kinetika reaksi pelarutan residu dekomposisi pada
TRANSCRIPT
KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI
PADA PENGOLAHAN MONASIT
SKRIPSI
SEPTEEN ADI PRATIWI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/ 1441 H
KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA
PENGOLAHAN MONASIT
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
SEPTEEN ADI PRATIWI
11140960000073
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA
PENGOLAHAN MONASIT
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh
SEPTEEN ADI PRATIWI
NIM 11140960000073
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Nurmaya Arofah, M. Eng
NIP. 19870610 201903 2 016
Mutia Anggraini, M. Si
NIP. 19870519 200912 2 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kimia
Dr. La Ode Sumarlin, M. Si NIP. 19750918 200801 1 007
PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Kinetika Reaksi Pelarutan Residu Dekomposisi pada
Pengolahan Monasit” telah diuji dan dinyatakan LULUS pada Sidang
Munaqosah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada hari Jum’at, 07 Agustus 2020. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S1) Program
Studi Kimia.
Menyetujui,
Penguji I Penguji II
Nurhasni, M. Si
Isalmi Aziz, M. T
NIP. 19740618 200501 2 005 NIP. 19751110 200604 2 001
Pembimbing I
Pembimbing II
Nurmaya Arofah, M. Eng
Mutia Anggraini, M. Si
NIP. 19870610 201903 2 016 NIP. 19870519 200912 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Kimia
Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env
Dr. La Ode Sumarlin, M. Si
NIP. 19690404 200501 2 005 NIP. 19750918 200801 1 007
ABSTRAK
SEPTEEN ADI PRATIWI. Kinetika Reaksi Pelarutan Residu Dekomposisi pada
Pengolahan Monasit.di bawah bimbingan NURMAYA AROFAHdan MUTIA
ANGGRAINI
Monasit merupakan mineral fosfat dari hasil samping pengolahan timah yang
mengandung unsur radioaktif dan logam tanah jarang. Kedua unsur tersebut
dipisahkan melalui proses pengolahan monasit.Pengolahan monasit terbagi
menjadi tiga tahapan yaitu dekomposisi menggunakan NaOH, pelarutan
menggunakan HCl dan pengendapan menggunakan NH4OH. Mekanisme reaksi
yang terjadi pada tiap proses pengolahan monasit dapat dioptimalkan dengan
mengetahui kinetika reaksi yang terjadi. Pada penelitian ini akan dilakukan studi
kinetika pelarutan menggunakan shrinking core model (SCM). Pengamatan
dilakukan terhadap proses pelarutan logam tanah jarang pada rentang suhu 70 –
80oC dan rentang waktu 0 – 180 menit.Hasil penelitian pelarutan residu monasit
diperoleh efisiensiekstraksi logam tanah jarang sebesar 99,99 % pada suhu 75oC,
pengendali laju reaksi mengikuti model kinetika difusi melalui lapisan film tipis
dan energi aktivasi sebesar - 81,96 kJ/mol.
Kata Kunci :Kinetika Reaksi, Monasit, Pelarutan, Residu, Shrinking Core Model
ABSTRACT
SEPTEEN ADI PRATIWI. Kinetics of Dissolution Reactions from
Decomposition Residue at Monazite Processing. Supervisor by NURMAYA
AROFAH and MUTIA ANGGRAINI
Monazite is a phosphate mineral from by product of tin processing which contains
radioactive elements and rare earth elements. The two elements are separated
through a monazite processing process. Monazite processing consists of three
stages, they are decomposysis using NaOH, dissolution using HCl and
precipitation using NH4OH. The reaction mechanism that occurs in each monazite
processing can be optimized by knowing the reaction kinetics that occured. In this
research, dissolution kinetics will be studied by adopting shrinking core models
(SCM). Observations were made on the process of dissolving rare earth metals in
the temperature range of 70-80oC and the time range of 0-180 minutes. The results
of the dissolution of monasite residues obtained extraction percent of rare earth
elementis 99.99% at 75oC, The reaction rate controller followed the diffusion
kinetics model through the thin film layer and activation energy of - 81.96 kJ /
mol.
Keywords: Reaction Kinetics, Monazite, Dissolution, Shrinking Core Model
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Kinetika Reaksi Pelarutan Residu Dekomposisi pada Pengolahan Monasit”.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tak lepas dari bantuan dan
peranan banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Nurmaya Arofah, M.Eng selaku Pembimbing I yang telah memberikan
pengarahan serta bimbingannya sehingga banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsiini;
2. Mutia Anggraini, M.Si selaku Pembimbing II yang telah memberikan
pengarahan serta bimbingannya sehingga banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini;
3. Nurhasni, M.Si selaku dosen penguji I yang telah memberikan kritik dan
saran dalam menyelesaikan skripsi ini;
4. Isalmi Aziz, M.T selaku dosen penguji II yang telah memberikan kritik dan
saran dalam menyelesaikan skripsi ini;
5. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains
dan Teknologi yang telah banyak memberikan saran serta masukan yang
bermanfaat;
6. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env. Stud selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta;
7. Dr. Sandra Hermanto., M.Si selaku pembimbing akademik atas bimbingan
dan masukannya selama perkuliahan;
vi
8. Kedua orang tua tercinta atas segala doa, pengorbanan, nasihat dan
motivasinya kepada penulis;
9. Kurnia Setiawan Widana, S.T, M.T selaku kepala Bidang Teknologi
Penambangan dan Pengolahan (TPP) dan seluruh Staf laboratorium PTBGN-
BATAN yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis serta
solusi dalam penelitian ini;
10. Segenap dosen Program Studi Kimia atas ilmu pengetahuan dan pengalaman
hidup yang dengan ikhlas diajarkan dan diberikan kepada penulis;
11. Teman–teman Kimia Angkatan 2014 yang senantiasa memberi dukungan dan
motivasi kepada penulis;
12. Serta teman-teman yang membantu proses penelitian yang tidak dapat
disebutkan satu persatu;
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan umumnya
bagi kemajuan ilmu dan teknologi.
Tangerang, Agustus 2020
Septeen Adi Pratiwi
vii
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR ................................................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................... iix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 5
1.3 Hipotesis ............................................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................................. 6
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 7
2.1 Monasit ................................................................................................................. 7
2.2 Proses Pengolahan Monasit .................................................................................. 8
2.3 Logam Tanah Jarang ............................................................................................. 9
2.4 Kinetika Reaksi ................................................................................................... 12
2.5 XRF (X-ray Fluorescence Spectrometry) ............................................................. 20
2.6 ICP-OES (Inductively Coupled Plasma-Optical Emission Spectrometry) .......... 24
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................... 31
3.1 Waktu dan Tempat .............................................................................................. 31
3.2 Alat dan Bahan .................................................................................................... 31
3.3 Diagram Alir ....................................................................................................... 32
3.4 Cara Kerja ........................................................................................................... 33
3.4.1 Preparasi Umpan Monasit ................................................................................ 33
3.4.2 Pelarutan Residu dengan Asam Klorida (HCl) ................................................ 33
3.4.3 Karakterisasi Sampel ......................................................................................... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 37
4.1 Pembuatan Umpan .............................................................................................. 37
4.2 Pelarutan Residu Dekomposisi menggunakan HCl ............................................ 39
viii
4.3 Pengendalian Laju Reaksi ................................................................................... 43
4.4 Penentuan Energi Aktivasi Pelarutan .................................................................. 49
BAB V PENUTUP .................................................................................................... 52
5.1 Simpulan ............................................................................................................. 52
5.2 Saran ................................................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 53
LAMPIRAN .............................................................................................................. 57
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Unsur Logam Tanah Jarang ...................................................................11
Tabel 2. Variasi kondisi pada percobaan pelarutan menggunakan asam klorida .34
Tabel 3.Komposisi senyawa dalam umpan monasit dan residu dekomposisi ......38
Tabel 4.Nilai –nilai R2 regresi linier hasil percobaan pada 3 suhu terhadap
3model kinetika yang digunakan .............................................................46
Tabel 5. Hasil perhitungan nilai τ .........................................................................47
Tabel 6. Hasil perhitungan nilai k1 .......................................................................50
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Berbagai jenis reaksi partikel padat ...................................................14
Gambar 2. Menurut model konversi progresif, reaksi berlangsung terus menerus
di seluruh partikel padat ......................................................................15
Gambar 3. Reaksi yang terjadi menurut model kinetika inti yang Menyusut .....16
Gambar 4. Mekanisme reaksi yang terjadi menurut kinetika inti yang menyusut
...........................................................................................................17
Gambar 5. Instrumen XRF dan Bagian-bagiannya .............................................22
Gambar 6. Komponen utama dan tata letak pada instrumen ICP-OES ...............25
Gambar 7. Pompa peristaltik yang digunakan pada instrument ICP-OES ..........28
Gambar8. Tipe spray chamber yang digunakan pada ICP-OES. A jenis scott
double pass B jenis conical single pass dengan impact bead ..........29
Gambar 9. Diagram alir .......................................................................................32
Gambar 10. Total persen LTJ yang terlarut .........................................................40
Gambar 11. Hasil pengaluran percobaan terhadap model kintetika terkendali oleh
laju difusi melalui lapis film fluida ..................................................44
Gambar 12. Hasil pengaluran percobaan terhadap model kinetika terkendali oleh
laju difusi melalui lapisan produk padat yang tidak bereaksi .........44
Gambar 13. Hasil pengaluran percobaan terhadap model kinetika terkendali oleh
laju reaksi kimia..............................................................................45
Gambar 14. Hasil fitting data percobaan pada suhu 70 terhadap kurva dummy
model ..............................................................................................48
Gambar 15. Hasil fitting data percobaan pada suhu 75 terhadap kurva dummy
model ..............................................................................................48
Gambar 16. Hasil fitting data percobaan pada suhu 80 terhadap kurva dummy
model ................................................................................................49
Gambar 17. Hasil pengaluran ln k1 terhadap 1/T ................................................51
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.Perhitungan Stoikiometri .................................................................57
Lampiran 2. Analisis Data ...................................................................................59
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Monasit merupakan salah satu mineral yang mengandung unsur radioaktif
dalam bentuk senyawa thorium dan cerium fosfat dengan rumus kimia
(Ce,La,Th,Y)PO4. Cerium adalah salah satu unsur tanah jarang (rare earth
element) yang samadengan senyawa oksida lainnya yaitu logam lanthanium,
samarium, praseodymium, neodymium, promethium dan europium. Monasit juga
merupakan sumber utama logam tanah jarang yang diperoleh dari produk samping
penambangan dan pengolahan mineral berat, seperti ilmenit, rutil, zirkon dan
kasiterit yang tersebar diberbagai negara dengan kadar oksida tanah jarang sebesar
55 – 65% (Suprapto, 2009).
Logam tanah jarang tidak pernah ditemukan sebagai unsur bebas di lapisan
bumiakan tetapi ditemukan dalam bentuk mineralnya. Bastnasit, monasit dan
xenotime adalah tiga mineral yang paling penting secara umum dari 200 mineral
yang diketahui mengandung logam tanah jarang (Christie et all., 1998).
Logam tanah jarang (LTJ) merupakan unsur keterdapatannya sangat melimpah
di alamberupa senyawa kompleks, biasanya dalam bentuk senyawa kompleks
fosfat dan karbonat (Suprapto, 2009). Daerah-daerah yang memiliki keterdapatan
mineral monasit di Indonesia adalah Pulau Bangka dan Belitung, Kepulauan Tujuh,
Singkep, Kundur, Karimun Jawa, Sumatera, Kalimantan, Pulau Sula Banggai (timur
Sulawesi) dan bagian barat Papua. Mineral logam tanah jarang yang umum ditemukan di
Indonesia adalah monazite dan xenotime. Di Indonesia, mineral yang mengandung tanah
jarang ditemukan di daerah Bangka Belitung, bersama dengan mineral timah, dan di
2
Kalimantan, bersama dengan mineral emas. Menurut data Pusat Sumber Daya Geologi
tahun 2009, cadangan mineral monazite di Indonesia adalah lebih dari 951.000 ton
(Virdhian & Afrilinda, 2014).
Seiring dengan perkembangan teknologi pengolahan material, pemanfaatan
logam tanah jarang ini sudah banyak digunakan diberbagai macam
produk.Penggunaan logam tanah jarang ini memicu berkembangnya industri
material baru. Material baru dengan bahan baku logam tanah jarang memberikan
perkembangan teknologi yang cukup signifikan dalam ilmu materialumumnya
pada industri teknologi tinggi seperti pembuatan LCD, magnet dan baterai hybrid.
Perkembangan material ini banyak diaplikasikan di dalam industri untuk
meningkatkan kualitas produk (Suprapto, 2009).
Al-Qur’an surat An-Naml menjelaskan keberadaan mineral dalam tanah :
السحابصنعاللهالذيأتقنكلشىءإنهخبيربماتف مر علىنوترىالجبالتحسبهاجامدةوهيتمر
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal
ia berjalan sebagai jalannya awan.(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat
dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”. (QS. An-Naml ayat 88)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa gunung-gunung sebenarnya bergerak
yang menyebabkan tanah bergerak dan membentuk lapisan-lapisan yang banyak
terkandung mineral, energi fosil, air tanah dan sebagainya yang dibutuhkan oleh
manusia dan bisa dimanfaatkan untuk kehidupan manusia(Yahya, 2004).
Unsur – unsur yang terkandung dalam monasit dapat dimanfaatkan sesuai
fungsinya jika dikelola dengan baik.Pengolahan monasit terdiri dari beberapa
tahap yaitu dekomposisi jalur basa atau jalur asam, pelarutan dan pengendapan.
3
Dekomposisi jalur asam telah dilakukan olehPrassanti(2014)yaitu
dekomposisi monasit dengan asam sulfat diperoleh kondisi optimal pada ukuran
bijih monasit -250+325, perbandingan berat bijih monasit : asam sulfat = 1 : 2,5,
suhu digesti 190oC, waktu digesti 3 jam dan konsumsi air pencuci 8 kali berat
uman bijih monasit dengan rekoveri LTJ = 99,54%.Sedangkan dekomposisi basa
dengan NaOH dilakukan oleh Purwani & Suyanti (2014)yaitu digesti pada suhu
rendah menggunakan 100 gram monasit pada suhu 140oC diperoleh kondisi
optimum waktu dekomposisi 60 menit, molaritas NaOH = 23,09 M (monasit :
NaOH = 1 : 1,6) dan volume NaOH 23,09 = 425 mL, efisiensi rata-rata LTJ
sebesar 70%. Penelitian lain yang dilakukan oleh (Isyuniarto et all., 1999)dengan
waktu dekomposisi yang digunakan lebih lama yaitu 2 jam yang menghasilkan
efisiensi LTJ lebih besar yaitu Ce = 55,66% ; La = 44,96 % ; Nd = 40,43% ; Y =
22,80% dan Sm = 9,47%.
Metode dekomposisi jalur basa lebih dipilih karena prosesnya berlangsung
pada suhu dan konsentrasi yang rendah dibandingkan dengan dekomposisi jalur
asamselain itu dekomposisi basa dapat menghindari adanya ion sulfat dalam hasil
dekomposisi karena ion-ion tersebut dapat menggangu proses berikutnya. Hasil
samping dari dekomposisi jalur basa yaitu filtrat natrium fosfat dapat dikristalkan
dan dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk (Subagja, 2014). Proses dekomposisi
basa dapat memisahkan ion fosfat dalam residu sehingga dihasilkan residu
dekomposisi yang mengandung uranium, thorium dan LTJ.
Studi kinetika dekomposisi menggunakan NaOHtelah dilakukan(Purwani et
all., 2015)diperoleh kesimpulan bahwa semakin besar perbandingan
NaOH/monasit optimumnya 1:5, waktu optimum dekomposisi 3 jam. Konversi(x)
4
hubungan antara NaOH/monasit mengikuti persamaan garis polinominal y =
0,1579x2 – 0,2855x + 0,8301, reaksi dekomposisi NaOH/monasit mengikuti
reaksi orde 2.dengan tetapan laju reaksi (k), k = 6,106.e- 1006,8/T
atau ln k = -
1006,8/T + 6,106, faktor frekuensi A = 448,541, energi aktivasi E = 8,371kJ/mol.
Uranium, thorium, dan LTJ dipisahkan melalui proses pelarutan.Penelitian terkait
proses pelarutan monasit bangka telah banyak dilakukan dengan berbagai variasi
reagen pelarutan yang digunakan. Penelitian yang dilakukan oleh Sumarni dkk
(2011)pada penentuan kondisi pelarutan residu hasil pelarutan parsial monasit
Bangka dengan reagen H2SO4 didapat kondisi optimal: waktu pelarutan 2 jam,
suhu 130oC dengan konsumsi H2SO4 100 ml/100 gram umpan basah dengan
recoverymasing- masing unsur adalah LTJ = 93,46%.
Selain itu, telah dilakukan juga penelitian terkait proses pelarutan dengan
reagen asam klorida HCl. Pelarutan dengan HCl lebih efektif dibandingkan
dengan H2SO4.Menurut Cuthbert (1958) pelarutan dengan menggunakan H2SO4
diperlukan jumlah asam 2-3 kali jumlah HCl. KelarutanLTJ dalam
H2SO4(93,46%) (Sumarni dkk., 2011) sedangkan kelarutan LTJ dalam HCl
(±62%) (Arief dkk., 2002). Meskipun efisiensi ekstraksi HCl lebih rendah
dibandingkan dengan H2SO4akan tetapi penggunaan HCl jauh lebih ekonomis jika
dibandingkan dengan H2SO4.
Mekanisme reaksi kelarutan LTJ dalam HCl dapat dioptimalkan apabila
diketahui kinetika reaksi yang terjadiGado dkk (2019) telah melakukan recovery
selektif pada logam utama dari konsentrat mineral Rosetta monasit dengan DTPA
(Asam Dietilen Triamin Penta Asetat) pada konsentrat LTJ(OH)3 mineral monasit
Mesirmenggunakan model kinetika shrinking core model diperolehefisiensi
5
pelarutan pada kondisi ukuran sampel monasit -300 mesh, konsentrasi DTPA20%
dalam waktu pelarutan 8 jam dan perbandingan rasio padat/cair 1/30 pada suhu
pelarutan 100oC. Kinetika dari proses pelarutan dikendalikan secara reaksi kimia
dengan energi aktivasi LTJ yaitu 35,258 kJ/mol. Akan tetapi mekanisme kinetika
reaksi pelarutan residu dekomposisi dengan HCl belum pernah dilakukan.
Oleh sebab itu, pada penelitian ini diteliti model kinetika reaksi pelarutan
residu dekomposisi dengan HCl. Metode pengolahan Monasit yang dipilih pada
penelitian ini adalah dekomposisi dengan NaOH pada suhu 140°C dan pelarutan
dengan HCl serta model kinetika shrinking core model(SCM) yang bertujuan
untuk mengetahui seberapa banyak logam tanah jarang yang terlarut dalam pelarut
HCl dan mengetahui faktor pengendali laju reaksi, parameter kinetika (konstanta
laju reaksi atau koefisien difusi) dan nilai energi aktivasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Berapa banyak logam tanah jarang yang terlarut pada proses pelarutan
menggunakan HCl ?
2. Bagaimana pengendalian laju reaksi, nilai koefisien difusi atau konstanta
laju reaksi dan nilai energi aktivasi pelarutan logam tanah jarang dalam
pelarutan residu dekomposisi pada pengolahan monasit?
1.3 Hipotesis
1. Logam tanah jarang yang dilarutkan dengan HCl akan menghasilkan
persen ekstraksi yang besar.
2. Pengendalian laju reaksi, nilai koefisien difusi atau konstanta laju reaksi
dan energi aktivasinya dapat dihitung dengan persamaan shrinking core
model dengan asumsi monasit yang digunakan adalah partikel bijih
6
berbentuk bulat, terdapat mineral dominan yang tidak ikut terlarut dan
konsentrasi asam klorida yang cukup tinggi sehingga tidak berubah secara
signifikan dengan berjalannya waktu.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menentukan efisiensi ekstraksi pelarutan logam tanah jarang dengan HCl.
2. Menentukan kinetika reaksi pelarutan logam tanah jarang pada residu
dekomposisi dan logam tanah jarang yang dihasilkan meliputi faktor
pengendali laju reaksi dan energi aktivasi.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai kinetika
reaksi pelarutan logam tanah jarang dalam residu dekomposisi pada pengolahan
monasit Bangka.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Monasit
Mineral monasit merupakan fosfat anhidrat darikelompok cerium dalam
unsur logam tanah jarang, diberi nama olehBreithaupt. Breithaupt memilihnama
daribahasa Yunani yang artinya "untuk menjadi satu" untuk mengenalkan mineral
yang langka di situspenemuannya di dekat Miask di Pegunungan LimenRusia.
Mineral monasit mengandung thoriumdan cerium. Monasit mengandung 0-
31,50%cerium dan rata-rata 6% thorium oksida (ThO2). Mineral monasit adalah
sumber utama logam thorium dan cerium sedangkan bastnaesit, fluokarbonat
adalah sumber utama logam cerium dari logam tanah jarang(Overstreet, 1967).
Monasit adalah mineral dalam bentuk ikatan fosfat yang mengandung
torium, uranium, dan logam tanah jarang (LTJ). Rumus kimia pasir monasit
secara umum adalah (LTJ-Th-U)PO4(Gupta & Krishnamurthy, 2005). Keberadaan
U, Th dan logam tanah jarang terikat dalam mineral monasit bersama-sama
dengan zirkon, terdapat sebagai endapan plaser pantai dan sungai yang memiliki
kemudahan dalam proses eksplorasi, penambangan (Suprapto, 2009).
Monasit terdapat pada batuan beku dan beberapa batuan lainnya,
konsentrasi terbesar dalam bentuk endapan, bersama dengan mineral berat
lainnya, sebagai hasil aktivitas angin atau air.Sumber daya monasit seluruh dunia
sekitar 12 juta ton, dua pertiganya merupakan endapan pasir mineral berat di
pantai timur dan selatan India. Thorium terdapat pada beberapa mineral, sebagian
besar bersenyawa dengan unsur tanah jarang berupa mineral tanah jarang-thorium
8
fosfat, seperti monasit, yang mengandung sampai dengan 12% atau rata-rata 6-7%
oksida thorium (Suprapto, 2009).
Beberapa proses pemisahan logam tanah jarang (LTJ) dan unsur pengotornya
dalam berbagai mineral, khususnya mineral monasit telah dilakukan salah satu
proses pemisahan yaitu proses pengendapan(Shaw et all., 2003)
2.2 Proses Pengolahan Monasit
a. Dekomposisi
Dekomposisi terbagi menjadi dua jalur yaitu dekomposisi jalur asam dan jalur
basa. Dekomposisi jalur asam lebih sering menggunakan asam sulfat pekat untuk
melarutkan monasit, sedangkan dekomposisi jalur basa menggunakan NaOH
untuk melarutkan monasit (Subagja, 2014). Tujuan dekomposisi yaitu untuk
memecah ikatan fospat yang ada pada monasit (Sumarni et all., 2011).
b. Pelarutan
Pelarutan (U,Th,LTJ)OH hasil dekomposisi jalur basa dapat dilakukan dengan
asam kuat seperti HCl, H2SO4 dan HNO3. Pelarutan dengan menggunakan H2SO4
diperlukan jumlah asam (2-3) kali jumlah HCl dan kebutuhan HCl untuk
pelarutan adalah 679,5 gram setiap 453 gram umpan monasit. Selain itu kelarutan
(U, Th, LTJ)OH dalam H2SO4 lebih kecil dibandingkan dengan HCl atau
HNO3(Nuri et all., 2002).
Pelarutan terbagi menjadi dua yaitu pelarutan parsial dan pelarutan total.
Pelarutan parsial dengan HCl pada pH 3,7 bertujuan untuk melarutkan logam
tanah jarang sebanyak mungkin dan U dan Th terlarut seminimal
mungkin(Sumarni et all., 2011), sedangkan pelarutan total menggunakan H2SO4
untuk melarutkan semua U dan Th yang ada pada endapan(Ferliana et all., 2016).
9
c. Pengendapan
Proses pengendapan dari hasil pelarutan monasit menggunakan NH4OH dan
NaOH dengan pHtertentu. Filtrat hasil dari pelarutan monasit ditambahkan
NH4OH akan terbentuk endapan hidroksida. Amonia dipilih karena merupakan
basa yang sangat mudah untuk direaksikan dengan larutan nitrat dan ion NH4+
tidak akan mengotori endapan yang terbentuk. Semakin meningkat pH
pengendapan maka semakin banyak pula NH4OH yang ditambahkan. Untuk
mengendapkan U, Th, dan LTJ masing-masing diendapkan dengan pH tertentu
(Suyanti & Purwani, 2011).
Proses pengendapan ini dilakukan dari hasil pelarutan parsial pada pengolahan
monasit. Pengendapan dengan menggunakan NH4OH pada pH 6,3 bertujuan
untuk mengendapkan uranium dan thorium yang berada pada larutan (Ferliana et
all., 2016).
2.3 Logam Tanah Jarang
Kelompok unsur logam tanah jarang pertama kali ditemukan pada tahun 1787
oleh seorang letnan angkatan bersenjata Swedia bernama Karl Axel Arrhenius,
yang mengumpulkan mineral ytteribite dari tambang feldspar dan kuarsa di dekat
Desa Ytterby, Swedia. Mineral tersebut berhasil dipisahkan oleh J. Gadoli pada
tahun 1796 (Weeks & Leicester, 1968).
Logam tanah jarang pertama kali diproduksi secara komersial pada tahun
1880-an di Swedia dan Norwegia dari mineral monasit. Produksi di Skandinavia
didorong oleh penemuan pada tahun 1884 dari mantel lampu pijar Welsbach, yang
pada mulanya memerlukan oksida lantanum, yttrium, dan zirkonium, dengan
percobaan dan perbaikan selanjutnya yang dibutuhkan hanya oksida torium dan
10
serium. Produksi logam tanah jarang pertama di Amerika Serikat tercatat pada
tahun 1893 di North Carolina. Namun, tonase kecil monasit dilaporkan sudah
ditambang dari tahun 1887. Carolina Selatan memulai produksi monasit pada
tahun 1903. Produksi monasit di luar negeri terjadi di Brasil pada awal 1887, dan
India memulai pemulihan bijih pada tahun 1911(Hedrick, 2003).
Unsur logam tanah jarang atau rare earth elements (REE) dalam tabel
periodik dikenal dengan nama lanthanida. Hal ini karena LTJ merupakan
kumpulan unsur scandium, yttrium dan 15 unsur dari golongan lanthanida (La,
Ce, Pr, Nd, Pm, Sm, Eu, Gd, Tb, Dy, Ho, Er, Tm, Yb dan Lu).Grup lanthanida
terdiri dari unsur-unsur stabil dengan nomor atom dari 57 sampai 71. Yttrium dan
scandium bukan termasuk golongan lanthanida, akan tetapi memiliki sifat kimia
yang sama dengan unsur pada golongan lanthanid, sehingga yttrium dan scandium
termasuk dalam unsur logam tanah jarang (Jordens et all., 2012).Unsur tanah
jarang mempunyai sifat reaktif tinggi terhadap air dan oksigen, bentuk senyawa
stabil dalam kondisi oksida, titik leleh relatif tinggi, serta sebagai bahan
penghantar panas yang tinggi (Suprapto, 2009).
11
Tabel 1. Unsur Logam Tanah Jarang
Simbol Nama unsur Simbol Nama unsur
Y Yttrium Gd Gadolinium
Sc Scandium Tb Terbium
La Lanthanum Dy Dysprosium
Ce Cerium Ho Holmium
Pr Praseodymium Er Erbium
Nd Neodymium Tm Thulium
Pm Promethium Yb Ytterbium
Sm Samarium Lu Lutetium
Eu Europium
(Suprapto, 2009)
Menurut Suprapto(2009) berdasarkan variasi radius ion dan susunan elektron,
unsur tanah jarang diklasifikasikan ke dalam dua subkelompok, yaitu :
a. Unsur tanah jarang ringan, atau subkelompok cerium yang meliputi lanthanum
hingga europium
b. Unsur tanah jarang berat, atau subkelompok yttrium yang meliputi gadolinium
hingga lutetium dan yttrium.
LTJ tidak terbentuk secara alami pada pembentukan logam, LTJ hanya
tercampur dalam mineral dan sangat sulit dipisahkan karena memiliki sifat fisika
dan kimia yang sama. Mineral-mineral pembawa rare earth elements (REE) atau
LTJ diantaranya adalah (Moldeveanue & Papangelakis, 2012):
a. Karbonat : Bastnasit (LTJ, Ce)(CO3)F yang mengandung 65-75% LTJ oksida
(LTJO)
b. Fosfat : Monasit (LTJ)PO4mengandung 55-65% LTJ oksida (LTJO), xenotime
(Y,LTJ)PO4 yang mengandung 25-60% Y2O3. Monasit dan xenotime
12
merupakan hasil samping dari pertambangan titanium, zirkonium dan timah.
Keberadaan LTJ dalam monasit bersamaan dengan thorium dan uranium
c. Ion adsorption clays : mengandung 0,05-0,2% LTJO pada permukaan mineral
alumunium-silika (kaolinit, illit dan smectite).
Salah satu cara untuk memaksimalkan proses pengolahan monasit yaitu
mencari kinetika sehingga mekanisme reaksi pengolahan monasit dapat
dioptimalkan.
2.4 Kinetika Reaksi
Kinetika kimia adalah bagian dari ilmu kimia fisika yang mempelajari laju
reaksi kimia, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta penjelasan hubungannya
terhadap mekanisme reaksi.Kinetika kimia disebut juga dinamika kimia, karena
adanya gerakan molekul, elemen atau ion dalam mekanisme reaksi dan laju reaksi
sebagai fungsi waktu. Mekanisme reaksi dapat diramalkan dengan bantuan
pengamatan dan pengukuran besaran termodinamika suatu reaksi seperti tekanan,
termperatur, kerapatan dll dengan mengamati arah jalannya reaktan maupun
produk suatu sistem(Siregar, 2008)
Menurut Khairat dan Herman (2004) informasi konstanta laju reaksi dan orde
reaksi terhadap pereaksi dapat digunakan untuk merancang alat pabrik maupun
perancang reaktor dalam proses produksi seperti spesifikasi alat, bahan yang
dibutuhkan, biaya produksi, dll . Penentuan konstanta laju reaksi terhadap
pereaksi perlu dilakukan agar dapat merancang reaktor yang sesuai jika ingin
mensintesis senyawa dalam skala industri.
Studi kinetika pelarutan dilakukan untuk menentukan pengendali laju reaksi,
menentukan parameter kinetika pelarutan (konstanta laju reaksi atau koefisien
13
difusi) dan energi aktivasi reaksi. Pengendali laju reaksi adalah tahap proses yang
memiliki laju yang paling lambat dan menjadi penentu laju proses secara
keseluruhan karena laju difusi yang lambat menyebabkan frekuensi tumbukan
antar molekul semakin meningkat dan meningkatkan produk yang dihasilkan.
Pengendali laju reaksi penting untuk diketahui karena dengan mengetahui
pengendali laju dapat diketahui upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan laju proses pelarutan, misalnya peningkatan pengadukan,
peningkatan suhu atau konsentrasi reagen pelindi. Selain itu, dengan model
kinetika yang diperoleh dapat diprediksi laju pelarutan residu dekomposisi yang
sejenis dalam larutan pelindian yang sama pada kondisi yang bervariasi tanpa
secara terus menerus melakukan percobaan(Mubarok & Fathoni, 2016). Faktor-
faktor yang mempengaruhi laju reaksi yaitu konsentrasi pelarut, suhu, tekanan,
intensitas radiasi, pengadukan dan sifat pelarutnya(Siregar, 2008).
Reaksi pelarutan residu dekomposisi merupakan reaksi heterogen karena
melibatkan lebih dari satu fasa, yaitu fasa padat berupa bijih dan fasa cair yaitu
reagen pelindi. Reaksi pelarutan residu dekomposisi dalam larutan asam
kloridamengikuti model reaksi dari Levenspiel (1999) yang secara umum dapat
dituliskan sebagai berikut:
aA(solid)
+ bB(liquid)
→ cC(liquid)
+ dD(solid) (1)
aA(solid)
+ bB(liquid)
→ cC(liquid) (2)
aA(solid)
+ bB(liquid)
→dD(solid) (3)
Menurut Levenspiel (1999)keseluruhan proses reaksi dapat melibatkan langkah
sebagai berikut:
14
a. Perpindahan massa antara reaktan dan produk sebagian besar berada dapat
fasacairan dan permukaan luar dari partikel padat
b. Difusi reaktan dan produk di dalam pori-pori padatan
c. Reaksi kimia antara reaktan di dalam fasa cairan dan dalam padatan
Pada Gambar 1 dijelaskan ada dua mekanisme reaksi partikel padatan
yaitu partikel yang tidak mengalami penyusutan dan partikel yang mengalami
penyusutan. Pada partikel yang tidak mengalami penyusutan karena ketika
partikel mengandung sejumlah pengotor yang tetap sebagai abu yang tidak
terkelupas atau jika membentuk produk yang kuat sedangkan partikel yang
mengalami penyusutan karena pengelupasan abu atau produk gas yang
menyebabkan terjadinya penyusutan partikel (Levenspiel, 1999).
Gambar 1. Berbagai jenis reaksi partikel padat(Levenspiel, 1999)
Untuk reaksi non katalitik dari partikel dengan cairan di sekitarnya Levenspiel
(1999) mempertimbangkan dua model matematika yang sederhana yaitu model
15
kinetika konversi progresif (progressive conversion model) dan model kinetika
inti yang menyusut (shrinking core model).
a. Progressive Conversion Model (PCM)
Menurut Levenspiel (1999)Progressive conversion model (PCM) adalah suatu
model kinetika yang memvisualisasikan gas reaktan masuk ke dalam partikel dan
bereaksi setiap saat, kemungkinan besar pada tingkat dan lokasi yang berbeda.
Dengan demikian, reaktan padat dikonversi secara terus menerus dan progresif
pada keseluruhan partikel seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Menurut model konversi progresif, reaksi berlangsung terus menerus
di seluruh partikel padat (Levenspiel, 1999).
b. Shrinking Core Model(SCM)
Menurut Levenspiel (1999)Shrinking core model atau model kinetika inti yang
menyusut adalah sebuah model perhitungan matematika untuk menggambarkan
fenomena reaksi fluida padatan. Model matematika ini digunakan untuk reaksi
non katalitikdengan fluida.Shrinking core model merupakan salah satu model
16
perhitungan matematika dari dua model perhitungan matematika.Shrinking core
model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pertama kali dikulit terluar dari
partikel.Zona reaksi kemudian bergerak menuju inti padatan yang tidak beraksi,
meninggalkan material yang benar-benar terkonversi dan padatan inert yang
disebut sebagai "abu."Dengan demikian, setiap saat ada inti material yang tidak
bereaksi yang menyusut ukurannya selama reaksi, seperti ditunjukkan pada
Gambar 3.
Gambar 3. Reaksi yang terjadi menurut model kintetika inti yang menyusut
(Levenspiel, 1999).
17
Gambar 4. Mekanisme reaksi yang terjadi menurut kinetika inti yang
menyusut menurut Levenspiel (1999).
Levenspiel (1999) menyatakan bahwa model ini pertama kali
dikembangkan oleh Yagi dan Kunii, yang memvisualisasikan lima langkah yang
terjadi berturut-turut selama reaksi bisa dilihat pada Gambar 4.
1) Pereaksi berdifusi melalui lapisan gas yang mengelilingi partikel ke
permukaan padatan.
2) Pereaksi berdifusi melalui lapisan abu ke permukaan inti yang tidak bereaksi.
3) Pereaksi dengan inti padatan saling bereaksi.
4) Produk berdifusimelalui lapisan abu kemudian kembali ke permukaan padat.
5) produkberdifusi melalui lapisan gas dan kembali fasa cairan.
Dalam beberapa situasi, beberapa langkah ini tidak ada. Sebagai contoh, jika
tidak ada produk gas terbentuk, langkah 4 dan 5 tidak berkontribusi langsung pada
ketahanan terhadap reaksi, serta hambatan dari langkah yang berbeda biasanya
sangat bervariasi satu dari yang lain. Dalam kasus seperti itu kita dapat
mempertimbangkan langkah tersebut untuk mengendalikan laju (Levenspiel,
1999).
18
Kinetika reaksi pelarutan residu dekomposisi ini dapat didekati dengan model
kinetika inti yang menyusut (shrinking core model atau disingkat SCM).
Penggunaan model shrinking core untuk analisis kinetika pelarutan residu
dekomposisi dilandasi asumsi-asumsi sebagai berikut:
a) Partikel bijih berbentuk bulat
b) Terdapat mineral dominan yang tidak ikut terlarut yang membentuk lapisan
padat yang porous pada permukaan inti yang bereaksi.
c) Terbentuk lapisan (film) fluida tipis pada permukaan mineral
d) Konsentrasi asam dianggap cukup tinggi sehingga tidak berubah secara
signifikan dengan berjalannya waktu
e) Ukuran partikel bijih tidak berubah (hanya inti yang bereaksi yang ukurannya
menyusut terhadap waktu)
Menurut Levenspiel (1999), model-model matematika untuk setiap jenis
pengendali laju reaksi sesuai shrinking core model dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1) Difusi melalui lapisan film fluida (NBL: Nernst Boundary Layer) pada
permukaan bijih
(4)
(5)
2) Difusi melalui lapisan produk padat yang tidak bereaksi
( )
( ) (6)
(7)
3) Reaksi antarmuka
19
( )
(8)
(9)
t = waktu pelindian (detik)
τ = waktu pelarutan hingga logam tanah jarang dalam monasit dianggap habis
bereaksi (menit)
XB= fraksi logam tanah jarang yang terkonversi (mol) pada waktu t (detik),
R = nilai rata-rata dari jari-jari partikel (meter)
ΡB= densitas molar bijih (mol/m
3
)
b = perbandingan mol reagen pelarutan terhadap mol logam tanah jarang yang
bereaksi
CAg= adalah konsentrasi asam yang digunakan (mol/m
3
)
kl= adalah konstanta difusi melalui film fluida pada permukaan bijih (m/detik)
De = koefisien difusi pada lapisan padat yang tidak bereaksi (m
2
/detik)
k″ = konstanta laju reaksi orde pertama (detik-1
).
Konstanta laju reaksi sangat bergantung pada suhu reaksi. Menurut
Arrhenius suhu mempengaruhi konstanta laju reaksi (k), dengan persamaan
sebagai berikut:
( )
(10)
dimana,
A = faktor tumbukan
E = energi aktivasi (J/mol)
R = konstanta gas ( 8,314J/mol.K)
20
T = suhu reaksi (K)
Energi aktivasi (E) adalah energi minimum yang harus dimiliki oleh suatu
reaktan untuk dapat bereaksi. Nilai dari energi aktivasi didapat dari eksperimen
yang dilakukan pada suhu yang berbeda dan dapat ditunjukkan dengan
persamaan:
(
) (11)
Dari Persamaan 11 dapat diuraikan bahwa dengan membuat grafik hubungan ln k
terhadap 1/T, maka nilai -E/R dapat ditentukan(Purba & Khairunisa, 2012).
Kinetika reaksi akan dilakukan jika sudah dapat data dari hasil penelitian,
sebelum didapatkan data sampel harus dianalisis terlebih dahulu oleh instrumen.
Instrumen yang digunakan yaitu XRF dan ICP-OES
2.5 XRF (X-ray Fluorescence Spectrometry)(Setiabudi dkk., 2012)
Sampel yang akan dianalisis dengan XRF adalah sampel monasit hasil tahap
dekomposisi jalur basa yaitu residu dekomposisi. Analisa XRF merupakan salah
satu contoh analisis yang didasarkan pada perilaku atom yang terkena
radiasi.Interaksi atom dengan cahaya dapat menyebabkan berbagai fenomena
yang dipengaruhi oleh kuatnya intensitas cahaya yang berinteraksi dengan atom
tersebut. Ketika material berinteraksi dengan cahaya yang memiliki energi tinggi
(sebagai contoh: sinar-X), maka dapat menyebabkan terpentalnya elektron yang
berada pada tingkat energi paling rendah pada suatu atom. Akibatnya atom berada
pada keadaan yang tidak stabil sehingga elektron yang berada pada tingkat (kulit
valensi) yang lebih tinggi akan mengisi posisi kosong yang ditinggalkan oleh
elektron yang terpental tadi. Proses pengisian posisi elektron pada kulit valensi
yang lebih rendah dinamakan deeksitasi. Proses deeksitasi ini akan disertai dengan
21
pemancaran cahaya dengan energi yang lebih kecil daripada energi yang
menyebabkan tereksitasinya elektron. Energi yang dipancarkan ini dinamakan
radiasi flouresensi.Radiasi flouresensi ini memiliki energi yang khas tergantung
dari elektron yang tereksitasi dan terdeeksitasi pada atom penyusun sebuah
material.Kekhasan karakteristik dari radiasi flouresensi pada setiap unsur ini
memungkinkan dapat dilakukannya analisa kualitatif untuk mengidentifikasi
unsur-unsur yang berbeda.Sementara itu, analisa kuantitatif untuk menentukan
konsentrasi dari unsur yang dianalisis dapat ditentukan berdasarkan intensitas dari
radiasi fluoresensi yang dipancarkan.
Dalam mengidentifikasi unsur-unsur pada sebuah material, sangat
memungkinkan setiap unsur berbeda yang terdapat pada material tersebut
memancarkan radiasi sebagai hasil interaksi dengan berkas cahaya yang mengenai
material tersebut, sehingga pada akhirnya masing-masing berkas monokromatik
yang dihasilkan akan bergabung memancarkan berkas cahaya polikromatik. Untuk
dapat mengidentifikasi keberadaan sebuah unsur dalam suatu sampel (analisa
kualitatif unsur), berkas cahaya polikromatik yang dipancarkan dari sampel
(sebagai gabungan hasil interaksi atom unsur penyusun material sampel dengan
sinar-X) harus dipisahkan menjadi berkas cahaya monokromatik yang memiliki
masing masing panjang gelombang dengan energi yang berbeda.Pada prinsipnya,
instrument XRF dapat menggunakan dua buah teknik untuk memisahkan berkas
polikromatik menjadi berkas monokromatik.Teknik yang pertama adalah teknik
pemisahan panjang gelombang (wavelength-dispersive), sedangkan teknik yang
kedua adalah teknik pemisahan energi (energy dispersive). Teknik pemisahan
panjang gelombang dapat memanfaatkan kemampuan kristal single untuk
22
mendifraksikan berkas cahaya sehingga dihasilkan pita panjang gelombang yang
berbeda-beda. Sementara teknik pemisahan energi dapat dilakukan dengan
menggunakan detektor yang dapat mengisolasi pita energi yang berbeda-
beda.Setiap transisi elektron yang terjadi pada setiap atom unsur, memiliki nilai
panjang gelombang tertentu yang telah diketahui besarannya. Oleh karena itu,
dengan diketahuinya panjang gelombang apa saja yang terdapat pada berkas
cahaya yang dipancarkan dari sampel, maka dapat diidentifikasi unsur apa saja
yang terdapat pada sampel tersebut. Sementara konsentrasi unsur dalam sampel
dapat diketahui dari intensitas panjang gelombang yang terekam pada pita panjang
gelombang tersebut. Instrumentasi XRF terdiri dari dua bagian utama, yaitu
sumber utama sinar-X (primary X-ray) dan peralatan untuk mendeteksi sinar-X
yang dipancarkan dari sampel (secondary X-ray)(Setiabudi dkk., 2012). Adapun
secara lengkap, bagian-bagian lain yang terdapat pada instrumen XRF
sebagaimana ditunjukan pada Gambar 5.
Gambar 5.Instrumen XRF dan Bagian-bagiannya (Setiabudi dkk., 2012)
23
1. Tabung Sinar X
Tabung sinar-X (X-ray tube) merupakan sumber produksi sinar-Xyang akan
digunakan sebagai berkas cahaya untuk mengeksitasikan elektron pada sampel.
Pada tabung sinar-X ini terdapat bagian filamen sebagai sumber elektron dan plat
logam sebagai target untuk menghasilkan sinar-X. Elektron yang terlepas ketika
filamen dipanaskan kemudian dipercepat oleh medan magnet sehingga memiliki
energi yang cukup besar untuk menumbuk plat logam sehingga menyebabkan
elektron pada platlogam tereksitasi. Elektron yang berada pada tingkat orbital
yang lebih tinggi kemudian mengisi kekosongan posisi yang ditinggalkan oleh
elektron yang tereksitasi sambil memancarkan sinar-X.Sinar-X ini lah yang
kemudian diarahkan menuju sampel melalui filter. Plat logam yang digunakan
pada tabung sinar-X bermacam-macam, seperti Cu, Al, Rh, dan lain-lain.
2. Filters
Filters yang diletakan diantara tabung sinar-X dengan sampel berfungsi sebagai
penyaring berkas sinar yang dipancarkan dari tabung sinar-X. Berkas sinar ini
perlu disaring untuk memisahkan komponen yangtidak diinginkan yang dapat
mengganggu signal yang dihasilkan untuk dianalisa. Alumunium foil (Al) dan
tembaga (Cu) biasanya digunakan sebagai material pada filter. Material filter ini
dapat disesuaikan dengan kepentingan analisa. Sebagai contoh, ketika melakukan
analisa keberadaan Rh dalam sebuah sampel menggunakan sumber sinar-X yang
dilengkapi oleh plat Rh, maka berkas sinar-X yang dipancarkan dari tabung sinar-
Xharus disaring, jika tidak, maka berkas cahaya yang dipancarkan dari sumber
akan dapat terdeteksi sebagai sinar-X yang terpancarkan dari sampel sehingga
mengganggu analisa kualitatif.
24
3. Collimators
Bagian ini berfungsi untuk memperjelas resolusi berkas sinar-X yang dipancarkan
dari sampel yang terkena radiasi sehingga mempertajam berkas sinar untuk
dianalisa.
4. Analyzer crystal
Bagian ini berfungsi untuk mengubah berkas cahaya polikromatik yang
dipancarkan dari sampel menjadi masing-masing berkas cahaya monokromatik
dengan panjang gelombang berbeda sehingga dapatdilakukan analisa kualitatif
untuk menentukan kandungan unsur dalam sampel berdasarkan panjang
gelombang dari masing-masing berkas cahaya monokromatik tersebut
2.6 ICP-OES (Inductively Coupled Plasma-Optical Emission Spectrometry)
Sampel yang akan dianalisis adalah sampel filtrat pelarutan dengan HCl. ICP-
OES adalah instrumen untuk mengukur unsur yang spesifik dalam sampel. Prinsip
dasarnya adalah emisi spontan dari foton atau ion yang tereksitasi, sampel
dikonversi menjadi aerosol kemudian dialirkan ke saluran plasma argon dengan
suhu tinggi sekitar 6000-10.000K sehingga aerosol cepat menguap dan
dibebaskan sebagai atom bebas dalam bentuk gas. Eksitasi lebih lanjut plasma
mengirimkan energi tambahan ke atom kemudian tereksitasi dan kembali ke
keadaan dasar melalui emisi foton.Foton ini memiliki karakterisasi energi yang
ditentukan oleh tingkat energi terkuantisasi untuk unsur dan atom.Dengan
demikian panjang gelombang foton digunakan untuk mengidentifikasi unsur yang
ada dalam sampel. Jumlah total foton berbanding lurus dengan konsentrasi unsur
dalam sampel. Sistem ICP / OES relatif sederhana.Sebagian dari foton
dipancarkan oleh ICP dikumpulkan dengan lensa atau cermin cekung.Optik yang
25
fokus ini membentuk gambar ICP aktif kemudian masuk ke perangkat pemilihan
panjang gelombang seperti monokromator.Panjang gelombang tertentu yang
keluar dari monokromator diubah menjadi sinyal listrik oleh fotodetektor. Sinyal
diperkuat dan diproses oleh detektor elektronik, kemudian ditampilkan dan
disimpan oleh komputer (Hou & Jones, 2000).
Menurut Boss & Fredeen (2004)Pada sistem ICP-OES sampel biasanya
berbentuk cairan diangkut ke dalam instrumen. Pada bagain dalam instrumen,
cairan diubah ke dalam bentuk aerosol melalui proses yang dikenal sebagai
nebulization. Sampel aerosol kemudian diangkut ke plasma dimana akan
dihancurkan, diuapkan diatomisasi dan tereksitasi dan/atau terionisasi oleh
plasma. Atom dan ion yang tereksitasi memancarkan radiasinya kemudian
terdeteksi dan diubah menjadi konsentrasi untuk para analis.Representasi tata
letak ICP-OES ditunjukkan pada Gambar 6.
26
Gambar 6. Komponen utama dan tata letak pada instrumen ICP-
OES(Boss & Fredeen, 2004)
1. Nebulizer
Nebulizer adalah alat yang mengubah cairan menjadi aerosol yang dapat
diangkut ke plasma. Proses nebulasi adalah salah satu langkah penting dalam ICP-
OES. Sistem pengantar sampel yang ideal adalah sistem yang memberikan semua
sampel ke plasma yang dapat dihancurkan, diuapkan, diatomisasi, diionisasi dan
dieksitasi.Karena hanya dengan sedikit tetesan yang berguna dalam ICP,
kemampuan untuk menghasilkan tetesan kecilberbagai macam sampel sangat
menentukan kegunaan nebulizer untuk ICP-OES.
Banyak cara dapat digunakan untuk memecah cairan menjadi aerosol; namun,
hanya dua yang berhasil digunakan dengan ICP, gaya pneumatik dan gaya
ultrasonik. Kebanyakan nebulizer ICP komersial adalah dari tipe
pneumatik.Nebulizer ini menggunakan aliran gas berkecepatan tinggi untuk
membuat aerosol.Penggunaan nebulizer pneumatik dalam ICP-OES mengikuti
penggunaan dan pengembangannya dalam spektrometri serapan atom, dengan satu
perbedaan penting dalam pertimbangan desain.Dalam serapan atom, aliran gas
pada urutan sepuluh liter per menit yang sering digunakan untuk nebulisasi,
sedangkan aliran nebulisasi di ICP optimal sekitar satu liter per menit. Bertahun-
tahun penelitian telah meninggalkan kami dengan tiga nebulisator pneumatik,
masing-masing dengan kelebihannya sendiri
27
2. Pumps
Pompa peristaltik, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7, hampir secara
ekslusif merupakan pompa pilihan untuk aplikasi ICP-OES. Pompa ini
menggunakan serangkaian rol yang mendorong larutan sampel melalui pipa
menggunakan proses yang dikenal sebagai peristaltik. Pompa itu sendiri tidak
bersentuhan dengan larutan, hanya dengan pipa yang membawa larutan dari
bejana sampel ke nebulizer. Dengan demikian, potensi kontaminasi dari pelarut
lain yang mungkin ada dengan jenis pompa lain tidak menjadi perhatian.
Pipa khusus yang digunakan dengan pompa peristaltik harus kompatibel
dengan sampel yang melewatinya.Sebagian besar jenis tabung pompa peristaltik
kompatibel dengan media berair lemah.Namun, memompa larutan yang sangat
asam atau pelarut organik biasanya membutuhkan penggunaan tabung yang
terbuat dari bahan tertentu.Manual Operator instrumen ICP-OES sering
menyertakan panduan untuk pemilihan tubing yang tepat. Jika informasi ini tidak
disediakan, analis harus berkonsultasi dengan tabel resistivitas kimia untuk
memilih tabung pompa yang tepat ketika asam kuat atau pelarut organik akan
dipompa.
28
Gambar 7. Pompa peristaltik yang digunakan pada instrument ICP-OES(Boss &
Fredeen, 2004)
3. Spray Camber
Setelah aerosol sampel dibuat oleh nebulizer, sampel harus diangkut ke torch
sehingga dapat disuntikkan ke dalam plasma.Karena hanya tetesan yang sangat
kecil di aerosol yang cocok untuk injeksi ke dalam plasma, ruang semprot
ditempatkan di antara nebulizer dan torch.Beberapa desain ruang semprot ICP
khas ditunjukkan pada Gambar 8.Fungsi utama dari ruang semprot adalah untuk
menghilangkan tetesan besar dari aerosol.Tujuan kedua dari ruang semprot adalah
untuk memperkecil getaran yang terjadi selama nebulisasi, seringkali karena
memompa larutan.
Secara umum, ruang semprot untuk ICP dirancang untuk memungkinkan
tetesan dengan diameter sekitar 10 µm atau lebih kecil lewat ke plasma.Dengan
nebulizer tipikal, kisaran tetesan ini merupakan sekitar 1 - 5% dari sampel yang
diperkenalkan ke nebulizer.Sisa 95 - 99% sampel dikeringkan ke dalam wadah
limbah.Bahan untuk membuat ruang semprot dapat menjadi karakteristik penting
dari ruang semprot.Ruang semprot yang terbuat dari bahan tahan korosi
29
memungkinkan analis untuk mengetahui sampel yang mengandung asam
hidrofluorik yang dapat merusak ruang semprotan kaca. Tipe spray chamber
terbagi menjadi dua jenis bisa dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Tipe spray chamber yang digunakan pada ICP-OES. A jenis scott
double pass B jenis conical single pass dengan impact bead (Boss &
Fredeen, 2004)
4. Drains
Drainsmerupakan bagian sederhana dari sistem pengenalan sampel, saluran
pembuangan yang membawa sampel berlebih dari ruang semprotan ke wadah
limbah dapat berdampak pada kinerja instrumen ICP. selain membawa sampel
berlebih, sistem drainase memberikan tekanan balik yang diperlukan untuk
memaksa sampel gas nebulizer pembawa aerosol sampel melalui tabung injektor
torch dan ke dalam pelepasan plasma, jika sistem drainase tidak mengalirkan
secara merata atau jika memungkinkan gelembung lewat melalui itu, injeksi
sampel ke dalam plasma dapat terganggu dan emisi dapat terjadi.
Drainuntuk sistem pengenalan sampel ICP-OES ada dalam berbagai bentuk
yaitu loop, blok, tabung-u atau bahkan pipa yang terhubung ke pompa peristaltik.
Kinerja yang tepat juga penting untuk menjaga tingkat cairan dalam sistem
30
pembuangan pada posisi yang disarankan.Selain itu ketika memasukkan sampel
berbasis organik ke dalam ICP, mungkin perlu untuk menggunakan pipa drainase
yang ditunjukkan untuk digunakan dengan pelarut organik.
31
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Julisampai Desember 2018.Penelitian dan
pengukuran dilakukan di LaboratoriumTeknologi Penambangan dan Pengolahan,
Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir, Badan Teknologi Nuklir Nasional
(PTBGN-BATAN) Pasar Jumat, Jakarta Selatan.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas, hot plate, mesin
pengaduk, termometer, porselen corong, kertas saring, mesin vakum, botol vial,
kertas pH, stirrer, neraca analitik, ball millingjenis impeller jenis 4-blade radial
turbine, ICP-OESPerkin Elmer, XRFSpectra Xepos Amestek.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasir monasit (ukuran lolos
325 mesh), residu dekomposisi, NaOH padat, air, HCl 5M, HNO3, aquades.
32
3.3 Diagram Alir
4.3
Gambar 9. Diagram alir penelitian
Milling
Monasit -
325 mesh
Dekomposisi
jalur basa
Filtrasi (dicuci
dengan air panas
sampai pH 9,8
Filtrat Na3PO4
Monasit:NaOH:Air= 1:1,5:1,7
Temperatur = 140oC
Waktu = 4 jam
Pelarutan
Analisis
XRF
HCl 5 M= 750 ml
variasi suhu = 70-85oC
diambil 25 ml sesuai
variasi waktu = 0-240
menit
Dicuplik sesuai variasi waktu
pada masing-masihng suhu
(batch berbeda)
Analisis ICP = LTJ
Analisis data
dengan persamaan
SCM
Analisis
XRF
Residu U,
Th, LTJ(OH)
Filtrat U, Th, LTJ(Cl)
Data
Monasit
NaOH padat
+Air
HCl
33
3.4 Cara Kerja
3.4.1 Preparasi Umpan Monasit(Ani & Sumarni, 2016a).
Diambil sebanyak 3 kg monasit kemudian sample digiling dengan ball mill
selama kurang lebih 2-3 jam kemudian sampel diayak sampai ukuran -325 mesh
dan diambil 1 kg untuk dibuat umpan. 300 g NaOH dengan 340 ml air dilarutkan
di dalam gelas beaker menggunakan mesin pengaduk dan dimasukkan 200 g
sampel monasit untuk dekomposisi.Larutan dipanaskansampai suhu 140oC,
setelah suhu konstan ditunggu selama 4 jam. Setelah 4 jam, larutan kemudian
diencerkan dengan 200 ml air panas sebanyak 3 kali. Larutan yang sudah
diencerkan disaring dan dicuci dengan air panas sampai pH 9,8 menggunakan
mesin vakum. Larutan yang sudah divakum menghasilkan endapan atau residu
dekomposisi.Residu dekomposisi dibiarkan semalaman agar menjadi endapan
yang kering. Sampel monasit ukuran -325 mesh dan residu dekomposisi
dikarakterisasi dengan X-Ray Fluoroscence (XRF) untuk mengetahui komposisi
kimia dominan di dalam masing-masing sampel.
