komunikasi dan adaptasi antar budaya studi kasus pada
TRANSCRIPT
Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada Panitia Lokal dan Warga Negara Jepang
di Lingkungan Internal Panitia Festival Ennichisai Little Tokyo Blok M 2016
Fauzi Jundullah
Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, FISIP UI Gedung B
Lantai Dasar, Kota Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Tulisan ini membahas mengenai upaya adaptasi dan komunikasi antar budaya antara panitia lokal dan asing di lingkungan panitia festival Ennichisai Little Tokyo Blok M 2016. Penelitian ini menggunakan teknik kualitatif dengan pendekatan etnografi, dengan menggunakan konsep adaptasi antarbudaya dan komunikasi antarbudaya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa adaptasi dan komunikasi antar kelompok panitia berjalan tanpa adanya hambatan besar, terlebih memicu konflik terbuka, dimana masing-masing anggota kelompok mampu mengakomodasi sikap dari masing-masing pihak yang berhubungan dengan mereka selama persiapan dan pelaksanaan acara. Kata kunci:adaptasi, antar-budaya, ennichisai, festival, komunikasi, panitia
Cross-Cultural Adaptation and Communication : Case Study on Local Staffs and
Japanese Staffs in Internal Stuctures at Ennichisai Little Tokyo Blok M 2016 Festival
Abstract This study is researching about adaptation and communication attempts between local staffs and Japanese staffs at Ennichisai Little Tokyo Blok M 2016 Festival. This research is using qualitative methods with ethnographical approach, using cross-cultural adaptation and cross-cultural communication. The result of this research shows that adaptations and communication between those groups going well without any open conflict. They can accomodate their attitude and characters each other during the event. Keywords: adaptation, communication, cross-cultural, ennichisai, festival, staffs
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
Pendahuluan
Dalam hidupnya, manusia sebagai makhluk sosial pasti akan melakukan komunikasi
antara satu dengan yang lainnya. Dengan berkomunikasi, bukan hanya terbatas pada
pertukaran pesan dan informasi, melainkan juga membangun dan mempertahankan
hubungan sosial. Dalam kehidupan sosial, perbedaan adalah hal yang amat lumrah. Setiap
manusia mempunyai latar belakang dan identitas sendiri yang membedakannya dengan
individu / kelompok lainnya. Hal-hal tersebut dapat memengaruhi bagaimana orang
tersebut berkomunikasi dengan orang lain, seperti pergaulan, pendidikan, kepercayaan,
nilai-nilai moral, dan juga karakteristik kebudayaan.
Banyak hal yang dapat menentukan apakah proses komunikasi dapat berjalan dengan
baik ataupun tidak. Salah satunya adalah latar belakang budaya atau suku bangsa. Smith
(1987) mengemukakan, kelompok atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang
anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan
garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai dengan pengakuan dari
orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama,
perilaku, atau ciri-ciri biologis. Sedangkan Koentjaraningrat (1990) berpendapat bahwa
suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan
kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali dikuatkan oleh
kesatuan bahasa. Lebih lanjut lagi, Koentjaraningrat mengemukakan bahwa di Indonesia
terdapat 195 suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia. Menurut Badan Pusat
Statistik (2011), terdapat 1340 suku bangsa di seluruh Indonesia. Masing-masing suku
bangsa tersebut memiliki bahasa dan dialeknya masing-masing. Artinya ada paling tidak
ratusan variasi bahasa dan dialek untuk menggambarkan suatu benda atau keadaan di
Indonesia dalam proses komunikasi masyarakatnya.
Dengan adanya globalisasi di era ini, semakin memungkinkan masyarakat untuk
melintasi batas negara, mengunjungi atau menetap di negara lainnya. Globalisasi secara
sederhananya dapat diartikan sebagai seluruh proses kontemporer yang membuat jarak
menjadi tidak relevan lagi. Eriksen (2007) menuliskan bahwa globalisasi memungkinkan
perpindahan-perpindahan orang, barang, gagasan dan wawasan, uang, dan pemikiran
melewati batas negara, tidak terbatas pada seberapa jauh negara-negara tersebut. Dalam hal
ini, terdapat arus perpindahan orang dari suatu negara ke negara lainnya, sehingga dalam
satu tempat beberapa orang dengan berbagai kewarganegaraan berkumpul dalam suatu
tempat, misalkan di tempat kerja, lingkungan instansi, dan tempat-tempat lainnya. Di sana
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
mereka saling berbaur dengan orang lain dari negara lain, yang mana pastinya suku bangsa
mereka juga berbeda, konsepsi dan budaya mereka juga berbeda, sehingga komunikasi
yang berjalan juga sedikit terkendala karena faktor bahasa dan budaya, disebabkan budaya
antarnegara umumnya saling kontras, sehingga proses komunikasi akan lebih sulit.
Untuk menghadapi kendala tersebut, dibutuhkan proses adaptasi budaya. Sebelum
melakukan komunikasi, khususnya dengan orang dengan perbedaan latar belakang budaya,
hal tersebut perlu dilakukan agar proses komunikasi berjalan dengan baik. Adaptasi budaya
jika diartikan per kata, berasal dari kata adaptasi dan budaya. Adaptasi berarti kemampuan
makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru untuk dapat tetap hidup
dengan baik. Adaptasi juga dapat diartikan sebagai cara-cara yang digunakan oleh perantau
untuk mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan memperoleh keseimbangan
positif dengan latar belakang mereka. Sedangkan budaya sendiri menurut Parsudi
Soeparlan (1978:2), kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial, yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan
dan pengalaman manusia, serta menjadi kerangka landasan untuk mewujudkan atau
mendorong terwujudnya perilaku sesorang. Lebih lanjut, Suparlan menjelaskan
kebudayaan terdiri dari unsur-unsur yang universal, mencakup struktur sosial, sistem
politik, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem agama, dan sistem bahasa, serta sistem
komunikasi.
Sebelum melakukan proses komunikasi dengan pihak yang berbeda latar belakang
budaya, terlebih dengan warga negara asing, dibutuhkan adaptasi untuk mengenali seluk-
beluk budaya negara tersebut. Tak jarang ditemui berbagai perbedaan yang cukup kontras
diantara satu budaya dengan yang lainnya, yang terpisahkan oleh batas negara, semisalkan
antara Indonesia dan Jepang. Budaya Jepang sangat menjunjung tinggi profesionalitas,
kesopanan, dan etika, yang mana bila orang Indonesia melihatnya terlalu kaku. Begitupun
bagi orang Jepang, mereka kerap memandang orang Indonesia umumnya sebagai
masyarakat yang lebih fleksibel, tidak kaku, dan tidak begitu serius dalam suatu hal,
semisal pekerjaan. Dalam hal pekerjaan, jika kedua kelompok tersebut saling bekerjasama,
tentu dibutuhkan komunikasi yang intens diantara keduanya. Maka dari itu, adaptasi
dibutuhkan agar saling memahami karakter dan latar belakang antara satu dengan yang
lainnya agar tidak terjadi miskomunikasi dan hal-hal yang tidak mengenakkan.
