian
itulah penglihatan Gus Dur berangsur-angsur memburuk.
Kemudian kakeknya dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri memohon kepada
Gus Dur untuk secara resmi bergabung dalam Dewan Syuriah Nasional NU yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
berpusat di Jakarta. Dengan berbagai pertimbangan, Gus Dur akhirnya memenuhi
permohonan kakeknya, setelah dua kali pernah menolaknya, bergabung dengan
Dewan Syuriah Nasional NU (Barton, 2016: 126). Selama bergabung dalam
Dewan Syuriah Nasional NU dalam kurun 1981 – 1984, Gus Dur terlibat dalam
berbagai kegiatan keagamaan, kebudayaan, dan perpolitikan. Pada 1981 Ia
diundang untuk menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
pemerintah mengenai pengembangan koperasi (Barton, 2016: 131). Pada 1982
Gus Dur menjadi salah satu anggota tim kampanye untuk Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) (Barton, 2016: 154), selain itu ia bergabung dengan Tim
Tujuh sebagai upaya formulasi reformasi NU masa kepengurusan Idham Chalid
(Barton, 2016: 158-159). Pada 1983 Gus Dur diangkat menjadi ketua Dewan
Kesenian Jakarta (Tim INCReS, 2000: 21-22) sebagai penghargaan atas
perhatiannya terhadap budaya lewat tulisan-tulisannya di berbagai media. Gus
Dur juga menjadi sosok yang mendorong agar NU menerima Pancasila sebagai
asas tunggal pada Musyawarah Nasional (Munas) NU di Situbondo pada 1984
(Barton, 2016: 163-167).
Atas perannya yang besar dalam tempo yang relatif singkat, Gus Dur
diusulkan oleh para kiai senior untuk menjadi salah satu calon ketua umum dalam
Pengurus Besar NU (PBNU) yang akan dibahas dalam Muktamar NU pada 1984
(Barton, 2016: 165-167). Kemudian KH Abdurrahman Wahid terpilih menjadi
Ketua Umum PBNU pada Muktamar 1984 di Situbondo. Terpilihnya Gus Dur
sebagai Ketua Umum PBNU disambut positif oleh pemerintah Orde Baru di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Gus Dur kemudian dijadikan sebagai
salah satu indoktrinator Pancasila pada 1985 dan dipilih menjadi anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) mewakili Golongan Karya (Golkar) pada 1987
(Ali Masykur Musa, 2010: 12-13).
Pada perkembangannya, KH Abdurrahman Wahid menjabat menjadi
Ketua Umum PBNU selama tiga periode. Ini merupakan rekor tersendiri sebab
baru pertama kali NU dipimpin ketua yang sama selama tiga periode (Ari
Subagyo, 2012: 45). Gus Dur masih terpilih kembali menjadi Ketua Umum
PBNU pada Muktamar 1989 dan 1994 walaupun ada berbagai upaya untuk
menjatuhkan dirinya karena kritiknya yang terlalu tajam bagi Pemerintah Orde
Baru. Salah satunya yaitu membentuk Forum Demokrasi (Fordem) pada 1991
sebagai penolakan dirinya terhadap pembentukan organisasi Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI) oleh pemerintah yang dinilainya cenderung sektarian
(Ali Masykur Musa, 2010: 14).
Begitu gencarnya kritik Gus Dur terhadap Pemerintah Orde Baru
melemahkan kondisi kesehatannya hingga terserang stroke berat pada Januari
1998 (Barton, 2016: 304). Penyakit stroke ini juga menjadi salah satu faktor,
selain diabetes dan glaukoma yang dialaminya (Barton, 2016: 214), Gus Dur
mengalami kehilangan penglihatan secara penuh. Walaupun demikian, ia masih
mencermati situasi sosial melalui berita media massa. Perlawanan rakyat
memuncak pada pendudukan gedung parlemen dan kerusuhan sosial pada Mei
1998 (Ali Masykur Musa, 2010: 16). Kuatnya tekanan rakyat ini membuat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden dan menyerakan
mandatnya kepada Habibie.
Pada periode transisi dari Soeharto kepada Presiden Habibie, situasi politik
nasional menjadi tidak menentu. Menanggapi hal ini, sejumlah kalangan internal
NU meminta agar organisasi ini kembali terlibat aktif dengan membentuk suatu
partai politik. Pada 23 Juli 1998 kemudian dideklarasikan kelahiran Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan Gus Dur duduk sebagai ketua dewan syuro
partai dan Matori Abdul Djalil sebagai ketua umum partai (Ali Masykur Musa,
2010: 19-20). Sejak didirikannya, PKB langsung terlibat aktif dalam berbagai
kegiatan nasional. PKB juga aktif mempersiapkan diri menjelang Pemilu 1999.
Banyak anggota partai berharap bahwa melalui PKB, Gus Dur akan dicalonkan
menjadi presiden. Hal ini kemudian diamini oleh Matori Abdul Djalil selaku ketua
umum dengan mengumumkan secara resmi bahwa Gus Dur adalah calon presiden
dari PKB (Barton, 2016: 343). Langkah lainnya yaitu memperkuat jalinan aliansi
politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) (Barton, 2016: 347), serta menambah jalinan hubungan
aliansi politik dengan Alwi Shihab dan Amien Rais (Barton, 2016: 352-353).
Pemilu 1999 berlangsung ramai dan alot karena besarnya tuntutan dan
tekanan untuk reformasi. Pemilu 1999 dimenangkan oleh PDI-P dengan 34%
suara, disusul oleh Golkar yang meraih 22% suara. PKB sendiri meraih 12,4%
suara (Barton, 2016: 359). Dengan hasil tersebut tercetuslah dua calon presiden
yakni Megawati Soekarnoputri dari PDI-P dan Habibie dari Golkar. Amien Rais
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
sendiri terpilih menjadi Ketua MPR. Namun animo masyarakatlah yang menjadi
penentu pemungutan suara di MPR. Banyak pihak meragukan kemampuan
Megawati jika terpilih menjadi presiden, sementara Habibie diyakini sebagai salah
satu bagian dari Orde Baru.
Maka dibentuklah Poros Tengah oleh Amien Rais yang terdiri dari koalisi
partai-partai Islam sebagai kekuatan ketiga dan penyeimbang (Barton, 2016: 361).
Nama KH Abdurrahman Wahid dimunculkan sebagai calon presiden oleh Poros
Tengah tersebut. Kemudian secara tiba-tiba Habibie mengundurkan diri sebagai
calon presiden (Barton, 2016: 370). Maka hanya tinggal dua calon, yakni
Megawati Soekarnoputri dan KH Abdurrahman Wahid. Pada akhirnya KH
Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia dengan
perolehan 373 suara, mengalahkan Megawati yang hanya meraih 313 suara (Ali
Masykur Musa, 2010: 22). Megawati sendiri akhirnya terpilih menjadi wakil
presiden untuk mendampingi Gus Dur.
Gus Dur adalah ulama dan tokoh NU pertama yang menjadi Presiden
Republik Indonesia. Semasa menjabat, Presiden KH Abdurrahman Wahid
membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang terdiri dari koalisi banyak partai dan
juga dari tentara dan kalangan profesional (Ali Masykur Musa, 2010: 22). Masa
kepresidenannya dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada 23 Juli 2001
karena ia dimakzulkan melalui Sidang Istimewa MPR.
Meski menjabat presiden hanya dalam waktu yang singkat, tetapi Gus Dur
telah melakukan berbagai langkah besar dalam pemerintahannya. Beberapa di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
antaranya yaitu membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial,
membantu mengatasi konflik di Aceh dan Papua, serta menetapkan Hari Raya
Imlek sebagai hari libur fakultatif (Ali Masykur Musa, 2010: 23). Memang
beberapa pernyataan Gus Dur dinilai kontroversial, seperti mencopot beberapa
menteri yang dinilainya tidak becus, serta menuding Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sebagai Taman Kanak-Kanak (Ali Masykur Musa, 2010: 24, 27). Akan
tetapi pernyataan tersebut dapat mewakili perasaan masyarakat yang sedang
gundah.
Melihat tindakan Gus Dur yang terlalu kontroversial, DPR mengajukan
Sidang Istimewa kepada MPR untuk menurunkan Gus Dur dari jabatan presiden.
Pada 23 Juli 2001 MPR akhirnya secara resmi memakzulkan Gus Dur sebagai
presiden dan menggantinya dengan Megawati Soekarnoputri (Ali Masykur Musa,
2010: 29). Gus Dur menerima pencopotannya sebagai presiden dengan lapang
dada tetapi dia masih tetap mempertahankan idealismenya sebagai nasionalis
sejati (Barton, 2016: 490). Idealisme tersebut dilihat dari berbagai tindakannya
setelah tidak menjabat sebagai presiden. Gus Dur kembali aktif menulis di
berbagai media massa (Ari Subagyo, 2012: 19). Gur Dur bahkan masih terjun
langsung ke lapangan untuk bertindak secara konkret.
Namun seiring berjalannya waktu, aktivitas KH Abdurrahman Wahid
mulai menurun karena alasan kesehatan. Pada Desember 2009, ia sempat dirawat
di Rumah Sakit Jombang karena kelelahan seusai melakukan kunjungan ke
makam ayahnya dan ke beberapa pondok pesantren. Kemudian ia diterbangkan ke
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Jakarta dan dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk menjalani
perawatan yang lebih intensif (Wicaksana, 2018: 75). Namun, pada 30 Desember
2009 beliau wafat. Jenazah beliau kemudian dimakamkan di Denayar, Jombang
pada 31 Desember 2009.
B. Cita-cita
Setiap manusia tentu memiliki impian, harapan, dan cita-cita yang ingin
dicapai. Begitu juga di dalam diri seorang Abdurrahman Wahid. Dalam skripsi
ini, penulis menggunakan istilah ―cita-cita‖ dibandingkan dengan ―obsesi‖ atau
―ambisi‖ dalam menggambarkan berbagai impian dan harapan yang ingin dicapai
oleh Gus Dur dalam hidupnya. Sebab istilah ―obsesi‖ dan ―ambisi‖ berkonotasi
negatif, sedangkan ―cita-cita‖ bernuansa positif.
Gus Dur sewaktu kecil bercita-cita menjadi tentara, tetapi cita-cita itu
kandas ketika pada usia 14 tahun karena harus memakai kacamata minus akibat
terlalu sering baca buku (Tim INCReS, 2000: 8). Hobi membaca Gus Dur dipicu
oleh model pendidikan dalam keluarganya yang memang dianjurkan secara
terbuka untuk membaca apa saja yang disukai dan membicarakan ide-ide yang
ditemukan (Barton, 2016: 42). Hobi tersebut ditekuni oleh Gus Dur semenjak
kecil hingga dewasa. Melalui hobi membaca, Gus Dur mendapatkan wawasan
yang begitu luas, tidak hanya sebatas dunia pesantren dan keislaman, tetapi juga
berbagai karya sastra Eropa, serta perkembangan situasi dunia internasional.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Akhirnya Gus Dur merumuskan ulang cita-citanya dengan sederhana
yakni menjadi guru bangsa. Beliau terinspirasi oleh beberapa tokoh, seperti Ki
Hajar Dewantara, Ki Mangunsarkoro, dan juga kakeknya sendiri KH Hasyim
Asyari (Tim INCReS, 2000: 8). Inspirasi tersebut didapat oleh Gus Dur pada masa
kecilnya ketika ia hidup di pesantren Jombang. Terlebih-lebih ia dekat dengan
sosok sang kakek dan sang ayah semasa kecilnya. Cita-citanya sebagai guru
bangsa semakin dimantapkan dengan kayanya bahan bacaan dan pengalamannya
kuliah di luar negeri, terutama di Baghdad yang mendorongnya untuk semakin
berpikir kritis dan banyak membaca (Barton, 2016: 103). Beliau menambah
inspirasi dari tokoh-tokoh lainnya, yakni Kim Dae Jung, Sulakshi Bharaksa, Sun
Yat Sen, Soekarno, Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, Joze Rizal, dan Gamal
Abdul Nasser (Tim INCReS, 2000: 22-23).
Jika melihat rekam jejak hidupnya, Gus Dur amat sangat memperjuangkan
agar dapat mencapai cita-citanya menjadi seorang guru bangsa. Setelah lulus dari
Baghdad, ia kembali ke Jakarta dan bergabung dalam Lembaga Pengkajian
Pengetahuan, Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES), sebuah organisasi yang
terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat (Ali Masykur
Musa, 2010: 8). Ia menjadi kontributor tetap di Jurnal Prisma yang merupakan
terbitan dari LP3ES (Barton, 2016: 114). Gus Dur juga menjadi penceramah
keliling ke berbagai tempat di Jawa demi mendukung pengembangan pesantren
(Barton, 201: 115-116, 119). Gus Dur juga memperkembangkan dirinya sebagai
intelektual dan cendekiawan muslim dengan menjadi kontributor di majalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Tempo dan harian Kompas (Ali Masykur Musa, 2010: 9). Lewat berbagai
kegiatannya tersebut, dengan cepat Gus Dur dianggap sebagai pengamat sosial
yang sedang naik daun (Barton, 2016: 119).
Di samping itu, Gus Dur juga mengajar di Pesantren Tambakberas
Jombang mengenai Kitab Al-Hikam (Barton, 2016: 121-122). Kemudian Gus Dur
dengan cepat membuktikan dirinya sebagai seorang pengajar berkemampuan
tinggi, sehingga ia diminta menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin pada Universitas
Hasyim Asyari di Jombang (Barton, 2016: 123) dan mengajarkan berbagai macam
subjek seperti pedagogi, Syariat Islam, dan misiologi (Ali Masykur Musa, 2010:
9). Dalam pengajarannya, Gus Dur juga berharap pada para muridnya agar
mengkaji dan menelaah aneka gagasan dari luar NU dan dunia Islam, bahkan jika
mungkin, meneruskan ke perguruan tinggi di negara-negara barat, agar wawasan
semakin luas dan berkembang (Wicaksana, 2018: 33).
Pada perkembangannya, Gus Dur terlibat dalam struktur PBNU, bahkan
dipilih menjadi ketua umum sebanyak tiga periode. Kemudian ia mendirikan PKB
dan terpilih menjadi Presiden NKRI pada Pemilu 1999. Sewaktu menjabat sebagai
presiden, intensitas penulisan beliau berkurang. Namun berbagai kebijakan dan
tindakannya, mencerminkan bagaimana seorang guru memberikan contoh teladan
kepada rakyatnya.
Gus Dur juga memiliki cita-cita demi kemajuan bangsa dan negara
Indonesia. Sewaktu menjabat sebagai presiden, beliau mendeskripsikan cita-cita
nasional dalam pidatonya di depan sidang tahunan MPR RI tanggal 7 Agustus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
2000. Cita-cita tersebut yaitu sosok masyarakat Indonesia yang rukun, toleran,
dan harmonis, yang lebih mendapatkan keadilan, hak-hak asasi dan kebebasannya,
yang dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, serta yang dapat
secara aman, tenang, dan penuh ketertiban (Sudarsono, 2003: 161). Cita-cita
tersebut dinamakan oleh Gus Dur sebagai Indonesia Baru.
Setelah KH Abdurrahman Wahid tidak lagi menjabat sebagai Presiden
NKRI, masih banyak cita-citanya terhadap bangsa ini yang belum terwujudkan.
Beliau menginginkan sebuah bentuk pemerintahan yang didasarkan pada
Pancasila. Di dalam negara Pancasila, Gus Dur menginginkan terjadinya
rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi yang dimaksud yaitu terlebih dahulu perlu ada
pemeriksaan tuntas, mengusut setiap bukti-bukti yang ada oleh pengadilan
terhadap pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan Pancasila, seperti misalnya
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Negara Islam Indonesia (NII) (Nur Khalik
Ridwan, 2018: 203-204). Di samping itu, Gus Dur juga mengharapkan ada
gerakan-gerakan swadaya masyarakat yang tetap menjaga independensinya dari
skenario asing dan negara (Nur Khalik Ridwan, 2018: 204). Melalui rekonsiliasi
tersebut, Gus Dur menginginkan Pancasila senantiasa diprogresifkan, namun tidak
melalui cara-cara kekerasan.
Gus Dur berpendapat perlunya perspektif baru dalam penegakkan Hak
Asasi Manusia (HAM) dengan mempertimbangkan aspek psikologis, pendekatan
struktural dan liberal, serta kebutuhan politik dan ekonomi (Nur Khalik Ridwan,
2018: 207-208). Gus Dur meyakini bahwa Pancasila berfungsi ampuh sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
pemersatu bangsa dalam menghadapi banyak tantangan dari luar dan dalam (Nur
Khalik Ridwan, 2018: 236). Oleh karena itu, baginya NKRI berlandaskan
Pancasila masih harus ditegakkan di tengah tantangan globalisasi, korupsi yang
merajalela, dan penyimpangan-penyimpangan moral yang terjadi dalam bangsa
ini.
Walaupun cita-cita nasionalnya belum berhasil diwujudkan, banyak pihak
berpendapat bahwa KH Abdurrahman Wahid telah berhasil mencapai cita-cita
pribadinya dalam menjadi seorang guru bangsa. Keberhasilan tersebut terlihat dari
banyaknya kata-kata, pesan-pesan, gagasan, dan tulisan beliau yang dikutip dan
dijadikan rujukan oleh berbagai kalangan ketika membahas persoalan yang terjadi
dalam bangsa dan negara Indonesia. Selain itu terdapat juga Komunitas Gusdurian
yang secara khusus membahas berbagai karya dan perjuangan Gus Dur semasa
hidupnya dan implikasinya terhadap bangsa dan negara Indonesia. Walaupun
begitu, Bondan Gunawan (2017: 13) menuturkan bahwa sebenarnya Gus Dur
tidak memiliki ambisi atau obsesi kekuasaan, tidak menginginkan pengakuan,
kedudukan, atau penghormatan, tetapi yang beliau inginkan adalah menjadi
manusia biasa yang seutuhnya, tidak lebih dari yang lain.
C. Sumbangan Pemikiran
Begitu banyak pemikiran dari KH Abdurrahman Wahid yang telah beliau
tuangkan dalam bentuk tulisan di berbagai media. Tulisan-tulisan beliau tidak
hanya terpaku pada satu tema tertentu tetapi banyak tema seperti agama, sosial,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
politik, olahraga, dan seni budaya (Ali Masykur Musa, 2010: 9). Dalam bagian
ini, penulis memilih beberapa karya Gus Dur yang berkaitan dengan kehidupan
beragama dan bernegara.
1. Pemikiran tentang kehidupan beragama
Gus Dur memandang Islam sebagai agama yang universal, sehingga
kehadirannya melampaui batas-batas perbedaan manusia. Gus Dur meyakini
bahwa Islam hadir untuk misi kemanusiaan yaitu pelayanan kepada semua orang,
termasuk pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan (Wicaksana, 2018: 84-
86). Gus Dur menegaskan bahwa Islam mensyaratkan sikap yang memperlakukan
semua manusia dalam posisi yang sama (Woodward, 1998: 147).
KH Abdurrahman Wahid menolak fundamentalisme dan kekerasan atas
nama agama. Beliau berpendapat bahwa Islam tidak boleh menjadi sekadar cara
untuk membenarkan sistem kekuasaan. Beliau dengan jelas mengungkapkan
bahwa kaum Muslim tidak bisa menuntut berdirinya negara Islam, karena hal itu
mustahil didirikan dan akan menjadikan kaum non-Muslim sebagai warga negara
kelas dua (Woodward, 1998: 146). Dengan kata lain, beliau menolak bentuk
negara Islam. Bahkan beliau secara terang-terangan menyatakan bahwa negara
Islam itu ―tidak ada‖ sebagai konsep (Abdurrahman Wahid, 2018: 22). Sepanjang
penelusurannya, beliau tidak menemukan konsep negara Islam dalam Alquran dan
ajaran Agama Islam, yang ada adalah klaim tentang negara Islam (Nur Khalik
Ridwan, 2018: 89-90). Bagi Gus Dur semangat penghayatan Islam yang sejati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
adalah pelayanan kepada umat, bukan mendirikan sebuah negara (Wicaksana,
2018: 85).
Lebih lanjut, KH Abdurrahman Wahid (2018: 68) menyatakan bahwa
Tuhan tidak perlu dibela, walaupun tidak juga menolak dibela. Baginya, Tuhan
sudah memiliki segalanya dan kita manusia tidak perlu repot membelanya
(Wicaksana, 2018: 95). Pandangan Gus Dur ini juga menyiratkan bahwa ia
menyayangkan kaum yang melakukan kekerasan atas nama agama. Menurutnya
kita semua, khususnya Umat Islam, tidak perlu menyakiti sesama manusia dengan
dalil membela Tuhan. Bahkan tindakan itu disebutnya dapat mencederai Islam
sebagai agama damai bagi semua orang tanpa kecuali.
KH Abdurrahman Wahid menilai bahwa ajaran Islam bersifat dinamis,
terbuka terhadap situasi sosial dan perkembangan zaman. KH Abdurrahman
Wahid (2007: 77) melihat ajaran Islam memiliki watak transformatif, yaitu
berusaha menanamkan nilai-nilai baru dan menggantikan nilai-nilai lama yang
dianggap bertentangan. Aburrahman Wahid (2007: 72) melihat bahwa Islam
mengandung ajaran-ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial yang dapat
meresap dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat. Beliau setuju dengan
pendapat Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia terlihat
statis tetapi sebenarnya mengalami perubahan-perubahan fundamental yang nyaris
tak terlihat, sehingga hanya orang yang mengamatinya secara teliti dan hati-hati
yang mengetahui perubahan tersebut (Abdurrahman Wahid, 2007: 75).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Melihat bahwa ajaran Islam bersifat dinamis dan menanamkan nilai-nilai
sosial bagi masyarakat, maka KH Abdurrahman Wahid memiliki gagasan bahwa
Islam dapat dimaknai dalam konteks lokal. Hal ini disebutnya sebagai pribumisasi
Islam (Abdurrahman Wahid, 2018: 108). Beliau jengah dengan perilaku Muslim
Indonesia yang kearab-araban.
