repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47352/1/syifaul...
TRANSCRIPT
NILAI SPIRITUAL PADA PERAYAAN SINTREN
DI DESA CIKENDUNG PEMALANG
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Syifaul Khusna
NIM: 11150321000066
PROGRAM STUDI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Syifaul Khusna
NIM : 1115032100006
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/Prodi : Studi Agama-agama
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul NILAI SPIRITUAL
PADA PERAYAAN SINTREN DI DESA CIKENDUNG PEMALANG adalah
benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tidakan plagiat dalam
penyusunannya. Adapun kutipan dalam penyusunan karya ini telah saya
cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya bersedia melakukan proses
yang semestinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata
skripsi ini sebagian atau keseluruhan akan merupakan plagiat dari karya orang
lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Ciputat, 15 September 2019
Syifaul Khusna
1115032100006
iii
NILAI SPIRITUAL PADA PERAYAAN SINTREN
DI DESA CIKENDUNG PEMALANG
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.AG)
Oleh:
Syifaul khusna
NIM: 11150321000066
Di bawah bimbingan:
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer
NIP: 19510304 198203 1 003
PROGRAM STRATA SATU (S1) STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul “NILAI SPIRITUAL PADA PERAYAAN SINTREN DI
DESA CIKENDUNG PEMALANG” telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 24 September 2019
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Agama (S. Ag) pada program Studi Agama-Agama.
Jakarta, 24 September 2019
Ketua Merangkap Anggota,
Syaiful Azmi, MA
NIP. 19710310 199703 1 005
Sekretaris Merangkap Anggota,
Lisfa Sentosa Aisyah, MA
NIP. 19750506200501 2 003
Anggota
Penguji I
Dra. H. Hermawati, MA
NIP. 19541226 198603 2 002
Penguji II
Siti Nadroh, MA
NIP. 9920112687
Pembimbing,
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer
NIP: 19510304 198203 1 003
v
ABSTRAK
Syifaul Khusna. 2019. Nilai Spiritual Pada Perayaan Sintren di Desa Cikendung
Pulosari Pemalang. Prodi Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Desa Cikendung Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang adalah desa yang
terletak di sentral wisata pegunungan. Desa ini merupakan masyarakat yang
mayoritas menganut agama Islam. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
menjalankan syariat Islam sesuai dengan sumber pokok ajaran Islam. Namun,
beberapa kalangan senantiasa melaksanakan tradisi peninggalan nenek moyang
setempat yang mengandung unsur kepercayaan sebelumnya. Salah satu tradisi
yang masih dilakukan adalah ritual perayaan Sintren. Kepercayaan Animisme dan
dinamisme pada saat ritual pelaksanaan sangat mempengaruhi keberlangsungan
perayaan sintren, dengan mempercayai bahwa roh bidadri akan masuk ke dalam
tubuh sintren yang masih suci. Sintren mengalami trance (Kesurupan) saat
pawang membacakan mantra. Prosesi mbalangan (melempar koin) adalah bentuk
saweran/memberi apresiasi terhadap tarian sang sintren, dengan harapan
keinginannya dapat terkabul. Saat koin saweran tersebut mengenai tubuh sang
sintren seketika koin tersebut berbau wangi dan saat itu juga sintren pingsan,
kemudian pawang membacakan mantra kembali. Sintren sadar kemudian menari
dengan gaya tarian yang berbeda menandakan bahwa roh bidadari telah berganti.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan
(field research) yang didukung oleh studi kepustakaan (library research) dengan
pendekatan kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penelitian
adalah pendekatan antropologi yaitu menggunakan teori animisme tentang
primitife culture bagaimana saat ritual pelaksanaan sintren seseorang menyadari
akan adanya roh/jiwa yang berkeliaran selain manusia itu sendiri. Teknik
pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara,
dan dokumentasi. Kemudian teknik analisis data yang digunakan oleh penulis
adalah teknik deskriptif.
Hasil penelitian yang penulis dapatkan adalah dalam pelaksanaan Sintren yang
dalam ritualnya memanggil roh bidadari untuk masuk ke dalam diri sang Sintren
terdapat beberapa hal yang menimbulkan perbedaan pendapat antar kalangan
masyarakat tertentu. Namun, perbedaan tersebut tidak menjadi suatu pertentangan.
Masyarakat menyadari bahwa hal tersebut hanya sebagai kekayaan tradisi dan
ekspresi kepercayaan saja. Selain itu, perayaan Sintren juga mengandung
beberapa nilai spiritual yang dianggap mampu memberikan manfaat terhadap
seseorang yang meyakini proses mbalang/saweran tersebut akan terkabul melalui
perantara roh bidadri yang masuk kedalam diri sang sintren. Dengan demikian,
beberapa kalangan yang memiliki perbedaan dalam menyikapi pelaksanaan
perayaan Sintren masih bisa menerima dan menghargai adanya pelaksanaan
tradisi tersebut.
Kata Kunci: Sintren, Spiritual, Tradisi
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan
kesempurnaan akal pikiran kepada manusia. Shalawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, para
sahabat, dan para pengikutnya dari awal hingga akhir zaman. Semoga kelak
mendapatkan syafa‟atnya. Amin
Tiada kata yang dapat penulis haturkan selain ucapan syukur yang amat
besar kepada Allah SWT. atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis
mampu menyelesaikan tanggung jawab kepada kedua orang tua serta terhadap diri
sendiri penulis dengan skripsi ini. Penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Nilai Spiritual Pada Perayaan Sintren di Desa Cikendung Pemalang”
dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama
(S.Ag) di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini tidak mungkin
dapat selesai tanpa dukungan dari berbagai pihak. Sudah sepatutnya penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua
pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini. Dari lubuk hati yang
paling dalam, penulis ingin mengucapkan ribuan terima kasih kepada:
vii
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., MA.,
selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
periode 2019-2023.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
beserta jajarannya.
3. Bapak Syaiful Azmi, MA., selaku Ketua Prodi Studi Agama-
agama, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak masukan yang
sangat bermakna. Selain itu juga yang telah meluangkan waktunya
sebagai penguji Komprehensif dalam penulisan skripsi penulis.
4. Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA., selaku Sekretaris Jurusan Prodi
Studi Agama-agama yang telah mengarahkan penulis dalam
penyusunan skripsi dari mulai proposal hingga skripsi selesai.
5. Bapak Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, selaku pembimbing skripsi
yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk saya.
6. Ibu Dra. H. Hermawati, MA., selaku penguji I dalam sidang skripsi
saya.
7. Ibu Siti Nadroh, MA., selaku penguji II dalam sidang skripsi saya.
8. Segenap Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya dosen Studi Agama-agama
dan dosen pengampu mata kuliah yang bersinggungan dengan
viii
penulis secara langsung dari mulai semester satu sampai delapan
yang telah berkenan membagi ilmunya dengan sepenuh hati kepada
penulis.
9. Segenap staf perpustakaan, baik Perpustakaan Umum maupun
Perpustakaan Fakultas yang menyediakan berbagai referensi yang
dibutuhkan penulis.
10. Segenap staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin yang telah
berkenan membantu penulis dalam mengurus hal pengadaan surat,
perihal beasiswa BLU yang penulis dapatkan hingga akhir
semester 8, serta telah menyediakan sarana dan prasarana yang
membuat penulis nyaman dalam proses belajar di kelas.
11. Segenap masyarakat Desa Cikendung yang telah menyediakan
tempat dan waktu untuk penulis dalam melakukan penelitian.
Bapak Kepala Desa Cikendung yang telah memberikan izin secara
penuh kepada penulis untuk melakukan penelitian dan
pengambilan data. Bapak Kasie Pemerintahan Desa yang telah
memberikan data mengenai Desa Cikendung. Bapak BPD
Cikendung yang telah berkenan memberikan informasi seputar
desa. Ketua Pokdarwis yang telah menjelaskan runtut mengenai
lika liku Desa Cikendung serta penggiat Sintren dari mulai pawang,
penabuh hingga penari yang telah membarikan banyak informasi
tentang ritual pelaksanaan Sintren.
ix
12. Bapak Drs. Koestoro selaku Budayawan Kabupaten Pemalang,
yang telah menuangkan segala pengetahuan sangat bermanfaat
untuk penulis.
13. Kedua orang tua tercinta, Bapak Casmari dan Ibu Nur Jannah yang
telah mencurahkan segala kasih sayangnya dalam bentuk apapun
yang semoga suatu saat dapat terbalaskan. Semoga kedua orang tua
senantiasa diberi kesehatan dan selalu dalam lindungan-Nya.
Teruntuk adik-adikku tersayang, Dwi Utami, Dina Sakinah, Riza
Kamilah, Safina Nur Habibah. Muhammad Faiz Abdul Muiz dan
Istiana Khoerun Najjah yang menjadi motivasi penulis untuk terus
berjuang supaya kelak dapat menjadi panutan terbaik untuk mereka.
14. Sahabat-sahabat penulis Ikhwatun Muamalah, Nadya Q. A,
Rozatul Husna, Prameswary Allysa Kyrana, Ade Ulfatun Najah,
Zulfal Muna, Khusnul Khotimah yang seringkali menjadi tempat
berkeluh kesah dan selalu memberikan dorongan, motivasi, dan
doa yang sangat bermanfaat bagi penulis serta menemani penulis
dalam mengerjakan dan mencari Refrensi data.
15. Teman seperantauan yang terbentuk dalam organisasi primordial
Ikatan Mahasiswa Pelajar Pemalang Jakarta (IMPP-J) yang
seringkali membantu mengurangi rasa rindu terhadap kampung
halaman dan yang saling menguatkan untuk hidup jauh dari
keluarga.
x
16. Sahabat Ikhlas Bakti Bina Bangsa Berbudi Bawa Pandega, Salam
Pramuka. Yang tergabung dalam keluarga pangkalan pramuka
Nyimas Ganda Sari- Raden Fatahillah 07-075/07-076 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya teman angkatan BATU (Barisan
Bersatu).
17. Sahabat Remaja Masjid yang tergabung dalam IRMAFA (Ikatan
Remaja Masjid Fathullah), khususnya teman seangkata REMATA
RUSH, sopyan sebagai ketua Irmafa sekaligus sahabat yang selalu
ada untuk penulis.
18. Teman seperjuangan meraih gelar sarjana, Studi Agama-Agama
angkatan 2014 yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis.
Terutama untuk kelas B (Firman Hidayat, khidzmatul Hadi, Syarif
Al „azizi, Aris Sunandar, Muhammad Sholeh dan lainnya) yang
telah memberikan banyak warna selama 4 tahun bersama. Bertemu
dengan kalian merupakan anugerah yang tak mungkin penulis
dapatkan di tempat lain.
19. Seorang tersabar dalam memberikan kasih dan Suportnya Faur
Rasid. Terima kasih telah menjadi segala sosok untuk penulis,
sebagai kakak, sahabat, teman, kekasih hingga Suami. Terimakasih
untuk keberadaannya yang tak kenal lelah dari mulai observasi
penelitian, penyusunan hingga skripsi selesai.
20. Terlalu banyak pihak yang berpengaruh bagi penulis yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Tanpa mengurangi rasa
xi
hormat, penulis ucapkan ribuan terima kasih atas segala dukungan,
baik dalam bentuk dorongan, motivasi, dan doa sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Akhir kata, semoga Allah SWT. membalas segala kebaikan kepada semua
pihak yang membantu, menemani, dan mendukung penulis dalam menjalani
proses perkuliahan hingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan demi kesempurnaan karya
selanjutnya. Besar harapan dari penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat secara umum bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis.
Jakarta, September 2019
Penulis,
Syifaul khusna
NIM 11150321000066
xii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.......................................................................................................... i
Surat Pernyataan Keaslian ...................................................................................... ii
Persetujuan Pembimbing Skripsi ........................................................................... iii
Pengesahan Ujian Skripsi ...................................................................................... iv
Abstrak .................................................................................................................... v
Kata Pengantar ....................................................................................................... vi
Daftar Isi ............................................................................................................... xii
Daftar Tabel ......................................................................................................... xiv
Daftar Lampiran .................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 8
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 9
F. Metodologi Penelitian ............................................................................ 13
G. Sistematika Penulisan ............................................................................ 19
BAB II GAMBARAN UMUM DESA CIKENDUNG PEMALANG ............. 21
A. Sejarah Desa Cikendung Pemalang ....................................................... 21
B. Kondisi Geografis dan Demografi Desa Cikendung Pemalang ............. 24
C. Kondisi Ekonomi Desa Cikendung Pemalang…………………………30
D. Kondisi Sosial dan Budaya Desa Cikendung Pemalang……………….34
xiii
E. Kondisi Keagamaan Desa Cikendung Pemalang……………………...40
F. Kondisi Pendidikan Desa Cikedung Pemalang………………………..42
BAB III PROSES RITUAL PERAYAAN SINTREN DI DESA
CIKENDUNG PEMALANG………..……………………………………. …..46
A. Perkembangan Perayaan Sintren………………………………………46
B. Perlengkapan Ritual Sintren…………………………………………...49
C. Prosesi Ritual Sintren ………………………………………………...52
1. Tahap Pra Pertunjukan/Persiapan……………………………….53
2. Tahap Pertunjukan/Pelaksanaan………………………………...57
D. Sintren dan Masyarakat Desa Cikendung……………………………..62
BAB IV SINTREN DAN NILAI SPIRITUAL ………………………….......64
A. Sintren dan Kepercayaan……………………………………………...64
B. Nilai Spiritual pada Perayaan Sintren………………………………....64
C. Sintren pada Masa Hindu dan Budha…………………………………72
D. Sintren pada Masa Penyebaran Agama Islam………………………...73
BAB V PENUTUP……………………………………………………………..75
A. Kesimpulan…………………………………………………………...75
B. Saran……………………………………………………………….....76
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………78
LAMPIRAN-LAMPIRAN……………………………………………………82
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ..................................... 25
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ................................................ 26
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia ..................................................... 26
Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ............................... 27
Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan .......................................... 28
Tabel 2.6 Sarana Perekonomian Desa Cikendung ................................................ 32
Tabel 2.7 Data Potensi Wisata .............................................................................. 36
Tabel 2.8 Data Sarana Sosial dan Budaya ............................................................ 39
Tabel 2.9 Data Prasarana Sosial dan Budaya ........................................................ 40
Tabel 2.1 Data Sarana Keagamaan Desa Cikendung ............................................ 41
Tabel 2.11 Sarana Pendidikan Formal Desa Cikendung ...................................... 43
Tabel 2.12 Sarana Pendidikan Non Formal Desa Cikendung ............................... 43
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Surat Izin Penelitian ............................................................... 82
Lampiran II : Surat Keterangan Penelitian ................................................... 83
Lampiran IX : Pedoman Wawancara ............................................................. 84
Lampiran X : Pernyataan Informan .............................................................. 86
Lampiran XI : Hasil Wawancara .................................................................... 95
Lampiran XVI : Dokumentasi Penelitian ........................................................ 122
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kekayaan seni di Indonesia sangatlah melimpah. Beragam seni
keterampilan yang diciptakan oleh manusia baik visual, audio maupun
pertunjukan mengungkapkan imajinasi, gagasan dan proses pembuatannya. Seni
tersebut bertujuan untuk dihargai keindahannya atau kekuatan emosinya. Seni di
Indonesia tidak luput dari budaya dan keanekaragaman nilai didalamnya. Seni
merupakan ciptaan yang dapat menimbulkan rasa indah bagi orang yang melihat,
mendengar atau merasakannya.1
Indonesia terdiri dari pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke sehingga
memiliki banyak suku bangsa dan banyak perbedaan di setiap daerahnya. Tidak
hanya macam budayanya saja, akan tetapi makna dalam satu kesenianpun
menjadikan antar daerah berbeda. Menurut Dr. AJ Barnet Kempers, seorang
Arkeolog Belanda dalam bukunya Ancient Indonesia Art mengatakan bahwa
memiliki bakat kodrati dalam bidang seni dan kerajinan merupakan ciri khas
bangsa Indonesia.2
Sintren merupakan kebudayaan seni tari tradisional yang terkenal di daerah
Jawa Barat dan Jawa Tengah dari mulai Cirebon, Majalengka, Jatibarang,
Kuningan, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, hingga Kendal.
Kesenian Sintren dinilai oleh kebanyakan orang sebagai tarian yang mistis serta
1 Diakses dari https;//kbbi.web.id/karya.html pada tanggal 21 Januari 2019 17.27 WIB.
2Moehkardi, Sendratari Ramayana Prambanan Seni dan Sejarahnnya (Jakarta: KPG
Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan PT. Taman Wisata Candi Borobudur,
Prambanan dan Ratu Boko, 2011), hal. 31.
2
melibatkan beberapa sesajian.3 Sintren merupakan wujud kebudayaan berupa
kesenian tari, wujud kebudayaan tersebut dinilai sangat konkrit, sebab dapat
dilihat, ditampilkan dan didokumentasikan.4
Sintren di Cikendung merupakan Sintren yang tergolong langka, pemain
Sintren tidak hanya diperankan oleh perempuan saja akan tetapi juga diperankan
oleh pemain laki-laki yang disebut dengan “lais” atau Sintren lanang. Dahulu
pelaku Sintren adalah orang-orang Animisme dan Dinamisme dengan beberapa
ritual sesembahan lainnya, namun seiring berjalannya waktu Sintren ini
dilanjutkan oleh orang-orang Islam.5
Sintren dipandang oleh sebagian masyarakat di Cikendung memiliki unsur
keyakinan tertentu seperti ajang mencari jodoh, mengharap turunnya hujan, dan
juga menukar informasi perantara alam ghaib. Mbalang (bahasa jawa) diartikan
melempar, saat penari Sintren yang sedang menari maka dari arah penonton ada
yang melempar koin, kemudian penari akan jatuh dan pingsan. Hal tersebut
menandakan bahwa Sintren sudah berada di antara alam nyata dan alam gaib,
sambil pawang membacakan beberapa mantra tertentu, kedua tangan Sintren
diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusapkan wajah penari
Sintren, tujuannya adalah agar roh bidadari datang, Sintren kemudian sadar dan
Sintren kembali menari.6
Pawang Sintren melakukan beberapa tirakat atau amalan-amalan agar
mantra yang dibacakan nantinya mampu memanggil roh bidadari. Amalan
3Nurhayati Laela, Rukoyah, Kesenian Sintren di Jawa Tengah, (Jakarta: Perpustakaan
Republik Indonesia,2012), hal.15. 4Lutfi Deska A, Kesenian Sintren Sebagai Kearifan Lokal Jurnal Penelitian Humaniora,
vol. 21 No. 1 (April 2016) hal. 57-72. 5Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, Pimpinan Sanggar Sintren Desa Cikendung, 11
Desember 2018. 6Wawancara Pribadi dengan Bapak Koestoro, Budayawan Kabupaten Pemalang (kesenian,
sejarah, dan aliran kepercayaan), 9 September 2018.
3
tersebut adalah puasa selama beberapa hari menurut perhitungan Jawa. Pelaku
Sintren juga melaksanakan hal yang sama. Puasa dimaksudkan agar orang
tersebut suci dan bersih dari segala hal tentang keduniawian. Selama puasa
dilaksanakan seorang pawang Sintren memanjatkan doa dan mantra dalam bahasa
Jawa. Selain itu juga seorang pawang Sintren merupakan titisan dari turun
temurun leluhurnya, dikarenakan untuk menjaga nilai tradisi dan budaya aslinya.7
Namun, untuk menjadi penabuh gamelan tidak harus melakukan ritual
khusus cukup mampu memainkan dengan baik dan benar. Semua yang
berhubungan saat pementasan Sintren ada pada kendali sang pawang, yang
terpenting hanya permainan tabuh selaras dengan lagu dan layak untuk dinikmati.
Penabuh gendang atau gamelan sudah terlatih serta hafal beberapa lagu yang pasti
dimainkan saat ritual perayaan Sintren. Dalam seminggu setidaknya dua kali
berlatih, khususnya beberapa minggu sebelum pementasan.8
Menghadapi era modernitas ini, kebanyakan penggerak dari kemajuan
bangsa Indonesia adalah generasi muda, namun sedikit dari generasi tersebut yang
mengetahui bagaimana Sintren dan perkembangannya. Kesenian Sintren yang
dilaksanakan dalam bentuk perayaan tertentu dipandang sebagai bagian terkecil
dari suatu pengetahuan. Namun, Sintren merupakan seni yang mampu mendobrak
kemajuan suatu daerah lantaran ciri khas dan dianggap mampu mewakili
keindentikan suatu daerah. Oleh sebab itu, penulisan tentang Sintren yang
berkaitan dengan beberapa aspek spiritual saat perayaan dianggap perlu lantaran
gerak tarian serta lirik atau syair yang mempengaruhi kemistisan tersebut. Dalam
7Wawancara Pribadi dengan Bapak Kartono, Pawang Sintren Desa Cikendung, 7
September 2018. 8Wawancara Pribadi dengan Ahmad, Penabuh Gendang dan Gamelan Sintren Desa
Cikendung, 11 Desember 2018.
4
hal inilah Sintren menjadi salah satu perwujudkan bagaimana memperlihatkan
kekayaan bangsa Indonesia perantara budaya dari suatu daerah, khususnya
Pemalang.9
Ditinjau dari segi koreografinya, sintren merupakan tarian rakyat yang
sakral dan telah ada sejak zaman masyarakat primitif dan terus berkembang
hingga sekarang. Tarian sintren tidak memperhatikan bentuk lekuk tubuh karena
tarian ini mengutamakan keyakinan atas apa yang ada dibalik tarian tersebut, hal
ini lantaran pertunjukan tarian sintren dipergunakan sebagai sarana ritual
permohonan.10
Konon sejarah Sintren berawal dari kisah Raden Sulandono putra dari Ki
Bahurekso seorang bupati Mataram, istrinya bernama Dewi Rantamsari dijuluki
sebagai Dewi Lanjar. Raden Sulandono mencintai seorang putri dari desa
Kalisalak yang bernama Sulasih dan berniat untuk menikahinya, namun hal itu
ditentang oleh Ki Bahurekso. Raden Sulandono diperintahkan oleh ibunya untuk
bertapa dengan diberikannya sehelai sapu tangan (sebagai sarana kelak untuk
bertemu Sulasih jika suatu hari bertemu) kemudian Sulasih diperintahkan untuk
menjadi penari ketika pertunjukan rakyat, sebagai syarat untuk bertemu dengan
Raden Sulandono.11
Tepat pada saat bulan purnama, ketika diadakannya upacara bersih desa dan
berbagai pertunjukan pesta rakyat pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian
dari pertunjukan. Setelah menyelesaikan pertapaannya, pada malam tersebut
Raden Sulandono turut serta menyaksikan Sulasih yang sedang menari, saat itulah
9Wawancara Pribadi dengan Bapak Deni Suseno, Ketua BPD Desa Cikendung, 11
Desember 2018. 10
Moehkardi, Sendratari Ramayana Prambanan Seni dan Sejarahnya, hal. 32. 11
Nurhayati Laela, Rukoyah, Kesenian Sintren di Jawa Tengah (Jakarta: Perpustakaan
Republik Indonesia,2012), hal.17.
5
Sulasih kemasukan kekuatan spiritual dari Dewi Rantamsari sehingga
menimbulkan trace atau kerasukan roh halus kesurupan yang disebut dengan
Sintren. Pada saat bersamaan Raden Sulandono melemparkan sapu tangan yang
diberikan oleh ibunya, disebut dengan balangan hal tersebut adalah ilmu yang
didapat oleh Sulandono melalui proses pertapaan. Raden Sulandono membawa
Sulasih kabur, keduanya mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dan mewujudkan
mahligai perkawinan.12
Sintren di desa Cikendung, tak lepas dari sejarah tersebut, hanya saja
beberapa hal sudah dimodifikasi menyesuaikan lingkungan masyarakat. Beberapa
hal yang menarik dari Sintren yang ada di Cikendung adalah pertama, keunikan
tari Sintren sebagai warisan turun temurun yang memiliki unsur keyakinan.