Karena itu, saya tertarik untuk meneliti mengenai hal tersebut. Saya mengambil latar
penelitian di sebuah festival bernuansa budaya tradisional Jepang di Jakarta, Ennichisai.
Festival tahunan ini bertempat di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Acara ini menyajikan
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
berbagai konten budaya Jepang, baik budaya tradisional maupun populer. Yang menarik
bagi saya, mengetahui ada dua kelompok yang bekerjasama dalam satu kepanitiaan dalam
menyelenggarakan acara ini, yaitu lokal dan asing, dalam hal ini Warga Negara Jepang,
saya ingin mengetahui bagaimana komunikasi yang terbentuk antara keduanya, bagaimana
para panitia lokal beradaptasi dengan panitia lain yang merupakan WN Jepang, dan juga
sebaliknya. Kemudian, dalam bekerjasama dalam satu tim, bagaimana satu kelompok ini
saling beradaptasi dengan yang lainnya. Dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda,
mereka bekerja sama dalam satu tim. Awalnya, ketika mereka mulai bekerjasama untuk
pertama kalinya, tentu mereka akan menemui beberapa hambatan dikarenakan adanya
perbedaan latar belakang antara kedua kelompok tersebut. Disini, masing-masing anggota
kelompok tersebut melakukan tindakan adaptasi budaya dalam menghadapi kelompok
lainnya di kepanitiaan. Dengan berbagai faktor dan hal-hal lain yang menjadi pembeda
diantara kedua kelompok ini, bagaimanakah cara dari masing-masing anggota kelompok
ini berusaha beradaptasi dengan kelompok diluar kelompok mereka? Setiap orang tentunya
memiliki caranya masing-masing, dan tindakan tiap-tiap orang tersebut juga akan
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam ataupun dari luar dirinya. Oleh karena
itu, langkah apa yang dilakukan oleh masing-masing anggota kedua kelompok ini ketika
saling bekerjasama dalam satu tim? Kemudian, Bagaimana proses adaptasi yang dialami
oleh individu-individu dari kedua kelompok tersebut ketika berinteraksi dengan anggota
lain yang berasal dari kelompok yang berbeda, bahkan berbeda kewarganegaraan yang
sekilas akan sulit untuk saling berbaur.
Kesimpulannya, poin-poin yang akan diangkat saya dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana cara kedua kelompok ini berkomunikasi?
2. Bagaimana cara panitia dari kedua kelompok ini (panitia lokal dan WN Jepang) secara
individual saling beradaptasi satu dengan yang lainnya?
3. Bagaimana cara mengatasi masalah komunikasi antara kedua kelompok ini baik secara
individual maupun kolektif?
Tinjauan Teoritis
Komunikasi antar budaya secara harfiah dapat diartikan sebagai komunikasi yang
dilakukan oleh dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda. Liliweri
(2004: 9-15) mengemukakan bahwa komunikasi antar budaya adalah pernyataan diri antar
pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya.
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
Komunikasi antar budaya terjadi jika sebuah pesan yang harus dipahami, dihasilkan dari
budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain (Samovar dan Porter, 1994:
19).
Asumsi dari komunikasi antar budaya adalah sebagai berikut :
1. Komunikasi antar budaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan antara
komunikator dan komunikan
2. Dalam komunikasi antar budaya terkandung isi dan relasi antar pribadi
3. Gaya personal memengaruhi komunikasi antar budaya
4. Komunikasi antar budaya bertujuan mengurangi ketidakpastian
5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan
6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan dari komunikasi antar budaya.
Mengutip Habermas (1985) dalam Liliweri (2004:48), bahwa setiap dalam proses
komunikasi, apapun bentuknya, selalu ada fakta dari semua situasi tersembunyi dibalik para
partisipan komunikasi. Menurutnya, beberapa kunci iklim komunikasi dapat ditunjukkan oleh
karakteristik diantaranya suasana yang menggambarkan derajat kebebasan, suasana dimana
tidak ada lagi tekanan kekuasaan terhadap peserta komunikasi, prinsip keterbukaan bagi
semua, suasana yang mampu memberikan komunikator dan komunikan untuk dapat
memberdakan mana minat pribadi dan kelompok. Maka dapat disimpulkan bahwa iklim
komunikasi antar budaya bergantung pada tiga dimensi, yaitu perasaan positif, pengetahuan
mengenai komunikan, dan perilaku komunikator.
Sanovar dan Porter (1994, dalam Liliweri, 2001:160) menyatakan, untuk mengkaji
komunikasi antar budaya perlu dipahami antara hubungan antara kebudayaan dengan
komunikasi. Melalui pengaruh budayalah manusia belajar komunikasi, dan memandang dunia
mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan oleh
kebudayaan. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip
pula terhadap suatu peristiwa atau objek sosial. Cara manusia berkomunikasi, keadaan
berkomunikasi, bahkan gaya dan tata bahasa yang digunakan, perilaku verbal dan non-verbal
merupakan respons terhadap dan fungsi budaya. Gudykunst dan Kim (2003: 269-270)
berpendapat bahwa komunikasi yang berjalan baik menjadi tantangan dalam berlangsungnya
komunikasi antar budaya. Ketika makna dan pemahaman sama sekali berbeda, maka pesan
yang disampaikan bisa saja tidak sampai atau menjadi berbeda maksudnya. Fisher (1978)
berpendapat, untuk mengatakan bahwa makna dalam komunikasi tidak pernah secara total
sama untuk semua komunikator, adalah dengan tidak mengatakan bahwa komunikasi adakah
sesuatu yang tak mungkin atau bahkan sulit tapi karena komunikasi tidak sempurna. Jadi
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
untuk mengatakan bahwa dua orang berkomunikasi secara efektif maka keduanya harus
meraih makna yang relatif sama dari pesan yang dikirim (pesan diinterpretasikan sama).
Sedangkan komunikasi yang tidak efektif dapat terjadi dengan berbagai alasan.
Charney dan Martin (2004:11) berpendapat jika hambatan dalam komunikasi antar budaya
merupakan segala sesuatu yang menjadi penghalang terjadinya komunikasi yang efektif.
Contohnya adalah perbedaan makna sebuah isyarat, misalkan di mayoritas negara di dunia
menganggap anggukan merupakan tanda setuju atau mengiyakan, di Jepang hanya dianggap
sebagai tanda mendengarkan, belum tentu setuju atau mengiyakan.
