kolaborasi interprofesi di layanan primer - depkes.go.id · kolaborasi interprofesi di layanan...
TRANSCRIPT
Kolaborasi Interprofesi
di Layanan Primer
Dr. dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc.CM-FM, MPd.Ked.Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara
Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia (KIKKI)
Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI)
Agenda
• WHO Report – Primary Health Care
• Definisi Kolaborasi Interprofesi
• Kedudukan SpKKLP di layanan primer
• Karakteristik pelayanan SpKKLP
• Contoh kasus
• Simpulan
to train and retain adequate numbers of health workers, with appropriate skill-
mix, including primary health care nurses, midwives, allied health professionals
and family physicians, able to work in a multidisciplinary context, in cooperation
with non-professional community health workers in order to respond effectively
to people’s health needs;
World Health Report 2008
World Health Report 2008
Definisi Kolaborasi Interprofesi
• Kolaborasi interprofesi adalah hubungan yang saling
menguntungkan dan bermanfaat antara 2 atau lebih profesi
untuk mencapai tujuan bersama, yang tidak dapat
dilakukan oleh masing-masing profesi, termasuk:
– Membangun struktur organisasi bersama
– Berbagi tanggungjawab
– Mutual otoritas
– Tanggungjawab untuk keberhasilan
– Berbagi sarana prasarana dan penghargaan (reward)
Prinsip Dasar Pelayanan Kolaboratif
1. Kesamaan tujuan → setiap pelayanan kesehatan
bertujuan untuk pencegahan (layanan primer
maupun layanan rujukan)
2. Kesamaan kedudukan → setiap pihak (kolaborator)
memiliki kesamaan kedudukan sehingga saling
menghargai, saling membutuhkan, saling
melengkapi sehingga tercapai pelayanan yang
komprehensif, kontinu, efektif, dan efisien.
Manfaat Kolaborasi Interprofesi
• Patient safety (keselamatan pasien),
• Patient care (rawatan pasien) → komplikasi,
medical error, lama rawatan di RS, konflik di antara
pelaku rawat, angka mortalitas.
• Cost effective
• Cost efficient
IMPLEMENTASI PELAYANAN KOLABORATIF
Syarat utama:
1. Standar kompetensi setiap unsur kolaborator
jelas dan dipahami semua fihak, sehingga dapat
dirumuskan tugas pokok dan fungsi masing-
masing kolaborator.
2. Dukungan regulasi: yang mengatur kedudukan,
kewenangan, dan penghargaan untuk setiap
kolaborator.
Karakteristik pelayananSpesialis Kedokteran Keluarga Layanan Primer (SpKKLP)
Bio-psycho-social
Family Oriented Primary Care (FOPC)
Community Oriented Primary Care (COPC)
Pasien
Anamnese
Penatalaksanaan
Diagnosis
Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan
Fisik
Diagnosis Psikososial
Intervensi
Medis
Berbasis EBM
Level Pencegahan
Pekerjaan
Rumah, sosial
LingkunganFisik
DinamikaKeluarga
HOLISTIK
HOLISTIK
KOMPREHENSIF
Diagnosis
Medis
Aspek Personal:
alasan kedatangan,
harapan, kekhawatiran
dan persepsi pasien
Aspek Klinis
Aspek Risiko Internal
Aspek Risiko Eksternal
Derajat Fungsional
Level Keterlibatan SpKKLP
Intervensi Psikososial:
Edukasi pasien/ Konseling
Keterlibatan keluarga
Rehabilitasi
Family
assessment
toolsFamily
SCREEM
Family
APGAR
Family
Life Line
Family
Life Cycle
Family Map
Genogram
Property of PDKI
COPC = Community Oriented Primary Care (Layanan Primer Berorientasi Komunitas)
• COPC adalah suatu pendekatan sistematis
untuk meningkatkan layanan kesehatan
primer melalui integrasi ilmu klinik dengan
kesehatan masyarakat pada komunitas
tertentu.
