kitin kitosan_hengkyk_12.70.0075_d3_unika soegijapranata

Upload: reed-jones

Post on 09-Oct-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kitin

TRANSCRIPT

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan.KelPerlakuanRendemen Kitin IRendemen Kitin IIRendemen Kitosan

D1Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5%+NaOH 40%31,750%14,730%22,273%

D2Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5%+ NaOH 40%34,750%12,353%21,100%

D3Kulit udang + HCl 1 N +NaOH 3,5%+ NaOH 50%30,250%21,000%10,090%

D4Kulit udang + HCl 1 N +NaOH 3,5%+ NaOH 50%32,625%12,171%8,528%

D5Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%29,000%32,138%29,125%

D6Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%5,625%42,634%13,547%

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa hasil rendemen kitin dan kitosan yang didapat pada masing-masing kelompok berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan yang diberikan. Nilai maksimal pada rendemen kitin I terdapat pada kelompok D2 dengan nilai 34,750%. Nilai maksimal pada rendemen kitin II terdapat pada kelompok D6 dengan nilai 42,634%. Nilai maksimal pada rendemen kitosan terdapat pada kelompok D5 dengan nilai 29,125%2. 3. PEMBAHASANProses pembuatan kitin kitosan dalam praktikum ini menggunakan tepung limbah udang. Proses pembuatan kitin kitosan bertujuan untuk menambahkan manfaat maupun nilai ekonomi dari limbah crustaceans sehingga dihasilkan produk yang lebih bermanfaat. Kitin adalah polisakarida dengan BM tinggi, utamanya tersusun dari unit N-asetilglukosamin yang terikat dengan ikatan kovalen glikosidik yang kuat. Kitin memiliki ciri berwarna putih, keras, inelastis, dan merupakan polisakarida yang mengandung nitrogen dan dapat ditemukan dalam eksoskleton. Kitin juga merupakan polimer alami dari sumber perairan yang ditemukan pada kulit hewan golongan crustaceae seperti pada kepiting dan udang. Untuk memperoleh kitin dari cangkang udang menggunakan proses-proses deproteinasi dan demineralisasi (Mizani, 2007).Dalam jurnal Chitin Extraction from Crustacean Shells Using Biological Methods A Review disebutkan bahwa terdapat dua proses ekstraksi kitin kitosan dari limbah crustaceae, yaitu dengan proses ekstraksi secara kimia dan biologi. Metode yang biasa digunakan adalah proses ekstraksi kitin kitosan adalah secara kimia dengan tahap awal yaitu demineralisasi dan deproteinasi. Sedangkan secara biologi dengan memberikan aktivitas proteolitik dari enzim mikrobia pada limbah tersebut dan fermentasi asam laktat. Akan tetapi metode tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama. Ekstraksi secara biologi ini juga dilakukan pada penelitian The Use of Crude Shrimp Shell Powder for Chitinase Production by Serratia marcescens WF yang melakukan pengolahan kitin dengan menggunakan bakteri dan jamur. Diperkirakan bakteri dan jamur tersebut dapat memproduksi enzim ekstraseluler yang berupa chitinolytic enzymes yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi kitin menjadi komponen yang lebih sederhana yang dapat digunakan dalam proses indurstri. Kemampuan enzim kitinase yang dapat menghidrolisis kitin biasa digunakan dalam produk sweeteners, growth factors, dan single cell protein.Dalam praktikum ini menggunakan 8 gram tepung udang yang akan ditambahkan dengan 80 ml HCl 0,75 untuk kelompok D1 dan D2; HCL 1N untuk kelompok D3 dan D4 ; dan perlakuan terakhir yaitu dengan HCL 1,25 N yang digunakan untuk kelompok D5 dan D6. Setelah ditambahkan dengan HCl, dilakukan pengadukan dan pemanasan diatas hotplate dengan suhu 90oC selama 1 jam. Rangkaian proses ini merupakan proses demineralisasi.Demineralisasi dapat menghilangkan mineral yang secara alami terkandung pada limbah kulit udang melalui penguraian oleh asam karena pada umumnya kulit udang mengandung banyak mineral. Komponen mineral dilarutkan dengan penambahan asam encer seperti asam klorida (HCl) atau asam sulfat (H2SO4) (Angka & Suhartono, 2000). Dan dalam praktikum ini menggunakan larutan HCl encer dengan konsentrasi 0.75N, 1N, dan 1.25N. Asam klorida efektif untuk melarutkan kalsium sebagai kalsium klorida, namun asam klorida juga dapat menyebabkan kitin mengalami depolimerisasi (Austin, 1981). Proses pemisahan mineral ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 yang berupa gelembung-gelembung udara pada saat larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel. Pengadukan bertujuan untuk menghomogenkan larutan sehingga pemanasan terjadi secara merata pada seluruh bagian larutan yang dipanaskan. Sedangkan pemasanan sendiri bertujuan untuk mencapai keadaan yang optimum bagi HCl dalam melarutkan mineral-mineral pada proses demineralisasi ini. Dalam praktikum ini, setelah dilakukan penambahan HCl, pengadukan, dan pemanasan, dilakukan proses penyaringan dan pencucian dibawah air mengalir dengan menggunakan kain saring untuk memisahkan larutan HCl yang telah mengikat mineral. Pencucian ini dihentikan setelah endapan tadi mencapai pH netral. Pembilasan ini juga menjadi salah satu faktor yang membuat efektifnya proses demineralisasi. Setelah dilakukan pembilasan dengan air, dilakukan pengukuran pH untuk memastikan endapan memiliki pH netral. Kemudian endapan yang tersisa dan dalam kondisi netral dikeringkan dengan oven pada suhu 80oC selama 24 jam. Setelah di keringkan dihitung berat rendemennya sebagai berat rendemen kitin I dengan menggunakan rumus:Rendemen kitin I x 100%