Hambatan dalam komunikasi antar budaya diibaratkan seperti gunung es, yang besar,
namun sebagian besar tidak terlihat karena berada di bawah permukaan air. Faktor yang
tersembunyi tersebut adalah hal-hal yang membentuk perilaku seseorang, yang mana hal-hal
tersebut sulit untuk dilihat, diantaranya adalah norma (norms), stereotip (stereotypes), aturan
(rules), jaringan (networks), nilai (values), dan grup subbudaya (subculture group). Kemudian
ada sembilan jenis hambatan komunikasi antar budaya yang dapat terlihat, karena berbentuk
fisik. Oleh Chaney dan Martin (2004: 11-12), kesembilan jenis hambatan tersebut adalah :
1. Fisik (physical). Hambatan ini berasal dari dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan
pribadi, dan media fisik lainnya.
2. Budaya (cultural). Hambatan ini terdiri dari diantaranya perbedaan etnis, ras, suku, agama,
dan sosial antara dua budaya atau lebih.
3. Persepsi (perceptual). Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda terhadap suatu hal,
sehingga untuk mengartikan suatu budaya akan melahirkan pandangan yang berbeda pula.
4. Motivasi (motivational). Terkait dengan tingkat motivasi pembicara dan pendengar. Jika
salah satunya sedang malas atau kurang tertarik, maka hambatan ini akan muncul.
5. Pengalaman (experiental). Setiap individu mempunyai pengalaman yang saling berbeda
satu sama lain, yang mengakibatkan setiap individu mempunyai pandangan yang berbeda
akan suatu hal.
6. Emosi (emotional). Ini terkait dengan kondisi emosional si pembicara atau pendengar. Jika
salah satu dari mereka kondisi emosinya sedang buruk, komunikasi juga tidak akan
berjalan baik.
7. Bahasa (linguistic). Hambatan akan terjadi jika proses komunikasi menggunakan bahasa
yang berbeda atau menggunakan kata-kata yang salah satunya tidak memahami artinya.
8. Non-verbal. Hambatan ini bukan berbentuk verbal (kata-kata), misalkan dari ekspresi
wajah atau bahasa tubuh.
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
9. Kompetisi (competition) .Hambatan ini terjadi jika salah satu dari pembicara/pendengar
melakukan hal lain ketika berkomunikasi, misalkan bermain ponsel atau bermain game
sambil berbicara.
Kim (1988) dalam Sunarwinadi (1993:30) menyatakan apabila seorang individu mampu
mengakomodasi tuntutan-tuntatan dari lingkungannya berarti individu itu mampu beradaptasi.
Dalam pertemuan antarbudaya, kemampuan beradaptasi adalah kapasitas individu untuk
bertahan atau memodifikasi beberaa cara dari budayanya yang lama, dan mempelajari serta
mengakomodasikan beberapa cara dari budaya yang baru, kemudian secara kreatif
menemukan cara untuk mengelola dinamika dari perbedaan budaya yang ada dan perasaan
stress yang dialaminya. Kim (2001) dalam Ruben dan Stewart (2006:342) menguraikan dan
menggambarkan langkah-langkah dalam proses adptasi suatu budaya. Secara umum ada
empat fase ditambah dengan fase perencanaan.
a. Fase perencanaan, dimana seseorang masih berada di negeri asalnya menyiapkan segala
sesuatu, mulai dari ketahanan fisik sampai kepada mental, termasuk kemampuan
komunikasi yang dimiliki untuk dipersiapkan yang nantinya akan digunakan di tempat
baru.
b. Fase 1, periode bulan madu, dimana seseorang sampai dan berada di lingkungannya yang
baru, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan budaya yang baru. Dalam fase ini,
seseorang mengalami kegembiraan sebagai reaksi awal dari sebuah kekaguman, penuh
semangat akan hal-hal baru, antusias, ramah, mempunyai hubungan baik dengan orang
disekitarnya.
c. Fase 2 adalah periode dimana daya tarik akan hal-hal baru dari seseorang perlahan mulai
berubah menjadi rasa frustasi hingga permusuhan, ketika terjadi perbedaan awal dalam hal
bahasa, konsep, nilai-nilai, dan simbol-simbol yang familiar.
d. Fase 3 adalah fase recovery, dimana seseorang mulai menyelesaikan krisis yang dialami
pada fase 2. Penyelesaian ini ditandai dengan proses penyesuaian ulang dari seseorang dari
seseorang untuk mulai mencari cara dengan berbagai cara, seperti mempelajari bahasa,
simbol-simbol yang dipakai dan budaya dari penduduk setempat.
e. Fase 4 adalah fase dimana penyesuaian ulang terus berlanjut. Sepanjang periode ini, ada
beberapa individu yang memperoleh kembali keseimbangan antara budaya yang mereka
anut dengan budaya baru yang dihadapi. Mereka mencoba untuk mengembangkan
hubungan-hubungan baru. Proses inilah yang disebut dengan full participation. Sedangkan
ada individu lainnya yang tidak mampu menerima secara penuh budaya baru karena merih
terbawa cara-cara lama yang dianutnya di negeri asalnya. Ini dinamakan accomodation.
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
Seiring dengan proses peyesuaian diri seseorang, maka tak jarang ia tetap mengalami rasa
frustasi akan keadaan yang baru, sehingga ia tetap berusaha untuk bertahan dengan caranya
sendiri. Proses ini disebut dengan fight. Kemudian ada beberapa individu lainnya yang
tidak dapat bertahan dengan lingkungan barunya, sehingga pada akhirnya memutuskan
untuk kembali ke tempat asalnya, yang mana hal ini disebut dengan flight.
Dalam komunikasi antar budaya, terdapat kemungkinan adanya natural discourse. Dalam
natural discourse, setiap orang yang berkomunikasi seringkali akan merasa pembicaraan atau
komunikasinya lebih enak atau lancar jika hanya ada mereka di tempat itu saat itu, atau
dengan kata lain, tidak ada pihak lain yang ikut memperhatikan proses komunikasi mereka.
