komisi yudisial ri pasca putusan mahkamah konstitusi...
TRANSCRIPT
1
LEMBAR PERYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 12 Desember, 2008.
Urwatul Wutsqah
1
KOMISI YUDISIAL RI PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI RI NOMOR 005/PUU-IV/2006
(TINJAUAN KETATANEGRAAN ISLAM)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Urwatul Wutsqah
NIM: 104045201533
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Jaenal Aripin, MA Drs. Abu Thamrin, SH, M. Hum.
NIP: 150 289 202 NIP: 150 274 761
KOSENTRASI SIYASAH SYARIYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/ 2008 M
1
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KOMISI YUDISIAL RI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI RI NOMOR 005/PUU-IV/2006 (TINJAUAN
KETATANEGARAAN ISLAM) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 12 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program
Studi Siyasah Syariyyah.
Jakarta, 12 Desember 2008
Mengesahkan,
Dekan fakultas Syar’ah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Asmawi, M. Ag.
NIP: 150 282 394 (..........................)
2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag.
NIP: 150 282 403 (...........................)
3. Pembimbing I : Dr. Jaenal Aripin, MA
NIP: 150 289 202 (........................)
4. Pembimbing II : Drs. Abu Thamrin, SH, M. Hum
NIP: 150 274 761 (..........................)
5. Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA.
NIP: 150 169 102 (..........................)
6. Penguji II : Kamarusdiana, S. Ag, MH.
NIP: 150 285 972 (………………..)
i
KATA PENGANTAR
������ �� �� �������
��������
Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah
SWT. Yang telah melimpahkan rahmat dan karuniannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini, shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Serta keluarganya dan sahabatnya serta kepada kita semua
seluruh umatnya, mudah-mudahan kita semua mendapatkan syafa’at beliau di hari
akhir nanti. Amin.
Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi untuk mencapai Gelar
Sarjana Starata Satu (S1) di perguruan tinggi termaksud di Universitas Islam
Negeri “Syarif Hidayatullah” Jakarta adalah membuat karya ilmiah dalam bentuk
skripsi. Dalam rangka itu penulis membuat skripsi ini dengan judul : KOMISI
YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 005/PUU-IV/2006
(TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM).
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis hadapi. Namun syukur Alhamdulillah berkat Rahmat dan hidayah Nya,
kesungguhan dan kerja keras disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak
baik langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan serta hambatan dapat
diatasi dengan sebaik-baiknya yang pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.
ii
Oleh sebab itu pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yth. :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM. Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Asmawi, M. Ag., dan ibu Sri Hidayati, M. Ag,. Ketua Program Study
dan Sekertaris Program Study Jinayah Siyasah Faultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Jaenal Aripin, MA. Dan Bapak Drs. Abu Tamrin, SH, M. Hum,.
Selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan inspirasi, saran
dan arahannya dalam membimbing penulis untuk dapat menyelesaikan
skripsi ini.
4. Teristimewa ucapan terimakasih ini dihaturkan untuk kedua orang tua ku;
Ayahanda M. Shaleh Jamaludin dan Ibunda Siti. Kamlah, yang tak henti-
hentinya selalu memberikan dukungan moril, dan doanya.
5. Untuk Uswatun Hasanah, Khairunnisa, M. Natsir adik-adik ku dan fatimah
tante ku yang selalu memberi dukungan dan doa nya.
6. Bapak Nur Habibi Ihya’ SHI., Mh., yang selalu memberikan masukan saran
dan bimbingannya dalam penulisan skripsi ini.
7. Bapak/Ibu pimpinan Persputakaan Utama dan Perpustakan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah memberikan kesempatan dan fasilitasnya kepada penulis untuk
menunjang penelitian dalam mengadakan studi perpustakaan.
iii
8. Untuk sahabat-sahabat ku Vivi Fitiani, Ida Faridha, Ela Nurhalalah, Bilqis
Eljilnar, dan Fera yang selalu memberi saran dan dorongan yang baik moril
maupun intelektualitas dalam menunjang skripsi.
9. Untuk Sahabat ku Rini Wulandari dan Hutwatul Fauziyah yang selalu
memberi dukungan dan semangat dan juga selalu menemaniku dalam
pencarian data dan selalu menghibur ku thanks banget untuk kalian berdua.
10. Untuk teman-teman seperjuangan di Siyasah Syariyyah (SS) Angkatan 2004
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Yang banyak sekali saran
dan dorongan yang diberikan baik moril maupun intelektualitas dalam
menunjang skripsi ini.
Semoga amal serta kebaikan mereka senantiasa mendapatkan balasan
rahmat dari Allah SWT. Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi pembahasan persoalan
yang ada maupun dipenyajian materi. Oleh karena itu penulis mengharapkan
segala kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. Akhirnya
harapan penulis tidak lain adalah agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khusunya dan pembaca umumnya.
Ciputut, 12 Desember 2008.
Penulis,
Urwatul Wutsqah
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 9
E. Metode Penelitian ....................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 16
BAB II. KEKUASAAN YUDIKATIF DI INDONESIA DAN KEKUASAAN
YUDIKATIF DALAM PRESPEKTIF ISLAM
A. Pengertian Kekuasaan Yudikatif .................................................. 19
B. Kekuasaan Yudikatif sebelum Amandemen Undang-undang
Dasar 1945 ................................................................................. 27
C. Kekuasaan Yudikatif setelah Amandemen Undang-undang
Dasar 1945 ................................................................................. 36
D. Kekuasaan Yudikatif menurut ketatanegaraan Islam (Sulthah
Qadhaaaiyyah)............................................................................. 48
1. Sejarah terbentuknya Sulthah Qadhaaiya................................ 48
v
2. Tugas dan kewenangan Sulthah Qadhaaiyyah ........................ 56
BAB III. HUBUNGAN ANTARA KOMISI YUDISIAL RI DENGAN
MAHKAMAH AGUNG RI DAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
A. Hubungan Komisi Yudisial RI Dengan Mahkamah Agunga RI.... 62
B. Hubungan Komisi Yudisial RI Dengan Mahkamah Konstitusi RI. 65
BAB V. KEDUDUKAN, TUGAS DAN WEWENANG KOMISI YUDISIAL
RI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI NOMOR
005/PUU-IV/2006 (TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM)
A. Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial RI oleh Mahkamah Konstitusi RI. .................................. 70
B. Kedudukan Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Makamah
Konsitusi .................................................................................... 77
C. Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial RI pasca putusan
Mahkamah Konstitusi RI. ............................................................ 84
D. Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI
Ditinjau dalam Ketatanegaraan Islam........................................... 93
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 102
B. Saran ........................................................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 106
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut dengan UUD 1945) (1999-2002) telah membawa perubahan
besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam pelembagaan kekuasaan
legislatif, eksekutif, maupun yudisial (kekuasaan kehakiman). Dalam sistem
kekuasaan kehakiman (yudisial), disamping Mahkamah Agung (MA) dan badan-
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata
usaha negara, telah muncul Mahkamah Konstitusi RI (MK) dan Komisi Yudisial
RI (KY).1
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 UUD 1945 setelah perubahan, Mahkamah
Konstitusi RI adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping
Mahkamah Agung RI dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, dan lingkungan peradilan tata usaha Negara.
Mahkamah Konstitusi RI sesuai ketentuan pasal 24C ayat (1) UUD 1945
yang dirinci dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1. Abdul Muktie Fadjar, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstiusi, (Jakarta: Konpress &
Citra Media, 2006), Cet. Pertama. h. 109.
2
2003 tentang Mahkamah Konstitusi RI, mempunyai wewenang menguji undang-
undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan konstitutional
lembaga negara, memutuskan pembubaran partai politik, memutuskan
perselisihan hasil pemilihan umum, dan memutuskan pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ Wakil Presiden 2.
Sedangkan Komisi Yudisial RI, disebut sebagai lembaga pembantu
(auxiliary institution) didalam rumpun kekuasaan kehakiman. Kehadirannya,
merupakan refleksi filosofis dari cita-cita hukum yang terkandung dalam
pembukaan UUD 1945, sejalan dengan munculnya kesadaran sejarah akan masa
depan kekuasaan kehakiman yang merdeka, independent, dan martabat.3
Sebagai lembaga Negara, Komisi Yudisial RI mendapatkan tugas dan
kewenangannya dalam UUD dan dituangkan / dijabarkan lebih lanjut dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 20044. Adapun Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI ini dijelaskan dalam Pasal 13 tentang
wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial RI yakni, mengusulkan pengangkatan
Hakim Agung dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim.
2. Fajlurrahman Jurdi. Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim,
(Jakarta: PUKAP, 2007), Cet. Pertama, h, 183
3. Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, h, 201.
4. Ibid., h. 137.
3
Komisi Yudisial RI sebagai salah satu lembaga Negara yang baru
terbentuk sebagai akibat dari amandemen ketiga UUD 1945, tentu saja dituntut
bekerja maksimal dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran moral
hakim. Dimana hakim sebagai aparatur hukum yang sudah sekian lama tidak bisa
keluar dari perangkap kekuasaan yang mendominasi keputusannya selama
berpuluh-puluh tahun juga diharapkan agar lebih adil dalam mengambil
keputusan dan menjatuhkan palu dalam rangka menghukum hakim.
Keberadaan Komisi Yudisial RI tentu saja tidak bisa dipungkiri akan
mengancam prilaku hakim yang bertindak sebagai aparatur hukum tadi, yang di
dalamnya hakim diharapkan akan menjalankan mekanisme putusan yang berpihak
pada publik, akan tetapi hakim akan menjatuhkan putusan berdasarkan pesanan
dari kelompok-kelompok tertentu dari luar institusi peradilan seperti kepentingan
politik dan pengusaha. Komisi Yudisial RI adalah pengawas eksternal terhadap
perilaku hakim, yang sebelumnya memang tetap ada pengawas perilaku hakim,
akan tetapi hanya di internal saja, sehingga pengawasan internal itu dirasakan
tidak efektif untuk menegakkan moral dan integritas para hakim.5
Kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan RI bisa
mendatangkan harapan dan kecemasan. Komisi Yudisial RI mendatangkan
harapan karena lembaga ini dianggap menjadi secercah cahaya bagi upaya
pemberantasan mafia peradilan yang telah memporak-porandakan posisi
5. Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial, h, 140.
4
Indonesia sebagai Negara Hukum. Sebaliknya, Komisi Yudisial RI juga
mendatangkan kecemasan karena dianggap mengganggu pihak-pihak yang
menikmati keuntungan dari carut marutnya sistem dan praktik hukum di
Indonesia. Karena itu, Komisi Yudisial RI selalu berada dalam tarikan berbagai
kepentingan yang berbeda satu sama yang lain.6
Dalam Naskah Akademis, Mahkamah Agung RI melihat Komisi Yudisial
RI mempunyai wewenang untuk mengawasi semua hakim diberbagai
tingkatannnya, sesuai dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa Komisi Yudisial RI berfungsi untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Kata “menjaga”
diwujudkan dalam bentuk pengawasan. Kata “menegakkan” diwujudkan dalam
bentuk pendisiplinan atau pemberian sanksi disiplin, sedangkan kata “hakim”
berarti hakim diseluruh tingkatannya termasuk Hakim Agung. Sebab dalam UUD
1945, kata “hakim” yang tidak ditunjukkan kepada hakim secara keseluruhan,
redaksi yang digunakan adalah “Hakim Agung“ atau “Hakim Konstitusi”.
Dalam alasan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial RI, Mahkamah Agung RI berpandangan bahwa
Komisi Yudisial RI tidak mempunyai wewenang untuk mengawasi perilakuan
dan menegakkan kehormatan Hakim Agung, karena berbagai alasan, antara lain
bahwa bunyi Pasal 24B ayat (1) harus dibaca dalam satu nafas dan konteksnya
6. Ahmad Kurdi Moekri, Negara Hukum dalam Ujian, (Jakarta: Ka-tulis-tiwa Press, 2007),
Cet. Pertama, h, 53.
5
satu sama lain, sehingga bermakna bahwa “Komisi Yudisial RI bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan
Komisi Yudisial RI untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung.” Akhirnya,
melalui putusan Mahkamah Kontitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006, Mahkamah
Konstitusi RI mengabulkan sebagian permohonan, sehingga Komisi Yudisial RI
kehilangan beberapa kewenangan.7
Dalam Islam, sebagaimana kita ketahui bahwa dalam salah satu prinsip
dasar dari sistem Negara Islam adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum,
maka tegaknya keadilan merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan di
dalam kehidupan bernegara, ketentuan masalah ini telah diatur dalam Al-Qur’an
surat An Nisa ayat 58, yakni :
� ���� �� ��� �"#$%& �'(
)'*�⌧,-. �/ �0 %"12 345��
67�8�9'( ,:���' �1<☺,>6� %?�@%A
��0� �'( )�C☺�>D%'" �E<F6-D��A G ���� ��
HI�-�J A�>KL�-%& MN���A > ����
�� %�O⌧ ☺-P�M⌧Q 0R�ST%A
��UV
Artinya :
7. Ibid., h. 54.
6
“ Seungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum
diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
maha mendengar lagi maha melihat”. (Q. S. An Nisa : 58).
Sedangkan untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin dapat
dicapai tanpa adanya lembaga peradilan (yudikatif) yang berfungsi untuk
melaksanakan semua ketentuan hukum secara konsekuen. Karenanya kehadiran
lembaga yudikatif dalam sistem Negara Islam merupakan syarat mutlak yang
harus dipenuhi. Oleh karena itu, sejak awal kehadiran Negara Islam, lembaga
yudikatif ini telah ada dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Dengan adanya permasalahan antara lembaga yudikatif di atas, maka
penulis memilih judul : “Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 (Tinjauan KetataNegaraan Islam)”.
Agar dapat meneliti tentang Putusan Mahkamah Konstitusi RI terhadap
kewenangan Komisi Yudisial RI, dan peranan Komisi Yudisial RI terhadap
lembaga yudikatif di Indonesia pasca adanya putusan Mahkama Konstitusi
tersebut, dan bagaimana tinjauan yudisial (kekuasaan kehakiman) dalam
ketatanegaraan Islam
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
1. Pembatasan Masalah
7
Melihat begitu banyaknya permasalahan yang ada dalam lembaga
kehakiman di negeri ini, maka penulis ingin mengkaji dan menelaah salah satu
dari masalah lembaga kehakiman tersebut dan difokuskan hanya dalam
pembahasan mengenai Komisi Yudisial RI pasca putusan Mahkamah Konstitusi
RI Nomor 005/PUU-IV/2006 (Tinjauan Ketatanegaraan Islam).
2. Perumusan Masalah.
Melihat dari pembahasan skripsi ini maka perumusan masalahnya sbb:
a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
bertentangan dengan UUD 1945.
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung.
c. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan latar belakang di atas, studi ini dilakukan untuk mengkaji
lebih jauh tentang:
8
1. Bagaimana status dan kedudukan Komisi Yudisial RI sebelum dan sesudah
kelahiran putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 ?
2. Apa kewenangan Komisi Yudisial RI sebelum dan sesudah putusan
Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 ?
3. Bagaimana peranan Komisi Yudisial RI setelah adanya putusan Mahkamah
Konstitusi RI bila dilihat dari segi teori Ketatanegaraan Islam / peradilan
Islam ?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Masalah Komisi Yudisial RI pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI
Nomor 005/PUU-IV/2006 (tinjauan Ketatanegaraan Islam) ini diangkat bertujuan
untuk mengetahui :
1. Untuk mengetahui status dan kedudukan Komisi Yudisial RI sesudah dan
sebelum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-
IV/2006.
2. Untuk mengetahui kewenangan Komisi Yudisial RI sesudah dan sebelum
putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006.
9
3. Untuk mengetahui peranan Komisi Yudisial RI setelah adanya putusan
Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 bila dilihat dari sisi teori
ketatanegaraan Islam / peradilan Islam .
Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Menambah pengetahuan penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya
tentang Komisi Yudisial RI.
2. Manfaat praktis :
Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat adalah mengetahui
apa saja kewenangan dari pada Komisi Yudisial RI pasca putusan Mahkamah
Konstitusi RI.
3. Manfaat Akademis :
Manfaat akademis bagi Fakultas Syari’ah dan Hukum pada umumnya serta
kosentrasi Siyasah Syar’iyyah pada khususnya, adalah untuk penambahan
referensi tentang Komisi Yudisial RI pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI.
D. Tinjauan Pustaka
Disini buku/bahan yang diambil sebagai pedoman oleh penulis dalam
skripsi ini, adalah :
Skripsi oleh Nani Kurniasih, Al-sulthah Al-qadhaiyyah Membandingkan
Kewenangan Mengadili antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, di
dalam skripsi ini dibahas tentang Al-sulthah Al-qadhaiyyah dalam hal pengertian,
10
sejarah dan kewenangannya. Di jelaskan pula tentang Al-sultah Al-qadhaiyyah di
Indonesia yakni lembaga yudikatif sebelum di amandemen UUD 1945 dan
lembaga yudikatif setelah di amandemen UUD 1945. selanjutnya didalam skripsi
ini dijelaskan tentang kewenangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi dan kewenangan mengadili bagi Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi serta relevansi Al-sulthah Al-qadhaiyyah dengan Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi.8
Skripsi oleh M. Andri M, Kekuasaan Eksekutif Dalam Prespektif Islam
Dan Prespektif Barat, di dalam skripsi ini di bahas tentang pembagian kekuasaan
dan kekuasaan eksekutif di Indonesia dalam pengertian dan teori, dijelaskan pula
tentang konsep kekuasaan eksekutif dalam prespekrif Islam dalam hal eksistensi,
pengisian jabatan dan kewenangan maupun tugasnya, dijelaskan pula tentang
konsep kekuasaan eksekutif dalam prespektif barat dalam hal esisitensi, pengisian
jabatan, kewenangan maupun tugasnya.9
Fajlurrahman Jurdi “ Komisi Yudisal dari Delegitimasi hingga Revitalisasi
Moral Hakim”10
. Di mana Buku ini menjelaskan tentang Negara hukum
Indonesia, Reformasi parlement Indonesia dan pengaruhnya, otonomi moral
8. Skripsi oleh Nani Kurniasih, Al-sulthah Al-qadaiyyah Membandingkan Kewenangan
Mengadili antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. (Jakarta: 1426H/2006M), h, i.
9. Skripsi oleh M. Andri M, Kekuasaan Eksekutif Dalam Prespektif Islam Dan barat. (Jakarta:
1424H/2004M), h. i.
10. Fajlurrahman, Jurdi. Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim,
(Jakarta: PUKAP, 2007), Cet. Pertama.h. i.
11
hakim Mahkamah Agung dan kehadiran Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi
dan Komisi Yudisial, delegitimasi atas Komisi Yudisial, menuju revisi Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004, dan Komisi Yudisial atau Mahkamah Yudisial.
