komunikasi tingkat basis dan kesadaran kritis … · 2015-09-03 · penelitian ini didesain dengan...
TRANSCRIPT
KOMUNIKASI TINGKAT BASIS DAN KESADARAN KRITIS PENGARUSUTAMAAN GENDER
(Studi Kasus Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon)
AHMAD YUSRON
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Komunikasi Tingkat Basis dan Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender (Studi Kasus Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon)” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
Ahmad Yusron NIM I352080081
ABSTRACT
AHMAD YUSRON. Communication Base Rate and Critical Consciousness,
Keywords:
Gender Mainstreaming. Under direction of NINUK PURNANINGSIH and AMIRUDDIN SALEH
Kenanga village of district Cirebon, is one area that gets the PNPM Mandiri program. This is due to poverty is still a large population of Kenanga village. PNPM Mandiri is a means to alleviate poverty in Indonesia. The program was characterized by active participation of society, awareness of responsibility towards the development and equitable gender roles. This concept represents a new paradigm in the application system in Indonesian Development. To realize the vision of this mission required a participatory communication. To analyze this concept carried out a study using a qualitative approach to the critical paradigm. For data collection has done by using interview techniques, both participatory observation and observations that are closed, the forum group discussions or FGDs and literature studies. The point object from the unit under study PNPM mandiri are activities revolving loan. Results obtained from this study that the pattern of communication which were conducted in PNPM Mandiri participation was communication with the communication approaches that were sequential. With this communication pattern has been distorted so that the internalization of the program to the community not be comprehensive. As a result, the implementation of the PNPM Mandiri undergone many obstacles.
communication, critical c
onciseness, gender mainstreaming
RINGKASAN
AHMAD YUSRON, Komunikasi Tingkat Basis dan Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender: Studi Kasus Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh NINUK PURNANINGSIH dan AMIRUDDIN SALEH
Dalam rangka menanggulangi kemiskinan pemerintah telah meluncurkan berbagai program. Mulai dari program yang ditujukan untuk petani, dengan berbagai skim kredit dan subsidi, sampai pada berbagai program pemberdayaan untuk keluarga miskin, seperti pemberian dana bergulir, program ekonomi produktif, pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Berbagai program tersebut secara signifikan belum mampu menurunkan jumlah penduduk miskin.
Menjawab kondisi ini pemerintah membuat sebuah program yang bersifat komprehensif. Program ini menitikberatkan peran masyarakat menjadi tulang punggung sebagai modal sosial dengan mengedepankan aspek keadilan peran laki-laki dan perempuan. Program tersebut adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program ini merupakan replikasi, di dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan yang merupakan implementasi Millennium Development Goals (MDGs). Kata kunci program ini adalah meningkatkan partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian kegiatan pembangunan dan pemberdayaan. (LP3S & World Bank 2007).
Salah satu bentuk kegiatan PNPM Mandiri adalah pinjaman bergulir. Kegiatan ini memberikan kemudahan akses, terutama masyarakat miskin termasuk perempuan, yang selama ini aksesibilitas mereka terhadap perbankan sangat sulit yang menjadikan mereka khususnya pelaku usaha kecil menengah sangat sulit untuk berkembang.
Untuk mencapai keberhasilan misi dan visi PNPM Mandiri sangat dibutuhkan komunikasi, yang terselenggara pada tingkat basis dan regulator PNPM Mandiri. Pendekatannya adalah dengan menggunakan model komunikasi yang memungkinkan adanya pertukaran komunikasi banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi atau model interaksi. Dari latar belakang inilah, penelitian dibuat.
Penelitian ini bertujuan pertama menganalisis komunikasi tingkat basis kegiatan PNPM Mandiri, kedua menganalisis internalisasi kegiatan PNPM Mandiri dan ketiga menganalisis pengarusutamaan gender dalam kegiatan pinjaman bergulir PNPM Mandiri
Paradigma penelitian yang digunakan adalah paradigma kritis. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian sebagai kritik sosial dan penguatan sosial. Penelitian ini didesain dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Meski demikian data kuantitatif akan digunakan sebagai penguat data kualitatif.
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Instrumen yang digunakan untuk melakukan penggalian atau
memperoleh data adalah pengamatan atau observasi, wawancara semi terstruktur, dan studi literatur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga menggunakan dua pola pendekatan yaitu komunikasi partisipatif dan linier. Proses komunikasi yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat banyak menggunakan komunikasi partisipatif, sedangkan komunikasi antara masyaraka dengan fasilitator menggunakan komunikasi linier. Pola komunikasi partisipatif dan linier dilaksankan dalam berbagai siklus PNPM Mandiri dari tahap persiapan sampai evaluasi.
Dilihat dari distribusi pesan, pelaksanaan komunikasi kegitan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga menggunakan simpul-simpul komunikasi. Simpul komunikasi terdiri dari kelompok masyarakat yang memiliki pengaruh atau memiliki kapasitas sebagai opinion leader. Komunikasi PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga didukung juga dengan komunikasi sekunder melalui media warga dalam bentuk buletin dan papan informasi. Media warga dalam bentuk media cetak adalah buletin dengan nama gema bangkit. Pada kenyataannya media sekunder, masih belum efektif sebagai sarana komunikasi partisipatif dan masih cenderung sebagai formalitas dan bagian siklus kegiatan PNPM Mandiri yang telah ditetapkan oleh regulator.
Dalam konteks isu gender gender, akses komunikasi tingkat basis memberikan peluang yang sama baik laki-laki dan perempuan untuk mengakses sarana-sarana komunikasi. Pada tingkat partisipasi dan kapasitas dalam kegiatan komunikasi banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Hal ini disebabkan oleh penciptaan iklim komunikasi yang tidak mengakomodir kondisi perempuan. Salah satunya adalah jadwal rembug warga yang sering dilaksanakan pada malam hari hingga larut malam. Selain itu, konsep diri perempuan yang terstigma kuat bahwa kegiatan publik merupakan domain laki-laki baik dari segi peran dan tanggung jawab.
Dilihat dari sudut internalisasi PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga masih dianggap sebagai kegiatan yang bersifat jangka pendek. Pandangan masyarakat masih memahami kegiatan PNPM Mandiri, hanya sebatas pada kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan warga. Untuk program-program lain seperi bidang sosial dan pinjaman bergulir, banyak tidak diketahui oleh masyarakat. Ironisnya lagi kelompok dari rumah tangga miskin sebagai sasaran program tidak mengetahui program PNPM Mandiri. Rendahnya internalisasi program ini disebabkan sistem komunikasi yang tidak berjalan dengan baik terutama antara simpul komunikasi dengan masyarakat tingkat basis. Selain itu, sifat fatalis dari kelompok miskin, yang menganggap selama ini program penanggulangan kemiskinan tidak memiliki kontribusi terhadap perubahan nasib mereka.
Pada kegiatan pinjaman bergulir, ditinjau dari aspek gender sudah menunjukkan adanya equality gender. Hal ini terlihat dari isu-isu gender, yang mengindikasikan adanya persamaan akses, partisipasi pengelolaan, pemanfaatan kegiatan dan kontrol terhadap kegiatan pinjaman bergulir antara laki-laki dan perempuan.
Pemanfaat pinjaman bergulir sebagian besar adalah perempuan. Mereka merupakan pelaku usaha mikro kecil menengah, namun dalam pemanfaatan dana, tidak semuanya pinjaman bergulir digunakan untuk keperluan usaha yang mereka miliki. Banyak pemanfaat perempuan menggunakan dana pinjaman bergulir untuk kepentingan kebutuhan sehari-sehari yang bersifat sekunder, seperti untuk pendidikan, perehaban rumah, dan keperluan lainnya. Selain itu, ditemukan juga dana dari pinjaman bergulir digunakan untuk kepentingan suami seperti kepentingan suami berangkat merantau.
Pada pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir, perempuan masih sebatas obyek kegiatan. Hal ini dapat dilihat dari segi kepengurusan dan inisiatif perempuan dalam membentuk kelompok swadaya masyarakat (KSM) pinjaman bergulir. Dalam masalah tanggung jawab terhadap pengembalian dana pinjaman bergulir, perempuan lebih bertanggung jawab dibandingkan laki-laki, meski demikian kasus besar kemacetan banyak dilakukan oleh perempuan. Berkaitan dengan kontrol sosial, kegiatan pinjaman bergulir belum terbangun sistem kontrol yang baik, pada tingkat pengelola maupun tingkat masyarakat. Hal ini menjadikan konsep tanggung renteng dalam pelaksanaan pinjaman bergulir belum berjalan. Konsekuensinya, pinjaman bergulir yang secara konsepnya merupakan pinjaman bersama dan dibayar secara bersama, secara aplikasinya sebagai pinjaman individu dan dibayar berdasarkan individu.
Secara umum kegiatan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga dalam payung PNPM Mandiri, telah mengisyaratkan perubahan-perubahan pandangan masyarakat terhadap program-program pemerintah. Program pemerintah sedikit demi sedikit dipahami oleh masyarakat bukan program charity tetapi program yang harus dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab.
©Hak Cipta milik IPB 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip Hak Cipta sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan
masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KOMUNIKASI TINGKAT BASIS DAN KESADARAN KRITIS PENGARUSUTAMAAN GENDER
(Studi Kasus Kegiatan Pinjaman Bergulir Program PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon)
AHMAD YUSRON
Tesis Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Akhir: Prof. Dr. Aida Vitayala Hubeis
LEMBAR PENGESAHAN TESIS
Judul Penelitian : Komunikasi Tingkat Basis dan Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender (Studi Kasus Kegiatan Peminjaman Bergulir PNPM Mandiri Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon)
Nama : Ahmad Yusron NIM : I352080081 Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si
Ketua
Diketahui,
Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS Anggota
Koordinator Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian
dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 15 Juni 2011 Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan segala karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Komunikasi Tingkat Basis dan Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender (Studi Kasus Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon) Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si dan Dr. Ir. Amiruddin Saleh MS selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan masukan pada tesis ini. 2. Dr. Ir Djuara P. Lubis, MS dan Dr. Ir. Sarwititi Agung, MS yang telah
membimbing pada saat kolokium. 3. Almarhum KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang telah memberi inspirasi
dan pencerahan terhadap penulis tentang persamaan hak dalam berkehidupan. 4. Koordinator Kabupaten dan fasilitator kelurahan (Faskel) yang telah
memberikan data-data awal kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon.
5. Aktivis penggerak kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga yang telah bersedia melakukan diskusi-diskusi berkenaan dengan partisipasi gender.
6. Lurah kenanga beserta staf yang telah membantu memberikan data-data demografi kelurahan Kenanga.
7. Teman-teman seperjuangan di program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan angkatan 2008.
8. Ikhsan Fuady, kompti angkatan 2008 yang telah memberikan dukungan moril dan spirituil.
9. Orang terkasihku istriku Dara Agusti, A.Md., anakku Redlita Annisa dan Muhammad Prabu Wiguna yang senantiasa sabar menunggu.
10. Keluarga besar alm. H. Samsuri Ibnu Hadjar yang telah memberikan dorongan moril dan spirituil.
Bogor, Juni 2011
Ahmad Yusron
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 15 Juli 1975, putra kedua dari
empat bersaudara pasangan (alm) H. Samsuri Ibnu Hadjar dan Hj. Mariyatul
Kibtiyah
Tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung dan pada tahun 2008 melanjutkan
studi pada program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis bekerja sebagai dosen tetap di Universitas Muhammadiyah
Cirebon pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik. Selain aktif di dunia pendidikan
penulis aktif di Yayasan Banati, sebuah yayasan untuk pemberdayaan perempuan.
Pada tahun 2009, penulis menjadi tenaga ahli Kementerian Pembangunan Daerah
Tertinggal dalam rangka pembuatan rencana induk pengembangan daerah
tertinggal di wilayah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Pada tahun 2006 penulis menikah dengan Dara Agusti, A.Md. dan
dikaruniai dua orang anak yaitu Redlita Annisa dan Muhammad Prabu Wiguna.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN ................................................................................ 1 Latar Belakang Penelitian ......................................................... 1 Rumusan Masalah Penelitian .................................................... 4 Tujuan Penelitian ...................................................................... 5 Kegunaan Penelitian ................................................................. 6 Definisi Istilah ........................................................................... 7
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 11 Kegiatan PNPM Mandiri .......................................................... 11 Feminimisasi Kemiskinan ......................................................... 13 Pembangunan Berwawasan Gender .......................................... 17 Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan ....................... 23 Hambatan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan....... 25 Partisipasi Masyarakat .............................................................. 28 Pemberdayaan dalam Perspektif Gender .................................. 31 Komunikasi Partisipatif dan Linier .......................................... 34 Komunikasi Kelompok ............................................................. 40 Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender .............................. 42 Review Hasil Penelitian tentang Gender ................................... 44 Kerangka Pemikiran .................................................................. 46
METODE PENELITIAN ...................................................................... 49 Paradigma Penelitian ................................................................. 49 Desain Penelitian ....................................................................... 51 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 53 Data dan Instrumen ................................................................... 53 Analisa Data .............................................................................. 56 Hipotesis Pengarah .................................................................... 56
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 59 Gambaran Obyek Penelitian ..................................................... 59
Kondisi Geografis dan Administrasi.............................. 59 Kondisi Demografis ...................................................... 60 Pelapisan Masyarakat dan Kegiatan PNPM Mandiri ... 62 Sistem Komunikasi Masyarakat .................................... 64
Komunikasi Tingkat Basis Kegiatan PNPM Mandiri..……….. 66 Komunikasi Tingkat Basis dalam Berbagai Dimensi.... 66 Aplikasi Model Komunikasi Tingkat Basis ………….. 76
Komunikasi Kegiatan PNPM Mandiri dalam Isu Gender ………………………………………………...
79
Internalisasi Kegiatan PNPM Mandiri....................................... 86 Pencitraan Kegiatan PNPM Mandiri.............................. 86 Internalisasi Berdasarkan Keragaman Karakteristik …. 88
Pengarusutamaan Gender Kegiatan Pinjaman Bergulir ............ 91 Kegiatan Pinjaman Bergulir di Kelurahan Kenanga .... 91 Isu Gender dalam Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri…......................................................................
93
Akses Gender dalam Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri ....……………………………………..
94
Partisipasi dalam Aspek Gender pada Kelembagaan UPK ...............................................................................
95
Pemanfaatan Pinjaman Bergulir dalam Aspek Gender.. 97 Inisiasi Perempuan dalam Pembentukan KSM .......….. 99 Kontrol dan Tanggung Jawab pada Kegiatan Pinjaman Bergulir ………………………………………………..
104
Pembangunan Sistem Kontrol Sosial Kegiatan Pinjaman Bergulir .........................................................
110
Jawaban Hipotesis Pengarah ......................................... 112
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 115 Simpulan ................................................................................... 115 Saran .......................................................................................... 116
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 117
LAMPIRAN .......................................................................................... 121
DAFTAR TABEL Halaman
1 Data, sumber informasi dan instrumen ........................................... 55
2 Pembagian wilayah ......................................................................... 59
3 Penduduk berdasarkan sebaran tingkat RW ................................... 60
4 Tingkat pendidikan penduduk berdasarkan sebaran tingkat RW ... 60
5 Jumlah penduduk Kelurahan Kenanga berdasarkan mata pencaharian .....................................................................................
61
6 Matriks situasi komunikasi pada kegiatan rapat kesiapan masyarakat kegiatan PNPM Mandiri .............................................
67
7 Matriks situasi komunikasi pada fase persiapan kegiatan PNPM Mandiri ...........................................................................................
68
8 Matriks situasi komunikasi pada fase perencanan kegiatan PNPM Mandiri ...........................................................................................
72
9 Matriks situasi komunikasi pada fase pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri ...............................................................................
73
10 Matriks situasi komunikasi pada fase evaluasi kegiatan PNPM Mandiri ...........................................................................................
75
11 Gambaran suasana aplikasi model komunikasi tingkat basis ......... 76
12 Matriks komunikasi isu gender dalam tahap rapat kesiapan masyarakat pada kegiatan PNPM Mandiri .....................................
80
13 Matriks komunikasi isu gender dalam tahap persiapan kegiatan PNPM Mandiri ...............................................................................
80
14 Matriks komunikasi isu gender dalam tahap perencanaan kegiatan PNPM Mandiri .................................................................
81
15 Matriks komunikasi isu gender dalam tahap pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri ...............................................................................
82
16 Matriks komunikasi dalam isu gender pada tahap evaluasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga ............................
8
17 Distribusi peran dan pemanfaatan program dalam aspek gender ... 85
18 Matriks gambaran internalisasi program ........................................ 86
19 Isu gender pada dalam kegiatan pinjaman bergulir ........................ 94
20 KSM yang dibentuk oleh kepengurusan sebelum pembenahan ..... 99
21 KSM yang didirikan berdasarkan inisiatif masyarakat .................. 103
22 Matriks sistem kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir ............. 111
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Alur kegiatan PNPM Mandiri ......................................................... 12
2 Proses komunikasi dalam PNPM Mandiri ....................................... 34
3 Peran komunikasi dalam pembangunan ........................................... 36
4 Model komunikasi linier Lasswell ................................................... 36
5 Model komunikasi sirkular Schramm .............................................. 37
6 Kerangka pemikiran ......................................................................... 47
7 Siklus kegiatan PNPM Mandiri ....................................................... 66
8 Alur kegiatan PNPM Mandiri fase persiapan .................................. 69
9 Alur pembentukan kelembagaan BKM ............................................ 70
10 Alur kegiatan PNPM Mandiri fase perencanaan ............................. 72
11 Alur Kegiatan PNPM Mandiri fase pelaksanaan ............................. 74
12 Alur kegiatan PNPM Mandiri fase evaluasi ..................................... 75
13 Sekuen-sekuen dalam komunikasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga ..........................................................................
77
14 Metode pelaksanaan pinjaman bergulir sebelum pembenahan ....... 100
15 Pola kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir ............................... 111
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1. Pedoman penelusuran data dan informasi tentang gambaran umum
obyek penelitian……………………………………………………
122 2. Pedoman penelusuran data dan informasi tentang komunikasi
tingkat basis kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga ........
123 3. Pedoman penelusuran data dan informasi tentang internalisasi
kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga………………….
125 4. Pedoman penelusuran data dan informasi tentang kesadaran kritis
pengarusutamaan gender……………………………………….......
126 5. Dokumentasi foto kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga
Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon…………………………...
128
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Pembangunan dapat dipandang sebagai sarana menuju pada perubahan dan
merupakan siklus alamiah sebagai jawaban atas perkembangan peradaban
manusia. Hal ini mengindikasikan pemaknaan sebuah pembangunan tidak dapat
dilihat pada satu sudut pandang. Hal tersebut dapat dilihat pada paradigma, teori,
konsep dan aplikasi yang dibangun yang sangat beragam. Kondisi ini telah
menciptakan berbagai kajian tentang pembangunan.
Salah satu kajian tersebut adalah konsep Socioeconomic Development.
Konsep ini memiliki tajuk yang secara eksplisit menunjukkan penonjolan aspek
sosial di samping aspek ekonomi. Implikasi yang diharapkan dari pendekatan
tersebut adalah pertumbuhan ekonomi yang pesat dan berkesinambungan,
berkurangnya pengangguran, berkurangnya dampak negatif di bidang kesehatan
sebagai akibat kemiskinan, partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan,
dan kemandirian (Sutomo 1998).
Hal serupa juga sesuai dengan pemahaman yang dibuat oleh UNESCO
yang menyatakan bahwa tujuan dan sarana pembangunan bukan membangun
benda melainkan membangun manusia. Pengertian ini dapat disederhanakan
bahwa pembangunan mengandung dua aspek yaitu aspek fisik dan aspek manusia
(Poostchi 1986). Dari konsep ini dapat diambil sebuah kesimpulan besar bahwa
pembangunan harus dilaksanakan secara komprehensif dengan menitikberatkan
masyarakat sebagai bagian modal pembangunan yang berasaskan keadilan.
Dalam konteks Indonesia pembangunan diidentikan dengan program
penanggulanagan kemiskinan karena persoalan bangsa selama ini adalah
kemiskinan. Pengentasan kemiskinan yang terkait dengan pemberdayaan
masyarakat telah dimulai lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Periodisasi serta
berbagai program yang dijalankan selama kurun waktu tersebut di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Periode 1974-1988
Berbagai program sektoral Pertanian (BIMAS, INMAS, KUK, Transmigrasi),
Industri (industri padat karya, antara lain tekstil dan kayu lapis), berbagai
kebijakan Inpres (desa, kabupaten, provinsi, jalan, irigasi, dll).
2
2. Periode 1988-1998
Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Inpres Desa Tertinggal (IDT),
Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) dan berbagai
program ad hoc penanggulangan kemiskinan pasca krisis (Padat Karya,
PDMDKE).
3. Periode 1998-2006
Program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat di berbagai
sektor: PPK, P2KP, P2MPD, WSLIC, KPEL, P4K, dan lain-lain.
Setelah dilakukan evaluasi secara mendalam ternyata pola sekarang
dilakukan parsial sehingga tidak efektif untuk penanggulangan
kemiskinan. Seringkali dijumpai ada daerah-daerah yang mendapat lebih dua
program, sementara ada daerah yang sama sekali tidak dapat. Oleh karena
itu, mulai pada akhir 2006, mulai dilakukan program yang mengintegrasi antar
sektoral dalam upaya menanggulangi kemiskinan.
4. Periode 2007- ke depan
Harmonisasi program-program pemberdayaan masyarakat melalui Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). (Royat, 2008)
Pengentasan kemiskinan harus dilaksanakan secara komprehensif yang
tidak diukur hanya pada aspek fisik belaka. Tetapi juga dapat dilihat pada kondisi
pola pikir masyarakat serta keadilan partisipasi gender. Dalam kaitan keadilan
partisipasi gender dapat dilihat dengan menggunakan parameter Gender-related
Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measurement (GEM).
Dalam konteks partisipasi gender, sementara ini masih menunjukkan
adanya ketidakadilan peran gender. Hal ini dapat dilihat ketimpangan peran antara
laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang. Kondisi ini tercermin dalam
sebuah penelitian yang dilakukan oleh BPS dan Unifem pada tahun 2000 yang
menunjukkan rendahnya representasi perempuan dalam ranah publik. Disebutkan
bahwa dalam DPR representasi perempuan hanya mencapai 8,8%, MPR 9,1%,
anggota DPA 2,7%, Hakim Agung 13,7%, kepala desa/lurah 2,3%, jabatan
struktural kepegawaian 15,2% (BPS & Unifem 2000 dalam Nugroho 2008).
Untuk menjawab kondisi seperti ini pemerintah membuat sebuah program
yang bersifat komprehensif. Dalam hal ini peran masyarakat menjadi tulang
3
punggung sebagai modal sosial dengan mengedepankan aspek keadilan peran
laki-laki dan perempuan. Program tersebut adalah Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program ini merupakan replikasi, di
dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan yang merupakan implementasi
Millennium Development Goals (MDGs). Kata kunci dari program ini adalah
meningkatkan partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian kegiatan pembangunan
dan pemberdayaan perempuan (LP3S & World Bank 2007).
Semangat dalam PNPM Mandiri mengindikasikan adanya gerakan
pengarusutamaan gender (PUG). Gerakan PUG merupakan upaya untuk
menggugah kesadaran para pengambil kebijakan akan perlunya gender equality
dari hasil pembangunan. Penyelenggaraan PUG mencakup pemenuhan kebutuhan
praktis gender dan pemenuhan kebutuhan strategis gender. Kebutuhan praktis
gender adalah pembangunan yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
perempuan yang sifatnya untuk memperbaiki kondisi mereka agar menjalani
kehidupan serta peran-peran sosial mereka secara layak dan bermartabat.
Kebutuhan strategis adalah perubahan peraturan hukum, penafsiran ulang atas
ajaran agama yang dianggap mensubordinasikan perempuan, penghapusan
kekerasan dan diskriminasi di berbagai bidang kehidupan.
PNPM Mandiri dilaksanakan dengan mengembangkan tiga aspek kegiatan
yang disebut dengan tridaya. Kegiatan tersebut antara lain, bidang lingkungan,
sosial dan ekonomi. Kegiatan bidang ekonomi salah satunya diaplikasikan melalui
kegiatan punjaman bergulir yang mudah diakses oleh masyarakat miskin termasuk
perempuan yang sementara ini terkendala dengan akses perbankkan. Sehingga
perempuan, khususnya pelaku usaha kecil menengah sangat sulit untuk
berkembang.
PNPM Mandiri sebagai program yang bercirikan keadilan gender
diharapkan akan memunculkan kesadaran kritis dalam pengarusutamaan gender
yang diimplementasikan oleh masyarakat dalam bentuk partisipasi dan pembuatan
program-program pembangunan yang dituangkan dalam Program Jangka
Menengah (PJM) dan Rencana Tahunan (Renta) yang memiliki aksi strategis yang
berwawasan gender.
4
Untuk mewujudkan keberhasilan misi dan visi PNPM Mandiri sangat
dibutuhkan komunikasi, yang terselenggara pada tingkat basis dan regulator
PNPM Mandiri. Pendekatannya adalah komunikasi pembangunan yang
difokuskan pada usaha penyampaian dan pembagian (sharing) ide, gagasan dan
inovasi pembangunan antara pemerintah dan masyarakat. Pada proses tersebut,
informasi dibagi dan dimanfaatkan bersama-sama dan seluas-luasnya sebagai
suatu yang berguna untuk kehidupan (Dilla 2007).
Rumusan Masalah Penelitian
PNPM Mandiri adalah program dengan mengusung konsep bottom up,
keberdayaan, kemandirian dan keadilan gender. Konsep ini merupakan konsep
yang revolutif karena mengindikasikan adanya perubahan besar dalam konsep
pembangunan masyarakat di Indonesia. Konsep seperti ini diyakini mampu oleh
pemerintah dalam menyelesaikan persoalan pembangunan terutama pengentasan
kemiskinan.
Kata kunci pertama keberhasilan konsep ini adalah bagaimana
menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat dalam pembangunan. Kesadaran kritis
masyarakat tidak hanya dipahami sebatas partisipasi dalam pembangunan, tetapi
juga dalam persoalan peran antara laki-laki dan perempuan. Ini menunjukkan
bahwa keberhasilan PNPM Mandiri tidak dinilai pada ukuran-ukuran fisik
pembangunan tapi juga pada ukuran keadilan gender. Dalam kaitan ini
komunikasi memegang peranan penting di dalam menumbuhkan kesadaran kritis
masyarakat dan penciptaan keadilan dalam perspektif gender.
PNPM Mandiri bercirikan pemberdayaan dan keadilan telah memberikan
akses kepada perempuan sebagai pengelola dan pemanfaat kegiatan di antaranya
dalam kegiatan pinjaman bergulir. Pengembangan dari situasi ini adalah
penelaahan yang lebih dalam apakah kemudahan akses ini merupakan bentuk
afirmasi terhadap perempuan atau bagian eporia atau benar-benar menunjukkan
kesadaran kritis.
Secara umum, benang merah yang dapat ditarik dari perumusan masalah
ini adalah bagaimana komunikasi tingkat basis di dalam menciptakan kesadaran
kritis dalam pengarusutamaan gender. Sebagai unit analisis inti adalah kegiatan
5
pinjaman bergulir PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga. Dari gambaran secara
umum ditarik pada perumusan secara khusus sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran komunikasi tingkat basis kegiatan PNPM Mandiri di
Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon? Unit analisis
yang dikembangkan adalah: (1) Komunikasi tingkat basis dalam berbagai
dimensi; (2) Aplikasi model komunikasi tingkat basis; (3) Komunikasi
kegiatan PNPM Mandiri dalam isu gender.
2. Bagaimana gambaran internalisasi PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga?
Unit analisis yang akan ditelusuri adalah pencitraan dan aktivasi kegiatan
PNPM Mandiri dan internalisasi berdasarkan keragaman karakteristik.
3. Bagaimana pengarusutamaan gender kegiatan pinjaman bergulir? Unit analisis
yang ditelusuri adalah: (1) Gambaran kegitan pinjaman bergulir di Kelurahan
Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon; (2) Isu gender dalam
kegiatan pinjaman bergulir; (3) Peran perempuan pada kelembagaan unit
pengelola keuangan; (4) Akses perempuan terhadap pinjaman bergulir; (5)
Keragaman profil perempuan pemanfaat pinjaman bergulir; (6) Inisiasi
perempuan dalam pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat pinjaman
bergulir; (7) Tanggung jawab perempuan terhadap pelaksanaan kegiatan
pinjaman bergulir; (8) Perempuan dan kontrol sosial kegiatan pinjaman
bergulir.
Tujuan Penelitian
PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga merupakan program inovasi yang
memerlukan pembelajaran yang intensif pada masyarakat. Hal ini
mengindikasikan perlunya manajemen komunikasi yang strategis, terarah dan
tepat sasaran, karena visi misi PNPM Mandiri sebagai sarana pendobrak pola
pembangunan sentralisme dan paradigma kerangka berpikir lama. Titik krusial
program ini ada pada kegiatan pinjaman dana bergulir, karena selama ini program
pinjaman bergulir khususnya di Kelurahan Kenanga tidak berjalan dengan baik.
Hal ini tentunya diperlukan sebuah kesadaran kritis bersama sehingga program
pinjaman bergulir dapat berjalan dengan baik .
Kesadaran kritis dalam pembangunan tidak hanya dipahami pada aras
partisipasi tetapi juga dipahami secara keadilan gender. Kesadaran kritis akan
6
muncul dari sebuah pembelajaran dengan menggunakan media komunikasi. Dari
paparan di atas tujuan penelitian ini dapat disederhanakan sebagai berikut:
1. Menganalisis model komunikasi tingkat basis kegiatan PNPM Mandiri di
Kelurahan Kenanga, Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon.
2. Menganalisis internalisasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga
Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon.
3. Menganalisis pengarusutamaan gender dalam kegiatan pinjaman di Kelurahan
Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mencoba membangun satu kesatuan antara komunikasi
tingkat basis dengan kesadaran kritis gerakan pengarusutamaan gender. Dari
perumusan penelitian yang dibuat, maka kegunaan penelitian ini mencakup tiga
aspek yaitu:
1. Kegunaan teoretis.
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap
pengembangan ilmu komunikasi baik secara konseptual dan teoretis terutama
mengenai komunikasi partisipasi.
2. Kegunaan kritis.
Diharapkan penelitian ini sebagai inspirasi untuk membangun kesadaran kritis
dalam perspektif gender terutama berkenaan dengan keseimbangan dan
keadilan peran antara laki-laki dan perempuan dalam partisipasi
pembangunan.
3. Kegunaan praktis.
Diharapkan penelitian ini menjadi bahan pertimbangan dan bahan informasi
bagi perencana dan pengambil kebijakan oleh instansi tertentu yang terkait
dengan kegiatan PNPM Mandiri yang berkenaan dengan kesadaran kritis
pembangunan dalam perspektif gender.
7
Definisi Istilah
Setiap penelitian memiliki ranah kajian khas yang memunculkan beberapa
istilah spesifik. Tentunya dalam kaitan penelitian ini istilah spesifik yang muncul
adalah istilah-istilah yang berkaitan dengan kegiatan PNPM Mandiri dan kajian
gender. Berikut ini beberapa istilah penting yang berhubungan dengan tema kajian
penelitian:
1. BKM : Badan Keswadayaan Masyarakat adalah suatu badan
yang dibentuk masyarakat yang bertujuan untuk
mengelola PNPM Mandiri.
2. Faskel : Fasilitator Kelurahan adalah seseorang yang ditugasi
untuk melakukan pendampingan pada tingkat basis
dalam kegiatan PNPM Mandiri.
3. GAD : Gender and Development adalah konsep
pembangunan yang melibatkan secara penuh
perempuan di dalam mengikuti proses pembangunan
dari perencanaan sampai evaluasi.
4. GDI : Gender-related Development Index adalah ukuran
yang digunakan dalam parameter gender yang
berkaitan dengan pembangunan.
5. GEM : Gender Empowerment Measurement ukuran yang
digunakan untuk melihat tingkat keberdayaan
masyarakat terutama kaum perempuan dalam
pembangunan.
6. IDT : Inpres Desa Tertinggal adalah program pemerintah
pada masa orde baru untuk mengentaskan kemiskinan
di daerah pedesaan.
7. Korkab : Koordinator Kabupaten adalah orang yang bertugas
untuk melakukan koordinator dalam kegiatan PNPM
Mandiri dalam lingkup kabupaten atau kota.
8. KSM : Kelompok Swadaya Masyarakat adalah kelompok
yang dibentuk masyarakat yang bertugas sebagai
pelaksana atau eksekutor program.
8
9. MDGs : Millennium Development Goals adalah program
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bervisi misi
mengentaskan kemiskinan dengan target 2015 dengan
mengedepankan delapan aspek prioritas.
10. PJM : Program Jangka Menengah adalah istilah yang
digunakan untuk program selama tiga tahun yang
dibuat dan dilaksanakan oleh BKM.
11. PNPM : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat adalah
sebuah program yang dibuat oleh pemerintah di
dalam mengaplikasikan konsep pembangunan
berparadigma bottom up menitikberatkan pada
partisipasi, pemberdayaan dan kemandirian
masyarakat.
12. PUG : Pengarusutamaan Gender adalah sebuah gerakan
afirmasi yang ditujukan untuk meningkatkan peran
terutama perempuan dalam proses pembangunan.
13. Renta : Rencana Tahunan adalah istilah yang digunakan
untuk nama program satu tahunan yang dilaksanakan
oleh BKM yang bersumber dari program jangka
menengah.
14. RPuK : Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan adalah
sebuah lembaga swadaya yang berbasis di Aceh yang
intens dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
15. RWT : Rapat Warga Tahunan adalah siklus kegiatan dalam
program PNPM Mandiri yang merupakan sarana
masyarakat untuk melakukan monitoring dan evaluasi
program.
16. UPK : Unit Pengelola Keuangan adalah unit kerja BKM
yang bertanggung jawab dalam kegiatan ekonomi
perguliran (pinjaman bergulir).
9
17. UPL : Unit Pengelola Lingkungan adalah unit kerja BKM
yang bertanggung jawab terhadap kegiatan-kegiatan
pembangunan infrastruktur lingkungan.
18. UPS : Unit Pengelola Sosial adalah unit kerja BKM yang
bertanggung jawab terhadap kegiatan-kegiatan sosial.
19. WAD : Women and Development adalah pendekatan yang
menitikberatkan pengembangan kegiatan peningkatan
pendapatan tanpa memperhatikan unsur dimensi
ruang dan waktu yang digunakan oleh perempuan.
20. WID : Woman in Development adalah kebijakan program
pembangunan yang dapat menghasilkan pendapatan
bagi perempuan.
10
11
TINJAUAN PUSTAKA
Kegiatan PNPM Mandiri
Secara umum PNPM dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan melalui
peningkatan partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan, peningkatan
kapasitas pemerintah daerah dalam penyediaan layanan umum dan peningkatan
kapasitas lembaga lokal yang berbasis masyarakat. Selain itu, PNPM Mandiri
diharapkan dapat meningkatkan sinergi antara masyarakat dan pemerintah daerah
dalam rangka lebih mengefektivkan upaya-upaya pengurangan kemiskinan (LP3S
& World Bank 2007).
PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan
yang menjadi dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan
kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat
merupakan upaya untuk menciptakan atau meningkatkan kapasitas masyarakat
menuju kemandiriannya dalam pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat.
PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan
sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan
dana stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya
penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan.
Tujuan umum PNPM Mandiri adalah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat miskin dan meningkatkan kesempatan kerja. Tujuan umum dapat
dijabarkan dalam tujuan khusus di antaranya (1) Meningkatnya partisipasi seluruh
masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat
terpencil dan kelompok masyarakat lainnya yang belum dilibatkan secara optimal
dalam proses pembangunan; (2) Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui
kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin
(pro-poor budgeting); (3) Meningkatnya keberdayaan dan kemandirian
masyarakat serta pemerintah daerah serta kelompok peduli setempat dalam
menanggulangi kemiskinan di wilayahnya; (4) Meningkatkan modal sosial
masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk
melestarikan kearifan lokal; (5) Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan teknologi
12
tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat (Ditjen
PMD 2008).
Pada pelaksanaan operasional kegiatan PNPM Mandiri menekankan
prinsip-prinsip dasar otonomi, desentralisasi, partisipasi, kesetaraan dan keadilan
gender, demokratis, transparansi dan berorientasi pada masyarakat miskin (Ditjen
PMD 2008).
Dalam konteks aplikasi kegiatan PNPM Mandiri dapat digambarkan dalam
Gambar 1 sebagai berikut:
Gambar 1. Alur kegiatan PNPM Mandiri
Gambar 1 Di atas menunjukkan bahwa konsep PNPM Mandiri adalah
program berbasis masyarakat. Kegiatan PNPM Mandiri diawali dengan pemetaan
swadaya (PS). Pemetaan swadaya dilakukan oleh masyarakat yang telah diberikan
pelatihan. Hasil dari pemetaan swadaya masyarakat meliputi berbagai tiga aspek
besar yaitu: bidang kondisi fisik lingkungan warga, sosial dan ekonomi warga.
Hasil pemetaan ini merupakan sumber dalam pembuatan Program Jangka
Menengah (PJM) dan Rencana Tahunan (Renta). Program Jangka Menengah dan
Renta dibuat oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang merupakan
lembaga yang dibentuk oleh masyarakat yang memiliki badan hukum. Selanjutnya
PJM dan Renta yang sudah disepakati bersama masyarakat diaplikasikan dalam
program aksi yang dilakukan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Pelaksanaan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga dimulai sejak tahun
2007, dengan nama Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).
Program ini memiliki tiga sasaran yaitu: (1) Peningkatan sarana lingkungan fisik
warga dengan melaksanakan perbaikan sarana lingkungan warga seperti
Penguatan program (pelatihan-pelatihan)
Pemetaan swadaya
Pembuatan PJM/Renta
Aplikasi program (aspek perencanaan, aksi dan evaluasi)
13
pengaspalan jalan, saluran pembuangan air limbah rumah tangga, pembuatan rabat
beton dan lain-lain; (2) Peningkatan taraf kesejahteraan sosial yang diaplikasikan
dalam bentuk kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan; (3)
Ekonomi bergulir yaitu memberikan pinjaman lunak tanpa agunan kepada
masyarakat dengan sistem berkelompok. Proporsi penggunaan anggaran dalam
program ini adalah 70% digunakan untuk pembangunan peningkatan sarana fisik
lingkungan, 10% untuk kegiatan sosial dan 20% untuk kegiatan ekonomi
(pinjaman bergulir).
Feminimisasi Kemiskinan
Lahirnya PNPM Mandiri, merupakan jawaban atas hasil program-program
pengentasan kemiskinan yang selama ini belum mendapatkan hasil yang optimal.
Kemiskinan menjadi permasalahan krusial yang dihadapi oleh semua negara di
dunia, lebih-lebih di negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia.
Sampai tahun 2006, BPS memperkirakan hampir 17,4% dari total penduduk
Indonesia masih hidup dalam kondisi miskin. Data lain yang ditunjukkan
Whitehead dalam Cahyono (2005) telah mendata bahwa lebih dari setengah
penduduk miskin di negara berkembang adalah kaum perempuan. Data dari
perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa dari 1,3 miliar warga
dunia yang masuk kategori miskin, 70 persennya adalah kaum perempuan. Hal ini
menguatkan terjadinya feminimisasi kemiskinan yakni sebuah kenyataan bahwa
sebagian besar angka kemiskinan dialami oleh kaum perempuan.
Kemiskinan pada hakikatnya merupakan persoalan klasik dan belum
ditemukan suatu rumusan atau formulasi penanganan yang dianggap paling jitu
dan sempurna. Tidak ada konsep tunggal tentang kemiskinan. Terdapat banyak
sekali teori dalam memahami kemiskinan. Bila dipetakan, literatur mengenai
kebijakan sosial menunjuk pada dua paradigma atau teori besar (grand theory)
mengenai kemiskinan yakni paradigma neoliberal dan demokrasi sosial (Suharto
2005). Dua paradigma atau pandangan ini kemudian muncul cetak biru dalam
menganalisis kemiskinan maupun merumuskan kebijakan-kebijakan dan program-
program anti kemiskinan.
Teori neoliberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh
Thomas hobbes, John Lock dan John Stuart Mill. Intinya menyerukan bahwa
14
komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam
bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, The Wealth of Nation (1776)
dan Frederick Hayek, The Road of Serfdom (1944) dipandang sebagai rujukan
kaum neoliberal yang mengedepankan azas laissez faire, yang oleh Cheyne et al.
(1992) dalam Suharto (2005) disebut sebagai ide yang mengunggulkan
“mekanisme pasar bebas” dan mengusulkan “the almost complete absences of
states intervention in the economy.”
Para pendukung neoliberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan
persoalan individu yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan atau pilihan-
pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya
jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan
ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung strategi penanggulangan
kemiskinan harus bersifat “residual”dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-
kelompok swadaya, atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran negara hanya
sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-
lembaga di atas tidak mampu menjalankan tugasnya (Shanon 1991; Spicker 1995;
Cheyne et al. 1998 dalam Suharto 2005). Penerapan program-program structural
adjustmen, seperti program jaringan pengaman sosial (JPS) di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, sesungguhnya merupakan contoh konkret dari
pengaruh neoliberal dalam bidang penanggulangan kemiskinan.
Teori demokrasi sosial memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan
individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan adanya ketidakadilan
dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok
tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Teori ini berporos
pada prinsip-prinsip ekonomi campuran (mixed economy) dan “ekonomi
manajemen-permintaan” (demand-management economics) gaya Keynesian yang
muncul sebagai jawaban tehadap depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920an
dan awal tahun 1930an.
Menurut pandangan demokrasi sosial, strategi penanganan kemiskinan
haruslah bersifat melembaga. Program-program jaminan sosial dan bantuan sosial
yang dianut di Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang merupakan contoh
strategi antikemiskinan yang diwarnai oleh teori demokrasi sosial. Jaminan sosial
15
yang berbentuk pemberian tunjangan pendapatan atau dana pensiun, misalnya
dapat meningkatkan kebebasan karena dapat menyediakan penghasilan dasar
dengan mana orang akan memiliki kemampuan (capabilities) untuk memenuhi
kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya (choices). Sebaliknya ketiadaan
pelayanan dasar tersebut dapat menyebabkan ketergantungan (defedency) karena
dapat membuat orang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan
dan menentukan pilihan-pilihannya.
Dengan menggunakan perspektif lebih luas lagi David (2004) dalam
Suharto (2005) membagi kemiskinan ke dalam beberapa dimensi: (1) Kemiskinan
yang diakibatkan oleh globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan yang
kalah. Pemenang umumnya negara-negara maju sedangkan negara-negara
berkembang seringkali terpinggirkan oleh persaingan pasar bebas yang
merupakan prasyarat globalisasi; (2) Kemiskinan yang berkaitan dengan
pembangunan, kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya
pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan
dalam proses pembangunan, kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan
oleh hakikat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan); (3) Kemiskinan sosial yaitu
kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas;
(4) Kemiskinan konsekuensional, yaitu kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-
kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana
alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.
Mariana dan Purnama (2005) menyebutkan bahwa kemiskinan yang
dialami oleh masyarakat Indonesia adalah kemiskinan majemuk dalam arti
kemiskinan yang terjadi bukan hanya kemiskinan sandang pangan, tetapi juga
kemiskinan identitas, informasi, akses, partisipasi dan kontrol. Oleh karena itu
menurutnya, sebagian besar perempuan Indonesia adalah miskin karena tidak
hanya secara ekonomi mereka terbelakang tetapi juga dalam hal keterbatasan
akses terhadap informasi, pendidikan, politik, kesehatan dan lain-lain, partisipasi
mereka pun kurang diberi tempat. Hal ini yang pada gilirannya memunculkan
Feminimisasi kemiskinan di masyarakat Indonesia.
Dari sisi gender, World Bank (2003) dalam Indraswari (2009)
mengidentifikasikan empat dimensi kemiskinan yaitu women’s lack of
16
empowerment, opportunity, capacity and security. Masalah pemberdayaan
perempuan meliputi dua hal. Pertama pemberdayaan ekonomi terkait dengan
minimnya atau lemahnya akses perempuan terhadap institusi keuangan formal.
Kedua, masalah pemberdayaan juga terkait dengan minimnya suara perempuan
dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional dan regional.
Berbagai kajian tentang kemiskinan menunjukkan minimnya akses
kelompok miskin terhadap institusi keuangan formal terutama dalam hal akses
terhadap fasilitas perbankkan. Minimnya akses tersebut terkait kesulitan yang
dihadapi kelompok miskin dalam penyediaan jaminan perbankkan karena
pemilikan aset yang dapat dijadikan jaminan lebih sering diatasnamakan laki-laki.
Untuk itu, diperlukan terobosan yang telah dilakukan Grammen Bank yang
diprakarsai Mohammad Yunus, pemenang hadiah nobel. Dalam konteks PNPM
Mandiri persoalan ini dipecahkan dengan adanya program pinjaman dana bergulir
yang dikelola oleh masyarakat.
Sumber dari permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh perempuan
menurut Muhadjir (2005) terletak pada budaya patriarki yaitu nilai-nilai yang
hidup di masyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan
subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan menjadi sumber pembenaran
terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem
pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi resoursis yang bias
gender. Kultur yang demikian ini akhirnya akan bermuara pada terjadinya
perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, ekploitasi maupun kekerasan terhadap
perempuan.
Budaya patriarki dengan sistem kekerabatan yang bertumpu pada laki-laki
akan menjadikan laki-laki merasa lebih superior dan berkuasa, sementara
perempuan ada pada posisi inferior. Hal ini pada akhirnya akan membatasi akses
perempuan terhadap berbagai sumberdaya. Pada dasarnya ada faktor struktural
yang menyebabkan individu dalam keluarga dan masyarakat tidak mempunyai
akses yang sama untuk merealisasikan hak-haknya sebagai anggota keluarga,
anggota masyarakat maupun sebagai warga negara. Salah satu hambatan
struktural tersebut adalah adanya relasi gender (gender relation) yang tidak adil
17
dan setara sebagai akibat dari budaya yang sangat paternalistik. Kondisi seperti ini
tampak dengan jelas karena sampai saat ini keterbatasan akses perempuan
terhadap pendidikan, ekonomi dan lain-lain masih cukup menonjol.
Dari pemaparan konsep, teori, beserta data-data tentang kemiskinan yang
ada mengindikasikan perlunya sebuah penyelesaian kemiskinan secara
komprehensif. Dalam kaitan ini, penanganan kemiskinan harus melihat berbagai
variabel, seperti variabel sosial, kemasyarakatan dan ekonomi. Hadirnya PNPM
Mandiri diharapkan mampu menjadi jembatan dalam mengentaskan persoalan
pembangunan terutama persoalan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena visi dan
misi PNPM Mandiri adalah mengentaskan kemiskinan yang berbasis pada
masyarakat.
Pembangunan Berwawasan Gender
Dewasa ini permasalahan gender sudah menjadi isu global yang sangat
menarik perhatian dunia. Munculnya perhatian terhadap isu gender ini sejalan
dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan
kestabilan (security) menuju pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity)
atau dari pendekatan produksi ke pendekatan kemanusiaan dalam suasana yang
lebih demokratis dan terbuka (Arjani 2008). Terjadinya perubahan paradigma
pembangunan seperti ini, menjadi dasar untuk mengatasi persoalan ketidakadilan
gender yang masih terjadi di masyarakat menuju terwujudnya Keadilan dan
Kesetaraan Gender (KKG).
Latar belakang munculnya konsep pembangunan berwawasan gender
adalah kesenjangan dan ketidakadilan peran antara laki-laki dan perempuan.
Kesenjangan ini pada sebagian masyarakat di dunia merupakan warisan sejarah
dan gejala budaya, yang terkait erat dengan hubungan manusia dengan alam serta
persepsi manusia tentang perbedaan gender di antara laki-laki dan perempuan.
Secara empiris manusia melihat adanya perbedaan biologis, disertai dengan
persepsi mengenai kekuatan dan kelemahan setiap gender. Atas dasar itu manusia
mengatur pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan dalam rumah dan
masyarakat.
Langkah pertama yang perlu dipahami dalam membahas peran perempuan
dalam pembangunan adalah membedakan konsep seks (jenis kelamin) dengan
18
konsep gender. Hal ini sangat esensial dalam menganalisis persoalan-persoalan
ketidakadilan sosial yang menimpa perempuan, yang diakibatkan oleh perbedaan
gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dalam
struktur masyarakat (Sudirja 2007).
Kesalahpahaman terhadap konsep ini memunculkan sebuah stigma yang
tidak adil dalam konstruksi sosial dalam masyarakat. Implikasinya adalah
ketidakadilan peran dalam sektor publik antara laki-laki dan perempuan. Keadaan
ini tentunya bertolak belakang dengan sistem konstitusi yang berlaku di Indonesia.
Secara normatif, Undang-Undang Dasar 1945 sudah memberi penegasan bahwa
setiap warga negara (laki-laki dan perempuan) memiliki hak dan kewajiban yang
sama dalam kegiatan pembangunan.
Dewasa ini berkembang stigma bahwa pembangunan berwawasan gender
adalah pembangunan yang berperspektif perempuan. Stigma ini tentunya harus
diluruskan karena makna pembangunan berwawasan gender memiliki dimensi
yang sangat luas. Pembangunan berwawasan gender bukan hanya dilihat dari sisi
bentuk dan pemanfaatan program yang mengakomodir kebutuhan-kebutuhan
perempuan. Pembangunan berwawasan gender juga harus dipandang bagaimana
aksesibilitas perempuan dalam pembangunan, penguasaan terhadap modal-modal
pembangunan dan lebih penting lagi bagaimana kiprah perempuan dalam
pembangunan.
Lebih jauh memahami gender dalam pembangunan terutama dalam
perspektif perempuan tentunya harus dipahami peran perempuan secara
komprehensif. Dalam pengembangan citra dan prospek perempuan abad XXI,
terbentuk beberapa peran, antara lain: (1) Peran tradisi, yang menempatkan
perempuan dalam fungsi reproduksi, di mana seratus persen hidupnya untuk
mengurusi keluarga dan patron pembagian kerja jelas (perempuan di rumah atau
domestik, pria di luar rumah atau publik); (2) Peran transisi, mengutamakan peran
tradisi lebih dari yang lain, pembagian kerja menuruti aspirasi gender,
keharmonisan dan urusan rumah tangga tetap tanggungjawab kaum perempuan;
(3) Dwiperan, memposisikan perempuan dalam dua dunia kehidupan (peran
domestik-publik sama penting), dukungan moral dan perhatian suami menjadi
pemicu ketegaran ataupun keresahan; (4) Peran egalitarian, kegiatan di publik
19
menyita waktu dan perhatian perempuan, dukungan moral dan tingkat kepedulian
pria sangat hakiki untuk menghindari konflik; (5) Peran kontemporer, merupakan
dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam kesendirian. Jumlah golongan ini
belum banyak, namun berbagai benturan dari dominasi pria (yang belum tentu
peduli pada kepentingan perempuan) akan meningkatkan populasinya (Vitayala
dalam Hastuti 2004).
Peran dan kedudukan perempuan dalam pembangunan mulai mendapat
perhatian serius dari pemerintah dengan dimasukkannya isu perempuan dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1978 dan terbentuknya lembaga
Menteri Peranan Perempuan pada tahun yang sama yang berubah menjadi Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan pada akhir tahun 1999, di mana perempuan
sebagai mitra sejajar laki-laki, dapat lebih berperan dalam pembangunan dan
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pada perkembangannya, pada tahun 2000 telah diterbitkan Instruksi
Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
dalam pembangunan nasional. Inpres ini berisi instruksi kepada menteri, bupati
atau walikota, kepala lembaga pemerintah nondepartemen untuk melaksanakan
pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan
nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta
kewenangan masing-masing
Pada intinya ada tiga hal yang perlu diperhatikan, dalam pembangunan
berwawasan gender (Sudirja 2007) yaitu:
1. Kemampuan perempuan sebagai sumberdaya insani pembangunan perlu
ditingkatkan dan diarahkan secara bersungguh-sungguh melalui pendidikan,
pelatihan dan penyuluhan, agar:
a. Perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya baik dalam keluarga maupun
masyarakat.
b. Perempuan dapat lebih memanfaatkan kesempatan yang ada seoptimal
mungkin.
c. Perempuan dapat berfungsi sebagai mitra sejajar pria di semua bidang dan
proses pembangunan, utamanya berpartisipasi di bidang-bidang
20
nontradisional (misalnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
politik, pertahanan dan keamanan).
2. Pemberian kesempatan kepada perempuan untuk berperan aktif sebagai mitra
sejajar pria perlu ditunjang oleh sikap mental, perilaku dan pandangan
masyarakat terhadap perempuan, terutama peran aktif di luar lingkungan
keluarga dan rumah tangga.
3. Penyesuaian sistem dan struktur pranata sosial budaya, sosial ekonomi dan
sosial politik.
Berbagai pendekatan pembangunan terkait dengan penanganan masalah
gender dan pemberdayaan perempuan pun dilaksanakan oleh pemerintah mulai
dari pendekatan Women in Development (WID), dilanjutkan dengan pendekatan
Women and Development (WAD). Kedua pendekatan ini ternyata belum mampu
mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sehingga
pemerintah melaksanakan pendekatan baru yakni Gender and Development
(GAD).
Konsep GAD tidak lahir begitu saja, tetapi mengalami proses yang
panjang dimulai dari pemikiran WID, WAD. Masing-masing konsep berkembang
sesuai dengan pengembangan konsep pembangunan dan kritik terhadap aplikasi
konsep pembangunan yang ada, serta teori feminis yang menjadi bagian dari kritik
terhadap pembangunan tersebut.
WID menyediakan program intervensi untuk meningkatkan taraf hidup
keluarga seperti pendidikan, keterampilan serta kebijakan yang dapat
meningkatkan kemampuan perempuan untuk mampu berpartisipasi dalam
pembangunan. Pendekatan WID berpijak pada dua sasaran (1) pentingnya prinsip
egalitarian. Prinsip egalitarian adalah kepercayaan bahwa semua orang sederajat.
Egalitarianisme adalah doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia
ditakdirkan sama derajat. Diartikan pula bahwa egalitarian merupakan asas
pendirian yang menganggap bahwa kelas-kelas sosial yang berbeda mempunyai
bermacam-macam anggota dalam proporsi yang relatif sama. Oleh karena itu
dalam WID antara laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan
yang sama sebagai mitra sejajar; (2) WID menitikberatkan pada pengadaan
program yang dapat mengurangi atau menghapuskan diskriminasi yang dialami
21
oleh para perempuan di sektor produksi. Seperti yang disebutkan terdahulu bahwa
sektor produktif identik dengan sektor publik dan ini banyak didominasi oleh
kaum laki-laki, sedangkan perempuan kurang dilibatkan bahkan tidak diberi peran
sama sekali, karena kedudukan perempuan ada pada sektor domestik bukan
produktif (Handayani & Sugiarti 2008).
Program-program yang dapat diterapkan untuk pelaksanaan pendekatan
WID adalah program-program yang dapat menghasilkan pendapatan bagi
perempuan. Untuk lebih mendorong perempuan memasuki dunia publik, maka
diperlukan beberapa persyaratan antara lain pendidikan dan keterampilan. Untuk
itu implikasinya dengan pemberian kesempatan belajar dalam jenjang pendidikan,
mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi akan lebih memberikan
kemampuan dan keterampilan bagi perempuan. Diharapkan dengan pemberian
pendidikan ini, perempuan dapat mewakili kemampuan kognitif, afektif dan
psikomotorik yang menunjang sektor-sektor produktif dan publik masyarakat.
Selain pendidikan juga bekal keterampilan, baik melalui lembaga-lembaga formal
maupun informal. Diharapkan melalui pendidikan keterampilan akan memberikan
nilai tambah bagi perempuan dalam mencari penghasilan atau menambah
pendapatan keluarga. Program yang lain dari WID adalah pemberian fasilitas
kesejahteraan sosial seperti pemenuhan kebutuhan bagi kesehatan perempuan.
Pendekatan WID menekankan terintegrasikannya perempuan dalam
pembangunan, maka WAD lebih mengarah pada hubungan antara perempuan dan
proses pembangunan. Dalam pendekatan WAD tidak dibahas letak kedudukan
laki-laki dan perempuan. Sudah ada pemahaman bahwa antara laki-laki dan
perempuan memiliki kedudukan, kesempatan dan peran yang sejajar. Oleh karena
itu, isu dalam WAD adalah bagaimana posisi laki-laki dan perempuan dalam
pembangunan. Hal ini sangat berkorelasi dengan situasi negara. Pada beberapa
negara berkembang atau beberapa yang tergolong dalam jajaran dunia ketiga,
peran laki-laki dan perempuan dalam posisi yang tersubordinasi secara struktur
internasional, khususnya mereka yang berada dalam golongan kelas sosial bawah.
Pendekatan WAD tampaknya lebih kritis dari pada WID, tetapi WAD
kurang dapat menjawab hubungan patriarki yang terjadi dalam corak produksi
masyarakat. WAD akan berhasil menaikkan peran perempuan apabila ditunjang
22
oleh struktur politik yang lebih stabil dan merata, baik dalam skala nasional
maupun internasional.
Pedekatan WAD dititikberatkan pada pengembangan kegiatan peningkatan
pendapatan tanpa memperhatikan unsur waktu yang digunakan oleh perempuan.
Kegiatan-kegiatan yang di luar tugas dan tanggung jawab unsur domestik.
Kegiatan domestik berada di luar jalur kegiatan pembangunan. Oleh karena WAD
menekankan pada hubungan antara laki-laki dan proses pembangunan maka
implementasinya adalah ukuran produktivitas perempuan baik secara kesempatan
maupun kemampuan yang dimiliki. WID dan WAD memiliki kesamaan yaitu
sama-sama dalam kerangka ekonomi dan politik negara.
Pendekatan GAD lebih menekankan bagaimana hubungan sosial antara
laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan. Pendekatan GAD muncul
pada dekade 1980 an sebagai salah satu implementasi dari WID. GAD muncul
dari teori bahwa sektor produksi dan reproduksi merupakan kausalitas penindasan
terhadap kaum perempuan. (Handayani & Sugiarti 2008). Pandangan bahwa
perempuan cenderung diartikan pada peran domestik dan bukan pada sektor
publik menyebabkannya ditempatkannya perempuan pada posisi yang subordinat.
Pendekatan GAD menitikberatkan analisisnya pada jawaban atas
pertanyaan: mengapa perempuan ditempatkan pada peran-peran yang inferior di
masyarakat? Untuk menjawabnya perlu pendekatan holistik atau menyeluruh
tentang aspek-aspek kehidupan manusia. Untuk dapat mengetahui posisi
perempuan dalam masyarakat perlu ditinjau kondisi sosial, ekonomi, politik dan
budaya. Jadi, pendekatan holistik dipakai untuk memahami posisi perempuan
dalam suatu masyarakat, termasuk di dalamnya dalam proses pembangunan.
Dalam pendekatan GAD, posisi perempuan diletakkan dalam konstruksi
sosial gender serta pemberian tertentu pada perempuan maupun laki-laki. Laki-
laki berperan atau terlibat dalam penempatan posisi perempuan. Artinya, nasib
kaum perempuan turut dipikirkan oleh laki-laki. Laki-laki turut serta berperan
dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan perempuan. Hal inilah yang
disebut dengan hubungan gender. Dalam kerangka makro peran negara sangat
berpengaruh terhadap penempatan posisi perempuan.
23
Pendekatan GAD secara implementatif cenderung mengarah pada
komitmen pada perubahan struktural. Oleh sebab itulah pelaksanaan GAD
memerlukan dukungan sosiobudaya masyarakat dalam politik nasional yang
menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. GAD tidak mungkin terlaksana
apabila dalam politik suatu negara masih menempatkan perempuan dalam posisi
yang inferior dan subordinatif.
Dengan karakteristik yang dimiliki, PNPM Mandiri setidaknya merupakan
instrumen yang paling penting yang dimiliki pemerintah untuk secara aktif
menghapuskan hal-hal yang menghambat kesetaraan gender dalam pembangunan
Arti penting PNPM mandiri dapat dilihat dari potensinya secara nasional untuk:
(1) menanggapi kebutuhan praktis perempuan: dengan mendanai, misalnya,
ketersediaan air bersih, fasilitas kesehatan dan pendidikan, yang dapat membantu
menghilangkan hambatan praktis dari keterbatasan waktu dan kapasitas yang
menghalangi keterlibatan perempuan dalam pembangunan; (2) meningkatkan
potensi perempuan dalam kegiatan ekonomi: melalui investasi dalam infrastruktur
lokal seperti jalan dan jembatan yang membantu menghilangkan beberapa kendala
terhadap akses perempuan terhadap pasar dan sumberdaya; dan mendukung
kegiatan keuangan mikro yang membantu perempuan untuk terlibat dalam
kegiatan ekonomi produktif dan mengembangkan usahanya; (3) menjamin
partisipasi aktif perempuan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan:
melalui penekanan pada tingkat partisipasi secara luas yang dapat menghapuskan
beberapa hambatan terhadap partisipasi perempuan dalam perencanaan dan
pengambilan keputusan di tingkat lokal serta memastikan bahwa suara mereka
terdengar dan bahwa mereka memiliki peluang untuk mempengaruhi proses serta
keputusan agar lebih tanggap terhadap kebutuhan mereka.
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Persoalan ketidakadilan sosial dan ekonomi tidak terlepas dari adanya
ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender berkaitan dengan kehidupan
komunitas, baik dalam perilaku sehari-hari, maupun dalam menjalankan peran-
peran politik dan sosial, sehingga mengakibatkan berbagai tindakan yang
dilakukan semakin memperdalam jurang ketidakadilan, khususnya bagi
perempuan dan masyarakat marjinal lainnya.
24
Untuk mengeliminasi ketidakadilan ini, maka diperlukan sebuah strategi
dalam kaitan ini adalah pengarusutamaan gender (PUG). Melalui strategi PUG
dapat dikembangkan kebijakan, program atau proyek dan kegiatan pembangunan
yang responsif gender serta mempunyai wawasan gender, sehingga dapat
mengurangi ketidakadilan gender dan mengantar pada pencapaian kesetaraan dan
keadilan.
Istilah gender digunakan untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan
laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan perbedaan laki-laki dan
perempuan yang merupakan bentukan budaya yang dikontruksikan, dipelajari dan
disosialisasikan. Istilah pengarusutamaan gender (gender mainstreaming)
tercantum dalam Beijing Platform of Action pada tahun 1995 dalam RPuK (2007)
sebagai berikut: “Gender Mainstreaming is a strategy for integrating gender
concerns in the analysis formulation and monitoring policies, programs and
projects.”
Lebih lanjut lagi Inpres RI No. 9 Tahun 2000 menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan
gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi atas kebijakan serta program pembangunan nasional.
Oleh karena itu, pengarusutamaan gender menjamin seluruh kebijakan program
dan proyek pada setiap sektor pembangunan telah memperhitungkan aspek
gender. Hal ini dilakukan dengan melihat laki-laki dan perempuan sebagai pelaku
yang setara dalam akses, partisipasi dan kontrol atas pembangunan serta dalam
memanfaatkan hasil pembangunan. Dengan demikian hak-hak perempuan dan
laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama dan penghargaan
yang sama di masyarakat dapat ditegakkan.
Berdasarkan Inpres tersebut, tujuan pengarusutamaan gender dapat
dirumuskan sebagai berikut: (1) Membentuk mekanisme untuk formulasi
kebijakan dan program yang responsif gender; (2) Memberikan perhatian khusus
pada kelompok-kelompok yang mengalami marginalisasi, sebagai dampak dari
bias gender; (3) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak baik
pemerintah maupun nonpemerintah sehingga mau melakukan tindakan yang
sensitif gender di bidang masing-masing.
25
Pada prinsipnya PUG merupakan strategi untuk mencapai kesetaraan dan
keadilan gender melalui kebijakan dan progam yang memperhatikan pengalaman,
aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki di dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pada seluruh kebijakan dan
program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. (Kemeneg PP 2000)
Keadilan dan kesetaraan gender berusaha diwujudkan dengan program dan
proyek-proyek pembangunan, yang sensitif dan responsif terhadap kebutuhan
gender, baik yang sifatnya praktis maupun yang strategis. Adapun langkah-
langkah yang dilaksanakan untuk mengimplementasikan strategi ini adalah
sebagai berikut: (1) Mengidentifikasikan kebutuhan praktis sebagaimana
didefinisikan oleh perempuan dan laki-laki untuk memperbaiki kondisi kehidupan
mereka, menangani kebutuhan strategis perempuan; (2) Menangani kebutuhan
strategis golongan ekonomi lemah melalui pembangunan untuk rakyat (RPuK
2007).
Dalam melakukan pengarusutamaan gender paling tidak harus menyentuh
tiga hal yaitu: (1) Memasukkan perspektif gender dalam perumusan kebijakan di
setiap level; (2) Menggunakan momentum dan menciptakan ruang dialog yang
terus menerus untuk mengembangkan atau menularkan perspektif serta
membangun jaringan yang dapat djadikan ”sahabat” dalam memperjuangkan
keadilan; (3) Merumuskan dan membuat model-model pendidikan yang dapat
membangun kesadaran, yang dimulai dari rumah tangga, sekolah dan pusat
kehidupan masyarakat lainnya (RPuK 2007).
Hambatan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Dalam perjalanannya PUG masih mengalami hambatan pada tingkat
aplikasi. Diyakini kondisi konstruksi sosial telah menciptakan hambatan dalam
pengarusutamaan gender. Dalam pandangan Faqih (2008) terdapat beberapa
konstruksi sosial yang dapat menghambat PUG yaitu:
1. Penomorduaan (subordinasi).
Penomorduaan atau subordinasi pada dasarnya pembedaan perlakuan terhadap
salah satu identitas sosial, dalam hal ini terhadap perempuan. Suara
perempuan dianggap kurang penting dalam proses pengambilan keputusan,
terutama yang menyangkut kepentingan umum. Akibatnya, perempuan tidak
26
dapat mengontrol apabila keputusan itu merugikan mereka dan tidak bisa ikut
terlibat maksimal saat hasil keputusan itu diimplementasikan. Tradisi, adat
atau bahkan aturan agama paling sering dipakai alasan untuk menomorduakan
perempuan.
2. Pelabelan negatif pada perempuan (Stereotype).
Label negatif banyak kita temukan di masyarakat misalnya perempuan
berusaha menyampaikan ketidaksetujuannya akan sesuatu hal dengan
mengemukakan alasan-alasannya, dianggap bahwa dia terlalu cerewet,
emosional dan tidak berpikir rasional. Jika laki-laki berada pada kondisi yang
sama mungkin dianggap tegas dan berwibawa karena mempertahankan
pendapatnya. Citra buruk perempuan yang emosional, tidak rasional, lemah,
pendendam, penggoda dan lain sebagainya, secara tidak langsung telah
menghakimi dan menempatkan perempuan pada posisi yang tidak berdaya di
masyarakat.
3. Peminggiran (Marginalisasi).
Sebagai akibat langsung dari penomorduaan (subordinasi) serta melekatnya
label-label buruk pada diri perempuan (stereotype), perempuan tidak memiliki
peluang, akses dan kontrol seperti laki-laki dalam penguasaan sumber-sumber
ekonomi. Dalam banyak hal, lemahnya posisi seseorang dalam bidang
ekonomi mendorong pada lemahnya posisi dalam pengambilan keputusan.
Lebih jauh hal ini akan berakibat pada terpinggirkan pada termarginalkannya
kebutuhan dan kepentingan pihak-pihak yang lemah tersebut, dalam hal ini
perempuan.
4. Beban kerja berlebih (Multi-Burdened).
Ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan bisa berbentuk muatan
yang berlebihan. Hal inilah juga yang sering menjadi bahan diskusi dalam
forum-forum yang membahas tentang gender. Sebagian khawatir bahwa jika
perempuan semakin pintar, semakin maju, ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan
sosial, meningkatkan kemampuan dan keahliannya di berbagai bidang, maka
’kebebasan berekspresi’ tersebut pada akhirnya akan berbalik menjadi senjata
makan tuan. Beban kerja perempuan akan bertambah banyak dengan kegiatan-
kegiatan yang ingin dia ikut i di luar rumah. Hal ini disebabkan karena pada
27
saat yang bersamaan perempuan masih terbebani dengan setumpuk tugas dan
pekerjaan di dalam rumah tangganya (domestik). Sebagian yang lain, terutama
laki-laki, khawatir jika perempuan dilibatkan secara aktif dalam kegiatan-
kegiatan sosial, mereka tidak punya waktu dan tidak bersedia lagi melakukan
pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah tangga.
5. Kekerasan.
Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu bentuk ketidakadilan gender
yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini dalam media. Bentuk kekerasan yang
terjadi sangat beragam, mulai dari kekerasan fisik (pemukulan), kekerasan
psikis (misalnya kata-kata yang merendahkan dan melecehkan), kekerasan
seksual (contoh perkosaan dll). Bentuk-bentuk kekerasan ini bisa terjadi pada
siapa saja dan dimana saja, bisa di wilayah pribadi (rumah tangga) atau di
wilayah publik (lingkungan).
Secara teoritis, hambatan pengarusutamaan gender dapat ditelusuri dengan
menggunakan pisau analisis teori “kelompok yang dibungkam.” Teori ini
merupakan teori komunikasi kritis dan termasuk dalam konteks kultural yang
membahas mengenai gender dan komunikasi. Teori ini memusatkan perhatiannya
pada kelompok tertentu dalam masyarakat yang mengungkap struktur-struktur
penting yang menyebabkan penindasan dan memberikan arah bagi perubahan
yang positif.
Teori kelompok yang dibungkam berawal dari karya Edwin dan Shirley
Ardener, para antropolog sosial yang tertarik dengan hirarki sosial. Pada tahun
1975, Edwin Ardener dalam West dan Turner (2008) menyatakan bahwa
kelompok yang menyusun bagian teratas dari hirarki sosial menentukan sistem
komunikasi bagi budaya tersebut. Kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah
seperti kaum perempuan, kaum miskin dan kulit berwarna, harus belajar untuk
bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok
dominan.
Kramarae (1981) dalam Miller (2002) merancang tiga asumsi yang
berpusat pada sajian feminisnya dari teori kelompok yang dibungkam, yaitu:
(1) Perempuan merasakan dunia yang berbeda dari laki-laki karena perempuan
dan laki-laki memiliki pengalaman yang sangat berbeda. Pengalaman yang
28
berbeda ini berakar pada divisi kerja masyarakat; (2) Laki-laki merupakan
kelompok yang dominan di masyarakat, sistem persepsi mereka juga dominan.
Dominasi ini menghalangi kebebasan ekspresi dari dunia model alternatif
perempuan; (3) Agar berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus
mentransformasi modelnya dalam ranah sistem ekspresi yang dominan tersebut.
Partisipasi Masyarakat
Berbicara partisipasi masyarakat dalam pembangunan, akan ditemukan
rumusan pengertian yang bervariasi sejalan dengan luasnya lingkup penggunaan.
Konsep pembangunan pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua teknik, yaitu:
partisipasi masyarakat dan pengorganisasian masyarakat. Kedua teknik
pembangunan ini merupakan proses pemberdayaan yang berarti pembangunan
harus bersumber dari, oleh dan untuk masyarakat. Konsep pembangunan juga
dapat dipahami sebagai program dan gerakan sosial. (Anwar 2007).
Dalam pandangan lain yang disampaikan oleh Deshler dan Sock, (1985)
dalam Ditjen Cipta Karya (2008a) disebutkan bahwa secara garis besar terdapat
tiga tipe partisipasi, yaitu: partisipasi teknis (technical partisipation), partisipasi
semu (pseudo participation) dan partisipasi politis atau partisipasi asli (genuine
participation).
Partisipasi teknis adalah keterlibatan masyarakat dalam pengidentifikasian
masalah, pengumpulan data, analisis data dan pelaksanaan kegiatan.
Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah sebuah taktik untuk melibatkan
masyarakat dalam kegiatan-kegiatan praktis pada konteks pengembangan
masyarakat.
Partisipasi asli (Partisipasi politis), adalah keterlibatan masyarakat di
dalam proses perubahan dengan melakukan refleksi kritis dan aksi yang meliputi
dimensi politis, ekonomis, ilmiah dan ideologis secara bersamaan. Pengembangan
partisipasi dalam hal ini adalah pengembangan kekuasaan dan kontrol lebih besar
terhadap suatu situasi melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam
melakukan pilihan kegiatan dan berotonomi.
Partisipasi semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau
kelompok dominan (elite masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan
masyarakat hanya sekadar obyek. Dalam pengertian partisipasi di atas, bukan
29
berarti partisipasi teknis tidak penting dibandingkan dengan partisipasi politis,
bisa sekaligus ada dalam sebuah program pengembangan masyarakat dimana
pemberdayaan masyarakat dalam kehidupannya secara lebih luas (kehidupan
sosial, budaya, politik, ekonomi).
Partisipasi teknis dan partisipasi politis kelihatannya sepadan dengan dua
tipe partisipasi yang ditemukan dalam referensi lain, yaitu digunakan dalam
pengembangan program dan partisipasi yang diperluas untuk partisipasi yang
merambah ke dalam isu demokratisasi Christ Roche (1999) dalam Ditjen Cipta
Karya (2008a).
Terdapat beberapa pertimbangan rasional yang mendasari strategi
pengembangan partisipasi masyarakat (Mikkelsen 1999 dalam Soetomo 2008).
Secara normatif asumsi yang mendasarinya adalah bahwa masyarakat lokal harus
memperoleh proyek dan program pembangunan yang mereka tentukan sendiri.
Asumsi normatif ini didasari oleh asumsi deduktif bahwa masyarakat lokal yang
paling tahu apa yang menjadi masalah dan kebutuhannya dan mereka memiliki
hak dan kemampuan untuk menyatakan pemikiran dan kehendaknya tadi. Dengan
demikian, apabila program dan proyek pembangunan yang dilaksanakan di tingkat
lokal didasari keputusan yang diambil masyarakat sendiri maka program tersebut
akan lebih relevan dan lebih menyentuh permasalahan dan kebutuhan yang
dirasakan masyarakat.
Lebih lanjut asumsi teoritis yang dapat dikembangkan dalam strategi
pengembangan partisipasi masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Tujuan
pembangunan dapat dicapai secara harmonis dan konflik antarkelompok-
kelompok masyarakat dapat diredam melalui pola demokrasi setempat; (2)
Pembangunan menjadi positif apabila ada partisipasi masyarakat. Asumsi ini ingin
menempatkan partisipasi masyarakat sebagai sarana sekaligus tujuan dari proses
pembangunan; (3) Pemberdayaan masyarakat mutlak perlu mendapatkan
partisipasinya, karena pemerintah tidak akan mengeluarkan biaya untuk program
pembangunan yang ditetapkan masyarakat, kecuali masyarakat itu sendiri
mempunyai kemampuan untuk memaksa pemerintahnya; (4) Kurangnya
partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berarti ada penolakan secara
30
internal di kalangan anggota masyarakat itu sendiri dan secara eksternal terhadap
pemerintah atau pelaksana program (Mikkelsen 1999 dalam Soetomo 2008).
Berbagai asumsi tersebut dapat digunakan sebagai landasan berpikir untuk
mengembangkan strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan. Berdasarkan asumsi tersebut Mikkelsen (1996) dalam Soetomo
(2008) membedakan adanya empat pendekatan untuk mengembangkan partisipasi
masyarakat. Pertama, pendekatan partisipasi pasif. Pendekatan ini didasarkan
bahwa pihak eksternal yang lebih tahu, lebih menguasai pengetahuan, teknologi,
skill dan sumberdaya. Dengan demikian, bentuk partisipasi ini akan melahirkan
tipe komunikasi satu arah, dari atas ke bawah, hubungan pihak eksternal dan
masyarakat lokal bersifat vertikal.
Kedua, pendekatan partisipasi aktif. Dalam pendekatan ini sudah dicoba
dikembangkan komunikasi dua arah, walaupun pada dasarnya masih berdasarkan
pada anggapan yang sama dengan pendekatan yang pertama, bahwa pihak
eksternal lebih tahu dibandingkan masyarakat lokal. Pendekatan ini sudah mulai
membuka dialog, guna memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
berinteraksi secara intensif dengan para petugas dari institusi eksternal. Salah satu
contohnya adalah pendekatan pelatihan dan kunjungan.
Ketiga, pendekatan partisipatif dengan keterikatan. Pendekatan ini mirip
kontrak sosial antara pihak eksternal dengan masyarakat lokal. Dalam keterikatan
tersebut dapat disepakati apa yang dapat dilakukan masyarakat lokal dan apa yang
harus dilakukan dan diberikan pihak eksternal. Dalam model ini masyarakat
setempat mempunyai tanggung jawab terhadap pengelolaan kegiatan yang telah
disepakati dan mendapat dukungan dari pihak eksternal baik finansial maupun
teknis.
Keempat, partisipasi atas permintaan setempat. Bentuk ini mencerminkan
kegiatan pembangunan atas dasar keputusan yang diambil oleh masyarakat
setempat. Kegiatan dan peranan pihak eksternal lebih bersifat menjawab
kebutuhan yang diputuskan dan dinyatakan oleh masyarakat lokal, bukan
kebutuhan berdasarkan program yang dirancang dari luar.
31
Pemberdayaan dalam Perspektif Gender
Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata
lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat
(Kartasasmita 1996).
Beberapa ahli mengemukakan definisi pemberdayaan dilihat dari tujuan,
proses dan cara-cara pemberdayaan, antara lain:
1. Pemberdayaan bertujuan meningkatkan kekuasaan yang lemah atau tidak
beruntung (Ife, 1995 dalam Suharto, 2005).
2. Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat
untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas dan mempengaruhi
terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi
kehidupannya. Pemberdayaan menekankan orang memperoleh keterampilan,
pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya
dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parson e al. 1994 dalam
Suharto 2005).
3. Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan
melalui pengubahan struktur sosial (Swift & Levin 1987 dalam Suharto
(2005).
4. Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi dan
komunitas diarahkan agar mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupannya
Rapport (1984) dalam Suharto (2005).
Dalam pandangan Parson, et al. (1994) dalam Suharto (2005) bahwa
proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada
literatur yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu
lawan satu antara pekerja sosial dan klien dalam setingan pertolongan
perseorangan. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan
kepercayaan diri dan kemampuan diri klien, hal ini bukanlah strategi utama
pemberdayaan. Namun demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat
dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan
dapat saja dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya strategi ini pun
32
tetap berkaitan dengan kolektivitas, dalam arti mengaitkan klien dengan sumber
atau sistem lain di luar dirinya.
Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui
tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting) yaitu: (1) Aras Mikro:
Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan,
konseling, strees management, crisis intervention. Tujuan uatamanya adalah
membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya.
Model ini sering disebut pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered
approach); (2) Aras Mezzo: Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien.
Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media
intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan
sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan
sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang
dihadapinya. (3); Aras Makro: Pendekatan ini disebut juga pendekatan strategi
sistem besar (large system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada
sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial,
kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen
konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi sistem besar
memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami
situasi-situasi mereka sendiri dan untuk memilih serta menentukan strategi yang
tepat untuk bertindak (Parson, et al. 1994 dalam Suharto 2005).
Schuler et al. dalam Suharto (2005) mengembangkan delapan indikator
pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks
pemberdayaan. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari
keberdayaan mereka menyangkut kemampuan ekonomi, mengakses manfaat
kesejahteraan dan kemampuan kultural dan politis. Ketiga aspek tersebut
dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan yaitu: ‘kekuasaan di dalam (power
within), ‘kekuasaan untuk’ (power to), ‘kekuasaan atas’ (power over) dan
‘kekuasaan dengan.’ Adapun pengembangan keberdayaan adalah sebagai berikut:
33
1. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau
tempat tinggalnya.
2. Kemampuan membeli komoditas kecil: kemampuan individu untuk membeli
barang-barang kebutuhan sehari-hari.
3. Kemampuan membeli komoditas besar: kemampuan individu untuk membeli
barang-barang sekunder atau tersier.
4. Terlibat dalam membuat keputusan domestik atau publik.
5. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga atau masyarakat.
6. Kesadaran hukum atau politik.
7. Keterlibatan dalam kampanye atau protes-protes.
8. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga.
Dalam konteks gender bahwa untuk melakukan pemberdayaan menurut
Gunawan (2008) dalam Nugroho (2008) diperlukan tiga langkah yang
berkesinambungan yaitu: (1) Pemihakkan, artinya perempuan sebagai pihak yang
hendak diberdayakan harus dipihaki daripada laki-laki; (2) Penyiapan, artinya
pemberdayaan menuntut kemampuan perempuan untuk bisa mengakses,
berpartisipasi, mengontrol dan mengambil manfaat; (3) Perlindungan, artinya
memberikan proteksi sampai dapat dilepas.
Indikator pemberdayaan dalam perspektif gender menurut Katjasungkana
(2008) dalam Nugroho (2008) terdapat empat indikator pemberdayaan yaitu: (1)
Akses, dalam arti kesamaan hak dalam mengakses sumberdaya-sumberdaya yang
produktif di dalam lingkungan; (2) Partisipasi, yaitu keikutsertaan dalam
mendayagunakan aset atau sumberdaya yang terbatas tersebut; (3) Kontrol, yaitu
bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk
melakukan kontrol atas pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya tersebut; (4)
Manfaat, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan harus sama-sama menikmati hasil-
hasil pemanfaatan sumberdaya secara sama dan merata.
34
Komunikasi Partisipatif dan Linier
PNPM Mandiri merupakan program penanggulangan kemiskinan berbasis
kemitraan dan pemberdayaan masyarakat. Program ini berupaya untuk
menciptakan atau meningkatkan kualitas masyarakat, baik secara individu
maupun kelompok dalam memecahkan berbagai persoalan terkait pada upaya
untuk meningkatkan kualitas kehidupan, kemandirian dan kesejahteraan.
Strategi dasar gerakan kemitraan dan pemberdayaan dilakukan melalui
perubahan perilaku kolektif dengan cara membangun kesadaran kritis semua
pihak, bahwa sesungguhnya setiap orang mampu dan berdaya untuk melakukan
perubahan-perubahan penting dalam menanggulangi kemiskinan dengan dimulai
dari diri sendiri. Selanjutnya, melalui gerakan ini juga diharapkan mampu
menumbuhkembangkan serta meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga yang
ada di sekitar masyarakat miskin menjadi jaringan kelompok-kelompok peduli
yang berpartisipasi dalam penanggulangan kemiskinan. Untuk menciptakan
kesadaran ini perlu upaya sosialisasi dan komunikasi.
Proses komunikasi dalam PNPM Mandiri dapat digambarkan sebagai
berikut (Ditjen Cipta Karya 2008b).
Gambar 2. Proses komunikasi dalam PNPM Mandiri
Strategi pencitraan
PNPM Mandiri
Khalayak sasaran: Penyelengara
Program, Pemangku
Kepentingan Masyarakat Umum
Kesadaran dan Pemahaman PNPM
Mandiri sebagai lembaga koordinasi
dan program penanggulangan
kemiskinan berbasis
pemberdayaan masyarakat
Metode: Informasi Persuasi
Advokasi Edukasi
Strategi Aktivasi PNPM Mandiri
Komitmen dan dukungan kebijakan dan program
Stakeholder Pemahaman
pemanfaat program tentang proses program sadar/motivasi mandiri
partisipasi/ambil tindakan berbasis
pemberdayaan masyarakat
Khalayak sasaran: Penyelengara
Program, Pemangku
Kepentingan Masyarakat Umum
35
Dalam konteks PNPM Mandiri, sosialisasi diartikan bukan hanya
bagaimana PNPM Mandiri Perkotaan dapat dipahami oleh masyarakat baik
substansi maupun prosedurnya. Sosialisasi bukan sekadar diseminasi atau media
publikasi, melainkan bagian dari proses pemberdayaan, di mana melalui
sosialisasi diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kritis, menumbuhkan
perubahan sikap dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu, sosialisasi harus
terintegrasi dalam aktivitas pemberdayaan dan dilakukan secara terus-menerus
untuk memampukan masyarakat menanggulangi masalah-masalah kemiskinan
secara mandiri dan berkelanjutan (Ditjen Cipta Karya 2008b).
Komunikasi dalam konteks PNPM Mandiri tidak akan terlepas
pembicaraan mengenai komunikasi pembangunan. Komunikasi pembangunan
dalam arti luas adalah meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu
aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik) di antara semua pihak yang terlibat
dalam pembangunan, terutama antara masyarakat dan pemerintah, sejak dari
proses perencanaan, pelaksanaan dan penilaian terhadap pambangunan (Nasution
1988). Selanjutnya, dikatakan dalam arti sempit komunikasi pernbangunan
merupakan segala upaya dan cara serta teknik penyampaian gagasan dan
keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang
memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas.
Menurut Schramm (1985) dalam Hamijoyo (2005) tugas komunikasi
dalam perubahan sosial adalah:
1. Menyampaikan informasi kepada masyarakat pembangunan nasional.
2. Memberikan kesempatan kepada individu-individu dalam masyarakat untuk
mengambil bagian secara aktif dalam proses pengambilan keputusan.
3. Tugas mendidik masyarakat, seperti diajarkan cara membaca, cara bertani dan
sebagainya. Sebagai pemberi informasi dan sebagai pendidik dapat dilakukan
oleh media massa, sedangkan dalam fungsinya sebagai penunjang dalam
pengambilan keputusan diperlukan intensitas komunikasi interpersonal.
36
Secara umum mengenai peran komunikasi dalam pembangunan
digambarkan dalam pemikiran Schramm sebagai berikut (Hamijoyo 2005).
Gambar 3. Peran komunikasi dalam pembangunan
Paradigma lama komunikasi pembangunan menekankan pada proses
komunikasi manusia seperti yang terdapat dalam model komunikasi linier
konvensional. Model ini merupakan gambaran proses komunikasi yang
berlangsung secara linier (searah) dari sumber kepada penerima melalui media
(sumber-pesan-media-penerima). Model linier konvensional tersebut dapat pula
tergambarkan secara vertikal mengingat struktur stratifikasi sosial masyarakat
terbagi menurut kelas atas, menengah dan bawah (Hamijoyo 2005).
Model komunikasi linier sering dikaitkan dengan Harold D. Lasswell
seorang ahli ilmu politik yang tertarik terhadap riset-riset komunikasi. Di dalam
artikelnya tahun 1948 dalam satu kalimat yang terkenal dalam riset-riset
komunikasi, untuk menggambarkan sebuah tindakan komunikasi adalah dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan ”who say what in which channel to whom with
what effect.” Sejak itu kalimat ini dikenal dengan formula Lasswell. Formula ini
dapat digambarkan sebagai berikut (Suprapto 2006).
Gambar 4. Model komunikasi linier Lasswell
Who Say What In With Channel
To Whom with what effect
Komunikator Pesan Saluran Komunikasi
Komunikan Efek
Pembangunan: meningkatkan
kehidupan
Pembangunan memerlukan Keaktivan masyarakat
Supaya masyarakat berpartisipa
i
Pembangunan diinformasikan
Perlunya sarana komunikasi
Perlu Komunikasi
pembangunan
37
Model komunikasi linier dengan pertanyaan ”who say what in which
channel to whom with what effect” menjadi tidak tepat digunakan untuk
mengatasi masalah-masalah pembangunan (Sulistyowati 2006). Pendekatan yang
dibutuhkan adalah pendekatan komunikasi yang memungkinkan adanya
pertukaran komunikasi dengan banyak dimensi yang disebut dengan model
partisipasi.
Model komunikasi partisipasi pada prinsipnya merupakan implementasi
dari proses komunikasi sirkular. Dalam konteks komunikasi sirkular itu adalah
terjadinya feedback atau umpan balik, yaitu terjadinya arus dari komunikan
kepada komunikator . Oleh karena itu, adakalanya feedback tersebut mengalir dari
komunikan ke komunikator itu adalah respons atau tanggapan komunikan
terhadap pesan yang diterima komunikator (Effendy 1993).
Model komunikasi sirkular di gambarkan Schramm sebagai berikut
(Effendy 1993).
Gambar 5. Model komunikasi sirkular Schramm
Beberapa aspek penting dalam memahami komunikasi adalah penggunaan
media. Tentunya penggunaan media memiliki kaitan erat dengan kondisi
masyarakat yang menjadi sasaran komunikasi. Dalam kaitan PNPM Mandiri
Message
Message
Decoder Interpreter Encoder
Encoder Interpreter Decoder
38
terdapat beberapa media yang dapat dijadikan sebagai sarana penyampaian
komunikasi di antaranya yaitu (Ditjen Cipta Karya 2008c):
1. Foto Novella
Foto Novella, adalah sebuah media warga dalam bentuk komik foto yang
temanya diangkat dari kondisi riil masyarakat dengan maksud untuk mencari
solusi pemecahan maupun daya dukung bagi lancarnya pelaksanaan
penanggulangan kemiskinan.
2. Teater Warga
Teater warga merupakan sebuah media komunitas yang didasarkan dari
kajian-kajian kondisi riil masyarakat dalam bentuk pementasan yang bisa
menumbuhkan suasana dialogis antarwarga masyarakat. Para pemain dalam
teater rakyat ini adalah masyarakat di tingkat kelurahan atau desa.
3. Koran Warga
Koran warga merupakan media yang berbentuk koran beberapa halaman yang
dibuat dan dikelola secara partisipatif oleh masyarakat. Topik dan tema berita
atau informasi diangkat dari permasalahan riil yang dihadapai oleh masyarakat
serta solusinya.
4. Poster Warga
Poster warga merupakan media berbentuk poster yang dibuat oleh masyarakat
dan didasarkan dari permasalahan riil yang dihadapi masyarakat. Poster ini
dapat menjadi bahan atau media dialog dan diskusi warga untuk mencari
alternatif solusi bersama.
5. VCD Warga
VCD warga adalah video yang direkam dalam cakram padat (Video Compact
Disc) yang pengerjaannya dilakukan oleh masyarakat. Media ini digunakan
untuk menggali permasalahan, kebutuhan, potensi maupun daya dukung
lainnya. Media ini diharapkan bisa menjadi alternatif untuk menumbuhkan
kesadaran kritis terhadap kondisi yang dihadapi masyarakat saat ini.
39
6. Radio Komunitas
Sebagai media pembelajaran, radio komunitas atau yang dikenal sebagai
siaran radio pemberdayaan yang dikelola oleh masyarakat, baik manajemen
maupun paket-paket siarannya diorientasikan untuk membangun keswadayaan
dalam penanggulangan kemiskinan.
7. Buletin/Tabloid Warga
Buletin/Tabloid warga merupakan media yang berbentuk buletin/tabloid
beberapa halaman yang dibuat dan dikelola secara bersama oleh masyarakat.
Topik dan tema isi berita atau informasi diangkat dari permasalahan kondisi
riil yang dihadapi oleh masyarakat serta solusinya.
8. Papan Informasi
Papan informasi umumnya berupa papan yang menjadi tempat
ditempelkannya berbagai informasi mengenai program. Papan informasi
biasanya semacam papan tulis yang diberi kaki sehingga dapat dipasang
berdiri, atau papan yang ditempelkan di dinding.
9. Pertemuan Warga
Sebuah Media warga, yang biasanya ada dan dilakukan rutin oleh masyarakat
sesuai dengan adat dan tradisi budaya setempat. Pertemuan warga ini biasanya
rutin dilakukan dengan jadwal dan tema yang ditentukan oleh warga dan
peserta atau anggotanya sudah jelas seperti; arisan, pengajian, yasinan, PKK
atau Dasawisma.
Indikator pencapaian komunikasi partisipatif dalam konteks PNPM
Mandiri dapat bersifat kuantitatif ataupun kualitatif. Penetapan indikator
pencapaian akan merujuk pada sasaran sosialisasi PNPM Mandiri yang terdiri dari
(1) Fokus Pencitraan: terdapat pemahaman, pengakuan dan dukungan yang sama
terhadap PNPM Mandiri sebagai kebijakan nasional yang menjadi ‘payung’ bagi
semua program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat.
(2) Aktivasi: mencakup aspek kognitif (tingkat pengetahuan), aspek afeksi
(ketertarikan dan kepedulian) dan konatif (tingkat partisipasi dalam pengambilan
keputusan, komitmen tindakan melaksanakan PNPM Mandiri) (Ditjen Cipta
Karya 2008c).
40
Komunikasi kelompok
PNPM Mandiri merupakan kegiatan bercirikan kolektivitas. Pelaksanaan
kegiatan PNPM Mandiri dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang
tergabung dalam kelompok swadaya masyarakat (KSM) baik untuk kegiatan
pembangunan infrastruktur lingkungan, sosial dan pinjaman bergulir. Kondisi ini
menjadikan komunikasi kelompok merupakan bagian penting dalam kegiatan
PNPM Mandiri.
Tidak semua himpunan orang disebut kelompok. Kelompok memiliki dua
tanda psikologis. Pertama anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok
artinya terdapat sense of belonging yang tidak dimiliki orang yang bukan anggota.
Kedua, nasib anggota-anggota kelompok saling bergantung sehingga hasil
sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang lain
(Baron dan Byrne 1979 dalam Rakhmat 1998).
Menurut Mulyana (2005) kelompok adalah sekumpulan orang yang
mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai
tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai
bagian dari kelompok tersebut. Para ahli psikologi dan sosiologi mengklasifikasi
kelompok dalam empat dikotomi yaitu kelompok primer-sekunder, kelompok
ingroup-outgroup, rujukan-keanggotaan, deskriptif-preskriptif (Rakhmat 1998).
Charles Horton Cooley (1909) dalam Rakhmat (1998) mengatakan bahwa
kelompok primer adalah suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan
akrab, personal, dan menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Kelompok
sekunder adalah kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak akrab,
tidak personal, dan tidak menyentuh kita. Rakhmat (1998) membedakan
kelompok ini berdasarkan karakteristik komunikasinya, sebagai berikut:
1. Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas, artinya
menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi, menyingkap unsur-
unsur backstage (perilaku yang kita tampakkan dalam suasana privat saja).
Meluas, artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara
berkomunikasi. Pada kelompok sekunder komunikasi bersifat dangkal dan
terbatas.
41
2. Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal, sedangkan kelompok
sekunder nonpersonal.
3. Komunikasi kelompok primer lebih menekankan aspek hubungan daripada
aspek isi, sedangkan kelompok primer adalah sebaliknya.
4. Komunikasi kelompok primer cenderung ekspresif, sedangkan kelompok
sekunder instrumental.
5. Komunikasi kelompok primer cenderung informal, sedangkan kelompok
sekunder formal.
Ingroup adalah kelompok kita, dan outgroup adalah kelompok mereka.
Untuk membedakan ingroup dan outgroup dapat dibuat batasan, yang
menentukan siapa masuk orang dalam dan siapa masuk orang luar. Batas-batas ini
dapat berupa lokasi geografis, suku bangsa pandangan atau ideologi, pekerjaan
atau profesi, bahasa, status sosial dan kekerabatan (Rakhmat 1998).
Newcomb (1930) dalam Rakhmat (1998) melahirkan istilah kelompok
keanggotaan (membership group) dan kelompok rujukan (reference group).
Kelompok keanggotaan adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara
administratif dan fisik menjadi anggota kelompok itu. Sedangkan kelompok
rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standard) untuk
menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap.
John F. Cragan dan David W. Wright (1980) dalam Rakhmat (1998)
membagi kelompok menjadi dua: deskriptif dan preskriptif. Kategori deskriptif
menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara
alamiah. Berdasarkan tujuan, ukuran, dan pola komunikasi, kelompok deskriptif
dibedakan menjadi tiga: (a). kelompok tugas; (b) kelompok pertemuan; dan (c)
kelompok penyadar.
Kelompok preskriptif, mengacu pada langkah-langkah yang harus
ditempuh anggota kelompok dalam mencapai tujuan kelompok. Cragan dan
Wright mengkategorikan enam format kelompok preskriptif, yaitu: diskusi meja
bundar, simposium, diskusi panel, forum, kolokium, dan prosedur parlementer
(Rakhmat 1998).
Komunikasi kelompok menurut Arifin (1984) adalah komunikasi yang
berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok seperti dalam rapat,
42
pertemuan, konperensi dan sebagainya. Michael Burgoon dalam Wiryanto (2005)
mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara
tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi
informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang setiap anggota-anggotanya
dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat.
Titik perhatian komunikasi kelompok adalah pada gejala komunikasi
dalam kelompok kecil tentang bagaimana caranya untuk dapat lebih mengerti
proses komunikasi kelompok, memperkirakan hasilnya serta lebih meningkatkan
proses komunikasi kelompok (Golberg 2006).
Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender
Perhatian terhadap permasalahan gender mulai muncul sekitar tahun
1940an yang digagas oleh kaum feminis di barat. Munculnya perhatian terhadap
isu gender dan pemberdayaan perempuan diawali oleh adanya kesadaran bahwa
ternyata nasib kaum perempuan di masyarakat tidak sebaik nasib lawan jenisnya.
Oleh karena itu, gerakan untuk memperbaiki nasib perempuan mulai muncul yang
dipelopori oleh tokoh feminis Mary Wollstonecraft dan John Stuart Mill Amal
(1992) dalam Arjani (2008).
Dalam perkembangan berikutnya perhatian masalah gender diikuti oleh
tokoh-tokoh feminis lainnya yang mempunyai visi dan misi sejenis yakni
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dengan memperjuangkan nasib
kaum perempuan yang dianggapnya berada dalam posisi tersubordinasi,
termarjinalisasi dan terdiskriminasi.
Gerakan feminis ini pada awalnya berkembang di negara barat seperti di
Inggris, Perancis, Amerika dan lain-lain. Pada perkembangannya gerakan ini
berkembang dalam tiga gelombang besar yakni feminisme gelombang pertama,
kedua dan ketiga. Gerakan feminisme merupakan momentum dalam menciptakan
kesadaran kritis.
Proses penyadaran digambarkan sebagai suatu proses yang selaras dengan
kebutuhan manusia. Dalam pandangan Freire dalam Manggeng (2005) kesadaran
tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan
menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri anak didik. Lebih jauh Freire
dalam Manggeng (2005) membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu:
43
1. Kesadaran intransitif dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani,
tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas.
2. Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam
masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini
adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau
hidup dalam ketergantungan.
3. Kesadaran naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk
mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap
yang primitif dan naif, seperti: mengidentifikasikan diri dengan elite, kembali
ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat,
banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.
4. Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman
menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu
menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang
mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab-akibat.
Kesadaran kritis mengintegrasikan diri dengan realitas kesadaran naïf yang
mengambang di atas realitas dan kesadaran fanatik yang secara patologis
berkembang ke arah irasionalitas dan menyesuaikan diri dengan realitas. Pada
gilirannya, setiap pemahaman realitas lambat atau cepat akan diikuti oleh aksi
atau tindakan. Proses pemberdayaan melalui penyadaran berarti mengantarkan
masyarakat menuju gerbang kebangkitan dan menolong mereka dari kesadaran
transitif naïf ke kesadaran transitif kritis.
Proses penyadaran menurut Havelock (1975) dalam Anwar (2007) dalam
tahap pertama seorang individu dikenalkan pada suatu inovasi dan diupayakan
untuk menyadari inovasi tersebut. Pada tahap awal kontak seorang adopter
potensial, agen pembaruan harus menyakinkan bahwa mereka mendengarkan dan
memahami bahwa dia mengembangkan beberapa konsep mengenai inovasi.
Dapat disimpulkan bahwa untuk menumbuhkan sebuah kesadaran kritis
berasal dari refleksi diri tentang keadaan dirinya yang dipertegas dengan upaya
konkret baik melalui pendidikan maupun penyebaran inovasi (rekayasa sosial).
Refleksi diri diharapkan mampu menciptakan konsep diri yang positif yang pada
akhirnya akan membentuk harga diri yang kuat.
44
Harga diri merupakan penilaian tentang keberartian diri dan nilai
seseorang yang didasarkan atas proses pembuatan konsep dan pengumpulan
informasi tentang diri beserta pengalamannya (Johnson & Johnson 1991).
Oleh karenanya, orang dengan konsep diri positif akan lebih tepat memberikan
nilai keberartian dirinya. Orang dengan harga diri rendah menyebabkan kurang
percaya diri, sehingga tidak efektif dalam pergaulan sosial. Untuk mencapai
suatu tahap kesadaran diri, orang membutuhkan pengalaman dan interaksi
sosial. Seseorang dapat mengemukakan pikiran, perasaan, ide, atau kekesalan
pada orang lain dengan harapan orang lain akan memberikan perhatian atau umpan
balik pada dirinya
Dalam kaitan keadilan gender, kesadaran kritis yang dibangun bukan
hanya pada sisi perempuan tapi juga juga sisi laki-laki. Konstruksi pemikiran yang
harus dikembangkan laki-laki dan perempuan adalah berbeda secara kodrati,
namun sama dalam pandangan sosial.
Review Hasil Penelitian tentang Gender
Membicarakan persoalan gender dalam pembangunan atau dalam sektor
publik tidak bisa terlepaskan dari persolan keadilan peran. Salah satunya
disampaikan oleh Wiyono (2005) yang menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai
berikut: Pertama, pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan kelurahan
tahun 2005 di Kelurahan Pajang, Kerten dan Purwosari Kecamatan Laweyan Kota
Surakarta telah berjalan dengan melibatkan seluruh unsur yang ada di kelurahan
dan telah menyusun daftar skala prioritas pembangunan di bidang umum,
ekonomi, sosial budaya dan fisik prasarana. Kedua, akses atau peluang perempuan
yang terlibat di empat bidang musrenbangkel tahun 2005 masih rendah kecuali
bidang sosial budaya. Ketiga, partisipasi perempuan dalam Musrenbangkel tahun
2005 di Kelurahan Pajang, Kerten dan Purwosari adalah rendah karena perempuan
yang terlibat dalam kepanitiaan dan hadir dalam musrenbangkel tahun 2005 relatif
sedikit, terutama karena waktu pelaksanaan Musrenbangkel tahun 2005 dipandang
tidak tepat atau tidak sesuai dengan kebutuhan perempuan. Keempat, kontrol
perempuan dalam proses pengambilan keputusan penyusunan daftar skala
prioritas pembangunan adalah rendah karena disebabkan masih terbatas posisi
atau kedudukan perempuan dalam sidang pleno dan sidang komisi. Kelima, daftar
45
skala prioritas pembangunan yang disusun telah memberi manfaat dan
memperhatikan aspirasi, kepentingan dan kebutuhan perempuan yang berkaitan
dengan kebutuhan praktis maupun kebutuhan strategis walaupun dalam porsi yang
terbatas.
Hal senada juga disampaikan Sulistiyani (2004) yang menyimpulkan hasil
penelitiannya sebagai berikut: Pertama, berdasarkan profil akses dapat diketahui
bahwa golongan laki-laki mendominasi akses dan kontrol terhadap sumberdaya
tanah, peralatan, tenaga kerja, pendidikan dan organisasi. Bahkan pada
pemanfaatan dari kegiatan pembangunan, manfaat atas pendapatan dari luar,
kepemilikan kekayaan, dan kekuatan politik masih didominasi laki-laki.
Kedua, dalam pendekatan perencanaan gender ternyata berbagai program
pembangunan yang dilaksanakan di komunitas Desa Sudagaran baru sebatas
memenuhi kebutuhan praktis saja, sementara kebutuhan strategis belum tersentuh,
dengan demikian upaya untuk mengangkat derajat perempuan agar setara dengan
laki-laki masih belum tercermin dalam berbagai program selama ini.
Ketiga, dalam menggunakan alat analisis siklus proyek program PPK
tahap II tahun 2003 yang diwujudkan dalam pembangunan jalan gendengan
ternyata masih ada kesenjangan gender. Hal tersebut dapat dilihat dari kecilnya
partispasi perempuan dalam setiap proses kegiatan proyek. Bahkan out put yang
dihasilkan juga belum mampu memenuhi kebutuhan praktis dan strategis
golongan perempuan
Keempat, berdasarkan profil perencanaan gender berbagai program
pembangunan yang telah dilaksanakan di komunitas Desa Sudagaran telah sesuai
dengan peran produktif dan reproduktif yang diharapkan perempuan. Tetapi
kenyataan di lapangan terpenuhi baru kebutuhan praktis saja, kebutuhan strategis
perempuan masih belum terpenuhi.
Kelima, ada korelasi antara semakin baik indeks pembangunan gender
maka akan baik juga indeks pemberdayaan gender. Hal ini dapat diartikan bahwa
kondisi kualitas SDM perempuan yang baik akan semakin tinggi peran perempuan
dalam pembangunan. Atau sebaliknya dapat diartikan, bahwa jika peran
perempuan dalam pembangunan relatif tinggi akan berdampak pada peningkatan
kualitas SDM perempuan. Keberhasilan upaya pemberdayaan perempuan akan
46
dapat dicapai jika ada upaya peningkatan kualitas sumberdaya perempuan.
Peningkatan kualitas sumberdaya perempuan akan mendorong peran perempuan
dalam pembangunan
Hadiprakoso (2005) menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut:
Berdasarkan pada pembagian kerja dapat disimpulkan bahwa pekerjaan produktif
yang mendapatkan upah didominasi oleh golongan laki-laki, golongan perempuan
mendominasi pekerjaan reproduktif, tidak mendapatkan upah dan pekerjaan yang
dilakukan di dalam komunitas domestik.
Munaf (2004) menunjukkan hasil penelitiannya tentang peran gender
dalam pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di Kota Ternate Maluku Utara
menyatakan bahwa rata-rata alokasi curahan waktu laki-laki untuk kegiatan
reproduktif lebih besar 3,5 jam dibandingkan dengan perempuan.
Dari review ini menunjukkan bahwa terdapat diskriminasi peran antara
laki-laki dan perempuan. Diduga diskriminasi ini merupakan hasil sebuah produk
budaya masyarakat yang bercorak pada kultur patriarki. Selain itu keadaan ini
menunjukkan rendahnya kesadaran kritis perempuan untuk melakukan refleksi
terhadap kontruksi budaya yang tidak adil, yang memiliki dampak luas terhadap
kehidupan bermasyarakat.
Kerangka Pemikiran
PNPM Mandiri salah satu program yang memperhatiakan aspek gender.
PNPM Mandiri bukan program yang dikhususkan dalam pemberdayaan
perempuan namun spirit yang dikandung dalam program ini salah satunya
mengakomodir peranserta perempuan dalam pembangunan.
Pembangunan merupakan transaksi antara pemberi manfaat dan penerima
manfaat. Proses transaksi ini tentunya tidak bisa terlepaskan dari proses
komunikasi. Dalam proses komunikasi terdapat subyek atau pelaku yang terdiri
dari komunikator dan komunikan yang memberi dan menerima pesan. Dalam
proses komunikasi perlu dipahami juga tentang model komunikasi yang
digunakan, media yang dipakai termasuk juga sistem komunikasi yang berlaku
pada sistem sosial yang ada. Tujuan komunikasi secara umum untuk menciptakan
kesamaan antara komunikator dan komunikan.
47
Dalam konteks penelitian ini, komunikasi ditujukan sebagai upaya untuk
menciptakan kesadaran kritis pengarusutamaan gender kegiatan pinjaman bergulir
PNPM Mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi merupakan sebuah
upaya untuk menciptakan keadilan gender yang dilihat dari aspek-aspek isu
gender. Isu gender sendiri meliputi akses, partisipasi, pemanfaatan dan kontrol
dalam kegiatan pinjaman bergulir.
Keberhasilan komunikasi dalam mencipatakan pengarusutamaan gender
tidak hanya dipandang berdasarkan elemen dasar proses komunikasi
(komunikator, pesan dan komunikan). Komunikasi harus dilihat juga pada aspek
terpaan, konsep diri dan internalisasi dan keragaman karakteristik komunikan.
Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas kerangka pemikiran dapat
digambarkan secara skematis pada Gambar 6 berikut ini.
Gambar 6. Kerangka pemikiran
Gambar 6. Kerangka pemikiran
61
• Terpaan pesan. • Konsep diri
komunikan.
Komunikator • Model Komunikasi • Pesan • Sistem komunikasi • Media komunikasi
Internalisasi: • Pencitraan dan aktivasi program. • Keragaman karakteristik.
PENGARUSUTAMAAN GENDER KEGIATAN PINJAMAN BERGULIR
• Akses perempuan terhadap pinjaman bergulir. • Partisipasi perempuan pada kelembagaan unit pengelola keuangan. • Pemanfaatan pinjaman bergulir oleh perempuan. • Kontrol perempuan pada kegiatan pinjaman bergulir
Komunikan
49
METODE PENELITIAN
Paradigma Penelitian
Lincoln dan Guba (1985) membedakan paradigma dalam ilmu
pengetahuan secara umum dalam dua kelompok, yaitu paradigma positivisme
(positivist) dan alamiah (naturalist). Pengertian paradigma menurut Patton (1978)
dalam Lincoln dan Guba (1985) ini adalah:
Paradigm is a world view, a general perspective , a way of breaking down the complexity of the real world. As such, paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practitioners: paradigm tell them what is important, legitimate, and reasonable. Paradigm are also normative, telling the practitioner what to do without the necessity of long existential or epistemological consideration. But it is this aspect of paradigms that constitutes both their strength and their weakness-their strength in that it makes action possible, their weakness in that the very reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm. Bogdan dan Biklen (1982) dalam Moleong (2007) menyebut paradigma
sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep
atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Mulyana (2008)
menyebut paradigma sebagai suatu ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan
yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, memiliki seperangkat
kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan metode
serupa.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian adalah paradigma kritis. Hal
ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu sebagai kritik sosial dan penguatan
sosial. Paradigma kritis sendiri merupakan paradigma yang tidak berkaitan dengan
prinsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide.
Paradigma ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan
manusia dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi paradigma ini adalah
emansipatoris. Ciri paradigma ini adalah : (Ahyar & Lubis 2006)
1. Kritis terhadap masyarakat. Paradigma Kritis mempertanyakan sebab-sebab
yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat.
Struktur masyarakat yang rapuh ini harus diubah.
50
2. Paradigma kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses
masyarakat yang historis. Dengan kata lain paradigma kritis berakar pada
suatu situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu, misalnya material-
ekonomis.
3. Paradigma kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya paradigma
dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat.
Inilah yang terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Madzhab
Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kaum kapitalis.
Paradigma harus memiliki kekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik
dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.
4. Paradigma kritis tidak memisahkan paradigma dari praktek, pengetahuan dari
tindakan, serta rasio paradigmatis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi
bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental
yang hanya memperhitungkan alat atau sarana semata. Madzhab Frankfurt
menunjukkan bahwa paradigma atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu.
Paradigma kritis harus selalu melayani transformasi praktis masyarakat.
Paradigma kritis akan menghasilkan teori-teori kritis. Teori kritis
mengarahkan pada dua taraf yang berkaitan secara dialektis. Pada taraf teori
pengetahuan, teori kritis berusaha mengatasi saintisme atau positivisme. Pada
taraf teori sosial, kritik dibidikkan ke arah berbagai bentuk penindasan idiologis
yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang refresif (Hardiman 1990).
Kedua taraf ini saling mengandaikan seperti yang dinyatakan Habermas (1971)
dalam Hardiman (1990) “..suatu kritik radikal atas pengetahuan itu mungkin
hanya sebagai teori sosial.” Teori kritis membawa misi emansipatoris untuk
mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang rasional melalui refleksi diri.
Adorno (1976) dalam Hardiman (1990) teori kritis diharapkan mampu
sebagai pendobrak Herrschaft (dominasi total) kepada pendekatan emansipatoris.
Dalam pandangan lain paradigma kritis digunakan dalam metodologi ilmiah
dengan maksud membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses pengambilan
kebijakan; adakah pembatasan-pembatasan dalam pengambilan kebijakan, siapa
aktor yang berpengaruh dan mengendalikan forum, adakah anggota terkooptasi
oleh kepentingan tertentu di luar organisasi, bahasa dan simbol-simbol apakah
51
yang biasa digunakan dalam proses pengambilan kebijakan. Bahasa dalam
paradigma kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk
subyek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya
(Ardianto & Q-Anees 2007).
Selanjutnya paradigma ini digunakan juga untuk mengkritisi rintangan-
rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses
pengambilan kebijakan. Masyarakat, individu dan organisasi merupakan
kehidupan dalam suatu dunia yang dikarakterisasi oleh suatu keadaan yang saling
mempengaruhi antara kesadaran individu dan prinsip obyektivasi dalam dunia
eksternal. Maksud dari paradigma ini adalah membebaskan manusia dari
manipulasi teknokrat modern.
Dalam kaitan ini teori kritis dijadikan sebagai pisau analisis dalam
memecahkan kebuntuan relasi sosial dalam perspektif gender yang telah
ditelikung oleh ideologi dominasi total budaya patriarki.
Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian
kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang
tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori,
untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan.
Desain Penelitian
Penelitian ini didesain dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Menurut Strauss dan Corbin (2003) dalam Salim (2006) penelitian kualitatif
dimaksud sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh
melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Selanjutnya, dipilihnya
penelitian kualitatif karena kemantapan peneliti berdasarkan pengalaman
penelitiannya dan metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih
kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.
Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan
masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran
kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan
melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell 2003).
52
Penelitian kualitatif bertujuan untuk melakukan penafsiran terhadap
fenomena sosial. Metodologi penelitian yang dipakai adalah multimetodologi,
sehingga sebenarnya tidak ada metodologi yang khusus. Para periset kualitatif
dapat menggunakan semiotika, narasi, isi, diskursus, arsip, analisis fonemik,
bahkan statistik. Di sisi yang lain, para periset kualitatif juga menggunakan
pendekatan, metode dan teknik-teknik etnometodologi, fenemologi, hermeunitika,
feminisme, rhizomatic, dekonstruksionisme, etnografi, wawancara, psikoanalisis,
studi budaya, penelitian survai, dan pengamatan (participant observation) (Salim
2006).
Pandangan lain menyatakan tujuan penelitian kualitatif adalah untuk
memahami situasi sosial, peristiwa, peran, kelompok atau interaksi tertentu.
Penelitian ini merupakan sebuah proses investigasi dimana peneliti secara
bertahap berusaha memahami fenomena sosial dengan membedakan,
membandingkan, meniru mengkatalogkan dan mengelompokkan obyek studi
(Miles & Haberman 1992).
Penggunaan dan arti metode penelitian kualitatif yang berbeda-beda ini
menyulitkan diperolehnya kesepakatan di antara para peneliti mengenai definisi
yang mendasar atasnya. Selanjutnya, Salim (2006) menyatakan bila suatu definisi
harus dibuat bagi pendekatan kebudayaan, maka penelitian kualitatif adalah suatu
bidang antardisiplin, lintasdisiplin, bahkan kadang-kadang kawasan
kontradisiplin.
Di sisi lain, penelitian kualitatif juga melintasi ilmu pengetahuan
humaniora, sosial dan fisika. Hal tersebut berarti penelitian kualitatif memiliki
fokus terhadap banyak paradigma. Para praktisinya sangat peka terhadap nilai
pendekatan multimetode. Mereka memiliki komitmen terhadap sudut pandang
naturalistik dan pemahaman interpretatif atas pengalaman manusia. Pada saat
yang sama, bidang ini bersifat politis dan dibentuk oleh beragam etika dan posisi
politik.
Penelitian ini didesain sebagai penelitian kualitatif sedangkan locus
penelitian adalah perempuan. Berikut ini ciri-ciri dasar metodologi penelitian
yang bersperspektif perempuan (Handayani & Sugiarti 2008).
53
1. Bukan mementingkan metode riset, tetapi bagaimana hasil riset digunakan
untuk bisa menjawab berbagai kondisi hidup perempuan yang merugi akibat
gender.
2. Dapat memahami pengalaman perempuan dengan meneliti persepsinya
tentang pengalaman pribadi.
3. Kecenderungan sering menggunakan metode penelitian kualitatif seperti
diskusi kelompok terfokus, wawancara mendalam, partisipasi observasi, dan
lain-lain.
4. Dalam mengadakan riset tidak secara kaku berpegang pada metode tertentu,
tetapi dibenarkan untuk menyesuaikan metodenya sejalan dengan proses yang
berkembang dalam mengadakan riset.
5. Analisis riset memakai konsep-konsep dari berbagai aliran feminisme yang
telah berkembang seperti; hubungan kekuasaan, marjinalisasi, subordinasi,
opresi, dan lain-lain.
6. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam riset berperspektif
perempuan tidak berbeda dengan riset sosial pada umumnya.
7. Menganggap bahwa kecenderungan untuk membedakan obyek ilmiah dan
individual subyektif dalam suatu penelitian kuantitatif dan kualitatif adalah
kurang tepat karena dasar penilaiannya bersumber pada pengalaman maskulin
tentang dunia realitas.
Untuk memperkuat data-data kualitatif, penelitian ini juga didukung
dengan data-data kuantitatif.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber
Kabupaten Cirebon. Penelitian partisipasi (pra research) dilakukan mulai bulan
April-Mei 2010 intervensi lanjutan penggalian data bulan Mei 2010-Maret 2011.
Data dan Instrumen
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan
primer. Data primer maupun sekunder diambil dari informan-informan yang
dianggap memiliki kapabilitas terhadap informasi yang diperlukan dalam
penelitian. Adapun informan tersebut adalah:
54
1. Anggota Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan perangkat kerja yang
meliputi:
a. Anggota BKM
b. Sekretaris BKM
c. Unit Pelaksana Keuangan (UPK)
2. Aktivis penggerak kegiatan PNPM Mandiri yang terdiri kelompok swadaya
masyarakat (KSM) dan relawan.
3. Masyarakat umum yang dikategorikan sebagai berikut:
a. Masyarakat pemanfaat program pinjaman bergulir.
b. Masyarakat dari rumah tangga miskin.
c. Masyarakat berpengaruh atau tokoh agama (opinion leader).
d. Masyarakat dari kalangan menengah ke atas.
e. Simpul komunikasi yang terdiri pemimpin formal atau nonformal
komunitas (dusun/blok/RT)
4. Aparat kelurahan.
5. Fasilitator kelurahan.
6. Koordinator Kabupaten (Korkab).
Adapun instrumen yang digunakan untuk melakukan penggalian atau
memperoleh data adalah sebagai berikut:
1. Pengamatan atau observasi
Pengamatan terhadap struktur fisik, perbedaan-perbedaan sosial, sikap,
tindakan-tindakan dan simbol-simbol maupun dalam kebersamaan
memberikan informasi yang penting untuk menyusun pertanyaan yang
terfokus.
2. Wawancara semi terstruktur
Pada wawancara semi terstruktur ini, yang dipakai adalah pertanyaan yang
terbuka. Isu-isu relevan yang tidak diharapkan, hendaknya diikuti lagi oleh
pertanyaan lanjutan untuk menggali lebih banyak informasi. Subyek yang
diwawancarai adalah kelompok yang terpilih dan kelompok campuran. Dalam
wawancara, peneliti tidak hanya menggali data secara formal tetapi juga
menggunakan teknik investigasi sebagai data pembanding. Ini dilakukan
karena paradigma penelitian yang merupakan paradigma kritis. Alasan
55
penggunaan data investigasi karena diduga sumber informasi cenderung
memberikan jawaban-jawaban yang normatif pada saat dilakukan wawancara
secara formal.
3. Studi literatur
Studi literatur merupakan bagian penelusuran data sekunder. Kegiatan yang
dilakukan adalah dengan mempelajari dan menggali dokumen-dokumen
tertulis yang memiliki hubungan dengan tema penelitian.
Secara umum gambaran data dan instrumen dapat dipetakan dalam Tabel 1
berikut ini.
Tabel 1. Data, sumber informasi dan instrumen Sumber Informasi Data Instrumen Lurah Kenanga atau staf Gambaran umum obyek
penelitian • Penggalian Dokumen
monogram kelurahan Kenanga
• Wawancara mendalam • Fasilitator kelurahan • Anggota BKM • Sekretaris BKM • Manajer UPK • Masyarakat dari keluarga
penghasilan menengah ke atas. • Masyarakat dari rumah tangga
miskin (RTM). • Masyarakat berpengaruh atau
tokoh agama (opinion leader) • KSM (Pemanfaat program) • Relawan • Simpul-simpul komunikasi
• Model komunikasi tingkat basis kegiatan PNPM Mandiri.
• Aplikasi model komunikasi sekuensial dalam komunikasi tingkat basis.
• Model komunikasi dalam aspek gender.
• Komunikasi kegiatan pinjaman bergulir.
• Penelitian partisipatif • Wawancara mendalam
• Anggota BKM • Sekretaris BKM • Manajer UPK • Masyarakat dari keluarga
penghasilan menengah ke atas. • Masyarakat dari rumah tangga
miskin (RTM). • Masyarakat berpengaruh atau
tokoh agama (opinion leader) • KSM (Pemanfaat program) • Relawan • Simpul-simpul komunikasi
• Internalisasi kegiatan PNPM Mandiri.
• Citra kegiatan PNPM Mandiri
• Internalisasi Berdasarkan Keragaman Karakteristik
• Penelitian partisipatif • Wawancara mendalam
• Anggota BKM • Sekretaris BKM • Manajer UPK • Masyarakat dari rumah tangga
miskin. • KSM (Pemanfaat program) • Relawan
• Gambaran kegiatan pinjaman bergulir
• Aksesibilitas perempuan terhadap pinjaman bergulir
• Peran perempuan dalam kelembagaan UPK
• Tanggung jawab perempuan dalam pelaksanaan pinjaman bergulir
• Pembangunan kontrol sosial kegiatan pinjaman bergulir
• Penelitian partisipatif • Wawancara mendalam
56
Analisis Data
Analisis kualitatif merupakan analisis yang mendasarkan pada adanya
hubungan semantis antar peubah yang sedang diteliti. Tujuannya agar peneliti
mendapatkan makna hubungan antar peubah sehingga dapat digunakan untuk
menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Hubungan antar peubah
sangat penting karena dalam analisis kualitatif, peneliti tidak menggunakan
angka-angka seperti pada analisis kuantitatif.
Prinsip pokok teknik analisis kualitatif ialah mengolah dan menganalisis
data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematik, teratur, terstruktur dan
mempunyai makna. Prosedur analisis data kualitatif dibagi dalam beberapa
langkah, yaitu: (Bungin 2003).
1. Mengorganisasi data: cara ini dilakukan dengan membaca berulang kali data
yang ada sehingga dapat menemukan data yang sesuai dengan penelitian dan
membuang data yang tidak sesuai;
2. Membuat kategori, menentukan tema, dan pola: langkah kedua ialah
menentukan kategori yang merupakan proses yang cukup rumit karena harus
mengelompokkan data yang ada ke dalam suatu kategori dengan tema masing-
masing sehingga pola keteraturan data menjadi terlihat secara jelas;
3. Mencari eksplanasi alternatif data: proses berikutnya ialah peneliti
memberikan keterangan yang masuk akal data yang ada dan peneliti harus
mampu menerangkan data tersebut didasarkan pada hubungan logika makna
yang terkandung dalam data tersebut;
4. Menulis laporan: penulisan laporan merupakan bagian analisis kualitatif yang
tidak terpisahkan. Dalam laporan ini peneliti harus mampu menuliskan kata,
frasa dan kalimat serta pengertian secara tepat yang dapat digunakan untuk
mendeskripsikan data dan hasil analisisnya.
Hipotesis Pengarah
Pola pembangunan dewasa ini mengisyaratkan perlunya peran serta
masyarakat. Hal ini menunjukkan partisipasi merupakan kata kunci penting
keberhasilan pembangunan. Diyakini dengan pola komunikasi partisipatif ini akan
lebih memudahkan internalisasi pembangunan di masyarakat termasuk di
57
dalamnya akan menciptakan akses, peran, pemanfaatan dan kontrol dari sisi
gender yang berkeadilan.
Perwujudan dari konsep ini adalah kegiatan PNPM Mandiri. Salah satu
lokasi kegiatan PNPM Mandiri adalah Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber
Kabupaten Cirebon. Di Kelurahan Kenanga sendiri, kegiatan PNPM sudah
berlangsung kurang lebih lima tahun. Tentunya dengan keadaan ini kegiatan
PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga telah mencapai titik ideal dalam
pemberdayan masyarakat.
Berdasarkan pada pemaparan di atas dapat ditarik hipotesis pengarah
sebagai berikut:
1. Kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga menggunakan pola
komunikasi program dengan pola komunikasi partisipatif.
2. Internalisasi kegiatan sudah mengarah kepada pencitraan dan aktivasi yang
tepat.
3. Secara isu gender, dalam kegiatan pinjaman bergulir telah terbangun keadilan
gender.
59
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Obyek Penelitian
Kondisi Geografis dan Administrasi
Kelurahan Kenanga terletak di Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon
Provinsi Jawa Barat. Jarak dengan pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon kurang
lebih 2 km. Jarak dengan ibu kota provinsi kurang lebih 120 km dan jarak dengan
ibu kota negara mencapai 220 km. Dilihat dari batas wilayah Kelurahan Kenanga
berbatasan dengan desa atau kelurahan sebagai berikut:
• Sebelah Utara : Desa Kejuden Kecamatan Depok
• Sebelah Timur : Kelurahan Tukmudal Kecamatan Sumber
• Sebelah Selatan : Desa Sindang Jawa Kecamatan Dukuhpuntang
• Sebelah Barat : Desa Karang Wangi Kecamatan Depok
Luas wilayah Kelurahan Kenanga mencapai 186,65 ha. Dilihat dari
peruntukkan lahan, terdiri dari berbagai peruntukkan yaitu sebagai berikut:
• Jalan : 9,33 ha
• Sawah dan Ladang : 139,98 ha
• Bangunan Umum : 1,86 ha
• Pemukiman/perumahan : 31,75 ha
• Pemakaman : 3,73 ha
Secara administratif pembagian wilayah, Kelurahan Kenanga terdiri dari
tujuh RW dan 25 RT. Setiap RT terbagi menjadi beberapa blok atau kampung.
Pembagian wilayah ini dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Pembagian wilayah RW Jumlah RT Blok yang Tergabung 01 4 RT Karang Gayam dan Blok Desa 02 3 RT Pesantren, Lebak Jambu dan Karang Mingkrik 03 4 RT Tengah dan Jorogan 04 3 RT Lebak dan Kedung Mara 05 3 RT Kenanga Sari, Tuan Rante dan Tanjung Sari 06 5 RT Palsanga, Kranten, Jamsari dan Pontas 07 3 RT Cigugur dan Warung Kidul
Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010
60
Kondisi Demografis
Kondisi demografis terdiri dari jumlah penduduk, jumlah penduduk
menurut jenis kelamin, tingkat pendidikan masyarakat, dan mata pencaharian
masyarakat.
Jumlah penduduk Kelurahan Kenanga pada tahun 2010 mencapai 7.809
jiwa dengan 1.561 kepala keluarga (KK). Berdasarkan jenis kelamin penduduk
laki-laki 3.946 jiwa dan perempuan mencapai 3.863 jiwa. Adapun tingkat
penyebaran penduduk berdasarkan rukun warga (RW), dapat dilihat pada Tabel 3
berikut ini.
Tabel 3. Penduduk berdasarkan sebaran tingkat RW
Lokasi Jumlah
Laki-Laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Total (jiwa)
RW 01 684 708 1392 RW 02 683 491 1174 RW 03 527 572 1099 RW 04 410 402 812 RW 05 517 526 1043 RW 06 713 720 1433 RW 07 412 444 856 Jumlah 3946 3863 7809
Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010
Berdasarkan tingkat pendidikan sebagaian besar penduduk Kelurahan
Kenanga berpendidikan sekolah dasar yang mencapai 2.985 orang. Hal ini
menunjukkan bahwa sumberdaya manusia di Kelurahan Kenanga masih rendah.
Sedangkan masyarakat yang pernah mengecap pendidikan tinggi sampai tahun
2010 mencapai 69 orang.
Berdasarkan sebaran tingkat rukun warga dilihat dari tingkat pendidikan
dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Tingkat pendidikan penduduk berdasarkan sebaran tingkat RW
Lokasi Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Pendidikan Tinggi
RW 01 532 331 177 13 RW 02 449 279 149 9 RW 03 420 261 140 8 RW 04 310 193 103 6 RW 05 399 248 133 8 RW 06 548 341 182 12 RW 07 327 203 109 7 Jumlah 2985 1856 933 69
Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010
61
Dilihat dari jenis mata pencaharian, sebagian besar penduduk Kelurahan
Kenanga berprofesi sebagai buruh yang mencapai 2.244 orang. Sebagaian besar
diserap pada sektor usaha atau industri rotan. Keadaan ini disebabkan tingkat
pertumbuhan industri yang sangat tinggi di wilayah sekitar Kelurahan Kenanga
pada era 90an. Pada tahun tersebut pembangunan pabrik-pabrik di sekitar
Kelurahan Kenanga begitu pesat dengan konsep padat karya.
Perubahan mata pencaharian masyarakat, berimplikasi terhadap kegiatan
ekonomi lainnya seperti halnya di bidang pertanian. Usaha pertanian sekarang ini
hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat dari golongan tua hanya sebagian
kecil saja kelompok muda menjadi petani. Rendahnya masyarakat menggeluti
usaha pertanian dikarenakan tawaran usaha di sekor industri lebih menjanjikan
dan lebih praktis.
Dilihat dalam kajian gender, jumlah masyarakat yang bekerja tidak
didominasi oleh kaum laki-laki. Industrialisasi di bidang usaha rotan, telah
membuka peluang yang sangat luas bagi kaum perempuan untuk bekerja pada
sektor publik. Sebagaian besar mereka bekerja sebagai buruh kasar seperti bagian
ampelas (proses penghalusan produk hasil rotan), packing (mengemas produk
rotan yang sudah jadi).
Adapun tingkat penyebaran penduduk berdasarkan mata pencaharian atau
pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Jumlah penduduk Kelurahan Kenanga berdasarkan mata pencaharian
Lokasi
Jenis Mata Pencaharian atau Pekerjaan
PNS / BUMN Petani Pedagang /
Wiraswasta / Jasa
Buruh
RW 01 11 259 295 355 RW 02 9 237 275 332 RW 03 9 247 287 347 RW 04 8 200 232 280 RW 05 7 187 217 262 RW 06 11 282 327 395 RW 07 7 194 225 273 Jumlah 62 1606 1858 2244
Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010
62
Pelapisan Masyarakat dan Kegiatan PNPM Mandiri
Pelapisan masyarakat adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke
dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan
kelas-kelas rendah. Dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan
dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai
sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. (Sorokin dalam
Soekanto 1990).
Pelapisan masyarakat menunjukkan adanya diferensiasi masyarakat.
Dalam konteks masyarakat Kelurahan Kenanga, dipetakan menjadi beberapa
diferensiasi, antara lain; (1). Kelompok alim ulama. (2). Kelompok kaya (3).
Kelompok masyarakat berpendidikan (4). Kelompok masyarakat biasa. Peran dan
kontribusi setiap kelompok bersifat khas dan memiliki keajegan. Artinya setiap
kelas ini memiliki job area tersendiri, khususnya dalam pembangunan
masyarakat.
Dari kelompok yang ada, alim ulama merupakan kelompok yang paling
dihormati dan paling banyak didengar suaranya. Karakter alim ulama di
Kelurahan Kenanga, dibangun sistem trah keluarga. Artinya kelompok ini hanya
muncul dari keluarga tertentu. Di Kelurahan Kenanga terdapat empat keluarga
besar alim ulama dan dominasi simbol-simbol ulama masih dipegang oleh
masyarakat dari empat keluarga tersebut.
Peran ulama di masyarakat cenderung memposisikan diri untuk bidang
pendidikan terutama pendidikan agama baik formal atau informal. Kegiatan
pendidikan lazimnya diselenggarakan di madrasah atau mushola. Mereka
mengelola majelis taklim dan kelompok jam’iyah yang telah eksis sangat lama.
Peran mereka telah menciptakan kultur beragama masyarakat Kelurahan Kenanga
dalam kultur beragama nahdliyin.
Peran alim ulama pada bidang lainnya masih sangat terbatas. Hal ini dapat
dilihat kiprah mereka pada lembaga formal seperti Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Kelurahan (LPMK) masih sangat rendah, termasuk dalam kegiatan
PNPM Mandiri.
Kelompok kedua adalah kelompok masyarakat kaya. Mereka terdiri dari
petani dan pedagang. Kelompok ini memiliki simbol atau ciri gelar keagamaan
63
seperti haji. Karakter mereka dalam pembangunan bersifat reaktif. Bahkan ada
kecenderungan kepedulian mereka terhadap refleksi kemiskinan sangat rendah.
Dalam konteks PNPM Mandiri, peran mereka masih sebatas sebagai
penyedia dana (donatur) dan tidak tidak terlibat secara teknis di lapangan. Salah
satu alasan yang pokok adalah kesibukan. Hal ini menunjukkan kesadaran
kelompok ini, masih bersifat kesadaran naif. Artinya kiprah mereka tidak didasari
atas kepedulian terhadap refleksi kemiskinan masyarakat melainkan akibat
stimuli-stimuli oleh relawan.
Kelompok ketiga adalah masyarakat berpendidikan tinggi. Mereka
memiliki kriteria yaitu gelar akademik yang dimilikinya. Kelompok masyarakat
pendidikan tinggi terpilah dalam dua kelompok yaitu kelompok tua dan muda.
Pembagian kelompok masyarakat pendidikan ini akan memiliki korelasi terhadap
peran mereka dalam pembangunan.
Sementara ini, kelompok masyarakat berpendidikan tinggi memiliki citra
positif dari masyarakat sebagai agen pembangunan. Masyarakat memiliki harapan
yang besar pada kelompok ini, karena mereka diyakini mampu untuk mengelola
berbagai program termasuk PNPM Mandiri. Dalam kegiatan PNPM Mandiri
kelompok masyarakat berpendidikan tinggi terutama dari kalangan muda,
memiliki peran yang sangat besar. Mereka terdistribusi di berbagai elemen yang
menggerakkan PNPM Mandiri salah satunya Badan Keswadayaan Masyarakat
(BKM). Dari 13 anggota BKM enam di antaranya memiliki jenjang pendidikan
tinggi. Selain itu, peran mereka banyak terdistribusi pada Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM). Namun dalam tinjauan kritis, peran mereka masih sebatas
dalam catatan administrasi. Dalam langkah praktis, kelompok masyarakat
pendidikan tinggi belum menunjukkan kinerja sebagai agen pembangunan. Hal ini
bisa terlihat dari kiprah mereka di BKM. Dari enam orang hanya seorang yang
memiliki kiprah yang aktif dalam kegiatan PNPM Mandiri.
Kelompok keempat adalah masyarakat umum yang terdiri dari kelompok
masyarakat yang tidak masuk dalam kriteria ketiga kelompok tadi. Secara
kuantitas, jumlah mereka dalam kegiatan PNPM Mandiri sangat signifikan.
Bahkan peran mereka dalam menggerakkan masyarakat sangat baik, termasuk
64
kontribusi mereka dalam pembuatan dasar-dasar pelaksanaan kegiatan PNPM
Mandiri.
Peran mereka terdistribusi dalam job area yang bervariatif, di antaranya
sebagai relawan yang terlibat dalam berbagai kegiatan PNPM Mandiri. Kegiatan
tersebut antara lain, pemetaan swadaya satu (PS1), pemetaan swadaya dua (PS2),
simpul komunikasi dan rembug-rembug warga. Alasan yang paling mendasar
tingginya peran serta mereka disebabkan ada sebuah harapan besar pada PNPM
Mandiri yaitu perubahan pada diri mereka. Hal ini disebabkan mereka dijadikan
sebagai prioritas pemanfaat pada kegiatan PNPM mandiri.
Diferensiasi masyarakat yang ada, tidak serta merta menimbulkan
polarisasi. Pada pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri, sudah memunculkan
kerangka yang sinergi antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang
lainnya. Kondisi ini merupakan sebuah cerminan munculnya tapak-tapak
pembangunan yang berbasis masyarakat (bottom up) di Kelurahan Kenanga.
Sistem Komunikasi Masyarakat
Memaknai sistem komunikasi masyarakat memiliki peubah yang sangat
kompleks. Dalam kajian Lasswell, sebuah sistem komunikasi dapat ditelusuri dari
aspek komunikator, pesan, saluran komunikasi, komunikan dan efek yang
ditimbulkan. Dalam kajian ini, pemaknaan sistem komunikasi dibatasi pada kajian
komunikasi yang bersifat internal masyarakat dan komunikasi dengan unsur
eksternal masyarakat.
Komunikasi internal antar masyarakat lebih banyak dilakukan dengan
komunikasi primer. Hal ini disebabkan sarana-sarana interaksi sosial masyarakat
baik dalam suasana formal maupun informal masih tetap terpelihara. Misalnya
mushola yang tidak hanya difungsikan sebatas tempat beribadah, tapi juga
dijadikan sebagai sarana interaksi sosial antar masyarakat. Begitupun dengan
majelis-majelis taklim, acara-acara keagamaan yang eksistensinya tetap
terpelihara. Ini menunjukkan interaksi sosial antar masyarakat masih kuat yang
menjadikan tingkat kekerabatan masyarakat masih sangat tinggi.
Tingkat kekerabatan yang masih tinggi menjadikan corak saling tolong-
menolong dan gotong-royong masih menjadi warna dalam kehidupan masyarakat.
Hal ini dapat dilihat pada budaya sambatan (meminta bantuan) dalam acara
65
hajatan keluarga, kematian yang masih tetap terpelihara dengan baik. Meski
kekerabatannya masih sangat tinggi bukan berarti tidak ada konflik dalam
masyarakat.
Konflik yang ada dalam masyarakat memiliki dua bentuk yaitu konflik
yang bersifat domestik dan publik. Untuk konflik yang bersifat publik, biasanya
banyak bersentuhan dengan bantuan-bantuan program pemerintah, seperti
penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT), beras untuk miskin (Raskin),
program yang dilaksanakan oleh LPMK dan termasuk kegiatan dalam PNPM
Mandiri. Dari pemetaan dapat disimpulkan bahwa konflik yang bersifat publik
disebabkan distribusi keadilan yang tidak proporsional dan budaya saling
ketidakpercayaan antar komponen masyarakat.
Penajaman tentang komunikasi dengan dunia luar dapat dilihat pada aspek,
media atau gatekeeper, dan tingkat kosmopolitan masyarakat. Media untuk
berinteraksi dengan dunia luar banyak menggunakan sarana media elektronik.
Dalam kaitan ini budaya tutur lebih kuat dibandingkan dengan budaya literasi
dalam akses informasi dengan dunia luar. Hasil pengamatan menunjukkan di RT
01/02 (Blok Pesantren) hanya seorang kepala keluarga yang rutin berlangganan
surat kabar. Begitupun di RT 03/01 (Blok Karang Gayam Selatan), hanya satu
kepala keluarga yang berlangganan surat kabar.
Peran opinion leader atau gatekeeper sebagai penyambung pesan kepada
masyarakat sudah tidak berfungsi. Masyarakat secara mandiri telah mampu
mengakses sumber-sumber informasi.
Penetrasi media massa, diyakini dapat mempersempit ruang interaksi
sosial yang akan menimbulkan perubahan sosial, namun kondisi ini tidak berlaku
secara mutlak pada masyarakat Kelurahan Kenanga. Sementara ini perubahan-
perubahan sosial yang ada pada masyarakat masih dalam batas-batas kewajaran.
Hal ini dapat dilihat masih berfungsinya kontrol sosial antar masyarakat, budaya
saling menolong dan kepekaan sosial yang masih ada.
66
Komunikasi Tingkat Basis Kegiatan PNPM Mandiri
Komunikasi Tingkat Basis dalam Berbagai Dimensi
PNPM Mandiri pertama kali masuk ke Kelurahan Kenanga pada tahun
2006 dengan nama program program P2KP (program penanggulangan kemiskinan
perkotaan). Selanjutnya pada tahun 2009 program ini berganti nama dengan
PNPM Mandiri Perdesaan yang disebut dengan PNPM MP, yang kemudian lebih
banyak disebut sebagai PNPM Mandiri.
PNPM Mandiri memiliki berbagai siklus yang setiap siklus memiliki
kekhasan terhadap aspek komunikasi. Siklus yang ada dalam kegiatan PNPM
Mandiri dapat gambarkan sebagai berikut.
Gambar 7. Siklus kegiatan PNPM Mandiri
Tahap pelaksanaan: • Pembentukan KSM • Pembuatan skala
prioritas • Pembuatan proposal
kegiatan • LPJ
Tahap persiapan: • PS 1 (refleksi
kemiskinan) • PS2 • Pembentukan
kelembagaan
Tahap perencanan: • Legalitas
kelembagaan • Pembuatan PJM
Renta
Tahap evaluasi: Rapat warga tahunan
(RWT)
Dukungan komunikasi
Keputusan RKM
67
Berdasarkan Gambar 7 menunjukkan bahwa kegiatan PNPM Mandiri
memiliki mekanisme proses yang sirkular. Setiap proses terdapat indikator-
indikator kerja yang harus dipenuhi oleh masyarakat. Untuk mencapai indikator
tersebut diadakan bimbingan oleh fasilitator kelurahan di setiap proses yang ada.
Selain itu, komunikasi antara masyarakat selalu dibangun baik dalam konteks
organisasi maupun individu. Oleh karena itu, komunikasi merupakan bagian
integral kegiatan PNPM Mandiri yang merupakan pilar penting dalam
pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri.
Tahap awal kegiatan PNPM Mandiri adalah rapat kesiapan masyarakat
(RKM). Untuk memahami situasi komunikasi pada siklus PNPM Mandiri di
Kelurahan Kenanga dapat dilihat pada matriks berikut.
Tabel 6 Matriks situasi komunikasi pada kegiatan rapat kesiapan masyarakat kegiatan PNPM Mandiri
No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan 1 Pelaku Komunikasi • Masyarakat
• Fasilitator • Aparat kelurahan
2 Pola Komunikasi • Komunikasi partisipatif dalam hal ini masyarakat diberikan pilihan untuk menerima atau menolak kegiatan P2KP.
• Linier dalam hal ini masyarakat diberikan pelatihan untuk menjalankan siklus-siklus PNPM Mandiri.
3 Bentuk Kegiatan • Rembug warga • Rekruitmen relawan
4 Output • Adanya persetujuan masyarakat terhadap kegiatan P2KP
• Terbentuknya tim relawan yang akan menjalankan siklus-siklus PNPM Mandiri.
• Terbentuknya kesadaran dan refleksi kemiskinan.
• Terbentuknya kesetiakawanan sosial masyarakat.
Pada kegiatan RKM dilihat pada tingkat partisipasi dari sisi gender banyak
didominasi oleh kelompok perempuan. Hal ini dapat dilihat dari proporsi relawan
yang direkrut dalam RKM yang kebanyakan perempuan.
Dalam kegiatan RKM terdapat catatan penting mengenai sinergitas
hubungan antara masyarakat dengan pihak Pemerintah Kelurahan Kenanga. Pada
saat itu pihak Kelurahan Kenanga kurang merespon positif kegiatan P2KP yang
68
dapat dilihat dari dukungan fasilitas Pemerintah Kelurahan Kenanga, yang tidak
maksimal. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh STR mantan koordinator
relawan berikut ini.
“Informasi yang saya dapatkan seolah-olah pihak kelurahan dalam hal ini Lurah Kenanga pada saat itu tidak merespon apa yang menjadi keinginan masyarakat. Namun untuk persoalan tersebut sudah menjadi ranah antara fasilitator kelurahan, koordinator kota, penanggung jawab operasional kecamatan (PJOK) dan satuan kerja kabupaten (Satker Kabupaten).”
Setelah adanya pakta integritas masyarakat terhadap kesiapan pelaksanaan
kegiatan, dan terbentuknya relawan, kegiatan PNPM Mandiri dilanjutkan dengan
siklus persiapan. Untuk memahami situasi komunikasi pada siklus tahap persiapan
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 7. Matriks situasi komunikasi pada fase persiapan kegiatan PNPM Mandiri
No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan 1 Pelaku Komunikasi • Relawan
• Fasilitator 2 Pola Komunikasi • Komunikasi partisipatif . Pola ini dilakukan pada
kegiatan pemetaan swadaya satu (PS1) dan pemetaan swadaya dua. (PS2)
• Linier dalam hal ini relawan diberikan pelatihan dalam melaksanakan kegiatan PS1 dan PS2.
3 Bentuk Kegiatan • Rembug warga dalam membuat batasan atau refleksi kemiskinan (kegiatan PS1)
• Kegiatan PS2 yaitu pembuatan data kuantitatif dan kualitatif dari hasil refleksi kemiskinan yang ada pada masyarakat Kelurahan Kenanga.
• Pembentukan kelembagaan masyarakat yang menjalankan kegiatan PNPM Mandiri.
4 Output • Adanya refleksi kemiskinan yang sesuai dengan situasi yang ada pada masyarakat Kelurahan Kenanga.
• Adanya data-data kuantitatif dan kualitatif tentang kondisi kemiskinan yang ada pada masyarakat Kelurahan Kenanga.
• Terbentuknya Badan Keswadayaan Masyarakat.
Pada fase persiapan titik tolak kegiatan komunikasi pada lebih ditujukan
sebagai sarana untuk menstimuli kepekaan masyarakat terhadap kemiskinan yang
diharapkan munculnya sebuah langkah strategis yang bersifat swakelola, dan
swadaya dalam penanggulangan kemiskinan.
69
Kegaiatan yang dilakukan pada siklus tahap persiapan dapat digambarkan
sebagai berikut.
Gambar 8. Alur kegiatan PNPM Mandiri fase persiapan.
Pemetaan swadaya satu berupa refleksi kemiskinan dan pembuatan konsep
kemiskinan berdasarkan keadaan terkini masyarakat Kelurahan Kenanga.
Pemetaan swadaya dua yaitu mengimplementasikan PS1 yaitu dengan melakukan
pendataan kondisi-kondisi masyarakat, termasuk di dalamnya identifikasi
pemanfaat PNPM Mandiri.
Berdasarkan penelusuran lapangan data hasil PS2 tingkat akurasinya
sangat rendah terutama pada persoalan data pemanfaat program. Data-data yang
ada pada PS 2 banyak ketidakcocokan dengan kondisi yang ada. Salah satunya
banyak warga dari kelompok non miskin menjadi pemanfaat program.
Ketidakakurasian data ini dapat disebabkan beberapa faktor. Pertama, pemahaman
para relawan terhadap batas-batas kemiskinan (refleksi kemiskinan) yang tidak
dipahami dengan baik. Kedua, adanya persepsi bahwa kegiatan PS2 adalah
kegiatan pendataan masyarakat untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Suasana ini bisa dipahami karena momen kegiatan PS2 berbarengan dengan
program-program pemerintah yang bersifat charity seperti halnya bantuan
langsung tunai dan kompensasi pemerintah kepada masyarakat berkaitan konversi
minyak ke gas.
Kegiatan PS 1
Kegiatan PS 2
Pembentukan Kelembagaan BKM
Hasil RKM
70
Ketidakakuratan data PS2 memiliki berbagai implikasi, di antaranya
pembuatan program jangka menengah (PJM), rencana tahunan (Renta) yang pada
akhirnya terdapat program-program yang tidak tepat sasaran.
Setelah kegiatan PS2 selesai, kegiatan dilanjutkan dengan pembentukkan
kelembagaan masyarakat dalam hal ini Badan Keswadyaan mayarakat (BKM).
BKM dipilih dengan mekanisme demokrasi. Setiap warga berhak mencalonkan
diri sebagai anggota BKM.
Kegiatan pembentukan kelembagaan dilakukan oleh panitia yang direkrut
dari para relawan. Sebelum pelaksanaan pemilihan, panitia diberikan pembekalan
dan diadakan sosialisasi kepada masyarakat.
Sosialisasi kepada masyarakat lebih cenderung dengan menggunakan
komunikasi sekunder dalam bentuk pamflet dan stiker yang dipasang pada
tempat-tempat strategis. Pendekatan komunikasi primer, dalam bentuk rembug
warga tidak dilaksanakan secara maksimal. Konsekuensi pendekatan sosialisasi
seperti ini menjadikan tingkat pemahaman masyarakat pada BKM menjadi tidak
terarah. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kualitas pemahaman anggota-anggota
BKM priode 2007-2009 yang rendah terhadap tugas pokok fungsi BKM.
Secara teknis, pembentukan kelembagaan dapat digambarkan pada
Gambar 9 berikut ini.
Gambar 9. Alur pembentukan kelembagaan BKM
Pemilihan tingkat RT
Pemilihan tingkat kelurahan
Masyarakat pada tingkat RT, memilih perwakilan RT untuk dikompetisikan pada tingkat kelurahan.
Mekanisme pemilihan ini bisa dengan rembug warga atau pemilihan. Setiap warga berhak untuk
mencalonkan diri untuk menjadi perwakilan RT pada pemilihan tingkat kelurahan. Calon dari tiap RT yang
akan diikutkan dalam pemilihan tingkat kelurahan berjumlah minimal 7 orang.
Perwakilan dari tiap RT, akan dikompetisikan pada kegiatan pemilihan di tingkat kelurahan yang mengambil 13 orang sebagai anggota BKM. Pada kegiatan ini hak
pilih dan memilih adalah anggota perwakilan RT. Syarat sah pemilihan manakala dihadiri tiga perempat
perwakilan RT.
Berdirinya kelembagaan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)
BKM membuat legal formal pendirian kelembagaan dan AD ART dan membentuk unit-unit kerja yang terdiri dari Unit Pengelola Lingkungan (UPK), Unit Pengelola Sosial
(UPS) dan Unit Pengelola Keuangan (UPK).
71
Secara anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, anggota BKM Pondok
Pari Bangkit dipilih untuk masa bakti dua tahun. Berdasarkan penggalian data di
lapangan, kualitas SDM anggota BKM sangat rendah. Hal ini bisa dilihat dari
berbagai sudut pandang dan yang paling sederhana adalah kiprah anggota dalam
organisasi yang masih rendah. Dari 13 anggota BKM di antara dua priode ini
maksimal hanya 3 orang setiap priodenya yang memiliki kiprah yang aktif.
Rendahnya kualitas SDM BKM Pondok Pari Bangkit disebabkan berbagi
faktor. Pertama mekanisme pemilihan yang memberikan peluang seluas-luasnya
bagi siapa saja untuk dapat mencalonkan diri menjadi anggota BKM. Pola
pemilihan seperti seperti hanya mendapatkan anggota-anggota BKM berdasarkan
ketokohan atau kefiguran. Hal ini menjadikan BKM hanyalah kumpulan para
tokoh-tokoh masyarakat yang tingkat kompetensi dalam melaksanakan program
masih diragukan. Kedua pola organisasi BKM yang sangat berbeda antara filosofi
organisasi dan teknis operasi organisasi. Secara filosofi BKM merupakan
organisasi sosial yang berbasis keswadayaan, tetapi pada pelaksanaan organisasi
harus dijalankan dengan profesionalisme yang menuntut waktu, tenaga, pikiran
dan biaya yang tidak sedikit.
Ketimpangan antara filosofi dan teknik operasi organisasi, menjadikan
suasana organisasi tidak dapat berjalan dengan baik. BKM hanya bekerja sesuai
siklus-siklus yang telah ditentukan oleh regulator. Keadaaan ini menjadikan
kegiatan di BKM bersifat stagnan. Keadaan ini juga berlaku pada unit-unit yang
ada pada BKM, terkecuali unit pengelola keuangan (UPK).
Setelah terbentuknya kelembagaan BKM siklus berikutnya adalah
pembuatan perencanaan dalam bentuk program jangka menengah (PJM) dan
rencana tahunan (Renta). Sumber dalam membuat perencanaan program kerja
adalah data dari PS2. Pada pelaksanaannya tim perumus PJM tetap harus
membuat verifikasi data PS2 berdasarkan input dari masyarakat.
72
Situasi komunikasi dalam tahap perencanaan dapat digambarkan pada
matriks berikut ini.
Tabel 8. Matriks situasi komunikasi pada fase perencanan kegiatan PNPM Mandiri
No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan 1 Pelaku Komunikasi • Kelembagaan BKM
• Kelembagaan LPMK • Pemerintah Kelurahan
2 Pola Komunikasi • Komunikasi partisipatif . Pola ini dilakukan pada rembug BKM dalam menyususn dokumen PJM dan Renta.
• Linier dalam hal ini anggota BKM diberikan pelatihan dalam menyusun program jangka panjang (PJM) dan rencana tahunan (Renta)
3 Bentuk Kegiatan • Rembug BKM, LPMK dan pihak kelurahan. 4 Output • Dokumen PJM selama 3 tahun
• Dokumen Renta selama 1 tahun • Data pemanfaat program
Pokok pemikiran dalam pembuatan perencanaan kerja BKM adalah
penanggulangan kemiskinan yang meliputi tiga aspek, yaitu di bidang lingkungan
sosial dan ekonomi. Proses siklus pembuatan perencanaan kegiatan BKM dapat
dilihat pada Gambar 10 berikut ini.
Gambar 10. Kegiatan pada fase perencanaan PNPM Mandiri
Pembentukkan tim perumus PJM dan
Renta
Perumusan PJM dan Renta
Tim perumus terdiri dari gabungan lintas lembaga dalam hal ini Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
Kelurahan (LPMK) Kenanga, Pemerintahan Kelurahan Kenanga dan Badan Keswadayaan
(BKM) Pondok Pari Bangkit Kelurahan Kenanga.
Memasukkan data-data di PS2 dan data tambahan dari masyarakat (validasi) dalam dokumen PJM dan
Renta yang dituangkan dalam aksi kegiatan
Pengesahan PJM dan Renta
Data-data yang sudah terdokumentasikan di PJM, selanjutnya ditandatangani oleh tim perumus dan
seluruh anggota BKM.
Pelaksanaan Program
73
Secara petunjuk teknis pembuatan PJM dan Renta harus melibatkan
berbagai elemen atau lembaga yang berkepentingan dengan pembangunan di
Kelurahan Kenanga sebagai tim perumus. Hal ini ditujukan untuk menciptakan
sinergitas program antarelemen lembaga yang ada di Kelurahan Kenanga. Dalam
aplikasinya, perumusan PJM dan Renta hanya dilakukan oleh BKM, termasuk
untuk PJM 2010 sampai 2013.
Komunikasi antarlembaga yang berkepentingan dengan pembangunan di
Kelurahan Kenanga, sementara ini tidak dibangun dengan baik. Hal ini
menimbulkan terjadinya tumpang tindih program, antara program dari pemerintah
kelurahan, LPMK dan BKM. Mensikapi keadaan ini BKM Pondok Pari bangkit
telah membangun rintisan komunikasi antarlembaga pemangku kepentingan
pembangunan, salah satunya membuka jalur komunikasi dengan forum
komunikasi RT dan RW Kelurahan Kenanga.
Setelah terbentuknya program kerja, baik jangka menengah dan rencana
tahunan siklus kegiatan PNPM Mandiri berikutnya adalah pelaksanaan kegiatan.
Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri dilakukan oleh kelompok swadaya
masyarakat (KSM).
Situasi komunikasi dalam tahap pelaksanaan dapat digambarkan pada
matriks berikut ini.
Tabel 9. Matriks situasi komunikasi pada fase pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri
No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan 1 Pelaku
Komunikasi • BKM • KSM • Masyarakat
2 Pola Komunikasi • Komunikasi partisipatif . Pola ini dilakukan pada sosialisasi PJM dan Renta dan sosialisasi swadaya masyarakat
• Linier dalam hal ini KSM diberikan pelatihan dalam melaksanakan program dari tahap proposal sampai penyusunan laporan pertanggungjwaban.
3 Bentuk Kegiatan • Rembug masyarakat. • Pelatihan.
4 Output • Terlaksananya kegiatan sesuai dengan PJM dan Renta • Terlaksananya kegiatan PNPM Mandiri berdasarkan
aturan-aturan.
74
Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri terdiri dari tiga kegiatan yang
meliputi kegiatan bidang lingkungan, sosial dan ekonomi. Pelaksanaan kegiatan
tersebut dapat digambarkan pada Gambar 11 berikut ini.
Gambar 11. Proses kegiatan dalam siklus pelaksanaan
Dari sisi teknis pelaksanaan, pola komunikasi organisasi tidak dibangun
dengan baik. Hal ini dapat dilihat peran-peran KSM yang hanya sebagai pelaksana
lapangan. Untuk pekerjaan pembuatan proposal dan LPJ dibebankan kepada
BKM. Muncul kesan hubungan komunikasi antara BKM dengan KSM adalah
komunikasi transaksional. Hubungan komunikasi terselenggara hanya pada saat
pelaksanaan kegiatan.
Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri setiap tahun harus diadakan review.
Kegiatan ini bertujuan untuk membuat evaluasi-evaluasi selama satu tahun
kegiatan. Aspek-aspek yang direview adalah keuangan, kelembagaan dan program
kerja. Untuk aspek keuangan, selain review internal dilakukan juga audit oleh
pihak auditor independen. Salah satu dasar pembuatan review adalah hasil rapat
warga tahunan (RWT).
Sosialisasi PJM Renta
Pembentukkan dan pengajuan KSM ke
BKM
BKM bersama unit-unit pelaksana melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Setelah sosialisasi diharapkan masyarakat dapat membentuk KSM, dan mengajukan ke BKM.
Pelatihan KSM BKM bersama fasilitator kelurahan memberikan
pelatihan beupa petunjuk teknis pelaksanaan program
Pembuatan proposal
Sosialisasi kepada masyarakat
Pelaksanaan kegiatan
Laporan pertanggungjawaban
(LPJ)
Sosialisasi dalam rangka untuk mendapat dukungan dari masyarakat dalam bentuk partisipasi.
KSM mengajukan usulan program sesuai dengan berita acara penetapan prioritas kegiatan (BAPPUK)
Pelaksanaan kegiatan berbasis partispasi.
LPJ merupakan implementasi akuntabilitas, transparansi lembaga pengelola PNPM Mandiri.
75
RWT dilaksanakan sebagai bentuk komunikasi organisasi antara BKM
dengan masyarakat. Dalam kaitan ini BKM mempertanggungjawabkan kegiatan-
kegiatannya selama satu tahun. RWT juga bagian dari upaya untuk mendapatkan
input-input eksternal berkaitan peningkatan kinerja BKM.
Situasi komunikasi dalam tahap evaluasi dapat digambarkan pada matriks
berikut ini.
Tabel 10. Matriks situasi komunikasi pada fase evaluasi kegiatan PNPM Mandiri
No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan
1 Pelaku Komunikasi
• BKM • Unit-unit kerja BKM • Masyarakat
2 Pola Komunikasi
• Komunikasi partisipatif dalam kaitan ini BKM memberikan kesempatan yang luas pada masyarakat untuk memberikan kritik, saran dan masukan dalam rangka peningkatan kinerja BKM.
3 Bentuk Kegiatan
• Rembug masyarakat.
4 Output • Akuntabilitas dan transparansi kelembagaan BKM • Input masyarakat untuk penguatan kinerja BKM. • Input data kondisi terkini masyarakat (kondisi kemiskinan).
Dalam proses RWT, penyampaian pertanggungjawaban dilakukan oleh
BKM. Dalam hal ini unit-unit pelaksana memberikan progres kegiatan kepada
BKM yang kemudian BKM menyampaikan kepada masyarakat.
Kegiatan RWT dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga
dapat dilihat pada Gambar 12 berikut ini.
Gambar 12. Proses pada evaluasi kegiatan PNPM Mandiri
Kinerja UPK
Kinerja UPL
Kinerja UPS
BKM Masyarakat
76
Telah disebutkan sebelumnya bentuk kegiatan evaluasi adalah Rapat
Warga Tahunan (RWT). Kegiatan ini merupakan momentum untuk melakukan
introspeksi bersama terhadap pelaksana kegiatan PNPM Mandiri.
Pada pelaksanaan RWT partisipasi masyarakat sangat rendah. Dari 150
undangan yang disebarkan, hanya terdapat kurang lebih 30 peserta untuk RWT
tahun 2010. Hal ini sebagaimana yang disampaikan ASP sekretaris BKM Pondok
Pari Bangkit Kelurahan Kenanga.
“RWT merupakan momentum yang tepat khususnya bagi kami BKM tepat bagi kami (BKM) untuk memberikan akuntabilitas dan transparansi kepada masyarakat, namun partisipasi masyarakat untuk hadir masih sangat rendah.”
Rendahnya partisipasi masyarakat dalam RWT, menunjukkan rendahnya
responsibilitas dan internalisasi terhadap kegiatan PNPM Mandiri. Masyarakat
masih belum memahami bahwa proses kegitan PNPM Mandiri memiliki siklus
kegiatan.
Aplikasi Model Komunikasi Tingkat Basis
Komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri mengisyaratkan proses
komunikasi dengan cakupan luas. Kondisi ini mengundang konsekuensi terhadap
pola komunikasi yang digunakan. Berdasarkan data di lapangan suasana aplikasi
pola komunikasi tingkat basis dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 11. Gambaran suasana aplikasi model komunikasi tingkat basis Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan
Bentuk Komunikasi Bentuk komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenangadilakukan secara primer dan sekunder.
Pola komunikasi Banyak tahap dalam hal ini proses komunikasi antara sumber dan penerima seringkali tidak bisa dilakukan secara langsung (face to face).
Simpul komunikasi Dalam konteks komunikasi primer Ketua RT, tokoh masyarakat di posisikan sebagai simpul komunikasi.
Nuansa komunikasi Komunikasi primer dengan mengandalkan Ketua RT menjadi simpul komunikasi menjadikan kesan proses komunikasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga bernuansa komunikasi birokrasi.
Kredibilitas simpul komunikasi Rendah, hal ini dilihat dari sering terjadinya miscommunication antara BKM dengan masyarakat.
77
Komunikasi tingkat basis (antarmasyarakat) kegiatan PNPM Mandiri
menggunakan berbagai model komunikasi, yaitu partisipatif dan linier. Dilihat
dari arus informasi atau pola komunikasi, khususnya antara BKM dan masyarakat
lebih banyak menggunakan komunikasi banyak tahap.
Pola ini didasarkan pada suatu fungsi sekuensial yang tampaknya bisa
terjadi dalam kebanyakan situasi komunikasi, yang tidak menentukan secara
khusus jumlah tahapan (Mugniesyah 2010). Model komunikasi ini bersumberkan
dari teori komunikasi massa. Dalam kaitan ini antara sumber pertama dengan
sasaran khalayak tidak berhubungan secara langsung. Komunikasi antara
kelompok satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh bridge. Menurut Rogers
dan Kincaid (1981) dalam Saleh (2010), bridge adalah individu yang berperan
sebagai penghubung dan sekaligus menjadi anggota klik
Alasan penggunaan simpul-simpul komunikasi karena cover area atau
penetrasi komunikasi yang cukup luas. Kelurahan Kenanga terdiri dari 25 RT 7
RW dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) mencapai 2.000 KK dengan jumlah
penduduk lebih dari 7.000 jiwa. Hal ini sebagaimana yang disampaikan ASP
Sekretaris BKM Pondok Pari Bangkit Kelurahan Kenanga.
“Di Kelurahan Kenanga terdapat 7 RW, 25 RT dengan 2.000 kepala keluarga (KK). Oleh karena itu, dalam berkomunikasi dengan masyarakat kami lakukan dengan cara membangun simpul-simpul komunikasi. Simpul komunikasi adalah orang yang kita tunjuk sebagai perwakilan yang diharapkan dapat menyebarkan hasil keputusan rembug warga atau informasi kepada masyarakat. Simpul masyarakat diambil dari tiap perwakilan RT yang terdiri dari tokoh masyarakat yang berpengaruh, ketua RT atau relawan.”
Pola komunikasi sekuensial terutama antara BKM dan masyarakat dapat
digambarkan berikut ini.
Gambar 13. Sekuen-sekuen dalam komunikasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga
BKM
Masyarakat
Simpul Komunikasi Simpul Komunikasi Simpul Komunikasi
78
Dalam pelaksanaan komunikasi yang bersifat sekuensial ini, figur simpul
komunikasi adalah masyarakat yang bersifat bridge, yaitu individu yang berperan
sebagai penghubung dan sekaligus menjadi anggota klik. Individu sentral yang
menjadi simpul komunikasi adalah ketua RT termasuk juga tokoh masyarakat atau
relawan.
Ketua RT sebagai simpul utama komunikasi menunjukkan bahwa
pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri masih menggunakan jalur komunikasi
birokrasi. Sementara ini, jalur komunikasi birokrasi di Kelurahan Kenanga
dianggap yang efektif dalam distribusi pesan. Hal ini disebabkan stigma yang
melekat pada masyarakat bahwa pembangunan masih identik dengan birokrasi.
Selain menggunakan simpul-simpul komunikasi kegiatan PNPM Mandiri
di Kelurahan Kenanga menggunakan komunikasi bermedia. Media yang
digunakan adalah media warga dalam bentuk buletin. Nama buletin tersebut
adalah Gema Bangkit yang diterbitkan satu kali dalam satu bulan. Selama proses
penerbitan, kebijakan isi merupakan instruksi atau arahan dari fasilitator
kelurahan. Hal ini menunjukan komunikasi bottom up melalui media warga belum
terbangun.
Buletin Gema Bangkit lebih diarahkan sebagai sarana pencitraan
kelembagaan BKM. Independensi buletin ini belum terbangun dengan baik hal ini
dapat dilihat dari pembiayaan penerbitan buletin yang dibiayai oleh pihak
regulator. Muncul kesan buletin ini sebagai sarana komunikasi antara BKM
dengan regulator bukan sarana komunikasi antara BKM dengan masyarakat.
Buletin Gema Bangkit disebarkan kepada masyarakat dengan cara
dititipkan di tempat strategis seperti toko, kantor kelurahan dan mushola. Buletin
ini diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat dengan jumlah 200 eksemplar
sekali terbit.
Selain buletin, BKM Pondok Pari Bangkit memasang enam buah papan
informasi di tempat-tempat strategis. Papan informasi dilengkapi dengan kotak
saran dan kritik sebagai sarana komunikasi timbal balik antara masyarakat dengan
BKM. Konten dari papan informasi adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan
BKM dan unit-unit kerja.
79
Hasil pengamatan menunjukkan papan informasi tidak dikelola secara
baik. Hal ini dapat dilihat dari updating informasi yang jarang dilakukan oleh
BKM. Updating konten papan informasi dilakukan jika ada instruksi dari
fasilitator.
Dilihat dari kontribusinya, keberadaan media warga di tengah masyarakat
belum memiliki kontribusi dalam diseminasi dan penguatan PNPM Mandiri. Hal
ini dapat dilihat dari respons masyarakat yang sangat rendah dan tidak
berfungsinya media warga sebagai media timbal balik komunikasi antara BKM
dan masyarakat.
Media warga masih belum dianggap penting sebagai sarana komunikasi
pembangunan. Hal ini dikarenakan pola-pola komunikasi dalam masyarakat
cenderung lebih banyak menggunakan pola-pola tutur daripada literasi.
Komunikasi word by mouth dianggap paling efektif dibandingkan dengan
komunikasi bermedia meskipun komunikasi seperti ini sangat rentan dengan
distorsi.
Komunikasi Kegiatan PNPM Mandiri dalam Isu Gender
Pelaksanaan PNPM Mandiri mengisyaratkan adanya keterbukaan pada
semua kelompok masyarakat tanpa harus dibedakan berdasarkan atribut-atribut
yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok yang selama ini
tersubordinasi diberi peluang yang sama dalam partisipasi pembangunan,
termasuk di dalamnya adalah perempuan.
Dalam kaitan isu gender, terlihat berbagai keragaman situasi antara isu-isu
gender dengan fase-fase kegiatan. Pembahasan isu gender akan dibatasi pada
aspek akses, partisipasi, pemanfaatan dan kontrol.
80
Kegiatan PNPM Mandiri diawali dengan rapat kesiapan masyarakat
(RKM). Berdasarkan data di lapangan komunikasi dalam isu gender pada kegiatan
rapat kesiapan masyarakat dapat dilihat pada matriks berikut ini.
Tabel 12. Matriks komunikasi isu gender dalam tahap rapat kesiapan masyarakat pada kegiatan PNPM Mandiri
No Komunikasi dalam Isu Gender
Rapat Kesiapan Masyarakat
Hasil Amatan
1 Akses Pada kegiatan RKM membuka peluang yang sama antara laki-laki dan perempuan.
2 Partisipasi Berdasarkan catatan kegiatan RKM dilihat dari jumlah peserta tidak ada perbedaan yang mencolok antara laki-laki dan perempuan.
3 Pemanfaatan RKM dijadikan sebagai sarana atau momentum masyarakat baik laki-laki maupun perempuan dalam melakukan perubahan.
4 Kontrol Kontrol dalam kegiatan ini lebih cenderung dilakukan oleh laki-laki. Dalam RKM perempuan bersifat pasif.
Kegiatan RKM dilihat dari aspek komunikasi dalam isu gender tidak ada
perbedaan mencolok antara laki-laki dan perempuan. Pada kegiatan ini pihak
Kelurahan Kenanga dan fasilitator kelurahan membuat jejaring kegiatan melalui
pendekatan kewilayahan. Dalam hal ini ketua RT dijadikan mobilisator RKM.
Suasana pada tahap kegiatan RKM akan berbeda dengan situasi fase
persiapan dilihat dari komunikasi dan isu gender. Situasi komunikasi dalam isu
gender pada aspek persiapan dapat dilihat pada matriks berikut ini.
Tabel 13. Matriks komunikasi isu gender dalam tahap persiapan kegiatan PNPM Mandiri
No Komunikasi dalam Isu Gender
Tahap Persiapan
Hasil Amatan
1 Akses Pada kegiatan RKM membuka peluang yang sama antara laki-laki dan perempuan.
2 Partisipasi Perempuan mendominasi. Peran mereka dalam fase persiapan sebagai relawan yang ditugasi untuk membuat pemetaan swadaya satu (PS1) dan pemetaan swadaya dua (PS2)
3 Pemanfaatan Perempuan memaksimalkan diri memanfaatkan saluran komunikasi baik yang terselenggara dalam pola partisipatif atau linier. Laki lebih cenderung bersifat pasif.
4 Kontrol Dilihat dari kontrol kegiatan pada tahap persiapan, laki-laki mememgang peranan yang penting dan strategis. Mereka (laki-laki) ditunjuk oleh para relawan (sebagian besar kaum perempuan) sebagai koordinator relawan dan mobilisator. Begitupun dalam kepanitiaan pembentukkan BKM banyak di dominasi oleh laki-laki.
81
Pada fase persiapan, akses komunikasi terbuka untuk semua pihak. Akses
ini pada akhirnya diimplemenasikan dalam bentuk partisipasi. Dari penelusuran di
lapangan partisipasi pada kegiatan ini banyak di dominasi oleh perempuan. Faktor
utamanya adalah perempuan memiliki keluangan waktu yang lebih besar
dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, ada kecenderungan kepekaan dan
kepedulian sosial perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.
Partisipasi perempuan dalam kegiatan perencanaan dibagi menjadi dua
kriteria, yaitu mereka yang partisipasi aktif dan pasif. Partisipasi perempuan
dalam tahap persiapan mengalami pasang surut. Untuk tahap-tahap awal kegiatan
partisipasi mereka cukup tinggi, namun pada tahap kegiatan PS2 partisipasi
mereka semakin berkurang. Hal ini disebabkan kegiatan PS2 terlalu menyita
waktu mereka. Kondisi ini menjadikan perbenturan waktu mereka dalam ranah
domestik dan publik. Pada saat ini banyak sekali ditemukan percekcokan keluarga
disebebabkan kegitan ini.
Secara kuantitatif, peran perempuan mendominasi pada kegiatan
perencanaan, namun secara kontrol kegiatan banyak didominasi oleh kelompok
laki-laki. Kaum laki-laki memiliki peran-peran yang strategis seperti halnya
sebagai koordinator relawan dan panitia pemilihan anggota BKM.
Pada kegiatan perencanaan, peran perempuan sangat minim sekali. Hal ini
disebabkan pola pembuatan perencanaan melalui mekanisme organisasi yang
sebagian besar di dominasi oleh kaum laki-laki. Situasi komunikasi dalam isu
gender pada aspek persiapan dapat dilihat pada matriks berikut ini.
Tabel 14. Matriks komunikasi isu gender dalam tahap perencanaan kegiatan PNPM Mandiri
No Komunikasi dalam Isu Gender
Tahap Persiapan
Hasil Amatan
1 Akses Terbatas bagi laki-laki dan perempuan karena kegiatan ini menggunakan pola-pola organisasi.
2 Partisipasi Laki-laki mendominasi karena kelembagaan yang berwenang membuat perencanaan didominasi oleh laki-laki.
3 Pemanfaatan BKM paling banyak memanfaatkan kegiatan perencanaan.
4 Kontrol Kontrol kegiatan banyak didominasi oleh BKM
82
Pola pembuatan perencanaan kegiatan dalam kegiatan PNPM Mandiri
adalah menggunakan saluran komunikasi organisasi. Dalam hal ini BKM
merupakan leading sector dalam membuat perencanaan. Dalam isu gender,
lembaga BKM didominasi oleh kelompok laki-laki. Berdasarkan catatan yang ada
periode pertama (2007-2009) jumlah perempuan anggota BKM hanya berjumlah
dua orang dan periode kedua (2009-2011) jumlah perempuan anggota BKM
hanya berjumlah satu orang. Salah satu faktor dominan daya tawar politis
perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Dilihat dari partisipasi perempuan di kelembagaan BKM sangat rendah hal
ini dapat dilihat dari partisipasi mereka dalam rembug-rembug BKM. Hal ini
tentunya berkorelasi dengan minimnya peran mereka dalam pembuatan
perencanaan. Pemanfaatan lembaga BKM banyak didominasi oleh laki-laki
termasuk dalam kontrol organisasi.
Pada tingkat pelaksanaan kegiatan, telah mengkrucut kekhasan bidang
masing-masing antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki banyak mendominasi
untuk kegiatan lingkungan sedangkan perempuan untuk bidang sosial dan
keuangan.
Situasi komunikasi dalam isu gender pada aspek persiapan dapat dilihat
pada matriks berikut ini.
Tabel 15. Matriks komunikasi isu gender dalam tahap pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri
No Komunikasi dalam Isu Gender
Tahap Persiapan
Hasil Amatan
1 Akses Secara prinsip membuka peluang baik laki-laki dan perempuan.
2 Partisipasi Mengkrucut pada bidang kekhasan masing-masing. Laki-laki mendominasi pelaksanaan kegiatan bidang lingkungan, perempuan mendominasi bidang kegiatan sosial dan keuangan.
3 Pemanfaatan Bidang lingkungan dimanfaatkan oleh semua pihak, bidang sosial dan keuangan banyak dimanfaatkan oleh perempuan.
4 Kontrol Kontrol kegiatan lingkungan banyak dilakukan oleh laki-laki dan kegiatan sosial dan keuangan banyak dikontrol oleh perempuan.
Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri dilakukan oleh kelompok swadaya
masyarakat (KSM). Dalam petunjuk teknis representasi jumlah perempuan dalam
KSM minimal 30%. Secara aturan, menunjukkan akses, partisipasi, pemanfaatan
83
dan kontrol memberikan peluang yang sangat positif bagi perempuan. Ditinjau
dari sisi administrasi, kuota perempuan ini sudah terpenuhi. Hampir semua KSM
baik di bidang lingkungan, sosial dan ekonomi, memasukkan daftar perempuan
sebagai anggota KSM. Pada pelaksanaannya, kontrol kegiatan terbagi berdasarkan
kekhasan gender. Pada bidang lingkungan perempuan hanya diposisikan secara
administrasi belaka atau hanya dalam pelaporan, meskipun posisi mereka pada
posisi yang strategis, sebagai bendahara atau pengadministrasi kegiatan.
Kenyataan di lapangan kegiatan-kegiatan di bidang lingkungan banyak
dikendalikan oleh laki-laki baik secara keuangan dan administrasi.
Pada kegiatan sosial dan ekonomi akses, partisipasi, pemanfaatan dan
kontrol didominasi oleh perempuan. Hal ini disebabkan relawan-relawan yang
berkiprah pada kegiatan PNPM Mandiri memiliki pengalaman dalam kegiatan-
kegiatan sosial, seperti kegiatan di pos yandu, kelompok majelis taklim, dan
kegiatan PKK.
Pada fase evaluasi, secara prinsipil membuka kesempatan bagi masyarakat
untuk memberikan kontribusi. Kegiatan evaluasi dimanisfestasikan dalam bentuk
rapat warga tahunan. Secara umum komunikasi dalam evaluasi belum diterapkan
secara proporsional oleh masyarakat. Artinya evaluasi melalui jalur komunikasi
organisasi belum berjalan maksimal. Dalam aspek gender persoalan evaluasi tidak
ubahnya seperti gambaran umum.
Situasi komunikasi dalam isu gender pada aspek evaluasi dapat dilihat
pada matriks berikut ini.
Tabel 16. Matriks komunikasi dalam isu gender pada tahap evaluasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga
No Komunikasi dalam Isu Gender
Tahap Evaluasi
Hasil Amatan
1 Akses Secara prinsip membuka peluang baik laki-laki dan perempuan.
2 Partisipasi Dominasi laki-laki karena selama ini pelaksanaan kegiatan evaluasi belum mengakomodir suasana perempuan. Dalam kaitan ini kegiatan dilaksanakan pada malam hari.
3 Pemanfaatan Kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat
4 Kontrol Kontrol dalam forum lebih dominan laki-laki.
84
Secara umum pelaksanaan komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri di
Kelurahan Kenanga banyak didominasi oleh kelompok laki-laki baik secara akses,
partisipasi, pemanfaatan dan kontrol. Keadaan ini disebabkan sistem yang
dibangun tidak mengakomodir suasana diri perempuan. Hal ini terlihat dari
penciptaan iklim komunikasi. Sementara ini, iklim komunikasi yang dibangun
dalam sistem komunikasi kegiatan PNPM Mandiri kurang memperhatikan budaya
waktu perempuan. Kegiatan komunikasi kegiatan PNPM Mandiri, lebih banyak
diselenggarakan pada malam hari. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh
WTM mantan ketua unit pelaksana keuangan berikut ini.
“Pelaksanaan komunikasi pada malam hari sering menjadi hambatan bagi saya. Hal ini disebabkan keberatan suami saya untuk mengikuti rembug warga pada malam hari. Ini berdasarkan penglaman saya, kegiatan rembug warga biasanya memakan waktu sampai larut malam.”
Namun demikian, penciptaan iklim komunikasi bukan dalam rangka untuk
menghalangi kiprah perempuan untuk aktif dalam proses komunikasi kegiatan
PNPM Mandiri. Hal ini semata-mata disebabkan waktu malam hari, merupakan
waktu yang netral untuk semua pihak, karena pada siang atau sore hari terbentur
dari kesibukan masing-masing aktivis. Hal ini sebagaimana yang disampaikan
oleh ASP sekretaris BKM berikut ini.
“Sebenarnya waktu malam hari sudah kami pertimbangkan secara psikologis terutama untuk perempuan. Pensiasatanya adalah dengan mengatur waktu pertemuan warga pukul 19.30 (ba’da isya). Namun karena keterlambatan pelaksanaan yang mencapai satu jam menjadikan rembug warga selesai pada larut malam.”
Penciptaan iklim yang tidak mengakomodir keadaan perempuan secara
tidak langsung menciptakan image negatif masyarakat pada program PNPM Hal
ini sebagaimana pengalaman IMH senior fasilitator tim 10 berikut ini.
“Salah satu permasalahan dalam kegiatan ini adalah partisipasi perempuan. Hampir sebagian besar desa atau kelurahan yang pernah saya dampingi berkultur patriarki, sehingga banyak tentangan ketika perempuan memasuki ranah publik. Hal yang pernah saya rasakan, ada sebagian masyarakat yang menganggap saya, khususnya program PNPM Mandiri telah mengajak perempuan untuk meninggalkan kewajiban sebagai istri (melawan suami), karena mereka sering mengikuti pertemuan-pertemuan warga.”
85
Selain persoalan penciptaan iklim komunikasi, konstruksi sosial
masyarakat Kelurahan Kenanga, belum mengakomodir perempuan secara penuh
peran perempuan dalam ranah publik. Konstruksi sosial seperti ini merupakan
bagian ideologi dan keyakinan yang telah tertanam kuat pada masyarakat
Kelurahan Kenanga.
Meski terdapat hambatan dalam proses komunikasi, tetapi pelaksanaan
kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga sudah menggunakan konsep
gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender (PUG). Hal ini dapat dilihat
dari kiprah perempuan baik sebagai pemanfaat program atau pengelola program.
Gambaran ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 17. Distribusi peran dan pemanfaatn program dalam aspek gender No. Kelembagan Kepengurusan Pemanfaatan
1 BKM Dominasi kepengurusan laki-laki
2 UPL Dominasi kepengurusan laki-laki
3 UPK Dominasi kepengurusan laki-laki
4 UPS Dominasi kepengurusan perempuan
5 KSM bidang lingkungan Dominasi kepengurusan laki-laki Laki-laki dan perempuan
6 KSM bidang pinjaman bergulir
Dominasi kepengurusan perempuan
Perempuan
7 KSM bidang sosial Dominasi kepengurusan laki-laki Perempuan
Dilihat dari kapasitas kehadiran perempuan cenderung bersifat pasif.
Kehadiran perempuan cenderung hanya menjadi pelengkap pertemuan. Ekspresi
perempuan terhadap pandangan pemikiran dan ketidaksetujuan dalam forum
komunikasi lebih banyak disalurkan melalui sarana lain-lain misalnya pertemuan
ibu-ibu PKK, arisan, dan obrolan antar tetangga. Imbas dari dari ekspresi ini
adalah multitafsir terhadap pesan komunikasi yang dapat menimbulkan suasana-
suasana yang tidak sehat.
Fenomena ini dapat ditelusuri dari pandangan Edwin dan Shirley Ardener
(antropolog) tahun 1975 (West & Turner 2008) yang menyatakan bahwa
kelompok yang menyusun bagian teratas dari hirarki sosial menentukan sistem
komunikasi bagi budaya tersebut. Kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah
seperti kaum perempuan, kaum miskin dan kulit berwarna, harus belajar untuk
86
bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok
dominan.
Dibalik rendahnya kapasitas perempuan dalam kegiatan PNPM Mandiri,
ternyata mereka memiliki kontribusi pada bidang lainnya seperti pembinaan umat.
Hal ini dapat dilihat dari eksistensi kelompok-kelompok pengajian ibu-ibu. Di
Kelurahan Kenanga terdapat 13 kelompok pengajian yang eksis dan terorganisasi
dengan baik.
Selain kelompok pengajian ibu-ibu, eksistensi lembaga-lembaga formal
seperti Fatayat dan Muslimat sebuah lembaga di bawah naungan Nahdlatul Ulama
(NU) berjalan dengan baik. Namun kearifan lokal yang dibangun oleh perempuan
ini belum tergarap dengan baik sebagai sarana komunikasi pembangunan.
Internalisasi Kegiatan PNPM Mandiri
Internalisasi program menunjukkan keberhasilan komunikasi program.
Berdasarkan amatan di lapangan menunjukkan bahwa internalisasi program di
masyarakat belum menunjukkan gambaran yang memuaskan hal ini dapat
digambarkan pada tabel berikut ini.
Tabel 18. Matriks gambaran internalisasi program No Obyek Amatan Deskripsi 1 Pencitraan PNPM
Mandiri Bias citra
2 Pemahaman terhadap program
Setiap karakteristik memiliki pemahaman yang berbeda. Data yang paling kontras adalah kelompok rumah tangga miskin (RTM) sebagai sasaran program sedikit sekali mengetahui dan memahami kegiatan PNPM Mandiri.
3 Kesadaran masyarakat
Menuju proses transisi dari kesadaran magis menuju kesadaran naif. Dalam kaitan ini masyarakat sudah menunjukkan untuk merefleksikan keadaan dirinya tapi masih ada sifat fatalis.
4 Partisipasi Masih dalam tahap partisipasi semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok dominan dalam hal ini BKM dan fasilitator.
Pencitraan Kegiatan PNPM
Internalisasi kegiatan PNPM Mandiri menunjukkan sejauh mana
pemahaman masyarakat terhadap filosofi, konsep dan aplikasi program.
Internalisasi program merupakan umpanbalik dari proses komunikasi. Sebagai
sebuah asumsi semakin tinggi tingkat pengkomunikasian program kepada
masyarakat akan menguatkan internalisasi program kepada masyarakat.
87
Data di lapangan menunjukkan bahwa internalisasi program dalam sudut
pengetahuan masih mengalami bias pencitraan. PNPM Mandiri bagi masyarakat
Kelurahan Kenanga masih dianggap sebagai program temporal yang tidak
ubahnya seperti program-program lainnya yang bersifat spontan dan dilaksanakan
dalam jangka pendek. Hal ini dapat terlihat dari wacana masyarakat Kelurahan
Kenanga yang mengalami pasang surut wacana Kegiatan PNPM Mandiri.
Implikasi dari stigma ini adalah rendahnya masyarakat dalam melakukan
pemberdayaan secara mandiri. Padahal, di Kelurahan Kenanga memiliki kearifan
lokal yang dapat dijadikan sebagai modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat.
Ini dapat dilihat dari budaya-budaya masyarakat Kelurahan Kenanga yang
bercirikan kebersamaan dan saling berbagi. Hal ini terlihat dari budaya sedekah
makaman, sebuah ritual budaya mendoakan orang-orang yang sudah meninggal
dengan saling berbagi makanan. Budaya ngapem (membuat kue apem) pada bulan
Safar (nama bulan pada sistem penanggalan jawa), budaya suraan (membuat
bubur) pada bulan sura (nama bulan pada sistem penanggalan jawa), peringatan
maulid nabi dengan acara pembacaan kitab barjanzi di rumah warga secara
bergiliran, yang semuanya biaya tersebut merupakan swadaya masyarakat.
Berikutnya PNPM Mandiri masih dicitrakan sebagai program parsial yang
hanya terfokus pada satu bidang kegiatan, dalam hal ini kegiatan pembangunan
infrastruktur lingkungan warga. Dalam uji petik pada masyarakat menunjukkan
sebagian besar masyarakat Kelurahan Kenanga mengidentikkan kegiatan PNPM
Mandiri dengan kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan warga. Hal ini
sebagaimana yang disampaikan KDR warga blok Kranten Kelurahan Kenanga
berikut ini.
“Saya hanya mengetahui PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga sebatas pembuatan rabat beton di blok kami. Untuk program-program yang lain saya tidak tahu.”
88
Kondisi ini jelas merupakan kondisi yang kurang terarah kalau
dimasukkan dalam konteks pengentasan kemiskinan. Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh IMH senior fasilitator tim 10 berikut ini.
“Memang diakui bahwa nuansa program PNPM Mandiri adalah pembangunan infrastruktur lingkungan warga karena leading sector-nya adalah instansi yang membidangi hal tersebut. Bagi saya pribadi hal ini kurang terarah, karena persoalan kemiskinan substansinya bukan mereka membutuhkan jalan, tapi bagaimana mereka bisa makan, bisa sekolah, bisa mengakses fasilitas kesehatan. Menurut hemat saya dalam kegiatan PNPM Mandiri harus dibentuk sebuah badan khusus setingkat kementerian, supaya pengentasan kemiskinan bersifat komprehensif.”
Terjadinya bias citra kegiatan PNPM Mandiri dalam aspek komunikasi,
disebabkan karena selama ini terpaan-terpaan komunikasi program lebih
memfokuskan pada muatan pesan pelaksanaan kegiatan pembangunan
infrastruktur lingkungan warga.
Hal ini dapat dipahami dalam ranah komunikasi massa yaitu teori agenda
setting. Disebutkan dalam teori ini jika media memberikan tekanan pada suatu
peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya
penting (Combs & Shaw 1972 dalam Effendy 1993).
Teori ini memiliki relevansi dengan kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan
Kenanga karena fakta di lapangan intensitas komunikasi pada tingkat basis lebih
banyak ditujukan untuk keberhasilan kegiatan pembangunan lingkungan. Untuk
bidang kegiatan lainnya tidak dilakukan komunikasi secara intensif.
Internalisasi Berdasarkan Keragaman Karakteristik
Selain persoalan pencitraan, yang menarik berkenaan dalam internalisasi
kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga adalah kelompok masyarakat
rumah tangga miskin sebagai sasaran program sebagian besar tidak tersentuh
informasi program. Ini mengindikasikan akses informasi program bagi kaum
miskin sangat rendah. Terdapat dua faktor dominan rendahnya akses informasi
program pada kelompok masyarakat miskin. Pertama adalah perlakuan
deskriminatif dalam distribusi informasi. Hal ini dapat dilihat pada acara-acara
rembug warga. Biasanya daftar urut prioritas undangan rembug warga adalah dari
89
kalangan masyarakat menengah ke atas. Hal ini sebagaimana yang disampaikan
STR anggota KSM Sakura berikut ini.
“Hampir sebagian besar dalam rembug warga di RT manapun pertama kali yang diajak bicara adalah tokoh masyarakat dan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Ini semata-mata untuk mendongkrak perolehan swadaya masyarakat, karena pola dalam pembiayaan kegiatan PNPM Mandiri adalah 30% dibiayai melalui swadaya masyarakat.”
Kedua, munculnya sifat fatalis dari kelompok masyarakat miskin itu
sendiri. Ada perasaan bagi masyarakat miskin bahwa program apapun tidak
memiliki efek yang signifikan terhadap perubahan nasib hidup mereka. Sifat
fatalis ini terdoktrinasi kuat dalam kelompok rumah tangga miskin. Fenomena ini
terjadi disebabkan mereka telah termarjinalkan dalam berbagai program-program
pemerintah. Hal ini sebagaimana yang disampaiakan oleh SBA warga blok
Pesantren Kelurahan Kenanga:
“Bagi saya program apa pun hampir tidak memiliki pengaruh terhadap perubahan nasib saya. Selama ini saya jarang tersentuh (sebagai pemanfaat) program, misalnya bantuan tunai langsung (BLT), asuransi kesehatan miskin (Askeskin), bahkan bedah rumah tidak layak huni (rutilahu) pun gagal, padahal rumah saya sudah dijanjikan untuk direhab.”
Hal ini menunjukkan simpul-simpul komunikasi dalam hal ini lembaga RT
belum membangun komunikasi dialogis pada tingkat basis. Lembaga RT belum
berfungsi sebagai agen perubahan, yang memperjuangkan kepentingan semua
pihak. Fungsi lembaga RT masih sebatas mengurus administratif kependudukan,
yang mendukung terlaksananya jalannya pemerintahan. Pihak Kelurahan Kenanga
tidak bisa menginstruksikan atau mengintervensi agar peran lembaga RT lebih
luas lagi dalam kaitan ini sebagai agen perubahan. Alasannya adalah tidak ada
dana operasional lembaga RT. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh
MSRKN sekretaris Kelurahan Kenanga berikut ini:
“Kami dari pemerintahan Kelurahan Kenanga tidak bisa berharap banyak agar peran ketua RT lebih luas, terlebih lagi sebagai agen perubahan. Pijakan dasar menjadi ketua RT adalah kerja sosial. Pemerintah sendiri tidak memiliki dana taktis untuk kegiatan lembaga RT. Artinya dalam hal ini kami tidak bisa menuntut banyak dari ketua RT.”
90
Secara teoritis persoalan kemiskinan yang terjadi pada SBA menunjukkan
adanya strukturalisasi kemiskinan. Hal sebagaimana yang disampaikan oleh kaum
teori demokrasi sosial yang memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan
individual, melainkan struktural. (Suharto 2005). Hal ini senada dengan pendapat
yang disampaikan oleh Mariana dan Purnama (2005) yang menyebutkan bahwa
kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Indonesia adalah kemiskinan majemuk
dalam arti kemiskinan yang terjadi bukan hanya kemiskinan sandang pangan,
tetapi juga kemiskinan identitas, informasi, akses, partisipasi dan kontrol.
Dari keragaman karakteristik, masyarakat ekonomi kelas menengah dan
tokoh masyarakat lebih mengetahui dan memahami kegiatan PNPM Mandiri
dibandingkan dengan masyarakat dari rumah tangga miskin. Hal ini dikarenakan
mereka lebih banyak diajak berkomunikasi baik oleh simpul komunikasi maupun
oleh pengurus BKM. Dengan dibangunnya komunikasi diharapkan muncul
kepedulian mereka terhadap fenomena kemiskinan yang ada di masyarakat.
Kecenderungannya peran mereka sangat pragmatis, yaitu dengan
memposisikan diri mereka sebagai penyandang dana atau donatur Hal ini
sebagaimana yang disampaikan SKR seorang pengusaha dari blok Pesantren
Kelurahan Kenanga berikut ini.
“Secara langsung keterlibatan saya dalam rembug warga sangat jarang, karena kesibukan mengurus usaha. Informasi PNPM Mandiri saya terima dari KSM yang menyampaikan proposal permohonan bantuan swadaya. Selama ini kalau saya dapat membantu pasti saya akan membantu kegiatan kemasyarakatan, namun untuk mengurus sampai detail saya belum bisa meluangkan waktu untuk itu.”
Pada sisi tokoh masyarakat mereka lebih memainkan peran sebagai
motivator. Kebanyakan dari tokoh masyarakat memfungsikan dirinya sebagai
mobilisator masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Hal ini sebagaimana yang
disampaikan DMYT seorang ulama warga blok Pesantren Kelurahan Kenanga
berikut ini.
“Selama pelaksanaan PNPM secara teknis detail saya tidak terlibat, biarlah yang muda-muda saja yang bergerak, saya selaku orang tua, hanya bisa memberikan restu dan membantu panitia untuk menggerakan warga masyarakat.”
91
Dari sisi gender, kebanyakan mereka yang mengetahui dan memahami
PNPM Mandiri adalah perempuan pemanfaat dana pinjaman bergulir. Dari data
yang ada menunjukkan sebagian besar pemanfaat dana pinjaman bergulir adalah
perempuan atau sebesar 58 persen. Pengetahuan mereka terhadap PNPM Mandiri
muncul setelah mereka menjadi pemanfaat langsung kegiatan. Hal ini
sebagaimana yang disampaikan IPH salah satu ketua KSM pinjaman dana bergulir
berikut ini.
“Sebelumnya saya tidak pernah mendengar adanya program PNPM Mandiri, karena selama pelaksanaan program wilayah di mana saya tinggal tidak pernah masuk kegiatan. Saya mengetahui adanya program PNPM setelah adanya informasi pinjaman bergulir dari ketua RT.”
Selain pemanfaat pinjaman bergulir, perempuan yang memiliki
pemahaman PNPM Mandiri adalah para aktivis perempuan yang langsung
bersentuhan dengan kegiatan PNPM Mandiri. Mereka terdiri dari para pengurus
baik di BKM, unit pelaksana, anggota KSM dan relawan.
Masyarakat Kelurahan Kenanga secara konseptual masih awam terhadap
PNPM Mandiri. Namun substansi pelaksanaan program sudah ada pencerahan
yang positif. Hal ini dilihat dari partisipasi yang antusias dari masyarakat yang
dibuktikan pencapaian program kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan
warga yang mengalami kenaikan volume yang signifikan dari target yang
diberikan oleh BKM.
Pengarusutamaan Gender Kegiatan Pinjaman Bergulir
Kegiatan Pinjaman Bergulir di Kelurahan Kenanga
Pelaksanaan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga pertama kali
digulirkan pada bulan Desember 2009. Sasaran utama pelaksanaan kegiatan
pinjaman bergulir adalah rumah tangga miskin di wilayah desa/kelurahan dimana
LKM/BKM berada, khususnya warga miskin yang sudah tercantum dalam daftar
warga miskin (hasil pemetaan swadaya atau PS2).
Sejak diluncurkan pada bulan Desember 2009 hingga Desember 2010 atau
dalam kurun waktu satu tahun telah tercatat 225 pemanfaat atau nasabah.
Pemanfaat ini tersebar di 23 Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Adapun
92
dana yang telah digulirkan kepada masyarakat per Desember 2010 mencapai Rp.
114.350.000 (seratus empat belas juta tiga ratus lima puluh ribu).
Kegiatan pinjaman bergulir melibatkan beberapa elemen. Elemen-elemen
tersebut adalah:
1. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Tugas BKM pada pelaksanaan
kegiatan adalah membentuk unit sebagai pengelola dalam hal ini adalah Unit
Pengelola Keuangan (UPK). Perangkat kerja UPK diangkat dan diberhentikan
oleh BKM berdasarkan musyawarah. Selanjutnya BKM berdasarkan rembug
warga menentukan besaran jasa/bunga serta besaran insentif pengelola dan
aturan-aturan pelaksanaan kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi
masyarakat setempat termasuk memiliki kewenangan memberikan persetujuan
atau penolakan atas ajuan pinjaman Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
berdasarkan masukan dari UPK.
2. Unit Pengelola Keuangan (UPK). UPK adalah unit di bawah BKM yang
bertugas menjalankan kegiatan secara teknis, dimulai dari pengajuan usulan
KSM, sampai melakukan penerimaan setoran.
3. Dewan Pengawas Keuangan (DPK). DPK merupakan elemen yang
independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan kegiatan secara
keseluruhan.
4. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), adalah kelompok pemanfaat
pinjaman bergulir.
Secara petunjuk teknis berdasarkan aturan-aturan regulator kegiatan
pinjman bergulir adalah sebagai berikut:
1. Pengajuan pinjaman dilakukan secara kelompok yaitu KSM.
2. KSM mengajukan usulan pinjaman yang disertai dengan surat keterangan dari
ketua RT.
3. Setiap pinjaman tidak terdapat agunan.
4. Nominal pinjaman yang diberikan nilainya beragam. Untuk peminjam awal
jumlah pinjaman maksimal Rp. 500.000/orang. Peminjaman yang bersifat
repeat order maksimal diberikan pinjaman Rp. 1.000.000/ orang.
5. KSM dibebankan biaya swadaya untuk pengadaan sarana kegiatan
peminjaman, seperti untuk pengadaan kartu pinjaman, bukti setoran, dll.
93
6. Lamanya masa kredit adalah 10 bulan.
7. Uang jasa dari pinjaman ditetapkan sebesar 2% per bulan.
8. Setiap peminjam diwajibkan membuka tabungan awal sebesar Rp. 25.000
untuk pinjaman Rp. 500.000 dan Rp. 50.000 untuk pinjaman Rp. 1.000.000.
9. Setiap bulan peminjam wajib melakukan setoran dengan membayar hutang
pokok, uang jasa dan simpanan wajib bulanan. Untuk pinjaman Rp. 500.000,
hutang pokok yang dibayarkan Rp. 50.000, dengan uang jasa Rp. 10.000, serta
simpanan wajib bulanan Rp. 2.500. Total yang disetorkan adalah Rp. 62.500.
Sedangkan untuk pinjaman yang bernilai 1.000.000, hutang pokok yang
dibayarkan Rp. 100.000, dengan uang jasa Rp. 20.000, serta simpanan wajib
bulanan Rp. 5.000. Total yang disetorkan adalah Rp. 125.000.
10. Pada masa akhir kredit atau pinjaman setoran tabungan awal dan setoran wajib
bulanan akan dikembalikan lagi ke peminjam dengan melihat aspek besaran
tunggakan.
Beberapa catatan penting pelaksanaan pinjaman bergulir di Kelurahan
Kenanga adalah sebagai berikut:
1. Belum ada aturan tertulis di perjanjian akad kredit mengenai peminjam yang
meninggal selama masa pinjaman belum selesai. Apakah pinjaman akan
diputihkan atau diteruskan kepada ahli warisnya. Termasuk juga peminjam
yang mengalami kecacatan permanen.
2. Belum ada aturan yang tertulis di perjanjian akad kredit berkenaan dengan
penambahan masa waktu pinjaman.
3. Tingkat selektivitas UPK terhadap calon peminjam tidak ada. Hal ini dapat
dilihat banyak sekali peminjam bukan dari kelompok rumah tangga miskin
(RTM) atau yang mereka terdata pada pemetaan swadaya tahap 2 (PS 2).
Kondisi ini menjadikan sasaran program tidak terarah dengan baik.
Isu Gender dalam Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri
Untuk menganalisis kegiatan pembangunan dalam aspek gender, dapat
dianalisis konsep isu gender. Isu gender dalam pembangunan terdiri dari: akses,
partisipasi, manfaat dan kontrol (Depdagri dan LAN RI 2007). Untuk melihat isu
gender dalam kegiatan pinjaman bergulir program PNPM Mandiri di Kelurahan
Kenanga dapat dilihat pada tabel berikut ini.
94
Tabel 19. Isu gender pada dalam kegiatan pinjaman bergulir No Isu Gender Hasil Amatan 1 Akses Pinjaman bergulir membuka peluang bagi kelompok manapun
terutama dari masyarakat miskin. 2 Partisipasi Partisipasi dalam kegiatan pinjaman bergulir dapat dilihat dari peran
masyarakat ditinjau dari aspek gender. Dilihat dari peran pengelolaan pada awalnya kegiatan pinjaman bergulir didominasi oleh kelompok perempuan. Begitupun peran perempuan pada Kelompok Swadaya masyarakat (KSM) didominasi oleh perempuan. Seiring dengan perjalanannya peran perempuan di kelembagaan kegiatan pinjaman bergulir (UPK) tidak lagi mendominasi.
3 Manfaat Pemanfaat kegiatan pinjaman bergulir sebagian besar adalah kelompok perempuan.
4 Kontrol Kontrol pemanfaat pinjaman bergulir dilihat dari aspek pertanggungjawaban pengembalian dana pinjaman bergulir, kelompok perempuan lebih bertanggung jawab dibandingkan kelompok laki-laki.
Akses Gender dalam Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri
Pelaksanaan PNPM Mandiri mengisyaratkan adanya keterbukaan pada
semua kelompok masyarakat tanpa harus dibedakan berdasarkan atribut-atribut
yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok yang selama ini
tersubordinasi diberi peluang yang sama dalam di dalam pembangunan.
Salah satu peluang yang diberikan adalah kegiatan pinjaman bergulir.
Kegiatan ini telah memberikan kemudahan akses bagi masyarakat. Tingginya
akses perempuan dalam pemanfaatan dana pinjaman bergulir dapat disebabkan
mekanisme pelaksanaan pinjaman bergulir yang sangat sederhana dan dipandang
lebih kooperatif dibandingkan dengan lembaga perbankkan konvensional. Syarat
menjadi pemanfaat pinjaman bergulir hanya menyerahkan photo copy KTP tanpa
memberikan agunan apapun. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh SNH
pemanfaat pinjaman bergulir Blok Jorogan.
“Dengan adanya kegiatan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga, setidaknya telah membawa angin segar bagi kami khususnya perempuan. Sementara ini, kami sering terhambat untuk mendapatkan permodalan dari bank seperti BRI atau BPR. Sedangkan apabila kami melakukan pinjaman melalui bank keliling, kami terkendala dengan persoalan pengembalian yang sangat berat.”
95
Partisipasi dalam Aspek Gender pada Kelembagaan UPK
Kegiatan pinjaman bergulir dilihat dari partisipasi pengelolaan
kelembagaan berdasarkan aspek gender memiliki dua fase besar. Fase pertama,
pengeloaan dilakukan oleh kaum perempuan. Mereka merupakan para aktivis
kegiatan kemasyarakatan seperti kader PKK, Posyandu dan ibu-ibu pengajian.
Pada fase ini telah menerapkan konsep pembangunan Gender and Devolopment.
Perempuan pada fase ini tidak hanya sebagai pemanfaat pembangunan tetapi
menjadi pengelola pembangunan.
Berkenaan dengan kesadaran kritis pengarusutamaan gender keadaan ini
menunjukkan sudah ada keterbukaan masyarakat untuk menerima perempuan
sebagai bagian pelaku pembangunan. Dari sisi kelembagaan keadaan ini
menunjukkan BKM telah membangun sikap yang positif dalam pengarusutamaan
gender.
Kepengurusan unit pengelola keuangan (UPK) oleh kaum perempuan
mengalami pasang surut yang sangat signifikan dalam kegiatan pinjaman bergulir.
Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengembalian pinjaman masyarakat. Selama dua
bulan setoran yaitu bulan Januri-Februari 2010 dinamika kegiatan UPK dinilai
positif. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengembalian dana bergulir oleh
masyarakat yang cukup signifikan yaitu di angka 95 persen. Pada saat kegiatan
pinjaman bergulir memasuki bulan ke tiga persoalan-persoalan mulai
bermunculan. Salah satunya adalah semakin merosotnya tingkat pengembalian
dana bergulir oleh masyarakat. Bahkan setelah dilakukan pemetaan masalah
ternyata permasalahn UPK tidak sebatas kepada masalah-masalah kemacetan
pengembalian masyarakat. Berdasarkan audit yang dilakukan oleh BKM terdapat
beberapa persoalan serius yaitu:
1. Tingkat pengembalian yang rendah kira-kira 50 persen.
2. Pengelolaan yang tidak profesional. Diantaranya persoalan pengadministrasian
yang tidak dilaksanakan dengan baik, laporan bulanan ke BKM yang tidak
dibuat, penarikan pungutan liar kepada pemanfaat, pemberian pinjaman di
bawah tangan yang non prosedural, dan pemanipulasian data.
3. Kapitalisasi dana oleh pengurus. Modus yang digunakan salah seorang
pengurus menggunakan atau meminjam nama orang untuk mendapatkan
96
pinjaman yang lebih besar (melebihi ambang kuota) yang menjadikan
pengurus ini tidak mampu untuk melakukan setoran bulanan.
4. Pudarnya integritas UPK dalam kaitan ini UPK masih dipandang atau
dianggap sama sebagai lembaga keuangan lainnya yang hanya berusia singkat
seperti halnya Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED SP), atau pinjaman
bergulir pada masa program Intensifikasi Desa Tertinggal (IDT)
5. Konflik internal antarpengurus. Hal ini diduga dipicu karena ketidakadilan
pemberian insentif hasil dari jasa perguliran.
Persoalan di atas secara umum dapat disebabkan beberapa hal yaitu:
Pertama, lemahnya kemampuan manajerial pengurus. Hal ini disebabkan
pembekalan kepada pengurus UPK sangat minim. Kedua, lemahnya pengawasan
BKM terhadap UPK. Pada kurun waktu Januari hingga Maret 2010 BKM belum
pernah diberikan laporan perkembangan kegiatan. Ketiga, tidak berfungsinya
dewan pengawas keuangan (DPK) dalam memantau pelaksanaan kegiatan
pinjaman bergulir. Keempat, persoalan karakter dan nilai-nilai moral dari setiap
individu pelaksana kegiatan pinjaman bergulir.
Menyikapi kondisi ini pada bulan Juni 2010, BKM melakukan
perombakan total di kepengurusan. Pada fase kedua ini dominasi perempuan
dalam mengelola UPK sudah tidak ada lagi. Komposisi pengelola pada aspek
gender sekarang ini lebih didominasi oleh laki-laki. Dari tiga pengurus hanya
terdapat satu orang pengurus perempuan yang ditugaskan sebagai tenaga teknis
lapangan (kolektor). Fase ini lebih tepat disebut sebagai fase pembenahan.
Pekerjaan yang berat yang dihadapi oleh kepengurusan baru yaitu menjaga
integritas lembaga. Sementara ini, lembaga keuangan yang dikelola masyarakat di
Kelurahan Kenanga memiliki integritas yang rendah. Dana pinjaman bergulir
masih dipandang dianggap sebagai dana yang tidak perlu di
pertanggungjawabkan. Selain itu, masalah sumberdaya manusia (SDM) menjadi
persoalan yang serius dalam pengelolaan pinjaman bergulir. Dalam kaitan ini
jarang sekali masyarakat yang mau terlibat dalam kepengurusan di UPK. Hal ini
disebabkan kontribusi dan penghargaan menjalankan kegiatan pinjaman bergulir
tidak seimbang. Sederhannya basis kegiatan UPK adalah kegiatan sosial yang
menitikberatkan pada jiwa kerelawanan sedangkan pelaksanaan harus bersifat
97
profesional sesuai standar baku pengelolaan perbankkan. Hal ini sebagaimana
yang dipertegas STR manajer UPK berikut ini:
“Persoalan UPK yang paling krusial adalah persoalan citra lembaga. Program apapun di masyarakat Kelurahan Kenanga dalam konteks keuangan semuanya gagal. Saya melihat persoalan tersebut dikarenakan integritas lembaga yang tidak dibangun dengan baik. Kondisi ini disebabkan persoalan SDM. Persoalan SDM yang paling krusial adalah minimnya relawan dari masyarakat yang mau menerjuni dunia sosial. Apalagi dalam kegiatan di UPK, landasan utamanya pekerjaan sosial tapi dilaksanakan secara profesional, artinya pekerjaannya berat, penghargaan atau insentif untuk pengelola sangat minim.”
Dengan berbagai macam pendekatan persoalan-persoalan sedikit demi
sedikit dibenahi. Pinjaman bergulir per Maret hingga Agustus 2010 pada bulan
September 2010, pinjaman bergulir kepada masyarakat kembali diputar.
Sementara ini tiap bulan UPK melakukan pencairan dana ke masyarakat yang
mencapai angka 5-10 juta rupiah per bulan, dengan pengembalian dana yang
sangat signifikan.
Pemanfaatan Pinjaman Bergulir dalam Aspek Gender
Seiring dengan digulirkannya program PNPM Mandiri setidaknya telah
membawa sebuah harapan bagi perempuan. Hal ini disebabkan program PNPM
Mandiri salah satu programnya adalah keuangan bergulir, yang dapat diakses oleh
semua pihak termasuk perempuan. Bahkan Ditjen Cipta Karya (2009) membuat
indikator keberhasilan kegiatan pinjaman bergulir manakala pemanfaat kegiatan
ini 30% adalah perempuan.
Komposisi pemanfaat dalam aspek gender, kaum perempuan lebih banyak
daripada kaum laki-laki. Dalam hal ini jumlah pemanfaat kaum perempuan
mencapai 129 pemanfaat atau 57 persen, sedangkan pemanfaat dari kaum laki-laki
mencapai 96 pemanfaat atau 43 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa akses
perempuan dalam kegiatan pinjaman bergulir sangat baik. Kondisi ini secara
teoretif telah membuka peluang gerakan pengarusutamaan gender dalam kegiatan
pinjaman.
Berdasarkan keragaman profil pemanfaat terdapat kondisi yang kontras
antara data administratif dan kondisi realitas. Berdasarkan data yang ada pada
UPK, menyebutkan bahwa pemanfaat masuk dalam kategori rumah tangga miskin
98
(RTM). Fakta riil di lapangan menunjukkan tidak semua pemanfaat tercantum
dalam data base kategori keluarga miskin yang tercantum dalam dokumen
Program Jangka Menengah (PJM) BKM Pondok Pari Bangkit atau kaum
perempuan dari keluarga RTM. Bahkan ada kecenderungan pemanfaat ini
sebagian besar bukan dari keluarga non RTM dengan indikasi kepemilikan rumah,
kepemilikan kendaraan dan tanggungan keluarga. Di antara mereka adalah WTM
warga blok Lebak Jambu, ASMR warga blok Desa, AMN warga blok Desa, AST
warga blok Tengah.
Persoalan RTM atau non RTM telah menjadi polemik sendiri bagi Badan
Keswadayaan Masyarakat (BKM). Pada satu sisi, pinjaman bergulir dikhususkan
untuk RTM namun pada sisi aturan teknis kegiatan pinjaman bergulir terlalu berat
bagi RTM dilihat dari sisi pengembalian yang mencapai 20% dari pokok hutang.
Dari sisi bentuk usaha, perempuan pemanfaat pinjaman bergulir sebagian
besar adalah pedagang dan pengusaha kecil, bahkan secara laporan administratif
100% peminjam adalah pelaku usaha kecil. Hal ini disebabkan penggunaan dana
pinjaman bergulir secara prosedur normatif diperuntukkan bagi usaha mikro kecil
menengah (UMKM). Artinya dana tersebut harus digunakan sebagai modal dan
pengembangan usaha. Keadaan ini tentunya berbeda dengan kondisi nyata di
lapangan. Berdasarkan penelusuran di lapangan ditemukan juga pemanfaat-
pemanfaat yang tidak memiliki usaha, seperti halnya KML warga blok Kenanga
Sari Kelurahan Kenanga yang sehari-harinya adalah ibu rumah tangga, RBH
warga blok Tanjung Sari Kelurahan Kenanga yang sehari-harinya sebagai buruh
tani, UNSR warga blok Lebak Jambu Kelurahan Kenanga yang sehari-harinya
adalah ibu rumah tangga dan masih banyak lainnya.
Secara data kuantitatif menunjukkan perempuan adalah pemanfaat
terbanyak kegiatan pinjaman bergulir, namun pada tingkat pemanfaatan secara
domestik, dana tersebut tidak serta merta dimanfaatkan oleh perempuan.
Penelusuran di lapangan dana pinjaman bergulir sebagian ada yang digunakan
oleh kaum laki-laki (suami). Salah satu contohnya pemanfaat atas nama SMYT
warga Jamsari Kelurahan Kenanga, yang memanfaatkan dana tersebut untuk
kepentingan suaminya berangkat ke Jakarta begitupun dengan MSN warga blok
Desa Kelurahan Kenanga.
99
Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan dana secara domestik tidak
dibedakan berdasarkan aspek perbedaan gender. Dalam konteks masyarakat
Kelurahan Kenanga sistem ekonomi dibangun berdasarkan kemitraan antara
suami dan istri. Sederhananya harta istri adalah suami dan sebaliknya.
Inisiasi Perempuan dalam Pembentukan KSM
Tingginya pemanfaat dari kaum perempuan tidak selalu berkorelasi
dengan kesadaran kritis, partisipasi dan pemberdayaan kaum perempuan. Kondisi
ini cenderung sebagai bagian afirmasi terhadap perempuan. Untuk menelusuri hal
ini dapat dilihat dari kesadaran kritis perempuan dalam menginisiasi pembentukan
kelompok.
Pembentukan kelompok swadaya masyarakat (KSM) menunjukkan adanya
komitmen tanggung jawab dan menunjukkan adanya keberdayaan. Hal ini
disebabkan pembentukan kelompok merupakan kegiatan basis yang dilandasi dari
sebuah kesadaran kritis.
Proses pembentukan KSM mengalami dua histori yang keduanya memiliki
suasana dan keadaan yang berbeda. Histori pertama pada saat awal perguliran
yakni bulan Desember 2009 sampai bulan Maret 2010. KSM yang terbentuk pada
saat itu berjumlah 14 KSM yang tersebar di seluruh Kelurahan Kenanga dengan
jumlah pemanfaat 137 orang.
Komposisi pemanfaat dari aspek gender, menunjukkan bahwa jumlah
pemanfaat dari kelompok perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Pemanfaat
perempuan berjumlah 80 orang pemanfaat atau 58% sedangkan pemanfaat dari
kaum laki-laki berjumlah 57 orang atau 42 persen. Adapun nama-nama kelompok
tersebut dan komposisi pemanfaat dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 20. KSM yang dibentuk oleh kepengurusan sebelum pembenahan
Nama KSM Jumlah anggota Kelompok Laki-Laki (orang) Perempuan (orang)
Sekar Sari 4 8 Tanjung 9 1
Sumber Mulya 2 8 Sumber Sejati 2 3
Mangga 7 3 Jambu 0 10 Durian 4 6 Liwung 3 7
Sumber Toya 3 7
100
Nama KSM Jumlah Anggota Kelompok Laki-Laki (orang) Perempuan (orang)
Melati 6 4 Mawar 7 3
Sumber Rezeki 2 8 Terate 6 4
Anggrek 2 8 Sumber: UPK BKM Pondok Pari Bangkit 2010
Pola pembentukkan KSM pada histori pertama cenderung tidak sesuai
dengan pola-pola standar yang ditentukan. Pada saat itu, KSM dibentuk
berdasarkan mobilisasi pengurus, yang seharusnya KSM dibentuk dari ajuan
masyarakat (pemanfaat). KSM peminjam bergulir pada saat itu tidak dibentuk
berdasarkan realitas dan refleksi diri terhadap kebutuhan yang memiliki
konsekuensinya penyerapan dana kegiatan pinjaman bergulir menjadi tidak tepat
sasaran. Metode pembentukkan KSM yang dilakukan dapat digambarkan dalam
gambar berikut ini.
Gambar 14. Metode pelaksanaan pinjaman bergulir sebelum pembenahan
Pola seperti itu menunjukkan tidak terbangunnya komunikasi pada tingkat
basis yang menciptakan kelommpok dengan keragaman yang tinggi, yang
berkecenderungan antara anggota kelompok yang satu dengan yang lainnya tidak
saling mengenal.
Secara umum, terlihat apa yang menjadi dinamika masyarakat pada
kegiatan pinjaman bergulir pada saat itu menunjukkan tingkat partisipasi
masyarakat yang baik tetapi ditinjau secara teoretif partisipasi tersebut bukan
Calon pemanfaat menyerahkan sejumlah KTP kepada pengurus UPK
Penyeleksian calon peminjam oleh UPK: Aspek hubungan emosional menjadi bahan
pertimbangan utama
Pembuatan berkas pengajuan oleh UPK
Pembentukan kelompok oleh UPK
Akad kredit pinjaman
101
partisipasi sebenarnya. Secara teoretif partisipasi masyarakat seperti ini dikatakan
sebagai partisipasi semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau
kelompok dominan (elite masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan
masyarakat hanya sekadar obyek.
Pada saat itu pembentukkan KSM lebih diarahkan sebagai media aspirasi
kepentingan beberapa pihak diantaranya:
1. BKM berkepentingan dengan persoalan penyerapan dana ke masyarakat,
karena pada saat itu dana kegiatan ekonomi bergulir sudah cukup lama
mengendap di rekening BKM.
2. Fasilitator Kelurahan (Faskel) mereka berkepentingan dengan persoalan
progres laporan ke konsultan.
3. Pengurus UPK berkepentingan dengan pengakomodasian kelompok-kelompok
mereka serta ada efek ekonomis dalam penyaluran dana UPK (pungutan liar).
Faktor dominan penyebab rendahnya kemampuan masyarakat khususnya
perempuan dalam menginisiasi pembentukan kelompok, disebabkan persiapan
yang kurang matang baik oleh BKM maupun UPK. Hal ini disebabkan surat
rekomendasi pencairan dana dari satuan kerja (Satker) PNPM Mandiri Kabupaten
Cirebon untuk kegiatan pinjaman bergulir bersifat mendadak. Hal ini sebagaimana
yang dipertegas oleh ASP Sekretaris BKM:
“Pelaksanaan kegiatan PNPM di Kelurahan Kenanga ada kecenderungan dilaksanakan secara mendadak. Keadaan ini hampir terjadi di semua program baik pinjaman bergulir, lingkungan dan program sosial. Kami yang ada di lapangan sering direpotkan dengan keadaan seperti ini.”
Selain itu, rendahnya kemampuan perempuan dalam menginisiasi
kelompok pinjaman bergulir dalam perspektif komunikasi disebabkan minimnya
sosialisasi pada tingkat basis dan rendahnya informasi program yang menerpa
kaum perempuan. Hal ini disebabkan penciptaan ruang komunikasi yang kurang
mengakomodir keadaan perempuan. Implikasinya hampir sebagian besar
perempuan tidak mengetahui mekanisme pelaksanaan program pinjaman bergulir.
Hal ini sebagimana yang terjadi pada ATN warga blok Kranten Kelurahan
Kenanga yang kebingungan untuk mendapat informasi tentang pinjaman bergulir.
102
Pola pembentukan KSM dengan dimobilisasi pengurus menimbulkan
beberapa masalah, salah satunya tidak berjalannya mekanisme kegiatan berbasis
kelompok. Pengumpulan uang setoran yang harusnya dilakukan secara
berkelompok pada pelaksanaannya dilakukan secara individu. Hal ini yang
menjadi pemicu kemacetan pinjaman bergulir. Langkah yang dilakukan BKM
pada saat itu menghentikan sementara pencairan dana ke masyarakat dan
melakukan pembenahan baik secara kelembagaan dan mengembalikan lagi proses
pengajuan pinjaman oleh KSM sesuai aturan-aturan yang berlaku.
Pasca pembenahan atau pada bulan September 2010 kegiatan pinjaman
bergulir kembali dijalankan. Kelompok-kelompok pemanfaat yang sebelumnya
merupakan hasil mobilisasi pengurus UPK, telah diarahkan berdasarkan
komunikasi tingkat basis. Mekanisme rembug warga dalam membentuk kelompok
merupakan syarat mutlak dalam pengajuan dana bergulir ke UPK.
Pendirian kelompok pasca pembenahan merupakan inisiasi murni
masyarakat. Karakter kelompok pada pasca pembenahan bercirikan jarak simbolik
antar anggota yang semakin sempit. Dalam kaitan ini sesama anggota cenderung
saling mengenal antara satu anggota dengan lainnya dan memiliki kesamaan
pandangan mengenai pelaksanaan pinjaman bergulir.
Mekanisme pembentukan kelompok dengan mengutamakan konsep
bottom up, merupakan upaya untuk terciptanya kegiatan pinjaman bergulir yang
lebih baik. Hal ini sebagaimana yang dipertegas oleh STR Manajer UPK berikut
ini:
“Belajar dari pengalaman, UPK sekarang ini lebih selektif dalam perekrutan kelompok peminjam. KSM yang mengajukan pinjaman harus dilakukan berdasarkan aturan terutama proses rembug warga. Inisiatif pendirian KSM bukan inisiatif pengelola tapi murni inisiatif masyarakat.”
Kelompok pasca pembenahan mulai dibentuk pada bulan September 2010.
Sampai bulan Desember 2010 kelompok dengan paradigma baru berjumlah 13
KSM dengan 88 orang pemanfaat. Komposisi pemanfaat dalam aspek gender
perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Jumlah pemanfaat dari
kelompok perempuan berjumlah 46 pemanfaat atau 53% sedangkan kelompok
pemanfaat kaum laki-laki berjumlah 42 pemanfaat atau 47 persen.
103
Nama-nama KSM yang didirikan berdasarkan inisiatif masyarakat dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 21. KSM yang didirikan berdasarkan inisiatif masyarakat
Nama KSM Jumlah Anggota (orang) Jumlah Anggota Perempuan (orang)
Sekar Wangi 7 4 Pancuran Gading 15 4
Tanjakan 9 5 Bunga Soka 10 6 Sekar Maju 5 5
Tiga 5 2 Empat 5 0
Bunga Kenanga 7 6 Adenium 4 4 Maribang 6 3 Mingkrik 5 4
Pandan Wangi 5 2 Pandan 5 3
Sumber: UPK BKM Pondok Pari Bangkit 2010
Berdasarkan gambaran di atas pada kegiatan pinjaman bergulir,
menunjukkan bahwa perempuan di Kelurahan Kenanga masih di posisikan
sebagai obyek pembangunan bukan sebagai pelaku pembangunan. Mengambil
konsep pembangunan dan gender, keadaan ini menunjukkan bahwa kegiatan
pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga masih menggunakan konsep women in
development (WID) bukan gender and development.
Konsep WID lebih mengarah kepada acuan-acuan teknis berdasarkan
standar operasional prosedur (SOP) yang telah digariskan oleh regulator, dalam
kaitan ini pemanfaat kegiatan adalah 30% dari kaum perempuan. Selain itu pula
kuatnya WID menunjukkan pendidikan untuk kesadaran kritis yang
diimplementasikan dengan keberdayaan dan partisipasi belum terbangun pada
kegiatan pinjaman bergulir.
Dalam perspektif kesadaran kritis kondisi ini dapat disimpulkan bahwa
perempuan di Kelurahan Kenanga belum terbangun kesadaran kritis yang ideal.
Idealnya sebuah kesadaran kritis memunculkan kedalaman menafsirkan masalah-
masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak.
Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan
melihat hubungan sebab-akibat. Dalam kaitan ini perempuan masih dalam taraf
104
kesadaran naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan
dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif,
seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau
menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan
berdebat tetapi bukan dialog. Freire dalam Manggeng (2005)
Meski secara kuantitatif inisiasi pembentukkan kelompok banyak
didominasi oleh kaum laki-laki, namun geliat kesadaran perempuan sebagai agen
perubahan sudah menunjukkan tanda-tanda yang positif. Di antara kelompok yang
dibentuk pasca pembenahan, di antaranya dibentuk berdasarkan inisiasi kaum
perempuan. Kelompok tersebut adalah KSM Pandan yang diinisiasi oleh IPH,
KSM Adenium yang diinisiasi oleh WTM, KSM Mingkrik yang diinisiasi oleh
RMD, KSM Sekar Maju yang diinisiasi oleh SNH. Bahkan SNH telah
memfasilitasi pembentukan kelompok lainnya seperti KSM Tanjakan dan Pandan
Wangi.
Rendahnya perempuan dalam menginisiasi pembentukkan kelompok pada
kegiatan pinjaman bergulir, tidak serta merta menunjukkan rendahnya kapasitas
perempuan di Kelurahan Kenanga. Pada bidang lain perempuan di Kelurahan
Kenanga mampu menginisiasi kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Pada sisi lain
perempuan di Kelurahan Kenanga kemampuan berorganisasi yang baik. Hal ini
dapat dilihat pada lembaga-lembaga yang didirikan dan dikelola oleh perempuan,
memiliki eksistensi yang baik. Hal ini dapat dilihat dari eksistensi lembaga
pendidikan pra sekolah dan sekolah dasar, majelis taklim yang sebagian besar
dikelola oleh perempuan.
Kontrol dan Tanggung Jawab pada Kegiatan Pinjaman Bergulir
Analisis mengenai kontrol atau tanggung jawab perempuan terhadap
pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir dipetakan dalam beberapa aspek yaitu:
1. Pemanfaatan atau penggunaan dana
2. Kesadaran untuk melakukan pengembalian
3. Menjalankan konsep tanggung renteng
Dilihat dari sisi pemanfaatan atau penggunaan dana, kecenderungan dana
pinjaman bergulir digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat
domestik (rumah tangga). Hanya sedikit pemanfaat yang menggunakan dana
105
pinjaman bergulir untuk kepentingan usaha. Bahkan, pemanfaat yang jelas-jelas
pelaku UMKM tidak serta merta memanfaatkan dana tersebut untuk modal atau
pengembangan UMKM. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh WKN warga
blok Tanjung Sari Kelurahan Kenanga berikut ini:
“Dana yang saya dapatkan dari pinjaman bergulir saya gunakan untuk merehab dapur, sebagian lagi saya gunakan untuk menambah barang dagangan saya.”
Pengalihan pemanfaatan dana pinjaman bergulir dari dana pengembangan
usaha menjadi dana untuk kegiatan lainnya, disebabkan beberapa faktor yaitu:
Pertama, rendahnya dana pinjaman yang diberikan kepada masyarakat. Sementara
ini, dana yang diberikan kepada pemanfaat hanya sebesar Rp. 500.000 (lima ratus
ribu). Tentunya dengan dana yang relatif kecil, kurang signifikan sebagai sarana
peningkatan usaha, ditambah lagi dengan uang jasa yang melebihi suku bunga
pasar, sebesar dua persen per bulan dengan tenor (jangka waktu) pinjaman selama
sepuluh bulan. Artinya uang jasa pinjaman bergulir mencapai 20 persen.
Kedua, pengalihan pemanfaatan memang suatu keadaan yang disengaja
oleh masyarakat itu sendiri. Mereka yang terdesak dengan kebutuhan rumah
tangga sangat berharap banyak dari pinjaman bergulir karena mekanisme
pinjaman bergulir yang mudah.
Dianalisis dari aspek peningkatan taraf ekonomi masyarakat, pengalihan
pemanfaatan dana, jelas tidak akan mendongkrak perekonomian masyarakat,
karena dengan adanya pinjaman malah akan menjadi beban bagi masyarakat itu
sendiri, namun pada posisi lain dana pinjaman bergulir dapat dijadikan solusi
untuk memecahkan persoalan keuangan yang bersifat mendesak. Sementara ini
belum ditemukan penggunaan dana pinjaman bergulir oleh masyarakat khususnya
perempuan untuk kepentingan kebutuhan non primer.
Pada aspek tanggung jawab terhadap pengembalian secara umum memiliki
gambaran yang sangat kontras antara fase sebelum pembenahan dan pasca
pembenahan. Pada fase sebelum pembenahan, secara umum kegiatan pinjaman
bergulir mengalami berbagai hambatan, salah satunya adalah masalah
pengembalian dana. Dari 12 KSM yang memiliki masa akhir kredit per Oktober
2010, hanya 52 orang dari 127 orang atau hanya 42% yang sudah menyelesaikan
pinjaman. Sisanya yang berjumlah 75 orang atau 58% belum menyelesaikan
106
pinjaman meski sudah diberikan perpanjangan masa kredit sampai Desember
2010. Total tunggakan pada 12 KSM per desember 2010 mencapai Rp.
15.542.500 (lima belas juta lima ratus empat puluh dua ribu lima ratus).
Dalam aspek gender, pemanfaat yang mengalami tunggakan untuk
pinjaman jatuh tempo Oktober 2010 sebagian besar adalah dari kaum laki-laki
yang berjumlah 45 orang atau 60%. Sedangkan penunggak dari kaum perempuan
berjumlah 30 orang atau 40%. Meskipun dilihat dari sisi jumlah memiliki
perbedaan angka yang signifikan, namun dilihat dari nilai nominal tunggakan
antara laki-laki dan perempuan hampir tidak berbeda. Secara nominal tunggakan
pemanfaat dari kaum perempuan berjumlah Rp. 7.560.000 (tujuh juta lima ratus
enam puluh ribu).
Dua KSM yang dibentuk sebelum pembenahan kondisinya tidak jauh
berbeda dengan 12 KSM sebelumnya. Untuk kedua KSM ini tingkat
pengembaliannya hanya mencapai 67% per Desember 2010. Dari 20 pemanfaat
hanya dua pemanfaat yang tidak memiliki tunggakan, selebihnya memiliki
tunggakan dengan nominal yang bervariatif. Dari aspek gender penunggak
pinjaman bergulir banyak dilakukan oleh perempuan dibandingkan laki-laki.
Pasca pembenahan UPK telah mencairkan dana pinjaman bergulir kepada
sembilan KSM. Tingkat pengembalian untuk sembilan KSM sementara ini dinilai
sangat baik. Data per Desember 2010 tingkat pengembalian mencapai 92%.
Tunggakan yang lebih cenderung pada aspek keterlambatan dari jatuh tempo
pembayaran. Adapun dari komposisi gender, laki-laki lebih banyak sebagai
penunggak dibandingkan perempuan.
Secara umum antara masa sebelum pembenahan dan pasca pembenahan,
tanggung jawab perempuan lebih baik daripada laki-laki. Meski demikian terdapat
kasus tunggakan yang paling mencuat yang dilakukan oleh perempuan. Dalam hal
ini nilai tunggakannya mencapai, Rp. 4.187.500 (Empat juta seratus delapan puluh
tujuh lima ratus). Besarnya tunggakan ini, disebabkan kapitalisasi pinjaman
bergulir. Adapun modusnya adalah dengan meminjam KTP orang lain, untuk
diajukan sebagai peminjam namun dana yang didapat digunakan sendiri.
Rendahnya tingkat pengembalian masyarakat terutama pada masa sebelum
pembenahan tidak selalu mengindikasikan rendahnya kesadaran warga terhadap
107
tanggung jawab pada pinjaman bergulir. Secara prinsip masyarakat siap untuk
mengembalikan dana pinjaman bergulir. Dari aspek gender, perempuan yang
mengalami tunggakan banyak disebabkan persoalan teknis domestik. Hal ini
seperti yang terjadi pada pemanfaat RBH warga blok Tanjung Sari Kelurahan
Kenanga, yang terlambat membayar dikarenakan untuk biaya pendidikan anaknya
yang melanjutkan ke sekolah tingkat menengah atas. Begitupun dengan UNSR
warga blok Lebak Jambu Kelurahan Kenanga yang terlambat membayar
dikarenakan suaminya terkena musibah, RN warga Karang Gayam Kelurahan
Kenanga yang belum mendapat kiriman dari suaminya yang bekerja di luar kota.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh STR Manajer UPK berikut ini.
“Pada umumnya masyarakat Kelurahan Kenanga secara prinsip adalah masyarakat yang bertanggung jawab. Ini terbukti dengan adanya kenaikan yang signifikan pengembalian dana pinjaman bergulir setelah pembenahan. Kemacetan yang ada sementara ini, masih dalam tahap yang wajar, meski kitapun punya catatan pemanfaat yang benar-benar tidak bertanggung jawab, tapi jumlahnya hanya satu atau dua orang.”
Selain dari ranah domestik, latar belakang kemacetan pinjaman bergulir
dapat ditelusuri dari aspek kelembagaan UPK. UPK pada fase sebelum
pembenahan dikelola tidak profesional yang menciptakan kesalahan-kesalahan
manajemen (mismanagement). Persoalan mismanagement berkorelasi dengan
persoalan pencitraan kelembagaan UPK. Adanya penggunaan dana setoran oleh
salah satu pengurus secara langsung akan berpengaruh terhadap tingkat
kepercayaan masyarakat. Wujud dari ketidakpercayaan ini, salah satunya
ditunjukkan oleh sikap KSM Mawar dan Melati yang seolah acuh tak acuh dengan
permasalahan tanggung jawab pengembalian dana pinjaman.
Secara aspek hubungan eksternal dengan pemanfaat, UPK pada saat itu
tidak mengedepankan prinsip-prinsip kekeluargaan. Pelaksanaan pinjaman
bergulir lebih mengedepankan aspek-aspek baku secara umum. Pendekatan
hubungan manusiawi, tidak diterapkan pada pelaksanaan pinjaman bergulir. Salah
satu bentuknya adalah cara penagihan kemacetan yang tidak mendatangkan
simpati. Seperti halnya yang dirasakan oleh SL pemanfaat warga Blok Desa
Kelurahan Kenanga yang ditagih di depan umum. Begitupun ASP pemanfaat
108
warga blok Tanjung Sari Kelurahan Kenanga yang ditagih di forum rembug
warga.
Selain persoalan simpati, terdapat kebijakan dari pengelola pada saat itu
yang tidak dikomunikasikan kepada masyarakat, seperti pencabutan insentif bagi
ketua KSM yang berfungsi sebagi juru tagih. Padahal kesepakatan awal yang
dibangun adalah adanya insentif bagi juru tagih. Implikasinya adalah tidak ada
juru tagih pada masyarakat pemanfaat.
Dalam tinjauan aspek komunikasi, kemacetan ini disebabkan pengendalian
informasi tidak dikontrol. Informasi tentang kemacetan selalu diceritakan oleh
pengelola kepada masyarakat. Keadaan ini menciptakan rumor yang negatif
tentang keberlanjutan kegiatan. Rumor ini secara langsung akan melunturkan
kesadaran warga yang memiliki itikad atau kemampuan untuk melakukan
pembayaran. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masyarakat blok Jamsari
Kelurahan Kenanga yang mengkuatirkan berhentinya program. Mereka secara
sepihak TRH tidak menyetorkan uang nasabah ke pengelola tetapi menggulirkan
kepada masyarakat yang lainnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan SMN
suami TRH warga blok Jamsari Kelurahan Kenanga berikut ini:
“Terus terang saya melakukan hal ini tanpa koordinasi dengan pengelola, hal ini semata-mata ada informasi bahwa kegiatan pinjaman bergulir akan berhenti. Sedangkan banyak warga yang mendesak saya untuk mendapatkan pinjaman. Dari pada warga saya tidak mendapatkan pinjaman, lebih baik dana ini saya gulirkan kepada warga. Dan saya bertanggung jawab penuh terhadap tindakan saya.”
Komunikasi antara pengelola dengan pemanfaat pada saat itu, lebih
diutamakan komunikasi yang bersifat linier. Padahal komunikasi yang terbuka
dan bersifat sirkular timbal balik sangat dibutuhkan. Harapan dari pemanfaat
adalah adanya pendampingan (komunikasi) sehingga kendala-kendala teknis
terutama dalam persoalan pengembalian dapat dipecahkan secara baik. Hal ini
sebagaimana yang disampaikan ANWR Ketua KSM Sekar Sari berikut ini:
“Persoalan pinjaman bergulir bagi KSM kami bukan sebatas bagaimana meminjam dan mengembalikan, tapi yang lebih kami butuhkan adalah arahan atau rembug bersama antara UPK dengan pemanfaat. Saya sebagai ketua kadang tidak bisa menjawab pertanyaan dari masyarakat, seperti penangguhan setoran,
109
pelunasan dipercepat, pemanfaat yang meninggal, pemanfaat yang mengalami ketidakberdayaan permanen karena sakit, dll.” Dari data yang ada dapat dipetakan bahwa kemacetan pinjaman bergulir
bukan disebabkan oleh rendahnya kesadaran pemanfaat. Kemacetan setoran
pinjaman dana bergulir dapat dipetakan menjadi beberapa latar belakang yaitu:
(1) Kondisi internal pemanfaat atau suasana domestik. (2) Kredibilitas pengelola.
(3) Komunikasi yang tidak terbangun. Upaya-upaya yang dilakukan untuk
pembenahan adalah: (1) Pembenahan kelembagaan dalam hal ini pengangkatan
manajer UPK yang memiliki kredibilitas. (2) Menerapkan konsep kekeluargaan
dengan mengedepankan simpati, salah satunya memberikan perhatian khusus
dalam bentuk insentif kepada juru tagih tingkat kelompok. (3) Melakukan
pembelajaran masyarakat melalui pendampingan bagi peminjam atau calon
peminjam. (4). Membangun komunikasi dengan berbagai dengan unsur-unsur
yang ada di masyarakat.
Pembenahan yang dilakukan oleh kepengurusan yang baru, sedikit demi
sedikit menampakkan hasil yang positif. Hal ini dapat dilihat pada indikasi,
kepercayaan masyarakat terhadap UPK yang semakin kuat dan tingkat
pengembalian yang sangat baik.
Perubahan yang positif dalam pengembalian pinjaman merupakan suatu
bukti bahwa kesadaran dan tanggung jawab itu ada. Kesadaran akan tanggung
jawab merupakan modal sosial dalam pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir.
Aspek lain berkenaan dengan tanggung jawab perempuan terhadap
kegiatan adalah pelaksanaan konsep tanggung renteng. Sebagai gambaran
pinjaman yang diberikan kepada masyarakat bukan bersifat pribadi tetapi adalah
kelompok dengan sistem tanggung renteng. Pengertian sistem tanggung renteng
diartikan tanggung jawab bersama setiap orang anggota kelompok peminjam,
untuk memenuhi kewajiban pembayaran kembali kredit dari bank bilamana ada
salah satu anggota menunggak atau macet. Sistem tanggung renteng adalah
perwujudan paling tinggi dan kepercayaan serta merupakan rasa setia kawan antar
anggota dalam kelompok (Suharni 2003).
Prinsip tangung renteng, merupakan sarana menggairahkan kembali
kearifan lokal yang ada di masyarakat. Diharapkan dengan adanya tanggung
renteng bisa menumbuhkan rasa tolong menolong dan kesetiakawanan sosial.
110
Kegiatan pinjaman bergulir dengan sistem tanggung renteng merupakan standar
operasional yang ditetapkan oleh tim regulator PNPM Mandiri. Pada
pelaksanaannya konsep tanggung renteng pada kegiatan pinjaman bergulir di
Kelurahan Kenanga belum dilaksanakan.
Dari perjalanan kegiatan pinjaman bergulir baik pada fase sebelum
pembenahan dan dan pembenahan ternyata tidak ada satu kelompok pun yang
menerapkan sistem tanggung renteng. Alasan yang paling mendasar dari
masyarakat adalah beratnya setoran pribadi sehingga tidak mampu untuk
menanggung tunggakan setoran anggota kelompok lainnya.
Dalam kajian kritis alasan tersebut sebenarnya kurang mendasar. Dilihat
dari karakter ekonomi peminjam, sebenarnya pemanfaat mampu untuk melakukan
tanggung renteng. Persoalan yang paling mendasar adalah rasa kesetiakawanan
yang belum terbangun dengan baik.
Meski demikian kepengurusan UPK yang baru akan menerapkan sistem
tanggung renteng pada masa akhir kredit. Hal ini sebagaimana yang disampaikan
oleh STR Manajer UPK berikut ini:
“Sementara ini kita akui tanggung renteng belum bisa dilaksanakan oleh masyarakaat. Sehingga upaya yang kami lakukan adalah menerapkan tanggung renteng pada masa akhir kredit. Pada masa akhir kredit, setiap pemanfaat akan mendapatkan tabungan sesuai dengan besaran pinjaman. Tabungan ini dapat kita kembalikan ke masyarakat atau kelompok pemanfaat manakala kelompok tersebut tidak ada tanggungan ada tunggakan.”
Pembangunan Sistem Kontrol Kegiatan Pinjaman Bergulir
Kegiatan PNPM Mandiri adalah kegiatan yang berbasis masyarakat, yang
bercirikan asas-asas demokrasi. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang
diterapkan harus berorientasi pada masyarakat. Keadaan ini, menunjukkan PNPM
Mandiri telah membuka peluang yang besar bagi masyarakat untuk terlibat dalam
pengelolaan program termasuk di dalamnya menjalankan fungsi kontrol. Elemen
yang terlibat adalah BKM, UPK, DPK dan masyarakat.
111
Gambaran fungsi kontrol kegiatan pinjaman bergulir dapat dilihat pada
matriks berikut ini.
Tabel 22. Matriks sistem kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir No Fungsi Kontrol Hasil Amatan 1 BKM kepada UPK Pada awalnya fungsi ini tidak berjalan, namun setelah
pembenahan fungsi kontrol sudah berjalan. Setiap bulan UPK memberikan progres kegiatan pinjaman bergulir. Pola komunikasi organisasi antara UPK dengan BKM sudah dibangun dengan baik.
2 Dewan Pengawas Keuangan kepada UPK
Pada saat ini peran DPK dalam kegiatan pinjaman bergulir kembali di aktifkan, dan progres bulanan selalu dilaporkan kepada DPK, namun proses komunikasiorganisasi antara DPK dan UPK belum dilaksanakan dengan baik.
3 UPK kepada Pemanfaat
Kontrol UPK kepada pemanfaat dilakukan secara simultan, dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi baik secara tatap muka maupun dengan tertulis.
4 Pemanfaat kepada Pemanfaat
Sementara ini, kontrol yang dilakukan antarpemanfaat sudah menunjukkan gambaran yang positif, hal ini terlihat dari berfungsinya organisasi KSM pinjaman bergulir salah satunya diwujudkan dengan adanya juru tagih di KSM
Kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir dilakukan bulanan dan tahunan.
Kontrol yang bersifat bulanan adalah progres UPK kepada BKM dan DPK, UPK
kepada KSM. Kontrol yang bersifat tahunan adalah audit keuangan UPK yang
dilakukan oleh auditor independen.
Adanya progres laporan bulanan oleh UPK kepada BKM dan DPK serta
UPK kepada masyarakat menunjukkan pola komunikasi organisasi sudah berjalan
dengan baik. Hal ini tentunya berimplikasi positif kepada hasil audit. Selama dua
kali diaudit keuangan UPK dinyatakan wajar meski dengan catatan. Pola kontrol
dalam kegiatan pinjaman bergulir dapat digambarkan pada Gambar 15 berikut ini.
Gambar 15. Pola kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir
Dewan Pengawas Keuangan (DPK)
Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)
Unit Pelaksana Keuangan (UPK)
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
Pembuatan Kebijakan Program
Pelaksana Program
Pemanfaat Program
Kontrol Internal
112
Dari gambar di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan terdapat
siklus organisasi yang jelas terutama masalah pembagian wewenang dan fungsi
kontrol. Pada tingkat kelembagaan, BKM memberikan wewenang kepada UPK
untuk melaksanakan program pinjaman bergulir. Wewenang ini diantaranya
adalah melakukan persetujuan atau penolakkan atas usulan pinjaman bergulir
kelompok dan pengaturan mekanisme standar operasional prosedur pelaksanaan
pinjaman bergulir. Sedangkan kontrol yang dilakukan BKM adalah pemantauan
atas tingkat kemacetan atau keamanan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).
Persoalan utama mengenai sistem kontrol pinjaman bergulir adalah belum
terbangunnya kontrol di antara anggota kelompok dalam sebuah KSM. Padahal
fungsi kontrol tingkat basis inilah yang seharusnya menjadi pilar utama.
Dalam aspek gender, pelaksanaan kontrol lebih banyak dilakukan oleh
laki-laki. Hal ini disebabkan laki-laki cenderung lebih terbuka dalam
berkomunikasi, yang tentunya berbeda dengan perempuan yang cenderung pasif.
Selain itu, keadaan ini tidak bisa terlepas dari konstruksi sosial masyarakat yang
berlaku. Kondisi norture perempuan dipandang oleh masyarakat adalah sebagai
kelompok yang dibungkam. Sehingga ekspresi perempuan dalam ranah publik
dianggap sebagai kondisi yang abnormal.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan WTM relawan blok Lebak Jambu
Kelurahan Kenanga berikut ini.
“Saya kalau di forum lebih memilih diam, karena saya malu untuk mengutarakan pendapat. Apalagi dalam rembug warga memunculkan perdebatan.”
Meski demikian, bukan berarti perempuan tidak memiliki kontribusi pada
kontrol sosial, seperti halnya RMD, IPH, SNH yang berperan aktif menciptakan
kontrol pada tingkat kelompok.
Jawaban Hipotesis Pengarah
Berdasarkan kajian dan analisis hasil penelitian ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri tidak semuanya merupakan
bentuk komunikasi partisipatif, tetapi juga terdapat komunikasi linier. Hal
113
ini menunjukkan apa yang menjadi hipotesis pengarah tidak sesuai apa
yang menjadi kondisi di lapangan.
2. Internalisasi program masih belum optimal hal ini dapat dilihat dari
pencitraan dan aktivasi masyarakat terhadap PNPM Mandiri. Hal ini
menunjukkan apa yang menjadi hipotesis pengarah tidak sesuai dengan
kondisi di lapangan.
3. Isu gender dalam kegiatan pinjaman bergulir telah menggunakan konsep
keadilan gender. Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi hipotesis
pengarah. Namun dalam kajian kritis, keadilan ini masih tampak terihat di
permukaan.
115
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penggalian data di lapangan dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga
menggunakan pola pendekatan komunikasi partisipatif dan linier. Komunikasi
pertisipatif terselenggara dalam proses komunikasi antara masyarakat
termasuk di dalamnya dengan kelembagaan. Komunikasi antara masyarakat
dengan fasilitator adalah komunikasi linier. Pada pelaksanaannya komunikasi
ini menggunakan model banyak tahap dengan sekuen-sekuen. Kegiatan PNPM
Mandiri di Kelurahan Kenanga didukung juga dengan komunikasi sekunder
dalam hal ini menggunakan media warga dalam bentuk buletin dan papan
informasi. Dalam aspek gender partisipasi komunikasi banyak didominasi oleh
laki-laki, karena penciptaan iklim komunikasi tingkat basis tidak
mengakomodir kondisi perempuan. Dalam berbagai forum perempuan bersifat
pasif.
2. Dilihat dari internalisasi menunjukkan bahwa masyarakat Kelurahan Kenanga
belum memahami filosofi, konsep dan aplikasi PNPM Mandiri secara utuh.
PNPM Mandiri masih mengalami bias pencitraan dalam hal ini PNPM
Mandiri dipahami sebagai program temporal dan parsial. Setiap keragaman
masyarakat memiliki perbedaan pemahaman kepada PNPM Mandiri. Dan
yang paling kontras adalah masyarakat dari keragaman rumah tangga miskin
yang merupakan pemanfaat program kurang memahami kegiatan PNPM
Mandiri.
3. Pada kelembagaan UPK pada awalnya peran perempuan sangat baik. Namun
kinerja mereka tidak menunjukkan profesionalisme sehingga diadakan
restrukturisasi sehingga peran perempuan dalam UPK tidak menominasi lagi.
Dilihat dari akses perempuan terhadap lembaga UPK sangat baik, hal ini
dilihat dari proporsi pemanfaat perempuan lebih banyak dibandingkan laki-
laki. Pada aspek tanggung jawab perempuan lebih baik dari pada laki-laki. Hal
ini dapat dilihat rasio kemacetan antara laki-laki dan perempuan lebih banyak
dilakukan oleh pemanfaat laki-laki. Perempuan masih belum memiliki
116
kemampuan untuk membentuk kelompok pinjaman bergulir. Tanggung jawab
melalui tanggung renteng belum dapat dilakukan begitupun dengan kontrol
sosial yang belum dilaksanakan secara maksimal.
Saran
1. Penguatan kelembagaan baik pada lembaga Badan Keswadayaan Masyarakat
(BKM), Unit Pengelola Keuangan (UPK) dan Kelompok Swadaya masyarakat
(KSM). Selain itu perlu dibangun sistem komunikasi yang baik sehingga
program PNPM Mandiri dapat terlaksana dengan baik. Dalam kaitan ini
komunikasi tidak dipandang sebatas penyampaian pesan tetapi juga
dimasukkan unsur-unsur pendidikan yang menekankan jiwa kesetiakawanan.
2. Mendorong suasana komunikasi yang baik yang membuka peluang khususnya
kelompok-kelompok pemanfaat program.
3. Perlunya penguatan kelembagaan UPK baik pada aspek SDM dan permodalan
melalui pembangunan jaringan kemitraan sehingga UPK dapat dijadikan
sarana pengembangan ekonomi masyarakat.
117
DAFTAR PUSTAKA Ahyar, Lubis Y. 2006. Dekonstruksi Epistomologi Modern: Dari Post
Modernisme, Teori Kritis, Postkolonialisme hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Anwar. 2007. Manajemen Pemberdayaan Perempuan: Perubahan Sosial Melalui pembelajaran Vocational Skill pada Keluarga Nelayan. Bandung: Alfabeta.
Ardianto E, Q-Anees B. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Arifin A. 1984. Strategi Komunikasi: Suatu Pengantar Ringkas. Bandung: Armico.
Arjani NL. 2008. Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan Tantangan Global. J. Sosial Ekonomi “Input,” Vol. 1 No.1 Feb. 2008.
Bungin B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Cahyono. 2005. Wajah Kemiskinan Wajah Perempuan. J. Perempuan No. 42. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Creswell, JW. 2003. Research Design Qualitative-Quantitative and Mixed Methods Approaches, London: Sage Publication.
Dilla S. 2007. Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu, Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Depdagri dan LAN RI. 2007. Modul 4 Peran Eselon IV dalam Peningkatan Kapasitas Melalui Kebijakan Pengarusutamaan Gender di Era Desentralisasi: Diklat Teknis Penyadaran Gender di Era Desentralisasi. Jakarta: Depdagri dan LAN RI.
[Ditjen] Direktorat Jenderal Cipta Karya. 2008a. Modul Dasar: Pembangunan Partisipatif. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
_________________________________. 2008b. Modul: Pedoman Pelaksanaan Strategi Komunikasi PNPM Mandiri. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
_______________________________. 2008c. Modul Khusus Komunitas Relawan: Strategi Komunikasi - Sosialisasi PNPM Mandiri Perkotaan Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum
_______________________________. 2009. Modul Khusus Komunitas BKM/UP-UP: Pinjaman Bergulir Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum
[Ditjen PMD] Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. 2008. Petunjuk Teknis Operasional Program PNPM Mandiri. Jakarta: Departemen Dalam Negeri.
Effendy OU. 1993. Teori Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Rekatama.
118
Faqih M. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Golberg AA, Larson CE. Komunikasi Kelompok. Jakarta: UI Press
Hadiprakoso A. 2005. Penguatan Peran Gender dalam Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Miskin studi kasus kelompok dasa wisma Desa Sudagaran [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Hamijoyo S. 2005. Komunikasi Partisipatif: Pemikiran dan Implementasi Komunikasi dalam Pengembangan Masyarakat. Bandung: Humaniora.
Handayani T, Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM Press.
Hardiman FB. 1990. Kritik Idiologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius
Hastuti LE. 2004. Hambatan Sosial Budaya Dalam Pengarusutamaan Gender di Indonesia. [makalah] Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Indraswari. 2009. Perempuan dan Kemiskinan. J. Analisis Sosial Vol. 14 No. 2 September 2009.
[Inpres RI] Instruksi Presiden Republik Indonesia. 2000. Instruksi Presiden Republik Indonesia No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Johnson DW, Johnson JP. 1991. Joining Together. Group Theory and Group Skills. Fourth Edition. New York : Perntice-Hall, Inc.
Kartasasmita G. 1996. Membangun untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: Cides.
Kelurahan Kenanga. 2011. Monografi Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon.
[Kemeneg PP ]. 2000. Panduan Pelaksanaan Inpres Nomor 9 Tahun 2000, Jakarta: Kemeneg PP.
Lincoln YS, Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. California: Sage.
LP3S, World Bank. 2007. baseline survey kualitatif PNPM Mandiri. http//pnpmmandiri.org.id
Manggeng M. 2005. Pendidikan yang Membebaskan Menurut Paulo Freire dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia. J. Teologi Kontekstual “Intim” Edisi No. 8 - Semester Genap 2005.
[diakses 3 Januari 2010]
Mariana A, Purnama L. 2005. Tragedi Kelaparan Nasional dan Feminisasi Kemiskinan. J. Perempuan No. 42. Vol.2 Februari 2005
Miles BM, Huberman AM. 1992. Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press.
119
Miller K. 2002. Communication Theories: Perspective, Processes, and Contexts. USA: McGraw-Hill Companies.
Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Rosda Karya.
Mugniesyah S.S. et al. 2010. Dasar-Dasar Komunikasi. Bogor: Sains KPM IPB Press.
Muhadjir. 2005. Negara dan Perempuan. Yogyakarta: Adipura.
Mulyana D. 2008. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remadja Rosdakarya.
_________. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remadja Rosdakarya.
Munaf M. 2004. Peran Gender dalam Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Studi Kasus di Kota Ternate Maluku Utara) [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Nugroho R. 2008. Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Poostchi I. 1986. Rural Development and the Developing Countries, Oshawa: The Alger Press, Ltd.
Rakhmat J. 1998. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Royat, S. 2008. Kebijakan Pemerintah dalam Penanggulangan Kemiskinan [makalah]. Jakarta. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
[RPuK] Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan. 2007. Buku Panduan Keadilan Gender dalam Program, Pertanian, Irigasi dan Perikanan. Banda Aceh: RpuK.
Saleh A. et al. 2010. Dasar-Dasar Komunikasi. Bogor: Sains KPM IPB Press. Salim A. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara
Wacana. Soekanto S. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar Jakarta: Rajawali Press.
Soetomo. 2008. Strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudirja R. 2007. Partisipasai Perempuan dalam Penyusuanan Program
Pembangunan Pertanian di Pedesaan: Pelatihan Participatory Rural Appraisal (PRA) [makalah]. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Suharni. 2003. Analisis Pengembangan Usaha Mikro Melalui Kredit Bank dengan Sistem Tanggung Renteng. J Hukum Dan Dinamika Masyarakat Vol. I No. 7 Oktober 2003.
Suharto E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.
120
Sulistiyani E. 2004. Pemberdayaan Sumberdaya Wanita Pedesaan ke Arah
Perbaikan Human Capital dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sulistyowati Y. 2005. Komunikasi Pemberdayaan. Yogyakarta: AMD Press.
Suprapto T. 2006. Pengantar Teori Komunikasi. Yogyakarta: Media Presindo. Sutomo. 1998. Menempatkan Masyarakat Pada Posisi Sentral dalam Proses
Pembangunan. Yogyakarta: J. Sosial Politik UGM. Vol. 2, No. I, Juli 1998. [UPK BKM Pondok Pari Bangkit]. 2010. Progress Kegiatan Pinjaman Bergulir
Bulan Juli-Desember 2010. Cirebon: UPK BKM Pondok Pari Bangkit. West R, Turner LH. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi
Jakarta: Salemba Humanika Wiryanto. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia. Wiyono A. 2005. Peranan Perempuan dalam Perumusan Perencanaan
Pembangunan Partisipatif (Penelitian Tentang Akses Partisipasi, Kontrol dan Manfaat Perempuan dalam Penyusunan Daftar Skala Prioritas Pembangunan pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan di Wilayah Kecamatan Laweyan Kota Surakarta Tahun 2005) [Tesis]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta.
121
LAMPIRAN
122
Lampiran 1. Pedoman penelusuran data dan informasi tentang gambaran umum obyek penelitian
Sumber Informasi : • Lurah Kenanga
• Staf kelurahan • Masyarakat
Instrumen :
• Penggalian dokumen monogram Kelurahan Kenanga
• Wawancara • Observasi lapangan
Informasi Data yang Dibutuhkan :
• Kondisi Geografis dan Administrasi Wilayah Kelurahan Kenanga
• Kondisi Demografis • Pelapisan Masyarakat dan Relevansinya
pada Kegiatan PNPM Mandiri Kelurahan Kenanga
• Sistem Komunikasi Masyarakat Kelurahan Kenanga
Pertanyaan yang Dikembangkan
• Berapa luas wilayah Kelurahan Kenanga? • Bagaimana batas-batas Kelurahan
Kenanga? • Bagaimana pembagian wilayah-wilayah
di Kelurahan Kenanga? • Bagimana postur masyarakat kelurahan
Kenanga berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan pekerjaan?
• Bagaimana pelapisan masyarakat Kelurahan Kenanga?
• Bagaimana peran masyarakat berdasarkan tingkat pelapisannya?
• Bagaimana pola-pola komunikasi yang ada pada masyarakat Kenanga?
• Apakah ada gatekeeper dalam system komunikasi masyarakat Kelurahan Kenanga?
123
Lampiran 2. Pedoman penelusuran data dan informasi tentang model komunikasi tingkat basis.
Sumber Informasi :
• Fasilatator kelurahan • Anggota BKM • Sekretaris BKM • Anggota masyarakat • Anggota KSM • Simpul Komunikasi • Relawan
Instrumen : • Penelitian partisipatif • Wawancara mendalam • Uji petik
Informasi Data yang Dibutuhkan :
• Komunikasi tingkat basis dalam berbagai dimensi.
• Aplikasi model komunikasi tingkat basis. • Model Komunikasi dalam aspek gender. • Komunikasi dalam kegiatan pinjaman
bergulir.
Pengembangan Pertanyaan :
• Model komunikasi apa yang digunakan dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga?
• Bagaimana aplikasi model dalam komunikasi pada masyarakat?
• Mengapa menggunakan model seperti itu? • Bentuk media internal apa saja yang dibuat
oleh BKM? • Sejauh mana efektivitas media tersebut dalam
mengkomunikasikan program? • Bagaimana pemahaman masyarakat dari
berbagai golongan terhadap filosofi, konsep serta aplikasi program?
• Mengapa terdapat hambatan dalam penginternalisasian program?
• Faktor-faktor apa saja yang menjadi hambatan penginternalisasian program?
• Mengapa terdapat perbedaan pengetahuan masyarakat antara kegiatan lingkungan, ekonomi dan sosial?
• Apa yang menjadi latar belakang perbedaan tersebut?
• Bagaimana penciptaan iklim komunikasi dalam komunikasi partisipatif?
124
• Bagaimana hubungan antara penciptaan iklim komunikasi dengan kepesertaan partispasi perempuan?
• Bagaimana keterlibatan perempuan dalam komunikasi partisipatif?
• Bagaimana peran perempuan dalam proses komunikasi?
• Bagaimana kegiatan pinjaman bergulir dikomunikasikan kepada masyarakat?
125
Lampiran 3. Pedoman penelusuran data dan informasi tentang internalisasi program
Sumber Informasi :
• Sekretaris BKM • Anggota masyarakat • Anggota KSM • Simpul Komunikasi • Relawan
Instrumen : • Penelitian partisipatif • Wawancara mendalam • Uji petik
Informasi Data yang Dibutuhkan :
• Pencitraan kegiatan PNPM Mandiri. • Internalisasi berdasarkan keragaman
karakteristik.
Pengembangan Pertanyaan :
• Faktor-faktor apa saja dalam konteks komunikasi yang menjadi hambatan penginternalisasian program?
• Bagaimana citra program PNPM Mandiri di tengah masyarakat?
• Faktor apa saja yang menghambat penginternalisasian program dari aspek sosial budaya?
• Bagaimana penginternalisasian dari berbagai keragaman karakter?
• Mengapa terdapat perbedaan pengetahuan masyarakat antara kegiatan lingkungan, ekonomi dan sosial?
126
Lampiran 4. Pedoman penelusuran data dan informasi tentang kesadaran kritis pengarusutamaan gender.
Sumber Informasi : • Fasilitator Kelurahan
• Anggota BKM • Sekretaris BKM • Manajer Unit Pengelola Keuangan • Anggota KSM Pinjaman Bergulir • Masyarakat Umum
Instrumen : • Penelitian partisipatif • Wawancara mendalam
Informasi Data yang Dibutuhkan :
• Gambaran kegiatan pinjaman bergulir • Aksesibilitas perempuan terhadap
pinjaman bergulir • Peran perempuan dalam kelembagaan
UPK • Tanggung jawab perempuan dalam
pelaksanaan pinjaman bergulir • Pembangunan kontrol sosial kegiatan
pinjaman bergulir
Pengembangan Pertanyaan
• Kapankah kegiatan pinjaman bergulir dilaksanakan?
• Sudah berapa KSM kah yang sudah mendapat dana pinjaman bergulir?
• Bagaimanakah komposisi pemanfaat pinjaman bergulir dari sisi gender?
• Bagaimanakah mekanisme pelaksanaan pinjaman bergulir?
• Bagaimana peran perempuan di kelembagaan unit pengelola keuangan?
• Bagaimana kemampuan manajerial kaum perempuan dalam mengelola unit keuangan?
• Bagimana keragaman perempuan pemanfaat pinjaman bergulir?
• Bagaimana pengelolaan dana pinjaman bergulir oleh perempuan?
• Apakah pinjaman bergulir sudah mengikuti pola pengelolaan ekonomi rumah tangga (PERT)?
• Bagaimana kemampuan perempuan membentuk kelompok pinjaman bergulir?
• Bagaimana tanggung jawab dari aspek gender terhadap pinjaman bergulir?
•
127
• Apakah pola tanggung renteng dilaksanakan dalam kegiatan pinjaman bergulir?
• Bagaimana kontrol sosial sesama pemanfaat pinjaman bergulir?
• Bagaimana kontrol BKM kepada UPK sebagai pelaksana kegiatan pinjaman bergulir?
128
Lampiran 4. Dokumentasi foto kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon
Pertemuan BKM dengan KSM lingkungan. Kegiatan ini dalam rangka laporan KSM dalam melaksanakan program. Dari aspek gender, pertemuan ini tidak
dihadiri oleh perempuan.
Kegiatan Rapat Warga Tahunan (RWT) merupakan sarana komunikasi organisasi BKM kepada masyarakat dalam rangka laporan progres kegiatan selama satu
tahun. RWT dihadiri oleh perwakilan masyarakat (simpul-simpul komunikasi).
129
Pencairan dana kepada KSM pinjaman bergulir. Kebanyakan pemanfaat pada kegiatan ini adalah perempuan.
Kegiatan pendampingan oleh fasilitator kelurahan. Pendampingan ditujukan untuk memperkuat kelembagaan BKM sehingga BKM mampu menjalankan siklus-
siklus yang ada pada kegiatan PNPM Mandiri.
130
Partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat menunjukkan kesadaran kritis masyarakat dalam refleksi diri pada kemiskinan.
Pencairan dana kepada KSM pembangunan infrastruktur lingkungan warga. Dalam kegiatan PNPM kegiatan yang dilakukan bertumpu pada masyarakat
termasuk di dalamnya pengelolaan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat.
131
Papan informasi. Papan Informasi merupakan sarana komunikasi BKM dengan masyarakat dalam hal ini BKM memberikan informasi-informasi seputar kegiatan
PNPM Mandiri.
Hasil kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga. MCK merupakan sarana kesehatan masyarakat yang dibangun oleh KSM bidang lingkungan.
132
56