Mengapa harus menggunakan kata ‗shalat‘, kalau kata ‗sembahyang‘ juga
tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‗dimushalakan‘, padahal dahulu
toh cukup ‗langgar‘ atau ‗surau‘? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa
sreg kalau dijadikan ‗milad‘. Dahulu ‗tuan guru‘ atau ‗kiai‘, sekarang
harus ‗ustadz‘ dan ‗syaikh‘, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda
Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di
belahan bumi ini? (Abdurrahman Wahid, 2018: 107-108).
Kecenderungan menggunakan istilah Arab ini dikatakan oleh Gus Dur dapat
membuat kita tercabut dari akar budaya kita sendiri (Trisno S Sutanto, 2018: 223).
Oleh karena itu gagasan pribumisasi Islam ini dimunculkan Gus Dur sebagai
upaya rekonsiliasi antara agama dengan budaya setempat. Gagasan pribumisasi
Islam tersebut sempat menimbulkan kontroversi. Pemicu utama terjadinya
kontroversi yaitu ketika Gus Dur diduga bermaksud mengganti ucapan salam
Islam (assalamualaikum) dengan ucapan salam nasional (selamat
pagi/siang/sore/malam).
Menurut Gus Dur, seorang aktivis Ornop abangan, yang juga temannya,
meminta nasihat kepadanya bagaimana ia harus memberi salam pada suatu
pertemuan publik oleh karena ia merasa tidak tepat menggunakan salam
standar kaum muslimin, assalamualaikum. Gus Dur memberi nasihat agar
temannya itu tidak membiarkan dirinya tertekan dan cukup menggunakan
ungkapan ‗selamat pagi‘. Ia menjelaskan lagi bahwa akar kata ‗selamat‘
sama dengan kata Arab salam dan ‗selamat pagi‘ memberi pengertian
yang sama dengan ungkapan assalamualaikum (damai untuk Anda)
(Barton, 2016: 189).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Percakapan tersebut terdengar oleh seorang jurnalis yang kemudian
menuliskannya di sebuah surat kabar nasional (Barton, 2016: 189). Lantas para
pengkritik membesar-besarkan masalah ini.
Karena hal tersebut, Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum
PBNU sempat didesak oleh para ulama senior untuk meminta maaf kepada
khalayak dan mengklarifikasi bahwa ucapannya merupakan pendapat pribadi,
bukan mewakili organisasi (Barton, 2016: 206). KH Abdurrahman Wahid (2018:
108) mengklarifikasi bahwa unsur Islam yang dipribumikan adalah manifestasi
kehidupannya, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan
formalnya. Baginya Islam tetap Islam di mana saja berada. Akan tetapi tidak
berarti semua bentuk luarnya harus disamakan menggunakan istilah Arab
(Abdurrahman Wahid, 2018: 108). Baginya Islam harus dibuat mengakar ke
dalam bumi Indonesia modern yang sifatnya nasional dan heterogen, tidak lokal
dan homogen (Taufik Abdullah, 1998: 77).
Selain gagasan pribumisasi Islam, sifat ajaran Islam yang dilihatnya
dinamis membuat Gus Dur mengkaji lebih lanjut mengenai universalisme Islam.
Beliau melihat universalisme Islam itu seiring dengan kearifan yang muncul,
yakni keterbukaan yang kemudian mengangkat peradaban Islam ke tingkat sangat
tinggi. Gus Dur menyebutkan lima buah jaminan dasar yang membentuk
universalisme Islam. Lima hal tersebut yaitu jaminan dasar akan keselamatan
fisik, keselamatan keyakinan agama masing-masing, keselamatan keluarga dan
keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi, serta keselamatan hak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
milik dan profesi (Abdurrahman Wahid, 2007: 4). Secara keseluruhan, kelima
jaminan dasar keselamatan tersebut menampilkan universalitas pandangan hidup
yang utuh dan bulat. Namun, kelima jaminan dasar keselamatan tersebut tidak
boleh hanya sekadar teori, tetapi perlu didukung oleh kosmopolitanisme
peradaban Islam. Dari sinilah gagasan Islam Kosmopolitan itu muncul.
Abdurrahman Wahid (2007: 11) berpendapat bahwa kosmopolitanisme
Islam akan tercapai jika adanya keseimbangan antara kecenderungan normatif
kaum Muslim dengan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk
mereka yang non-Muslim). Kosmopolitanisme seperti ini dipandangnya sebagai
hal yang kreatif karena adanya inisiatif masyarakat untuk mencari wawasan
seluas-luasnya dalam menemukan kebenaran. Situasi kreatif tersebut menurut KH
Abdurrahman Wahid (2007: 11) akan memungkinkan pencarian sisi-sisi paling
tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin ditemukan dan memaksa
universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri secara konkret.
Menanggapi hal tersebut, Gus Dur melihat perlunya semua pihak di
kalangan umat Islam memikul tanggung jawab untuk menumbuhkan rasa
memiliki terhadap semua warga masyarakat bangsa, sehingga dengan cara
demikian Islam dapat tumbuh bersama dengan seluruh penduduk negeri (Parera &
Koekerits, 1999: 18). Lebih lanjut, Gus Dur berpandangan bahwa pluralisme
agama bukan hanya terletak pada pola hidup berdampingan secara damai, tetapi
juga disertai dengan kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran baik dari agama-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
agama yang lain (Muhaimin Iskandar, 2000: 16). KH Abdurrahman Wahid
memang gigih memperjuangkan pluralisme untuk merawat Indonesia.
Lewat sikap pluralisnya, Gus Dur menyadari bahwa perbedaan adalah hal
yang lumrah terjadi, khususnya perbedaan agama. KH Abdurrahman Wahid
(2018: 81) secara gamblang menuturkan ―mengkafirkan orang jelas merupakan
tindakan salah‖. Beliau memang mengakui bahwa tidak ada agama yang mau
melepaskan ‗hak tunggal‘-nya untuk memonopoli ‗kebenaran ajaran‘, termasuk
Islam (Abdurrahman Wahid, 2018: 83). Namun beliau menolak generalisasi
pandangan akan kebenaran dari satu sisi saja. Sebagai contoh, KH Abdurrahman
Wahid (2018: 43) mengkritik seru-seruan untuk beribadat yang didengungkan
melalui pengeras suara di berbagai masjid. Beliau menolak argumentasi skolastik
yang biasa dilontarkan sebagian besar orang, yaitu hal ini muncul dari niat baik
mengingatkan kaum Muslim menunaikan kewajibannya dan bagaimanapun
kebutuhan manusiawi harus mengalah pada kebenaran Ilahi (Abdurrahman
Wahid, 2018: 44). Baginya hal tersebut tidak dapat dipukul rata karena dapat
mengganggu mereka yang tidak memiliki kewajiban untuk beribadat
(Abdurrahman Wahid, 2018: 45). Hal ini semakin memperlihatkan bahwa beliau
menyarankan tindakan pluralis demi kesejahteraan hidup bersama di tengah
masyarakat yang majemuk.
Melalui berbagai pemikiran yang telah diuraikan, dapat dilihat bahwa KH
Abdurrahman Wahid memandang bahwa pluralisme adalah suatu fakta dan
keharusan, karena perbedaan antarmanusia tidak mungkin dihindari. Beliau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
menuturkan ―orang yang beriman pasti yakin bahwa Tuhan sendirilah yang
menciptakan perbedaan itu‖ (Wicaksana, 2018: 76). Baginya tindakan menghargai
keberagaman yang ada merupakan suatu kearifan lokal tersendiri yang sudah
dimiliki sejak lama (Abdurrahman Wahid, 2007: 66-67). Oleh karena itu tindakan
pluralis perlu dipupuk dan dijaga demi keutuhan bangsa ini, dan agama dapat
menjadi salah satu sarana terjalinnya tindakan pluralis tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Pemikiran tentang kehidupan bernegara
KH Abdurrahman Wahid pernah berpendapat mengenai konsep
pembentukan berdirinya suatu negara. Menurutnya, unsur agama saja tidak cukup
dalam mendirikan suatu negara, masih memerlukan hal lain, yaitu ikatan sosial
kemasyarakatan (Ali Masykur Musa, 2010: 95). Beliau berpendapat ikatan sosial
kemasyarakatan dapat melampaui ikatan suku, budaya, bahkan agama
(Abdurrahman Wahid, 2018: 70). Ikatan sosial kemasyarakatan ini kemudian
berkembang menjadi ikatan kebangsaan dan juga suatu kepentingan nasional.
Gus Dur memberikan suatu gambaran bagaimana ikatan kebangsaan
berperan pada masa-masa awal berdirinya Republik Indonesia. Gus Dur melihat
fenomena tersebut dalam susunan kabinet yang dibentuk oleh Presiden Soekarno
dan Perdana Menteri Sjahrir.
Dalam kabinet Republik Indonesia yang pertama, dikenal dengan sebutan
‗Kabinet Soekarno‘ yang berumur pendek, tidak disebut-sebut nama
Kementerian Agama. Baru dalam kabinet berikutnya lembaga itu
dicantumkan, dan sejak itu tidak pernah ‗hilang dari peredaran‘. Kabinet
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
kedua itu dikenal dengan sebutan ‗Kabinet Sjahrir‘. Mengapa Soekarno
yang senang bergulat dengan pemikiran Islam tidak mencantumkan
Kementerian Agama, sedang Sjahrir yang diklasifikasikan ‗tokoh sekular‘
justru menciptakannya? Sederhana saja sebabnya: kepentingan nasional.
Tanpa Kementerian Agama, ‗golongan Islam‘ tidak dapat menerima
kehadiran pemerintahan yang sah yang dipimpinnya [Sjahrir]. Dan,
sebagai pemimpin bangsa, ia harus memerhatikan aspirasi kelompok-
kelompok lain. Sedang Soekarno tidak dihadapkan pada tuntutan itu ketika
membentuk kabinet pertama; atau, setidak-tidaknya, tidak menganggap
penting aspirasi ‗umat beragama‘ itu (Abdurrahman Wahid, 2018:70-71).
Melalui fenomena ini Gus Dur melihat bahwa ternyata kepentingan nasional dapat
mewadahi begitu banyak aspirasi dari berbagai kelompok dan golongan yang ada
untuk mewujudkan hidup dalam keberagaman secara konkret. Oleh karena itu,
Gus Dur menilai bahwa mempertahankan Indonesia sebagai negara yang diikat
oleh nasionalisme kebangsaan adalah suatu bentuk kewajiban.
Dalam konteks Indonesia, Gus Dur bependapat bahwa keberagaman yang
ada harus berjalan seiring dengan demokrasi yang di dalamnya terdapat nilai
persamaan dan kebebasan. Maka dalam pandangan Gus Dur, perlu dilakukan
upaya saling memahami keberagaman yang ada dalam konteks kedewasaan
demokrasi (Ali Masykur Musa, 2010: 112). Bagi Gus Dur, memahami
keberagaman berbeda dengan sikap saling menyamakan atau menyeragamkan.
Maka menurut Gus Dur, keberagaman terjaga kalau ada demokrasi. Demokrasi
yang diinginkan oleh Gus Dur terjadi di Indonesia yaitu situasi adanya berbagai
kepentingan, keyakinan, dan kebudayaan dari golongan atau kelompok yang
berbeda-beda, bahkan bisa bertentangan, tetapi seluruh golongan atau kelompok
tersebut memiliki hak yang sama unttuk dipertimbangkan aspirasinya dalam
mengambil keputusan politik (Ali Masykur Musa, 2010: 114-115). Jika demokrasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
yang demikian benar-benar terwujud, maka dapat menciptakan situasi damai bagi
suatu negeri, terutama di Indonesia.
Dalam memaknai ideologi Pancasila, Gus Dur melihat adanya jaminan hak
bagi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan kewajiban agamanya masing-
masing (Ali Masykur Musa, 2010: 101). Gus Dur melihat hubungan dialogis yang
sehat antara Pancasila dengan agama, yang berjalan terus menerus secara dinamis
(Ali Masykur Musa, 2010: 102). Gus Dur melihat Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia adalah hasil kesepakatan bersama dari banyak pihak. Maka
Gus Dur berpendapat bahwa penafsiran Pancasila bukanlah monopoli pemerintah,
melainkan dapat ditafsirkan oleh seluruh warga negara (Ali Masykur Musa, 2010:
92). Gus Dur mengungkapkan hal ini karena ada indikasi pembatasan penafsiran
Pancasila oleh struktur politik Demokrasi Pancasila yang diciptakan oleh Orde
Baru (Ali Masykur Musa, 2010: 93). Menurutnya, penafsiran Pancasila perlu
dikembangkan secara umum karena Pancasila merupakan suatu dasar negara
Indonesia yang dimiliki oleh seluruh masyarakatnya. Dengan demikian, Pancasila
bukan saja milik golongan atau kepentingan tertentu, melainkan semakin menjadi
milik seluruh rakyat Indonesia secara bersama-sama.
Dalam hal menjadi pemimpin di negeri ini, Gus Dur berpandangan sesuai
konstitusi NKRI yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ‘45) bahwa tanpa
memandang latar belakang, suku, agama, ras, dan golongan, siapa pun dapat
dipilih menjadi seorang pemimpin atau presiden NKRI. Gus Dur memandang
konstitusi sebagai kenyataan tertulis hasil dari komitmen bersama yang telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
disepakati (Parera & Koekerits, 1999: 77). Gus Dur berpendapat bahwa lebih baik
kita berjuang mendisiplinkan diri untuk taat pada undang-undang dibanding
berdebat soal tafsir UUD ‘45 tersebut demi memperjuangkan kepentingan pribadi
atau golongan tertentu (Parera & Koekerits, 1999: 78).
Melalui berbagai pemikiran di atas, terlihat bahwa dalam kehidupan
bernegara, khususnya di Indonesia, Gus Dur berpegang teguh kepada Pancasila
dan UUD ‘45 sebagai acuan. Gus Dur mengedepankan demokrasi sebagai upaya
mewujudkan hubungan yang harmonis bagi kemajemukan yang ada di Indonesia
ini. Gus Dur melihat bahwa kemajemukan yang ada dapat dipersatukan dalam
suatu ikatan kebangsaan, di mana demokrasi menjadi wadahnya, serta Pancasila
dan UUD ‘45 sebagai acuan dan pedoman dalam menjalankannya.
3. Pemikiran tentang hubungan hidup beragama dengan bernegara
Jauh sebelum KH Abdurrahman Wahid terlibat langsung dalam politik
praktis, yakni menjadi pejabat struktural PKB dan terpilih menjadi Presiden NKRI
pada Pemilu 1999, ia sudah memikirkan bagaimana harmonisasi antara hidup
beragama dengan bernegara. Gus Dur melihat bahwa dalam kehidupan sehari-
hari, urusan keagamaan dengan hal ikhwal kebangsaan bukanlah sesuatu yang
tumpang tindih, melainkan dapat disinkronisasikan menjadi sebuah harmoni yang
luwes dan indah (Parera & Koekerits, 1999: 22). Beliau berpendapat bahwa Islam
seharusnya tidak menampilkan diri dalam bentuknya yang eksklusif, melainkan
harus mengintegrasikan kegiatannya dalam aktivitas bangsa secara keseluruhan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
(Ali Masykur Musa, 2010: 110). Pendekatan yang dapat dilakukan yaitu secara
sosio-kultural sebagai upaya membangun sistem kelembagaan masyarakat yang
sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai (Ali Masykur Musa, 2010:
111-112). Dengan begitu, baginya Islam dapat merawat bangsa yang terdiri dari
bermacam-macam keberagaman yang ada.
Demi mewujudkan harmonisasi hubungan antara hidup beragama dengan
hidup bernegara, secara sederhana Gus Dur menggambarkan pluralisme dalam
analogi banyaknya kamar dalam sebuah rumah.
―Bayangkan saja kita hidup di sebuah rumah besar yang banyak kamarnya
dan kita mempunyai kamar sendiri-sendiri. Saat di dalam kamar maka
masing-masing pemilik kamar bisa menggunakan dan merawat kamarnya
sendiri-sendiri serta boleh berbuat apa pun di dalamnya, tetapi ketika ada
di ruang keluarga atau di ruang tamu maka kepentingan masing-masing
kamar dilebur untuk kepentingan bersama. Penghuni rumah, tanpa
mempersoalkan asal kamar masing-masing, harus bersatu merawat rumah
itu dan mempertahankannya bersama-sama dari serangan yang datang dari
luar‖ (Wicaksana, 2018: 77).
Begitulah gambaran pluralisme yang diharapkan hidup di NKRI oleh Gus Dur.
Indonesia yang sudah dibangun di atas pondasi Pancasila dan terdiri dari beraneka
ragam corak yang ada harus bersatu menjaga bangsa dan negara tanpa kehilangan
identitas kekhasan masing-masing (Wicaksana, 2018: 78).
Hubungan antara agama dengan Pancasila menurut gambaran Gus Dur
yaitu agama berperanan memotivasikan kegiatan individu melalui nilai-nilai luhur
bangsa yang diserap oleh Pancasila dan dituangkan dalam pandangan hidup
bangsa (Ali Masykur Musa, 2010: 90). Gambaran Gus Dur tersebut menandakan
bahwa hubungan antara Pancasila dengan agama tidak saling berlawanan,
melainkan pada hubungan dialogis yang sehat dan dinamis. Gambaran ini juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
memperlihatkan bahwa Gus Dur berada dalam posisi responsi integratif, yakni
Islam yang tidak mempersoalkan kedudukan formalnya dan hubungan mereka
dengan negara menyesuaikan kehidupan pola hidup kemasyarakatan yang mereka
ikuti (Parera & Koekerits, 1999: 23).
Bagi Gus Dur, Pancasila memiliki status sebagai kerangka berpikir seluruh
bangsa yang perlu terus menerus dijaga keberadaan dan konsistensinya oleh
negara (Nur Khalik Ridwan, 2018: 53). Namun tak bisa dipungkiri kemungkinan
adanya tumpang tindih antara Pancasila dengan sebagian sisi kehidupan beragama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa oleh karena perbedaan wawasan
mengenai toleransi di dalamnya. Gus Dur menyebutkan akan ada ketegangan
antara independensi teologis kebenaran masing-masing agama dan kepercayaan
dengan peran Pancasila sebagai ―polisi lalu lintas‖ dalam kehidupan beragama
dan berkepercayaan (Nur Khalik Ridwan, 2018: 54-55). Hal ini disebutnya
sebagai ketegangan kreatif dalam bangsa kita.
Ketegangan kreatif itu bermakna sebagai suatu sikap kelapangan dada dan
toleransi dalam lalu lintas kebangsaan yang kreatif untuk mengembangkan
kualitas bangsa Indonesia (Nur Khalik Ridwan, 2018: 55). Dari ketegangan kreatif
itulah, Gus Dur melihat perlunya perkembangan pemikiran untuk mencari nilai-
nilai dasar kehidupan bangsa Indonesia dari dua sisi tersebut. Pertama, ajaran
agama akan tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan kedua, agama-
agama dan kepercayaan-kepercayaan juga harus memperhitungkan eksistensi
Pancasila sebagai ―polisi lalu lintas‖ yang menjamin kehidupan bangsa (Nur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Khalik Ridwan, 2018: 56). Gus Dur melihat perlunya dialog terus menerus demi
terwujudnya kreativitas membangun bangsa dengan mempertimbangkan masing-
masing kelompok agama/keperacayaan, dan tetap menjaga Pancasila sebagai
dasar ideologi bangsa agar lebih dapat kontekstual terhadap perkembangan zaman
(Nur Khalik Ridwan, 2018: 61). Dengan demikian ketegangan kreatif
memungkinkan Indonesia dapat dikelola secara adil tanpa memberikan konsesi
berlebihan terhadap sebuah kelompok dan hal ini perlu dikontrol oleh masyarakat
(Nur Khalik Ridwan, 2018: 70).
Melalui berbagai pemikiran di atas, dapat dilihat sebagaimana Gus Dur
berpendapat bahwa Pancasila dan UUD ‘45 merupakan unsur-unsur penting yang
menjadi titik temu dalam pembahasan permasalahan terkait hubungan agama dan
negara di Indonesia. Bahkan Gus Dur mempercayai bahwa Pancasila merupakan
kompromi terbaik untuk memecahkan masalah-masalah sulit mengenai hubungan
agama dan negara (Barton, 2016: 160). Gus Dur menilai bahwa Pancasila sebagai
dasar ideologi mampu menjembatani dan mengakomodasi elemen-elemen bangsa
yang majemuk. Gus Dur melihat bahwa di dalam Pancasila terdapat unsur
demokratisasi yang dapat mempersatukan beragam kekuatan bangsa menuju arah
kedewasaan yaitu kemajuan dan integritas bangsa (Nur Khalik Ridwan, 2018:
142). Hal ini semakin menampakkan pemikiran Gus Dur yang mengedepankan
keberagaman dan harmonisasi dalam hidup beragama dan hidup bernegara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
D. Perjuangan Konkret
Semasa hidupnya, KH Abdurrahman Wahid aktif dalam memperjuangkan
harmonisasi dalam kehidupan beragama dan bernegara di tengah masyarakat
Indonesia yang majemuk. Perjuangan konkret ini telah beliau lakukan sejak masih
muda, lalu terlibat dalam keanggotaan NU dan kemudian menjabat sebagai ketua
umumnya, hingga kemudian menjabat sebagai Presiden RI. Bahkan setelah beliau
lengser dari jabatan Presiden RI, Gus Dur masih aktif dalam perjuangannya
mewujudkan demokrasi sejati di Indonesia sehingga terjalin harmonisasi di tengah
masyarakat yang plural.
