komunikasi dan gender

38
Pendahuluan Televisi dan Budaya Saat ini, menonton televisi sudah menjadi gaya hidup masyarakat modern. Bahkan media televisi menjadi media komunikasi massa yang memiliki jangkauan terluas saat ini. Bahkan George Gerbner menyebut televisi sebagai sebuah “agama baru” dalam keluarga. Televisi katanya telah menggeser nilai-nilai yang telah ada sebelumnya .Televisi dalam hal ini tidak hanya menjadi media komunikasi massa yang memiliki fungsi-fungsi sebagai sarana informasi, hiburan , persuasi, pengawasan namun juga sebagai transmisi budaya. Sebagai transmisi budaya, televisi menjadi sarana bergesernya nilai, norma budaya masyarakat. Karena sifatnya yang massif maka secara langsung maupun tidak, televisi akan selalu memiliki pengaruh terhadap pembentukan pola pikir masyarakatnya, serta media yang kuat dalam penetrasi kebudayaan, bahkan tidak jarang seringkali televisi dianggap sebagai sarang polusi bagi kebudayaan, sarang penciptaan nilai-nilai konsumerisme, hedonism, romantisme yang berlebihan, dan sebagainya. Program televisi juga dapat dilihat sebagai representasi, pembentukan identitas dan cerminan realitas sosial atau bahkan menciptakan cerminan itu di dalam masyarakat (mitos kebenaran). Seperti yang diungkapkan Dr. Philip Kitley bahwa, "belakangan ini televisi menyebarkan secara luas sajian gaya hidup, gaya perilaku, dan representasi diri lebih daripada yang sudah-sudah."

Upload: ronggolawe-flyfree

Post on 26-Jun-2015

1.293 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: Komunikasi Dan Gender

Pendahuluan

Televisi dan Budaya

Saat ini, menonton televisi sudah menjadi gaya hidup masyarakat modern. Bahkan media televisi

menjadi media komunikasi massa yang memiliki jangkauan terluas saat ini. Bahkan George

Gerbner menyebut televisi sebagai sebuah “agama baru” dalam keluarga. Televisi katanya telah

menggeser nilai-nilai yang telah ada sebelumnya .Televisi dalam hal ini tidak hanya menjadi

media komunikasi massa yang memiliki fungsi-fungsi sebagai sarana informasi, hiburan ,

persuasi, pengawasan namun juga sebagai transmisi budaya.

Sebagai transmisi budaya, televisi menjadi sarana bergesernya nilai, norma budaya masyarakat.

Karena sifatnya yang massif maka secara langsung maupun tidak, televisi akan selalu memiliki

pengaruh terhadap pembentukan pola pikir masyarakatnya, serta media yang kuat dalam

penetrasi kebudayaan, bahkan tidak jarang seringkali televisi dianggap sebagai sarang polusi

bagi kebudayaan, sarang penciptaan nilai-nilai konsumerisme, hedonism, romantisme yang

berlebihan, dan sebagainya.

Program televisi juga dapat dilihat sebagai representasi, pembentukan identitas dan cerminan

realitas sosial atau bahkan menciptakan cerminan itu di dalam masyarakat (mitos kebenaran).

Seperti yang diungkapkan Dr. Philip Kitley bahwa, "belakangan ini televisi menyebarkan secara

luas sajian gaya hidup, gaya perilaku, dan representasi diri lebih daripada yang sudah-sudah."

Identitas di sini adalah apa yang menurut Stuart Hall sebagai points of temporary attachment to

the subject positions which discursive practices construct for us. Identitas menjadi sebuah

konstruk sosial yang tidak permanen. Identitas adalah sebuah posisi subyektivitas. Selanjutnya,

posisi di mana kita mengidentifikasikan diri dan diidentifikasi orang lain tidak netral atau setara.

Artinya, kekuasaan bermain dalam menentukan identitas seseorang; masyarakat kontemporer

sering mencari identitas budaya mereka sendiri lewat apa yang disebut Gordon Matthews sebagai

cultural supermarket.

Siaran radio, homepage di internet, film, musik, slogan di t-shirt, makanan, pakaian, karya seni,

dan lain-lain dapat memberikan bahan bagi pembentukan identitas budaya seseorang. Hal ini

menunjukkan bahwa identitas beroperasi lewat kondisi sosial dan material.Begitupun televise

Page 2: Komunikasi Dan Gender

menjadi pasar budaya yang menjual berbagai macam bahan untuk pembentukan identitas

seseorang.

 

Gender dan Penguatannya.

Perbedaan antara wanita dan laki-laki bukan hanya perbedaan biologis, melainkan juga

perbedaan peran gender yang dibentuk dan disosialisasikan oleh masyarakatnya. Gender adalah

suatu istilah konsep yang tidak sama dengan seks atau jenis kelamin. Gender merupakan

seperangkat peran yang diperuntuk untuk laki-laki dan perempuan yang disosialisikan melalui

proses sosial budaya. Gender adalah atribut yang dilekatkan, dikodifikasi dan dilembagakan

secara sosial maupun kultural kepada perempuan dan laki-laki.

Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi

secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional atau

keibuan. Sementara laki-laki dianggap kasar, kuat, perkasa, dan jantan (Fakih, 1999). Gender

adalah seperangkat peran yang menyampaikan pesan kepada orang lain bahwa kita adalah

feminim atau maskulin (Mosse, 1996).

Gender berbeda dengan seks. Seks atau jenis kelamin adalah pensifatan atau pembagian dua jenis

kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.

Misalnya manusia laki-laki adalah manusia yang memiliki penis dan memproduksi sperma.

Perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi seperti rahim alat saluran untuk

melahirkan, memproduksi telur, memiliki payudara, dan memiliki vagina.

Perbedaan anatomi biologis antara laki-laki dan perempuan cukup jelas, akan tetapi efek yang

timbul akibat perbedaan jenis kelamin inilah menimbulkan perdebatan, karena perbedaan jenis

kelamin secara bilogis (Sex) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya

terhadap jenis kelamin inilah yang dinamakan dengan “gender’’.

Laki - laki identik dengan rasionalitas yang mengontrol tubuh bagian kanan, sedang perempuan

identik dengan intuitip dan reseptip yang mengontrol bagian kiri. Oposisi antara rasionalitas

melawan intuitip dan reseptip diterjemahkan menjadi cepat melawan lamban, rasio melawan

intuisi, kanan melawan kiri, gagah melawan cengeng, lemah melawan kuat dan kategorisasi –

Page 3: Komunikasi Dan Gender

kategorisasi lain yang tidak sekedar merendahkan kedudukan perempuan, tetapi juga

mensubordinasi perempuan.

Isu gender selalu ingin menyetarakan perempuan dalam konteks global maupun lokal. Semua

pengetahuan mengenai bagaimana perempuan mengalami penindasan ini dapat kita amati

melalui fenomena kekerasan dalam rumah tangga, pembentukan stereotip akan peran perempuan

dan laki-laki, serta diskriminasi salah satu gender dalam lingkungan .

Gender merupakan produk budaya, di mana konstruksi sosial dan budaya akan peran laki-laki

dan perempuan dibentuk dan diwacananakan. Gender terbentuk dalam jaringan-jaringan

pengetahuan yang pada akhirnya akan merugikan salah satu pihak, sehingga muncullah

ketidaksetaraan gender.