Imam Al Mawardi “Hukum Tatanegara dan Kepemimpinan dalam
Takaran Islam”11
. Di mana Buku ini menjelaskan tentang pengangkatan kepala
Negara, tentang pengangkatan menteri, tentang pengangkatan pimpinan jihad,
tentang pengangkatan qadhi (hakim), tentang jabatan madzalim, tentang
perwakilan keluarga terhormat, tentang imam-imam sholat, tentang pimpinan
pelaksanaan ibadah haji, tentang petugas pemungut zakat, tentang pembagian fa’i
dan rampasan perang, dll.
Pemikiran Jimly Asshidiqie, dan Para Pakar Hukum. Konstitusi dan
Ketata Negaraan Indonesia Kontemporer12
. Di mana dalam Buku ini di jelaskan
Gagasan dan pemikiran Jimly Asshidiqie, tentang Implikasi perubahan terhadap
pembangunan hukum nasional, evaluasi konsolidasi lembaga negara dan sistem
aturan penyelenggaraan negara. Dan juga diterangkan tentang Konstitusi dan
konstitusionalim. Negara, demokrasi, dan lembaga politik. Seputar amandemen
UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam berbagai prespektif. Dan terakhir
tinjauan pemikiran Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H. yang berisikan tentang
11. Imam. Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam.
(Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet. I. h. i.
12. Pemikiran, Jimly Asshidiqie, dan Para Pakar Hukum, Konstitusi dan KetataNegaraan
Indonesia Kontemporer.( Jakarta: The biography Institute, 2007), Cet. Pertama. vii.
12
Perkembangan ketatanegaraan dalam pandangan Prof. Dr. Jimly Asshiqie. ‘Jalan
Asshidiqie’ bagi reformasi konstitusi jilid dua.
Ahmad Kurdi Moekri “ Negara Hukum dalam Ujian”13
. dimana Buku ini
menjelaskan mengenai pembantukan UU dalam sorotan, syari’at Islam dalam UU
dan Perda, kenapa DPD gagal galang Amandemen UUD 1945, perubahan
Undang-undang KY dalam tarikan berbagai kepentingan, menggugat perjanjian
pertahanan Indonesia-Singapura, batu sandungan pemberantas korupsi.
Denny Indrayana, “Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan
Pembongkaran”14
. Dimana dalam Buku ini mengkaji masalah mencari konstitusi
yang demokratis. Kerangka teoritis pembuatan konstitusi yang demokratis.
Reformasi Konstitusi Indonesia. Perubahan pertama: membongkar konstitusi
sakral. Perubahan kedua; reformasi berlanjut, politisi tak beringsut. Perubahan
ketiga; perubahan penting, belum juga terjaring,. Perubahan ke empat; krisis
konstitusi atau reformasi konstitusi. Evaluasi, rekomendasi dan kesimpulan dan
terakhir membahas tentang kacau prosesnya, lebih demokratis hasilnya.
Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Komisi
Yudisial Republik Indonesia. Dimana di dalam Buku ini dijelaskan Komisi
13. H. Ahmad Kurdi Moekri, Negara Hukum Dalam Ujian, (Jakarta: Ka-tulis-tiwa Press,
2007), Cet. Pertama. h, iii.
14 . Denny Indrayana. Amandemen UUD 1945 Antara Mitos, (Bandung: Mizan Media Utama,
2007), Cet. Kedua. h, 19.
13
Yudisial dalam mosaic ketatanegaraan kita, Komisi Yudisial Pengawal reformasi
pengadilan, peran hakim Agung dalam penemuan hukum (Rechtsvinding) dan
penciptaan hukum (Rechtsschepping), hakim agung dan penemuan hukum,
Komisi Yudisial yang dicita-citakan oleh masyarakat, sinkronisasi sistem
perundang-undangan lembaga peradilan dalam menciptakan peradilan yang lebih
baik.15
Buletin Komisi Yudisial RI, Pegelaran Budaya Memeriahkan Refleksi
Akhir Tahun 2007 Komisi Yudisial, di dalamnya terdapat berita atau info
mengenai Pentingnya Komisi Yudisial pada Negara hukum, Peran dan eksisitensi
lembaga Negara dalam perkembangan hukum di Indonesia, Mahkamah Agung
wajib jalankan rekomendasi Komisi Yudisial disini dijelaskan bahwa dalam revisi
Undang-undang Komisi Yudisial, Partai Amanat Nasional (PAN), mengusulkan
agara rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial wajib dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung.16
E. Metode Penelitian
Metode merupakan strategi utama dalam pengumpulan data-data yang
diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi.17
Pada dasarnya sesuatu
15.Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi
Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007), Cet. Pertama, h. xiii.
16. Buletin Komisi Yudisial, Pegelaran Budaya Memeriahkan Refleksi Akhir Tahun 2007
Komisi Yudisial , Tanggal 03 Desember 2007.
17. Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), Cet. Ke-3, h. 8.
14
yang dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah “pengetahuan” atau lebih
tepatnya “pengetahuan yang benar”, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya
dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.18
Penelitian ini dimaksudkan untuk menggali hal-hal apa saja yang melatar
belakangi munculnya putusan Mahkamah Konstitusi RI terhadap kewenangan
Komisi Yudisial RI didalam Lembaga kehakiman di Indonesia.
1. Jenis Penelitian.
Jenis penelitian skripsi ini adalah sudi kepustakaan yang berusaha
mengkombinasikan pendekatan normatife dan empiris, adapun dengan
pendekatan normatife diharapkan dapat menemukan data akurat yang di
butuhkan tentang Komisi Yudisial RI terutama yang berkaitan dengan
undang-undang yang ada hubungannya dengan Komisi Yudisial dan
mahkamah Konstitusi, sedangkan empiris diharapkan dapat menggali data dan
informasi sebanyak dan sedetail mungkin tentang Komisi Yudisial RI pasca
putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006.
2. Teknik Pengumpulan Data.
Penulis dalam penelitiaan ini menggunakan teknik penulusuran dokumen,
dengan mengadakan kajian, menelaah, dan menelusuri literature yang
berkenaan dengan masalah yaitu berupa buku, majalah, koran, artikel, dan
18 Bambang Sunggono, Metode penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Radagrafindo Persada,
1997), Cetekan Pertama, h, 27.
15
lain-lain. Dengan metode ini penulis berusaha mengungkap kewenang, tugas,
dan fungsi Komisi Yudisial RI setelah putusan Mahkamah Konstitusi RI.
Sedangkan untuk memperoleh data yang berkenaan dengan judul
penelitian, penulis menggunakan metode pengumpulan data yang bersumber
sebagai berikut :
a. Data Primer
Data ini dikumpulkan secara langsung dari buku-buku, undang-undang yang
berkaitan juga dengan sumber primer masalah yang ingin dibahas oleh
penulis.
b. Data Skunder
Data ini dikumpulkan dari artikel-artikel, jurnal ilmiah ditambah denga
komentar orang mengenai Komisi Yudisial RI dan Mahkamah Konstitusi RI
yang berkaitan dengan judul penelitian.
c. Teknik Analisis Data.
Dalam menganalisa data peneliti menggunakan metode analisis komparatif.
Peneliti mencoba melakukan perbandingan diantara data-data yang terkumpul
dalam penelitian ini.19
d. Teknik Penulisan.
19. Moleong J. Lexy. Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung, PT Remaja Rosda Karya,
2004), Cet. Pertama, h. 6.
16
Dalam penulisan skripsi ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syari’ah dan Hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
F. Sistematika Perumusan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi masalah kedalam beberapa
bab yang pada dasarnya menjadi suatu kesatuan yang saling berkesinambungan
agar lebih memperjelas dan mempertajam arah pembahasan materi yang sedang
diteliti.
Adapun sistematika perumusan dari isi ringkasan bab demi bab dalam
skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I : Membahas latar belakang masalah diambilnya judul ini, dan penulis
membatasi penulisan ini dengan pembatasan dan perumusan masalah
sehingga membatasi dan merumuskan hal-hal yang akan penulis bahas
dalam skripsi ini sehingga tercapailah tujuan dan manfaat penelitian
dari tulisan/skripsi ini adapun penulisan ini diperoleh data melalui
tinjauan pustaka dengan tekhnik penulisan menggunakan metode
penelitian (jenis penelitian, teknik pengumpulan data, dan analisa data)
dan diakhiri dengan sistematika perumusan dari pada skripsi ini.
17
BAB II : Membahas tentang kekuasaan yudikatif di Indonesia dan Yudikatif
dalam islam, yakni penjelasan mengenai pengertian kekuasaan
yudikatif bagaimana pertentangan atau gejolak dari pada kekuasaan
yudikatif itu sendiri dan disini penulis pun menjelaskan mengenai
pengertian dari kekuasaan yudikatif itu sendiri, selain itu penulis pun
membahas mengenai kekuasaan yudikatif sebelum amandemen UUD
1945 dan kekuasaan yudikatif setelah amandemen UUD 1945 agar
pembaca bisa memahami tentang kondisi kekuasaan yudikatif dan
bagaimana keadaan kekuasaan yudikatif itu sendiri sebelum
amandemen UUD 1945 atau pun sesudah amandeman UUD 1945,
agar dapat mengetahui sejauh mana kekuasaan lembaga yudikatif
dalam hal menangani tugas dan kewenangannya apakah independent
dan mandiri atau masih ada campur tangan dari pihak lain (legislatif
dan eksekutif). dan disini juga dibahas mengenai Kekuasaan Yudikatif
menurut ketatanegaraan Islam (Sulthah Qadhaaiyyah) mengenai
sejarah terbentuknya Sulthah Qadhaaiyyah dan dibahas pula tugas dan
kewenangan dari pada Sulthah Qadhaaiyyah agar kita dapat
memahami kekuasaan yudikatif didalam Islam.
BAB III: Membahas tentang hubungan antara Komisi Yudisial RI dengan
Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi RI. Dimana di sini
penulis membahas tentang hubungan kelembagaan Negara yakni
18
mengenai hubungan Komisi Yudisial RI dengan Mahkamah Agung RI
dimana kedua lembaga ini memiliki sedikit hubungan dalam hal
mengusulkan pengangkatan dan pengawasan hakim Agung, sedangkan
mengenai hubungan Komisi Yudisial RI dengan Mahkamah Konstitusi
RI hanya dalam segi pengawasan hakim dan mengajukan usul
penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada piminan Mahkamah Agung
RI dan/atau Mahkamah Konstitusi RI (Pasal 21 UU No 22, 2004).
BAB IV: Membahas tentang Kedudukan, Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial
RI pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006
(tinjauan ke tatanegaraan Islam), yakni tentang pengujian Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI oleh
Mahkamah Konstitusi RI tentang apa aja yang melatar belakangi
adanya pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
sehingga keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor
005/PUU-IV/2006, kedudukan Komisi Yudisial Pasca putusan
Mahkamah Konstitusi RI tersebut, dilanjutkan dengan tugas dan
kewenangan Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
RI Nomor 005/PUU-IV/2006, dan diakhiri dengan pembahasan
tentang Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI
tinjauan Ke Tatanegaraan Islam.
BAB V : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
19
Lampiran Komisi Yudisial RI pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI
Nomor 005/IV-PUU/2006.
20
BAB II
KEKUASAAN YUDIKATIF DI INDONESIA DAN KEKUASAAN
YUDIKATIF DALAM PRESPEKTIF ISLAM
A. Pengertiann Kekuasaan Yudikatif
Menurut Harun Al-Rasyid, kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif)
ialah “kekuasaan yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang
kedudukan para hakim”. Jaminan tentunya tidak hanya diberikan kepada hakim,
tetapi juga kepada seluruh kekuasaan kehakiman, teutama lembaga-lembaga
peradilan, dengan tujuan agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku. 20
Di Indonesia, sebelum adanya perubahan UUD 1945, kekuasaan
kehakiman atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri dari badan-badan
peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung RI. Lembaga Mahkamah
Agung RI tersebut, sesuai dengan prinsip independent of judiciary diakui bersifat
mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang
kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim ini selain
20. Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta,
Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, h, 137.
21
diatur dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, juga tercantum
dalam penjelasan Pasal 24 UUD 1945.21
Melihat uraian tersebut, sebenarnya kekuasaan kehakiman, sejak awal
kemerdekaan juga diniatkan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari
lembaga-lembaga politik atau kekuasaan Negara lainnya seperti MPR/DPR
(legislatif), dan Presiden (eksekutif), Namun UUD 1945 sebelum perubahan tidak
menganut paham pemisahan kekuasaan (separation of power), terutama antara
fungsi eksekutif dan legislatif, akan tetapi menganut sistem pembagian
kekuasaan, dalam istilah jimly division of power. Sehingga, tidak jarang timbul
intervensi terutama yang dilakukan oleh kekuasaan legislatif dan eksekutif
terhadap yudikatif atau kekuasaan kehakiman.22
Adapun independensi kekuasaaan kehakiman diformalkan dan prinsip
dasarnya dipindahkan dari tempatnya semula di bagian Penjelasan dalam Batang
Tubuh UUD 1945. kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung RI
dan sebuah Mahkamah Konstiusi RI. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung
RI dan dipilih oleh dan dari Hakim-Hakim Agung, sedangkan Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi RI dipilih dan dari Hakim-Hakim Konstitusi.23
21 . Ibid., h, 138.
22. Ibid.,
23. Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos Dan Pembongkaran, (Jakarta:
Mizan, 2007), Cet. Kedua, h. 278.
22
Sebuah lembaga baru, yaitu Mahkamah Konstitusi dibentuk, setingkat
dengan Mahkamah Agung RI. Mahkamah Konstitusi RI memiliki kewenangan
untuk ‘mengadili untuk tingkat pertama dan terakhir’ dan .... putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa
kewenangan lembaga Negara .... memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.24
Disamping itu, Mahkamah Konstitusi RI wajib memberikan pertimbangan
hukumnya dalam sebuah proses impeachment. Mahkamah Konstitusi RI
mempunyai sembilan orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh
Presiden, yang pencalonannya diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung RI, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.25
Satu lembaga baru lainnya, yaitu Komisi Yudisal RI, memiliki wewenang
untuk ‘mengusulkan pengangkatan Hakim Agung’ serta ‘menjaga dan
menegakkan, kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim’. Untuk
menjalankan peran yang sedemikian penting, para anggota Komisi tersebut adalah
orang-orang yang ‘memiliki integritas dan keperibadian yang tidak tercela’.
Anggota Komisi ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
DPR.26
24. Ibid., h. 279.
25. Ibid.,
26. Ibid., h, 279.
23
Berawal pada Tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan
Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan
dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang
berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan
tindakan? hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil
dimaksukkan dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman.
Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang
semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang
tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-
cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan, dan professional
dapat tercapai.27
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada sidang Tahunan MPR
Tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga UUD 1945, disepakati beberapa
perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman,
termasuk didalamnya Komisi Yudisial RI yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehomatan hakim.28
Kemunculan Komisi Yudisial RI adalah akibat langsung dari amanat
reformasi 1998 untuk menegakan supermasi hukum dan agar para hakim tidak
27. Komisi Yudisial Republik Indonesia. Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng
Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, h. 3.
28. Ibid,.
24
melakukan pelanggaran atas hukum. Sekaligus agar hakim tidak menjadi aparat
penguasa. Dan ini semua adalah berangkat dari kekecewaan masa lalu, yaitu
dimana kekuasaan kehakiman dikooptasi oleh kekuasaan, sehingga kebebasan
hakim dalam memutus perkara terbelenggu oleh kekuasaan tersebut. Keinginan
kuat untuk keluar dari belenggu kekuasaan inilah yang menyebabkan adanya
keinginan kuat untuk membuat Komisi Yudisial RI.29
Keberadaan Komisi Yudisial RI dalam institusi kekuasaan kehakiman
merupakan implementasi secara langsung atas tuntutan masyarakat terhadap
reformasi peradilan dan sekaligus menjalankan amanah reformasi. Dengan adanya
Komisi Yudisial RI diharapkan hakim dapat mandiri, bebas dan tidak terpengaruh
oleh kekuasaan manapun.30
Menurut Jimly Asshidiqie, maksud dibentuknya Komisi Yudisial RI
dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat
diluar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses
pengangkatan, penilaian kerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua
ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat
serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan
berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran
martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang merdeka bersifat imparsial
29. Ibid., h, 4.
30. Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial Dari Delegitimas Hingga Revitalisasi Moral Hakim,
(Jakarta: PuKAP, 2007), Cet. Pertama, h. 137.
25
(independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan sekaligus
diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum
maupun dari segi etika. Untuk itu diperlukan institusi pengawasan yang
independent terhadap para hakim itu sendiri.31
Untuk itu, perubahan UUD 1945 merumuskan kewenangan Komisi
Yudisial RI sebagaimana tercantum dalam Pasal 24B dengan rumusan sebagai
berikut.
1. Komisi Yudisial RI bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
2. Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman
dibidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
3. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan DPR.
4. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan
undang-undang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (4) UUD 1945 di atas,
dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
RI. Menurut ketentuan Pasal I angka I ditegaskan bahwa Komisi Yudisial RI
31. Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2005), Cet. Pertama, h. 211.
26
adalah lembaga Negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Lebih lanjut,
dalam Pasal 2 ditegaskan, bahwa Komisi Yudisial RI merupakan lembaga Negara
yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur
tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.32
Harus diakui secara jujur bahwa mosaik lembaga peradilan, terutama
kekuasaan kehakiman, menjadi lebih baik setelah perubahan UUD 1945 yang
menegaskan fungsi-fungsi konstitutonal dengan proliferasi kelembagaan dalam
bidang ini. Langkah Komisi Yudisial RI pun sudah mendorong kearah kemajuan,
sebab dengan gebrakannya menyorot dan memeriksa hakim-hakim yang
dilaporkan dan diduga nakal mulai dari hakim peradilan negeri sampai ke Hakim
Agung ternyata meningkatkan gairah masyarakat untuk menyoroti dan
melaporkan hakim-hakim nakal, meski tak semua laporan itu benar adanya.
Banyak hakim yang kemudian lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya.
Dalam melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung pun, terlepas dari kritik
dan kontrovensi atas produknya, Komisi Yudisial RI sudah memberi sumbangan
yang cukup baik terutama untuk memilih yang terbaik dari jelek-jelek serta dalam
membuat kontrak moral agar kalau sudah menjadi Hakim Agung seseorang dapat
melaksanakan tugasnya dengan penuh integritas. Ini sudah tentu jauh berbeda
dengan zaman sebelumnya dimana Hakim Agung diangkat berdasar kontrak
32. Ibid., h. 211.
27
politik dan ditengarai kuat hanya brdasarkan kedekatan dengan pipinan
Mahkamah Agung.33
Tapi langkah-angkah Komisi Yudisial RI yang cukup memberi harapan
ternyata telah menjadi bumerang yang sama sekali tidak diharapkan baik oleh
Komisi Yudisial sendiri maupun oleh masyarakat. Mahkamah Agung yang
merasa kewibawaannya diobrak-abrik merasa tersinggung, terutama ketika
Komisi Yudisial RI mengundang ketua Mahkamah Agung RI untuk dimintai
keterangan dan ketika Komisi Yudisial RI mengundang beberapa Hakim Agung
untuk diperksa berkenaan dengan masuknya beberapa laporan dari
masyarakat.kalangan hakim banyak yang mengatakan bahwa Komisi Yudisial RI
bukan menjaga martabat hakim melainkan justru menjatuhan martaba hakim,
bahkan mengintervensi kemandirian hakim. 30 orang Hakim Agung kemudian
menggugat judicial review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial RI terhadap UUD. Jadi kinerja Komisi Yudisial RI.34
Dan di
karenakan persoalan inilah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang telah
memangkas habis kewenangan Komisi Yudisial RI dan membuat kewenangan
Komisi Yudisial RI menjadi terbatas.