Pada awal keanggotaannya dalam organisasi NU, Gus Dur
mengungkapkan pendapatnya dalam Munas 1984 di Situbondo mengenai
penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal (Barton, 2016: 163-167). Sebetulnya
banyak kiai senior yang tidak setuju atas inisiasi Pemerintah Orde Baru
menerapkan asas tunggal Pancasila tersebut, apalagi bagi NU yang merupakan
organisasi berlandaskan asas Islam. Terlebih ada indikasi bahwa Pemerintah Orde
Baru memaksakan dan akan menyalahgunakan Pancasila demi kepentingannya
sendiri, memuluskan indoktrinasinya dalam Program P4 (Abdurrahman Wahid,
2007: 170-171). Namun Gus Dur berhasil meyakinkan para kiai senior tersebut,
bahwa visi NU terkait keislaman sejalan dengan apa yang tercantum dalam nilai-
nilai Pancasila. Hal ini kemudian berusaha dibuktikan bersama oleh para kiai NU
dengan memeriksa secara saksama Alquran, kitab-kitab kuning, dan berbagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
sunah bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam (Barton, 2016:
161).
Ketika KH Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Ketua Umum PBNU,
melalui rapat akbar pada 1 Maret 1992, beliau menegaskan kembali kesetiaan NU
terhadap Pancasila dan UUD ‘45 (Nur Khalik Ridwan, 2018: 67). Hal ini
dilakukan sebagai bentuk kontribusi NU meletakkan dirinya menjadi bagian yang
cukup memiliki peranan dalam kerangka umum perjuangan bangsa (Ali Masykur
Musa, 2010: 108). Gus Dur pada saat itu menyatakan bahwa dengan mendukung
Pancasila dan UUD ‘45, NU menolak mendukung sistem pemerintahan yang tidak
adil dan mencoba melancarkan transisi dari sistem yang didasarkan pada kronisme
yang dimanfaatkan oleh segelintir orang (Nur Khalik Ridwan, 2018: 68). Bagi
Gus Dur, demi membangun negara demokratis yang berdasarkan Pancasila, maka
NU harus selalu berada ―di tengah‖ dengan mengembangkan prinsip moderat
sehingga mampu menjalankan peran sebagai ―jangkar kestabilan politik‖ (Trisno
S Sutanto, 2018: 222).
Melalui langkahnya dalam menegaskan kembali kesetiaan NU terhadap
Pancasila dan UUD ‘45, secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa
kesetiaan tersebut ditujukan bukan pada orang atau kekuasaan, melainkan lebih
pada bentuk ideal pemerintahan yang didasarkan pada Pancasila (Nur Khalik
Ridwan, 2018: 68). Bahkan dalam upaya mencapai negara ideal Pancasila yang
dapat mewujudkan keadilan sosial, Gus Dur dengan berani menyatakan siap
mempertaruhkan nyawanya untuk membela Pancasila, termasuk berhadapan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
dengan angkatan bersenjata dan umat Islam, apabila mereka memanipulasi
Pancasila (Nur Khalik Ridwan, 2018: 69, 71). Sebab baginya, Pancasila adalah
seperangkat gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan
selamanya, tanpa Pancasila negara Indonesia akan bubar.
Selama memimpin NU, KH Abdurrahman Wahid juga memiliki
keprihatinan dengan keadaan ekonomi masyarakat Indonesia. Secara konkret ia
berusaha membangun gerakan ekonomi kerakyatan. Bermodalkan koneksi
persahabatannya dengan keluarga Soerjadjaja, NU di bawah kepemimpinan Gus
Dur membentuk mitra bisnis dengan Bank Summa, yang kemudian
bertransformasi menjadi Bank NU-Summa pada 1990 (Wicaksana, 2018: 41).
Bank NU-Summa merupakan respon Gus Dur terhadap problem ekonomi dan
kredit keuangan bagi rakyat kecil. Selain itu, Gus Dur juga ingin memberi contoh
nyata tindakan inklusif dan pluralis dengan memiliki hubungan yang harmonis
dengan orang-orang keturunan Tionghoa, yang terdiskriminasi oleh kebijakan
politik pemerintah Orde Baru (Wicaksana, 2018: 43). Namun sayangnya, setelah
berhasil membangun sembilan cabang, Bank NU-Summa harus terhenti pada
1992 karena mengalami kebangkrutan (Wicaksana, 2018: 45).
Sebagai sumbangsihnya dalam mengembangkan demokrasi di Indonesia,
KH Abdurrahman Wahid membentuk Forum Demokrasi (Fordem) pada 1991
(Barton, 2016: 224). Fordem menjadi suatu gerakan bersama dalam melawan
pelanggaran HAM demi tegaknya demokrasi sejati di Indonesia (Ari Subagyo,
2012: 32). Fordem dibentuk oleh Gus Dur bersama berbagai tokoh nasional, di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
antaranya yaitu Marsilam Simanjuntak dan Bondan Gunawan (Barton, 2016:
225), serta Franz Magnis-Suseno, YB Mangunwijaya, Todung Mulya Lubis, dan
Harry Tjan Silalahi (Ali Masykur Musa, 2010: 114).
Selain membentuk Fordem di Jakarta, Gus Dur juga menginisiasi
terbentuknya Dialog Antar Iman (DIAN)/Interfidei di Yogyakarta. Jika Fordem
bergerak pada tataran politik, maka DIAN/Interfidei merupakan laboratorium
sosial guna membangun harmonisasi kehidupan yang pluralis di tengah
masyarakat yang majemuk (Trisno S Sutanto, 2018: 226). DIAN/Interfidei
dibentuk Gus Dur bersama sahabat-sahabatnya dari berbagai agama, di antaranya
yaitu Djohan Effendi, Ibu Gdong Oka, Th. Sumartana, dan Pdt. Eka Darmaputra
(Trisno S Sutanto, 2018: 226). DIAN/Interfidei menjadi sarana pengembangan
perjumpaan-perjumpaan dialogis antariman yang memupuk kerukunan antarumat
beragama demi semakin terwujudnya harmonisasi kehidupan di tengah
masyarakat yang majemuk (Trisno S Sutanto, 2018: 226-227).
Hal lain yang dilakukan Gus Dur dalam menjaga harmonisasi kehidupan
dalam masyarakat yang plural yaitu ketika padinterfi tragedi Mei 1998 yang
sangat menyakitkan bagi warga keturunan Tionghoa. Di tengah kecemasan tragedi
tersebut, Gus Dur tampil dan mengaku diri sebagai keturunan Tionghoa (Trisno S
Sutanto, 2018: 218). Beliau membuat silsilah yang cukup panjang untuk
meyakinkan banyak orang bahwa dirinya memang seorang keturunan Tionghoa.
Beliau menyatakan diri sebagai keturunan dari Tan Kim Han yang menikah
dengan Tan A Lok, saudara kandung dari Tan Eng Hwa (Raden Patah), anak dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Putri Campa yang menjadi selir Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit
(Wicaksana, 2018: 2). Tentu saja pengakuan Gus Dur tersebut menggegerkan
banyak kalangan, sebagian besar menduga bahwa pengakuan ini merupakan siasat
kultural yang piawai dalam memberi ketenteraman di dalam kecemasan (Trisno S
Sutanto, 2018: 218).
Dalam perjuangannya menjaga harmonisasi kehidupan di tengah
masyarakat yang majemuk, tidak jarang Gus Dur mengkritik kebijakan
Pemerintah Orde Baru. Selama tiga kali menjabat sebagai Ketua Umum PBNU,
Gus Dur sangat aktif dalam mengkritik Pemerintah Orde Baru. Hal ini dilakukan
oleh Gus Dur demi tegaknya demokrasi sejati di NKRI. Hal yang paling keras
dikritik oleh Gus Dur yaitu begitu maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) yang terjadi dalam berbagai tubuh pemerintahan.
Sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur menganjurkan para anggotanya
untuk bersikap netral dari politik praktis dalam Pemilu 1992 sebagai upaya masif
penggembosan terhadap Golkar (Saleh Aldjufri, 1997: 98). Namun sejumlah
kalangan internal NU meminta agar organisasi ini kembali terlibat aktif dengan
membentuk suatu partai politik. Alasan yang saat itu dikemukakan yaitu NU
merasa tidak terwakili suara politiknya dalam tubuh PPP (Saleh Aldjufri, 1997:
112). Kembalinya NU sebagai partai baru juga dengan perhitungan bahwa
berbagai aspirasi politiknya akan semakin diperhatikan dan disalurkan secara
lebih demokratis (Saleh Aldjufri, 1997: 115-116).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Pada awalnya Gus Dur tidak langsung setuju akan pembentukan partai
politik berbasis pengurus, anggota, dan simpatisan NU. Akan tetapi Gus Dur
menilai bahwa situasi politik nasional berada dalam keadaan darurat, maka
memerlukan berbagai tindakan yang juga bersifat darurat (Barton, 2016: 330).
Gus Dur melihat bahwa memberikan pilihan kepada NU untuk kembali ke politik
adalah pilihan paling tepat sebab menyangkut pada hal yang substansial yakni hak
kebebasan berserikat sesuai dengan landasan UUD ‘45 (Saleh Aldjufri, 1997:
120).
Sebagai respon akan hal tersebut, dibentuklah PKB pada 23 Juli 1998. Gus
Dur sendiri diangkat sebagai ketua dewan syuro partai tersebut. Namun agar tidak
mengundang kecurigaan bahwa para ulama terlibat dalam politik praktis, maka
dikeluarkanlah instruksi bagi para fungsionaris NU di segala jenjang
kepengurusan tidak boleh merangkap jabatan di dalam kepengurusan PKB (Ali
Masykur Musa, 2010: 20). Gus Dur sendiri mundur dari jabatannya sebagai Ketua
Umum PBNU. Kemudian dirumuskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART) bahwa PKB harus menjadi partai nonsektarian,
terbuka bagi semua orang, dan mewakili semua elemen masyarakat (Ali Masykur
Musa, 2010: 19-20). Di kemudian hari, PKB pada akhirnya juga menjadi jalur
politik praktis bagi Gus Dur hingga beliau terpilih menjadi Presiden Republik
Indonesia.
Semasa menjabat, Presiden KH Abdurrahman Wahid membentuk Kabinet
Persatuan Nasional yang terdiri dari koalisi banyak partai dan juga dari tentara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
dan kalangan profesional (Ali Masykur Musa, 2010: 22). Hal penting yang
dilakukan Gus Dur dalam masa pemerintahannya yaitu berusaha menciptakan
perdamaian di daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Republik
Indonesia. Gus Dur lebih mengusahakan solusi damai lewat perundingan
dibandingkan operasi militer dalam mengatasi gerakan pemisahan diri seperti di
Irian Jaya dan Aceh. Di dalam benak Gus Dur, solusi bagi daerah-daerah tersebut
bukanlah suatu referendum mengenai kemerdekaan, melainkan suatu bentuk
otonomi daerah (Barton, 2016: 385). Tindakan konkret yang diusahakan oleh Gus
Dur yaitu bersedia untuk berbicara secara serius dengan masyarakat di daerah-
daerah yang ingin memisahkan diri mengenai aspirasi-aspirasi mereka (Barton,
2016: 385).
Pada malam 30 Desember 1999 Gus Dur berangkat ke Jayapura dan
bertemu dengan pemimpin-pemimpin masyarakat dari segenap Irian Jaya. Dalam
pertemuan itu Gus Dur menyetujui penyebutan Papua sebagai pengganti nama
Provinsi Irian Jaya (Barton, 2016: 386). Gus Dur juga memperbolehkan
pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, asalkan posisinya tidak lebih tinggi
dari bendera nasional RI (Barton, 2016: 447). Kebijakan-kebijakan ini disambut
hangat oleh rakyat Papua, tetapi menuai kritik dari berbagai kalangan yang tidak
setuju, terutama pihak oposisi.
Hal serupa juga Gus Dur lakukan di Aceh. Pada Maret 2000, Gus Dur
melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diikuti dengan
nota kesepahaman Pemerintah NKRI dengan GAM (Ali Masykur Musa, 2010:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
23). Kebijakan ini disebut oleh Gus Dur sebagai program kesejahteraan
masyarakat Aceh. Namun niat baik Gus Dur mengirim uang untuk membantu
program kesejahteraan masyarakat sebagai dukungan terciptanya perdamaian di
Aceh malah mendatangkan kerugian bagi dirinya, yakni terkena skandal
Buloggate dan Bruneigate.
Gus Dur mencari jalan untuk meminjam dari cadangan yang disimpan
oleh badan-badan pemerintah seperti Badan Urusan Logistik (Bulog), namun
lewat cara ini ia dituding melakukan manipulasi uang, sebab yang mengambil
uang tersebut adalah Suwondo, seorang tukang pijat kepresidenan (Barton, 2016:
400-401). Dalam waktu yang hampir bersamaan Gus Dur juga mencari bantuan
dari negara-negara lain demi mendukung perdamaian di Aceh. Pada saat itu juga
ia mendapat sumbangan pribadi dari Sultan Brunei, namun hal ini juga
dipermasalahkan sebab uang tersebut tidak ditempatkan di rekening resmi
pemerintah karena alasan permohonan Sultan Brunei sendiri untuk menjaga
kerahasiaan pemberian sumbangan tersebut (Barton, 2016: 401). Walaupun tak
seorang pun percaya bahwa Gus Dur bersalah melakukan korupsi untuk
kepentingan pribadi, namun hal ini tampaknya merupakan suatu tindakan yang
bodoh dan tidak profesional (Barton, 2016: 401-402).
Hal penting lainnya yang telah dilakukan Gus Dur sewaktu menjabat
sebagai presiden adalah kepeduliannya kepada warga keturunan Tionghoa. Gus
Dur mencabut pemberlakuan Instruksi Presiden RI (Inpres) No 12 Tahun 1967
yang telah membatasi budaya, adat istiadat, dan bahasa Cina di Indonesia (Ali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Masykur Musa, 2010: 23). Gus Dur bahkan menetapkan Hari Raya Imlek sebagai
hari libur fakultatif (Ali Masykur Musa, 2010: 23). Hal ini tentu saja membuat
warga keturunan Tionghoa bersukacita.
Ketika menjabat sebagai Presiden RI, Gus Dur membuat beberapa langkah
berani dalam mereformasi berbagai aspek dalam pemerintahan yang dinilai tidak
beres ketika masa Orde Baru. Beberapa di antaranya yaitu membubarkan
Departemen Penerangan dan Departemen Sosial yang pada masa Orde Baru
dinilai sarat akan KKN (Ali Masykur Musa, 2010: 23). Langkah lain yang tak
kalah pentingnya yaitu menghapuskan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI), mengembalikan tentara pada posisinya, memisahkan polisi dari
tentara, memisahkan keamanan dengan pertahanan, menegaskan bahwa aparat
tidak boleh terlibat dalam politik praktis sehingga tercipta demokrasi yang sehat
(M Imam Aziz, 2018: 251). Langkah-langkah yang diambil oleh Gus Dur di
antaranya yaitu membubarkan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas
Nasional (Bakorstranas) dan menghapuskan penelitian khusus (litsus) yang
selama Pemerintah Orde Baru digunakan untuk ―menakuti‖ pegawai negeri agar
tidak bersikap kritis (Ali Masykur Musa, 2010: 123).
Namun dalam usahanya mereformasi tatanan pemerintahan, Gus Dur
sepertinya masih belum dapat meninggalkan kebiasaannya yakni gaya
kepemimpinan pesantren (Wicaksana, 2018: 65). Gus Dur berkali-kali
memberhentikan menteri-menterinya yang membangkang terhadap dirinya.
Contohnya yaitu pada April 2000 ketika Gus Dur memecat Jusuf Kalla dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
jabatan Menteri Perindustrian dan Perdagangan serta Laksamana Sukardi dari
jabatan Menteri Badan Usaha Milik Negara karena mereka dinilai tidak mampu
bekerja dengan anggota-anggota timnya, di samping juga karena adanya tekanan
untuk segera mereformasi bidang perekonomian (Barton, 2016: 398). Gus Dur
juga tidak segan memecat Yusril Ihza Mahendra dari jabatan Menteri Kehakiman
dan HAM karena mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur, serta
memberhentikan Susilo Bambang Yudhoyono dari jabatan Menteri Koordinator
Politik, Sosial, dan Keamanan pada 1 Juli 2001 karena menolak perintahnya untuk
menyatakan negara dalam keadaan darurat (Ali Masykur Musa, 2010: 28).
Hal serupa juga dilakukan oleh Gus Dur dalam usahanya mereformasi
bidang kemiliteran dan kepolisian. Pada Maret 2000 Gus Dur mengabaikan
struktur pergantian jabatan di kalangan militer dengan mengangkat Agus
Wirahadikusumah sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Ali
Masykur Musa, 2010: 25). Lalu pada September 2000 Gus Dur memecat
Rusdihardjo dari jabatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri)
dan menggantikannya dengan Suroyo Bimantoro oleh karena menolak untuk
menangkap Tommy Soeharto yang saat itu menjadi tersangka kasus tukar guling
tanah milik Bulog (Barton, 2016: 444).
Gus Dur juga menuai berbagai kritik hingga menimbulkan kontroversi
dalam usahanya mereformasi pemerintahan di Indonesia selama ia menjabat
sebagai presiden. Salah satunya adalah usulan Gus Dur tentang pencabutan
Ketetapan MPR Nomor XXV/MPRS/1966 yang berisikan mengenai larangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
terhadap paham Marxisme/Leninisme (komunisme) di Indonesia (Wicaksana,
2018: 53-54). Usulan ini mendapat reaksi keras karena kaum komunis dianggap
pernah melakukan pemberontakan di Indonesia. Bagi Gus Dur sendiri, usulan ini
dimunculkan karena ia menganggap peraturan tersebut tidak demokratis dan
melanggar HAM (Wicaksana, 2018: 54).
Tindakan kontroversi lainnya adalah soal gagasan pembukaan hubungan
diplomatik dengan Israel (Wicaksana, 2018: 54, 66). Gagasan ini mendapat
tantangan keras dari banyak pihak. Banyak pihak menuding gagasan ini muncul
karena persahabatan Gus Dur dengan Yitzak Rabin yang saat itu menjabat sebagai
Presiden Israel (nasional.kompas.com/read/2018/02/06/13315291/gus-dur-gus-
mus-dan-jalan-cinta-untuk-diplomasi-israel-palestina). Adapula yang mengaitkan
dengan keanggotaan Gus Dur dalam The Peres Center for Peace and Innovation,
yayasan perdamaian yang didirikan mantan Presiden Israel Shimon Peres (Ali
Masykur Musa, 2010: 25). Gagasan ini juga ditentang oleh banyak kalangan,
mengingat Israel adalah negara yang telah banyak melakukan pelanggaran HAM
terhadap warga Palestina. Berbagai pihak berpendapat bahwa membuka hubungan
diplomatik dengan Israel sama saja dengan melanggar pembukaan UUD ‘45 yang
menyerukan akan ―penjajahan di atas dunia harus dihapuskan‖ (Wicaksana, 2018:
67). Padahal gagasan ini diambil oleh Gus Dur sebagai bentuk dialog dengan
beberapa pemimpin agama di Israel, untuk mengupayakan perdamaian. Gagasan
Gus Dur sederhana, Indonesia tidak mungkin bisa berperan dalam perdamaian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Palestina dan Israel jika tidak menjalin hubungan diplomatik dengan keduanya
(tirto.id/gus-dur-sobat-israel-dari-dunia-islam-cMvf).
Melihat Gus Dur begitu menuai kontroversi serta situasi politik yang tak
kunjung kondusif, maka DPR bereaksi dengan membuat petisi yang menuntut
pemakzulan Gus Dur (Ali Masykur Musa, 2010: 27-28). Menanggapi hal tersebut,
Gus Dur menyatakan DPR sebagai Taman Kanak-Kanak (Ali Masykur Musa,
2010: 27). Gur Dur juga responsif dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 22
Juli 2001 yang berisi mengenai pembekuan DPR/MPR RI, pengembalian
kedaulatan ke tangan rakyat, persiapan pemilu dalam waktu satu tahun, dan
penyelamatan gerakan reformasi dari hambatan unsur-unsur Orde Baru
(Wicaksana, 2018: 71). Namun dekrit itu gagal karena tentara dan polisi yang
diperintahkan untuk mengamankan langkah-langkah penyelamatan justru tidak
menjalankan tugasnya. Sidang Istimewa MPR tetap berlangsung dan pada 23 Juli
Gus Dur dimakzulkan dari jabatannya sebagai Presiden RI (Ali Masykur Musa,
2010: 29).