Lingkungan yang paling kecil, seperti keluarga pun menjadi media pembentukan gender.

Seringkali kasus ketidakadilan gender bermula dari keluarga. Seperti pendidikan pada anak,

perlakuan terhadap anak sampai pada peran istri dan suami di dalam keluarga.

Membahas mengenai peran sangat terkait dengan isu gender. Bagaimana peran istri bisa

dikonstruksikan hingga menjadi pengetahuan yang sepertinya alamiah bahwa peran istri adalah

‘’dapur,sumur,kasur’’, menurut istilahnya yang secara tidak langsung menempatkan peran istri

hanya dalam sektor domestik saja.

Semua peran ini pun terus diproduksi dan diperkuat melalui media, seperti televisi dan radio

maupun majalah.

Televisi (TV) sebagai media komunikasi massa merupakan media yang strategis dalam

sosialisasi nilai dan gagasan. TV pun mempunyai pengaruh dalam pembentukan karakter

individu dan mampu mendorong individu untuk meyakini suatu standar kebenaran. "Kebenaran"

yang disosialisasikan TV dapat menjadi frame of references pemirsa.

Manifestasi ketidakadilan gender

1. Marginalisasi

Proses terjadinya Marginalisasi bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama,

Page 4: Komunikasi Dan Gender

tradisi dan budaya, dan bahakan asumsi ilmu pengetahuan.

2. Gender Dan Subordinasi

Anggapan bahwa Perempuan itu lemah, irrasional, emosional, dll. Mengakibatkan perempuan itu

tidak bisa tampil dalam ruang publik ataupun menjadi memimpin. Perempuan selalu

tersubordinasi atau nomor dua.

3. Gender Dan Stereotipe

Pelabelan negati dalam masyarakat. Manja, lemah, wanita penghibur, penggoda, perempuan

malam dsb.

4. Gender Dan Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invansi terhadap integritas mental, psikologi

seseorang. Kekerasan ini biasanya terjadi karena adanya bias gender.

5. Gender Dan Beban Kerja (double burden)

Karena perempuan di stereotipe-kan berada pada wilayah domestik, maka perempuan lebih

banyak menanggung beban untuk pemeliharaan rumah dan krapaihannny. Terlebih beban kerja

tersebut bisa mendaji dua kalilipat kalau mereka bekerja di luar rumah.

Masalah yang ingin dibahas

Dilatarbelakangi oleh isu gender ini, maka makalah ini disusun dengan semangat emansipatoris

dari penulis untuk memandang kritis wacana gender dalam dunia pertelevisian saat ini.

Masalah yang ditemui adalah ‘’Bagaimana isu gender dimasukkan dalam sebuah program

televisi?’’, terutama dalam hal ini mengenai isu peran suami istri dalam keluarga melalui sebuah

Komedi Situasi Suami-Suami Takut Istri, yang beberapa bulan ini hadir di layar kaca kita.

Komedi Situasi yang selalu mengambil tema mengenai permasalahan rumah tangga ini

menggambarkon kondisi suami yang didominasi oleh istri. Tentu saja tema memiliki banyak

interpretasi. Oleh karena itu penulis ingin menunjukkan adanya isu ketidaksetaraan gender di

dalam Komedi Situasi ini dan bagaimana pembentukan stereotip lahir di dalam tayangan ini.

Sekilas mengenai Komedi Situasi Suami-Suami Takut Istri 

Page 5: Komunikasi Dan Gender

Sitkom yang ditayangkan oleh TRANS TV ini berjudul Suami-suami Takut Istri, digarap oleh

Rumah Produksi Multivision Plus di bawah arahan sutradara Sofyan De Surza. Program ini

tayang setiap Senin hingga Jumat, pukul 18.00 WIB, sejak 15 Oktober 2007.

Sitkom yang tujuannya ingin memberikan hiburan yang bermutu dan merakyat ini diperankan

oleh Otis Pamutih sebagai Sarmili (Pak RT), Aty Fathiyah sebagai Sarmila (Bu RT), Marissa

sebagai Sarmilila, Irvan Penyok sebagai Karyo, Putty Noor sebagai Sheila, Yanda Djaitov

sebagai Tigor, Asri Pramawati sebagai Welas, Ramdan Setia sebagai Faisal, Melvy Noviza

sebagai Deswita, Epy Kusnandar sebagai Mang Dadang, Desi Novitasari sebagai Pretty, Ady

Irwandi sebagai Garry.

Suami-suami Takut Istri mengangkat fenomena suami-suami yang tinggal di suatu area

perumahan. Mereka semua memiliki kesamaan yaitu berada di bawah dominasi istri-istri mereka.

Perasaan ‘senasib sepenanggungan’ ini tumbuh makin kuat,sehingga mereka membentuk aliansi

tidak resmi bagi suami-suami yang takut istri ini.

Mereka saling mendukung dan mencela. Saling menguatkan agar tidak lagi mau ditindas,

walaupun seringkali sang pemberi nasihat justru masih takut istri juga. Para istri di komplek

perumahan tersebut juga membentuk perkumpulan yang sama. Mereka saling memberi

dukungan agar tidak kehilangan kendali atas suami-suami mereka.

Kedatangan Garry dan Cynthia, calon suami istri, yang juga akan tinggal di komplek perumahan

tersebut membawa harapan baru. Bagi para suami, Garry adalah harapan untuk melepaskan diri

dari belenggu istri. Karena mereka sendiri sudah terlanjur berada dalam belenggu itu.

Kubu istri juga tidak mau kalah. Mereka sering bertemu untuk bertukar pikiran mengenai trik

terbaik menaklukkan suami-suami. Pertemuan-pertemuan ini seringkali mengharuskan para

suami terusir dari rumah mereka sendiri. Mengalah demi sang istri. Adapula Pretty, seorang

janda kembang yang menjadi bulan-bulanan ibu-ibu perumahan. Stigma sosial atas statusnya

sebagai janda, membuatnya dijauhi ibu-ibu, dan didekati suami-suami.

Page 6: Komunikasi Dan Gender

Pembahasan

Pernikahan dan Gender dalam Realita Sosial

Pernikahanan adalah bersatunya seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami

isteri untuk membentuk keluarga. Pada umumnya masing-masing pihak telah mempunyai pribadi

sendiri yang telah terbentuk. Karena itu untuk dapat menyatukan satu dengan yang lain perlu

adanya saling penyesuaian, saling pengertian dan hal tersebut harus disadari benar-benar oleh

kedua pihak yaitu oleh suami-isteri (Walgito, 1984). Selanjutnya diungkapkan bahwa salah satu

syarat yang penting dalam suatu perkawinan adalah faktor psikologis, yang meliputi kematangan

emosi, pikiran, sikap toleran, sikap saling pengertian antara suami dan isteri, sikap saling

percaya-mempercayai dan sikap saling bantu-membantu dalam meringankan tugas antara suami

dan isteri.