Kedua atraksi yang dilakukan oleh pemain Sintren ketika mendengar instrumen
musik dapat berdandan dalam kondisi diikat dalam keadaan petang. Ketiga
penonton boleh melempari suatu barang yang disisipi uang saat pertunjukan dan
setelah itu barang tersebut akan dikembalikan dalam kondisi wangi.13
Arti kata spiritual, berasal dari kata spirit yang berarti roh atau jiwa.
Pengertian spiritual adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kejiwaan,
rohani atau batin. Batin merupakan sesuatu yang tak kelihatan yang terletak di
dalam hati. Pada intinya spiritual adalah sesuatu yang menyangkut jiwa, ruh yang
berada dalam diri manusia yang mencoba menekankan makna dalam setiap
kegiatan yang dilakukan. Spiritual memberi arti atau makna dalam segala
tindakannya, dengan tindakan tersebut yang berdasarkan spiritual maka individu
12
Nurhayati Laela, Rukoyah, Kesenian Sintren di Jawa Tengah, hal.18 13
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, Pimpinan Sanggar Sintren Desa Cikendung, 11
Desember 2018.
6
atau kelompok akan merasa lebih berarti dalam hidupnya.14
Dalam pembahasan tentang Sintren di desa Cikendung, sebagaimana
perkembangan Sintren dari masa ke masa hingga sekarang, pelaksanaan tarian
tersebut tetap mempertahankan nilai spiritual dan keindahan tarian dengan
semestinya tanpa mengurangi hakikat dari tujuan dan kegunaan Sintren yang
sebenarnya. Proses sebelum menjadi Sintren, calon sintren tersebut harus belum
haid dan benar-benar suci hatinya, tanpa terselimuti urusan keduniawian sehingga
tirakat-tirakat dilaksanakan guna mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa.15
Di berbagai daerah terdapat perubahan makna Sintren lantaran minat
pengunjung. Sintren yang semestinya memiliki unsur magis dan budaya gaib yang
dimainkan oleh gadis lugu nan suci tidak lagi diutamakan, semua penari manapun
bebas melakukannya asalkan memiliki penonton yang banyak. Penari Sintren
yang semula wajib melaksanakan puasa sebelum melaksanakan pementasan serta
belum pernah tersentuh oleh lawan jenis bisa ditawar tanpa melaksanakan hal
tersebut, sehingga pertunjukan memiliki kesan hambar tanpa mengandung pesan
moral.16
Sebagaimana pertahanan pelestarian budaya tarian Sintren yang ada di desa
Cikendung, masyarakat turut serta mengapresiasi perayaan budaya lokal yang
dilaksanakan oleh pemerintah Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang. Salah
satu pelestarian tersebut yaitu paska perayaan Festival Wong Gunung (FWG)
yang bertempat di Pulosari sebagai pusat strategis pegunungan yang menjadi
sentral budaya wisata. Tarian Sintren di mainkan dengan penuh antusias warga
14
Ratna pujiastuti, Research Methods And Organizational Studies, Jurnal Penelitian ,vol.
01, hal. 367-371, Februari 2014. 15
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, Pimpinan Sanggar Sintren Desa Cikendung, 11
Desember 2018. 16
Nurhayati Laela, Rukoyah, Kesenian Sintren di Jawa Tengah, hal.48.
7
sebagai bentuk rasa syukur daerah pegunungan yang berisi limpahan hasil bumi.
Tujuan diadakannya FWG sendiri adalah untuk mengangkat dan mengeksplor
potensi budaya dan wisata yang ada di pelosok pegunungan Pemalang serta
keunikannya .17
Keberadaan seni Sintren tetap eksis karena adanya pelaku seni
Sintren sebagai sebuah pengabdian untuk mewariskan budaya nenek moyang atau
mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang tersimpan didalamnya.18
Jika menekankan pada pembahasan Sintren lebih jauh, maka banyak sekali
beberapa aspek nilai Sintren yang akan diperoleh. Oleh sebab itu, permasalahan
khusus yang akan diangkat pada penelitian ini adalah bagaimana sebenarnya nilai
spiritual yang terkandung pada perayaan Sintren dengan melihat bagaimana
gambaran umum perayaan Sintren dilaksanakan, sehingga permasalahan yang
diangkat tidak melebar jauh, dan fokus ke dalam pembahasan yang sebenarnya
ingin penulis sampaikan. Maka dari itu perlu adanya penelitian skripsi yang
berjudul “Nilai Spiritual pada Perayaan Sintren di Desa Cikendung Pemalang”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, penulis membatasi penelitian ini
terfokus kepada Nilai Spiritual pada Perayaan Sintren saja. Dalam pembatasan
masalah tersebut membentuk suatu pertanyaan yang dijadikan rumusan masalah
dalam penelitian ini, yaitu: “Bagaimana nilai spiritual yang terkandung pada
perayaan Sintren?”
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian di atas memiliki
17
Mamdukh Adi Priyanto, Pemalang gelar Festival Wong Gunung di Lereng Gunung
Slamet (Laporan wartawan tribun jateng), Rabu, 22 November 2017. 18
Puji Dwi Darmoko, Kesenian Sintren dalam Tarikan Tradisi dan Modernitas, Jurnal
Ilmiah Madaniah, vol. 4 no.1, Januari 2014.
8
tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui apa saja unsur nilai spiritual pada
perayaan sintren yang sebenarnya.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka
penelitian ini memiliki manfaat antara lain:
1. Manfaat Akademis
a. Penelitian ini sebagai sumber informasi khususnya bagi calon
sarjana jurusan Studi Agama-agama yang dituntut memiliki sikap
arif dan bijaksana terhadap berbagai perbedaan budaya lokal yang
erat kaitannya denga nilai spiritual yang ada.
b. Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan guna
memperoleh gelar sarjana Strata 1 (S1) Agama pada Jurusan Studi
Agama – Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dilakukan untuk memberi manfaat kepada warga
Pemalang yang bersinggungan langsung dengan tarian sintren, khususnya
bagi para komunitas penggiat sanggar sintren maupun kesenian yang
berkaitan dengan hal tersebut, khususnya kepada masyarakat Desa
Cikendung dan Para Pemudanya. Selain itu juga untuk memberikan
manfaat kepada para pembaca dalam menambah pengetahuan mengenai
sintren dan apa saja aspek spiritual yang ada di Desa Cikendung
Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang.
9
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai Nilai Spiritual pada Perayaan Sintren di Desa
Cikendung Pemalang belum pernah diteliti dalam penelitian sebelumnya. Namun
penulis akan membahas beberapa penelitian yang berhubungan dengan judul
penelitian skripsi ini.
Pertama, karya dalam bentuk buku yang ditulis oleh Laila Nur Hayati dan
Rukoyah yang berjudul Kesenian Sintren di Jawa Tengah. Buku ini berfokus pada
perkembangan tarian Sintren yang ada di Jawa Tengah dimulai dari Cirebon
hingga Kendal. Dalam penjelasannya mengenai perkembangan Sintren dari masa
ke masa hingga saat ini, Sintren mengalami banyak perubahan baik dari segi
pelaksanaan maupun maknanya. Kedua penulis berpendapat bahwa semestinya
kesenian Sintren dilestarikan sesuai dengan tujuan nenek moyang terdahulu, yang
mana memiliki kesakralan dalam pelaksanaannya. Modernisme mengubah
pemikiran masyarakat terhadap Sintren sebagai hiburan semata, tanpa mengetahui
bagaimana Sintren yang terdahulu diperankan. Khususnya Sintren di Pemalang,
semula sebagai sarana untuk mendekatkan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
namun seiring berkembangnya waktu difungsikan sebagai media untuk meminta
sesuatu melalui roh bidadari.19
Kedua, karya dalam bentuk Jurnal yang ditulis oleh Puji Dwi Darmoko
yang berjudul Kesenian Sintren dalam Tarikan Tradisi dan Modernitas dari Puji
Dwi Jurnal Ilmiah Madaniah yang diedarkan di Pemalang. Jurnal ini sebagai
pelengkap dan penguat pembahasan Sintren yang penulis bahas karena
19
Nurhayati Laela, Rukoyah, Kesenian Sintren di Jawa Tengah, Perpustakaan Republik
Indonesia, 2012.
10
menggambarkan bagaimana Sintren paska pelaksanaan, namun kajian jurnal
tersebut hanya mengfokuskan bagaimana tradisi Sintren dimainkan oleh
masyarakat pegunungan khususnya di Pemalang, tanpa menjelaskan lebih detail
bagaimana unsur spiritual yang ada pada perayaan Sintren yang ada di Pemalang.
Dalam pelaksanaannya Sintren mengalami pola pikir religiuitas masyarakat desa
Cikendung. Jurnal ini menjelaskan bahwa masyarakat Cikendung
mempertahankan nilai spiritual yang ada.20
Ketiga, karya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Khomsatun yang
berjudul Makna Simbolik Seni Pertunjukan Tari Tradisional Sintren dari jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2016. Skripsi ini berkaitan dengan perkembangan kesenian Sintren. Namun
yang menjadikan berbeda adalah skripsi ini hanya mengambil segi makna
simboliknya saja tanpa membahas Nilai Spiritual seperti yang ada di dalam skripsi
yang penulis tulis.21
Keempat, karya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Puji Dianti yang
berjudul Istilah-Istilah dalam Kesenian Sintren di Desa Cikendung Pulosari,
Pemalang (Kajian Etnoquistik) dari jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Universitas Sebelas Maret (USM) Solo tahun 2018. Skripsi ini memuat
pembahasan Sintren yang mengacu pada nilai-nilai tarian yang ada, hanya saja
skripsi ini memilih fokus kajian etnokuistik sedangkan skripsi yang penulis
sampaikan tentang fokus kajian antropologi.22
20
Puji Dwi Darmoko, Kesenian Sintren dalam Tarikan Tradisi dan Modernitas, Jurnal
Ilmiah Madaniah, vol. 4 no.1, Januari 2014. 21
Khomsatun,Makna Simbolik Seni Pertunjukan Tari Tradisional Sintren (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016). 22
Puji Dianti, Istilah-Istilah dalam Kesenian Sintren di Desa Cikendung Pulosari,
11
Kelima, karya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Jati Sekar Pinilih yang
berjudul Makna Simbolis Pertunjukan Sintren di Desa Surajaya Kecamatan
Pemalang, Kabupaten Pemalang dari jurusan Pendidikan Seni Tari Universtas
Negeri Semarang (UNNES) tahun 2012. Skripsi ini membahas makna simbolis
tariannya, tanpa membahas unsur nilai mistis pada saat ritual perayaannya.
Penulisan tentang skripsi yang berjudul makna simbolis dalam pertunjukan Sintren
ini berada di pemalang pesisir, berbeda dengan skripsi yang penulis tulis, letaknya
berada di daerah pegunungan.23
Keenam, karya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Fitri Inayati berjudul
Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kesenian Sintren di Desa Sambong Kecamatan Batang
Kabupaten Batang dari jurusan Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri
Semarang (UNNES) tahun 2016. Skripsi ini menjelaskan bagaimana Sintren
sebagai kearifan lokal di Indonesia diharapkan dapat dilestarikan dan dijaga nilai
kesenian yang didalamnya.Skripsi ini ditinjau dari segi sosiologis, berbeda dengan
skripsi yang penulis tulis yang meninjau dari segi antropologi.24
Ketujuh, karya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Giska Faris Al-Amim
yang berjudul Analisis Karakter Fungsi Instrumen musik di Desa Pagejukan
Kabupaten Brebes dari jurusan program Studi Pendidikan Seni Musik Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY) tahun 2012. Skripsi ini lebih menonjolkan deskripsi
karakter musik Sintren Brebes yang memiliki keunikan, selain itu skripsi ini
Pemalang (Kajian Etnoquistik) (Skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Sebelas Maret (USM) Solo, 2018) 23
Jati Sekar Pinilih, Makna simbolis pertunjukan Sintren di Desa Surajaya kecamatan
Pemalang, kabupaten Pemalang (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Semarang, 2012) 24
Fitri Inayati, Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kesenian Sintren di Desa Sambong Kecamatan
Batang Kabupaten Batang (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang,
2016)
12
juga difokuskan pada karakter instrumen. Perbedaan dalam Skripsi yang penulis
tulis adalah pada bagian nilai spiritual pada saat perayaan. Kedua skripsi ini juga
mengacu pada desa dan kota yang berbeda.25
Kedelapan, karya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Dini Novianti yang
berjudul Ritual Magis Dibalik Kesenian Sintren (Studi Deskriptif pada Paguyuban
Sintren Sinar Sahar Cangkol Tengah Kotamadya Cirebon) dari jurusan Studi
Antropologi Universitas Airlangga Surabaya tahun 2001. Skripsi ini menjelaskan
bahwa Sintren memiliki unsur magis yang merupakan keunikan dalam setiap
pementasan Sintren, dengan gadis yang masih suci sebagai penarinya. Dalam hal
ini antara skripsi yang penulis tulis dengan skripsi ini sama-sama ingin
mengetahui apakah sampai saat ini kesenian Sintren masih menggunakan unsur
magis, dengan terpaut penelitian yang cukup lama oleh sebab itu penelitian ini
sebagai sumber agar mengetahui adakah perubahan-perubahan dalam kesenian
Sintren dengan kota yang berbeda.26
Kesembilan, karya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Eka Wati yang
berjudul Makna Filosofis Pertunjukan Kesenian Sintren (Studi Kasus Sanggar
Sintren Sekar Insani desa Babadan, Gunungjati, Kabupaten Cirebon) dari jurusan
Akidah Filsafat Islam Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon tahun
2017. Skripsi menjelaskan bagaimana pagelaran kesenian Sintren hanya
dilaksanakan pada hari-hari besar saja. Sanggar Sintren Sekar Insani adalah salah
satu sanggar yang masih aktif dalam melakukan pertunjukan Sintren. Perbedaan
25
Giska Faris Al-Amim Analisis Karakter Fungsi Instrumen Musik di Desa Pagejukan
Kabupaten Brebes (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 2012) 26
Dini Novianti, Ritual Magis Dibalik Kesenian Sintren (Studi Deskriptif pada Paguyuban
Sintren Sinar Sahar Cangkol Tengah Kotamadya Cireboh), (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik, Universitas Airlangga Surabaya, tahun 2001)
13
dengan skripsi yang penulis sampaikan hanya pada fokus pembahasan, skripsi ini
menjelaskan bagaiamana nilai filosofis sedangkan penulis lebih menekankan ke
nilai spiritualitasnya.27
F. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari
suatu metode atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-
langkah sistematis dalam suatu penelitian. Ditinjau dari sudut filsafat, metodogi
penelitian merupakan epistemology penelitian , yaitu menyangkut bagaimana kita
mengadakan penelitian.28
Macam-macam metodologi penelitian, sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif. Penulis
melakukan survey langsung ke lapangan serta bersinggungan langsung
dengan para pelaku Sintren, seperti tokoh masyarakat yang ada di desa
Cikendung, pemain dalam perayaan Sintren juga pawang dari Sintren itu
sendiri. Tidak hanya itu, penulis juga melakukan pendekatan langsung
terhadap pemuda desa serta masyarakat setempat yang saling berkaitan.
Penulis mendiskripsikan gambaran secara keseluruhan apa saja yang
penulis dapatkan saat penelitian mengenai kesenian Sintren tersebut.
Adapun penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis
dilaksanakan pada:
27
Eka Wati, Makna Filosofis Pertunjukan Kesenian Sintren (Studi Kasus Sanggar Sintren
Sekar Insani desa Babadan, Gunungjati, Kabupaten Cirebon), (Skripsi S1 jurusan Akidah Filsafat
Islam Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon, tahun 2017) 28
Usman Husaini, Purnomo Setyadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta, PT.
Bumi Aksara, 2009), hal. 41
14
a. Penelitian Pertama
Tanggal : 7 September 2018
Tempat : Desa Cikendung Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang
b. Penelitian Kedua
Tanggal : 9 September 2018
Tempat : Pemalang, Bojongbata
c. Penelitian Ketiga
Tanggal : 11 Desember 2018
Tempat : Desa Cikendung Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang
d. Penelitian keempat
Tanggal : 3 Juli 2019
Tempat : Desa Cikendung Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang
Peneliti juga melakukan studi kepustakaan (library research) yaitu
penelitian yang dilakukan peneliti dengan menghimpun data atau informasi
tertulis yang dianggap relevan dengan topik yang diteliti. Data atau
informasi tersebut diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian,
jurnal ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, dan sumber- sumber lainnya, baik
berupa cetak maupun elektronik.29
2. Pendekatan
Penelitian skripsi ini adalah tentang nilai spiritual pada perayaan
29
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah
(Jakarta: Kencana, 2012), hal. 33-34.
15
Sintren di Desa Cikendung Pulosari Pemalang. Sebagaimana suatu
penelitian agar kebenarannya menjadi mutlak, tanpa terjadinya pengurangan
maupun kelebihan makna yang semestinya, maka pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan antropologi, yang mana
berhubungan langsung dengan kebudayaan di masyarakat sekitar. Selain itu,
karena kebudayaan tersebut erat sekali kaitannya dengan kehidupan sosial
masyarakat. Peneliti menerapkan secara langsung ketika antusias
masyarakat dalam keikutsertaan membantu penulis untuk menyelesaikan
penelitian tentang kesenian Sintren yang ada di desa Cikendung Pulosari
Pemalang.
3. Sumber Data
Data merupakan informasi tentang suatu kenyataan atau fenomena
empiris yang wujudnya dapat berupa seperangkat ukuran (kuantitatif) atau
berupa ungkapan kata-kata (kualitatif). Sumber data yang didapatkan
peneliti yaitu dari masyarakat desa Cikendung. Penelitian ini menggunakan
dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang didapatkan langsung dari
sumbernya. Data primer umumnya berupa karakteristik demografi
atau sosioekonomi, sikap atau pendapat, kesadaran atau pengetahuan,
minat, motivasi, dan perilaku (tindakan dan penggunaan).
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang telah disusun,
16
dikembangkan, dan diolah dari aslinya kemudian tercatat. Data
sekunder terdiri dari data sekunder internal suatu organisasi (terutama
untuk penelitian terapan dan studi kasus) dan data sekunder eksternal
yang dipublikasikan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang
dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Teknik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan
dokumentasi.
a. Observasi
Observasi merupakan cara mengumpulkan data yang didapatkan
melalui penelitian baik secara langsung maupun tidak secara langsung
menuju ke objek yang akan diteliti. Observasi bertujuan untuk
mendapatkan gambaran secara jelas tentang situasi dan kondisi yang
sebenarnya, sehingga dapat diketahui bagaimana sebenarnya keadaan
yang dipertanyakan. Metode ini menggunakan pengamatan atau
penginderaan langsung terhadap suatu benda, kondisi, situasi dan
proses atau perilaku.30
Dalam hal ini peneliti datang langsung ke lokasi penelitian yaitu
Desa Cikendung untuk melihat dan mengamati fenomena-fenomena
yang terjadi dan diharapkan mampu memberikan gambaran objektif
mengenai spiritual dan nilai apa saja yang ada pada saat perayaan
30
Faisal Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008), hal. 52
17
Sintren di Desa Cikendung Pulosari Pemalang.
b. Interview (wawancara)
Interview merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara berdialog langsung dengan narasumber yang berkaitan,
akan tetapi dapat juga dilaksanakan dengan memberikan beberapa
rentetan pertanyaan tertulis agar narasumber mempunyai waktu untuk
menjawab dengan tidak tergesa-gesa.31
Wawancara adalah pertemuan antara periset dan responden
(narasumber), dimana jawaban responden akan menjadi data mentah,
guna bahan yang akan di selesaikan.32
Dalam hal ini penulis
menggunakan wawancara dengan serentetan pertanyaan yang sudah
terstruktur (sistematis), kemudian diperdalam untuk mengorek
keterangan lebih lanjut. Proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dan tanya jawab dengan bertatap muka antara pewawancara
(peneliti) dengan informan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data
dan informasi langsung dari sumber-sumber yang dianggap kompeten,
serta untuk memastikan kembali kebenaran data yang telah didapat
peneliti melalui pengamatannya.
Dalam penelitian ini, penulis mewawancarai beberapa
narasumber yang merupakan pelaku, pelaksana, dan penjaga tradisi
Sintren, antara lain:
1. Bapak Sokhi selaku Pimpinan sanggar Sintren
31
Faisal Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, hal. 54 32
Harrison lisa, Metode Penelitian Politik, (Jakarta: PT Fajar Interpratama Offset, 2009)
hal.104
18
2. Bapak Kartono Pawang Sintren
3. Bapak Ahmad selaku Penabuh Gendang
4. Mas Romdhon Arisqi selaku ketua Pokdarwis
5. Bapak Kustoro selaku Budayawan Kabupaten Pemalang
meliputi, kesenian, sejarah, dan aliran kepercayaan.
6. Bapak Wahyu selaku Perangkat Desa bagian Kasie Pelayanan
Desa Cikendung
7. Bapak Deni Suseno selaku Sekretaris BPD sekaligus Manager
BUMDes
8. Mas Zaqi Zidqon selaku Penggiat Budaya Kabupaten Pemalang.
9. Mbak Santi Selaku Penari Sintren
Wawancara tersebut tidak luput dari beberapa list wawancara
yang sudah penulis siapkan, serta meninjau kembali hasil wawancara
yang telah penulis dapatkan. Oleh sebab itu, perlunya wawancara
tersebut guna kevalidan dalam penyususnan skripsi.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang didapat
dari survei penelitian lapangan berupa dokumentasi photo maupun
video recorder, selain itu juga dokumen-dokumen atau catatan-catatan
yang tersimpan, seperti autobiografi, surat pribadi, buku atau catatan
harian, memorial, klipping, dokumen pemerintah atau swasta, data di
server atau flashdisk, dan data tersimpan di web site.33
33
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah,
hal.138-141.
19
Penulis melakukan sejumlah pengambilan foto di tempat
penelitian serta meminta beberapa dokumentasi yang memang sudah
ada, sehingga memudahkan penulis dalam melaksanakan penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan cara menganalisis data penelitian,
termasuk alat-alat statistik yang relevan untuk digunakan dalam penelitian.
Jenis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.34
Dalam menganalisis data yang penulis lakukan yaitu melihat beberapa
tabel data yang didapatkan seperti table data profil desa kemudian
menganalisisnya sesuai dengan kondisi serta keadaan yang ada di
masyarakat.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam skripsi ini menggunakan Surat Keputusan
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017 Tentang
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini disusun secara sistematis yang terdiri
dari lima bab, sebagai berikut :
Bab I, yaitu pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, masalah,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
34
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah,
hal.163.
20
Bab II, yaitu berisi gambaran umum Desa Cikendung yang meliputi sejarah
desa, kondisi geografis, kondisi ekonomi, kondisi sosial dan budaya, kondisi
keberagamaan, dan kondisi pendidikan masyarakat Desa Cikendung Pemalang.
Bab III, yaitu membahas tentang prosesi ritual Perayaan Sintren di Desa
Cikendung Pemalang yang meliputi perkembangan perayaan Sintren, tujuan
perayaan Sintren, prosesi perayaan Sintren, serta Sintren dan masyarakat Desa
Cikendung.
Bab IV, yaitu membahas Sintren dan kepercayaan, nilai spiritual dalam
ritual perayaan Sintren yang meliputi Sintren pada masa Hindu dan Budha dan
Sintren pada Masa Penyebaran Agama Islam
Bab V yaitu penutup yang meliputi kesimpulan dan saran dari penulis.
21
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA CIKENDUNG PEMALANG
A. Sejarah Desa Cikendung Pemalang
Sejarah merupakan suatu kejadian atau peristiwa masa lampau. Sejarah
berkaitan dengan hubungan sebab akibat dan keterkaitannya dengan suatu
peristiwa, bagaimana sejarah tersebut menjadi acuan terjadinya peristiwa itu
sendiri. Setiap nama desa memiliki sejarahnya masing-masing yang dilatar
belakangi oleh letak geografis, cerita rakyat maupun inspirasi dari tokoh
setempat.35
Salah satunya adalah desa Cikendung yang tidak lepas dari kenangan
sejarahnya.
