kiat sukses seorang entrepreneur
TRANSCRIPT
KIAT SUKSES SEORANG ENTREPRENEUR ( Studi Entrepreneurship Soetrisno Bachir Dalam Perspektif Hermeneutika
Gadamerian )
DISERTASI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Mencapai Gelar Doktor
Oleh
SUNARTA
0930202075
PROGRAM DOKTOR ILMU MANAJEMEN PASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2014
PENGESAHAN UJIAN DISERTASI PROGRAM DOKTOR ILMU MANAJEMEN
DISERTASI
Oleh :
SUNARTA 0930202075
telah dipertahankan didepan penguji pada tanggal : …………………
dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui, Komisi Promotor,
Prof. Dr. Eka Afnan Troena, SE. Promotor
Prof. Dr. H. Achmad Fatchan Dr. Rofiaty, SE., MM. Ko-Promotor 1 Ko-Promotor 2
Mengetahui,
a.n. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Ketua Program Doktor Ilmu Manajemen
Prof. Armanu Thoyib, SE.,M.Sc.,Ph.D.
ii
IDENTITAS PROMOTOR DAN PENGUJI
JUDUL DISERTASI : KIAT SUKSES SEORANG ENTREPRENEUR (Studi Entrepreneurship Soetrisno Bachir dalam Perspektif Hermeneutika Gadamerian) Nama Mahasiswa : Sunarta NIM : 0930202075 Program Studi : Ilmu Manajemen Peminatan : Manajemen Strategi KOMISI PROMOTOR : Promotor : Prof. Dr. Eka Afnan Troena, SE. Ko-Promotor : Prof. Dr. H.Achmad Fatchan Ko-Promotor : Dr. Rofiaty, SE., MM. TIM DOSEN PENGUJI : Dosen Penguji 1 : Prof. Dr. Djumilah Hadiwidjojo, SE. Dosen Penguji 2 : Dr. Mintarti Rahayu, SE., MS. Dosen Penguji 3 : Dr. Noermijati, SE., MTM. Dosen Penguji 4 : Prof. H. Ahmad Sonhadji, KH., MA., Ph.D. Dosen Penguji 5 : Prof. Dr. Bambang Widagdo, MM. Tanggal Ujian : 28 Mei 2014 a.n. Dekan Ketua Program Studi Prof. Armanu Thoyib, SE.,M.Sc.,Ph.D.
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang
pengetahuan saya, di dalam Naskah Disertasi ini tidak terdapat krya ilmiah yang
pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik disuatu
Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis
atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah
ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah Disertasi ini dapat dibuktikan terdapat
unsur-unsur jiplakan, saya bersedia Disertasi ini digugurkan dan gelar akademik
yang telah saya peroleh (DOKTOR) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25
ayat 2 dan pasal 70).
Malang, 28 Mei 2014
Mahasiswa,
Sunarta
0930202075
iv
RIWAYAT HIDUP
Sunarta. Lahir di Gunung Kidul Yogyakarta, 22 Nopember 1963, anak ke 5
dari 7 bersaudara dari ayah Harjo Suwito dan ibu Wasiyem (Almarhum).
Menyelesaikan pendidikan SD, SMP SMA di Kota Gunung Kidul
Yogyakarta, lulus SMA tahun 1983, studi di Akademi Keuangan dan
Perbankan Muhammadiyah lulus tahun 1993, studi di Universitas Satya
Negara Indonesia Jurusan Manajemen lulus tahun 1998, studi Strata 2
Jurusan Manajemen Pemasaran di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kusuma
Negara lulus tahun 2004. Tahun 2009 masuk Program Doktor Ilmu
Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
peminatan Manajemen Strategi. Pengalaman kerja sebagai Dosen di
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA) sejak tahun
2008 sampai sekarang.
Malang, Januari 2014
Penulis,
Sunarta 0930202075
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT., atas segala rahmat dan
karuniaNya, sehingga penelitian disertasi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan
salam atas junjungan Nabi Besar Muhammad SAW dan keluarganya dan
sahabatnya yang telah memberi suri tauladan bagi umatnya untuk menuju
kehidupan yang lurus demi tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat.
Disertasi ini adalah karya tulis ilmiah yang menjadi rangkaian dari
prasyarat akademik yang harus dipenuhi oleh seorang mahasiswa Program
Doktor pada Pascasarjana Universitas Brawijaya. Selesainya penulisan Disertasi
ini tidak terlepas dari bimbingan dan arahan tim promotor serta dukungan dan
partisipasi dari berbagai kalangan. Oleh karena itu dengan penuh ketulusan dan
kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak
terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito, MS. Rektor Universitas Brawijaya yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan menyelesaikan
studi Program Doktor di Universitas Brawijaya.
2. Prof. Chandra Fajri Ananda, SE., M.Sc., Ph.D. Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan
menyelesaikan studi di Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.
3. Prof. Armanu Thoyib, SE., M.Sc., Ph.D. Selaku Ketua Program Studi
Program Doktor Ilmu Manajemen Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis
yang senantiasa memberikan dorongan, arahan dan saran untuk segera
menyelesaikan studi.
vi
4. Prof. Dr. Eka Afnan Troena, SE. Selaku Promotor yang dengan sabar telah
membimbing serta menyediakan waktu, tenaga, pikiran untuk konsultasi
secara intensif dan tiada henti memberikan dorongan semangat untuk
menyelesaikan disertasi ini. Semoga segala bimbingan ini menjadikan ilmu
yang bermanfaat.
5. Prof. Dr. H. Achmad Fatchan, M.Pd., M.Si. selaku Ko-Promotor yang telah
memberikan pengarahan dengan penuh kesabaran dan ketelitian serta selalu
memberikan motivasi dan kepercayaan diri kepada penulis, hingga penulis
dapat melakukan penelitian dengan lancar dan terarah.
6. Dr. Rofiaty, SE., MM. selaku Ko-Promotor yang dengan arif, sabar dan penuh
perhatian serta memberikan semangat telah mengarahkan penulis
menyelesaikan disertasi ini.
7. Prof. Dr. Djumilah Hadiwidjojo, SE. selaku penguji, yang telah memberikan
arahan dan masukan kepada penulis, sehingga menambah sempurnanya
disertasi ini.
8. Dr. Mintarti Rahayu, SE., MS., selaku penguji, yang selalu dengan sabar dan
tersenyum telah memberikan masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan
disertasi ini.
9. Dr. Noermijati, SE., MTM., selaku penguji, yang telah memberikan perbaikan
dan dorongan untuk segera menyelesaikan disertasi ini.
10. Bapak Soetrisno Bachir, SE. selaku subyek penelitian yang telah
mengorbankan waktu dan dengan sabar telah bersedia membeberkan proses
dan pengalaman menjadi entrepreneur. Semoga segala yang disampaikan
melalui disertasi ini menjadi inspirasi bagi umat manusia dan menjadikan ilmu
yang bermanfaat.
11. Bapak Siswadi yang selalu dengan senyum memberikan informasi, serta
memberikan dorongan dan semangat untuk segera menyelesaikan disertasi
ini.
12. Bapak Adi Cahyantono Bachir dan Ibu Eni Apria Diningsih yang dengan
semangat memberikan informasi dan dukungan atas penelitian ini.
13. Ibu Aisyah yang dengan sabar dan semangat telah memberikan informasi
subyek penelitian dari sejak kecil hingga menjadi entrepreneur.
14. Bapak dan Ibu Dosen Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis
yang telah memberikan inspirasi, dorongan serta wawasan baru dan
pendalaman ilmu pengetahuan.
15. Bapak dan Ibu sivitas akademika Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi
dan Bisnis yang dengan sabar dan teliti memberikan pelayanan yang baik.
16. Prof. Dr. H. Suyatno, M.Pd. Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.
HAMKA yang telah memberikan semangat dan dorongan hingga selesainya
disertasi ini.
17. Prof. Dr. Abdul Rachman A.Ghani, M.Pd. Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA yang telah memberikan
motivasi dan semangat untuk menyelesaikan disertasi ini.
18. Kedua orang tua penulis, ayahanda Hardjo Suwito dan ibunda Wasiyem,
yang telah menanamkan kepercayaan akan pentingnya ilmu dan pendidikan
kepada penulis, yang disertai dengan pengorbanan dan do’anya akan
kesuksesan penulis.
19. Istimewa untuk istriku Sutarni yang saya cintai, yang telah memberikan
dorongan dan semangat serta do’a dalam menyelesaikan disertasi ini
20. Khusu untuk anak-anakku Darusafa Ruhmanto, Rafi Musthafanto,
Muhammad Hibban dan putri cantikku Dini Azzahra yang selalu mendorong
dan menjadi inspirasi dalam menyelesaikan disertasi ini.
21. Bapak H. Sukardi, SH. yang selalu memberikan dorongan dan semangat baik
materiil maupun spirituil untuk segera menyelesaikan disertasi ini.
22. Bapak Ardi yang selalu membatu dan mengantarkan penulis untuk
menghimpun data penelitian hingga disertasi ini selesai dibuat.
Akhir kata, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dari semua pihak
yang telah membantu selesainya disertasi ini.Semoga disertasi ini menjadikan
inspirasi dan membawa manfaat bagi umat manusia dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Amien.
Malang, Januari 2014 Penulis, Sunarta
ABSTRAK
Sunarta. Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang, Maret 2014, Kiat Sukses Seorang Entrepreneur (Studi Entrepreneurship Soetrisno Bachir dalam Perspektif Hermeneutika Gadamerian). Promotor: Eka Afnan Troena, Ko-Promotor: H. Achmad Fatchan dan Rofiaty.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif perspektif Hermeneutika Gadamerian. Menurut pandangan Gadamer, pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog. Sebagai metode tafsir, hermeneutika menjadikan bahasa sebagai tema sentral. Dalam aliran filsafat hermeneutika Gadamerian memandang makna dicari, dikontruksi dan direkontruksi oleh penafsir sesuai konteks penafsir dibuat, sehingga makna teks tidak pernah baku, senantiasa berubah tergantung dengan bagaimana, kapan dan siapa pembacanya. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri proses dan arah kesadaran identitas (konsep diri) yang mengkaji fenomena sukses dalam entrepreneur. Penelitian ini akan mengungkap realitas subyektif dari sisi seorang yang memasuki dunia entrepreneurship dari lingkungan internal maupun eksternal. Disamping penelusuran sebuah proses entrepreneur, penelitian ini melakukan pemahaman subyek mengenai orientasi sosial yang meliputi pilihan karier dan motif setelah menjadi entrepreneur serta bagaimana cara mamanajemen diri baik dengan orang lain maupun dengan sesama entrepreneur. Temuan penelitian menunjukkan bahwa seorang entrepreneur yang sukses adalah berkaitan dengan konsep dirinya, pembentukan karakter, menjaga hubungan baik dengan menciptakan kepercayaan antar mitra bisnis. Kemampuan berkomunikasi dan kepribadian yang baik, aktif dan kreatif melakukan taktik dan strategi baru, serta mampu mengatasi dalam menghadapi dinamika gejolak sosial dan ekonomi. Seorang entrepreneur yang sukses terkait dengan aspek kemampuan mengkomunikasikan pola pikir dalam berbisnis, mau belajar sepanjang hayat tentang komunikasi, gagasan baru, ide baru, fakta baru dan konsep baru dalam berbisnis. Pilihan karier merupakan panggilan hati dalam konteks pengabdian diri untuk memberi manfaat kepada orang lain. Proses menjadi seorang entrepreneur sukses dipengaruhi oleh internal keluarga dan lingkungan eksternal, pendidikan kewirausahaan sejak usia dini, pola pikir yang melingkupinya, pilihan hidup, sering melakukan komunikasi dengan para pebisnis senior, dan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam berbisnis. Kemampuan memimpin, serta tidak cepat merasa puas terhadap hasil yang sudah diraih, harus terus melakukan penyempurnaan. Kata kunci: Kiat Sukses, Entrepreneur, Hermeneutika, Gadamer.
x
ABSTRACT
Sunarta. Postgraduate Faculty of Economy and Business Brawijaya University Malang, March 2014, Success Tips of an Entrepreneur. Dissertation Supervisor: Eka Afnan Troena, Co-Disertation Supervisor: H. Achmad Fatchan dan Rofiaty. This research aims at exploring the process and direction of identity awareness (self-concept) in assessing the phenomena of success in entrepreneur. This research will reveal the subjective reality from the side of someone who enters the entreprenurship from the internal as well as external environment. In addition to the search an entrepreneur process, this study also wish to discover the the understanding of the subject about social orientation which involves career choice and motive after being an entrepreneur and how to do self-management with other people as well as fellow entrepreneurs.
This research uses the approach of Hermeneutics Gadameran qualitative perspective. According to the views of Gadamer, the true understanding is the one that leads to the ontological level, not methodological, which means that the truth can be achieved not by the means of methods but through dialectics by proposing many questions. Therefore, language becomes a very important medium for the occurrence of dialogue. As the method of interpretation, hermeneutics makes language as the central theme. In the genre of philosophy, hermeneutics Gadamerian views the meaning of being sought, constructed, and reconstructed by interpreter according to the context of interpreter made so that the meaning of the text is never standard, constantly changing depending on how, when, and who the reader is. Research findings show that a successful entrepreneur has relation with personal concept, character building, good relationship by creating trust among businessmen. The ability to communicate and good attitude, active and creative to do new tactic and strategy, and capable in facing social and economic turmoil. A successful entrepreneur is linked with the active to communicate business thinking pattern, life long learning, new ideas finding, and concept in business activities. Career choice is the heart’s intuition in the contextual dedication to give contribution to others. The process to become a successful entrepreneur is influenced by internal family and external environment, early entrepreneurship education, surrounding mindset, choice of life, often communicating with senior businessman, and apply precautionary principle in business. The ability to lead and unsufficiently satisfied feeling upon an achievement need to be pursued. Keywords: Success Tips of an Entrepreneur, Hermeneutics, Gadamer
xi
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan
rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyajikan penelitian disertasi
yang berjudul:
KIAT SUKSES SEORANG ENTREPRENEUR (Studi
Entrepreneurship
Soetrisno Bachir dalam Perspektif Hermeneutika Gadamerian)
Di dalam penelitian disertasi ini disajikan pokok-pokok bahasan yang
meliputi:
Latar belakang penelitian, masalah penelitian, tujuan penelitian dan
kegunaan penelitian serta penelitian terdahulu sebagai gambaran
peneltian acuan.
Sangat disadari bahwa dengan kekurangan dan keterbatasan yang
dimiliki penulis, walaupun telah dikerahkan segala kemampuan untuk
lebih teliti, tetapi masih dirasakan banyak kekurangtepatan, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun agar
penelitian disertasi ini bisa berguna dan mampu menjawab fenomena
yang ada.
Malang, Januari 2014 Penulis
xii
DAFTAR ISI
Hal HALAMAN JUDUL …..………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN ..………………………………………………… ii
IDENTITAS PROMOTOR DAN PENGUJI .…………………………………
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI ……………………………….
RIWAYAT HIDUP ………………………………….…………………………..
iii
iv
v
UCAPAN TERIMA KASIH .……………………………………………………
ABSTRAK ..…………………………………………………………………….
ABSTRACT .……………………………………………………………………
KATA PENGANTAR …………………………………………………………..
vi
x
xi
xii
DAFTAR ISI ..…………………………………………………………………..
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………….
1.1. Latar Belakang Penelitian ……………………………………
1.1.1. Pola pikir/Mindset ………………………………………
1.1.2. Kecerdasan Antara IQ, EQ, SQ dan AQ …………….
1.1.3. Memahami Resource Based View (RBV)……………
1.1.4. Perkembangan Genetika (Pewaris Keturunan)……..
1.1.5. Nabi Muhammad SAW membangun jiwa wirausaha
sejak usia dini ………………………………………….
1.1.6. Sejarah Perjalanan Bisnis Soetrisno Bachir ….........
1.2. Fokus Penelitian ………………………………………………
1.3. Masalah Penelitian ……………………………………………
1.4. Tujuan Penelitian ……………………………………………..
1.5. Manfaat Penelitian ……………………………………………
BAB II KAJIAN TEORITIK …………………………………………………
2.1. Berbagai konsep pengembangan diri ……………………….
2.1.1. Konsep diri ………………………………………………
xiii
xviii
xix
1
1
7
10
21
28
32
36
48
50
51
51
53
53
53
xiii
2.1.2. Efikasi diri ……………………………………………….
2.1.3. Proses terjadinya efikasi diri …………………………..
2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi efikasi diri ……..…
2.1.5. Pengaruh efikasi diri pada tingkah laku ……………….
2.1.6. Teori konsep diri Johari Window ……………………….
2.2. Teori Tindakan Sosial Weber …………………………………..
2.3. Teori Belajar Sosial ………………………………………………
2.4. Teori Entrepreneur ……………………………………………….
2.5. Lingkungan Internal ………………………………………………
2.5.1. Persepsi Diri ……………………………………………….
2.5.2. Intelektual ………………………………………………….
2.5.3. Agama ……………………………………………………..
2.5.4. Pola Asuh ………………………………………………….
2.6. Lingkungan Eksternal ……………………………………………
2.6.1. Sosial dan Moral ………………………………………….
2.6.2. Politik dan Hukum ………………………………………...
2.6.3. Perkembangan Ekonomi …………………………………
2.6.4. Lingkungan Teknologi ……………………………………
2.6.5. Pendidikan …………………………………………………
2.6.6. Etika ………………………………………………………..
2.7. Hermeneutika Gadamerian ……………………………………...
2.7.1. Sejarah Intelektual Gadamer ……………………………
2.7.2. Pokok-pokok Hermeneutika Gadamer …………………
2.7.3. Penerapan Hermeneutika Gadamerian ………………..
2.8. Pendekatan Hermeneutik ……………………………………….
2.8.1. Konsep Dasar Hermeneutika ……………………………
2.8.2. Bahasa dan Wacana Sebagai Pusat Kajian …………..
2.8.3. Hermeneutika dalam pandangan filosofi ………………
2.8.4. Beberapa Varian Hermeneutika ………………………..
2.9. Penelitian Terdahulu …………………………………………….
2.10. Kerangka Konseptual Penelitian ………………………………
55
59
60
62
64
67
68
70
75
75
78
78
79
81
81
83
83
84
85
86
87
87
89
96
98
99
100
102
105
110
115
2.11. Preposisi Penelitian ……………………………………………..
xiv
BAB III METODE PENELITIAN ………………………………………………
3.1. Rancangan Penelitian ……………………………………………
3.2. Subyek Penelitian ………………………………………………...
3.3. Lokasi penelitian dan informan penelitian ……………………..
3.4. Paradigma Penelitian …………………………………………….
3.5. Sumber data penelitian ………………………………………….
3.6. Teknik pengumpulan data ……………………………………….
3.7. Observasi (Pengamatan berperanserta) ………………………
3.8. Wawancara mendalam …………………………………………..
3.9. Studi dokumen ……………………………………………………
3.10.Teknik Analisis Data …………………………………………….
3.11. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ……………………….
3.11.1. Triangulasi Data …………………………………………
3.11.2. Member Check …………………………………………..
3.11.3. Ketekunan Pengamatan ………………………….........
3.11.4. Persistent Observation ………………………………….
3.11.5. Teknik Analisis dan Penafsiran Data ………………….
BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN ………….
4.1. Gambaran Umum ………………………………………………...
4.1.1. Gambaran umum Kota Pekalongan …………………….
4.1.2. Fenomena Kota Jakarta dalam mempengaruhi
Entrepreneurship …………………………………………
4.2. Deskripsi Subyek Informan Penelitian …………………………
4.3. Analisis Data Hasil Penelitian …………………………………..
4.3.1. Paparan hasil wawancara dan teks kehidupan subyek
serta temuan tema ……………………………………….
4.3.2. Display Data: Kategorisasi ………………………………
4.3.3. Penarikan Kesimpulan …………………………………...
116
118
118
119
119
121
127
128
128
129
131
132
134
134
136
136
136
137
138
138
138
145
157
160
161
166
170
BAB V PEMBAHASAN ………………………………………………………...
5.1. Gambaran Diri Soetrisno Bachir Seorang Pengusaha ……….
5.1.1. Konsep Diri Soetrisno Bachir ……………………………
xv
5.1.2. Gambaran Diri Subyek Pengusaha Soetrisno Bachir ...
5.2. Orientasi Sosial Pengusaha Soetrisno Bachir ………………...
5.2.1. Motivasi Menjadi Pengusaha ……………………………
5.2.2. Persoalan Kemiskinan (Ekonomi) ………………………
5.2.3. Persoalan Keluarga ………………………………………
5.3. Pilihan Karier ……………………………………………………...
5.3.1. Berkarier Sebagai Pengusaha …………………………..
5.3.2. Jejak Rasulullah …………………………………………..
5.3.3. Ekonomi Harus Kuat ……………………………………..
5.3.4. Membangun dan Mengembangkan Hubungan Sosial ..
5.4. Pengelolaan Kesan Pengusaha Soetrisno Bachir ……………
5.4.1. Pengelolaan Kesan (Impression Management)
Pengusaha ………………………………………………..
5.4.2. Pengelolaan Kesan Pengusaha berdasarkan setting
komunikasi ………………………………………………...
5.4.2.1. Pertemuan Investor ……………………………..
5.4.2.2. Lokasi Bisnis …………………………………….
5.5. Manajemen diri pengusaha Soetrisno Bachir dengan mitra
sesama pengusaha ………………………………………………
5.6. Proposisi Penelitian ………………………………………………
5.7. Implikasi Hasil Penelitian ………………………………………..
5.7.1. Implikasi Teoritis ………………………………………….
5.7.2. Implikasi Praktis …………………………………………..
BAB VI PENUTUP ……………………………………………………………
6.1. Kesimpulan ………………………………………………………
174
174
174
179
184
184
185
186
188
188
189
191
192
196
196
199
199
199
200
206
206
206
209
210
210
6.2. Saran ……………………………………………………………..
6.3. Keterbatasan Penelitian ………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..
LAMPIRAN …………………………………………………………………….
1. Panduan Wawancara dengan Subyek Penelitian
2. Panduan wawancara mendalam
xvi
3. Panduan wawancara dengan masyarakat
4. Panduan Pengamatan
5. Transkip wawancara
6. Photo subyek dan informan
7. Beberapa contoh “statemen” pernyataan subyek hasil wawancara
dan kajian teks dokumen.
211
211
213
219
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
1. Tabel 4.1 Keadaan Penduduk Kota Pekalongan 144 2. Tabel 4.2 Jumlah penduduk kota Pekalongan per kecamatan 145 3. Tabel 4.3 Perkembangan jumlah penduduk Jakarta 147 4. Tabel 4.4 Penduduk Jakarta berdasarkan jenis kelamin 148 5. Tabel 4.5 Komposisi etnis Kota Jakarta 150 6. Tabel 4.6 Data Demografik Informan Penelitian 160
7. Tabel 4.7 Telaah pandangan Soetrisno Bachir seorang entrepreneurship tentang diri dan lingkungannya 162
8. Tabel 4.8 Telaah Orientasi Sosial yang meliputi pilihan karier dan motif setelah menjadi entrepreneurship 163
9 Tabel 4.9 Telaah cara manajemen diri baik dengan orang lain maupun dengan sesama entrepreneurship 165
10. Tabel 4.10 Kategorisasi Tema Menelaah pandangan Soetrisno Bachir seorang entrepreneurship tentang diri dan lingkungannya 166
11. Tabel 4.11 Kategorisasi Tema Menelaah Orientasi Sosial yang meliputi pilihan karier dan motif setelah menjadi entrepreneurship 167
12. Tabel 4.12 Kategorisasi Tema Menelaah cara manajemen diri baik dengan orang lain maupun dengan sesama entrepreneurship 169
13. Tabel 4.13 Penarikan Kesimpulan Temuan Penelitian Telaah pandangan Soetrisno Bachir seorang entrepreneurship tentang diri dan lingkungannya 170
14. Tabel 4.14 Penarikan Kesimpulan Temuan Penelitian Telaah Orientasi Sosial yang meliputi pilihan karier dan motif setelah menjadi entrepreneurship 171
15. Tabel 4.15 Penarikan Kesimpulan Temuan Penelitian Telaah cara manajemen diri baik dengan orang lain maupun dengan sesama entrepreneurship 171
xviii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul halaman
1. Gambar 1.1 Wilayah Penelitian dan Fokus Penelitian 49 2. Gambar 2.1 Model Konsep Diri Johari Window 65 3. Gambar 2.2 Lingkaran Hermeneutik 94 4. Gambar 2.3 Hermeneutika Dialogis Gadamer 97 5. Gambar 3.1 Model induktif dalam penelitian kualitatif 124 6. Gambar 3.2 Model Penelitian Interaktif 125 7. Gambar 3.3 Komponen-komponen analisis data model interaktif 132 8. Gambar 4.1 Model Progresif Turun Temurun Kiat Sukses 204
Seorang Entrepreneur
xix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Krisis ekonomi yang berkepanjangan sangat dirasakan dampaknya
terhadap pemenuhan kebutuhan hidup seseorang maupun kelangsungan
hidup bagi perusahaan. Perbaikan ekonomi terus diupayakan untuk mencari
solusi atas krisis yang terjadi, untuk mencegah agar perekonomian tidak
semakin memburuk. Dalam hal ini perlibatan para pelaku usaha sangat
diperlukan. Salah satu upaya untuk mempercepat dan menggairahkan
pertumbuhan ekonomi di suatu Negara adalah dengan mencetak sebanyak
mungkin wirusaha. Sebagai gambaran jumlah wirausaha di Indonesia pada
tahun 2012 hanya sebesar 1,56 persen dari jumlah penduduk, jumlah
tersebut mengalami peningkatan setelah pada tahun sebelumnya 0,18
persen dan meningkat menjadi 0,24 persen. Idealnya jumlah wirausaha di
suatu Negara setidaknya mencapai 2 persen dari jumlah penduduknya. (hasil
wawancara mendalam).
Ada berbagai alasan mengapa peneliti memilih subyek peneltian
Soetrisno Bachir adalah: Pertama, Soetrisno Bachir sebagai salah seorang
yang memiliki kepribadian yang luar biasa, banyak memberikan sumbangan
yang berharga baik berupa pemikiran maupun perjuangan bagi masyarakat,
Bangsa dan Negara. Kedua, pencapaian prestasi dalam berwirausaha.
Ketiga, Soetrisno Bachir sebagai sosok pribadi yang dapat dijadikan inspirasi
untuk membangun karakter entrepreneur bagi kepentingan generasi muda
saat ini, terbukti dengan adanya kunjungan ke lembaga pendidikan tinggi
untuk selalu mengajak memperbaiki perekonomian secara individu maupun
kelompok dengan selalu mencari peluang berwirausaha. Keempat, Soetrisno
Bachir dikenal sebagai sosok yang santun, rendah hati, dermawan, dan
murah hati, fakta dalam hal ini subyek penelitian menghibahkan gedung
berlantai tujuh kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk dipergunakan
sebagai kampus pendidikan entrepreneur, hibah ini menurut penilaian
appraisal bernilai enam puluh milyar rupiah. Fakta yang lain bahwa subyek
penelitian selalu memberikan santunan kepada penduduk desa Pesindon
tempat subyek penelitian dilahirkan (sumber: informan penelitian, Aisyah,
penduduk). Sifat-sifat ini dapat dijadikan contoh untuk pembangunan karakter
entrepreneur yang belum banyak dipahami oleh generasi saat ini.
Keempat alasan tersebut menunjukkan bahwa sosok, pemikiran, serta
perjuangan yang perlu dicontoh. Inilah sebabnya peneliti memilih Soetrisno
Bachir sebagai subyek penelitian, selain keempat alasan tersebut juga
karena jika dibandingkan dengan pelaku bisnis yang lain subyek penelitian
adalah orang yang paling sering berinteraksi maupun berdiskusi.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa subyek penelitian (Soetrisno
Bachir) hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kelemahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan manusia hanyalah milik Nabi Muhammad
SAW. Peneliti berusaha sebisa mungkin menjauhi kultus individu, karena
kultus individu hanya akan menyesatkan. Dari diskusi-diskusi dengan subyek
penelitian, tentunya ada kecenderungan untuk belajar atau ingin mengetahui
tentang kesuksesan dalam memimpin perusahaan atau sukses dalam
berwirausaha.
Selanjutnya dalam menentukan informan yang sesuai dengan
keperluan penelitian untuk memberikan informasi serta data yang valid
(Maxwell, 1992). Informan yang dibutuhkan oleh peneliti adalah dengan
criteria sebagai berikut: (1) Seorang penduduk yang berdomisili di kampung
Pesindon, (2) Mampu dan bersedia menjelaskan pengalamannya kepada
peneliti dengan jujur dan terbuka. Salah satu informan yang berasal dari
penduduk yaitu Ibu Aisyah yang sudah berumur 71 tahun adalah seorang
penduduk asli dari Kampung Pesindon Pekalongan. Ibu Aisyah seorang
pekerja pengrajin batik milik keluarga Bachir Achmad (alm) orang tua dari
Soetrisno Bachir. Ibu Aisyah seorang pekerja yang rajin dan mempunyai
perilaku yang baik, sehingga ketika ibu Latifah Djahrie hamil (Soetrisno
Bachir dalam kandungan ) ibu Aisyah diminta untuk menjadi perewang
(membantu dalam urusan rumah tangga). Ketika Subyek penelitian lahir ibu
Aisyah berperan sangat penting karena dipercaya ngemong (mengasuh)
subyek penelitian hingga dewasa.
Dalam upaya menemukan masa depan yang lebih baik dalam bidang
wirausaha tidak semudah membalikkan tangan tetapi perlu kerja keras
(Dewanti, 2008: 4) Perjalanan menuju masa depan dalam berwirausaha itu
perlu suatu proses yang penuh dengan resiko. Langkah awal yang tumbuh
dari bawah akan menyentuh keberhasilan, itulah yang dilakukan para
pengusaha besar yang telah menemukan pintu (Suryana, 2008: 61), mereka
membangun, mempertahankan dan mengembangkan bisnis yang telah
mereka temukan. Kewirausahaan merupakan proses penciptaan sesuatu
yang baru dan membuat sesuatu yang berbeda dari yang telah ada.
Tujuannya adalah tercapainya kesejahteraan individu dan nilai tambah bagi
masyarakat. Wirausahawan adalah orang yang melaksanakan penciptaan
kekayaan dan nilai tambah melalui gagasan baru, memadukan sumber daya
dan merealisasikan gagasan menjadi kenyataan. Di sisi lain bahwa
kewirausahaan juga lebih merujuk pada sifat, watak dan ciri-ciri yang melekat
pada seseorang yang mempunyai kemauan keras untuk mewujudkan
gagasan inovasi ke dalam dunia usaha yang nyata dan dapat
mengembangkannya dengan tangguh. Oleh karena itu, dengan mengacu
pada orang yang melaksanakan proses gagasan, memadukan sumber daya
menjadi realitas, muncul apa yang dinamakan wirausaha/entrepreneur
(Hisrich, 2008: 9). Ilmu ekonomi pembangunan menitik beratkan kajian pada
berbagai dinamika mekanisme ekonomi, transformasi sosial dan institusional
untuk memperbaiki standar kehidupan suatu masyarakat disuatu Negara.
Ruang lingkupnya adalah mengupas alokasi sumberdaya menjadi seefisien
mungkin serta meningkatkan pertumbuhan output agregat secara
berkelanjutan (Hisrich, 2008: 18). Maka tak lepas pula pada manusia
sebagai pelaku ekonomi, termasuk tentang tata nilai penyikapan dalam
berusaha serta penemuan berbagai pilihan sikap acuan guna menjalankan
usahanya secara layak. Pengusaha mengorganisasi serta mengoperasikan
perusahaan dan memberi kontribusi dalam bentuk inisiatif, kemampuan,
kecerdasan membuat rencana. Pengusaha juga menanggung konsekwensi
mendapatkan keuntungan atau mengalami kerugian dari kondisi yang tidak
bisa ditentukan. Sehingga kewirausahaan diartikan sebuah proses
penciptaan sesuatu yang baru pada nilai menggunakan waktu dan upaya
yang diperlukan, menanggung resiko keuangan, fisik, serta resiko social,
menerima imbalan yang dihasilkan serta kepuasan dan kebebasan pribadi.
Faktor-faktor pemicu kewirausahaan (Suryana 2008: 62),
ditentukan oleh motif berprestasi, optimisme, sikap nilai dan status
keberhasilan. Perilaku kewirausahaan dipengaruhi oleh factor internal dan
eksternal. Faktor-faktor internal meliputi hak kepemilikan (property right),
kemampuan/kompetensi (ability/competency) dan insentif (incentive).
Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan (environment), karena
kemampuan afektif mencakup sikap, nilai, aspirasi, perasaan dan emosi yang
semuanya sangat tergantung pada kondisi lingkungan yang ada, maka
dimensi kemampuan afektif dan kemampuan kognitif merupakan bagian dari
pendekatan kemampuan kewirausahaan. Jadi kemampuan kewirausahaan
merupakan fungsi dari perilaku kewirausahaan dalam mengkombinasikan
kreativitas, inovasi, kerja keras, dan keberanian menghadapi risiko untuk
memperoleh peluang.
Model proses kewirausahaan, (Suryana 2008: 63) diawali dengan
adanya inovasi. Inovasi tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor internal
maupun eksternal, seperti pendidikan, sosiologi, organisasi, kebudayaan dan
lingkungan. Faktor-faktor tersebut membentuk locus of control, kreativitas,
inovasi, implementasi dan pertumbuhan sehingga dapat membuat seseorang
berkembang menjadi wirausaha yang besar. Secara internal, inovasi
dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari individu, yaitu toleransi,nilai-nilai,
locus of control, pendidikan, pengalaman. Sedangkan faktor yang berasal
dari lingkungan antara lain model peran, aktivitas dan peluang. Oleh karena
itu inovasi berkembang menjadi kewirausahaan melalui proses yang
dipengaruhi oleh lingkungan, organisasi dan keluarga.
Jadi kewirausahaan berkembang diawali dengan adanya inovasi.
Inovasi dipicu oleh faktor pribadi, lingkungan dan sosiologi (Hisrich, 2008: 91-
94). Faktor individu yang memicu kewirausahaan adalah pencapaian locus of
control, toleransi, pengambilan risiko, nilai-nilai pribadi, pendidikan,
pengalaman, usia, komitmen dan ketidakpuasan. Faktor pemicu yang berasal
dari lingkungan adalah peluang, model peran, aktivitas, pesaing, incubator,
sumber daya, dan kebijakan pemerintah, sedangkan factor pemicu yang
berasal dari lingkungan social meliputi keluarga, orang tua, dan jaringan
kelompok. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan
kewirausahaan adalah pesaing, pelanggan, pemasok dan lembaga-lembaga
keuangan. Faktor yang berasal dari pribadi adalah komitmen. visi,
kepemimpinan, dan kemampuan manajerial, sedangkan factor yang berasal
dari organisasi adalah kelompok, struktur, budaya, dan strategi. Orang yang
berhasil dalam berwirausaha adalah orang yang dapat menggabungkan nilai,
sifat utama (pola sikap), dan perilaku dengan bekal pengetahuan,
pengalaman, dan keterampilan praktis (Hisrich, 2008: 35-36).
Wirausahawan adalah proses dinamis untuk menciptakan nilai
tambah barang dan jasa serta kemakmuran. Tambahan nilai dan
kemakmuran diciptakan oleh individu wirausaha yang memiliki keberanian
menanggung resiko, menghabiskan waktu, serta menyediakan berbagai
produk barang dan jasa (Suryana, 2008:13).
Pada sisi lain bisnis adalah mengelola resiko, bagaimana kita
menangani resiko. Setiap saat pada kehidupan berbisnis, kita berhadapan
dengan resiko yang jika tidak dikelola dengan baik bisa mematikan usaha.
Resiko yang kita hadapi bisa muncul dari kita sendiri namun dapat juga
berasal dari luar. Kenalilah segala resiko yang mungkin kita hadapi demi
tetap hidupnya usaha. Melakukan tindakan cepat dalam menangani resiko
harus dilakukan untuk mengambil langkah maju ke depan. Karena resiko
adalah bagian dari bisnis, yang dapat dilakukan hanyalah mengurangi resiko
bukan menghindarinya. Resiko harus kita hadapi dan di atasi sekuat tenaga
karena resiko akan terus mendampingi perjalanan sebuah bisnis (Justin,
Carlos, William, 2001:10).
Dari berbagai paparan teoritis di atas serta relevansinya terhadap
subyek penelitian bahwa makna berwirausaha adalah cara berpikir yang
berbeda dari manusia pada umunya, yaitu mempunyai motivasi panggilan
jiwa, persepsi dan emosi yang sangat terkait dengan nilai-nilai, sikap dan
perilaku sebagai manusia unggul.
1.1.1. Pola pikir (Mindset)
Pola pikir atau lebih popular dengan sebutan mindset menurut
Ibrahim Elfiky (2009:22-23) mempunyai definisi sekumpulan pikiran
yang terjadi berkali-kali di berbagai tempat dan waktu serta diperkuat
dengan keyakinan dan proyeksi sehingga menjadi kenyataan yang
dapat dipastikan disetiap tempat dan waktu yang sama. Akal
seseorang bekerja sesuai arahan, pikiran apapun yang sedang
dipikirkan seseorang akan diterima oleh akal dan ia bekerja kearah
pikiran itu. Berpikir itu sederhana dan hanya butuh waktu sekejab.
Namun ia memiliki proses yang kuat dari sumber antara lain orang
tua, keluarga, masyarakat, sekolah, teman, media masa dan proses
pembentukan pikiran yang bersumber dari diri sendiri. Manusia tidak
mungkin menghasilkan pengetahuan tanpa belajar cara berikir.
Pemikir yaitu orang yang meletakkan pikiran di akalnya,
pemikirlah yang menentukan keinginannya kemudian ia memilih cara
dan merealisasikan dengan perbuatan, seorang pemikir mempunyai
kebebasan dalam memilih,apakah ia akan meletakkan pikiran negatif
atau positif di akalnya. Pemikirlah yang menentukan dan memilih jenis
pikiran yang akan ditanam di akalnya. Pikiran itu akan membuatnya
berpikir, berkonsentrasi, merasakan, bertindak, sampai
mendatangkan hasil yang sesuai dengan pikirannya. Oleh karena itu
bila yang ditanam adalah pikiran negative maka hasilnya akan
negative, jika yang ditanam adalah pikiran positif maka hasilnya akan
positif.
Pikiran, bahwa segala sesuau yang ada di alam semesta ini
dimulai dari pikiran, selanjutnya menjadi kemungkinan, menjadi
tujuan,melahirkan perbuatan dan menjadi kenyataan. Pikiran adalah
sumber segala sesuatu, pikiran positif menghantarkan kita pada
penemuan dan kemajuan yang berguna di dunia. Sedangkan pikiran
negatif menyebabkan tindak berbagai kejahatan bahkan sebagian
besar datangnya penyakit bermula dari pikiran dan kegiatan berpikir.
Berpikir, ketika seseorang memutuskan untuk memilih pikiran
tertentu, negative atau positif, seorang pemikir akan meletakkan
pikiran tersebut diotaknya. Disini akal akan mengidentifikasi dan
menganalisis dari segala sisi, setelah itu akal akan memberinya
wilayah dan makna berdasarkan informasi sejenis yang ada di
gudang memori. Akal akan membandingkannya dengan pikiran
sejenis yang ada. Akal memberikan alasan dan makna yang dibangun
berdasarkan berbagai informasi serupa yang telah ada. Terakhir akan
mencarikan berbagai data pendukung pikiran yang ada dalam memori
hingga pikiran benar-benar menancap dalam hatinya. Dengan
demikian, pikiran itu telah siap direalisasikan. Jadi pikiran
menciptakan perhatian, konsentrasi, perasaan, serta tindakan dan
akibatnya.
Strategi teladan, sejak kecil kita terbiasa meniru orang lain
untuk membentuk kepribadian kita. Kepribadian adalah sekumpulan
perilaku yang ada pada seseorang dan menjadi pembeda dengan
orang lain. Orang pertama yang kita tiru dan menjadi tempat belajar
adalah orang tua. Peniruan ini menyangkut ekpresi wajah, gerak
tubuh, nilai-nilai, keyakinan, perilaku. Kemudian kita meniru beberapa
kata dari lingkungan keluarga, kita belajar mengungkapkan kata-kata
dari pergaulan teman-teman dan tetangga, setelah itu kita belajar dari
sekolah, guru dan para pemimpin.
Sepanjang perjalanan hidup ini kita sering meniru perilaku,
gaya, ucapan dari dunia luar agar kita menjadi pribadi yang lebih baik
yang dapat berinteraksi dengan semua orang. Strategi teladan ini
berhubungan erat dengan pembentukan cara pandang, keyakinan,
dan nilai-nilai yang ada pada seseorang yang kita anggap sebagai
figur yang baik dalam bidang tertentu. Pengetahuan dan kemempuan
anda dan manfaatnya yang positif membuat hidup anda jadi
pengalaman indah yang menentramkan, oleh karena itu pahamilah
apa yang anda pikirkan. Ambilah keputusan untuk mengendalikan
pikiran negatif dan mengubahnya menjadi pikiran yang positif yang
berpihak kepada anda. Perubahan yang hakiki dimulai dari pikiran,
supaya itu terjadi, maka harus menyadari dan memahami apa yang
anda pikirkan. Pikiran itu mempunyai kekuatan luar biasa hingga
menentukan perjalanan hidup anak manusia, baik dalam urusan
rumah tangga, social, usaha, kesehatan dan spiritual. Karena itu, jika
ingin benar-benar melakukan perubahan positif dalam hidup harus
memiliki kemauan yang keras dan telah memutuskan untuk
memulainya sekarang yaitu tawakal kepada Allah, dengan demikian
akan mendapatkan kekuatan spiritual yang memadahi untuk
melakukan perubahan.
1.1.2. Kecerdasan antara IQ, EQ, SQ dan AQ
Penyebab dari krisis ekonomi di Negeri yang kita cintai ini
berpangkal pada mutu sumber daya manusia. Telah terbukti bahwa
perilaku dan etika berwirausaha telah jauh dari nilai-nilai kemanusiaan
dan nilai kebenaran yang hakiki. Hukum rimba bisnis, yang tidak
manusiawi yang kuat memakan yang lemah dan orientasi jangka
pendek. Hukum rimba ini mengakibatkan terganggunya
keseimbangan tatanan ekonomi, sosial dan budaya secara meluas
dan sangat dalam. Menurut pandangan Islam tentang usaha, bahwa
antara usaha dan hasil adalah dua hal yang tidak terpisahkan,
manajemen dapat menentukan target hasil yang diharapkan, akan
tetapi manajemen tidak menjangkau falsafah hubungan antara hasil
dan usaha. Islam memandang bahwa hubungan antara keduanya
tidak sepenunhnya ditentukan oleh manusia, tetapi Allah SWT turut
menentukannya (Ginanjar, 2001: xii-xiii).
Sumber daya manusia dalam sistem pendidikan kita selama
ini hanya menekankan pada pentingnya nilai akademik kecerdasan
otak saja atau IQ (Intelligence Quotient), jarang sekali dijumpai
pendidikan tentang kecerdasan emosi atau EQ (Emotional Quotient)
yang mengajarkan integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas,
ketahanan mental,kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan dan
penguasaan diri atau sinergi, inilah yang paling penting dalam
pembentukan karakter ( Agustian, 2005 : 38-48). Sedangkan
kecerdasan spiritual SQ (Spiritual Quotient) sebagai kecerdasan
untuk menghadapi persoalan makna atau value yaitu kecerdasan
untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang
lebih luas, juga kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan
hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Jadi
SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ
secara efektif.
Dalam kehidupan ini kita sering menjumpai ada orang yang
berhasil, dan ada pula yang gagal. Ada yang lancar dan lurus-lurus
saja dalam menjalankan roda kehidupan, ada pula yang terseok-seok.
Keberhasilan dan kegagalan merupakan kejadian biasa dan selalu
ada dalam masyarakat mana saja. Selama bertahun-tahun, orang
beranggapan bahwa keberhasilan seseorang ditentukan oleh
kecerdasan intelektual (intelligence Quotient). Kecerdasan ini
merupakan kemampuan untuk memecahkan masalah secara logis
dan akademis. Para ahli meyakini IQ sebagai ukuran terbaik atas
kecerdasan dan potensial seseorang dalam meraih sukses. Menurut
teori ini, semakin tinggi IQ seseorang, semakin tinggi pula
kecerdasannya. Sebaliknya, orang yang gagal dalam hidupnya
dianggap memiliki IQ yang kurang baik (baca: rendah), sehingga tidak
mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
Kemampuan untuk segera lepas dari kehancuran dengan
tidak meratapi peristiwa yang sudah terjadi serta keinginan kuat untuk
menjadi yang terbesar bukan kecerdasan intelektual (IQ), melainkan
kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ). Melalui
EQ yang dimiliki, bisa dengan cepat dan tepat menentukan pilihan
strategi pembangunan, yakni bertumpu pada pengembangan ilmu
pengetahuan untuk selanjutnya menghasilkan teknologi, dan
kemampuan berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Bentuk lain dari kecerdasan emosi (EQ) yang dimiliki, juga
keinginan untuk maju dan sanggup bekerja keras merupakan salah
satu wujud EQ yang kuat. Saya sangat setuju dengan pendapat para
pakar di atas bahwa IQ bukan satu-satunya penentu keberhasilan
seseorang. Kita sering melihat tidak sedikit orang yang secara
akademik tergolong pandai dan cerdas dengan indeks prestasi
puncak sehingga diduga memiliki IQ tinggi, tetapi gagal dalam
menentukan pilihan dan jalan hidupnya. Apa penyebab utama
kegagalan tersebut? Tampaknya, kegagalan itu lebih karena faktor
kecerdasan emosional (EQ) yang lemah daripada faktor IQ. Misalnya,
mereka sulit berinteraksi dengan orang lain, suka berbohong, jika
berkata menyakitkan, tidak jujur, tidak amanah, tidak punya
komitmen, tidak konsisten dalam bersikap, tidak menghormati orang
lain, sulit beradaptasi dengan lingkungan, dan sebagainya.
Karena itu, kita sering mendengar ungkapan “Orang ini
pintar, tapi sayang komunikasinya sulit, dan tidak jujur sehingga tidak
banyak orang yang memberi kepercayaan”. Kita bisa bayangkan apa
yang terjadi jika kita berada dalam lingkungan yang orang-orangnya
seperti itu: sulit berinteraksi, jika janji tidak ditepati, jika bicara
menyakitkan, suka bohong, jika diberi tugas tidak amanah, dan tidak
hormat kepada orang lain. Pandai bergaul, amanah, menghormati dan
menghargai orang lain, dan jujur merupakan nilai-nilai yang
terkandung dalam kecerdasan emosional (EQ). Coba perhatikan
banyak orang berhasil karena menyandang nilai-nilai emosional
seperti itu. Betapa enaknya jika kita bekerja dalam lingkungan yang
orang-orangnya pandai, luwes bergaul, jujur, komitmen tinggi dan
saling menghormati. Suasana kerja tentu akan hidup dan sangat
menyenangkan sehingga meningkatkan produktivitas. Di dalam
lingkungan yang sehat akan tercipta suasana batin yang baik.
Suasana batin yang sehat akan melahirkan produktivitas kerja yang
tinggi. Begitu urutan-urutan kausalitasnya.