Pentingnya peranan suami dalam kegiatan rumah tangga akan membantu menyelamatkan isteri

dari kelebihan peran yaitu peran dalam keluarga dan peran dalam masyarakat, sehingga dengan

demikian isteri merasa dihargai dan suasana keluarga akan lebih baik. Seperti yang diungkapkan

oleh Sobur dan Septiawan (1999) bahwa bila suami ikut terlibat dalam kegiatan rumah tangga,

minimal isteri akan merasa terbantu karena perhatian suami. Apalagi jika isteri adalah seorang

pekerja, ada nilai kemandirian yang harus diterima oleh suami dalam kehidupan rumah tangga

tersebut.

Pada kenyataannya, dewasa ini masih banyak suami yang melimpahkan tugas-tugas rumah

tangga hanya pada isteri. Selama generasi yang ada perempuanlah yang mengerjakan pekerjaan

rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan mengasuh anak. Pria bertugas melakukan

pekerjaan di luar seperti mencari nafkah, melindungi keluarga, memeriksa dan mengawasi

ternak, dan sebagainya.

Peran Gender

Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat bahwa keterlibatan suami sangat dipengaruhi oleh

pandangan normatif yang berlaku dalam masyarakat yang sesuai dengan peran jenisnya. Menurut

Page 7: Komunikasi Dan Gender

peran jenis yang stereotip bagi laki-laki, mandiri adalah wajar bagi anak laki-laki, sedangkan

sikap tergantung adalah tepat untuk anak perempuan.

Hal seperti ini secara tradisional sudah ditanamkan dalam benak individu tentang kekhasan

perilaku seorang perempuan (feminin) dan kekhasan perilaku seorang laki-laki (maskulin), yang

oleh Hurlock disebut dengan peran gender dan yang akhirnya akan membentuk suatu pendapat

yang dapat menjadi suatu norma dalam masyarakat. Masyarakat berpendapat bahwa perempuan

secara badaniah berbeda dengan laki-laki, misalnya perempuan melahirkan anak, suaranya

lebih halus, buah dadanya lebih besar dan sebagainya.

Karena keadaan fisik ini,Budiman (1981) menyatakan bahwa perempuan berbeda secara

psikologis dengan laki-laki, dimana perempuan lebih emosional, lebih pasif dan lebih submisif

sedangkan laki-laki lebih rasional, lebih aktif dan lebih agresif. Pendapat yang ada dalam

masyarakat mengenai peran gender tercermin dalam sikap orang tua dan orang dewasa lainnya

yang muncul dalam lingkup rumah tangga. Pendapat mengenai peran gender yang menjadi

norma dalam suatu masyarakat akan membentuk pandangan yang bersifat normatif. Pandangan

normatif mengenai bagaimana seharusnya hubungan peran antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan yang dikaitkan dengan kultur budaya yang disebut sebagai gender role ideology

(William & Best, 1990).

Selanjutnya dijelaskan bahwa pandangan mengenai peran gender ini bervariasi sepanjang suatu

kontinum, dimulai dari pandangan tradisional sampai dengan pandangan modern yang menolak

norma-norma yang berlaku secara tradisional dan menerima prinsip-prinsip egalitarian atau

kesetaraan.

Berdasarkan pandangan tradisional, peran utama laki-laki adalah sebagai penguasa utama rumah

tangga yang memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga. Dengan demikian

anggota keluarga lain termasuk isteri harus tunduk kepada penguasa utama tersebut. Laki-laki

dalam posisinya sebagai suami dan ayah merupakan figur sentral dalam keluarga. Kewibawaan,

harga diri,dan status ayah atau suami harus dijaga oleh anggota keluarga karena atributatribut

tersebut sangat menentukan status dan kedudukan keluarga dalam masyarakat ( Kusujiarti, dalam

Abdullah, 1997 ).

Page 8: Komunikasi Dan Gender

Keterlibatan Suami dalam Kegiatan Rumah Tangga

Teori yang membahas keterlibatan suami dalam kehidupan rumah tangga

menurut Strong & De Vault ( 1989 ) adalah :

a. Structural Functionalism

Teori ini memandang masyarakat sebagai sistem yang terdiri atas bagian

yang saling berkaitan (Fakih, 1996). Masing-masing struktur dalam masyarakat

seperti agama, pendidikan, struktur politik dan rumah tangga, secara terus menerus

mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni. Adapun interrelasi terjadi karena

adanya konsensus. Pola yang non normatif dianggap akan melahirkan gejolak. Jika

hal itu terjadi maka masing-masing bagian akan cepat menyesuaikan diri untuk

mencapai keseimbangan kembali.

Jika suami terlibat dalam urusan rumah tangga, akan terjadi pola yang non

normatif yaitu suami sesuai dengan sifat instrumental yang mampu bersaing, teguh,

yakin pada kemampuan diri dan rasional, lebih mendukung fungsi suami untuk

sukses di dunia luar rumah (Strong & De Vault, 1989).

b. Conflict theory.

Dalam keluarga, terjadi konflik antara cinta dan kasih sayang dengan

kekuasaan. Hal ini disebabkan karena individu yang terlibat dalam keluarga adalah

individu yang masing-masing memiliki kepribadian, minat dan tujuan yang berbeda.

Suami merasa mendapat legitimasi kekuasaan dan isteri tergantung secara

keuangan dengan suami, sehingga suami mengalami konflik antara melestarikan

kekuasaan dan membantu pekerjaan rumah tangga untuk membuktikan rasa cinta

terhadap isteri.

c. Symbolic Interaction Theory.

Suami dapat menyalahartikan gerakan atau ucapan yang diungkapkan oleh

pasangan. Simbol-simbol yang tampak seringkali tidak dimengerti oleh suami, akibat

komunikasi yang kurang terbuka antar pasangan. Dengan adanya berbagai peran

yang disandang oleh individu, membutuhkan keterbukaan dan penyesuaian baru

yang selaras dengan situasi, harapan dan kebutuhan bersama, sehingga tercipta

kerja sama yang baik dalam menyelesaikan tugas dalam rumah tangga.

Page 9: Komunikasi Dan Gender

d. Family Systems Theory.

Sistem kekeluargaan yang terdapat dalam setiap keluarga tidaklah sama,

seperti dukungan isteri dan masyarakat mengenai setuju atau tidaknya suami ikut

serta dalam kegiatan rumah tangga. Persetujuan ini diberikan tergantung dari latar

belakang budaya yang dianut isteri dan masyarakat. Menurut Abdullah (1997),

dalam masyaraka Jawa dianut paham patriarkis yang memihak kepada kaum lakilaki

dan menekankan peranan perempuan sebagai ibu dan isteri. Hal ini menghalangi

suami untuk turut terlibat dalam urusan rumah tangga, karena rumah tangga

merupakan wilayah isteri.

e. Social Exchange Theory.

Dalam teori ini, segala kegiatan didasarkan atas perhitungan untung-rugi.

Bantuan yang diberikan oleh suami, diperhitungkan merupakan hal yang

menguntungkan atau merugikan suami. Keuntungan yang didapat tidak saja dalam

bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk cinta, persahabatan, kekuasaan, status sosial

dan lain-lain. Kerugian yang mungkin terjadi misalnya dalam bentuk kesepian,

ketakutan dan kurangnya penghargaan. Dengan mengadakan komitmen yang harus

disetujui bersama, rasa persaingan antara suami-isteri dapat diatasi.