Sejarah desa Cikendung bermula dari dua tokoh karismatik Mbah Tuwuh
Wijaya dan Mbah Margalangu, berdasarkan cerita para leluhur yang kemudian
turun temurun diwariskan kepada para sesepuh desa Cikendung hingga kini,
konon kedua tokoh tersebut bukanlah saudara atau kerabat namun mereka bertemu
setelah kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa banyak berkembang termasuk kerajaan
Hindu Kuno atau Mataram Kuno yang mana desa Cikendung termasuk dalam
wilayahnya.36
Pada masa itu menurut cerita dari berbagai sumber sesepuh atau tokoh desa
Cikendung datanglah seorang pelancong dari daerah Jawa Barat bernama Kyai
Suta wijaya. Kyai Suta Wijaya adalah murid dari kyai Walang Sungsang seorang
pengasuh sebuah padepokan di daerah Cirebon yang kemudian menugaskan salah
satu muridnya Suta Wijaya untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa sesuai
35
Diakses https://kbbi.web.id/sejarah pada hari Minggu 7 Juli pukul 17.00 WIB 36
Wawancara Pribadi dengan Bapak Wahyu, “Perangkat Desa Cikendung Bagian Kasie
Pelayanan”, 3 Juli 2019
22
dengan wasilah Kanjeng Sunan Gunung Jati dikala itu. Setelah menempuh
perjalanan yang cukup jauh dengan mengendarai seekor Kuda Hitam maka
sampailah di daerah Pemalang selatan tepatnya di sebuah lembah yang sekarang
dikenal dengan nama Cikendung. Di sebuah bukit kecil yang bernama bukit
Cibengang tempat semedi dan pertapaan Mbah Tuwuh mereka bertemu dan saling
memperkenalkan diri masing-masing sehingga mereka berdua saling menimba
ilmu.
Seiring berjalannya waktu akhirnya Kyai Suta Wijaya Kembali ke Tanah
Pasundan dan Kyai Walang Sungsang menugaskan kembali kepada Kyai
Margalangu dengan tugas yang sama yaitu menyebarkan ilmu agama Islam dan
mereka pun saling menimba ilmu. Mbah Tuwuh belajar ilmu agama Islam dan
Kyai Margalangu belajar ilmu Kanuragan serta ilmu membuat berbagai pusaka
sakti antara lain keris Sipedut, keris Nagasasra dan tombak bergagang pendek
bernama Tombak Kencana Wungu.37
Keakraban Mbah Tuwuh Wijaya dan Kyai Walang Sungsang sudah seperti
saudara kandung, berbagai peperangan dihadapi bersama dalam menegakan agama
Islam di tanah Cikendung, perang tanding sering terjadi namun mereka berdua
dapat memenangkanya dengan senjata-senjata pusaka yang mereka buat di bukit
Cibengang. Di bukit Cibengang Mbah Tuwuh menempatkan Mbah Margalangu
untuk tapabrata dan semedi di sebelah barat yang jaraknya hanya sekitar lima
puluh meter dari tempat Mbah Tuwuh Wijaya bermukim. Hal tersebut
dimaksudkan sebagai partanda bahwa Mbah Margalangu berasal dari barat atau
Tanah Pasundan sehingga Mbah Margalangu di berikan tempat atau petilasan di
37
Profil Desa Cikendung 2019, Selayang pandang Desa Cikendung, Kecamatan Pulosari
Kabupaten Pemalang, hal. 1
23
sebelah barat bersama sang istrinya yaitu Nyai Senti.38
Suatu hari setelah mereka membersihkan pusaka-pusaka di sebuah
kubangan air disebelah utara bukit Cibengang tempat mereka bermukim, mereka
beristirahat sambil membicarakan tentang daerah yang mereka tempati yang
belum memiliki nama, mereka memikirkan bagaimana para warga yang bermukim
dapat menyebut tempat yang mereka tempati dengan nama yang pasti. Mbah
Margalangu menyampaikan idenya kepada Mbah Tuwuh Wijaya tentang sebuah
tempat yang digunakan untuk mencuci gobang dan rangkanya (pedang dan
sarungnya) kemudian ditimpali oleh Mbah Tuwuh Wijaya dengan sebutan Gobang
Werangan yang artinya pedang dan rangkanya.
Seiring berjalanya waktu masyarakat Cikendung menyebut dengan sebutan
Kubang Wangan (ejaan masyarakat Jawa agar mempermudah kalimat). Desa
Kubang Wangan menjadi tempat aktivitas para warga mukim pengunungan yang
mata pencahariannya bercocok tanam dari fajar hingga petang. Suatu ketika
setelah aktifitas warga selesai kemudian beristirahat di bawah kayu yang sangat
besar bernama kayu Kendung dibawahnya mengalir air kecil dan berbentuk
kedungan, warga menyebutnya Cikendung. Dilestarikanlah kayu besar tersebut
agar tidak dirusak oleh tangan yang tidak bertanggungjawab.39
Kayu besar yang warga sebut sebagai Cikendung pun ramai dibicarakan
oleh warga setempat baik lingkup desa Kubang Wangan hingga jangkauan desa
yang jauh, sesekali warga menyebut desa wangan menjadi Cikendung dan menjadi
kebiasaan warga menyebut kata Cikendung sebagai desa yang mereka tempati,
38
Profil Desa Cikendung 2019, Selayang pandang Desa Cikendung, Kecamatan Pulosari
Kabupaten Pemalang, hal. 2. 39
Profil Desa Cikendung 2019, Selayang pandang Desa Cikendung, Kecamatan Pulosari
Kabupaten Pemalang, hal. 2.
24
kemudian para wargapun bersepakat untuk mengubah desa Kubang Wangan
menjadi desa Cikendung hal tersebut juga bertujuan untuk menghormati Mbah
Margalangu yang bersal dari Jawa Barat, Ci bermakna cai/air ( dalam bahasa
Sunda ) Kedungan adalah air yang mengumpul membentuk sebuah kubangan
tempat mandi orang desa jaman dulu.
Hingga sekarang desa yang semula bernama Kedung Wangan menjadi nama
desa Cikendung yang mana telah melalui beberapa proses selametan atau ruat dari
awal penamaan desa sesuai dengan filosofinya hingga kini warga menyebutnya
Cikendung sesuai dengan kebiasaan masyarakat dan mengandung arti air yang
mengumpul membentuk kubangan. Keabsahan sejarah tersebut masih tertutur
langsung oleh leluhur desa yang usianya lebih tua dari desa Cikendung sendiri.40
B. Kondisi Geografis dan Demografi Desa Ckendung Pemalang
Desa Cikendung adalah sebuah desa di daerah pegunungan tepatnya di
kecamatan Pulosari kabupaten Pemalang Provinsi Jawa Tengah. Letak desa
Cikendung berdekatan dengan pusat pemerintah kecamatan yang hanya berjarak 3
km, sedangkan jarak desa dengan Ibukota Kabupaten yaitu 45 Km dan jarak dari
Ibukota Provinsi sejauh 447 Km. Desa Cikendung memiliki kas tanah desa seluas
14.10 Ha, dengan jumlah janah bersertifikat 840 Buah. Jumlah tanah sawah seluas
63,3000 Ha, tanah kering 527.5170 Ha, tanah fasilitas umum 22.4430 Ha, Tanah
Hutan 180.000 Ha. Sehingga total dari luas tanah Desa Cikendung adalah
793.26000 Ha.41
Adapun batas-batas wilayah desa Cikendung sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Banyumudal
40
Profil Desa Cikendung 2019, Selayang pandang Desa Cikendung, Kecamatan Pulosari
Kabupaten Pemalang, hal. 1-2. 41
Profil Desa Cikendung 2019, Data Monografi Desa , Kecamatan Pulosari, Kabupaten
Pemalang, Tahun 2019, hal. 3-4.
25
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Siremeng
3. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Pulosari
4. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Beluk42
Data penduduk Desa Cikendung yang tercatat pada Kantor Desa Cikendung
tahun 2019 per bulan Juli adalah sebanyak 6.262 jiwa dengan jumlah keseluruhan
kepala keluarga di Desa Cikendung sebanyak 1.869 KK dan kepadatan penduduk
789 (Jiwa/km).43
Adapun data tersebut akan dipetakan pada tabel berikut ini:
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin Jumlah Jumlah Kepala Keluarga
1.
2.
Laki-laki
Perempuan
3.173 jiwa
3.089 jiwa
1.869 KK
Jumlah Total 6.262 jiwa 1.869 KK
Sumber: Data primer yang telah diolah.44
Penduduk Desa Cikendung berdasarkan data di atas, antara jumlah laki-laki
dan jumlah perempuan seimbang dengan selisih angka yang tidak terpaut jauh.
Jumlah Penduduk yang terbilng stabil lantaran beberapa faktor yang mendukung
sehingga tidak terjadi penurunan maupun peningkatan jumlah penduduk yang
sangat drastis. pertama, terlaksananya program KB yang diadakan langsung oleh
desa dengan baik, kedua, pernikahan yang berpasangkan dari dalam daerah,
sehingga hanya mengubah perpindahan KK. Ketiga, angka kelahiran dalam setiap
42
Profil Desa Cikendung 2019, Data Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) ,
Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, Tahun 2019, hal. 7-8 43
Profil Desa Cikendung 2019, Data Monografi Desa , Kecamatan Pulosari, Kabupaten
Pemalang, Tahun 2019, hal. 3-4. 44
Profil Desa Cikendung 2019, Data Monografi Desa , Kecamatan Pulosari, Kabupaten
Pemalang, Tahun 2019, hal.3-4.
26
keluarga baik laki-laki maupun perempuan seimbang.45
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
No. Agama Jumlah
1. Islam 6.262 jiwa
2. Katolik 0 jiwa
3. Protestan 0 jiwa
4. Hindu 0 jiwa
5. Buddha 0 jiwa
6. Konghucu 0 jiwa
Jumlah Total 6.262 jiwa
Sumber: Data primer yang telah diolah.46
Dari data jumlah penduduk berdasarkan agama terlihat bahwa seluruh
penduduk Cikendung menganut agama Islam. Nilai-nilai Religiutas sangat
melekat pada masyarakat desa Cikendung. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan
sehari-hari seperti mengadakan kegiatan keagamaan di lingkungan masing-
masing.
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia
No. Usia Jumlah
1.
2.
3.
4.
0 – 6 tahun
7 – 18 tahun
18 – 36 tahun
36 – 56 tahun
621 jiwa
308 jiwa
2.611 jiwa
1.614 jiwa
45
Wawancara Pribadi dengan Bapak Wahyu, “Perangkat Desa Cikendung Bagian Kasie
Pelayanan”, 3 Juli 2019 46
Profil Desa Cikendung 2019, Data Monografi Desa , Kecamatan Pulosari, Kabupaten
Pemalang, Tahun 2019, hal.11.
27
5.
6.
56 – 80 tahun
80 tahun ke atas
525 jiwa
583 jiwa
Jumlah 6.262 jiwa
Sumber: Data primer yang telah diolah.47
Dari data jumlah penduduk berdasarkan usia terlihat bahwa penduduk Desa
Asemdoyong paling banyak berusia 18 – 36 tahun dan usia 38 – 56 tahun yang
merupakan termasuk dalam usia produktif. Seseorang yang berusia produktif,
dianggap dapat berproduksi atau menghasilkan suatu produk atau jasa untuk
menjalani kehidupannya secara optimal.
Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
No. Mata Pencaharian Pokok Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Buruh jasa perdagangan hasil
bumi
15 6 21
2. Tidak mempunyai pekerjaan
tetap
880 655 1.535
3. Buruh harian lepas 657 382 1.039
4. Buruh usaha jasa transportasi
dan perhubungan
27 0 27
5. Sopir 107 0 107
6. Montir 2 0 2
7. Wiraswasta 541 653 1.194
8. Belum Bekerja 912 873 1.785
47
Profil Desa Cikendung 2019, Data Monografi Desa , Kecamatan Pulosari, Kabupaten
Pemalang, Tahun 2019, hal.12.
28
9. Buruh Usaha jasa hiburan
dan pariwisata
17 5 22
10. Pemuka Agama 6 4 10
11. Tukang Batu 683 0 683
12. Perangkat Desa 10 1 11
13. Ibu Rumah Tangga 0 1.224 1.224
14. Tukang Cukur 2 2 4
15. Tukang Anyaman 1 0 1
Jumlah 3.860 3835 7.656
Sumber: Data primer yang telah diolah.48
Penduduk Desa Cikendung mayoritas bermata pencaharian sebagai buruh
harian lepas, banyak pula yang melakukan pekerjaan tidak tetap sesuai dengan
musim dan kebutuhan yang sedang berlangsung. Letak desa Cikendung yang
berada di dataran tinggi menyebabkan cuaca yang tidak menentu, sehingga
menyebabkan masyarakat memilih pekerjaan yang tidak tetap ketimbang bertani
atau berkebun dengan kondisi air yang tidak pasti, seringnya mengalami
kekeringan. Tidak banyak masyarakat yang memanfaatkan kebun atau sawah
hanya beberapa warga saja sesuai dengan musim yang dapat mereka perkirakan. 49
Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan.
No. Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Belum masuk Sekolah 550 605 1.055
2. Tidak tamat SD 950 1.045 2.095
48
Profil Desa Cikendung 2019, Data Monografi Desa , Kecamatan Pulosari, Kabupaten
Pemalang, Tahun 2019, hal. 13-14. 49
Wawancara Pribadi dengan Bapak Wahyu, “Perangkat Desa Cikendung Bagian Kasie
Pelayanan”, 3 Juli 2019
29
3. Tamat SD 111 115 226
4. Tidak tamat
SMP/Sederajat
556 513 1,069
5. Tamat SMP/Sederajat 430 515 945
6. Tidak tamat
SMA/Sederajat
219 107 326
7. Tamat SMA/Sederajat 210 114 324
8. Tamat Akademi 30 23 53
9. Tamat Perguruan Tinggi 10 18 28
10. Buta Huruf 100 41 141
Jumlah 3.166 3096 6.262
Sumber: Data primer yang telah diolah.50
Dari penjelasan tabel di atas menunjukkan bahwa masyarakat desa
Cikendung kurang menyadari akan pentingnya pendidikan. Hal tersebut dinilai
dari banyaknya masyarakat yang hanya belajar sampai pada tingkat SD/sederajat
ataupun hanya sampai pada tingkat SMP/Sederajat. Dikarenakan kurangnya
pemahaman terhadap masyarakat yang menilai bahwa tanpa belajar tinggipun bisa
mempunyai uang yang banyak. Selain itu, banyak pula yang belum sekolah artinya
bahwa angka kelahiran di desa ini sangat tinggi. Namun, jumlah penduduk yang
mengenyam pendidikan lebih tinggi hingga tingkat akademi maupun perguruan
tinggi tiap tahun selalu bertambah. Artinya perlahan-lahan masyarakat desa
Cikendung bisa lebih mengerti akan pentingnya pendidikan.
50
Profil Desa Cikendung 2019, Data Monografi Desa , Kecamatan Pulosari, Kabupaten
Pemalang, Tahun 2019, hal. 15.
30
C. Kondisi Ekonomi Desa Cikendung Pemalang
Desa Cikendung terletak di dataran tinggi pegunungan yang merupakan
central wisata alam yang ada di Pemalang bagian selatan. Pemerintah desa
Cikendung memanfaatkan wisata desa sebagai sumber potensi yang diunggulkan.
Banyak wisatawan yang mengenal Cikendung dari berbagai tempat wisatanya.
Hal tersebut menjadi peluang yang sangat besar bagi warga sekitar, banyak warga
yang memanfaatkan peluang untuk berjualan disekitar tempat wisata,
menyewakan home satay atau montel dengan harga dari kisaran yang murah
sampai dengan mahal.51
Perekonomian desa Cikendung sangat didominasi oleh perkembangan
potensi wisata yang digagas oleh beberapa pemuda desa, beberapa spot tempat
wisata yang semula hanya pemandangan alas dan rerumputan liar kemudian
dirubahnya menjadi pemandangan yang mampu bernilai jual dan mendapat
sorotan masyarakat dalam maupun luar desa Cikendung. Wisatawan dikenai tiket
masuk, tidak hanya itu berjejeran pedagang kaki limapun ikut serta menikmati
keuntungan dari adanya tempat wisata tersebut.
Potensi Desa Wisata Cikendung bisa menikmati atraksi tari tradisional
Silakupang (Sintren, Lais, Kuntulan, Kuda Kepang) tarian ini dibawakan oleh
beberapa remaja perempuan dan laki-laki yang menari dengan menggunakan kuda
kepang dan diiringi musik tradisional. Di akhir tarian para penari akan mengalami
trance atau kesurupan. Mereka akan terus menari dalam keadaan trance sampai
sang pawang melecutkan.52
51
Wawancara Pribadi dengan Bapak Wahyu, “Perangkat Desa Cikendung Bagian Kasie
Pelayanan”, 3 Juli 2019 52
Romdon Arisqi, Profil Desa Wisata Budaya Cikendung, Jurnal Desa Wisata Cikendung,
hal. 1
31
Desa Wisata Cikendung dianugerahi alam yang luar biasa indah. Hamparan
padi yang menghijau diselingi tanaman palawija seperti cabai, tomat, jagung dan
kacang panjang sangat menyegarkan mata. Selain itu ada juga tanaman sereh dan
nilam yang daunnya bisa diolah untuk dijadikan minyak nilam dan tentu saja
hamparan perkebunan teh juga merupakan pemandangan yang tak kalah indahnya.
Desa yang terletak 45 km arah selatan ibukota Kabupaten Pemalang ini
menyuguhkan lanskap yang sangat menarik, dari hamparan kebun teh yang
menghijau, areal persawahan yang terbentang laksana permadani dibawah kaki
gunung Slamet yang menakjubkan.53
Masyarakat desa Cikendung selain memanfaatkan pengelolaan wisata,
banyak pula warga yang menjadi peternak, petani, pedagang, dan buruh. Fasilitas
ekonomi untuk para warga juga lebih diperhatikan, seperti adanya usaha kecil
menengah, lembaga ekonomi unit desa. Adanya usaha tersebut ditujukan untuk
membantu masyarakat mengelola hasil pendapatan yang mereka kerjakan.
Beberapa jenis lembaga ekonomi desa meliputi, industri makanan dari hasil
perkebunan yang berlimpah, kelompok simpan pinjam, Bumdes dan sebagainya.54
Desa Cikendung banyak memiliki pekarangan yang dimanfaatkan para
peternak untuk memelihara hewan ternaknya. Perkebunan di desa Cikendung
sangatlah luas dan sangat membantu warga memproduksi sumber pangan berupa
sayur-sayuran baik untuk konsumsi pribadi maupun diperjual belikan baik untuk
masyarakat desa Cikendung dan sekitarnya maupun masyarakat luar khususnya
dibagian kota Pemalang.
53
Romdhon Arisqi, Profil Desa Wisata Budaya Cikendung, Jurnal Desa Wisata
Cikendung, 2019 hal. 1 54
Wawancara Pribadi dengan Bapak Wahyu, “Perangkat Desa Cikendung Bagian Kasie
Pelayanan”, 3 Juli 2019
32
Banyak produsen dari luar daerah memesan sayur-sayuran dari para warga
untuk dikirim ke berbagai wilayah seperti kota Pekalongan, kota Tegal, dan
sebagainya. Masyarakat yang menjadi pedagang ada yang berdagang sayuran di
rumah-rumah maupun di pasar, ada yang memiliki toko pribadi, adapula yang
menjadi pedagang keliling. Cikendung memiliki bebarapa industri kecil seperti
tenun dan anyaman. Sebagian masyarakat desa Cikendung bekerja sebagai buruh
industri tersebut dan adapula sebagai buruh bangunan. Untuk memperoleh usaha
yang maksimal banyak warga yang saling melakukan kerja sama seperti
membentuk organisasi karang taruna pada beberapa bentuk pekerjaan
Dalam melakukan aktifitas perekonomian, tentu masyarakat membutuhkan
sarana sebagai penunjang untuk mencapai tujuan perekonomian. Sarana
perekonomian yang dimiliki masyarakat desa Cikendung antara lain:
Tabel 2.6 Sarana Perekonomian Desa Cikendung
Jenis Lembaga
Ekonomi
Kategori Jumlah Jumlah
Pengurus
Industri kecil dan
menengah
Industri Makanan 8 20
Lembaga Ekonomi dan
unit usaha desa
Kelompok simpan
Pinjam
15 25
Badan Usaha Milik
Desa
Lumbung Desa 1 15
Usaha jasa
keterampilan
1. 1. Tukang Batu
2. Tukang jahit/border
3. Tukang cukur
667
5
3
667
5
3
33
4. Tukang kayu
5. Bercocok tanam
11
40
11
40
Usaha jasa dan
perdagangan
1. Warung serba ada
1. 2. Toko Rumahan
2.
11
9
11
9
Usaha jasa hiburan 1. Group Musik/Band
2. Sendra tari dan
kesenian
4
5
30
30
Usaha jasa gas,
listrik,BBM dan Air
Pengecer gas dan bahan
bakar minyak
12 16
Usaha pengangkuta Angkutan darat 9 25
Usaha Saran dan
prasarana transportasi
1. Angkutan perdesa
2. Ojek
3. Truk Umum
8
10
4
8
10
4
Jumlah Total 808 Unit 909 Orang
Sumber: Data primer yang telah diolah.55
Dari data tabel di atas dijelaskan bahwa warga di dominasi dengan
pekerjaan sebagai tukang batu. Sedangkan pekerjaan lainnya warga tidak memiliki
pekerjaan tetap lantaran menyesuaikan musim yang ada. Jika terjadi musim
kemarau panjang biasanya warga lebih banyak melakukan pekerjaan sampingan
(wiraswasta) sebaliknya jika musim hujan warga lebih banyak melakukan
pekerjaan perkebunan diladang sendiri ataupun sebagai buruh ladang orang lain.
55
Profil Desa Cikendung 2019, Data Monografi Desa , Kecamatan Pulosari, Kabupaten
Pemalang, Tahun 2019, hal. 16.
34
D. Kondisi Sosial dan Budaya Desa Cikendung Pemalang
Kondisi Sosial dan Budaya sebagaimana halnya dengan wilayah lain di
kabupaten Pemalang, penduduk di desa Cikendung sebagian besar juga merupakan
petani atau buruh tani, sebagian yang lain sebagai PNS, terutama Guru. Dengan
demikian pola kehidupan masyarakat agraris masih sangat kental dirasakan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat di wilayah Desa Wisata Cikendung ini. Tingkat
pendidikan penduduk Cikendung sebagian besar SLTA, beberapa Perguruan
Tinggi. Hanya sebagian kecil yang tidak mengenyam pendidikan (buta huruf) dan
itupun merupakan generasi tua dari penduduk Cikendung. Untuk meningkatkan
pendidikan, terutama bagi generasi yang sudah agak tua, telah dilakukan Kejar
Paket A dan Kejar Paket B yang dihimpun dalam kegiatan di Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM) Kecamatan Pulosari.56
Sifat kegotong royongan masih dijunjung tinggi oleh masyarakat desa
Cikendung. Hal ini akan sangat terasa terutama pada saat ada warga masyarakat
yang sedang membangun atau merenovasi rumah, mempunyai hajatan, atau
sedang ditimpa musibah. Masih dikenal istilah Sambatan (berasal dari kata
Sambat yang berarti meminta tolong), dimana penduduk kampung beramai-ramai
membangun / merenovasi rumah salah satu warga secara suka rela tanpa diberi
upah dari kerja gotong royong tersebut. Demikian juga pada tiap hari Minggu dan
menghadapi Hari Raya, masih sering dilakukan kerja bakti membersihkan
lingkungan secara bergotong royong.