Biasanya orang akan mengubah gaya komunikasi mereka seperti pemilihan kata, nada bicara,
ekspresi, dan gaya bicara mereka jika ada orang lain yang memperhatikan atau jika mereka
belum begitu percaya kepada orang tersebut. Natural discourse baru akan muncul kembali
jika orang ketiga tersebut meninggalkan lokasi si pelaku komunikasi atau para pelaku
komunikasi tersebut sudah mempercayai pihak ketiga ini, sehingga tidak perlu ragu lagi untuk
mengeluarkan image mereka masing-masing. Kemudian, dalam komunikasi antar budaya
juga ada kemungkinan masing-masing kelompok menciptakan batasan-batasan tertentu yang
menjadi pedoman bagi kelompok lainnya. Fredrik Barth (1969) mengungkapkan jika suatu
kelompok etnik mencoba mempertahankan identitasnya ketika berinteraksi dengan anggota
dari kelompok lain dengan cara membuat seperangkat aturan yang menjadi batasan interaksi
mereka. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga identitas serta nilai-nilai yang ada didalam
kelompok itu. Contohnya, ketika si A dari satu kelompok yang berinteraksi dengan kelompok
lainnya, si A akan menerapkan beberapa aturan yang berlaku untuk lawannya itu, begitu juga
sebaliknya. Ada kalanya hal ini terlihat misalnya dengan aturan seperti tidak boleh berbicara
terlalu keras, bertutur kata sopan,
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode Kualitatif, Menurut Creswell (2003 : 18),
pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk membangun pernyataan pengetahuan
berdasarkan perspektif konstruktif yaitu berdasarkan makna-makna yang bersumber dari
pengalaman individu, nilai-nilai, sosial dan sejarah, dengan tujuan untuk membangun teori
atau pola pengetahuan tertentu atau berdasarkan perspektif partisipatori yang berdasarkan
orientasi terhadap politik, isu, kolaborasi, atau perubahan, atau keduanya.Objek penelitian
kualitatif ini adalah seluruh bidang atau aspek kehidupan manusia. Prosedur penelitian ini
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari narasumber yang
adalah orang-orang ada di lokasi penelitian, dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan kejadian yang tengah berlangsung pada saat studi lapangan. Pengumpulan
data ini juga dilakukan dengan metode wawancara mendalam atau metode interview. Metode
wawancara atau metode interview, mencakup cara yang digunakan oleh seseorang untuk
tujuan tertentu dengan mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari
responden bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan responden tersebut
(Koentjaraningrat, 1977 :164).
Pada metode observasi, saya turut serta dalam kepanitiaan acara sebagai volunteer atau
sukarelawan yang tergabung dalam divisi yang didalamnya terdapat panitia lokal dan asing
sebagai anggota tim, sehingga saya dapat menyaksikan langsung proses interaksi dan adaptasi
yang terjadi pada kedua kelompok tersebut dalam divisi atau bidang yang sama.
Kriteria pemilihan narasumber adalah sebagai berikut :
1. Orang yang sudah lama berada di kepanitiaan,
2. Orang yang mempunyai kedudukan cukup tinggi, yang dinilai paling paham dengan
kondisi internal panitia yang mereka bawahi,
3. Orang yang berada pada level staff atau yang bukan memiliki posisi besar dalam struktur
untuk mengetahui kondisi yang langsung mereka alami.
Sesuai dengan kesepakatan dengan pihak internal panitia sebelum acara, saya hanya
diperkenankan untuk melakukan wawancara setelah acara selesai. Oleh karena itu, selama
persiapan dan saat berlangsungnya acara, saya hanya melakukan observasi. Barulah setelah
acara selesai, selama sepekan (16-21 Mei 2016), saya mulai mewawacarai narasumber yang
dirujuk oleh beberapa staff di pop-stage.
Berdasarkan informasi dan rekomendasi dari beberapa staff di pop-stage, saya memilih
dua orang panitia asing dan dua orang panitia lokal sebagai narasumber. Keempat orang
tersebut adalah :
1. Aiko, WN Jepang yang merupakan sekretaris umum acara sekaligus direktur umum pop-
stage. Beliau juga merupakan salah satu dari pendiri dari festival Ennichisai,
2. Taka, juga merupakan WN Jepang yang bertugas sebagai staff tata panggung di pop-stage,
3. Ricky, panitia lokal, General Affair acara
4. Liza, panitia lokal, kepala divisi Media Partner
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
Hasil Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada hari-H acara dengan cara observasi, dimana penulis menjadi
sukarelawan sekaligus mengamati situasi yang ada di dalam lingkungan ini ketika acara
sedang berlangsung, dan dilanjutkan dengan beberapa wawancara yang baru dilakukan
beberapa hari setelah acara selesai. Dari hasil pengamatan dan beberapa wawancara singkat
dengan beberapa staff di pop-culture stage, menunjukkan bahwa baik panitia asing (WN
Jepang) maupun panitia lokal disini saling dapat memahami satu sama lain. Ada kalanya
mereka terkendala pada latar belakang bahasa dan budaya yang membuat interaksi mereka
menjadi sedikit kaku, yang terlihat seolah sangat menjaga sikap satu sama lain.
Berpindah ke narasumber. Dimulai dari Aiko. Ia merupakan seorang WN Jepang yang lahir
dan justru sudah lama tinggal di Jakarta Sebagai salah satu pendiri acara sekaligus sebagai
sekretaris umum acara pada tahun ini, ia dianggap paling mengertimengenai situasi yang
terjadi di lingkungan panitia selama ini. Beliau mengungkapkan, selama ini tidak begitu
sering ada masalah terbuka yang melibatkan kedua kelompok ini (lokal dan asing). Baginya,
orang lokal kebanyakan adalah orang yang mudah bergaul, tidak mudah stress dan gampang
untuk berkomunikasi. Ia sendiri walaupun bersatus sebagai WNA, selain menguasai bahsa
Indonesia dengan lancar, pembawaannya yang santai dan mudah dekat dengan banyak orang
menjadikannya semakin luwes dalam berinteraksi.
Kemudian adalah narasumber asing lainnya, Taka, staff di pop-stage. Dari pengakuannya, ia
sendiri masih mengalami guncangan budaya ketika berhadapan dengan panitia lokal.
Menurutnya, ia sendiri agak kesulitan jika harus berinteraksi dengan mereka, karena ia
mengakui masih memegang erat budayanya. Terkadang, ada beberapa momen yang baginya
kurang mengenakkan ketika berinteraksi dengan orang lokal, yang mengakibatkan dirinya
cukup sulit untuk berinteraksi. Pembawaan dan karakternya yang terlihat kaku juga
mengakibatkan ia sulit berkomunikasi, meskipun ia dapat berbahasa Indonesia namun belum
cukup fasih.
Berpindah ke narasumber lokal. Dimulai dari Ricky. Sebagai orang lokal paling senior di
acara ini, dan juga posisinya sebagai General Affair membuatnya mengenal banyak orang,
baik orang lokal maupun asing di lingkungan panitia. Ia menuturkan bahwa orang Jepang
yang selama ini ia temui di kepanitiaan ini tergolong pekerja keras, berbeda dengan orang
Indonesia umumnya. Proses adaptasi yang ia hadaou akan berbeda tergantung siapa yang
akan ia hadapi. Biasanya, untuk para panitia asing yang sudah lama tinggal di Indonesia akan
lebih mudah menanganinya dibanding orang asing yang terbilang "baru", yang belum paham
akan kondisi budaya lokal. Kemudian, selama ini ia tidak pernah menghadapi atau melihat
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
adanya konflik terbuka antara kedua kelompok ini di kepanitiaan, karena masing-masing
kelompok saling menjaga sikap satu sama lain.