Dari beberapa teori tersebut dapat disimpulkan bahwa keterlibatan suami

dalam rumah tangga ditentukan oleh :

a. Pandangan masyarakat yaitu pantas tidaknya seorang suami ikut terlibat dalam

kegiatan rumah tangga sesuai norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut

dan latar belakang budaya.

b. Adanya komitmen yang harus disetujui bersama oleh pasangan suami-isteri

dengan cara kompromi dan saling terbuka antara pasangan tersebut.

c. Adanya sikap saling menghargai antara suami dan isteri sebagai perwujudan atas

rasa cinta.

Perkembangan Pembentukan Identitas Peran Gender

Sejak kanak-kanak individu diperlakukan berbeda, untuk menjamin individu

dapat menjalankan tugas peran sosialnya pada masa dewasa. Teori yang membahas

mengenai perkembangan pembentukan identitas peran gender, diantaranya adalah :

Page 10: Komunikasi Dan Gender

a. Teori Psikoanalisa

Tokoh utama dari aliran psikoanalisa adalah Sigmund Freud, yang berpendapat bahwa

perkembangan peran gender pada anak terjadi karena adanya proses identifikasi anak pada orang

tua yang berjenis kelamin sama. Proses terjadi pada tahap perkembangan phalic, yaitu antara dua

setengah tahun sampai enam tahun, pada waktu itu anak mengalami konflik yang kemudian

mempengaruhi perkembangan peran gendernya. Proses identifikasi ini merupakan ikatan yang

didasarkan pada kebutuhan anak untuk dicintai dan ketakutan anak terhadap orang tua.

b. Teori Belajar Sosial ( Social Learning Theory )

Berasal dari aliran behaviorist yang menerangkan tingkah laku lebih ditekankan pada hal-hal

yang dapat diamati dan konsekuensi yang menyertai, dibandingkan hal-hal yang merupakan

perasaan-perasaan atau dorongan dari dalam. Anak belajar melalui proses imitasi dan melalui

ganjaran terhadap tingkah laku yang konsisten dengan jenis kelamin.

Teori ini berpendapat bahwa anak belajar mengabstraksikan informasi dan perilaku orang lain,

mengambil keputusan mengenai perilaku mana yang akan ditiru (imitasi), kemudian melakukan

perilaku yang telah dipilih. Hubungan antara pribadi anak dengan orang dewasa, menyebabkan

anak meniru atau menyerap perilaku social misalnya anak laki-laki boleh berbuat kasar, boleh

lebih aktif, lebih rebut daripada anak perempuan; sedangkan anak perempuan diharapkan lebih

berperasaan halus dan bersikap tidak kasar. Dengan demikian modeling atau mengamati perilaku

orang lain membuat anak belajar membentuk peran gender.

c. Teori Perkembangan Kognitif ( Cognitive Developmental Theory )

Teori ini memusatkan perhatian pada aktivitas anak dalam menginterpretasikan pesan yang

diterima dari lingkungan. Lawrence Kohlberg (dalam Berk, 1989) berdasarkan rumusan Piaget,

berpendapat bahwa perkembangan identitas peran gender dimulai dengan gender constancy.

Seseorang lebih dulu menjalani kategorisasi diri sendiri yang kognitif, yaitu mengenal diri

sendiri sebagai laki-laki atau perempuan, baru sesudahnya pengaruh lingkungan mulai tampak.

Pada saat anak berusia dua tahun, anak dapat mengidentifikasi diri dengan orang lain dengan

benar sebagai laki-laki atau perempuan, tetapi anak cenderung mendasarkan pada hal-hal yang

tampak saja seperti panjang rambutnya atau pakainnya, tidak dapat dengan ciri-ciri biologis

berdasarkan jenis kelamin.

Page 11: Komunikasi Dan Gender

Reinforcement tidak dapat membuat pengertian tersebut, sebab kemampuan anakterbatas sesuai

dengan tahap perkembangan kognitif individu. Pada usia enam atau tujuh tahun, anak mulai

paham bahwa jenis kelamin

bersifat tetap, tidak dapat berubah seperti contoh mengganti baju. Anak dapat mengerti bahwa

karakter dasar tidak dapat berubah, sebab anak memiliki kemampuan untuk mencapai ide

tersebut. Anak belajar secara mandiri berusaha untuk menampilkan tingkah laku sebagai anak

laki-laki atau anak perempuan yang diharapkan. Anak melakukan ini sendiri sebab adanya

kebutuhan dari dalam untuk keseimbangan antara apa yang anak tahu dan bagaimana anak

menampilkannya. Model dan reinforcement menolong agar anak mengetahui sejauh mana yang

dilakukan sesuai dengan orang lain, tetapi motivasi dasar adalah bersifat internal.

d. Teori Skema Gender ( Gender Schema Theory )

Bem (dalam Berk, 1989) mengemukakan bahwa pengenalan jenis kelamin didasarkan pada

proses penyerapan informasi dari lingkungan oleh anak, yang didasarkan pada skema gender.

Skema peran gender mengandung dimensi sosial dan intelektual, merupakan suatu jaringan yang

saling berhubungan dan membentuk bagain dasar dari kerangka konseptual seseorang individu

mengenai peran gender.

Menurut Bem, setiap individu berbeda dalam derajat penggunaan skema peran gender untuk

memproses informasi mengenai diri mereka sendiri dan orang lain. Konsep diri seseorang pada

akhirnya berasimilasi dengan skema gender. Evaluasi diri disusun disekitar penilaian seberapa

jauh diri sendiri dipersepsikan serupa dengan skema gender. Lebih lanjut dijelaskan bahwa anak-

anak yang mempunyai kepercayaan stereotip dan persepsi diri kuat, skema gender tampil

ekstrim. Jika lingkungan tidak melebih-lebihkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, anak

akan menggunakan skema peran gender dengan derajat yang ringan. Hal ini memungkinkan

seseorang tidak langsung digolongkan sebagai maskulin dan feminin, sehingga timbul

kemungkinan baru yaitu androgini yang menggunakan skema dengan ruang lingkup lebih

terbatas dan pada hal-hal yang relevan saja.

Sebagai kesimpulan dari teori-teori di atas, faktor-faktor biologis merupakan dasar bagi

perkembangan tingkah laku spesifik laki-laki atau perempuan; sedangkan proses belajar sosial

sejak awal telah menyumbang pada pembentukan identitas kelamin melalui norma-norma sosial

Page 12: Komunikasi Dan Gender

yaitu penilaian apa yang baik atau tidak baik bagi anak laki-laki atau perempuan, baik melalui

imitasi maupun secara kognitif.

Analisis Umum

Di dalam Sitkom Suami Suami Takut Istri ini kita dapat melihat adanya suatu stereotip tentang

tipikal istri-istri yang ditakuti oleh suaminya, dan juga gambaran sebaliknya, yakni tentang suami

yang takut kepada istrinya. Tipikal istri yang ditakuti oleh suaminya dideskripsikan sebagai istri

yang bersifat judes, galak, bersifat mengatur dan memiliki raut wajah yang keras, dan

perilakunya cenderung mendominasi sang suami dalam kehidupan kesehariannya, caci maki

yang sering dilontarkan oleh sang istri kepada suami juga menguatkan kesan ini.