33. Komisi Yudisial RI, Bunga Rampai Komisi Yudisial Dan Reformasi Peradilan, (Jakarta:
Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertam, h. 4.
34. Ibid., h. 5.
28
B. Kekuasaan Yudikatif Sebelum Amandemen UUD 1945
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kita sudah kembali kepada UUD
1945. Kepada jiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Tetapi kenyataannya selama ini
jiwa dari ketentuan-ketentuan UUD 1945 itu belum dilaksanakan secara murni.
Sebagai contoh dapat diajukan, bahwa Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 dalam
penjelasannya secara tegas telah menyatakan, bahwa Kekuasaan Kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari praktek dan pelaksanaannya telah
menyimpang dari UUD, antara lain Pasal 19 dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
memberikan wewenang kepada Presiden untuk dalam “beberapa hal dapat turun
atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”.35
Dikatakan antara lain oleh Pasal 19 dari Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa:
“Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan
masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal
pengadilan.” Sedangkan dikatakan dalam Penjelasan mengenai Pasal 19 tersebut
bahwa: “Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh dari kekuasaan Eksekutif
dan kekuasaan membuat undang-undang.” Sebaliknya, UUD 1945 sendiri dalam
35. C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil. Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000), Cet. Ketiga. h. 186.
29
Penjelasannya: “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka dan
terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah.”36
Adalah jelas, bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1965 menggambarkan adanya suatu pertentangan
konstitutional yang “flagrant”, sedangkan pertentangan dengan UUD 1945.
betapapun ia disertai dengan syarat-syarat tertentu, tidak dapat dibenarkan oleh
hukum “interference” atau turun tangan dari pihak eksekutif dimungkinkan,
sedangkan hal demikian dilarang oleh UUD 1945, yang menghendaki adanya
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, terlepas dari pengaruh Pemerintah.37
Dalam rangka pemurnian pelaksanaan UUD 1945 sesuai dengan ketentuan
ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XIX/MPR/1966
juncto Nomor XXXIX/MPRS/1968 maka Pemerintah bersama-sama Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong-Royong telah mengadakan peninjauan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan
Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang Dan Peraturan Pemerintah
36. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
37. C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil. Hukum Tata Negara, h. 187
30
Pengganti Undang-Undang Pasal 2 Lampiran III Nomor urut 3 yang menghendaki
adanya undang-undang untuk menggantikannya.38
Dengan dicabutnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut terjadilah suatu
kekosongan, yang akan menghambat jalannya peradilan pada umumnya. Oleh
karena itu perlulah dengan segera dibentuk undang-undang tentang ketentuan
pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru sebagai penggantinya. Undang-undang
yang baru ini selain bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut harus pula
menjaga kemurnian pelaksanaan UUD 1945. Untuk itu perlulah dalam undang-
undang tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru ini,
diusahakan tercantumnya dasar-dasar bagi penyelenggaraan peradilan dan
ketentuan-ketentuan pokok mengenai hubungan peradilan dan pencari keadilan,
yang sejiwa dengan UUD 1945 supaya pelaksanaannya nanti sesuai dengan
Pancasila.39
Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman diserahkan kepada badan-badan
peradilan dengan ketentuan bahwa undang-undang tentang ketentuan-ketentuan
pokok Kekuasaan Kehakiman ini akan merupakan induk dan kerangka umum
yang meletakkan dasar serta asas-asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan
38. Ibid,. h. 188.
39.Ibid., h. 188.
31
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
Negara yang masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.40
Dengan melihat mengenai bab dan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang
mengatur mengenai kekuasaan kehakiman masih ada kekuasaan-kekuasaan lain
yang ditentukan dalam UUD 1945. Dari situ pula dapat disimpukan bahwa
kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam UUD 1945 tertata dalam suatu tatanan
yang sesuai dengan pandangan jiwa yang menguasai UUD 1945. Dalam konteks
ini, UUD 1945 menempatkan kekuasaan kehakiman dalam kaitannya dengan
susunan. Apa yang merupakan susunan ketatanegaraan itu meliputi segala sesuatu
yang berkaitan dengan peraturan, susunan, dan kedudukan lembaga-lembaga
Negara serta tugas dan kewenangnya. Dalam UUD 1945, susunan ketatanegaraan
dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang enam lembaga
Negara yang terdiri dari sebuah lembaga Negara tertinggi Negara yakni MPR dan
lima buah lembaga tinggi Negara yakni Presiden dan Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA).41
Dengan melihat konstruksi kekuasaan seperti yang terdapat dalam UUD
1945 ini menarik kesimpulan bahwa tatanan kekuasaan dalam Negara RI adalah
sebagai berikut:
40. Ibid., h. 189.
41. Jimly Asshidiqie, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia,
(Jakarta: UI Press, 2005), Cet. Pertama. h. 23.
32
1. Kekuasaan Primer yang dinamakan kedaulatan. Jika dilihat dari ilmu
hukum positif, kedaulatan itu merupakan sumber dari segala macam
hak atau kekuasaan yang ada dalam tatanan hukum. Sri Soemantri
mengartikan kedaulatan itu sebagai kekuasaan tertinggi. Karena dalam
Negara RI, yang berdaulat rakyat, maka kekuasaan tertinggi tetap
berada di tangan rakyat (Pasal 1 ayat (2)) UUD 1945.
2. Kekuasaan Subsidair, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan kedaulatan
yang lahir dari kedaulatan tersebut. Kekuasaan subsidair ini adalah
kekuasaan yang integral artinya ia meliputi semua jenis kekuasaan
yang akan mewujudkan ketentuan-ketentuan hukum dasar yang
termuat dalam cita hukum (Rechtsidee) dan cita hukum itu tercantum
dalam bagian pembukaan UUD 1945. Dalam praktek kehidupan
bangsa dan negara, kekuasaan subsidair ini merupakan kekuasaan
yang diserahkan atau dilimpahkan oleh kedaulatan rakyat kepada suatu
badan yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
3. Kekuasaan melakukan kedaulatan oleh Hukum Dasar atau UUD 1945
dirinci lagi kedalam cabang-cabang kekuasaan untuk melakukan
kedaulatan dengan tetap memperhatikan jalan dan cara-cara yang di
tempuh untuk mewujudkan secara nyata ketentuan hukum dasar
sebagai isu atau kandungan dalam Rechtsidee Negara Republik
Indonesia.42
Ketentuan mengenai Kekuasaan Kehakiman (yudikatif) jelas berbeda
dengan ketentuan yang mengatur tentang kekuasaan-kekuasaan Negara lainnya
seperti kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan eksaminatif (BPK)
dan kekuasaan konsultatif (DPA). Untuk cabang-cabang kekuasaan negara diluar
cabang Kekuasaan Kehakiman, UUD 1945 baik dalam pasal-pasalnya maupun
dalam penjelasannya tidak secara eksplisit menentukan kekuasaan-kekuasaan
tersebut merupakan suatu kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan-
kekuasaan negara lainnya. Lain halnya dengan kekuasaan kehakiman yang secara
42. Moch. Koesno, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesi, (Jakarta:
ELSAM, 1997), Cet. Pertama, h, 202.
33
eksplisit disebutkan dalam dua pasal UUD 1945 yaitu Pasal 24 dan Pasal 25
sebagai kekuasaan yang merdeka.43
Dimana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia didasarkan atas ketentuan
Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 sebagai berikut:
Pasal 24:
1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung RI dan lain-
lain badan kehakiman menurut undang-undang
2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-
undang.
Pasal 25:
Syarat-syarat untuk menjadi hakim dan untuk di berhentikan sebagai
hakim ditetapkan dengan undang-undang.
Penjelasan Pasal 24 dan 25 tersebut berbunyi “Kekuasaan kehakiman ialah
kekuasaan kehakiman yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah berhubungan dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-
undang tentang kedudukan para hakim.”44
Perintah UUD 1945 agar kekuasaan kehakiman itu lebih lanjut diatur
dengan undang-undang telah dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru dengan
43. Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), Cet., Pertama, h. 109.
44. Ibid., h. 110.
34
dikeluarkannya beberapa undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman dan sistem peradilan di Indonesia, sebagai berikut:
Pertama, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaga Negara
Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2951) yang memuat ketentuan bahwa:
a. Berdasarkan Penjelasan Umumnya, UU tersebut dimaksudkan sebagai induk
dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asas-asas peradilan sebagai
pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara yang masing-masing akan diatur
dalam undang-undang tersendiri.
b. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman mengakhiri berlakunya Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
telah mereduksi prinsip kebebasan/kemerdekaan kekuasaan kehakiman seperti
diamanatkan oleh Penjelasan UUD 1945. Melalui Pasal 1 dan penjelasannya
dipertegas dan diperjelas prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai
berikut: “ Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Penjelasannya
berbunyi “ Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian
di dalamnya kekuasaan yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan
35
Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi
yang datang dari pihak extra judicial kecuali dalam hal-hal yang diijinkan
oleh undang-undang.”
c. Melalui Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah ditegaskan sistem peradilan
yang akan melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia disamping
Mahkamah Agung yakni badan-badan Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-masing badan
peradilan tersebut mempunyai dua tingkatan, yakni peradilan tingkat pertama
dan peradilan tingkat banding, dan semua berpuncak pada Mahkamah Agung
sebagai peradilan tingkat kasasi. 45
Kedua, untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan
undang-undang pokok telah dikeluarkan beberapa undang-undang
pelaksanaannya, yaitu:
1. Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara RI Tahun 1981 No. 76 tentang Hukum Acara Pidana);
2. Undang-Undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara RI Tahun 1985 No. 73 tentang Mahkamah Agung,
Tambahan Lembaran Negara RI N0. 3316);
45. Ibid., h. 112.
36
3. Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara RI Tahun 1986 No. 2 tentang Peradilan Umum, Tambahan Lembaran
Negara RI No. 3327);
4. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(Lembaran RI Tahun 1986 No. 77 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Tambahan Lembaran Negara RI No. 3344);
5. Undang-Undang RI No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (lembaran
Negara RI Tahun 1989 No. 49 tentang Peradilan Agama)
6. Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Ketiga, setelah dilaksanakan selama 29 tahun, sebagai usaha memperkuat
kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi dibidang
hukum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
intinya berisi kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan, baik yang
menyangkut teknis yudisial maupun organisasi, administrasi, dan finansial berada
dibawah satu atap dibawah kekuasaan Mahkamah Agung dan paling lambat sudah
harus dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun sejak di undangkannya Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999.46
46. Ibid., h. 113.
37
C. Kekuasaan Yudikatif Setelah Amandemen UUD 1945.
Semenjak reformasi bergulir, tampak realisasi akan perubahan terhadap
UUD 1945 tidak dapat dielakkan. Sebagai salah satu agenda reformasi, perubahan
terhadap UUD 1945 menjadi begitu mendesak sebab perubahan masyarakat
demikian cepat, demikian pula perubahan yang terjadi dalam supra struktur
politik perlu direspon dengan perubahan Konstitusi sebagai hukum dasar Negara
yang akan menjadi pijakan utama dalam menyelenggarakan kehidupan
bernegara.47
Dimana, Amandeman UUD 1945 sebagai amanat reformasi pada akhinya
dapat dituntaskan dalam perubahan keempat dengan nama resmi UUD 1945.
Perubahan empat kali itu dapat diperinci sebagai berikut.48
Perubahan pertama yang ditetapkan pada tanggal 19 Oktober tahun 1999,
berhasil diamandemen sebanyak 9 pasal. Perubahan kedua yang ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 2000 telah amandemen sebanyak 25 pasal. Perubahan ketiga,
yang ditetapkan pada tanggal 9 November tahun 2001 berhasil diamandemen
sebanyak 23 Pasal. Perubahan keempat, yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus
2002 ini telah berhasil diamandemen sebanyak 13 pasal serta 3 pasal Aturan
Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Jadi, jumlah total pasal hasil perubahan
pertama sampai keempat itu adalah 75 pasal, namun demikian, jumlah nomor
47. Jimly Asshidiqie, Aspek-Aspek Perkembangan, h, 25.
48. Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD 1945-
2002, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), Cet. Pertama, h. 209.
38
pasalnya tetap sama yaitu 37 (tidak termasuk Aturan Peralihan dan Aturan
Tambahan).49
Perubahan UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali sejak tahun 1999,
merupakan bagian dari proses reformasi yang membawa dampak penting dalam
kehidupan sosial, politik dan terutama dalam kehidupan hukum. Perubahan yang
terjadi yang tampak lebih kasat mata akibat perubahan UUD 1945 tersebut
menyangkut konfigurasi kelembagaan Negara atau organisasi kekuasaan
penyelenggara Negara. Perubahan yang didasari oleh pengalaman masa lalu, ingin
meletakkan konstitutionalisme, sebagai prinsip dan doktrin bernegara, yang dijaga
melalui doktrin checks and balances dan pemisahan kekuasaan (separation of
power). Atas dasar hal itu, maka konfigurasi organisasi kekuasaan telah berubah
secara mendasar, dari sesuatu yang bersifat vertikal hirarkis, dimana kedaulatan
rakyat dipegang oleh sebuah badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai penjelma seluruh rakyat Indonesia, dengan kewenangan untuk
menetapkan UUD, menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara dan mengangkat
Kepala Negara (Presiden) / Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Perubahan
UUD 1945, merubah posisi MPR sebagai lembaga Negara, yang memegang
kekuasaan tertinggi Negara, menjadi sederajat dan setara dengan lembaga Negara
pemegang kekuasaan lainnya dalam kedudukan yang bersifat horizontal, tetapi
49. Ibid.
39
secara fungsional melakukan check and balances terhadap lembaga Negara
lainnya.50
Dimana Perlunya perubahan UUD 1945 semata-mata karena kelemahan
yang dimiliki oleh UUD 1945. Kelemahan-kelemahan tersebut menjadi penyebab
tidak demokratisnya Negara Indonesia selama menggunakan UUD 1945. Mahfud
menyebutkan kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya adalah:
1. UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy dengan memberi
porsi yang sangat besar kepada kekuasaan Presiden tanpa adanya mekanisme
checks and balances yang memadai.
2. UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada
Presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting dengan UU maupun dengan
Peraturan Pemerintah.
3. UUD 1945 memuat beberapa pasal yamg ambigu atau multi tafsir sehingga
bias ditafsirkan dengan bermacam-macam tafsir, tetapi tafsir yang diterima
adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden.
4. UUD 1945 mengutamakan semangat penyelenggaraan Negara dari pada
sistemnya.
Gagasan perubahan UUD 1945 kembali mucul dalam perdebatan
pemikiran ketatanegaraan dan menemukan momentumnya di era reformasi.51
50. Pemikiran Jimly Asshiddiqie, dan Para Pakar Hukum, Konstitusi dan Ketata Negaraan
Indonesia Kontemporer, (Jakarta: The Biografi Institute, 2007), Cet. Pertama, h. 277.
51. Ibid., h. 4.
40
Adapun mengenai kekuasaan Kehakiman telah mengalami perubahan
yang pesat setelah perubahan ketiga UUD 1945 (9 November tahun 2001) antara
lain telah melakukan perubahan terhadap Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman
dari semula hanya berdiri dari dua pasal (Pasal 24 dan 25) menjadi lima pasal,
yaitu Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25. Perubahan tersebut
telah memasukkan tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang semula
tercantum dalam Penjelasan dan yang semula tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 mengenai badan-badan peradilan dibawah Mahkamah
Agung ke dalam Pasal 24, sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut.
1 Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
3 Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang.
Perubahan tersebut menunjukkan bahwa jaminan konstitutional atas
prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman semakin kuat demikian pula
eksistensi badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung telah
mendapat jaminan konstitutional (semula hanya dimuat dalam undang-undang).
Perubahan Pasal 24 juga tidak lagi menempatkan Mahkamah Agung sebagai
41
Singel top authority dalam kekuasaan kehakiman karena kehadiran Mahkamah
Konstitusi dengan kewenangan Konstitutional yang diatur dalam Pasal 24C.
Ketentuan Pasal 24 ayat (3) penjabarannya di lakukan oleh Pasal 41 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu bahwa yang
dimaksud dengan badan-badan lain yang funsinya berkaitan kekuasaan
kehakiman meliputi Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan badan-badan lain
yang diatur dalam undang-undang. 52
Begitupun dengan politik hukum dibidang peradilaan dan kekuasaan
kehakiman juga mengalami perubahan menjadi proliferatif (berkembang biak).
Kalau dulu kekuasaan kehakiman hanya diletakkan dan berpuncak pada
Mahkamah Agung (MA), sekarang puncak kekuasaan kehakiman ada dua yakni
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (MK). Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa Mahkama Agung memegang kekuasaan kehakiman dalam
perkara konvensional, sedangkan Mahkamah Konstitusi memegang kekuasaan
kehakiman dalam perkara ketatanegaraan yakni pengujian undang-undang
terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pandapat DPR bahwa
Presiden/Wapres melanggar larangan tertentu yang disebut didalam UUD,
memutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wapres tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden/Wapres, memutus perkara pembubaran partai politik, dan
52. Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi., h. 114.
42
memutus sengketa tentang hasil pemilu. Selain itu, dalam politik hukum
kekuasaan kehakiman sekarang ini di Indonesia mempunyai Komisi Yudisial
yakni sebuah lembaga Negara yang bersifat penunjang dengan wewenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lainnya dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.53
Mahkamah Konstitusi berdiri endiri seta terpisah dari Mahkamah Agung
secara duality of jurisdiction. Mahkamah Kontitusi berkedudukan setara dengan
Mahkamah Agung. Keduanya adalah penyelenggara tertinggidari kekuasaan
kehakiman. Namun, ia hanya berkedudukan di ibu kota Negara tidak seperti
halnya Mahkmah Agung yang memiliki benerapa badan peradilan dibawahnya
sampai pada tingkatpertama kabupaten/kota.54
Sebagai buah dari reformasi, yakni telah adanya amandemen terhadap
UUD 1945, maka selain Mahkamah Agungsebagai puncak pelaksana keuasaan
kehakiman dilingkungan peradilan yang berada di bawahnya, juga terdapat
Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional sama-sama sebagai pelaksana
keuasaan kehakiman, namun tidak mempunyai hubungan structural dengan
Mahkamah Agung. Kedua lembaga tersebut memiliki fungsi yang sama sebagai
53. Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: LP3ES, 2007), Cet. Pertama, h. 55.