Terakhir, ada narasumber lokal lainnya Liza. Ia baru setahun terakhir bergabung dengan tim
kepanitiaan, dan saat ini berperan sebagai kepala divisi hubungan media. Senada dengan
Ricky, menurutnya para panitia asing yang ia temui disini adalah karakter yang pekerja keras.
Selama ini, adaptasinya hanya terbatas soal etos kerja dan ketepatan waktu, karena
menyesuaikan dengan budaya panitia asing tersebut yang sangat tepat waktu menurutnya.
Kemudian, ia sendiri mengakui bahwa proses komunikasinya dengan panitia asing disini
sangat terkendala pada bahasa. Karenyanya, ia masih bergantung pada beberapa penerjemah,
salah satunya Aiko, yang mana juga seringkali berperan sebagai mediator untuk kedua
kelompok panitia ini.
Dari keterangan keempat narasumber diatas, setiap narasumber tersebut masing-masing
mempunyai cara yang relatif berbeda dalam beradaptasi dan berkomunikasi dengan kelompok
lain diluar kelompok mereka. Pernyataan mereka merefleksikan apa yang selama ini mereka
lakukan dengan dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal yang
tentunya ikut berperan dalam proses komunikasi mereka ketika persiapan dan berlangsungnya
acara. Dari latar belakang yang saling berbeda satu sama lain turut membuat sikap dan
karakter mereka turut memengaruhi tindakan dan cara mereka dalam berkomunikasi, seperti
yang dapat dilihat dari pengakuan masing-masing narasumber diatas.
Pembahasan
Dari empat orang narasumber yang sudah diwawancarai menunjukkan bahwa setiap orang
memiliki pemahaman masing-masing mengenai apa yang sudah mereka pahami tentang
anggota kelompok lainnya. Namun dari masing-masing narasumber tersebut, berdasarkan
hasil dari fase adaptasinya saling berbeda. Dari penjelasan Kim (1992) mengenai fase akhir
dari adaptasi antarbudaya, ada empat fase, yaitu full participation, accomodation, flight, dan
fight. Keempat narasumber terkategorikan ke tipe fase yang masing-masing berbeda.
Dimulai dari narasumber Aiko, beliau termasuk ke tipe full participation. Mengapa?
Karena ia sudah tinggal sangat lama di Indonesia dan ia sudah sangat mudah bergaul dan
berinteraksi dengan orang lokal sehari-harinya. Tingkah laku dan sikapnya yang mudah
bergaul dengan banyak orang membuatnya semakin mudah dalam berinteraksi. Disamping itu,
ia juga sangat dekat dengan semua kalangan di lingkungan panitia. Banyak pula panitia lokal
yang mengandalkan beliau untuk berbagai keperluan, khususnya dalam hal komunikasi
karena kedekatan beliau dengan panitia lokal. Di bagian pop-stage misalnya ia seringkali
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
datang mengobrol atau menghabiskan waktu bersama panitia-panitia lokal di pop-stage,
menunjukkan kedekatannya dengan banyak orang, khususnya di pop-stage.
Lain Aiko, lain pula dengan narasumber Taka. ia masih sangat terlihat canggung dengan
orang-orang disekitatrnya. Pembawaan karakternya yang kaku juga terlihat baik saat bekerja
ataupun ketika sedang bertemu untuk wawancara. Pengalamannya yang tidak begitu baik
ketika berinteraksi dengan beberapa orang menjadikannya termasuk ke tipe fight. Ini dapat
dibuktikan dengan masih adanya nilai-nilai dan pemahaman beliau dari negara asalnya yang
masih melekat kuat pada dirinya, yang membuatnya kaku dalam bersikap. Keterangan beliau
tentang dirinya yang masih sulit untuk memahami lawan bicara dan sikap orang lain, terutama
jika orang tersebut adalah orang lokal, menunjukkan bahwa ia sendiri masih sangat sulit
menghadapi orang lokal, khususnya secara sikap yang menunjukkan bahwa ia masih
mengalami guncangan budaya. Meskipun ia sudah tinggal dan bekerja di Indonesia selama 17
tahun, yang tentu merupakan rentang waktu yang lama, membuat narasumber Taka menjadi
menarik, karena dalam waktu sepanjang itu beliau masih mengalami guncangan dan masalah
baik dalam hal adaptasi maupun interaksinya. Ini masih belum dapat dipastikan dengan
bagaimana beliau bersikap sehari-harinya, karena mungkin saja karakternya yang seperti ini
tidak terlihat diluar acara.
Keterangannya kepada saya sedikit berbeda dengan yang saya pahami ketika hari-H acara,
baik dari pengamatan maupun dari keterangan panitia lain yang menyatakan jika Taka adalah
salah satu panitia asing yang lebih mudah diajak berkomunikasi dibanding yang lainnya,
mengingat ia juga ditempatkan di pop-stage. Namun bersama seorang rekannya di pop-stage,
Satoshi, mereka adalah orang yang paling dianggap dekat dengan panitia-panitia lokal di pop-
stage, setelah Aiko.
Berpindah ke narasumber lokal. Dimulai dari Ricky. Sebagai orang lokal paling senior di
pop-stage, ditambah dengan posisinya yang vital dalam tim, ia tentunya mengenal banyak
orang baik di pop-stage maupun di main-stage, yang tentunya membuat ia sering berinteraksi
dengan banyak orang. Dalam fase adaptasi Kim, narasumber Ricky sendiri termasuk dalam
kategori full participation, seperti halnya Aiko. Dari pengakuannya sendiri, ia terbilang sudah
terbiasa menghadapi panitia asing, walaupun ia sendiri masih harus memahami terlebih
dahulu siapa yang akan ia hadapi. Ia harus memahami dahulu seperti apa orangnya,
bagaimana sifatnya, dan apakah orang itu sudah lama tinggal di Indonesia atau belum. Itulah
yang menjadi pertimbangannya sebelum bertindak, karena baginya untuk menghadapi
seseorang, ia harus memahami terlebih dahulu karakter dan latar belakang orang tersebut.
Namun sejauh ini, selama ia menangani acara baik di CLAS:H maupun di pop-stage
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
ennichisai, ia belum pernah mengalami kendala yang berarti dalam interaksi, hanya sebatas
menghadapi panitia asing yang masih “baru”, yang belum paham mengenai kondisi budaya
lokal. Terakhir, ada panitia lokal lainnya, Liza. Karena ia baru setahun bergabung di
ennichisai, ia mengaku bahwa ia hanya melakukan penyesuaian sebatas dalam urusan
pekerjaan saja, khususnya dalam hal etos kerja, menyesuaikan dengan orang Jepang jika harus
berurusan dengan mereka. Dalam hal ini, narasumber Liza sedikit berbeda dengan ketiga
narasumber sebelumnya, dimana ia masih berfokus pada beberapa penyesuaian, sehingga ia
termasuk ke fase recovery.