Sedangkan jika kita melihat pada tokoh suami, kita dapat tipikal melihat tokoh suami yang takut

kepada sang istri yang digambarkan sebagai lelaki yang pembawaan wataknya cenderung lunak,

takut, dan penurut kepada para istri. Namun keadaan mereka yang selalu berada dibawah tekanan

sang istri (hal ini muncul sebagai konflik pada diri masing-masing suami) menimbulkan suatu

keinginan untuk berusaha bangkit dan membalikkan keadaan. Namun, gambaran stereotip

tentang suami-suami yang takut istri ini benar-benar menggambarkan ketidakberanian secara

penuh dari para suami untuk membalikkan keadaan karena rasa takut yang mereka miliki lebih

besar daripada keinginan mereka untuk bertindak.

Stereotip-stereotip tentang hubungan suami istri ini merupakan potongan gambaran fenomena

sosial yang memang ada dan terjadi di masyarakat. Namun, gambaran-gambaran yang

ditampilkan di layar televisi tersebut cenderung melebih-lebihkan jika dibandingkan dengan apa

yang terjadi pada realitas kita. Penampilan dan tingkah laku para istri yang memang memiliki

sifat galak dan judes tidaklah selalu merupakan tipikal istri yang menindas dan mendominasi

suami, tipikal tersebut sebenarnya bermacam-macam, tidak terpaku pada kualitas-kualitas sifat

tersebut saja. Dan suami yang cenderung penurut dan dan berkesan sedikit penakut, tidak selalu

merupakan pihak yang ditindas istri dan selalu menurut apa kata istri.

Gambaran “realitas sosial” yang diangkat oleh Trans TV mengatakan bahwa wanita memiliki

kapasitas yang sama dalam kehidupan. Dalam sebuah keluarga, laki-laki memiliki peran sebagai

kepala keluarga. Namun dibalik itu semua, perempuan juga memegang peran yang penting

Page 13: Komunikasi Dan Gender

dalam mengatur jalannya rumah tangga. Keadaan yang lumrah tersebut digambarkan terbalik di

dalam komedi situasi “Suami-Suami Takut Istri”.

Gambaran istri di dalam komedi situasi ini, dinilai terlalu berlebihan. Dalam hal ini media terlalu

menayangkan suatu program yang sangat frontal dalam pembentukan stereotip seorang istri.

Walaupun penindasan yang terjadi bukanlah seperti pada tayangan yang biasanya, namun prinsip

ketidakadilan gender tetap saja dirasakan di dalam komedi situasi ini. Perempuan dicitrakan

sebagai seseorang yang penuh emosional, tidak ramah kepada suami dan cenderung posesif.

Sementara itu, laki-laki cenderung sibuk dengan urusan perempuan. Seperti yang diungkapkan

dalam buku “why women cannot read maps and man dont listen” dalam sebuah penelitiannya

bahwa 90 % isi otak laki-laki adalah seks. Para tokoh suami pada komedi situasi tersebut,

diceritakan tergoda oleh seorang janda cantik dan saling menyusun rencana untuk bisa

mendekatkan diri dan mendapatkan perhatian dari sang janda cantik. Karena dorongan seksual

tersebut, para suami terlihat bodoh dan terlihat bahwa perilaku laki-laki terdorong oleh motif

seks. Sementara para istri, seperti kodratnya mencoba untuk menjaga dan mempertahankan

stabilitas rumah tangga karena adanya ancaman—yaitu sang janda. Pada situasi ini,

tergambarkan bahwa wanita memiliki peran yang sama pentingnya dalam keluarga. Namun tetap

saja hal ini bukanlah sesuatu yang banyak terjadi di dalam realita sosial. Kalaupun ada, tetapi hal

itu tidak akan berlangsung setiap hari. Ada kalanya suami memegang kendali dan ada kalnya

istri yang memegang kendali.

Kami akan mecoba menganalisis secara umum komedi situasi ini menggunakan teori strukturasi

gender, struktur dominasi gender terjadi melalui penundukan agen wanita oleh agen pria dan

agen pemilik modal (biasanya juga agen pria) dengan menggunakan struktur signifikasi dan

strukturlegitimasi.

Struktur dominasi gender terjadi dalam interaksi kekuasaan dengan menggunakan komunikasi,

sanksi, dan kekerasan berdasarkan modalitas fasilitas (alokatif dan otoritatif), skema interpretasi,

norma, dan seksualitas. Dalam teori strukturasi gender, proses ideologis untuk menyembunyikan

wajah dominasi gender agen pria terjadi melalui proses naturalisasi kekerasan terhadap agen

wanita sebagai bagian dari praktek sosial yang wajar dan normal.

Page 14: Komunikasi Dan Gender

Proses naturalisasi untuk "menormalkan" struktur dominatif-represif itu dilakukan melalui

politisasi relasi gender dan purifikasi kognisi gender. Politisasi relasi gender mewujud dalam

bentuk pembagian kerja (division of labour) secara seksual dan justifikasi terhadap relasi

heteroseksual. Purifikasi kognisi gender dilakukan dengan peneguhan stereotipe peran gender

melalui media massa, eksklusi dan marjinalisasi wanita dari narasi publik, serta dikotomisasi

domain publik-privat.

Kekerasan fisik jelas terlihat sekali di dalam komedi situasi ini, kekerasan verbal pun kentara.

Semua ini terstrukturasi di dalam komunikasi suami- istri yang dipertontonkan di dalam

tayangan ini. Sanksi-sanksi dari istri kepada suami perlahan menimbulkan peneguhan akan

dominasi istri.

Analisis Pembentukan stereotip yang terjadi pada stikom Suami – suami takut istri

Dari judulnya saja komedi situasi ini, sepintas memperlihatkan kekuatan wanita di

banding laki – laki di dalam berumah tangga, tapi bila ingin melihat lebih dalam komedi situasi

ini lebih mengarah kepada pembentukan mengenai cara – cara untuk menjadi istri – istri yang di

takuti suami. Kalau kita melihat dari judul seperti kelihatannya ada perbedaan pandangan yang

selama ini laki –laki yang mendominasi wanita tapi di komedi situasi ini malah terbalik

wanitalah yang menguasai lelaki. Awalnya seperti ada pembaruan tapi bila melihat dari jinggel

lagunya, watak istri yang di seragamkan, dan kenapa watak suami yang juga di seragamkan

stikom ini malah terkesan menjelekan citra wanita yang sudah menikah. Dan membuat penonton

menjadi terinspirasi untuk mengikuti watak – watak istri yang sepeti apa yang akan di takuti

suami.Pemilihan kata- kata di dalam judul juga terlihat bukan kesetraan yang di junjung tapi

jelas bahwa ada pihak yang tertekan dan satu pihak lagi menekan.

Jinggle lagu dalam komedi situasi Suami-Suami Takut Istri

Takut sama istri sendiri kok malah takut

Ciut sama istri sendiri kok malah ciut

Emank enak, rasain lo...

Makanya jangan macam – macam sama perempuan.

Page 15: Komunikasi Dan Gender

Jinggle lagu ini terkesan mengejek suami – suami ini yang takut sama istri. Dalam jinggle ini

pun sebenarnya masih ada terkesan bahwa harusnya laki – laki yang memegang kendali terhadap

perempuan, dan betapa di film ini benar –benar membentuk watak seorang istri yang akan di

takuti oleh suami tapi dengan membentuk watak – watak yang menyeramkan sehingga keluarnya

bukan segan dan menghargai istri tapi malah ketakutan sama istri.

Jinggle ini dapat dianalisis lebih lanjut. ’’perkataan ’’jangan macam-macam sama perempuan’’,

menunjukkan adanya ancaman dari perempuan kepada suami, di dalam realitanya kita sering

melihat adanya penindasan terhadap perempuan bahkan kekerasan dalam rumah tangga

seringkali terjadi pada perempuan. Namun mungkin kali ini media ingin menayangkan sesuatu

yang tidak biasanya, dan ingin menunjukkan bahwa tidak hanya laki-laki yang bisa

mendominasi. Sebenarnya apa yang lebih menarik untuk dianalisis adalah mengapa pembalikan

ini tidak disertai dengan kepekaan terhadap isu gender. Masih saja ada penggambaran-

penggambaran terhadap stereotip perempuan dan laki-laki.

Bukankah konsep kritis dari isu gender adalah ingin menuju pada kesetaraan gender. Kesetaraan

terhadap konstruk sosial mengenai perempuan dan laki-laki yang ada dalam budaya masyarakat

kita saat ini. Tetapi yang terjadi dalam komedi situasi ini justru pembentukan kembali gender

tersebut. Media mulai mengonstruksikan kembali stereotip streotip mengenai istri dan suami.

Peran laki-laki dan perempuan digambarkan kembali. Media justru terjebak pada nilai-nilai dan

tujuan sosial yang ingin diperolehnya atau bahkan media tidak menyadari akan hal ini. Isu

gender menjadi komoditi yang menguntungkan bagi pebisnis media.

Konsep – konsep yang terbentuk di dalam komedi situasi ini

Konsep istri yang akan di takuti suami

Dalam film ini ada 4 keluarga yang semua istrinya memiliki watak yang sama di dalam

memperlakukan suami, walaupun istri – istri ini berasal dari suku yang berbeda – beda yaitu dari

suku jawa keraton yang identik dengan watak wanita yang lembut bahkan cendrung lambat, dari

suku betawi dimana mengambarkan wanita yang cerewet dan ceplas ceplos, dari suku padang

yang menggambarkan wanita yang pelit, dan dari suku jawa tapi dia lebih tegas di banding

dengan jawa keraton.

Page 16: Komunikasi Dan Gender

Walaupun istri – istri ini dari latar belakang yang berbeda tapi semua wataknya sama dalam

memperlakukan suami, seperti:

1. Menghukum mereka kalau buat kesalahan ( istri yang betawi suka mengurung suami di

kamar mandi bila suami berbuat salah), istri yang dari suku pada cendrung mengusir

suami dari rumah bila suami berbuat salah), (istri yang suku jawa dua – duanya

mengunakan cara yang sama dalam menghukum suami yaitu tidak di beri “jatah” dan

tidur di luar kamar bila suami berbuat salah).

2. Perbuatan Nonverbal. Keempat istri ini memiliki kesamaan seperti melotot kepada suami

agar suami mengikuti keinginan istri,

3. Melakukan kekerasan fisik seperti melempar suami dengan bantal , selimut, dan benda –

benda ringan lainnya, menjewer dan memukul suami bila suami berbuat salah.

4. Ciri khas yang menjadi andalan istri yang betawi kepada suaminya adalah dengan

mengancam indin memotong “anunya” dengan memperaktekkan memotong wortel

dengan pisau menjadi gua bagian sambil melihat suaminya.

5. Dari perkataan verbal. Keempat istri ini semuanya cerewet, dan melakukan ancaman –

ancaman dan pembentakan juga memanggil suami dengan teriak – teriak bila suami

berbuat salah.

Jadi secara tidak langsung komedi situasi ini membentuk konsep istri yang akan di takuti

suami. Bila ia berbuat seperti itu kepada suami, bahwa isri yang judeslah yang akan di takuti

suami, dan ada terkesan semua wanita akan menjadi judes bila sudah berkeluarga. Bisa jadi itu

yang akan ditangkap oleh penonton.

Hal ini jelas sekali menggambarkan perempuan secara negatif. Perempuan selalu didekatkan

dengan gossip, emosional dan tidak ramah. Gambaran terhadap perempuan di sini jelas sekali

dalam setiap adegan. Konsep perempuan sebagai istri menjadi negatif. Tayangan ini jelas sekali

akan terus memberikan peneguhan akan ketidakrasionalan perempuan.

Kami melihat hal ini tidak sewajarnya. Pengonstruksian terhadap perempuan lambat laun

akan menghegemoni masyarakat kita. Secara tidak disadari, media sebenarnya telah

memasukkan pengetahuan-pengetahuan baru akan konsep perempuan. Wacana akan perempuan

Page 17: Komunikasi Dan Gender

akan semakin ramai dan tentu saja tetap dengan pelabelan yang negatif. Perempuan yang

seharusnya menjadi subjek, justru menjadi objek di dalam komedi situasi ini. Walaupun mereka

aktif namun tetap saja media telah menjadikan konsep perempuan yang baru ini sebagai isu yang

menjadi komoditas media.

Dominasi ini memang tidak jelas terlihat dalam tayangan ini, namun pengonstruksian yang

negatif terhadap perempuan maupun laki-laki jelas merupakan dominasi media terhadap

masyarakat. Lebih jauh lagi ini akan terus merasuk di dalam masyarakat sehingga muncullah

stereotip-stereotip baru tadi. Yang jelas-jelas dalam kenyataannya, tidaklah seekstrim itu.

Konsep tentang watak suami

Di dalam komedi situasi ini digambarkan bahwa keempat suami ini takut dan bertekuk

lutut pada istri, tapi takut hanya bila didepan para istri bila istri – istrinya tidak ada mereka malah

berani macam – macam. Para suami itu pun memiliki karakter yang sama bahwa mereka

terobsesi dengan janda seksi yang tinggal di daerah tempat tinggal mereka. Semua para suami ini

selalu bersaing untuk mendapatkan simpati si janda seksi tersebut. Di atas menggambarkan

bahwa sebenarnya laki – laki akan cenderung tidak setia pada istri. Dan suka main rahasia di

belakang istri

Konsep takut muncul sebagai reaksi suami atas perlakuan istri yang terlalu emosional.

Pada dasarnya naluri laki-laki sebagai petualang cinta jelas tergambar di dalam komedi situasi

ini. Seandainya istri tidak emosional dan ramah pada suami maka suami tidak akan mencari

pelarian. Kata-kata ’’pelarian’’ merupakan usaha suami dalam mencari kedamaian di tempat

lain. Istri menjadi momok yang menakutkan, istri bukannya menjadi seseorang yang diidamkan

melainkan sosok yang tidak lagi mampu memberikan rasa aman. Jatuhnya adalah pelarian

terhadap perempuan lain. Peran istri dinilai tidak bisa menjaga suami, walaupun dalam beberapa

adegan suami pada akhirnya akan takut pada istri tapi tetap saja hal ini karena paksaan istri.