Selain itu, menurut saya SQ juga sangat terkait dengan
kesadaran seseorang sebagai makhluk hamba Allah, berikut tugas
dan kewajiban yang harus diemban. Sebagai hamba Allah, manusia
merasa terikat dengan Allah untuk senantiasa menjalankan perintah
dan menjauhi larangan-Nya. Wujud kecerdasan spiritual adalah
dorongan untuk beramal sholeh, berpikiran positif terhadap Allah, dan
mencari hikmah di balik setiap keputusan Allah. Ketika ada
pertanyaan, mana yang paling mendasar di antara ketiga jenis
kecerdasan tersebut. Menurut saya SQ merupakan jenis kecerdasan
yang paling penting, karena merupakan landasan untuk membangun
kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ). Dengan
demikian, SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita. Sebab, hanya
manusia yang memiliki jenis kecerdasan ini. Demikian gambaran
tentang peran IQ, EQ, dan SQ dalam kehidupan manusia.
Pertanyaannya adalah jika ketiga kecerdasan itu sedemikian penting,
maka bagaimana cara meningkatkannya dan bagaimana pula
ketiganya bekerja? Apakah secara bersamaan atau yang satu
mendahului yang lain? Jika iya, mana yang lebih dulu?. Karena saya
bukan ahli dalam bidang ini, sebaiknya kita serahkan kepada para ahli
atau siapa pun yang punya concern di bidang ini (Ginanjar, 2001: 56-
66).
Adversity quotient bentuk kecerdasan yang ditujukan untuk
mengatasi kesulitan. AQ dapat dipandang sebagai ilmu yang
menganalisis kegigihan manusia dalam menghadapi setiap tantangan
sehari-harinya. Kebanyakan manusia tidak hanya belajar dari
tantangan tetapi mereka bahkan meresponnya untuk memeroleh
sesuatu yang lebih baik. AQ juga dapat digunakan untuk menilai
sejauh mana seseorang ketika menghadapi masalah rumit. Dengan
kata lain AQ dapat digunakan sebagai indikator bagaimana seseorang
dapat keluar dari kondisi yang penuh tantangan.
Hakikat kecerdasan Adversity Quotient adalah agar dapat
bersaing dengan orang-orang, kita harus memiliki sebuah
keterampilan lain yang membuat kita berbeda dari orang lain dan
mungkin hal ini juga yang dapat menjadi ciri khas dari diri kita.
Kemahiran kita dalam kesiapan menghadapi tantangan atau adversity
quation adalah salah satu hal yang mendukung kita menjadi sukses.
AQ berakar pada bagaimana kita merasakan dan menghubungkan
suatu hal dengan tantangannya. Jika seseorang yang memiliki AQ
lebih tinggi maka dia cenderung tidak akan menyalahkan orang lain
karena dia merasa bahwa kegagalan yang dia lakukan adalah bagian
dari kesuksesan yang tertunda dan dia juga merasa bahwa dia siap
untuk menghadapi tantangan yang akan ditemukan serta siap untuk
menyelesaikan masalah yang akan dia hadapi (Stolz, 2009: 5-7).
Adversity Quotient mempunyai tiga bentuk (Stoltz, 2000:9)
yaitu (1) AQ sebagai suatu kerangka kerja konseptual yang baru
untuk memahami dan meningkatkan semua jenis kesuksesan, (2)
merupakan suatu ukuran untuk mengetahui respon terhadap
kesulitan, dan (3) merupakan serangkaian peralatan dasar yang
memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan.
Neuro Linguistic Program
Otak merupakan pusat sistem saraf yang ada dalam tubuh manusia.
Otak juga mengatur dan mengkoordinir sebagian besar gerakan,
perilaku dan fungsi tubuh seperti detak jantung, tekanan darah,
keseimbangan cairan tubuh dan mengatur pikiran kita. setelah otak
bekerja, maka yang dipikirkan dilanjutkan kedalam sikap yang berarti
pernyataan terhadap objek, orang atau peristiwa. komponen sifat
adalah kesadaran, perasaan dan perilaku. Sikap yang ditimbulkan
mempengaruhi tingkah laku seseorang yang selanjutnya
menghasilkan sesuatu. Ketika kita berpikiran positif maka hasil yang
didapat juga hasil yang positif, namun jika kita berpikiran tentang hal
yang negatif maka kita juga akan mendapatkan hasil yang negatif.
oleh karena itu, berpikirlah positif agar mendapatkan hasil yang positif
juga yang dapat bermanfaat bagi orang banyak.
Peranan Adversity Quotient dalam kehidupan lebih dikenal
dengan bagaimana kesiapan kita dalam menghadapi tantangan
ternyata cukup berpengaruh dalam kehidupan. Ya bagaimana tidak,
jika seseorang yang memiliki IQ tinggi namun tidak dapat
mengimbangi dengan EQ atau kecerdasan lainnya, yang salah
satunya adalah tentang kesiapan menghadapi tantangan, maka orang
tersebut belum tentulah akan menjadi sukses. Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi AQ, yaitu:
1). Daya saing
Jason Sattefield dan Martin Seligman (dalam Stoltz, 2005. h. 93),
menemukan individu yang merespon kesulitan secara lebih optimis
dapat diramalkan akan bersifat lebih agresif dan mengambil lebih
banyak resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap
kesulitan menimbulkan lebih banyak sikap pasif dan hati-hati. Oleh
karena itu, kesiapan dalam menghadapi tantangan sangatlah
dibutuhkan agar dapat mencapai kesuksesan.
2).Kreativitas
Joel Barker (dalam Stoltz, 2005. h. 94), kreativitas muncul dalam
keputusasaan, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi
kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Joel Barker
menemukan orang-orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan
menjadi tidak mampu bertindak kreatif. Oleh karena itu, kreativitas
menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang oleh hal-hal
yang tidak pasti.
3).Motivasi
Dari penelitian Stoltz (2005) ditemukan orang-orang yang AQ-nya
tinggi dianggap sebagi orang-orang yang paling memiliki motivasi.
4).MengambilResiko
Satterfield dan Seligman (dalam Stoltz, 2005) menemukan bahwa
individu yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif, bersedia
mengambil banyak resiko. Resiko merupakan aspek esensial
pendakian.
5).Perbaikan
Perbaikan terus-menerus perlu dilakukan supaya individu bisa
bertahan hidup dan menjadi pribadi yang lebih baik. Selain itu juga
karena individu yang memiliki AQ yang lebih tinggi menjadi lebih baik.
Sedangkan individu yang AQ-nya lebih rendah menjadi lebih buruk.
6).Ketekunan
Ketekunan merupakan inti untuk maju (pendakian) dan AQ individu.
Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus walaupun
dihadapkan padakemunduran-kemunduran atau kegagalan.
7).Belajar Carol Dweck (dalam Stoltz, 2005), membuktikan bahwa anak-anak
dengan respon-respon yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan
banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak
yang memiliki pola-pola yang lebih optimis.
Dalam konsep Adversity quotient, hidup diumpamakan
sebagai suatu pendakian. Kesuksesan adalah sejauh mana
individu terus maju dan menanjak, terus berkembang sepanjang
hidupnya meskkipun berbagai kesulitan dan hambatan menjadi
penghalang (Stoltz, 1997). Peran Adversity quotient sangat
penting dalam mencapai tujuan hidup atau mempertahankan
visi seseorang, Adversity quotient digunakan untuk membantu
individu memperkuat kemampuan dan ketekunannya dalam
menghadapi tantangan hidup sehari-hari, sambil berpegang
pada prinsip dan impian yang mejadi tujuan.
Tidak jarang dalam dunia kerja ada sekelompok karyawan yang
memiliki kecerdasan intelektual (IQ) tinggi kalah bersaing oleh para
karyawan lain yang ber-IQ relatif lebih rendah namun lebih berani
menghadapi masalah dan bertindak. Mengapa sampai seperti itu?.
Dalam bukunya berjudul Adversity Quotient: Turning Obstacles into
Opportunities, Paul Stoltz memerkenalkan bentuk kecerdasan yang
disebut adversity quotient (AQ). Menurutnya, AQ adalah bentuk
kecerdasan selain IQ, SQ, dan EQ yang ditujukan untuk mengatasi
kesulitan. AQ dapat digunakan untuk menilai sejauh mana seseorang
ketika menghadapi masalah rumit. Dengan kata lain AQ dapat
digunakan sebagai indikator bagaimana seseorang dapat keluar dari
kondisi yang penuh tantangan. Ada tiga kemungkinan yang terjadi
yakni ada karyawan yang menjadi kampiun, mundur di tengah jalan,
dan ada yang tidak mau menerima tantangan dalam menghadapi
masalah rumit (tantangan) tersebut. Katakanlah dengan AQ dapat
dianalisis seberapa jauh para karyawannya mampu mengubah
tantangan menjadi peluang.
Stolz mengumpamakan ada tiga golongan orang ketika
dihadapkan pada suatu tantangan pendakian gunung. Yang pertama
yang mudah menyerah (quiter) yakni dianalogikan sebaga karyawan
yang sekedarnya bekerja dan hidup. Mereka tidak tahan pada serba
yang berisi tantangan. Mudah putus asa dan menarik diri di tengah
jalan. Golongan karyawan yang kedua (camper) bersifat banyak
perhitungan. Walaupun punya keberanian menghadapi tantangan
namun dengan selalu memertimbangkan resiko yang bakal dihadapi.
Golongan ini tidak ngotot untuk menyelesaikan pekerjaan karena
berpendapat sesuatu yang secara terukur akan mengalami resiko.
Sementara golongan ketiga (climber) adalah mereka yang ulet
dengan segala resiko yang bakal dihadapinya mampu menyelesaikan
pekerjaannya dengan baik.
Adversity Quotient dapat dipandang sebagai ilmu yang
menganalisis kegigihan manusia dalam menghadapi setiap tantangan
sehari-harinya. Kebanyakan manusia tidak hanya belajar dari
tantangan tetapi mereka bahkan meresponnya untuk memeroleh
sesuatu yang lebih baik. Dalam dunia kerja, karyawan yang ber-AQ
semakin tinggi dicirikan oleh semakin meningkatnya kapasitas,
produktivitas, dan inovasinya dengan moral yang lebih tinggi. Sebagai
ilmu maka AQ dapat ditelaah dari tiga sisi yakni dari teori,
keterukuran, dan metode. Secara teori, AQ menjelaskan mengapa
beberapa orang lebih ulet ketimbang yang lain. Dengan kata lain apa,
mengapa dan bagaimana mereka berkembang dengan baik walaupun
dalam keadaan yang serba sulit. Dalam konteks pengukuran, AQ bisa
digunakan untuk menentukan atau menseleksi para pelamar dan juga
untuk mengembangkan daya kegigihan karyawan. Sebagai metode,
AQ dapat dikembangkan untuk meningkatkan kinerja, kesehatan,
inovasi, akuntabilitas, fokus, dan keefektifitasan karyawan.
1.1.3. Memahami Resource Based View (RBV)
Teori RBV (Barney, 2001) memandang perusahaan sebagai
kumpulan sumber daya dan kemampuan. Asumsi RBV yaitu bahwa
perusahaan bersaing berdasarkan sumber daya dan kemampuan.
Perbedaan sumber daya dan kemampuan perusahaan dengan
perusahaan pesaing akan memberikan keuntungan kompetitif.
Sumber daya perusahaan dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu,
berwujud, tidak berwujud dan sumber daya manusia. Kemampuan
menunjukkan apa yang dapat dilakukan perusahaan dengan sumber
dayanya. Tingkat kemampuan perusahaan yang lebih tinggi dikenal
dengan ‘dinamika kemampuan’ / capability dynamics. Dinamika
kemampuan merupakan kemampuan perusahaan untuk menciptakan,
mempertahankan, atau mengubah kemampuan perusahaan lainnya.
Menurut RBV, strategi dilakukan dengan mengalokasikan sumber
daya kepada kebutuhan pasar pada saat kemampuan perusahaan
pesaing tidak mencukupi sehingga akan memberikan hasil yang
efektif bagi perusahaan. Sumber daya dan kemampuan perusahaan
merupakan hal yang penting dalam strategi tingkat bisnis. Dan
sumber daya bernilai yang dapat mempengaruhi berbagai usaha yang
dilakukan perusahaan merupakan hal yang penting dalam strategi
tingkat korporasi . Pada tingkat bisnis, para peneliti telah meneliti
hubungan antara sumber daya dan keberlangsungan keunggulan
kompetitif Fokus RBV yaitu apa yang dapat membuat sumber daya
menjadi superior dan mengapa para pesaing tidak bisa mendapatkan,
menciptakan atau meniru sumber daya yang lebih baik dengan
mudah. Jawabannya adalah karakteristik sumber daya dan
kemampuan yang disebut sebagai ’aset strategis’. Aset strategis
seperti budaya perusahaan yang secara sosial kompleks, bersifat
diam dan menyebabkan kebiasan telah menjadi perhatian yang cukup
serius bagi perusahaan karena sangat begitu kompleknya.
Pada Tingkat korporasi juga memperhatikan bagaimana aset
strategis mempengaruhi kinerja perusahaan (Barney,1988).
Pengaruhnya tidak hanya berdasarkan pada karakteristik sumber
daya, tetapi juga pada mekanisme komunikasi dan koordinasi
perusahaan. Faktor-faktor ini memungkinkan perusahaan
mengembangkan aset strategis hingga pada kegiatan usahanya.
Kinerja suatu perusahaan bergantung pada konsistensi internal
diantara ketiga elemen ’ strategi segitiga korporasi’ tersebut – sumber
daya, usaha, dan mekanisme organisasi, dimana didalamnya
termasuk struktur, sistem dan proses organisasi. Hal penting lainnya
dalam strategi korporasi adalah bagaimana sumber daya membawa
pertumbuhan perusahaan. Aset strategis, misalnya, dapat
mengurangi masuknya perusahaan ke dalam pasar baru. Aset
strategis dapat memberikan jalan pada strategi akuisisi sama seperti
petunjuk pengambilan keputusan investasi.
Keberhasilan pertumbuhan dan keberlangsungan
perusahaan, akan bergantung pada pengembangan sumber daya
baru sama seperti mengeksploitasi sumber daya yang lama. Ini juga
terjadi pada perubahan kondisi eksternal. Dengan demikian, RBV juga
memperhatikan pembelajaran organisasi, akumulasi pengetahuan,
kemampuan pengembangan, dan proses perubahan asosiasi,
Dinamika RBV memberikan perhatian pada hubungan hal-hal
tersebut. Untuk memperkirakan nilai sumber daya perusahaan
dibutuhkan pengetahuan yang mendalam mengenai area persaingan
dan kemampuan para pesaing. Hal ini berarti dibutuhkan
pengetahuan mengenai para pelanggan dan permintaannya. Dan juga
membutuhkan pengetahuan mengenai kemampuan perusahaan itu
sendiri, tetapi yang paling penting diperlukan adanya kebijaksanaan
untuk mengetahui batasan kemampuan tersebut. Kebijaksanaan ini
dan keinginan untuk mengikuti pelaksanaan strategi dibandingkan
dengan rangkaian munculnya peluang mungkin hanya dapat
ditemukan pada tingkat manajemen puncak dalam perusahaan.
Artinya, manajemen puncak memainkan peran yang penting dalam
menentukan strategi pada perusahaan yang melakukan pemusatan.
Strategi ini akan memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan
perusahaan dan, yang lebih penting, apa yang seharusnya tidak
dilakukan, RBV memberi perhatian terhadap dinamika organisasi dan
penyesuaian terhadap perubahan lingkungan. RBV menganggap
variasi, pemilihan, retensi dan kompetisi sebagai proses yang penting,
serta pentingnya rutinitas dan peranan aspirasi dalam mencapai
perubahan.
Kinerja (performance) adalah prestasi kerja yang
dibuktikan dengan wujud hasil yang diperolehnya sehingga
merupakan sebuah keberhasilan. Juga kinerja mengandung arti
keberhasilan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan
atau pekerjaan yang merupakan gabungan dari karakteristik
pribadi dan pengorganisasian seseorang. Kinerja mengandung
dua komponen yaitu pertama, kompetensi, yang berarti individu
atau organisasi memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan
tingkat kinerjanya, sedangkan komponen yang kedua, yaitu
produktivitas, bahwa kompetensi dapat diterjemahkan kedalam
tindakan atau kegiatan-kegiatan yang tepat untuk mencapai
hasil kinerja (outcome). Jadi pada dasarnya kinerja menekankan
apa yang dihasilkan dari fungsi-fungsi suatu pekerjaan atau apa
yang keluar (outcome). Bila disimak lebih lanjut apa yang terjadi
dalam sebuah pekerjaan atan jabatan adalah suatu proses yang
mengolah in-put menjadi out-put (hasil kerja). Penggunaan
indikator kunci untuk mengukur hasil kinerja individu, bersumber
dari fungsi-fungsi yang diterjemahkan dalam kegiatan/tindakan
dengan landasan standar yang jelas dan tertulis. Mengingat
kinerja mengandung komponen kompetensi dan produktifitas
hasil, maka hasil kinerja sangat tergantung pada tingkat
kemampuan individu dalam pencapaiannya. factor yang
berpengaruh terhadap kinerja seseorang antara lain yaitu
pertama faktor individu, meliputi kemampuan, ketrampilan, latar
belakang keluarga, pengalaman tingkat social dan demografi
seseorang; kedua factor psikologis, meliputi persepsi, peran,
sikap kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja; ketiga faktor
organisasi, meliputi struktur organisasi, desain pekerjaan,
kepemimpinan dan system penghargaan. Meningkatkan prestasi
kerja baik secara individu maupun kelompok setinggi-tingginya,
peningkatan prestasi kerja seseorang pada gilirannya akan
mendorong kinerja individu sehingga merangsang minat dalam
pengembangan pribadi dengan meningkatkan hasil kerja melalui
prestasi pribadi.
Wirausahawan (entrepreneur) adalah seseorang yang
menciptakan bisnis baru dengan mengambil risiko dan
ketidakpastian dalam mencapai keuntungan dan pertumbuhan
dengan cara mengidentifikasi peluang yang signifikan dan
menggabungkan sumber-sumber daya yang diperlukan
sehingga sumber-sumber daya itu bisa dikapitalisasikan. Pada
abad pertengahan istilah pengusaha sudah digunakan untuk
menggambarkan pelaku maupun orang yang mengelola proyek-
proyek produksi. Munculnya kembali kaitan antara risiko dengan
kewirausahaan berkembang dimana pengusaha adalah orang
yang menjalankan kerjasama dengan pemerintah untuk
menyediakan jasa atau produk yang ditentukan. Pengusaha
mengorganisasi dan mengoperasikan perusahaan untuk
mendapatkan keuntungan. Jadi fungsi seorang pengusaha
adalah mereformasi atau merevolusi pola produksi dengan
mengeksploitasi sebuah penemuan metode teknologi produksi
komoditas baru serta seorang wirausaha adalah sebuah proses
dinamis dalam menciptakan kekayaan. Kekayaan yang
dihasilkan oleh individu yang menanggung resiko utama dalam
hal modal dan waktu. Sebuah pemikiran tentang perjuangan
eksistensi usaha, apapun yang Anda perbuat dan kerjakan,
lakukanlah itu seperti kepada Tuhan. Situasi krisis tidak
pandang bulu, kita semua bisa terkena imbasnya. Kita harus
berusaha dan berjuang sungguh-sungguh agar dapat
menghadapi krisis dengan bijak. Beruntung perekonomian
Indonesia banyak ditopang oleh usaha-usaha kecil, sehingga
pertumbuhan ekonomi masih dapat dijaga. Usaha-usaha mikro
nampaknya bisa menjadi basis ketahanan ekonomi yang
signifikan. Rata-rata mereka adalah pelaku usaha yang tabah
dan tekun. Berjuang karena mempertahankan hidup dan
eksistensi usaha mereka.
Istilah “entrepreneur” atau “wiraswasta”. Artinya sikap
sebagai pemilik usaha yang punya rasa tanggung jawab besar
karena mengelola usaha miliknya sendiri. Seorang wiraswasta
akan berjuang sungguh-sungguh sepenuh hati untuk
mempertahankan dan mengembangkan usahanya. Sedangkan
”intrapreneurship” punya arti yang sama, tapi fungsi berbeda.
Intrapreneurship adalah bersikap wiraswasta, tapi dalam
kapasitas sebagai karyawan. Memiliki tanggung jawab dan
respons sebagai pemilik usaha walaupun dia karyawan.
Ternyata, karakter inilah yang membuat perusahaan sanggup
menghadapi persaingan dan mengatasi krisis. Sebaliknya ada
karyawan yang “merasa memiliki” perusahaan sehingga bekerja
sesuka hati dan mengambil keuntungan hanya bagi dirinya
sendiri.
Sikap seperti ini justru bukan intrapreneurship, tetapi
mentalitas benalu. Banyak perusahaan besar yang mengalami
kejatuhan karena karyawan bahkan pemimpinnya memiliki
mentalitas benalu. Motif utama intrapreneur, menginginkan
kebebasan dan diperbolehkannya mempergunakan
sumberdaya perusahaan. Berorientasi kepada tujuan dan
dorongan diri sendiri, tetapi juga tanggap terhadap imbalan dan
penghargaan perusahaan. Tindakan intrapreneur, bersedia
melakukan pekerjaan kasar, mereka tahu bagaimana
mendelegasikan tetapi jika perlu mengerjakan sendiri apa yang
perlu dikerjakan. Ketrampilan intrapreneur, menguasai seluk
beluk bisnis, pekerjaan menuntut kemampuan yang lebih besar
untuk dapat sukses dalam perusahaan. Keberanian
intrapreneur, percaya diri dan berani, banyak intrapreneur sinis
terhadap system tetapi optimis mampu mengatasinya. Perhatian
intrapreneur, kedalam maupun keluar perusahaan, meyakinkan
karyawan dalam perusahaan tentang perlunya usaha spekulatif
dan pasar, tetapi juga memusatkan perhatiannya kepada
pelanggan. Resiko intrapreneur, tidak keberatan terhadap resiko
yang terbatas, biasanya tidak takut dipecat, jadi menganggap
kecil resiko pribadi. Karakter Intrapreneur antara lain:
1.Proaktif
Saat ini semakin banyak pengangguran, tapi dunia usaha tetap
mengeluh sulit mencari karyawan. Sikap proaktif adalah antusias,
inisiatif, dan kreatif. Banyak orang hanya menunggu diperintah.
Melakukan apa yang ingin dilakukan, bukan apa yang seharusnya
dilakukan. Kondisi ini menjadi penghalang utama dalam kompetisi
usaha. Jika perusahaan lemah, karyawan juga sulit dipertahankan.
2.Loyalitas
Sikap intrapreneurship bagi karyawan ialah loyalitas. Loyalitas adalah
suatu komitmen jangka panjang untuk dukungan, pengorbanan, dan
pembelaan kepada perusahaan. Loyalitas tidak dinilai pada masa
senang, tetapi justru bagaimana respons kita pada masa-masa sulit.
3.Ketekunan
Ketekunan membawa hikmah, karena dalam ketekunan ada
pengharapan. Orang yang tekun selalu dapat melihat keuntungan dari
hasil kerjanya.
1.1.4. Perkembangan Genetika ( Pewaris Keturunan )
Genetika adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk alih
informasi hayati dari generasi ke generasi. Oleh karena cara
berlangsungnya alih informasi hayati tersebut mendasari adanya
perbedaan dan persamaan sifat diantara individu organisme, maka
dengan singkat dapat pula dikatakan bahwa genetika adalah ilmu
tentang pewarisan sifat. Dalam ilmu ini dipelajari bagaimana sifat
keturunan (hereditas) itu diwariskan kepada anak cucu, serta variasi
yang mungkin timbul didalamnya. Genetika disebut juga ilmu
keturunan, berasal dari kata genos (bahasa latin), artinya suku
bangsa-bangsa atau asal-usul. Secara “Etimologi” kata genetika
berasal dari kata genos dalam bahasa latin, yang berarti asal mula
kejadian. Namun, genetika bukanlah ilmu tentang asal mula kejadian
meskipun pada batas-batas tertentu memang ada kaitannya dengan
hal itu juga.
Genitika perlu dipelajari, agar kita dapat mengetahui sifat-
sifat keturunan kita sendiri serta setiap makhuk hidup yang berada
dilingkungan kita. kita sebagai manusia tidak hidup autonom dan
terinsolir dari makhuk lain sekitar kita tapi kita menjalin ekosistem
dengan mereka. karena itu selain kita harus mengetahui sifat-sifat
menurun dalam tubuh kita, juga pada tumbuhan dan hewan. Prinsip-
prinsip genetika itu dapat disebut sama saja bagi seluruh makluk.
Karena manusia sulit dipakai sebagai objek atau bahan percobaan
genetis, kita mempelajari hukum-hukumnya lewat sifat menurun yang
terkandung dalam tubuh-tumbuhan dan hewan sekitar. Genetika bisa
sebagai ilmu pengetahuan murni, bisa pula sebagai ilmu pengetahuan
terapan. Sebagai ilmu pengetahuan murni ia harus ditunjang oleh ilmu
pengetahuan dasar lain seperti kimia, fisika dan metematika juga ilmu
pengetahuan dasar dalam bidang biologi sendiri seperti bioselluler,
histologi, biokimia, fiosiologi, anatomi, embriologi, taksonomi dan
evolusi. Sebagai ilmu pengetahuan terapan ia menunjang banyak
bidang kegiatan ilmiah dan pelayanan kebutuhan masyarakat.
Sejarah perkembangan genetika sebagai ilmu pengetahuan
dimulai menjelang akhir abad ke 19 ketika seorang biarawan austria
bernama Gregor Johann Mendel berhasil melakukan analisis yang
cermat dengan interpretasi yang tepat atas hasil-hasil percobaan
persilangannya pada tanaman kacang ercis (Pisum satifum).
Sebenarnya, Mendel bukanlah orang pertama yang melakukan
percobaan- percobaan persilangan. Akan tetapi, berbeda dengan
para pendahulunya yang melihat setiap individu dengan keseluruhan
sifatnya yang kompleks, Mendel mengamati pola pewarisan sifat demi
sifat sehingga menjadi lebih mudah untuk diikuti. Deduksinya
mengenai pola pewarisan sifat ini kemudian menjadi landasan utama
bagi perkembangan genetika sebagai suatu cabang ilmu
pengetahuan, dan Mendelpun di akui sebagai bapak genetika.
Karya Mendel tentang pola pewarisan sifat tersebut
dipublikasikan pada tahun 1866 di Proceedings of the Brunn Society
for Natural History. Namun, selama lebih dari 30 tahun tidak pernah
ada peneliti lain yang memperhatikannya. Baru pada tahun 1900 tiga
orang ahli botani secara terpisah, yaitu Hugo de Vries di belanda, Carl
Correns di jerman dan Eric von Tschermak-Seysenegg di Austria,
melihat bukti kebenaran prinsip-prinsip Mendel pada penelitian
mereka masing-masing. Semenjak saat itu hingga lebih kurang
pertengahan abad ke-20 berbagai percobaan persilangan atas dasar
prinsip-prinsip Mendel sangat mendominasi penelitian di bidang
genetika. Hal ini menandai berlangsungnya suatu era yang
dinamakan genetika klasik.
Selanjutnya, pada awal abad ke-20 ketika biokimia mulai
berkembang sebagai cabang ilmu pengetahuan baru, para ahli
genetika tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang hakekat
materi genetik, khususnya mengenai sifat biokimianya. Pada tahun
1920-an, dan kemudian tahun 1940-an, terungkap bahwa senyawa
kimia materi genetika adalah asam dioksiribonekleat (DNA). Dengan
ditemukannya model struktur molekul DNA pada tahun1953 oleh
J.D.Watson dan F.H.C. Crick dimulailah era genetika yang baru, yaitu
genetika molekuler.
Perkembangan penelitian genetika molekuler terjadi
demikian pesatnya. Jika ilmu pengetahuan pada umumnya
mengalami perkembangan dua kali lipat (doubling time) dalam satu
dasa warsa, maka hal itu pada genetika molekuler hanyalah dua
tahun. Bahkan, perkembangan yang lebih revolusioner dapat
disaksikan semenjak tahun 1970-an, yaitu pada saat dikenalnya
teknologi manipulasi molekul DNA atau teknologi DNA rekombinan
atau dengan istilah yang lebih populer disebut rekayasa genetika.
Saat ini sudah menjadi berita biasa apabila organisme-
organisme seperti domba, babi dan kera, didapatkan melalui teknik
rekayasa genetika yang disebut kloning . sementara itu, pada
manusia telah di lakukan pemetaan seluruh genom atau dikenal
sebagai proyek genom manusia (human genom project), yang
diluncurkan pada tahun 1990 dan diharapkan selesai pada tahun
2005. ternyata pelaksaan proyek ini berjalan justru lebih cepat dua
tahun dari pada jadwal yang telah ditentukan. Sebagai ilmu
pengetahuan dasar, genetika dengan konsep-konsep di dalamnya
dapat berinteraksi dengan berbagai bidang lain untuk memberikan
kontribusi terapannya.
1.1.5. Nabi Muhammad SAW Membangun Jiwa Wirausaha Sejak Dini
Jiwa kewirausahaan dalam diri seseorang tidak terjadi begitu
saja, tetapi hasil dari proses panjang dan dimulai sejak usia masih
muda. Pengalaman masa kecil dapat mempengaruhi sukses atau
kegagalan seseorang. Pengalaman masa kecil juga bisa
menimbulkan dorongan dan daya kritis, kemauan mencoba,disiplin
dan sebagainya yang akan membantu seseorang untuk
mengembangkan rasa percaya diri serta keinginan berprestasi. Nabi
Muhammad SAW saat umur 12 tahun sudah mulai merintis karier
dagangnya, bahkan sejak kecil putra dari pasangan Abdullah dan
Aminah itu telah menunjukkan kesungguhannya dalam bidang bisnis
atau kewirausahaan. Pekerjaan sebagai pedagang terus dilakukannya
hingga menjelang beliau menerima wahyu.
Perbandingan masa hidup Rasulullah Antara Bisnis dan Kenabian
Periode Kehidupan
Nabi Muhammad SAW
Usia Nabi Muhammad SAW
Masa Kanak-Kanak
01 - 12
25 tahun
Menekuni Dunia Bisnis
12 - 37
Masa Kontemplasi
37 - 40
23 tahun
Mengemban Misi Kenabian
40 - 63
Sumber:Muhammad Syafii Antonio (2011,hal 12)
Menjelang usia dewasa,beliau memutuskan untuk memilih sector
perdagangan sebagai kariernya. Beliau menyadarai bahwa pamannya
bukanlah orang yang kaya. Pengalaman berdagang dimasa kecil
tenah menempa diri Nabi Muhammad SAW sehingga dikemudian hari
beliau menjadi seorang wirausahawan yang andal dan sukses.
Tampak jelas bahwa Nabi Muhammad SAW ingin sekali hidup
mandiri, terlihat dari nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan semangat
pantang menyerah sudah tampak pada pribadi insan pilihan Allah ini.
Nabi Muhammad telah membina dirinya menjadi seorang pedagang
professional, yang memiliki reputasi dan integritas luar biasa. Beliau
berhasil mengukir namanya dikalangan masyarakat bisnis pada
khususnya.
Perkembangan Karier Bisnis Nabi Muhammad SAW.
USIA
AKTIFITAS UTAMA KARIER BISNIS DAN DAKWAH
NABI MUHAMMAD SAW
12
Internship / magang usaha dan dagang
17
Usaha mandiri sebagai manager/agen perdagangan regional
25
Menjadi Business Owner dan aliansi dengan investor
37
Peduli dengan masalah akhlaq, social dan ekonomi masyarakat
40
Berdakwah meluruskan tatacara dan moralitas bisnis ummat
53
Membangun pasar di samping Masjid
63
Memastikan umat Islam tidak merugi di akhirat nanti karena pola bisnis yang riba, haram dan tidak bermoral
Sumber:Muhammad Syafii Antonio (2011,20)
Dalam hal kepemimpinan Nabi Muhammad SAW melaksanakan
fungsi manajemen untuk pandangan ekonomi modern saat ini yaitu
pada usia 53 tahun beliau membangun pasar, pasar tersebut
langsung diawasi oleh Rasulullah, beliau juga menertibkan segala
sesuatunya, mengurus, serta member bimbingan dan pengarahan
kepada masyarakat setempat, tujuannya agar tidak ada lagi segala
bentuk transaksi yang menyimpang dari ajaran Islam.
Di dalam keluarga besar Nabi Muhammad SAW., hamper
seluruh kerabatnya adalah pedagang. Darah dagang yang mengalir
dalam diri Nabi Muhammad SAW., rupanya memang keturunan dari
dari kakek besar Hasyim bin Abdu Manaf, turun ke Abdul Muttalib
sang kakek, mengalir ke Abdullah sang Ayah juga ke paman-
pamannya, seperti Sayyidina Abbas dan Abu Talib. Demikian juga
kerabat setingkat paman yaitu Abu Sufyan. Tidak ketinggalan pula
sepupu dan sahabat-sahabat karib beliau, seperti Ali bin Abi Talib,
Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Suhaib Ar-Rumi.
Semuanya adalah pedagang yang sangat sukses dan mandiri, dan
banyak menciptakan lapangan pekerjaan untuk masyarakatnya.
Nama, hubungan kekerabatan, dan peran bisnis yang
dilakukan keluarga besar Nabi Muhammad SAW., dapat digambarkan
dalam diagram berikut ini.
Keluarga Nabi Muhammad SAW. Adalah Keluarga Pedagang
Hubungan
Kekerabatan
N a m a
Peran Bisnis
Kakek Besar
Hasyim bin Abdul Manaf
Saudagar besar, penentu jalur perdagangan Syiria-Mekkah-Yaman; pemangku kebijakan pergadangan Quraisy.
Kakek
Abdul Muttalib
Pedagang besar Mekkah, peternak unta dan kambing
Ayah
Abdullah bin Abdul Muttalib
Pedagang regional, meninggal di Madinah saat kembali dari perjalanan bisnis dari Syria menuju Mekkah.
Paman
Abbas bin Abdul Muttalib
Kreditur besar Quraisy, bahkan ayat dan hadist riba diantaranya turun untuk mengingatkan praktek bisnis lamanya.
Paman
Abu Talib bin Abdul Muttalib
Pedagang regional, pernah mengajak Muhammad remaja melakukan perjalanan bisnis hingga ke Busra dekat Damaskus
Kerabat setingkat paman
Abu Sufyan Pedagang besar Quraisy, salah satu seorang terkaya di Mekkah
Isteri
Khadijah binti Khuwailid
Investor terkemuka Quraisy, banyak menjalin hubungan bisnis dengan para agen untuk menjalankan bisnis regional; salah seorang agen dagang tersebut adalah Nabi Muhammad SAW.,
Sepupu
Ali bin Abu Talib
Pedagang Mekkah
Karib kerabat dan teman
Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Talhah, Zubair, Suhaib Ar-Rumi
Semuanya adalah pebisnis yang sangat sukses dan mandiri, banyak menciptakan lapangan kerja untuk masyarakatnya.
Sumber:Muhammad Syafii Antonio (2011,7)
1.1.6. Sejarah Perjalanan Bisnis Soetrisno Bachir
Pria kelahiran Pekalongan 10 April 1957, ini berasal dari
keluarga Muhammadiyah yang cukup dekat dengan kalangan
nahdliyin. Dari ayahnya, dia mewarisi nilai keagamaan dan naluri
kewirausahaan. Ayahnya seorang pedagang yang taat beragama, Ia
banyak menghabiskan waktunya di sekitar Pekalongan. Ia
menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD) 1969, SLTP 1972 dan
SLTA 1975 semuanya di Pekalongan. Sempat kuliah di Fakultas
Ekonomi Universitas Trisakti, namun tak sampai selesai. Dia kembali
ke Pekalongan untuk menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas
Ekonomi Universitas Pekalongan (Unika), Jawa Tengah. Ia adalah
suami bagi Anita Rosana Dewi, dinikahi tahun 1989, dan ayah bagi
empat orang anak maisng-masing Meisa Prasati, Layaliya Nadia Putri,
Maisara Putri, dan Muhammad Izzam. Tiga diantara mereka study di
Singapura. Biodata selengkapnya yaitu;
BIODATA SOETRISNO BACHIR
Nama: Soetrisno Bachir
Lahir: Pekalongan, Jawa Tengah, 10 April 1957
Agama: Islam
Istri: Anita Rosana Dewi (Menikah 1989)
Anak:
1. Meisa Prasati
2. Layaliya Nadia Putri
3. Maisara Putri
4. Muhammad Izzam
Orangtua:
Ayah Bachir Achmad (alm) dan Ibu Latifah Djahrie
Pendidikan:
-Sekolah Dasar (SD), di Pekalongan (1969)
-Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), di Pekalongan (1972)
-Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), di Pekalongan (1975
-Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti (tidak selesai)
-Fakultas Ekonomi Universitas Pekalongan ((Unika)
Pengalaman Kerja: -Usaha Batik (1976-1980)
-Vice President Direktor Ika Muda Group (sejak 1981)
-Presiden Direktur Grup Sabira (Merupakan induk bagi 10 perusahaan
bergerak di bidang keuangan, investasi, perdagangan, konstruksi,
properti, ekspor impor, pelabuhan, dan agrobisnis)
Perusahaan Grup Ika Muda: 1. PT Ika Bina Muda (real estat & developer)
2. PT Ika Graha Muda (real estat & developer)
3. PT Ika Sarana Muda (real estat & developer)
4. PT Ika Muda Corpora (ekspor-impor)
5. PT Ika Citra Fishtama (coldstorage & processing)
6. PT Ika Muda Rotanindo (industri rotan)
7. PT Sawo Jajar (tambak udang)
8. PT Ika Muda Hatchery (hatchery)
9. PT Ika Muda Wisata (biro perjalanan)
10. PT Ika Perfecta Rimba (industri Chopstick)
11. PT Buah Harum (perkebunan)
12. PT Ika Chirza Putra (tambak udang)
13. PT Ika Muda Apraisindo (appraisal)
14. PT Top Mode Indonesia (media massa)
Organisasi: = Partai Amanat Nasional (pernah menjabat ketua)
= Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI)
Menurut penuturan Ali Akbar dalam bukunya tentang Soetrisno
Bachir, SB merupakan sosok yang sangat dekat dengan anak-
anaknya, hal ini digambarkannya ketika Ali Akbar sedang melakukan
pengambilan gambar SB dan keluarga untuk bukunya, SB seperti tidak
ada jarak, kecuali soal usia semata, dengan Izzan putranya ketika
berdialog, mereka bisa berdialog tentang apa saja, dan sang ayah
berusaha menyelaraskan obrolannya dengan nalar sang putra.
Ada yang menarik untuk diulas, yaitu ketika SB diisukan memiliki
hubungan ’khusus’ dengan selebriti bernama Nia Paramitha yang
menyebabkan perceraian antara Nia Paramitha dengan suaminya
Gusti Randa. Nama SB dikaitkan dengan Nia karena kedekatan Nia
dengan PAN dan SB selama proses kampanye pilkada di Kalimantan
Timur.
Nah, bagaimana ceritanya Sutrisno sampai ikut-ikutan disodok
isu panas tersebut? Majalah Gatra membuat ulasannya , politikus yang
pengusaha besar ini memang biasa bergaul dengan siapa saja:
pengusaha, politisi, sampai artis selebriti. Ia juga biasa mengajak para
pesohor tadi setiap berkunjung ke daerah-daerah dalam kegiatan
partai, termasuk kampanye pilkada dan acara-acara sosial.
Memang kebiasaan mengusung artis ini lazim dilakukan politisi
lain, juga para pejabat pemerintahan. Biasalah, buat memeriahkan
suasana dan menarik massa. Salah satu artis yang belakangan kerap
manggung dalam banyak acara PAN, ya, Nia Paramitha.
Perempuan mungil ini masuk dalam jajaran artis PAN bersama
nama lainnya, seperti Raslina Rasyidin dan Sylvana Herman. Mitha
pun dikenal cukup dekat dengan orang-orang PAN. Ini diakui Dede
Yusuf, artis yang anggota PAN. Namun, dikatakan Dede, kedekatan
Mitha dengan orang-orang PAN sebatas itu saja. ''Ketua kami memang
dekat dengan artis,'' kata Dede kepada pers.
Sikap Sutrisno yang ramah dan gaul memang gampang
mendekatkannya dengan artis. Tak jarang ayah empat anak itu disebut
makan malam berdua dengan artis tertentu, termasuk Mitha. Toh, kata
Raslina Rasyidin, itu hal biasa saja dan tak ada apa-apanya. ''Saya
juga sering makan malam berdua dengannya (Sutrisno),'' ujarnya.
Ada dua hal yang dilakukan oleh Soetrisno Bachir untuk
menghilangkan isu ini, yang pertama adalah dengan membicarakan
masalah ini dengan istrinya. Dan kedua, di tataran partai, bersama
dengan Amin Rais dan AM Fatwa, Soetrisno Bachir mengklarifikasikan
langsung dengan Nia Paramitha.
Dalam pertemuan yang juga dihadiri sejumlah pengurus teras
PAN itu, Mitha membantah keras pernah berhubungan intim dengan
bos Grup Ika Muda itu. ''Tidak benar,'' tutur Mitha, seperti dituturkan
Hakam kepada Gatra. Sutrisno pun waktu itu melontarkan bantahan
untuk kedua kalinya. Bantahan pertama disampaikan Sutrisno sewaktu
dikonfirmasi Amien sebelumnya.
Sutrisno Bahir dan PAN (Bertekad Jadikan PAN Terdepan)
Pendiri Grup Sabira ini terpilih menjadi Ketua Umum DPP Partai
Amanat Nasional (PAN) periode 2005-2010 menggantikan Amien Rais.
Dia terpilih melalaui voting yang alot dalam Kongres PAN ke-2 di
Semarang, 10 April 2005, bertepatan hari ulang tahun kelahirannya
yang ke-48. Pria berjiwa ‘keumatan-kebangsaan’ ini bertekad
menjadikan PAN terdepan, ikhlas dan amanah. Pengusaha ini
terbilang masih hijau dalam dunia politik. Dia mengaku bukan ‘orang
politik’ melainkan seorang profesional. Namun bila profesionalitas
memang diperlukan untuk mengembangkan PAN menjadi partai
berpengaruh, ia menyatakan siap menjalankan amanah itu dengan
seluruh kemampuan dan keterbatasannya.
Sutrisno yang akrab disebut sebagai “SB” ini menjanjikan akan
berusaha meraih 100 kursi DPR untuk Pemilu 2009, dan memenangi
10 persen pemilihan kepala daerah. “Pilihlah saya bukan karena dekat
dengan Amien Rais, tapi karena saya ingin meneruskan perjuangannya,”
ujar Bachir, lalu disambut tepuk tangan ramai para pendukung.
Soetrisno Bachir dikenal sebagai pengusaha.Sepanjang tahun
1976 hingga 1980 ia aktif menggeluti usaha batik. Lalu, ia bersama
kakaknya Kamaluddin Bachir sejak 1981 mulai mengibarkan bendera
bisnis Grup Ika Muda, kini menaungi tak kurang 14 badan usaha
perseroan terbatas. Grup itu bergerak di bidang budidaya udang,
properti (realestat), ekspor-impor, rotan, peternakan dan mediamasa.
Sutrisno kemudian mengembangkan bisnis sendiri melalui Grup
Sabira, induk bagi 10 perusahaan yang bergerak di bidang keuangan
atau investasi, perdagangan, konstruksi, properti, ekspor impor,
pelabuhan, dan agrobisnis.
Soetrisno memang lahir dan besar di tengah-tengah keluarga
pedagang di Pekalongan, Jawa Tengah. Ia adalah pedagang sekaligus
aktivis organisasi. Anggota Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah ini
adalah aktivis organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI). Ia juga aktivis di sejumlah organisasi profesi
bisnis, misalnya sebagai tokoh dan pengurus Himpunan Pengusaha
Muda Indonesia (Hipmi), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI),
Kadin, hingga Real Estate Indonesia (REI).
Simbiose citra sebagai pedagang dan aktivis selalu melekat
dalam diri Sutrisno Bachir. Ia banyak menyumbangkan materi hasil
berdagang ke berbagai organisasi sosial keagamaan. Ketika Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) lahir ia memberikan banyak
dukungan. Demikian pula di lingkungan HMI, Muhammadiyah, serta PII
dalam 25 tahun terakhir sangat mengenal Sutrisno sebagai
penyumbang yang dermawan.
Setiap organisasi sosial keagamaan, kalau memerlukan
dukungan finansial, dan lalu menemui ayah empat orang anak ini,
sepanjang rencana kegiatannya bermanfaat jelas maka dijamin pasti
tidak akan pulang dengan tangan hampa. Keringanan tangan
menyumbang itulah yang ‘memperkenalkan’ Sutrisno Bachir dengan
sosok Amien Rais. Apalagi, ia mendapat amanah dari ibunya Latifah
Djahrie yang berpesan untuk bantu Pak Amien. “Ibu saya berpesan
agar saya selalu membantu Pak Amien,” ujar Sutrisno.
Sejak tahun 1998 kendati bisnisnya sedang dihantam badai
krisis ia tetap komit menuruti perintah ibunya. Ia sangat percaya, bila
kita sering membantu yang lain Allah akan membalas berlipat-lipat.
“Saya sering membuktikan hal itu,” kata Sutrisno Bachir yang sangat
hormat kepada ibunya. Ia yakin kesuksesannya sebagai pengusaha
tidak lepas dari restu ibu. Ia ingat persis hadits Nabi, bahwa ridho Allah
adalah ridho orangtua. Ia juga mengamini hadits lain, yang telah
menjadi semacam ungkapan klasik keagamaan, bahwa ‘surga berada
di bawah telapak kaki ibu’. Sabda Rasul Muhammad SAW di atas
bukanlah sekadar rangkaian kata-kata namun nyata terbukti dalam
kehidupan Sutrisno sehari-hari.
‘Romantisme’ politik antara Amien Rais dan Sutrisno Bachir
sudah berlangsung lama. Amien Rais menyebutkan Sutrisno selalu
berada di sampingnya untuk memberikan dukungan. Sejak PAN lahir
1998 termasuk selama kampanye Pemilu 1999, walau bukan sebagai
pengurus Sutrisno aktif memberikan bantuan financial. Panggilan hati
Sutrisno terjun ke politik praktis dengan sasaran sebagai ketua umum
PAN, selain karena ingat pesan Ibu juga karena nalurinya sebagai
pengusaha tak ingin hanya bergerak pada tataran wacana semata. Dia
yakin partai modern tidak bisa ditegakkan hanya dengan wacana.
Sukses partai pada masa depan tidak cukup ditopang popularitas
pemimpinnya, maupun banyaknya pernyataan yang dikutip media.
Partai modern memerlukan kerja nyata yang sistematis, yang mampu
memahami secara detail kebutuhan masyarakat. Karena itu PAN harus
mampu menempatkan kader-kader terbaiknya dalam jumlah memadai,
baik dalam legislatif maupun eksekutif. Dan, hal itu tidak bisa dibangun
hanya dengan popularitas tapi harus dengan kerja keras. Ia memasuki
gelanggang politik bukan sebagai orang politik atau politisi, namun
murni profesional yang kemudian berpolitik. Ia melihat profesionalitas
memang diperlukan untuk mengembangkan PAN menjadi partai
berpengaruh, dan ia sudah siap untuk menjalankan amanah itu
dengan seluruh kemampuan dan keterbatasannya. Sutrisno lalu
menerjemahkan keinginannya membesarkan dan memodernkan PAN
pada empat pokok garis perjuangan. Yakni, partai dan pemenangan
pemilu, pengaderan yang andal, partai yang dicintai rakyat, serta
membangun organisasi PAN yang modern. Garis perjuangan itu dia
operasionalkan lagi ke dalam sejumlah program. Program-program
itu, penataan sistem kerja partai, pengembangan sistem informasi
kepartaian, pelatihan-pelatihan kader dan pengurus, pengembangan
kapasitas DPP, DPC, DPD sebagai ujung tombak partai, serta
membangun dan mengukuhkan citra sebagai (satu-satunya) partai
modern di Indonesia.
Kuatnya visi Sutrisno Bachir membangun PAN menjadi partai
modern membuatnya tetap menolak anggapan seolah-olah kader
partai haruslah dari kalangan pebisnis. Ia hanya berprinsip, bila partai
ingin bisa membiayai sendiri maka PAN harus mau membesarkan
pengusaha. Bila ada sepuluh persen saja dari pengurus partai
pengusaha, maka jumlah itu sudah cukup untuk membiayai suatu
partai. Dengan konsep yang dimiliki, Sutrisno Bachir sudah siap
melaksanakan target untuk meraih 100 kursi DPR pada Pemilu 2009,
dan memenangkan 10 persen Pilkada.
Mengukur sukses, apakah ukuran kemajuan sebuah
lembaga, perusahaan, atau negara semata tercermin dari kesehatan
necara, laba rugi, dan cash flow-nya saja? Bila memang demikian,
tidak heran para pejabat atau pimpinan perusahaan sering kurang
peduli dengan realitas di lapangan, karena catatan finansial positif.
Ada perusahaan yang dinilai sukses karena budayanya, sikap
manusianya, servisnya, padahal perusahaan belum tentu untung.
Hanya saja, pemimpinnya sangat optimis bahwa keuntungan akan ia
raih di masa depan. Negara yang belum terlalu sukses seperti
Vietnam, saat ini memfokuskan perbaikan pendidikan dan infrastruktur,
sementara hitungan kemajuan ekonominya di mata dunia masih belum
diperhitungkan.
Kita tentu tidak boleh terjebak dalam ukuran populer yang
lebih digunakan di masa lampau, saat “knowledge economy” belum
berkembang. Kita perlu secara strategis menghitung tabungan
knowledge yang kita punyai sebagai modal untuk maju di seputar 300
juta rakyat Indonesia. Kita tidak boleh lupa bahwa Human
Development Index (HDI) Indonesia masih berada di peringkat 124 dari
187 negara, yang berarti kualitas hidup dan kesejahteraan masih jauh
dari memuaskan.
Pada tingkat perusahaan, apakah kita masih menghargai
buruh sebatas pada tenaga fisiknya saja? Seberapa jauh kita telah
menghubungkan kekuatan lain selain uang yang bisa menciptakan nilai
tambah pada sasaran kita? Meski menghitung aset intangible tidak
semudah menghitung laporan rugi-laba, namun tidak berarti kita tidak
usah memperhitungkannya. Aset seperti reputasi maupun “knowhow”
yang ada dalam diri individu memang tidak bisa kita akui sebagai harta
lembaga maupun perusahaan. Aset ini bagaikan angin, bisa hilang,
musnah, bahkan bisa menipu seolah-olah ada tapi tidak ada. Individu
yang telah kita biayai dan didik hingga pandai tetap punya pilihan
bebas ke mana ia akan meletakkan komitmen dan kompetensinya,
bahkan meski telah menandatangani kontrak sekalipun. Meski begitu,
tetap saja kita tidak punya alasan untuk tidak berinvestasi pada
pengembangan aset intangible ini karena ia sangat erat kaitannya
dengan aset yang teraga. Bukankan image dan reputasi ini yang
menyebabkan pelanggan kembali? Bila pelanggan tidak happy,
bukankah ini akan sangat berpengaruh terhadap bisnis kita di masa
depan? Bila kompetensi karyawan tidak dikembangkan, bagaimana
kita akan mendapatkan proyek bergengsi ataupun berkompetisi
dengan organisasi lain? Bagi para pimpinan dan eksekutif di bidang
HRD, ini jelas berarti betapa pengembangan manusia harus dilakukan
secara serius dan perlu dilakukan bersamaan dengan penguatan
engagement. Kekuatan asset intangible Upah karyawan memang ada
di dalam neraca perusahaan dan tercatat sebagai biaya.
Sebaliknya, jumlah kepandaian, spirit, dan kemampuan
karyawan dalam berhubungan dengan orang lain tidak pernah tercatat
sebagai aset. Padahal, Southwest Airlines, jelas bangkit dari
kebangkrutan bukan karena harta yang teraga, tetapi justru karena
spirit dan keinginan karyawannya untuk memperbaiki pelayanan.
Namun, sungguh ketinggalan jaman bila kita masih memandang
manusia sebagai biaya dan bukan aset yang perlu dijaga dan
ditumbuhkan. Pengembangan budaya positif, talent development,
inisiatif untuk menciptakan tempat kerja yang nyaman dan positif
bukanlah pekerjaan sambilan, sebaliknya ini butuh komitmen, bahkan
investasi yang tidak sedikit. Kita perlu sadar bahwa kita tidak lagi
sekadar melakukan efisiensi tetapi justru mengupayakan bagaimana
manusia bisa membuat bisnis lebih efektif. Setiap orang perlu menjadi
pembaca data yang andal sehingga setiap orang mengeluarkan output
yang canggih, cerdas, dan membuat "business impact".
Perusahaan, bahkan Negara perlu berupaya untuk
mengelola informasi dan antar karyawan atau warga, sehingga terjadi
saling mengerti yang mendalam mengenai mindset masing-masing.
Para manager dan karyawan perlu melek data untuk menunjang
keputusan yang tepat dan cepat. Kecepatan gerak, yang tadinya
dianggap sebagai suatu ciri budaya sesungguhnya bisa dijadikan aset,
karena kecepatan bisa membuat pelanggan terpesona. Di samping
ukuran tangible yang terekam dalam catatan finansial, seberapa jauh
kita memperhitungkan betapa berharganya opini pelanggan terhadap
lembaga kita? Seberapa serius kita memperhitungkan opini para turis
terhadap masyarakat kita? Di samping catatan pendapatan
perusahaan, seberapa jauh kita memastikan kepuasan pelanggan
terhadap produk, proses, dan servis kita? Sadarkah bahwa aset
intangible seperti reputasi, image, spirit, sense of belonging, dan
knowhow adalah penentu kekuatan kita di masa depan.
Pola pikir positif yang sudah ada dalam mindset
membuahkan perilaku yang baik, merupakan hasil didikan
membudayakan suka memberi, berzakat, berinfaq, bershodhaqoh
perbuatan suka memberi adalah hal yang baik untuk dilakukan setiap
orang yang beriman. Istilah Shadaqah, Zakat dan Infaq menunjuk
kepada satu pengertian yaitu sesuatu yang dikeluarkan. Zakat, Infaq
dan Shadaqah memiliki persamaan dalam peranannya memberikan
kontribusi yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan. Adapun
perbedaannya yaitu zakat hukumnya wajib sedangkan infaq dan
Shadaqah hukumnya sunnah. Atau Zakat yang dimaksudkan adalah
sesuatu yang wajib dikeluarkan, sementara Infaq dan Shadaqah
adalah istilah yang digunakan untuk sesuatu yang tidak wajib
dikeluarkan. Jadi pengeluaran yang sifatnya sukarela itu yang disebut
Infaq dan Shadaqah. Zakat ditentukan nisabnya sedangkan Infaq dan
Shadaqah tidak memiliki batas, Zakat ditentukan siapa saja yang
berhak menerimanya sedangkan Infaq boleh diberikan kepada siapa
saja. Perbedaannya juga dapat dicermati antara lain yaitu :
1. Zakat, sifatnya wajib dan adanya ketentuannya/batasan jumlah
harta yang harus zakat dan siapa yang boleh menerima.
2. Infaq, sumbangan sukarela atau seikhlasnya (materi).
3. Shadaqah, lebih luas dari infaq, karena yang disedekahkan tidak
terbatas pada materi saja.
Mengenal Makna Hibah, ketika Anda memberikan sebagian harta kepada
orang lain, pasti ada tujuan tertentu yang hendak Anda capai. Bila tujuan
utama dari pemberian Anda adalah rasa iba dan keinginan menolong
orang lain, maka pemberian ini diistilahkan dalam syariat Islam dengan
hibah. Rasa iba yang menguasai perasaan Anda ketika mengetahui atau
melihat kondisi penerima pemberian lebih dominan dibanding kesadaran
untuk memohon pahala dari Allah. Sebagai contoh, mari kita simak
ucapan sahabat Abu Bakar ketika membatalkan hibahnya kepada putri
beliau tercinta Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Wahai putriku, tidak ada orang
yang lebih aku cintai agar menjadi kaya dibanding engkau dan sebaliknya
tidak ada orang yang paling menjadikan aku berduka bila ia ditimpa
kemiskinan dibanding engkau. Sedangkan dahulu aku pernah
memberimu hasil panen sebanyak 20 wasaq (sekitar 3.180 Kg). Bila
pemberian ini telah engkau ambil, maka yang sudah tidak mengapa,
namun bila belum maka pemberianku itu sekarang aku tarik kembali
menjadi bagian dari harta warisan peninggalanku.” (HR. Imam Malik)
1.2. Fokus Penelitian
Gambaran diri seorang entrepreneur sebagai seorang manusia pada
umumnya, yang bersifat individual dan sebagai seorang yang memerankan
fungsi-fungsi sosial. Sebagai makhluk sosial, seorang entrepreneur
berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dalam
hubungannya dengan lingkungan, seorang entrepreneur melakukannya
dengan sadar dan atas kemauan dan sesuai dengan motif dan keinginannya.
Tindakan seperti ini menurut perspektif Weber disebut tindakan sosial.
Berdasarkan penjelasan di atas tersebut dapat terungkap dengan menjawab
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Telaah bagaimana pandangan entrepreneur tentang diri dan
lingkungannya (lingkungan internal dan eksternal)?
2. Telaah bagaimana orientasi social (pilihan karier dan motif) setelah
menjadi entrepreneur?
3. Telaah bagaimana seorang entrepreneur melakukan pengelolaan
hubungan sesama pengusaha?
Untuk lebih memperjelas wilayah penelitian (fokus penelitian) yang akan
dilakukan, berikut ini akan digambarkan secara skematis wilayah kajian yang
menjadi fokus penelitian :
Gambar 1.1 Wilayah Penelitian dan Fokus Penelitian
Sebelum Menjadi
Entrepreneur
Memasuki Dunia
Entrepreneur
Redefinisi Diri
Wilayah Penelitian Dan Fokus Kajian
Kontruksi Diri Dan Perilaku Entrepreneur
Konsep Diri (Pandangan Tentang
Diri & Lingkungannya)
Orientasi Sosial (Pilihan Karier dan
Motif)
Manajemen Diri (Hubungan sesama
Pengusaha )
1.3. Masalah Penelitian
Berdasarkan realitas di atas tampaknya perlu dikembangkan
pemicu dalam membangun karakter entrepreneur pada setiap manusia.
Sehubungan dengan maksud tersebut, sebagai sebuah kajian
entrepreneur, kajian ini berusaha memahami (to understand) wacana
Soetrisno Bachir lewat pendekatan kebahasaan (verbal approach) dengan
menggunakan perspektif hermeneutika Gadamerian. Hal ini dilakukan
karena pendekatan kebahasaan masih jarang dipakai untuk memahami
dinamika entrepreneur. Menjadi seorang pengusaha dibutuhkan lebih
banyak waktu dan upaya. Menyadarai adanya proses lebih diutamakan
daripada hasil yang diperoleh. Proses adalah perjalanan yang penuh
dengan kehati-hatian untuk mencapai tujuan yang sudah direncanakan.
Menjalankan bisnis yang sukses bukan sekedar risiko keuangan, melainkan
juga risiko emosi. Agar dapat memahami bidang kewirausahaan dengan
lebih baik, penting untuk mempelajari tentang sifat dan perkembangan
kewirausahaan, proses kewirausahaan serta peran kewirausahaan dalam
perkembangan ekonomi suatu Negara.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa yang menjadi
subyek penelitian ini adalah Soetrisno Bachir yang melakukan interaksi di
lingkungannya sebagai wirausahawan . Penelitian inipun akan menjadi
menarik untuk dilakukan, karena akan mengungkap realitas subyektif dari sisi
seorang yang memasuki dunia kewirausahaan. Untuk memahami (meneliti)
realitas aktivitas Soetrisno Bachir harus diawali dengan memahami
bagaimana konsep diri mereka, termasuk mengetahui bagaimana mereka
memandang dan mempersepsi diri dan lingkungannya.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis tentang diri
dan perilaku seorang wirausahawan yang sukses melalui pemahaman
tentang konsep diri, melalui dialogis, sedangkan secara spesifik bertujuan
sebagai berikut:
1. Menelaah pandangan Soetrisno Bachir (wirausahawan) tentang diri
dan lingkungannya.
2. Menelaah orientasi social yang meliputi pilihan karier dan motif
setelah menjadi wirausahawan.
3. Menelaah cara manajemen diri baik dengan masyarakat maupun
dengan sesama pengusaha yang terkait dalam praktek manajemen.
1.5. Manfaat Penelitian
Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberi
kontribusi dalam pengembangan ilmu manajemen, khususnya dalam
rangka memperkaya model-model penelitian dan pengembangan
tradisi/paradigm interpretif yang berperspektif fenomenologi. Lebih dari
itu, penelitian ini juga diharapkan dapat melengkapi referensi ilmiah yang
berkaitan dengan fenomena seorang wirausahawan yang sukses
khususnya mengenai konsep diri dan perilaku terhadap lingkungannya,
sehingga model tersebut dapat memperkaya model sehingga dapat
dipergunakan sebagai bahan acuan bagi peneliti yang sama dimasa yang
akan datang.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi
positif bagi beberapa kalangan terkait diantaranya : Pertama,
pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan akan mengungkap persoalan-
persoalan yang dirasakan dan dihadapi oleh para pengangguran. Hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan oleh pemerintah dalam hal
ini Kementerian Sosial dan Kementerian Tenaga Kerja sebagai masukan
dan referensi dalam membuat kebijakan-kebijakan yang menyangkut
program pengentasan kemiskinan terutama dalam mengelola masalah
social dan pemberdayaan (empowerment) masyarakat marjinal yang selalu
menjadi persoalan serius dan amat rumit. Kedua, Masyarakat,
Pengungkapan konsepsi, realitas dan fenomena dari interaksi yang
berbuah pada kreatifitas diharapkan membuat masyarakat termotivasi
akan kemandiriannya dalam menciptakan lapangan kerja yang lebih baik.
Dapatlah dinyatakan bahwa wirausaha mendasari pendobrakan
kemiskinan karena wirausaha didorong motif berprestasi, optimisme,
sikap dan keberhasilan. Kemampuan berwirausaha menunjukkan perilaku
kreatif, berinovasi, kerja keras dan berani menghadapi resiko untuk
memanfaatkan peluang. Pemahaman komprehensif tentang konsep diri
dalam penelitian ini diharapkan sebagai fondasi membangun karakter
sehingga dapat memiliki perilaku wirausaha.
BAB II
KAJIAN TEORITIK
2.1. Berbagai Konsep Pengembangan Diri
2.1.1. Konsep Diri
Konsep diri (self concept) adalah seperangkat keyakinan tentang
diri kita sendiri yang dianggap penting dari diri kita. Sering kali kita punya
pikiran yang jernih tentang siapa kita, tetapi kadang-kadang kita bingung
dan meragukan diri kita dan merasa tertekan dari desakan orang lain.
Persoalan ini dinamakan kejelasan konsep diri, jadi pemahaman diri yang
jelas dan pasti akan memberikan arah yang jelas. Penghargaan diri (self
esteem) merupakan hasil evaluasi tentang diri kita sendiri, dalam arti
bahwa kita tidak hanya menilai seperti apa diri kita tetapi juga menilai
kualitas-kualitas diri kita. Orang yang memiliki tingkat penghargaan diri
yang tinggi biasanya memiliki pemahaman yang jelas tentang kualitas
persoalannya. Mereka menganggap diri mereka baik, punya tujuan yang
tepat dapat memberikan umpan balik yang penuh dengan wawasan,
menikmati pengalaman-pengalaman positif serta bisa mengatasi situasi
yang sulit (Shelley, 2009: 119).
Sedangkan orang yang memandang rendah dirinya sendiri,
kurang memiliki konsep diri yang jelas, merasa rendah diri, sering memiliki
tujuan yang kurang realitas atau bahkan tidak memiliki tujuan yang pasti,
orang yang merasa dirinya rendah ini cenderung pesimis dalam
menghadapi masa depan dan mengingat masa lalu secara negative serta
berkubang dalam perasaan negative, mempunyai reaksi emosional,
53
tanggapan yang lebih buruk dalam merespon tanggapan negative dari
orang lain, kurang mampu memunculkan umpan balik positif terhadap
dirinya sendiri, mudah kena depresi dikarenakan berpikir terlalu mendalam
saat mereka menghadapi stress.
Ada dua dimensi yang penting bagi harga diri yaitu kompetensi
diri dan senang pada diri (self liking), yaitu memandang diri sendiri
mampu dan menyukai kepribadiannya sendiri. Beberapa sumber
pengetahuan tentang diri, diantaranya sosialisasi (socialization),
bagaimana seseorang mendapatkan aturan, standard an nilai-nilai
keluarganya, kelompoknya dan kulturnya, sedangkan pengetahuan diri
yang berasal dari sosialisasi bisa dengan cara berpartisipasi dalam
aktivitas yang penting bagi keluarga kita, kita akan menganggap aktivitas
tersebut sebagai bagian penting dari diri kita sendiri; penilaian yang
direfleksikan (reflected appraisals), yaitu evaluasi diri berdasarkan
persepsi dan evaluasi dari orang lain, belajar tentang diri kita sendiri
melalui reaksi dari orang lain terhadap kita, tanggapan orang lain
merupakan tanggapan umpan balik yang objektif.
Teori persepsi diri (self perception theory), orang terkadang
menyimpulkan sikap mereka sendiri berdasarkan perilaku mereka yang
kelihatan, bukan dari keadaan internalnya. Orang juga menyimpulkan
kualitas persoalannya dari pengamatan atas perilaku mereka sendiri,
dalam proses mengamati diri sendiri kita melihat diri kita senantiasa lebih
menyukai suatu aktivitas tertentu daripada aktivitas yang lainnya;
lingkungan merupakan petunjuk lain tentang kualitas personal kita, secara
khusus konsep diri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang membuat
kita berbeda, oleh karena itu ketika kita dalam satu kelompok yang
anggotanya banyak kesamaannya dengan kita maka kita cenderung
memandang diri kita dalam identitas personal yaitu karakteristik yang
membedakan kita dari orang lain; penilaian diri komparatif atau
perbandingan sosial (social comparison), yaitu tindakan membandingkan
kemampuan, opini dan emosi dengan orang lain.
Perbandingan-perbandingan disini bersifat temporal yang bisa
membuat diri kita berubah; identitas sosial (social identity), yaitu bagian
dari konsep diri individu yang berasal dari keanggotaannya dalam
kelompok sosial. Konsep diri dan identitas sosial akan saling menentukan
dan membentuk satu sama lain, identitas sosial dofokuskan pada
identitas etnis (ethnic identity), yaitu pengetahuan diri individu yang
berhubungan dengan keanggotaan dalam kelompok etnis tertentu, jadi
partisipasi dalam aktivitas etnis dan mendapat perlakuan tertentu,karena
latar belakang etnis akan menyebabkan seseorang memiliki perasaan
identitas etnis yang kuat.
2.1.2. Efikasi Diri
Teori efikasi diri ( self efficacy ) dikembangkan dari teori kognitif
sosial oleh Bandura (1977) teori kognitif sosial beramsumsi, setiap orang
mampu menjadi model multi arah yang memberi kesan dimasa
mendatang sebagai fungsi tiga gaya yang saling berhubungan yaitu
pengaruh kondisi lingkungan, tingkah laku manusia dan faktor pribadi
seperti kognitif, efektif dan proses biologi. Bandura (1977), efikasi diri
secara eksplisit berhubungan dengan diri dalam arah hubungan
kemampuan yang dicapai dalam menyelesaikan tugas khusus, secara
harfiah efikasi diri dapat diartikan sebagai kemujaraban diri. Secara
kontekstual, Bandura menyatakan efikasi diri (self efficacy) sebagai
“beliefs in one”s capabilities to mobilize the motivation, cognitive
resources, and courses of action needed to meet given situational
demands” (Bandura, 1977: 142).
Efikasi diri adalah keyakinan terhadap kemampuan seseorang
untuk menggerakkan motivasi, sumber-sumber kognitif, dan serangkaian
tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari situasi
yang dihadapi. Dalam kehidupan manusia memiliki keyakinan diri itu
merupakan hal yang sangat penting. Keyakinan diri mendorong seseorang
untuk memahami secara mendalam atas situasi yang dapat menerangkan
tentang mengapa seseorang ada yang mengalami kegagalan atau
berhasil. Dari pengalaman itu akan mampu untuk mengungkapkan
keyakinan diri. Keyakinan diri merupakan panduan untuk tindakan yang
telah dikunstruksikan dalam perjalanan pengalaman interaksi sepanjang
hidup individu. Efikasi diri yang berasal dari pengalaman tersebut yang
akan digunakan untuk memprediksi perilaku orang lain dan memandu
perilakunya sendiri. Menurut Crick & Dodge (Maryati, 2008: 48) bahwa
efikasi diri merupakan representasi mental individu atas realitas, terbentuk
oleh pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa kini, serta disimpan
dalam memori jangka panjang. Dimana skema-skema spesifik, keyakinan-
keyakinan, yang terintegrasi dalam sistem keyakinan akan mempengaruhi
interpretasi individu terhadap situasi spesifik. Proses interpretasi individu
terhadap situasi spesifik ini pada gilirannya diprediksi akan mempengaruhi
perilaku seseorang. Definisi efikasi diri pun terus berkembang.
Bandura (1977: 3) mengartikan efikasi diri sebagai keyakinan
akan kemampuan individu untuk dapat mengorganisasi dan
melaksanakan serangkaian tindakan yang dianggap perlu untuk
mencapai suatu hasil yang diinginkan. Secara kontekstual, Bandura
memberikan definisi bahwa efikadi diri adalah keyakinan seseorang
mengenai kemampuan yang dimilikinya untuk menghasilkan tingkatan
performa yang terencana, dimana kemampuan tersebut dilatih,
digerakkan oleh kejadian-kejadian yang berpengaruh dalam hidup
seseorang. Bagaimana individu itu bersikap, bertingkah laku, dan
bermotivasi diri dapat menjadi salah satu sumber kekuatan individu dalam
memunculkan efikasi diri, sehingga dijelaskan pula oleh Wicaksono
(2008) efikasi diri adalah sebuah unsur yang bisa mengubah getaran
pemikiran biasa; dari pikiran yang terbatas, menjadi suatu padanan yang
masuk ke dalam koridor spiritual; dan merupakan dari dasar semua
mukjizat, serta misteri yang tidak bisa di analisis dengan cara-cara ilmu
pengetahuan. Keyakinan itu merupakan sebuah media tunggal dari satu-
satunya, yang memungkinkan untuk membangkitkan suatu kekuatan dari
sumber energy tanpa batas di dalam diri dan mengendalikannya untuk
dimanfaatkan demi kebaikan manusia itu sendiri, serta merupakan suatu
keadaan pikiran, yang bisa dirangsang atau diciptakan oleh perintah
peneguhan secara terus menerus lewat pikiran dan perkataan positif,
sampai akhirnya meresap ke dalam pikiran bawah sadar.
Berawal dari asumsi – asumsi di atas bahwa efikasi diri seorang
dapat mengarahkan tindakan – tindakan seseorang bukan hanya dengan
orang lain tetapi juga dengan lingkungan yang lebih luas. Efikasi diri
memiliki fungsi adaptif yang memungkinkan individu memenuhi persyaratan–
persyaratan sosiokultural dan tuntutan kognitif. Efikasi diri juga
memungkinkan individu untuk dapat mengorganisasikan dunianya dalam
cara–cara yang konsisten secara psikologis, melakukan prediksi,
menemukan kesamaan, dan menghubungkan pengalaman – pengalaman
baru dengan pengalaman – pengalaman masa lalu, bahkan memunculkan
kekuatan pikiran yang dapat bahwa hingga kedalam alam bawah
sadarnya. Dari hal – hal tersebut McGillicuddy-DeLisi (Maryati, 2008: 49)
mendefinisikan efikasi diri sebagai alat dalam menetapkan prioritas,
mengevakuasi kesuksesan, maupun alat untuk memelihara efikasi diri.
Pendapat Nuron, dkk (Maryati, 2008: 49) menyatakan bahwa
efikasi diri mencakup control diri, dimana efikasi diri merupakan keyakinan
diri bahwa mereka memiliki keterampilan – keterampilan yang dituntut
dalam memenuhi kebutuhan – kebutuhan spesifik. Efikasi diri sendiri
menurut Robbin (Hambawany, 2007) adalah keyakinan atau kemampuan
yang dimiliki seseorang untuk meraih sukses dalam tugas. Efikasi diri yang
terlah di jelaskan adalah merupakan keyakinan diri seperti dijelaskan dan
di perkuat pula oleh Spears dan Jordon (Maryati, 2008, 50) yang
mengistilahkan keyakinan sebagai efikasi diri yaitu kenyakinan seseorang
bahwa dirinya akan mampu melaksanakan tingkah laku yang dibutuhkan
dalam suatu tugas. Pikiran individu terhadap efikasi diri menentu seberapa
besar usaha yang akan dicurahkan dan seberapa lama individu akan tetap
bertahan dalam menghadapi hambatan atau pengalaman yang tidak
menyenangkan. Berdasarkan para pendapat tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa inti dari efikasi diri adalah keyakinan atas kemampuan
diri. Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang untuk mengkoordinir
kemampuan dirinya sendiri yang dimanifestasikan dengan serangkaian
tindakan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan dalam hidupnya.
2.1.3. Proses Terjadinya Efikasi Diri
Menurut Bandura (1997) efikasi diri berakibat pada suatu tindakan
manusia melalui beberapa jenis proses, antara lain;
a. Proses Motivasional, individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan
meningkatkan usahanya untuk mengatasi tantangan dengan
menunjukkan usaha dan keberadaan diri yang positif, hal tersebut
memerlukan perasaan keunggulan pribadi (sense of personal efficacy).
b. Proses kognitif, efikasi diri yang dimiliki individu akan berpengaruh
terhadap pola pikir yang bersifat membantu atau menghambat. Bentuk-
bentuk pengaruhnya yaitu;
1. Jika efikasi diri semakin tinggi maka semakin tinggi pula penetapan
suatu tujuan dan akan semakin kuat pula komitmen terhadap
tujuan yang akan dicapai.
2. Ketika menghadapi situasi-situasi yang kompleks, individu
mempunyai keyakinan diri yang kuat dalam memecahkan masalah
yang dihadapi dan mampu mempertahankan efisiensi berpikir
analitis. Sebaiknya, jika individu bersikap ragu-ragu dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya maka biasanya tidak
efisien dalam berfikir analitis.
3. Efikasi diri berpengaruh terhadap antisipasi tipe-tipe gambaran
konstruktif dan gambaran yang diulang kembali. Individu yang
memiliki efikasi diri tinggi akan memiliki gambaran keberhasilan
yang diwujudkan dalam penampilan dan perilaku yang positif dan
efektif. Sebaiknya individu yang merasa tidak mampu cenderung
merasa mempunyai gambaran kegagalan.
4. Efikasi diri berpengaruh terhadap kognitif melalui pengaruh yang
sama dengan proses motivasional dan pengolahan informasi.
Semakin kuat keyakinan individu akan kapasitas memori, maka
semakin kuat pula usaha yang dikerahkan untuk memproses
memori secara kognitif dan meningkatkan kemampuan memori
individu tersebut.
c. Proses Afektif, Efikasi diri berpengaruh terhadap seberapa banyak
tekanan yang dialami oleh individu dalam situasi-situasi yang
mengancam. Individu yang percaya bahwa dirinya dapat mengatasi
situasi-situasi yang mengancam yang dirasakannya, tidak akan
merasa cemas dan terganggu dengan ancaman tersebut.
2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Efikasi diri
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efikasi diri, menurut Greenberg
dan Baron (Hambawany, 2007) mengatakan ada dua faktor yang
mempengaruhi efikasi diri yaitu;
a. Pengalaman langsung, sebagai hasil dari pengalaman mengerjakan
suatu tugas dimasa lalu (sudah pernah melakukan tugas yang sama
dimasa lalu).
b. Pengalaman tidak langsung, sebagai hasil observasi pengalaman
orang lain dalam melakukan tugas yang sama (pada waktu individu
mengerjakan sesuatu dan bagaimana individu tersebut menerjemahkan
pengalamannya tersebut dalam mengerjakan suatu tugas).
Hal yang tidak jauh berbeda diungkapkan pula oleh Bandura (2007)
bahwa efikasi diri seseorang dipengaruhi pula oleh;
a. Pencapaian prestasi, faktor ini berdasarkan oleh, pengalaman-
pengalaman yang dialami individu secara langsung. Apabila seseorang
pernah mengalami keberhasilan dimasa lalu, maka dapat meningkatkan
efikasi dirinya.
b. Pengalaman orang lain, individu yang melihat orang lain berhasil dalam
melakukan aktivitas yang sama dan memiliki kemampuan yang
sebanding dapat meningkatkan efikasi dirinya. Individu yang pada
awalnya memiliki efikasi diri yang rendah akan sedikit berusaha untuk
dapat mencapai keberhasilan seperti yang diperoleh oleh orang lain.
c. Bujukan lisan, individu diarahkan dengan saran, nasehat, bimbingan
sehingga dapat meningkatkan keyakinan bahwa kemampuan-kemampuan
yang dimiliki dapat membantu untuk mencapai apa yang diinginkan.
d. Kondisi emosional, seseorang akan lebih mungkin mencapai
keberhasilan jika tidak terlalu sering mengalami keadaan yang menekan
karena dapat menurunkan prestasinya dan menurunkan keyakinan akan
kemampuan dirinya.
Keempat faktor di atas didukung oleh pendapat Ivancevich dan
Matteson (Maryati, 2008) yang menyatakan bahwa pencapaian prestasi,
pengalaman orang lain, bujukan lisan, kondisi emosional memegang
peranan penting didalam mengembangkan efikasi diri, faktor tersebut
dianggap penting sebab ketika seseorang melihat orang lain berhasil maka
akan berusaha mengikuti jejak keberhasilan orang tersebut. Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
keyakinan diri yang diungkap dalam efikasi diri yaitu pengalaman langsung,
pengalaman tidak langsung, pencapaian prestasi, pengalaman orang lain,
bujukan lisan, kondisi emosional.
2.1.5. Pengaruh Efikasi diri pada Tingkah Laku
Pandangaan Bandura, bahwa efikasi diri akan mempengaruhi bagaimana
individu merasakan, berfikir, memotivasi diri sendiri, dan bertingkah laku.
Efikasi diri atau kapabilitas yang dimiliki individu akan mempengaruhi
tingkah lakunya dalam beberapa hal antara lain;
a. Tindakan individu, efikasi diri menentukan kesiapan individu dalam
merencanakan apa yang harus dilakukannya. Individu dengan keyakinan
diri tinggi tidak mengalami keragu-raguan dan mengetahui apa yang
harus dilakukannya.
b. Usaha, efikasi diri mencerminkan seberapa besar upaya yang
dikeluarkan individu untuk mencapai tujuannya. Individu dengan
keyakinan terhadap kemampuan diri tinggi akan berusaha makisimal
untuk mengetahui cara-cara belajar serta kegiatan-kegiatan yang sesuai
dengan minatnya. Individu dengan keyakinannya terhadap kemampuan
diri tinggi akan berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
c. Daya tahan individu dalam menghadapi hambatan atau rintangan atau
kegagalan, individu dengan efikasi diri tinggi mempunyai daya tahan
yang kuat dalam menghadapi rintangan atau kegagalan, serta dengan
mudah mengembalikan rasa percaya diri setelah mengalami kegagalan.
Individu juga beranggapan bahwa kegagalan dalam mencapai tujuan
adalah akibat dari kurangnya pengetahuan, bukan karena kurangnya
keahlian yang dimilikinya. Hal ini membuat individu berkomitmen
terhadap tujuan yang ingin dicapainya. Individu akan menganggap
kegagalan sebagai bagian dari proses, dan tidak menghentikan
usahanya.
d. Ketahanan individu terhadap keadaan tidak nyaman, dalam situasi tidak
nyaman, individu dengan efikasi diri tinggi menganggap sebagai suatu
tantangan, bukan merupakan sesuatu yang harus dihindari. Ketika
individu mengalami keadaan tidak nyaman dalam usaha untuk mencapai
tujuan yang diminati, ia akan tetap berusaha bertahan dengan
mengabaikan ketidak nyamanan tersebut dan berkonsentrasi penuh.
e. Pola pikir, situasi tertentu akan mempengaruhi pola pikir individu.
Individu dengan efikasi diri tinggi, pola pikirnya tidak mudah terpengaruh
oleh situasi lingkungan dan tetap memiliki cara pandang yang luas dari
beberapa sisi. Cara pandang individu yang luas memungkinkan individu
memiliki alternatif pilihan kegiatan belajar yang banyak dari bidang yang
diminati.
f. Stress dan depresi, bagi individu yang memiliki efikasi diri rendah,
kecemasan yang terbangkitkan oleh stimulus tertentu akan membuatnya
mudah merasa tertekan. Jika perasaan tertekan tersebut berkelanjutan,
maka dapat mengakibatkan depresi. Dalam upaya memiliki karir yang
sesuai dengan minatnya, jika individu menganggap realitas sulitnya jalur
yang harus ditempuh, prospek dunia kerja dimasa depan dan
sebagainya merupakan sumber kecemasan, dan individu meragukan
kemampuannya, maka individu akan menjadi lebih mudah tertekan.
g. Tingkat pencapaian yang akan terealisasikan, individu dengan efikasi diri
tinggi dapat membuat tujuan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
serta mampu menentukan bidang pendidikan sesuai dengan minat dan
kemampuannya tersebut.
2.1.6.Teori Konsep Diri Johari Window
Pendekatan teori yang digunakan dalam penelitian ini juga
menggunakan teori Johari Window. Sebagai suatu pendekatan komunikasi,
teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana dan pada bingkai
mana para wirausahawan berkomunikasi. Pendekatan ini didasari atas
pandangan dan asumsi bahwa ada suatu bagan yang dapat menunjukkan
tentang daerah dalam diri kita yang merupakan area public (public self) yang
diketahui orang lain, area pribadi atau private self yang tidak diketahui orang
lain. Aspek diri yang kita ketahui pada sebelah kiri dan aspek diri yang tidak
kita ketahui pada sebelah kanan (Rakhmat, 2000:107). Dalam teori Johari
Window yang lengkap terdapat empat bagian yang disebut sebagai kamar-
kamar jendela yang dapat menjelaskan diri kita. Jendela Johari (Johari
Window) pada dasarnya menggambarkan tingkat saling pengertian antar
orang yang berinteraksi. Jendela Johari ini mencerminkan tingkat
keterbukaan seseorang yang dibagi dalam empat kuadran, Kuadran-
kuadran tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut:
Gambar 2.1
Johari Window (Rakhmat:2000:107)
• Open
Menggambarkan keadaan atau hal yang diketahui diri sendiri dan orang lain.
Hal-hal tersebut meliputi sifat-sifat, perasaan-perasaan, dan motivasi-
motivasinya. Orang yang “Open” bila bertemu dengan seseorang akan selalu
membuka diri dengan menjabat tangan atau secara formal memperkenalkan
diri bila berjumpa dengan seseorang. Diri yang terbuka, mengetahui
kelebihan dan kekurangan diri sendiri demikian juga orang lain diluar dirinya
dapat mengenalinya.
• Blind
Disebut “Blind” karena orang itu tidak mengetahui tentang sifat-sifat,
perasaan-perasaan dan motivasi-motivasinya sendiri padahal orang lain
melihatnya. Sebagai contoh, ia bersikap seolah-olah seorang yang sok
akrab, padahal orang lain melihatnya begitu berhati-hati dan sangat tertutup,
tampak formal dan begitu menjaga jarak dalam pergaulan. Orang ini sering
disebut sebagai seseorang yang buta karena dia tidak dapat melihat dirinya
sendiri, tidak jujur dalam menampilkan dirinya namun orang lain dapat
melihat ketidak tulusannya.
• Hidden
Ada hal-hal atau bagian yang saya sendiri tahu, tetapi orang lain tidak. Hal
ini sering teramati, ketika seseorang menjelaskan mengenai keadaan
hubungannya dengan seseorang. “Saya ingat betul bagaimana rasanya
dikhianati pada waktu itu, padahal aku begitu mempercayainya”. Luka hati
masa lalunya tidak diketahui orang lain, tetapi ia sendiri tak pernah
melupakannya.
• Unknown
Dikatakan “Unknown”, karena baik yang bersangkutan, maupun orang lain
dalam kelompoknya tidak mengetahui hal itu secara individu. Sepertinya
semua serba misterius.
Jendela Johari juga bisa menjelaskan tingkat keterbukaan
seseorang terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Yang dimaksud
dengan daerah publik adalah daerah yang memuat hal-hal yang diketahui
oleh dirinya dan orang lain. Daerah buta adalah daerah yang memuat hal-
hal yang diketahui oleh orang lain tetapi tidak diketahui oleh dirinya. Dalam
berhubungan interpersonal, orang ini lebih memahami orang lain tetapi tidak
mampu memahami tentang diri, sehingga orang ini seringkali menyinggung
perasaan orang lain dengan tidak sengaja. Daerah tersembunyi adalah
daerah yang memuat hal-hal yang diketahui oleh diri sendiri tetapi tidak
diketahui oleh orang lain. Dalam daerah ini, orang menyembunyikan/
menutup dirinya. Informasi tentang dirinya disimpan rapat-rapat. Daerah
yang tidak disadari membuat bagian kepribadian yang direpres dalam
ketidaksadaran, yang tidak diketahui baik oleh diri sendiri maupun orang
lain. Namun demikian ketidaksadaran ini kemungkinan bisa muncul.
Oleh karena adanya perbedaan individual, maka besarnya masing-masing
daerah pada seseorang berbeda dengan orang lain.
Perbedaan antara konsep diri dan efikasi diri yaitu bahwa konsep
diri adalah pandangan atau gambaran seseorang terhadap dirinya sendiri,
gambaran itu muncul karena dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai
pengalaman yang dijumpai dalam hubungannya dengan individu lain,
terutama orang yang dekat dengannya maupun pengalaman yang ia
temukan dalam peristiwa-peristiwa kehidupan, sejarah hidup dimasa lalu
membuat seseorang bisa memandang diri lebih baik maupun lebih buruk
dari keadaan yang sebenarnya. Sedangkan efikasi diri adalah keyakinan
seseorang akan kemampuannya untuk melaksanakan suatu tugas atau
menyelesaikan masalah. Pikiran individu terhadap efikasi dirinya
menentukan seberapa besar usaha yang dicurahkan dan seberapa lama
individu-individu akan tetap bertahan dalam menghadapi hambatan atau
pengalaman yang tidak menyenangkan yang ia alami (Shelley, 2009: 119)
2.2. Teori Tindakan Sosial Weber
Tindakan social adalah segala perilaku manusia ketika dan sejauh
individu memberikan suatu makna subyektif terhadap perilaku tersebut,
seperti manusia pada umumnya, seorang wirausahawan adalah makhluk
yang bersifat individual dan sekaligus memerankan fungsi social. Sebagai
makhluk social, seorang wirausahawan berhubungan dan berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya. Dalam berhubungan dengan lingkungannya,
seorang wirausahawan melakukannya dengan sadar dan atas kemauan
dan sesuai dengan motif dan keinginannya. Tindakan seperti ini menurut
perspektif Weber disebut tindakan social.
Bagi Weber (dalam Mulyana, 2001:61), tindakan manusia pada
dasarnya bermakna melibatkan penafsiran, berpikir, dan kesengajaan.
Tindakan social adalah tindakan yang disengaja, yaitu disengaja bagi orang
lain dan bagi sang actor sendiri, dimana pikiran-pikirannya aktif saling
menafsirkan perilaku orang lainnya, berinteraksi antara satu dengan yang
lainnya. Oleh karena itu, penelitian tentang genetika sukses seorang
wirausahawan sebagai actor social sangat menarik apabila menelusuri
dimensi konsep diri dan aktivitas sadar lainnya yang mereka lakukan.
2.3. Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial Albert Bandura dikembangkan dari tiga asumsi yaitu;
1).Individu melakukan pembelajaran dengan meniru apa yang ada
dilingkungannya terutama tingkah laku-tingkah laku orang lain; 2).terhadap
hubungan yang kuat antara pelajar dengan lingkungannya; 3).hasil
pembelajaran adalah berupa kode tingkah laku visual dan verbal yang
diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari. Bandura juga mengemukakan
bahwa dalam pandangan belajar fungsi psikologi diterangkan sebagai
interaksi yang continu dan timbal balik dari diterminan-diterminan pribadi dan
diterminan-diterminan lingkungan. Terdapat empat konsep dasar dalam teori
belajar sosial, yaitu:
1. Pemodelan (modeling): Bandura memperhatikan bahwa penganut-
penganut skinner memberi penekanan pada efek-efek dari konsekwensi-
konsekwensi pada perilaku dan tidak mengindahkan fenomena
pemodelan, yaitu meniru perilaku orang lain dan pengalaman vicarious,
yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain. Bandura
berpendapat bahwa sebahagian besar belajar yang dialami manusia
tidak dibentuk dari konsekwensi, melainkan manusia itu belajar dari
suatu model.
2. Fase belajar, menurut Bandura terdapat empat fase belajar dari model
yaitu (a)fase perhatian (attentional phase) yaitu memberikan perhatian
pada model. Untuk dapat menarik perhatian siswa model belajar harus
menarik, menimbulkan minat dan popular; fase retensi (retention phase)
yaitu fase penyajian simbolik dari penampilan model dalam memori
jangka panjang. Dalam hal ini peranan kata-kata, nama-nama, atau
banyangan kuat yang dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan yang
dimodelkan dalam mempelajari dan mengingngatkan perilaku menjadi
sangat penting; fase reproduksi (reproduction phase) dalam fase ini
bayangan (imagery) atau kode-kode simbolik verbal dalam memori
membimbing penampilan yang sebenarnya dari perilaku yang baru
diperoleh; fase motivasi (motivational) yaitu fase terakhir dalam bentuk
belajar observasional, dimana siswa akan meniru suatu model, karena
siswa berasumsi dengan meniru suatu model akan meningkatkan
kemungkinan untuk mendapat penguatan (reinforcement).
3. Belajar vicarious, yaitu proses belajar dengan memperhatikan penguatan
(baik positif maupun negative) terhadap perilaku tertentu, dengan tujuan
memberikan peoses pembelajaran bagi siswa yang tidak mau melihat
model secara langsung.
4. Pengaturan sendiri (self regulation) menurut Bandura didasarkan pada
hipotesis bahwa manusia mengamati perilakunya sendiri,
mempertimbangkan perilaku itu terhadap criteria yang disusunnya
sendiri, dan kemudian member penguatan pada dirinya sendiri.
2.4. Teori Entrepreneur
Wirausaha sukses adalah orang-orang yang unggul dan mampu
menciptakan kreativitas dan inovasi sebagai dasar untuk hidup, tumbuh dan
berkembang umumnya memiliki karakteristik atau ciri-ciri yang merupakan
proses jangka panjang berdasarkan pengalaman dan pendidikan. Beberapa
karakteristik yang melekat pada diri wirausahawan (Zimmerer, and
Scarborough, 1998; Kuratko & Hoodgets, 2007) sebagai berikut:
1. Desire for responsibility
Wirausaha yang unggul merasa bertanggungjawab secara pribadi
atas hasil usaha yang dia lakukan. Mereka lebih dapat mengendalikan
sumberdaya sumberdaya yang dimiliki dan menggunakan sumberdaya
tersebut untuk mencapai cita-cita. Wirausaha yang berhasil dalam jangka
panjang haruslah memiliki rasa tanggung jawab atas usaha yang dilakukan.
Kemampuan untuk menanggung risiko usaha seperti: risiko keuangan, risiko
teknik adakalanya muncul, sehingga wirausaha harus mampu
meminimalkan risiko.
2. Tolerance for ambiguity
Ketika kegiatan usaha dilakukan, mau-tidak mau harus berhubungan
dengan orang lain, baik dengan karyawan, pelanggan, pemasok bahan,
pemasok barang, penyalur, masyarakat, maupun aturan legal formal.
Wirausaha harus mampu menjaga dan mempertahankan hubungan baik
dengan stakeholder. Keberagaman bagi wirausaha adalah sesuatu hat yang
biasa. Kemampuan untuk menerima keberagaman merupakan .suatu ciri
khas wirausaha guna menjaga kelangsungan hidup bisnis atau perusahaan
dalam jangka panjang.
3. Vision
Wirausaha yang berhasil selalu memiliki cita-cita, tujuan yang jelas
kedepan yang harus dicapai secara terukur. Visi merupakan filosofi, cita-cita
dan motivasi mengapa perusahaan hidup, dan wirausaha akan
menterjemahkan ke dalam tujuan, kebijakan, anggaran, dan prosedur kerja
yang jelas. Wirausaha yang tidak jelas visi kedepan ibarat orang yang
berjalan tanpa arah yang jelas, sehingga kecenderungan untuk gagal sangat
tinggi.
4. Tolerance for failurer
Usaha yang berhasil membutuhkan kerja keras, pengorbanan balk
waktu biaya dan tenaga. Wirausaha yang terbiasa dengan kreativitas dan
inovasi kadangkala atau bahkan sering mengalami ketidakberhasilan.
Proses yang cukup panjang dalam mencapai kesuksesan tersebut akan
meningkatkan kepribadian toleransi terhadap kegagalan usaha.
5. Internal locus of control
Didalam diri manusia ada kemampuan untuk mengendalikan diri yang
dipengaruhi oleh internal diri sendiri. Wirausaha yang unggul adalah yang
memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri dari dalam dirinya sendiri.
Kerasnya tekanan kehidupan, persaingan binis, perubahan yang begitu
cepat dalam dunia bisnis akan meningkatkan tekanan kejiwaan balk mental,
maupun moral dalam kehidupan keseharian. Wirausaha yang mampu
mengendalikan dirinya sendiri akan mampu bertahan dalam dunia bisnis
yang makin komplek.
6. Continuous Improvement
Wirausaha yang berhasil selalu bersikap positif, mengangap peng-
alaman sebagai sesuatu yang berharga dan melakukan perbaikan terus-
menerus. Pengusaha selalu mencarihal-hal baru yang akan memberikan
manfaat balk dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Wirausaha
memiliki tenaga, keinginan untuk terlibat dalam petualangan inovatif yang
akan membawa konsekuensi menguntungkan dimasa depan.
7. Preference for moderate risk.
Dalam kehidupan berusaha, wirausaha selalu berhadapan dengan
intensitas risiko. Sifat wirausaha dalam menghadapi resiko dapat
digolongkan ke dalam 3 macam sifat mengambil resiko, yaitu risk seeking
(orang yang suka dengan risiko tinggi), moderat risk (orang yang memiliki
sifat suka mengambil risiko sedang), dan risk averse (orang memiliki sifat
suka menghidari risiko) Pada umumnya wirausaha yang berhasil memiliki
kemampuan untuk memilih risiko yang moderate/sedang, di mana ketika
mengambil keputusan memerlukan pertimbangan yang matang, hal ini seja-
lan dengan risiko wirausaha yang apabila mengalami kegagalan di tanggung
sendiri. Wirausaha akan melihat sebuah bisnis dengan tingkat pemahaman
pribadi yang disesuaikan dengan perubahan lingkungan (Zimmerer, and
Scarborough, 1998)
8. Confidence in their ability to success.
Wirausaha umumnya memiliki keyakinan yang cukup tinggi atas
kemampuan diri untuk berhasil. Mereka memiliki kepercayaan yang tinggi
untuk meiakukan banyak hal dengan balk dan sukses. Mereka cenderung
untuk optimis terhadap peluang keberhasilan dan optimisme, biasanya
berdasarkan kenyataan. Tanpa keyakinan kepercayaan untuk sukses dan
mampu menghadapi tantangan akan menurunkan semangat juang dalam
melakukan bisnis.
9. Desire for immediate feedback.
Perkembangan yang begitu cepat dalam kehidupan usaha menunut
wirausaha untuk cepat mengantisipasi perubahan yang terjadi agar mampu
bertahan dan berkembang. Wirausaha pada umumnya memiliki keinginan
untuk mendapatkan respon atau umpan balik terhadap suatu permasalahan.
Persaingan yang begitu ketat dalam dunia usaha menuntut untuk berpikir
cerdas, cepat menanggapi perubahan. Wirausaha memiliki kecenderungan
untuk mengetahui sebaik apa ia bekerja dan mencari pengakuan atas
prestasi secara terus-menerus.
10. High energy level
Wirausaha pada umumnya memiliki energi yang cukup tinggi dalam
melakukan kegiatan usaha sejalan dengan risiko yang ia tanggung.
Wirausaha memiliki semangat atau energi yang cukup tinggi dibanding
kebanyakan orang. Risiko yang harus ditanggung sendiri mendorong
wirausaha untuk bekerja keras dan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Bergairah dan mampu menggunakan daya geraknya, ulet tekun dan tidak
mudah putus asa.
11. Future orientation
Keuntungan usaha yang tidak pasti mendorong wirausaha selalu
melihat peluang, menghargai waktu dan berorientasi kemasa depan.
Wirausaha memiliki kecenderungan melihat apa yang akan dilakukan
sekarang dan besuk, tidak begitu mempersoalkan apa yang telah dilakukan
kemarin. Wirausaha yang unggui selalu berusaha memprediksi perubahan
dimasa depan guna meningkatkan kinerja usaha.
12. Skill at organizing
Membangun usaha dari awal memerlukan kemampuan mengor-
ganisasi sumberdaya yang dimiliki berupa sumber-sumber ekonomi berujud
maupun sumber ekonomi tak berujud untuk mendapat manfaat maksimal.
Wirausaha memiliki keahlian dalam melakukan organisasi balk orang
maupun barang. Wirausaha yang unggul ketika memiliki kemampuan
portofolio sumberdaya yang cukup tinggi untuk dapat bertahan dan
berkembang.
13. High Commitment
Memunculkan usaha baru membutuhkan komitmen penuh yang tinggi
agar berhasil. Disiplin dalam bekerja dan pada umumnya wirausaha
membenamkan diri dalam kegiatan tersebut guna keberhasilan cita-citanya.
14. Flexibility
Perubahan yang begitu cepat dalam dunia usaha mengharuskan
wirausaha untuk mampu menyesuaikan diri dengan perubahan apabila tetap
ingin berhasil. Kemampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungan
merupakan modal dasar dalam berusaha, bertumbuh dan sukses.
Fleksibilitas berhubungan dengan kolega seperti; kemampuan
menyesuaikan diri dengan perilaku wirausaha lain, kemampuan
bernegosiasi dengan kolega mencerminkan kompentensi wirausaha yang
unggul.
2.5. Lingkungan Internal
2.5.1. Persepsi Diri
Sebagaimana Gerungan (2004:59) mengungkapkan bahwa
manusia diciptakan sebagai makhluk individu dan makhluk social
untuk selalu dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
lingkungan fisik dan psikis. Beberapa individu memiliki dorongan
yang kuat untuk berhasil. Mereka lebih berjuang untuk memperoleh
pencapaian pribadi daripada memperoleh penghargaan. Mereka
memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik atau
lebih efisien dibandingkan sebelumnya. Dorongan ini merupakan
kebutuhan pencapaian (nAch). Dari penelitian terhadap kebutuhan
pencapaian (McClelland) menemukan bahwa individu dengan
prestasi tinggi membedakan diri mereka dari individu lain menurut
keinginan mereka untuk melakukan hal-hal dengan lebih baik.
Mereka mencari situasi-situasi dimana bisa mendapatkan tanggung
jawab pribadi guna mencari solusi atas berbagai masalah. Individu
berprestasi tinggi, mereka tidak suka berhasil secara kebetulan.
Mereka lebih menyukai tantangan menyelesaikan sebuah masalah
dan menerima tanggung jawab pribadi untuk keberhasilan atau
kegagalan daripada menyerahkan hasil pada kesempatan atau
tindakan individu lain.
Dari semua tindakan yang paling penting adalah diri (self) siapa
anda dan bagaimana anda mempersepsikan diri sendiri dan orang
lain. Dalam pokok ini kita mendalami dua aspek dalam diri (self).
Pertama menelaah kesadaran diri dan mengamati beberapa dalam
diri (self) seorang pedagang/wirausahawan. Kedua membahas
pengungkapan diri, yaitu seseorang mengungkapkan sesuatu
tentang siapa diri.
Konsep diri tidak hanya berkenaan dengan masalah psikologis,
menurut Mulyana (2001:7-8) mengatakan bahwa konsep diri adalah
pandangan kita mengenai siapa diri kita, dan itu hanya bisa kita
peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita.
Manusia yang tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain tidak
mungkin mempunyai kesadaran bahwa dirinya adalah manusia. Kita
sadar bahwa kita manusia karena orang-orang disekeliling kita
menunjukkan kepada kita lewat prilaku verbal dan nonverbal mereka
bahwa kita manusia. Konsep diri kita yang paling dini umumnya
dipengaruhi oleh keluarga dan orang-orang lain yang dekat disekitar
kita. Mereka itulah yang disebut significant other. Orang-orang diluar
keluarga kita juga memberikan andil terhadap konsep diri seseorang.
Semua mengharapkan kita memainkan peran kita. Kita kesulitan
memisahkan siapa kita dan siapa kita menurut orang lain, dan
konsep diri kita memang terikat rumit dengan definisi yang diberikan
kepada kita. Oleh karena itu, pembahasan tentang fenomena
kesuksesan pedagang batik harus disertakan juga kajian tentang
konsep dirinya. Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang
dirinya berdasarkan informasi yang diberikan orang lain ini suatu
proses yang terbentuk melalui interaksi social individu dengan
individu lainnya. (Mulyana, 2001:73). Jadi orang lain (significant
others) merupakan variable terpenting dalam membangun kerangka
rujukan bagi terbentuknya konsep diri, karakter diri sesuai dengan
identitas seseorang, istilah yang lain sebagai the looking glass-self,
individu akan menemukan tampilan dirinya pada orang lain melalui
pengharapan, kesan, dan citra mereka saat interaksi terjadi. Cermin
diri ini selanjutnya akan membentuk tingkah laku didalam kelompok
social.
Namun perlu diingat bahwa tingkah laku itu sendiri
merupakan sebuah respon yang bersifat aktif. Artinya sebagai
sebuah tanggapan ia tidak secara serta-merta tetapi disertai pula
oleh adanya kesadaran dan pemikiran terhadap berbagai alternatif
tindakan yang dapat diambil sebagai sebuah kesempatan atau
peluang untuk bertindak. Jadi tingkah laku disini bukan berarti
seluruh aktivitas dan gerak tubuh seseorang dalam merespon
lingkungannya, melainkan perilaku yang dilakukan secara sadar dan
bertujuan. Pada dasarnya pikiran yang melahirkan tindakan
merupakan sebuah percakapan sebagai refleksi dari interaksi yang
telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.
2.5.2. Intelektual
Modal intelektual dapat diwujudkan dalam bentuk ide-ide sebagai
modal utama yang disertai pengetahuan, kemampuan, keterampilan,
komitmen, serta tanggung jawab. Ide merupakan modal utama yang
akan membentuk modal lainnya. Untuk memahami modal intelektual
dalam kewirausahaan, kompetensi intinya terletak pada kreativitas
dan inovasi dalam rangka menciptakan nilai tambah untuk meraih
keuggulan dengan berfokus pada pengembangan pengetahuan dan
keunikan. Kemampuan, keterampilan dan pengetahuan merupakan
merupakan kompetensi inti wirausaha untuk menciptakan daya saing
khusus agar memiliki posisi tawar-menawar yang kuat dalam
persaingan.
2.5.3. Agama
Agama mendefinisikan gagasan tentang hidup yang tercermin dalam
nilai dan sikap individu serta seluruh masyarakat. Dampak agama
terhadap kewirausahaan, konsumsi dan bisnis secara umum akan
bervariasi bergantung pada kekuatan dari ajaran-ajaran religious yang
dominan, serta dampak ajaran-ajaran tersebut pada nilai-nilai dan
sikap-sikap dari kultur. Jadi perilaku terbukti sebagai kekuatan besar
yang berasal dari nilai-nilai ajaran agama.
2.5.4. Pola Asuh
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memegang
peranan penting didalam penanaman nilai-nilai wirausaha. Oleh
sebab itu orang tua hendaknya mau dan mampu memahami
perkembangan kepribadian masing-masing anak dengan karakter
yang berbeda. Fondasi kepribadian seorang anak dibangun di
lingkungan rumahnya. Untuk itu perlu dikondisikan hal-hal yang
mendasari terbentuknya cirri atau sikap mental wirausaha pada anak.
Pola asuh orang tua adalah penerapan dalam pelatihan anak. Orang
tua meminta kepada anak untuk berpartisipasi dalam membuat
keputusan tentang keluarga dan nasibnya sendiri. Membesarkan dan
merawat seorang anak berbakat merupakan hal yang menantang
Keunikan dari bakat yang dimiliki menyebabkan anak membutuhkan
penanganan yang kusus dalam merawat, mendidik dan memberikan
konseling sebagai upaya agar bakat mereka berkembang optimal.
Jadi, kunci untuk membesarkan anak berbakat adalah respek, respek
terhadap keunikan yang dimilikinya, respek terhadap gagasan dan
ide-idenya, respek terhadap mimpi-mimpinya. Mengasuh anak yang
berbakat membutuhkan orang tua yang responsive dan fleksibel
terhadap hal-hal yang dikerjakan oleh anak yang terlalu muda untuk
anak seusianya. Seorang anak butuh dan cukup memperolehnya dari
dunia luar, tetapi di rumah seorang anak butuh mengetahui bahwa
keunikan yang ia miliki dihargai dan diterima sebagai seorang individu
dengan dirinya (Reni Akbar-Hawadi, 2001:151).
Perkembangan manusia sebagai pribadi sangat dipengaruhi
oleh perkembangan masyarakatnya. Pengertian perkembangan
menunjuk pada suatu proses kearah yang lebih sempurna,
perkembangan menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap dan
tidak dapat diputar kembali. Pertumbuhan fisik juga mempengaruhi
perkembangan psikis, seperti bertambahnya fungsi otak
memungkinkan anak bisa tertawa, berjalan, berbicara dan lain
sebagainya. Perkembangan juga berkaitan dengan belajar khususnya
mengenai isi proses perkembangan. Apa yang berkembang berkaitan
dengan perilaku belajar. Jadi perkembangan dapat diartikan sebagai
proses yang kekal dan tetap yang menuju kearah suatu organisasi
pada tingkat integrasi yang lebih tinggi berdasarkan pertumbuhan.
Terjadilah suatu organisasi atau struktur tingkah laku yang lebih
tinggi. Pengertian organisasi atau struktur berarti bahwa diantara
tingkah laku ada saling berhubungan yang bersifat khas dan
menunjukkan kekhususan seseorang pada suatu tingkat umur
tertentu. Perkembangan psikologis merupakan suatu proses yang
dinamis, dalam proses tersebut sifat individu dan sifat lingkungan
menentukan tingkah laku (Monks,Knoers,Siti Rahayu,2002:1-3 ).
Menumbuhkan nilai-nilai kewirausahaan pada anak, generasi
anak sekarang lebih cenderung pilih bekerja pada perusahaan swasta
daripada menjadi pegawai negeri. Patokan utamanya tidak lagi pada
status kepegawaian seperti pandangan orang tua zaman dahulu.
Banyak anak muda mulai terbuka wawasan pikirannya, tidak terpaku
hanya untuk bekerja disektor pemerintahan saja, tapi untuk melihat
dan memanfaatkan potensi dalam diri anak, dengan kata lain mereka
diajak untuk berusaha diatas kaki sendiri. Dan mereka tidak ragu lagi
memilih bidang pekerjaannya sebagai wiraswasta. Penggunaan kata
wiraswasta akhirnya mengalami perubahan bentuk menjadi kata yang
berarti pengusaha. Dan mungkin untuk alasan itu kata wiraswasta
diubah menjadi wirausaha yang menunjuk pada kata sifat. Ciri-ciri
apakah yang ada dalam kata wirausaha? Apakah cirri-ciri itu bisa
ditanamkan sejak usia kanak-kanak, yang terkandung dalam kata
wirausaha tersebut adalah profil seorang pengusaha. Kata wirausaha
merupakan kata sifat, sehingga yang ingin dicetak bukan para
pengusaha atau wiraswastawan dalam arti kata benda namun adanya
sekumpulan sifat untuk setiap orang dimasa mendatang, agar
memiliki mental wirausaha. Untuk mendapatkan cirri-ciri atau sifat
yang ada dalam kata wirausaha itu, bisa dari seseorang pengusaha
yang sudah sukses. Hal pertama seorang wirausaha yang merujuk
pada sosok manusia atau individu yang memiliki hasrat untuk
berprestasi yang besar, mereka siap bekerja keras dalam keadaan
bagaimanapun, artinya mereka seseorang yang memiliki ketekunan
bekerja atau keuletan dalam berjuang yang pada akhirnya
mempunyai keyakinan besar terhadap diri sendiri (Reni Akbar
,2001:107).
2.6. Lingkungan Eksternal
2.6.1. Sosial dan Moral
Sosial dan Moral diwujudkan dalam bentuk kejujuran dan
kepercayaan, sehingga terbentukknya sebuah citra. Seorang
wirausaha yang baik biasanya memiliki etika wirausaha yang tinggi
seperti; kejujuran, memiliki integritas, menepati janji, kesetiaan,
kewajaran, suka membantu orang lain, menghormati orang lain,
warga Negara yang baik dan taat hukum, mengejar keunggulan, dan
bertanggung jawab. Pada konteks ekonomi maupun sosial bahwa
kejujuran, integritas dan ketepatan janji merupakan modal sosial yang
dapat menumbuhkan kepercayaan dari waktu ke waktu. Penting bagi
setiap pengusaha untuk membangun sebuah jaringan dukungan
moral keluarga dan teman-teman. Keluarga dan teman-teman
memainkan sebuah peran sangat penting selama masa-masa sulit
dan sepi yang muncul disepanjang proses wirausaha. Seorang
pengusaha besar menyatakan bahwa suami atau istri merupakan
pendukung yang paling hebat dan memungkinkan mereka untuk
mencurahkan waktu yang diperlukan bagi usaha baru. Teman-teman
juga memainkan peran penting dalam jaringan dukungan moral.
Teman-teman tidak hanya memberi nasihat tetapi juga member
dorongan, pengertian dan bahkan bantuan. Akhirnya kerabat, anak-
anak, orang tua, kakek atau nenek, bibi dan paman juga dapat
merupakan sumber-sumber dukungan moral yang kuat, terutama
apabila mereka juga merupakan pengusaha. Seperti yang dikatakan
oleh seorang pengusaha, bahwa semua dukungan keluarga yang
saya terima merupakan kunci keberhasilan saya. Mempunyai sebuah
jaringan dukungan moral yang pengertian, memberikan dorongan
yang memungkinkan untuk tetap bertahan dalam banyak kesulitan
dan masalah.
2.6.2. Politik dan Hukum
Lingkungan Politik dan Hukum dalam pasar domistik maupun pasar
internasional menciptakan masalah-masalah bisnis yang sangat
berbeda, bisa terjadi membuka peluang pasar bagi beberapa
pengusaha dan menyisihkan yang lainnya. Elemen strategi bisnis
seorang pengusaha berpotensi terpengaruh oleh keragaman
lingkungan hukum. Keputusan-keputusan harga, strategi periklanan,
pemberian label, bahan baku, pengemasan dan produk dipengaruhi
oleh persyaratan-persyaratan hukum. Jenis kepemilikan dan bentuk
organisasional sangat beragam yang tertera dalam undang-undang
yang mengatur perjanjian bisnis sangat bervariasi. Jadi sistem hukum
dan politik yang dihadapi oleh pengusaha bervariasi secara signifikan.
Sistem hukum sustu Negara terdiri atas peraturan dan undang-
undang yang digunakan untuk mengatur perilaku seperti proses-
proses dimana hokum ditegakkan. Undang-undang suatu Negara
mengatur praktik-praktik bisnis dalam sebuah Negara, cara transaksi
dilakukan, serta hak dan kewajiban yang tercakup dalam transaksi
bisnis antar berbagai pihak.
2.6.3. Perkembangan Ekonomi
Peran kewirausahaan dalam perkembangan ekonomi meliputi
peningkatan output dan pendapatan perkapita. Didalamnya mencakup
prakarsa dan penetapan perubahan dalam struktur bisnis dan
masyarakat. Perubahan ini selaras dengan pertumbuhan dan
peningkatan output, yang memungkinkan kekayaan dibagikan kepada
sejumlah partisipan. Dalam teori pertumbuhan ekonomi
memperlihatkan inovasi sebagai kunci, bukan hanya dalam
pengembangan produk atau jasa tetapi juga dalam membuat
ketertarikan investasi dalam bisnis baru yang dibentuk. Investasi dan
inovasi dalam perkembangan ekonomi di suatu wilayah sangat
penting untuk memahami tentang proses evolusi produk. Sebuah
proses yang harus dilalui dimana inovasi dikembangkan dan
dikomersilkan dengan aktivitas kewirausahaan yang kemudian
merangsang pertumbuhan ekonomi. Dalam strategi bisnis domistik
maupun internasional, selalu menciptakan sebuah strategi bisnis
untuk area multinegara yang terkait dengan perbedaan-perbedaan
dalam tingkat perkembangan ekonomi, penilaian mata uang, regulasi
pemerintah, perbankan, modal perusahaan, pemasaran dan sistem
distribusi.
2.6.4. Lingkungan Teknologi
Ketersediaan teknologi diharapkan bisa menghasilkan produk-produk
yang relative seragam dan terstandarisasi, sehingga diharapkan
produk untuk mencapai tingkat kualitas yang konsisten. Produk-
produk baru dalam sebuah Negara diciptakan berdasarkan kondisi
dan infrastruktur yang terdapat dalam Negara tersebut. Ada sejumlah
ketidakpastian yang mengelilingi sebuah teknologi baru, seperti
apakah teknologi tersebut akan berfungsi seperti yang diharapkan
dan apakah sebuah teknologi alternatif akan diperkenalkan yang
mampu mengalahkan teknologi saat ini. Bahkan jika teknologinya
bekerja sesuai harapan, ada kemungkinan bahwa suatu teknologi
unggul mungkin akan diperkenalkan, yang bisa memberikan suatu
keunggulan kompetitif pada pendatang berikutnya. Oleh karena itu,
ketika ketidakpastian teknologi tinggi, merupakan keuntungan penggerak
awal mungkin dilampaui oleh kerugian penggerak awal sehingga
pengusaha harus mempertimbangkan untuk menunda usaha.
2.6.5. Pendidikan
Peranan pendidikan dalam membentuk kewirausahaan sangat besar
sekali. Pendidikan formal maupun informal sangat mempengaruhi
dalam menjalankan bisnis. Pendidikan kewirausahaan dilaksanakan
dengan menanamkan nilai-nilai kewirausahaan antara lain kejujuran,
percaya diri, kreatif, kepemimpinan, inovatif, dan berani menanggung
resiko. Nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari nilai-nilai pendidikan
karakter. Sehingga pendidikan kewirausahaan menyumbangkan
penanaman nilai-nilai pendidikan karakter. Pendidikan sangatlah
penting dalam perjalanan pengusaha. Pentingnya hal tersebut tidak
hanya tercermin dalam tingkat pendidikan yang dicapai, tetapi juga
dalam kenyataan bahwa pendidikan terus memainkan peranan
penting dalam membantu para pengusaha mengatasi masalah-
masalah yang mereka hadapi. Meskipun pendidikan formal tidak
begitu penting untuk memulai sebuah bisnis baru, seperti yang
tercermin dalam keberhasilan orang-orang yang keluar dari sekolah,
tetapi pendidikan tetap memberikan sebuah latar belakang yang baik,
terutama ketika pendidikan tersebut berhubungan dengan bidang
usaha tersebut. Pendidikan mempunyai pengaruh positif terhadap
kesempatan bahwa seseorang akan menemukan peluang-peluang
baru, pendidikan tidak menentukan apakah orang itu akan
menciptakan sebuah bisnis baru untuk mengeksploitasi peluang yang
telah ditemukan. Sejauh mana individu-individu yakin bahwa
pendidikan mereka telah membuat tindakan wirausaha lebih layak,
maka kemungkinan besar mereka akan menjadi pengusaha.
2.6.6. Etika
Dalam menghadapi situasi harian yang penuh tekanan serta kesulitan
lain, terdapat kemungkinan bahwa pengusaha akan menyeimbangkan
antara tuntutan etika, tuntutan ekonomi, dan tanggung jawab sosial,
sebuah keseimbangan yang berbeda dari titik moral dimana pimpinan
perusahaan mengambil sikap dalam cara berpikirnya. Sikap seorang
pimpinan perusahaan dalam hal tanggung jawab sosial korporat
terkait dengan iklmi organisasional yang dipandang mengacu pada
hukum dan kode etik professional. Meskipun lebih menggunakan
system nilai mereka sendiri, pengusaha tampak lebih sensitive
terhadap tekanan kelompok dan norma sosial umum masyarakat,
sebagaimana tekanan yang didapat dari para kompetitornya.
Peningkatan signifikan jumlah bisnis yang berorientasi internasional
berdampak pada semakin meningkatnya perhatian tentang kesamaan
dan perbedaan dalam sikap dan praktik bisnis di Negara yang
berbeda. Sampai tingkat tertentu bidang ini telah dieksplorasi dalam
konteks budaya dan sekarang mulai dieksplorasi dengan konsep etika
yang lebih individualis. Konsep budaya dan etika saling terkait, jika
etika mengacu pada studi tentang apa yang baik dan benar menurut
manusia, maka etika bisnis lebih pada penelitian praktik bisnis dalam
pandangan nilai-nilai manusia. Etika adalah bidang ilmu umum yang
mengeksplorasi sifat dasar umum dari moral dan pilihan moral
spesifik yang diambil oleh individu ketika berinteraksi dengan orang
lain.
2.7. Hermeneutika Gadamerian
2.7.1. Sejarah Intelektual Gadamer
Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg (1900). Ia belajar filsafat, antara
lain dari Nikolai Hartman, Martin Heidegger dan Rudolf Bultmann pada
universitas kota asalnya. Gelar doktor filsafat diperoleh tahun 1922. Pada tujuh
tahun setelah kelulusannya (1929), Gadamer mulai mengajar di Marburg, hingga
pada tahun 1937 menjadi guru besar di tempat yang sama. Pernah mengajar di
Leipzing (1939), kemudian Fankfurt (1947), dan sejak 1949 mengajar di
Heidelberg hingga pensiun.
Karya terbesar Gadamer (Truth and method) ditulis semula dalam bahasa
Jerman (wabrbeit and methode) terbir pertama kali menjelang dia pensiun
(1960). Karya ini, pada dasarnya merupakan dukungan sangat berharga bagi
karya salah satu gurunya, Heidegger (Being and time). Meskipun jelas-jelas
merupakan karya filsafat, tulisan Gadamer tersebut telah dibaca tidak hanya oleh
para ahli filsafat tetapi juga diamati dan memberikan pengaruh terhadap ilmu-
ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu sosial, dan bahkan ilmu alam.
Namun demikian, sebagaimana banyak dikemukakan oleh para
komentatornya, sangat sulit untuk memahami karya-karya Gadamer. Menurut
Palmer (1969 : 166), salah satu penyebab sulitnya memahami karya Gadamer
adalah karena argument-argumen Gadamer sangat mengandalkan analisis
kritisnya terhadap bahasa, kesadaran sejarah, serta pengalaman estetik.
Membaca Truth and Method (edisi 1975), misalnya bukan usaha yang gampang.
Ini seolah mencerminkan pemikirannya tentang perpaduan cakrawala (fusion of
borizone) antara pemikiran Kant, Dilthey dan Aquinas, serta tentu saja gagasan
Gadamer sendiri.
Pernyataan dan permasalahan seringkali menjadi sub judul dari tiga
bagian besar buku Truth and method. Ini menunjukkan bahwa dalam
menguraikan pikirannya, Gadamer tidak mengandalkan proposisi-proposisi yang
serba pasti, melainkan justru dengan mengajukan pertanyaan. Gadamer berpikir
melalui bertanya. Demikian pula, walaupun Gadamer member judul bukunya
Truth and method, buku itu ternyata tidak bermaksud menjadikan hermeneutic
sebagai metode dan berada jauh dari klaim kebenaran. Gadamer tidak berupaya
mencapai kebenaran melalui metode, melainkan melalui dialektika, sebab dlam
proses dialektik kesempatan untuk mengajukan pertanyaan secara bebas lebih
banyak kemungkinannya daripada dalam proses metodik.
Seperti judul yang diberikan terhadap bukunya, persoalan hermeneutik
pertama yang dikritik oleh Gadamer (1975) adalah tentang hubungan antara
metode dan kebenaran. Dia menolak pendapat sangat umum, sejak masa
Descartes, bahwa metode merupakan jalan emas menuju kebenaran. Telah
diterima begitu saja bahwa prosedur-prosedur metodik bias menghilangkan
gangguan dari unsure-unsur lain, termasuk subjektivitas seorang pengkaji. Alih-
alih menerima begitu saja pendapat tersebut, Gadamer (1975) memperkenalkan
pandangan hermeneutic filosofisnya.
He argues that this tradition erred in restricting the problem of understanding to methods for ascertaining an agent’s or author’s intentions; rather, understanding remains primarily a historically situated understanding og the possible validity of texts or such “text-analogous” as actions, practices and social norms. Inthis critique of the hermeneutic tradition, Gadamer already introduces
two of the important tenets of his own ”philosophical hermeneutics” : the possible “truth” of texts or text-analogous and the historically conditioned or prejudice character of understanding (Warnke, 1987:ix). Pemikiran tersebut dibangun di atas landasan “matinya sang pengarang”,
sebuah idiom yang jika dilacak ke belakang akan ditemukan referensinya pada
gagasan Friedrich Nietzsche tentang kematian Tuhan. Konsep hermeneutika ini
menemukan titik kulminasinya pada Hans-Georg Gadamer yang menyatakan
bahwa sekali teks hadir di ruang public, ia telah hidup dengan nafasnya sendiri.
Hermeneutika tidak lagi bertugas menyingkap maksa objektif yang dikehendaki
oleh pengarangnya, tetapi adalah untuk memproduksi makna yang seluruhnya
memusat pada kondisi historisitas dan sosialitas pembaca (Hamdi, 2003:48).
Harus diakui bahwa konsep pemikian ini telah menggeser secara
revolusioner perlakuan atas teks. Makna teks tidak lagi terbatas pada pesan
yang dikehendaki pengarangnya, sebabteks bersifat terbuka bagi pemaknaan
pembacanya. Dengan demikian, penafsiran merupakan kegiatan produktif,
memberikan makna atau lebih tepatnya mengaktualisasikan makna yang
potensial dalam teks itu.
2.7.2. Pokok-Pokok Hermeneutika Gadamer
Salah satu persoalan penting- yang menjadikan pemikiran Gadamer
relevan – dalam ilmu-ilmu sosial adalah jawaban yang tepat terhadap pertanyaan
mengapa (why). Problema ini melahirkan dua aliran utama filsafat ilmu sosial.
Kelompok pertama, yang sering disebut sebagai aliran positivism, mengajukan
jawaban berupa penjelasan tindakan manusia (explaining human actions).
Kelompok kedua, yang sering disebut sebagai aliran interpretivisme, mengajukan
jawaban berupa pemahaman tindakan manusia (understanding human action).
Kaum positivis berupaya mengenali sejumlah penyebab (causes) perilaku,
sedangkan kaum interpretivis berupaya menggali alasan (reasons) tindakan.
Throughout his work, however, he emphasizes the necessity of distinguishing between two forms of understanding: the understanding of truth-content and the understanding of intentions. The first form of understanding refers to the kind of substantive knowledge one has when one is justified in claiming the one understanding Euclidean geometry or an ethical principle, for example. Here understanding means seeing the “truth” of something, grasping that the sum of the sequence of the two side of a right triangle is equal to the square of the hypotenuse, that the validity of Euclidean geometry is relativized by the discovery of other forms of geometry or that murder is wrong. Understanding in this sense involves insight into a subject-matter or, as Gadamer puts it, an understanding of die Sacbe. The second sense of understanding, in contrast, involves a knowledge of conditions: the reason why a particular person says that murder is wrong or the intention behind someone’s claiming that a geometrical proposition is true. This kind of understanding thus involves an understanding of the claim or action as opposed to a substantive understanding of the claim or action itself. What is understood is not the truth-content of a claim or the poin of an action but the motives behind a certain person’s making certain claim or performing a given action (Warnke, 1987 : ix). Menurut pandangan Gadamer, pemahaman yang sebenarnya lebih
menunjuk pada bentuk pemahaman pertama, yakni sebagai suatu pemahaman
substantive terhadap kebenaran dan bukan pemahaman intensional.
Pemahaman intensional, yang mengacu pada keniatan produsen wacana belum
bias dinyatakan sebagai pemahaman yang sebenarnya. Hal ini merupakan cirri
utama hemeneutika Gadamer. Jadi, pemahaman bukan sekedar keniatan pelaku
tindakan, melainkan kesepakatan bersama.
Understanding (Verstanding) is first of all agreement (Einvertandnis). So human beings usually understanding one another immediately or they comminisate (sich veerstandigen) until they reach an agreement. Reaching an understanding (Verstandigung) is thus always reaching an understanding about something (Gadamer, 1975 : 156).
Tampak jelas bahwa suatu makna bersifat baik multivalen atau diadik:
multivalent karena tindak intensional atau produknya akan memiliki banyak
makna tergantung pada penafsir yang terlibat; dan diadik karena makna hanya
muncul dar hubungan antara dua subjek, pelaku dan pensfsirnya.
This sharply contrasts with intentionalism, according to which meaning is both univalent (each act has a specific meaning) and monadic (this meaning results fromjust one subject, namely, the agent). Notice that according to intentionalism the meaning of the act is already contained in it by virtue of the intentionality it embodies. Meaning is something already present waiting to be grasped, a meaning which exists independently of those who seek to discover it (Fay, 1996: 142-143). Dalam hermeneutika Intensionalisme sebenarnya makna sudah menanti,
tinggal ditemukan oleh penafsiran. Tidak diperlukan kegiatan lain, terutama
kegiatan penafsiran agar sesuatu tindakan bermakna, sebab locus makna ada
pada kegiatan penciptanya, bukan dari kegiatan khalayak penafsirnya.
Penegasan locus makna bukan pada keniatan pelaku tindakan, tetapi
sebagai hasil komunikasi – ada yang menyebut dialog, dialektika, dan kadang-
kadang Gadamer menyebut kesepakatan – antara pelaku tindakan dengan
khalayak penafsirannya merupakan “pembaharuan” yang dilakukan oleh
Gadamer terhadap sejumlah kecenderungan hernebeutika sebelumnya.
Implikasi lebih lanjut dari penempatan locus makna ini adalah makna
selain niscaya majemuk, makna niscaya juga membaharui Majemuk karena
tergantung pada hasil komunikasi antara produsen teks dengan penafsir.
Membaharu karena walaupun bias saja teksnya tidak mengalami perubahan,
tentu ada perubahan pada diri penafsir teks tersebut. Implikasi ini dijelaskan oleh
Grondin (1994: 15) sebagai berikut:
This can best be seen ny means of a negative example, non-understanding. Whenever we cannot understanding a text, the reason is that it says nothing to us or has nothing to say. So there is
noting to be surprised or complain about if understanding occurs differently from one period to another, or even from one individual to another. Motivated by particular question of the moment, understanding is not just reproductive but because it involves application, always also a productive activity. Makna tindak intensional dan produknya tidak bias merupakan
peninjauan kembali atau penemuan kembali niat masa lalu para agen atau
menemukan intensionalitas pada tindak-tindak itu sendiri. Tindak yang bermakna
menjadi bermakna hanya jika ditempatkan dalam suatu konteks interpretif
tertentu oleh seorang interpreter khusus yang melakukannya guna
mengejawantahkan maknanya. Bila horizon interpretif berbagai interprenter
berbuah, dimensi-dimensi baru makna akan muncul. Hal ini menyiratkan bahwa
makna tindak dan produknya tidak hanya akan berubah di sepanjang waktu
namun tidak akan pernah disadari secara pasti. Makna tindak intensional atau
produknya akan berbeda bagi orang yang berbeda. Dalam ungkapan lebih
ringkas, “… meaning only emerges when it is interpreted, and continues with
each new interpretation” (Fay, 1996: 143).
Unsur penting lainya dari hermeneutika Gadamer (1975) menyangkut
hakikat penafsiran. Penafsiran bukan proses psikologis empati, namun proses
membiarkan signifikansi suatu objek atau tindak intensional mengemuka sendiri.
Gadamer menguraian interpretasi sebagai suatu “fusi horizon-horison” di mana
suatu objek atau tindak yang bermakna yang berasal dari satu dunia konseptual
diterjemahkan ke dalam pengertian yang sesuai bagi orang lain.
Hence an essential part of the concept of situation is the concept of “horizon”. The horizon is the range of vision that includes everything that can be seen from a particular vantage point. Applying this to the thinking mind, we speak of narrowness of horizon, of the possible expansion of horizon, of the opening up of new horizon etc. (Gadamer, 1990: 269)
Horison, bagi Gadamer adalah “kepenempatan” (situatedness) semua
penafsiran yang terjadi dalam suatu wacana. Horizon bergerak sewaktu mereka
yang memandang horizon itu juga bergerak. Dengan “fusi” (verschmelzung),
Gadamer bermaksud menunjuk pada proses penuturan objek asing atau masa
lalu kepada penafsir tertentu di tempat atau lingkungan budaya mereka. Jadi
penafsiran lebih mudah dan lebih baik dipahami sebagai proses penerjemahan.
Penafsir menerjemahkan teks yang diproduksi oleh pelaku.
“Fusi” menunjuk pada pertemuan dua horizon sehingga menyatu, yakni
ketika perbedaan antara kedua horizon telah dihilangkan. Di sini pembaca
Gadamer perlu waspada. Hermeneutika Gadamer bukan bersifat subjektivis,
yang menyatakan bahwa suatu teks adalah apapun yang dikatakan oleh seorang
penafsir mengenai teks tersebut. Ini berarti bahwa meskipun Gadamer mengakui
peran aktif penafsir dalam proses aktualisasi makna(Bertens, 1981: 231) tidak
berarti bahwa penafsir sekedar membaca secara sendiri terhadap peristiwa-
peristiwa dan objek-objek, atau dengan ungkapan lagi sekadar melakukan
refleksi-diri. Sebab dalam prose penafsiran ini, penafsir menyertakansemacam
cadangan makna yang tersembunyi dalam diri mereka, sehingga dikatakan oleh
Fay (1996: 144) bahwa dalam konteks baru, aspek-aspek berbeda dari makna
mengemuka.
In this it is interpreted speaking to interpreters in their own tongue, not the interpreters speaking to themselves using the interpreted as a mere stimulus for their own self-enclosed conversation. Interpretation, according to Gadamer, is not a hall of mirrors in which interpreters only see themselves in different proses and shapes depening on the shape and angle of the morror which confronts them. Rather, interpretation is a process of listening to what others through their words and deeds have to say to us (in full recognition that what an act or its product says to us maywell differ from what it says to others in different interpretive situations) (Fay, 1996: 144).
Pokok pikiran penting berikutnya dari Gadamer (1975) berkenaan dengan
siklus hermeneutika (hermeneutic circle). Sebelumnya lazim diterima bahwa
pemahaman kita terhadap suatu bagian akan mengubah pemahaman kita pada
keseluruhan (Gadamer, 1988: 68). Sebaliknya, pengubahan pada pemahaman
kita terhadap keseluruhan akan mengubah pemahaman kita pada bagian, dan
seterusnya. Lingkaran hermeneutika sering digambarkan sebagai logika bagian-
keseluruhan (part-whole) sebagai berikut (Alvesson and Skoldberg, 2000: 53):
Gambar 2.2 Lingkaran Hermeneutik
Siklus hermeneutika Gadamer digambarkan agak bebeda, yang pada
dasarnya justru merupakan salah satu kekhususan hermeneutikanya. Bagian-
bagiannya terdiri dari objek-objek yang ditafsirkan, sedangkan keseluruhannya
terdiri atas hubungan antara objek-objek dan berbagai khalayak penafsirnya.
Dengan kata lain, dalam hermeneutika Gadamer, siklus hermeneutika terdiri atas
pencabangan terus-menerus antara sesuatu yang diinterprestasikan dan
interpreternya, karena makna bukan sifat suatu objek namun bidang tempat
suatu objek dalam interpretasi. Hanya dengan berhubungan dengan penafsirnya,
maka makna objek atau peristiwa teraktualisasi. Keseluruhan, dalam
hermeneutika Gadamer adalah gabungan antara objek yang ditafsirkan (the
PART
WHOLE
interpreted) dan yang menfsirkan (the interpreter). Mengacu pemikiran ini, maka
ketika pemahaman atas “ keseluruhan teks” menurut Hirsch tercapai, sebenarnya
menurut Gadamer itu baaru sebagian, sebab makna sejati adalah suatu bahasa
bersama, yang di depan diistilahkan sebagai mencapai kesepakatan.
The view separates him not only from Hirsch but from so-called “reception” theorists and reader-response critics as well. For, if textual meaning cannot be located in the author’s intentions, neither can it be indentified with a reader’s – even an informed or ideal reader’s – experiende. Rather, when a text is understood its meaning cannot be attributed to either writer or reader. The meaning of the text is a shared language, shared in the sense that it is no one persons’ possession but is rather a common view of subject-matter (Warnke, 1987: 48). Kalau varian-varian hermeneutika yang lain, sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya cenderung menegasi atau cenderung mengabaikan kenyataan
bahwa setiap penafsir niscaya memiliki prasangka-prasangka, tradisi,
kepentingan praktis, bahasa dan budaya masing-masing, maka Gadamer justru
menempatkan hal ini sebagai bagian (part) dari keseluruhan (whole) siklus
hermeneutika. Lebih dari itu, interaksi antara objek yang bermakna dengan
masyarakat interpretif bukan peristiwa yang terjadi sekali saja.
Pemahaman menuntut partisipasi (understanding as participation). Tidak
ada pemahaman terhadap buku, bila tidak ada partisipasi dari para pembacanya.
“Not text and book speaks if it does not speak the language that reaches the
other person”, (Gadamer, 1981: 50). Karena pada dasarnya penafsir
berpartisipasi dalam menciptakan makna, maka makna pun niscaya bukan
sekedar cerminan, seperti teori mimesis, juga bukan sekadar ulangan, seperti
dalam teori reproduksi, melainkan hasil penciptaan kembali.
Interpretation is probably in a certain sense recreation. This recreation however, does not follow a preceding creative act; it rather follows the figure of the created work that each person has to
bring to respresentation in accord with the meaning he finds in it (Gadamer, 1975: 107). Sebagai hasil penciptaan ulang, maka makna selain berbeda antara satu
orang penafsir dengan penafsir lain, juga bias berubah-ubah. Ini semua akan
membentuk suatu proses pertukaran terus-menerus, sehingga ada perubahan
pada makna objek dan hakikat masyarakat interpretif. Lingkaran hemeneutik
akan membentuk suatu spiral keberulangan karena interpretasi baru aras objek-
objek bermakna di masa lalu mengubah hakikat penafsirnya (Gadamer, 1988:
68). Masyarakat mengubah penafsiran atas objek-objek yang bermakna, dan
terus terjadi seperti itu sampai tak terhingga. Tampak bahwa siklus hermeneutika
Gadamer membentuk semacam spiral pemahaman yang menautkan objek
penafsiran dengan subjek penafsirnya.
Hal yang sama juga berlaku pada peristiwa-peristiwa yang penting dalam
sejarah. Makna suatu kejadian sejarah terus berubah dan apresiasi terhadap
cara perubahan makna itu merupakan salah satu faktor penyumbang pada
perubahan-perubahan di masyarakat.
2.7.3. Penerapan Hermeneutika Gadamerian
Dalam proses interpretif, menurut Gadamer, terjadi interaksi antara
penafsir dan teks, di mana penafsir mempertimbangkan konteks historisnya
bersama dengan prasangka-prasangka sang penafsir seperti tradisi, kepentingan
praktis, bahasa dan budaya. Secara ringkas, Maulidin (2003: 27)
menggambarkannya sebagai berikut:
Gambar 2.3 Hermeneutika Dialogis Gadamer
P=Penafsir A=Author (pengarang)
Sebagaimana tampak dalam bagan 2.2., kerangka pemikiran Gadamer
mengandaikan ada dua pihak yang terlibat dalam penafsiran, antara wacana
(text) dengan penafsir (intepreter). Kerangka demikian, sejauh hanya diperlukan
oleh seseorang untuk menafsirkan karya orang lain memang cukup memadai.
Namun demikian, bila seorang bermaksud menggunakan perspektif Gadamer,
maka yang tentu saja haarus melaporkan hasilannya, tidak bias dihindari harus
melakukan modifikasi agar perspektif tersebut menjadi aplikatif.
Dengan ungkapan lain, sejauh hanya bermaksud memahami wacana
entrepreneur Soetrisno Bachir, maka cukup bagi untuk memakai kerangka
pemikiran Gadamer. Justru yang harus banyak dilaporkan adalah tradisi,
kepentingan praktis, bahasa, dan kultur, serta konteks historis ketika wacana
entrepreneur yang ditafsirkan muncul.
Akan halnya bila bermaksud menjangkau pemaknaan yang diberikan oleh
orang lain, maka harus mengumpulkan datanya dari orang lain yang
bersangkutan. Dalam hal ini, apa yang sangat diperlukan oleh adalah tetap peka
Tradisi KepentinganPraktis Bahasa Kultur
Pemaknaan KEBENARAN
Konteks Historis
A P TEKS
dan mempertimbangkan tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan kultur orang
lain tersebut, serta konteks historis ketika wacana politik yang ditafsirkan muncul.
Secara metodologis, ini tampak pada bagan sebagaimana disajikan pada bab
pendahuluan.
Karena menggunakan perspektif Gadamer yang sudah di modifikasi, alih-
alih menggunakan istilah Hermeneutika Gadamer, penulis memilih istilah
Hermeneutika Gadamerian. Kerangka dasar yang digunakan tetap
mengedepankan pokok-pokok pemikiran Gadamer, tetapi dilakukan penyesuaian
agar kerangka tersebut aplikatif untuk kepentingan kajian ini.
2.8. Pendekatan Hermeneutik
Kajian ini mengarah pada permasalahan suatu kondisi tertentu yang
menyebabkan manusia bertindak untuk menghasilkan sesuatu dan
menginterpretasikan makna dari tindakannya itu. Dengan asumsi bahwa
pemahaman terhadap orang lain akan mungkin tercapai jika dapat
memahami terhadap dirinya sendiri terlebih dahulu. Dengan demikian suatu
pemahaman berarti menciptakan hubungan diantara keduanya. Suatu
pemahaman hermeneutic selalu merupakan pemahaman terhadap pra-
pengertian. Pemahaman situasi orang lain hanya mungkin tercapai melalui
pemahaman atas situasi diri sendiri terlebih dahulu. Pemahaman berarti
menciptakan komunikasi antar kedua situasi tersebut. Komunikasi tersebut
akan menjadi semakin intensif apabila situasi yang hendak dipahami, oleh
pihak yang hendak memahami, diaplikasikannya pada dirinya sendiri.
Dengan asumsi dasar bagaimana suatu perilaku social atau tindakan social
seseorang dimaknai oleh orang lain. Pemaknaan dari orang lain itulah yang
harus dipahami oleh para peneliti dengan menggunakan pendekatan
hermeneutik. (Fachan 2011:52).
2.8.1.Konsep Dasar Hermeneutika Pada dasarnya, hermeneutika berusaha memahami apa yang
dikatakan dengan kembali pada motivasinya atau kepada konteksnya,
diperlukan konsep kuno yang bernama “kata batin” ( inner
word.).Hermenetika, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah hermeneutics,
berasal dari kata Yunani hermeneutine dan hermeneia yang masing –
masing berarti “menafsirkan dan “ penafsiran”, Hermeneutica juga bermuatan
pandangan hidup dari penggagasnya.
Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan
Hermes (Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani kuno yang
bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa
manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata
(Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia. Tiga makna hermeneutika yang
mendasar yaitu :
a). Mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata-
kata sebagai medium penyampaian.
b). Menjelaskan secara rasional sesuatu yang masih samar- samar sehingga
maknanya dapat dimengerti
c). Menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain.
Tiga pengertian tersebut terangkum dalam pengertian ”menafsirkan” –
interpreting, understanding.
Dengan demikian hermeneutika merupakan proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Definisi lain,
hermeneutika metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk
dicari arti dan maknanya, metode ini mensyaratkan adanya kemampuan
untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian di bawa ke
masa depan. Pengertian lain hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan
bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa
dipahami dan menjadi bermakna di masa sekarang sekaligus mengandung
aturan – aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan
asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman. Semula hermeneutika
berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegegis
(penafsiran teks-teks agama) dan kemudia berkembang menjadi filsafat
penafsiran. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan
tiga hal sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran yakni teks,
konteks dan kontekstualisasi. Dengan demikian setidaknya terdapat tiga
pemahaman mengenai hermeneutika yakni :
1. Sebagai teknik praksis pemahaman atau penafsiran, dekat dengan
eksegegis, yakni kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu atau
kegiatan untuk mengungkapkan makna tentang sesuatu agar dapat
dipahami.
2. Sebagai sebuah metode penafsiran, tentang the conditions of possibility
sebuah penafsiran. Hal–hal apa yang dibutuhkan atau langkah-langkah
bagaimana harus dilakukan untuk menghindari pemahaman yang keliru
terhadap teks.
3. Sebagai penafsiran filsafat.
Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek.
Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara
pandang subjek. Untuk dapat membuat interpretasi, lebih dahulu harus
memahami atau mengerti. Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran
hermeneutik. Mengerti secara sungguh-sungguh akan dapat berkembang bila
didasarkan atas pengetahuan yang benar. Hukum Betti tentang interpretasi
(Sensus non est inferendus sed efferendus) makna bukan diambil dari
kesimpulan tetapi harus diturunkan. Penafsir tidak boleh bersifat pasif tetapi
merekonstruksi makna. Alatnya adalah cakrawala intelektual penafsir.
Pengalaman masa lalu, hidupnya saat ini, latar belakang kebudayaan dan
sejarah yang dimiliki.
2.8.2.Bahasa dan Wacana Sebagai Pusat Kajian
Karena objek utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah hasil
atau produk praksis berbahasa, maka antara hermeneutika dengan bahasa
akan terjalin hubungan sangat dekat. Dalam Gadamer’s Philoshopical
hermeneutics dinyatakan, Gadamer places language at the core of
understanding.
Bahasa pada dasarnya merupakan sistem lambang (symbol),
sebagai gejala khas manusia, bahasa bukan sembarang lambang,
sembarang isyarat (code), ataupun sembarang tanda (sign), tetapi rangkaian
lambang suara dan terucap (vocal and verbal symbol), yang kemudian
berkembang menjadi lambang tertulis. Gejala paling kongkrit bahasa berupa
ujaran (parole). Karena kelahiran bahasa bermula dari ujaran, maka gejala
terkecil bahasa adalah bunyi. Gejala ini dipelajari oleh cabang kajian fonetik
atau fonologi (phonetics and phonology), gejala bahasa terkecil kedua berupa
morfem (morpheme) dan kata (word). Serba-serbi kata dipelajari oleh
morfologi (morphology), perbendaharaan kata ini dipelajari oleh leksikologi
(lexicology), sedangkan kata sebagai tanda dikaji oleh semiotika (semiotics).
Gejala bahasa berupa kelompok kata dengan susunan terpola (patterned
order of word), baik frasa maupun kalimat dipelajari oleh cabang kajian
sintaksis. Karena bahasa niscaya digunakan untuk bertukar pesan, maka
unsure sangat penting bahasa berikutnya adalah makna (meaning). Gejala
bahasa ini dipelajari oleh cabang kajian semantika (semantics). Selanjutnya
gejala bahasa berupa percakapan dan atau wacana dipelajari baik oleh
cabang kajian pragmatika (pragmatics), hermeneutika (hermeneutics)
maupun analisis wacana.
Wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para linguis di Indonesia
dan negeri-negeri berbahasa Melayu lainnya sebagai terjemahan dari istilah
bahasa inggris discourse. Maka discourse analysis pun diterjemahkan
menjadi analisis wacana. Dalam perkembangannya istilah wacana juga
dipakai oleh berbagai disiplin ilmu. Dalam linguistic mengartikan istilah
wacana sebagai suatu rangkaian sinambung bahasa yang lebih besar dari
pada kalimat (Oetomo, 1993:4). Jadi unit itu bisa berupa paragraph, konsep
ini merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal yang lebih memperhatikan
unit kata, frase atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan diantara unsur-
unsur tersebut. Dalam psikologi, wacana diartikan sebagai pembicaraan.
Wacana disini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik
dari pemakainya.
Dalam kontek pengusaha, wacana tidak bisa dilepaskan dari
pemikiran Foucault (1972) yang melihat realitas sosial sebagai arena
diskursif (discursive field) yang merupakan kompetisi tentang bagaimana
makna dan pengorganisasian institusi serta proses-proses sosial itu diberi
makna melalui cara-cara khas. Dalam pengertian demikian, wacana merujuk
pada berbagai cara yang tersedia untuk berbicara atau menulis untuk
menghasilkan makna yang didalamnya melibatkan beroperasinya kekuasaan
untuk menghasilkan obyek dan efek tertentu (Sparingga, 2002:1). Dengan
demikian, telaah wacana memusatkan pada penggunaan bahasa, sebab
bahasa merupakan aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan
lewat bahasa ideologi terserap didalamnya, jadi ideologi membentuk dan
dibentuk oleh bahasa, karena itu selain bahasa, ideologi juga merupakan
konsep sentral dalam analisis wacana, sebab teks, percakapan adalah
bentuk dari praktek ideologi.
2.8.3.Hermeneutika Dalam Pandangan Filosofi a. Friedrich Ernst Daniel Schleiermarcher
Hermeneutika sebagai metode interpretasi dan menganggap semua
teks dapat menjadi objek kajian hermeneutka. Hermeneutika adalah
sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks mengenai
konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma. Makna bukan
sekedar isyarat yang dibawa oleh bahasa, sebab bahasa dapat
mengungkapkan sebuah realitas dengan jelas, tetapi pada saat yang
sama dapat menyembunyikan rapat-rapat. Schleiermacher
menawarkan sebuah metode rekonstruksi histories, objektif dan
subjektif terhadap sebuah pernyataan, membahas dengan bahasa
secara keseluruhan. Tugas utama hermeneutika adalah memahami
teks sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan
memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri.
Model hermeneutika Schleiermacher meliputi dua hal :
1. Pemahaman teks melalui penguasaan terhadap aturan-aturan
sintaksis bahasa pengarang sehingga menggunakan pendekatan
linguistic.
2. Penangkapan muatan emosional dan batiniah pengarang secara
intuitif dengan menempatkan diri penafsir ke dalam dunia batin
pengarang.
b. Wilhelm Dilthey
Hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah, makna tidak pernah
berhenti pada satu masa, tetapi selalu berubah menurut modifikasi
sejarah.
c. Martin Heidgger
Pemikiran filsafat Heidgger meliputi dua periode sebagai berikut :
1. Periode 1 meliputi hakikat tentang “ada” dan “waktu”. Manusia
adalah satu-satunya makhluk yang menanyakan tentang “ada”.
Sebab, manusia pada hakikatnya”ada” tetapi tidak begitu saja
ada, melainkan senantiasa secara erat berkaitan dengan “adanya”
sendiri.
2. Periode 2 Menjelaskan pengertian”kehre” yang berarti
“pembalikan”. Ketidaktersembunyian ”ada” merupakan kejadian
asli. Berpikir pada hakikatnya adalah terikat pada arti. Oleh karena
itu, manusia bukanlah pengauasa atas apa yang ”ada” melainkan
sebagai penjaga padanya.
Bahasa bukan sekedar alat untuk menyampaikan dan
memperoleh informasi. Bahasa pada hakikatnya adalah”bahasa
hakikat” artinya berpikir adalah suatu jawaban, tanggapan atau
respons dan bukan manipulasi ide yang hakikatnya telah terkandung
dalam proses penuturan bahasa dan bukan hanya sebagai alat
belaka. Dalam realitas, bahasa lebih menentukan daripada fakta atau
perbuatan. Bahasa adalah tempat tinggal ” sang ada”. Bahasa
merupakan ruang bagi pengalaman yang bermakna. Pengalaman
yang telah diungkapkan adalah pengalaman yang telah mengkristal,
sehingga menjadi semacam substansi dan pengalaman menjadi tak
bermakna jika tidak menemukan rumahnya dalam bahasa.
Sebaliknya, tanpa pengalaman nyata, bahasa adalah ibarat ruang
kosong tanpa kehidupan. Pemahaman teks terletak pada kegiatan
mendengarkan lewat bahasa manusia perihal apa yang dikatakan
dalam ungkapan bahasa.Bahasa adalah suatu proses, suatu dinamika,
atau suatu gerakan.
d. Hans-Georg Gadamer
Konsep Gadamer yang menonjol dalam hermeneutika adalah
menekankan apa yang dimaksud ”mengerti”. Lingkaran hermeneutika
( hermeneutic circle) bagian teks bisa dipahami lewat keseluruhan
teks dan hanya bisa dipahami lewat bagian- bagiannya. Setiap
pemahaman merupakan sesuatu yang bersifat historis, dialetik dan
peristiwa kabahasaan. Hermeneutika adalah ontologi dan fenomologi
pemahaman.
e. Jurgen Habermas
Hermeneutika bertujuan untuk memahami proses pemahaman
(understanding the process of understanding). Pemahaman adalah
suatu kegiatan pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi
satu. Tidak mungkin dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu
fakta, sebab selalu ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasikan.
Bahasa sebagai unsur fundamental dalam hermeneutika. Sebab,
analisis suatu fakta dilakukan melalui hubungan simbol-simbol dan
simbol-simbol tersebut sebagai simbol dari fakta.
f. Paul Ricoeur
Teks adalah otonom atau berdiri sendiri dan tidak bergantung pada
maksud pengarang. Otonomi teks ada tiga macam sebagai berikut :
a. Intensi atau maksud pengarang.
b. Situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks.
c. Untuk siapa teks dimaksud.
Tugas hermeneutika mengarahkan perhatiannya kepada makna
objektif dari teks itu sendiri, terlepas dari maksud subjektif pengarang
ataupun orang lain. Interpretasi dianggap telah berhasil mencapai
tujuannya jika ”dunia teks” dan ” dunia interpreter” telah berbaur
menjadi satu.
g. Jacques Derrida
Dalam filsafat bahasa – dalam kaitan dengan hermeneutika,
membedakan antara ”tanda” dan ”simbol”. Setiap tanda bersifat arbitrer.
Bahasa menurut kodratnya adalah ”tulis”Objek timbul dalam jaringan
tanda, dan jaringan atau rajutan tanda ini disebut ”teks”. Segala
sesuatu yang ada selalui ditandai dengan tekstualitas. Tidak ada
makna yang melebihi teks. Makna senantiasa tertenun dalam teks.
2.8.4.Beberapa Varian Hermeneutika
a. Hermeunitka Romantis
Dengan tokoh Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher, bapak
hermeneutka
Makna hermeuneutika berubah dari sekedar kajian teologis – teks
bible menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat.
Bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana ia terjadi.
Dua teori pemahaman pertama pemahaman ketatabahasaan –
grammayical understanding, terhadap semua ekspresi, kedua
pemahaman psikologis terhadap pengarang – dikembangkan menjadi
intuitive understanding yang operasionalisasi merupakan rekonstruksi
– merekonstruksi pikiran pengarang.
Tujuan pemahaman lebih merupakan makna yang muncul dalam
pandangan pengarang yang telah direkonstruksi.
Tidak hanya melibatkan pemahaman konteks kesejarahan dan
budaya pengarang tetapi juga pemahaman terhadap subjektivitas
pengarang.
Ada lima unsur dalam pemahaman penafsir, teks, maksud pengarang,
konteks historis dan konteks kultural.Hasil interpretasi akan lebih baik
jika penafsir mengatahui latar belakang sejarah pengarang teks.
Bagan Hermeneutika Romantisme
Konteksi Historis
Penafsir Teks Maksud Pengarang
Konteks Kultural
b). Hermeneutika Metodis
Tokoh Wilhem DiltheyManusia sebagai makhluk eksestensial.
Manusia adalah makhluk yang memahami dan menafsirkan dalam
setiap aspek kehidupan.
Makna teks harus ditelusuri dari subjek tif pengarangnya.
Merupakan metode pemahaman – interpretative methode.
Hermeneutika adalah teknik memahami ekspresi tentang kehidupan
yang tersusun dalam bentuk tulisan.
Hermeneutika historis.
c). Hermeneutika Fenomologis
Tokoh Edmund Husserl.
Pengetahuan dunia objektif bersifat tidak pasti.
Proses pemikiran harus kembali pada data, bukan pada pemikiran,
yakni pada halnya sendiri harus menanmpakan diri.
Pengetahuan sejati adalah kehadiran data dalam kesadaran budi,
bukan rekayasa pikiran untuk membentuk teori.
Membebaskan diri dari prasangka, yakni membiarkan teks berbicara
sendiri.
Teks merefleksikan kerangka mentalnya sendiri dan penafsir harus
netral dan menjauhkan diri dari unsur-unsur subjektifnya atas objek.
Menafsirkan teks berarti secara metodologis mengisolasi teks dari
semua hal yang tak ada hubungannya – termasuk bias –bias subjek
penafsir dan membiarkannnya mengkomunikasikan maknanya sendiri
pada subjek.
Ada tiga langkah yang harus dilakukan :
1. Reduksi fenomologis, dengan menempatkan dunia dalam tanda
kurung.
2. Reduksi eiditik yang dikerjakan dengan memusatkan perhatian
dan pengamatan pada esensi sesuatu yang coba dipahami.
3. Rekonstruksi dengan menghubungkan hasil reduksi fenomologis
dengan hasil reduksi eidetik.
d). Hermeneutika Dialektis
Dengan eksemplar Martin Heidegger.
Prasangka historis atas objek merupakan sumber pemahaman,
karena prasangka adalah bagian dari eksistensi yang harus dipahami.
Pemahaman adalah sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului
kognisi.
Keragaman makna dan dinamika eksistensial.
Memahami teks yang sama secara baru dengan makna baru.
e). Hermeneutika Dialogis
Dengan eksemplar Hans-Georg Gadamer.
Pemahaman dimuai dengan pra-penilaian – pre-judgement.
Pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada
tingkat ontologis.
Kebenaran dapat dicapai melalui dialektika dengan mengajukan
beberapa pertanyaan.
Bahasa menjadi medium penting bagi terjadinya dialog.
Pembangkitan kembali makna teks.
Proses pemahaman adalah proses peleburan horizon-horizon.
f). Hermeneutika Kritis
Dengan tokoh Jurgen Habermas.
Merupakan teori kritis, menemukan kesalahan dan kekurangan pada
kondisi yang ada.
Mempertautkan antara beragam domain realitas, antara partikular dan
universal, antara kulit dan isi dan antara teori dan praktek.
Pemahaman didahului kepentingan, kepentingan sosial dan
kepentingan kekuasaan.
Merupakan refleksi kritis penafsir.
Penafsir mengambil jarak atau melangkah keluar dari tradisi dan
prasangka.
Setiap penafsiran dipastikan ada bias-bias dan unsur-unsur kepentingan
politik, ekonomi, sosial termasuk bias strata kelas, suku dan gender.
g). Hermeneutika Integrasi Dialektis
Integrasi daliketis antara penjelasan – explanatory dan pemahaman –
understanding.
Merupakan perbedaan fundamental antara paradigma interpretasi
teks tertulis dan wacana – discourse dan percakapan – dialogue.
Berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin.
h). Hermeneutika Dekonstruksionis
Dengan eksemplar Jacques Derrida.
Bahasa merupakan sistem yang tidak stabil.
Makna tulisan – teks, selalu mengami perubahan, tergantung pada
konteks pembacanya.
Menolak makna esensial yang tunggal dan utuh.
Lebih menekankan pencarian makna eksistensial.
Perkembangan hermeneutika sebagai berikut :
1. Friedrich Ernst Daniel Scheleiermacher, mengubah makna hermenetika dari
sekedar kajian teks keagamaan – bible menjadi kajian pemikiran filsafat,
hermeneutika romantic.
2. Wilhelm Dilthey, makna herneneutika menjadi kajian sejarah, tokoh
hermeneutika metodis.
3. Edmund Husserl, pengetahuan dunia objektif bersifat tak pasti, karena
pengetahuan sesungguhnya diperoleh dari apparatus sensor yang tak sempurna.
Sebagai tokoh hermeneutika fenomenologis
4. Martin Heidegger, Hermeneutika sebagai kajian ontologis. Sebagai tokoh
hermeneutika dialektis.
5. Hans –Georg Gadamer, Menekankan dialektika – dialogis.
6. Jurgen Habermas, Menggeser makan hermeneutika kepada pemahaman
yang diwarnai oleh kepentingan.
7. Paul Ricoeur, Aspek pandangan hidup interpreter sebagai faktor utama.
Varian integrasi dialektis.
8. Jacques Derrida, bahwa bahasa juga sistem simbol yang lain merupakan
sesuatu yang tidak stabil. Tokoh hermeneutika dekontruksionis.
Dari perkembangan filsafat hermeneutika di atas, maka penelitian ini
lebih tepat menggunakan dialektika dialogisnya Hans-Georg Gadamer. Hal inilah
yang menjadi titik tekan penelitian kewirausahaan. Tujuan penelitian untuk
mengungkap bagaimana kinerja individu atau organisasi sangat tergantung atau
bersifat saling mempengaruhi dengan lingkungan maupun konteks sosialnya.
2.9. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang mengeksplorasi mengenai kesadaran identitas
(konsep diri) adalah penelitian yang dilakukan oleh Schmid dan Jones (1991)
yaitu tentang fenomena penghuni penjara di Amerika, terutama untuk melihat
perubahan sikap dan orientasi serta konsep diri (transformasi identitas) mereka
setelah menempati dan merasakan tempat dan suasana yang baru di penjara.
Pada beberapa bagian dari penelitiannya, Schmid dan Jones juga mengamati
fenomena impression management dari penghuni penjara, terutama ketika
berhadapan dengan orang lain. Penelitian dengan judul “Suspended Identity:
Identity Transformation in a Maximum Security Prison” tersebut menggunakan
pengamatan berperanserta dan wawancara mendalam sebagai teknik
pengumpulan datanya.
Hasil peneitian Schmid dan Jones memperlihatkan bahwa identitas
seseorang itu dapat berubah setelah mengalami proses transformasi radikal di
penjara. Lingkungan penjara yang dimaknai para napi sebagai suatu hal yang
tidak mengenakkan mendorong mereka untuk mengantisipasi diri dengan
melakukan trategi pertahanan diri berdasarkan sudut interpretasi subyektif
masing-masing. Hal ini cukup menunjukkan bahwa konsep identitas diri
seseorang itu dapat dimanipulasi, dapat dibongkar pasang atau dapat berubah-
ubah. Diri dapat menjadi diri yang lain sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
Fokus penelitian tersebut hanya pada realitas penghuni penjara, tanpa
secara maksimal melakukan studi historis pada kehidupan subyek penelitiannya
sebelum masuk penjara, padahal studi tentang hal tersebut penting untuk
menemukan arah perubahan sikap dan konsep dirinya.
Rahardjo (2010) penelitian dengan pendekatan kuaitatif perspektif
hermeneutika Gadamerian dengan tema bahasa dan kekuasaan. Temuannya
makna wacana dan tindakan politik Abdurrahman Wahid sebagaimana
ditafsirkan oleh elit politik bukan pemerintah.
Temuan Kelly mempertegas studi sebelumnya yang dilakukan oleh Leslie
(1995), McHuffie (1997), dan Mattelart (1994) yang menemukan bahwa
terminologi globalisasi sebagai kontruksi sosial dalam strategi bisnis dan
periklanan.
Temuan M.J. Scheepers (2008), dalam penelitiannya yang berfokus
pada pola pikir kewirausahaan dalam informasi dan komunikasi bahwa tiga
indicator dari pola pikir kewirausahaan terkait erat hubungannya dengan kinerja.
Tiga indicator tersebut adalah orientasi wirausaha, E-Bisnis inisiatif dan Iklim
organisasi yang mendukung. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pola
pikir kewirausahaan teknologi informasi dan komunikasi dan penerapannya pada
ruang e-bisnis. Ruang e-bisnis mengacu pada e-bisnis produk, layanan, proses,
dan strategi. Pola pikir kewirausahaan menggambarkan mengejar inovasi dan
peluang. Hubungan variabel pada penelitian kuantitatif terutama pada variabel
pola pikir dan kinerja menunjukkan hubungan yang signifikan, sedangkan pada
penelitian ini hubungan variabel kewirausahaan dengan kinerja dijembatani oleh
variabel moderating pola pikir/mindset yang akan memaksimalkan variabel
kinerja. Pada penelitian yang lain hubungan variabel internal dan eksternal
sangat mempengaruhi adanya pembentukan karakter kewirausahaan, pada
penelitian ini variabel internal dan eksternal sangat mendukung bahwa kontribusi
variabel internal maupun eksternal sangat mempengaruhi adanya karakter
seorang wirausaha dan ada penambahan indicator yang mempengaruhi adanya
pembentukan karakter entrepreneur antara lain pendidikan dan pola asuh
keluarga. Penelitian terdahulu lebih banyak menggunakan metode kuantitatif,
sedangkan peneltian ini menggunakan metode kualitatif
Temuan dalam penelitian yang telah dilakukan Besnik A. Krasniqi,
penelitian ini membangun fondasi ekonomi mikro untuk teori kewirausahaan dan
pertumbuhan, fokus pada inovasi dan peluang. Penelitian ini berargumentasi
bahwa biaya transaksi adalah perekat diantara variabel-variabel kewirausahaan.
Tehnologi produksi didefinisikan sebagai perluasan dimana keputusan tehnik
berpengaruh terhadap efisiensi produksi. Penurunan biaya transaksi akan
menekan organisasi yang lain untuk melakukan hal yang sama. Perusahaan
menyediakan biaya yang sangat elastic tergantung pada kebutuhan dana yang
diperlukan untuk merealisasikan peluang tersebut.
Jaysinha S. Shinde, meneliti tentang bidang kewirausahaan sosial dan
spiritual dan religius di tempat kerja memunculkan bidang-bidang di daerah
management. Penelitian ini mempresentasikan pengertian entrepreneurship
turunan dari literatur-literatur spiritual. Dengan menggunakan filosofi yang abadi,
penelitian ini menawarkan suatu kerangka dimana menyediakan Suatu pandangan
baru pada kewirausahaan. Penelitian ini juga mengembangkan konsep
kewirausahaan spiritual dengan memperoleh definisi yang kongkret dan
mengidentifikasi dimensi yang penting.
Hmieleski, Keith; dan Andrew Corbett, dalam penelitiannya memeriksa
hubungan antara improvisasi dan itensi-itensi wirausaha dan menemukan bahwa
itensi-itensi wirausaha berhubungan dengan ukuran-ukuran kepribadian,
motivasi, gaya kognitif, model social, dan improvisasi. Hubungan yang paling
kuat ditemukan antara itensi-itensi wirausaha dan improvisasti.
Research Gap
Dari hasil pelacakan secara intensif terhadap berbagai kajian mengenai
entrepreneur baik secara substantif maupun formal, sejauh ini belum ditemukan
kajian entrepreneur dengan pendekatan kebahasaan melalui perspektif
hermeneutika Gadamerian. Beberapa penelitian kajian lewat pendekatan
hermeneutika sebagaimana dipaparkan, semuanya menggunakan perspektif
hermeneutika intensionalisme atau Hirschian, bukan Gadamerian. Jadi, semua
kajian belum menempatkan hermeneutika sebagai perspektif yang relevan bagi
kajian ilmu-ilmu sosial. Potensi tersebut menjadi kekhususan penelitian ini.
Karena itu, selain untuk memperkaya kajian-kajian sejenis sebelumnya penelitian
ini diharapkan menjadi varian lain atau turut memperluas dalam kajian
entrepreneur.
Hasil Penelitian dan Publikasi
NO
PENELITI
JUDUL JURNAL
METODE
TEMUAN
1.
2.
Besnik A. Krasniqi (2009) Jaysinha S. Shinde (2011)
Personal, household and business envronmental determinants of entrepreneurship The Perennial Perspective on Entrepreneurship
Menggunakan metode penelitian kuantitatif serta melakukan pendekatan bentuk penyelidikan ekonometrik dan survei Menggunakan metode penelitian kualitatif
Karakter seseorang, dukungan keluarga dan lingkungan bisnis menentukan keberhasilan wirausaha. Perbandingan wirausaha komersil, wirausaha sosial,
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Oscar Gonzales-Benito,Pablo A.Munoz Gallego Janiver Gonzales Benito (2008) Philip E.Auerswald (2008) M.J. Scheepers (2008) Dr.Fakhrul Anwar Zainol dan Dr.Selvamalar Ayadurai (2011) Nurlina Rahman (2004) Syaiful Rohim (2011)
Role of entrepreneurship and market orientation in firms success. Entrepreneurship in the Theory of the firm. Entrepreneurial Mindset of Information and Communication Technology Firms Entrepreneurial Orientation and Firm Performance: The Role of Personality Traits in Malay Family Firms in Malaysia Konsep Diri Pemakai Narkoba dalam konteks komunikasi antar pribadi di Jakarta Kontruksi Diri dan Perilaku Komunikasi
Menggunakan metode penelitian kuantitatif serta melakukan survei Menggunakan metode penelitian kuantitatif studi kasus Menggunakan metode penelitian kuantitatif, empiris survei Menggunakan metode penelitian kuantitatif, tes empiris adat Menggunakan metode penelitian kualitatif serta melakukan pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam sebagai teknik Menggunakan metode penelitian
wirausaha institusional dan wirausaha spiritual (spiritual intrepreneurship). Adanya hubungan yang kuat antara orientasi pasar dengan kewirausahaan. Adanya hubungan antara kewirausahaan dengan inovasi dan cara perusahaan merealisasikan peluang bisnis. Pola pikir terkait erat dengan kinerja. Sehingga menjadikan manajer memberikan dukungan dengan imbalan dan kebebasan untuk berinisiatif. Kepribadian digunakan untuk menjelaskan pengaruhnya terhadap kinerja perusahaan Bagaimana proses perubahan konsep diri sebelum dan sesudah pemakai Gelandangan”manusia gerobak” berupaya
9.
10.
Mudjia Rahardjo (2010) Rasyidah (2011)
Gelandangan di Kota Jakarta Hermeneutika Gadamerian (kuasa bahasa dalamwacana politik Gusdur) Hermeneutika Gadameran dan Implikasinya Terhadap Pemahaman Kontemporer Al-Qur’an
kualitatif serta melakukan pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam sebagai teknik Kuaitatif perspektif hermeneutika Gadamerian Kuaitatif perspektif hermeneutika Gadamerian
untuk menciptakan kondisi yang dapat menghasilkan demi tercapainya tujuannya yaitu pemenuhan kebutuhan hidup dalam menghadapi lingkungan dan dinamika social yang berubah-ubah ditengah kemiskinan perkotaan. Perilaku gelandangan muncul menimbulkan implikasi menguatnya dorongan menjadi perilaku yang menular.
Makna wacana dan tindakan politik Abdurrahman Wahid sebagaimana ditafsirkan oleh elit politik bukan pemerintah. Kajian hermeneutikanya terkait dengan pertanyaan kunci tentang pemahaman teks, Gadamer telah mengalihkan corak hermeneutika dari tataran epistemology-seputar metode- menjadi ontologism.
2.10. Kerangka Konseptual Penelitian
Secara ringkas kerangka konsep penelitian mendasarkan pada pengalaman
sadar individu sebagai entrepreneur. Kajian mengenai pengetahuan yang berasal
dari kesadaran, atau cara bagaimana orang-orang memahami obyek-obyek dan
peristiwa-peristiwa atas pengalaman sadar mereka, Kuswarno (2009: 5)
menyatakan bahwa fenomena itu sesuatu yang masuk ke dalam kesadaran kita
baik dalam bentuk persepsi, khayalan, keinginan atau fikiran.
Sebagai seorang manusia pada umumnya, pengusaha sebagai makhluk
sosial yang bersifat individual dan sekaligus sebagai seseorang yang memerankan
fungsi-fungsi sosial. Sebagai makhluk sosial, seorang pengusaha berhubungan
dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dalam berhubungan dengan
lingkungannya, seorang pengusaha melakukan dengan sadar dan atas kemauan
dan sesuai dengan motif dan keinginannya. Tidakan seperti ini menurut
perspektif Weber disebut tidakan sosial.
Dalam perspektif hermeneutika Gadameran, bahwa bahasa merupakan
medium sangat penting bagi terjadinya dialog, memandang makna dicari dan
dikontruksi dan direkontruksi oleh penafsir sesuai konteks penafsir dibuat
sehingga makna teks tidak pernah baku. Bahasa didefinisikan sebagai sistem
simbol bunyi bermakna dan berartikulasi yang bersifat arbiter dan konvensional
yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk
melahirkan perasaan dan pikiran (Wibowo, 2001: 3). Sedangkan menurut Hikam
(dalam Mudjia Rahardjo, 2010: 48) bahasa sebagai representasi berperan pula
dalam membentuk jenis-jenis subyek tertentu.
2.11. Preposisi Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian, masalah penelitian dan landasan teori
maka dikembangkan preposisi penelitian. Preposisi penelitian ini berdasarkan
pada prinsip preposisi teorem (theorem proposition) yaitu usulan atau dalil yang
diungkapkan belum tentu benar dan harus diuji kebenarannya. Pernyataan
preposisi bukan bermaksud untuk mengarahkan hasil penelitian, tetapi merupakan
pendugaan sementara terhadap hasil penelitian. Preposisi ini dibangun sesuai
dengan tujuan penelitian dan kajian teori serta rekomendasi penelitian terdahulu,
adapun preposisi penelitian ini yaitu:
1. Pandangan tentang diri dan lingkungannya, dalam konteks konsep diri
merupakan faktor yang sangat menentukan dalam membangun karakter
seseorang, karena setiap orang bertingkah laku dan berkomunikasi sedapat
mungkin sesuai dengan konsep dirinya.
2. Orientasi sosial serta pilihan karier dan motif menjadi pengusaha,
menciptakan lapangan pekerjaan merupakan perbuatan yang berdampak
sosial dan sangat tepat untuk cara mendekatkan diri dengan masyarakat
secara umum.
3. Interaksi pergaulan manusia yang satu dengan yang lainnya merupakan
salah satu bentuk peristiwa komunikasi dalam masyarakat, melakukan
aktivitas yang ada keterkaitannya dalam praktek manajemen.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Ancangan dasar kajian ini adalah fenomena hermeneutik, yang
termasuk dalam jenis penelitian kualitatif. Berbeda dari tradisi positivistik
yang cenderung menjelaskan perilaku manusia, tradisi fenomenologi
hermeneutik cenderung mengedepankan eksistensi manusia sebagai
sesuatu yang harus ditafsirkan, karena kajian bertujuan memahami subyek.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perspektif
hermeneutika Gadamerian.
Peneliti perspektif hermeneutika Gadamerian, sebagaimana
dinyatakan Valdes (1991), bahwa hanya akan berdialog dengan teks, jelas
Valdes (1991:303), “with written texts, the discourse must speak by it self”,
Menurut Valdes ketika teks sudah hadir, maka produser teks sudah lepas
dari teks itu sendiri dan interpretasi atas teks diserahkan sepenuhnya
kepada pembacanya. Menurut Fasya (2002:43) kompetensi atau wewenang
yang dimiliki para pihak atau lembaga untuk menentukan makna final atau
paling absah dari seluruh tulisan/teks, dengan demikian analisis teks
digambarkan Barthes sebagai ruang terbuka karena tak ada yang berhak
mengganggu. Pembaca belajar mendewasakan diri dihadapan teks untuk
menjadi autor baru dan merupakan korektor dan pemersatu fungsi teks yang
heterogen. Konsep yang dibangun Barthes adalah posisi disela-sela (in-
betweeness) antara pembaca dan teks. Dalam analisis teks, Barthes dengan
tegas mengingatkan bahwa teks bukan untaian kata-kata yang siap
melepaskan makna tunggalnya semata, yaitu pesan dari sang penciptanya
118
saja, tetapi berasal dari ruang multidimensi yang ada dan tersebar dalam
tulisan. Teks tidak lain merupakan sejumlah kutipan yang tergambar dari
pusat-pusat budaya yang jumlahnya tidak terbatas.
“We know a text is not a line of words releasing a single theological, meaning (the message of Author-God but a multi-dimensional space in which avariety of writing, none of original, blend, and clash. The text is a tissue of quotations drawn from the innumerable centres of culture” (Barthes, 1977: 146).
Butir penting gagasan Barthes tersebut bagi pengkaji hermeneutika
Gadamerian adalah teks akan dikupas maknanya jauh lebih dalam daripada
penciptanya sendiri. Otoritas sebuah tulisan berada di tangan pembaca
(Fasya, 2002: 43).
3.2. Subyek Penelitian
Yang menjadi subyek penelitian adalah Soetrisno Bachir yang lahir di
Pekalongan dan berdomisili di DKI Jakarta, subyek penelitian ini dipilih karena
sukses dalam berwirausaha dan kesediaan mereka untuk mengeksplorasi
dan mengartikulasikan pandangan dan pengalamannya secara sadar.
3.3. Lokasi Penelitian dan informan Penelitian
a. Penentuan Lokasi Penelitian
Tempat penelitian ini akan dilaksanakan di DKI Jakarta dan Kota
Pekalongan Jawa Tengah. DKI Jakarta adalah tempat tinggal subyek
dalam menjalankan aktivitasnya. Kota Pekalongan adalah tempat
lahirnya subyek dan aktivitas usahanya. Dalam proses mendapatkan
data penelitian paling tidak akan dikonsentrasikan pada dua lokasi
tersebut. Disamping untuk melakukan wawancara dengan subyek
penelitian, lokasi-lokasi tersebut juga akan dijadikan sebagai tempat
untuk mengamati interaksi subyek baik dengan sesama wirausahawan
maupun dengan kelompok sosial lainnya. Lokasi tersebut sangat
penting didatangi karena untuk mengamati fenomena interaksi juga
untuk melihat impression management yang mereka lakukan.
b. Penentuan Informan Penelitian
Sumber informan penelitian : 1) Soetrisno Bachir (subyek penelitian),
dipilih karena memiliki kepribadian yang luar biasa banyak memberikan
sumbangan yang berharga baik berupa pemikiran maupun perjuangan
bagi masyarakat, Bangsa dan Negara; sebagai sosok pribadi yang dapat
dijadikan inspirasi untuk membangun karakter entrepreneur, pencapaian
prestasi dalam berwirausaha, juga dikenal sebagai sosok yang santun,
rendah hati, dan dermawan. 2) Masyarakat sekitar subyek penelitian
dilahirkan (Aisyah),ibu yang berumur 76 tahun ini lahir di Kampong
Pesindon, beliau bekerja sebagai pengrajin batik milik keluarga Bachir
Achmad orang tua dari subyek penelitian, ibu Aisyah diberi suatu
kepercayaan untuk turut mengasuh subyek penelitian ketika masih anak-
anak. 3) Keluarga subyek penelitian,(kakak kandung: Adi Cahyantono
Bachir dan adik kandung Eni Apria Diningsih), kedua saudara kandung
ini paling interaktif dan dipandang cakap memberikan informasi
mengenai subyek penelitian 4) Teman seprofesi pengusaha (Siswadi)
rekan bisnis yang paling lama bermitra dengan subyek penelitian.
3.4. Paradigma Penelitian
Linguistikalitas hermeneutic bagi Gadamer bahwa bahasa merupakan
kata kunci utama setelah dialogasi, Bahasa dalam pandangan Gadamer
adalah individu dan struktur sosial yang meliputi tradisi, budaya norma dan
nilai. Sebagaimana tradisi fenomenologi yang pada umumnya menjelaskan
makna pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala
(Creswell, 1998:51). Dalam penelitian ini akan mendiskripsikan pengalaman
subyek penelitian dalam mencapai kesuksesan berwirausaha (Soetrisno
Bachir), dengan menggunakan faktor-faktor lingkungan internal dan Ekternal
serta pola pikir. Pikiran melahirkan kebiasaan, bahwa kebiasaan manusia
terbentuk dengan cara pengulangan perilaku, kemudian diikat oleh
perasaan. Maka terbentuklah file khusus yang berkaitan dengan kebiasaan
itu. Setiap kali perilaku itu diulang maka kuatlah rekaman yang tersimpan di
akal bawah sadar. Setiap kebiasaan yang diprogram manusia sehingga
menjadi kuat dan tidak bisa diubah. Jadi kebiasaan adalah pikiran yang
diciptakan seseorang dalam benaknya, kemudian dihubungkan dengan
perasaan dan diulang-ulang hingga akal menyakininya sebagai bagian dari
perilakunya.
Apapun yang menjadi pusat konsentrasi, akan mempengaruhi sikap,
perilaku, dan perasaan. Sistem kerja akal bawah sadar membuat pikiran
meluas dan menyebar hingga membuka pintu bagi hukum berpikir pararel
yang bisa membuat mengetahui sesuatu yang serupa dengan yang
dipikirkan. Selanjutnya membuka pintu bagi hukum berpikir yang dianggap
paling berbahaya jika digunakan untuk berpikir negatif, tapi menjadi
penunjang terkuat menuju keberhasilan dan kebahagiaan jika digunakan
untuk berpikir positif. Dalam mengubah hidup yang perlu diperhatikan adalah
mengubah pikiran dan keyakinan, segala sesuatu yang dipikirkan adalah
proyeksi dan itu berhubungan dengan perasaan. Manusia ketika melakukan
sesuatu dan mendapatkan hasil tertentu maka ia memproyeksi hasil yang
sama. Jika seseorang menginginkan hasil yang berbeda maka ia harus
menciptakan perubahan dalam pikiran yang membentuk proyeksi.
Selanjutnya bahwa keyakinan melahirkan perbuatan. Jika yakin maka
terdorong sikap seperti yang ada dalam keyakinannya, sebaliknya bila
merasa tidak yakin maka sikap akan sejalan dengan keyakinan itu. Jadi
keyakinan adalah kekuatan luar biasa yang mengukuhkan pikiran seseorang
sehingga menumbuhkan perasaan, perbuatan, hasil dan membuat
kehidupan persis seperti yang ada dalam pikiran. Akal selalu menemukan
alasan yang mendukung kenyataan, apa yang ada dalam akal hidup dalam
hati, kemudian mengalir dalam pembuluh darah dan terwujud dalam
kehidupan. Selagi ada kemanuan, kesabaran dan sikap pantang menyerah
keberhasilan bisa diraih. Jadi akal akan selalu mendukung bergerak
membantu menggapai apa yang diinginkan.
Pendekatan kualitatif ini diharapkan mampu memperoleh gambaran
utuh dari fenomena interaktif baik secara intrapersonal maupun
interpersonal kesuksesan seorang wirausahawan. Pendekatan ini diyakini
mampu mengarahkan pencarian paradigma baru dalam ilmu manajemen
yang dikombinasikan antara perspektif subyek yang diteliti yaitu Soetrisno
Bachir, serta dari perspektif peneliti sendiri. Pertimbangan lainnya, karena
menurut Muhadjir (2000:149), “lebih mampu mengungkapkan realitas ganda,
lebih mengungkapkan hubungan yang wajar antara peneliti dengan
informan, dan karena metode kualitatif lebih sensitive dan adaptif terhadap
peran pelbagai pengaruh timbal-balik”.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, menurut Bongdan
dan Taylor (Moleong, 2000:3) menyatakan bahwa pendekatan kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Garna (1999:32) menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif dicirikan
oleh tujuan penelitian yang berupaya memahami gejala-gejala yang
sedemikian rupa yang tidak memerlukan kuantifikasi atau gejala-gejala
tersebut tidak mungkin diukur secara tepat.
Dasar paradigma yang diacu dalam paradigma kualitatif adalah tetap
memandang manusia bertindak rasional, namun dalam penyelesaian masalah
hidup sehari-hari adalah menggunakan penalaran praktis bukan logika
formal. Paradigma phenomenology berusaha memahami arti (mencari makna)
dari peristiwa dan kaitannya dengan orang-orang (Leksono, 2009:91).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
tradisi penelitian fenomenologis, dalam istilah Lindlof (1995:27) disebut
dengan paradigm interpretif (interpretive paradigm) (Creswell, 1998:14)
mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang tempat dan
waktunya secara alamiah. Paradigma ini juga memungkinkan untuk
dilakukan interpretasi secara kualitatif atas data-data penelitian yang telah
diperoleh. Selain itu penelitian ini akan memberi peluang yang besar untuk
dibuat interpretasi-interpretasi alternatif. Mulyana (2002) menyebut
penelitian kualitatif ini sebagai perspektif subyektif.
Dalam penelitian kualitatif peran teori tidak sejelas dalam penelitian
kuantitatif, karena modelnya induktif, yaitu dengan urutan: 1) mengumpulkan
informasi, 2) mengajukan pertanyaan-pertanyaan, 3) membangun kategori-
kategori, 4) mencari pola-pola (teori), dan 5) membangun sebuah teori atau
membandingkan pola dengan teori-teori lain (Alwasilah,2011:75).
Gambar 3.1. Model induktif dalam penelitian kualitatif
(Sumber: Alwasilah,2011:76)
Penelitian kualitatif bersifat interaktif dan terintegrasi secara baik antara tujuan,
konteks konsepsi, pertanyaan penelitian, metode dan validitasnya. Adapun
model penelitian interaktif ini dapat dilihat pada Maxwell (Maxwell,1996:4-5),
sebagai berikut :
1 Peneliti
mengumpulkan informasi
2 Mengajukan pertanyaan
3 Membangun
Kategori-kategori
4 Mencari pola-pola
(teori-teori)
5 Mengembangkan teori Atau membandingkan
Pola dengan teori
6 Pemahaman baru Atau teori baru, hipotesis baru
Gambar 3.2. Model Penelitian Interaktif (Sumber: Maxwell,1996:5)
1. Purposes (Tujuan): Apa saja tujuan akhir dari penelitian ini? Isu-isu apa yang diharapkan dapat dijelaskan oleh penelitian ini, dan praktek-praktek apa yang akan dipengaruhi? Mengapa anda ingin melakukan penelitian ini, dan mengapa kita harus memperhatikan hasil-hasilnya? Mengapa penelitian sangat penting dilakukannya?.
2. Conceptual Context (Konteks konsepsi): Apa yang anda harapkan akan terjadi dengan fenomena yang anda rencanakan untuk diteliti? Teori-teori, temuan-temuan dan kerangka-kerangka konsepsi apa yang berkaitan dengan fenomena ini akan mengarahkan atau memberitahu penelitian anda, literature, penelitian terdahulu, serta pengalaman pribadi apa yang akan anda gambarkan? Komponen-komponen model ini memuat teori yang telah anda hasilkan atau mengembangkan tentang keadaan atau isu-isu yang anda teliti. Ada empat sumber utama untuk teori ini: pengalaman anda sendiri, teori dan penelitian yang ada, hasil-hasil dari setiap penelitian percobaan atau penelitian pendahuluan yang telah anda lakukan, dan percobaan-percobaan pemikiran.
3. Research Questions (Pertanyaan Penelitian): Secara khusus, apa yang ingin anda ketahui dengan melakukan penelitian ini? Apa yang anda tidak ketahui tentang fenomena yang anda teliti yang ingin anda pelajari? Pertanyaan-pertanyaan apa yang akan dicoba untuk dijawab melalui penelitian anda, dan bagaimana pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan satu sama lainnya?.
4. Methods (Metode): Apa sebenarnya yang akan dilakukan didalam melaksanakan penelitian ini? Pendekatan-pendekatan dan teknik-teknik apa yang akan anda gunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data anda, dan bagaimana pendekatan serta teknik ini menjadi strategi yang terpadu? Komponen model anda ini meliputi
Purposes Conseptual Context
Research Question
Methods Validity
empat bagian utama: Hubungan penelitian anda dengan orang-orang yang anda teliti, Keputusan-keputusan penarikan sampel dan pemilihan tempat penelitian anda, metode-metode pengumpulan data anda, dan teknik-teknik analisis data yang akan anda gunakan.
5. Validity (Validitas): Bagaimana anda dapat menjadi salah? Apa saja penjelasan alternatif yang masuk akal dan ancaman-ancaman validitas terhadap kesimpulan-kesimpulan potensial penelitian anda, dan bagaimana anda akan menghadapi masalah ini? Bagaimana cara anda memperoleh data, atau cara anda mengumpulkan, dukungan atau gagasan anda dalam menghadapi tantangan masalah yang dihadapi? Mengapa hasil anda dipercayai orang?
Menurut (Alwasillah,2011:182) sumber data utama dalam penelitian
kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan,
artinya kata-kata dan tindakan dari subyek hanyalah sebuah catatan
(informasi) yang tidaklah memberikan arti apapun sebelum dikategorisasikan
dan direduksi. Jadi kemampuan peneliti adalah menangkap data, bukan
sekedar mencerna informasi verbal tetapi mampu pula mengungkap dibalik
tindakan atau bahasa nonverbal responden.
Data dapat berupa data lisan, tulisan, tindakan, ataupun artefak yang
diperoleh dari sumber informasi. Kata-kata dan tindakan orang-orang yang
diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama dan
didokumentasikan melalui catatan tertulis, pengambilan foto, ataupun film.
Sedangkan sumber data lain seperti buku-buku, dokumen, surat kabar, dan
lain sebagainya, tidak juga dapat diabaikan karena merupakan pelengkap
untuk mengkontruksikan realitas yang ada. Untuk melihat proses interaksi,
peneliti akan menggunakan Soetrisno Bachir sebagai sumber data dengan
tujuan untuk memperoleh informasi dan sekaligus sebagai cross check atas
informasi yang didapat oleh peneliti berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tertentu melalui teknik, waktu serta sarana yang ada. Adapun
informasi dalam penelitian ini bergantung pada tingkat kenyakinan dan
kepuasan data yang diperoleh peneliti.
Salah satu karakter penelitian kualitatif fenomenologis adalah
melakukan pengamatan dan berinteraksi dengan subyek penelitian untuk
berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka atas dunianya. Hal seperti
ini juga dipertegas oleh Creswell (1998:14) bahwa penelitian kualitatif adalah
penelitian yang latar tempat dan waktunya alamiah. Paradigma ini juga
memungkinkan untuk dilakukan interpretasi secara kualitatif atas data-data
penelitian yang telah diperoleh.
3.5. Sumber Data Penelitian
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah berasal dari
kata-kata, perbuatan, tindakan dan atau perilaku sehari-hari dari para
subyek yang diteliti serta data yang dapat diungkap/diambil berupa bahasa
yang berasal dari pembicaraan diantara para subyek penelitian. Penelitian
inipun menjadikan pernyataan (ungkapan) dan tindakan sadar Soetrisno
Bachir sebagai sumber data utamanya. Disamping menjadikan pernyataan
dan tindakan sebagai sumber data utama penelitian, terdapat beberapa
kalangan yang dijadikan sumber data di luar subyek penelitian. Pemilihan
sumber data tersebut didasarkan pada kebutuhan penelitian (Fatchan,
2011:105).
Data dalam kajian ini diperoleh dengan menggunakan metode
dokumenter. Dokumen yang dikumpulkan teks-teks lisan dan tulis dari
subyek dan para informen.Data berupa rekaman wawancara, tulisan di surat
kabar, foto-foto, buku karya subyek, pidato, penelusuran lewat teman
sejawat, penelusuran lewat masyarakat lingkungan subyek.
3.6. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan pendekatan dan metode penelitian yang digunakan,
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara
mendalam, observasi (pengamatan) berperan serta dan studi pustaka serta
dokumen teks. Dengan demikian, peneliti yang merupakan instrument pokok
dalam penelitian bertindak sebagai partisipan penuh melalui keikutsertaan
sebagai bagian dari tempat yang diamati. Bertindak sebagai partisipan
penuh dilakukan untuk membangun situasi. Tindakan tersebut juga berguna
dalam mempertajam, tidak saja kemampuan panca indera tetapi juga
perasaan dan intuisi yang digunakan dalam menggali data di lapangan.
Dalam penelitian ini, teknik yang paling utama digunakan peneliti adalah
dengan melakukan pengamatan berperan serta dan kajian teks kehidupan
dan dokumen tentang subyek yang diteliti. Sedangkan teknik lainnya seperti
penggunaan dokumentasi dan wawancara mendalam adalah sebagai
pendukung, walaupun keduanya tidak bisa dikesampingkan sama sekali.
3.7. Observasi (Pengamatan Berperan-serta)
Pengamatan berperan-serta adalah strategi lapangan yang secara
simultan memadukan analisis dokumen, wawancara dengan responden dan
informan, partisipasi dan abservasi langsung serta instropeksi
(Denzin,2011:526). Sedangkan Pengamatan berperan-serta menurut
(Mulyana,2011:162) dilakukan dengan keterlibatan langsung peneliti dalam
kehidupan sehari-hari dari subyek yang menjadi obyek penelitian. Pengamat
juga menyesuaikan diri atau terlibat secara langsung dengan mengikuti
orang-orang yang diteliti dalam kehidupan sehari-hari, melihat apa yang
dilakukan, kapan, dengan siapa, dan dalam keadaan apa, serta bertanya
mengenai tindakan tersebut, teknik ini memaksimalkan peluang peneliti
untuk menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sahih mengenai gejala
yang dipelajarinya, karena:
1. Keterlibatan peneliti dalam kehidupan sehari-hari warga dalam masyarakat yang ditelitinya membuat ia lambat-laun diterima sebagai bagian yang wajar dalam kehidupan mereka, sehingga merekapun akan bertingkah laku sebagaimana lazimnya seperti sebelum kehadiran peneliti di sana. Ini mengurangi masalah reaktivitas, yakni masalah yang muncul karena ada kecenderungan orang bertingkah laku lain ketika mereka menyadari sedang diamati oleh orang asing.
2. Keterlibatan peneliti memungkinkannya merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang masuk akal bagi subyek yang diteliti, dalam bahasa atau ungkapan-ungkapan setempat.
3. Pengamatan terlihat memberikan pemahaman intuitif kepada peneliti mengenai makna dari hal-hal yang terdapat dalam masyarakat yang ditelitinya.
4. Banyak masalah penelitian yang hanya dapat dijelaskan secara memadahi melalui pengamatan terlibat.
Berkaitan dengan penelitian ini, teknik pengamatan berperan serta
akan dilakukan peneliti untuk ikut terlibat bersama subyek penelitian
mengamati, mengikuti, setiap aktivitas yang dilakukan subyek pada lokasi
penelitian yang sudah ditentukan. Teknik observasi partisipasi ini dilakukan
dengan menggunakan buku catatan guna memperoleh dan mencatat data
yang mungkin muncul diluar dugaan.
3.8. Wawancara Mendalam
Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan
pertanyaan secara langsung oleh peneliti (Soehartono, 1999:67). Wawancara
dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali
keterangan yang dibutuhkan dalam mengkontruksi realitas yang ada.
Pertanyaan harus dibuat luwes serta disesuaikan dengan kondisi kebutuhan,
sehingga baik peneliti maupun informan dapat saling memahami.
Wawancara secara garis besar dibagi dua yaitu wawancara tak struktur dan
wawancara terstruktur. Wawancara tak terstruktur sering juga disebut
wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara kualitatif,
wawancara terbuka dan wawancara etnografis; sedangkan wawancara
terstruktur sering juga disebut wawancara baku yang susunan
pertanyaannya sudah ditetapkan sebelumnya dengan pilihan-pilihan
jawaban yang juga sudah disediakan.
Menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 2003:135) maksud
mengadakan wawancara antara lain: mengkonstruksi mengenai orang,
kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian
dan kebutuhan lain; Merekontruksi kejadian yang dialami masa lalu;
Memproyeksikan harapan dimasa yang akan datang; Memverifikasi,
mengubah dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain; Juga
memverifikasi, mengubah dan memperluas kontruksi yang dikembangkan
oleh peneliti sebagai pengecekan data. Jadi wawancara dimaksudkan
untuk melakukan refocus, klarifikasi, menggali kesadaran kritis, dan
meminta penjelasan dan informasi kepada responden.
Dalam melakukan wawancara, peneliti harus bersifat netral dan tidak
mengarahkan jawaban responden, artinya jawaban atau tanggapan yang
diberikan merupakan pemahaman yang sebenarnya, dan bukan jawaban
yang ideal menurut responden. Dalam wawancara peneliti tidak hanya
memfokuskan perhatiannya pada jawaban yang diberikan, tetapi juga
memperhatikan gerakan-gerakan nonverbal. Dalam hal ini, peneliti membuat
suatu daftar wawancara terhadap subyek yang menjadi obyek penelitian
dalam bentuk format isian atau pedoman wawancara dan dilakukan secara
fleksibel, tidak serta merta terpaku pada pedoman wawancara.
Interviu merupakan salah satu cara pengambilan data yang dilakukan
melalui kegiatan komunikasi lisan dalam bentuk tersetruktur, semi
terstruktur, dan tak tersetruktur. Interviu yang tersetruktur merupakan bentuk
interviu yang sudah diarahkan oleh sejumlah pertanyaan secara ketat.
Interviu semi terstruktur yaitu meskipun interviu sudah diarahkan oleh
sejumlah daftar pertanyaan tidak tertutup kemungkinan memunculkan
pertanyaan baru yang idenya muncul secara spontan sesuai dengan
konteks pembicaraan yang dilakukannya. Interviu secara tak terstruktur
(terbuka) merupakan interviu dimana peneliti hanya berfokus pada pusat-
pusat permasalahan tanpa diikat format-format tertentu secara ketat.
Pelaksanaan wawancara bisa secara individual atau kelompok. Dalam
interviu secara individual maupun kelompok tersebut peneliti sebagai
interviewer bisa melakukan interviu secara directive, artinya peneliti selalu
berusaha mengarahkan topik pembicaraan sesuai dengan fokus
permasalahan yang mau dipecahkan. Namun demikian bisa juga peneliti
melakukan interviu secara nondirentive. Hal ini dilakukan apabila peneliti
bukannya ingin memfokuskan pembicaraan pada suatu masalah tetapi juga
ingin mengeksplorasi suatu masalah (Fatchan, 2011: 81-82).
3.9. Studi Dokumen
Untuk melengkapi hasil penelitian, peneliti menggunakan pula data
yang bersumber dari dokumen-dokumen yang terkait dengan hal penelitian
ini. Dokumen yang membantu dalam penelitian ini antara lain; teks berita
dari Koran maupun artikel majalah, teks dokumen resmi, brosur, foto dan
sebagainya. Data yang diperoleh merupakan data pendukung terhadap hasil
pengamatan dan wawancara yang dilakukan. Sumber dokumen lain seperti
surat atau catatan pribadi yang sebenarnya dapat memberikan informasi
penting, dalam hal ini tidak dimasukkan sebagai bahan kajian.
3.10. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan
kedalam suatu pola, kategori, dan satuan urutan dasar. Dalam penelitian
kualitatif, analisis data dilakukan sepanjang penelitian berlangsung. Hal ini
dilakukan melalui deskripsi data penelitian, penelahan tema-tema yang ada,
serta penonjolan pada tema tertentu (Creswell, 1998:65).
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
mengikuti tiga tahap analisis data yang ditawarkan oleh Miles dan Huberman
yaitu: reduksi data, penyajian (display) data, dan penarikan kesimpulan serta
verifikasi, yang diskematisasikan sebagai berikut:
Gambar 3.3 Komponen-Komponen Analisis Data: Model Interaktif
Sumber: Mattew B. Miles & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Terjemahan Tjetjep Rohendi, UI-Press, h.20.
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan
Reduksi Data
Setelah proses pengumpulan data, maka dilakukan analisis data.
Langkah awal dalam analisis data adalah melakukan reduksi data. Data atau
informasi yang ada dikelompokkan sesuai dengan topik permasalahan
penelitian. Dalam konteks penelitian ini, dilakukan pengelompokkan data
yang berkaitan dengan Soetrisno Bachir, menjadi dua kategori data yaitu
data tentang pandangan Soetrisno Bachir tentang diri, keluarga dan
lingkungannya (yang berkaitan dengan konsep dirinya), orientasi sosial
(motif dan karier) serta pengelolaan kesan.
Setelah reduksi data, maka dilakukan penyajian (display) data,
setelah data direduksi, tersusun secara sistematis dan dikelompokkan
sesuai dengan jenis dan polanya, selanjutnya disusun dalam bentuk bagan-
bagan atau narasi-narasi sehingga membentuk rangkaian informasi yang
bermakna sesuai dengan permasalahan penelitian.
Langkah berikutnya adalah pengambilan kesimpulan dan
verifikasi. Setelah melewati tahap pertama dan kedua, selanjutnya langkah
yang harus diambil adalah mengambil kesimpulan. Kesimpulan diambil
berdasarkan hasil reduksi dan penyajian data. Setelah mendapatkan
kesimpulan langkah selanjutnya adalah verifikasi. Verifikasi dilakukan
dengan cara mencari data baru yang lebih mendalam untuk mendukung
kesimpulan yang sudah didapatkannya. Tahap ini dimaksudkan untuk
menghindari kesalahan interpretasi dari hasil wawancara dengan sejumlah
informan penelitian yang dapat mengaburkan makna persoalan sebenarnya
dari fokus penelitian ini. Dalam tahap ini, juga dimungkinkan untuk dibuatnya
model sebagai bentuk konstruk derajat kedua (second order construct) dari
penelitian ini.
3.11. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data.
Setiap penelitian ilmiah bertujuan menghasilkan pengetahuan yang
obyektif. Artinya, kebenarannya yang dihasilkan dibatasi oleh kesepakatan
serta bakuan-bakuan ilmu pengetahuan, dan oleh kenyataan empiris yang
dikaji. Dua kriteria yang penting bagi obyektivitas suatu penelitian kualitatif
menurut Kirk dan Miler adalah keandalan (reliability) yang menyangkut
langkah-langkah penelitian tersebut, dan kesahihan (validity) yang berkaitan
dengan isi penelitian.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen pokok.
Reliabilitas dan validitas data banyak ditentukan oleh hubungan antara
peneliti dengan sasaran penelitiannya. Peneliti bukan saja dituntut
menguasai alat-alat konseptual dan teoritis yang relevan dengan gejala
yang ditelitinya, tetapi juga perlu pula mengetahui keragaman para calon
responden dan informannya menurut kedudukan masing-masing dalam
struktur sosial dan struktur interaksi yang ada dikehidupan yang nyata.
Relevansi disini adalah signifikansi dari pribadi terhadap lingkungan senyatanya.
Usaha menemukan kepastian dan keaslian merupakan hal yang penting
dalam penelitian kualitatif. Validitas data juga perlu dijaga dengan
penggabungan berbagai sumber informasi serta metode pengumpulan data.
Upaya agar mendapatkan data yang valid peneliti melakukan seperti berikut.
3.11.1. Triangulasi data
Triangulasi pada hakekatnya merupakan pendekatan multimetode
yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis
data. Ide dasarnya adalah bahwa fenomena yang diteliti dapat
dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi
jika didekati dari berbagai sudut pandang. Memotret fenomena
tunggal dari sudut pandang yang berbeda-beda akan
memungkinkan diperoleh tingkat kebenaran yang handal. Oleh
karena itu triangulasi adalah usaha mengecek kebenaran data atau
informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang
berbeda dengan cara mengurangi sebanyak mungkin bias yang
terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data (Mudjia Rahardjo).
Konsep triangulasi digunakan dalam penelitian ini, dilandasi asumsi
bahwa setiap bias yang inheren dalam sumber data, peneliti, atau
metode tertentu, akan dinetralkan oleh sumber data, peneliti atau
metode lainnya (Creswell, 1994:174). Reliabilitas dan validitas hasil
penelitian dapat dikendalikan secara terencana melalui triangulasi.
Triangulasi merujuk pada penggabungan berbagai metode dalam
suatu kajian tentang satu gejala tertentu. Reliabilitas dan validitas
data dijamin dengan membandingkan data yang diperoleh dari satu
sumber atau metode tertentu dengan data yang didapat dari sumber
atau metode lain.
Sebagai bukti konkrit informasi dari teks berupa berita
yang menginformasikan bahwa subyek penelitian melakukan
kegiatan sosialnya berupa hibah sebuah bangunan gedung
bertingkat tujuh kepada Persyarikatan Muhammadiyah dengan nilai
kurang lebih enam puluh milyar rupiah. Dengan adanya berita
tersebut, peneliti mencari bukti berupa dokumen yang berupa serah
terima dan bukti sertifikat tanah.
3.11.2. Member check
Dengan suatu upaya meningkatkan keabsahan data dalam kajian ini
dilakukan member check yaitu memeriksa dan mendiskusikan hasil
penelitian dengan subyek maupun dengan para informan dengan
tujuan agar diperoleh pengertian dan kesimpulan yang tepat dan
melihat kekurangan-kekurangan yang ada untuk dimantapkan
sehingga menjadi data yang akurat.
3.11.3. Ketekunan pengamatan
Maksud melakukan pengamatan dengan tekun, untuk menemukan
cirri-ciri dan unsure-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan
persoalan atau isu yang sedang dicari, sehingga penyelidikan lebih
dapat dipusatkan pada hal-hal tersebut secara rinci. Oleh karena itu,
peneliti melakukan observasi partisipasi dan tinggal atau membaur
beberapa waktu di daerah penelitian bersama subyek yang sedang
diteliti. Tujuannya agar para peneliti dapat dengan tekun melakukan
pengamatan terhadap berbagai pembicaraan atau perbincangan,
perilaku/perbuatan dan atau tindakan subyek penelitian, Dengan
melakukan begitu peneliti dapat memahami dengan baik noumena
yang ada dibalik semua pembicaraan dan tindakan mereka itu.
3.11.4. Persistent observation
Melalui observasi yang dilakukan secara terus menerus mengikuti
subyek penelitian diharapkan agar memahami secara utuh dan
menyeluruh terhadap gejala yang timbul dari berbagai percakapan
ataupun tindakan yang dilakukan oleh subyek penelitian.
3.11.5. Teknik Analisis dan Penafsiran Data
Dalam penelitian kualitatif sejak pengumpulan data yang pertama,
peneliti sudah harus melaksanakan analisis dan penafsiran data.
Analisis tersebut dilakukan secara terus menerus dan simultan,
hingga ditemukan suatu simpulan yang benar, alamiah, dan seperti
apa adanya. Jenis teknik analisis data tersebut yaitu; analisis kasus
perkasus, analisis antar kasus, analisis kawasan, analisis taksonomi,
analisis komponensial, analisis tematik, dan analisis interaktif.
BAB IV
PAPARAN DATA DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
Pemaparan mengenai lokasi penelitian berdasarkan letak geografis merupakan
bagian penting untuk dikemukakan. Dalam bab ini secara garis besar menyajikan
paparan data dan hasil penelitian yang terdiri dari beberapa pokok bahasan,
antara lain: gambaran umum Kota Pekalongan dan Kota Jakarta sebagai lokasi
penelitian, deskripsi informan penelitian, analisis data hasil penelitian, dan
proposisi penelitian.
4.1. Gambaran Umum
4.1.1. Gambaran Umum Kota Pekalongan
Kota Pekalongan terletak di pesisir pantai utara Provinsi Jawa
Tengah. Kota ini berbatasan dengan laut jawa di utara, Kabupaten
Pekalongan di sebelah selatan dan barat dan Kabupaten Batang di timur.
Kota Pekalongan terdiri atas 4 kecamatan, yakni Pekalongan Utara,
Pekalongan Barat, Pekalongan Selatan dan Pekalongan Timur. Kota
Pekalongan terletak di jalur pantai Utara Jawa yang menghubungkan
Jakarta-Semarang-Surabaya. Kota Pekalongan berjarak 384 km di timur
Jakarta dan 101 km sebelah barat Semarang. Kota Pekalongan mendapat
julukan kota batik. Hal ini tidak terlepas dari sejarah bahwa sejak puluhan
dan ratusan tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi
batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah. Akibatnya batik Pekalongan
menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan. Batik telah
menjadi nafas penghidupan masyarakat Pekalongan dan terbukti tetap
138
dapat eksis dan tidak menyerah pada perkembangan jaman, sekaligus
menunjukkan keuletan dan keluwesan masyarakatnya untuk mengadopsi
pemikiran-pemikiran baru. Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik
mulai dikenal di Pekalongan, namun menurut perkiraan batik sudah ada di
Pekalongan sekitar tahun 1800. Bahkan menurut data yang tercatat di
Deperindag, motif batik itu ada yang dibuat 1802, seperti motif pohon kecil
berupa bahan baju.
Perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang
Diponegoro atau perang Jawa pada tahun 1825-1830. Terjadinya peperangan
ini mendesak keluarga kraton Mataram serta para pengikutnya banyak yang
meninggalkan daerah kerajaan terbesar ke Timur dan Barat. Di daerah-
daerah baru itu mereka kemudian menggembangkan batik. Ke arah timur
berkembang dan mempengaruhi batik yang ada di Mojokerto, Tulunggagung,
hingga menyebar ke Gresik, Surabaya, dan Madura. Sedangkan ke barat
berkembang di banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan.
Dengan adanya migrasi ini, maka batik Pekalongan yang telah berkembang
sebelumnya semakin berkembang, Terutama di sekitar daerah pantai
sehingga Pekalongan kota, Buaran, Pekajangan, dan Wonopringgo.
Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa
seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang pada zaman lampau
telah mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik. Sehingga
tumbuh beberapa jenis motif batik hasil pengaruh budaya dari berbagai
bangsa tersebut yang kemudian sebagai motif khas dan menjadi identitas
batik Pekalongan. Motif Jlamprang diilhami dari Negeri India dan Arab. Motif
Encim dan Klenengan, dipengaruhi oleh peranakan Cina. Motif Pagi-Sore
dipengaruhi oleh orang Belanda, dan motif Hokokai tumbuh pesat pada
masa pendudukan Jepang.
Kota Pekalongan memiliki pelabuhan perikanan terbesar di Pulau
Jawa. Pelabuhan ini sering menjadi transit dan area pelelangan hasil
tangkapan laut oleh para nelayan dari berbagai daerah. Selain itu Kota
Pekalongan banyak terdapat perusahaan pengolahan hasil laut,seperti ikan
asin, ikan asap, tepung ikan, terasi, sarden, dan kerupuk ikan, baik perusahaan
bersekala besar maupun industri rumah tangga. Kota Pekalongan terkenal
dengan nuansa religiusnya, karena mayoritas penduduknya memeluk agama
Islam. Ada beberapa adat tradisi di Pekalongan yang tidak dijumpai di
daerah lain semisal; syawalan, sedekah bumi, dan sebagainya. Syawalan
adalah perayaan tujuh hari setelah Idul Fitri dan disemarakkan dengan
pemotongan lopis raksasa untuk kemudian dibagi-bagikan kepada para
pengunjung.
Nama Pekalongan sampai saat ini belum jelas asal-usulnya, belum
ada prasasti atau dokumen lainnya yang bisa dipertanggungjawabkan, yang
ada hanya berupa cerita rakyat atau legenda. Dokumen tertua yang
menyebut nama Pekalongan adalah Keputusan Pemerintah Hindia Belanda
(Gouvernements Besluit) Nomer 40 tahun 1931:nama Pekalongan diambil
dari kata ‘Halong‘ (dapat banyak) dan dibawah simbul kota tertulis ‘Pek-
Alongan‘. Kemudian berdasarkan keputusan DPRD Kota Besar Pekalongan
tanggal 29 januari 1957 dan Tambahan Lembaran daerah Swatantra Tingkat
I Jawa Tengah tanggal 15 Desember 1958, Serta persetujuan Pepekupeda
Teritorium 4 dengan SK Nomer KTPS-PPD/00351/II/1958:nama Pekalongan
berasal dari kata ‘A-Pek-Halong-An‘ yang berarti pengangsalan (Pendapatan).
Pada masa VOC (abad XVII) dan pemerintahan Kolonial Hindia
Belanda, sistem Pemerintahan oleh orang pribumi tetap dipertahankan.
Dalam hal ini Belanda menentukan kebijakan dan prioritas, sedangkan
penguasa pribumi ini oleh VOC diberi gelar Regant (Bupati). Pda masa ini,
Jawa Tengah dan jawa Timur dibagi menjadi 36 kabupaten Dengan sistem
Pemerintahan Sentralistis. Pada abad XIX dilakukan pembaharuan
pemerintahan dengan dikeluarkannya Undang-Undang tahun 1954 yang
membagi Jawa menjadi beberapa Gewest/Residensi. Setiap Gewest
mencakup beberapa afdelling (setingkat kabupaten) yang dipimpin oleh
asisten Residen, Distrik (Kawadenan) yang dipimpin oleh Controleur, dan
Onderdistrict (Setinkat kecamatan) yang dipimpin Aspiran Controleur.
Di wilayah Jawa Tengah terdapat lima Gewest, Yaitu:
• Semarang gewest yang terdiri dari semarang, Kendal, Demak, Kudus,
Pati, Jepara dan Grobongan.
• Rembang Gewest yang terdiri dari Rembang, Blora, Tuban, dan
Bojonegoro
• Kedu Gewest yang terdiri dari Magelang, Temanggung, Wonosobo,
Purworejo, Kutoarjo, Kebumen, dan karanganyar.
• Banyumas Gewest yang terdiri dari Banyumas, Purwokerto, Cilacap,
Banjarnegara, dan Purbalingga.
• Pekalongan gewest terdiri dari Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan,
Batang.
Pada pertengahan abad XIX dikalangan kaum liberal Belanda muncul
pemikiran etis-selanjutnya dikenal sebagai Politik Etis‘ yang menyerukan
Program Desentralisasi Kekuasaan Administratip yang memberikan hak
otonomi kepada setiap Karesidenan (Gewest) dan Kota Besar (Gumentee)
serta pemmbentukan dewan-dewan daerah di wilayah administratif tersebut.
Pemikiran kaum liberal ini ditanggapi oleh Pemerintah Kerajaan Belanda
dengan dikeluarkannya Staatbland Nomer 329 Tahun 1903 yang menjadi
dasar hukum pemberian hak otonomi kepada setiap residensi (gewest); dan
untuk Kota Pekalongan, hak otonomi ini diatur dalam Staatblaad Nomer 124
tahun 1906 tanggal 1 April 1906 tentang Decentralisatie Afzondering van
Gelmiddelen voor de Hoofplaatss Pekalongan uit de Algemenee
Geldmiddelen de dier Plaatse yang berlaku sejak tanggal ditetapkan. Pada
tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menandatangani
penyerahan kekuasaan kepada tentara Jepang. Jepang menghapus
keberadaan dewan-dewan daerah, sedangkan Kabupaten dan Kotamadya
diteruskan dan hanya menjalankan pemerintahan dekonsentrasi.
Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus oleh dwitunggal Soekarno-Hata di Jakarta,
ditindaklanjuti rakyat Pekalongan dengan mengangkat senjata untuk
merebut markas tentara Jepang pada tanggal 3 Oktober 1945. Perjuangan
ini berhasil, sehingga pada tanggal 7 Oktober 1945 Pekalongan bebas dari
tentara Jepang. Secara yuridis formal, Kota Pekalongan dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomer 16 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus
1950 tentang Pembentukan Daerah Kota Besar dalam lingkungan Jawa
Barat/Jawa Tengah/Jawa Timur dan Daerah Istimewa Jogjakarta.
Selanjutnya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, maka Pekalongan berubah
sebutannya menjadi Kotamadya Dati II Pekalongan. .
Terbitnya PP Nomer 21 Tahun 1988 tanggal 5 Desember 1988 dan
ditinjaklanjuti dengan Inmendagri Nomor 3 Tahun 1989 merubah batas
wilayah Kotamadya Dati II Pekalongan sehingga luas wilayahnya berubah
dari 1.755 Ha menjadi 4.465,24 Ha dan terdiri dari 4 Kecamatan, 22 desa
dan 24 kelurahan. Sejalan dengan era reformasi yang menuntut adanya
reformasi disegala bidang, diterbitkan PP Nomer 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan PP Nomer 32 Tahun 2004 yang mengubah
sebutan Kotamadya Dati II Pekalongan menjadi Kota Pekalongan.
Kota Pekalongan terletak di Pantai Utara Pulau Jawa, dengan
orbitasi antara 6°50’44’’-6°55’44’’ Lintang Selatan dan 109°37’55’’-
109°42’19’’ Bujur Timur. Batas-batas wilayah administratif Kota Pekalongan
yaitu: Sebelah Utara berbatasan Laut Jawa; Sebelah Timur berbatasan
Kabupaten Batang; Sebelah Selatan berbatasan Kabupaten Pekalongan
dan Kabupaten Batang. Sebelah Barat adalah Kabupaten Pekalongan.
Jarak terjauh dari Utara ke Selatan ± 9Km dan dari Barat ke Timur ± 7 Km.
Luas Wilayah Kota Pekalongan 4.525 ha dengan topografis terletak di
dataran rendah pantai Utara Pulau Jawa, dengan ketinggian lahan antara 0 -
6 meter dpl dengan keadaan tanah berwarna agak kelabu jenis tanah aluvial
kelabu kuning dan aluvial yohidromorf.
Secara administratif Kota Pekalongan terbagi menjadi 4 kecamatan
dan 47 kelurahan, yaitu antara lain; Kecamatan Pekalongan Barat, terdiri
dari 13 kelurahan; Kecamatan Pekalongan Timur, terdiri dari 13 kelurahan;
Kecamatan Pekalongan Selatan, terdiri dari 11 kelurahan; Kecamatan
Pekalongan Utara, terdiri dari 10 kelurahan.
Dari luas Kota Pekalongan seluas 4.525 ha, terdiri dari tanah sawah
seluas 1.266 ha dan tanah kering seluas 3.259 ha. Tanah sawah sebagian
besar yang memiliki irigasi teknis seluas 1.164 ha. Sedangkan lahan kering
dipergunakan untuk pemukiman, bangunan dan pekarangan seluas 2.543
ha, tegalan seluas 299 ha, dan rawa-rawa yang tidak ditanami seluas 171
ha, serta lahan pertambakan seluas 163 ha.
Jumlah Penduduk Kota Pekalongan pada tahun 2005-2009
mengalami peningkatan, tahun 2005 sebanyak 264.932 jiwa meningkat pada
tahun 2009 menjadi 276.158 jiwa yang terdiri dari 134.332 jiwa laki-laki
(48,64%) dan 141.826 jiwa perempuan (51,36%), jumlah rumah tangga
adalah 82.473 KK. Rata-rata setiap rumah tangga terdiri dari 3 – 4 jiwa,
termasuk kategori rumah tangga kecil. Rata-rata kepadatan penduduk
sebesar 6.484 jiwa per Km², termasuk tingkat kepadatan tinggi dibandingkan
dengan Jawa Tengah (1.002 jiwa).
Tabel 4.1.
Keadaan Penduduk Kota Pekalongan Tahun 2004-2009
Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Luas Daerah
(Km²) 45,25 45,25 45,25 45,25 45,25 45,25
Jumlah
Penduduk 264.932 267.574 268.47 271.99 273.911 276.158
Kepadatan
Penduduk
(per Km²)
5.855 5.913 5.933 6.011 6.053 6.484
Jumlah
Rumah
Tangga
66.092 66.556 66.778 67.2 67.675 82.473
Sumber: BPS Kota Pekalongan 2009
Distribusi penduduk per kecamatan tidak merata, di mana konsentrasi
penduduk terbanyak terdapat pada Kecamatan Pekalongan Barat, yakni
mencapai 87.905 jiwa. Sementara jumlah penduduk terkecil pada
Kecamatan Pekalongan Selatan, yaitu sebanyak 51.354 jiwa. Sedangkan
Kecamatan Pekalongan Utara sebanyak 72.625 jiwa, dan Kecamatan
Pekalongan Timur sebanyak 64.274 jiwa. Perbandingan jumlah penduduk
per kecamatan secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.2.
Jumlah Penduduk per Kecamatan
No Kecamatan Jenis Kelamin
Jumlah Laki-laki Perempuan
1 Pekalongan Barat 42649 45256 87905
2 Pekalongan Timur 30854 33420 64274
3 Pekalongan Selatan 25513 25841 51354
4 Pekalongan Utara 35316 37309 72625
JUMLAH 134332 141826 276158
Sumber : ‘Kota Pekalongan Dalam Angka 2009‘ (Bappeda & BPS, 2010)
4.1.2. Fenomena Kota Jakarta dalam Mempengaruhi Entrepreneurship.
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta adalah ibukota Negara Indonesia,
yang merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status wilayah
setingkat provinsi. Jakarta dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa
sebelum tahun 1527, Jayakarta (1527-1619), Batavia (1619-1942), dan Djakarta
(1942-1972). Pada tahun 2004, luasnya sekitar 740 km2; dan pendudukya
berjumlah 8.792.000 jiwa.
Jakarta berlokasi di halaman utara pulau Jawa, di muara sungai Ciliwung,
Teluk Jakarta. Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggin rata-rata 8 meter
di atas permukaan laut. Hal ini mengakibatkan Jakarta sering dilanda banjir.
Selatan Jakarta merupakan dataran tinggi yang dikenal dengan daerah Puncak.
Jakarta dialiri oleh 13 sungai yang kesemuanya bermuara ke Teluk Jakarta.
Sungai yang terpenting ialah Ciliwung, yang membelah kota menjadi dua.
Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan
disebelah Barat berbatasan dengan provinsi Banten. Kepulauan seribu, sebuah
kabupaten administrative, terletak di Teluk Jakarta. Sekitar 105 pulau terletak
sejauh 45 km (28 mil) sebelah utara kota.
Jakarta memiliki suhu udara yang panas dan kering atau beriklim tropis.
Terletak di bagian barat Indonesia, Jakarta mengalami puncak musim penghujan
pada bulan Januari dan Februari dengan rata-rata curah hujan 350 milimeter (14
inchi) dengan suhu rata-rata 27 0C. Curah hujan antara bulan Januari dan awal
Februari sangat ekstrim, pada saat itulah Jakarta dilanda banjir setiap tahunnya,
dan puncak musim kemarau pada bulan Agustus dengan rata-rata curh hujan 60
milimeter (2,4 inchi). Bulan September dan awal Oktober adalah hari-hari yang
sangat panas di Jakarta, suhu udara dapat mencapai 40 0C. Suhu rata-rata
tahunan berkisar antara 25 0C – 38 0C (77 0- 100 0F). Sebagaimana dapat dilihat
dalam grafik di bawah ini:
Jumlah penduduk Jakarta sekitar 7.512.323 (2006), namun pada siang
hari, angka tersebut akan bertambah seiring datangnya para pekerja dari kota
satelit seperti Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Depok. Kota/Kabupaten yang
paling dapat penduduknya adalah Jakarta Timur dengan 2.131.341 penduduk,
sementara Kepulauan Seribu adalah kabupaten dengan paling sedikit penduduk,
yaitu 19.545 jiwa20. Berikut table pertambahan jumlah penduduk kota Jakarta dari
tahun 1870-2010
Tabel 4.3.
Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Jakarta
Tahun
Jumlah penduduk
1870 65.000
1875 99.100
1880 102.900
1883 97.000
1886 100.500
1890 105.100
1895 114.600
1901 115.900
1905 138.600
1918 234.700
1920 253.800
1925 290.400
1928 311.000
1930 435.184
Tahun/Tanggal Jumlah penduduk
1940 533.000
1945 600.000
1950 1.733.600
1959 2.814.000
31 Oktober1961 2.906.533
24 September1971 4.546.492
31 Oktober1980 6.503.449
31 Oktober1990 8.259.639
30 Juni 2000 8.384.853
1 Januari 2005 8.540.306
1 Januari 2006 7.512.323
Juni 2007 7.552.444
2010 9.588.198 *
Sumber GPS (* Sensus Penduduk 2010)
Selain diakui oleh Warga Negara Indonesia, di kota Jakarta juga terdapat
penduduk yang berasal dari luar negeri atau warga negar asing (WNA) yang
menetap. Secara rinci mengenai jumlah penduduk Jakarta berdasarkan jenis
kelamin dan asal keturunan dapat dilihat dalam table berikut ini:
Table 4.4.
Jumlah Penduduk Provinsi DKI Jakarta berdasarkan Jenis Kelamin dan Asal Keturunan/Kewarganegaraan
Wilayah
WNI
WNA
Total
LK
PR
Jumlah
LK
PR
Jumlah
Jakarta Pusat
501.932
411.744
919.676
181
146
337
920.013
Jakarta Utara
777.170
645.502
1.422.672
269
240
509
1.423.181
Jakarta Barat
869.187
765.782
1.634.969
334
302
636
1.635.605
Jakarta Selatan
1.061.674
831.474
1.893.148
407
250
657
1.893.805
Jakarta Timur
1.429.913
1.203.513
2.633.426
127
109
236
2.632.662
Sumber : Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi Oktober 2010
Jumlah penduduk dan komposisi etnis di Jakarta berubah dari tahun ke
tahun. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa setidaknya
terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta. Suku Jawa merupakan etnis
terbesar dengan populasi 35,16% penduduk kota.
Populasi orang Jawa melebihi suku Betawi yang terhitung sebagai
penduduk asli Jakarta. Orang jawa banyak yang berprofesi sebagai pegawai
negeri, buruh pabrik, atau pembantu rumah tangga. Etnis Betawi berjumlah
27,65% dari penduduk kota. Mereka pada umumnya berprofesi di sector
informal, seperti pengendara ojek, calo tanah, atau pedagang asongan.
Pembangunan Jakarta yang cukup pesat sejak awal tahun 1970-an, telah banyak
menggusur kaum etnis Betawi di pinggiran kota. Tanah-tanah milik orang Betawi
di daerah Kemayoran, Senayan, Kuningan dan Tanah Abang, knini telah terjual
untuk pembangunan sentral-sentral bisnis.
Disamping orang Jawa dan Betawi, orang Tionghoa yang telah hadir
sejak abad ke-17, juga menjadi salah satu etnis besar di Jakarta. Mereka biasa
tinggal mengelompok di daerah-daerah pemukiman mereka sendiri, yang biasa
dikenal dengan istilah Pecinan. Pecinan atau kampong Cina dapat dijumpai di
Glodok, Pinangsia dan Jatinegara. Namun kini banyak perumahan-perumahan
baru yang mayoritas di huni oleh orang Tionghoa, seperti perumahan di wilayah
Kelapa Gading, Pluit, dan Sunter.
Orang Tionghoa umumnya berprofesi sebagai pengusaha. Banyak
diantara mereka yang menjadi pengusaha terkemuka, menjadi pemilik perusahan
manufaktur, perbankan, dan perdagangan ekspor-impor. Disamping etnis
Tionghoa, etnis Minangkabau juga banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Di
pasar-pasar tradisional kota Jakarta, perdagangan grosir dan eceran banyak
dikuasai oleh orang Minang.
Table 4.5 Komposisi etnis Kota Jakarta
Etnis
Persentase
Jawa Betawi Sunda
Tionghoa Batak
Minangkabau Melayu Bugis
Madura Banten Banjar
35,16% 27,65% 15,27% 5,53% 3,61% 3,18% 1,62% 0,59% 0,57% 0,25% 0,10%
Data berdasarkan sensus penduduk tahun 2000
Agama yang dianut oleh penduduk DKI Jakarta beragam, menurut data
pemerintah DKI pada tahun 2009, komposisi penganut agama di kota ini adalah:
Islam (84,4%), Kristen Protestan (6,2%), Katolik (5,7%), Hindu (1,2%), Buddha
(3,5%) dan Tidak Beragama (0,3%).21
Nama Jakarta dianggap sebagai kependekkan dari kata Jayakarta. Nama
ini diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon dibawah pimpinan Fatahillah
(Faletehan) setelah merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari Kerajaan Sunda pada
tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasa diterjemahkan sebagai kota kemenangan
atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah “kemenangan yang diraih oleh
sebuah perbuatan atau usaha” dari bahasa Sansekerta Jayakarta nama lain atau
sinonim “Jayakarta” pada awal adalah “Surakarta”.
Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu perlabuhan kerjaan
Sunda yang bernama Sunda Kelapa (397-1527), berlokasi di Muara Sungai
Ciliwung. Ibukota kerjaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran
atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kelapa
selama dua hari perjalanan.
Menurut sumber Portugis, Sunda Kelapa merupakan salah satu
pelabuhan yang dimliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang,
Cigede, Tamgara, dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut
Kalapa dianggap pelabuhan terpenting karena dapat ditempuh dari Ibukota
kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern:
dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari. Kerjaan Sunda sendiri
merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke-5 sehingga
pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan
merupakan ibukota Tarumanegara yang disebut Sundapura.
Pada abad ke-12, peabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang
sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan
Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti
poselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian kuda, anggur, dan zat warna untuk
ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Orang Eropa pertama yang datang ke Jakarta adalah orang Portugis.
Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada
di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari
kemungkinan serangan Cireboan yang akan memisahkan diri dari Kerjaan
Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka
tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya
Dikusumah di mana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu
Mundinglaya.
Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang
dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda
menyebut peristiwa ini tragedi karena penyerangan tersebut
membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat
Sunda disana termasuk sahbandar pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta
tangga 22 Juni adalah berdasarkan tragedy penaklukan peabuhan Sunda Kalapa
oleh Fatahillah pada tahun 1527 dan mengganti nama kota tersebut menjadi
Jayakarta (1527-1619) yang berarti “kota kemenangan”.
Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah
singgah di Banten pada tahun 1596. Pada tahun 1619, VOC dipimpin oleh Jan
Pieterszoon Coen menaklukan Jayakarta dan kemudian mengubah namanya
menjadi Batavia (1619-1942). Selama kolonialisasi Belanda, Batavia
berkembang menjadi kota yang besar dan penting. (Lihat Batavia). Untuk
pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja.
Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Republik Rakyat
Cina dan pesisir Malabar, India.
Sebagian berpendapat bahwa mereka ini lah yang kemudian membentuk
komunitas yang dikenal dengn nama suku Betawi. Walaupun sebelum mereka
datng sudah ada penduduk yang tinggal di wilayah Jayakarta dan pada umunya
menyingkir dari batas wilayah kekuasaan Belanda, merekalah penduduk asli
Jakarta yang sering disebut Suku Betawi. Sedangkan suku-suku dari etnis
pendatang, pada zaman kolonialisme Belanda, membentuk wilayah
komunitasnya masing-masing karena taktik Belanda “Divide Et Impera”. Maka di
Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan (Glodok),
Kampung Ambon, Bali Mester, Manggarai (suku di NTT).
Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan
terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyakorang
Tionghoa yang lari keluar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia
berkembang ke arah selatan. Tahu 1910, Belanda membangun kota taman
Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi tinggi Belanda menggantikan
Molenvliet di utara. Di awal abad ke-20, Batavia di Utara, Koningsplein, dan
Mester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah kota.
Ketika penjajahan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti
nama Batavia menjadi Jakarta (1942-1972) untuk menarik hati penduduk pada
Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda
sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
Semenjak dinyatakan sebagai ibukota, penduduk Jakarta melonjak
sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hamper
semua terpusat di Jakarta. Berbagai kantung pemukiman kelas menengah baru
kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Rawamangun,
dan Pejompongan. Pusat-pusat pemukiman juga banyak dilakukan secara
mandiri oleh berbagai kementerian, dan institusi milik Negara lainnya, seperti
Perum Perumnas.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan
proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Mesjid Istiqlal dan Monumen
Nasional. Pada masa ini pula Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai
dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-
Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat pemukiman besar pertama yang dibuat oleh
pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya)
pada akhir decade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.
Kerajaan Tarumanegara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda
Kalapa, pernah diserang dan ditaklukan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera.
Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh
sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan Bahasa Melayu, yang umum
digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa Nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-
20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis
yang berbeda degan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata
turunan dari Batavia).
Walaupun demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang
masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti Ancol, Pancoran,
Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah
menjadi Cideung dan terakhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai
dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[10]
yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa
Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa
Indonesia dialek Betawi. Bahasa daerah juga digunakan oleh para penduduk
yang berasal dari daerah lain, seperti Jawa, Sunda, Minang, Batak, Madura,
Bugis, dan juga Tionghoa. Hal demikian terjadi karena Jakarta adalah tempat
berbagai suku bangsa bertemu. Untuk berkomunikasi antar berbagai suku
bangsa, digunakan Bahasa Indonesia.
Selain itu, muncul juga bahasa gaul yang tumbuh di kalangan anak muda
dengan kata-kata yang terkadang dicampur dengan bahasa asing. Beberapa
contoh penggunaan bahasa ini adalah Please dong ah!, Cape deh!, dan So what
gitu loh!. Bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang paling banyak
digunakan, terutama untuk kepentingan diplomatic, pendidikan dan bisnis.
Bahasa Mandarin juga menjadi bahasa asing yang banyak digunakan, terutama
dikalangan pembisnis Tionghoa.
Budaya Jakarta merupakan budaya Mestizo, atau sebuah campuran
budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan ibu kota
Indonesia yang menarik pendatang dari seluruh Nusantara. Suku-suku yang
mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain
dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya
luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugal.
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh
penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah
yang ada di Provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun
tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk
melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
A. Kisah Indah Mengenang Kampong Kelahiran
Kampong Pesindon adalah salah satu kampong yang penduduknya
mempunyai keahlian dalam karya seni membatik. Pesindon nama kampong yang
selalu terbayang dalam benak Soetrisno Bachir, karena di kampong inilah subyek
penelitian di lahirkan. Kenangan indah serta perasaan rindu pada masa lalu,
perasaan rindu kepada seseorang yang telah tiada yang hanya bisa disampaikan
lewat do’a, selain do’a bisa juga berziarah ke makamnya mengenang saat-saat
indah bersamanya, kenangan indah bersamanya akan selalu abadi dalam
sanubari, rindu pada saat sekolah, rindu masa kecil yang berada dalam
lingkungan hiruk pikuknya orang-orang yang beraktivitas mengukir karya seni
yang menghasilkan sebuah komoditi. Kampong Pesindon telah mengukir sejarah
anak manusia dalam pembentukan karakter entrepreneur. Banyak hal yang telah
mempengaruhi kesuksesan Soetrisno Bachir sebagai entrepreneur, satu dalam
ikatan keluarga pedagang. Lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat
setempat merupakan pembentukan karakter yang paling berdampak pada
seseorang.
Benih-benih mimpi masa lalu kini menjadi kenyataan, seorang
entrepreneur yang kecukupan harta tapi hidup sederhana, suka menolong orang
yang sedang tertimpa musibah, peduli terhadap pendidikan terutama pendidikan
dalam bidang wirausaha. Sebagai wujut syukur dan mengenang masa kecil
ketika masih di kampong halaman, Soetrisno Bachir selalu memberikan sedekah
kepada orang-orang kampong Pesindon yang kurang mampu, ini sebagai wujut
cinta dan sayang terhadap kampong halaman dan lingkungan masyarakatnya.
B. Menyoal Masalah Kota Jakarta
Kota Jakarta sebagaimana umumnya kota metropolitan, kota yang
berpenduduk di atas 10 juta ini memiliki banyak persoalan dan masalah-masalah
sosial yang mendorong manusia untuk bertahan hidup. Kemacetan lalu-lintas,
menurunnya interaksi sosial karena gaya hidup individualistik juga menjadi
penyebab stress di kota Jakarta. Tata ruang kota yang tidak partisipatif dan tidak
humanis menyisakan ruang-ruang yang mengundang tindak laku criminal.
Menjamurnya kaum urban yang hendak mengadu nasib di kota Jakarta
kemudian hidup menjadi seorang gelandangan semakin menambah
kesemrawutan kota Jakarta. Ketertarikan pendatang untuk mencari peruntungan
di Jakarta dengan pertimbangan bahwa daerah asal sudah tidak lagi menjamin
kehidupan. Namun yang tidak mereka sadari, mengadu nasib ke Jakarta
bukanlah hal yang mudah tanpa persiapan ketrampilan yang memadai.
Lain halnya dengan orang yang mempunyai keahlian yang memadahi,
kota Jakarta merupakan kota yang sangat potensial untuk mengaplikasikan
mimpi besar bagi orang-orang yang berwawasan entrepreneur, seperti Soetrisno
Bachir seorang urban yang sukses dalam bisnisnya dan kota Jakarta merupakan
tempat aktivitas usahanya. Keberadaan kota Jakarta sebagai kota multi kultur
dan sebagai Ibu Kota Negara sudah sewajarnya sebagai pertemuan para
pengusaha di seluruh dunia. Bagi seorang pengusaha seperti Soetrisno Bachir
tidak mau kehilangan kesempatan atau peluang, di kota Jakarta inilah subyek
penelitian merintis bisnis hingga mencapai kesuksesan.
4.2. Deskripsi Subyek Informan Penelitian
Dalam penelitian ini melibatkan seorang subyek penelitian yaitu Soetrisno
Bachir dan empat (4) informan, informan pertama kakak kandung subyek
penelitian, informan yang kedua yaitu adik kandung, informan yang ketiga adalah
tokoh masyarakat yang mengerti tentang lahirnya subyek penelitian hingga
menjadi seorang entrepreneur, sedangkan informan yang keempat adalah rekan
bisnis sekaligus teman bermain sejak dikampung hingga sekarang menjadi mitra
bisnisnya. Seluruh informan yang telah dihubungi bersedia untuk menjadi
informan dan bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.
Adapun deskripsi informan penelitian sebagai berikut:
1. Adi Cahyantono Bachir
Bapak Adi Cahyantono Bachir yang biasa dipanggil pak Yanto adalah
kakak kandung bapak Soetrisno Bachir. Sebagai kakak kandung dan pelaku
entrepreneur, beliau sudah barang tentu mengerti sejarah perkembangan
Soetrisno Bachir dari sejak lahir hingga menjadi seorang entrepreneur. Ketika
ditemui di rumahnya tepatnya di Desa Pesindon Kota Pekalongan, sore hari
dengan cuaca yang begitu cerah sekitar pukul 16 an pak Yanto secara gamblang
dan raut muka yang menunjukkan kejujuran memberikan tanggapan terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan yang berhubungan dengan tujuan
penelitian. Pak Yanto yang sudah berumur 58 tahun ini dengan suara dan
tingkah laku, gerak-gerik mirip subyek penelitian memberikan penjelasan
mengenai sejarah Soetrisno Bachir dari lahir hingga menjadi seorang
entrepreneur sehingga menjadi sumber data dalam penelitian.
2. Eni Apria Diningsih
Ibu Eni adalah putri Bapak Achmad Bachir yang paling bungsu, selama
duduk di bangku kuliah ibu Eni ikut tinggal bersama bapak Soetrisno Bachir.
Bertemu dengan ibu Eni pada pagi hari sekitar jam 10 an di rumahnya sekaligus
tempat bekerja membatik. Ibu Eni sebagai pewaris usaha membatik dari keluarga
bapak Achmad Bachir dan Ibu Lathifah. Dari tujuh bersaudara, Ibu Eni adalah
satu-satunya pewaris yang melestarikan usaha keluarga dalam hal membatik.
Sebagai adik dan pernah tinggal bersama subyek penelitian, ibu Eni menjelaskan
dengan gamblang tentang suksesnya bapak Soetrisno Bachir dalam berbisnis.
3. Aisyah
Pertemuan dengan ibu Aisyah pada malam hari sekitar pukul 19 an di
rumahnya. Ibu Aisyah asli penduduk kampong Pesindon, Ibu Aisyah yang
berumur 71 tahun ini menjawab pertanyaan penelitian dengan jelas dan antusias
sekali. Semangat untuk menjelaskan subyek penelitian disebabkan beliau
mengerti betul bagaimana kehidupan Soetrisno Bachir dari sejak lahir hingga
menjadi entrepreneur. Ibu Aisyah pernah bekerja pada usaha batik yang dikelola
oleh bapak Achmad Bachir dan ibu Lathifah. Banyak pengalaman yang dialami
ibu Aisyah dalam hal batik membatik. Tempat tinggal ibu Aisyah tidak jauh dari
subyek penelitian, jadi ibu Aisyah mengerti betul kehidupan keluarga subyek
penelitian.
4. Siswadi
Pria kelahiran 7 September 58 ini bernama Siswadi yang biasa dipanggil pak
Sis. Separuh umur dalam hidupnya telah menjadi bagian mitra rekan bisnis
Soetrisno Bachir. Pak Siswadi kelahiran Pekalongan yang sudah 25 tahun
menjadi mitra bisnis pak Tris, mengetahui bagaimana pak Tris menjadi seorang
pengusaha. Pertemuan dengan pak Sis selalu di jadwalkan waktu menjelang
istirahat jam kantor, pukul 11 sampai dengan 13 siang. Dengan sambutan yang
selalu tersenyum, beliau memberikan informasi dengan semangat membeberkan
apa adanya tentang perjalanan bisnis Soetrisno Bachir.
Tabel 4.6. Data Demografik Informan Penelitian
Nama Informan & Jenis Kelamin (L/P)
Sebutan Status Dalam Penelitian
Kode Usia Asal Suku
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan
Soetrisno Bachir (L)
Trisno
Subyek Penelitian (Key Informan)
Pengu1
55 th
Jawa
Sarjana
Entrepreneur
Siswadi (L)
Sis
Rekan Bisnis
Pengu2
54 th
Jawa
Sarjana
Entrepreneur
Aisyah (P)
Aisyah
Penduduk
Pend
71 th
Jawa
Sekolah Dasar
Buruh
Adi Cahyantono Bachir (L)
Yanto
Saudara (kakak kandung)
Kel1
58 th
Jawa
Sarjana
Entrepreneur
Eni Apria Diningsih (P)
Eni
Saudara (adik kandung)
Kel2
47 th
Jawa
Sarjana
Entrepreneur
Sumber: Hasil Penelitian, 2013.
4.3. Analisis Data Hasil Penelitian
Pada sub bab ini menyajikan data hasil penelitian berdasarkan fokus
penelitian yang dianalisis berdasarkan model analisis data yang dikembangkan
oleh Miles dan Huberman (1994) yang terdiri dari tiga tahapan yaitu 1) paparan
hasil wawancara dan penentuan tema, 2) Display data kategorisasi, 3) penarikan
kesimpulan, seperti yang telah dijelaskan dalam bab III.
4.3.1. Paparan Hasil Wawancara dan Teks Kehidupan Subyek serta
Temuan Tema
Bahasa menurut Claude Lancelor dan Antoine Arnauld, adalah cermin
pikiran pemakainya. “Language is a mirror of thought” (Baert, 1998: 16).
Sedangkan dalam perspektif komunikasi, pernyataan di atas dipandang sebagai
bentuk komunikasi yang tidak ideal, sebab menurut Johannesen (1996: 50)
komunikasi harus lebih meningkatkan kerjasama sosial. Dari sudut retorika,
menurut Weaver dan Burke (dalam Johannesen, 1996: 4), pemilihan kata-kata
seperti itu dengan sendirinya mengekspresikan pilihan, sikap dan kecenderungan
komunikator. Menurut Hikam (1996: 81), sejauh bahasa adalah proses produksi
simbul, maka ia tidak bisa dipisahkan dari maksud sang pembicara. Sedangkan
hermeneutika Gadamerian Baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman
yang mengarah pada tingkat ontologism bukan metodologis, artinya kebenaran
dapat dicapai bukan melalui metode tetapi melalui dialektika dengan mengajukan
banyak pertanyaan. Dengan demikian bahasa menjadi medium sangat penting
bagi terjadinya dialog. Sebagai metode tafsir, hermeneutika menjadikan bahasa
sebagai tema sentral. memandang makna dicari, dikontruksi dan direkontruksi
oleh penafsir sesuai konteks penafsir dibuat sehingga makna teks tidak pernah
baku, senantiasa berubah tergantung dengan bagaimana, kapan dan siapa
pembacanya. Setelah melakukan wawancara mendalam dengan subyek
penelitian dan berbagai teks tentang tindakan subyek serta 4 orang informan
penelitian, diperoleh beberapa pernyataan seperti tampak pada tabel-tabel
berikut:
Tabel 4.7.
Telaah pandangan Soetrisno Bachir seorang entrepreneurship tentang diri dan lingkungannya
Subyek & Informan
Pernyataan
Tema yang muncul
Soetrisno Bachir
Saya merasakan sangat beruntung tinggal bersama gerombolan pedagang (kelompok pedagang) sehingga saya tahu jaringan gerombolan pedagang yang lain. Saya banyak dipengaruhi oleh orang tua dan kehidupan keluarga saya sebagai pedagang, model peranan yang sangat penting bagi saya adalah orang tua dan keluargaku. (Pengu1)
Pendidikan internal keluarga dan peran orang tua serta lingkungan
Siswadi
Banyak faktor ya, diantaranya disebabkan dia itu memang keluarga pengusaha, bapaknya, kakeknya, juga karena lingkungannya, pendidikan dari orang tuanya juga mengarah pendidikan berdagang, jadi yang ada dibenaknya pak Tri itu sudah penuh dengan selok belok pengusaha. (Pengu2)
Keluarga pengusaha dan pendidikan orang tua serta peran orang tua dan lingkungannya sebagai pemicu entrepreneur.
Aisyah
Saya ingat betul waktu kecil, masih sekolah SD, sering diajak ibunya keliling kampong berjualan batik, trisno itu anak yang nurut orang tua, ikut nyantri juga, wajar kalau sekarang jadi pengusaha, mungkin itu hasil didikan orang tuanya, nurun prigele dadi wong dagang. (Pend.)
Pengenalan berdagang sejak usia dini, pendidikan orang tua sangat mempengaruhi dan membentuk karakter entrepreneur.
Adi Cahyantono Bachir
Sebenarnya lulus SMA sudah mulai kegiatan bisnis, karena dari kecil memang sudah dididik dan memang dalam lingkungan pengusaha, terus mengembangkan bisnisnya itu, peluang yang ada memang usaha property ketika itu. (Kel1)
Kegiatan bisnis dimulai sejak kecil serta pengaruh dari kegiatan orang tua dan lingkungan yang mempengaruhi pola pikirnya.
Eni Apria Diningsih
Sejak saya masih sekolah dasar mas Tris sudah menjadi pengusaha, saya pikir penyebabnya pendidikan lingkungan keluarga kami. Saya selalu minta arahan dari mas Tris, agar bisnis batik warisan keluarga,bisa bertahan dan berkembang, semata-mata saya ingin tahu juga mengelola bisnis yang baik itu kaya apa, ya saya akan mencontoh mas Tris, kan harus tahu resepnya. (Kel2)
Terbentuknya karakter pengusaha dan pengembangan bisnis dengan menimba pengalaman dari pebisnis senior.
Tabel 4.8.
Telaah Orientasi Sosial yang meliputi pilihan karier dan motif setelah menjadi entrepreneurship
Informan Pernyataan Tema yang Muncul Soetrisno Bachir
Tidak ada profesi lain, saya ini dibesarkan dilingkungan orang yang beraktivitas berwirausaha, jadi dari kecil sudah dididik kemandirian, ya inilah saya sampai sekarang tekat saya menjadi pengusaha, saya mengharapkan dari teman-teman seprofesi saling bermitra, saling menjalin hubungan bisnis yang sehat dan selalu memikirkan lingkungan sosialnya, sadar akan tujuan hidup ini, harapan saya bagi teman yang dari kampong, secara khusus agar berupaya menjadi orang yang berdampak pada lingkungan dimana mereka dilahirkan dan secara umum mereka juga harus memikirkan dampak perekonomian Negara Indonesia yang kita cintai ini. (Pengu1)
Bertekat menjadi seorang entrepreneur karena cita-cita dan kebebasan berkarya setinggi mungkin. Serta pengembangan bisnis yang berorientasi sosial.
Siswadi
Harapan saya tentu saja lebih banyak lagi adanya wirausahawan-wirausahawan seperti pak Tris, juga dukungan saya untuk berbuat banyak lagi dalam hal mengurangi pengangguran dengan menciptakan usaha-usaha kecil sehingga masyarakat kecil bisa meningkatkan kesejahteraannya. (Pengu2)
Berprofesi sebagai pengusaha turut berkontribusi dalam perekonomian Negara dan menciptakan lapangan kerja sehingga turut mengentaskan kemiskinan.
Aisyah
Dari kecil saya melihat Trisno itu sudah tidak canggung dengan keadaan pasar tempat jualan batik, anaknya prigel, wajar kalau sekarang menjadi pengusaha besar, dan tidak lupa dengan kampong halamannya untuk berbagi, ya karena didikan orang tuanya, keturunan orang baik. Ah biasa, enggak ada yang berubah, Trisno itu dekat sekali dengan saya, Cuma kalau pulang itu tidak lama, trus balik ke Jakarta (Pend)
Karakter entrepreneur yang sukses selalu menjalin hubungan sosial dengan rekan bisnis maupun dengan masyarakat umum.
Adi Cahyantono Bachir
Saya yakin karena didikan dari keluarga kami, juga lingkunganlah secara alamiah menjadikan Trisno itu mengerti dan punya pengalaman dalam berwiraswasta, serta Trisno itu tidak suka terikat, dari dulu orangnya suka kebebasan dan sepertinya dari pengalaman itu muncullah kemandirinnya, sehingga Trisno menentukan pilihannya menjadi pengusaha. (Kel1)
Profesi entrepreneur bisa mengembangkan ide seluas mungkin,
Eni Apria Diningsih
Terutama bisa membuat keluarga bahagia karena kecukupan materi dan secara umum bisa memberikan hal terbaik buat masyarakat melalui karya yang bisa membuat orang lain mempunyai pendapatan. (Kel2)
Profesi pengusaha bisa memberikan dampak/perubahan perekonomian bagi masyarakat serta profesi entrepreneur merasa berguna bagi orang lain.
Tabel 4.9.
Telaah cara manajemen diri baik dengan orang lain maupun dengan sesama entrepreneurship
Informan Pernyataan Tema yang Muncul Soetrisno Bachir
Kalau yang dimaksud itu bisnis yang mempunyai indikasi ke arah bisnis yang tidak sehat, ya ada kaitannya dengan agama, saya diajarkan nilai-nilai kejujuran oleh orang tua saya, dulu saya disantrikan, alhamdullilah saya diberi kekuatan oleh Allah punya prinsip tidak ikut-ikutan bisnis yang tidak sehat. Komitmen saya terhadap keluarga tentang menjunjung nama baik, merupakan harga mati, dan itu merupakan karakter pengusaha terutama saya.(Pengu1)
Nilai-nilai kejujuran merupakan dasar prinsip karakter pengusaha
Siswadi
Sebenarnya kalau dipahami pertemuan bisnis pak Tris itu pengembangan dari silaturahmi, terjadinya komunikasi bisnis dengan tidak hanya pada orientasi keuntungan dunia tetapi ada nilai akhiratnya yaitu bisnis didasari dengan ibadah. (Pengu2)
Perlunya komunikasi dengan baik dan tidak hanya orientasi keuntungan tapi juga ada nilai ibadahnya.
Aisyah
Trisno itu orangnya senang main kesana kemari dengan teman sebayanya, tapi kalau saatnya nyantri ya harus nyantri, anaknya rajin,disiplin, sampai sekarang kalau pulang kampong ya, main ke tetangga, sosialnya tinggi, apalagi sekarang banyak duit, peduli dengan orang kampong sini. (Pend)
Komitmen dan disiplin dalam berbisnis merupakan tindakan yang penting, dalam menjalin hubungan kerja maupun bermasyarakat.
Adi Cahyantono Bachir
Sejak dulu Trisno itu kalau ada perlu langsung menemui, tapi jaman sudah maju, ya berhubungan dengan HP (handphone), bicara bisnis yang penting pegang prinsip
Prinsip berhubungan bisnis adalah kejujuran dan kepercayaan harus diangun dengan baik.
nilai-nilai kejujuran dan kepercayaan harus dibangun dengan baik.(Kel1).
Eni Apria Diningsih
Ya senang sekali, bangga punya kakak yang sukses dan mempunyai prinsip yang kuat artinya tidak terpengaruh pada teman sesama pebisnis maupun masyarakat lain yang memberikan informasi bisnis tapi tidak sehat, saya senang dan saya mencontohnya.(Kel2).
Pengusaha selalu melihat peluang yang ada dan prinsip kehati-hatian merupakan prinsip dalam pengambilan keputusan.
4.3.2. Display Data: Kategorisasi
Display data kategorisasi tema yang muncul berdasarkan pernyataan
informan yang selanjutnya nampak pada table-tabel berikut ini:
Tabel 4.10. Kategorisasi Tema
Menelaah pandangan Soetrisno Bachir seorang entrepreneurship tentang diri dan lingkungannya
Informan Tema yang Muncul Kategorisasi Tema
Pengusaha
Soetrisno Bachir Siswadi
Pendidikan internal keluarga dan peran orang tua serta lingkungan Keluarga pengusaha dan pendidikan orang tua serta peran orang tua dan lingkungannya sebagai pemicu entrepreneur.
Pendidikan keluarga dan lingkungan, Keluarga pengusaha, dan lingkungannya
Penduduk
(Masyarakat)
Aisyah
Pengenalan berdagang sejak usia dini, pendidikan orang tua sangat mempengaruhi dan membentuk karakter entrepreneur.
Pengenalan menjadi pengusaha sejak usia dini.
Keluarga Kandung
Adi Cahyantono Bachir (kakak) Eni Apria Diningsih (adik)
Kegiatan bisnis dimulai sejak kecil serta pengaruh dari kegiatan orang tua dan lingkungan yang mempengaruhi pola pikirnya. Terbentuknya karakter pengusaha dan pengembangan bisnis dengan menimba pengalaman dari pebisnis senior.
Pendidikan orang tua dan lingkungan mempengaruhi pola pikir Pembentukan karakter dan berbagi pengalaman dengan pebisnis senior.
Tabel 4.11. Kategorisasi Tema
Menelaah Orientasi Sosial yang meliputi pilihan karier dan motif
setelah menjadi entrepreneurship
Informan Tema yang Muncul Kategorisasi Tema
Pengusaha
Soetrisno Bachir
Bertekat menjadi seorang entrepreneur karena cita-cita dan kebebasan berkarya
Keluarga pedagang dan cita-cita menjadi pengusaha
Siswadi
setinggi mungkin. Serta pengembangan bisnis yang berorientasi sosial. Berprofesi sebagai pengusaha turut berkontribusi dalam perekonomian Negara dan menciptakan lapangan kerja sehingga turut mengentaskan kemiskinan.
Profesi pengusaha berkontribusi mengentaskan kemiskinan
Penduduk
(Masyarakat)
Aisyah
Karakter entrepreneur yang sukses selalu menjalin hubungan sosial dengan rekan bisnis maupun dengan masyarakat umum.
Karakter entrepreneur dan hubungan sosial
Keluarga Kandung
Adi Cahyantono Bachir (kakak) Eni Apria Diningsih (adik)
Profesi entrepreneur bisa mengembangkan ide seluas mungkin, Profesi pengusaha bisa memberikan dampak/ perubahan perekonomian bagi masyarakat serta profesi entrepreneur merasa berguna bagi orang lain.
Profesi entrepreneur Dampak perekonomian masyarakat dan negara
Tabel 4.12.
Kategorisasi Tema
Menelaah cara manajemen diri baik dengan orang lain maupun dengan sesama entrepreneurship
Informan Tema yang Muncul Kategorisasi Tema
Pengusaha
Soetrisno Bachir Siswadi
Nilai-nilai kejujuran merupakan dasar prinsip karakter pengusaha Perlunya komunikasi dengan baik dan tidak hanya orientasi keuntungan tapi juga ada nilai ibadahnya.
Nilai kejujuran Komunikasi bisnis dan etika
Penduduk
(Masyarakat)
Aisyah
Komitmen dan disiplin dalam berbisnis merupakan tindakan yang penting, dalam menjalin hubungan kerja maupun bermasyarakat.
Komitmen dan disiplin
Keluarga Kandung
Adi Cahyantono Bachir (kakak) Eni Apria Diningsih (adik)
Prinsip berhubungan bisnis adalah kejujuran dan kepercayaan harus diangun dengan baik. Pengusaha selalu melihat peluang yang ada dan prinsip kehati-hatian merupakan prinsip dalam pengambilan keputusan.
Kejujuran dan kepercayaan Prinsip kehati-hatian merupakan prinsip dalam pengambilan keputusan
4.3.3. Penarikan Kesimpulan
Dalam hal penarikan kesimpulan ini pada dasarnya menjelaskan hasil
temuan penelitian berdasarkan tujuan dan fokus penelitian yang diklasifikasikan
menurut jenis informan. Adapun temuan dan kesimpulan temuan penelitian
Nampak pada tabel sebagai berikut:
Tabel 4.13. Penarikan Kesimpulan Temuan Penelitian
Telaah pandangan Soetrisno Bachir seorang entrepreneurship tentang diri dan lingkungannya
Temuan Penelitian
Stakeholder Pengusaha
Temuan Penelitian
Stakeholder Penduduk
(Masyarakat)
Temuan Penelitian
Stakeholder Keluarga Kandung
Kesimpulan Temuan
Penelitian
Tema temuan
Penelitian
Pendidikan keluarga dan lingkungan, pengalaman dalam berbisnis ,pengambilan keputusan, pertemuan dan bertanya kepada pengusaha yang sukses lebih dahulu, menyadari adanya sebuah proses menjadi pengusaha dan mewujudkan mimpi yang besar menjadi kenyataan. Keluarga pengusaha, pendidikan orang tua dan lingkungannya
Pengenalan menjadi pengusaha sejak usia dini dan pendidikan internal keluarga
Pengenalan bisnis dimulai sejak kecil dan pendidikan orang tua serta pengaruh lingkungannya Pendidikan keluarga dan lingkungannya
Pemahaman tentang diri dan lingkungannya bermakna bahwa: (1) Siapa diri kita menurut diri sendiri dan siapa diri kita menurut orang lain (2) Lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat pembentuk karakter pengusaha (3) Pembentukan pola fikir pengusaha dimulai sejak usia dini.
Pendidikan keluarga dan lingkungannya
Tabel 4.14. Penarikan Kesimpulan Temuan Penelitian
Telaah Orientasi Sosial yang meliputi pilihan karier dan motif
setelah menjadi entrepreneurship
Temuan Penelitian
Stakeholder Pengusaha
Temuan Penelitian
Stakeholder Penduduk
(Masyarakat)
Temuan Penelitian
Stakeholder Keluarga Kandung
Kesimpulan Temuan
Penelitian
Tema temuan
Penelitian
Keluarga pedagang dan cita-cita menjadi pengusaha Profesi pengusaha lebih tampak berkontribusi terhadap perekonomian dan dampak sosial
Pendidikan orang tua dan hubungan antar manusia sebagai makhluk Allah yang sewajarnya dilakukan sebagai tali silaturohim dan komunikasi.
Pengaruh pendidikan keluarga dan lingkungan sekitarnya mempengaruhi prose terbentuknya karakter seseorang. Pendidikan keluarga dan lingkungan sekitarnya,
Pilihan karier dan motif dipengaruhi oleh Keluarga Pedagang, Pendidikan orang tua, pengaruh lingkungan dan cita-cita.
Keluarga Pedagang
Tabel 4.15. Penarikan Kesimpulan Temuan Penelitian
Telaah cara manajemen diri baik dengan orang lain maupun dengan sesama entrepreneurship
Temuan Penelitian
Stakeholder Pengusaha
Temuan Penelitian
Stakeholder Penduduk
(Masyarakat)
Temuan Penelitian
Stakeholder Keluarga Kandung
Kesimpulan Temuan
Penelitian
Tema temuan Penelitian
Pendidikan internal keuarga
Membangun hubungan dengan
Kejujuran dan kepercayaan merupakan
Manajemen diri bermakna bahwa tidak
Membangun komunikasi dengan mitra
menjadikan pengusaha jujur. Komunikasi bisnis mempunyai etika sehingga terjalin hubungan yang harmonis
masyarakat maupun dengan mitra bisnis harus selalu dilakukan dengan sopan dan jujur
prinsip dalam berbisnis. Prinsip kehati-hatian merupakan prinsip dalam pengambilan keputusan
terpengaruh pada peluang bisnis yang tidak sehat, prinsip kehati-hatian dasar membangun hubungan dengan rekan bisnis dan masyarakat
bisnis
Dari hasil analisis data penelitian di atas diperoleh beberapa kesimpulan
penelitian, antara lain:
1. Suatu ciri seorang entrepreneur aktif dan kreatif adalah melahirkan
taktik-taktik baru yang diperoleh dari pengalaman yang berkaitan
dengan menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk
kebutuhan hidup perusahaan. Hal tersebut dilakukan seorang
entrepreneur tujuannya agar kelangsungan hidup usahanya tetap
bertahan walaupun pada kondisi dinamika dan konjungsi sosial dan
ekonomi yang terus berubah.
2. Konsep diri seorang entrepreneur menentukan berbagai perilaku
komunikasi dan persepsi dalam fikirannya sebagai suatu realitas
dan kepribadiannya. Jika seorang entrepreneur ingin merubah
realitas dirinya maka harus pula mengubah persepsi dalam
fikirannya.
3. Proses belajar seorang entrepreneur yang aktif dan kreatif
komunikasi bisnis yang berupa proses penyampaian pesan,
gagasan, ide, fakta, makna dan konsep yang sengaja dirancang
sangat diperlukan. Hal tersebut diperlukan sebagai dasar
pembentukan kepribadian bisnis bagi seorang entrepreneur.
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Gambaran Diri Soetrisno Bachir Seorang Pengusaha
5.1.1. Konsep Diri Soetrisno Bachir
Dalam sub bab ini peneliti akan menyajikan hasil analisis
mengenai gambaran diri Soetrisno Bachir yang menjadi subyek penelitian
sebelum menjadi dan selama menjalani kehidupan sebagai pengusaha.
Gambaran ini peneliti peroleh dari hasil wawancara mendalam dengan
subyek penelitian. Sebelum itu peneliti akan menganalisis gambaran diri dari
subyek penelitian dari aspek fisik, psikologis dan sosial. Hal-hal yang
berkaitan dengan elemen fisik diantaranya meliputi segi jasmani dan
penampilan diri, sedangkan elemen yang bersifat psikis meliputi hal-hal yang
berkaitan dengan perilaku personal, misalnya tanggungjawab, harapan,
kemauan menerima, percaya diri, jujur. Elemen sosial erat kaitannnya
dengan kedudukan atau persepsi diri yang berkenaan dengan perilaku
sosial misalnya persahabatan, hubungan keluarga, tingkat pendidikan,
organisasi dan sebagainya.
Hal yang paling penting dalam menafsirkan kepribadian
seseorang adalah melalui konsep diri yang dimiliki oleh individu tersebut.
Konsep diri merupakan peranan yang paling utama sebagai faktor didalam
integrasi kepribadian, dalam memotivasi tingkah laku dan mencapai
kesehatan mental. Konsep diri dapat menentukan bagaimana individu
bertingkah laku dalam segala situasi. Pemahaman mengenai konsep diri
dapat memudahkan untuk memahami tingkah laku individu.
174
Konsep diri yang dimaksud dalam konteks penelitian ini adalah
semua pandangan subyektif dari setiap subyek peneitian, baik yang
menyangkut dirinya dan juga tentang lingkungannya, yang didalamnya
menyangkut pandangan tentang anak dan keluarganya, pandangannya
mengenai orang lain, pandangannya tentang profesinya, dan pandangannya
tentang arti kehidupan yang dijalaninya.
Konsep diri merupakan perasaan paling mendasar yang dimiliki
seseorang tentang dirinya yang juga sebagai patokan dan pijakan individu
bersangkutan untuk bertindak dan mengambil keputusan. Termasuk
keputusan seseorang untuk menjadi seorang pengusaha. De Vito (1997:37)
menyatakan:
“Self disclosure (pengungkapan diri) sebagai suatu bentuk komunikasi, dimana informasi tentang diri yang biasanya disimpan atau disembunyikan dikomunkasikan kepada orang lain. Self disclosure merupakan perilaku komunikasi dimana pembicara secara sengaja menjadikan dirinya diketahui pihak lain, Self disclosure terjadi apabila seseorang secara sukarela menceritakan mengenai dirinya kepada orang lain, dimana orang lain tersebut lebih senang mendapatkan informasi langsung dari yang bersangkutan daripada sumber lain”
Manusia merupakan makhluk sosial, karena itu kehidupan
manusia selalu ditandai dengan pergaulan jalinan relasi antar manusia.
Adapun hakekat pergaulan itu ditunjukkan antara lain oleh derajat keintiman,
frekuensi pertemuan, jenis relasi, mutu interaksi diantara mereka, terutama
faktor sejauhmana keterlibatan dan saling memengaruhi (Rahman,
2004:94). Pada dimensi interaksi dan hubungan pergaulan inilah manusia
melakukan komunikasi antar pribadi. Kemampuan setiap individu dalam
melakukan komunikasi antar pribadi tentunya sangat berbeda. Kepribadian
sebagai unsure psikologis dalam diri manusia merupakan sekumpulan sifat
yang diyakini akan menjadi cirri khas seseorang (karakter) dan gambaran
kualitas dirinya. Peran kepribadian manusia yang berpengaruh terhadap
komunikasi antar pribadinya sangat ditentukan oleh kualitas konsep dirinya.
Hurlock (1986) menyebut konsep diri sebagai “core” atau “center of gravity”,
yang mempengaruhi pengarahan energy manusia.
Dari uraian beberapa ahli tentang konsep diri dapat disimpulkan
bahwa konsep diri sebenarnya merupakan gambaran seseorang yang
relative stabil tentang dirinya yang berkenaan dengan pikiran dan perasaan
dirinya sendiri tentang psikis atau kejiwaan, fisik atau penampilan maupun
sosial kemasyarakatan berdasarkan pengalaman dan interaksi dirinya
bersama orang lain dalam pergaulan sehari-hari.
Dengan demikian konsep diri bukan hanya gambaran deskriptif
saja melainkan mencakup penilaian seseorang terhadap dirinya. Jadi
konsep diri meliputi apa yang dipikirkan dan dirasakan seseorang tentang
dirinya. Dalam konsep diri terdapat dua komponen yaitu komponen kognitif
atau disebut citra diri (self image) dan komponen afektif disebut harga diri
(self esteem), keduanya berpengaruh besar pada pola komunikasi
interpersonal. Self Esteem adalah suatu bentuk kebutuhan manusia untuk
merasakan bahwa dirinya dibutuhkan dan berharga bagi orang lain
sedangkan self image merupkan gambarn diri yang dimiliki oleh orang lain.
Konsep diri merupakan faktor yang sangat penting dalam
komunikasi antar probadi. Keberhasilan komunikasi antar pribadi banyak
bergantung pada kualitas konsep diri positif atau negatif. Konsep diri positif
mendukung keberhasilan komunikasi antar pribadi, sebaliknya konsep diri
yang negatif akan menghambat komunikasi antar pribadi.
a). Konsep diri Positif
Konsep diri positif sangat menunjang komunikasi antar pribadi dan
akan lahir pola komunikasi antar pribadi yang positif pula (Rakhmat,
1998:105). Orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal:
1. Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah 2. Ia merasa setara dengan orang lain 3. Ia menerima pujian tanpa rasa malu 4. Ia menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan,
keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat. 5. Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan
aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha merubahnya.
b). Konsep diri Negatif
Menurut Rakhmat (1998:104) kecenderungan untuk bertikah laku sesuai
dengan konsep diri disebut sebagai nubuat yang di penuhi sendiri.. Bila
anda berfikir anda orang bodoh,anda akan benar-benar menjadi orang
bodoh. Bila anda merasa memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan,
maka persoalan apapun yang anda hadapi pada akhirnya dapat di atasi.
Anda berusaha hidup sesuai dengan label yang anda lekatkan pada diri
anda. Menurut william De Brook dan Philip Emert (Rakhmat, 1976:42-43)
ada lima tanda orang yang memiliki konsep diri negative;
1. Ia peka terhadap kritik, orang ini sangat tidak tahan kritik yang di terimanya dan mudah marah atau naik pitam. Bagi orang ini koreksi seringkali dipersepsikan sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. Dalam komunikasi orang yang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog yang terbuka dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai justifikasi atau logika yang keliru.
2. Orang yang memiliki konsep diri yang negatif, responsif sekali terhadap pujian. Walaupun mungkin ia pura-pura menghindar dari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Buat orang-orang seperti ini, segala macam embel-embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatian.
Bersamaan dengan kesenangannya terhadap pujian, merekapun bersikap hiperkritis terhadap orang lain.
3. Heperkritis, Ia selalu mengeluh, mencela atau meremehkan apapun dan siapapun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain.
4. Cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan, karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan.
5. Bersikap pesimis terhadap kompetisi.
Konsep diri negatif dapat menghambat komunikasi antar pribadi.
Dalam berkomunikasi orang yang mempunyai konsep diri negatif cenderung
menghindari dialog terbuka dan selalu bersikeras mempertahankan
pendapatnya walaupun kadangkala degan argument yang tidak benar.
Pada penelitian mengenai konsep diri ada beberapa elemen yang
dapat dilihat melalui semua dimensi dari konsep diri (‘’me’’ bersifat pribadi
perceive self ’’me‘ ’bersifat ideal). Elemen yang dijadikan patokan dalam
mencari gambaran yang menyeluruh dari konsep diri tersebut adalah
elemen fisik, psikologi dan sosial. Elemen fisik meliputi segi jasmani dan
penampilan diri. Elemen psikologi mencakup sifat-sifat personal seperti
tanggung jawab, cepat marah, spontanitas, ambisi, panik, percaya diri,
mudah tertekan, dan sebagainya. Sedangkan elemen sosial meliputi
persahabatan, hubungan dengan kelurga, pendidikan, dan lain-lain yang
berkaitan dengan kedudukan individu sebagai anggota masyarakat.
Seorang pengusaha memiliki karakteristik yang khas yang membedakan
dengan manusia lainnya. Pandangan tentang diri (konsep diri) akan
mempengaruhi bagaimana karakter dan model komunikasi yang dilakukan
oleh seseorang dengan lingkungannya (Rakhmat, 2005:104). Konsep diri
dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau
penilaian seseorang terhadap dirinya. Seseorang dikatakan mempunyai
konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah,
tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang,
tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup.
Pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri bisa berada diantara dua titik
yaitu konsep diri negatif sampai konsep diri positif. Dengan mengetahui
posisinya, seseorang dapat menilai konsep dirinya mengarah kemana.
Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik
terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat
tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang
dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah sebelum berperang dan
jika gagal, aka ada dua pihak yang disalahkan, entah itu menyalahkan diri
sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain. Sebaliknya seseorang
dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya
diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu,juga terhadap
kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian,
namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga
untuk melangkah kedepan. Orang dengan konsep diri yang positif akan
mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat
dilakukan demi keberhasilan dimasa yang akan datang.
5.1.2. Gambaran Diri Subyek Pengusaha Soetrisno Bachir
Hasil temuan di lapangan setelah melakukan wawancara mendalam
dengan subyek penelitian, peneliti memperoleh hasil analisis yang dibuat
dalam kategori berdasarkan kecenderungan sikap, pandangan, persepsi dan
orientasi dari subyek penelitian. Pendapat, sikap, pandangan, motif dan
ungkapan-ungkapan sadar yang mereka ungkapkan saat wawancara
mendalam tersebut di atas merupakan landasan peneliti dalam memberikan
kategorisasi atas konsep diri yang mereka miliki.
Masalah-masalah rumit yang dialami manusia, seringkali dan
bahkan hampir semua, sebenarnya berasal dari dalam diri. Mereka tanpa
sadar menciptakan mata rantai masalah yang berakar dari problem konsep
diri. Dengan kemampuan berpikir dan menilai, manusia malah suka menilai
yang macam-macam terhadap diri sendiri maupun sesuatu atau orang lain
dan bahkan menyakini persepsinya yang belum tentu obyektif.
1). Keluarga Pedagang
Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu,
memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggungjawab
diantara individu tersebut. Dalam hidupnya dalam satu rumah tangga,
berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing dan
menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan (Reni Akbar, 2001;
129).
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar
pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan
situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan
pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan
yang terdapat dalam keluarga antara lain ayah sebagai suami dari istri dan
sekaligus ayah dari anak-anaknya, berperan sebagai pencari nafkah,
pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman sebagai kepala keluarga.
Sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari
kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk
mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya,
pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta
sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu
dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. Anak-
anak melaksanakan peranan sesuai dengan tingkat perkembangannya baik
fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Menurut Cassidy (dalam Reni Akbar, 2001; 130-131), beberapa
fungsi yang dijalankan keluarga adalah fungsi pendidikan dalam hal ini
dilihat dari bagaimana keluarga mendidik dan menyekolahkan anak untuk
mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak. Fungsi sosialisasi anak
dilihat dari bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota
masyarakat yang baik. Fungsi perlindungan dilihat dari bagaimana keluarga
melindungi anak sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa
aman. Fungsi perasaan dilihat dari bagaimana keluarga secara instuitif
merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dalam
berkomunikasi dan berinteraksi antar sesame anggota keluarga, sehingga
saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam
keluarga. Fungsi agama dilihat dari bagaimana keluarga memperkenalkan
dan mengajak anak untuk anggota keluarga lain melalui kepala keluarga
menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini dan kehidupan lain
setelah dunia. Fungsi ekonomi dilihat dari bagaimana kepala keluarga
mencari penghasilan serta mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga. Fungsi rekreatif dilihat dari
bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga.
Fungsi biologis dilihat dari bagaimana keluarga meneruskan keturunan
sebagai generasi selanjutnya. Memberikan kasih sayang, perhatian dan rasa
aman dalam keluarga serta membina pendewasaan kepribadian anggota
keluarga. Nabi Muhammad saw merupakan sosok yang dari berbagai sisi
memang layak untuk diteladani (Muhammad Syafii Antonio, 2011; 182-189).
Bachir Achmad dan Latifah Djahrie adalah sepasang suami istri
yang berhasil menata keluarga harmonis. Kurang lebih dua tahun setelah
beliau menikah tepatnya pada tahun 1953 mereka merintis usaha batik. Dari
sinilah mereka hidup sebagai profesi pedagang batik dan sekaligus sebagai
tumpuan hidup bagi kelauarga. Waktu membangun usahanya dulu bekerja
sendirian, merancang sistem bisnis sendiri, negosiasi sendiri, tapi pada saat
memasarkan bukan pak Bachir namun ibu Latifah, ini merupakan kebiasaan
para pengrajin batik dari pekalongan seperti yang disampaikan oleh
Soetrisno Bachir berikut;
…..kebiasaan pengrajin batik di Pekalongan ini, laki-lakinya yang berproduksi terus istrinya atau ibu-ibunya yang memasarkan keliling, kecuali kalau memasarkan keluar kota atau ke daerah-daerah yang jauh dari pekalongan itu biasanya yang memasarkan bapak-bapaknya.
usaha batik ini sudah turun temurun dari kakek trus ke pak Bachir, kami
benar-benar keluarga pedagang, oleh karena itu jiwa kami jiwa pengusaha
sejak kecil seperti disampaikan Soetrisno Bachir berikut;
waktu saya masih kecil sebelum masuk SD (sekolah dasar) saya selalu diajak keliling kampong bahkan diajak keluar masuk pasar untuk menjual batik hasil buatan bapak ( Bachir Achmad ) bahkan sudah sekolahpun saya juga selalu diajak untuk menjajakan batik, ya tentu saja setelah pulang sekolah dan itu merupakan kebiasaan
Generasi dagang ini hasil didikan keluarga, serta lingkungan yang mendukung,
baik itu lingkungan keluarga maupun lingkungan dimana saya tinggal.
2). Pendidikan Internal
Pendidikan internal dalam keluarga merupakan faktor terpenting
didalam membangun karakter seseorang termasuk karakter pengusaha.
Dalam pendidikan keluarga yang dijalankan cenderung kepada berbagai
fungsi, dari bagaimana keluarga mendidik dan menyekolahkan anak untuk
mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak. Fungsi sosialisasi
anak, dilihat dari bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi
anggota masyarakat yang baik. Fungsi perlindungan dilihat dari bagaimana
keluarga melindungi anak sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan
merasa aman. Fungsi perasaan dilihat dari bagaimana keluarga merasakan
perasaan dan suasana anak dan anggota keluarga yang lain
dalamberkomunikasi dan berinteraksi antar sesame anggota keluarga,
sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan
keharmonisan dalam keluarga. Fungsi agama, dilihat dari bagaimana
keluarga memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang
lain melalui kepala keluarga menanamkan keyakinan yang mengatur
kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Fungsi ekonomi, dilihat dari
bagaimana kepala keluarga mencari penghasilan, mengatur penghasilan
sehingga dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Fungsi rekreatif, dilihat dari
bagaimana keluarga menciptakan suasana yang menyenangkan dalam
keluarga. Fungsi biologis, dilihat dari bagaimana keluarga meneruskan
keturunan sebagai generasi selanjutnya. Jadi pendidikan keluarga
merupakan dasar untuk mengarahkan anak dalam menjalani kehidupannya.
5.2. Orientasi Sosial Pengusaha Soetrisno Bachir
5.2.1. Motivasi Menjadi Pengusaha
Pada sub bab ini peneliti menggambarkan dan membahas tentang
orientasi sosial meliputi motif dan pilihan karier pengusaha serta terkait
alasan tentang subyek melakukan suatu tindakan sebagai suatu pilihan
menjadi pengusaha. Dalam hubungan sosial manusia, tidak pernah terlepas
dari adanya motif atau dorngan yang melekat/menyertai tindakan manusia.
Dalam kesadaran intersubyektifnya, manusia melakukan pertukaran motif
(the reciprocity of motives) melalui proses membayangkan diri sendiri dalam
posisi orang lain dan memandang segala sesuatu melalui perspektif orang
lain. Motif ini dibagi menjadi dua jenis yaitu because motives dan in order
motives.
Motif pertama, merujuk kepada pengalaman masa lalu manusia
dan tertanamkan pengetahuannya itu (preconstituted knowledge) dan
berorientasi ke masa lalu. Motif kedua, merupakan tujuan yang digambarkan
sebagai maksud, rencana, harapan, minat dan sebagainya, yang diinginkan
oleh actor dan karena itu berorientasi ke masa depan (Deddy Mulyana,
2003:81).
Dengan penjelasan mengenai motif inilah, dapat diketahui
mengapa seseorang melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
Selanjutnya dari masing-masing motif tersebut ternyata berimplikasi pada
terciptanya kategori-kategori sosial, yang akhirnya mengarah pada identitas
yang lebih khusus. Identitas tersebut merupakan bentuk pengkhasan
(typication) dalam kontruksi realitas sosial berdasarkan kebiasaan-
kebiasaan perilaku yang ditunjukkan oleh pengusaha.
5.2.2. Persoalan Kemiskinan (Ekonomi)
Secara umum kemiskinan mempunyai arti ketidakmampuan
seseorang untuk memenuhi kebutuhan fisik dan nonfisik, memandang
kemiskinan dan cirri-cirinya sebagai suatu kebudayaan atau sebagai sub
kebudayaan dengan struktur dan hakekatnya yang tersendiri, yaitu sebagai
suatu cara hidup yang diwarisi dari generasi ke generasi melalui garis
keluarga (Suparlan, 1993:4-5).
Menjadi pengusaha merupakan jalan terbaik dari semua pilihan
dengan segala resiko yang harus diterima. Berdasarkan wawancara
mendalam dengan subyek penelitian yang terungkap bahwa subyek
mengungkapkan dirinya memutuskan menhjadi pengusaha atau
berwiraswasta dengan berbagai masalah dan resiko dalam perekonomiah.
Salah satu alasan yang mendorong subyek merantau ke Jakarta
dikarenakan usaha batik yang dikelola oleh keluarga sangat lambat
perkembangannya, sebagaimana diungkapkan subyek penelitian berikut:
Saya sudah lama ikut mengelola usaha batik BL (Bachir Latifah) dari tahun 1976 hingga 1980 an dan yang saya rasakan perkembangannya lambat sehingga saya berpikir harus mengembangkan usaha yang lain walaupun usaha batik ini mesti dipertahankan karena merupakan warisan keluarga sudah turun temenurun.
Subyek penelitian berpendapat bahwa dirinya menjadi pengusaha ini karena
keturunan dari orang tuanya dan perginya ke kota Jakarta dalam rangka
mengembangkan usahanya untuk memperkuat ekonominya.
Dalam penelitian ini, penulis menunjukkan bahwa kehadiran
subyek ke kota Jakarta merupakan wujud dari subyek yang aktif dan kreatif
yang degan segala kapasitasnya senantiasa bergeliat, merespon terhadap
situasi dan perubahan dan memilih satu peran yang paling menguntungkan.
Pada tahap selanjutnya, pengusaha sebagai salah satu golongan yang
berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi serta peduli terhadap
pengangguran turut membuat atribut-atribut pemerataan pendapatan
menjadi relative dan menjadikan atribut-atribut tersebut sebagai medium
untuk memproduksi strategi pertahanan hidup.
5.2.3. Persoalan Keluarga
Selayaknya jika anak ingin membahagiakan orang tua dengan
menunjukkan kemampuan kemandiriannya. Ini bukan masalah kemiskinan
ataupun ekonomi dalam keluarga tetapi keinginan bebas dari
ketergantungan orang tua, sebagaimana diutarakan oleh subyek:
“…..waktu itu yang ada dalam pikiran saya, hanya bagaimana
membahagiakan orang tuaku dengan mengikuti kemauan mereka, dan saya berpikir inilah nasibku, tapi semakin lama saya merenung sepertinya pas dengan kemauan saya yaitu kebebasan artinya saya bukan orang kantoran yang harus mengikuti aturannya”
Hal menarik yang turut mendorong subyek menjadi pengusaha, yaitu
keinginan dari orang tua yang selalu memberikan dorongan atas keyakinan
dan kemampuan sehingga menimbulkan kepercayaan diri atas kemamdirian
seseorang. Percaya diri merupakan modal awal seoraqng calon pengusaha
sukses. Jika seorang pengusaha bersikap pesimis akan usaha yang ia
bangun, maka bisnis tersebut tidak akan memiliki kekuatan untuk berjalan
lebih jauh, oleh karena itu seorang pengusaha harus tetap optimis akan
kesuksesan bisnisnya kelak.
Berkaitan dengan hal ini, Schutz menjelaskan bahwa dalam
hubungan sosial, manusia tidak pernah terlepas dari adanya motif atau
dorongan yang melekat/menyertai tindakan manusia. Dalam kesadaran
intersubyektifnya, manusia melakukan pertukaran motif (the reciprocity of
motives) melalui proses dengan cara membayangkan diri sendiri dalam
posisi orang lain dan memandang segala sesuatu melalui perspektif orang
lain. Motif ini dibagi menjadi dua jenis yaitu in order motives dan because
motives.
Motif pertama merupakan tujuan yang digambarkan sebagai
maksud, rencana, harapan, minat dan sebagainya, yang diinginkan actor
dan karena itu berorientasi ke masa depan. Motif kedua, merujuk kepada
pengalaman masa lalu manusia dan tertanamkan pengetahuannya itu
(preconstituted knowledge) dan berorientasi ke masa lalu. Dengan
penjelasan mengenai motif inilah, dapat diketahui mengapa seseorang
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan (Deddy Mulyana, 2003: 81).
Dari gambaran tersebut, jelas bahwa terdapat seperangkat
argumentasi yang menjadikan seseorang memilih menjadi pengusaha.
Menggambarkan bahwa pilihan itu hasil pendidikan informal dalam keluarga.
5.3. Pilihan Karier
5.3.1. Berkarier Sebagai Pengusaha
Berangkat dari keluarga yang berlatar belakang pedagang,
Soetrisno Bachir melewati masa kecilnya penuh dengan pendidikan dan
pembelajaran yang mereka lihat dalam lingkungan keluarga maupun
lingkungan masyarakat yang memang dilahirkan di kampong yang
berpenduduk berwiraswasta. Berkat kerja keras pada usia yang relatif
sangat muda ketika masih dibangku sekolah, Soetrisno Bachir sudah
produktif. Membantu orang tuanya memasarkan hasil industri batik,
sehingga Soetrisno Bachir sangat mungkin memahami terminologi dari
kosa kata bisnis,ia memiliki semangat kewirausahaan yang membantu
berfokus pada visinya dan memberinya energi untuk terus menemukan
gagasan-gagasan baru. Soetrisno Bachir mampu untuk menyoroti gagasan
dengan emosi yang benar dan strategi yang tepat, serta mengidentifikasi
sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil keuntungan dari sebuah
peluang. Jadi pengusaha itu mempunyai suatu pendapatan yang tidak
menentu serta mempunyai resiko yang tinggi dan itu ada disetiap kegiatan
transaksi. Suatu proses kekayaan yang dihasilkan menanggung resiko
dalam hal modal, waktu dan komitmen karier. Menjadi pengusaha yang
sukses diperlukan lebih dari sekedar kerja keras dan keberuntungan, tapi
juga dibutuhkan kemampuan untuk berpikir dalam lingkungan dalam tingkat
ketidakpastian yang tinggi, fleksibel dan belajar kesalahan orang lain.
Menjadi seorang pengusaha dan membangun usaha itu dibutuhkan waktu
yang lebih banyak serta upaya yang maksimal, seperti yang diutarakan
oleh subyek berikut ini:
“Menjadi pengusaha itu harus memahami adanya proses, nah proses ini terkait dengan sabar, saya menjalani proses wirausaha itu puluhan tahun untuk sukses, tapi ya inilah pilihan saya menjadi pengusaha, walaupun pendapatan tidak menentu, itu resiko pengusaha, pilihan karier saya tetap menjadi pengusaha”
Kesuksesan yang diraih dalam berwirausaha, menempuh perjalanan yang
sangat panjang dan proses sulit yang dilaluinya..
Sebagai seorang pengusaha, menyadari lebih banyak kesempatan
untuk berkarier setinggi mungkin dan berbuat sesuatu yang baik dan
berdampak terhadap lingungan sosialnya. Membangun karakter wirausaha
dengan baik maka akan muncul secara alamiah sebuah proses yang sangat
luar biasa seperti; mencintai pekerjan, jiwa dan sikap kewirausahaan
muncul seiring dengan proses kreatif dan inovatif, penuh dengan percaya
diri, dengan percaya diri maka muncullah keyakinan, optimis, berkomitmen,
disiplin bertanggung jawab, selalu memiliki inisiatif, cepat bertindak, aktif
dan penuh energy, juga memiliki motif berprestasi, akan muncul orientasi
hasil dan wawasan ke depan. Memiliki jiwa kepemimpinan, akan muncul
berani tampil beda, dipercaya serta tangguh dalam bertindak, berani
mengambil resiko dengan penuh perhitungan.
5.3.2. Jejak Rasulullah
Perjalanan hidup Rasulullah SAW dalam berdagang selama 25
tahun, menginspirasi banyak orang. Sang pencerah umat manusia ini,
merupakan seorang pedagang ulung yang hidupnya berada dalam keluarga
pedagang, sehingga membuatnya terlibat dalam urusan bisnis atau
berdagang sejak usia muda. Seperti yang diutarakan oleh subyek Soetrisno
Bachir sebagai berikut:
“……saya berusaha mengikuti cara berbisnis Nabi Muhammad SAW, saya juga dilahirkan di lingkungan keluarga pedagang, contoh Rasulullah dalam berdagang itu sangat aplikatif dalam jaman pasar bebas seperti sekarang ini. Masih sangat relevan cara manajemennya, kepemimpinannya dalam perusahaan, kejujuran, cara mengambil keuntungan dan saling menguntungkan kedua belah pihak, menjual produk yang berkualitas dan lain-lain pokoknya Nabi Muhammad SAW itu sang Uswatun Khasanah”.