Pembentukan Desa Wisata Cikendung dilatarbelakangi pemikiran dan
kenyataan bahwa desa Cikendung layak dan patut untuk di jadikan desa wisata,
56
Romdhon Arisqi, Profil Desa Wisata Budaya Cikendung, Jurnal Desa Wisata
Cikendung, 2019, hal. 2
35
baik dari segi alam, budaya dan kearifan lokal masyarakatnya. Didasari dari hal
tersebut di atas masyarakat desa Cikendung dan pemerintah desa Cikendung
memberanikan diri untuk menuju Cikendung sebagai desa wisata dan itu semua
dimulai dari tahun 2012, nuansa pedesaan yang aman, tentram, dan damai, jauh
dari segala kesibukan yang melelahkan membuat desa Cikendung banyak di
kunjungi oleh wisatawan dari berbagai kota di Indonesia. Para wisatawan diajak
untuk hidup bersama dengan masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai
kehidupan yang luhur, seperti keramahan, gotong royong, tolong menolong,
keuletan, serta kehidupan yang harmonis dengan alam sekitarnya.
Desa Cikendung sebagai sebuah desa yang pola kehidupan masyarakatnya
yang masih tradisional, menyambut baik dukungan Pemerintah dalam hal ini Sub
Dinas Pariwisata Kabupaten Pemalang bersama dengan beberapa pelaku penggiat
wisata, untuk menjadikan desa Cikendung menjadi salah satu Desa Wisata.
Kesediaan ini juga dilatarbelakangi kesadaran bahwa sudah selayaknya rejeki
pariwisata tidak hanya dinikmati oleh orang-orang yang berpunya saja, namun
masyarakat desa juga dapat menikmatinya sekaligus sebagai upaya untuk
melestarikan adat istiadat yang luhur warisan nenek moyang kita. Sebagai tindak
lanjut dari kesediaan itu, maka disusunlah panitia persiapan pembentukan Desa
Wisata Cikendung. Hingga akhirnya pada tahun 2012, secara resmi dicanangkan
Desa Wisata.57
57
Romdon Arisqi, Profil Desa Wisata Budaya Cikendung, Jurnal Desa Wisata Cikendung,
2019, hal. 3
36
Tabel 2.7 Data Potensi Wisata
No. Lokasi/Tempat/Area Wisata Jumlah
Pengurus
Pemanfaatan
1. Situs Sejarah dan Museum 8 Orang Aktif
2. Wisata alam (Pegunungan) 12 Orang Aktif
3. Cagar Budaya/Taman Nasional 10 Orang Aktif
4. Wisata Hutan 12 Orang Aktif
5. Bumi Perkemahan 16 Orang Aktif
6. Curug 11 Orang Aktif
7. Rumah Kreatif/Kesenian 11 Orang Aktif
Jumlah 80 Orang
Sumber: Data primer yang telah diolah.58
Desa Cikendung merupakan desa yang masih sangat menjaga budaya
leluhurnya. Budaya yang lahir dari leluhurnya masih terus dilestarikan. Desa
Cikendung terkenal memiliki kepercayaan yang sangat kuat akan roh-roh gaib.
Namun seiring berkembangnya zaman, kepercayaan yang sangat kuat itu hidup
berdampingan dengan agama yang dianut masyarakat. Budaya tersebut seperti:
1. Sintren
Sintren merupakan kebudayaan seni tari tradisional yang terkenal
di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah dari mulai Cirebon,
Majalengka, Jatibarang, Kuningan, Banyumas, Brebes, Tegal,
Pemalang, hingga Pekalongan. Kesenian Sintren dinilai oleh
kebanyakan orang sebagai tarian yang mistis, magis serta melibatkan
58
Profil Desa Cikendung 2019, Data Monografi Desa , Kecamatan Pulosari, Kabupaten
Pemalang, Tahun 2019, h. 17.
37
beberapa sesajian juga pemanggilan roh. Pemeran utama dipegang oleh
gadis berumur belasan tahun, dibantu gadis lain sebagai pengiring
nyanyian, diiringi dengan musik Jawa seperti Gamelan, Angklung,
Gong, dan sebagainya. 59
Sintren yang dipimpin oleh bapak Sokhi
pernah mengikuti beberapa acara di rancah internasional mewakili
kesenian Jawa Tengah Indonesia. Kelompok Sintren ini mendapat
kesempatan menampilkan pertunjukannya di Bali.60
2. Selametan
Selamatan merupakan sebuah tradisi ritual masyarakat Jawa
sebagai bentuk acara syukuran dengan mengundang beberapa kerabat
atau tetangga. Tujuan pelaksanaan selamatan adalah untuk terhindar
dari gangguan roh-roh jahat setempat dengan upaya tawar-menawar
melalui makanan yang disajikan pada pelaksanaan selametan.61
Dalam
kehidupan masyarakat desa Cikendung sering mengadakan slametan
hampir pada semua kejadian, seperti kelahiran, pernikahan, kematian,
pindah rumah, kelulusan sekolah, hari-hari besar, dan lain sebagainya.
3. Ruwat Bumi
Ruwat Bumi /Sedekah Bumi sudah merupakan tradisi turun
temurun di tanah Jawa,dan sampai saat sekarang masih dilestarikan
oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Ruwat berasal dari kata Rawat
yang berarti dalam bahasa Jawa mengandung arti bersih atau bebersih
dan Sedekah Bumi mengandung arti Sodakoh atau ngormati bumi yang
59
Nurhayati Laela, Rukoyah, Kesenian Sintren di Jawa Tengah, hal.17. 60
Nurhayati Laela, Rukoyah, Kesenian Sintren di Jawa Tengah, hal.15. 61
Clifford Geertz, The Religion of Java. Terj. Aswab Mahasin “Abangan, Santri, Priyayi
dalam Masyarakat Jawa”, (Jakarta, Pustaka Jaya, 1983) h. 17-18
38
kita tempati, hal ini dilakukan karena kita mendapat bahan pangan
sampai membuang kotoran juga dari dan di bumi yang kita pijak
sehingga sudah sepatutnya kita menghormati dengan cara meruwat atau
nylameti bumi yang kita tempati.62
4. Kirab Gunungan
Kirab Gunungan merupakan tradisi kirab yang dilaksanakan setiap
setahun sekali yang diperingati setiap bulan Apit (penanggalan Jawa).
Kirab gunungan dimaksudkan sebagai manifestasi rasa syukur kepada
Sang Khalik atas melimpahnya hasil panen selama ini yang mana
mayoritas warga adalah petani. Sebagai rasa syukur atas hasil panen
melimpah dan tak ada kendala hasil bumi serta sebagai simbol
kemakmuran.63
Malam harinya dimeriahkan acara Wayang Kulit.
Tradisi ini menguatkan bahwa desa Cikendung mempunyai sejarah
yang perlu dipelajari dan dilestarikan. Nenek moyang kami adalah
petani yang hidup rukun dan saling menghormati perbedaan. Adapun
Wayang Kulit adalah peninggalan masa kerajaan Jawa.
5. Wedhus Kendhit
Wedhus Kendhit adalah tradisi warga desa Cikendung tradisi ini
dituturkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tradisi tersebut dilaksanakan pada pertengahan bulan Sapar hari Rabu.
Tradisi mbeleh Wedhus Kendhit ini bagi masyarakat pendukungnya
dianggap sebagai simbol tolak balak musibah (pageblug).Wedhus
Kendhit merupakan kambing berbulu hitam, namun bagian
62
Wahyu, Sejarah ruat bumi, Jurnal Desa, 3 Juli 2019 63
Admin wisata, Enam Gunungan meriahkan kirab apitan megawon,Jurnal Pantura, 3
Agustus 2018
39
punggungnya putih, mirip selendang putih yang melingkar di
badannya.64
Saat prosesi adat pemuka agama berdoa agar penduduk
Cikendung diberi keselamatan. Ada pawang yang bertugas membakar
kemenyan dan mohon perlindungan dari „Danyang‟ Kalibuka, antara
lain Kyai Kentol Bausetika dan Nyai Kentol Bausetika.
Beberapa acara di atas yang sering dilaksanakan oleh masyarakat Desa
Cikendung tidak terlepas ritual sesuai dengan kebutuhan yang ada. Dalam
menunjang kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat kesehariannya, desa
Cikendung memiliki beberapa sarana sosial dan budaya, baik milik pribadi
masyarakat maupun desa, antara lain:
Tabel 2.8 Data sarana sosial dan budaya
No. Jenis sarana sosial dan budaya Jumlah Unit/Orang
1. Para medis 4
2. Bidan 2
3. Dukun bersalin terlatih 5
4. Perawat 5
5. Apoteker 6
6. Penggiat seni kebudayaan 10
7. Pemuda/i Kreatif 18
8. Guide/Tour Leader 10
Jumlah Total 60
Sumber: Data primer yang telah diolah.65
64
Fariz kurniawan , Upacara Tradisi Mbeleh Wedhus Kendhit (kajian cerita kelisanan,
dan nilai-nilai) Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang, 15 Aug 2011. 65
Profil Desa Cikendung 2019, Data Monografi Desa , Kecamatan Pulosari, Kabupaten
40
Berdasarkan data tersebut sarana sosial dan budaya diberdayakan untuk
memfasilitasi serta menunjang kebutuhan warga sesuai minat dan kebutuhan
masing-masing. Sehingga mempermudah berbagai aspek kegiatan yang dijalani.
Tabel 2.9 Data Prasarana sosial dan budaya
No. Prasana Sosial dan Budaya Jumlah
1. Rumah Penduduk 2.324 Unit
2. Prasarana Hiburan dan lainnya 4 Unit
3. Jumlah tempat wisata 6 Unit
4. Sanggar Kesenian/Budaya 6 Unit
5. Poliklinik 2 Unit
6. Posyandu 4 Unit
7. Puskesmas 1 Unit
8. Apotek 2 Unit
Jumlah Total 2.349 Uunit
Sumber: Data primer yang telah diolah.66
E. Kondisi Keagamaan Desa Cikendung Pemalang
Masyarakat desa Cikendung sangat menjunjung tinggi nilai keagamaan,
sejak dini seorang anak sudah diajarkan belajar ilmu agama. Terdapat tempat
belajar agama di sore hari seperti halnya sekolah formal sehingga penanaman nilai
religious warga Cikendung sangat kuat. Agama yang dianut oleh kalangan
masyarakat adalah agama Islam yang mayoritas tergolong dalam kelompok
Nahdiyin (NU), beberapa ada yang masuk dalam golongan Islam Muhammadiyah,
namun perbedaan dari keduanya tidak begitu terlihat lantaran pelajaran agama
Pemalang, Tahun 2019, hal. 18.
66Profil Desa Cikendung 2019, Data Monografi Desa , Kecamatan Pulosari, Kabupaten
Pemalang, Tahun 2019, hal. 18.
41
yang disamaratakan. 67
Beberapa kegiatan keagamaan sering dilaksanakan baik oleh sekumpulan
bapak-bapak maupun pemuda-pemudinya, mengadakan acara rutinan guna
menguatkan persaudaraan antar warga. Dalam hal ini kaum ibu-ibu juga tidak
kalah kompak, lebih dari 2 kegiatan dalam seminggu dilaksanakan. Organisasi
keagamaan tersebut meliputi Ikatan Pelajar Putra Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan
Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Ikatan Remaja Masjid (IRMA), Jam‟iyah
Fatayat, Jam‟iyah Muslimat, Majelis Qur'an, Majelis Diba, Majelis
Qhotrotunnada, Majelis Berzanji, Kelompok Hadroh, dan lainnya. Kegiatan
organisasi tersebut meliputi pengajian, yasin dan tahlil, baca al-Qur‟an dan Iqro‟,
manaqib, asmaul husna, shalawatan, dzikir bersama, kajian, diskusi maupun
kegiatan sosial seperti bakti sosial dan santunan.68
Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan, desa Cikendung
memiliki beberapa sarana untuk menunjang terlaksananya kegiatan tersebut antara
lain:
Tabel 2.10 Sarana Keagamaan Desa Cikendung
67
Wawancara Pribadi dengan Romdhon Arisqi , “Ketua Pokdarwis Desa Cikendung” 3
Juli 2019. 68
Wawancara Pribadi dengan Bapak Deni Suseno , “Ketua Badan Permusyawaratan Desa
Cikendung”, 11 Desember 2018.
No. Sarana Keagamaan Jumlah
1.
2.
3.
4.
Masjid
Mushola
Pondok Pesantren
Majelis Taklim
7 Unit
16 Unit
3 Unit
23 Kelompok
42
Sumber: Data primer yang telah diolah.69
F. Kondisi Pendidikan Desa Cikendung Pemalang
Pendidikan sangatlah penting bagi pertumbuhan setiap orang, tidak hanya
berguna untuk diri sendiri melainkan berguna juga baik bangsa, negara dan
terlebih khususnya desa yang ditempati. Pendidikan pada umumnya terbagi
menjadi dua jenis yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan
formal meliputi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak (TK),
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjut
Tingkat Akhir (SLTA), dan Perguruan Tinggi.
Pendidikan formal menjadi acuan yang bersifat sangat penting supaya tidak
menjadi masyarakat yang terbelakang. Banyak orang yang berpendidikan sangat
dibutuhkan bagi pertumbuhan desa. Pada kenyataannya anak-anak aesa Cikendung
sedikit yang melanjutkan sampai ke jenjnag perguruan tinggi ataupun setingkat
SMA/Sedrajat, pendidikan bukan menjadi tolak ukur bagaimana seseorang
menjadi sukses, bahkan masyarakat banyak yang berfikir bahwa tanpa sekolah
saja mereka bisa kaya. Kurangnya motivasi dari orang tua agar anak-anaknya tetap
bersekolah dan pengaruh dari teman sebayanya yang juga tidak melanjutkan
pendidikan. Namun, sebagian dari mereka masih ada yang mampu memberikan
motivasi hingga anaknya bisa menyelesaikan pendidikan yang semestinya.
70Beberapa sarana pendidikan formal sebagai berikut :
69
Profil Desa Cikendung 2019, Data Monografi Desa , Kecamatan Pulosari, Kabupaten
Pemalang, Tahun 2019, hal. 19. 70
Wawancara Pribadi dengan Romdhon Arisqi, “Ketua Pokdarwis Desa Cikendung” 3
Juli 2019.
Jumlah Total 26 unit dan 23 kelompok
43
Tabel 2.11 Sarana Pendidikan Formal Desa Cikendung
No. Sarana Pendidikan Formal Jumlah
1. PAUD 3 unit
2. TK 1 unit
3. SD/Sederajat 4 unit
4. SMP/Sederajat 1 unit
5. SMA/Sederajat 0 unit
6. Perpustakaan desa/Kelurahan 1 unit
7. Lembaga pendidikan agama 8 unit
8. Lembaga bimbingan belajar 0 unit
9. Sekolah Akademi 0 unit
10. Perguruan Tinggi 0 unit
Jumlah Total 18 unit
Sumber: Data primer yang telah diolah.71
Adapan sarana pendidikan non formal meliputi, kursus, kejar paket,
pengajian, diskusi, mapun lembaga belajar keagamaan, dengan table data sebagai
erikut :
Tabel 2.12 Sarana Pendidikan Non Formal Desa Cikendung
No. Sarana Pendidikan non formal Jumlah
1. 1. Kursus Komputer 1
2. 2. Kursus Menjahit 1
3. 3. Kursus Bahasa 1
4. 4. Bimbingan Belajar 1
71
Profil Desa Cikendung 2019, Data Monografi Desa , Kecamatan Pulosari, Kabupaten
Pemalang, Tahun 2019, hal. 20.
44
5. 5. Kejar Paket 1
6. 6. TPA /TPQ 2
7. 7. Pengajian 4
8. 8. Diskusi 3
Jumlah Total 14
Sumber: Data primer yang telah diolah.72
Banyak warga yang lebih menyukai mendalami kursus komputer maupun
kursus menjahit guna melatih kemampuannya lantaran tidak mampu membiayai
sekolah kejuruan formal. Namun kemampuan mereka setidaknya mampu
meningkatkan pengetahuan agar tetap belajar dan berguna dimanapun berada
khususnya di desa. Anak-anak yang kurang memahami pelajaran di sekolah
formal mengikuti kursus bimbingan belajar supaya paham pelajaran yang sudah
didapatkan dari lembaga pendidikan formal bagi mereka mengulang kembali
pelajaran dengan privat atau suasana yang berbeda menjadikan mereka mudah
memahami.
Kursus Bahasa diadakan di tempat bimbingan belajar, tempat kursus
keahlian, bahkan adapula secara pribadi yaitu datang ke rumah mentor. Sebagian
masyarakat desa Cikendung memang kurang meemahami pentingnya pendidikan
formal, ada juga juga yang memang tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya
ke tingkat yang lebih tinggi di pendidikan formal.
Warga desa Cikendung sebagian besar mewajibkan anaknya untuk belajar
di Taman Pendidikan Al-Qur‟an/TPA, pondok pesantren serta majelis taklim, bagi
warga ilmu agama sangatlah penting untuk kehidupan manusia karena mampu
72
Profil Desa Cikendung 2019, Data Monografi Desa , Kecamatan Pulosari, Kabupaten
Pemalang, Tahun 2019, hal. 20.
45
membawa kedua orangtua melalui amal ibadahnya serta menjadi bekal kelak di
akhirat. Anak yang tidak bersekolah memiliki banyak waktu untuk mengaji, baik
iqro‟, juz „amma, pengetahuan agama seperti fiqih, akhlak, dan lainnya mereka
belajar di tempat dan waktu yang berbeda. Hal inilah yang terlihat sebagaimana
besar kekuatan religius masyarakat Cikendung.73
73
Wawancara Pribadi dengan Romdhon Arisqi, “Ketua Pokdarwis Desa Cikendung” 3
Juli 2019.
46
BAB III
PROSES RITUAL PERAYAAN SINTREN DI DESA CIKENDUNG
PEMALANG
A. Perkembangan Perayaan Sintren
Sintren adalah nama penari yang masih gadis yang menjadi bintang dalam
suatu pertunjukan. Dari segi asal usul Bahasa (etimologi) Sintren merupakan
gabungan dua suku kata “Si” dan “tren”. Si dalam bahasa Jawa berarti “ia” atau
“dia” dan “tren” berarti “tri” atau panggilan dari kata “putri” sehingga Sintren
adalah “Si putri” yang menjadi pemeran utama dalam kesenian tradisional
Sintren.74
Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis atau magis.
Penari Sintren dalam pertunjukan Sintren atau lais, terdapat seseorang yang
memainkan tugasnya sebagai pemeran utama. Penari Sintren disebut juga dengan
Sintren, sedangkan penari utama lais disebut juga lais atau ronggeng buyung.
Apabila pertunjukan tersebut menggunakan penari wanita, maka disebut dengan
Sintren. Jika pertunjukan tersebut dimainkan oleh laki-laki maka disebut dengan
wari lais.75
Penari dengan tangan terikat dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang
berselebung kain. Pawang atau dalang kemudian membakar kemenyan dan
merapalkan mantra memanggil ruh. Jika pemanggilan roh berhasil, maka ketika
kurungan dibuka, sang gadis tersebut sudah terlepas dari ikatan dan berdandan
cantik, lalu menari diiringi gending. Pawang atau dalang juga menjalani sejumlah
74
Nurhayati Laela, Rukoyah, Kesenian Sintren di Jawa Tengah, (Jakarta: Perpustakaan
Republik Indonesia,2012) hal. 7. 75
Dyah Komala Laksmiyati, Chusnul Khotimah, Sintren Keindahan Seni Budaya
Cirebon, (Cirebon: Rumah Budaya Nusantara Pesambangan Jati, 2013) hal. 3.
47
ritual sebelum memulai pertunjukan Sintren. Mereka harus berpuasa patigeni,
tidak makan dan minum serta tidak keluar rumah selama beberapa hari sebelum
tampil.76
Kesenian Sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh
masyarakat dan memiliki dua versi.
Versi pertama, berdasar pada legenda cerita percintaan Sulasih seorang
putri dari Desa Kalisalak dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko
Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rantamsari. Percintaan Sulasih
dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R.
Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain
”sapu tangan” sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih apabila masa
bertapanya telah selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari
pada setiap acara bersih desa yang diadakan sebagai syarat dapat bertemu R.
Sulandono. Tepat pada saat bulan purnama, diadakan upacara bersih desa dan
berbagai pertunjukan rakyat. Pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian
pertunjukan, dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-
sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya.77
Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan roh Rr. Rantamsari
sehingga mengalami trance (kerasukan) dan saat itu pula R. Sulandono
melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat Sulasih trance atau
kemasukan roh halus ini yang disebut Sintren, dan pada saat R. Sulandono
melempar sapu tangannya disebut sebagai balangan. Dengan ilmu yang dimiliki
R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat
76
Mamdukh adi priyanto, Sintren dan Lais, Tarian Mistis yang Semakin Terpinggirkan,
Tribunjateng.com, rabu 29 November 2017. 77
Nurhayati Laela, Rukoyah, Kesenian Sintren di Jawa Tengah, hal.17.
48
mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.78
Versi kedua, Sintren dilatarbelakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu
(Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja
Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan
Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja
berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat
berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai
tanda cinta. Tak lama terpetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan
peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang dicintai
dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus,
maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso.79
Sintren menggambarkan perjalanan hidup, percintaan dan kesucian seorang
gadis yang diperankan seorang gadis belia yang masih suci, belum akil-balik dan
tidak pernah terjamah tangan lelaki. Meskipun percintaan itu gagal karena tidak
direstui orang tuanya tetapi pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung
melalui alam gaib. Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang
memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang
sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah
pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan
pertunjukan Sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya,
dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam
keadaan suci (perawan).80
Masyarakat desa Cikendung berpegang teguh dengan prinsip agama Islam.
78
Nurhayati Laela, Rukoyah, Kesenian Sintren di Jawa Tengah, hal.17. 79
Nurhayati Laela, Rukoyah, Kesenian Sintren di Jawa Tengah, hal.18. 80
Nurhayati Laela, Rukoyah, Kesenian Sintren di Jawa Tengah, hal. 18
49
Namun, dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat terlepas dari pengaruh kebiasaan
leluhurnya terdahulu. Sehingga sering disebut bahwa masyarakat Jawa masih
menganut kepercayaan Kejawen. Kejawen adalah ajaran spiritual asli leluhur Jawa
yang belum mendapat pengaruh dari budaya luar, yaitu sebelum budaya Hindu dan
Buddha masuk.81
Kesenian tari Sintren pada mulanya dipentaskan pada waktu yang sunyi di
saat malam bulan purnama karena kesenian tari ini berhubungan dengan roh halus
yang masuk ke dalam sang penari, namun kini pementasan tari Sintren tidak lagi
dilakukan pada malam bulan purnama saja melainkan dapat juga dipentaskan pada
siang hari dan bertujuan untuk menghibur wisatawan serta memeriahkan acara
hajatan. Peralatan kesenian Sintren awalnya berupa alat musik tetekan sebagai
ritme dan melodi, bumbung besar sebagai gong dan kendang. Namun saat ini alat
musik yang digunakan adalah instrumen gamelan laras slendro seiring
perkembangan zaman musik yang mengiringipun bebas yang terpenting
mengandung bunyi dan bisa digunakan sebagai media pelaksanaan Sintren.82
B. Perlengkapan Ritual Sintren
Pemain Sintren terdiri dari enam sampai sepuluh orang bahkan bisa lebih,
antara lain sebagai berikut:
1. Satu orang pawang, boleh laki-laki atau wanita.
2. Penari Sintren 1 orang seorang remaja putri yang masih gadis (lajang) yang
berusia sekitar 9-11 tahun atau belum pernah mengalami menstruasi.