Sejatinya, suami tetap akan mengidamkan janda seksi tetangga mereka tersebut. Suami

pun jadi semakin terlihat tidak mampu memegang kendali di dalam keluarga. Bukannya memang

seharusnya yang memegang kendali adalah keduanya. Apa yang bisa dilihat di sini adalah,

bahwa dalam hubungan suami istri tetap saja seharusnya ada yang memegang kendali entah itu

perempuan maupun laki-laki. Inilah yang kami rasa ingin disampaikan oleh media, atau ini

Page 18: Komunikasi Dan Gender

merupakan interpretasi kami terhadap pesan yang terkandung di dalam komedi situasi ini. Media

tetap merasa bahwa keluarga akan baik-baik saja bila ada dominasi dari salah satu pihak.

Dominasi ini yang jelas sekali digambarkan, hanya saja bedanya seolah-olah dominasi ini

muncul dari pihak perempuan.

Tetap saja kesetaraan belum ada di dalam komedi situasi ini. Sekali lagi, tetap saja ada

pengonstruksian sosial akan laki-laki. Gender sangat kental bermain di dalam area ini. Belum

ada kepekaan gender dari pihak media.

Konsep perempuan idaman dimata laki – laki

Di sini juga menceritakan bahwa ada janda yang di perebutkan oleh semua laki – laki di

perumahan tersebut. Dan janda di komedi situasi ini di perlihatkan seksi, tinggi, badan mulus

dan putih, make up yang tebal, dan baju – baju yang dipakai mini – mini. Ini memperlihatkan

bahwa perempuan yang akan menjadi idaman semua laki –laki adalah perempuan yang seperti

digambarkan di atas. Masih fisik yang di nilai pada laki – laki terhadap perempuan.

Tubuh menjadi komoditas lagi. Perempuan dan seksualitas menjadi isu penting juga yang ingin

disampaikan oleh media. Perempuan digambarkan seperti objek laki-laki. Perempuan yang

bertubuh indah akan menjadi incaran kaum laki-laki.

Konsep wanita yang mudah untuk dipoligami

Di sini juga menceritakan bahwa ada satpam yang menjaga perumahan tersebut namanya

dadang, ia memiliki 3 istri dan ketiga istrinya akur dan menuruti apa yang di katakan dadang. Di

sini di gambarkan bahwa istri – istrinya walaupun dari suku yang berbeda –beda (ada dari warga

turunan cina, ada dari betawi dan ada yang dari sunda). Mereka digambarkan dari wanita yang

tidak terpelajar, dan kelas ekonomi C. Sehingga terbentuklah konsep bahwa wanita – wanita

yang bisa di poligami adalah wanita yang tidak terpelajar dan dari golongan C.

Konsep laki – laki yang ideal dimata wanita

Di sini juga memperlihatkan bahwa para suami –suami ini sering memperunjukkan kekuatan

fisiknya, staminanya untuk dapat menggaet di janda seksi. Di sini terlihat stamina di hubungkan

dengan kekuatan mereka untuk bisa berlaga di ranjang.

Page 19: Komunikasi Dan Gender

Dari penjabaran di atas stikom ini sebenarnya lebih banyak kecendrungan menjelekkan

citra wanita, walupun yang diceritakan istri – istri yang di takuti suami tapi dengan citra yang

negatif, dan tidak ada perubahan apa – apa dari persamaan gender, seperti masih saja

menggambarkan konsep wanita ideal yang dilihat dari fisik, masih aja terlihat unsur dominasi

lelaki terlihat dari konsep poligami yang dilakukan a dadang dengan dimana ia memperlakukan

ketiga istrinya dengan mudah bahwa dengan di beri kepuasan sex saja istri – istrinya bisa akur

dan menurut. Dan begitu juga para istri – istrinya sebenarnya mereka memperlakukan suaminya

seperti itu karena takut suami main api dan meninggalkannya. Sehingga sebelum suami terlanjur

berkeinginan kuat untuk mendapatkan janda tersebut selalu saja di cegah dengan perlakuan

mereka ke suaminya, sebenarnya hal itu adalah bentuk ketidakmampuan istri – istri itu takut

untuk kehilangan suami dan bentuk ketidakmandirian wanita untuk bisa melaju tanpa suami. Di

sini pun gambaran istri juga masih berkisar dapur, kasur, sumur.

Analisis Gender Komedi Situasi Suami-Suami Takut Istri dalam Teori Komunikasi

Komedi situasi “Suami-Suami Takut Istri” pada umumnya menggambarkan sebuah siatuasi

keluarga—yang rata-rata belum memiliki anak. Seperti judulnya, komedi situasi ini

menceritakan tentang kehidupan seorang suami yang takut pada istri. Istri-istri digambarkan

sebagai sosok yang ditakuti oleh suami dan memegang kendali atas keluarga. Dalam lingkungan

keluarga, komunikasi merupakan sebuah media yang digunakan untuk berinteraksi sesama

anggota, dan di dalam komedi situasi “Suami-Suami Takut Istri” di perlihatkan pola interaksi

antara suami Istri dalam sebuah keluarga.

Teori Interaksi yang dipelopori oleh Paul Watzlawick dan rekannya mengatakan bahwa dalam

lingkungan keluarga ada yang disebut dengan sistem komunikasi. Dalam berinteraksi, suami,

istri, dan anak menggunakan komunikasi sebagai medianya. Jika kita melihat komunikasi

sebagai sebuah sistem, maka kita tidak bisa memisahkan dan membahas konteks-konteks yang

terlibat di dalamnya secara terpisah. Sebagai sebuah sistem, semua bagian-bagian yang

mempengaruhi interaksi saling berhubungan satu sama lain dan teroganisasikan sebagai sebuah

kesatuan.

Pola interaksi yang digambarkan dalam komedi situasi “Suami-Suami Takut Istri” melibatkan

interaksi antara suami-istri dan lingkungan sekitarnya. Dalam Sitkom tersebut, suami-suami di

Page 20: Komunikasi Dan Gender

komplek digambarkan sebagai pihak yang tertindas dan dikendalikan oleh istri. Di dalam

komplek perumahan tersebut ada sebuah “subsistem” baru yang mempengaruhi “system” yang

ada, yaitu kedatangan si janda cantik. Kedatangan janda cantiklah yang mempengaruhi pola

interaksi di setiap keluarga di komplek perumahan tersebut.

Di dalam teori interaksi ada yang disebut dengan komunikasi dan kekuatan (power). Komunikasi

verbal yang digunakan dalam interaksi yang terjadi di sitkom tersebut jelas memperlihatkan

women power over men. Jika dikaitkan dengan teori interaksi yang memandang komunikasi

sebagai sebuah system (Wood), terdapat konteks yang mempengaruhi pola interaksi yang dimana

menggambarkan kekuatan perempuan di atas laki-laki.

Kedatangan janda cantik jelas mempengaruhi pola interaksi yang terjadi. Laki-laki, sebagai

mahluk yang menurut penelitian 90 % isi otaknya adalah seks, jelas tidak mampu untuk tidak

tertarik dengan janda cantik dan bertubuh seksi tersebut. Melihat tingkah suami-suami di

komplek perumahan tersebut yang tergoda dengan kedatangan si janda cantik tersebut, para istri

tentu saja tidak bisa tinggal diam. Maka para istri pun langsung engaged to defense mode.

