kondisi sosial-ekonomi kepulauancoremap.or.id/downloads/baseline_sosek_pangkajene_2007.pdfrangkuman...

143

Upload: trandien

Post on 16-Sep-2018

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan
Page 2: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

KONDISI SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II : KASUS KABUPATEN PANGKAJENE DAN

KEPULAUAN

Page 3: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

KONDISI SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II : KASUS KABUPATEN PANGKAJENE DAN

KEPULAUAN

Mita Noveria Aswatini

Dewi Harfina Alvini Pranoto

LIPI COREMAP-LIPI

CRITC – LIPI2006

Page 4: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

KATA PENGANTAR

Coremap fase II yang telah dimulai sejak tahun 2004 dan direncanakan akan dilaksanakan sampai dengan tahun 2009 bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumberdaya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Keberhasilan Coremap dapat dikaji dari berbagai aspek, diantaranya dari aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan akan tercapai peningkatan tutupan karang sebesar 5 persen per tahun, sedangkan dari aspek sosial ekonomi diharapkan terjadi peningkatan pendapatan penduduk dan jumlah penduduk yang mempunyai kegiatan ekonomi berbasis sumberdaya terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya sebesar 10 persen pada akhir program.

Keberhasilan Coremap salah satunya dipengaruhi oleh kesesuaian desain program dengan permasalahan yang ada. Oleh karena itu sangat penting pada masa persiapan melakukan perencanaan program yang didukung oleh data dasar aspek sosial-ekonomi berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya terumbu karang. Selain dipergunakan sebagai masukan-masukan dalam merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu karang ini juga penting untuk melakukan evaluasi keberhasilan program. Untuk mendapatkan data dasar tersebut perlu dilakukan baseline studi sosial ekonomi yang bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kondisi sosial-ekonomi, budaya masyarakat di lokasi Coremap sebelum program berjalan. Hasil baseline studi sosial-ekonomi ini merupakan titik awal (T0) yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum program/intervensi Coremap dilakukan.

Buku laporan ini merupakan hasil dari baseline studi sosial-ekonomi yang dilaksanakan di lokasi-lokasi Coremap di Indonesia bagian Timur (lokasi World Bank). Baseline studi sosial-ekonomi dilakukan oleh tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari Kedeputian IPSK - LIPI.

Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku laporan melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti melakukan baseline studi ini.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

iii

Page 5: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Kepada para informan: masyarakat, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat Desa Mattiro Bombang (Kecamatan Liukang Tupabbiring) dan Kelurahan Pundata Baji (Kecamatan Labakkang) kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsure, dari Pemerintah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Unit pelaksana Coremap di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, serta berbagai pihak yang ada di daerah yang telah membantu memberikan data dan informasi.

Pada akhirnya, kami menyadari bahwa draft laporan ini masih jauh dari sempurna meskipun tim peneliti telah berusaha sebaik mungkin dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan ini.

Jakarta, Januari 2007 Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI Prof. DR. Ono Kurnaen Sumadiharga, MSc.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II iv

Page 6: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

RANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia”

yang dilakukan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman mengenai kondisi sosial demografi masyarakat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya laut pada umumnya dan terumbu karang pada khususnya. Untuk memperoleh gambaran yang lebih spesifik mengenai kondisi masyarakat, penelitian ini menggunakan studi kasus di dua lokasi, masing-masing satu lokasi di kawasan kepulauan (Desa Mattiro Bombang, Kecamatan Liukang Tupabbiring) dan kawasan pesisir (Kelurahan Pundata Baji, Kecamatan Labakkang). Penelitian ini mengumpulkan data primer dan data sekunder dari berbagai sumber. Data primer terdiri dari data kuantitatif dan kualitatif yang dikumpulkan dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan melalui survei, menggunakan kuesioner yang ditanyakan kepada rumah tangga sampel yang dipilih secara random. Selanjutnya, data kualitatif dikumpulkan dengan teknik wawancara, mendalam, diskusi kelompok terfokus dan observasi. Pada pengumpulan data kualitatif narasumber dipilih berdasarkan pengetahuan dan penguasaan mereka terhadap informasi yang hendak digali. Narasumber untuk pengumpulan data kualitatif antara lain anggota rumah tangga sampel, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah mulai dari tingkat kabupaten sampai di tingkat desa/kelurahan. Data sekunder mencakup berbagai publikasi yang berkaitan dengan sumberdaya laut serta pemanfaatannya yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kabupaten Pangkep menggantungkan hidup mereka pada sektor pertanian (dalam arti luas). Hal ini terlihat dari besarnya proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Dari beberapa sub-sektor yang tercakup dalam sektor pertanian ini, pekerjaan di bidang perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikakan budidaya, merupakan sumber matapencaharian yang dominan. Di beberapa daerah seperti di Kecamatan Labakkang, usaha perikanan budidaya lebih dominan dibandingkan dengan perikanan tangkap. Posisi geografis Kabupaten Pangkep yang terletak di pesisir dan juga di kepulauan menyebabkan daerah ini mempunyai potensi perikanan yang besar.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