Setelah lengser dari jabatan presiden, Gus Dur masih terus melanjutkan
karier dan perjuangannya. Gus Dur kembali aktif menulis di berbagai media
massa (Ari Subagyo, 2012: 19). Pada 2002 beliau menjabat sebagai penasihat
Solidaritas Korban Pelanggaran HAM dan pada 2003 beliau menjabat sebagai
penasihat Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional (Wicaksana, 2018: 73). Beliau
juga masih aktif dalam pergerakan politik, bahkan masih memiliki niatan untuk
kembali menjadi Presiden RI karena merasa tugasnya belum tuntas. Niat tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
didukung oleh berbagai partai politik bukan peserta pemilu, total ada 61 partai,
dengan mendirikan lembaga bernama Gus Dur Crisis Center (GDCC) yang
dideklarasikan di Jakarta (news.detik.com/berita/127696/parpol-bukan-peserta-
pemilu-dirikan-gus-dur-crisis-center). Gus Dur sendiri mengaku tidak keberatan
namanya dipakai karena nanti rakyat sendiri yang akan menilai keabsahan
lembaga tersebut. Lalu Gus Dur bersama Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, Alwi
Shihab, Mahfud MD, Eros Djarot, dan Rahmawati Soekarnoputri membentuk
suatu forum yang bernama Forum Bersama untuk Menyelamatkan Bangsa
(Tempo. No 08/XXXIII/19-25 April 2004: 25).
Setelah melihat situasi politik saat itu dan menempuh berbagai macam
cara, akhirnya Gus Dur mengajukan diri kembali sebagai pasangan bakal calon
presiden dan wakil presiden bersama Marwah Daud Ibrahim pada Pemilu 2004,
tetapi gagal sebab dinyatakan tidak lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum
karena alasan kesehatan (liputan6.com/news/read/78670/gus-dur-tidak-lolos).
Pemilu 2004 kemudian memenangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan
Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden NKRI. Pada Agustus 2005,
sebagai bentuk keaktifannya dalam dunia politik, Gus Dur bersama dengan
Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Wiranto, dan Akbar Tandjung tergabung
dalam Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu, mengkritik kebijakan pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sambil memberi arahan bagaimana
semestinya (Wicaksana, 2018: 74).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Setelah dirinya tidak terpilih menjadi presiden, Gus Dur masih
melanjutkan berbagai perjuangan konkret demi terwujudnya demokrasi sejati dan
terciptanya harmonisasi di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Beberapa
tindakan konkret yang ia lakukan yaitu menjadi penengah dalam kasus penutupan
Sekolah Sang Timur di Tangerang karena keberadaan sekolah tersebut
dipermasalahkan oleh kelompok Muslim radikal (metro.tempo.co/read/49828/gus-
dur-kasus-sang-timur-berbau-politik). Kemudian beliau juga mendukung Basuki
Tjahaja Purnama, seorang keturunan Tionghoa dan beragama Kristen, sebagai
calon gubernur Provinsi Bangka Belitung, di mana basis masyarakatnya mayoritas
merupakan pemeluk agama Islam (antaranews.com/berita/53140/gus-dur-jadi-
jurkam-cagub-babel-di-belitung). Hal lain yang ia lakukan yaitu menjadi saksi
ahli pengadilan penghayat dari Kuningan, pasangan Gugum dan Susi, yang diadili
karena menikah secara adat (M Imam Aziz, 2018: 253). Segala tindakan KH
Abdurrahman Wahid tersebut dilakukan berdasarkan Pancasila dan UUD ‘45
yang menyatakan bahwa kepercayaan setiap warga negara itu dilindungi oleh
konstitusi (M Imam Aziz, 2018: 253).
Sepanjang hayatnya, Gus Dur selalu berupaya untuk memberi teladan
lewat perjuangan konkret, dibanding melalui perkataan atau tulisan (Wicaksana,
2018: 96). Bagi Gus Dur, yang paling penting dilakukan adalah berbuat baik
secara nyata dan menjadi pribadi yang berguna bagi setiap orang tanpa kecuali
(Wicaksana, 2018: 96). Mencari titik temu antara Islam, pluralisme, dan
demokrasi adalah bidang kajian yang memang digeluti beliau sampai dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
akhir hayatnya (Ali Masykur Musa, 2010: 110). Semua itu digerakkan oleh visi
Islamnya yang universal dan humanis, yang mampu merangkul dan mengayomi
semua kalangan (Trisno S Sutanto, 2018: 227). Melalui perjuangan konkretnya,
Gus Dur telah menanamkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia dan mengajarkan
untuk bersikap pluralis dengan saling menghargai berbagai kemajemukan yang
terdapat di masyarakat Indonesia (Wicaksana, 2018: 74).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
BAB III
HAKIKAT KATEKESE KEBANGSAAN
Pada bab-bab sebelumnya penulis sudah membahas latar belakang
penulisan, serta memaparkan berbagai rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, dan metode penulisan skripsi ini. Sudah juga dipaparkan
mengapa penulis memilih KH Abdurrahman Wahid dan Katekese Kebangsaan
dalam penulisan skripsi ini. Kemudian sudah juga diulas mengenai sosok KH
Abdurrahman Wahid melalui paparan biografi singkatnya, cita-citanya, berbagai
macam sumbangan pikiran yang pernah diucapkan dan dituliskannya dalam
berbagai media, serta perjuangan konkretnya dalam melihara kerukunan hidup
berbangsa dan beragama.
Pada bab ini penulis akan membahas hakikat Katekese Kebangsaan.
Pembahasan akan diawali dengan berbagai macam asal usul gagasan yang turut
membentuk terciptanya konsep Katekese Kebangsaan. Dalam bab ini juga akan
dipaparkan rincian unsur-unsur pokok yang terdapat dalam Katekese Kebangsaan.
Kemudian juga akan disebutkan berbagai contoh penerapan Katekese Kebangsaan
di Indonesia.
A. Asal Usul Gagasan
Katekese adalah suatu pembinaan iman bagi siapa saja, seluruh umat
Kristen dari segala kelompok usia dan semua golongan tanpa kecuali, melingkupi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
penyampaian ajaran Kristen, diberikan secara terencana dan berkesinambungan
dengan maksud mengantar umat memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT 18).
Senada dengan pengertian tersebut, Marinus Telaumbanua (1999: 5) merumuskan
katekese sebagai usaha-usaha Gereja dalam membantu umat semakin memahami,
menghayati, dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Tema-tema
katekese juga perlu diperluas mengikuti perkembangan zaman agar umat dapat
lebih bersemangat dalam memberi kesaksian tentang iman mereka sehingga dapat
semakin mematangkan dan meneguhkan iman yang sesuai dengan kepenuhan
Kristus (bdk. CT 24-25).
Katekese Kebangsaan dapat diselenggarakan dalam rangka mewujudkan
Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (GS 45) dengan terlibat dalam kehidupan
berbangsa sekaligus merupakan perwujudan iman dalam menanggapi tanda-tanda
zaman. Katekese Kebangsaan merupakan hal yang cukup baru dalam
perkembangan katekese dewasa ini, khususnya di Indonesia. Melalui Katekese
Kebangsaan, Gereja turut menanamkan rasa cinta tanah air, berperan langsung
dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa, serta menanamkan nilai-nilai moral
yang menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi rasa persatuan sebagai
sebuah bangsa.
1. Berawal dari Katekese Kontekstual
Pada kurun 1959 hingga 1968 diadakan enam pekan studi kateketik
internasional. Pada 1959 diselenggarakan di Nijmegen, kemudian 1960 di
Eichstatt, 1962 di Bangkok, 1964 di Katigondo, 1967 di Manila, dan 1968 di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Medellin. Enam studi ini menunjukkan betapa pentingnya katekese dalam kurun
tahun tersebut. Sayangnya setelah tahun 1980-an pekan-pekan studi kateketik
internasional sudah jarang diselenggarakan, sehingga berakibat pada kurang
berlanjutnya perkembangan kateketik dalam skala internasional.
Luis Erdozain (1983: 86-105) mengelompokkan enam pekan studi
kateketik internasional tersebut dalam tiga tahap, yakni kerigmatis (Nijmegen dan
Eichstatt), antropologis (Bangkok, Katigondo, dan Manila), dan politis
(Medellin). Erdozain (1983: 96) melihat adanya perbedaan mencolok dalam tiga
tahap ini, tetapi bukan sebagai suatu pertentangan antara tahap satu dengan
lainnya, melainkan suatu gerakan maju antara satu tahap menuju tahap yang
berikutnya. Menurutnya tahap kerigmatis lebih menekankan pada isi pewartaan
Sabda Allah yang berpusat pada Yesus Kristus (Kristosentris) dengan
menggunakan bahasa reflektif yang dekat dengan umat (Erdozain, 1983: 89-91).
Tahap antropologis lebih menekankan pada katekese yang bertolak dari keadaan
dan kebudayaan umat (umatsentris), dengan prinsip dasarnya bahwa wahyu Allah
bersifat dialogal, mengundang dan memampukan manusia untuk menanggapi-
Nya, memungkinkan perjumpaan nilai-nilai Injil dengan nilai-nilai budaya
(Erdozain, 1983: 92-95). Tahap politis menekankan pada kesatuan antara karya
penyelamatan Allah dengan peristiwa hidup manusia sehari-hari, tidak
mempertentangkan keduanya (Erdozain, 1983: 100-101).
Namun Michael Warren sendiri mengkritik pembagian tahap-tahap
perkembangan kateketik menurut Luis Erdozain atas enam pekan studi kateketik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
internasional. Menurutnya pengelompokkan Eichstatt ke dalam tahap kerigmatis
dan menyebut Bangkok sebagai gerakan yang pertama kalinya memperhatikan
segi antropologis adalah pandangan yang keliru. Warren (1983: 26-27) melihat
bahwa pembagian tahap-tahap perkembangan kateketik tidak perlu digolongkan
secara kaku, seperti halnya Erdozain menyebut Bangkok sebagai pertama kalinya
katekese memerhatikan aspek antropologis, sebab perkembangan kateketik di
Eropa sesungguhnya sudah memerhatikan peserta. Warren (1983: 333-334) juga
melihat perubahan mencolok terjadi di Medellin dengan dua pembahasan pokok
yaitu pentingnya konteks katekese dan perhatian akan perkembangan sejarah
keselamatan, berkaitan erat dengan bagaimana Injil perlu disebarkan melalui
tanda-tanda yang ―akrab‖ dengan kemanusiaan, yaitu pembebasan,
perkembangan, dan persatuan.
Berdasarkan hasil studi terhadap enam pekan studi kateketik internasional,
penulis menduga bahwa Katekese Kebangsaan berada dalam posisi penggabungan
antara tahap antropologis dengan tahap politis. Luis Erdozain (1983: 105)
mengungkapkan bahwa tahap antropologis dan politis termasuk dalam katekese
kontemporer, merepresentasikan Sabda Allah pada dunia kekinian, menunjukkan
perkembangan iman dan wahyu, serta semangat dan wajah baru dalam katekese
yang Kristosentris sekaligus umatsentris. Katekese Kebangsaan memiliki dimensi
pluralis, cocok dengan tahap antropologis yang memungkinkan dialog dengan
budaya dan agama lain (Erdozain, 1983: 96). Katekese Kebangsaan juga
merupakan persoalan bagaimana usaha Gereja untuk mewujudkan Kerajaan Allah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
di tengah-tengah dunia dengan cara melibatkan diri secara aktif di dalamnya,
cocok dengan tahap politis yang berorientasi pada praksis perjuangan bersama
demi keadilan dan kesejahteraan bersama sebagai komunitas beriman (Erdozain,
1983: 103).
Enam pekan studi kateketik tersebut menunjukkan bahwa katekese
dijalankan sesuai pada konteksnya. Seperti misalnya hasil di Bangkok dan
Katigondo yang menyesuaikan dengan konteks budaya setempat, bagaimana
katekese dapat diadakan secara inkulturatif, bagaimana mengenalkan Kristus
dengan ciri khas Asia dan Afrika. Hasil di Medellin juga menunjukkan bahwa
katekese adalah upaya mewujudnyatakan Kerajaan Allah pada masyarakat yang
miskin dan tertindas, sesuai yang dialami di Amerika Selatan.
Hope Antone (2010: xiii) menyatakan bahwa pelaksanaan katekese
kontekstual perlu menyapa konteks kemajemukan menggunakan pendekatan
pluralisme agama, berdialog dengan tradisi iman agama lain namun tetap
berkomitmen pada tradisi spiritualitas Katolik. Seorang pluralis sejati
bagaimanapun juga adalah seseorang yang berakar dengan baik dalam tradisi
imannya tetapi mampu mengakui dan terbuka kepada orang-orang yang berasal
dari tradisi lain, mengakui bahwa kasih Allah lebih luas daripada apa yang benar-
benar dapat dipahami oleh akal budi manusia (Antone, 2010: 89). Hal ini
menandakan dimensi iman yang universal, bahwa Allah mengasihi dan
berkomitmen untuk menyelamatkan semua orang tanpa terkecuali.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Antone (2010: 10) menegaskan bahwa konteks membentuk teologi serta
teori dan praksis pendidikan. Perlu adanya upaya kontekstualisasi dalam proses
berteologi, kemudian membentuk suatu teori pendidikan dan mempraktikannya,
termasuk juga terhadap teori dan praksis katekese. Konteks dapat dilihat sebagai
ruang, waktu, dan tempat suatu realitas kehidupan yang dinamis, masalah dan
kebutuhan muncul, begitu juga dengan aspirasi dan harapan pun muncul dan
dibagikan (Antone, 2010: 11).
Antone menggambarkan suatu katekese kontekstual dalam metafora meja
makan. Bagi Antone (2010: 96) gambaran percakapan di meja makan bukan
hanya metaforis atau figuratif, tetapi juga bersifat denotatif karena telah
mengalaminya langsung di tengah lingkungan hidupnya yang majemuk. Hal yang
dialami oleh Antone yaitu bahwa suatu keluarga yang terdiri dari berbagai
komunitas budaya dan agama dapat bergaul dengan indah dan bermakna di sekitar
meja makan, menyediakan ruang bersama untuk saling berbincang dan berbagi
kehidupan dengan penuh kasih mesra dan mendalam. Percakapan di meja makan
merupakan suatu kegiatan bersama dengan situasi percakapan yang multiarah di
mana semua orang terlibat di dalamnya dan dapat dengan aktif mengungkapkan
uneg-uneg secara bebas tanpa batas-batas tertentu (Antone, 2010: 95-98). Meja
makan dalam situasi tersebut menjadi suatu tempat yang hangat dan diselimuti
dengan suasana keramahtamahan, sekumpulan orang dapat saling berbagi dan
bercakap-cakap dengan bebas, bahkan hingga merumuskan harapan dan tujuan
hidup bersama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Metafora meja makan sebagai gambaran katekese kontekstual sejajar
dengan praktik meja makan yang diperlihatkan oleh Yesus dalam Injil. Secara
gamblang Yesus mau duduk makan bersama-sama dengan para pemungut cukai
dan orang-orang berdosa (Mrk 2:16, Luk 15:2) sekaligus berbagi kasih dalam
pengalaman iman dan juga pengajaran kepada mereka. Yesus memperlihatkan
bahwa di meja makan Allah semua orang disambut tanpa kecuali. Lewat
perumpamaan tentang perjamuan kawin (Mat 22:1-14 par.) Yesus mengundang
orang-orang dan berbagi makanan bersama mereka, menunjukkan kerahiman dan
belas kasih Allah yang melampaui batas-batas tatanan sosial duniawi. Yesus
memberikan gambaran situasi kerahiman Kerajaan Allah melalui praktik makan
bersama. Makanan dan kegiatan makan tidak hanya suatu kebutuhan biologis,
tetapi juga memiliki makna penting yang bersifat sosial, kultural, dan pedagogis
(Antone, 2010: 116). Oleh karena itu, meja makan dan perjamuan makan telah
menjadi gambaran tentang Kerajaan Allah yakni keramahtamahan yang
berlimpah, keterbukaan sejati, dan perayaan sukacita bersama. Gambaran ini
berpengaruh dalam praktik katekese kontekstual yang berusaha memahami
kondisi dan situasi umat setempat yang majemuk dengan saling memahami,
menghormati, dan terbuka terhadap satu sama lain.
Karena meja makan secara alami mengundang, maka katekese kontekstual
juga mengambil pendekatan yang mengundang secara terbuka. Katekese
kontekstual terdiri dari berbagi kisah hidup, pengalaman keagamaan, keprihatinan
serta apresiasi bersama yang membuat kita menjadi sungguh-sungguh manusiawi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
(Antone, 2010: 133). Dengan berkumpul bersama dan mengambil bagian dalam
seluruh proses katekese, dapat terlihat seberapa besar kita saling membutuhkan
satu sama lain demi keberlangsungan bersama dalam kehidupan sehari-hari.
Metafora meja makan menggambarkan betapa luas dan dalamnya kepekaan sejati
terhadap orang lain, sehingga kita dapat tergerak untuk menawarkan
keramatamahan dan persahabatan yang melimpah, berbagi apa yang diperlukan,
melihat apa yang sering tak terlihat, dan mendengarkan apa yang tidak terucapkan
(Antone, 2010: 135). Dengan demikian, kita akan dapat lebih bekerja secara
kolektif dan efektif dengan orang lain di sekitar kita, baik di dalam satu komunitas
atau bahkan bergerak ke luar.
2. Allah yang inkarnatoris
Konstitusi Dei Verbum mengatakan bahwa ketaatan iman berarti manusia
bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, yang berarti mempersembahkan
kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang
mewahyukan, dan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang telah
dikaruniakan Allah kepada manusia (DV 5). Dengan kata lain, iman dapat
dimaknai sebagai Sabda Allah, yang merupakan tawaran karunia dan rahmat dari
Tuhan, yang menuntut jawaban secara pribadi dan menyeluruh dari manusia. Arti
iman tersebut tidak terpisahkan dari cinta yang dimengerti sebagai jawaban dan
penerimaan manusia atas sejarah keselamatan yang diwahyukan Allah
(Telaumbanua, 1999: 43-46).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Hubungan antara wahyu dengan iman merupakan visi Ilahi yang tidak
terlepas dari misteri inkarnasi. Di dalam inkarnasi, Anak Allah yang bersifat
universal dan kekal hadir di dunia yang bersifat terbatas dan sementara (Heryatno
Wono Wulung, 2000: 127). Allah berinisiatif bergerak menuju umat manusia
untuk mengantarkan mereka kepada keselamatan (FR 7). Inisiatif tersebut
membuat manusia dapat memahami Allah sesuai dengan akal budi yang
dimilikinya melalui berbagai pengetahuan iman yang telah diwahyukan dalam
Sabda Allah (FR 8). Pengetahuan tersebut menunjukkan betapa besar cinta kasih
Allah terhadap umat manusia dan mempercayakan tanggung jawab yang besar
kepada umat manusia dalam mewartakan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia
(FR 13, GS 45).
Inisiatif Allah dalam misteri inkarnasi menjalin suatu relasi baru antara
Allah, yakni menyatakan bahwa manusia pada dasarnya baik dan sungguh bersifat
positif. Melalui inkarnasi, Allah berkenan mendatangi manusia dan menjadi satu
dengan seluruh realitas hidup manusia, sehingga manusia dapat mengalami
kehadiran Allah secara konkret (Heryatno Wono Wulung, 2000: 127). Oleh
karena itu kebaikan manusia sungguh-sungguh diakui dan diteguhkan, dan
manusia dengan mudah berinteraksi dengan Allah karena relasi dengan-Nya telah
dipulihkan dan diperbarui.
Inkarnasi Allah dapat nampak secara nyata dalam inkulturasi, yakni
penjelmaan nilai-nilai Injil ke dalam konteks kebudayaan tertentu sehingga jemaat
setempat dapat menghayati Injil Yesus Kristus seturut cara hidup mereka masing-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
masing (Heryatno Wono Wulung, 2000: 126). Penekanan kebudayaan dalam
inkulturasi dapat dilihat dalam misteri Paskah Yesus Kristus yang bersedia
menyerahkan seluruh hidup-Nya supaya semua orang dapat diselamatkan
(Heryatno Wono Wulung, 2000: 130). Melalui wafat dan kebangkitan-Nya,
Kristus mengubah dosa manusia yang mengalami pertobatan menjadi semangat
untuk menjalani hidup yang baru.
Dalam memahami Allah yang inkarnatoris, maka katekese mengupayakan
terjadinya perjumpaan pribadi antara manusia dengan Allah sebagai proses wahyu
dan iman (Madya Utama, 2018: viii). Dengan prinsip iman dan wahyu, katekese
memiliki jenis pengetahuan yang tidak hanya bergantung pada pemahaman
manusia saja tetapi juga pada wahyu diri Allah yang diterima manusia dalam iman
(Manfred Habur, 2016: 38-39). Oleh karena itu katekese mesti membantu peserta
katekese untuk menyadari bahwa mereka perlu meresapi hidupnya dengan nilai-
nilai Injili sehingga dapat menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia (Madya
Utama, 2018: ix). Katekis diharapkan dapat membantu mengantarkan umat
mengalami wahyu secara konkret dalam kehidupan sehari-hari dan mengupayakan
persatuan di antara semua orang dalam persekutuan persaudaraan (Madya Utama,
2018: x).
Allah yang inkarnatoris menjadi tolok ukur diselenggarakannya Katekese
Kebangsaan. Katekese Kebangsaan mewartakan Yesus Kristus sebab pokok
pewartaan katekese yakni mewartakan Kabar Gembira yang berada dalam diri
Yesus Kristus dan Kristus sendirilah sebenarnya yang sedang berkatekese (CT 6).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Yesus sendiri pernah berujar bahwa: "Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku
sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku‖ (Yoh 7:16). Maka selayaknya
ajaran yang disampaikan bukanlah pendapat pribadi sang katekis atau membela
kepentingan tertentu, melainkan ajaran yang berasal dari Kristus dan sesuai
dengan kebutuhan umat sendiri. Dengan demikian sungguh nampak bahwa
Katekese Kebangsaan bersifat Kristosentris sekaligus umatsentris.