Defense di sini berarti protecting the family from external invasion—which is the pretty and sexy

widow. Maka jika di tilik lebih dalam, istri-istri dalam sitkom tersebut berperilaku seperti itu

karena motif mempertahankan keluarga.

Deborah Tannen mengatakan bahwa terdapat perbadaan dalam pola komunikasi antara pria dan

wanita. Perbedaan pola komunikasi tersebut digambarkan dalam table berikut :

MEN WOMEN

Striving for status in a hierarchical social order where they are either one-up or one-down

Striving for intimacy

Trying to protect themselves from others influence and from getting pushed down

Trying to protect themselves from being pushed away

Goal to get and keep the upper hand Goal is to establish connection by having

Page 21: Komunikasi Dan Gender

intimate knowledge

Asymmetry is an element of status Symmetry creates equality and community

We are separate and different We are close and the same

Report talk preserves independenceRapport talk gets at the connection and the relationship

Public speaking Private speaking

Mistake laments for requests for advice Laments are part of rapport talk

Conversations are a competition Conversations are negotiations for closeness

Conflict is accepted, sought out, enjoyedConflict is a threat to connection and is to be settled without direct confrontation

Struggle to be strong Struggle to keep the community strong

Jockey for position and compete for floor time

Accommodate their conversation style and yield the floor

See interruptions as a struggle for controlSee interruptions as part of rapport talk because it shows participation and support

Comfortable giving information and speaking authoritatively

Comfortable supporting others and cautious about stating information

Home is a sanctuary where you don’t have to talk

Home is a sanctuary where you can say what you want

Practiced his whole life dismissing his thoughts and keeping them to himself

Practiced her whole life verbalizing her thoughts in private conversations with people she is close

Page 22: Komunikasi Dan Gender

to

Become the protected which is the subordinate role

Masculine talk is associated with leadership and authority

Talking with leadership and authority is being a bitch

Powerful speech is confidentPowerless speech hedges, hesitates, and apologizes

Jika kita melihat perbedaan pola komunikasi pada genderlect theory dari Deborah Tannen, maka

sebagian pola komunikasi yang digambarkan dalam sitkom “Suami-Suami Takut Istri” adalah

sebaliknya. Wanita diperlihatkan sebagai sosok yang mendominasi, percaya diri, memiliki

wewenang, dsb. Namun perlu diingat bahwa kemunculan sosok istri-istri yang ditakuti oleh

suami dalam sitkom tersebut tidak lepas dari konteks komunikasi yang mempengaruhinya.

Kesimpulan dan Saran

Dari penjabaran di atas komedi situasi ini sebenarnya cenderung memperburuk citra

perempuan, walaupun yang diceritakan adalah kehebatan istri-istri sehingga ditakuti para suami.

Para istri direpresentasikan dengan citra yang negatif. Komedi situasi ini masih tidak

menunjukkan adanya perubahan dari konsep ketidakadilan gender, seperti perempuan yang ideal

adalah perempuan yang berwajah cantik dan bepenampilan seksi (masih dinilai dari unsur fisik),

para istri menjadi lebih ”garang” karena mereka tidak ingin kehilangan suami-suaminya yang

suka bermain api, dominasi lelaki yang digambarkan dengan konsep poligami yang dilakukan

Dadang di mana ia memperlakukan ketiga istrinya dengan ”seadanya” yaitu bahwa dengan diberi

kepuasan seks saja maka istri-istrinya bisa akur dan menurut.

Namun, inti pesan yang ditunjukkan dalam komedi situasi ini adalah kelemahan istri

yang tidak ingin ditinggalkan oleh para suaminya. Mereka cenderung bersikap kasar dan otoriter

Page 23: Komunikasi Dan Gender

karena mereka tidak ingin suami-suaminya terpikat oleh perempuan lain. Komedi situasi ini pun

menampilkan sosok istri (perempuan) dengan batasan dapur, sumur, kasur.

Tentu saja, komedi situasi ini belumlah menjadi cara yang tepat dalam penyetaraan

gender. Dan sayangnya, acara-acara di televisi pun masih menunjukkan permarginalan

perempuan sebagai kaum yang tertindas dan sebatas dapur, sumur, kasur. Padahal isu gender

sangat erat kaitannya dengan komunikasi. Dan televisi sebagai media komunikasi dan elektronik

yang paling mudah diakses masyarakat seharusnya menyampaikan pesan-pesan yang bernilai

positif, seperti kesetaraan gender, bukan justru semakin mengaburkan isu kesetaraan gender.

Adapun berdasarkan beberapa kajian perempuan menyebutkan mengapa perempuan

selalu dimarginalkan adalah karena Pertama, adalah kurang adanya pemahaman masyarakat

terhadap terhadap rela si – laki-laki dan perempuan-, baik rela si yang berakaitan dengan sex,

gender, maupun kodrat. Kurangnya pemahaman terhdap hakekat sex, gender, dan kodrat ini bisa

diidentifikasikan melalui stigma-stigma yang dilabelkan pada perempuan. Sehingga keberadaan

perempuan menjadi bulan-bulanan.Dalam ranah sosial, politik, budaya, maupun agama,

perempuan selalu mendapatkan tempat nomor dua, dan kekerasan demi kekerasan, perlakuakn

tidak senonoh/pelecehan sexual selalu berobjek pada perempuan. Kedua, adalah mengenai

kuranganya akses informasi yang berkaitan dengan bukti-bukti sejarah tentang jasa perempuan

bersama gerakan massa yang pernah mewaranai sejarah panggung dunia. Minimnya pengetahuan

ini berimbas pada ketidakpercayaan masyarakat secara umum bahwa perempuan secara personal

maupun secara organisasi mampu melakukan sesuatu yang luar biasa pada setiap lini sosial

kehidupan.

Sehingga dengan semangat emansipatoris maka selayaknya media memberikan

penguatan yang positif akan kesetaraan gender bukannya malah memberikan citra yang negatif

terhadap perempuan. Media diharapkan lebih peka dalam menayangkan program-programnya

sehingga sebagai media pun akan menransmisikan budaya secara positif dan perlahan akan

mampu merubah ketimpangan gender yang selama ini banyak terjadi. Masyarkat dan media

sebaiknya saling bekerja sama dalam meyetarakan ketimpangan gender. Tentu saja itu dapat

dilakukan dalam fungsinya sosialnya dan kapasitas masing-masing pihak dalam perubahan

sosial.

Page 24: Komunikasi Dan Gender

Daftar Pustaka

http://www.transtv.co.id/200706/hotbox.asp?id=90

Abdullah, I. ed. 1997. Sangkan Peran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Atkinson, R.L., Atkinson, R.C. dan Hilgard, E.R. 1994. Pengantar Psikologi. Jilid I.Jakarta: Erlangga.Lindzey and Aronson. 1969. The Handbook of Social Psychology. Vol. I. New York:John Wiley and Sons.Rowatt Jr, G. Wade dan Rowatt Mary Jo. 1990. Bila Suami Istri Bekerja. Yogyakarta:Kanisiuswww.usu.com

http://www.asppuk.or.id/berita.php?id=77