Longlett et al., 2001
3 Syarat dalam Implementasi COPC
1. Adanya praktik layanan primer yang menerapkan prinsip-prinsip layanan yang komprehensif, terkordinasi, bersinambung, dapat diakses dan dipertanggungjawabkan →Kedokteran Keluarga
2. Adanya komunitas yang ditentukan berdasarkan geografi, demografi, atau karakteristik lainnya → KedokteranKomunitas
3. Adanya proses yang tdd: → Kesehatan Masyarakat▪ Menentukan karakteristik komunitas
▪ Menjelaskan masalah kesehatan di komunitas (community diagnosis)
▪ Identifikasi dan prioritas masalah kesehatan
▪ Monitoring dan evaluasi program
Kedudukan SpKKLPdalam
Sistem Pelayanan KesehatanKolaborasi Interprofesi
Sebuah Usulan
Contoh kasus: Diabetes Mellitus (DM) Tipe-2
SPM
(Standar Pelayanan
Minimal)
PERKENI – 2015
DM
PREDIABETES
BUKAN DM
DOUBLE BURDEN
Rp
PERBANDINGAN
HASIL RISKESDAS – 2013/ 2018
6.9/
10.9%
38.9/
30.8% KOMPLI
KASI
(+)
ANGKA HARAPAN
HIDUP BERKURANG
<15 THN
High Risk
High Cost
Kedudukan Pelayanan Primer dalam SistemKesehatan saat ini (existing condition)
Top Referal (FKRTL)
RS Tipe A
FKRTL
RS Tipe D – C – B
FKTP
1. Rujukan ke
FKRTL hanya
bisa dari
FKTP, kecuali
emergensi
2. Rujukan ke
FKRTL juga
berjenjang
dari RS Tipe
D-C-B-A
3. Rujukan ke
FKRTL yang
top referal
hanya boleh
dari RS Tipe B
1. Berbeda dengan rujukan ke
FKRTL tipe A dan B, rujuk balik
tidak mengatur penjenjangan,
melainkan langsung ke FKTP.
2. Akibatnya FKTP harus
berhadapan dengan berbagai
pendekatan untuk berbagai jenis
dan tingkat kesulitan kasus,
dan harus memilah untuk dirujuk
ulang atau diteruskan
perawatannya di FKTP
3. Beberapa kasus yang
kompleksitas tinggi, tidak
mungkin dilakukan perawatan
lanjutan di FKTP karena
keterbatasan kompetensi dan
fasilitas, namun rujukan
selanjutnya harus mengikuti
prosedur yang sama kembali
4. FKTP jadi tukang stempel
rujukan, tanpa ada upaya untuk
pemberdayaan.
SPEKTRUM DIABETES MELLITUS TIPE-2
20
15
10
5
0
−10 −5 0 5 10 15 20 25 30Tahun
Tingkat Insulin
Resistensi Insulin
Kegagalan sel
250
200
150
100
50
0
Fu
ng
sise
l
Rel
atif
(%)
Glukosa Puasa
Glukosa Postprandial
Glu
kose
(mm
ol/l
)
Gambaran
KlinisPERUBAHAN MIKROVASCULAR
PERUBAHAN MAKROVASCULAR
DIAGNOSIS
Diadaptasi dari Rhodes CJ. Science. 2005;307:380-4.
PR
E-D
IAB
ET
ES
DETEKSI DINI FASE PREDIABETES
DMTAHAP
ITAHAP
IITAHAP
III
ALGORITME PENGELOLAAN DM TIPE 2 TANPA KOMPLIKASI
GHS
GHS+
MONOTERAPI
GHS+
KOMBINASI 2 OHO
CATATAN:- GHS = Gaya Hidup
Sehat- GAGAL bila 2-3
bulan di tiap tahaptidak mencapaiHbA1C <7%
GHS+
KOMBINASI 2 OHO+
BASAL INSULIN
GHS+
KOMBINASI 3 OHOINSULIN INTENSIF
JALUR ALTERNATIF BILA:- INSULIN (-)- Diabetisi betul2 menolak
insulin- Kendali GD belum optimal
Konsensus Pengelolaan & Pencegahan DM Tipe 2, PERKENI 2011
Peran FKTP dalam
penatalaksanaan DM
Kemampuan deteksi dini
faktor risiko komplikasi dan
diagnosis dini di FKTP
→ Secondary Prevention
FUNDUSKOPI :
SKDI – LEVEL 4
ABI – SKDI LEVEL 3
SKDS-KKLP – LEVEL 4
DIABETIC FOOT
CARE
Kedudukan Pelayanan Primer dalam SistemKesehatan saat ini (existing condition)
FKTP FKTP
FKTP FKTP
FKTP
Masing-masing FKTP berdiri
sendiri, tidak saling
berkoordinasi. Setiap FKTP
memiliki peserta yang
dikelola, dan berhak merujuk
dan menerima rujuk balik
dari FKRTL
Alasan merujuk tidak teridentifikasi dengan
jelas. Umumnya terbagi 3:
1. Tidak memiliki kompetensi:
• Kasus kompleks
• Memerlukan tindakan medis spesialistik
• Ada pemeriksaan penunjang yang
memerlukan ketrampilan klinik khusus
2. Tidak memiliki fasilitas untuk memberikan
pelayanan:
• Fasilitas pemeriksaan penunjang (Rontgen
photo, lipid profile, HbA1C, dll)
• Fasilitas pemberian tindakan (nebulizer,
bedah minor set, dll)
3. Tidak tertutupi biaya kapitasi:
• Ekstirpasi lipoma kecil
• Roser plasty
• Eksisi abses
• Terapi inhalasi
• Fisioterapi sederhana
Current practice in the management of patients with
type 2 diabetes mellitus in Indonesia:
Results from International Diabetes Management
Practices Study (IDMPS). Soewondo P., J Indon Med Assoc. 2011;61(12):474-81.