Katekese Kebangsaan mewartakan Allah yang turut serta terlibat dengan
persoalan dunia, bersama dengan itu mengajak umat sekalian untuk mau turut
terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan demi terjalinnya kesejahteraan umum.
Umat dipanggil untuk mengambil bagian di dalam tugas perutusan Yesus yakni
meneguhkan, membangun, dan memperkembangkan kehidupan. Sangat
diharapkan bahwa Allah sungguh dapat berinkarnasi atau mengakar di dalam
hidup masing-masing umat (Heryatno Wono Wulung, 2000: 133). Oleh karena
itu, umat juga sangat diharapkan sungguh-sungguh mengalami perjumpaan
dengan Allah dalam diri Yesus Kristus sehingga dalam kesehariannya menghayati
Injil dan berani bersaksi dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat luas
(CT 9).
3. Gabungan antara discipleship dengan citizenship
John Coleman mengungkapkan gagasan mengenai penggabungan antara
semangat kemuridan (discipleship) dengan semangat kewarganegaraan
(citizenship). Dalam tiga narasi yang dikemukakan Coleman, terlihat adanya
perbedaan pandangan mengenai perihal discipleship dengan citizenship. Di satu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
sisi meyakini pemisahan antara keduanya, di sisi lain setuju untuk
menggabungkan urusan keduanya. Dua hal tersebut sering dipertentangkan satu
sama lain, dibedakan menurut urusan masing-masing, tetapi sebenarnya dapat
dipersatukan tanpa tumpang tindih satu sama lain.
Coleman (1992: 339) menyatakan bahwa sejak awal Gereja Puritan
berusaha menggabungkan discipleship dengan citizenship sebagai bentuk
kehidupan bersama tetapi tidak mendominasi pemerintahan sipil, tetap
menempatkan perbedaan penting antara pemerintahan gerejani yang layak dengan
pemerintahan sipil. Pendapat lain muncul dari kelompok revivalist yang
mengatakan bahwa agama sesungguhnya memegang peranan penting dalam
membentuk kehidupan berbangsa yang baik, discipleship dapat berkontribusi baik
terhadap citizenship (Coleman, 1992: 342-343). Lewat cara pandang pluralisme
dengan toleransinya, kelompok ini berusaha menengahkan relasi antara gagasan
citizenship dengan discipleship yang masih berkaitan erat, terlepas dari unsur-
unsur perbedaannya. Pendapat lain lagi mengatakan adanya unsur paradoksal
dalam usaha menggabungkan semangat citizenship dengan discipleship.
Kelompok ini merasa urusan agama terlalu mencampuri ranah publik. Kaum
religius dinilai sebagai contoh warga negara (citizenship) yang buruk karena
mereka gagal menerapkan nilai-nilai ajaran (discipleship) mereka sendiri
(Coleman, 1992: 348). Namun politik sering kali menggunakan agama untuk
menarik simpati pemilih saat pemilu, contohnya mengirim surat kepada kardinal
agar mendapat suara dari kaum Katolik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Pada akhirnya Coleman (1992: 350) menyimpulkan bahwa sebenarnya
masih ada perdebatan tentang relasi antara discipleship dengan citizenship.
Meskipun ada arah untuk penggabungan keduanya, masih belum ada penataan
kembali relasi antar keduanya yang dinyatakan dengan jelas. Ada keresahan
publik untuk menghimpun jaringan dengan Gereja demi membahas permasalahan
sosial dan moral. Murid Kristus yang memiliki rasa tanggung jawab sebaiknya
tertarik untuk meningkatkan kesadaran moral dalam masyarakat. Konsensus
antara keduanya akan mampu mengatasi konflik moral dan sosial tersebut,
menjawab tantangan zaman, dan meningkatkan kesadaran akan kehidupan
bersama.
Gagasan John Coleman untuk menyeimbangkan semangat discipleship
dengan citizenship mendapat respon positif di kemudian hari. Gereja menyadari
bahwa kedua semangat tersebut amat penting dalam tugas dan pelayanannya di
dunia ini. Maka melalui katekese, Gereja berusaha untuk mengajak anggotanya
mengalami kedua semangat tersebut dan mencoba menyeimbangkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam proses katekese, pendamping dan peserta saling berhubungan
sebagai mitra, sama-sama berziarah untuk menjadi murid Yesus sejati (Schipani,
1997: 28). Pendamping dan peserta katekese bersama-sama memperkembangkan
dan menyelaraskan semangat discipleship sekaligus citizenship menuju
kepenuhan hidup Kristiani yang meliputi visi Allah yang hidup, keutamaan Yesus
Kristus, dan panggilan Roh Kudus (Schipani, 1997: 30). Dengan demikian,
katekese dapat menjadi penjembatan antara semangat discipleship sekaligus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
citizenship, semakin terlibat dalam masyarakat demi semakin terwujudnya
Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia.
4. Keterlibatan Gereja dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat
Gereja menyangkut umat banyak, jadi perlu ada unsur kesatuannya,
kebersamaannya dalam satu rasa yang dapat ditangkap oleh orang banyak, selain
itu juga harus bermakna, berbudi, luhur, namun terutama autentik atau asli
(Mangunwijaya, 1999: 19). Gereja merupakan umat yang beriman kepada Yesus
sebagai pewarta Kabar Gembira, maka umat sebagai penerima dan pewarta Kabar
Gembira sebaiknya selalu gembira, optimis, dan energik, tetapi prinsipial dan
berani, pecinta para miskin dan penderita (Mangunwijaya, 1999: 24).
Katekese adalah salah satu upaya Gereja dalam mengembangkan tugas
karya pewartaan. Katekese bertujuan membangunkan, memelihara,
memperkembangkan iman, sambil memperbarui, memperdalam, dan
menyempurnakan pertobatan dengan jalan membuatnya semakin bersifat pribadi
dan berbuah dalam tindakan. ―Katekese harus memperhatikan keseluruhan hidup
manusia yang sekuler dan religius, harus memuat hubungan tetap dengan keadaan
hidup yang sesungguhnya, yang memuat bukan saja tugas sosial ekonomis dan
politis, tetapi juga kenyataan dan kelompok kultis dan religius‖ (Amalorpavadass,
1972: 9). Katekese dilakukan dalam rangka pewartaan iman yakni menerangkan
pesan Injil sebagai cara untuk mengungkapkan iman dengan tujuan bagaimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
orang dapat dibimbing dan ditolong agar memahami iman (Kiswara, 1988: 50-
51).
Dengan kata lain, katekese harus juga bersifat umatsentris, sesuai dengan
situasi hidup jemaat, termasuk berbagai pengalaman dan masalah yang dialami
oleh mereka. Maka tugas katekese adalah mengolah situasi hidup umat setempat,
dan semuanya itu dipandang, dipahami, dan dihayati menurut Sabda Allah,
dengan penyerahan diri secara menyeluruh kepada Kristus. Dengan demikian,
masing-masing pribadi akan mengalami hubungan mesra dan mendalam dengan
Kristus, sehingga kemudian dapat bersaksi dengan membagikan pengalaman
tersebut sesuai dengan konteks lingkungan hidup mereka masing-masing.
Dalam mencapai tujuannya untuk membangunkan, memelihara,
memperkembangkan iman, sambil memperbarui, memperdalam, dan
menyempurnakan pertobatan dengan jalan membuatnya semakin bersifat pribadi
dan berbuah dalam tindakan, katekese dapat dilakukan melalui langkah-langkah
dan pendekatan yang dinamis, dalam gerak, irama, dan tahapan yang jelas.
Katekis sebagai fasilitator atau pemandu katekese perlu memiliki daya kreativitas
sehingga dapat berbaur dan menyatu dengan umat yang dilayaninya. Maka katekis
hendaknya perlu mengalami sendiri persekutuan hidup yang mesra dan mendalam
bersama Kristus (CT 9, 23) dan umat setempat. Katekis menghayati semua
peristiwa serta segi-segi kehidupan komunitas umat dengan penuh rasa tanggung
jawab. Sehingga apa yang terjadi dalam proses katekese adalah benar-benar
sesuatu yang konkret, bukan sekadar teori, dan benar-benar relevan dengan situasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
hidup keseharian umat setempat. Dengan demikian proses katekese tidaklah
kering, melainkan benar-benar mengalir dan dinamis karena umat mengalaminya
secara penuh dan dapat semakin menyadari kasih kerahiman Allah dalam diri
masing-masing pribadi.
Menurut Amalorpavadass (1972: 36), langkah-langkah yang dapat
dilakukan katekis dalam mencapai tujuan katekese untuk membangunkan,
memelihara, memperkembangkan iman, sambil memperbarui, memperdalam, dan
menyempurnakan pertobatan dengan jalan membuatnya semakin bersifat pribadi
dan berbuah dalam tindakan adalah sebagai berikut. Pertama yaitu berusaha
mengingatkan kepada pengalaman manusiawi, merenungkannya dan
memaknainya sejauh mungkin. Kedua yakni membawa pengalaman manusiawi
tersebut dan menghadapkannya pada terang Sabda Allah, kemudian kembali
memaknainya dengan lebih penuh dan mendalam. Ketiga adalah mempelajari
kembali dan menghayati pengalaman manusiawi tersebut dengan menyesuaikan
sepenuhnya dengan iman, yaitu menyadari kesesuaian atau relevansi Sabda Allah
di dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perkembangannya, Gereja perlu terlibat aktif dalam kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat. Semangat Konsili Vatikan II mengajak seluruh
bangsa manusia melupakan permusuhan dan perselisihan yang sudah lewat,
berusaha untuk saling memahami dan menjadi kawan seperjuangan demi
penyelamatan dan pengembangan keadilan sosial, nilai-nilai moral, perdamaian,
dan kemerdekaan (NA 3). Mangunwijaya (1999: 29) mengemukakan pendapatnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
yang bertajuk Gereja Diaspora, yakni berarti keluar ikut berjuang dalam bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya bersama masyarakat dan bangsa.
Pelayanan umat diaspora tidak terlepas dari Tritugas Kristus yang diterima
dalam Sakaramen Baptis, yakni menyucikan, mewartakan, dan memimpin (imam,
nabi, dan raja) (lih. GS 31, AA 2). Tugas tersebut tidak hanya ditujukan kepada
para imam, tetapi mencakup keseluruhan umat (Mangunwijaya, 1999: 56).
Pelayanan umat diaspora membutuhkan visi dan mental pimpinan umat yang
terbuka terhadap segala bentuk perubahan, namun diimbangi oleh prinsip mutlak
yakni fungsi kita sebagai anak Allah sekaligus murid Kristus yang dibekali oleh
semangat Roh Kudus di dalam persaudaraan Gereja universal (Mangunwijaya,
1999: 63). Sikap terbuka menuntut kerendahan hati seorang manusia, sedangkan
berprinsip membutuhkan keyakinan mendalam tentang perlunya kebijaksanaan
untuk memilih tindakan yang benar atau salah (Mangunwijaya, 1999: 64).
Kerasulan awam dalam bidang kemasyarakatan dan kenegaraan dapat
menjadi salah satu cara untuk mewujudkan pelayanan umat diaspora
(Mangunwijaya, 1999: 123). Keterlibatan umat awam di tengah dunia politik dan
kemasyarakatan adalah bentuk konkret dari pelayanan umat diaspora demi
terwujudnya Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (Mangunwijaya, 1999: 124).
Gereja dan umat jelas punya kewajiban dan hak untuk berpolitik demi
terwujudnya kepentingan dan kesejahteraan umum (Mangunwijaya, 1999: 125).
Gereja dan umat harus tetap hadir dan bijak membela segala kebenaran, keadilan,
kemanusiaan, dan kebaikan, terlepas dari setuju atau tidak setuju, senang atau
tidak senang dengan bentuk kekuasaan pemerintahan yang ada (Mangunwijaya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
1999: 127). Maka dari itu, kaum awam sangat dianjurkan untuk terlibat dalam
masalah-masalah politik praktis kekuasaan lewat segala sarana macam-macam
badan kekuasaan seperti partai politik, lobby politik, parlemen, dan sebagainya,
akan tetapi tindakan tersebut dilakukan atas nama pribadi, tidak atas nama Gereja,
umat, ataupun Hierarki Gereja (Mangunwijaya, 1999: 127, 129).
Gereja Diaspora dengan pengembangan konteks pluralisme agama dapat
memperkuat hubungan ke luar, menjalin hubungan yang harmonis dengan
berbagai pihak dari seluruh kalangan (Sudiarja, 1999: 27). Oleh karena itu
partisipasi awam sangat diharapkan untuk terlibat aktif membangun komunikasi
iman dengan dunia yang mereka geluti (Sudiarja, 1999: 30). Dengan begitu umat
dapat memberikan kesaksian kasih dalam hidup mereka sehari-hari.
B. Pokok-pokok Mengenai Katekese Kebangsaan
1. Subjek dan objek Katekese Kebangsaan
Ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan katekese
disebut kateketik. Kateketik sebagai ilmu tentu memiliki subjek, objek material,
dan objek formal tersendiri. Dalam ilmu pengetahuan, manusia menempati posisi
sebagai subjek sekaligus sebagai objek. Manfred Habur (2016: 31-34) mengutip
pendapat S. Curro mengatakan bahwa ilmu kateketik memiliki subjek yaitu
manusia yang mencari identitas dirinya yang mampu merencanakan sendiri
kehidupannya lewat berbagai macam kompetensi yang ada, dan juga realitas iman
yakni inisiatif Allah yang memanggil, menangkap, dan merangkul manusia dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
persahabatan seturut kehendak-Nya. Marinus Telaumbanua (1999: 20-21)
mengemukakan objek material ilmu kateketik yaitu seluruh umat Kristiani,
sedangkan objek formalnya yaitu pendidikan dan komunikasi iman. Manfred
Habur (2016: 50) melihat kedudukan kateketik sebagai bagian dalam teologi
praktis, di mana objek material-formalnya menyangkut iman umat dan pendidikan
iman ke arah kedewasaan. Refleksi atas pendidikan iman tidak hanya bergantung
pada usaha manusia melalui nalar dan intuisi rohaninya, melainkan juga pada
iman dan wahyu dari Allah sendiri.
Katekese Kebangsaan merupakan hal yang cukup baru dalam
perkembangan katekese dewasa ini, khususnya di Indonesia. Perlu diselidiki lebih
lanjut mengenai deskripsi lengkapnya, aspek-aspeknya, juga subjek dan objeknya.
Menurut penulis sebenarnya tidak perlu adanya tumpang tindih antara Gereja dan
masyarakat jika mengacu pada peran Gereja dalam mewujudkan nilai-nilai
Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (GS 45), yaitu dengan berkontribusi bagi
masyarakat, bangsa, dan negara. Hal yang perlu diperhatikan yaitu, bagaimana
melalui realitas kebangsaan katekese tidak mengabaikan subjek lainnya yaitu
inisiatif Allah sendiri yang mengundang manusia menjalin relasi yang intim
dengan-Nya. Begitu juga dengan objek formalnya yaitu pendidikan dan
komunikasi iman bagaimana menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia sebagai
usaha untuk mewujudkan Kerajaan Allah.
Karenanya sebaiknya, katekese tidak boleh terlalu menekankan subjek
manusia sehingga mengabaikan Allah, dan sebaliknya tidak boleh terlalu
menekankan Allah sehingga tidak menyentuh realitas kehidupan konkret manusia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Singkatnya, katekese harus setia kepada Allah sekaligus setia kepada manusia.
Katekese yaitu mewartakan Sabda Tuhan yang selalu berinkarnasi dalam
kehidupan manusia dalam bentuk dan bidang apa pun secara konkret (Rukiyanto,
2016: 73-74).
2. Mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di dunia
Datangnya Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia dan terwujudnya
keselamatan segenap bangsa manusia adalah tujuan dari seluruh tugas dan
perutusan Gereja selama peziarahannya di dunia (GS 45). Untuk itulah Gereja
dengan seluruh karyanya perlu terlibat secara penuh mengusahakan terjadinya
kesejahteraan umum bagi segenap umat manusia sehingga Kerajaan Allah dapat
terwujud secara konkret di dunia (GS 73). Keterlibatan tersebut ditunjukkan oleh
Gereja dengan mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum dan
mengembangkan diri di bawah pemerintahan manapun yang mengakui hak-hak
asasi manusia serta berbagai kebutuhan akan kesejahteraan umum (GS 42).
Tepatlah jika Groome (2011: 24) berpendapat bahwa tolok ukur utama yang
menentukan keberhasilan sebuah katekese yakni terwujudnya nilai-nilai Kerajaan
Allah di tengah kehidupan manusia. Katekese Kebangsaan adalah salah satu
upaya Gereja dalam mengajak seluruh anggotanya untuk turut terlibat aktif dalam
seluruh kegiatan kemasyarakatan demi tercapainya tujuan tersebut. Jika Katekese
Kebangsaan dipetakan, maka dapat digolongkan dalam Katekese Transformasi
Sosial, yakni katekese yang bersifat inkulturatif, inklusif, dan pluralis, serta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
bertujuan untuk mewujudkan transformasi sosial demi melayani Kerajaan Allah
(Schipani, 1997: 25-26).
Katekese Transformasi Sosial bermula dari pengamatan Daniel Schipani
yang mengeksplorasi transformasi sosial sebagai bingkai dari pendidikan agama
(Seymour, 1997: 19). Daniel Schipani (1997: 25) melihat bentuk rekonsiliasi
rasial yang dialami oleh Gereja Reba Place pada 1991 telah menunjukkan bahwa
relasi pertemanan atau kekeluargaan melampaui batas-batas perbedaan yang ada.
Hal ini menunjukkan tantangan dan peluang untuk merintis suatu pendidikan iman
yang memberi dampak perubahan baik secara personal maupun sosial, menyadari
bahwa keanekaragaman warga jemaatnya justru merupakan anugerah yang
diberikan Tuhan untuk bersatu memeperjuangkan terwujudnya Kerajaan Allah di
tengah-tengah hidup mereka.
Langkah-langkah dalam Katekese Transformasi Sosial meliputi tiga aspek
yakni seeing (melihat), judging (menafsirkan), dan acting (bertindak). Seeing
yaitu berusaha menyimak dan memahami realita konkret yang dialami umat,
menganalisisnya, dan dengan itu diharapkan sampai pada beberapa keprihatinan
dasar (Schipani, 1997: 33). Judging berarti berusaha menemukan kehendak Allah
di dalam kenyataan yang konkret dengan cara menafsirkan Kitab Suci dan
Dokumen Gereja, yaitu Sabda Allah menurut keprihatinan mendasar yang
ditemukan dari analisis kita terhadap kenyataan konkret (Schipani, 1997: 33-34).
Acting berarti melakukan tindakan konkret selanjutnya sebagai tanggapan setelah
mempertemukan sintesis antara realita konkret dengan tafsiran Sabda Allah sesuai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
realita tersebut (Schipani, 1997: 34). Langkah lain tetapi serupa yang dapat
diambil yaitu menggunakan cara going dan seeing (pergi melihat) serta welcoming
(mengundang mereka datang) (Schipani, 1997: 37).
Dalam tujuannya mewujudnyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-
tengah dunia, Katekese Kebangsaan dapat menggunakan langkah-langkah tersebut
sehingga semakin dapat menumbuhkembangkan iman umat untuk semakin
terlibat dalam kehidupan menggereja dan memasyarakat. Groome (2011: 26)
menyatakan bahwa iman yang utuh yakni mencakup aspek kognitif (head), afektif
(heart), dan psikomotoris (hands). Hal ini berarti seseorang yang beriman secara
utuh sungguh mengasihi Allah dan sesama secara total dengan seluruh akal budi,
hati, jiwa, dan juga segenap kekuatan (Mrk 12:33). Dengan begitu maka Katekese
Kebangsaan dapat menggerakan semangat umat sehingga mencapai kepenuhan
imannya demi mewujudnyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-tengah
dunia.
3. Sebagai kebutuhan umat di masa kini
Bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai persoalan yang menguras
banyak energi, menjadi beban berat pembangunan, dan menghambat kemajuan di
berbagai bidang kehidupan. Kondisi persatuan dan kesatuan sebagai bangsa
beberapa tahun terakhir ini cukup mengkhawatirkan karena terkoyaknya
kerukunan dan toleransi antarumat beragama (Nota Pastoral KWI 2018 No 5). Hal
ini dapat memicu sikap saling curiga, berprasangka buruk, dan intoleransi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
semakin melemahkan semangat kebangsaan. Persoalan intoleransi ini merembet
sampai pada radikalisme. Maraknya radikalisme yang disertai kekerasan
menunjukkan penolakan terhadap Pancasila, serta memanfaatkan isu
ketidakadilan, kemiskinan, keterbelakangan dan pengangguran sebagai pintu
masuk memprovokasi masyarakat (Nota Pastoral KWI 2018 No 5).
Terjadinya intoleransi atau radikalisme beragama salah satunya
disebabkan oleh kesalahan berpikir dalam memahami dan memaknai teks/ajaran
agama dan ayat-ayat Kitab Sucinya, sebab umat beragama apa pun jika
memahami teks atau pesan agama dan Kitab Suci secara tekstualis, maka akan
mudah melahirkan sikap dan perilaku intoleran atau radikalisme agama (Nota
Pastoral KAS 2018: 26). Manusia kehilangan relasi pribadi yang akrab dengan
Tuhan mengakibatkan tumpulnya hati nurani, sehingga penghayatan terhadap
ajaran iman dan agama menjadi sebatas ketaatan pada peraturan semata (DFI 19).