3. Dayang cantik biasanya berjumlah 4 orang seniwati dan maksimal 10 orang.
81
Wawancara Pribadi dengan Bapak Koestoro, “Budayawan Kabupaten Pemalang
(kesenian, sejarah, dan aliran kepercayaan)”, 9 September 2018. 82
Wawancara Pribadi dengan Bapak Koestoro, “Budayawan Kabupaten Pemalang
(kesenian, sejarah, dan aliran kepercayaan)”, 9 September 2018.
50
4. pengiring musik tembang-tembang terdiri dari 3 orang seniwati sebagai
sinden atau penggerong (vokalis) dan 1 group pengrawit (penabuh gamelan)
yang biasanya berjumlah kuranglebih 10 orang.
Selain para pemain kesenian, terdapat pula peralatan permainan yang
digunakan dalam kesenian Sintren, antara lain:
1. Sebuah kurungan ayam yang ditutup dengan kain batik dan kain putih untuk
menutupi penari saat berganti busana didalam kurungan.
2. Nampan
3. Bunga melati
4. Minyak telon
5. Dlupok (tempat membakar kemenyan).
6. Rokok Siong
7. Jaran Gribig
8. Kemenyan.
9. Bunga-bungaan dan bunga yang diuntai.
10. Minyak wangi.
11. Perlengkapan rias Sintren.
12. Seperangkat gamelan khas laras slendro atau waditra yang terdiri dari: dua
buah ketipung, sebuah kendang kecil, tiga buah ketuk, kecrek, gong, tutuka,
dua buah buyung atau juru atau klenting (wadah untuk mengambil air).
13. Sajen, berupa makanan sesuai keinginan penari Sintren.
14. Pakaian penari yang utama mirip dengan pakaian penari tari srimpi, lengkap
dengan kacamata hitam.83
83
Atik Triratnawati, Isni Herawati, Revitalisasi Kesenian Sintren (Yogyakarta, Balai
Pelestarian Nilai Budaya (BPNB), 2012), hal. 73
51
Selain perlengkapan di atas, terdapat juga beberapa perlengkapan busana
yang dikenakan Sintren, antara lain:
1. Baju keseharian, yang dipakai sebelum pertunjukan kesenian Sintren
berlangsung.
2. Baju golek, adalah baju tanpa lengan yang biasa dipergunakan dalam tari
golek.
3. Kain atau jarit, model busana wanita Jawa.
4. Celana Cinde, yaitu celana tiga perempat yang panjangnya hanya sampai
lutut.
5. Sabuk, yaitu berupa sabuk lebar dari bahan kain yang biasa dipakai untuk
mengikat sampur.
6. Sampur, berjumlah sehelai (selembar) dililitkan di pinggang dan diletakkan
di samping kiri dan kanan kemudian ditutup sabuk atau diletakkan di depan.
7. Jamang, adalah hiasan yang dipakai di kepala dengan untaian bunga melati
di samping kanan dan kiri telinga sebagai koncer.
8. Kaos kaki hitam dan putih, seperti ciri khas kesenian tradisional lain
khususnya di Jawa Tengah.
9. Kacamata hitam, berfungsi sebagai penutup mata karena selama menari,
Sintren selalu memejamkan mata akibat kerasukan yang merupakan ciri khas
kesenian Sintren dan menambah daya tarik atau mempercantik penampilan.84
Jenis tembang yang biasanya digunakan untuk mengiringi kesenian Sintren
terdiri dari beberapa lagu yang digolongkan menjadi 5 bagian, yaitu:
1. Iringan proses pembentukan Sintren. Tembang turun Sintren digunakan
84
Atik Triratnawati, Isni Herawati, Revitalisasi Kesenian Sintren, hal. 73.
52
sebagai doa pembuka agar roh bidadari empat puluh masuk ke dalam raga
calon penari Sintren. Saat tembang dilantunkan maka penari Sintren akan
ganti pakaian dari pakaian biasa dengan pakaian Sintren dalam keadaan
badan terikat tali dan dalam kurungan. Sintren benar-benar dalam kondisi
tidak sadar, sang Sintren hanya merasakan ada makhluk yang
mandadaninya tanpa dapat melihat wujud aslinya.85
2. Iringan penyajian hiburan. Tembang dolanan khas Sintren dan tembang
yang sesuai keadaan saat ini misalnya lagu-lagu campursari.
3. Iringan permohonan dan puji rahayu (pengruwatan). Lagu kembang orok-
orok atau kembang lombok untuk permohonan Sintren ganti busana
misalnya dari pakaian kebaya menjadi rok. Tembang kawula gusti, untuk
permohonan maaf kepada Sintren yang pingsan karena marah atau tidak
berkenan hatinya. Tembang kembang mawar, dilantunkan untuk mengiringi
permintaan temohan kepada penonton.
4. Iringan penyajian akrobat. Tembang dayung untuk atraksi permainan piring
dan lilin. Tembang ayam walik untuk permainan naik di atas kurungan.
Tembang hertu gelang untuk permainan duduk di atas pucuk keris.
5. Iringan penutup. Tembang turun Sintren, untuk pertanda bahwa permainan
Sintren akan usai. Tembang piring kedawung, untuk melepas roh Dewi
Sulasih dan Sintren berganti busana keseharian.86
C. Prosesi Ritual Perayaan Sintren
Dalam Prosesi perayaan Sintren terdapat beberapa tahap yang harus
dilalui agar ritual pelaksanaan Sintren dapat berlangsung dengan lancer tanpa
85
Wawancara Pribadi dengan,“Penari Sintren”, 3 Juli 2019. 86
Atik Triratnawati, Isni Herawati, Revitalisasi Kesenian Sintren, hal. 73.
53
adanya kendala.
1. Tahap Pra Pertunjukan/ Persiapan
Pelaksanaan seni pertunjukan atau pementasan seni tidaklah sederhana, akan
tetapi perlu adanya persiapan yang cukup. Persiapan-persiapan itu dimaksudkan
supaya nanti setelah tiba waktunya untuk pentas dapat sukses atau berhasil dengan
baik dan mendapat pujian dari penonton. Hal tersebut lantaran dalam pementasan
melibatkan banyak pihak yang perlu koordinasi satu sama lain.
Persiapan tersebut antara lain, kesiapan penabuh Gendang atau gamelan,
penari Sintren, sinden (penyanyi), pakaian (kostum), kurungan Sintren, sesaji,
sound system (pengeras suara). Semunya di persiapkan serta di atur sedemikian
rupa agar acara berjalan dengan lancar tanpa adaya kendala.87
Pertunjukan Sintren diawali dengan mengadakan upacara tertentu yang
dipimpin oleh pemimpin kelompok (dalang atau pawang) untuk mengundang roh-
roh halus agar mau memasuki tubuh penari. Untuk itu, perlu disediakan
kemenyan, tempat pembakaran kemenyan, bunga-bungaan, dan minyak wangi.
Upacara tersebut dilakukan ditempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat
tinggal para roh halus, seperti makam kramat, curug (air terjun), atau yang lainnya.
Selanjutnya, alat pengiring ditabuh dengan membawakan lagu yang berirama
dinamis sebagai tanda dimulainya pertunjukan.88
Seorang pawang sebagai pengendali pertunjukan Sintren melakukan olah
batin atau ritual. Ritual merupakan perilaku yang dilakukan secara ketat sesuai
87
Wawancara Pribadi dengan Bapak Deni Suseno, “Ketua Badan Permusyawaratan Desa
Cikendung”, 11 Desember 2018. 88
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, “Pimpinan Sanggar Sintren Desa Cikendung”,
11 Desember 2018.
54
dengan ketentuan dan berbeda dengan perilaku sehari-hari baik cara
melakukannya maupun maknanya (Djamari:54). Ritual ini dalam bentuk puasa
tujuan ritual ini untuk memohon ampun dan sebagainya.89
Tidak hanya
pawangnya saja, penari Sintren sebelum pelaksanaan pertunjukan Sintren
melakukan puasa 3 hari serta melaksanakan mandi besar dan keramas tujuannya
adalah penempaan diri secara lahir dan batin untuk menahan dari godaan yang
akan datang.90
Sebelum kesenian Sintren disajikan secara komunikatif antara seniman dan
seniwati, beberapa hal yang harus dilakukan agar penonton menyatu dalam satu
arena pertunjukan.
a. Dupa Ratus
Dupa Ratus merupakan penyajian awal ritual sebelum pelaksanaan
Sintren dimulai. Dupa sebagai simbol doa bersama-sama diiringi
membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan
Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
Pawang memegang kedua tanga calon penariSintren, kemudian diletakan
di atas asap kemenyan sambal mengucapkan rapalan atau mantra.91
b. Mengundang penonton.
Sebelum dimulai, para juru kawih (sinden) memulai dengan lagu-
lagu yang dimaksudkan untuk mengundang penonton. Pertunjukan Sintren
diawali dengan tembang yang menarik perhatian para penonton yaitu
"Kukus Gunung". Para pemain berlenggak-lenggok mengikuti irama
89
Atik Triratnawati, Isni Herawati, Revitalisasi Kesenian Sintren, hal. 52. 90
Atik Triratnawati, Isni Herawati, Revitalisasi Kesenian Sintren, hal. 53. 91
Atik Triratnawati, Isni Herawati, Revitalisasi Kesenian Sintren, hal. 54.
55
gamelan yang dimainkan para penabuh.92
Judul Syair : Tambak tambak pawon
Isi dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul
Artinya: Tambak-tambak dapur isinya dandang kukusan (kalau ada kebul-
kebul yang nonton pada kumpul)
Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton
benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu
penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya:
Judul Syair: Turun Sintren, Sintrene widadari
Nemu kembang yun ayunan
Nemu kembang yun ayunan
Kembange si Jaya Indra
Widadari temurunan
Kang manjing ning awak ira
Turun-turun Sintren
Sintrene widadari
Nemu kembang yun ayunan
Nemu kembang yun ayunan
Kembange si Jaya Indra
Widadari temurunan
Kembang kates gandul
Pinggire kembang kenanga
92
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, “Pimpinan Sanggar Sintren Desa Cikendung”,
11 Desember 2018.
56
Kembang kates gandul
Pinggire kembang kenanga
Arep ngalor arep ngidul
Wis mana gageya lunga
Kembang kenanga
Pinggire kembang melati
Kembang kenanga
Pinggire kembang melati
Wis mana gageya lunga
Aja gawe lara ati
Kembang jae laos
Lempuyang kembange kuning
Kembang jae laos
Lempuyang kembange kuning
Ari balik gage elos
Sukiki meneya maning
Kembang kilaras
Ditandur tengae alas
Paman-bibi aja maras
Dalang Sintren jaluk waras
Syair tersebut dilantunkan sampai dengan acara akan dimulai atau
sebagai penanda bahwa acara akan segera dimulai.93
Sebelum acara benar-
benar dimulai pawang sudah memandikan terlebih dahulu sang Sintren
93
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, “Pimpinan Sanggar Sintren Desa Cikendung”,
11 Desember 2018.
57
dengan air bunga telon dari ujung rambut sampai kepala tiga kali.
Kembang telon mempunyai makna bahwa dalam kehidupan manusia ada
kehidupan yang lebih tinggi yaitu sang pencipta, yang mana kembang telon
sebagai simbol dari bentuk kehidupan yang saling berhubungan, yaitu
Jagad Ngisor, Jagad Tengah dan Jagad Dhuwur. Keseluruhan aspek
tersebut mempunyai arti bahwa keselarasan Jagad tersebut adalah
keseimbangan dan keselarasan yang harmonis (Subagyo 2000:27). Tidak
hanya itu (Soedarso, 1999:3) menyampaikan dalam kosmologi Hindu
Dharma ada 3 dunia yaitu, Suarga Loka atau dunia atas (tempat para
Dewa), Bhuawah Loka atau dunia tengah (tempat manusia) dan Bhuta
Loka ataudunia bawah (tempat roh jahat bersemayam). Ketiganya saling
berkaitan satu sama lain.94
2. Tahap Pertunjukan atau Pelaksanaan
Pertama, tahapan menjadikan Sintren dilakukan oleh pawang beriringan
dengan 4 pemain dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari patang puluh,
artinya bidadari yang berjumlah 40). Pawang segera menjadikan penari Sintren
dengan beberapa mantra serta kemenyan yang ada di tangannya, sementara para
sinden pelantun lagu mengalunkan tembang Yu Sintren.
Judul Syair : Yu Sintren
Turun-turun Sintren
Wintrene widhadhari
Widhadhari tumuruno
Aja suwen mindho dalem
94
Atik Triratnawati, Isni Herawati, Revitalisasi Kesenian Sintren, hal. 53.
58
Dalem sampun kangelan
Tabuhan gendang atau Gamelan terus menggema dan pawang tidak
berhenti membaca doa dengan asap kemenyan mengepul yang bertujuan
memanggil kekuatan dari luar. Sintren yang diikat dengan tali, kemudian pawang
mengintruksikan kepada Sintren untuk berjongkok keadaan berpakaian biasa dan
dimasukan ke dalam kurungan dengan dibekali busana dan alat kosmetik yang
sudah dipersiapkan. 95
Selama dalam kurungan inilah proses menjadikan Sintren
sebagai penari berlangsung. Nyanyian dari sinden dikumdangkan sampai pada
kurungan tampak bergerak sebagai pertanda bahwa Sintren telah selesai berganti
pakaian. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, Sintren sudah berdandan
dalam keadaan terikat tali, lalu Sintren ditutup kurungan kembali.96
.
Kedua, setelah ada tanda-tanda Sintren sudah jadi (biasanya ditandai
kurungan bergetar kembali) kurungan dibuka, Sintren sudah melepas tali dan siap
menari. Selama pertunjukan Sintren berlangsung, pembakaran kemenyan tidak
berhenti. 97
Tarian sang Sintren tidak dapat diprediksi akan tetapi alunan musik
dapat mempengaruhi terhadap gerak tariannya. Jika roh halus yang masuk adalah
seorang penari sesuai dengan roh yang dipanggil oleh pawang, maka gerakannya
gemulai dan enak dilihat, jika yang masuk adalah roh yang tidak dikenal maka
gerakannya akan monoton. Dalam hal ini saat pemanggilan roh bergantian masuk,
roh apapun bisa masuk. 98
Sang penari Sintren menari dengan menggunakan kacamata hitam,
95
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, “Pimpinan Sanggar Sintren Desa Cikendung”,
11 Desember 2018. 96
Wawancara pribadi dengan Santi “Penari Sintren” 3 Juli 2019. 97
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, “Pimpinan Sanggar Sintren Desa Cikendung”,
11 Desember 2018. 98
Wawancara pribadi dengan Santi “Penari Sintren” 3 Juli 2019.
59
biasanya lagu Sulasi Sulandana menjadi lagu pertama yang dilantunkan. Lagu ini
merupakan lagu untuk mengundang Dewa.99
Judul Syair : Sulasih Sulandono
Sulasi Sulandana
Menyan kang ngundang dewa
Ala dewa dening sukma
Widhadhari tumuruno
Lagu tersebut merupakan lagu wajib saat pertunjukan tarian Sintren,
sebagai bentuk pancingan terhadap roh-roh baik, agar tujuan ritual Sintren yang
sebenarnya dapat dilaksankan dengan semestinya. Lagu wajib setelahnya yaitu
berjudul Bismillah.100
Judul Syair : Bismillah
Bismillah mulai gambang
Sing tak gambang kayune jati
Bismillah mulai gambang
Sing tak gambang Sintren saiki
Nyanyian tersebut dilantunkan sebagai isyarat bahwa Sintren akan segera
dimulai. Nyanyian yang mengandung unsur doa sekaligus ucapan salam pembuka.
Lagu ini tidak paten (harus) dinyayikan, karena setiap daerah mempunyai lagu
wajibnya sendiri dan bismillah ini merupakan ciri khas pawang Sintren di desa
Cikendung ketika akan memulai ritual.
Selanjutnya lagu Tambak-tambak Pawon yang mana lagu tersebut
menceritakan bahwa sang roh dengan senang hati masuk ke dalam diri Sintren
99
Wawancara pribadi dengan Santi “Penari Sintren” 3 Juli 2019. 100
Wawancara pribadi dengan Santi “Penari Sintren” 3 Juli 2019.
60
serta meminta tubuh penari Sintren yang masih suci.
Judul Syair : Tambak-tambak Pawon
Tambak-tambak pawon
Aku kena udang kuwali
Mung jaran mungsapi
Njaluk prawan sing nomor siji
Ketiga, adalah prosesi saweran disebut dengan balangan atau temohan,
Setelah lagu Tambak-tambak Pawon selesai, lagu yang dibawakan pada saat
dimulai acara nyawer ini adalah lagu Ayo Ngewer-ngewer Puntren.101
Judul Syair : Ayo Ngewer-ngewer Puntren
Ayo ngewer-ngewer puntren
Sing dikewer rujake bae
Ayo nyawer-nyawer Sintren
Sing disawer panjoke bae
Para penonton mulai nyawu (nyawer) Sintren dengan melemparkan
saputangan, baju, atau kain lainnya yang berisi uang ala kadarnya. Ketika saweran
itu mengenai tubuhnya, maka penari Sintren pun akan pingsan dan baru akan
bangun kembali setelah diberi asap kemenyan dari dlupok ke arah hidung dan
mantra-mantra oleh sang pawang. Setelah bangun kembali, penari Sintren akan
meneruskan tariannya sampai jatuh pingsan lagi ketika ada uang logam atau kain,
pakaian yang mengenai tubuhnya sebagai tanda saweran.102
Balangan adalah ketika Sintren sedang menari, kemudian dari arah
101
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, “Pimpinan Sanggar Sintren Desa Cikendung”, 11
Desember 2018. 102
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, “Pimpinan Sanggar Sintren Desa
Cikendung”, 11 Desember 2018.
61
penonton ada yang melempar sesuatu ke arah penari Sintren. Setiap penari terkena
lemparan maka Sintren akan jatuh pingsan. Pada saat itu, pawang dengan
menggunakan mantra-mantra tertentu kedua tangan penari Sintren diasapi dengan
kemenyan dan diteruskan dengan mengusap wajah penari Sintren dengan tujuan
agar roh bidadari datang lagi sehingga penari Sintren dapat melanjutkan menari
lagi. Temohan adalah kata sejenis balangan hanya saja temohan ini dilakukan oleh
penari Sintren dengan nyiru (tampah), kotak kardus, baskom atau nampan
mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih berupa uang ala
kadarnya.103
Pemain Sintren saat menari tidak dibatasi dengan waktu, pawang
memberikan kebebasan pada roh untuk memasuki tubuh sang Sintren dengan
tarian yang diinginkan. Pergantian roh sering terjadi lantaran banyak sekali roh
bidadari yang ada disekitar perayaan Sintren, sehingga bergantian untuk masuk ke
dalam tubuh Sintren menjadikan waktu yang tidak terbatas.104
Keempat, menyadarkan Sintren sebagai penutup permainan, Tahapan
penutup ini dilakukan apabila penonton yang mengasih uang (nyawer) sudah
mulai sepi, pawang menyuruh Sintren berhenti menari lalu berjongkok untuk
selanjutnya ditutup kembali dengan kurungan ayam. Beberapa saat kemudian
kurungan dibuka dan sang Sintren kembali mengenakan pakaian sehari-hari,
kemudian sang pawang mengarahkan asap kemenyan dari dlupok ke arah hidung
Sintren agar ia siuman. Setelah siuman, maka pertunjukan Sintren pun telah
usai.105
103
Atik Triratnawati, Isni Herawati, Revitalisasi Kesenian Sintren, hal. 62. 104
Wawancara Pribadi dengan Bapak Kartono, “Pawang Sintren Desa Cikendung”, 7
September 2018. 105
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, “Pimpinan Sanggar Sintren Desa
62
Desa Cikendung biasanya melaksanakan pertunjukkan Sintren untuk
keperluan upacara-upacara ritual, seperti selametan desa atas limpahan rezeki serta
hasil panen perkebunan. meminta turun hujan, bersih desa, upacara tolak bala,
nadzar, ruwatan dan pernikahan, serta ntuk memeriahkan peringatan hari besar.106
D. Sintren dan Masyarakat Desa Cikendung
Kehidupan masyarakat selalu diwarnai dengan perbedaan mengenai segala
sesuatu yang terjadi atau dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu terjadi
pada ritual perayaan Sintren di Cikendung. Beberapa masyarakat desa Cikendung
memiliki perbedaan dalam menyikapi tradisi tersebut. Mayoritas masyarakat
menerima adanya pelaksanaan ritual Sintren, namun tidak dipungkiri bahwa ada
beberapa golongan yang kurang setuju dengan ritual-ritual yang dilakukan.
Perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan dalam kehidupan masyarakat
karena mereka memiliki jiwa solidaritas yang tinggi.107
Pelaksanaan ritual Sintren merupakan suatu perayaan yang harus
dilaksanakan setiap memliki hajat sebagai upaya untuk melestarikan budaya nenek
moyang setempat. Menurut kepercayaan masyarakat, mereka mendapatkan banyak
rezeki dari hasil gunung. Maka dari itu, sebagai bentuk timbal balik, mereka patut
memberi sajen kepada para roh yang masuk ke dalam diri Sintren.
Untuk mengatasi adanya benturan budaya dan agama, masyarakat yang
tidak setuju dengan beberapa ritual tersebut mengajarkan ilmu pengetahuan agama
yang ketat, dan memang desa Cikendung merupakan desa yang berpegang teguh
Cikendung”, 11 Desember 2018.
106Wawancara Pribadi dengan Bapak Wahyu, “Perangkat Desa Cikendung Bagian Kasie
Pelayanan”, 3 Juli 2019. 107
Wawancara Pribadi dengan Mas Ahmad, “Prenabuh Gamelan Sintren Desa
Cikendung”, 11 Desember 2018.
63
pada nilai kereligiutasannya. Sejatinya mereka menyadari bahwa tradisi ini sudah
mengakar pada kehidupan masyarakat Cikendung, sehingga sulit untuk
dihilangkan. ilmu agama dipegang erat-erat untuk menjaga keimanan serta bekal
kehidupan baik di dunia maupun di akhirat.108
Para penggiat kesenian Sintren pun menghargai perbedaan pendapat
tersebut. Menurut mereka melaksanakan tradisi ritual Sintren adalah bagian dari
pelesatarian adat dan budaya, mereka tetap percaya kepada Tuhan dan tetap
berdoa kepada-Nya. Namun, mereka juga percaya bahwa nenek moyang setempat
memiliki peran yang kuat dalam kehidupannya. Karena tradisi tersebut merupakan
budaya yang sudah ada sejak nenek moyang tinggal di desa Cikendung.109
Di Cikendung khususnya Sintren dikemas dengan menggunakan bahasa
Jawa tanpa adanya unsur bahasa Arab, namun sebenarnya tujuannya sama.
Bermujahaddah dan berdoa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dijadikan seperti
kebiasaan. Begitupula ritual perayaan Sintren sehingga menjadikan tradisi tersebut
jauh berbeda yang terlihat saling bertentangan. Dalam Sintren bisa saja terdapat
arti dalam Al-Qur‟an hanya saja tidak dalam Bahasa Arab akan tetapi di bahasa
Jawakan.110
108
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, “Pimpinan Sanggar Sintren Desa
Cikendung”, 11 Desember 2018. 109
Wawancara Pribadi dengan Zaki, “Pnggiat Kebudayaan”, 11 Desember 2018.
110
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, “Pimpinan Sanggar Sintren Desa
Cikendung”, 11 Desember 2018.
64
BAB IV
SINTREN DAN NILAI SPIRITUAL
A. Sintren dan Kepercayaan
Sintren disebut juga sintru yang mempunyai arti sesuatu yang tidak fulgar,
abu-abu, alam yang tidak terlihat. Kesenian rakyat yang timbul pada zaman dahulu
disebut juga dengan anonym (tidak diketahui) karena penciptanya sulit di cari. Ada
yang membuatnya namun, orang-orang terdulu tidak ingin menampakan dirinya
sebagai pencipta. Orientasinya saat penciptaan ritual Sintren yaitu pada kehidupan
roh halus, sebab ada dan hidup pada masa agama-agama yang diakui belum hadir
dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat animism, dinamisme.111
Animisme dinamisme mewujudkan kepercayaan dengan berbagai hal yang
mengaitkan dengan gunung atau sesuatu yang besar karena memiliki keyakinan
tertentu. Sintren dimainkan di daerah pegunungan lantaran mistis yang ada sangat
kental dan banyak roh yang tanpa disadari berkeliaran dengan dunia yang tidak
manusia ketahui.