Dari hasil pengamatan tahap demineralisasi, diketahui bahwa rendemen tertinggi didapatkan pada perlakuan HCl 0.75 N dan nilai rendemen terendah didapat pada perlakuan HCl 1.25 N. Dalam praktikum ini variabel rendemen dianggap mewakili kadar abu, maka proses demineralisasi terbaik terjadi pada perlakuan HCl 1,25 N pada kelompok D5, di mana diperoleh nilai rendemen terendah. Hal ini menandakan dengan pemberian HCl 1,25 N, maka mineralnya lebih banyak terbuang dimana sesuai dengan tujuan demineralisasi, sehingga rendemen yang tersisa lebih sedikit. Supitjah (2004) mengatakan bahwa konsentrasi asam yang sesuai akan dapat melarutkan mineral dengan sempurna sehingga kadar mineral dari limbah berkurang. Jadi, dalam praktikum ini, konsentrasi asam yang sesuai adalah 1,25 N pada tahap demineralisasi. Nilai rendemen D6 yang sangat rendah tidak dianggap bahwa percobaan ini benar karena dapat diakibatkan adanya kesalahan praktikan, yaitu pada saat tahap pencucian residu dengan menggunakan air untuk menetralkan residu terjadi peluapan volume air yang ditambahkan ke dalam wadah. Sehingga residu kitin meluap ke atas dan ikut terbuang bersama air pencucian residu. Konsentrasi HCl yang digunakan juga harus diperhatikan. Tidak selalu konsentrasi HCl yang tinggi membuat proses demineralisasi berjalan semakin efektif. Sebab penggunaan HCl yang memiliki konsentrasi terlalu tinggi juga dapat mengakibatkan reaksi berjalan terlalu cepat sehingga HCl bereaksi juga tidak sempurna dengan protein dan ditandai dengan munculnya bau amoniak, dimana komponen mineralnya belum terlepas secara sempurna. Tahap kedua yang dilakukan dalam praktikum dalam membuat kitin adalah deproteinasi. Tujuan deproteinasi ini adalah menghilangkan kandungan protein pada limbah kulit udang. Deproteinasi ini dilakukan dengan cara melarutkan rendemen yang didapat dari proses demineralisasi yang telah dikeringkan. Menurut Hagono & Haryani (2004) proses deproteinasi ini bertujuan untuk memisahkan atau melepaskan ikatan-ikatan antara protein dan kitin. Pada umumnya limbah udang memiliki kadar protein yang cukup tinggi hingga 30%. Proses penghilangan protein dilakukan dengan cara melarutkan rendemen hasil demineralisasi ke dalam larutan sodium hidroksida (NaOH 3,5%) dengan perbandingan antara pelarut dan limbah udang 6:1. Pada praktikum ini, proses deproteinase sesuai dengan teori yang ada yaitu hasil rendemen yang didapat dari proses demineralisasi untuk dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1 dan diaduk hingga merata. Kemudian pengadukan sambil dipanaskan selama 1 jam pada suhu 90oC, lalu residu dibilas dengan air mengalir, dan pengeringan dengan oven pada suhu 80oC selama 24 jam. Adanya pemanasan dan pengadukan pada metode deproteinase memiliki tujuan yang sama dengan tahap demineralisasi. Penggunaan NaOH dalam proses ini dikarenakan NaOH paling efektif dalam menghidrolisis gugus asetil pada kitin.Supitjah (2004) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH dan suhu proses maka kemampuan pemisahan kitin dari gugus protein menjadi lebih efektif. Jadi nilai rendemennya akan semakin sedikit jika nilai konsentrasi NaOH semakin tinggi. Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa walaupun konsentrasi NaOH yang digunakan sama yaitu sebesar 3,5%, ternyata rendemen yang dihasilkan tiap kelompok berbeda-beda. Pada kelompok D6 memiliki nilai rendemen paling tinggi yaitu 42,634%, sedangkan pada kelompok D4 memiliki nilai rendemen paling rendah yaitu 12,171%. Hal ini dapat terjadi dikarenakan oleh kandungan rendemen hasil tahap demineralisasi yang berbeda-beda. Senyawa kitosan merupakan senyawa polisakarida ter-banyak kedua setelah selulosa yang terdapat di alam. kitosan mempunyai nama kimia Poly D-glucosamine beta (1-4) 2-amino-2-deoxy-D-glucose, merupakan padatan amorf putih dengan struktur kristal dari bentuk awal kitin. Kelarutan kitosan dalam larutan asam serta viskositasnya bergantung dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Derajat deasetilasi adalah suatu parameter mutu kitosan yang menunjukkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen. Semakin tinggi derajat deasetilasi kitosan, maka gugus asetil kitosan semakin rendah