Pemerintah dan masyarakat seharusnya memahami dan melaksanakan
Ketetapan MPR No. V Tahun 2000 Tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Nasional yakni menyadarkan bahwa NKRI mempunyai ciri khas, yaitu
kebinekaan suku, kebudayaan, dan agama yang dipersatukan oleh tekad: satu
tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan, yaitu Indonesia, serta dialaskan
pada Pancasila sebagai dasar negara (Nota Pastoral KAS 2018: 19). Di tengah
bangsa yang majemuk, Sabda Tuhan menjadi pendorong dan penyemangat bagi
Gereja untuk menjadi garam dan terang, menghasilkan buah, menjadi pelopor
perdamaian dan kerukunan serta hidup atas dasar nilai-nilai Kerajaan Allah (Nota
Pastoral KWI 2018 No 14).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Bagi Indonesia, Pancasila tidak hanya sekedar dasar ideologis, tetapi cara
hidup dan sumber dari segala sumber hukum, serta nilai-nilai dasar dari kehidupan
Indonesia. Oleh karena itu memperjuangkan nilai Pancasila demi mencapai cita-
cita dan tujuan negara merupakan dimensi hakiki dari iman Kristiani (Nota
Pastoral KWI 2018 No 22). Maka warga Gereja penting menghidupi secara
konkret dari nilai-nilai Pancasila dan UUD ‘45 dengan cara terlibat aktif dalam
kegiatan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Berangkat dari situasi tersebut, Katekese Kebangsaan hendaknya
membantu umat untuk mengalami Allah yang inkarnatoris dan turut melibatkan
diri di dalam-Nya sehingga mampu mendorong transformasi hidup berbangsa dan
bernegara dengan menghayati nilai-nilai luhur dan cita-cita yang terwujud dalam
Pancasila dan UUD ‘45 secara konsisten dan total. Katekese Kebangsaan
merupakan konsekuensi logis dan konstitutif dari iman kita akan inkarnasi Allah.
Katekese Kebangsaan kemudian menjadi sarana bagi Gereja untuk menguatkan
basis sosial agar kembali pada nilai-nilai Pancasila yang mengajarkan kebaikan,
kemanusiaan, kerukunan, kerjasama, dan keadilan kepada umat. Katekese
Kebangsaan diharapkan menciptakan situasi yang memerdekakan yakni seluruh
prosesnya dibangun atas dasar kebutuhan bersama seluruh umat di mana setiap
orang bebas menyuarakan pendapatnya tanpa tekanan dari pihak manapun.
C. Penerapan Katekese Kebangsaan di Indonesia
Dasar keterlibatan Gereja di dalam dunia mengenai masalah sosial
diletakkan pada keteladanan terhadap Yesus Kristus yang mewartakan pertobatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
dan sekaligus memberikan perhatian kepada orang-orang yang terpinggirkan (lih.
Luk 14: 12-14). Karena itu Gereja melibatkan diri dengan masalah dunia sebagai
usaha untuk mewujudkan iman dan panggilannya dalam memperjuangkan
keadilan yang berdasarkan cinta kasih (Mali, 2014: 139).
Katekese kebangsaan diawali dengan perjumpaan dengan Allah yang
inkarnatoris, yang mau terjun dalam karut marut kehidupan dunia dan memilih
untuk ikut terlibat dalam masyarakat dengan rasa nasionalitas untuk menciptakan
kehidupan yang utuh (lih. EG 11). Allah tidak tinggal diam atas manusia yang
sedang berjerih payah menghadapi karut marut dunia, agar manusia tidak
kehilangan iman, harapan dan kasih. Maka titik tolak dari Katekese Kebangsaan
itu bukan pada pewartaan nilai-nilai Pancasila namun pada pribadi Allah yang
inkarnatoris tersebut.
Dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila, menggambarkan prinsip-prinsip
yang sesuai dengan ajaran Gereja dengan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyatnya (Suharyo, 2009: 53). Dengan menerima Pancasila, umat Katolik
tidak merasa menerima tambahan beban, melainkan tambahan dukungan dan
bantuan dari NKRI, sebab Pancasila mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang
luhur, yang digali dari budaya dan sejarah bangsa Indonesia sendiri, yang juga
dijunjung tinggi dalam ajaran-ajaran Gereja (Suharyo, 2009: 53). Tanpa Pancasila
pun, umat Katolik tetap memiliki keharusan moral untuk menghormati martabat
setiap warga bangsa Indonesia (Darmaatmadja, 2019: 64). Oleh karena itu,
membangun Indonesia sesuai dengan kehendak Allah adalah bagian dari
panggilan kita untuk menyempurnakan tata dunia (Darmaatmadja, 2019: 75).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Seorang Katolik tidak pernah bisa hidup terpisah dari konteks hidupnya,
yakni hidup bermasyarakat. Kaum awam memiliki panggilan khas untuk
menyucikan dunia (LG 33, 35). Kaum awam harus menanggung usaha
pembaharuan tertib duniawi itu sebagai kewajiban istimewa bagi mereka sendiri
(AA 7). Oleh karena itu kaum awam harus mampu menyuarakan visi hidup
bermasyarakat dan bermartabat berdasarkan iman Katolik yang benar (Mali, 2014:
155). Katekese Kebangsaan memungkinkan umat untuk tetap berpegang teguh
dalam iman dan pengharapan untuk terus berjuang membangun kehidupan yang
lebih baik, yakni terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah secara konket di tengah-
tengah dunia (Suharyo, 2009: 242).
Katekese Kebangsaan selama ini sudah berusaha berbicara bagaimana
keterlibatan Gereja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni memberikan
etika politik yang sesuai Ajaran Sosial Gereja sebagai sarana mewujudkan
kesejahteraan bersama (Suharyo, 2009: 61, 69). Katekese Kebangsaan
mengupayakan agar umat turut proaktif mewujudkan dialog kehidupan dan
tindakan nyata untuk hidup dalam semangat keterbukaan dan kerukunan hidup
bersama (Widharsana, 2018: 93). Katekese Kebangsaan membantu umat dalam
mengembangkan semangat patriotisme dan nasionalisme, berani menyuarakan
kebenaran dan keadilan dengan cara-cara yang beradab (Widharsana, 2018: 134-
135). Katekese Kebangsaan menjadi salah satu ruang bersama untuk mengajak
umat mengembangkan sikap terbuka dalam hidup beragama, memperkuat
Bhinneka Tunggal Ika, membangkitkan semangat bermusyawarah, dan
mewujudkan keadilan sosial. Dengan demikian akan semakin terlihat wujud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
keterlibatan konkret Gereja dalam kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia,
lewat paradigma yang lebih inklusif dan pluralis, yakni mampu melihat keindahan
dalam keberagaman sebagai rangka persatuan kita bersama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
BAB IV
INSPIRASI YANG DAPAT DIGALI DARI KERINDUAN TERDALAM
HATI KH ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP BANGSA INDONESIA
UNTUK MENGONSTRUKSI KATEKESE KEBANGSAAN
Katekese Kebangsaan adalah usaha, misi dan panggilan Gereja yang
melalui karya katekese dalam mengikuti perkembangan zaman. Katekese
Kebangsaan diharapkan dapat menciptakan situasi yang merdeka di mana seluruh
proses dibangun atas dasar kebutuhan kolektif, berangkat dari kesepakatan
bersama seluruh anggota umat. Katekese Kebangsaan menjadi upaya Gereja untuk
semakin melibatkan diri pada persoalan duniawi demi terciptanya kesejahteraan
umum bagi masyarakat luas. Pada akhirnya yang menjadi metapurpose dari
Katekese Kebangsaan yaitu terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-
tengah masyarakat.
Penulis dalam bab ini akan membahas inspirasi yang dapat diambil dari
sosok KH Abdurrahman Wahid dalam mengonstruksi Katekese Kebangsaan di
Indonesia. Dalam bab II penulis sudah menyampaikan sosok KH Abdurrahman
Wahid serta berbagai macam sumbangan pemikiran dan tindakan nyata beliau
yang telah dilakukan bagi negeri ini. Sedangkan dalam bab III penulis sudah
membahas pokok-pokok Katekese Kebangsaan dan bagaimana penerapannya,
khususnya di Indonesia. Maka dalam bab ini penulis akan menyampaikan
inspirasi apa saja yang ditemukan dari berbagai macam sumbangan pemikiran dan
tindakan nyata KH Abdurrahman Wahid yang dapat dipakai dalam mengonstruksi
Katekese Kebangsaan di Indonesia sehingga dapat semakin optimal dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
mencapai tujuan akhirnya yakni terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-
tengah dunia dengan masyakarat Indonesia sebagai lokusnya. Penulis juga akan
menyampaikan usulan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan untuk
mengoptimalkan praktik Katekese Kebangsaan di Indonesia dengan mengambil
inspirasi dari sosok KH Abdurrahman Wahid.
A. Nilai-nilai Inspiratif dari Sosok KH Abdurrahman Wahid
KH Abdurrahman Wahid yang lebih sering dipanggil Gus Dur merupakan
sosok yang inspiratif dalam membangun bangsa dan negara Indonesia. Semasa
hidupnya beliau berjuang demi terjalinnya relasi antarmasyarakat yang inklusif
dan pluralis di tengah kemajemukan yang ada dalam bangsa Indonesia. Bahkan
hingga sekarang berbagai sumbangan pikiran beliau dalam tulisan-tulisannya di
berbagai media masih menjadi inspirasi bagi perkembangan negara Indonesia
dalam memperjuangkan pluralitas dan inklusivitas dalam kehidupan
bermasyarakat sehari-hari. Berikut ini adalah beberapa nilai inspiratif dari sosok
KH Abdurrahman Wahid yang dapat membantu mengonstruksi Katekese
Kebangsaan di Indonesia.
1. Kemanusiaan
Visi kemanusiaan KH Abdurrahman Wahid terlihat dari bagaimana beliau
memperjuangkan HAM. Semasa hidupnya KH Abdurrahman Wahid berjuang
mengusahakan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Hal ini pernah
beliau upayakan semasa menjabat Ketua Umum PBNU yakni membangun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
gerakan ekonomi kerakyatan dengan membentuk mitra bisnis dengan Bank
Summa, yang kemudian bertransformasi menjadi Bank NU-Summa pada 1990,
untuk memberikan bantuan perkreditan bagi rakyat kecil (Wicaksana, 2018: 41).
Salah satu tindakan konkretnya yaitu pada 1991 KH Abdurrahman Wahid
membentuk Forum Demokrasi (Fordem) sebagai suatu gerakan bersama dalam
melawan pelanggaran HAM demi tegaknya demokrasi sejati di Indonesia
(Barton, 2016: 224). Kemudian ketika menjabat sebagai presiden beliau juga
sangat peduli untuk menyelesaikan konflik kemanusiaan di Papua dan Aceh
dengan mendengarkan dan menjalankan aspirasi masyarakat setempat (Ali
Masykur Musa, 2010: 130). Beberapa kebijakannya antara lain menyetujui
penyebutan Papua sebagai pengganti nama Provinsi Irian Jaya (Barton, 2016:
386), memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, asalkan
posisinya tidak lebih tinggi dari bendera nasional RI (Barton, 2016: 447), dan
membuat nota kesepahaman dengan GAM (Ali Masykur Musa, 2010: 23).
Setelah lengser dari jabatan presiden, Gus Dur masih tetap konsisten
dalam memperjuangkan visi kemanusiaannya. Pada 2002 beliau menjabat sebagai
penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (Wicaksana, 2018: 73).
Kemudian beliau juga menjadi penengah dalam kasus penutupan Sekolah Sang
Timur di Tangerang karena keberadaan sekolah tersebut dipermasalahkan oleh
kelompok Muslim radikal (metro.tempo.co/read/49828/gus-dur-kasus-sang-
timur-berbau-politik). Hal lain yang ia lakukan yaitu menjadi saksi ahli
pengadilan penghayat dari Kuningan, pasangan Gugum dan Susi, yang diadili
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
karena menikah secara adat (M Imam Aziz, 2018: 253). Berbagai tindakan KH
Abdurrahman Wahid tersebut dilakukan berdasarkan Pancasila dan UUD ‘45
yang menyatakan bahwa kepercayaan setiap warga negara itu dilindungi oleh
konstitusi (M Imam Aziz, 2018: 253).
Visi kemanusiaan ini merupakan bagian integral dalam Katekese
Kebangsaan. Dalam proses pelaksanaan katekese, pendamping dan peserta
memiliki kedudukan yang setara, semuanya berhak untuk mengungkapkan cerita,
saling berbagi pengalaman dan pengetahuan secara terbuka tanpa tekanan dari
pihak mana pun. Pengalaman masing-masing pribadi mendapatkan apresiasi
bersama dari seluruh peserta, kemudian semakin diperkaya oleh Sabda Allah dan
Ajaran-ajaran Gereja. Prinsip kesetaraan tersebut kemudian diperkembangkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih lanjut, Katekese Kebangsaan dapat menggerakkan umat untuk
peduli terhadap permasalahan kemanusiaan sebagai lokus perwujudan Kerajaan
Allah. Katekese Kebangsaan dapat menggerakkan umat untuk turut terlibat dalam
memerhatikan kesejahteraan umum sebagai perwujudan konkret nilai-nilai
Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia. Yang dimaksudkan dengan
kesejahteraan umum ialah ―keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan,
yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota
perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan
mereka sendiri‖ (GS 26). Kesejahteraan akan dapat tercapai bila kebutuhan-
kebutuhan pokok mencakup pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
dari seluruh anggota masyarakat dapat terpenuhi dengan baik. Oleh karena itu
dalam lebih memerhatikan permasalahan kemanusiaan perlu digalakkan
pemberdayaan pribadi-pribadi dengan memberikan pendampingan yang
mengasah keterampilan mereka sehingga dapat berjuang dalam menghadapi
kehidupan sehari-hari.
2. Persaudaraan
Gus Dur memberi banyak contoh lewat tindakannya yang inklusif dan
pluralis dalam mewujudkan cita-citanya agar masyarakat Indonesia hidup rukun,
toleran, dan harmonis (Sudarsono, 2003: 161). Bagi Gus Dur, toleransi berarti
tidak hanya menghargai berbagai perbedaan, tetapi juga kewajiban untuk tidak
melakukan kekerasan atas nama agama (Wicaksana, 2018: 95). Gus Dur
memandang Islam sebagai agama yang universal, sehingga kehadirannya
melampaui batas-batas perbedaan manusia. Gus Dur meyakini bahwa Islam hadir
untuk misi kemanusiaan yaitu pelayanan kepada semua orang, termasuk pada
kelompok masyarakat yang terpinggirkan (Wicaksana, 2018: 84-86).
Demi mewujudkan cita-cita terjalinnya hubungan persaudaraan yang
harmonis, Gus Dur memperlihatkan konsistensinya dalam memperjuangkan
demokrasi yang ideal. Demokrasi yang dimaksud yaitu situasi adanya berbagai
kepentingan, keyakinan, dan kebudayaan dari golongan atau kelompok yang
berbeda-beda, bahkan bisa bertentangan, tetapi seluruh golongan atau kelompok
tersebut memiliki hak yang sama untuk dipertimbangkan aspirasinya dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
mengambil keputusan politik (Ali Masykur Musa, 2010: 114-115). Hal ini beliau
buktikan pada Mei 1998 dengan mengunjungi Soeharto yang waktu itu dianggap
sebagai musuh reformasi. Dengan kunjungan tersebut, Gus Dur berpotensi
kehilangan popularitas dan dukungan massa karena dianggap berpihak pada
Soeharto, walaupun beliau juga diketahui sering mengkritik Pemerintahan Orde
Baru dan mendukung terjadinya reformasi. Namun Gus Dur menegaskan bahwa
permusuhan dirinya dengan Soeharto adalah soal pemikiran bukan soal pribadi,
maka demi menjaga keutuhan bangsa beliau berani mempertaruhkan apapun
untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh rakyat yang terlampau larut
dalam emosi dan kebencian (Wicaksana, 2018: 58-59).
Dalam kenyataannya, Gus Dur memang dikenal sebagai pribadi yang
bergaul dengan banyak orang dari berbagai macam suku, agama, ras, dan
golongan (Ari Subagyo, 2012: 53). Ia tidak canggung untuk turun menjumpai
masyarakat dari golongan terbawah sekalipun. Beliau juga tidak segan untuk
mendiskusikan berbagai macam persoalan agama, budaya, sosial, politik, dan
semacamnya dengan orang-orang yang beragam latar belakangnya. Hal ini
terlihat dari keterlibatannya dalam berbagai organisasi pluralis, antara lain
Fordem, DIAN/Interfidei, dan Shimon Peres Foundation. Melalui berbagai
macam kegiatan tersebut Gus Dur secara nyata menjalin hubungan persaudaraan
bersama masyarakat yang beraneka ragam secara harmonis.
Hubungan persaudaraan yang hamonis ini berlaku dalam praktik Katekese
Kebangsaan. Setiap orang dari berbagai latar belakang disambut dan diterima
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
dalam proses katekese. Berbagai keanekaragaman yang ada dilihat sebagai
keunikan tersendiri yang dimiliki oleh masing-masing pribadi dan bukanlah
sebagai penghalang untuk menjalin hubungan persaudaraan yang harmonis.
Dalam praktik hidup sehari-hari, kemudian umat diajak untuk
memperlakukan secara setara setiap pribadi yang ia jumpai, melihat
kenanekaragaman sebagai bentuk keunikan tersendiri yang perlu dihargai.
Dengan begitu Katekese Kebangsaan menjadi salah satu ruang bersama untuk
mengajak umat mengembangkan sikap terbuka dalam hidup beragama,
memperkuat Bhinneka Tunggal Ika, membangkitkan semangat bermusyawarah,
dan mewujudkan keadilan sosial. Setiap orang bersama-sama diajak untuk turut
proaktif mewujudkan dialog kehidupan dan tindakan nyata untuk hidup dalam
semangat keterbukaan dan kerukunan hidup bersama.
3. Kebangsaan
Visi Kebangsaan lahir dari hasil pergulatan dan refleksi pengalaman
pribadi seorang KH Abdurrahman Wahid tentang keberadaan dirinya sebagai
umat dan pemimpin agama Islam sekaligus sebagai warga negara Indonesia (Ari
Subagyo, 2012: 21). Gus Dur melihat bahwa dalam kehidupan sehari-hari, urusan
keagamaan dengan hal ikhwal kebangsaan bukanlah sesuatu yang tumpang
tindih, melainkan dapat disinkronisasikan menjadi sebuah harmoni yang luwes
dan indah (Parera & Koekerits, 1999: 22).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Visi kebangsaan Gus Dur tampak jelas ketika beliau menjadi sosok yang
mendorong agar NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada Munas NU di
Situbondo pada 1984 (Barton, 2016: 163-167). Bagi Gus Dur, demi membangun
negara demokratis yang berdasarkan Pancasila, maka NU harus selalu berada ―di
tengah‖ dengan mengembangkan prinsip moderat sehingga mampu menjalankan
peran sebagai ―jangkar kestabilan politik‖ (Trisno S Sutanto, 2018: 222). Bagi
KH Abdurrahman Wahid, Pancasila adalah seperangkat gagasan tentang negara
yang harus kita miliki dan perjuangkan selamanya, sebab tanpa Pancasila negara
Indonesia akan bubar. Bahkan dalam upaya mencapai negara ideal Pancasila
yang dapat mewujudkan keadilan sosial, Gus Dur dengan berani menyatakan siap
mempertaruhkan nyawanya untuk membela Pancasila, termasuk berhadapan
dengan angkatan bersenjata dan umat Islam, apabila mereka memanipulasi
Pancasila (Nur Khalik Ridwan, 2018: 69, 71).
Dari berbagai ulasan tersebut terungkaplah bahwa KH Abdurrahman
Wahid mampu mengintegrasikan panggilan keagamaan dan pergulatan
kebangsaan, sanggup menjadi tokoh agama sekaligus tokoh bangsa. Gus Dur
berpegang teguh kepada Pancasila dan UUD ‘45 sebagai acuan hidup bernegara
di Indonesia. Gus Dur meyakini bahwa kepercayaan setiap warga negara itu
dilindungi oleh konstitusi (M Imam Aziz, 2018: 253). Gus Dur mengedepankan
demokrasi sebagai upaya mewujudkan hubungan yang harmonis bagi
kemajemukan yang ada di Indonesia ini. Gus Dur melihat bahwa kemajemukan
yang ada dapat dipersatukan dalam suatu ikatan kebangsaan, di mana demokrasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
menjadi wadahnya, serta Pancasila dan UUD ‘45 sebagai acuan dan pedoman
dalam menjalankannya.
Visi Kebangsaan ini tentu menjadi poin penting di dalam Katekese
Kebangsaan. Katekese Kebangsaan berusaha menyeleraskan antara semangat
discipleship dengan citizenship. Murid Kristus yang memiliki rasa tanggung
jawab sebaiknya tertarik untuk meningkatkan kesadaran moral dalam masyarakat.
Konsensus antara keduanya akan mampu mengatasi konflik moral dan sosial
tersebut, menjawab tantangan zaman, dan meningkatkan kesadaran akan
kehidupan bersama.