Sintren adalah media sarana yang orientasinya sebagai sumber permintaan
kepada Sang Maha Kuasa yang diwujudkan melalui roh atau leluhur yang sudah
meninggal, sebagai bentuk perwujudannya yaitu berdoa dan meminta yang
terpenting dalam hal ini adalah jangan saling menyalahkan antar kepercayaan yang
berbeda, karena sejatinya Tuhan itu satu.
Seiring berkembangnya zaman agama hadir dengan beberapa ketetapan oleh
111
Wawancara Pribadi dengan Bapak Koestoro, “Budayawan Kabupaten Pemalang
(kesenian, sejarah, dan aliran kepercayaan)”, 9 September 2018.
65
pemerintah, sehingga Pancasila dibentuk dan didiskusikan,agar tidak terjadi
pemberontakan antar pemeluk agama yang berbeda maupun kepercayaan yang
berbeda. Sintren tetap dijalankan dengan rapalan-rapalan yang ada tanpa
melampaui batas penyelewengan yang merusak kehidupan beragama dan tidak
pula mengurangi keyakinan terhadap Tuhan. Nilai spiritual yang ada pada
perayaan Sintren bertujuan agar mampu menghubungkan roh halus dalam diri
Sintren.112
Perayaan Sintren harus disesuaikan agar tidak terbentur dengan ideologi.
Animisme memiliki sifat menyembah kepada roh, kaitannya dengan agama karena
memiliki keyakinan yang berbeda tersebut biarkanlah berjalan beriringan karena
seiring berjalannya waktu budaya menyesuaikan zaman.
Pada zaman Hindu dan Budha masuk, tentu tidak bisa dihindari akan
tercampurnya budaya asli masyarakat dengan budaya baru. Hal tersebut juga
terjadi pada ritual perayaan Sintren. Sebelum Hindu datang, rapalan atau mantra
Sintren menggunakan rapalan Jaya Baya bukan Hindu Budha akan tetapi Jawa.
Namun, setelah masuknya agama Hindu dan Budha terjadi beberapa perubahan
meski tidak seluruhnya seperti perapalan mantra maupun syair lagunya yang
terdapat kata dewa. Cantoh yang terlihat dalam syair lagu yang berjudul Sulasih
Sulandono terdapat kata-kata “Menyan kang ngundang dewa (menyan yang
mengundang dewa) ala dewa dening sukma (kepada dewa dengan jiwa). Lagu
tersebut memohan kepada dewa agar menurunkan bidadari.113
112
Wawancara Pribadi dengan Bapak Koestoro, “Budayawan Kabupaten Pemalang
(kesenian, sejarah, dan aliran kepercayaan)”, 9 September 2018. 113
Wawancara Pribadi dengan Bapak Koestoro, “Budayawan Kabupaten Pemalang
(kesenian, sejarah, dan aliran kepercayaan)”, 9 September 2018.
66
Pada saat agama Islam masuk, kondisinya tidak jauh berbeda dengan agama
Hindu dan Budha masuk. Banyak kata atau pengucapan mantra yang
menggunakan kalimat bukan Allah, namun disiati oleh beberapa budayawan
menggunakan kalimat ganti yang sesuai, sebagai contohnya salah satu syair dalam
kata Duh Dewa duh Cawata Gung diubah menjadi Duh Gusti Kang Maha
Agung yang memiliki arti Wahai Tuhan Yang Maha Besar. Lirik atau syair sangat
berpengaruh dalam pelaksanaan ritual sintren sehingga pelafalannya harus jelas
.114
Masuknya agama Islam juga merubah perapalan atau mantra yang digunakan
oleh seorang pawang untuk memasukan roh bidadari ke dalam calon Sintren.
Dengan merubah mantra menggunakan potonyan ayat Al-qur‟an dan juga bacaan-
bacaan Arab Jawa.115
Sintren yang benar-benar autentik atau melestarikan nilai spiritual yang
sebenarnya biasanya berada di perkampungan, masyarakatnya belum begitu
terpengaruh dengan kebiasaan yang berada di kota, sehingga Sintren diterapkan
sesuai dengan makna dan proses semestinya. Pada waktu itu Sintren merupakan
seni yang timbul dari proses alam, guna melaksanakan pemanjatan doa terhadap
Sang Maha Kuasa di alam terbuka yang kemudian di garap oleh seniman dan
menjadi sebuah karya. Berkreasi dalam seni sama dijadikan media yang berbeda,
dikemass dengan kepuasan untuk menghantarkan kepada roh untuk turun.116
Pada diri sang Sintren roh masuk, seseorang meminta sesuatu melalui
mbalangan dan meyakini bahwa roh tersebut akan mengabulkan permintaannya.
114
Wawancara Pribadi dengan Bapak Koestoro, “Budayawan Kabupaten Pemalang
(kesenian, sejarah, dan aliran kepercayaan)”, 9 September 2018. 115
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, “Pimpinan Sanggar Sintren Desa
Cikendung”, 11 Desember 2018. 116
Wawancara Pribadi dengan Bapak Koestoro, “Budayawan Kabupaten Pemalang
(kesenian, sejarah, dan aliran kepercayaan)”, 9 September 2018.
67
Dalam Islam meminta terhadap selain Allah tidaklah boleh, akan tetapi hal ini
merupakan turun temurun warisan budaya yang bermula Animism Dinamisme
yang kemudian di lakonkan oleh orang-orang beragama, sehingga seiring
berjalannya waktu masyarakatpun mempercayai hal tersebut sebagai bentuk rasa
syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang di implementasikan melalui media
hiburan Sintren karena yang merupakan keyakinan pada waktu itu dan sebagai
persembahan hubungan Animisme dan Dinamisme.117
Dalam kehidupan yang berbeda, antara orang yang masih memegang teguh
kepercayaan Animisme dan Dinamisme dan orang beragama yang terpentinng
adalah jangan menggangu kehidupan alam ghaib maka alam sana pun tidak akan
mengganggu begitupula sebaliknya biarkan pembaharuan kehidupan terus
berlangsung tanpa saling merasa siapa yang benar dan siapa yang salah.118
B. Nilai Spiritual pada Perayaan Sintren
Dalam teori jiwa/spiritual para ilmuan penganut teori ini berpendapat bahwa
agama yang paling awal bersamaan dengan pertama kali manusia mengetahui
bahwa di dunia ini tidak hanya di huni oleh makhluk materi, tetapi juga oleh oleh
makhluk immateri yang disebut dengan jiwa (anima). Pendapat ini dipelopori oleh
ilmuan inggris yang bernama Edward Burnet Taylor (1832-1917) dalam bukunya
yang sangat terkenal, The Primitife Culture (1872) yang mengenalkan teori
animisme, ia mengatakan bahwa asal mula teori agama bersamaan dengan
munculnya kesadaran manusia akan adanya roh atau jiwa. Mereka memahami
117
Wawancara Pribadi dengan Bapak Koestoro, “Budayawan Kabupaten Pemalang
(kesenian, sejarah, dan aliran kepercayaan)”, 9 September 2018. 118
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, “Pimpinan Sanggar Sintren Desa
Cikendung”, 11 Desember 2018.
68
akan adanya roh dan kematian, yang mengantarkan mereka kepada pengertian
bahwa kedua peristiwa itu adalah mimpi dan kematian yang merupakan bentuk
pemisah antara roh dan tubuh kasar. 119
Apabila orang meninggal dunia maka tubuhnya akan membusuk akan tetapi
rohnya akan mampu hidup terus. Darisanalah asal muasal kepercayaan bahwa roh
orang yang telah mati itu kekal abadi. Selanjutnya, roh orang mati tersebut
dipercayai dapat mengunjungi manusia, dapat menolong manusia, bisa
mengganggu hidup manusia dan bisa juga menjaga manusia, terutama anak, cucu,
dan keluarga sekampung.
Alam semesta ini dipercayai dengan adanya jiwa-jiwa yang bebas, merdeka
E.B Taylor menyebutnya spirit atau makhluk halus. roh dan makhluk halus
memiliki prengertiannya masing-masing. Roh adalah bagian halus dari setiap
makhluk yang mampu hidup terus menerus setelah jasadnya mati, sedangkan
makhluk halus adalah sesuatu yang memang terjadi karena sejak awalnya memang
seperti itu, contohnya seperti peri/bidadari, mambang, dewa-dewi yang dianggap
berkuasa. Sejatinya pikiran manusia telah mentransformasikan kesadaran akan
adanya jiwa yang akhirnya menjadi kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus.
Tingkat yang paling dasar dari evolusi agama adalah ketika manusia percaya
bahwa terdapat makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggal
manusia karena mereka bertubuh halus, manusia tidak dapat menangkap dengan
panca inderanya. Makhluk halus tersebut itu mampu berbuat berbagai hal yang
tidak dapat diperbuat oleh manusia. Berdasarkan kepercayaan semacam itu,
119
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, September
2000), hal.24.
69
makhluk halus dijadikan sebagai objek penghormatan dan penyambahan manusia
dengan berbagai ritual atau upacara keagamaan berupa doa, sesajen atau korban.
Kepercayaan seperti itulah yang oleh E.B Taylor disebut animisme. 120
Pada tingkat selanjutnya dalam evolusi agama, manusia percaya bahwa
gerak alam ini disebabkan oleh jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala
alam itu. Sungai sungai yang mengalir, gunung yang meletus, angin topan yang
menderu, matahari, bulan, dan tumbuh-tumbuhan semuanya bergerak karena jiwa
alam ini, kemudian dianggap sebagai makhluk-makhluk yang berkepribadian,
yang mempunyai kemauan dan disebut dewa-dewa alam. 121
Teori jiwa atau ritual ini menegaskan bahwa antara agama dan alam
disekelilingnya itu saling berkaitan, dimana manusia tetap memerlukan agama
namun juga tetap melakukan berbagai tindakan atau ritual yang berhubungan
dengan roh-roh yang ada di alam semesta. Seperti halnya tarian Sintren yang
sudah menjadi kebiasaan masyarakat melalui beberapa ritual dan prosesinya
berkaitan dengan pemanggilan roh bidadari serta gerakan tari melalui mantra yang
dibawakan oleh pawang Sintren yang akhirnya menimbulkan gerakan di luar
kesadaran manusia.
Sintren merupakan tradisi Jawa khususnya di desa Cikendung Pemalang.
Perayaan Sintren di desa Cikendung dimaksud sebagai pemanjatan rasa syukur
terhadap Allah S.W.T atas limpahan rezeki serta kekayaan alam yang ada di dunia
melalui roh-roh yang ada di alam semesta. Roh Bidadari yang masuk ke dalam diri
Sintren merupakan perwujudan kuasa-Nya bahwa terdapat makhluk disekeliling
120
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, September
2000), hal.24. 121
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal.25.
70
manusia yang tidak dapat dilihat oleh panca indera. Pemberian sesajen , dupa
maupun obor memiliki makna suatu harapan agar doa yang dipanjatkan
dikabulkan serta sebagai rasa syukur atas apa yang sudah di dapatkan oleh
manusia khususnya warga Cikendung. 122
Dalam teori yang diungkapkan oleh Marcel Mauss dalam karyanya yang
berjudul The Gift atau Pemberian, bahwa tidak ada sesuatu pemberian yang tanpa
pamrih. Karena menurutnya, kehidupan manusia telah berlangsung suatu evolusi
secara alamiah, sehingga manusia memiliki hubungan dengan roh-roh dari mereka
yang sudah meninggal atau dengan para dewa. Jadi dengan melaksanakan
pemberian atau saling tukar-menukar adalah hal yang dianggap penting karena
untuk menghindari adanya kekuatan jahat dari para roh leluhur dan membuat
kehidupan masyarakat menjadi lebih mudah dan aman.123
Sintren timbul pada zaman kuno berhubungan dengan roh halus, garapan
Sintren adalah mampu memasukan roh halus masuk ke dalam diri perempuan
yang di maksudkan, Sintren bergerak sesuai keinginan roh tersebut melalui
instrumen musik yang dimainkan dan mantra yang dibacakan oleh pawang. Ciri-
ciri instrumen musik untuk mengiringi Sintren sangatlah sederhana, tidak
selengkap zaman yang sekarang, yang dibutuhkan kesenian rakyat, bukanlah
kualitas seni (keindahan, urutan gerak) akan tetapi sebagai ungkapan atau sebagai
media agar bisa berinteraksi dengan alam ghaib atau roh-roh dan mampu
122
Wawancara Pribadi dengan Bapak Kartono, “Pawang Sintren Desa Cikendung”, 7
September 2018 123
Marcel Mauss, The Gift: Form and Functions of Exchange in Archaic Societies, terj.
Parsudi Suparlan “Pemberian: Bentuk dan Fungsi Tukar-Menukar di Masyarakat Kuno”
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hal. 19.
71
menghubungkan komunikasi dengan roh halus.124
Pada waktu itu melempar koin atau balanagan adalah sabagai sarana untuk
membeli kembang atau bunga dan juga merupakan faktor Animisme Dinamisme
sebagai bentuk permintaan. Hal tersebut merupakan spiritual saat roh masuk ke
dalam diri penari Sintren. Modern ini kata balangan diubah menjadi saweran,
sumbangsih hajat maupun bahasa lainnya sesuai dengan kebiasaan daerah masing-
masing yang pada intinya tertuju untuk memenuhi sarana atau kegunaan
kepercayaan tersebut. Sintren sebelum masuk ke dalam kurungan, rapalan atau
mantra sudah di bacakan terlebih dahulu, Sintren mengalami trance kemudian
pingsan saat didudukan disamping kurungan. Sebelum dimasukan ke dalam
kurungan tangan Sintren dalam kondisi diikat, pakaian apa adanya dan tanpa
riasan, posisi Sintren sudah dalam keadaan tidak sadar.125
Perubahan Sintren yang dulu dan sekarang adalah perubahan lirik atau
syair yang digunakan. saat Sintren dibacakan dengan potongan ayat Al-qur‟an
yang kemudian di terjemahkan dalam Bahasa Jawa maka seharusnya Sintren di
lakukan malam hari berturut turut selama 4 hari dengan disandingkan rapalan-
rapalan lainnya. Namun Jika mantra di bacakan dalam Bahasa Jawad an diiringi
dengan jimat dan sebagainya maka Sintren akan lebih mudah untuk kemasukan
roh bidadari, karena unsur bacaan yang mempengaruhi dan biasanya sesuai
dengan lingkungan yang ada karena memang disekitar pegunungan tersebut
terdapat banyak media yang bersifat mistis.126
124
Wawancara Pribadi dengan Bapak Koestoro, “Budayawan Kabupaten Pemalang
(kesenian, sejarah, dan aliran kepercayaan)”, 9 September 2018. 125
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, “Pimpinan Sanggar Sintren Desa
Cikendung”, 11 Desember 2018. 126
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, “Pimpinan Sanggar Sintren Desa
72
Hal yang terpenting adalah proses penyucian diri Sintren saat dimasukan
bersih dari hal-hal keduniawian. Ngelatih Jiwa atau melatih jiwa merupakan
sesuatu yang harus dipenuhi agar mendapatkan keadaan yang tenang atau rileks
intinya adalah perasaan yang tulus serta pasrah.127
C. Sintren pada Masa Hindu dan Budha
Perayaan ritual Sintren pada saat penggunaan sesajen bagian dari alat atau
sesembahan roh sebenarnya tidak harus menggunakan kemenyan, bisa
menggunakan alat obor, air atau sebagainya lantaran menyesuaikan adat dan
tradisi lingkungan yang ada. Proses Sintren pada zaman dahulu sebelum Islam
masuk masih terpengaruh oleh ajaran Hindu dan Budha, hal yang terpenting yaitu
yakin terhadap kepercayaan animism dan dinamisme. 128
Pertunjukan Sintrenpada
zaman pengaruh hindu dan Budha tercermin dalam lagu yang bersyair sebagai
berikut :
1. Kembang jahe laos (Bunga jahe laos).
2. Kecampur kembang kemuning (tercampur bunga kemuning).
3. Arep balik age los (mau pulang silahkan pergi)
4. Mengko sore menea maning (Nanti sore kesini lagi)129
Kata balik (pulang) yang dimaksudkan dalam syair di atas artinya mati.
Kemudian kata menea maning (kesini lagi = kembali lagi) maksudnya adalah
Cikendung”, 11 Desember 2018
. 128
Wawancara Pribadi dengan Bapak Kartono, “Pawang Sintren Desa Cikendung”, 7
September 2018.
129
Dyah Komala Laksmiyati, Chusnul Khotimah, SINTREN Keindahan Seni Budaya
Cirebon, (Cirebon: Rumah Budaya Nusantara Pesambangan Jati, 2013) hal. 6-7.
73
menitis kembali atau kelahiran kembali (reinkarnasi). Dalam agama Hindu dan
Budha dikenal istilah manitis/manitis-manuksa-manjalma (menjelma).130
D. Sintren pada Masa Penyebaran Agama Islam
Kesenian Sintren pada zaman perkembangan agama Islam, sangat banyak
pesan-pesan terselubung yang mencerminkan ajaran falsafah agama Islam.
Beberapa ajaran nya sebagai berikut:
1. Pemeran utama Sintren, yaitu Sintren atau lais dan dalang Sintren
berjumlah 2 orang, melambangkan 2 kalimat syahadat, yaitu syahadat
Tauhid dan syahadat Rasul.
2. Jenis waditra yang 4 melambangkan Iman, Tauhid, Ma‟rifat, Islam.
3. Jumlah waditra yang 5 melambangkan Rukun Islam ada lima
4. Nayaga, Pembawa lagu, jumlah pemain Sintren yang berjumlah 20 orang
melambangkan sifat-sifat Tuhan (Allah) yang jumlahnya ada 20.
5. Kurungan dan Sintren atau lais melambangkan badan jasmani dan rohani,
yang pada waktunya dengan ketentuan oleh tuhan yang Maha Esa, badan
jasmani akan ditingkalkan oleh badan rohani, seperti halnya kurungan
yang nantinya akan ditinggalkan oleh Sintren atau lais.131
Demikian pula dengan ajaran syair lagu yang diterapkan, mengandung
beberapa ajaran falsafah agama Islam sebagai berikut :
1. Waris lais terapnang sandang ira (Pawang lais pasangkan pakaianmu) =
130
Wawancara Pribadi dengan Bapak Kartono, “Pawang Sintren Desa Cikendung”, 7
September 2018. 131
Dyah Komala Laksmiyati, Chusnul Khotimah, SINTREN Keindahan Seni Budaya
Cirebon. hal. 7.
74
Wari lais adalah pemain lais yang melambangkan makhluk (umat manusia)
yang memiliki kehendak
2. Dunung alah dunung (majikan duh majikan) = dunung mempunyai arti
majikan yaitu Allah S.W.T yang wajib disembah.
3. Si dununge bahu kiwa (majikannya bahu kiri) = yang berarti Tuhan itu
tidak jauh dari kita, Tuhan maha mengetahui segala perbuatan kita
4. Pangeran kang lara tangis (Tuhan yang pengasih dan penyayang) =
maksudnya adalah Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang sebagai
tempat mengabdi dan memohon pertolongan.132
Penggalan syair tersebut adalah Sintren atau lais (manusia) boleh meminta
apa saja, Tuhan yang akan mengabulkan. Sedangkan dilihat dari instrument
musiknya, dua buah bumbung bambu, satu buah gendi, satu buah buyung dan satu
buah kecrek dapat diartikan sebagai rukun Islam yang lima perkara. Instrument
pada gendi sebagai gong yang ditiup secara teratur dengan bunyi huu huu itu
berarti menyebut asma Tuhan, huu yang diucakan secara teratur dan terus menerus
sebagai gambaran kita selalu berdzikir kepada Allah S.W.T.
132
Dyah Komala Laksmiyati, Chusnul Khotimah, SINTREN Keindahan Seni Budaya
Cirebon. hal. 8.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang Sintren yang telah penulis tulis menyimpulkan
bahwa Sintren menceritakan atau menggambarkan suatu kehidupan, bagaimana
seseorang mengalami proses menghadapi kehidupan dari mulai terbangun untuk
bernafas dan terlelap saat tidur kemudian mati. Masuknya Sintren cepluk/makan
kemudian kemasukan roh bidadari yang berjumlah 40 kemudian berakhir
meninggal (layung-layung). Ritual perayaan Sintren yang ada di desa Cikendung
memiliki nilai spiritual sebagai berikut:
Pertama, nilai spiritual Sintren pada saat proses ritual mbalang, ketika koin
saweran mengenai tubuh sang sintren, maka penari Sintren pun akan pingsan dan
akan bangun kembali setelah diberi asap kemenyan dari dupa ke arah hidung dan
mantra-mantra oleh sang pawang. Sintren bangun kembali dan melanjutkan tarian
dengan gaya yang berbeda, menandakan pergantian roh bidadri yang masuk.
Sintren akan berulang pingsan ketika uang koin mengenai tubuhnya.
Kedua, Sintren sebagai bentuk akulturasi budaya, Pertunjukan tari
peninggalan leluhur yang menggunakan mantra guna mengundang roh halus
tersebut oleh masyarakat dianggap sakral karena sebagai bentuk permintaan.
Beberapa syair serta lirik lagu mengalami perubahan tampak pada syair bismallah
saat membuka acara, selain itu juga beberapa lirik lagu sintren lainnya.
Dari penelitian tersebut juga dapat disimpulkan bahwa keyakinan atau
kepercayaan masing-masing individu yang saling bertentangan satu sama lain
ketika dipertemukan akan sulit, oleh sebab itu disiasati dengan cara menyesuaikan
76
bagaimana sekitar agar tidak saling tersinggung. Keyakinan seseorang melekat
pada diri sendiri tanpa bisa ditetapkan maupun dipaksa, masing-masing keyakinan
mempunjyai jalurnya sendiri. Dari kacamata ketuhanan baik Islam atau yang
lainnya menetapkan bahwa Indonesia menggunakan Ketuhanan Yang Maha Esa,
bahwa ada sesuatu atau zat dialam ghaib sana yang dinamakan Tuhan.
Manifestasinya kebawah antara Tuhan dengan manusia itu sendiri merupakan
pilihan masing-masing dan dijalankan sesuai dengan ketentuan yang ada menurut
syariat yang sudah ditetapkan oleh masing-masing kepercayaan tersebut.
B. Saran
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis, penulis telah
mengetahui bagaimana proses pelaksanaan Sintren dari mulai persiapan sampai
dengan pelaksaan hingga Sintren berakhir, Penulis juga mengetahui bagaimana
sebenarnya tujuan dari pelaksaan Sintren yang langsung diadakan oleh pemerintah
desa maupun diadakan pribadi keluarga sesuai dengan tujuannya masing-masing.
Penulis beranggapan bahwa ritual pelaksanaan Sintren perlu dipertahankan serta
dilestarikan agar ritual tersebut tidak termakan oleh budaya baru yang tidak
mencerminkan ciri khas desa dan kegunaannya.
Sintren memiliki potensi kesenian yang kuat yang mengandung nilai
religiuitas, sosial serta toleransi yang tinggi antar sesama masyarakat, hal tersebut
dirasakan oleh beberapa elemen masyarakat dari mulai yang muda sampai dengan
yang tua. Pelaksanaan ritual Sintren juga memerlukan kerjasama antara warga
yang pro maupun kontra terhadap ritual tersebut. Bagi warga yang tidak
menyukainya memaknai Sintren sebagai selingan hiburan semata, karena
menganggap Sintren bertolak belakang dengan kepercayaan yang dianutnya
77
lantaran mengandung hal-hal yang negatife seperti pemujaan roh dan sebagainya.