Setiap orang dapat mengalami keempat fase tersebut, dan bisa juga tidak. Bisa jadi
seseorang melewatkan satu fase, misalnya fase konflik, karena alasan tertentu. Jika dilihat
dari pernyataan ini, dari keempat narasumber tersebut, tidak dapat dikatakan jika mereka
melewati keempat fase tersebut. Narasumber Aiko, melewatkan fase konflik, karena
karakternya yang mudah bergaul sehingga membuatnya tidak menemukan hambatan yang
begitu berarti, sehingga proses adaptasi yang beliau alami tidak begitu sulit dijalankan,
terlepas dari latar belakangnya yang berdarah separuh Indonesia dan sudah lama pula tinggal
di Jakarta. Ketiga narasumber sisanya – Taka, Ricky, dan Liza, melewati keempat fase
tersebut dengan hasil akhir yang berbeda-beda satu sama lain, seperti yang sudah dijelaskan
diatas.
Bagaimana dengan anggota panitia lain?
Dari seluruh keterangan narasumber yang ada, ini tentunya terkait dengan stereotip dan
pengetahuan mereka mengenai kelompok lain yang mereka hadapi, dalam hal ini, stereotip
dan pengetahuan orang lokal terhadap orang Jepang dan sebaliknya. Bagi para panitia lokal
khususnya, termasuk saya sendiri ketika sebelum memasuki lingkungan panitia, juga
memiliki pandangan yang sama mengenai orang Jepang mengenai etos kerja mereka.
Semuanya sependapat jika mereka adalah tipikal orang yang pekerja keras, disiplin, dan tepat
waktu dalam bekerja. Sebaliknya, orang Jepang seperti Aiko dan Taka menilai orang lokal
sebagai orang yang mudah bergaul, bersahabat, dan tidak gampang terbawa stress. Dari
stereotip mereka itulah mereka akhirnya menentukan bagaimana cara mereka menyesuaikan
diri terhadap kelompok tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh keempat narasumber tersebut.
Kemudian mengenai komunikasi yang terjadi, berdasarkan penuturan seluruh narasumber
dan beberapa anggota panitia lainnya, faktor bahasa dan latar belakang budaya menjadi
hambatan utama dalam berkomunikasi, disusul oleh faktor-faktor personal seperti pengalaman,
motivasi, konsepsi, dan emosi. Untuk persoalan bahasa, ada beberapa cara yang dilakukan
pantia, yang bisa berbeda satu sama lainya. Karena cukup banyak panitia asing yang sudah
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
bisa menggunakan Indonesia, tentunya tidak ada kendala berarti lagi dalam komunikasi
mereka. Namun bagi panitia lokal, tidak banyak yang menguasai bahasa Jepang. Sebagian
dari mereka masih ada yang menggunakan penerjemah, seperti halnya Liza yang dibantu oleh
Aiko. Beberapa lainnya berusaha menggunakan bahasa Inggris daripada menggunakan bahasa
Jepang atau bahasa Indonesia, seperti halnya beberapa panitia di main-stage.
Kemudian mengenai faktor personal berupa motivasi, konsepsi dan emosi, narasumber
Taka yang paling merasakannya. Ini tampak dari penuturan beliau ketika bekerja dalam tim
yang seringkali membuat emosinya kurang stabil, karena berkaitan dengan latar belakang
budaya di negara asalnya dan juga pengalamannya sejauh ini tinggal dan bekerja di Jakarta
dalam waktu yang lama, sehingga memengaruhi responnya dalam berkomunikasi. Kemudian
dalam hal yang sama, narasumber Ricky juga senada. Sebagai anggota panitia lokal yang
dinilai paling sering berurusan dengan panitia asing, ia dianggap berpengalaman menghadapi
panitia asing. Sedangkan narasumber Liza masih berada dalam fase penyesuaian karena ia
masih terbilang baru di kepanitiaan, sehingga ia sendiri mengakui masih harus belajar banyak
mengenai panitia-panitia asing tersebut. Terakhir, lain halnya dengan Aiko. Karena
pengalamannya yang cukup lama berada di Indonesia dan karakternya yang terbuka
menjadikannya cukup luwes dan terbuka dalam berkomunikasi.
Dari model komunikasi linear yang dijelaskan pada bab pertama, apakah komunikasi yang
terjadi disini termasuk didalamnya? Komunikasi linear yang hanya melihat proses komunikasi
yang berjalan searah dengan melihat umpan balik yang dikembalikan dari penerima ke
pemberi pesan, itulah yang terjadi. Ada banyak sekali umpan-umpan balik yang melahirkan
berbagai pandangan dan pengetahuan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya,
didukung oleh stereotip yang sudah ada dalam pengetahuan mereka sebelumnya. Umpan-
umpan balik inilah yang pada akhirnya menentukan bagaimana orang tersebut harus bersikap
dan berkomunikasi terhadap anggota dari kelompok lain diluar kelompoknya itu. Apakah ia
harus menyesuaikan diri, sikap, atau perkataan, tergantung dari umpan balik tersebut.
Contohnya narasumber Taka dan Ricky, yang sikapnya terbentuk dari umpan-umpan balik
dari komunikasi yang pernal mereka lakukan sebelumnya, sehingga turut memengaruhi
tindakan mereka dalam berkomunikasi.
Apakah dalam interaksi yang terjadi pada saat itu setiap kelompok menciptakan batasan-
batasannya sendiri? Ada kemungkinan hal tersebut benar adanya. Berdasarkan batasan etnis
yang dikemukakan Barth (1969), dimana setiap kelompok saling menerapkan batasan tertentu
terhadap kelompok lainnya ketika berinteraksi, hal tersebut juga berlaku dalam kasus ini.
Pengakuan narasumber Ricky yang menyatakan bahwa kedua kelompok saling menjaga sikap,
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
menunjukkan adanya batasan tertentu yang mengiringi proses interaksi mereka sehari-harinya.
Bentuk batasan itu secara konkrit misalnya sesuai dengan pernyataan narasumber Taka,
dimana ia sendiri mengakui jika ia sendiri hanya akan berinteraksi jika dibutuhkan saja.
Mengenai natural discourse, apakah juga terjadi disini? Bagi para panitia-panitia lama yang
sudah berkali-kali mengikuti acara, tentu hal ini sudah biasa. Namun kadangkala ada hal yang
membuat natural discourse ini menjadi hilang sementara bagi sebagian orang, misalnya ketika
ada banyak rombongan sukarelawan yang masuk ke lingkungan panitia, sehingga ada
beberapa panitia inti yang berbicara sedikit lebih kaku dibandingkan biasanya. Natural
discourse ini juga kelihatannya tidak begitu hilang didalam interaksi sehari-hari panitia, tanpa
harus terganggu oleh pihak ketiga atau pihak lain yang kebetulan sedang berada di tempat,
karena sepengamatan saya ketika observasi, baik sebelum, saat, dan setelah acara, antara
panitia tidak saling mengubah gaya interaksinya, sehingga dapat dikatakan tanpa adanya
pihak ketiga atau luar sekalipun, gaya interaksi antar panitia yang ada tidak berubah, yang
berarti mempertahankan natural discourse-nya.