Oleh karena itu melalui Katekese Kebangsaan umat diharapkan dapat
semakin terlibat dalam masyarakat demi semakin terwujudnya Kerajaan Allah di
tengah-tengah dunia. Dengan demikian Katekese Kebangsaan memiliki sifat
regnosentris yakni berpusat pada Kerajaan Allah dengan realitas kebangsaan
manusia Indonesia sebagai lokusnya. Katekese Kebangsaan diharapkan dapat
semakin setia kepada Allah dan setia kepada manusia. Katekese Kebangsaan
diharapkan mampu untuk mewartakan Sabda Allah yang hidup sekaligus mampu
mengajak warga Gereja untuk terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan dan
kenegaraan sebagai penghidupan secara konkret dari nilai-nilai Pancasila dan
UUD ‘45.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
4. Kesederhanaan
KH Abdurrahman Wahid memberikan inspirasi bahwa pemimpin
seyogianya sederhana dan peduli. Padahal bisa saja Gus Dur menjadi pribadi
yang sombong dan arogan karena ia merupakan keturunan dari tiga tokoh besar,
yakni KH Hasyim Asyari, KH Bisri Syansuri, dan KH Wahid Hasyim. Namun
Gus Dur tetap berperilaku sederhana dan ramah kepada siapa saja.
Kesederhanaan Gus Dur muncul dari pendidikan keluarganya yang mengajarkan
untuk memandang setiap orang setara dan tidak berperilaku sombong.
Pengalaman studinya di pesantren, di luar negeri, dan bertemu banyak orang dari
berbagai kalangan juga membuat beliau semakin berperilaku sederhana dan
peduli kepada siapa saja.
Kesederhanaan Gus Dur juga terlihat dari penampilan dalam hidup
sehari-harinya, tidak menggunakan pakaian ―Islami‖ seperti jubah gamis dan
surban, lebih memilih berpakaian biasa saja (Wicaksana, 2018: 87). Dalam
mengatasi ekonomi keluarga, Gus Dur juga tidak segan untuk berjualan es lilin
dan kacang goreng, walaupun beliau sudah dikenal sebagai seorang kiai yang
mengajar di beberapa pesantren (Wicaksana, 2018: 27). Begitu juga
kesederhanaan Gus Dur tercermin dari pola pikirnya yakni berusaha menjelaskan
persoalan yang rumit dengan cara yang sederhana agar dapat dipahami oleh
khalayak.
Ucapan yang terkenal dari beliau, ―Gitu aja kok repot!‖, menandakan
kesederhanaan Gus Dur dalam melihat bahwa segala persoalan pasti bisa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
ditangani dan ada jalan keluarnya, namun bukan berarti menggampangkan semua
persoalan (Ari Subagyo, 2012: 50-51). Ungkapan ini muncul karena keprihatinan
Gus Dur terkait pelayanan birokrasi yang sesungguhnya sederhana namun
menjadi sulit karena memang dibuat sulit. Hal ini kemudian ia realisasikan ketika
menjabat sebagai Presiden RI dengan membubarkan Departemen Sosial dan
Departemen Penerangan yang dinilai tidak berfungsi secara efektif selama
Pemerintahan Orde Baru (Ali Masykur Musa, 2010: 23).
Selama menjabat presiden, Gus Dur juga masih menjadi sosok yang
rendah hati dan sederhana. Sebisa mungkin ia memilih untuk menanggalkan
simbol-simbol penguasa, fasilitas pengawalan presiden, dan menjaga jarak
dengan publikasi ketika menghadiri berbagai macam acara (Wicaksana, 2018:
104-105). Bentuk kesederhanaan beliau yaitu tidak memikirkan materi yang
berlebihan, tetap menerima apa adanya, serta teguh pada pendiriannya dalam
memperjuangkan kebenaran (Wicaksana, 2018: 79).
Bersikap sederhana tentu dibutuhkan dalam Katekese Kebangsaan. Gereja
selayaknya meneladani Allah sendiri yang dengan rendah hati berinisiatif
bergerak menuju manusia, dan turut terlibat dalam persoalan duniawi. Oleh
karena itu Gereja sepatutnya bertindak penuh dengan kasih, rendah hati dan tidak
memegahkan diri (1Kor 13:4).
Aspek kesederhanaan jelas bertentangan dengan kesombongan,
ketamakan, dan keserakahan. Lebih jauh lagi yaitu bagaimana kesederhanaan
menjadi counter culture terhadap budaya koruptif yang sedang melanda negeri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
ini. Katekese Kebangsaan diharapkan dapat menuntun umat untuk bersikap
sederhana dalam kehidupan sehari-hari dengan berusaha meneladani
kesederhanaan yang dicontohkan Allah dalam pribadi Yesus Kristus. Melalui
kesederhanaan, Gereja akan lebih mudah diterima dan membaur dengan
masyarakat luas.
B. Usulan Kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan
1. Latar belakang kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan
Gereja sebagai institusi agama di tengah-tengah masyarakat juga memiliki
peran untuk mendidik umat. Salah satu upaya Gereja dalam mendidik umat demi
pertumbuhan iman, serta rasa toleransi dan inklusivitas yaitu melalui katekese.
Marinus Telaumbanua (1999: 5) merumuskan katekese sebagai ―usaha-usaha
Gereja dalam membantu umat semakin memahami, menghayati, dan
mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari‖. Katekese perlu diadakan
sebagai sarana bagi umat untuk memperdalam dan memperkembangkan imannya
agar merasa semakin mantap sebagai pengikut Kristus.
Penulis melihat perlunya pemahaman bahwa katekese masih lebih-lebih
berorientasi dengan keselamatan surgawi, tetapi bagaimana mewujudkan nilai-
nilai Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (GS 45), dengan berkontribusi bagi
masyarakat, bangsa, dan negara. Katekese Kebangsaan dapat diselenggarakan
dalam rangka mewujudkan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia dengan terlibat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mewujudkan cita-cita kemerdekaan
sekaligus merupakan perwujudan iman dalam menanggapi tanda-tanda zaman.
Melalui Katekese Kebangsaan, Gereja dapat turut beperan menanamkan
rasa cinta tanah air dan mencegah tindakan-tindakan kekerasan yang mengarah
pada intoleransi tersebut. Gereja dapat berperan langsung dalam mencerdaskan
kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, menanamkan nilai-nilai moral
yang menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi rasa persatuan Indonesia.
Katekese Kebangsaan kemudian menjadi sarana bagi Gereja untuk
menguatkan basis sosial agar kembali pada nilai-nilai Pancasila yang
mengajarkan kebaikan, kemanusiaan, kerukunan, kerjasama dan keadilan kepada
umat. Katekese Kebangsaan diharapkan menciptakan situasi yang merdeka yakni
seluruh prosesnya dibangun atas dasar kebutuhan kolektif, berangkat dari
kesepakatan bersama seluruh anggota umat.
Katekese Kebangsaan menjadi salah satu ruang bersama untuk mengajak
umat mengembangkan sikap terbuka dalam hidup beragama, memperkuat
Bhinneka Tunggal Ika, membangkitkan semangat bermusyawarah, dan
mewujudkan keadilan sosial. Dengan demikian akan semakin terlihat wujud
keterlibatan konkret Gereja dalam kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia,
lewat paradigma yang lebih inklusif dan pluralis, yakni mampu melihat
keindahan dalam keberagaman sebagai rangka persatuan kita bersama.
Salah satu pribadi yang sungguh-sungguh religius sekaligus nasionalis
yaitu sosok KH Abdurrahman Wahid yang kerap disapa dengan panggilan Gus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Dur. Beliau adalah seorang pemuka agama Islam yang pernah menjabat sebagai
Ketua Umum PBNU dalam tiga kali masa jabatan (1984-1999) dan terpilih
menjadi Presiden NKRI yang keempat pada periode 1999-2001. Setelah tidak
menjabat presiden pun beliau masih tetap aktif terlibat dalam berbagai kegiatan
kemanusiaan.
Banyak hal yang telah beliau lakukan semasa hidupnya dalam kehidupan
beragama dan bernegara. Beberapa hal yang pernah beliau lakukan yaitu
mendorong NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal, membentuk Fordem
sebagai usaha penegakkan demokrasi sejati di Indonesia, menengahi penyelesaian
konflik di Aceh dan Papua, hingga menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari
libur fakultatif. Beliau juga tidak membatasi pergaulannya, ia mau berteman
dengan siapa saja dari berbagai kalangan tanpa kecuali. Beliau juga menjalani
kehidupannya secara sederhana, namun tetap setia dan berani memperjuangkan
kebenaran.
Cita-cita Gus Dur dari dasar hatinya yakni menginginkan sebuah bentuk
pemerintahan yang didasarkan pada Pancasila yakni masyarakat Indonesia yang
rukun, toleran, harmonis, sejahtera, aman, tenang, dan tertib (Sudarsono, 2003:
161). Cita-cita beliau belum sepenuhnya terwujud, namun berbagai macam
sumbangan pemikirannya sampai hari ini masih digunakan oleh generasi penerus
dalam rangka mewujudkan demokrasi Pancasila yang sejati di negara Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
2. Tujuan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan
Berdasarkan latar belakang situasi dan alasan pemilihan, maka tujuan
diadakannya Lokakarya Katekese Kebangsaan adalah sebagai berikut.
a. Menggali inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid mengenai bagaimana
menyeimbangkan antara hidup beragama dan bernegara di Indonesia.
b. Membangun dan menjalin harmonisasi hubungan persaudaraan lebih dekat
dengan berbagai pihak dalam keberagaman agama di Indonesia.
3. Gambaran pelaksanaan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan
Kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ini akan dilaksanakan pada
Sabtu, 16 November 2019. Kegiatan ini akan bertempat di Pusat Pastoral Sanjaya
Muntilan, Jawa Tengah, Indonesia. Lokakarya Katekese Kebangsaan ini bertajuk
―Menggali Inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid dalam Praktik Katekese
Kebangsaan‖. Lokakarya Katekese Kebangsaan ini diselenggarakan oleh Komisi
Kateketik Keuskupan Agung Semarang bekerja sama dengan Komunitas
Gusdurian. Lokakarya Katekese Kebangsaan ini ditujukan kepada para katekis
dari berbagai kevikepan di Keuskupan Agung Semarang dengan dikenakan biaya
kontribusi Rp 100.000,- per orang. Lokakarya Katekese Kebangsaan ini akan
mengundang beberapa pembicara yang cukup andal di bidangnya, terutama
seputar inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid dan praktik Katekese Kebangsaan
di Indonesia. Pembicara yang dapat diundang antara lain Bapak Hairus Salim dari
Komunitas Gusdurian dan Bapak Purwono dari Komisi Kateketik Regio Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Dalam kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ini juga turut mengundang
berbagai pihak dari masing-masing agama sehingga dapat semakin merekatkan
hubungan dalam keberagaman secara harmonis di Indonesia.
4. Pemilihan materi kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan
Lokakarya Katekese Kebangsaan ini mengambil inspirasi dari sosok KH
Abdurrahman Wahid, mulai dari riwayat hidup, berbagai tulisan pemikiran,
hingga tindakan-tindakan konkret terkait kehidupan beragama dan bernegara.
Kegiatan ini juga terkait dengan praktik pelaksanaan Katekese Kebangsaan di
masa sekarang. Diharapkan melalui Lokakarya Katekese Kebangsaan ini para
katekis dapat menimba inspirasi dari kerinduan terdalam hati KH Abdurrahman
Wahid sehingga dapat membantu memperkembangkan praktik pelaksanaan
Katekese Kebangsaan di Indonesia untuk semakin mengantarkan umat
menghayati imannya dengan turut terlibat secara seimbang dalam kegiatan Gereja
dan masyarakat.
Maka usulan materi Lokakarya Katekese Kebangsaan ini adalah sebagai
berikut.
Tema Umum : Menggali Inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid dalam
Praktik Katekese Kebangsaan.
Tujuan : Menggali inspirasi dari kerinduan terdalam hati KH
Abdurrahman Wahid sehingga dapat membantu
memperkembangkan praktik pelaksanaan Katekese
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Kebangsaan di Indonesia untuk semakin mengantarkan umat
menghayati imannya dengan turut terlibat secara seimbang
dalam kegiatan Gereja dan masyarakat.
Untuk mencapai tema dan tujuan di atas, Lokakarya Katekese Kebangsaan
ini akan diperinci melalui sub-sub tema sebagai berikut.
Sub Tema 1 : Penjajakan Katekese Kebangsaan.
Tujuan : Menemukan simpul-simpul mengenai Katekese Kebangsaan.
Sub Tema 2 : Sosok KH Abdurrahman Wahid.
Tujuan : Menemukan inspirasi dari sosok KH Abdurrahman Wahid
terkait bagaimana hidup beragama dan bernegara.
Sub Tema 3 : Harmonisasi persaudaraan dalam keberagaman.
Tujuan : Membina hubungan persaudaraan lebih dekat dengan
berbagai pihak dalam keberagaman agama di Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
5. Matriks kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan
Tema Umum : Menggali Inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid dalam Praktik Katekese Kebangsaan.
Tujuan : Menggali inspirasi dari kerinduan terdalam hati KH Abdurrahman Wahid sehingga dapat membantu
memperkembangkan praktik pelaksanaan Katekese Kebangsaan di Indonesia untuk semakin mengantarkan umat
menghayati imannya dengan turut terlibat secara seimbang dalam kegiatan Gereja dan masyarakat.
Waktu : Sabtu, 16 November 2019.
Tempat : Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan, Jawa Tengah.
No Waktu Judul
Pertemuan
Tujuan
Pertemuan
Uraian Materi Metode Sarana Sumber Bahan
1 09.00 – 09.15
WIB
Pembuka. Mengetahui
arah dan tujuan
pertemuan.
Sambutan, penjelasan
tema dan tujuan
pertemuan.
Berdoa.
Informasi.
Mic,
Speaker.
Doa pembuka.
Tema dan tujuan
pertemuan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
No Waktu Judul
Pertemuan
Tujuan
Pertemuan
Uraian Materi Metode Sarana Sumber Bahan
2 09.15 – 10.15
WIB
Sesi I:
Penjajakan
Katekese
Kebangsaan.
Menemukan
simpul-simpul
mengenai
Katekese
Kebangsaan.
Pokok-pokok
Katekese
Kebangsaan.
Katekese
Kebangsaan menurut
Gereja.
Informasi.
Tanya
jawab.
Sharing.
Diskusi.
Mic,
Speaker,
Viewer,
dan
Laptop.
Pengalaman
Peserta.
Yohanes Paulus II.
(1992). Catechesi
Tradendae. Jakarta:
KWI.
Nota Pastoral KWI
2018.
Pembicara: Bapak
Thomas Aquino
Purwono NA.
3 10.15 – 11.35
WIB
Sesi II: Sosok
KH
Abdurrahman
Menemukan
inspirasi dari
sosok KH
Biografi singkat Gus
Dur.
Cita-cita Gus Dur
terhadap Bangsa
Indonesia.
Informasi.
Tanya
jawab.
Sharing.
Diskusi.
Mic,
Speaker,
Viewer,
dan
Laptop.
Pengalaman
peserta.
Ali Masykur Musa.
(2010). Pemikiran
dan Sikap Politik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
No Waktu Judul
Pertemuan
Tujuan
Pertemuan
Uraian Materi Metode Sarana Sumber Bahan
Wahid. Abdurrahman
Wahid terkait
bagaimana
hidup
beragama dan
bernegara.
Berbagai Pemikiran
Gus Dur dalam
kehidupan beragama
dan bernegara.
Tindakan konkret
Gus Dur selama
hidupnya.
Gus Dur. Jakarta:
Erlangga.
Barton, Greg.
(2016). Biografi
Gus Dur.
Yogyakarta: Saufa.
Pembicara: Bapak
Hairus Salim HS.
4 11.35 – 12.05
WIB
Makan Siang
5 12.05 – 13.05
WIB
Sesi III:
Harmonisasi
persaudaraan
dalam
Membina
hubungan
persaudaraan
lebih dekat
Menghayati
Semboyan ―Bhinekka
Tunggal Ika‖.
Informasi.
Tanya
jawab.
Sharing.
Diskusi.
Mic,
Speaker,
Viewer,
dan
Laptop.
Pengalaman
peserta.
Darmaatmadja,
Yulius. (2019).
Umat Katolik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
No Waktu Judul
Pertemuan
Tujuan
Pertemuan
Uraian Materi Metode Sarana Sumber Bahan
keberagaman. dengan
berbagai pihak
dalam
keberagaman
agama di
Indonesia.
Dipanggil
Membangun NKRI.
Yogyakarta:
Kanisius.
Mali, Mateus.
(2014). Konsep
Berpolitik Orang
Kristiani.
Yogyakarta:
Kanisius.
6 13.05 – 13.20
WIB
Rangkuman
dan Penutup.
Merangkum
dan menutup
acara.
Rangkuman jalannya
pertemuan.
Harapan dan tindak
lanjut untuk ke
depannya.
Informasi.
Berdoa.
Mic,
Speaker.
Rangkuman acara.
Harapan peserta.
Doa penutup.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
6. Contoh persiapan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan
a. Tema : Sosok KH Abdurrahman Wahid.
b. Tujuan : Menemukan inspirasi dari sosok KH Abdurrahman
Wahid terkait bagaimana hidup beragama dan
bernegara.
c. Materi : Biografi singkat Gus Dur.
Cita-cita Gus Dur terhadap Bangsa Indonesia.
Berbagai Pemikiran Gus Dur dalam kehidupan
beragama dan bernegara.
Tindakan konkret Gus Dur selama hidupnya.
d. Metode : Informasi, tanya jawab, sharing, dan diskusi.
e. Sumber Bahan : Pengalaman peserta.
Ali Masykur Musa. (2010). Pemikiran dan Sikap
Politik Gus Dur. Jakarta: Erlangga.
Barton, Greg. (2016). Biografi Gus Dur. Yogyakarta:
Saufa.
Narasumber: Bapak Hairus Salim HS dari Komunitas
Gusdurian
f. Sarana : Mic, Speaker, Viewer, dan Laptop.
g. Pemikiran Dasar :
Dewasa ini sering kita jumpai berbagai perlakuan diskriminatif, serta
memudarnya rasa nasionalisme dan kepemilikan terhadap bangsa dan negara
Indonesia dalam diri masyarakat. Perlu ada penyelesaian atau solusi agar berbagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
tindakan intoleransi tidak semakin menjadi-jadi. Sesegera mungkin kita
merumuskan langkah-langkah konkret dan tepat sasaran, tidak menunda-nunda
lagi untuk menghidupkan nilai-nilai kebinekaaan dan toleransi. Hal ini
membutuhkan peran kita bersama sebagai warga masyarakat yang peduli akan
getaran-getaran kebersamaan, pluralitas, dan kegotongroyongan. Perlu ada kerja
sama antarlini kemasyarakatan, seperti halnya organisasi atau tokoh-tokoh
keagamaan dan kemasyarakatan dalam memupuk dan menumbuhkan semangat
toleransi, nilai-nilai kemanusiaan, kepekaan sosial, dan penghargaan pada
keanekaragaman. Ucapan dan tindakan para tokoh tersebut, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat menjadi teladan bagi kita dalam bertindak di
kehidupan sehari-hari.
Salah satu sosok inspiratif dalam menjadi pribadi yang sungguh-sungguh
religius sekaligus nasionalis adalah KH Abdurrahman Wahid. Beliau lebih kerap
disapa dengan panggilan Gus Dur. Beliau adalah seorang pemuka agama Islam
yang pernah menjabat sebagai ketua umum dalam kepengurusan besar organisasi
Nahdlatul Ulama (NU) dalam tiga kali masa jabatan (1984-1999) dan terpilih
menjadi Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang keempat
periode 1999-2001. Banyak hal yang telah beliau lakukan semasa hidupnya dalam
kehidupan beragama dan bernegara. Beliau juga tidak membatasi pergaulannya, ia
mau berteman dengan siapa saja dari berbagai kalangan tanpa kecuali. Beliau juga
menjalani kehidupannya secara sederhana, namun tetap setia dan berani
memperjuangkan kebenaran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Maka dari itu pada pertemuan ini kita bersama-sama mencari dan
menemukan berbagai macam inspirasi dari sosok KH Abdurrahman Wahid terkait
bagaimana hidup beragama dan bernegara. Diharapkan selepas pertemuan ini
masyarakat dapat menjalin kehidupan beragama dan bernegara secara harmonis
dan saling menghargai keberagaman yang ada sebagai keunikan dari pribadi
masing-masing.
h. Pengembangan Langkah-Langkah:
1) Pengantar
Bapak, Ibu, dan Saudara-saudari terkasih, dewasa ini situasi negara kita begitu
memprihatinkan sebab memudarnya rasa nasionalisme dalam diri masyarakat.
Perlu ada tindak lanjut dalam menyikapi keprihatinan tersebut agar kerukunan dan
persatuan dapat terjalin. Hal ini membutuhkan peran kita bersama sebagai warga
masyarakat Pada kesempatan ini kita bersama-sama akan mencari dan
menemukan berbagai macam inspirasi dari sosok KH Abdurrahman Wahid terkait
bagaimana hidup beragama dan bernegara sebagai upaya mengatasi keprihatinan-
keprihatinan tersebut.
2) Penyajian Materi
Materi yang disajikan adalah seputar biografi singkat KH Abdurrahman
Wahid, cita-cita dan harapan beliau terhadap Indonesia yang lebih baik, berbagai
macam sumbangan pemikiran dalam kehidupan beragama dan bernegara.
Penyajian materi di sini berfungsi sebagai bahan sharing bagi pendamping dan
peserta dalam upaya mengatasi keprihatinan bersama yang dialami.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
3) Pertanyaan sharing dan diskusi
Setelah bersama-sama menyimak dan mendalami sosok KH Abdurrahman
Wahid, peserta dipersilakan untuk sharing bersama-sama dengan bantuan
pertanyaan sebagai berikut:
- Inspirasi-inspirasi macam apa yang dapat dipetik dari sosok KH
Abdurrahman Wahid?