Sebaliknya, bagi warga yang menyukainya, menganggap Sintren sebagai garapan
seni sekaligus media interaksi terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Adapun roh-roh
bidadri yang dipanggilan merupakan sumber perwujudan bahwa didunia ini tidak
hanya makhluk hidup yang berjenis manusia akan tetapi terdapat makhluk ghaib
yang tidak dapat dilihat oleh panca indera manusia.
Selain sebagai warisan budaya leluhur yang turun temurun, Sintren
merupakan bentuk akulturasi budaya yang semula dilaksanakan untuk pemujaan
semata, guna meminta jodoh dan sebagainya, Sintren diberlangsungkan tidak
hanya untuk demikian akan tetapi sebagai bentuk pelaksananaan rasa syukur
kehadirat Allah S.w.t atas limpahan karunia atas apa yang ada baik di Bumi
maupun di langit.
78
DAFTAR PUSTAKA
Refrensi Buku :
Ali, Mukti dan Abdullah Fajar. Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta: Tiara
Wacana, Oktober 2004.
Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. Terj. Aswab Mahasin “Abangan, Santri,
Priyayi dalam Masyarakat Jawa”. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Harrison, Lisa. Metode Penelitian Politik, Jakarta: PT Fajar Interpratama Offset,
2009.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
September 2000.
Laksmiyati, Komala Dyah dan Chusnul Khotimah. Sintren Keindahan Seni
Budaya Cirebon, Cirebon: Rumah Budaya Nusantara Pesambangan Jati,
2013
Mauss, Marcel. The Gift: Form and Functions of Exchange in Archaic Societies,
terj. Parsudi Suparlan “Pemberian: Bentuk dan Fungsi Tukar-Menukar di
Masyarakat Kuno”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992
Moehkardi. Sendratari Ramayana Prambanan Seni dan Sejarahnnya. Jakarta:
KPG Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan PT. Taman
Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko, 2011.
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya
Ilmiah. Jakarta: Kencana, 2012.
Nurhayati, Laela dan Rukoyah. Kesenian Sintren di Jawa Tengah, Jakarta:
79
Perpustakaan Republik Indonesia, 2012.
Usman, Husaini dan Purnomo Setyadi Akbar. Metodologi Penelitian Sosial,
Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009
Triratnawati, Atik dan Isni Herawati. Revitalisasi Kesenian Sintren, Yogyakarta:
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB), 2012
Sumber Jurnal dan Skripsi:
Admin Desa Wisata. Enam Gunungan Meriahkan Kirab Apitan Megawon, Jurnal
Pantura, 3 Agustus 2018
Aris. Profil Desa Wisata Budaya Cikendung Jurnal Desa Wisata Cikendung, 2019
Data Monografi Desa Cikendung, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang,
Tahun 2019
Dini Novianti, Ritual Magis Dibalik Kesenian Sintren (Studi Deskriptif pada
Paguyuban Sintren Sinar Sahar Cangkol Tengah Kotamadya Cirebon),
Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Airlangga
Surabaya, tahun 2001.
Eka Wati, Makna Filosofis Pertunjukan Kesenian Sintren (Studi Kasus Sanggar
Sintren Sekar Insani desa Babadan, Gunungjati, Kabupaten Cirebon),
Skripsi S1 jurusan Akidah Filsafat Islam Institut Agama Islam Negeri
Syekh Nurjati Cirebon, tahun 2017.
Fariz Kurniawan. Upacara Tradisi Mbeleh Wedhus Kendhit (kajian cerita
kelisanan, dan nilai-nilai) Under Graduates thesis, Universitas Negeri
Semarang, 15 Agustus 2011.
Fitri Inayati. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kesenian Sintren di Desa Sambong
80
Kecamatan Batang Kabupaten Batang, Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang, 2016.
Giska Faris Al-Amim. Analisis Karakter Fungsi Instrumen Musik di Desa
Pagejukan Kabupaten Brebes, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta, 2012.
Jati Sekar Pinilih. Makna simbolis pertunjukan Sintren di Desa Surajaya
kecamatan Pemalang, kabupaten Pemalang, Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang, 2012.
Khomsatun. Makna Simbolik Seni Pertunjukan Tari Tradisional Sintren, Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Lutfi Deska. Kesenian Sintren Sebagai Kearifan Lokal, Jurnal Penelitian
humaniora, vol. 21 No. 1, April 2016.
Mamdukh Adi Priyanto. Pemalang gelar Festival Wong Gunung di Lereng
Gunung Slamet, jurnal wartawan tribun jateng, Rabu, 22 November 2017.
Mamdukh Adi Priyanto. Sintren dan Lais, Tarian Mistis yang Semakin
Terpinggirkan, jurnal wartawan tribun jateng, Rabu 29 November 2017.
Puji Dianti. Istilah-Istilah dalam Kesenian Sintren di Desa Cikendung Pulosari,
Pemalang (Kajian Etnoquistik), Skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret (USM) Solo, 2018.
Puji Dwi Darmoko. Kesenian Sintren dalam Tarikan Tradisi dan Modernitas,
Jurnal Ilmiah Madaniah, vol. 4 no.1, Januari 2014
Ratna pujiastuti. Research Methods And Organizational Studies, jurnal penelitian,
vol. 01, Februari 2014.
Wahyu. Sejarah Ruat Bumi, Jurnal Desa, 3 Juli
81
Sumber Internet:
Diakses dari https;//kbbi.web.id/karya.html pada tanggal 21 Januari 2019 17.27
WIB.
Diakses https://kbbi.web.id/sejarah pada hari Minggu 7 Juli pukul 17.00 WIB
Sumber Wawancara:
Wawancara Pribadi dengan Bapak Koestoro, Penggiat Budaya Kabupaten
Pemalang meliputi, kesenian, Sejarah, dan Aliran Kepercayaan, 9
September 2018.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sokhi, Pimpinan Sanggar Sintren Desa
Cikendung, 11 Desember 2018.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Wahyu, “Perangkat Desa Cikendung Bagian
Kasie Pelayanan”, 3 Juli 2019
Wawancara Pribadi dengan Bapak Deni Suseno , “Ketua Badan
Permusyawaratan Desa Cikendung”, 11 Desember 2018.
LAMPIRAN - LAMPIRAN
82
Lampiran VII : Surat Izin Penelitian
83
Lampiran VIII : Surat Keterangan Penelitian
84
Lampiran IX : Pedoman Wawancara
PEDOMAN WAWANCARA
Data Informan
Nama :
Umur :
Alamat :
Jabatan:
Waktu Wawancara :
Tempat Wawancara :
Daftar Pertanyaan
A. Gambaran Umum Desa Cikendung
1. Bagaimana asal usul Desa Cikendung?
2. Bagaimana kondisi geografis dan Demografis Cikendung?
3. Bagaimana kondisi ekonomi masyarakat Desa Cikendung?
4. Bagaimana kondisi sosial dan budaya Desa Cikendung?
5. Bagaimana kondisi keagamaan masyarakat Desa Cikendung?
6. Bagaimana kondisi pendidikan masyarakat Desa Cikendung?
B. Sekilas tentang Ritual Perayaan Sintren
1. Apakah yang disebut dengan Sintren?
2. Bagaimana Perkembangan Ritual Perayaan Sintren?
3. Apa tujuan dilaksanakannya Ritual Sintren?
85
4. Kapan dan dimana Ritual Pelaksanaan Sintren?
5. Apa saja perlengkapan Ritual Sintren?
6. Bagaimana Prosesi Ritual Pelaksanaan Sintren?
7. Bagaimana masyarakat menyikapi pelaksanaan Ritual Sintren?
C. SINTREN DAN NILAI SPIRITUAL
1. Apakah Sintren sama dengan kepercayaan?
2. Apakah sesuai dengan syariat Islam?
3. Apakah pelaksanaan Ritual Sintren mendapat pengaruh dari agama lain
selain Islam?
86
Lampiran X : Pernyataan Informan
87
88
89
90
91
92
93
94
95
Lampiran XI : Hasil Wawancara
HASIL WAWANCARA
Data Informan
Nama : Wahyu
Umur : 50 Tahun
Alamat : Desa Cikendung, Pulosari, Pemalang
Jabatan : Perangkat Desa Kasie Pemerintahan”,
Tanggal wawancara : 3 Juli 2019, pukul 09.00 WIB
Tempat wawancara : Balai Desa Cikendung
Beberapa Daftar Pertanyaan :
1. Bagaimana asal usul Desa Cikendung?
Jawab: Sejarah desa Cikendung bermula dari dua tokoh karismatik Mbah Tuwuh
Wijaya dan Mbah Margalangu, berdasarkan cerita para leluhur yang kemudian
turun temurun diwariskan kepada para sesepuh desa Cikendung hingga kini,
konon kedua tokoh tersebut bukanlah saudara atau kerabat namun mereka
bertemu setelah kerajaan-kerajaan di tanah jawa banyak berkembang termasuk
kerajaan Hindu Kuno atau Mataram Kuno yang mana desa Cikendung termasuk
dalam wilayahnya
2. Bagaimana kondisi geografis Desa Cikendung?
Jawab: Desa Cikendung adalah sebuah desa di daerah pegunungan tepatnya di
kecamatan Pulosari kabupaten Pemalang Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikendung
berseebelah utara perbatasan dengan Desa Banyu mudal, di sebelah selatannya
berbatasan dengan Desa Siremeng, Sebelah barat berbatasan dengan Desa
Pulosari dan Sebelah timur berbatasan dengan Desa Beluk
96
3. Bagaimana kondisi ekonomi masyarakat Desa Cikendung?
Jawab: Masyarakat desa Cikendung memanfaatkan pengelolaan wisata, selain itu
banyak pula warga yang menjadi peternak, petani, pedagang, dan buruh. Fasilitas
ekonomi untuk para warga juga lebih diperhatikan, seperti adanya usaha kecil
menengah, lembaga ekonomi unit desa. Adanya usaha tersebut ditujukan untuk
membantu masyarakat mengelola hasil pendapatan yang mereka kerjakan.
Beberapa jenis lembaga ekonomi desa meliputi, industri makanan dari hasil
perkebunan yang berlimpah, kelompok simpan pinjam, Bumdes dan sebagainya
97
HASIL WAWANCARA
Data Informan
Nama : Romdhon Arisqi
Umur : 28 Tahun
Alamat : Desa Cikendung RT 14 RW 02
Jabatan: Ketua POKDARWIS Desa Cikendung.
Tanggal Wawancara : 3 Juli 2019, pukul 13.00 WIB.
Tempat Wawancara : Rumah Pribadi
Beberapa Daftar Pertanyaan :
1. Bagaiamana Kondisi Sosial dan Kebudayaan yang ada di Desa Cikendung?
Jawab : Desa Cikendung merupakan desa yang masih sangat menjaga budaya
leluhurnya. Budaya yang lahir dari leluhurnya masih terus dilestarikan. Desa
Cikendung terkenal memiliki kepercayaan yang sangat kuat akan roh-roh gaib.
Namun seiring berkembangnya zaman, kepercayaan yang sangat kuat itu hidup
berdampingan dengan agama yang dianut masyarakat
2. Bagaimana Kondisi Pendidikan di Desa Cikendung?
Jawab : Pendidikan formal menjadi acuan yang bersifat sangat penting supaya
tidak menjadi masyarakat yang terbelakang. Banyak orang yang berpendidikan
sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan desa. Pada kenyataannya anak-anak aesa
Cikendung sedikit yang melanjutkan sampai ke jenjnag perguruan tinggi ataupun
setingkat SMA/Sedrajat, pendidikan bukan menjadi tolak ukur bagaimana
seseorang menjadi sukses, bahkan masyarakat banyak yang berfikir bahwa tanpa
sekolah saja mereka bisa kaya. Kurangnya motivasi dari orang tua agar anak-
anaknya tetap bersekolah dan pengaruh dari teman sebayanya yang juga tidak
98
melanjutkan pendidikan. Namun, sebagian dari mereka masih ada yang mampu
memberikan motivasi hingga anaknya bisa menyelesaikan pendidikan yang
semestinya.
3. Bagaimana Kondisi Keagamaan yang ada di Desa Cikendung
Jawab : Warga desa Cikendung sebagian besar mewajibkan anaknya untuk belajar
di Taman Pendidikan Al-Qur‟an/TPA, pondok pesantren serta majelis taklim, bagi
warga ilmu agama sangatlah penting untuk kehidupan manusia karena mampu
membawa kedua orangtua melalui amal ibadahnya serta menjadi bekal kelak di
akhirat. Anak yang tidak bersekolah memiliki banyak waktu untuk mengaji, baik
iqro‟, juz „amma, pengetahuan agama seperti fiqih, akhlak, dan lainnya mereka
belajar di tempat dan waktu yang berbeda. Hal inilah yang terlihat sebagaimana
besar kekuatan religius masyarakat Cikendung.
99
HASIL WAWANCARA
Data Informan
Nama : Drs. Koestoro
Umur : 71 tahun
Alamat : Jalan Jati 2 no 33 Griya Pelutan Indah rt 01 rw 03
Jabatan: Budayawan Kabupaten Pemalang
Tanggal Wawancara : 9 September 2019, pukul 10.00 WIB
Tempat Wawancara : Rumah Pribadi
Beberapa Daftar Pertanyaan :
1. Apakah Sintren itu?
Jawab: Sintren disebut juga sintru yang mempunyai arti sesuatu yang tidak
fullgar, abu-abu, alam yang tidak terlihat. Kesenian rakyat yang timbul pada
zaman dahulu disebut juga dengan anonym karena penciptanya sulit di cari. Ada
yang membuatnya namun, orang-orang terdulu tidak ingin menampakan dirinya
sebagai pencipta. Orientasinya saat penciptaan ritual Sintren yaitu pada kehidupan
roh halus, sebab ada dan hidup pada masa agama-agama yang diakui belum hadir
dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat animism, dinamisme
2. Bagaimana kaitannya Sintren dengan animism dinamisme?
Jawab: Animisme dinamisme mewujudkan kepercayaan dengan berbagai hal yang
mengaitkan dengan gunung atau sesuatu yang besar karena memiliki keyakinan
tertentu. Sintren dimainkan di daerah pegunungan lantaran mistis yang ada sangat
kental dan banyak roh yang tanpa disadari berkeliaran dengan dunia yang tidak
manusia ketahui. Sebelum Hindu datang, rapalan atau mantra Sintren
menggunakan rapalan Jaya Baya bukan Hindu Budha akan tetapi Jawa, agar
100
keduanya tetap hidup, seni dan ajaran agama beriringan asalkan tidak dibenturkan
karena sejatinya hal tersebut saling melengkapi namun berjalan sendiri-sendiri
sesuai dengan ketentuan masing-masing. Animisme dinamisme mewujudkan
kepercayaan dengan berbagai hal yang mengaitkan dengan gunung atau sesuatu
yang besar karena memiliki keyakinan tertentu. Sintren dimainkan di daerah
pegunungan lantaran mistis yang ada sangat kental dan banyak roh yang tanpa
disadari berkeliaran dengan dunia yang tidak manusia ketahui. Sebelum Hindu
datang, rapalan atau mantra Sintren menggunakan rapalan Jaya Baya bukan Hindu
Budha akan tetapi Jawa, agar keduanya tetap hidup, seni dan ajaran agama
beriringan asalkan tidak dibenturkan karena sejatinya hal tersebut saling
melengkapi namun berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan ketentuan masing-
masing.
3. Bagaimana Kaitannya Sintren yang mengandung unsur animism dan
dinamisme dengan Agama Islam
Jawab : Pada diri sang Sintren roh masuk, seseorang meminta sesuatu melalui
mbalangan dan meyakini bahwa roh tersebut akan mengabulkan permintaannya.
Dalam Islam meminta terhadap selain Allah tidaklah boleh, akan tetapi hal ini
merupakan turun temurun warisan budaya yang bermula Animism Dinamisme
yang kemudian di lakonkan oleh orang-orang beragama, sehingga seiring
berjalannya waktu masyarakatpun mempercayai hal tersebut sebagai bentuk rasa
syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang di implementasikan melalui media
hiburan Sintren karena yang merupakan keyakinan pada waktu itu dan sebagai
persembahan hubungan Animisme dan Dinamisme
4. Apa Tujuan dilaksanakan ritual Sintren sebelum masuknya islam?
101
Jawab: Sintren timbul pada zaman kuno berhubungan dengan roh halus, garapan
Sintren adalah mampu memasukan roh halus masuk ke dalam diri perempuan
yang di maksudkan, Sintren bergerak sesuai keinginan roh tersebut melalui
instrumen musik yang dimainkan dan mantra yang dibacakan oleh pawang. Ciri-
ciri instrumen musik untuk mengiringi Sintren sangatlah sederhana, tidak
selengkap zaman yang sekarang, yang dibutuhkan kesenian rakyat, bukanlah
kualitas seni (keindahan, urutan gerak) akan tetapi sebagai ungkapan atau sebagai
media agar bisa berinteraksi dengan alam ghaib atau roh-roh dan mampu
menghubungkan komunikasi dengan roh halus
5. Apakah pelaksanaan ritual Sintren mendapat pengaruh dari agama lain
selain Islam?
Jawab: Sintren dipengaruhi oleh agama Hindu Budha pada waktu itu, karena
Islam belum masuk. Seperti dalam beberapa lagu Sintren juga banyak yang
mengandung bhasa sansekerta pasca Hindu Budha. Kata balik (pulang) yang
dimaksudkan dalam syair di atas artinya mati. Kemudian kata menea maning
(kesini lagi = kembali lagi) maksudnya adalah menitis kembali atau kelahiran
kembali (reinkarnasi). Dalam agama Hindu dan Budha dikenal istilah
manitis/manitis-manuksa-manjalma (menjelma).
6. Bagaimana Sintren pada masa penyebaran agama Islam?
Jawab : Sintren dan lais pada masa penyebaran agama Islam adalah Sintren atau
lais yang diislamkan oleh para Wali. Syair-syair yang mengandung ajaran
Animisme dan Dinamisme serta Hindu dan Budha diganti dengan syair-syair
Islami. Para Wali mendirikan Islam sangatlah susah oleh sebab itu lewat Sintren
dan lais yang didalamnya terdapat gamelan, gendhing dan syair-syair keislaman
102
dijadikan sebagai media hiburan sekaligus media dakwah guna mengajak
masyarakat untuk memeluk agama Islam.
103
HASIL WAWANCARA
Data Informan
Nama : Bapak Sokhi
Umur : 47 Tahun
Alamat : Desa Cikendung RT. 01 RW. 01
Jabatan: Pemimpin Sanggar Sintren Desa Cikendung.
Tanggal Wawancara : 11 Desember 2019, 20.00 WIB.
Tempat Wawancara : Sanggar Sintren
Beberapa Daftar Pertanyaan:
1. Bagaimana Sintren yang ada di Desa Cikendung?
Jawab: Sintren di Desa Cikendung merupakan Sintren yang tergolong langka,
pemain Sintren tidak hanya diperankan oleh perempuan saja akan tetapi juga
diperankan oleh pemain laki-laki yang disebut dengan “lais” atau Sintren lanang.
Dahulu pelaku Sintren adalah orang-orang Kapitayan dengan beberapa ritual
sesembahan lainnya, namun seiring berjalannya waktu Sintren ini dilanjutkan oleh
orang-orang Islam
2. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap Sintren yang ada di Desa
Cikendung?
Jawab: Sintren dipandang oleh sebagian masyarakat di desa Cikendung memiliki
unsur keyakinan tertentu seperti ajang mencari jodoh, mengharap turunnya hujan,
dan juga menukar informasi perantara alam ghaib (mbalang). Mbalang (bahasa
jawa) diartikan melempar, saat penari Sintren yang sedang menari maka dari arah
penonton ada yang melempar koin, kemuadian penari akan jatuh dan pingsan. Hal
tersebut menandakan bahwa Sintren sudah berada diantara alam nyata dan alam
104
gaib, sambil pawang membacakan beberapa mantra tertentu, kedua tangan Sintren
diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusapkan wajah penari
Sintren, tujuannya adalah agar roh bidadari datang, Sintren kemudian sadar dan
Sintren kembali menari.
3. Adakah amalan-amalan atau tirakat yang dilakukan oleh pawang dan
pemain Sintren?
Jawab : Pawang Sintren sebelum melakukan pementasan harus melaksanakan
beberapa tirakat atau amalan-amalan agar mantra-mantra yang diucapkan nanti
sesuai dengan maksud yang diharapkan dan mampu mendatangkan roh bidadari
yang dipanggilnya. Amalan tersebut adalah puasa selama beberapa hari menurut
perhitungan Jawa. Tidak hanya pawangnya saja, akan tetapi pelaku Sintren dan
harus juga melaksanakan hal yang sama. Puasa dimaksudkan agar orang tersebut
suci dan bersih dari segala hal tentang keduniawian. Selama puasa dilaksanakan
seorang pawang Sintren harus juga memanjatkan doa dan mantra kejawen yang
menggunakan bahasa jawa, Selain itu juga seorang pawang Sintren merupakan
titisan dari turun temurun leluhurnya, dikarenakan untuk menjaga nilai tradisi dan
budaya aslinya
4. Apa yang menarik dari ritual perayaan Sintren?
Jawab: Beberapa hal yang menarik dari Sintren yang ada di Cikendung adalah
pertama, keunikan tari Sintren sebagai warisan turun temurun yang memiliki
unsur keyakinan. Kedua atraksi yang dilakukan oleh pemain Sintren ketika
mendengar instrumen musik dapat berdandan dalam kondisi diikat dalam keadaan
petang. Ketiga penonton boleh melempari suatu barang yang disisipi uang saat
pertunjukan dan setelah itu barang tersebut akan dikembalikan dalam kondisi
105
wangi
5. Bagaimana Perkembangan Sintren di Desa Cikendung?
Jawab: Dalam pembahasan tentang Sintren di desa Cikendung, sebagaimana
perkembangan Sintren dari masa ke masa hingga sekarang, pelaksanaan tarian
tersebut tetap mempertahankan nilai spiritual dan keindahan tarian dengan
semestinya tanpa mengurangi hakikat dari tujuan dan kegunaan Sintren yang
sebenarnya. Nilai spiritual yang dimaksudkan dalam ritual Sintren adalah
bagaimana proses sebelum menjadi Sintren, sosok Sintren tersebut benar-benar-
benar suci hatinya, tanpa terselimuti urusan keduniawian sehingga tirakat-tirakat
dilaksanakan guna mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa
Sintren merupakan tradisi yang sudah ada sejak masa nenek moyang. Dahulu
melaksanakan tradisi tersebut sebagai upaya persembahan kepada roh-roh gaib
yang ada di sekitar. Namun berbeda dengan masa kini bahwa persembahan
tersebut dilakukan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT. atas rezeki
yang diterima oleh masyarakat. Persembahan sajen yang diberikan tidak jauh
berbeda dari masa ke masa
6. Bagaimana Prosesi pelaksanaan Sintren?
Jawab: Pertunjukan Sintren diawali dengan mengadakan upacara tertentu yang
dipimpin oleh pemimpin kelompok (dalang atau pawang) untuk mengundang roh-
roh halus agar mau memasuki tubuh penari. Untuk itu, perlu disediakan
kemenyan, tempat pembakaran kemenyan, bunga-bungaan, dan minyak wangi.