54. Jaenal Aripin, Peradilan Agama, h. 196.
43
pelaksana kekuasaan kehakiman, akan tetapi di bedakan dalam yurisdiksi dan
kompetensinya.55
Perubahan ketiga UUD 1945 selain menyangkut tentang Mahkamah
Konstitusi, juga memuat tntang Komisi Yudisial. Ia disebut seebagai lembaga
pembantu (auxiliary institution) di dalam rumpun kekuasaan kehakiman.
Kehadirannya, merupakan refleksi filosofis dari cita-cita hukum yang terkandung
dalam pembukaan UUD 1945, sejalan dengan munculnya kesadaran sejarah akan
masa depan kekuasaan kehakiman yan merdeka, independent, dan bermartabat.
Adapun, latar belakang terbentuknya Komisi Yudisial dalam strutur
kekuasaan kehakiman di Indonesia paling tidak terdapat lima hal yaitu: (a)
Komisi Yudisial di bentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif
terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam
spectrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring internal saja; (b)
komisi Yudisial Menjadi perantara (mediator) atau penghubungantara kekuasaan
pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang
tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari
pengaruh kekuasaa apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah.56
Latar belakang lainnya; (c) dengan adanya Komisi Yudisal, tingkat
efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin
55. Ibid., h. 196.
56. Ibid., h. 202
44
tinggi dalam beberapa hal, baik yang menyangkut rekrutmen maupum monitoring
Hakim Agung maupun pengelola keuangan kekuasaan kehakiman; (d) terjadinya
konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh
penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi
Yudisal); dan (e) dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan
kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap
prekrutan terhadap hakim Agung dapat di minimalisasi dengan adanya Komisi
Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak
memiliki kepentingan politik. 57
Adapun mengenai kinerja Komisi Yudisial itu sendiri seperti yang
dilaporkan oleh ketua Komisi Yudisial ke pada Presiden pada tanggal 12 Juni
2007 yakni, Komisi melaporkan kepada Presiden mengenai pelaksanaan
kewenangan tugas Komisi Ketua dan anggota Komisi Yudisial, hari Senin (11/6)
pagi diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Kantor Kepresidenan.
Pada pertemuan yang berlangsung selama 1 jam tersebut, mereka menyampaikan
laporan kinerja Komisi Yudisial selama setahun, serta menyampaikan rencana
revisi Undang-Undang Komisi Yudisial. Ikut mendampingi Presiden saat
menerima Komisi Yudisial antara lain Mensesneg Hatta Rajasa, Menhuk HAM
57 . ibid., h. 202.
45
Andi Mattalata, Seskab Sudi Silalahi, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kapolri
Jenderal Pol. Sutanto dan Jubir Presiden, Andi A. Mallarangeng.58
Menurut Busyro Muqqodas, Ketua Komisi Yudisial, Presiden SBY
memberikan perhatian penuh terhadap reformasi di bidang hukum yang dianggap
sangat penting. "Presiden berharap agar lembaga terkait di bidang law
enforcement bisa bekerja lebih sinergis dan komunikatif, " katanya Yudisial untuk
menyeleksi Hakim Agung. "Sekarang telah selesai menyeleksi dua tahap, dan
menghasilkan 18 calon Hakim Agung yang akan disampaikan ke DPR. Juga kami
sampaikan mengenai kewenangan dan fungsi pengawasan terhadap hakim yang
dilakukan oleh Komisi Yudisial, antara lain merespon laporan dan pengaduan dari
masyarakat serta melakukan proses pemeriksaan berkas pengaduan. Laporan yang
diterima dari bulan Agustus tahun 2005 hingga saat ini berjumlah 1175," kata
Busyro Muqqodas.59
Dilain hal kinerja Komisi Yudisial adalah di Palang karaya Komisi
Yudisial (KY) segera menggandeng keuskupan di seluruh Indonesia guna
mengawasi kinerja lembaga peradilan beserta sekitar 6.578 orang hakim. Kerja
sama serupa juga digagas bersama lembaga keagamaan lainnya, Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama (NU), juga sejumlah perguruan tinggi. Keuskupan yang
telah digandeng KY adalah Keuskupan Kupang dan Maumere. “Saat ini beberapa
58. http://www presidensby.info/index.php/fokus/2007/06/11/1919.html, jam 21. 30, tgl 02 12
2008.
59. Ibid.
46
keuskupan telah kita gandeng sebagai semacam ‘perwakilan bayangan’ dari
Komisi Yudisial di daerah. Rencananya semua keuskupan akan kita gandeng
bersama-sama mengawasi lembaga peradilan di Indonesia,” kata Anggota Komisi
Yudisial Zaenal Arifin, di Palangka Raya, Kamis(31/8). 60
1.200 Laporan Komisi Yudisial menilai kinerja mereka tak bisa mencakup
semua pekerjaan pengawasan hakim di Tanah Air. Karenanya, lembaga
keagamaan dan kampus digandeng sebagai mitra untuk mendapatkan laporan
masyarakat soalcarut-marutlembaga peradilan. “KY berharap upaya itu sekaligus
sebagai upaya memasyakatkan peran dan keberadaan lembaga ini yang selama ini
masih banyak belum diketahui msyarakat umum,” imbuhnya.61
Selain berupaya menggandeng lembaga lain dalam mengawasi para
hakim, KY saat ini juga tengah melakukan penyelidikan tentang kinerja lembaga
peradilan di Indonesia secara umum. Termasuk pula mendata berapa banyak
hakimyangdinilaijelekkinerjanya. “Kita tidak bisa ngomong tanpa dasar berapa
banyak hakim yang bagus atau berapa persen yang jelek dan melanggar kode etik,
karena lembaga kita dibentuk berdasarkan UUD45,” jelasnya.
Di sisi lain, Arifin mengakui, dari 1.200-an laporan masyarakat, 800-an di
antaranya tidak bisa ditindaklanjuti karena data dan argumentasinya kurang kuat.
Sementara itu, 400 laporan sudah ditindaklanjuti dan 20 laporan sudah
60. www.sinarharapan.co.id/berita/0708/31/nas03.html - 23k, ,jam 21.35 tgl.02 12
2008. 61. Ibid.
47
direkomendasi untuk ditindak hakimnya. Rekomendasi itu berupa pemberhentian
bagi delapan orang hakim dan 12 hakim berupa sanksi teguran.62
Di kesempatan berbeda, anggota Komisi Yudisial, Soekotjo Soeparto,
menanggapi positif pembentukan posko pengaduan mafia peradilan yang
didirikan kalangan LSM dalam Koalisi Pemantau Peradilan. Posko itu menurut
Soekotjo, sangat membantu kerja Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan
eksternal terhadap para hakim. 63
Sebelumnya, KPP yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya
masyarakat (LSM) di bidang hukum membuka posko pengaduan terhadap praktik
mafia peradilan. Hal itu dilakukan karena praktik mafia peradilan tersebut hingga
kini tak kunjung reda, sekaligus menjawab klaim Ketua Mahkamah Agung (MA)
Bagir Manan yang menilai praktik mafia peradilan tersebut tidak ada.
Tindakan tegas yang dilakukan MA pun terkesan hanya menyentuh staf atau
pegawai pengadilan, tidak pernah menjerat hakim.64
Sebagai akibat perubahan pengaturan kekuasaan kehakiman dalam UUD
1945, maka telah dikeluarkan beberapa undang-undang yang terkait dengan
kekuasaan kehakiman sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
62. Ibid.
63. Ibid.
64
. www.sinarharapan.co.id/berita/0708/31/nas03.html - 23k, ,jam 21.35 tgl.02 12
2008.
48
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara RI Tahun 2003 No. 98, Tambahan Lembaran Negara RI
No. 4316) untuk melaksanakan perintah Pasal 24C ayat (6) UUD 1945;
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 8, Tambahan Lembaran Negara RI No.
4358) untuk menggantikan Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara
RI Tahun 2004 No. 9, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4359) untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945;
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara RI
Tahun 2004 No. 34, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4379) untuk
melaksanakan ketentuan pasal 24A ayat (5) UUD 1945;
6. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha negara
(Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara
RI No. 4380) untuk melaksanakan ketentuan pasal 24A ayat (5) UUD 1945;
49
7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran
Negara RI Tahun 2004 No. 89, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4415)
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24B ayat (4) UUD 1945.65
D. Lembaga Yudikatif Dalam Islam ( Al-Sulthah Al-Qadhaaiyyah ).
a. Sejarah Terbentuknya Al-Sulthah Al-Qadhaaiyyah.
Kata sulthatun ( ���� ) sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang
berarti pemerintahan. Dalam kamus al-Munawir sama dengan al-Qudrah ( رة ل�� )
yang berarti kekuasaan, kerajaan, pemerintahan.66
Menurut Lois Ma’luf dalam
kamusnya Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam berart al-malik al-qudrah, yakni
kekuasaan pemerintah.67
Sedangkan Al-qadhaiyyah berarti putusan, penyelesaian
perselisihan, atau peradilan. Kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan dan
kehakiman. Secara terminology, berarti kekuasaan untuk mengawasi atau
menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai
pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut
65. Abdul Mukthie Fadjar. Hukum Konstitusi .., h. 118.
66. Ahmad Warsono Munawir, Kamus Al-Munawir: kamus Arab Indonesia Terlengkap.
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 650.
67. Lois Ma’luf, Kamus Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirat: Dar al-Mashariq, 1997),
h. 1095.
50
perkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini dikenal
dengan kekuasaan yudikatif.68
Haji Zaenal Abidin Ahmad memberikan pengertian Al-sulthah Al-
qadhaaiyyah yaitu kekuasaan pengadilan yang memelihara dan melindungi
peraturan-peraturan dan undang-undang (judicial power).69
Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu prinsip dasar dari sistem
Negara Islam adalah Negara Hukum. Sebagai negara hukum, maka tegaknya
keadilan merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan didalam kehidupan
bernegara, dan untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin dapat dicapai
tanpa adanya lembaga peradilan (yudikatif) yang berfungsi melaksanakan semua
ketentuan hukum secara konsekuen. Karenanya kehadiran lembaga yudikatif
dalam sistem Negara Islam merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Oleh
karena itu, sejak awal kehadiran Negara Islam lembaga yudikatif ini telah ada dan
berfungsi sebagaimana mestinya.70
Dalam sejarah ketatanegaraan Islam, ketiga badan kekuasaan Negara yaitu
Sultah Tanfiziyyah (kekuasaan penyelenggara undang-undang), Sultah
Tasyri’iyyah (kekuasaan pembuat undang-undang), Sulthah Qadhaaiyyah
(kekuasaan kehakiman) itu belum dipisahkan dari wilayah kekuasaan yang ada
tetapi masih berada pada satu tangan yaitu penguasa atau kepala Negara. Pada
68. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996,
Cet. Pertama, h. 16567.
69. Ibid., h. 16567.
70. Ibid., h. 15658.
51
masa berikutnya, ketiga badan kekuasaan negara tersebut masing-masing
melembaga dan mandiri.71
Perkembangan As-Sulthah Al-Qadhaaiyyah Dalam Sejarah Islam.
Perkembang kekuasaan peradilan pada dasarnya tidak lepas dari sejarah
perkembangan masyarakat dan politik Islam. oleh karena itu sebagaimana
dijelaskan Muhammad Salam Madkur (Guru Besar Hukum Islam, Universitas
Cairo) para ahli, membagi sejarah peradilan Islam kedalam beberapa masa dengan
ciri-ciri atau tanda-tandanya masing-masing.72
Masa Rasulullah SAW. Kedudukan Rasulullah SAW, di samping sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif, juga menangani langsung urusan yang berkaitan
dengan kekuasaan yudikatif; artinya, kekuasaan peradilan belum dipisahkan dari
kekuasaan Nabi SAW sebagai pelaksana perundang-undangan. Segala urusan
yang menjadi kewenangan as-sulthah al-qadahaiyyah semuanya tertumpu
ditangan penguasa. Setelah wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penanganan
kekuasaan ini dibantu oleh beberapa orang sahabat yang di kirim ke beberapa
daerah untuk bertindak sebagai penguasa dan sekaligus sebagai pemegang
kekuasaan dalam bidang peradilan. Di samping itu, ada diantara sahabat yang
diperbantukan oleh Rasulullah SAW untuk menangani tugas-tugas peradilan ini,
71. Salim Ali Al-Bahansi, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996),
Cet. Pertama, h. 53.
72. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi, h, 16568.
52
yang ditempatkan dipusat pemerintahan, seperti Umar bin Khatab (w.
23H/644M), atau yang diutus ke daerah atas nama Rasulullah SAW, seperti Ali
bin Abi Thalib (w. 40H/661M) dan Mu’az bin Jabal (w. 18H/639M) ke Yaman.
Sumber hukum bagi lembaga peradilan pada masa ini hanya Al-Qur’an dan hadits
Nabi SAW.73
Masa al-Khulafa ar-Rasyidun (Empat Khalifah Besar: Abu bakar as-
Siddiq (w. 13 H/634M), Umar bin al-Khatab, Usman Bin Affan (w. 35H/656M),
dan Ali bin Abi Thalib). Ketika khalifah di pegang oleh Abu Bakar as-Siddiq,
kekuasaan yudikatif masih ditangan pnguasa atau pihak eksekutif. Mulai masa
khalifah Umar bin al-Khatab dan dua khalifah berikutnya, kekuasaan yudikatif
mulai di pisahkan dari kekuasaan eksekutif. Khalifah hanya memegang kekuasaan
eksekutif, sedangkan urusan-urusan peradilan ditangani langsung oleh petugas
khusus yang memenuhi syarat jabatan tersebut. Untuk keperluan ini Umar bin al-
Khatab mengangkat Abu Darda menjadi hakim di Madinah, Syuraih bin Amer di
Basrah, dan Abu Musa al-Asy’ari di kufah. Pada masa Khalifah Usman bin Affan
mulai di bangun gedung khusus untuk lembaga ini yang semula diselenggarakan
di masjid-masjid. Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, pada masa masing-
masing dalam bidang kekuasaan yudikatif ini, meneruskan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh Umar sebagai khalifah pendahulunya. Sumber hukum lembaga
peradilan di masa ini adalah Al-Qur’an, hadits dan ijtihad.74
73. Ibid., h, 16568.
53
Masa Daulah Umayyah. Kekuasaan yudikatif mengalami kemajuan lagi,
khususnya dalam bidang administrasi peradilan dan proses berpekara (yang
menyangkut hukum acara atau hukum formil), yang sebelumnya belum
diterbitkan. Pada masa ini diadakan pencatatan terhadap putuan pengadilan
sebagai dokumen resmi pemerintah. Meskipun situasi politik pada masa ini baru
saja mengalami perubahan dari sistem demokrasi ke sistem monarki, pemegang
kekuasaan yudikatif dalam menyelesaikan urusannya tidak terpengaruh oleh
kecendrungan-kecendrungan pribadi politik khalifah. Bahkan khalifah dalam hal
ini menegaskan (melalui ancaman pemecatan bagi yang menyelenggarakan
tugasnya) agar pemegang kekuasaan yudikatif melaksanakan tugas dengan
sebaik-baiknya. Sumber hukum untuk masa ini pun adalah Al-Qur’an, hadits, dan
ijtihad.75
Masa Daulah Bani Abbasiyah. Di samping terus meningkatkan pembinaan
yang berkaitan dengan administrasi kelembagaannya, khalifah juga membentuk
lembaga-lembaga yang mendukung dan memiliki kewenangan khusus yang juga
berkaitan dengan kekuasaan yudikatif ini. Tidak hanya pembenahan terhadap
sarana peradialan, akan tetapi sudah mulai hukum materil yang akan disusun oleh
hakim sebagai dasar pengambilan keputusan. Awalnya, yang digunakan adalah
kitab al-Muwatha’ karya imam Malik. Namun Imam Malik sendiri menolak
dengan alas an masih banyak Hadits Raulullah SAW., yang tersebar berbagai
74. Ibid.
75. Ibid., h, 16569.
54
kota. Kemudian atas usul Ibnu al-Muqaffa’ kepada Khalifah al-Mansur agar
menyusun pedoman tentang penerapan hukum materil, sehingga perbedaan
pendapat dapat di hindari, akhrnya disusunlah kompilasi hukum Islam yang
dijadikan pedoman oleh hakim dalam memutuskan perkara.76
Selain itu, di zaman dinasti Abbasiyah, kekuasaan yudikatif (sulthah
qadhaaiyyah) semakin lengkap. Perkembangan mencampai puncak kesempurnaan
pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid (170-193), saat dia mengangkat Ya’qub
bin Ibrahim al-Anshari yang lebih terkenal dengan Abu Yusuf, sebagai kepala
dari seluruh kepala hakim, yang dinamakan qaadhii qudhaah (Hakim Agung).
Diantara tugas pentingnya dalah menangani perkara-pekara diperadilan umum
dan diiwaan al-madzaalim. Kewenangan lainnya adalah, mengangkat hakim-
hakim yang akan ditetapkan diseluruh provinsi.77
Perkembangan lainnya menyangkut kekuasaan kehakiman periode
keempat ini, terjadi terutama pada masa pemerintahan Sultan az-Zahir Biibars
(665 H/ 1267M), di mana ia membentuk sistem peradilan yang menggabungkan
empat mazhab besar dan dikepalai oleh masing-masing Hakim Agung. Untuk
Hakim Agung mazhab Syafi’I mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang
lain. Karena selain menangani urusan yuridiksinya, juga diserahi tanggung jawab
mengawasi penyatunan terhadap yatim piatu, perwakafan, dan menangani
76. Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet.pertama, h, 152.
77 . Ibid., h, 152.