- Bagaimana Anda memaknai inspirasi-inspirasi tersebut dalam hidup sehari-
sehari?
4) Jawaban yang diharapkan
Berbagai macam inspirasi dapat diambil dari sosok KH Abdurrahman Wahid
untuk dijadikan teladan dalam kehidupan beragama dan bernegara. Beliau
merupakan pribadi yang sederhana dan tidak sombong walaupun memiliki
kecerdasan yang luar biasa. Inspirasi lainnya yang bisa dipetik yaitu pribadinya
yang jenaka, menanggapi berbagai macam hal dengan sederhana. Beliau mampu
memaknai hal-hal yang rumit menjadi sederhana. Hal lain yang dapat dipetik
yaitu sosok yang mau bergaul dengan siapa saja tanpa kecuali.
Inspirasi-inspirasi tersebut dapat dimaknai dalam kehidupan sehari-hari sebagai
teladan dalam menyeimbangkan kehidupan beragama dengan bernegara. Dalam
pergaulan tidak baik bertindak diskriminatif terhadap perbedaan. Justru yang perlu
dilakukan yaitu menghargai keberagaman yang ada sebagai keunikan dari masing-
masing pribadi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
5) Peneguhan
Beberapa inspirasi yang dapat diambil dari KH Abdurrahman Wahid dalam
kehidupan beragama dan bernegara adalah sosok beliau yang cerdas, bersahaja,
sederhana, peduli, serta bersikap inklusif dan pluralis. Inspirasi-inspirasi tersebut
dapat dimaknai dalam kehidupan sehari-hari untuk menjalin persaudaraan dengan
semua orang dari berbagai kalangan tanpa kecuali.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
BAB V
PENUTUP
Pada bab-bab sebelumnya penulis sudah membahas sosok KH
Abdurrahman Wahid melalui berbagai sumbangan pikiran yang beliau tulis di
berbagai media serta berbagai tindakan konkret yang beliau lakukan dalam
kehidupan beragama dan bernegara. Penulis juga sudah membahas mengenai
pokok-pokok Katekese Kebangsaan dan bagaimana penerapannya di Indonesia.
Dalam pembahasan tersebut, penulis menemukan berbagai inspirasi dari
kerinduan hati terdalam KH Abdurrahman Wahid terhadap Bangsa Indonesia
yang dapat digunakan dalam mengonstruksi praktik Katekese Kebangsaan.
Penulis merasa bahwa pembahasan-pembahasan tersebut merupakan hal yang
menarik dan dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan karya katekese
ke depannya. Maka dari itu pada bab V ini penulis akan menarik kesimpulan yang
dapat memudahkan pemahaman terhadap seluruh karya tulis ini. Pada bab ini juga
memuat beberapa saran bagi semua pihak yang terkait dengan penulisan karya
tulis ini demi perkembangan karya katekese ke arah yang lebih baik lagi.
A. Kesimpulan
KH Abdurrahman Wahid merupakan sosok pribadi yang cerdas, bersahaja,
sederhana, peduli, serta bersikap inklusif dan pluralis. Beliau bersedia bergaul
dengan semua orang dari berbagai kalangan tanpa kecuali. Oleh karena nilai-nilai
tersebut, beliau terpilih menjadi Ketua Umum PBNU sebanyak tiga periode dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
kemudian menjadi Presiden NKRI periode 1999-2001. Hal ini menjadikan beliau
menjadi sosok tepat untuk dijadikan teladan dalam kehidupan beragama dan
bernegara, bahkan beliau dapat juga disebut sebagai seorang ―katekis‖
kebangsaan. Hal ini secara tersirat terungkapkan dalam berbagai pikiran beliau
yang dituangkan dalam banyak tulisan di berbagai media, ditambah lagi dengan
berbagai tindakan konkret yang dilakukan dalam menjaga kesejahteraan hidup
bersama di tengah masyarakat yang majemuk.
Katekese Kebangsaan merupakan bagian dari kesadaran Gereja dalam
menyadarkan anggotanya dalam mewujudnyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah di
tengah-tengah dunia dengan semakin terlibat aktif dalam kegiatan bermasyarakat.
Katekese Kebangsaan bermula dari situasi yang konteksual di mana dibutuhkan
suatu wadah untuk menyeimbangkan unsur discipleship dengan citizenship.
Katekese Kebangsaan diawali dengan perjumpaan Allah yang inkarnatoris.
Intinya adalah Allah yang memilih untuk ikut terlibat dalam masyarakat dengan
rasa nasionalitas untuk menciptakan kehidupan yang utuh, Allah yang mencintai
ciptaan-Nya, Allah yang mau terjun dalam karut marut kehidupan dunia. Katekese
Kebangsaan membentuk pemahaman iman yang semakin kontekstual serta praksis
sosial yang semakin terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Katekese Kebangsaan hendaknya membantu umat Allah untuk mengalami
sendiri Allah yang inkarnatoris dan bekerja sama dengan-Nya dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga mampu mendorong transformasi hidup berbangsa dan
bernegara dengan menghayati nilai-nilai luhur dan cita-cita yang terwujud dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Pancasila dan UUD ‘45 secara konsisten dan total. Katekese Kebangsaan
diharapkan menjadi salah satu ruang bersama untuk mengajak umat
mengembangkan sikap terbuka dalam hidup beragama, memperkuat Bhinneka
Tunggal Ika, membangkitkan semangat bermusyawarah, dan mewujudkan
keadilan sosial. Dengan demikian akan semakin terlihat wujud keterlibatan
konkret Gereja dalam kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia, lewat
paradigma yang lebih inklusif dan pluralis, yakni mampu melihat keindahan
dalam keberagaman sebagai rangka persatuan kita bersama.
Beberapa inspirasi dari kerinduan hati terdalam KH Abdurrahman Wahid
terhadap Bangsa Indonesia yang dapat digunakan untuk mengontruksi karya
Katekese Kebangsaan antara lain yaitu visi kemanusiaan, persaudaraan,
kebangsaan, serta kesederhanan. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian integral
yang dibutuhkan dalam Katekese Kebangsaan agar dapat berjalan secara optimal.
Berangkat dari inspirasi-inspirasi tersebut, penulis mengusulkan kegiatan
Lokakarya Katekese Kebangsaan sebagai upaya untuk membantu
memperkembangkan karya Katekese Kebangsaan di Indonesia agar semakin
konteksual sesuai dengan kebutuhan umat di masa sekarang.
B. Saran
Skripsi ini tentu saja bukanlah hasil karya tulis yang sudah sempurna,
sebaliknya masih memiliki kekurangan dan keterbatasannya. Pembahasan
mengenai sosok KH Abdurrahman Wahid terkait kisah hidup, cita-cita, buah-buah
pemikiran, dan perjuangan beliau yang tercantum dalam skripsi ini bukanlah suatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
pemaparan yang lengkap. Pembahasan mengenai hakikat Katekese Kebangsaan
dan penerapannya di Indonesia yang dipaparkan dalam skripsi ini juga masih jauh
dari sempurna. Maka penulis menyarankan kepada para pembaca untuk mencari
berbagai tambahan literatur baik dalam media cetak maupun elektronik guna
memperkaya wawasan terkait sosok KH Abdurrahman Wahid dan hakikat
Katekese Kebangsaan.
Begitu juga dengan inspirasi yang dapat digali dari kerinduan hati terdalam
KH Abdurrahman Wahid terhadap Bangsa Indonesia untuk mengonstruksi
Katekese Kebangsaan tidak terbatas hanya seperti yang sudah dipaparkan dalam
skripsi ini. Tentu masih banyak inspirasi lain yang dapat ditemukan dan digali
sesuai dengan kebutuhan pembaca. Maka penulis juga menyarankan agar mencari
berbagai inspirasi yang ada dari sumber-sumber lain. Kegiatan Lokakarya
Katekese Kebangsaan yang penulis usulkan diharapkan dapat digunakan dan
dimanfaatkan dalam rangka pengembangan karya katekese di Indonesia,
khususnya Katekese Kebangsaan, ke arah yang lebih baik. Melalui usulan
kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan tersebut, penulis berharap bahwa para
katekis dapat melayani kebutuhan umat setempat sesuai dengan situasi dan
konndisi yang dialami, serta mampu mengajak umat untuk turut terlibat aktif
dalam kehidupan Gereja dan masyarakat. Dengan demikian penulis berharap
bahwa karya katekese di Indonesia menjadi sungguh-sungguh kontekstual pada
kebutuhan umat di masa sekarang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
DAFTAR PUSTAKA
Referensi
Alkitab Deuterokanonika. (2005). Cetakan kelima belas. Jakarta: Lembaga
Alkitab Indonesia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi dalam jaringan (daring), kbbi.web.id.
Dokumen Gereja
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. (1993). Dokumen Konsili
Vatikan II (alih bahasa: R Hardawiryana). Jakarta: Obor.
Fransiskus, Paus. (2014). Evangelii Gaudium (terjemahan: FX Adisusanto dan
Bernadeta Harini Tri Prasasti). Jakarta: Dokpen KWI.
Konferensi Waligereja Indonesia. (1996). Iman Katolik: Buku Informasi dan
Referensi. Yogyakarta: Kanisius.
Kongregasi Untuk Imam. (2000). Petunjuk Umum Katekese (alih bahasa: Komisi
Kateketik KWI). Jakarta: Dokpen KWI.
Markus Nur Widipranoto, Fransiscus Xaverius Sugiyana, dan Thomas Aquino
Purwono NA (penyusun). (2018). Direktorium Formatio Iman Keuskupan
Agung Semarang. Yogyakarta: Kanisius.
Nota Pastoral Keuskupan Agung Semarang 2018. Merevitalisasi Nilai-Nilai
Pancasila dan Semangat Kebangsaan Demi Terwujudnya Peradaban Kasih.
Muntilan: Dewan Karya Pastoral KAS.
Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia 2018. Panggilan Gereja dalam
Hidup Berbangsa: Menjadi Gereja yang Relevan dan Signifikan. Jakarta:
Obor.
Yohanes Paulus II, Paus. (1992). Catechesi Tradendae (alih bahasa: R
Hardawiryana). Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia.
______. (2015). Fides et Ratio (alih bahasa: R Hardawiryana). Jakarta: Dokpen
KWI.
Buku
Abdurrahman Wahid. (2007). Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute.
_______. (2010). Misteri Kata-Kata. Jakarta: Pensil-324.
_______. (2018). Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: IRCiSoD.
_______. ―Bercermin dari Para Pemimpin‖, dalam Abdul Mun‘im DZ (ed.).
(2000). Islam Di Tengah Arus Transisi. Jakarta: Kompas., halaman 285-
289.
_______. ―Kata Pengantar‖, dalam Sitompul, Einar Martahan. (1989). NU dan
Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan., halaman 9-18.
_______. ―Kongres Umat Islam Mencari Format Hubungan Agama dengan
Negara‖, dalam Abdul Mun‘im DZ (ed.). (2000). Islam Di Tengah Arus
Transisi. Jakarta: Kompas., halaman 3-6.
Abdul Mun‘im DZ (ed.). (2000). Islam Di Tengah Arus Transisi. Jakarta:
Kompas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
Adisusanto, FX, FX Heryatno Wono Wulung, dan FX Dapiyanta (ed.). (2000).
Katekese Pada Millenium III: Quo Vadis? (Seri Menyongsong Millenium
ke-3). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Ali Masykur Musa. (2010). Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur. Jakarta:
Erlangga.
Amalorpavadass, DS. (1972). Katekese sebagai Tugas Pastoral Gereja (Seri
Puskat No. 97). Yogyakarta: Publikasi-publikasi Pusat Kateketik.
Antone, Hope S. (2010). Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan
Realitas Kemajemukan dalam Pendidikan Agama (terjemahan: Maryam
Sutanto). Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ari Subagyo, P. (2012). Bahasa dan Kepemimpinan: Menggali Inspirasi
Discursive Leadership Soegijapranata dan Abdurrahman Wahid.
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Barton, Greg. (2016). Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of
Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: Saufa.
Darmaatmadja, Yulius. (2019). Umat Katolik Dipanggil Membangun NKRI:
Dalam Terang Iman Katolik Mengamalkan Pancasila untuk Menggapai
Damai Sejahtera Dunia Akhirat. Yogyakarta: Kanisius.
Erdozain, Luis. ―The Evolution of Catechetics: A Survey of Six International
Study Weeks on Catechetics‖, dalam Warren, Michael (ed.). (1983).
Sourcebook for Modern Catechetics. Minnesota: Saint Mary‘s Press.,
halaman 86-109.
Groome, Thomas H. (2011). Will There Be Faith?: A New Vision for Educating
and Growing Disciples. New York: HarperCollins Publishers.
Harry Bhaskara. (2000). Questioning Gus Dur. Jakarta: The Jakarta Post.
Heryatno Wono Wulung, FX. ―Katekese sebagai Salah Satu Momen Penting
dalam Inkulturasi‖, dalam Adisusanto, FX, FX Heryatno Wono Wulung,
dan FX Dapiyanta (ed.). (2000). Katekese Pada Millenium III: Quo Vadis?
(Seri Menyongsong Millenium ke-3). Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma., halaman 119-143.
Iip D Yahya (ed.). (2018). NU Penjaga NKRI. Yogyakarta: Kanisius.
Kiswara, C. (1988). Gereja Memasyarakat: Belajar dari Kisah Para Rasul.
Yogyakarta: Kanisius.
Lalu, Yosef. (2007). Katekese Umat. Jakarta: Komkat KWI.
M Imam Aziz. ―Memanusiakan Manusia‖, dalam Iip D Yahya (ed.). (2018). NU
Penjaga NKRI. Yogyakarta: Kanisius., halaman 245-255.
Madya Utama, Ignatius L (ed.). (2018). Menjadi Katekis Handal di Zaman
Sekarang. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
_______. ―Kata Pengantar‖, dalam Madya Utama, Ignatius L (ed.). (2018).
Menjadi Katekis Handal di Zaman Sekarang. Yogyakarta: Sanata Dharma
University Press., halaman x-xv.
Mali, Mateus. (2014). Konsep Berpolitik Orang Kristiani. Yogyakarta: Kanisius.
Manfred Habur, Agustinus. ―Identitas Ilmu Kateketik Sekarang Ini‖, dalam
Putranto, Carolus, dkk. (ed.). (2016). Ilmu Kateketik dan Identitasnya.
Yogyakarta: Sanata Dharma University Press., halaman 23-56.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Mangunwijaya, YB. (1999). Gereja Diaspora. Yogyakarta: Kanisius.
Muhaimin Iskandar. (2000). Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur.
Yogyakarta: LKiS.
Nur Khalik Ridwan. (2018). Negara Bukan-Bukan. Yogyakarta: IRCiSoD.
Papo, Yakob. (1987). Memahami Katekese. Ende: Nusa Indah.
Parera, Frans M. dan T. Jakob Koekerits (ed.). (1999). Gus Dur Menjawab
Perubahan Zaman. Jakarta: Kompas.
Putranto, Carolus, dkk. (ed.). (2016). Ilmu Kateketik dan Identitasnya.
Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Rukiyanto, Bernardus Agus. ―Rangkuman Diskusi tentang Identitas Ilmu
Kateketik Sekarang Ini‖, dalam Putranto, Carolus, dkk. (ed.). (2016). Ilmu
Kateketik dan Identitasnya. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.,
halaman 69-75.
Saleh Aldjufri. (1997). Politik NU dan Era Demokratisasi Gus Dur. Surabaya:
Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam Sunan Ampel.
Schipani, Daniel S. ―Educating for Social Transformation‖, dalam Seymour, Jack
L (ed.). (1997). Mapping Christian Education: Approaches to
Congregational Learning. Nashville: Abingdon Press., halaman 23-40.
Seymour, Jack L (ed.). (1997). Mapping Christian Education: Approaches to
Congregational Learning. Nashville: Abingdon Press.
_______. ―Approaches to Christian Education‖, dalam Seymour, Jack L (ed.).
(1997). Mapping Christian Education: Approaches to Congregational
Learning. Nashville: Abingdon Press., halaman 9-22.
Sitompul, Einar Martahan. (1989). NU dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Sudarsono. (2003). Krisis Di Mata Para Presiden: Kaidah Berpikir Sistem Para
Pemimpin Bangsa. Yogyakarta: Matabangsa.
Sudiarja, A (ed.). (1999). Tinjauan Kritis atas Gereja Diaspora Romo
Mangunwijaya. Yogyakarta: Kanisius.
_______. ―Pendahuluan‖, dalam Sudiarja, A (ed.). (1999). Tinjauan Kritis atas
Gereja Diaspora Romo Mangunwijaya. Yogyakarta: Kanisius., halaman 19-
32.
Suharyo, Ignatius. (2009). The Catholic Way: Kekatolikan dan Keindonesiaan
Kita. Yogyakarta: Kanisius.
Taufik Abdullah. ―Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam
Kontemporer‖, dalam Woodward, Mark R. (ed.). (1998). Jalan Baru Islam:
Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. Bandung: Mizan.,
halaman 55-89.
Telaumbanua, Marinus. (1999). Ilmu Kateketik: Hakikat, Metode, dan Peserta
Katekese Gerejawi. Jakarta: Obor.
Tim INCReS. (2000). Beyond The Symbols: Jejak Antropologis dan Gerakan Gus
Dur. Bandung: Rosda.
Trisno S Sutanto. ―Gus Dur, Pribumisasi Islam, dan Pancasila‖, dalam Iip D
Yahya (ed.). (2018). NU Penjaga NKRI. Yogyakarta: Kanisius., halaman
214-227.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Warren, Michael (ed.). (1983). Sourcebook for Modern Catechetics. Minnesota:
Saint Mary‘s Press.
_______. ―Evangelization: A Catechetical Concern‖, dalam Warren, Michael
(ed.). (1983). Sourcebook for Modern Catechetics. Minnesota: Saint Mary‘s
Press., halaman 329-338.
_______. ―Introductory Overview‖, dalam Warren, Michael (ed.). (1983).
Sourcebook for Modern Catechetics. Minnesota: Saint Mary‘s Press.,
halaman 23-29.
Wicaksana, Anom Whani. (2018). Gus Dur: Jejak Bijak Sang Guru Bangsa.
Yogyakarta: C-Klik Media.
Widharsana, Petrus Danan. (2018). Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman
Katolik. Yogyakarta: Kanisius.
Woodward, Mark R. (ed.). (1998). Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma
Mutakhir Islam Indonesia. Bandung: Mizan.
_______. ―Memahami Semangat Baru Islam Indonesia: Percakapan dengan
Abdurrahman Wahid‖, dalam Woodward, Mark R. (ed.). (1998). Jalan Baru
Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. Bandung: Mizan.,
halaman 131-151.
Jurnal dan Majalah
――Lampu Kuning‖ Toleransi di Indonesia‖. Hidup: Mingguan Katolik No 10.
Tahun ke-72. 11 Maret 2018., halaman 8-9.
―Saling Silang Mencari Sekondan‖. Tempo. No 08/XXXIII/19-25 April 2004.,
halaman 24-27.
―Satu Tarikan Nafas Toleransi‖. Hidup: Mingguan Katolik No 10. Tahun ke-72.
11 Maret 2018., halaman 11-12.
Bondan Gunawan. (2017, 15 Januari). ―Gus Dur Manusia Biasa‖. Hidup:
Mingguan Katolik. No 03. Tahun ke-71., halaman 13.
Coleman, John. (1992, winter). ―Discipleship and Citizenship from Consensus to
Culture Wars.‖ Louvain Studies 17/4., halaman 333-350.
Magnis-Suseno, Franz. (2017, 15 Januari). ―Haul Tujuh Tahun Wafat Gus Dur‖.
Hidup: Mingguan Katolik. No 03. Tahun ke-71., halaman 14-15.
Internet
―Gus Dur Jadi Jurkam Cagub Babel di Belitung‖.
antaranews.com/berita/53140/gus-dur-jadi-jurkam-cagub-babel-di-belitung,
diakses pada Jumat, 19 Oktober 2018, pukul 18.22 WIB.
―Gus Dur Tidak Lolos‖. liputan6.com/news/read/78670/gus-dur-tidak-lolos,
diakses pada Senin, 1 April 2019, pukul 13.55 WIB.
―Gus Dur, Gus Mus, dan Jalan Cinta untuk Diplomasi Israel-Palestina‖.
nasional.kompas.com/read/2018/02/06/13315291/gus-dur-gus-mus-dan-
jalan-cinta-untuk-diplomasi-israel-palestina, diakses pada Rabu, 3 April
2019, pukul 13.37 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
―Gus Dur: Kasus Sang Timur Berbau Politik‖. metro.tempo.co/read/49828/gus-
dur-kasus-sang-timur-berbau-politik, diakses pada Senin, 6
November 2017, pukul 18.22 WIB.
―Gus Dur: Sobat Israel dari Dunia Islam‖. tirto.id/gus-dur-sobat-israel-dari-dunia-
islam-cMvf, diakses pada Rabu, 3 April 2019, pukul 13.41 WIB.
―Parpol Bukan Peserta Pemilu Dirikan Gus Dur Crisis Center‖.
news.detik.com/berita/127696/parpol-bukan-peserta-pemilu-dirikan-gus-
dur-crisis-center, diakses pada Kamis 28 Maret 2019, pukul 21.47 WIB.
―Sarasehan Kebangsaan: Menjadi Warga Indonesia yang Inklusif dan
Transformatif". gerejapelemdukuh.com/2017/10/sarasehan-kebangsaan-
menjadi-warga.html, diakses pada Senin, 6 November 2017, pukul 17.57
WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI