komunikasi dan interaksi dalam pendidikan · pdf filepada pendidik dengan penekanan pada...
TRANSCRIPT
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
78
KOMUNIKASI DAN INTERAKSI DALAM PENDIDIKAN
Oleh Ni Luh Yaniasti1
Abstrak: Proses komunikasi dan interaksi dalam pendidikan tidak
bisa dipisahkan. Hal ini disebabkan oleh komunikasi merupakan per-
syaratan yang vital untuk melakukan proses interaksi dalam pembel-
ajaran. Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan kepada
penerima pesan secara kondusif, sedangkan interaksi pembelajaran
adalah hubungan antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru,
siswa dengan lingkungan, dan siswa dengan sumber belajar. Ke-
empat interaksi siswa dalam proses pembelajaran tersebut tidak akan
berlangsung dengan baik, bila siswa tidak menguasai teknik berko-
munikasi. Komunikasi yang terjadi dalam interaksi pembelajaran
dapat berupa komunikasi inter-personal dan komuniasi intra-per-
sonal.
Kata kunci: Komunikasi, interaksi, pesan, dan pembelajaran.
Pendahuluan
Pengetahuan memiliki peran penting dalam peradaban manusia. Itu kita semua
sudah paham. Namun, memasuki milenium baru ini, kesadaran atas pentingnya pengeta-
huan makin nyata dan meningkat. Organisasi-organisasi, apakah itu organisasi bisnis, lem-
baga swadaya masyarakat maupun organisasi pemerintah, sangat mengandalkan intelek-
tualitas para sumberdaya manusianya. Semua menyadari bahwa justru itulah modal ter-
penting dari serangkaian modal yang harus mereka miliki. Pengetahuan yang dikelola,
upaya pencariannya dan pengembangannya, serta penyebarannya ke seluruh sendi-sendi
organisasi jauh lebih penting dari sekadar modal fisik yang dimiliki. Pengetahuan dan inte-
lektualitas itu, kemudian akan menjelma menjadi nilai dari produk-produk mereka, dari
layanan yang menguntungkan baik untuk mereka maupun konsumennya. Pengetahuan dan
intelektualitas itu –sebagai aset –jelas lebih penting dari gedung atau pabrik, mesin-mesin,
sumber bahan baku atau perangkat teknologi yang dimiliki. Karena itu, harus dikelola.
Upaya ini makin mungkin karena di saat yang sama teknologi informasi sudah maju dan
akan terus berkembang. Jadi, tidak berlebihan bila kita menyebut dunia yang kita jalani
sekarang adalah era pengetahuan, knowledge era. Organisasi menyebut karyawan mereka
pekerja otak, knowledge worker.
Bilamana konsep knowledge era dalam organisasi kita bawa ke institusi pendidikan,
maka setiap institusi pendidikan harus melakukan adaptasi dengan perubahan ini. Beradap-
1 Ni Luh Yaniasti adalah staf edukatif pada Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Panji Sakti Singaraja.
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
79
tasi dengan perubahan ini, bukan saja penting bagi institusi itu sendiri, tapi memang sudah
menjadi tuntutan para pemangku kepentingan yang lain; orang tua pebelajar, para pengguna
lulusan institusi pendidikan, dan tentu saja si pebelajar sendiri (sadar atau tidak). Agar insti-
tusi pendidikan dapat terus bertahan dan mendapatkan apresiasi tinggi, institusi pendidikan
juga harus berubah menyesuaikan dan memperbaiki diri. Salah satu aspek yang diubah dan
diperbaiki itu adalah proses belajar mengajar.
Berbicara tentang proses pembelajaran, belakangan ini, makin banyak pengelola
institusi pendidikan yang menyadari perlunya pendekatan pembelajaran yang berpusat pada
pebelajar (learner centered). Pendekatan teacher centered, sudah dianggap tradisional dan
perlu diubah. Ini karena pendekatan yang teacher centered, di mana pembelajaran berpusat
pada pendidik dengan penekanan pada peliputan dan penyebaran materi, sementara pebel-
ajar kurang aktif, sudah tidak memadai untuk tuntutan era pengetahuan ini. Yang jelas, para
pendidik kini harus menaruh kecurigaan dan perhatian bahwa konten yang kini diajarkan,
bisa saja berubah dan menjadi usang, berkurang relevansinya. Era pengetahuan yang
sedang kita alami dan hadapi ini, memiliki karakter terobosan-terobosan baru dalam bidang
pengetahuan dan teknologi. Para pebelajar kita membutuhkan lebih dari sesuatu yang kita
bisa berikan dengan pendekatan yang berpusat pada pendidik. Yakni, pendekatan yang
dapat memberikan bekal kompetensi, pengetahuan dan serangkaian kecakapan yang mereka
butuhkan dari waktu ke waktu. Dengan membiarkan pebelajar pasif, pendekatan yang ber-
pusat pada pendidik sulit untuk memungkinkan pebelajar mengembangkan kecakapan ber-
pikir, kecakapan interpersonal, kecakapan beradaptasi dengan baik. Tidak banyak yang
mereka dapatkan bila partisipasi mereka minim dalam proses pembelajaran. Padahal ber-
bagai kecakapan inilah yang nantinya mereka butuhkan saat menjalani kehidupan dewasa
mereka (Amir, 2010). Paradigma learner centered merupakan salah satu paradigma yang
dianut dalam proses pembelajaran untuk menciptakan aktivitas siswa dalam kelas.
Banyak orang menaruh harapan atas terwujudnya kondisi pembelajaran melalui
siswa aktif. Siswa yang secara aktif tersebut dalam proses pembelajaran dicirikan oleh dua
aktivitas, yakni aktif dalam berpikir (minds-on) dan aktif dalam berbuat (hands-on). Kedua
bentuk aktif ini saling terkait. Perbuatan nyata siswa dalam pembelajaran merupakan hasil
keterlibatan berpikir terhadap objek belajarnya. Pengalaman sebagai hasil perbuatan siswa,
selanjutnya diolah dengan menggunakan kerangka berpikir dan pengetahuan yang dimiliki-
nya untuk membangun pengetahuan. Dengan cara ini siswa dapat mengembangkan pema-
haman bahkan mengubah pemahaman sebelumnya menjadi makin baik (ilmiah). Pema-
haman baru ini, yang melalui pengolahan dan refleksi, dapat melahirkan tindakan yang lain
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
80
sebagai perwujudan keingintahuannya. Dengan demikian, proses siswa aktif merupakan
proses yang tiada henti.
Agar siswa dapat terlibat aktif dalam proses pembelajaran diperlukan adanya proses
pembiasaan. Untuk itu, perlu diidentifikasi beberapa kecakapan dasar penunjang yang harus
menjadi kemampuan yang melekat dalam diri siswa. Menurut Suparno et al. (2002), bebe-
rapa kemampuan dasar tersebut antara lain: (1) kemampuan bertanya. Kemampuan ini tidak
lain adalah kemampuan siswa untuk mempersoalkan (problem posing). Dimulai dengan
persoalan dalam wujud pertanyaan, maka dalam diri siswa terdapat keinginan untuk menge-
tahui melalui proses belajarnya, (2) kemampuan pemecahan masalah (problem solving).
Permasalahan yang muncul di dalam pembelajaran harus diselesaikan (dicari jawabannya)
oleh siswa selama proses belajarnya. Tidak cukup kalau siswa mahir mempersoalkan se-
suatu tetapi miskin dalam pencarian pemecahannya. Penyelesaian masalah sendiri dapat di-
lakukan secara mandiri (self-independence learning) maupun secara kelompok (group
learning), dan (3) kemampuan berkomunikasi. Dalam konteks pemahaman, kemampuan
berkomunikasi baik verbal maupun non-verbal merupakan sarana agar terjadi pemahaman
yang benar (yang baik dan punya kadar keilmuan), dari hasil proses berpikir dan berbuat,
terhadap gagasan siswa yang ditemukan dan ingin dikembangkan.
Terkait dengan kemampuan berkomunikasi ini, sebetulnya sangat diperlukan di
dalam proses pembelajaran yang menganut teori konstruktivisme. Melalui komunikasilah
akan tercipta proses interaksi dalam pembelajaran. Komunikasi dan interaksi belajar meng-
ajar memegang peranan penting dalam dunia pendidikan. Komunikasi sangat vital perannya
dalam interaksi belajar mengajar. Tanpa ada komunikasi yang bagus antara guru dan siswa,
siswa dengan siswa, siswa dengan lingkungan belajar, dan siswa dengan sumber belajar,
maka proses interaksi belajar mengajar tidak akan berlangsung dengan baik. Hal ini dise-
babkan oleh pesan yang disampaikan oleh seorang guru kepada siswa atau oleh seorang
siswa kepada guru dan siswa yang lainnya lewat proses komunikasi tidak bisa diterima se-
cara setara. Artinya, pesan yang dimaksudkan oleh si pembicara (komunikator) kepada pe-
nerima pesan (komunikan) tidak sama. Inilah yang sering dikenal dengan istilah mis-
communication (komunikasi yang keliru). Oleh karena itu pembahasan tentang komunikasi
dan interaksi belajar mengajar tidak bisa dipisah-pisahkan.
Dalam bagian ini, secara khusus akan dibicarakan mengenai komunikasi dalam pen-
didikan dan dilanjutkan dengan interaksi belajar mengajar. Komunikasi dibicarakan terlebih
dahulu karena komunikasi itu merupakan salah satu sarana yang vital dalam interaksi bel-
ajar mengajar.
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
81
Komunikasi dalam Pendidikan
Sudah diketahui banyak orang bahwa komunikasi ada di mana-mana, baik di rumah,
di kampus, di kantor dan di masjid. Bahkan ia sanggup menyentuh segala aspek kehidupan
kita. Artinya, hampir seluruh kegiatan manusia, di mana pun adanya, selalu tersentuh oleh
komunikasi. Pada bidang kajian seperti manajemen, administrasi, hukum, matematika dan
biologi, komunikasi selalu menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pe-
ngembangannya.
Sudah disepakati juga bahwa fungsi umum komunikasi ialah informatif, edukatif,
persuasif, dan rekreatif. Maksudnya secara singkat ialah komunikasi berfungsi memberi ke-
terangan, memberi data atau fakta yang berguna bagi segala aspek kehidupan manusia. Di
samping itu, komunikasi juga berfungsi, mendidik masyarakat, mendidik setiap orang
dalam menuju pencapaian kedewasaan bermandiri. Seseorang bisa banyak tahu karena
banyak mendengar, banyak membaca dan banyak berkomunikasi. Berikutnya adalah fungsi
persuasif, maksudnya ialah bahwa komunikasi sanggup “membujuk” orang untuk berperi-
laku sesuai dengan kehendak yang diinginkan oleh komunikator. Seorang anak kecil bisa
berhenti menangis setelah dibujuk oleh ibunya (dengan komunikasi) bahwa anak yang suka
menangis akan menjadi anak bodoh, misalnya. Sedangkan yang terakhir ialah fungsi hibur-
an. Ia dapat menghibur orang pada saat yang memungkinkan. Mendengarkan dongeng,
membaca bacaan ringan, adalah contohnya (Indrayanto, 2011).
1. Definisi komunikasi.
Dari pelajaran dan pengalaman selama ini, komunikasi merupakan faktor penting
dalam kehidupan manusia, yakni kehidupan bermasyarakat. Bahkan orang juga berani me-
nyatakan bahwa keberhasilan seseorang sangat tergantung dari kemampuan dan keterampil-
annya berkomunikasi.
Siapa pun orangnya, sama-sama mengakui pentingnya komunikasi dalam manaje-
men sebuah organisasi, baik kecil maupun besar. Pembicaraan kali ini dikaitkan dengan
manajemen sekolah. Komunikasi yang dimaksud adalah penyampaian pesan atau informasi
dari dua arah secara vertikal dan juga horisontal. Sayangnya, pentingnya komunikasi untuk
membangun manajemen yang baik sering dilupakan dengan ungkapan yang agak sem-
brono: “Sudah sama tahunya”. Dengan keyakinan seperti itulah akhirnya komunikasi yang
intensif dalam merencanakan, mengatur, menjalani dan mengevaluasi program-program di
dalam organisasi tidak dibudayakan.
Mandeknya arus komunikasi antara berbagai komponen organisasi yang telah akut
menyebabkan berbagai kemungkinan buruk terhadap kemajuan dari organisasi itu sendiri.
Fungsi dan peranan organisasi menjadi pudar dan hilang. Karena memang komunikasi
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
82
efektif tidak dibangun secara bertahap, konflik dari berbagai kepentingan membuyarkan
kebermaknaan organisasi tersebut. Mereka yang merasa memiliki power kemudian bisa
bersikap menekan dan mengintimidasi komponen yang lemah. Dari sini pula makna keber-
samaan dalam berorganisasi menjadi buyar dengan sendirinya. Demokrasi hanya sebagai
slogan.
Komunikasi adalah kemampuan mengirimkan pesan dengan jelas, manusiawi, efi-
sien dan menerima pesan secara akurat. Adapun definisi yang lainnya, menyatakan komu-
nikasi merupakan suatu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima
pesan yang terdistorsi oleh gangguan terjadi dalam satu konteks tertentu, mempunyai pe-
ngaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Sedangkan menurut
persepsi penulis, yang dimaksudkan dengan komunikasi dalam dunia pendidikan adalah
proses penyampaian pesan secara timbal balik antara guru dan siswa, dan antara siswa yang
satu dan siswa yang lainnya.
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin
communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksud-
nya adalah sama makna.
Jadi kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan,
maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa
yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum
tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain perkataan, mengerti bahasanya saja
belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa percakapan ke-
dua orang tadi dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya, selain mengerti bahasa
yang digunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan (Effendy, 2005).
Akan tetapi, pengertian komunikasi yang dipaparkan di atas sifatnya dasariah,
dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara
dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi tidak hanya infor-
matif, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain
bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau kegiatan,
dan lain-lain.
Pentingnya komunikasi bagi kehidupan sosial, budaya, pendidikan, dan politik
sudah disadari oleh para cendekiawan sejak Aristoteles yang hidup ratusan tahun sebelum
Masehi. Akan tetapi, studi Aristoteles hanya berkisar pada retorika dalam lingkungan kecil.
Baru pada pertengahan abad ke-20 ketika dunia dirasakan makin kecil akibat revolusi
industri dan revolusi teknologi elektronik, setelah ditemukan kapal api, pesawat terbang,
listrik, telepon, surat kabar, film, radio, televisi, dan sebagainya maka para cendekiawan
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
83
pada abad sekarang menyadari pentingnya komunikasi ditingkatkan dari pengetahuan
(knowledge) menjadi ilmu (science).
Di antara para ahli sosiologi, ahli psikologi, dan ahli politik di Amerika Serikat
yang menaruh minat pada perkembangan komunikasi adalah Carl I. Hovland yang berpe-
ngaruh sangat besar di kalangan masyarakat Amerika.
Menurut Carl I Hovland, ilmu komunikasi adalah upaya sistematis untuk merumus-
kan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap.
Definisi Hovland di atas menunjukkan bahwa yang dijadikan objek studi ilmu ko-
munikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum
(public opinion) dan sikap publik (publik attitude) yang dalam kehidupan sosial dan ke-
hidupan politik memainkan peranan yang amat penting. Bahkan dalam definisinya secara
khusus mengenai pengertian komunikasinya sendiri, Hovland mengatakan bahwa komuni-
kasi merupakan proses mengubah perilaku orang lain (communication is the process to
modify the behavior of other individuals).
Menurut Effendy (1981), dengan mengutip paradigma Lasswell menyatakan komu-
nikasi meliputi lima unsur, yakni: (1) komunikator (communicator, source, sender), (2)
pesan (message), (3) media (channel, media), (4) komunikan (communicant, communi-
catee, receiver, recipient), dan (5) efek (effect, impact, influence). Jadi, berdasarkan para-
digma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator
kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.
2. Proses komunikasi.
Menurut Effendy (2005), proses komunikasi dibagi menjadi dua, tahap, yakni se-
cara primer dan secara sekunder.
a. Proses komunikasi secara primer.
Proses komunikasi secara primer merupakan proses penyampaian pikiran dan atau
perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai
media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat,
gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu ‘menerjemahkan’ pikiran
dan atau perasaan komunikator kepada komunikan. Bahwa bahasa yang paling banyak di-
pergunakan dalam komunikasi adalah jelas karena hanya bahasalah yang mampu ‘menerje-
mahkan’ pikiran seseorang kepada orang lain. Apakah itu berbentuk ide, informasi atau
opini; baik mengenai hal yang konkret maupun yang abstrak; bukan saja tentang hal atau
peristiwa yang terjadi pada saat sekarang, melainkan juga pada waktu yang lalu dan masa
yang akan datang. Adalah berkat kemampuan bahasa maka kita dapat mempelajari ilmu pe-
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
84
ngetahuan sejak ditampilkan oleh Aristoteles, Plato, dan Socrates; dapat menjadi manusia
yang beradab dan berbudaya; dan dapat memperkirakan apa yang akan terjadi pada tahun,
dekade, bahkan abad yang akan datang.
b. Proses komunikasi secara sekunder.
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh sese-
orang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah
memakai lambang sebagai media pertama.
Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasi-
nya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlah-
nya banyak. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, film, televisi, dan banyak
lagi adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi.
Pada umumnya kalau kita berbicara di kalangan masyarakat, yang dinamakan media
komunikasi itu adalah media kedua sebagaimana diterangkan di atas. Jarang sekali orang
menganggap bahasa sebagai media komunikasi. Hal ini disebabkan oleh bahasa sebagai
lambang (symbol) beserta isi (content) –yakni pikiran dan atau perasaan –yang dibawanya
menjadi totalitas pesan (message), yang tampak tak dapat dipisahkan. Tidak seperti media
dalam bentuk surat, telepon, radio, dan lainnya yang jelas tidak selalu dipergunakan.
Tampaknya seolah-olah orang tak mungkin berkomunikasi tanpa bahasa, tetapi orang
mungkin dapat berkomunikasi tanpa surat, atau telepon, atau televisi, dan sebagainya.
3. Pendidikan sebagai proses komunikasi.
Ditinjau dari prosesnya, pendidikan adalah komunikasi dalam arti kata bahwa dalam
proses tersebut terlihat dua komponen yang terdiri atas manusia, yakni pengajar sebagai
komunikator dan pelajar sebagai komunikan. Lazimnya, pada tingkatan bawah dan mene-
ngah pengajar itu disebut guru, sedangkan pelajar itu disebut murid; pada tingkatan tinggi
pengajar itu dinamakan dosen, sedangkan pelajar dinamakan mahasiswa. Pada tingkatan
apa pun, proses komunikasi antara pengajar dan pelajar itu pada hakikatnya sama saja.
Perbedaannya hanyalah pada jenis pesan serta kualitas yang disampaikan oleh si pengajar
kepada si pelajar.
Perbedaan komunikasi dengan pendidikan terletak pada tujuannya atau efek yang
diharapkan. Ditinjau dari efek yang diharapkan itu, tujuan komunikasi sifatnya umum, se-
dangkan pendidikan sifatnya khusus. Kekhususan inilah yang dalam proses komunikasi
melahirkan istilah-istilah khusus seperti penerangan, propaganda, indoktrinasi, agitasi, dan
pendidikan.
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
85
Tujuan pendidikan adalah khas atau khusus, yakni meningkatkan pengetahuan sese-
orang mengenai suatu hal sehingga ia menguasainya. Jelas perbedaannya dengan tujuan pe-
nerangan, propaganda, indoktrinasi, dan agitasi sebagaimana disinggung di atas. Tujuan
pendidikan itu akan tercapai jika prosesnya komunikatif. Minimal harus demikian. Jika
proses belajar itu tidak komunikatif, tak mungkin tujuan pendidikan itu dapat tercapai.
Bagaimana caranya agar proses penyampaian suatu pesan oleh komunikator kepada komu-
nikan, atau dalam konteks pendidikan ini agar proses penyampaian suatu pelajaran oleh
pengajar kepada pelajar menjadi komunikatif dapat diikuti uraian berikut.
Pada umumnya pendidikan berlangsung secara terencana di dalam kelas secara tatap
muka (face to face). Karena kelompoknya relatif kecil, meskipun komunikasi antara peng-
ajar dan pelajar dalam ruang kelas itu termasuk komunikasi kelompok (group communi-
cation), sang pengajar sewaktu-waktu bisa mengubahnya menjadi komunikasi antar-
persona. Terjadilah komunikasi dua arah atau dialog di mana si pelajar menjadi komunikan
dan komunikator, demikian pula sang pengajar. Terjadinya komunikasi dua arah ini ialah
apabila para pelajar bersikap responsif, mengetengahkan pendapat atau mengajukan perta-
nyaan, diminta atau tidak diminta. Jika si pelajar pasif saja, dalam arti kata hanya mende-
ngarkan tanpa ada gairah untuk mengekspresikan suatu pernyataan atau pertanyaan, maka
meskipun komunikasi itu bersifat tatap muka, tetap saja berlangsung satu arah, dan komu-
nikasi itu tidak efektif.
Komunikasi dalam diskusi dalam proses belajar mengajar berlangsung amat efektif,
baik antara pengajar dengan pelajar di antara para pelajar sendiri sebab mekanismenya me-
mungkinkan si pelajar terbiasa mengemukakan pendapat secara argumentatif dan dapat
mengkaji dirinya, apakah yang telah diketahuinya itu benar atau tidak. Dengan lain perkata-
an, pentingnya komunikasi dalam bentuk diskusi pada proses belajar mengajar itu disebab-
kan oleh dua hal, yaitu: (1) materi yang didiskusikan meningkatkan intelektualitas, dan (2)
komunikasi dalam diskusi bersifat intracommunication dan intercommunication. Intrako-
munikasi merupakan komunikasi yang terjadi pada diri seseorang. Ia berkomunikasi
dengan dirinya sendiri sebagai persiapan untuk melakukan interkomunikasi dengan orang
lain.
4. Peranan teknologi komunikasi dalam pendidikan.
Menurut Aryantini (2010), peranan teknologi komunikasi dalam bidang pendidikan,
dapat dikemukakan sebagai berikut.
1) Upaya menjembatani kesenjangan.
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
86
Barangkali tidak terlalu salah apabila ada orang yang mengatakan bahwa bangsa
Indonesia kini hidup dalam abad ke-21 sekaligus hidup dalam zaman modern dan dalam
zaman batu. Bukti bahwa bangsa kita hidup dalam zaman modern bukan saja karena me-
rupakan negara ketiga di dunia yang telah mengoperasikan satelit komunikasi, melainkan
karena kehidupan di kota metropolitan yang bertaraf jet-set. Dan bukti bahwa bangsa kita
masih hidup pada zaman batu, jauh di ufuk timur masih ada saudara-saudara kita yang me-
merlukan peningkatan peradaban sehingga setara dengan saudara-saudara di daerah lain-
nya. Problem tersebut jelas memerlukan pemerataan pendidikan, selain secara konsepsional
juga dengan segera; jika tidak, kesenjangan akan makin menganga.
Negara-negara terbelakang mempunyai keuntungan. Negara-negara ini, dapat me-
lakukan lompatan, katakanlah dari abad ke-10 sebelum Masehi ke abad ke-20 tanpa proses
yang penuh rintangan. Situasi seperti ini terjadi di Amerika Serikat pada abad ke-18, pada
waktu teknologi Eropa yang mutakhir digunakan tanpa halangan dari sistem feodal kuno,
tanpa rintangan dalam menyusun dan melaksanakan program literasi dan publikasi. Dite-
gaskan bahwa Hollywood dan New York tidak pernah tersentuh abad ke-19, tetapi lang-
sung dari abad ke-18 ke abad ke-20.
Untuk melakukan lompatan dari zaman batu, zaman perunggu, dan zaman besi yang
masih dialami oleh beberapa suku bangsa kita ke zaman elektronika yang dialami oleh suku
bangsa lainnya di Nusantara kita tercinta ini sehingga menjadi merata, pendidikan dengan
segala aspeknya memegang peranan yang teramat penting, mulai dari metode, melalui
pengadaan buku, sampai kepada pemanfaatan teknologi elektronik.
2) Teknologi komunikasi dan pendidikan pascaliterer.
Di muka telah ditampilkan bahwa negara-negara terbelakang mempunyai keuntung-
an, yakni dapat melakukan lompatan tanpa proses yang penuh rintangan, bahkan lompatan
dari abad ke-10 sebelum Masehi langsung ke abad ke-20 diberikannya contoh di Eropa dan
Amerika Serikat yang pernah tidak tersentuh oleh suatu abad.
Bagi bangsa Indonesia yang termasuk negara yang belum maju atau negara yang
sedang berkembang. Dan memang kenyataannya demikian. Kita tidak perlu mengadakan
penelitian yang sudah menjadi produk teknologi. Percuma dan akan menghabiskan tenaga,
pikiran, dan biaya. Kalau kita akan menggiatkan penelitian mengenai teknologi dan akan
mengembangkannya, lebih baik mulai dari yang sudah dihasilkan orang lain; paling tidak
memanfaatkan generasi kini untuk menjadi bangsa yang cerdas. Nasihat yang menyatakan
‘Janganlah pemuda-pemuda kita diberi ikan, melainkan kail untuk menangkap ikan’
sungguh tepat untuk bangsa Indonesia masa kini. Makna kail di sini sudah tentu ilmu pe-
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
87
ngetahuan. Akan tetapi, ilmu pengetahuan tanpa diimbangi moral sungguh amat berbahaya,
bukan saja merugikan diri seseorang, melainkan juga masyarakat dan negara.
Pemerintah Republik Indonesia mencanangkan pentingnya pendidikan, tidak hanya
pendidikan formal di sekolah-sekolah, tetapi juga pendidikan informal dalam keluarga.
Oleh karena itu, kegiatan pendidikan perlu dilakukan secara holistik yang meliputi tiga di-
mensi pendidikan, yaitu: (1) pendidikan praliterer, (2) pendidikan literer, dan (3) pendidik-
an pascaliterer. Pendidikan praliterer merupakan pendidikan yang berlangsung secara tatap
muka timbal-balik dalam kehidupan keluarga. Oleh karena itu sifatnya tidak formal. Pendi-
dikan jenis inilah yang pertama-tama berperan mencerdaskan bangsa di suatu negara se-
belum pengetahuan tentang tulisan ditemukan.
Di Indonesia pendidikan literer diperkirakan mulai abad pertama Masehi dengan
merembesnya kebudayaan baca tulis dari India, sedangkan pendidikan pascaliterer dimulai
sesudah Perang Dunia II –untuk lebih tegasnya pada tahun lima puluhan –kendati pun radio
yang merupakan salah satu unsurnya sudah dimulai tahun 1925.
Produk teknologi komunikasi, terutama media elektronik, yang makin banyak digu-
nakan oleh pemerintah dan makin memasyarakat itu, harus benar-benar dimanfaatkan oleh
semua pihak, dioptimalkan segi positifnya, dan diminimalkan –kalau tidak mungkin di-
tiadakan sama sekali –segi negatifnya. Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan tugas peme-
rintah semata-mata, melainkan tugas bersama masyarakat.
Interaksi dalam Pendidikan
Dalam bagian interaksi belajar mengajar ini akan dibahas mengenai tiga hal yang
sangat vital dalam dunia pendidikan, yaitu definisi interaksi belajar mengajar, komponen
interaksi belajar mengajar, dan peran guru dalam belajar mengajar.
1. Definisi interaksi belajar mengajar.
Istilah interaksi, sebagaimana telah banyak diketahui orang, adalah suatu hubungan
timbal-balik antara orang satu dengan orang lainnya. Di dalam sosiologi, misalnya, inter-
aksi selalu dikaitkan dengan istilah interaksi sosial, yaitu hubungan timbal-balik atau aksi
dan reaksi di antara orang-orang. Yang mana interaksi sosial tidak mempedulikan hubung-
an tersebut bersifat bersahabat atau bermusuhan, formal atau informal, apakah dilakukan
berhadapan muka secara langsung atau melalui komunikasi yang tidak berhadapan secara
langsung. Yang penting dalam interaksi ini adalah adanya kontak dan komunikasi di antara
orang-orang itu.
Akan berbeda halnya kalau pengertian interaksi ini kita hubungkan dengan proses
belajar mengajar. Di dalam interaksi belajar mengajar, hubungan timbal-balik antara guru
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
88
(pengajar) dan anak (murid) harus menunjukkan adanya hubungan yang bersifat edukatif
(mendidik), hal mana interaksi itu harus diserahkan pada suatu tujuan tertentu yang bersifat
mendidik, yaitu adanya perubahan tingkah laku anak didik ke arah kedewasaan. Hubungan
antara anak dengan orang tua dapat dikatakan mempunyai hubungan (interaksi) edukatif
apabila salah satu pihak (orang tuanya) dalam hubungan itu mempunyai tujuan tertentu,
misalnya orang tua melarang anaknya yang sedang makan sambil berjalan. Di sini orang
tua tersebut mempunyai tujuan agar anaknya tidak lagi makan sambil berjalan, karena
makan sambil berjalan dianggap kurang baik. Tetapi hubungan antara orang tua dengan
anak dapat juga dikatakan interaksi biasa (bukan interaksi edukatif) apabila dalam hubung-
an itu hanya terjadi hubungan yang sifatnya gurau, misalnya orang tua itu dengan anaknya
saling kejar mengejar, saling tertawa menertawai. Dengan demikian kita dapat membeda-
kan antara interaksi yang sifatnya edukatif dengan interaksi biasa (Soetomo, 1993).
Menurut Djamarah (1994), proses interaksi belajar mengajar adalah inti dari kegiat-
an pendidikan. Sebagai inti dari kegiatan pendidikan, proses interaksi belajar mengajar me-
rupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan tidak akan ter-
capai bila proses interaksi belajar mengajar tidak pernah berlangsung dalam pendidikan.
Guru dan siswa adalah dua unsur yang terlibat langsung dalam proses itu. Oleh karena itu
di sinilah peranan guru diperlukan bagaimana menciptakan interaksi belajar mengajar yang
kondusif. Untuk itu seorang guru perlu memahami ciri-ciri ineraksi belajar mengajar dalam
rangka pencapaian tujuan pengajaran.
Pemahaman seorang guru terhadap ciri-ciri interaksi belajar mengajar belumlah
cukup tanpa ada kemampuan untuk mengaplikasikannya ke dalam proses interaksi belajar
mengajar. Di sinilah diperlukan kompetensi guru dalam mempersiapkan tahapan-tahapan
kegiatan. Tahap-tahapan ini tidak bisa diabaikan dalam proses interaksi belajar mengajar
atau dalam perencanaan pengajaran, sebab kegiatan ini menyangkut masalah pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan. Tahapan-tahapan dimaksud adalah tahap persiapan/peren-
canaan, tahap pelaksanaan, dan tahap penilaian/evaluasi.
Tahapan-tahapan ini harus dibuat sedemikian rupa agar proses interaksi belajar
mengajar dapat berjalan secara efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan instruksional.
Dalam penyusunan strategi belajar mengajar erat kaitannya dengan kompetensi guru.
Paling tidak guru harus memiliki dua modal dasar, yakni kemampuan mendesain program
dan keterampilan mengkomunikasikan program ini kepada siswa.
Masalah kompetensi ini tidak semua guru dapat menguasainya dengan baik. Jangan-
kan untuk guru yang belum profesional, guru yang sudah profesional dan pengalaman
mengajarnya cukup lama belum tentu dapat menguasainya dengan baik. Namun penguasa-
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
89
an dengan baik belum tentu dalam melaksanakannya ke dalam proses interaksi belajar
mengajar dengan baik pula, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Karena itulah,
kompetensi guru bukanlah suatu masalah yang berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain, yakni latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi guru ini erat kaitannya dengan ma-
salah prestasi belajar siswa. Kompetensi guru salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar siswa. Karena itu, kualitas kompetensi guru mempunyai peranan yang penting
dalam proses interaksi belajar mengajar. Ini berarti berkualitas tidaknya prestasi belajar
siswa, kompetensi guru ikut menentukan selain ditentukan oleh faktor-faktor lainnya, se-
perti lingkungan keluarga, fasilitas, inteligensi, dan minat siswa itu sendiri sebagai indi-
vidu.
Kehadiran kompetensi guru dalam proses interaksi belajar mengajar tidak lebih dari
sebagai alat motivasi ekstrinsik guna memberikan dorongan dari luar diri setiap siswa.
Berbagai usaha dilakukan guna memberikan penguatan terhadap motivasi belajar siswa.
Tujuan pengajaran disusun dengan sistematis, lingkungan diciptakan dengan baik guna
mendukung proses interaksi belajar mengajar yang kondusif. Itu semua merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari semua tugas guru sebagai pendidik berdasarkan tuntutan hati
nurani.
Sardiman (1988) menyatakan dalam pengelolaan interaksi belajar mengajar, guru
harus menyadari bahwa pendidikan tidak hanya dirumuskan dari sudut normatif, pelaksana-
an interaksi belajar mengajar adalah untuk menanamkan suatu nilai ke dalam diri siswa.
Sedangkan proses teknik adalah sebuah kegiatan praktis yang berlangsung dalam suatu
masa untuk menanamkan nilai tersebut ke dalam diri siswa, yang sekaligus untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Akhir dari proses interaksi belajar mengajar diharapkan siswa
merasakan perubahan-perubahan dalam dirinya. Untuk memahami perubahan-perubahan
yang terjadi itu dapat dilihat dari jangkauan kemampuan seperti domain kognitif, domain
afektif, dan domain psikomotoris.
Penanaman nilai-nilai inilah yang menjadi tujuan sentral dalam proses interaksi bel-
ajar mengajar. Hal ini tidak mudah dilakukan bila guru tidak memiliki kompetensi. Di sini-
lah kompetensi diperlukan dalam pengelolaan interaksi belajar mengajar. Bila seorang guru
berhasil mengelola interaksi belajar mengajar, tujuan instruksional pun akan tercapai.
Keberhasilan ini akan terlihat dalam bentuk prestasi belajar siswa, setelah diadakan eva-
luasi, baik dalam bentuk tes formatif maupun tes sumatif.
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
90
2. Komponen interaksi belajar mengajar.
Dalam interaksi belajar mengajar, seorang guru sebagai pengajar akan berusaha se-
cara maksimal dengan menggunakan berbagai keterampilan dan kemampuannya agar anak
mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu guru harus dapat menciptakan situasi di
mana agar anak dapat belajar, sebab sebenarnya proses belajar mengajar itu belum dapat
dikatakan berakhir kalau anak belum dapat belajar dan belum mengalami perubahan
tingkah laku. Karena perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar.
Perubahan tingkah laku, dapat diartikan perubahan-perubahan yang mencakup tiga
aspek tingkah laku manusia, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotor.
Misalnya, dari belum mengetahui menjadi dapat mengetahui, dari belum mengerti menjadi
mengerti sesuatu, dari belum terampil membuat sesuatu menjadi terampil membuat sesuatu,
dan seterusnya. Seorang guru keterampilan, misalnya, sedang mengajarkan tentang bagai-
mana cara membuat keset, maka proses belajar mengajarnya belum dapat dikatakan ber-
akhir apabila anak belum mampu membuat keset.
Namun kadang-kadang guru mempunyai anggapan lain, dia merasa sudah berakhir
proses belajar mengajarnya apabila sudah menjelaskan semua materi yang berkaitan dengan
bagaimana cara membuat keset. Akhirnya pada saat guru tersebut menilai hasil belajar
siswa, dia merasa kecewa karena anak didiknya sebagian besar mendapat nilai kurang. Dari
contoh di atas kiranya jelaslah bahwa anggapan guru tersebut menunjukkan bahwa proses
belajar bukan bertujuan pada adanya perubahan tingkah laku anak, tetapi masih berorientasi
pada bahan (materi). Seolah-olah berakhirlah interaksi belajar mengajarnya kalau sudah
menjelaskan semua materinya tetapi, tidak melihat apakah siswanya sudah menguasai
materi itu atau belum menguasai.
Menurut Hasibuan dan Moerdjiono (1986), di dalam interaksi belajar mengajar ada
beberapa komponen yang harus dipenuhi, yaitu: (1) tujuan interaksi belajar mengajar yang
diharapkan, (2) bahan (pesan) yang akan disampaikan pada anak didik, (3) pendidik dan si
anak didik (terdidik), (4) alat/sarana yang digunakan untuk menunjang tercapainya tujuan,
(5) metode yang digunakan untuk menyampaikan bahan (materi), dan (6) situasi lingkung-
an untuk menyampaikan bahan agar tercapainya tujuan.
Di samping beberapa komponen di atas, maka dalam interaksi belajar mengajar
masih perlu disertai dengan beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru.
Coopered (dalam Soetomo, 1993) menyebutkan empat bidang kompetensi yang harus dimi-
liki oleh seorang guru dalam melaksanakan interaksi belajar mengajar, yakni:
1) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia dan mampu menerje-
mahkan teori-teori itu ke dalam situasi yang riil dalam belajar mengajar,
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
91
2) mempunyai sikap yang tepat terhadap diri sendiri, siswa, teman sejawat, sekolah, dan
bidang studi yang dibina,
3) menguasai bidang studi yang diajarkan, dan
4) mempunyai keterampilan teknis dalam mengajar, antara lain keterampilan merencanakan
pelajaran, bertanya, menilai pencapaian siswa, menggunakan strategi mengajar, mengelola
kelas, dan memotivasi siswa.
Dari beberapa komponen dan kompetensi di atas, maka jelasnya bahwa untuk me-
laksanakan interaksi belajar mengajar, seorang guru tidak hanya semata-mata membutuh-
kan kepandaian atau keahlian di bidang materi yang diajarkan saja, artinya tidak semua
orang ahli dapat melaksanakan interaksi belajar mengajar dengan baik, misalnya, seorang
ahli hukum belum tentu dapat menjadi guru ilmu hukum yang baik, seorang ahli tari belum
tentu bisa menjadi guru tari. Mereka masih dituntut dengan beberapa kemampuan misalnya
bagaimana cara menguasai siswa, bagaimana memilih metode yang tepat untuk menyam-
paikan materi yang disesuaikan dengan taraf perkembangan anak, bagaimana cara melak-
sanakan penilaian terhadap keberhasilan siswa, dan masih banyak kemampuan yang diper-
lukan agar pengajaran dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Pada prinsipnya, interaksi belajar mengajar membutuhkan adanya perencanaan dan
persiapan yang matang, baik perencanaan dan persiapan secara tertulis maupun perencana-
an dan persiapan diri. Karena perencanaan dan persiapan yang matang akan mengurangi
hambatan-hambatan yang muncul dalam proses belajar mengajar, bahkan akan lebih me-
motivasi anak untuk melakukan belajar secara efektif dan efisien.
Perencanaan dan persiapan itu harus dihubungkan dengan komponen-komponen
interaksi belajar mengajar, yakni:
1) Apakah tujuan yang hendak dicapai dalam proses belajar mengajar? Dalam hal ini guru
harus menyiapkan seperangkat tujuan pengajaran yang dapat diukur setelah berakhirnya
proses belajar mengajar, sehingga dapat diketahui perubahan tingkah laku yang bagaimana
yang terjadi pada anak setelah berakhirnya proses belajar mengajar. Tujuan pengajaran
yang diterapkan oleh guru akan mempengaruhi terhadap jenis metode yang digunakan,
sarana prasarana, dan lingkungan belajar mengajarnya. Dan perbedaan tujuan pengajaran
akan berbedalah metode, sarana, dan lingkungan belajar mengajarnya. Hal inilah yang me-
nunjukkan keunikan dan kekomplekan sistem pengajaran.
2) Bahan yang bagaimana yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar? Bahan
(materi) itu tentunya dipilih dan disesuaikan dengan bahan yang dapat menunjang tujuan
pengajaran yang telah ditetapkan.
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
92
3) Kepada siapa bahan itu disampaikan? Ini melibatkan murid yang bagaimana yang meng-
alami proses belajar, bagaimana tingkat pemahamannya, bagaimana tingkat perkembangan-
nya. Sehingga bahan dan tujuan proses belajar mengajar harus disesuaikan dengan keadaan
muridnya, baik kebutuhannya, minatnya, tingkat kematangannya, dan perbedaan dari
masing-masing murid.
4) Bagaimana prosedur pelaksanaan proses belajar mengajar? Dalam hal ini melibatkan
metode yang bagaimana yang akan digunakan, kegiatan apa yang akan dilakukan, situasi
lingkungan yang bagaimana dan sarana dan prasarana mana yang digunakan, sehingga guru
harus menentukan strategi yang bagaimana yang dapat digunakan agar tujuan pengajaran
dapat dicapai oleh siswa.
5) Alat yang bagaimana yang dapat menilai keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan
pengajaran yang diharapkan? Untuk itu guru dapat melakukan teknik penilaian tes dan
teknik penilaian non-tes, yang masing-masing mempunyai objek penilaian yang berbeda.
Penilaian dengan tes apabila guru ingin menilai kemampuan hasil belajar siswa, yang ber-
hubungan dengan aspek kognitif dan psikomotor, sedangkan penilaian dengan non-tes
biasanya dilakukan apabila guru ingin menilai aspek afektif dari hasil belajar siswa, untuk
melihat bagaimana sikap, tingkah laku, dan kepribadian siswa dalam proses belajar meng-
ajar.
3. Peranan guru dalam belajar mengajar.
Pada proses pelaksanaan pendidikan di sekolah, guru mempunyai empat peranan
yang utama dalam membimbing anak agar mencapai tujuan yang diharapkan, di mana se-
muanya sangat menentukan terhadap keberhasilan anak dalam mencapai tujuan adanya per-
ubahan tingkah laku siswa sebagai hasil belajar. Menurut Soetomo (1993), peranan utama
guru dalam proses pendidikan di sekolah itu adalah: guru sebagai pendidik, guru sebagai
pengajar, guru sebagai pembimbing, dan guru sebagai administrator.
a. Guru sebagai pendidik.
Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha orang dewasa secara sadar untuk mem-
bantu seseorang agar menjadi dewasa, baik dewasa jasmani maupun dewasa rohani. Pada
proses pendidikan di sekolah, seorang guru tidak saja sebagai pengajar di depan kelas,
tetapi lebih penting dari itu bahwa seorang guru harus berusaha membimbing siswa-siswa-
nya untuk mencapai ke arah kedewasaan. Kedewasaan ini dapat diartikan dewasa jasmani
apabila anak sudah mencapai usia 18 ke atas, namun dewasa secara rohani dapat digolong-
kan pada dewasa secara moral, sosial, estetis, religius, kecerdasan, dan rasa tanggungjawab.
Proses pendidikan akan mengarah kepada pembentukan sikap dan tingkah laku, serta kepri-
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
93
badian yang utuh, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu pembentukan tingkah
laku, hubungan sosial, nilai, kebiasaan, kecerdasan, keterampilan, perasaan, dan kepribadi-
an secara menyeluruh.
b. Guru sebagai pengajar.
Sebagaimana telah dibahas pada paragraf terdahulu, bahwa tugas guru sebagai
pengajar adalah mengorganisasikan dan mengelola semua komponen dan kompetensi bel-
ajar mengajar sehingga terjadinya proses belajar pada diri anak. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam pengajaran yang dipermasalahkan adalah bagaimana agar anak dapat belajar,
jadi yang penting bukan apa yang dilakukan guru, melainkan apa yang dapat dilakukan
anak didik setelah dia mengikuti kegiatan pengajaran tertentu. Dalam pengertian ini proses
belajar tidak hanya terjadi karena guru menerangkan atau menyampaikan materi kepada
anak, tetapi dapat juga terjadi karena ada interaksi aktif anak didik dengan sumber belajar
yang ada di lingkungannya. Namun demikian, peranan guru sebagai pengajar tidak dapat
diabaikan, karena guru selalu berusaha memanipulasikan sumber belajar di lingkungan
anak didik supaya terjadi interaksi belajar yang terarah antara anak didik dengan lingkung-
annya, sehingga tujuan pengajaran dapat tercapai.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru sebagai pengajar, yaitu:
1) Guru harus berusaha membangkitkan motivasi pada diri anak. Untuk membangkitkan
motivasi anak dalam belajar, guru dapat menjelaskan pelajarannya dengan cara yang sis-
tematis, bahasa yang sederhana yang dapat dengan mudah dimengerti oleh anak.
2) Guru hendaknya membuat struktur pengajaran yang sistematis. Dalam hal ini guru hen-
daknya memerinci pengajarannya terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, bagian
inti, dan bagian penutup.
3) Guru harus dapat memahami dan menghormati murid. Setiap anak didik mempunyai
perbedaan-perbedaan, dan guru harus memahami dan menghormati setiap perbedaan itu.
4) Guru harus percaya pada anak bahwa anak mempunyai potensi (kemampuan) untuk ber-
kembang. Pada dasarnya setiap anak yang belajar mempunyai kemampuan untuk dapat ber-
kembang, oleh karena itu guru harus memberi kesempatan pada setiap muridnya untuk me-
ngembangkan potensinya.
5) Menyesuaikan bahan dan metode dengan kesanggupan anak didik. Setiap anak dalam
kelas mempunyai kesanggupan yang berbeda-beda dalam setiap hal. Biasanya guru ber-
usaha menyesuaikan pelajarannya dengan kesanggupan rata-rata anak dalam kelas.
6) Meningkatkan kadar CBSA, dan tidak hanya memberi informasi dengan kata-kata be-
laka. Dalam dunia pendidikan pada dasa warsa terakhir ini, mengalami beberapa perubahan
sistem, termasuk usaha meningkatkan cara belajar siswa dalam proses belajar mengajar.
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
94
7) Guru membuat perencanaan dan persiapan yang matang sebelum mengajar, baik peren-
canaan dan persiapan secara tertulis maupun perencanaan dan persiapan diri.
8) Guru dapat memanfaatkan media pengajaran yang sesuai dengan tujuan instruksional
yang telah ditetapkan. Dalam memanfaatkan media pengajaran, tidak dapat dilihat dari ma-
halnya alat yang digunakan, tetapi apakah media itu dapat menunjang tercapainya tujuan
pengajaran yang telah ditetapkan.
9) Memberi hukuman yang bersifat mendidik bagi siswa yang melakukan perbuatan salah
dan memberi hadiah kepada siswa yang melakukan perbuatan yang terpuji.
c. Guru sebagai pembimbing.
Dalam interaksi belajar mengajar, tugas guru tidaklah terbatas pada sekadar me-
nyampaikan materi kepada anak, akan tetapi lebih dari itu adalah bahwa seorang guru harus
berusaha membimbing anak didiknya. Kesulitan-kesulitan dan hambatan siswa dalam bel-
ajar hendaklah merupakan tantangan bagi guru untuk berusaha membantu memecahkannya.
Untuk itu guru harus dapat membimbing anak secara individual, sesuai dengan perbedaan
anak meliputi perbedaan bakat, minat, cara belajar, kecerdasan, kemampuan, kebiasaan,
tingkah laku dan kepribadian masing-masing anak. Sehingga dengan bimbingan guru ini di-
harapkan anak dapat memahami dan menerima masalah-masalahnya serta dapat memecah-
kan masalahnya sendiri, yang kemudian dapat mengembangkan potensi atau kemampuan
yang dimiliki secara optimal.
d. Guru sebagai administrator.
Proses interaksi belajar mengajar dalam kelas akan membutuhkan suatu koordinasi,
kerja sama, dan pengelolaan. Sehingga semua siswa secara maksimal dapat diarahkan pada
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dan seorang guru yang bijaksana akan selalu
memperhatikan dan mengelola semua komponen yang ada di dalam kelas, mulai dari anak
didik, alat-alat pelajaran, daftar siswa, jurnal mengajar, masalah kedisiplinan dan keaktifan
siswa dalam mengikuti pelajaran.
Simpulan
Komunikasi dalam pendidikan merupakan proses penyampaian pesan yang terkait
dengan material pembelajaran kepada penerima pesan secara kondusif. Makna pesan yang
disampaikan oleh komunikator harus setara dengan makna yang diterima oleh komunikan.
Komunikasi yang baik, merupakan persyaratan yang utama untuk terjadinya proses inter-
aksi dalam proses pembelajaran. Interaksi pembelajaran merupakan hubungan antara siswa
dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan, dan siswa dengan sumber bel-
ajar. Komunikasi dalam interaksi pembelajaran dapat berlangsung secara inter-personal dan
intra-personal.
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
95
Daftar Pustaka
Amir, M. Taufiq. 2010. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana
Pendidik Memberdayakan Pebelajar di Era Pengetahuan. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Aryantini, Ketut. 2010. Teknologi Komunikasi dalam Pendidikan. Denpasar: Bali Post
Offset.
Djamarah, Syaiful Bahri. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha
Nasional.
Effendy, Onong Uchjana. 2005. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja
RosdaKarya.
-------. 1981. Dimensi-Dimensi Komunikasi. Bandung: Alumni.
Hasibuan, J.J. dan Moedjiono. 1986. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Karya.
Indrayanto. 2011. Komunikasi dalam Pendidikan. Dalam http://id.shvoong.com/social-
sciences/education/2025197-pengertian-komunikasi-dalam-
pendidikan/#ixzz1gs3rsutI. Diakses Tanggal 7 Desember 2011.
Sardiman, A.M. 1988. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar: Pedoman bagi Guru dan
Calon Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
Soetomo. 1993. Dasar-Dasar Interaksi Belajar Mengajar. Surabaya: Usaha Nasional.
Suparno, Paul et al. 2002. Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta:
Kanisius.