3.4.2 Pelarutan Residu Dekomposisi dengan Asam Klorida (HCl)(Ani &
Sumarni, 2016b).
Pengaduk yang digunakan dalam proses pelarutan dan hot plate dalam
perlakuannya. Residu dekomposisi diambil sebanyak 50 g ditambah dengan air 15
ml dan HCl 5M 750 ml kemudian dilarutkan pada variasi suhu 70, 75 dan 80 di
batch yang berbeda, sampel kemudian dicuplik 25 ml dengan variasi waktu 0, 15,
30, 75, 90, 105, 120, 135, 150, 165 dan 180 setelah itu dimasukkan ke dalam botol
vial dan didiamkan sampel sehingga terbentuk fase cair dan fase padat. Fase cair
34
yang nanti akan dianalisis menggunakan ICP-OES.Variasi yang dilakukan dalam
percobaan pelindian disajikann pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Variasi kondisi pada percobaan pelarutan menggunakan asam
klorida
Variasi suhu (°C) 70°C, 75°C dan 80°C
Variasi waktu (menit) 0, 15, 30, 75, 90, 105, 120, 135, 150, 165, 180
menit
3.4.3 Karakterisasi Sampel
a. Analisis Sampel Monasit dengan XRF (X-Ray Flouroscence).
Sampel monasit yang sudah diayak sampai ukuran -325 mesh dan residu
dekomposisi dianalisis dengan XRF untuk mengetahui komposisi dalam
sampel.Sebanyak 5 gram sampel kering dihomogenkan dengan 1 gram serbuk
binder Cereox.Kemudian serbuk dipadatkan menggunakan hydraulic press specac
dengan beban tekan 15 ton hingga membentuk pelet berbentuk koin berdiameter 5
cm. Sampel yang sudah dibentuk menjadi pelet kemudian dianalisis dengan
instrumen XRF.Hasil dari analisis XRF adalah komposisi sampel dalam bentuk
konsentrasi.
b. Analisis LTJ dengan Metode ICP-OES(Sumiarti & Alwi, 2018)
Sampel filtrat hasil cuplikan pada variasi waktu dengan masing-masing suhu
pada batch yang berbeda dianalisis dengan ICP-OES.Preparasi sampel dilakukan
dengan cara sampel diencerkan sesuai dengan kadar standar kalibrasi 0,5 ppm –
50 ppm. Larutan standar diukur pada panjang gelombang masing-masing unsur
35
yang sudah diatur pada metode penetapan unsur logam tanah jarang dengan ICP-
OES.Larutan sampel diukur dengan metode standar analisis unsurlogam tanah
jarang dengan ICP-OES.
Kurva kalibrasi standar mayor dan minor dibuat dengan cara berikut.
Pembuatan larutan standar mayor, pertama deret standar unsur Ce, Pr, Nd, Sm,
Gd, La, Y dan Dy dipipet dengan kadar 0,5; 2; 5; 10; 20; 50 ppm ke dalam
masing-masing labu ukur. Larutan standar minor dibuat dengan cara deret standar
unsur Eu, Tb, Ho, Er, Tm, Yb dan Lu dipipet dengan kadar 0,5; 2; 5; 10; 20; 50
ppm ke dalam masing-masing labu ukur. sampel larutan standar yang dianalisis
yaitu Ce, La, Pr, Nd Gd, Dy dan Y.
c. Analisis Data
Data yang dihasilkan dari analisis LTJ dalam filtrat pelarutan dengan ICP OES
dalam bentuk konsentrasi LTJ pada berbagai variasi parameter dihitung dengan
Persamaan (4), (5), (6), (7), (8) dan (9) menggunakan excel. Untuk menentukan
modellingmenggunakan shrinking core modeldengan 3 cara, yaitu :
1. Difusi melalui lapisan film tipis dengan cara memplotkan data ke dalam grafik
antara XB dengan t (waktu) dimana XB diperoleh dari Persamaan (4).
2. Difusi melalui lapisan produk padat yang tidak bereaksi dengan cara
memplotkan data ke dalam grafik antara (1-3(1-XB)2/3
+2(1-XB) dengan t
(waktu) dimana (1-3(1-XB)2/3
+2(1-XB) diperoleh dari Persamaan (6).
3. Reaksi antarmuka dengan cara memplotkan data ke dalam grafik antara (1-(1-
XB)1/3
) dengan t (waktu) dimana (1-(1-XB)1/3
) diperoleh dari Persamaan (8).
Setelah ditentukan model yang sesuai untuk pengendalian laju reaksi pelarutan
residu dekomposisi pada monasit dilakukan penentuan energi aktivasi. Jika model
36
tersebut mengikuti model kinetika difusi melalui lapisan film tipis maka untuk
mentukan koefisien difusi melalui lapisan film tipis digunakan Persamaan (5) dan
untuk menentukan energi aktivasinya digunakan Persamaan Arrhenius :
(12)
Jika model tersebut mengikuti model kinetika difusi melalui lapisan produk padat
yang tidak bereaksi maka untuk menentukan koefisien difusi melalui lapisan
produk padat yang tidak bereaksi digunakan Persamaan (7), dan untuk
menentukan energi aktivasinya digunakan Persamaan Arrhenius :
(13)
Jika model tersebut mengikuti model kinetika reaksi antarmuka maka untuk
menentukan konstanta laju reaksi antarmuka digunakan Persamaan (9) dan untuk
menentukan energi aktivasinya digunakan Persamaan Arrhenius :
(14)
37
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembuatan Umpan
Pembuatan umpan LTJ(OH)3dari monasit dilakukan dengan metode
dekomposisi. Dekomposisi merupakan tahap pertama dari pengolahan monasit,
pada tahap ini dekomposisi terbagi menjadi 2 metode yaitu jalur asam
menggunakan reagen asam dan jalur basa menggunakan reagen basa. Pada
penelitian ini menggunakan dekomposisi jalur basa yang mereaksikan monasit, air
dan NaOH padatan dengan rasio 1:1,5:1,7 pada suhu 140°C selama 4 jam. Selama
reaksi, ikatan fosfat pada monasit akan diputus dengan NaOH dan membentuk
LTJ, U, Th(OH)3 pada residu dekomposisi beupa endapan yang bebas fosfat dan
terjadi reaksi kimia seperti pada Persamaan (15), (16) dan (17) (Pancoko, 2014).
2 LTJPO4 (s) + 6 NaOH (s) → 2 LTJ(OH)3 (s) + 2 Na3PO4 (l) (15)
Th3(PO4)4 (s)+ 12 NaOH (s)→ 3 Th(OH)4 (s)+ 4 Na3PO4 (l) (16)
(UO2)3(PO4)2 (s) + 6 NaOH (s)→ 3 UO2(OH)2 (s)+ 2 Na3PO4 (l) (17)
Karena stabilitas termal yang tinggi, LTJ fosfat sangat sulit untuk
terdekomposisi bahkan pada suhu tinggi dan karenanya sangat tidak mungkin
untuk mengalami defosforilasi melalui pemanasan suhu tinggi. Selain itu dalam
proses metalurgi, reaksi antara fosfor dan LTJ menghasilkan pembentukan
berbagai fosfida yang menyebabkan kerusakan kompleks LTJ. Oleh karena itu,
sangat penting untuk menghilangkan fosfat yang ada pada monasit untuk
meningkatkan pelarutan LTJ (Panda et all., 2014).
38
Menurut Nuri et all., (2014) pengambilan atau pemisahan fosfat (PO4)
melalui proses dekomposisi jalur basa menggunakan pemisahan padat cair yaitu
fosfat yang dihasilkan berupa kristal Na3PO4berwarna orange dan untuk proses
pemisahan dari endapan (RE,U,Th)OH dilakukan pemisahan padat cair dengan
dicuci air panas, dimana fosfat mudah larut dengan air panas. Jika diinginkan
produk U, Th dan logam tanah jarang lebih murni atau bersih dari pengotor lain
bisa dilakukan dengan proses lanjutan dengan sistem pemekatan dan ekstraksi.
Residu dekomposisi kemudian dikarakterisasi dengan XRF yang dilakukan
umtuk mengetahui kadar senyawa yang terkandung dalam sampel. Analisis ini
bertujuan untuk menentukan kadar senyawa yang dominan pada sampel monasit.
Berikut adalah senyawa dominan yang ada dalam monasit disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Senyawa dalam Umpan Monasit dan Residu Dekomposisi
Senyawa
Konsentrasi
dalam
Umpan
Monasit
(ppm)
Konsentrasi
dalam Residu
Dekomposisi
(ppm)
Senyawa
Konsentrasi
dalam
Umpan
Monasit
(ppm)
Konsentrasi
dalam
Residu
Dekomposisi
(ppm)
Na2O 30650 30910 Pr 1721 1079
P2O5 80250 17650 Nd 8906 8933
S 2883 1129 Sm 1115 1164
Fe2O3 8480 7080 Er 717 616
Y 6574 6392 Yb 1076 998
ZrO2 1340 1337 Th 7094 6911
SnO2 3490 3343 U 312.9 230
TiO2 3670 3040
La2O3 16750 16960
Ce2O3 35000 35210
39
Pada tabel diatas bisa dilihat bahwa senyawa P2O5 sudah banyak berkurang
yang artinya dekomposisi memang bertujuan untuk mengurangi fosfat yang
terkandung di dalam monasit.Senyawa Na2O yang sedikit bertambah
konsentrasinya pada residu dekomposisi diakibatkan adanya sedikit NaOH yang
tidak bereaksi dengan fosfat. Senyawa La2O3 dan Ce2O3 juga bertambah
konsentrasinya pada residu dekomposisi karena kedua senyawa tersebut
kandungannya sudah tinggi di dalam monasit dan mengalami pemekatan
konsentrasi saat proses dekomposisi sedangkan untuk senyawa uranium kadarnya
rendah karena senyawa uranium hanya sedikit terkandung di dalam monasit.
4.2 Pelarutan Residu Dekomposisi menggunakan HCl
Pelarutan merupakan tahap kedua dari pengolahan monasit.Pada tahap ini
pelarutan dapatmenggunakan reagen asam seperti HCl, H2SO4 dan HNO3.Pada
penelitian ini menggunakan reagen asam klorida (HCl).Konsentrasi asam klorida
dipilih 5M dari perhitungan stoikiometri antara LTJ dalam monasit dengan HCl
sehingga perubahan konsentrasi HCL selama pelarutan dianggap tidak ada
(konsentrasi reagen pelarutan dapat dijaga tetap selama pelarutan). Kinetika
pelarutan monasit menggunakan shrinking core model ini parameter yang berubah
hanya fraksi mol oksida [LTJ(OH)3]sementara parameter lain dijaga tetap yaitu
ukuran partikel (-325 mesh), kecepatan pengadukan (190-250 rpm), persen
padatan dan konsentrasi HCl. Parameter konsentrasi HCl dijaga tetap
menggunakan konsentrasi yang lebih tinggi dari perhitungan stoikiometrinya dan
menggunakan persen padatan yang relatif rendah. Menurut Mubarok & Fathoni,
(2016)dengan menjaga parameter tersebut tetap, maka kinetika pelarutan dapat
dievaluasi dari perubahan fraksi oksida yang terkonversi (mol) (XB) terhadap
40
waktu tanpa dipengaruhi oleh perubahan konsentrasi HCl, ukuran partikel, persen
padatan dan suhu. Variasi suhuyang dipilih adalah 70oC, 75
oC dan 80
oC dan
variasi waktu yang dipilih adalah 0, 15, 30, 75, 90, 105, 120, 135, 150, 165 dan
180menit.Hasil dari analisis data parameter waktu dan suhu pada pelarutan
denganHCl menggambarkansemakin lama waktu pelarutan maka massa LTJ(Cl)3
yang terekstraksi semakin naik disajikan pada Gambar 10 reaksi yang terjadi ada
pada Persamaan 16, 17 dan 18.
Gambar 10. Total persen LTJ yang terlarut
HCl →H++ Cl
- (18)
LTJ(OH)3 + 3 H+ →LTJ3+
+ 3H2O (19)
3Cl-+ LTJ
3+ →LTJ(Cl)3 (20)
Hasil data analisis dari pengambilan sampel pada saat ekstraksi, massa
LTJ(Cl)3 dari menit ke menit mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini
dikarenakan semakin lama waktu pelarutan, maka reaksi antara pelarut dan
0
20
40
60
80
100
0 50 100 150 200
(%)
terl
aru
t
waktu (menit)
70°C 75°C 80°C
41
padatan semakin sempurna. Menurut Wanta et all (2017) fenomena ini dapat
terjadi karena frekuensi tumbukan yang terjadi antarmolekul meningkat apabila
waktu proses leaching ditingkatkan. Peningkatan frekuensi tumbukan
antarmolekul ini menyebabkan pembentukan produk [LTJ(Cl)3] semakin
tinggi.Pada percobaan ini waktu pelarutan diuji 0 sampai 180 menit, kondisi
pelarutan yang lain dipertahankan yaitu konsentrasi HCl 5M, kecepatan
pengadukan 190-250 rpm, rasio padat/cair 1:15 pada masing-masing suhu.