55
masalah baitul mall. Sedangkan Hakim Agung yang lainnya, mengurusi peradilan
dan fatwa bagi rakyat dari masing-masing mazhabnya.78
Dengan demikian pada masa tersebut, Hakim Agung tidak hanya memilik
tugas memutus perkara pada tingkat kasasi, akan tetapi juga memiliki tugas-tugas
lain diluar yuridiksinya. Bahkan menurut Carl F. Petry, semua Hakim Agung
pada masa tersebut, memegang 3 jabatan sekaligus. Temasuk untuk jabatan hakim
ditingkat yang lebih rendah, dapat memegang seluruh jabatan administrasi, tak
terkecuali dilingkungan militer. Meskipun demikian, kedudukan dan
kewenangannya kuat, ia berpegang teguh pada syari’at tanpa dapat dipengaruhi
oleh siapapun.79
Akibat terlalu kuatnya kedudukan dan besarnya kewenagan tersebut,
sampai Hakim Agung diperadilan umum dapat memberhentikan pejabat Negara
dalam menggantikannya dengan yang lain. Dalam kekuasaan modern, preseden
ini dijadikan sebagai salah satu alas an munculnya Mahkamah Konstitusi, dimana
salah satu kewenagannya, seperti yang ada di Indonesia adalah memutus pendapat
DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dan
memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Namun sayang, independensi dan kemandirian pelaksana kekuasaan
kehakiman terutana qaadhii al-qudhaah/ Mahkamah Agung yang semula sudah
78. Ibid., h. 152.
79. Ibid.,
56
kuat dan menjalankan fungsinya secara benar, kemudian dikebiri, akibat kuatnya
posisi, kedudukan, dan kepribadian Hakim Agung. Para sultan dan Amirdinasti
Mamlukmerasa terancam kekuasaannya, mengingat para hakim sering
menenytang kebijakan sultan yang tidak adil atau tidak sesuai dengan syari’at
Islam. oleh karena itu, merka melakukan apa saja untuk melemahkan kekuasaan
HakimAgung dan membatasi kewenangannya.80
Masa Khalifah Turki Usmani dan Masa Sesudahnya. Kekuasaan yudikatif
mengalami banyak perubahan, khususnya setelah masa Tanzimat. Pada masa ini,
disamping lembaga peradilan yang khusus mengadili orang-orang islam, juga
didirikan lembaga peradilan yang khusus menangani orang-orang non muslim
(kafir zimi: kafir yang dilindungi) dan orang-orang asing yang tinggal di wilayah
kekuasaannya, yang sumber hukumnya adalah agama masing-masing dan
undang-undang asing. Pemerintah menetapkan mazhab Hanafi sebagai mazhab
resminya. Oleh karena itu, hakim utama diangkat dari mazhab ini. Sumber hukum
pada masa setelah Tanzimat ini kebanyakan diambil dari hukum Eropa, kecuali
dalam masalah-masalah keperdataan. Keadaan ini mempengaruhi Negara-negara
islam lainnya, khususnya negara-negara yang cukup terbuka terhadap pembaruan
dalam bidang hukum dan peradilan seperti Mesir, Suriah, dan Tunisia. Sumber
80. Ibid., h. 153.
57
hukum lembaga peradilan pada masa ini sudah berubah dan beragam sesuai
dengan beragamnya jenis lembaga peradilan di masa itu.81
b. Tugas dan Wewenang As-Sulthah al-Qadhaaiyyah.
As-Sulthah al-Qadhaaiyyah adalah salah satu dari tiga kekuasaan yang
dimiliki suatu Negara. Dua kekuasaan lainnya ialah kekuasaan membuat undang-
undang (as-sulthah at-tasyri’iyyah atau kekuasaan legislatif) dan kekuasaan
melaksanakan undang-undang (as-sulthah at-tanfiziyyah atau kekuasaan
eksekutif). Secara garis besar tugas dan wewenang as-sulthah al-qadhaaiyyah
terbagi tiga: (1) untuk menjamin pelaksanaan undang-undang oleh pihak
eksekutif; (2) untuk mengontrol atau mengawasi fungsi dan pelaksanaan
kekuasaan legislatif; (3) untuk mengadili dan menyelesaikan berbagai persoalan
hukum dan perselisihan yang diajukan dan yang menjadi kewenangannya.82
Tujuan adanya kekuasaan yudikatif dalam Islam bukannya untuk
membongkar kesalahan agar dapat di hukum, tetapi yang menjadi tujuan pokok
yaitu untuk menegakkan kebenaran; supaya yang benar di nyatakan benar dan
yang salah di nyatakan salah tanpa menghiraukan maslahat.
81. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi, h. 1658.
82. Ibid., h. 1657.
58
Selain menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya keadilan,
kekuasaan yudikatif dalam Islam juga bertujuan untuk menguatkan Negara dan
menstabilkan kedudukan hukum kepala Negara.83
Imam Al-Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam as-Sulthaniyyah
menyebutkan sepuluh tugas kekuasaan yudikatif yaitu:
1. Memutuskan atau menyelesaikan perselisihan, pertengkaran dan konflik;
dengan mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara secara sukarela atau
memaksa keduanya berdamai.
2. Membebaskan orang-orang yang tidak bersalah dari sangsi dan hukuman,
serta memberikan sangsi kepada yang salah, baik dengan (dari) pengakuan
maupun dengan dilakukannya sumpah.
3. Menetapkan penguasa harta benda orang-orang yang tidak menguasai sendiri
karena gila, masih kanak-kanak atau idiot.
4. Mengelola harta-harta wakaf dengan menjaga harta pokoknya,
mengembangkan cabang-cabangnya,menahannya dan mengalokasikan ke
posnya.
5. Melaksanakan wasiat-wasiat berdasarkan syarat-syarat pemberian wasiat
dalam hal-hal yang diperbolehkan syariat dan tidak melanggarnya.
6. Menikahkan gadis-gadis dengan orang-orang sekufu’ (selevel), jika merdeka
tidak mempunyai wali dan sudah memasuki usia menikah.
7. Melaksanakan hudud (hukuman syar’i) kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Jika menyangkut hak-hak Allah Ta’ala, ia melaksanakannya
sendiri tanpa menggugat, jika telah terbukti dengan pengakuan dan barang
bukti. Jika menyangkut hak-hak manusia, pelaksanaan hudud (hukuman
syar’i) ditentukan oleh permintaan penggugat.
8. Memikirkan kemaslahatan umum diwilayah kerjanya dengan melarang segala
gangguan dijalan-jalan dan halaman-halaman rumah dan meruntuhkan
bangunan-bangunan illegal.
9. Mengawasi para saksinya dengan pegawainya, serta memilih orang-orang
yang mewakilinya. Jika mereka “bersih” (jujur dan kredibel) dan istiqomah, ia
mengangkatnya. Jika mereka “tidak bersih”, dan berkhianat, ia menggantinya
dengan pejabat baru. Menegakkan persamaan didepan hukum antara orang
83. Imam Al-Mawardi, Terj. Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah: Prinsip-prinsipbPenyelenggaraan
Negara Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2000), Cet. Pertama, h. 130.
59
yang kuat dan yang lemah, dan menegakkan keadilan dalam peradilan baik
bagi orang bangsawan maupun rakyat biasa.84
Hakim diangkat untuk menangani semua perkara disalah satu sudut kota
atau salah satu tempat dikota tersebut, kemudian ia menerapkan semua
keputusannya disudut kota tersebut atau disalah satu tempat di dalamnya.
Ia menerapkan hukum kepada warga asli daerah tersebut dan orang-orang
yang datang kepadanya, karena orang-orang yang datang kepadanya sama
statusnya dengan orang yang berdomisili di dalamnya. Terkecuali kalau ia hanya
ditugaskan untuk menangani perkara penghuni tetap daerah tersebut dan bukan
orang-orang asing di dalamnya atau orang-orang yang datang kepadanya, jika itu
yang terjadi, ia tidak boleh melebihi tugas yang di berikan kepadanya.85
Adapun bentuk-bentuk as-Sulthah al-Qadhaaiyyah dalam sejarah
peradilan Islam, terdapat bentuk kekuasaan kehakiman, baik dilihat dari sudut
hirarki maupun sumbernya. Bentuk-bentuk kekuasaan ini dari satu pemerintahan
ke pemerintahan lain mengalami beberapa pembaruan atau perubahan. Yang
semula di satukan dengan kekuasaan eksekutif, kemudian di pisahkan menjadi
lembaga tersendiri. Yang semula memiliki kewenangan yang terbatas (yaitu pada
masalah-masalah keperdataan), berubah menjadi lebih luas, yakni menyangkut
84. Ibid., h. 132.
85 . Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi, h. 1655.
60
perdata dan pidana (untuk pribumi dan non pribumi, untuk orang Islam dan non
muslim).86
Pada masa Abbasiyah dibentuk lembaga baru yang disebut wilayah al-
mazalim (kekuasaan pidana dari kalangan penguasa dan kerabatnya) dan wilayah
al-hisbah (kekuasaan peradilan untuk bidang moral dan akhlak). Pembaharuan
yang paling tampak memberikan pengaruh luas kepada Negara-negara Islam
berikutnya, terjadi pada masa pemerintahan Turki Usmani. Pada masa ini bentuk
kekuasaan peradilan dibedakan antara sebelum masa Tanzimat (masa penyusunan
undang-undang baru yang bersumber pada hukum barat) tahun 1299-1839 dan
masa setelah Tanzimat (1840-1924).87
Pada masa sebelumnya Tanzimat, kekuasaan peradilan memiliki beberapa
tingkatan sebagai berikut. (1) Mahkamah al-Isti’naf al-U’luya (Mahkamah
Agung), yang kewenangannya dibatasi oleh kekuasaan sultan. (2) Mahkamah at-
Tamyiz atau an-Naqd wa al-Ibram (Mahkamah Kasasi), yang kewenangannya
mengkaji atau meneliti hukum-hukum produk Mahkamah al-Isti’naf (Mahkamah
Banding). (3) Mahkamah al-Isti’naf, yang kewenangannya meneliti berbagai
masalah peradilan agar sesuai dengan undang-undang yang berlaku. (4)
Mahkamah al-Jaza’ (Peradilan Pidana), yang kewenangannya untuk
86 . Ibid., h. 1656.
87. Ibid.,
61
menyelesaikan perkara pidana. (5) Mahkamah al-Huquq (Peradilan Perdata),
yang kewenangannya untuk menyelesaikan perkara perdata.88
Pada masa setelah Tanzimat bentuk-bentuk kekuasaan peradilan di Turki
mengalami perubahan dengan istilah atau nama-nama yang berbeda. (1) Al-Qada’
al-Milli, yaitu peradilan untuk mengadili orang-orang non Islam. Sumber
hukumnya adalah undang-undang agama masing-masing. (2) Al-Qada’ al-
Qansuli, yaitu, peradilan untuk mengadili perkara orang-orang non-Turki.
Sumber hukumnya adalah undang-undang Negara masing-masing. (3) Al-Qada’
Mahkamah Jaza’al-Jinayyah, yaitu peradilan untuk mengadili perkara pidana.
Sumber hukumnya adalah Undang-undang Eropa. (4) Al-Qada’ Mahkamah al-
Huquq, yaitu peradilan untuk mengadili perkara perdata. Sumber hukumnya
adalah Majallah al-Ahkam al-Adaliyyah. (5) Al-Qada’ asy-Syar’I, yaitu peradilan
untuk mengadili perkara yang berkaitan dengan al-ahwal asy-syakhsiyyah umat
Islam. Sumber hukumnya adalah kitab-kitab fikih Islam. di Mesir, selain
peradilan asy-Syar’I, al-Milli, dan al-Qansuli, ada peradilan lainnya, yaitu
peradilan campuran yang sumber hukumnya adalah undang-undang asing dan
peradilan ahli (peradilan adat) yang sumber hukumnya adalah Undang-undang
Prancis.89
Berkaitan dengan sumber-sumber hukum yang dijadikan acuan dalam
peradilan-peradilan tersebut, para ahli peradilan membagi sumber hukum secara
88. Ibid., h. 1657.
89. Ibid.
62
garis besarnya menjadi dua. Pertama, peradilan yang bersumber kepada tradisi
masyarakat dan ‘urf (adapt kebiasaan) jahiliyah serta perundang-undangan buatan
manusia (al-qawanin al-wad’iyyah al-basyariyah) yang disebut al-Qada’ al-
Jahili. Kedua, peradilan yang bersumber dari Allah SWT dan Rasulullah SAW
yang di sebut al-Qada’ asy-Syar’i. peradilan yang kedua ini ada dua macam, yaitu
(1) peradilan at-tahkim (arbitrase), seperti untuk menyelesaikan masalah syikak
(perselisihan suami istri yang sudah memuncak); dan (2) peradilan al-‘adi
(peradilan biasa) dengan berbagai bentuknya.90
90. Ibid, h.1658.
63
BAB III
HUBUNGAN KOMISI YUDISIAL RI DENGAN
MAHKAMAH AGUNG RI DAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
A. Hubungan Komisi Yudisial RI Dengan Mahkamah Agung RI.
Ketentuan mengenai Mahkamah Agung RI, Mahkamah Konstitusi RI, dan
Komisi Yudisial RI diatur dalam Bab IX UUD 1945 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Ketentuan umum diatur dalam Pasal 24, dilanjutkan ketentuan
mengenai Mahamah Agung RI dalam Pasal 24A yang terdiri atas lima ayat,
Mahkamah Agung RI adalah puncak dari Kekuasaan Kehakiman dalam
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Mahkamah ini pada pokoknya merupakan pengawal undang-
undang (the guardian of Indonesian law).91
Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, ditentukan bahwa “Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.” Dengan kata lain, oleh
UUD 1945, Mahkamah Agung RI secara tegas hanya diamanati dua kewenangan
konstitutional, yaitu (i) mengadili pada tingkat kasasi, dan (ii) menguji peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
91. Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Kosolidasi lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta,
Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. Cet. Kedua, h, 159.
64
Sedangkan kewenangan lainnya merupakan kewenangan tambahan yang secara
konstitutional didelegasikan kepada pembentukan undang-undang untuk
menentukannya sendiri. Artinya, kewenangan tambahan ini tidak termasuk
kewenangan konstitutional yang diberikan oleh UUD, melainkan diadakan atau
ditiadakan hanya oleh undang-undang.92
Selanjutnya, dalam Pasal 24A ayat (2), (3), (4) dan ayat (5) di tentukan,
(2) Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, professional, dan berpengalaman dibidang hukum;
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk
mendapatkam persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung
oleh Presiden;
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung;
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta
badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang.93
Adapun Komisi Yudisial RI mempunyai peranan penting dalam usaha
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim
agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.94
92. Ibid., 160.
93. Ibid., 161.
94. Ibid.
65
Adapun, kewenangan Komisi Yudisial RI dalam Pasal (13), Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI, yakni ;
a. Mengusulkan pangangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan
b. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
hakim.
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf a, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI
mempunyai tugas:
a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. Mentapkan calon Hakim Agung;
d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR;
Adapun Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) menegaskan bahwa
calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat
persetujuan. Keberadaan Komisi Yudisial RI tidak bisa dipisahkan dari
Kekuasaan Kehakiman. Dari ketentuan ini ditegaskan bahwa jabatan hakim
merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga dan ditegakkan
kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri. Dalam hubungan
antara Mahkamah Agung RI, tugas Komisi Yudisial RI hanya dikaitkan dengan
fungsi pengusulan pengangkatan Hakim Agung sedangkan pengusulan
66
pengangkatan hakim lainnya, seperti Mahkamah konstitusi tidak dikaitkan dengan
Komisi Yudisial.95
Berkaitan dengan hubungan antara Komisi Yudisial RI dan Mahkamah
Agung RI bukan merupakan hubungan dalam konsepsi checks and balance
seperti layaknya hubungan antara cabang-cabang kekuasaan negara (eksekutif,
legislatif, yudikatif). Karena Komisi Yudisial bukan merupakan pelaksana
kekuasaan kehakiman melainkan hanya sebagai supporting organ, yang secara
tegas tidak berwenang melakukan pengawasan yang menyangkut hal-hal yang
bersifat teknis yustisial dan teknis administratif, melainkan hanya meliputi
penegak kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim.96
B. Hubungan Komisi Yudisial RI Dengan Mahkamah Konstitusi RI.
Perubahan UUD 1945 yang dihasilkan pada Sidang Tahunan 2001 yaitu
pada perubahan III salah satu diantaranya menghasilkan rumusan Pasal 24C yang
terdiri atas 6 (enam) ayat. Pasal 24C ini merupakan penjabaran dari pasal 24 ayat
(2) maka terjadilah perubahan yang cukup penting dalam susunan kekuasaan
kehakiman di Indonesia. Pada mulanya di Indonesia hanya dikenal sebuah
Mahkamah Agung dan lain-lain badan kekuasaan kehakiman yang menurut
undang-undang (Pasal 24 ayat (1) UUD sebelum perubahan). Setelah perubahan
95. Komisi Yudisial RI, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, h.194.
96. Ibid., h. 234.
67
UUD, selain sebuah Mahkamah Agung RI dan badan peradilan yang berada
dibawahnya, kekuasaan juga dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
RI.97
Mahkamah Konstitusi RI sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
yang dirinci dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi RI, mempunyai wewenang menguji undang-
undang terhadap UUD 1945.
Hubungan antar lembaga Negara. Menimbang bahwa menurut Mahkamah
Konstitusi RI, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan
negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang tercermin dalam
fungsi-fungsi MPR, DPR, dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta
Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga-lembaga Negara yang utama (main state organs, principal state
organs). Lembaga-lembaga Negara dimaksud itulah yang secara instrumental
mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan Negara yang utama (main
state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-
lembaga Negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga Negara utama (main
state organs, principal state organs, atau main state institution) yang
hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip check and balance.
Dengan demikian prinsip check and balance itu terkait erat dengan prinsip
97. Agung Susanto, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur Berperkara Pada Mahkamah
Konstitusi, Bandung, Mandar Maju, 2006. Cetakan Pertama, h.5.
68
pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan
dengan persoalan pola hubungan antar semua jenis lembaga Negara, seperti
misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dengan Komisi
Yudisial. Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga Negara dalam
prespektif check and balance diluar konteks pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan
Negara (separation of power), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung
RI dengan Komisi Yudisial RI, adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa Komisi
Yudisial dapat diberi peran pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah dalam
rangka Check and balance dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi
kekuasaan peradilan, melainkan hanya pengawasan terhadap perilaku individu-
individu hakim.98
Dalam UUD 1945, ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi RI ini
diatur dalam Pasal 24C yang terdiri atas 6 ayat, yang didahului oleh pengaturan
mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24b. Mengapa urutannya demikan?
Sebabnya ialah bahwa semula, ketentuan mengenai Komisi Yudisial RI tersebut
hanya dimaksud terkait keberadaannya dengan Mahkamah Agung saja, tidak
dengan Mahamah Konstitusi RI. Tetapi dalam perkembangan pembentukan
undang-undang tentang Komisi Yudisial RI, Mahkamah Konstitusi RI juga
98. Fajlurrahman Jurdi. Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim,
Jakarta, PuKAP, Cet. Pertama, h. 184.
69
dijadikan objek yang martabat, kehormatan, dan prilaku hakimnya diawasi oleh
Komisi Yudisial RI.99
Dijadikan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi RI juga sebagai
pihak yang diawasi perilakunya oleh Komisi Yudisial RI yang ditentukan oleh
undang-undang tentang Komisi Yudisial, bukan oleh undang-undang tentang
Mahkamah Konstitusi. Apabila dikaitkan dengan original intent dan sistematika
Pasal 24, Pasal 24B, dan Pasal 24C, sangat jelas bahwa tugas Konstitutional
Komisi Yudisial RI hanya terkait dengan Mahkamah Agung RI dan hakim
dilingkungan Mahkamah Agung saja. Apalagi hakim konstitusi sangat berbeda
dari hakim biasa yang merupakan hakim karena profesi atau judges by profession.