v

Page 7: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Besarnya peran sektor pertanian terhadap kondisi ekonomi masyarakat tercermin pula pada sumbangan sektor ini terhadap PDRB Kabupaten Pangkep. Meskipun tidak selalu menempati posisi teratas, sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB kabupaten ini tergolong tinggi setiap tahun. Jika diperhatikan lebih dalam, maka dari lima sub-sektor yang termasuk sektor pertanian (yaitu tanaman pangan, tanaman perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan), sub-sektor perikanan memberikan sumbangan yang paling besar terhadap sektor pertanian.

Kegiatan penangkapan ikan pada umumnya masih dilakukan secara tradisional, menggunakan perahu/kapal dengan motor berkapasitas kecil. Sebagian nelayan bahkan melakukan penangkapan ikan menggunakan perahu tanpa motor karena tidak mampu membeli mesin perahu. Alat tangkap yang paling banyak digunakan nelayan adalah jaring, dengan berbagai jenis seperti jaring ikan tenggiri, jaring kepiting dan jaring udang. Banyak diantara mereka yang tidak mempunyai jaring dalam jumlah besar. Dengan armada tangkap yang tradisional ditambah alat tangkap yang juga terbatas, maka nelayan mengalami kesulitan untuk memperoleh pendapatan besar. Terlebih lagi pada saat gelombang laut besar, kemampuan kapal yang terbatas menyebabkan mereka tidak dapat melakukan kegiatan kenelayanan. Oleh karena itu, pada saat itu pendapatan yang diperoleh lebih kecil dibandingkan pada waktu gelombang lemah.

Hasil penelitian menunjukkan fluktuasi pendapatan nelayan menurut kondisi gelombang laut. Pada saat gelombang lemah nelayan memperoleh pendapatan tertinggi, sedangkan pendapatan terendah diperoleh ketika gelombang laut kuat. Di kawasan kepulauan, pendapatan rata-rata rumah tangga yang terpilih sebagai sampel penelitian pada musim gelombang lemah sebesar Rp. 539.100,- per bulan, sedangkan pada gelombang kuat pendapatan rata-rata mereka turun menjadi Rp. 486.900,- setiap bulan. Hal yang sama juga ditemui di wilayah pesisir, dengan rata-rata pendapatan rumah tangga sampel sebesar Rp. 1.378.600,- setiap bulan, pada saat gelombang lemah, sedangkan pada musim gelombang kuat menurun drastis menjadi Rp. 135.000,- per bulan.

Secara umum rata-rata pendapatan rumah tangga sampel per bulan relatif kecil. Keadaan ini terutama ditemukan di kawasan kepulauan. Sebanyak 50 persen rumah tangga di kawasan ini mempunyai pendapatan paling tinggi Rp. 402.000,- per bulan. Rumah tangga sampel di kawasan pesisir mempunyai kondisi ekonomi yang lebih baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa separuh rumah tangga di kawasan pesisir mempunyai pendapatan paling tinggi sebesar Rp. 975.000,- setiap bulan. Bervariasinya

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II vi

Page 8: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

jenis pekerjaan yang tersedia di kawasan pesisir kemungkinan berpengaruh terhadap pendapatan penduduk, antara lain karena mereka bisa mempunyai lebih dari satu jenis pekerjaan. Jumlah rata-rata pendapatan rumah tangga di kawasan kepulauan setiap bulan juga lebih rendah daripada rumah tangga di kawasan pesisir. Penelitian ini mendapatkan bahwa pendapatan rata-rata rumah tangga sampel di kawasan kepulauan sebesar Rp. 547.250,- setiap bulan, sedangkan pada rumah tangga di kawasan pesisir sebesar Rp. 1.137.574,- per bulan. Namun demikian, data ini perlu diinterpretasikan secara hati-hati karena besarnya perbedaan jumlah pendapatan tertendah dengan pendapatan yang tertinggi diantara seluruh rumah tangga terpilih.

Nelayan di Kabupaten Pangkep, baik yang berkerja di perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, sangat tergantung pada pemilik modal yang biasanya juga berperan sebagai pedagang pengumpul. Hubungan ketergantungan ini terwujud dalam bentuk pemberian bantuan kepada nelayan, biasanya dalam bentuk uang, baik untuk biaya produksi maupun untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagai imbalannya, nelayan harus menjual produksi mereka kepada pedagang pengumpul yang memberi bantuan, dengan harga yang ditetapkan oleh mereka. Selain itu, tidak tersedianya tempat pelelangan ikan (TPI) di sekitar tempat tinggal nelayan menyebabkan pilihan termudah untuk memasarkan produksi mereka adalah melalui perantara pedagang pengumpul. Padahal, jika penjualan langsung dilakukan nelayan di TPI yang penentuan harganya dilakukan melalui sistim lelang dengan penawaran harga tertinggi, nelayan bisa menjual produksi mereka dengan harga lebih tinggi.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa narasumber di lokasi penelitian diketahui bahwa pendapatan nelayan saat ini menurun dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Salah satu kemungkinan yang menyebabkan hal ini adalah rusaknya terumbu karang yang menjadi tempat hidup berbagai jenis sumberdaya laut, terutama ikan. Hal ini didukung oleh data tentang kondisi terumbu karang yang memperlihatkan lebih dari separuh tutupan terumbu karang di perairan Pangkep berada dalam kondisi rusak. Penyebab utama kerusakan terumbu karang tersebut adalah kegiatan eksploitasi sumberdaya laut yang tidak ramah lingkungan, yang dilakukan oleh manusia seperti penggunaan bom, sianida dan armada kapal trawl untuk menangkap ikan. Penduduk setempat mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh nelayan yang berasal dari luar daerah.

Penelitian ini menemukan bahwa pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya terumbu karang bagi kelangsungan hidup

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

vii

Page 9: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

ikan dan ekosistim laut cukup tinggi. Oleh karena itu, mereka berupaya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat merusak terumbu karang dan juga menjaga daerah mereka dari kegiatan pengrusakan yang dilakukan oleh nelayan dari luar daerah. Namun demikian, kapal yang mereka miliki mempunyai kemampuan yang lebih kecil daripada kapal yang digunakan oleh nelayan dari luar, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk mengusir pelaku perusakan. Oleh karena itu, penting untuk membekali mereka dengan sarana pendukung, seperti kapal dengan kemampuan berlayar yang cepat, agar penduduk setempat dapat menjalankan fungsi sebagai pelindung wilayah kepulauan mereka.

Mengingat kondisi masyarakat di lokasi penelitian, beberapa upaya dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian terumbu karang dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Salah satu diantaranya adalah penciptaan alternatif pekerjaan yang tidak sepenuhnya tergantung pada sumberdaya laut. Kegiatan budidaya perikanan nampaknya merupakan salah satu pilihan yang rasional mengingat kegiatan tersebut tidak terlalu berbeda dengan yang telah mereka lakukan selama ini. Namun demikian, diperlukan dukungan berupa pembinaan dan pendampingan serta bantuan modal sampai mereka berhasil panen. Dengan demikian kesinambungan kegiatan ini dapat dicapai. Beberapa upaya lainnya adalah mengembangkan pekerjaan-pekerjaan yang selama ini belum pernah dilakukan oleh masyarakat. Beberapa diantaranya adalah pembuatan kerajinan misalnya berupa hiasan dinding dari bahan kulit kerang yang banyak ditemukan di sekitar tempat tinggal penduduk. Pekerjaan ini terutama dapat dikembangkan bagi kelompok perempuan. Selain itu, pengembangan potensi pariwisata juga dapat menjadi sumber mata pencaharian penduduk. Hal ini didukung oleh keindahan laut yang mengelilingi wilayah Kabupaten Pangkep, serta peninggalam budaya yang ada. Namun demikian, diperlukan upaya yang sungguh dari berbagai pihak agar kegiatan ini dapat dilaksanakan.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II viii