maka interaksi antar ion dan ikatan hidrogennya akan semakin kuat (Knoor, 1982). Pembuatan kitosan merupakan proses lanjutan dari pengolahan kitin. Setelah kitin terbentuk, maka proses pembuatan kitosan dapat dimulai dengan cara deasetilisasi kitin. Proses deasetilasi adalah proses pembentukan kitosan dari kitin dengan menggunakan larutan NaOH yang berfungsi mengganti gugus asetamida dengan gugus amino (Muzzarelli & Peter, 1997). Pembuatan kitosan pertama-tama dilakukan dengan cara melarutkan rendemen kitin yang diperoleh dari tahap deproteinase dengan larutan alkali kuat, yakni NaOH 40-60% kemudian diaduk selama 1 jam dan kemudian didiamkan selama 30 menit. Setelah itu dipanaskan dengan suhu 90C selama 1 jam. Selanjutnya rendemen dicuci dengan air mengalir hingga didapati pH netral. Kemudian rendemen tersebut baru dikeringkan dalam oven pada suhu 700C selama 24 jam. Setelah itu ditimbang untuk mengetahui berat kitosan sebenarnya. Tujuan penggunaan NaOH adalah untuk memutuskan ikatan antara gugus karboksil dengan atom nitrogen (Martinou, et al., 1995). Proses pemanasan memiliki berfungsi mengoptimalkan pemutusan ikatan asetamida sehingga asetilasi dapat berlangsung cepat. Dengan tingginya suhu reaksi, maka derajat deasetalasi kitosan juga meningkat (Reece & Mitchell, 2003). Pengeringan dengan oven berfungsi untuk mengurangi kadar air pada kitosan karena kadar air merupakan salah satu parameter penting karena kadar air akan mempengaruhi umur simpan. Jika kandungan air tinggi maka kitosan akan mudah rusak karena mikroorganisme.Pada hasil pengamatan seharusnya kelompok yang menggunakan konsentrasi NaOH yang tinggi, maka akan memiliki nilai rendemen yang rendah. Hasil praktikum menunjukkan bahwa rendemen tertinggi terdapat pada kelompok D5 dan yang paling rendah D4 dengan nilai 29,125% dan 8,528%. Hasil menunjukkan bahwa dengan nilai konsentrasi NaOH 50% didapatkan hasil terendah. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH maka hasil akan semakin baik. Hal ini dapat disebabkan karena adanya kesalahan saat pengukuran dan pencucian sehingga rendemen ikut terbuang. Aplikasi kitin dan kitosan dalam industry pangan menurut Shahidi & Botta (1994) adalah sebagai pakan hewan, pelapis buah, pembuatan PST, pengental, dan penstabil. Dalam jurnal Extraction of chitin from chitosan from exoskeleton of shrimp for application in the pharmaceutical industry mengatakan bahwa ekstraksi kitin kitosan dapat diterapkan dalam bidang farmasi. Kitin kitosan juga dapat diaplikasikan pada bidang bioengineering untuk pembuatan nanopartikel dan nanofiber, seperti pada penelitian Preparation and Application of Chitosan Nanoparticles and Nanofibers. Pada jurnal berjudul Determination of Degree of Deacetylation of Chitosan and Their effect on the Release Behavior of Essential Oil from Chitosan and Chitosan- Gelatin Complex Microcapsules menyatakan bahwa kitin dan kitosan dapat digunakan sebagai media enkasulapsi.4. 5. KESIMPULAN Proses pembuatan kitin kitosan bertujuan untuk menambahkan manfaat maupun nilai ekonomi dari limbah crustaceans sehingga dihasilkan produk yang lebih bermanfaat. Metode yang biasa digunakan adalah proses ekstraksi kitin kitosan adalah secara kimia dengan tahap awal yaitu demineralisasi dan deproteinasi. Komponen mineral dilarutkan dengan penambahan asam encer. Dalam praktikum ini, konsentrasi asam yang sesuai adalah 1,25 N pada tahap demineralisasi. Tujuan deproteinasi adalah menghilangkan kandungan protein pada limbah kulit udang. Semakin tinggi konsentrasi NaOH dan suhu proses maka kemampuan pemisahan kitin dari gugus protein menjadi lebih efektif. Proses deasetilasi adalah proses pembentukan kitosan dari kitin dengan menggunakan larutan NaOH yang berfungsi mengganti gugus asetamida dengan gugus amino. Tujuan penggunaan NaOH adalah untuk memutuskan ikatan antara gugus karboksil dengan atom nitrogen. Hasil praktikum menunjukkan bahwa rendemen tertinggi terdapat pada kelompok D5 dan yang paling rendah D4 dengan nilai 29,125% dan 8,528%. Kitin Kitosan dapat diaplikasikan kedalam industri pangan sebagai pakan hewan, pelapis buah, pembuatan PST, pengental, dan penstabil.Semarang, 19 Oktober 2014Praktikan,Asisten Dosen:

Hengky KStella Gunawan12.70.00756. 7. DAFTAR PUSTAKAAngka, S. L. dan M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.Austin, P.R., Brine, C.J., Castle, J.E. & Zikakis, J.P. (1981). Chitin: New facets of research. Science, 212(4496), pp. 749 753.Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas Indonesia, Jakarta.Jess E. Meja-Sauls, Krzysztof N. Waliszewski, Miguel A. Garcia and Ramon Cruz-Camarillo.2006. The Use of Crude Shrimp Shell Powder for Chitinase Production by Serratia marcescens WF. Crude Shrimp Shells for Chitinase Production, Food Technol. Biotechnol. 44 (1) 95100 (2006).Knoor, D. (1982). Function properties of chitin and chitosan. J.Food.Sci. (47)36.Li-Ming Zhao, Lu-E Shi, Zhi-Liang Zhang, Jian-Min Chen, Dong-Dong Shi, Jie Yang and Zhen-Xing Tang. (2011). Preparation and Application Of Chitosan Nanoparticles and Nanofibers.Brazilian Journal of Chemical Engineering.Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos & V. Bouriotis. (1995). Chitin Deacetylation by Enzymatic Means.Md Rabiul Hussain, Murshid Iman and Tarun K. Maji. (2013). Journal Determination of Degree of Deacetylation of Chitosan and Their effect on the Release Behavior of Essential Oil from Chitosan and Chitosan- Gelatin Complex Microcapsules. Department of Chemical Sciences, Tezpur University, Assam - 784028, IndiaMizani, A.Maryam dan B.Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceedings of European Congress of Chemical Engineering (ECCE-6) Copenhagen.Muzzarelli and M.G. Peter. (1997). Chitin Handbook. European Chitin Society. Italy.Reece, C. dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta.Shahidi, F. and J. R. Botta. 1994. Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. Blackie Academics & Profesional. London.Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualistas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56 Vol VII Nomor 1Wassila Arbia, Leila Arbia, Lydia Adour and Abdeltif Amrane. 2013. Journal Chitin Extraction from Crustacean Shells Using Biological Methods A Review. Chitin Recovery Using Biological Methods, Food Technol. Biotechnol. 51 (1) 1225 (2013).Yateendra Shanmukha Puvvada, Saikishore Vankayalapati, Sudheshnababu Sukhavasi.2012. Journal Extraction of chitin from chitosan from exoskeleton of shrimp for application in the pharmaceutical industry.Internasional Current Pharmaceutical Journal.8. LAMPIRAN1. 1. 1. 1. 1. 4. Perhitungan kitin dan kitosanRendemen Chitin I x 100%Rendemen Chitin II x 100%Rendemen Chitosan x 100%

Kelompok D1

Kelompok D2Rendemen Kitin I =Rendemen kitin II = Rendemen kitin III =

Kelompok D3

Kelompok D4Rendemen Chitin I= = 32,625 %Rendemen Chitin II= = 12,1 %Rendemen Chitosan = = 8,528 % Kelompok D5

Kelompok D6Rendemen Chitin I x 100% 5,625 %Rendemen Chitin II x 100% 42,635%Rendemen Chitosan x 100%13,547%

4. Laporan Sementara

4. Diagram alir