Dari keterangan keempat narasumber dan beberapa narasumber pendukug lainnya,
ditambah dengan hasil pengamatan saya, setiap orang di kepanitiaan ini mampu
mengakomodir proses komunikasinya masing-masing, baik secara individu maupun
kelompok. Salah satu caranya adalah dengan keterangan keempat narasumber masing-masing
yang sudah dijelaskan diatas. Komunikasi antar budaya yang terjadi di lingkungan panitia
seolah berlangsung dengan cukup lancar tanpa adanya hambatan yang cukup mengganggu.
Walaupun begitu, sehari-harinya ketika persiapan dan saat pelaksanaan acara sekalipun nyaris
tidak pernah terjadi konflik terbuka antara kedua kelompok tersebut. Seperti yang dinyatakan
oleh Aiko, ia sendiri sempat ragu mengapa hal ini dapat terjadi. Hambatan yang terjadi hanya
didasari faktor personal dan non-personal lain yang umum dialami hampir setiap orang dalam
komunikasi antar budaya, seperti bahasa, konsepsi, pandangan, budaya, dan lain sebagainya.
Meskipun dengan berbagai hambatan komunikasi yang ada, ternyata kedua kelompok ini
mampu bekerjasama dengan baik demi kelangsungan acara. Keberhasilan acara ini, dengan
berlangsungnya acara ini hingga selesai menjadi pertanda bahwa komunikasi dan adaptasi
antar budaya yang terjadi di lingkungan panitia ennichisai ini berlangsung dengan baik, yang
juga menandakan komunikasi dan adaptasi antar kelompok panitia ini berhasil dilaksanakan,
mengingat tidak ada konflik terbuka yang terjadi antara kedua kelompok ini, bahkan pada
pergelaran di tahun-tahun sebelumnya sekalipun.
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
Kesimpulan
Kedua kelompok panitia di dalam penelitian ini – panitia lokal dan asing – masing-
masing mempunyai cara yang dapat dikatakan relatif sama. Misalkan bagaimana anggota
panitia asing bersikap pada panitia lokal, dan begitupun sebaliknya. Secara individu, masing-
masing individu memiliki caranya sendiri untuk saling berinteraksi khususnya terhadap
anggota panitia dari kelompok lain. Keterangan dari beberapa narasumber dan hasil
pengamatan saya ketika observasi berlangsung mununjukkan jika diantara kedua kelompok
ini, proses komunikasi berjalan dengan relatif baik, dikarenakan koordinasi antar tim bekerja
dengan baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan berlangsungnya acara tanpa adanya hambatan
dan konflik terbuka. Dalam tim, koordinasi menjadi kunci utama keberhasilan, dengan
komunikasi sebagai pemeran utamanya. Meskipun berbagai hambatan terjadi, terutama
mengenai latar belakang budaya dan bahasa, ternyata kedua kelompok ini dapat saling bahu-
membahu menjalankan tugasnya di acara tersebut. Meskipun bagaimana cara yang digunakan
oleh masing-masing individu akan kembali ke diri mereka masing-masing, karena ada
beberapa faktor yang memengaruhinya, yang didominasi oleh faktor budaya dan personal
seperti bahasan, budaya, konsepsi, pengalaman, motivasi, dan emosi, sehingga setiap orang
akan memiliki cara tersendiri untuk saling memahami satu sama lain, yang tentunya akan
berakhir pada sikap yang mereka tunjukkan ketika berhadapan dengan kelompok diluar
kelompok mereka.
Proses komunikasi yang ada seakan tidak menunjukkan bahwa interaksi antara kedua
kelompok ini tidak begitu terasa di level staf. Hal tersebut disebabkan oleh kedua kelompok
yang terpisah oleh divisi panggung dan setiap divisi panggung yang saling berdiri sendiri
membuat komunikasi tidak begitu kuat bagi para staff di divisi tersebut, walaupun dalam satu
tim pasti masih berisikan anggota dari kelompok berbeda. Tentu saja walaupun antara panitia
di main-stage dan pop-stage tidak begitu sering berinteraksi, komunikasi tetap harus berjalan.
Sebagai sebuah tim, anggota-anggotanya harus tetap menjalin hubungan, tidak hanya sebagai
rekan kerja, namun juga lebih dari itu sebagai upaya dari perluasan hubungan sosial.
Saya menilai, penelitian ini masih terbatas pada realita yang terjadi di lingkup divisi pop-
stage, yang membuat kenyataan yang terjadi di main-stage bisa saja sama atau berbeda,
dimana main-stage lebih banyak berisikan panitia asing. Pandangan panitia lokal dan asing
tentunya berbeda, sehingga menjadi menarik jika turut mencari tahu mengenai realita yang
terjadi di main-stage tersebut. Terakhir, saya melihat keserasian antara kedua kelompok ini
selama penyelenggaraan acara, baik di main-stage dan pop-stage. Ini dibuktikan dengan
bagaimana masing-masing anggota kelompok saling menjaga dan menghargai satu sama lain,
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
bekerja bersama, dan terlebih ketika acara berakhir, dimana seluruh panitia merayakan hasil
jerih payah bersama.
Daftar Pustaka
Alasuutari, P.
1995. Researching Culture: Qualitative Method and Cultural Studies, London : Sage
Allen, J.
2002. Festival and Special Event Management. Sydney : Wiley
Anderson, J.A.
1987. Communication Research : Issues and Methods. New York : Mac- Graw Hill
Barth, F.
1969. Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture Difference.
Waveland Press.
Carey, J. W.
2009. A Cultural Approach to Communication. Communication as Culture. New York:
Routledge.
Chaney & Martin.
2004. Intercultural business communication. New Jersey: Pearson Education. Inc.
Creswell, J,W,
2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Method Approaches.
Thousand Oaks, Calif : Sage Publications
Daphne, J.A,
2007. Reconceptualizing Cultural Identity and its Role in Intercultural Business
Communication. 281-285
Devito, J.A.
1997. Human Communication. New York: Harper Collinc. Colege Publisher.
Eriksen, T.H.
2007. Globalization: The Key Concepts. London : Bloomsbury
Falassi, A.
1987. Time Out of Time: Essays on the Festival. Front Cover. University of New
Mexico Press.
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
Fisher, B.A.
1968. Decision emergence: A process model of verbal task behavior for decision-
making groups. University of Minnesota
Getz, D.
1997. Event Management and Event Tourism. New York : Cognizant Communication
Corp.
Hidayah, Z.
1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Pustaka Obor
Kim, Y.Y.
2005. Adapting to a New Culture: An Integrative Communication Theory.” In
Theorizing about Intercultural Communication, ed. William B. Gudykunst. pp.
375-400. Thousand Oaks, CA: Sage.
2001. Becoming Intercultural: An Integrative Theory of Communication and Cross-
Cultural Adaptation. Thousand Oaks, CA: Sage.
1988. Communication and Cross-cultural Adaptation: An Integrative Theory.
Clevedon, United Kingdom: Multilingual Matters.
Kealey, D.J.
1978. Review on Literature on Stages of Adaptation Presented Inadaptation to A New
Environment. Ottawa, Canada : Canadian International Agency, briefing centre.
Koentjaraningrat.
1990. Sejarah Teori Antropologi I. Depok: Universitas Indonesia Pers
Kunio, Yanagita.
1980. The Legends of Tono. (Ronald A. Morse, Penerjemah). Lexington Books
Lasswell, H.
1948. The Structure and Function of Communication in Society. The Communication
of Ideas. New York: Institute for Religious and Social Studies.
Liliweri, A.
2004. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lippmann, W.
1922. Public Opinion. New York : Macmillan
Littlejohn, S.W; Foss, K.A
1983. Theories of Human Communication. Wadsworth
Mulyana, D. Rakhmat, J,
2003. Komunikasi Antar Budaya. Bandung : Remaja Rosda Karya
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
Poerwadarminta, W.J.S.
1978. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Ruben, B.D. dan Lea P.S,
1998. Communication and Human. Behavior, USA: Allyn & Bacon
Samovar, L.A., Porter, Richard E. & Jain, N.
1981. Understanding Intercultural Communication. Belmont, CA : Wadsworth.
Smith, A.D,
1987. The Ethnic Origins of Nations. Oxford: B. Blackwell.
Soekanto, Soerjono.
1993. Kamus Sosiologi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Spitzberg, B.M.
1994. A model of Intercultural Communication Competence. dalam L. A. Samovar &
R. E. Porter (Eds.), Intercultural communication: A reader. Belmont, CA:
Wadsworth.
1984. Interpersonal Communication Competence. Beverly Hills, CA: Sage.
Sunarwinadi, I.
1993. Komunikasi Antarbudaya. . Jakarta : Universitas Indonesia.
PUBLIKASI
Badan Pusat Statistik.
2011. Kewarganegaraan, Suku bangsa, Agama, Bahasa Sehari-hari Penduduk
Indonesia : Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta : Badan Pusat Statistik
SKRIPSI DAN KARYA ILMIAH YANG TIDAK DITERBITKAN
Effrem, Yuvantius,
2010. Proses Adaptasi Budaya Mahasiswa Perantau (Studi kualitatif pada Mahasiswa
Asal Kupang, Palu, Pringsewu, dan Singkawang di FISIP UI). Skripsi, Tidak
Diterbitkan. Depok : Universitas Indonesia
Kevinzky, M.H.
2011. Proses Dinamika Komunikasi dalam Menghadapi Culture Shock pada Adaptasi
Mahasiswa Perantauan (Kasus Adaptasi Mahasiswa Perantau di UNPAD
Bandung). Skripsi, Tidak Diterbitkan. Depok : Universitas Indonesia.
JURNAL
Ling, S. Wang, L.
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
2013, “The Culture Shock and Cross-Cultural Adaptation of Chinese Expatriates in
International Business Contexts”. International Business Research Canadian
Center of Science and Education. 23-30. Vol. 7 No. 1.
Sanjaya, A.
2013. “Hambatan Komunikasi Antar Budaya Antara Staf Marketing dengan Penghuni
Berkewarganegaraan Australia dan Korea Selatan di Apartemen X Surabaya.”
Jurnal E-Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen
Petra, Surabaya., 252-263. Vol 1 no. 3.
Savitri, L.S.S
2015. “Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya “Jurnal Komunikasi Universitas
Tarumanegara. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, Jakarta
152-167. Vol. 7 No. 2
WEBSITE DAN MEDIA ONLINE
http://www.ennichisaiblokm.com/
http://www.icgp.net
http://clashcosplay.com
http://gayahidup.republika.co.id/berita/gaya-hidup/trend/16/04/04/o53ar7280-festival-budaya-
jepang-terbesar-ennichisai-2016-siap-digelar
https://www.kaorinusantara.or.id/newsline/49487/ada-apa-di-ennichisai-2016
https://www.kaorinusantara.or.id/newsline/53824/ennichisai-2016-harmoni-festival-jepang-
di-selatan-jakarta
https://www.kaorinusantara.or.id/newsline/52332/menuju-grand-final-clash-di-ennichisai-
2016-2
http://news.detik.com/video/160515016/ennichisaifestival-kekerabatan-indonesia-dan-jepang
http://travel.kompas.com/read/2016/05/15/100000927/10.Kuliner.Jepang.Wajib.Coba.di.Festi
val.Ennichisai.Jakarta
http://www.thejakartapost.com/life/2016/05/15/ennichisai-festival-haven-for-japanese-
culture-enthusiasts.html
http://id.animepo.com/2016/05/gelaran-budaya-musik-hibur-pengunjung-ennichisai-2016/
http://id.animepo.com/2016/05/gwicosmo-frea-dan-rian-pemenang-icgp-dan-wakil-indonesia-
untuk-world-cosplay-summit-2016/
http://www.thejakartapost.com/news/2016/05/16/japan-shares-culture-and-traditions-
ennichisai-blok-m.html
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016
https://japanesestation.com/gelaran-budaya-musik-hibur-pengunjung-ennichisai-2016/
https://japanesestation.com/ennichisai-2016-jalan-jalan-kuliner-dan-semua-yang-serba-
jepang/
https://japanesestation.com/serunya-musisi-jepang-hibur-pengunjung-di-pop-stage-ennichisai-
2016/
https://foodrooter.blogspot.co.id/2016/05/ennichisai-miracle-power-of-love.html
http://www.kotakgame.com/berita/detail/35814/Kemeriahan-Malam-Minggu-di-Ennichisai-
2014-Little-Tokyo-Blok-M
https://www.flickr.com/photos/razgriz2520/27040642416/in/photostream/ (Fireworks! Oleh
Abraham Arthemius)
https://www.flickr.com/photos/razgriz2520/26986070911/in/photostream/ (Ennichisai Pop-
Stage oleh Abraham Arthemius)
https://www.flickr.com/photos/razgriz2520/26468983933 (Ennichisai 2016 Main Stage oleh
Abraham Arthemius)
https://www.youtube.com/watch?v=fFan29RkBmk (ICGP 2016 performance by Crusnik
team)
http://www.communicationstudies.com/communication-process
http://www.us.emb-japan.go.jp/jicc/spotfestivals
https://www.japantoday.com/category/lifestyle/view/the-top-10-words-to-describe-japanese-
people-according-to-foreigners
http://www.maps.google.com (Peta Kawasan Blok M, Jakarta Selatan)
Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016