Efisiensi pelarutan total LTJ masing-masing pada menit ke-180 pada suhu 70
mencapai 56,94%, suhu 75 mencapai 99% dan suhu 80 mencapai 75,38%. Karena
itu, dapat disimpulkan bahwa kontak 180 menit mewakili kondisi yang disukai
oleh LTJ
Pada Gambar 10 efisiensi kelarutan yang tertinggi yang didapat pada pelarutan
residu dekomposisi adalah 75oC.Li et all (2019) melakukan optimasi suhu pada
pelarutan menggunakan HCl dengan rentang suhu 40-70oC dengan waktu
pelarutannya yaitu 55 menit.Seiring meningkatnya suhu, kenaikan efisiensi
ekstraksi juga semakin besar.Optimasi dilakukan lagi dengan rentang suhu 75-
95oC dengan waktu pelarutannya 45 menit, kenaikan efisiensi ekstraksi juga
semakin besar.Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa suhu optimum untuk pelarutan
LTJ yaitu lebih besar dari 75oC berarti bahwa suhu 75
oC sudah mencapai suhu
optimum maka tidak perlu lagi adanya kenaikan suhu. Hal ini adalah suatu
keuntungan dari segi ekonomiyaitu penggunaan bahan bakar yang lebih sedikit
untuk skala indutri karena suhu yang lebih rendah sudah bisa mendapatkan
efisiensi kelarutan yang tinggi jika dibandingkan dengan penelitian yang
42
dilakukan oleh Gado et all (2019)yang mendapatkan suhu optimum pada
pelarutan monasit Rosetta yaitu 100oC.
Massa total LTJ mengalami kenaikan dari suhu 70°C ke suhu 75°Cakan
tetapi pada suhu 80°C mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan pada saat
ekstraksi pada suhu 75°C menjadi suhu yang paling optimum saat mengekstraksi
LTJ(Cl)3, LTJ yang dipakai untuk kinetika pelarutan ini adalah Ce, La, Pr, Sm, Nd
dan Y. Menurut Free (2013) sebagian besar logam tanah jarang yang mayor
(ringan) (La, Ce, Pr, Nd, Sm) sangat sensitif terhadap suhu. Pada recovery Ce, Pr
dan Nd meningkat dari 36 %, 39 % dan 36% menjadi 79 %, 84 % dan 80 %
masing-masing dengan peningkatan suhu dari 25°C -75°C.
Berdasarkan Persamaan 19, konsentrasi asam klorida yang semakin tinggi
menyebabkan jumlah ion hidrogen (H+) yang terbentuk pada tahap disosiasi asam
juga semakin meningkat. Jumlah ion H+ yang bertambah mengakibatkan
terjadinya peningkatan aktivitas pada tahap proton attack. Ion H+ bereaksi dengan
senyawa LTJ(OH)3 yang terkandung di dalam sampel umpan (residu
dekomposisi). Semakin banyak ion H+ yang bereaksi menyebabkan ion LTJ (III)
(LTJ3+
) yang terbentuk akibat reaksi proton attack juga semakin bertambah.
Dengan demikian, pembentukan produk LTJ klorida[LTJ(Cl)3] juga akan
meningkat(Wanta et all., 2017).
Pelarutan denganHCl membutuhkan sedikit jumlah asam dibandingkan H2SO4
dan kelarutan LTJ(OH)3 menggunakan HCl lebih besar jika dibandingkan dengan
H2SO4. Menurut Xiao et all(2016) HCl mempunyai tingkat pelarutan tercepat
mencapai recovery sebesar 73% setelah lima menit pertama pelarutan dan
mencapai kesetimbangan setelah tiga jam. HNO3 juga mempunyai tingkat
43
pelarutan yang cepat pada tiga puluh menit pertama pelarutan.H2SO4 adalah yang
paling kurang efektif dan mempunyai tingkat pelarutan yang paling lambat.Ion
sulfat memiliki kemampuan koordinasi yang lebih tinggi dengan senyawa lain
dibandingkan dengan logam tanah jarang sedangkan ion klorida mempunyai
koordinasi yang tinggi dengan logam tanah jarang bahkan dalam larutan
konsentrasi monovalen yang tinggi. Selain itu, asam sulfat memerlukan dua
langkah reaksi disosiasi untuk melepaskan H+ ke dalam larutan sedangkan asam
klorida dan asam nitrat terdisosiasi lebih cepat.(Yu et all., 2013)
4.3 Pengendalian Laju Reaksi
Analisis kinetika pelarutan dengan menggunakan shrinking core modelsistem
reaksi padat–cair mengansumsikan inti yang menyusut adalah LTJ yang
merupakan komponen utama monasit dari Bangka, karena itu harga XB(fraksi mol
oksida yang terlarut) ditentukan dari mol terlarut klorida dibanding dengan mol
awal dalam sampel monasit. Penentuan pengendalian laju reaksi dilakukan dengan
mengevaluasi kelinieran kurva regresi hasil percobaan pada tiga model kinetika
pada Persamaan (4), (6) dan (8).Evaluasi kelinieran regresi ditentukan dari nilai
koefisien korelasi (R2) yang paling mendekati 1. Hasil percobaan pada 3
temperatur yang berbeda terhadap tiga model kinetika shrinking core model
ditunjukkan pada Gambar 11, Gambar 12 dan Gambar 13 sementara nilai-nilai R2
dari regresi linier ditunjukkan pada Tabel 6.
44
Gambar 11. Hasil pengaluran percobaan terhadap model kintetika terkendali oleh
laju difusi melalui lapis film fluida.
Gambar 12. Hasil pengaluran percobaan terhadap model kinetika terkendali oleh
laju difusi melalui lapisan produk padat yang tidak bereaksi
y = 0.0008x + 0.383 R² = 0.9591
y = 0.0017x + 0.6291 R² = 0.9912
y = 0.0018x + 0.3631 R² = 0.9629
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
0 50 100 150 200
XB
waktu (menit)
70°C 75°C 80°C
y = 0.0004x + 0.0569 R² = 0.9281
y = 0.0025x + 0.1546 R² = 0.9151
y = 0.0011x + 0.0352 R² = 0.8836
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0 50 100 150 200
1-3
(1-X
t)^(
2/3
)+2
(1-X
t)
waktu (menit)
70°C 75°C 80°C
45
Gambar 13. Hasil pengaluran percobaan terhadap model kinetika terkendali oleh
laju reaksi kimia
Persamaan (4), (6) dan (8) mewakili proses difusi melalui lapisan film
tipis, difusi melalui produk padat yang tidak bereaksi dan reaksi kimia. Persamaan
(4) ditunjukkan pada Gambar 11. Data dari pelarutan LTJ pada suhu 70oC,75
oC
dan 80oC cocok dengan persamaan (4), kelinieran data ini dengan koefisien
korelasi (R2) yang paling besar pada suhu 75°C yaitu 0,99. Persamaan (6) dan (8)
ditunjukkan pada Gambar 12 dan 13. Data dari pelarutan LTJ pada suhu 70 o
C,
75oC dan 80
oCtidak cocok dengan Persamaan (6) dan (8) karena kelinieran data
ini dengan koefisien korelasi (R2) yang paling besar pada suhu 70
oC akan tetapi
nilai kurang dari 0,95.
y = 0.0004x + 0.1475 R² = 0.9486
y = 0.0018x + 0.2586 R² = 0.9246
y = 0.0011x + 0.1319 R² = 0.9298
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0 50 100 150 200
1-(
1-X
B)1
/3
waktu (menit)
70°C 75°C 80°C
46
Tabel 4. Nilai –nilai R2 regresi linier hasil percobaan pada 3 suhu terhadap 3
model kinetika yang digunakan
Temperatur (°C)
Nilai R2 untuk Setiap Model Pengendalian Laju
Difusi Lapisan
Film Tipis
Difusi Lapisan
Produk Reaksi Kimia
70 0,9591 0,9281 0,9486
75 0,9912 0,9151 0,9246
80 0,9629 0,8836 0,9298
Evaluasi model shrinking core ditentukan dari nilai koefisien korelasi (R2)
yang mendekati 1. Berdasarkan Tabel4dapat disimpulkan bahwa model yang
paling baik untuk menggambarkan pelarutan LTJ adalahdifusi melalui lapisan
film tipis yang mendekati nilai 1 dan jika dibandingkan dengan nilai R2difusi
lapisan produk dan reaksi kimia.Pada model kinetika ini dapat dikatakan bahwa
produk LTJ terbentuk dari residu dekomposisi semakin besar dan merupakan
model yang paling sesuai untuk mendeskripsikan fenomena fisis yang terjadi
selama proses pelarutanberlangsung. Hal ini dikarenakan lapisan film tipis pada
partikel monasit yang menyebabkan proses difusi akan semakin lambat dan
membutuhkan waktu yang semakin lama untuk menembus lapisan permukaan
partikel residu dekomposisiagar reaksi dapat terjadi, menandakan bahwa tahapan
difusi lapisan film tipis memiliki laju proses yang paling lambat.
Selain memakai shrinking core model untuk menentukan pengendalian laju
reaksi, ada satu model pengendalian laju reaksi yang dipakai yaitu dengan metode
pencocokan kurva (curve fitting) antara kurva dummy model dengan data
percobaan. Menurut Mubarok & Fathoni (2016) kurva yang dicocokan adalah
kurva hubungan antara (1-XB) terhadap t/τ yang mana t percobaan adalah waktu
pengambilan sampel larutan untuk analisis konsentrasi LTJ terlarut. Pembuatan
47
kurva dummy perlu ditentukan harga τ, sehingga pada nilai XBdummy (0 sampai 1
dengan kenaikan teratur) dapat ditentukan harga t dummy yang berkesesuaian.
Berdasarkan Persamaan (4), (6) dan (8), nilai τ dapat diperoleh dari persamaan
regresi linier model pengendali laju terhadap waktu yang mana gradien yang
dihasilkan dari persamaan regresinya adalah nilai dari 1/τ.
Berdasarkan uji kelinieran, nilai R2 yang paling mendekati 1 adalah regresi
dengan model kinetika yang terkendali oleh difusi melalui lapisan film tipis,
karena itu untuk menentukan nilai τ yang dilakukan adalah menentukan gradient
dari pengaluran nilai-nilai XB terhadap t (Persamaan 4) yang mana nilai gradient
tersebut sama dengan nilai 1/τ. Pada Tabel 6disajikan persamaan regresi linier
data percobaan terhadap model kinetika yang terkendali oleh difusi melalui
lapisan film tipis (XB) terhadap waktu (t) beserta harga gradient (1/τ) dan τ yang
didapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil perhitungan nilai τ
Temperatur
(°C) Persamaan Gradien τ (jam)
70 y=0,0008x 0,0008 20,83
75 y=0,0017x 0,0017 9,80
80 y=0,0018x 0,0018 9,26
Gambar 14, Gambar 15 dan Gambar 16 menyajikan hasil pencocokan
kurva (curve fitting) antara kurva dummy yang telah dibuat dengan kurva hasil
percobaan. Pencocokan kurva hasil percobaan dengan kurva dummy menunjukkan
bahwa model kinetika yang paling cocok dengan hasil percobaan adalah model
kinetika yang terkendali oleh proses difusi melalui lapisan film tipis karena grafik
hasil percobaan dan grafik difusi melalui lapisan film tipis memiliki tren pola
grafik yang mirip.
48
Gambar 14. Hasil fitting data percobaan pada suhu 70 terhadap kurva dummy
model
Gambar 15. Hasil fitting data percobaan pada suhu 75 terhadap kurva dummy
model
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
1-X
B
t/τ
difusi lapisan tipis difusi lapisan produk
reaksi kimia percobaan
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
1-X
B
t/τ difusi lapisan tipis difusi lapisan produk
reaksi kimia percobaan
49
Gambar 16. Hasil fitting data percobaan pada suhu 80 terhadap kurva dummy
model
4.4 Penentuan Energi Aktivasi Pelarutan
Pengendalian laju reaksi yang didapat pada penelitian ini yaitu difusi melalui
lapisan film tipis maka penentuan Energi aktivasi (Ea) untuk proses pelarutan
dilakukan dengan menggunakan persamaan Arhenius k1 = k0.
yang mana k1
adalah harga koefisien difusi melalui lapisan film tipis, k0 adalah konstanta, T
suhu larutan (K) dan R konstanta gas ideal (8,314 J/K.mol). nilai k1 dihitung
dengan Persamaan12) :
Dengan ρB = densitas molar total oksida, R = jari-jari partikel, C(HCl) =
konsentrasi asam klorida dan b = perbandingan mol reagen pelarut terhadap mol
oksida yang bereaksi, densitas molar dan jari jari partikel bisa dilihat pada literatur
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
1-X
B
t/τ
difusi lapisan tipis difusi lapisan produk reaksi kimia percobaan
50
kemudian dihitung dan dikonversi. Hasil perhitungan nilai k1 disajikan pada Tabel
6.
Tabel 6. Hasil perhitungan nilai K1
Temperatur
(K) Slope (m) k
1 (m/s) ln k
1 1/T
343 0,0008 3,22108E-06 -12,6458 2,92E-03
348 0,0017 1,5158E-06 -13,3996 2,87E-03
353 0,0018 1,43159E-06 -13,4567 2,83E-03
Nilai Ea dapat diperoleh dengan cara mengalurkan ln k1 terhadap 1/T yang
akan memberikan persamaan garis lurus dengan kemiringan sebesar -
seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 17. Kemiringan kurva pada gambar diperoleh nilai
energiaktivasi untuk pelarutan LTJ dari monasit Bangka dalam larutan asam
klorida yaitu sebesar - 81,96 kJ/mol. Jika nilai energi aktivasi negatif maka reaksi
berjalan spontan yang bisa diartikan bahwa pada keadaan standard reaksi dapat
berjalan secara spontan. Reaksi tersebut tidak membutuhkan energi tambahan dari
luar untuk memperoleh produk. Suhu dapat mempengaruhi reaksi karena dapat
meningkatkan kecepatan kinetika reaksi untuk partikel tumbukan. Hal tersebut
juga dapat mengetahui energy yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan
kecepatan laju reaksi (Fessenden & Fessenden, 1982).
51
Gambar 17. Hasil pengaluran ln k1 terhadap 1/T
Nilai energi aktivasi ini lebih tinggi dari energi aktivasi dari pelarutan LTJ
dari monasit Rosetta menggunakan DTPA oleh (Gado dkk., 2019) yaitu 35,528
kJ/mol, hal ini mengindikasikan bahwa monasit dari Bangka cenderung lebih sulit
dilarutkan daripada monasitRosetta. Tingginya nilai energi aktivasi pelarutan LTJ
dari monasit dikarenakan adanya kontribusi oleh keberadaan mineral yang belum
atau tidak bereaksi pada proses pelarutan LTJ dari monasit seperti LTJ berat (yang
tidak sensitif terhadap suhu) sehingga cenderung sulit untuk larut pada suhu
rendah.
Menurut Havlik, (2008,) proses kinetika yang dikendalikanoleh difusi
cenderung mempunyai energi aktivasi yang rendah sedangkan proses kinetika
yang terkendali oleh reaksi kimia mempunyai energi aktivitas yang lebih tinggi
yaitu >42 kL/mol dan terkendali baik oleh difusi dan reaksi kimia (mixed
controlled) bila energi aktivasinya diantara kedua rentang tersebut.
y = 9858.4x - 41.5 R² = 0.8091
-14.00
-13.60
-13.20
-12.80
2.82E-03 2.84E-03 2.87E-03 2.89E-03 2.91E-03
ln k
1
1/T
52
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Efisiensi ekstraksi kelarutan LTJ dalam HCl sebesar 99,99% pada suhu
75oC dan waktu 3 jam.
2. Kinetika reaksi yang diperoleh yaitu mengikuti model kinetika difusi
melalui lapisan film tipis dan energi aktivasi sebesar -81,96 kJ/mol.
5.2 Saran
Karena pada penelitian ini tidak dilakukan optimasi suhu sebelumnya dan
suhu sangat berpengaruh terhadap laju reaksi, maka disarankan agar optimasi suhu
sebelum dilakukan studi kinetika reaksi.
53
DAFTAR PUSTAKA
Ani, B. Y., & Sumarni. (2016a). Standar Operasional Prosedur Pengolahan
Monasit Bangka : Pengendapan (LTJ)OH. Jakarta: Pusat Teknologi Bahan
Galian Nuklir BATAN.
Ani, B. Y., & Sumarni. (2016b). Standar Operasional Prosedur Pengolahan
Pasir Monasit Bangka : Pelarutan Parsial. Jakarta: Pusat Teknologi Bahan
Galian Nuklir BATAN.
Arief, E. R., Susilaningtyas, Widowati, Tukardi, & Rusydi. (2002). Pelarutan RE
Hidroksida Hasil Dekomposisi Monasit Hasil Samping Penambangan Timah
Bangka dengan HCl Secara Bertingkat. Prosiding Pertemuan Dan Presentasi
Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Nuklir, 132–136.
Boss, C. B., & Fredeen, K. J. (2004). Concepts, Instrumentation and Techniques
in Inductively Plasma Optical Emission Spectrometry (Third Edit). USA:
PerkinElmer, Inc.
Christie, T., Brathwaite, B., & Tulloch, A. (1998). Rare Earths and related
Elements. In Mineral Commodity report 17.
Cuthbert, F. L. (1958). Thorium Produstion Technology (p. 91). Addition Wesley.
Ferliana, R., Wasito, B., Prassanti, R., Sttn-batan, T. N., Babarsari, J., Pos, K., &
Yogyakarta, Y. (2016). Ekstraksi Dan Stripping Torium Dari Rafinat Hasil
Ekstraksi Uranium Monasit Bangka, 1.
Fessenden, R. J., & Fessenden, J. S. (1982). Kimia Organik Edisi 3 Jilid 2.
Jakarta: Erlangga.
Free, M. . (2013). Hydrometallurgy : Fundamentals and Applications. John Wiley
& Sons, Inc.
Gado, M. ., Atia, B. ., & Fathy, W. . (2019). Selective Recovery of the Main metal
Values from Rosetta Monazite Mineral Concentrate. International Journal of
Environmental Analitical Chemistry.
https://doi.org/10.1080/03067319.2019.1636040
Gupta, C. ., & Krishnamurthy, N. (2005). Extractive Metallurgy of Rare Earth.
New York Washington, D.C: CRC press.
Havlik, T. (2008). hydrometallurgy Principles and Application (1st Editio).
Cambridge Scientific Publishing Limited.
Hedrick, J. B. (2003). Are arths. U.S. Geological Survey Minerals Yearbook, 1–
16.
Hou, X., & Jones, B. . (2000). Inductively Coupled Plasma/Optical Emission
Spectrometry (R.A. Meyer). Chichester: John Wiley & Sons, Ltd.
Isyuniarto, Muhadi, A. W., & Handini, T. (1999). Optimasi Pelindian Pasir
54
Monasit dengan Metode Basa. Prosiding Pertemuan Dan Presentasi Ilmiah,
132–136.
Jordens, A., Cheng, Y. ., & Waters, K. . (2012). A Review of Benefiction of Rare
Element Bearing Minerals. Miner. Eng, 97–114.
Khairat, & Herman, S. (2004). Kinetika Reaksi Hidrolisis Minyak Sawit dengan
Katalisator Asam Klorida. Jurnal Nature Indonesia, 6(2), 118–121.
Levenspiel, O. C. N.-T. . L. 1999 660/. 28. (1999). Chemical reaction
engineering. Wiley. https://doi.org/10.1007/s00339-014-8447-7
Li, M., Li, J., Zhang, D., Gao, K., Wang, H., Xu, W., … Ma, X. (2019).
Decomposition of Mixed Rare Earth Concentrate by NaOH Roasting and
Kinetics of Hydrochloric Acid Leaching Process. Journal of Rare Earth.
Moldeveanue, G., & Papangelakis, V. (2012). Recovery of Rare Earth Elements
Absorbed on Clay Minerals: I. Desorption Mechanism. Hydrometallurgy,
71–78.
Mubarok, M. Z., & Fathoni, M. W. (2016). Studi Kinetika Pelindian Bijih Nikel
Limonit dari Pulau Halmahera dalam Larutan Asam Nitrat. Metalurgi, 1, 1–
68.
Mubarok, M. Z., & Fathoni, W. (2016). Studi Kinetika Pelindian Bijih Nikel
Limonit dari Pulau Halmahera dalam Larutan Asam Nitrat. Metalurgi.
Nuri, H. ., Prayitno, Jami, A., & Pancoko, M. (2014). Kebutuhan Desain Awal
pada Pilot Plant Pengolahan Monasit menjadi Thorium Oksdia. PRPN-
BATAN, 35 no.2, hal 131-141.
Nuri, H. L., Riza, F., Sugeng, W., Budi, S., Mukhlis, M., & Sumarni, S. (2002).
Pelarutan (U, Th, RE) Hidroksida Hasil Dekomposisi Basa Monasit Bangka
dengan menggunakan Asam Nitrat. Seminar Iptek Nuklir Dan Pengelolaan
Sumber Daya Tambang, 144–150.
Overstreet, W. C. (1967). The Geological Occurrence of Monazite. U.S.
Geological Survey Professional Paper 530, 327 pp.
Pancoko, M. (2014). Data Propertis of Material. PRPN-BATAN.
Panda, R., Kumari, A., Jha, M. ., Hait, J., Kumar, V., Kumar, J. ., & Lee, J. .
(2014). Leaching of Rare Earth Metals (REMs) from Korean Monazite
Concentrate. Journal of Industrial and Engineering Chemistry.
Prassanti, R. (2014). Digesti Monasit Bangka dengan Asam Sulfat. Eksplorium,
33, 41–54.
Purba, E., & Khairunisa, A. C. (2012). Kajian Awal Laju Reaksi Fotosintesis
untuk Penyerapan Gas CO2 Menggunakan Mikroalga tetraselnis Chuii.
Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 6, 8–9.
55
Purwani, M., Suyanti, S., & Husnurrofiq, D. (2015). Optimasi dan kinetika
memakai naoh, 9–17.
Purwani, M. V, & Suyanti. (2014). Dijesti Monasit Memakai Natrium Hidroksida.
Prosiding Pertemuan Dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu
Pengetahuan Dan Teknologi Nuklir, 36–41.
Setiabudi, A., Rifan, H., & Muzakir, A. (2012). Karakterisasi Material : Prinsip
dan Aplikasinya dalam Penelitian Kimia (1st Editio). Bandung: UPI Press.
Shaw, T., Duncan, T., & Schnetgen, B. . (2003). Preconcentration/Matrix
Reduction Methode for The Analysis of Rre Earth Element in Seawater and
Ground Water By Isotop Dilution IC. Anal Chem, 3396–3403.
Siregar, T. B. (2008). Kinetika Kimia Reaksi Elementer (1st ed.). Medan: USU
Press.
Subagja, R. (2014). Monasite Bangka dan Alternatif Proses Pengolahannya.
Majalah Metalurgi, 79–90.
Subagja, R., Serpong, K. P., & Selatan, T. (2014). MONASITE BANGKA DAN
ALTERNATIF PROSES.
Sumarni, S., Prassanti, R., Trinopiawan, K., Sumiarti, S., & Nuri, H. L. (2011).
Penentuan Kondisi Pelarutan Residu dari Hasil Pelarutan Parsial Monasit
Bangka, 32(2), 115–124.
Sumiarti, & Alwi, G. (2018). Standar Operasional Prosedur Penetapan Unsur
LTJ Dengan Metode ICP - OES. Jakarta: Pusat Teknologi Bahan Galian
Nuklir BATAN.
Suprapto, S. J. (2009). Tinjauan tentang unsur tanah jarang. Buletin Sumber Daya
Geologi, 4(1), 36–45.
Suyanti, S., & Purwani, M. V. (2011). Pengendapan Thorium dari Hasil Olah
Pasir Monasit. Prosiding Pertemuan Dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar
Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Nuklir, 147–154.
Virdhian, S., & Afrilinda, E. (2014). Karakterisasi Mineral Tanah Jarang Ikutan
Timah dan Potensi Pengembangan Industri Berbasis Unsur Tanah Jarang.
Metal Indonesia, Vol. 36 No, 61–69.
Wanta, K. ., Petrus, H. T. B. ., Perdana, I., & Astuti, W. (2017). Uji Validitas
Model Shrinking Core Model terhadap Pengaruh Konsentrasi Asam Nitrat
dalam Proses Leaching Nikel Laterit. Jurnal Rekayasa Proses, 11 no.1, hal
30-35.
Weeks, M. ., & Leicester, H. . (1968). Discovery of the Elements (7th ed.). Easton
PA.
Xiao, Y., Chen, Y., Feng, Z., Huang, X., Huang, L., Chen, Y., … Zhiqi, L. (2016).
Recovery of Rare Earth Element from the Ion-Adsorption Type Rare earth
56
Ore : II Compound Leaching. Hydrometallurgy, 83–90.
Yahya, H. (2004). Al-Qur’an dan Sains. (A. Nilandri & S. Wibowo, Eds.) (Edisi
Baha). Bnadung: Dzikra.
Yu, J., Guo, Z., & Tang, H. (2013). Dephosphorization Treatment of High
Phosphorus Oolitic Iron by Hydrometallurgy process and Leaching Kinetics.
ISIJ International, 2056–2064.