Upacara tersebut dilakukan ditempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat
tinggal para roh halus, seperti makam kramat, curug (air terjun), atau yang
lainnya. Selanjutnya, alat pengiring ditabuh dengan membawakan lagu yang
106
berirama dinamis sebagai tanda dimulainya pertunjukan
Sebelum dimulai, para juru kawih (sinden) memulai dengan lagu-lagu yang
dimaksudkan untuk mengundang penonton. Pertunjukan Sintren diawali dengan
tembang yang menarik perhatian para penonton yaitu "Kukus Gunung". Para
pemain berlenggak-lenggok mengikuti irama gamelan yang dimainkan para
penabuh
Judul Syair lagunya Tambak tambak pawon, untuk mengundang penonton
Isi dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul
Artinya: Tambak-tambak dapur isinya dandang kukusan (kalau ada kebul-kebul
yang nonton pada kumpul)
Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar
berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton sudah
banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya:
Judul Syair: Turun Sintren, Sintrene widadari
Nemu kembang yun ayunan
Nemu kembang yun ayunan, dst
7. Bagaimana peran pawang saat ritual pelaksanaan Sintren?
Jawab : Peran pawang saat ritual yaitu diiringi tabuhan gendang atau Gamelan
yang terus menggema. Pawang tidak berhenti membaca doa dengan asap
kemenyan mengepul yang bertujuan memanggil kekuatan dari luar. Sintren yang
diikat dengan tali, kemudian pawang mengintruksikan kepada Sintren untuk
berjongkok keadaan berpakaian biasa dan dimasukan kedalam kurungan dengan
dibekali busana dan alat kosmetik yang sudah dipersiapkan. Selama dalam
107
kurungan inilah proses menjadikan Sintren sebagai penari berlangsung. Nyanyian
dari sinden dikumdangkan sampai pada kurungan tampak bergerak sebagai
pertanda bahwa Sintren telah selesai berganti pakaian. Beberapa saat kemudian
kurungan dibuka, Sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu Sintren
ditutup kurungan kembali
Jawab: Judul Syair : Tambak-tambak Pawon
Tambak-tambak pawon
Aku kena udang kuwali
Mung jaran mungsapi
Njaluk prawan sing nomor siji
Setelah itu adalah prosesi saweran disebut dengan balangan atau temohan, Setelah
lagu Tambak-tambak Pawon selesai, lagu yang dibawakan pada saat dimulai acara
nyawer ini adalah lagu Ayo Ngewer-ngewer Puntren.
Judul Syair : Ayo Ngewer-ngewer Puntren
Ayo ngewer-ngewer puntren
Sing dikewer rujake bae
Ayo nyawer-nyawer Sintren
Sing disawer panjoke bae
8. Apa yang terjadi pada Sintren saat balangan?
Jawab : Saat para penonton mulai nyawu (nyawer) Sintren dengan melemparkan
saputangan, baju, atau kain lainnya yang berisi uang ala kadarnya. Ketika saweran
itu mengenai tubuhnya, maka penari Sintren pun akan pingsan dan baru akan
bangun kembali setelah diberi asap kemenyan dari dlupok ke arah hidung dan
mantra-mantra oleh sang pawang. Setelah bangun kembali, penari Sintren akan
108
meneruskan tariannya sampai jatuh pingsan lagi ketika ada uang logam atau kain,
pakaian yang mengenai tubuhnya sebagai tanda saweran.
9. Apakah penari Sintren dibatasi oleh waktu?
Jawab : Pemain Sintren saat menari tidak dibatasi dengan waktu, pawang
memberikan kebebasan pada roh untuk memasuki tubuh sang Sintren dengan
tarian yang diinginkan. Pergantian roh sering terjadi lantaran banyak sekali roh
bidadari yang ada disekitar perayaan Sintren, sehingga bergantian untuk masuk
kedalam tubuh Sintren menjadikan waktu yang tidak terbatas.
10. Bagaimana menyadarkan kembali sang Sintren saat ritual selesai ?
Jawab : menyadarkan Sintren sebagai penutup permainan, Tahapan penutup ini
dilakukan apabila penonton yang mengasih uang (nyawer) sudah mulai sepi,
pawang menyuruh Sintren berhenti menari lalu berjongkok untuk selanjutnya
ditutup kembali dengan kurungan ayam. Beberapa saat kemudian kurungan
dibuka dan sang Sintren kembali mengenakan pakaian sehari-hari, kemudian sang
pawang mengarahkan asap kemenyan dari dlupok ke arah hidung Sintren agar ia
siuman. Setelah siuman, maka pertunjukan Sintren pun telah usai.
11. Apa tujuan Pelaksanaan ritual Sintren?
Jawab : Pelaksanaan ritual Sintren merupakan suatu perayaan yang harus
dilaksanakan setiap memliki hajat sebagai upaya untuk melestarikan budaya
nenek moyang setempat. Menurut kepercayaan masyarakat, mereka mendapatkan
banyak rezeki dari hasil gunung. Maka dari itu, sebagai bentuk timbal balik,
mereka patut memberi sajen kepada para roh yang masuk kedalam diri Sintren.
12. Adakah Benturan agama dan budaya?
109
Jawab : Untuk mengatasi adanya benturan budaya dan agama, masyarakat yang
tidak setuju dengan beberapa ritual Sintren mengajarkan ilmu pengetahuan agama
yang ketat, dan memang desa Cikendung merupakan desa yang berpegang teguh
pada nilai kereligiutasannya. Sejatinya mereka menyadari bahwa tradisi ini sudah
mengakar pada kehidupan masyarakat Cikendung, sehingga sulit untuk
dihilangkan. ilmu agama dipegang erat-erat untuk menjaga keimanan serta bekal
kehidupan baik di dunia maupun di akhirat
13. Apa tujuan sebenarnya ritual Sintren?
Jawab : Di Cikendung khususnya Sintren dikemas dengan menggunakan bahasa
Jawa tanpa adanya unsur bahasa Arab, namun sebenarrnya tujuannya sama.
Bermujahaddah dan berdoa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dijadikan seperti
kebiasaan. Begitupula ritual perayaan Sintren sehingga menjadikan tradisi tersebut
jauh berbeda yang terlihat saling bertentangan. Dalam Sintren bisa saja terdapat
arti dari dalam Al-Qur‟an hanya saja tidak dalam Bahasa Arab akan tetapi
dibahasa Jawakan. Oleh sebab itu agar tidak salah presepsi digunakanlah bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional yang umumnya semua orang mengerti. Hidup
di Indonesia merupakan kemajemukan yang tidak dapat dihindari, oleh sebab itu
perlu adanya pembatas antara bidang masing-masing, agama tidak dapat
disamakan dengan budaya, agama adalah bagaimana sikap personal terhadap
Tuhannya, sedangkan budaya merupakan bentuk kreativitas yang di fasilitasi oleh
Tuhan dan harus disyukuri
14. Seberapa pengaruh mantra yang dibacakan oleh pawang Sintren?
Jawab : Peran pawang saat pembacaan mantra atau rapal sangat mendominasi
keberlangsungan perayaan Sintren, karena mempengaruhi segala aspek baik
110
instrumen musik, penambuh gendhing maupun penari Sintren, jika tidak ada
mantra yang dibacakan oleh pawang maka roh tidak akan masuk, mantranya
tersebut meliputi bacaan karomah, didalamnya terdapat potongan ayat Al-qur „an
dan juga bacaan-bacaan Arab Jawa
15. Apa tujuan dari Balangan?
Jawab : Pada waktu itu melempar koin atau balanagan adalah sabagai sarana
untuk membeli kembang atau bunga dan juga merupakan faktor Animisme
Dinamisme sebagai bentuk permintaan dalam Islam disebut sebagai shodaqoh dan
mempercayai terhadap hal-hal yang dipercayai akan memenuhi kebutuhannya.
Hal tersebut merupakan spiritual saat roh masuk kedalam diri penari Sintren.
Kepercayaan masyarakat terhadap roh yang masuk ke dalam diri Sintren, sehingga
masyarakat melaksanakan ritual balangan/melempar sesuatu saat Sintren menari
guna memanjatkan permintaan terhadap roh tersebut.
Modern ini kata balangan diubah menjadi saweran, sumbangsih hajat maupun
bahasa lainnya sesuai dengan kebiasaan daerah masing-masing yang pada intinya
tertuju untuk memenuhi sarana atau kegunaan kepercayaan tersebut. Sintren
sebelum masuk ke dalam kurungan, rapalan atau mantra sudah di bacakan terlebih
dahulu, Sintren mengalami trance kemudian pingsan saat didudukan disamping
kurungan. Sebelum dimasukan ke dalam kurungan tangan Sintren dalam kondisi
diikat, pakaian apa adanya dan tanpa riasan, posisi Sintren sudah dalam keadaan
tidak sadar.
16. Apa perbedaan Sintren dahulu dan sekarang?
Jawab : Perubahan Sintren yang dulu dan sekarang adalah penggunakan karomah,
saat Sintren dibacakan dengan potongan ayat Al-qur‟an yang kemudian di
111
terjemahkan dalam Bahasa Jawa maka seharusnya Sintren di lakukan malam hari
berturut turut selama 4 hari dengan disandingkan rapalan-rapalan lainnya. Namun
Jika mantra di bacakan dalam Bahasa Jawa/ Kejawen asli khususnya dari wali-
wali terdahulu, contohnya jimat dan sebagainya maka Sintren akan lebih mudah
untuk kemasukan roh bidadari, karena unsur bacaan yang mempengaruhi dan
biasanya sesuai dengan lingkungan yang ada karena memang disekitar tersebut
mistis, yang terpenting adalah proses penyucian diri Sintren saat dimasukan bersih
dari hal-hal keduniawian
Lagu apa saja yang dimainkan saat permainan Sintren?
Jawab : Kolaborasi lagu bisa dilaksanakan sesuai dengan permintaan yang
mempunyai hajat karena sekarang sudah mengalami modivikasi seiring
berkembangnya zaman dan bermunculnya lagu-lagu baru yang sebelumnya tidak
ada.zaman dahulu pelaku Sintren adalah wanita yang belum haid atau masih suci,
pawang dan penabuh gamelan menggunakan rapal-rapal tertentu, penabuh
gamelan hanya mengikuti, pawang atau dukun yang memiliki kekuatan penting
112
HASIL WAWANCARA
Data Informan
Nama : Deni Suseno
Umur : 32 Tahun
Alamat : Desa Cikendung, Rt. 08/Rw. 01
Jabatan : Ketua BPD/Guru
Tanggal wawancara : 11 Desember 2019, pukul11.00 WIB.
Tempat wawancara : Rumah Pribadi
1. Adakah pengaruh Sintren untuk masyarakat khususnya Desa Cikendung?
Jawab : Menghadapi era modernitas ini, kebanyakan penggerak dari kemajuan
bangsa Indonesia adalah generasi milenial, namun sedikit dari generasi tersebut
yang mengetahui bagaimana Sintren dan perkembangannya. Kesenian Sintren
yang dilaksanakan dalam bentuk perayaan tertentu dipandang sebagai bagian
terkecil dari suatu pengetahuan. Namun, Sintren merupakan seni yang mampu
mendobrak kemajuan suatu daerah lantaran ciri khas dan dianggap mampu
mewakili keindentikan suatu daerah.
2. Apa saja kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di Desa Cikendung?
Jawab : Beberapa kegiatan keagamaan sering dilaksanakan baik oleh sekumpulan
bapak-bapak maupun pemuda-pemudinya, mengadakan acara rutinan guna
menguatkan persaudaraan antar warga. Dalam hal ini kaum ibu-ibu juga tidak
kalah kompak, lebih dari 2 kegiatan dalam seminggu dilaksanakan. Organisasi
keagamaan tersebut meliputi Ikatan Pelajar Putra Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan
Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Ikatan Remaja Masjid (IRMA),
Jam‟iyah Fatayat, Jam‟iyah Muslimat, Majelis Qur'an, Majelis Diba, Majelis
113
Qhotrotunnada, Majelis Berzanji, Kelompok Hadroh, dan lainnya. Kegiatan
organisasi tersebut meliputi pengajian, yasin dan tahlil, baca al-Qur‟an dan Iqro‟,
manaqib, asmaul husna, shalawatan, dzikir bersama, kajian, diskusi maupun
kegiatan sosial seperti bakti sosial dan santunan
3. Adakah persiapan khusus yang dilaksanakan saat ritual Sintren?
Jawab : Pelaksanaan khususnya tidak ada, hanya saja seni pertunjukan atau
pementasan seni tidaklah sederhana, akan tetapi perlu adanya persiapan yang
cukup. Persiapan-persiapan itu dimaksudkan supaya nanti setelah tiba waktunya
untuk pentas dapat sukses atau berhasil dengan baik dan mendapat pujian dari
penonton. Hal tersebut lantaran dalam pementasan melibatkan banyak pihak yang
perlu koordinasi satu sama lain.
Persiapan tersebut antara lain, kesiapan penabuh Gendang atau gamelan, penari
Sintren, sinden (penyanyi), pakaian (kostum), kurungan Sintren, sesaji, sound
system (pengeras suara). Semunya di persiapkan serta di atur sedemikian rupa
agar acara berjalan dengan lancar tanpa adaya kendala
114
HASIL WAWANCARA
Data Informan
Nama : Kartono
Umur : 67 Tahun
Alamat : Desa Cikendung Kubang, Rt. 01/Rw. 01
Jabatan : Pawang Sintren
Tanggal wawancara : 7 September 2019, pukul 19.00 WIB.
Tempat wawancara : Rumah Pribadi
Beberapa Daftar Pertanyaan :
1. Adakah batasan menari yang dimainkan oleh Sintren?
Jawab : Pemain Sintren saat menari tidak dibatasi dengan waktu, pawang
memberikan kebebasan pada roh untuk memasuki tubuh sang Sintren dengan
tarian yang diinginkan. Pergantian roh sering terjadi lantaran banyak sekali roh
bidadari yang ada disekitar perayaan Sintren, sehingga bergantian untuk masuk
kedalam tubuh Sintren menjadikan waktu yang tidak terbatas
2. Apakah Sintren itu?
Jawab : Sintren merupakan tradisi Jawa khususnya di desa Cikendung Pemalang.
Perayaan Sintren di desa Cikendung dimaksud sebagai pemanjatan rasa syukur
terhadap Allah S.W.T atas limpahan rezeki serta kekayaan alam yang ada di dunia
melalui roh-roh yang ada di alam semesta. Roh Bidadari yang masuk kedalam diri
Sintren merupakan perwujudan kuasa-Nya bahwa terdapat makhluk disekeliling
manusia yang tidak dapat dilihat oleh panca indera. Pemberian sesajen , dupa
maupun obor memiliki makna suatu harapan agar doa yang dipanjatkan
dikabulkan serta sebagai rasa syukur atas apa yang sudah di dapatkan oleh
115
manusia khususnya warga Cikendung
3. Saat ritual haruskah ada kemenyan?
Jawab : Perayaan ritual Sintren pada saat penggunaan sesajen bagian dari alat atau
sesembahan roh sebenarnya tidak harus menggunakan kemenyan, bisa
menggunakan alat obor, air atau sebagainya lantaran menyesuaikan adat dan
tradisi lingkungan yang ada. Proses Sintren pada zaman dahulu sebelum Islam
masuk masih terpengaruh oleh ajaran Hindu dan Budha, hal yang terpenting yaitu
yakin terhadap kepercayaan animism dan dinamisme.
4. Adakah Pengaruh Sintren dari luar ajaran Agama Islam?
Jawab : Pertunjukan Sintrenpada zaman pengaruh hindu dan Budha tercermin
dalam lagu yang bersyair sebagai berikut :
1. Kembang jahe laos (Bunga jahe laos).
2. Kecampur kembang kemuning (tercampur bunga kemuning).
3. Arep balik age los (mau pulang silahkan pergi)
4. Mengko sore menea maning (Nanti sore kesini lagi)
Kata balik (pulang) yang dimaksudkan dalam syair di atas artinya mati. Kemudian
kata menea maning (kesini lagi = kembali lagi) maksudnya adalah menitis
kembali atau kelahiran kembali (reinkarnasi). Dalam agama Hindu dan Budha
dikenal istilah manitis/manitis-manuksa-manjalma (menjelma).
116
HASIL WAWANCARA
Data Informan
Nama : Ahmad Faizal
Umur : 24 Tahun
Alamat : Desa Cikendung Kubang, Rt. 01/Rw. 01
Jabatan : Penabuh Gendang atau Gamelan
Tanggal wawancara : 11 Desember 2019, pukul 18.00 WIB
Tempat wawancara : Rumah Pribadi
Beberapa Daftar Pertanyaan :
1. Untuk penabuh gendang, apakah ada ritual khususnya?
Jawab : untuk menjadi penabuh gendang atau gamelan (pemain musik) tidak ada
ritual khusus yang harus dimiliki sang penabuh gendang atau gamelan. Semua
yang berhubungan saat pementasan Sintren ada pada kendali sang pawang, yang
terpenting hanya permainan tabuh srelaras dengan lagu dan layak untuk dinikmati.
Penabuh gendang atau gamelan sudah terlatih serta hafal beberapa lagu yang pasti
dimainkan saat ritual perayaan Sintren. Dalam seminggu mereka berlatihkan
setidaknya dua kali, khususnya beberapa minggu sebelum pementasan
2. Adakah masyarakat yang tidak menyukai adanya tarian Sintren?
Jawab : Kehidupan masyarakat selalu diwarnai dengan perbedaan mengenai
segala sesuatu yang terjadi atau dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu
terjadi pada ritual perayaan Sintren di Cikendung. Beberapa masyarakat desa
Cikendung memiliki perbedaan dalam menyikapi tradisi tersebut. Mayoritas
masyarakat menerima adanya pelaksanaan ritual Sintren, namun tidak dipungkiri
bahwa ada beberapa golongan yang kurang setuju dengan ritual-ritual yang
117
dilakukan. Perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan dalam kehidupan
masyarakat karena mereka memiliki jiwa solidaritas yang tinggi
118
HASIL WAWANCARA
Data Informan
Nama : Santi
Umur : 17 Tahun
Alamat : Desa Cikendung Kubang, Rt. 07/Rw. 01
Jabatan : Penari Sintren
Tanggal wawancara : 3 Juli 2019, pukul 16.00 WIB
Tempat wawancara : Rumah Pribadi
Beberapa Daftar Pertanyaan :
1. Apakah saat menari menyadari gerakannya?
Jawab : Tarian Sintren tidak dapat diprediksi akan tetapi alunan musik dapat
mempengaruhi terhadap gerak tariannya. Jika roh halus yang masuk adalah
seorang penari sesuai dengan roh yang dipanggil oleh pawang, maka gerakannya
gemulai dan enak dilihat, jika yang masuk adalah roh yang tidak dikenal maka
gerakannya akan monoton. Dalam hal ini saat pemanggilan roh bergantian masuk,
roh apapun bisa masuk.
2. Adakah alat khusu yang dibawa saat menari?
Jawab : Sang penari Sintren menari dengan menggunakan kacamata hitam serta
beberapa alat kosmetik, kostum serta kurangan sebagai media ritual saat menari
3. Lagu apa yang pasti dimanikan saat Sintren mulai?
Jawab : biasanya lagu Sulasi Sulandana menjadi lagu pertama yang dilantunkan.
Lagu ini merupakan lagu untuk mengundang Dewa.
Judul Syair : Sulasih Sulandono
119
Sulasi Sulandana
Menyan kang ngundang dewa
Ala dewa dening sukma
Widhadhari tumuruno
Lagu tersebut merupakan lagu wajib saat pertunjukan tarian Sintren,
sebagai bentuk pancingan terhadap roh-roh baik, agar tujuan ritual Sintren yang
sebenarnya dapat dilaksankan dengan semestinya.
4. Bagaimana kondisi saat berada di dalam kurungan?
Jawab : Selama dalam kurungan adalah proses menjadikan Sintren sebagai penari
berlangsung. Nyanyian dari sinden dikumdangkan sampai pada kurungan tampak
bergerak sebagai pertanda bahwa Sintren telah selesai berganti pakaian. Beberapa
saat kemudian kurungan dibuka, Sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat
tali, lalu Sintren ditutup kurungan kembali. Tembang turun Sintren digunakan
sebagai doa pembuka agar roh bidadari empat puluh masuk ke dalam raga calon
penari Sintren. Saat tembang dilantunkan maka penari Sintren akan ganti pakaian
dari pakaian biasa dengan pakaian Sintren dalam keadaan badan terikat tali dan
dalam kurungan. Sintren benar-benar dalam kondisi tidak sadar, sang Sintren
hanya merasakan ada makhluk yang mandadaninya tanpa dapat melihat wujud
aslinya.
120
HASIL WAWANCARA
Data Informan
Nama : Zaqi Zidqon Aji
Umur : 30 Tahun
Alamat : Gang Soeroto Soedarwo RT.02/RW. 03, Bojongbata,
Pemalang
Jabatan : Penggiat Kebudayaan Pemalang
Tanggal wawancara : 3 Juli 2019, pukul 09.00 WIB
Tempat wawancara : Rumah Pribadi
Beberapa Daftar Pertanyaan :
1. Bagaimana tanggapan penggiat kesenian Sintren terhadap respon
masyarakat terhadap Sintren?
Jawab : Para penggiat kesenian Sintren pun menghargai perbedaan pendapat baik
yang menerima baik Sintren maupun yang tidak menyukainya. Menurut mereka
melaksanakan tradisi ritual Sintren adalah bagian dari pelesatarian adat dan
budaya, mereka tetap percaya kepada Tuhan dan tetap berdoa kepada-Nya.
Namun, mereka juga percaya bahwa nenek moyang setempat memiliki peran yang
kuat dalam kehidupannya. Karena tradisi tersebut merupakan budaya yang sudah
ada sejak nenek moyang tinggal di desa Cikendung
2. Apakah Sintren di desa cikendung benar-benar autentik?
Jawab : Sintren yang benar-benar autentik atau melestarikan nilai spiritual yang
sebenarnya biasanya berada di perkampungan, masyarakatnya belum begitu
terpengaruh dengan kebiasaan yang berada di kota, sehingga Sintren diterapkan
sesuai dengan makna dan proses semestinya. Pada waktu itu Sintren merupakan
121
seni yang timbul dari proses alam, guna melaksanakan pemanjatan doa terhadap
Sang Maha Kuasa di alam terbuka yang kemudian di garap oleh seniman dan
menjadi sebuah karya. Berkreasi dalam seni sama dijadikan media yang berbeda,
dikemass dengan kepuasan untuk menghantarkan kepada roh untuk turun.
3. Bagaimana seharusnya perilaku orang yang beragama terhadap orang yang
masih menganut animism dan dinamisme?
Jawab: Dalam kehidupan yang berbeda, antara orang yang masih memegang teguh
kepercayaan Animisme dan Dinamisme dan orang beragama yang terpentinng
adalah jangan menggangu kehidupan alam ghaib maka alam sana pun tidak akan
mengganggu begitupula sebaliknya biarkan pembaharuan kehidupan terus
berlangsung tanpa saling merasa siapa yang benar dan siapa yang salah. Ngelatih
rasa atau melatih rasa adalah sesuatu yang harus dipenuhi ketika ingin mempunyai
jiwa yang tenang, seseorang harus dalam keadaan rileks, adem/tenang dan intinya
adalah kehalusan/kelunakan. Contohnya ketika salat yang baik adalah salat malam
seperti tahajut, hajat, maupun salat lainnya yang dikerjakan pada malam hari yang
berfungsi untuk menenagkan jiwa, fokus terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
pasrah.
122
Lampiran XVI : Dokumentasi Penelitian
Foto 1 : Sajen
Sajen lengkap
Bunga dalam ember untuk pelengkap sajen
123
Foto 2 : Aksesoris Sintren
Bunga Mahkota untuk dipasang di kepala
Pakain untuk digunakan Sintren
124
Foto 3 : Pelaksanaan Ritual Sintren
Pembakaran kemenyan dan doa bersama sebelum acara
Calon Sintren diikat sebelum dimasukan ke kurungan
125
Calon Sintren akan dimasukan ke kurungan
Calon Sintren di dalam kurungan
126
Menjadi Sintren
Sintren sedang menari
127
Para pemain musik (penabuh gamelan)
Foto 4 : Dokumentasi Wawancara
Bersama Pawang Sintren dan penabuh gendhang
128
Bersama Kasie Pemerintahan Desa
Bersama Ketua BPD
129
Bersama Budayawan Kabupaten Pemalang
Bersama Penggiat Seni Kabupaten Pemalang