Kesuksesan bisnis Rasulullah juga sangat dipengaruhi adanya faktor
lingkungan eksternalnya, usaha perdagangan Rasulullah terlibat dalam
perdagangan internasional, ini menandakan bahwa pentingnya jaringan
bisnis dan melihat peluang yang ada. Kesuksesan yang bermodal kejujuran
dan kepercayaan dapat membuktikan bahwa modal seorang pedagang tidak
hanya harta atau uang yang banyak. Dalam hal ini kepercayaan merupakan
amanah yang harus dilaksanakan dengan jujur, tidak merugikan orang lain,
menepati janji,memberikan pelayanan yang terbaik sehingga tidak
mengecewakan pelanggannya, juga memberikan kemudahan dalam
bertransaksi dagang. Mendapatkan laba atau keuntungan merupakan hal
yang penting dalam berbisnis, keberhasilan dalam memanfaatkan
keuntungan yang mempunyai nilai ibadah sangat membuat hati terasa
damai karena berdampak kemanusiaan dan janji Allah akan dilipatgandakan
bila berinfaq dan sodaqoh di jalan Allah. Seperti yang diutarakan oleh
subyek Soetrisno Bachir berikut:
Belum pernah saya dengar orang berinfaq dan bersodaqoh terus jatuh miskin, kalau tambah kaya saya percaya. Janji Allah itu pasti akan ditepati, karena tersurat dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW melakukan itu. Keuntungan
berbisnis ada haknya orang lain, jadi harus kita berikan kepada yang berhak menerimanya.
Jadi keutamaan berdagang atau berbisnis secara halal akan bernilai pahala,
mewujudkan keharmonisan sosial, kehormatan diri terjaga, syarat
terkabulnya do’a, menghapus dosa dan dihadapkan pada Allah dengan
wajah berseri. Memaknai berdagang cara Nabi, ketika berdagang tidak
sekedar menjual produk tapi juga menjual nilai-nilai (selling values) ketika
bertransaksi dengan mitra bisnis dan para pelanggannya. Berkat
keberhasilannya dalam menjual nilai-nilai itulah beliau menjadi pedagang
yang sukses. Maksud dari menjual nlai-nilai dalam konteks ini adalah
senantisa mengedepankan etika bisnis yang dijiwai dengan nilai-nilai syar’i.
Dalam Islam, bekerja atau berbisnis bukan sekedar kegiatan ekonomi,
melainkan aktivitas cermin keimanan, manifestasi tauhid dan bukti
ketinggian akhlaq dan barometer ketakwaan kepada Allah, aktivitas bisnis
yang tidak didasari keimanan adalah kezaliman.
5.3.3. Ekonomi Harus Kuat
Dalam kehidupan manusia selalu ada hasrat untuk mencapai hasil
yang terbaik guna mencapai kepuasan karena pada dasarnya adanya
kebutuhan yang harus dipenuhi. Rasulullah mengajarkan umatnya untuk
mengoptimalkan potensi jasmani dan rohani demi meningkatkan kualitas diri
termasuk dalam bekerja dan berbisnis. Begitu pentingnya untuk
mendapatkan rezeki secara halal. Seorang pekerja harus selalu termotivasi
dengan keinginan untuk mendapatkan keridhlaan Allah.
Harta harus disikapi dengan berorientasi pada kebaikan dan
manfaat yang optimal. Bukan untuk diri sendiri akan tetapi untuk
kebahagiaan bersama saudara-saudara yang lain. Pmilik harta yang mutlak
adalah Allah, sementara manusia hanyalah pemegang amanah.
Kepemilikan harta dapat ditempuh melalui usaha dan kerja keras, miskin
harta dapat membahayakan aqidah dan iman. Selain bisa menggoyahkan
keimanan dan mengarahkan diri kepada kekufuran, kemiskinan kerap
menimbulkan permasalahan dalam keluarga dan lingkungan. Diantara
permasalahan yang timbul akibat kemiskinan yaitu terancamnya
kelangsungan hidup berumah tangga, terjadinya pencurian, dan berbagai
tindak criminal lainnya. Seperti yang diutarakan oleh subyek penelitian:
“…..lebih baik memberi dari pada meminta, tangan kanan selalu di atas jangan miskin harta, karena kemiskinan itu dekat dengan kufur, kita harus banyak harta sehingga kita bisa berbagi dengan fakir miskin dan kaun dhuafa, intinya dalam kehidupan, ekonomi harus kuat dan berwiraswasta itulah jalan yang menurut saya tepat untuk mengatasi hal tersebut”.
Oleh karena itu, rezeki yang telah kita dapatkan harus kita manfaatkan
secara proporsional dan tepat sasaran karena nanti akan diminta
pertanggungjawabkan oleh Allah. Dari mana harta diperoleh dan kemana
dibelanjakan.
5.3.4. Membangun dan Mengembangkan Hubungan Sosial
Dalam hal ini akan disajikan hasil penelitian, analisis tentang
gambaran diri subyek penelitian dalam berinteraksi dengan lingkungan atau
mitra bisnis. Setiap individu dimana ia tinggal, mau tidak mau harus
berinteraksi dengan masyarakat. Itulah manusia yang secara kodrati
diciptakan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Setiap orang dalam
melakukan penyesuaian sosialnya berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya karena setiap individu itu berbeda-beda (individual differences)
dalam berbagai hal, begitu pula dalam hal penyesuaian sosial (social
adjustment), oleh karena itu diperlukan pemahaman terhadap makna
penyesuaian sosial.
Pergaulan manusia merupakan salah satu bentuk peristiwa
komunikasi dalam masyarakat. Menurut Schram (1974) diantara manusia
yang saling bergaul, ada yang saling membagi informasi namun ada pula
yang membagi gagasan dan sikap. Demikian halnya dengan pendapat Merill
dan Lowenstein (1971), bahwa dalam pergaulan manusia selalu terjadi
proses penyesuaian pikiran, penciptaan simbol yang mengandung suatu
pengertian bersama. Theodorson juga mengemukakan bahwa komunikasi
adalah proses pengalihan informasi dari satu orang atau sekelompok orang
dengan menggunakan symbol-symbol tertentu kepada satu orang atau
kelompok lain. Proses pengalihan informasi tersebut selalu mengandung
pengaruh tertentu.
Dalam kamus lengkap psikologi, Chaplin (2000: 469) memberikan
pengertian social adjustment sebagai perjalinan secara harmonis atau relasi
dengan lingkungan sosial, mempelajari pola tingkah laku yang diperlukan
atau mengubah kebiasaan yang ada, sedemikian rupa sehingga cocok bagi
satu masyarakat sosial. Horlock (1997: 287) memberikan pengertian tentang
penyesuaian sosial sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan
diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada
khususnya. Selanjutnya Hurlock menambahkan bahwa istilah penyesuaian
tersebut mengacu kepada seberapa jauhnya kepribadian seseorang
mempunyai manfaan secara baik dan efisien dalam masyarakat.
Pendapat Vebriarto (1994: 29), masyarakat modern yang serba
komplek sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi
dan urbanisasi memunculkan banyak masalah yang akan membawa
dampak negatif. Masalah sosial tersebut terjadi karena adanya
penyimpangan terhadap konsep masyarakat ideal. Masyarakat ideal adalah
masyarakat yang terbaik yang dicita-citakan, sehingga konsep masalah
sosial itu tergantung pada konsep tentang masyarakat sempurna atau
masyarakat yang disempurnakan. Konsep masyarakat ideal dipengaruhi
oleh kondisi masyarakat pada saat hidupnya, oleh karena itu masalah sosial
dapat ditentukan oleh kebudayaan.
Pada masyarakat yang mempunyai keteraturan sosial sering
memandang hal-hal yang diluar kewajaran sebagai sesuatu yang
menyimpang dan melanggar norma. Penyimpangan adalah setiap perilaku
yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma
kelompok atau masyarakat. Norma diciptakan dan menjadi pedoman bagi
masyarakat melalui proses kesepakatan sosial yang merujuk pada tuntunan
agama atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan
meskipun sesungguhnya norma-norma tersebut mengalami pergeseran dan
pada perkembangan selanjutnya bentuk-bentuk penyimpangan perilaku
sosial dianggap sebagai suatu kewajaran. Serangkaian norma-norma
penting, yang tidak dinyatakan dalam pepatah-pepatah dan tidak disadari
serta dianggap biasa merupakan aturan yang procedural untuk mengatur
kehidupan sosial sehari-hari dan pihak-pihak yang tidak mengikuti aturan
yang prosedural akan terkena bermacam-macam sanksi sosial (Berry, 2003:
62).
Pengusaha mampu menyakinkan diri untuk dapat melangsungkan
hidup dengan berwirausaha berkat kepercayaan dan pada kapasitas diri
sendiri. Pengusaha dengan pakasitas yang dimilikinya dituntut untuk
mengembangkan kreatifitasnya dalam memanfaatkan peluang-peluang yang
tersedia dan tersebar diantara actor-aktor lain dan diberbagai tempat serta
waktu dalam kehidupan berwiraswasta.
Dengan membangun hubungan sosial, seorang pengusaha akan
memperbesar kekuatan sekaligus kemampuannya berkomunikasi dengan
actor-aktor lain dan mengkoordinasikan tindakannya. Pada aspek actor-
aktor lain, seorang pengusaha membangun hubungan dengan rekan
bisnisnya yang diharapkan bisa saling member informasi bisnis yang
menguntungkan kedua belah pihak.
Kebudayaan pengusaha mencirikan golongan dalam lingkup
ekonomi yang lebih mapan lalu mengakibatkan sifat eksklusif individualis.
Menyadari kenyataan yang ada bahwa yang dapat menjamin kelangsungan
hidup berbisnis bukan diri sendiri, maka pengusaha mengembangkan taktik
dengan membangun hubungan-hubungan dengan pihak lain. Hubungan-
hubungan yang dimaksud adalah jaringan yang berifat bisnis. Hubungan
sosial tersebut diperlukan agar kepentingan dapat dipenuhi dan dapat
memperoleh sumber daya sosial-ekonomi dan mengatasi berbagai kesulitan
yang dihadapi.
Dalam hubungan-hubungan tersebut, terdapat dua kategori, yaitu
hubungan sosial horizontal dan hubungan sosial vertical sebagai motif
sosial. Hubungan sosial horizontal adalah hubungan-hubungan yang
melibatkan pihak-pihak yang memiliki status sosial-ekonomi yang relative
sama, dalam arti sumber daya yang diperolah maupun sumber daya yang
dipertukarkan. Sedangkan hubungan sosial secara vertical yaitu hubungan
yang dibangun yang tidak memiliki status sosial ekonomi yang simetris.
Apapun kategori hubungannya, hubungan-hubungan sosial yang
dibangun dapat berbasis kekerabatan, pertemanan dan jaringan bisnis.
Dengan hubungan sosial ini, pengusaha akan memperbesar kekuatan
sekaligus kemampuan mereka berkomunikasi dengan yang lain dan
mengkoordinasikan tindakan-tindakannya. Nilai-nilai dalam hubungan sosial
seperti kejujuran serta komitmen yang senantiasa dipelihara bukan hanya
pilihan yang bernilai secara etis, melainkan juga memiliki nilai ekonomis
Dalam hubungan-hubungan tersebut, ada konteks tertentu dalam
bentuk kepentingan-kepentingan khusus yang mengikat kedua belah pihak,
membangun kerjasama dan mewujudkan integrasi sosial diantara keduanya.
Hubungan ini mengindikasikan bahwa pengusaha memerlukan jaringan
sosial yang berusaha untuk memenuhi kepentingan-kepentingan dalam bisnis.
5.4. Pengelolaan Kesan Pengusaha Soetrisno Bachir
5.4.1. Pengelolaan Kesan (Impression Management) Pengusaha
Dalam penelitian sub bab ini akan dijelaskan dan dipaparkan
pertunjukan “diri” seorang pengusaha sebagai bentuk perilaku komunikasi
dalam beberapa bagian permainan peran yang dilakukan yakni setting
komunikasi yang meliputi; pertemuan investor dan lokasi bisnis serta
manajemen diri seorang pengusaha dengan mitra bisnisnya. Pada dasarnya
interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia menggunakan
simbol,merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomuniksi
dengan sesamanya. Itulah ineraksi simbolik dan itu pulalah yang mengilhami
perspektif dramaturgis, dimana Erving Goffman sebagai salah satu
eksponen interaksionisme simbolik, maka hal tersebut banyak mewarnai
pemikiran-pemikiran dramaturgisnya. Menurut interaksi simbolik, manusia
belajar memainkan peran dan mengasumsi identitas yang relevan dengan
peran-peran ini, terlibat dalam kegiatan menunjukkan kepada satu sama
lainnya siapa dan apa mereka.
Erving Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang
berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan
diterima orang lain, upaya tersebut sebagai “pengelolaan pesan” (impression
management), mengenai teknik-teknik yang digunakan actor untuk
memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu dan untuk mencapai
tujuan tertentu. Kebanyakan atribut yang dimiliki aktivitas manusia digunakan
untuk presentasi diri, termasuk busana yang di pakai, rumah yang di huni
dan perabotannya, cara berjalan dan berbicara, pekerjaan yang dilakukan
dean cara menghabiskan waktu luang, segala sesuatu yang terbuka
mengenai diri dapat digunakan untuk memberitahu orang lain siapa diri kita.
Dalam kebanyakan kasus, menurut Erving Goffman pelaku dan
khalayah mencapai apa yang disebut “consensus kerja” (working
consensus) mengenai definisi atas satu sama lain dan situasi yang
kemudian memandu interaksi mereka. Seperti actor panggung, actor sosial
membawakan peran, mengasumsikan karakter dan bermain melalui adegan-
adegan ketika terlibat dalam interaksi dengan orang lain.
Meskipun demikian Erving Goffman mengakui bahwa drama
kehidupan sosial sehari-hari, lebih penting daripada produksi teater bagi
mereka yang melaksanakan dan menyaksikannya. Erving Goffman
menunjukkan bahwa kedua jenis drama tersebut menggunakan teknik yang
sama yaitu actor sosial, seperti actor teater, tergantung kepada busana,
make-up, pembawaan diri, dialek, pernik-pernik dan alat dramatik lainnya
untuk memproduksi pengalaman dan pemahaman realitas yang sama.
Erving Goffman menyebut bahwa aktivitas untuk mempengaruhi orang lain
sebagai “pertunjukan” (performance). Sebagian pertunjukan itu mungkin kita
perhitungkan untuk memperoleh respon tertentu, sebagian lainnya kurang
kita perhitungkan dan lebih mudah kita lakukan karena pertunjukkan itu
tampak alami, walaupun pada dasarnya kita tetap menyakinkan orang lain
agar menganggap kita sebagai orang yang ingin kita tunjukkan.
Dalam usaha untuk mempresentasikan diri, terkadang sang actor
menghadapi antara citra diri yang ia inginkan dilihat orang lain, dengan
identits yang sebenarnya, karena ia memiliki stigma (cacat), baik stigma fisik
maupun stigma sosial. Dalam kasus stigma fisik, actor mangasumsikan
bahwa khalayak mengetahui bahwa actor memang secara fisik berbeda
dengan mereka, sedangkan dalam kasus stigma sosial khalayak tidak
mengetahui dan melihatnya. Bagi Erving Goffman tampaknya hampir tidak
ada isyarat seperti “berpaling kea rah lain”, atau “menjaga jarak” dengan
orang asing yang dimaksudkan untuk menjaga privasi orang adalah ritual
antar pribadi atau dalam istilah Erving Goffman menghargai diri yang
“keramat”, bukan sekedar adaptasi kebiasaan. Tindakan-tindakan tersebut
menandakan keterlibatan sang actor dan hubungan yang terbina dengan
orang lain, juga untuk menunjukkan bahwa sang actor layak atau berharga
sebagai manusia.
5.4.2. Pengelolaan Kesan Pengusaha berdasarkan setting Komunikasi
Pengusaha, sebagaimana digambarkan sebelumnya, mempunyai
salah satu tipologi kelompok pengusaha yang menyandang atribut dan asesori
eklusif (banyak uang) yang selalu melekat dengan dirinya. Sebagaimana
Shultz mengatakan bahwa manusia adalah makhluk kreatif, dinamis dan
memiliki keinginan bebas, demikian halnya dengan pengusaha yang
mempunyai keinginan pengembangan kreatifitas setinggi mungkin.
Sebagaimana Erving Goffman menyebut aktivitas untuk mempengaruhi
orang lain sebagai “pertunjukkan” (performance), sebagian pertunjukkan itu
mungkin kita perhitungkan untuk memperoleh respon tertentu dari orang lain.
Dalam penelitian ini dipaparkan beberapa strategi pertemuan investor dan lokasi
bisnis serta manajemen diri seorang pengusaha dengan mitra bisnisnya.
5.4.2.1. Pertemuan Investor
Bekerja sebagai pengusaha dituntut untuk memiliki keahlian
pendekatan antar manusia, melalui keahlian tersebut keberlanjutan
nasib bisnis bisa dipertahankan. Pertemuan antar investor selalu
dilakukan dengan waktu yang telah ditentukan dengan harapan
selalu memberi informasi bisnis yang menyegarkan.
5.4.2.2. Lokasi Bisnis
Seorang pengusaha selalu memperhitungkan keberadaan
lokasi bisnis sebagai tempat perusahaan beraktifitas. Letak
perusahaan yang strategis banyak menguntungkan bagi
perusahaan. Kelancaran aktivitas dalam berinteraksi dengan mitra
bisnis membuat mitra bisnis merasa nyaman dan tidak melelahkan
dalam menuju lokasi.
5.5. Manajemen Diri Pengusaha Soetrisno Bachir dengan Mitra Sesama
Pengusaha
Kaum dramaturgi memandang manusia sebagai actor-aktor di
atas panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran mereka.
(Litlejohn, 1999: 166). Dalam paradigm definisi sosial orang berpreilaku
sesuai dengan definisi yang dia buat berdasarkan realitas sosial yang
dihadapi dan menurut Erving Gofman tafsir atau situasi itu berlangsung
terus-menerus dalam kehidupan manusia, sehingga peran-peran yang
ditampilkannyapun terus berubah.
Manusia adalah actor yang berusaha untuk menggabungkan
karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan
dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep
dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang
mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukkan drama, seorang
actor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan
pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum,
penggunaan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya
bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan
memuluskan jalan mencapai tujuan.
Diri adalah produk dialektis sebagai hasil interaksi dramatis antara
actor dan audiens (Ritzer, 2003: 298). Bagi Erving Goffman individu tak
sekedar mengambil peran orang lain untuk melengkapkan citra diri tersebut
(Mulyana, 2004: 110). Erving Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-
orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan
diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesan”
(Impression Management), yakni teknik-teknik yang digunakan actor untuk
memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu dan ntuk mencapai
tujuan tertentu. Komunikasi interaksi, dan presentasi diri yang dilakukan oleh
pengusaha secara umum melakukan interaksi dan komunikasi dengan
kelompok atau sesama rekan pengusaha atau pebisnis.
Pengusaha selalu mengadakan hubungan komunikasi dengan
rekan sesama pengusaha dengan tujuan saling memberi manfaat
pengusaha yang satu dengan pengusaha yang lain, hubungan dengan
rekan sesama pengusaha ini dikembangkan berdasarkan pengalaman
mereka dalam hal saling tukar informasi untuk menopang kelangsungan
hidup bisnisnya, mereka terkadang saling bertemu dilokasi tertentu.
Persainangan bisnis merupakan hal yang wajar, kompetisi yang terbuka
menjadikan para pengusaha merasa nyawan dalam bersaing.
Pada umunya isu-isu yang berkaitan dengan persaingan internal
(antar pengusaha) relative kurang dianggap sebagai persoalan pokok yang
mengancam kelangsungan hidup bisnisnya. Walaupun persaingan antar
internal pengusaha dalam memperebutkan peluang bisnis potensial selalu
menghiasi kegiatan sehari-hari mereka, namun persoalan ini relative
tenggelam apabila dihadapkan pada persaingan kaum pengusaha dalam
mendapatkan peluang bisnis yang datangnya dari pesaing eksternal.
Keadaan semacam ini sebenarnya menambah kuatnya solidaritas kaum
pengusaha sebagai kelompok yang mendapatkan tekanan dalam berbisnis
dengan kelompok lain.
Pengusaha lain bukan hanya sebatas teman kerja, rekan sesama
pengusaha pada kondisi tertentu sudah seperti sebuah keluarga yang
mensosialisasikan nilai-nilai, saling menjaga, saling membantu juga saling
mengasuh satu dengan yang lainnya. Kadang-kadang saling mengingatkan
jika ada masalah diantara pengusaha. Dalam suatu komunikasi sosial
individu dituntut unutk menyesuaikan diri dengan lingkugannya, ini dapat
diawali oleh individu dengan cara melakukan pergaulan yang baik dan
harmonis sehingga tercipta sebuah persahabatan dan hubungan
bertemanan.
Dari penjelasan tentang aspek-aspek di atas memberikan makna
yang luas tentang penyesuaian sosial, bahwa penyesuaian sosial
merupakan suatu kemampuan seseorang untuk merespon realitas sosial
berdasar pada situasi dan hubungannya dengan ligkungan. Selain berbagi
pengalaman, rekan sesame pengusaha juga biasa saling menolong. Dalam
hal ini, sikap tolong menolong tersebut digerakkan oleh hubungan timbale
balik, artinya seseorang yang pernah menolong tentu akan menerima
pertolongan balik dari pihak yang pernah ditolongnya. Meskipun tampak
seperti tanpa pamrih bagaikan diberikan secara sukarela, pada akhirnya
pertolongan itu akan melahirkan kewajiban bagi pihak yang menerimanya
dikemudian hari untuk membalasnya.
Beberapa kunci sukses sebagai entrepreneur, orang yang punya
visi biasanya memiliki nilai dan kiat tertentu yang menonjol dan digenggam
erat hingga mengantarkannya menjadi pengusaha sukses. Dorongan dirinya
untuk menjadi seorang entrepreneur yang sukses yaitu kemauannya untuk
belajar dan mengembangkan diri. Pebisnis harus mencermati dan menjalani
prosesnya, proses yang baik harus diawali dengan membangun hubungan
yang baik dengan mitra bisnis. Untuk menjadi pebisnis yang handal ada
beberapa kunci suksesnya sebagai berikut:
1. Kunci utama berbisnis adalah menjaga hubungan baik dan menciptakan
kepercayaan antar mitra bisnis. Kemampuan berkomunikasi dan
kepribadian yang baik merupakan eloemen faktor sukses.
2. Pengembangan diri dengan terus belajar. Memperbanyak belajar dan
bertanya kepada entrepreneur senior tentang kesuksesan yang telah
diraihnya.
3. Kemampuan memimpin, serta jangan cepat merasa puas terhadap hasil
yang sudah diraih, harus terus melakukan penyempurnaan.
Dari hasil Penarikan Kesimpulan di atas, Temuan Penelitian ini selanjutnya dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 5.1 Model Progresif Turun Temurun
Kiat Sukses Seorang Entrepreneur
PRIBADI
- Pencapaian Locus of Control
- Toleransi - Pengambilan
resiko - nilai-nilai pribadi - pendidikan - pengalaman
ORGANISASI
- Kelompok - Strategi - Struktur - Budaya - Produk
SOSIOLOGI
- Jaringan kelompok
- Orangtua - Keluarga - ModelPeranan
PRIBADI
- Pengambilan resiko
- Ketidakpuasan - Pendidikan - Usia - komitmen
PRIBADI
- Wirausahawan - Pemimpin - Manager - Komitmen - Visi
MEMASUKI DUNIA
ENTREPRENEUR
MENJADI ENTREPRENEUR
SUKSES
SEBELUM MENJADI
ENTREPRENEUR
LINGKUNGAN
- Peluang - Model Peranan - Aktivitas
LINGKUNGAN
- Kompetisi - Sumber Daya - Inkubator - Kebijakan
Pemerintah
LINGKUNGAN
- Pesaing - Pelanggan - Pemasok - Investor, Bankir
Penjelasan Gambar 5.1. Model Progresif Turun Temurun Kiat Sukses Seorang Entrepreneur: Pemicu perilaku Entrepreneur dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor-faktor internal meliputi hak kepemilikan dan kemampuan, sedangkan
faktor eksternal meliputi lingkungan. Kemampuan afektif yang mencakup sikap,
nilai, aspirasi,perasaan dan emosi yang semuanya sangat tergantung pada
kondisi lingtkungan yang ada, maka dimensi kemampuan afektif dan kemampuan
kognitif merupakan bagian dari pendekatan kemampuan entrepreneur. Jadi
kemampuan entrepreneurship merupakan fungsi dari perilaku entrepreneur
dalam mengkombinasikan kreativitas, inovasi, kerja keras, dan keberanian
menghadapi resiko untuk memperoleh peluang..
Proses entrepreneur diawali dengan adanya inovasi, inovasi tersebut
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yaitu pendidikan, sosiologi,
organisasi, kebudayaan, dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut membentuk
locus of control, kreativitas, implementasi dari faktor pribadi, sosiologi maupun
organisasi, sehingga dapat membuat seseorang berkembang menjadi
entrepreneur yang sukses. Inovasi dipicu oleh faktor pribadi, sosiologi dan
lingkungan. Faktor individu yang memicu entrepreneur yaitu pencapaian locus of
control, toleransi, pengambilan resiko, nilai-nilai pribadi, pendidikan, pengalaman,
usia, komitmen, dan ketidakpuasan. Faktor pemicu yang berasal dari lingkungan
yaitu peluang, model peran, aktivitas, pesaing, incubator, sumber daya, dan
kebijakan pemerintah, sedangkan faktor pemicu yang berasal dari lingkungan
sosial meliputi keluarga, orang tua, dan jaringan kelompok. Jadi tahap perintisan
sampai dengan pertumbuhan seorang entrepreneur sangat tergantung pada
kemampuan pribadi, organisasi dan lingkungan. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan seorang entrepreneur yaitu pesaing, pelanggan,
pemasok, dan lembaga-lembaga keuangan yang akan membantu pendanaan.
Faktor yang berasal dari pribadi yaitu komitmen, visi, kepemimpinan dan
kemampuan manajerial, sedangkan faktor yang berasal dari organisasi yaitu
kelompok, struktur, budaya, dan strategi. Seorang yang sukses dalam
entrepreneur yaitu orang yang dapat menggabungkan nilai, sifat utama, dan
perilaku dengan bekal pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan praktis.
5.6. Proposisi Penelitian
1. Kiat seorang entrepreneur yang sukses berkaitan dengan konsep dirinya, pembentukan karakter, menjaga hubungan baik dan menciptakan kepercayaan antar mitra bisnis. Kemampuan berkomunikasi dan kepribadian yang baik, aktif dan kreatif melakukan taktik dan strategi baru, serta mampu mengatasi dalam menghadapi dinamika gejolak sosial dan ekonomi.
2. Seorang entrepreneur yang sukses terkait dengan aspek kemampuan mengkomunikasikan pola pikir dalam berbisnis, mau belajar sepanjang hayat tentang komunikasi, gagasan baru, ide baru, fakta baru dan konsep baru dalam berbisnis. Pilihan karier merupakan panggilan hati dalam konteks pengabdian diri untuk memberi manfaat kepada orang lain.
4. Proses menjadi seorang entrepreneur sukses dipengaruhi oleh internal keluarga dan lingkungan eksternal, pendidikan kewirausahaan sejak usia dini, pola pikir yang melingkupinya, pilihan hidup, sering melakukan komunikasi dengan para pebisnis senior, dan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam berbisnis. Kemampuan memimpin, serta tidak cepat merasa puas terhadap hasil yang sudah diraih, harus terus melakukan penyempurnaan.
5.7. Implikasi Hasil Penelitian
5.7.1. Implikasi Teoritis
Temuan penelitian ini mendukung tesis dasar yang diajukan oleh
Gadamer, Penjelasan yang diberikan oleh hermeneutika Gadamerian cukup
jelas, bahwa tidak bisa ada pemahaman tunggal terhadap apa yang
dikemukakan seorang pengusaha. Namun demikian telaah mendasar
perspektif Gadamerian menegaskan bahwa persoalannya tidak
sesederhana proposisi tersebut. Penggunaan bahasa sebagai piranti yang
ditujukan terhadap masyarakat penafsir yang berlawanan kepentingan,
karena akan diolah oleh masyarakat penafsirnya sehingga tampak menjadi
penipuan melalui bahasa. Gadamer menyinggung persoalan ini secara tidak
langsung sebagai bagian dari tanggapannya terhadap kritik yang diajukan
oleh Habermas.
Hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa,
permasalahan sosial tidak pernah lepas dari unsur bahasa sebagai
medianya, sebab bahasa merupakan sarana seseorang mengungkapkan
ide, berpikir, menulis, berbicara, mengapresiasi karya. Hermeneutika
sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan baik secara kolektif maupun
secara individu. Filsafat hermeneutika menguak seluruh realitas bahasa
sebagai ungkapan hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan
menjadikan bahasa sebagai pusat berawal dan berakhirnya segala
persoalan manusia. Jadi, Filsafat manajemen adalah bagian yang terpenting
dari pengetahuan dan kepercayaan dasar yang luas untuk menetapkan
pemecahan permasalahan manajerial. Oleh karena itu dalam filsafat
manajemen terkandung suatu dasar pandangan hidup yang mencerminkan
keberadaan, identitas, dan implikasinya guna mewujudkan efisiensi dan
efektivitas dalam pekerjaan manajemen. Faktor-faktor dasar dalam falsafat
manajemen yang diperlukan terdiri atas: kepentingan umum, tujuan usaha,
pimpinan pelaksana, kebijakan, fungsi, struktur organisasi, prosedur dan
moral kerja.
Mengikuti model Boulding (1963), tindakan bersama terbentuk
setelah mereka berhasil mengembangkan pemaknaan dan cara pandang
bersama. Pemaknaan dan cara pandang bersama ini pula yang secara
teoritik memungkinkan tumbuh kembangnya kesadaran akan kepentingan
objektif mereka. Bila proses berlangsung dalam kondisi teknik, sosial yang
kondusif, maka perkembangan kesadaran akan kepentingan objektif tidak
hanya membentuk kelompok tersembunyi tetapi juga bisa membentuk
konflik terbuka. Bila terjadi konflik terbuka maka dalam persaingan yang
tidak sehat, sehingga timbulnya kecurangan dalam bisnis, tidak saling
percaya antar sesama rekan bisnis.
Titik tekan penelitian kewirausahaan dalam teoritis yaitu
bagaimana kinerja individu atau organisasi sangat tergantung atau bersifat
saling mempengaruhi dengan lingkungan/konteks sosialnya. Penelitian ini
mengarah pada bagaimana keterhubungan dan dampak dari aktivitas
kewirausahaan sosial terhadap masyarakat. Pandangan bahwa individu
mempengaruhi konteks sosial dalam aspek kewirausahaan dikenalluaskan
oleh Mclelland (1961). Sedangkan konteks lingkungan mampu membentuk
jiwa-jiwa wirausaha pada masyarakat disebarluaskan oleh Burt (1992).
Temuan riset ini sebagai komparasi teoritik bahwa seorang
entrepreneur yang sukses berkaitan dengan karakter aktif dan kreatif,
melakukan taktik dan strategi baru, serta mampu mengatasi dalam
menghadapi dinamika gejolak sosial dan ekonomi. Seorang entrepreneur
yang sukses terkait dengan aspek kemampuan mengkomunikasikan pola
pikir dalam berbisnis, mau belajar sepanjang hayat tentang komunikasi,
gagasan baru, ide baru, fakta baru dan konsep baru dalam berbisnis. Proses
menjadi seorang entrepreneur sukses dipengaruhi oleh internal keluarga
dan lingkungan eksternal, pendidikan kewirausahaan sejak usia dini, pola
pikir yang melingkupinya, pilihan hidup, sering melakukan komunikasi
dengan para pebisnis senior, dan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
berbisnis.
5.7.2. Implikasi Praktis
Dari penerimaan tesis dasar Gadamer ini, bahwa Gadamer telah
menyumbangkan keseimbangan bahwa bahasa bisa digunakan sebagai
piranti pemerolehan suksesnya seorang pengusaha, tetapi tentu ada
prasyaratnya, yaitu sepanjang tidak terjadi persilangan kepentingan antara
produsen teks (the author) dengan khalayak penafsirnya (its interpreter).
Proses menjadi seorang pengusaha yang sukses, nampak pendidikan
internal keluarga sangat berpengaruh, demikian juga dengan lingkungan
ekternalnya.
Sasaran dalam penyadaran terhadap perubahan lingkungan untuk
membentuk kerangka kerja mengenai perencanaan, pengorganisasian,
kepemimpinan dan pengendalian. Peranan dari fungsi manajemen dalam
diri seseorang maupun dalam organisasi sangat mempengaruhi suksesnya
perwujudan gagasan kedepan dalam memperoleh keberhasilan yang sudah
dimimpikan. Manajemen adalah segala sesuatu yang menyangkut bekerja
dan melalui hubungan manusia, jadi dalam riset ini memberikan pencerahan
bahwa menyadari sebuah proses menunjukkan keberhasilan dalam
mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan.
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian, pemaparan hasil penelitian dan pembahasan serta
merujuk kembali kepada rumusan masalah penelitian, serta tujuan penelitian
berikut disajikan beberapa kesimpulan:
1) Kiat entrepreneur yang sukses harus matang dalam membangun karakter
melalui pengalaman menjalankan aktifitas dalam berintrepreneur. Sumber
pembangunan karakter seorang pengusaha juga terdapat pada pendidikan
internal keluarga sejak kecil. Konsep diri seorang pengusaha merupakan
produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi serta
pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman psikologis ini merupakan
hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan dan refleksi dari dirinya yang
diterima dari orang lain.
2) Kiat entrepreneur yang sukses sangat dipengaruh oleh lingkungan internal
dan external, dalam lingkungannya seseorang akan terpengaruh pada faktor
psikologis yang sangat mendukung dan mempengaruhi pola pikir seorang
pengusaha, serta memiliki hasrat untuk berprestasi yang besar juga siap
bekerja keras, tekun, mempunyai keyakinan besar dan keuletan dalam
berjuang.
3) Kiat entrepreneur yang sukses yaitu mempunyai konsep diri dan arah tujuan
yang jelas. Pemilihan karier dengan menjadi pengusaha yang didasarkan
pada pertimbangan dan pilihan rasionalnya serta efektivitas tujuan untuk
berkreasi yang setinggi mungkin.
210
6.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan, maka saran atau masukan yang dapat
dikemukakan antara lain:
1. Dalam proses menjadi pengusaha yang sukses adalah menanamkan jiwa
wiraswasta sejak kecil dan banyak bertanya serta belajar dari orang yang
sudah sukses.
2. Pengusaha hendaknya tidak membatasi pergaulan dan perilaku dalam
kehidupan sosialnya, sehingga tidak terkesan eksklusif.
3. Dalam rangka mengurangi jumlah pengangguran para pengusaha bisa
berbuat lebih banyak untuk mengadakan pembinaan-pembinaan yang
mengarah kepada perbaikan ekonomi.
6.3. Keterbatasan Penelitian
Tiada gading yang tak retak, penelitian inipun jauh mendekati
kesempurnaan, akhirnya sejauh menyangkut substansi tentang pemahaman
pemaknaan dari subyek, temuan-temuan penelitian ini memang
mengukuhkan tesis Gadamer. Namun demikian berkenaan dengan
metodologi kajian, pendekatan Gadamer tidak member panduan yang
semestinya sehingga menjadi kurang praktikal sebagai perspektif teoritik.
Bertolak dari kerangka pemikiran Gadamer adanya dua pihak yang terlibat
dalam penafsiran antara produk teks dengan penafsir, Kerangka pikir
demikian ternyata tidak cukup aplikatif, sehingga peneliti harus
mengembangkan sendiri metodologi kajiannya sepanjang tetap konsisten
dengan kerangka pemikiran dasar Gadamer. Sudah barang tentu
terkandung sejumlah kelemahan dalam metode yang digunakan dalam
kajian ini. Karena itu,penulis mendorong masyarakat akademik untuk
mempertanyakan dan menyempurnakan metode yang telah digunakan
dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah,Chaedar,A.,2011,Pokoknya Kualitatif,Pustaka Jaya,Jakarta Antonio, Syafii ,Muhammad, 2011,Kepemimpinan dan Pengembangan
Diri,Cetakan II,Tazkia Publishing,Jakarta Antonio, Syafii Muhammad, ,2011,Bisnis dan Kewirausahaan,Cetakan II,Tazkia
Publishing,Jakarta. Antonio, Syafii, Muhammad, ,2011,Kepemimpinan Sosial dan Politik,Cetakan
II,Tazkia Publishing,Jakarta Aedy,Hasan,2011,Etika Bisnis Islam,Alfabeta,Bandung Bachir,Soetrisno,2011,Terus Melangkah,Delokomotif,Yogyakarta Baert, Patrick,1998, Social Theory in the Twentieth Century,Combridge,Blackwell
Publishers Ltd. Bandura, Albert,1977,Social Learning Theory, Upper Saddle River,NJ:Prentice
Hall. Barney,J.B., & Arikan,A.M., 2001, The Resource-based view: origin and
implication, The Blackwell handbook of strategic management. Barthes,R.1975a, The Pleasure of the Text, terj. Miler, New York, Hill & Wang Berry, D.,2003, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, terj. Wirutama, Raja
Grafindo Persada, Jakarta Besnik A. Krasniqi, Personal, household and business environmental
determinants of entrepreneurship, Journal of Small Business and Enterprise Development, vol.16 no.1.2009
Bleicher,Josef, 1980, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method,
Philosophy and Critique, London, Boston and Henley Routledge & Kegan Paul.
Cresswell, W, John,1998, Qualitative Inquiry and Research Design Choosing
Among Five Traditions, California, Sage Publications, Inc. Chaplin,J.P.,2005, Kamus Lengkap Psikologi,terj.Dr.Kartini Kartono, Raja
Grafindo Persada, Jakarta Denzin, Norman, K. & Yvonna S. Lincoln, 2009, Handbook of Qualitative
Research,Edisi Bahasa Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
213
De Vito,Joseph,1997, Komunikasi Antar Manusia,ed.V.terj.Agus Maulana, Profesional Books
Dewanti,Retno,2008, Kewirausahaan,Mitra Wacana Media,Jakarta Elfiky,Ibrahim,2009,Terapi Berpikir Positif,Zaman,Jakarta Elfiky,Ibrahim,2011,Personal Power,Zaman,Jakarta Fatchan, H.A,2011, Metode Penelitian Kualitatif, Jenggala Pustaka Utama,
Surabaya Fatchan,H.A.,2013, , Metode Penelitian Kualitatif, Universitas Negeri Malang,
Malang Fakhrul Anwar Zainol dan Dr.Selvamalar Ayadurai, Entrepreneurial Orientation
and Firm Performance: The Role of Personality Traits in Malay Family Firm in Malaysia, International Journal of Business and Social Science, vol. 2 no.1, Januari, 2011
Fasya,Teuku Kemal,2002, Semiotika dan Martabat Sebuah Tuisan, Kompas, 1
Nopember Fay,Brian,1996, Contemporary Philosophy of Social Science, Oxford Blackwell Ferdinand,Augusty,2006,Metode Penelitian Manajemen,Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Edisi 2,Semarang Gadamer, Hans-Georg, 1975, Truth and Method, translation revised by Joel
Weinsheimer and Donald G. Marshall, Sheed and Ward Ltd. and The Continuum Publishing Group, Continuum London*New York.
Gadamer, Hans-Georg, 1976, Philosophical Hermeneutics, Translated and
Edited by David E. Linge, Berkeley, Los Angeles, London, University of California Press.
Gadamer, Hans-Georg, 1986, The History of Concepts and the Language of
Philosophy, in Leon J. Goldstein, The State University of New York at Binghamton.
Gadamer, Hans-Georg, 1990, Historicity of Understanding, in Kurt Mueller-
Vollmer, The Hermeneutics Reader: Texs of the German Tradition from the Enlightenment to the Present, New York, Continuum.
Gadamer, Hans-Georg, 1980, Dialogues and Dialectic: Eight Hermeneutical
Studies on Plato, translation by P.Christoper Smith, New Heaven and London: Yale University Press.
Garna, K.,Judistira,1992, Metode Penelitian: Pendekatan Kualitatif, Primaco
Akademika, Bandung
Ginanjar, Ary,2001,Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual, Arga, Jakarta Goffman,Erving,1959, The Presentation of Self on Everyday Live, Reat Britain,
Cox & Wyman Ltd. Grondin, Jean,1994, Introduction to Philosophical Hermeneutic,London:
Grounded Theory, Procedures and Techniques, New Bury Park, California, Sage, Publication,Inc.
Grondin, Jean, 2010, Sejarah Hermeneutik dari Plato sampai Gadamer, Ar-Ruzz,
Media, Yogyakarta Hamdi,A.Zaenul,2003, Hermeneutika Islam: Intertekstualitas, Dekontruksi,
Rekontruksi, Gerbang, No.14, vol.V.hal.3-44 Hikam,Muhammad AS,1996, Bahasa dan Politik, Bandung, Mizan Hisrich, D.Robert,Michael P.Peters,Dean A.Shepherd, 2008, Entrepreneurship,
7th ed. McGraw-Hill, 1221 Avenue of the Americas, NY, 10020 Hitt, Michael A.,R.Duane Ireland,Robert E. Hoskisson,2001,Manajemen Strategis
Daya Saing dan Globalisasi, Salemba Empat,Edisi Pertama, ,Jakarta Hurlock,Elizabet,B.,1993, Psikologi Perkembangan Anak, Jilid 2 ed.VI,Erlangga,
Jakarta Jaysinha S. Shinde and Udaysinha S. Sinde, The Perennial Perspective on
entrepreneurship, Journal of Strategic Innovation and Sustainability, vol. 7(1), 2011
Kasali,Rhenald,2011,Wirausaha Muda Mandiri,PT.Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta Kuswarno, Engkos, 2009, Fenomenologi Konsepsi, Pedoman, dan contoh
Penelitian, Bandung, Media Padjadjaran Kertajaya,Rudi,2011,Berpikir Positif,Sinar lmu,Bantul,Yogyakarta
Kertajaya,Rudi,2011,Berpikir Positif,Sinar Ilmu,Bantul,Yogyakarta Leksono, S, 2009, Runtuhnya Modal Sosial Pasar Tradisional, CV. Citra,Malang Lindlof, Thomas R., 1995, Qualitative Communication Research Methods,
Calofornia, USA, Sage Publication Lockett, A., Thomson, S., and Morgenstern, U., 2009, The Development of the
resource-based view: A critical appraisal, International Journal of Management Reviews.
Longenecker,G.Justin,Carlos,W.Moore,J.William,Petty,Small,Business, Management, Salemba Empat, Jakarta
Lofland,J.,& Lofland, L.,1984,Analizing Sosial Setting:A guide to Qualitative
Observation and Analysis,edeisi 2,Belmont,CA:Wadsworth Publishing Company,Inc.
Maulidin,2003, Teori Kritis Society, Jurnal Studi Agama dan Demekrasi,No.13
vol.V.Okt.-Des. Maxwell, J.A.,1992,Understanding and validity in Qualitative Research,Harvard
Educational Review No.63. Moleong, Lexy, 2000, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda
Karya,Bandung. Marthasasmita, Mumung H.,2008, Kewirausahaan Suatu Pengantar Menuju
Trampil Berwirausaha, Uhamka Press,Jakarta Mulyana, Deddy, 2003, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Remaja Rosda
Karya,Bandung Mulyana, Deddy, 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan ilmu Sosial Lainnya, Remaja Rosda Karya,Bandung Milles, B, Mattew, Huberman, A. Michael, 1992, Analisis Kualitatif, Terjemahan
Tjetjep Rohendi, h.20,UI Press,Jakarta Muhadjir, Noeng, 2000, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Rakai
Sarasin,Yogyakarta M.J. Scheepers, Entrepreneurial Mindset of Information and Communication
Technology Firms, Peer Reviewed Article, vol. 10 (4), December 2008 Naisbitt,John,2009,Mind Set,Cetakan 4,Daras Books,Jakarta Oscar Gonzales-Benito, Janiver Gonzales Benito and Pablo A. Munoz Gallego,
Role of entrepreneurship and Market orientation in firms success, European Journal of Marketing, vol. 43, no. ¾, 2009
Philip E. Auerswald, Entrepreneurship in the Theory of the firm, Small Business
Economics, 30.111-126, 2008 Pinchot, Gifford,III,1988, Intrapreneuring, Alih Bahasa Drs.Zulkifli Kasip,
Erlangga,Jakarta Poerwadarminto, W.J.S, 1984, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka,Jakarta
Putra, I Gusti Ngurah, 1999, Manajemen Hubungan Masyarakat, Universitas Atmajaya Press,Jakarta
Rahardjo, Mudjia, 2010, Hermeneutika Gadameran, UIN Maliki Press, Malang Rahardjo, Mudjia, 2008, Dasar-Dasar Hermeneutika antara Intensionalisme dan
Gadamerian, Ar-Ruzz Media, Jakarta Rahman, Nurlina, 2004, Konsep Diri Pemakai Narkoba dalam kontek komunikasi
antar pribadi, Unpad, Bandung Rakhmat,Jalaluddin,1984,Metode Penelitian Komunikasi, Remaja Rosda
Karya,Bandung Rakhmat,Jalaluddin,,2005, Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, Remaja Rosda
Karya,Bandung Rasyidah, 2011, Hermeneutika Gadamer dan Implikasinya Terhadap
Pemahaman Kontemporer Al-Qur’an, Religia vol.14 no.2, IAIN Ar-Raniri, Banda Aceh
Reni,Akbar,2001, Psikologi Perkembangan anak, Gramedia, Jakarta Ritzer,G.Douglas J.Goodman,2004, Teori Sosiologi Modern, terj.Alimandan,
Kencana,Jakarta Riyanti,Dwi,Prihatin,Benedicta,2003,Kewirausahaan Dari Sudut Pandang
Psikologi Kepribadian,Grasindo,Jakarta Rohim, Syaiful, 2011, Kontruksi Diri dan Perilaku Komunikasi Gelandangan di
Kota Jakarta, Unpad, Bandung Suryana, Yuyus, Kartib Bayu, 2010, Kewirausahaan Pendekatan Karakteristik
Wirausahawan Sukses, Kencana Prenada Media Group,Jakarta Suryana,2008,Kewirausahaan, Salemba Empat,Jakarta Sumardi, Dr.,2006, PasWord Menuju Sukses, Erlangga,Jakarta Soehartono, Irawan, 2002, Metode Peneltian social, PT. Remaja Rosda
Karya,Bandung Sparringa,Daniel,2001, Analisis Wacana Kertas Kerja,Fisip Universitas Airlangga Stoltz,Paul G.,2000, Adversity Quotient at Work Make Everyday Challenges the
key to your success, New York Stoltz,Paul G.,& Weihen Mayer,E.,2006, The Adversity Advantage, New York.
Taylor, Shelley E.,Letitia Anne Peplau, David O.,Sears, 2009, Social Psychology, 12TH Edition, Prentice Hall
Trump,Donald.,Meredith Mciver,2010, Think Like A Champion, Cetakan I,Daras
Books,Jakarta Valdes,Mario J.,1991,A.Ricoeur Reader: Reflection of Imajination, New
York,Harvester Wheatsheaf. Vembrianto,ST.,1994, Patologi Sosial, Yogyakarta,Yayasan Pendidikan
Paramitha Winardi, J.,Dr,Prof, 2003, Entrepreneur & Entrepreneurship, Prenada Media,
Jakarta Wibisono,Dermawan,2011,Manajemen Kinerja Korporasi dan organisasi,
Erlangga,Jakarta Zimmerer W.Thomas,Norman M.Scarborough,Essentials of Entrepreneurship
and Small Management,Salemba Empat,Edisi 5,Jakarta