57
LAMPIRAN
Lampiran 1.Perhitungan Stoikiometri
Ce(OH)3 + 3HCl CeCl3 + 3H2O
Mr HCl = 36,5
ρ HCl = 1,91 g/mL
Gram Ce = 35155 µg/g = 35155 x 10-6 gram
mol Ce = =
=
= 1,84 x 10-4
mol
mol HCl = 3/1 x mol Ce(OH)3
= 3/1 x 1,84 x 10-4
= 5,52 x 10-4
Massa HCl = mol x Mr
= 5,52 x 10-4
x 36,5
= 0,020148 g
Volume HCl =
58
=
= 0,010 mL
= 1x10-5
L
Molar HCl =
=
= 55,2 Mol
M = 12,06 M
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 12,06 M = 1000 mL x 5 M
V1 =
V1 = 415 mL
59
Lampiran 2.Analisis Data
1. Perhitungan massa dan mol umpan pelarutan
Unsur
Berat
Molekul
(Ar)
Kadar
Hasil XRF
(µg/g)
Massa
Umpan
(g)
Massa
Unsur dalam
Umpan (µg)
Massa Unsur
dalam Umpan
(mg)
mol (mmol)
Ce 140.116 35210 753 26513130 26513.13 189.223
La 138.905 16960 753 12770880 12770.88 91.939
Nd 144.242 8933 753 6726549 6726.549 46.634
Pr 140.908 1709 753 1286877 1286.877 9.133
Sm 150.36 1164 753 876492 876.492 5.829
Y 88.906 6392 753 4813176 4813.176 54.138
Total mol
Awal 52987.104 396.896
(
)
( )
( )
(
)
l
60
2. Perhitungan massa dan mol unsur dalam filtrat pelarutan
a) Suhu 70oC
Menit
ke-
Volume
(L)
Volume
Total
(L)
Kadar dalam Filtrat (mg/L) Faktor
Pengenceran Ce La Nd Pr Sm Y
0 0.025 0.75 27.07 12.76 9.31 5.69 1.93 0.882 500
15 0.025 0.725 27.12 12.9 9.68 5.953 2.003 0.935 500
30 0.025 0.7 28.79 13.69 10.09 6.162 2.527 1.012 500
75 0.025 0.675 29.99 14.28 10.47 6.412 2.191 1.076 500
90 0.025 0.65 31.01 14.81 11.08 6.789 2.314 1.159 500
105 0.025 0.625 31.58 15.03 11.16 6.814 2.337 1.177 500
120 0.025 0.6 33.19 15.83 11.47 7.123 2.438 1.255 500
135 0.025 0.575 34.16 16.32 11.48 7.365 2.511 1.302 500
150 0.025 0.55 36.06 17.21 12.53 7.864 2.705 1.44 500
165 0.025 0.525 37.77 18.05 13.15 8.022 2.756 1.482 500
180 0.025 0.5 40.1 19.17 13.97 8.704 3.002 1.655 500
61
Kadar dalam Filtrat setelah Pengenceran (mg/L) Massa Terlarut (mg)
Ce La Nd Pr Sm Y Ce La Nd Pr Sm Y
13535 6380 4655 2845 965 441 10151.3 4785 3491.25 2133.75 723.75 330.75
13560 6450 4840 2976.5 1001.5 467.5 10169.4 4835.75 3625.38 2229.09 750.213 349.963
14395 6845 5045 3081 1263.5 506 10753.9 5112.25 3768.88 2302.24 933.613 376.913
14995 7140 5235 3206 1095.5 538 11158.9 5311.38 3897.13 2386.61 820.213 398.513
15505 7405 5540 3394.5 1157 579.5 11490.4 5483.63 4095.38 2509.14 860.188 425.488
15790 7515 5580 3407 1168.5 588.5 11668.5 5552.38 4120.38 2516.95 867.375 431.113
16595 7915 5735 3561.5 1219 627.5 12151.5 5792.38 4213.38 2609.65 897.675 454.513
17080 8160 5740 3682.5 1255.5 651 12430.4 5933.25 4216.25 2679.23 918.663 468.025
18030 8605 6265 3932 1352.5 720 12952.9 6178 4505 2816.45 972.013 505.975
18885 9025 6575 4011 1378 741 13401.8 6398.5 4667.75 2857.93 985.4 517
20050 9585 6985 4352 1501 827.5 13984.3 6678.5 4872.75 3028.43 1046.9 560.25
62
Mol Terlarut (mmol)
Ce La Nd Pr Sm Y
72.449 34.448 24.204 15.143 4.813 3.720
72.578 34.813 25.134 15.819 4.989 3.936
76.750 36.804 26.129 16.339 6.209 4.239
79.640 38.237 27.018 16.937 5.455 4.482
82.006 39.477 28.392 17.807 5.721 4.786
83.277 39.972 28.566 17.862 5.769 4.849
86.725 41.700 29.210 18.520 5.970 5.112
88.715 42.714 29.230 19.014 6.110 5.264
92.444 44.476 31.232 19.988 6.465 5.691
95.648 46.064 32.361 20.282 6.554 5.815
99.805 48.079 33.782 21.492 6.963 6.302
63
b) Suhu 75oC
Menit
ke-
Volume
(L)
Volume
Total
(L)
Kadar dalam Filtrat (mg/L) Faktor
Pengenceran Ce La Nd Pr Sm Y
0 0.025 0.75 44.44 19.97 14.52 11.74 2.284 1.156
15 0.025 0.725 45.49 20.43 14.88 11.97 2.342 1.195 500
30 0.025 0.7 47.81 21.51 15.71 12.51 2.477 1.297 500
75 0.025 0.675 53.49 24.11 17.6 14.04 2.845 1.569 500
90 0.025 0.65 56.41 25.42 18.54 14.75 3.024 1.699 500
105 0.025 0.625 57.22 25.79 18.77 15.08 3.09 1.752 500
120 0.025 0.6 59.07 26.63 19.45 15.57 3.224 1.851 500
135 0.025 0.575 60.8 27.48 20.06 16.21 3.376 1.964 500
150 0.025 0.55 63.46 27.75 20.92 17.01 3.571 2.102 500
165 0.025 0.525 67.12 30.23 22.35 18.1 3.828 2.29 500
180 0.025 0.5 71.27 32.02 23.76 19.21 4.104 2.498 500
64
Kadar dalam Filtrat setelah Pengenceran (mg/L) Massa Terlarut (mg)
Ce La Nd Pr Sm Y Ce La Nd Pr Sm Y
22220 9985 7260 5870 1142 578 16665 7488.75 5445 4402.5 856.5 433.5
22745 10215 7440 5985 1171 597.5 17045.6 7655.5 5575.5 4485.88 877.525 447.638
23905 10755 7855 6255 1238.5 648.5 17857.6 8033.5 5866 4674.88 924.775 483.338
26745 12055 8800 7020 1422.5 784.5 19774.6 8911 6503.88 5191.25 1048.98 575.138
28205 12710 9270 7375 1512 849.5 20723.6 9336.75 6809.38 5422 1107.15 617.388
28610 12895 9385 7540 1545 876 20976.8 9452.38 6881.25 5525.13 1127.78 633.95
29535 13315 9725 7785 1612 925.5 21531.8 9704.38 7085.25 5672.13 1167.98 663.65
30400 13740 10030 8105 1688 982 22029.1 9948.75 7260.63 5856.13 1211.68 696.138
31730 13875 10460 8505 1785.5 1051 22760.6 10023 7497.13 6076.13 1265.3 734.088
33560 15115 11175 9050 1914 1145 23721.4 10674 7872.5 6362.25 1332.76 783.438
35635 16010 11880 9605 2052 1249 24758.9 11121.5 8225 6639.75 1401.76 835.438
65
Mol Terlarut (mmol)
Ce La Nd Pr Sm Y
118.937 53.913 37.749 31.244 5.6963 4.8759
121.654 55.113 38.654 31.836 5.8362 5.0350
127.449 57.834 40.668 33.177 6.1504 5.4365
141.13 64.152 45.09 36.842 6.9764 6.4691
147.903 67.217 47.208 38.479 7.3633 6.9443
149.71 68.049 47.7063 39.211 7.5005 7.1306
153.671 69.863 49.121 40.2542 7.7679 7.4646
157.221 71.622 50.336 41.56 8.0585 7.8301
162.441 72.157 51.976 43.121 8.4151 8.2569
169.298 76.844 54.578 45.152 8.8638 8.8120
176.703 80.065 57.022 47.121 9.3227 9.3969
66
c) Suhu 80oC
Menit
ke-
Volume
(L)
Volume
Total
(L)
Kadar dalam Filtrat (mg/L) Faktor
Pengenceran Ce La Nd Pr Sm Y
0 0.025 0.75 26.7 12.68 9.405 5.729 1.94 0.891 500
15 0.025 0.725 27.78 13.2 9.801 5.975 2.025 0.951 500
30 0.025 0.7 28.68 13.66 10.21 6.211 2.111 1.013 500
75 0.025 0.675 33.58 16.02 11.71 7.226 2.474 1.273 500
90 0.025 0.65 36.35 17.35 12.72 7.824 2.687 1.428 500
105 0.025 0.625 37.44 17.91 13.04 8.092 2.77 1.487 500
120 0.025 0.6 41.29 19.8 14.41 8.89 3.071 1.705 500
135 0.025 0.575 42.11 20.13 14.68 9.036 3.112 1.736 500
150 0.025 0.55 46.18 22.05 16.17 10.01 3.446 1.989 500
165 0.025 0.525 52.88 25.17 18.64 11.72 4.061 2.423 500
180 0.025 0.5 55.04 26.18 19.55 12.06 4.177 2.513 500
67
Kadar dalam Filtrat setelah Pengenceran (mg/L) Massa Terlarut (mg)
Ce La Nd Pr Sm Y Ce La Nd Pr Sm Y
13350 6340 4702.5 2864.5 970 445.5 10012.5 4755 3526.88 2148.38 727.5 334.125
13890 6600 4900.5 2987.5 1012.5 475.5 10404 4943.5 3670.43 2237.55 758.313 355.875
14340 6830 5105 3105.5 1055.5 506.5 10719 5104.5 3813.58 2320.15 788.413 377.575
16790 8010 5855 3613 1237 636.5 12372.8 5901 4319.83 2662.71 910.925 465.325
18175 8675 6360 3912 1343.5 714 13273 6333.25 4648.08 2857.06 980.15 515.7
18720 8955 6520 4046 1385 743.5 13613.6 6508.25 4748.08 2940.81 1006.09 534.138
20645 9900 7205 4445 1535.5 852.5 14768.6 7075.25 5159.08 3180.21 1096.39 599.538
21055 10065 7340 4518 1556 868 15004.4 7170.13 5236.7 3222.19 1108.18 608.45
23090 11025 8085 5005 1723 994.5 16123.6 7698.13 5646.45 3490.04 1200.03 678.025
26440 12585 9320 5860 2030.5 1211.5 17882.4 8517.13 6294.83 3938.91 1361.46 791.95
27520 13090 9775 6030 2088.5 1256.5 18422.4 8769.63 6522.33 4023.91 1390.46 814.45
68
Mol Terlarut (mol)
Ce La Nd Pr Sm Y
71.4586 34.2319 24.4511 15.2467 4.83839 3.75819
74.2528 35.589 25.4463 15.8795 5.04331 4.00283
76.5009 36.748 26.4387 16.4657 5.2435 4.24691
88.3036 42.4821 29.9485 18.8969 6.05829 5.23391
94.7287 45.594 32.2241 20.2761 6.51869 5.80052
97.1597 46.8538 32.9174 20.8705 6.69119 6.0079
105.403 50.9357 35.7668 22.5695 7.29175 6.74351
107.085 51.6187 36.305 22.8674 7.37014 6.84376
115.073 55.4199 39.1457 24.7683 7.98101 7.62633
127.626 61.316 43.6407 27.9539 9.05469 8.90774
131.479 63.1338 45.2179 28.5571 9.24756 9.16081
69
Massa unsur Ce dalam filtrate pelarutan (menit ke-15 suhu 70oC)
= (kadar dalam filtrat setelah pengenceran (mg/L) x volume total (L)) + massa terlarut per menit (mg)
= (13560 mg/L x 0,725 L) + 339 mg
= 10169,4 mg
Mol Ce = ( )
(
)
=
= 72,578 mmol
70
3. Perhitungan model kinetika reaksi
Menit ke-
Total Mol Unsur Terlarut (70)
Total Mol Unsur Terlarut (75)
Total Mol Unsur Terlarut (80)
0 154.777 252.415 153.985
15 157.271 258.127 160.214
30 166.470 270.715 165.644
75 171.770 300.659 190.923
90 178.190 315.115 205.142
105 180.296 319.307 210.500
120 187.238 328.141 228.710
135 191.048 336.628 232.090
150 200.296 346.368 250.015
165 206.723 363.548 278.498
180 216.423 379.631 286.797
71
Difusi lapis tipis Difusi melalui Produk Padat yang Tidak Bereaksi reaksi kimia
Fraksi Mol (Xb) 1-3(1-Xb)^(2/3)+2(1-Xb) 1-(1-Xb)^1/3
70 75 80 70 75 80 70 75 80
0.390 0.636 0.388 0.062 0.199 0.061 0.152 0.286 0.151
0.396 0.650 0.404 0.064 0.210 0.067 0.155 0.296 0.158
0.419 0.682 0.417 0.073 0.238 0.073 0.166 0.317 0.165
0.433 0.758 0.481 0.079 0.318 0.101 0.172 0.376 0.196
0.449 0.794 0.517 0.086 0.366 0.119 0.180 0.409 0.215
0.454 0.805 0.530 0.088 0.380 0.127 0.183 0.420 0.223
0.472 0.827 0.576 0.096 0.414 0.155 0.192 0.443 0.249
0.481 0.848 0.585 0.101 0.450 0.161 0.197 0.466 0.254
0.505 0.873 0.630 0.113 0.495 0.194 0.209 0.497 0.282
0.521 0.916 0.702 0.121 0.593 0.257 0.217 0.562 0.332
0.545 0.957 0.723 0.135 0.716 0.279 0.231 0.648 0.348
72
4. Perhitungan kurva dummy
a. Perhitungan nilai τ
temperatur persamaan gradien τ (menit) τ (detik)
70 y=0.0008x 0.0008 1250 75000
75 y=0.0017x 0.0017 588.2353 35294.11765
80 y=0.0018x 0.0018 555.5556 33333.33333
85 y=0.0009x 0.0009 1111.1111 66666.66667
Gradien =
=
τ = 1250 menit
1-XB =
= 1 – 0,012
= 0,988
73
b. Perhitungan kurva dummy percobaan dengan kurva dummy model
Suhu 70
1-Xb
menit jam t/τ difusi lapisan
tipis
difusi lapisan
produk reaksi kimia percobaan
0 0 0 1 1 1 0.61003
15 0.25 0.012 0.988 0.999951742 0.9959839 0.6037481
30 0.5 0.024 0.976 0.999805923 0.9919351 0.5805708
75 1.25 0.06 0.94 0.998766833 0.9795861 0.5672154
90 1.5 0.072 0.928 0.998214264 0.9753998 0.5510419
105 1.75 0.084 0.916 0.997555633 0.9711772 0.5457356
120 2 0.096 0.904 0.996789083 0.9669176 0.5282442
135 2.25 0.108 0.892 0.9959127 0.9626202 0.5186453
150 2.5 0.12 0.88 0.99492451 0.958284 0.4953434
165 2.75 0.132 0.868 0.993822474 0.9539082 0.479151
180 3 0.144 0.856 0.992604489 0.9494919 0.454712
1250 20.8333 1 0 0 0 0
74
Suhu 75
1-Xt
menit jam t/τ difusi lapisan
tipis difusi lapisan
produk reaksi kimia percobaan
0 0 0 1 1 1 0.364027218
15 0.25 0.0255 0.9745 0.999780756 0.991426709 0.349634945
30 0.5 0.051 0.949 0.999112743 0.982702522 0.317919951
75 1.25 0.1275 0.8725 0.99424921 0.955553803 0.242473886
90 1.5 0.153 0.847 0.991613605 0.94615249 0.206052019
105 1.75 0.1785 0.8215 0.988436937 0.93656054 0.195488643
120 2 0.204 0.796 0.984696692 0.926767985 0.173230577
135 2.25 0.2295 0.7705 0.980368658 0.916763993 0.151847796
150 2.5 0.255 0.745 0.975426747 0.90653677 0.127308302
165 2.75 0.2805 0.7195 0.96984277 0.896073429 0.084021887
180 3 0.306 0.694 0.963586193 0.88535985 0.043499498
588.2353 9.80392 1 0 0 0 0
75
Suhu 80
1-Xt
menit jam t/τ difusi lapisan
tipis
difusi lapisan
produk reaksi kimia percobaan
0 0 0 1 1 1 0.612026835
15 0.25 0.027 0.973 0.999754037 0.990917763 0.596333092
30 0.5 0.054 0.946 0.99900391 0.981665916 0.582651687
75 1.25 0.135 0.865 0.993528931 0.952807943 0.518958724
90 1.5 0.162 0.838 0.990555336 0.942789361 0.483133631
105 1.75 0.189 0.811 0.986966429 0.932553203 0.469632868
120 2 0.216 0.784 0.982734736 0.922087258 0.423752781
135 2.25 0.243 0.757 0.97783056 0.91137818 0.41523608
150 2.5 0.27 0.73 0.972221714 0.900411335 0.370075085
165 2.75 0.297 0.703 0.965873219 0.889170628 0.298308321
180 3 0.324 0.676 0.958746933 0.877638296 0.277400763
555.5556 9.25926 1 0 0 0 0