Sedangkan hakim konstitusi adalah hakim karena jabatan lima tahunan. Karena
itu, etika profesi yang harusnya ditegakkan oleh Komisi Yudisial RI memang
hanya terkait dengan Mahkamah Agung RI.100
Jika dibandingkan dengan sesama lembaga tinggi Negara lainnya,
Mahkamah Konstitusi RI ini mempunyai posisi yang unik. MPR yang
menetapkan UUD, sedangkan Mahkamah Konstitusi yang mengawalnya. DPR
yang membentuk undang-undang, tetapi Mahkamah Kostitusi yang
membatalkannya jika terbukti bertentangan dengan UUD. Mahkamah Agung RI
mengadili semua perkara pelanggaran hukum dibawah undang-undang,
99. Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Kosolidasi lembaga Negara Pasca Reformasi, h, 156
100. Ibid., h, 156
70
sedangkan Mahkamah Konstitusi mengadili perkara pelanggaran UUD. Jika DPR
ingin mengajukan tuntutan pemberhentian terhadap Presiden /atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya, maka sebelum diajukan ke MPR untuk diambil putusan,
tuntutan tersebut diajukan terlebih dahulu ke Mahkamah Konstitusi RI untuk
pembuktiannya secara hukum. Semua lembaga negara tersebut saling berselisih
pendapat atau bersengketa dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya
satu sama lain, maka yang memutus final dan mengikat atas persengketaan itu
adalah Mahkamah Konstitusi RI.101
Adapun Hubungan Kelembagaan Antara
Mahkamah Konstitusi RI dengan Komisi Yudisial RI yakni sama-sama sebagai
lembaga yudikatif didalam Negara Republik Indonesia.
101. Ibid., 159.
71
BAB IV
KEDUDUKAN, TUGAS DAN WEWENANG KOMISI YUDISIAL RI
PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
NOMOR 005/PUU-IV/2006
(TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM)
A. Pengujian Undang-Undang NOMOR 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial RI Oleh Mahkamah Konstitusi RI.
Menimbang Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa
Komisi Yudisial RI bersifat mandiri, mempunyai kewenangan pokok
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, juga memiliki wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Dengan frasa “dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, menurut Mahkamah Konstitusi RI,
kewenangan Komisi Yudisial RI sebagaimana dimaksud oleh ketentuan tersebut,
walaupun dalam batas-batas tertentu dapat diartikan sebagai pengawasan,
bukanlah kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan
melainkan terhadap individu fungsionaris hakim. Sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman, baik Mahkamah Agung RI dan peradilan dibawahnya serta
Mahkamah Konstitusi RI merupakan kekuasaan yang merdeka (Pasal 24 UUD
1945) sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan
tidak dapat diawasi oleh lembaga negara yang lain. Sebagaimana halnya dengan
72
kebebasan hakim, kebebasan peradilan adalah pilar dari negara hukum yang juga
merupakan salah satu unsur bagi pelindung hak asasi manusia yaitu adanya
peradilan yang bebas (independence of the judiciary). UUD 1945 secara tegas
menyatakan bahwa Komisi Yudisial mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.102
Sedangkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung RI dan badan peradilan dibawahnya dan lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi RI. Berdasarkan
ketentuan Pasal 24 ayat (2), ada dua lembaga Negara yang menjalankan
kekuasaan kehakiman dan berkedudukan sederajat satu dengan yang lain, yakni
Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi RI.103
Mahkamah Agung RI sesuai dengan kedudukan, fungsi dan
kewenangannya membawahi peradilan lainnya yaitu peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. UUD 1945 membatasi
secara limitative jenis dan lingkungan peradilan yang berada dibawahnya. Pada
102 Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim,
(Jakarta: PuKAP, 2007), Cet. Pertama, h.190.
103. O.C Kaligis & Associates, Mahkamah Agung VS Komisi Yudisial Dimahkamah
Konstitusi, (Jakarta: O.C Kaligis & Associates, 2006), Cet. Pertama, h. 80.
73
masing-masing lingkungan peradilan secara bertingkat dikenal pengadilan tingkat
pertama dan tingkat banding.104
Mahkamah Agung RI berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang
dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Pasal 24
ayat (1).105
Mahkamah Konstitusi RI sesuai dengan kedudukan, fungsi dan
kewenangan yang tidak membawahi badan peradilan lainnya karena tidak ada
tingkatan peradilan seperti peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat
banding dalam lingkungan peradilan Mahkamah Konstitusi.106
Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi RI
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa
kewenangan lembaga-lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil
pemilihan umum.107
Dilihat dari sudut fungsi dan kewenangannya ada perbedaan antara
Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi RI. Mahkamah Agung RI
memutus pada tingkat kasasi segala perkara dari lingkungan peradilan umum,
104. Ibid. 105. Ibid., h. 85.
106. Ibid.
107. Ibid.
74
peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara serta menguji
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang
sedangkan Mahkamah Konstitusi RI hanya memutus lima hal, yaitu menguji
undang-undang terhadap UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan hasil pemilihan umum. Kesederajatan kedua lembaga ini ditandai
dengan fungsi dan kewenangan yang berbeda dan tidak saling mempengaruhi satu
dengan yang lain.108
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi RI yang membuat heboh
dan memunculkan tudingan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak reformis dan
permisif terhadap mafia peradilan adalah putusan judicial review atas beberapa
pasal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI.
Seperti diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi RI itu pada pokoknya ada tiga
macam. Pertama, menyatakan bahwa pencakupan Hakim Agung dalam arti hakim
didalam Undang-Undang Komisi Yudisial sudah benar dan tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Kedua, pencakupan hakim konstitusi dalam arti hakim yang
dapat diawasi oleh Komisi Yudisial RI adalah tidak benar dan bertentangan
dengan UUD 1945. Ketiga, beberapa pasal yang terkait dengan materi dan cara
pengawasan hampir seluruhnya dinyatakan batal oleh Mahkamah Konstitusi RI
sehingga secara praktis sejak saat itu Komisi Yudisial RI tidak dapat melakukan
108. Ibid., h. 86.
75
kegiatan pengawasan sebagaimana digariskan oleh Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004.109
Pada putusan kelompok ketiga inilah masalahnya muncul. Mahkamah
Konstitusi RI memuat dasar pertimbangan yang terlalu teoritis dengan
prespektifnya sendiri, tidak sesuai dengan latar belakang dan politik hukum yang
mengantarkan pencantuman Komisi Yudisial RI sebagai salah satu lembaga
didalam UUD 1945. Secara garis besar, minimal ada dua alasan Mahkamah
Konstitusi RI ketika memotong wewenang-wewenang Komisi Yudisial RI yang
telah dimuat didalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004. Pertama,
Mahkamah Konstitusi RI menyatakan bahwa sebagai lembaga negara Komisi
Yudisial RI hanyalah supporting institution atau auxiliary, bukan lembaga negara
yang sejajar dengan lembaga negara lainnya yang dapat melakukan fungsi checks
and balances. Oleh sebab itu Komisi Yudisial RI, tidak dapat melakukan
pengawasan dengan cara menyejajarkan dirinya dengan lembaga negara lain
seperti Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi RI. Kedua, ukuran dalam
menilai kehormatan dan keluhuran martabat hakim sebagai pedoman pengawasan
oleh Komisi Yudisial seharusya dirumuskan lebih dulu didalam Undang-Undang
Komisi Yudisial. Dengan begitu, terdapat batasan yang jelas tentang ruang
lingkup tugas Komisi Yudisial RI yang dapat dijadikan pegangan yang pasti
109. Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, (Jakarta: LP3ES, 2007), Cet.
Pertama, h. 103.
76
sehingga dapat dihindari adanya kerancuan. Dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa Mahkamah Konstitusi RI membatalkan wewenang-wewenang Komisi
Yudisial RI karena ada tumpang tindih pengawasan antara yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung RI dan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial RI yang masing-
masing dimuat didalam undang-undangnya sendiri.110
Secara konstitusional putusan Mahkamah Konstitusi RI bersifat final dan
mengikat, lepas dari soal setuju atau tak setuju, bahkan terlepas dari soal benar
atau salah, artinya, seumpama pun putusan Mahkamah Konstitusi RI itu salah,
menurut konstitusi tetap lah ia mengikat. Adapun tentang alasan pertama, bahwa
Komisi Yudisial RI hanya lembaga pembantu dan tak sejajar dengan lembaga
Negara yang lain, hal itu memang benar menurut teori dan prespektif tertentu
dalam studi ketatanegaraan lebih-lebih jika dikaitkan dengan fungsi Komisi
Yudisial RI dalam bidang kekuasaan kehakiman yang memang bersifat
membantu. Tetapi sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim-hakim di
lembaga yudikatif menurut Pasal 24B ayat (1), Komisi Yudisial RI itu bersifat
mandiri dan tidak lebih rendah dari Mahkamah Agung RI maupun Mahkamah
Konstitusi RI. Kalau ditelusuri dari latar belakang pembentukan Komisi Yudisial
RI, para pembentuk (pengamandemen) UUD, seperti termuat didalam kesaksian-
kesaksian dipersidangan dan risalah-risalah PAH I MPR, secara tegas telah
menyatakan bahwa Komisi Yudisal RI dibentuk untuk mengawasi hakim karena
pengawasan yang ada sebelumnya tidak mampu mengatasi judicial corruption.
110. Ibid., h. 104.
77
Jadi pembentukan UUD tidak mempersoalkan posisi Komisi Yudisial RI sebagai
lembaga utama atau pembantu, namun memberi tekanan pada fungsinya. Tanpa
mempersoalkan fungsi dan kesetaraan strukturnya, pembuat UUD telah dengan
nyata menunjuk Komisi Yudisial RI sebagai pengawas hakim yang
pengaturannya lebih lanjut diserahkan kepada undang-undang.111
Selanjutnya, alasan kedua yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi
RI, bahwa ketentuan pengawasan yang ada didalam Undang-Undang Komisi
Yudisial bersifat rancu dan tak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada
didalam undang-undang lain, juga dapat dipersoalkan. Mahkamah Konstitusi RI
telah menunjuk secara langsung yang mana dari isi Undang-undang Komisi
Yudisial itu yang bertentangan dengan UUD 1945. apa yang ditunjukkan oleh
Mahkamah Konstitusi adalah kerancuan Undang-undang Komisi Yudisial dan
undang-undang lain. Kalau benar ini yang menjadi alasannya, maka putusan
Mahkamah Konstitusi itu melampaui batas alias tidak benar. Sebab, perbenturan
isi satu undang-undang dengan undang-undang yang lain itu tidak dapat
diselesaikan atau diputus dengan judicial review. Judicial review oleh Mahkamah
Konstitusi itu hanya dapat dilakukan jika ada pertentangan antara isi undang-
undang dengan UUD. Kalau pertentangan yang terjadi adalah antara satu undang-
undang dengan undang-undang lainnya maka penyelesaiannya haruslah melalui
legislative review, bukan dengan judicial review. 112
111. Moh. Mahfud MD, Perdebatan , h. 104.
78
B. Kedudukan Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI
Nomor 005/PUU-IV/2006
Harus diakui secara jujur bahwa sejarah lembaga peradilan, terutama
kekuasaan kehakiman, menjadi lebih baik setelah perubahan UUD 1945 yang
menegaskan fungsi-fungsi konstitutional dengan proliferasi kelembagaan dalam
bidang ini. Kita mencatat sampai sekarang Mahkamah Konstitusi sudah
memeriksa dan memutus lebih dari 100 kasus pengujian Undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Terlepas dari soal, apakah kita setuju atau tidak setuju
dengan sebagian putusan Mahkamah Konstitusi, ini harus dicatat sebagai
kemajuan karena membuktikan bahwa memang benar banyak Undang-undang
yang dapat dipermasalahkan konstitusionalitasnya dan Mahkamah Konstitusi
telah menjadi lembaga yang tepat untuk melakukan itu. Benar juga ketika ia
menguatkan wewenang Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap peraturan perundang-
undangan yang derajatnya lebih tinggi, terbukti Mahkamah Agung telah menguji
dan membatalkan beberapa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.113
112.Ibid,, h.105. 113. Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi
Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hal. 5.
79
Langkah Komisi Yudisal pun sudah mendorong kearah kemajuan, sebab
dengan gebrakannya menyorot dan memeriksa hakim-hakim yang dilaporkan dan
diduga nakal, mulai dari hakim peradilan negeri sampai hakim agung ternyata
meningkatkan gairah masyarakat untuk menyorot dan melaporkan hakim-hakim
nakal, meski tak semua laporan itu benar adanya. 114
Tetapi langkah-langkah Komisi Yudisial yang cukup memberi harapan
telah menjadi bumerang yang sama sekali tidak diharapkan baik oleh Komisi
Yudisial sendiri maupun oleh masyarakat. Mahkamah Agung merasa
kewibawaannya di obrak-abrik merasa tersinggung, terutama ketika Komisi
Yudisial mengundang ketua Mahkamah Agung untuk dimintai keterangan dan
ketika Komisi Yudisial mengundang berberapa hakim agung untuk diperiksa
berkenaan dengan masuknya beberapa laporan dari masyarakat. Kalangan hakim
banyak yang mengatakan bahwa Komisi Yudisial bukannya menjaga martabat
hakim melainkan justru menjatuhkan martabat hakim, bahkan mengintervensi
kemandirian hakim. 30 orang hakim agung kemudian menggugat Judicial review
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisal terhadap UUD.
Bahwa yang menggugat adalah pribadi-pribadi hakim itu hanyalah taktik saja,
sebab jika dilihat dari suasana dan sikap-sikap petinggi Mahkamah Agung tampak
jelas bahwa Mahkamah Agung memang merasa gerah dengan sepak terjangnya
Komisi Yudisal, hanya saja karena Mahkamah Agung secara institusi tidak
mempunyai legal standing atau tidak dapat dalam menjadi pihak dalam sengketa
114.Ibid.
80
di Mahkamah Konstitusi maka yang dimajukan (sekurang-kurangnya dibiarkan
dan didorong maju) adalah aparat hakim agung secara perorangan. 115
Isi gugatan itu pada pokoknya berkisar pada tiga hal. Pertama, meminta
Mahkamah Konstitusi memutus bahwa hakim agung bukanlah bagian hakim yang
dapat diawasi oleh Komisi Yudisial sebab menurut pasal 24B ayat (1) untuk
hakim agung sudah disebutkan Komisi Yudisial hanya mengusulkan
pencalonannya, sedangkan untuk mengawasi perilaku disebutkan berlaku untuk
hakim. Jadi bagi para penggugat harus dibedakan pengertian antara hakim agung
dan hakim sehingga isi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 yang
menyamakan keduanya harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Kedua,
para penggugat meminta agar hakim konstitusi tidak dijadikan bagian dari
pengertian hakim yang dapat diawasi oleh Komisi Yudisal karena hakim
konstitusi berbeda dari hakim lain dan baru dimasukkan didalam UUD lebih
belakang dari pengaturan tentang Komisi Yudisial. 116
Argumennya, ketika
Komisi Yudisial ditentukan didalam UUD belum ada gagasan tentang hakim
konstitusi, sehingga tidak mungkin ketika Komisi Yudisial dibentuk sudah
terpikir untuk mengawasi hakim konstitusi. Ketiga, wewenang-wewenang Komisi
Yudisial untuk mengawasi para hakim harus dinyatakan bertentangan dengan
115. Ibid,. h.6.
116. Seperti diketahui pengaturan tentang Komisi Yudisial dicantumkan di dalam Pasal 24B
sedangkan pengaturan tentang Mahkamah Konstitusi di cantumkan dalam Pasal 24C di dalam kitab
UUD 1945
81
undang-undang karena kriterianya tidak jelas dan bersifat eksesif apalagi dalam
prakteknya Komisi Yudisial sering memeriksa hakim dengan mempersoalkan isi
putusan.
Posisi Komisi Yudisial sebagai pengawasan yang bersifat independen,
bertujuan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
hakim, efektivitas pengawasan hakim seharusnya berjalan sinergis. Temuan
Komisi Yudisial dalam memeriksa perilaku hakim yang menyimpang yang
kemudian direkomendasikan kepada Mahkamah Agung, seharusnya direspon
positif. Jika yang menjadi tujuan adalah tegaknya martabat hakim, kehadiran
Komisi Yudisial tidak perlu dianggap sebagai rival. Justru Mahkamah Agung
dapat memanfaatkan Komisi Yudisial untuk membantu menegakkan martabat
hakim.117
Sayang, kewenangan Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat hakim telah diamputasi oleh putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006.
kewenangan Komisi Yudisial mengawasi hakim dan hakim konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisal, terkesan telah menghancurkan kewenangan Komisi Yudisial
sehingga perlu dipulihkan dengan mensinkronkan Undang-undang Komisi
Yudisial, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
117. Komisi Yudisial RI, Bunga Rampai, h. 279.
82
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2002 tentang Mahkamah Konstitusi. Pemulihan kewenangan
Komisi Yudisial dalam menjaga dan mengawasi perilaku hakim harus
terakomodasi dalam perubahan Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi. Sinkoronisasi ketiga undang-undang selain
dimaksudkan untuk memulihkan kewenangan Komisi Yudisial, juga menambal
kekosongan hukum dibidang pengawasan terhadap badan peradilan dan hakim
yang dilakukan Komisi Yudisial seperti diperintahkan Pasal 24B (1) UUD
1945.118
Putusan Mahkamah Konstitusi yang perlu diapresiasi menyangkut
kewenangan Komisi Yudisial pada kamis 23 Agustus 2006 terdiri dari dua
bagian. Pertama, Komisi Yudisial tidak berwenang mengawasi hakim Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi secara arogan telah mengabaikan prinsip checks
and ba-lances yang menjadi roh bangunan kelembagaan negara dengan tidak rela
diawasi dan dijaga kehormatan dan perilakunya oleh lembaga lain. Padahal,
pengawasan dari dalam tidak maksimal.119
Keberadaan hakim konstitusi yang tidak termasuk dalam pengertian hakim
yang dapat diawasi perilaku etiknya oleh Komisi Yudisial merupakan putusan
diskriminatif. Para hakim konstitusi tidak digolongkan sebagai hakim Mahkamah
118. Ibid.,
119. Ibid., h. 180.
83
Agung dengan alasan demi independensi dalam memeriksa dan menjatuhkan
putusan. Saat ini, Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang paling steril
dari sentuhan pengawasan dari luar dirinya (pengawasan ekstern). Menurut
Mahkamah Konstitusi, pengawasan atas pelaksanaan kode etik hakim konstitusi
dilakukan Majelis Kehormatan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Undang-undang
Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana Pasal 24C Undang-Undang Dasar
1945.120
Kedua, Komisi Yudisal tidak berwenang mengawasi hakim yang
berkaitan dengan teknis yudisial, yaitu mengenai putusan hakim atas sesuatu
perkara. Dalam pertimbangan hukumnya, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945
menyiratkan bahwa Komisi Yudisial hanya dapat mengawasi pelaksanaan kode
etik dan kode perilaku hakim dalam menjaga dan menegakkan kehormatan hakim.