Hanya 37.4% dari 674 pasien responden yang
mencapai target HbA1C (<7%)
Selebihnya tidak mencapai target dengan rerata
HbA1C = 8.27 → Kendali gula darah buruk
→ POTENSI UNTUK KOMPLIKASI
Diabetes Mellitus dengan
ko-infeksi Tuberkulosis (DM-TB)
The Next Health Tsunami
Rancangan Kedudukan SpKKLP
FKTP 2
FKTP 1
FKTP 1
FKTP 1
FKTP 1
1. Setiap FKTP-1 memiliki kepesertaan
yang telah ditentukan, batasan manfaat
yang telah ditetapkan, dan perhitungan
kapitasi yang sesuai
2. Setiap FKTP-1 berwenang merujuk
langsung ke FKRTL sesuai
pengaturan jenjang pelayanan rujukan
FKTP-2 adalah hub dari beberapa FKTP-1
yang memiliki:
1. Kompetensi klinik lebih lengkap
dibandingkan dokter di FKTP 1
2. Memiliki kemampuan melakukan tindakan
medis lebih banyak dibandingkan dengan
dokter di FKTP 1
3. Diwajibkan memiliki fasilitas pemeriksaan
penunjang dan pelayanan lebih lengkap
dibandingkan FKTP 1
Sehingga:
1. Pemeriksaan penunjang untuk
keperluan pemantauan
perkembangan penyakit/
pengendalian risiko dapat dilakukan di
FKTP-2 seperti pemeriksaan Rontgen
foto, darah lengkap, HbA1C, dll
2. Pelayanan spesialistik sederhana
yang tidak memerlukan peralatan
kompleks dan rumit dapat dilakukan
di FKTP-2
1. Rujukan dari FKTP-1 bisa
langsung ke FKRTL
sesuai jenjang pelayanan
rujukan
2. Rujuk balik dapat
langsung ke FKTP-1 dan
atau FKTP-2
Rancangan Kedudukan SpKKLP
FKTP 2
FKTP 1
FKTP 1
FKTP 1
FKTP 1
RS Tipe A
RS Tipe B
RS Tipe D/C
1. FKTP-1 dapat merujuk/ konsultasi ke FKTP 2
2. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan di FKTP-2
3. Pembiayaan kapitasi untuk FKTP-1 dan FKTP-2
PENJENJANGAN
RUJUK BALIK
MOTTO
Pelayanan SpKKLP
filling the gap in patient care
Filling the Gap in DM-TB Care (1)
RISK
ASSESSMENT:
(FKTP)
Usia
Riwayat
Keluarga
Gaya hidup
Gagal dalam
identifikasi
kebutuhan skrining
Gagal dalam
akses pelayanan
PRIMARY
PREVENTION:
(FKTP)
KONSELING
GAYA HIDUP
DM
Gagal dalam
primary
prevention
DETEKSI DINI:
(FKTP)
Skrining
asimtomatik
Skrining
simptomatik
BI-SKRINING
TB PADA
PASIEN DM
Gagal dalam
Deteksi Dini
DIAGNOSIS:
(FKRTL)
EKG
HbA1C
Lipid Profile
Rontgen Foto
Funduskopi
DM-TB
Gagal dalam
evaluasi
diagnosis
TERAPI:
(FKRTL)
DM dengan
komplikasi/ Ko-
infeksi TB
→ DM-TB MDR
Gagal dalam
edukasi
pengobatan
Gagal dalam
skrining
Gagal dalam
tindak lanjut hasil
skrining yang
abnormal
CLINICAL
OUTCOMES
Filling the Gap in DM-TB Care (2) DIAGNOSIS:
(FKRTL)
DM tanpa
komplikasi
DM dengan
komplikasi:
• Retinopathy
• Nefropathy
• Neuropathy
• Cardiometa
bolic
• DM-TB
• DM-TB
MDR
TERAPI:
(FKRTL)
Non Invasif
Invasif
CLINICAL
OUTCOMES
RUJUK BALIK
(FKTP)
Tindak lanjut
pengobatan
READMISSION
(FKRTL)
COSTLY
LOW QUALITY
OF LIFE
RUJUK BALIK BERJENJANG
DENGAN PRAKTIK KOLABORASI INTERPROFESI DI
LAYANAN PRIMER DAN LAYANAN RUJUKAN
KOPI TB & DISTRICT-BASED PUBLIC
PRIVATE MIX (DPPM)
SIMPULAN
• Layanan komprehensif, kontinu, efektif dan efisien
membutuhkan pelayanan kolaboratif interprofesi.
• Syarat:
– Kesamaan konsep tentang pecegahan di layanan
kesehatan primer dan layanan rujukan
– Kebijakan untuk kejelasan posisi/ kedudukan dan reward
setiap kolaborator dalam praktik kolaborasi interprofesi.
• Rujukan berjenjang seharusnya diikuti dengan Rujuk
Balik berjenjang.