Makamah Konstitusi menilai, hal tersebut menyebabkan adanya penafsiran yang
tidak tepat, bahwa penilaina perilaku dilakukan dengan penilaian putusan.121
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut pengawasan Komisi
Yudisial terhadap dirinya (hakim konstitusi) merupakan tindakan yang
berlebihan. Mahkamah Konstitusi secara sistematis melemahkan fungsi dan
peranan Komisi Yudisial dengan cara “membonsai/menghancuran” kewenangan
Komisi yudisial dalam mengawasi perilau hakim. Praktik mafia peradilan
120. Ibid.
121. Ibid., h. 280.
84
diperkirakan akan semakin menjadi-jadi karena perilaku hakim tidak lagi diawasi
dan di kontrol oleh lembaga lain (Komisi Yudisial), tetapi hanya diawasi sendiri
oleh temannya secara hakim 122
Namun, setelah putusa mahkamah Konstitusi pada taun 2006, yaitu dalam
perkara pengujian Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, maka perilaku
hakim konstitusi tidak lagi menjadi objek pengawasan oleh Komsi Yudisial
sebagai suatu auxilary constitutiojn organ. Padahal, adanya fungsi pengawasan
terhadap hakim oleh Komisi Yudisial tersebut, telah memberikan akses kepada
masyarakat dan pencari keadilan untuk mendapatkan haknya agar di perlakukan
secara adil oleh badan peradilan. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa putusan Mahkamah Konstitusi telah menutup akses kepada masyarakat
memperoleh keadilan, serta menghambat upaya pemberantas praktik judicial
corruption (mafia peradilan) dan menghambat proses reformasi peradilan.123
Meskipun demikian, Komisi Yudisial tetap merupakan lembaga pengawas
pelaksana kode etik hakim yang diseluruh Indonesia berjumlah dari 6.000 orang,
bukan pengawas fungsi kekuasaan kehakiman. Untuk itu, dibutuhkan adanya
pengertian tentang kaidah materiil (sybstansive) dan kaidah formil (procedural)
dari sistem etik (rules of ethics) yang hendak dibangun dan diterapkan. Kedua
pengertian kaidah materiil dan kaidah formil ini harus di bedakan paralel dengan
122 . Ibid.
123. Jaenal Aripin, Peradilan Agama, h, 209.
85
pengertian hukum materiil dan hukum formil dengan norma hukum. Hukum
materiil atau (substansive law) mengatur mengenai substansi normanya,
sedangkan hukum formil atau (procedure law) mengatur mengenai penegakan
norma hukum materiil. 124
C. Kewenangan, Tugas Dan Fungsi Komisi Yudisial RI Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi RI.
Dalam sistem konstitusi (Pasal 24 UUD) kekuasaan kehakiman dijalankan
oleh Mahkamah Agung (Pasal 24A UUD Tahun 1945) dan Mahkamah Konstitusi
(Pasal 24C UUD Tahun 1945). Pasal 24B UUD Tahun 1945 mengatur kedudukan
Komisi Yudisial RI dengan wewenang :
“mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim”. Kedudukan ketiga lembaga ini dalam sistem ketatanegaraan
bersifat setara (equal).125
Satu terhadap lainnya tidak bersifat subordinate atau sebaliknya. Komisi
Yudisial juga tidak sebagai state auxiliary body yang tidak berwenang melakukan
fungsi pengawasan (yang merupakan fungsi checks and balances) terhadap aspek-
124 . Ibid.
125. Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial, h. 146.
86
aspek tehnis yudisial. Yang membedakan adalah wewenang dan tugasnya.
Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi RI adalah pelaksana judisial.126
Sedangkan Komisi Yudisial RI berwenang untuk melakukan pengawasan
terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 20 UU Komisi Yudisial No 22 Th
2004). Perilaku hakim mencakup legal behaviour dan ethic behaviour. Menjaga
dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim
merupakan ruh/spirit dan latar belakang (asbabul al wurud) pembentukan Komisi
Yudisial, karena praktik peradilan yang sebelumnya tidak mencerminkan
kehormatan dan martabat badan-badan pengadilan. Perlu ditegaskan, bahwa
kehormatan dan martabat hakim terletak pada dua hal :”putusan hakim dan
perilaku hakim” (legal behaviour dan ethic behaviour). Maka, pada dua hal inilah
pengawasan dilakukan.127
Sebagaimana tuntutan reformasi, maka setiap lembaga Negara berada di
dalam kontrol publik. Demokrasi sebagai pilar dan mekanisme penyelenggaraan
negara, menuntut bahwa setiap lembaga publik bersifat transparan. Transparansi,
merupakan unsur terpenting bagi terwujudnya good governance dan clean
government. 128
126. Ibid. 127. io.ppi-jepang.org/article.php?id=247 - 45k. jam 15.15. tgl 24 0608
128. Ibid.
87
Ketiadaan transparansi pada lembaga negara, akan menjurus kepada
praktek kekuasaan yang absolut, dan kekuasaan absolut dipastikan berujung pada
kebijakan dan berbagai tindakan korup. Dalam konteks demikian, apa yang
melatar belakangi maksud dari 31 hakim agung mengajukan permohonan judicial
review menjadi menarik. Jika dilihat dari statusnya sebagai hakim pada
Mahkamah Agung yang merupakan badan pengadilan tertinggi, sesungguhnya
mencerminkan sikap lembaganya (MA). Hal ini tampak dari pembiaran pimpinan
Mahkamah Agung terhadap pejabatnya (31 Hakim Agung) untuk mengajukan
judicial review itu. Ketika hendak mengajukan permohonan judicial review,
apakah terbesit pemikiran, seandainya permohonan itu dikabulkan, maka siapa
yang akan mengawasi Hakim Agung.129
Tuntutan reformasi adalah tuntutan perubahan (transformasi) dalam
seluruh tatanan kehidupan bernegara. Diantara yang substansial adalah
pemberantasan korupsi. Data tahun 2004 dari Transparansi Internasional
Indonesia yang menempatkan Indonesia dan badan pengadilannya sebagai yang
terkorup dalam skala dunia, merupakan fakta umum, bahwa ada korelasi positif
antara meningkatnya kualitas dan kuantitas korupsi di Indonesia seiring dengan
judicial corruption/mafia peradilan. Demikian halnya dengan berbagai bentuk
abuse of power.130
129. Ibid.
130. Ibid.
88
Dalam menjalankan peranannya sebagai penjaga kekuasaan kehakiman,
Komisi Yudisial diberikan beberapa kewenangan, yaitu : 1) melakukan proses
seleksi dan menjaring calon anggota Hakim Agung berkualitas, potensial,
mengerti hukum dan profesional; 2) menjaga dan menegakkan integritas hakim
dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia dan menjaga
agar hakim dapat menjaga hak mereka untuk memutuskan perkara secara mandiri.
Pasal 24B ayat (1) UUD RI Tahun 1945 menjamin Komisi Yudisial untuk bersifat
mandiri yaitu berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Namun,
sebaliknya kewewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim telah dibatalkan oleh
Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Agustus 2006 No.005/PUU-IV/2006.131
Kewenangan tersebut sangat terbatas penguraiannya dalam Undang-
Undang Nomor 22 tahun 2004. Disebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan
wewenangnya dalam mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, Komisi Yudisal
RI diberi tugas (Pasal 14 UU No. 22, 2004) : melakukan pendaftaran calon Hakim
Agung; melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; menetapkan calon
Hakim Agung; dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan
Rakyat. 132
Selanjutnya untuk melaksanakan peranannya menegakkan kehormatan
dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, tugas yang diberikan
131. Ibid,
132. Ibid,
89
kepada Komisi Yudisial ialah melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim
dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim (Pasal 20 UU No 22, 2004) telah dicabut dengan adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi. Disamping itu, kewenangan lainnya ialah mengajukan
usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi (Pasal 21 UU No 22, 2004) pun telah dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi.133
Sebaliknya Komisi Yudisial RI di dalam menjalankan peranannya diberi
kewenangan untuk dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung RI dan/atau
Mahkamah Konstitusi RI untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas
prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran
matabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 24 UU No 22 tahun 2004). 134
Terhadap pasal ini Mahkamah Konstitusi RI telah membatalkan kata-kata
“dan/atau Mahkamah Konstitusi.” Ini berarti Komisi Yudisial tidak mempunyai
kewenangan untuk mengawasi para Hakim Konstitusi.
Antara lain: pengawasan terhadap perilaku hakim; pengajuan usulan
penjatuhan dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal 16
Agustus 2006 No 005/PUU-IV/2006, kewenangan untuk menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, tidak lagi
133 . Komisi Yudisial RI. Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa,
(Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), h, 3.
134. Ibid.
90
dimiliki oleh Komisi Yudisial RI. Dengan kata lain Komisi Yudisial RI tidak lagi
mempunyai kewenangan sanksi terhadap hakim; pengusulan penghargaan kepada
hakim atas prestasi dan jasanya khususnya terhadap Hakim Konstitusi. Semuanya
dikembalikan ke lembaga masing-masing untuk mengawasi perilaku hakim, yang
selama ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dari apa yang terjadi, kita dapat
melihat adanya kerancuan atau benang kusut dalam bidang ketatanegaraan di
Republik Indonesia. 135
Pertama dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi RI, disebutkan bahwa “Mahkamah Agung RI tidak dapat
menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD RI Tahun 1945, akan tetapi justru para Hakim Agung yang
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial RI dan diterima oleh Mahkamah Konstitusi RI. Dengan
menghasilkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI, kewenangan Komisi Yudisial RI
dipangkas.136
Kedua, Komisi Yudisial RI yang diberi kewenangan untuk mengawasi
hakim, Hakim Agung dan termasuk di dalamnya Hakim Konstitusi, dapat menjadi
pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD RI Tahun 1945 Dengan kata lain Komisi Yudisial RI yang
merupakan pengawas Hakim Konstitusi dapat disidang oleh Hakim
135. io.ppi-jepang.org/article.php?id=247 - 45k. jam 15.15. tgl 24 0608
136. Ibid.
91
Konstitusi. Seharusnya para pembuat undang-undang dalam hal ini Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden dari jauh hari sudah dapat memprediksi dan
mendeteksi secara dini akan adanya conflict of interest di dalam diri para Hakim
Konstitusi karena mereka merupakan obyek pengawasan dari Komisi Yudisial,
sehingga lahirlah putusan yang kontroversial yang berbunyi bahwa Hakim
Konstitusi tidak bisa diawasi oleh Komisi Yudisial RI. 137
Dari apa yang terjadi ini, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden di masa
yang akan datang harus melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap sistem
peradilan Indonesia yang carut marut. Peranan kedua institusi ini diperlukan
dalam menciptakan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap Undang-undang
Mahkamah Agung RI, Mahkamah Konstitusi RI dan Komisi Yudisial RI. 138
Disamping itu, perlu pencantuman salah satu pasal didalam Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi RI yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial RI
tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Dengan demikian, Komisi Yudisial
RI tidak dapat dimohonkan (menjadi salah satu pihak termohon) di Mahkamah
Konstitusi RI yang notabene para hakimnya diawasi oleh Komisi Yudisial RI.139
137 . Ibid.
138 . Ibid.
139. Ibid.
92
Walaupun demikian, beberapa peranan Komisi Yudisial RI tersebut di
atas khususnya kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung
diperkirakan sangat berkaitan dengan proses seleksi yang dilembagakan dalam
suatu lembaga negara. Tentu saja ada dampak positif terhadap hasil kerja yang
diharapkan. Anggota Komisi Yudisial dapat bekerja maksimal dan bersifat
mandiri dalam rangka memilih Hakim Agung yang berkualitas, potensial,
mengerti hukum dan profesional. Anggota Komisi Yudisial lebih mapan dan
terjamin sebab dibentuk berdasarkan UUD dan pelaksanaan tugasnya dipayungi
oleh suatu undang-undang. Sebalikya peranan Komisi Yudisial RI yaitu
melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim secara otomotis beralih kepada
Mahkamah Agung RI sebagai pengawas tertinggi lembaga peradilan dan
dilakukan secara internal (Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung).140
Peranan ini tidak berjalan karena antara pengawas dengan yang diawasi
mempunyai hubungan administrasi, struktural, kolegan dan psikologis yang
dapat menjadi faktor penghambat dalam melaksanakan pengawasan di sebuah
instansi atau lembaga.141
Telah terbukti lembaga peradilan dari tingkat pengadilan
negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung RI menjadi tempat merajalelanya
140. Harian Kompas 26 Agustus, 2006.
141. Ibid.
93
mafia peradilan. Sedangkan, Mahkamah Konstitusi RI semakin menguatkan
dirinya menjadi lembaga superbody yang tidak dapat disentuh oleh hukum
(untouchable).
Kembalinya pengawasan terhadap Hakim pengadilan negeri, tinggi,
Hakim Agung ke tangan Mahkamah Agung RI dan tidak bisa diawasinya Hakim
Konstitusi, menyebabkan keputusan Mahkamah Konstitusi RI disesalkan banyak
pihak dengan pertimbangan antara lain, 1) bahwa pada prinsipnya tidak ada
lembaga yang tidak bisa dikontrol, 2) Mahkamah Konstitusi RI
mengesampingkan prinsip check and balance yang menjadi roh bangunan
reformasi dan selalu di dengungkan oleh Mahkamah Konstitusi RI dalam
mempromosikan dan mempertahankan keberadaannya, 3) Mahkamah Agung RI
dan Mahkamah Konstitusi RI menjadi lembaga tidak tersentuh dari pengawasan
oleh lembaga luar, 4) Mahkamah Konstitusi RI yang seharusnya sebagai penjaga
konstitusi justru bisa terjebak dalam upaya penyuburan praktek mafia peradilan,
5) putusan Mahkamah Konstitusi RI dianggap inkonstitusional, karena putusan
tersebut bertentangan dengan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945.142
Hal ini tidak sesuai dengan apa yang berlaku di negara yang menganut
paham demokrasi, transparansi dan check and balance seperti Amerika dan
Australia. Sebaliknya peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
serta menjaga perilaku hakim terlihat dari usul penjatuhan sanksi seperti teguran
tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian yang dilakukan oleh
142. Harian Kompas 29 Agustus, 2006
94
Komisi Yudisial RI yang bersifat mengikat sebagaimana termaktub dalam pasal
23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 pun telah dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi RI. Namun, anehnya pasal mengenai usulan tersebut
masih dapat dianulir oleh ketentuan yang berbunyi bahwa hakim yang akan
dijatuhi sanksi diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri dihadapan
Majelis Kehormatan Hakim (Pasal 23 (4) UU No 22, 2004). Pasal ini tidak
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi RI. 143
C. Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Ditinjau Dalam
Ketatanegaraan Islam
Kehadiran Komisi Yudisial RI telah memperkaya khazanah kita tentang
pembangunan hukum, yang mana dibangun oleh banyaknya kontrovensi atas
langkah-langkah Komisi Yudisial RI yang begitu dibentuk langsung tancap gas
tinggi untuk mengawasi prilaku dan moralitas hakim. Pujian dan cercaan terus
bermunculan sampai saat ini menyebabkan Komisi Yudisial RI berada pada posisi
yang menggantungkan karena setelah wewenangnya untuk melaksanakan fungsi
pengawasan dipangkas melalui putusan Mahkamah Konstitusi RI pada Agustus
2006, praktis pekerjaanya hanya menyeleksi calon hakim agung. 144
Putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal 16 Agustus 2006 No. 005/PUU-
IV/2006 yang memuat tentang pembatalan kewenangan Komisi Yudisial RI
143. Ibid.
144. Komisi Yudisial RI, Bunga Rampai, h. 1.
95
sangat mengejutkan dan menyentak banyak pihak dan kalangan. Dengan putusan
tersebut di atas, sebanyak 12 pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial RI yang mengatur tentang kewenangan Komisi Yudisial
RI dinyatakan tidak sesuai dengan UUD 1945. 145
Untuk melaksanakan peranannya mengawasi hakim, Komisi Yudisial RI
dapat melakukan beberapa hal antara lain (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004) menerima laporan dari masyarakat tentang perilaku hakim; meminta
laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan tentang perilaku hakim;
melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran perilaku hakim; memanggil dan
meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim;
dan membuat hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan
kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi RI, serta tindakannya
disampaikan kepada Presiden dan DPR.146
Walaupun Mahkamah Konstitusi RI tidak membatalkan pasal 22 Ayat
(1a) yang berbunyi “menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim”, yang
sangat terkait dengan pasal 20 yang berbunyi “Dalam melaksanakan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 huruf b Komisi Yudisial RI mempunyai
tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”, Mahkamah
Konstitusi RI justru menghapus Pasal 20. Dengan dibatalkannya pasal yang
145, Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial, h. 225. 146. Ibid.
96
merupakan roh eksistensi Komisi Yudisial RI, kewenangan Komisi Yudisial RI
dalam bidang pengawasan tidak ada sama sekali. Komisi Yudisial bagaikan
macan ompong yang bahkan tidak mempunyai cakar. 147
Sebagai dampaknya Komisi Yudisial RI tidak menerima lagi pengaduan
dari masyarakat tentang Perilaku Hakim, baik Hakim Negeri, Hakim Tinggi,
Hakim Agung maupun Hakim Konstitusi. Komisi Yudisial RI menindak lanjuti
547 laporan yang telah masuk dan selebihnya belum ditangani karena
wewenangnya sudah dilucuti. Laporan ini seharusnya disampaikan kepada
Mahkamah Agung, Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat.148
Selanjutnya dampak yang lebih besar adalah kepada siapa pencari
keadilan harus meminta pertanggungjawaban atas pupusnya harapan yang selama
ini mereka harapkan dari Komisi Yudisial RI untuk dapat membasmi atau
mengikis keberadaan mafia peradilan yang merajalela diseluruh tingkat
pengadilan dari pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung RI.149
Adapun dalam sisitem ketatanegaraan Islam kekuasaan yang berkaitan
dengan peradilan atau kehakiman yakni As-sulthah Al-qadhaaiyyah yang secara
terminologi, berarti kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses
perundang-undangan sejak penyusunan sampai pelaksanaannya serta mengadili
147 Ibid., h. 226. 148. Ibid.
149. Ibid.
97
perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana.
Dalam bahasa Indonesia istilah ini dikenal dengan kekuasaan yudikatif.150
As-sulthah Al-qadhaaiyyah adalah salah satu dari tiga kekuasaan yang
dimiliki suatu Negara. Dua kekuasaan lainnya ialah kekuasaan memuat Undang-
undang (as-sulthah at-tasyri’iyyah atau kekuasaan legislatif) dan kekuasaan
melaksanakan Undang-undang (as-sulthah at-tanfiziyyah atau kekuasaan
eksekutif). Secara garis besar tugas dan wewenang As-sulthah Al-qadhaaiyyah
terbagi tiga: (1) untuk menjamin pelaksanaan Undang-undang oleh pihak
eksekutif, (2) untuk mengontrol atau mengawasi fungsi dan pelaksanaan
kekuasaan legislatif. (3) untuk mengadili dan menyelesaikan berbagai persoalan
hukum dan perselisihan yang diajukan dan yang menjadi kewenangannya.151
Dalam sejarah peradilan Islam, terdapat beberapa bentuk kekuasaan
kehakiman, baik dilihat dari sudut hirarki maupun sumbernya. Bentuk-bentuk
kekuasaan ini dari satu pemerintah ke pemeritah yang lain mengalami beberapa
pembaruan atau perubahan. Yang semula disatukan dengan kekuasaan eksekutif,
kemudian dipisahkan menjadi lembaga tersendiri. Yang semula memiliki
kewenangan yang terbatas (yaitu pada masalah-masalah keperdataan), berubah
menjadi lebih luas, yakni menyangkut perdata dan pidana (untuk pribumi dan non
pribumi, untuk orang Islam dan non muslim).152
150. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), Cet. Pertama, h. 16567 151. Ibid., h. 1656.
98
Pada masa Abbasiyah di bentuk lembaga baru yang di sebut wilayah al-
mazalim (kekuasaan pidana dari kalangan penguasa dan kerabatnya) dan wilayah
al-hisbah (kekuasaan peradilan untuk bidang moral dan akhlak). Pembaharuan .
yang paling tampak memberikan pengaruh luas kepada Negara-negara Islam
berikutnya, terjadi pada masa pemerintahan Turki Usmani. Pada masa ini bentuk
kekuasaan peradilan di bedakan antara sebelum masa Tanzimat (masa penyusunan
undang-undang baru yang bersumber pada hukum barat) tahun 1299-1839 dan
masa setelah Tanzimat (1840-1924).153
Pada masa sebelumnya Tanzimat, kekuasaan peradilan memiliki beberapa
tingkatan sebagai berikut. (1) Mahkamah al-Isti’naf al-U’luya (Mahkamah
Agung), yang kewenangannya dibatasi oleh kekuasaan sultan. (2) Mahkamah at-
Tamyiz atau an-Naqd wa al-Ibram (Mahkamah Kasasi), yang kewenangannya
mengkaji atau meneliti hukum-hukum produk Mahkamah al-Isti’naf (Mahkamah
Banding). (3) Mahkamah al-Isti’naf, yang kewenangannya meneliti berbagai
masalah peradilan agar sesuai dengan undang-undang yang berlaku. (4)
Mahkamah al-Jaza’ (Peradilan Pidana), yang kewenangannya untuk
menyelesaikan perkara pidana. (5) Mahkamah al-Huquq (Peradilan Perdata),
yang kewenangannya untuk menyelesaikan perkara perdata.154
152. Ibid. 153. Ibid., h. 1657.
154. Ibid
99
Pada masa setelah Tanzimat bentuk-bentuk kekuasaan peradilan di Turki
mengalami perubahan dengan istilah atau nama-nama yang berbeda. (1) Al-Qada’
al-Milli, yaitu peradilan untuk mengadili orang-orang non Islam. Sumber
hukumnya adalah Undang-undang agama masing-masing. (2) Al-Qada’ al-
Qansuli, yaitu, peradilan untuk mengadili perkara orang-orang non-Turki.
Sumber hukumnya adalah undang-undang Negara masing-masing. (3) Al-Qada’
Mahkamah Jaza’al-Jinayyah, yaitu peradilan untuk mengadili perkara pidana.
Sumber hukumnya adalah Undang-Undang Eropa. (4) Al-Qada’ Mahkamah al-
Huquq, yaitu peradilan untuk mengadili perkara perdata. Sumber hukumnya
adalah Majallah al-Ahkam al-Adaliyyah. (5) Al-Qada’ asy-Syar’I, yaitu peradilan
untuk mengadili perkara yang berkaitan dengan al-ahwal asy-syakhsiyyah umat
Islam. Sumber hukumnya adalah kitab-kitab fikih Islam. di Mesir, selain
peradilan asy-Syar’I, al-Milli, dan al-Qansuli, ada peradilan lainnya, yaitu
peradilan campuran yang sumber hukumnya adalah Undang-Undang asing dan
peradilan ahli (peradilan adat) yang sumber hukumnya adalah Undang-Undang
Prancis.155
Berkaitan dengan sumber-sumber hukum yang dijadikan acuan dalam
peradilan-peradilan tersebut, para ahli peradilan membagi sumber hukum secara
garis besarnya menjadi dua. Pertama, peradilan yang bersumber kepada tradisi
masyarakat dan ‘urf (adat kebiasaan) jahiliyah serta perundang-undangan buatan
155. Ibid., h. 1568.
100
manusia (al-qawanin al-wad’iyyah al-basyariyah) yang disebut al-Qada’ al-
Jahili. Kedua, peradilan yang bersumber dari Allah SWT dan Rasulullah SAW
yang di sebut al-Qada’ asy-Syar’i. peradilan yang kedua ini ada dua macam, yaitu
(1) peradilan at-tahkim (arbitrase), seperti untuk menyelesaikan masalah syikak
(perselisihan suami istri yang sudah memuncak); dan (2) peradilan al-‘adi
(peradilan biasa) dengan berbagai bentuknya.156
Adapun dilihat dari sisitem ketatanegaraan nya tidak ada bedanya antara
sisitem ketatanegaraan di Indonesia dengan sisitem ketatanegaraan didalam
sisitem kekuasaan Islam dimana di Indonesia mempunyai system ketatanegaraan
selain yudikatif juga ada eksekutif dan legislatif yang mana kedudukan diantara
lembaga-lembaga ini sejajar didalam pemerintahan begitupun dengan
ketatanegaraan Islam selain as-sulthah al-qadhaaiyyah (yudikatif) sistem
pemerintahan Islam juga memiliki as-sulthah at-tasyri’iyyah (kekuasaan
legislative) dan as-sulthah at-tanfiziyyah ( kekuasaan esekutif).157
Yang mana dari
semua lembaga ini sudah mempunyai tugas yang satu dengan yang lain saling
melengkapi.158
Jadi jika Komisi Yudisial (lembaga yudikatif) ditinjau dalam
ketatanegaraan Islam, dilihat itu sama halnya dengan As-sulthah Al-qadhaaiyya
yang mana Komisi Yudisial adalah salah satu dari lembaga yudikatif di Indonesia
156. Ibid, h.1657.
157. Ibid,. h. 1658.
158. Ibid.
101
sedangkan As-sulthah Al-qadhaaiyyah adalah lembaga yudikatif dalam konteks
Islam walaupun secara kedudukan As-sulthah Al-qadhaaiyyah lebih besar
tingkatannya dari pada Komisi Yudisial dikarenakan As-sulthah Al-qadhaaiyyah
adalah lembaga tertinggi didalam yudikatif Islam sedangkan Komisi Yudisial
hanya salah satu dari pada lembaga yudikatif yang ada di Indonesia. 159
Adapun dalam hal kinerjanya disini setelah keluarnya Putusan No.
005/PUU-IV/2006, wewenang dan tugas dari pada Komisi Yudisial RI lebih
terbatas lagi. Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal
16 Agustus 2006 No. 005/PUU-IV/2006, kewenangan untuk menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, tidak lagi
dimiliki oleh Komisi Yudisial RI. Dengan kata lain Komisi Yudisial RI tidak lagi
mempunyai kewenangan sanksi terhadap hakim; pengusulan penghargaan kepada
hakim atas prestasi dan jasanya khususnya terhadap Hakim Konstitusi. Semuanya
dikembalikan ke lembaga masing-masing untuk mengawasi perilaku hakim, yang
selama ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dan kewenangan yang dimiliki
Komisi Yudisial RI sekarang yakni : 1) melakukan proses seleksi dan menjaring
calon anggota Hakim Agung berkualitas, potensial, mengerti hukum dan
profesional; 2) menjaga dan menegakkan integritas hakim dan kepercayaan
masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia dan menjaga agar hakim dapat
menjaga hak mereka untuk memutuskan perkara secara mandiri. Pasal 24B ayat
(1) UUD 1945 menjamin Komisi Yudisial untuk bersifat mandiri yaitu berwenang
159. Ibid.
102
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Sedangkan dalam hal kewenangan
As-sulthah Al-qadhaaiyyah untuk mengadili dan menyelesaikan berbagai
persoalan hukum dan perselisihan yang diajukan dan yang menjadi
kewenangannya.160
Jadi Komisi Yudisial RI disini walaupun kewenangannya telah dipangkas
oleh Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Putusan yang telah dikeluarkannya
masih tetep sebagai lembaga yudikatif walaupun dengan kewenangan dan tugas
yang terbatas, jadi jika dilihat dalam konteks ketatanegaraan Islam komisi
Yudisial tetep sebagai lembaga As-sulthah Al-qadhaaiyyah walaupun tugas dan
wewenang yang dimiliki oleh lembaga lembaga ini berbeda, jika As-sulthah Al-
qadhaaiyyah mempunyai kewenangan yang sangat luas di negaranya lain halnya
dengan Komisi Yudisial RI yang kewenangannya telah dipangkas habis oleh
Mahkamah Konstitusi RI dan terbatas.
160. Ibid., h. 159.
103
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Komisi Yudisial RI itu bersifat mandiri dan tidak lebih rendah dari
Mahkamah Agung RI maupun Mahkamah Konstitusi RI. Kalau ditelusuri dari
latar belakang pembentukan Komisi Yudisial RI, para pembentuk
(pengamandemen) UUD, seperti termuat di dalam kesaksian-kesaksian
dipersidangan dan risalah-risalah PAH I MPR, secara tegas telah menyatakan
bahwa Komisi Yudisal RI dibentuk untuk mengawasi hakim karena
pengawasan yang ada sebelumnya tidak mampu mengatasi judicial
corruption. Jadi pembentukan Komisi Yudisial RI sebagai pengawas hakim
untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Sayang, kewenangan Komisi Yudisial RI untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat hakim telah diamputasi oleh putusan
Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006.
kewenangan Komisi Yudisial RI mengawasi hakim dan hakim konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisal RI, jadi kedudukan Komisi Yudisial RI tidak
menjalankan kekuasaan kehakiman tetapi suatu badan yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman khususnya dengan Mahkamah Agung
RI dan Mahkamah Konstitusi RI dalam halal pengawasan Hakim, tetapi
104
sekarang setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi RI kedudukan Komisi
Yudisial RI sudah bukan lagi sebagai lembaga pengawas hakim tetapi hanya
lembaga yang memonitoring hakim dan di dalam menjalankan peranannya
diberi kewenangan untuk dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung RI
dan/atau Mahkamah Konstitusi RI untuk memberikan penghargaan kepada
hakim atas prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran matabat serta menjaga perilaku hakim
2. Adapun dalam menjalankan peranananya sebagai penjaga kekuasaan
kehakiman, Komisi Yudisial RI diberikan beberapa tugas dan kewenangan
yang telah di putus melalui Putusan Mahkamah Kostitusi RI Tanggal 16
Agustus No. 005/PUU-IV/2006. dalam hal melaksanakan peranannya
menegakkan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, tugas yang
diberikan kepada Komisi Yudisial ialah melakukan pengawasan terhadap
perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 20 UU No. 22, 2004) telah
dihapus dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi RI. Di samping itu,
kewenangan lainnya ialah mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim
kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkam Konstitusi (Pasal 21
UU No 22, 2004) pun telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi RI.
Sebaliknya Komisi Yudisial RI didalam menjalankan peranannya diberi
kewenangan untuk dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung RI dan/atau
Mahkamah Konstitusi RI untuk memberikan penghargaan kepada hakim atau
105
memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam
rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim (Pasal 24 UU No. 22, 2004). Terhadap pasal ini Mahkamah
Konstitusi RI telah membatalkan kata-kata “dan/atau Mahkamah Konstitusi.”
Ini berarti Komisi Yudisial RI tidak mempunyai kewenangan untuk
mengawasi para Hakim Konstitusi.
3. Dengan dikeluarkannaya Putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal 16
Agustus 2006 No. 005/PUU-IV/2006, kewenangan untuk menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, dan tidak
lagi dimiliki oleh Komisi Yudisial RI. Dengan kata lain Komisi Yudisial RI
tidak lagi mempunyai kewenangan sanksi terhadap hakim; pengusulan
penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasa khususnya terhadap Hakim
Konstitusi. Semuanya dikembalikan ke lembaga masing-masing untuk
mengawasi perilaku hakim, yang selama ini tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Jika kita bandingkan dengan As-sulthah Al-qadhaaiyyah yang mana
lembaga ini memiliki dalam hal kewenangan untuk mengadili dan
menyelesaikan berbagai persoalan hukum dan perselisihan yang diajukan dan
yang menjadi kewenangannya dan kewenangan nya ini berlaku untuk segala
pihak yang telah dinyataka bersalah. jadi jika dilihat dalam konteks
ketatanegaraan Islam Komisi Yudisial tetep sebagai lembaga As-sulthah Al-
qadhaaiyyah walaupun tugas dan wewenang yang dimiliki ke dua lembaga ini
berbeda, jika As-sulthah Al-qadhaaiyyah mempunyai kewenangan yang
sangat luas di negaranya lain halnya dengan Komisi Yudisial RI yang
106
kewenangannya telah di pangkas habis oleh Mahkamah Konstitusi RI dan
terbatas.
B. Saran.
1. Usaha untuk melakukan reformasi ditubuh peradilan sesungguhnya
merupakan perjuangan yang tiada mengenal kata berhenti. Reformasi
merupakan sebuah ideologi untuk membangun seluruh komponen bangsa ke
arah yang lebih baik, oleh karena itu independensi kekuasaan kehakiman
tergantung kepada faktor-faktor internal lembaga peradilan dan political
sphare di sekelilingnya. Politisasi lembaga peradilan mutlak harus diakhiri.
Dukungan publik menciptakan kemandirian lembaga peradilan merupakan
qondision sine qua non. Pemerintah tidak hanya dituntut untuk merespon
tuntutan publik secara cepat tepat dan independen. Akan tetapi kondisi
internal dan eksternalnya sendiri harus pula diperhitungkan, faktor-faktor itu
merupakan variabel yang mempengaruhi kinerja dan hasil yang akan dicapai
oleh pemerintah guna memenuhi ekspetaksi publik.
2. Dengan adanya kejadian seperti ini diharap kan untuk ke depannya Dewan
Perwakilan Rakyat RI dan Presiden RI dapat dengan teliti lagi dalam
membuat atau mensahkan suatu undang-undang agar tidak terjadi kesalahan
multi tafsir seperti yang dialami oleh Komisi Yudisial RI ini dalam
menjalankan tugas dan kewenangan dalam undang-undang tersebut, yang
sekarang kewenangannya telah dipangkas habis oleh Mahkamah Konstitusi RI
dikarenakan di dalam Undang-undang Komisi Yudisal RI itu bersifat multi
tafsir dan rancu isinya yang mana hal tersebut dianggap bertentangan dengan
UUD 1945.
107
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an nul Karim.
Abidin, Ahmad Zaenal, Membangun Negara Islam, Yogyakarta, Pustaka Iqra, 2001.
Cet. Pertama.
Al-Mawardi, Imam, Terj. Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah: Prinsip-prinsip
Penyelenggaraan Negara Islam, Jakarta, Darul Falah, 2000, Cet. Pertama.
Al-Bahansi, Salim Ali, Wawasan Sistem Politik Islam, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,
1996, Cet. Pertama.
Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia,
Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama.
Asshidiqie, Jimly, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia,
Jakarta, UI Press, 2005, Cet. Pertama.
Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996, Cet. Pertama,
Fadjar, Abdul Mukthie, Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta,
Konstitusi Press, 2006, Cet. Pertama
Fadjar, Abdul Muktie, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstiusi, Jakarta, Konpress
& Citra Media, 2006, Cet. Pertama.
Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada,
2005, Cet. Pertama
Indrayana, Denny, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos, Bandung, mizan Media
Utama, 2007, Cet. Kedua.
Jurdi, Fajlurrahman, Komisi Yudisial Dari Delegitimas Hingga Revitalisasi Moral
Hakim, Jakarta, PuKAP, 2007, Cet. Pertama
Kansil, C.S.T. Kansil, Christine S.T., Hukum Tata Negara Republik Indonesia I,
Jakarta, Rineka Cipta, 2000, Cet. Ketiga.
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bunga Rampai Komisi yudisial dan reformasi
Peradilan, Jakarta, Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007, Cet. Pertama.
108
. Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, Jakarta:
Komisi Yudisial RI, 2007, Cet. Pertama.
Koesno, Moch., Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesi, Jakarta:
ELSAM, 1997,Cet. Pertama.
Lexy, Moleong J., Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.
2004, Cet. Pertama.
Munawir, Ahmad Warsono, Kamus Al-Munawir: kamus Arab Indonesia Terlengkap.
Surabaya, Pustaka Progresif, 1997.
Moekri, Ahmad Kurdi, Negara Hukum dalam Ujian, Jakarta, Ka-tulis-tiwa Press,
2007, Cet. Pertama.
Ma’luf, Lois, Kamus Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirat: Dar al-Mashariq,
1997.
Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
Jakarta: LP3ES, 2007, Cet. Pertama.
Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998, Bagian
Pengantar, Cet. Ketiga.
O.C Kaligis & Associates, Mahkamah Agung VS Komisi Yudisial Dimahkamah
Konstitusi, Jakarta,O.C Kaligis & Associates, 2006, Cet. Pertama.
Pemikiran Jimly Asshiddiqie, dan Para Pakar Hukum, Konstitusi dan Ketata
Negaraan Indonesia Kontemporer, Jakarta: The Biografi Institute, 2007, Cet.
Pertama.
Susanto, Agung, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur Berperkara Pada
Mahkamah Konstuitsi. Bandung: Mandar Maju, 2006, Cet. Pertama,
Syahuri, Taufiqurrohman, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD
1945-2002, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, Cet. Pertama.
109
Skripsi oleh Nani Kurniasih, Al-sulthah Al-qadaiyyah Membandingkan Kewenangan
Mengadili antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta,
1426H/2006M.
Skrisi oleh M. Andri M, Kekuasaan Eksekutif Dalam Prespektif Islam Dan barat.
Jakarta, 1424H/2004M.
Undang-Undang Dasar Repulik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
BULETIN DAN HARIAN KABAR
Buletin Komisi Yudisial, Pegelaran Budaya Memeriahkan Refleksi Akhir Tahun
2007 Komisi Yudisial , Tanggal 03 Desember 2007
Harian Kompas 26 Agustus, 2006.
Harian Kompas 29 Agustus, 2006.
INTERNET
io.ppi-jepang.org/article.php?id=247 - 45k. ja 1m5.15. tgl 24 0608.
http://www presidensby.info/index.php/fokus/2007/06/11/1919.html, jam 21. 30, tgl
02 12 2008.
www.sinarharapan.co.id/berita/0708/31/nas03.html - 23k, ,jam 21.35 tgl.02 12 2008.
110