Page 10: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

DAFTAR ISI

PENGANTAR .................................................................................. iii RANGKUMAN ............................................................................... v DAFTAR ISI..................................................................................... vii DAFTAR TABEL............................................................................. ix DAFTAR GAMBAR........................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN..................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN............................................................ 1

1.1. Latar Belakang........................................................ 1 1.2. Tujuan Penelitian .................................................... 5 1.3. Metode Penelitian ................................................... 7 1.4. Organisasi Penulisan............................................... 10

BAB II PROFIL LOKASI PENELITIAN..................................... 11

2.1 Kondisi Geografis ................................................... 11 2.2 Sumber Daya Alam................................................. 16

2.2.1 Sumber daya alam di darat......................... 16 2.2.2 Sumber daya alam di laut........................... 18 2.2.3 Potensi wisata alam/budaya ....................... 20

2.3. Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi.................... 21 2.3.1. Sarana Pendidikan ..................................... 21 2.3.2. Sarana Kesehatan....................................... 23 2.3.3. Sarana Ekonomi......................................... 25 2.3.4. Sarana Komunikasi ..................................... 27

2.4. Pengelolaan Sumber Daya Laut ............................. 28 2.4.1. Kebijakan .................................................. 28 2.4.2. Pemanfaatan SDL: Produksi dan Pemasaran 31 2.4.3. Pengelolaan Wilayah Penangkapan ........... 38 2.4.4. Teknologi (alat dan armada tangkap) ........ 41 2.4.5. Permasalahan dalam Pengelolaan Sumber

daya laut..................................................... 46

BAB III PROFIL SOSIO-DEMOGRAFI PENDUDUK................ 49

3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk..................... 49 3.2. Pendidikan ........................................................ 57 3.3. Pekerjaan .......................................................... 64

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

ix

Page 11: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

3.4. Kesejahteraan.................................................... 70 3.4.1. Pemilikan dan Penguasaan Aset produksi 70 3.4.2 Kondisi Tempat Tinggal dan kepemilikan

aset non produksi ....................................... 74

BAB IV PENDAPATAN ................................................................ 77

4.1. Pendapatan Kabupaten Pangkep............................. 77 4.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Pangkep 78 4.1.2. Sektor Ekonomi: sumbangannya terhadap

PDRB dan pertumbuhannya ...................... 79 4.1.3. Pendapatan dari Sektor Pertanian dan Sub-

Sektor Perikanan........................................ 83 4.2. Pendapatan Rumah Tangga Terpilih....................... 84

4.2.1. Desa Mattiro Bombang, Kecamatan Liukang Tuppabiring ............................................... 85

4.2.2. Kelurahan Pundata Baji, Kecamatan Labakkang ................................................. 95

4.3. Sintesa Pendapatan ................................................. 104 4.3.1. Faktor Internal ........................................... 104 4.3.2. Faktor Eksternal......................................... 105 4.3.3. Struktural ................................................... 106

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................ 109 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 116 LAMPIRAN...................................................................................... 118

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II x

Page 12: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kalender Musim Gelombang Laut di Desa Mattiro Bombang dan Kelurahan Pundata Baji Menurut Bulan 15

Tabel 2.2 Pulau dan Jenis tangkapan ......................................... 38 Tabel 2.3 Jumlah dan Jenis Kendaraan di Atas Air Menurut

Pulau, Desa Mattiro Bombang Kecamatan Liukang Tuppabiring, 2004...................................................... 42

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Menurut Kecamatan, Jenis Kelamin, Kepadatan dan Rasio Jenis Kelamin, 2004 ................ 50

Tabel 3.2 Penduduk Kecamatan Liukang Tupabbiring Menurut Desa, Jenis Kelamin, Kepadatan dan Rasio Jenis Kelamin, 2003............................................................ 52

Tabel 3.3 Penduduk Kecamatan Labakkang Menurut Desa/Kelurahan, Jenis Kelamin, Kepadatan dan Rasio Jenis Kelamin, 2003................................................... 53

Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Desa Mattiro Bombang Menurut Pulau dan Jenis Kelamin, 2005 .................................. 55

Tabel 3.5 Penduduk Kelurahan Pundata Baji Menurut Kelompok Umur, 2005 ................................................................ 55

Tabel 3.6 Distribusi Penduduk Usia 5 tahun ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2005 (%) ................................................. 58

Tabel 3.7 Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 10 tahun keAtas Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2003 (%)..... 60

Tabel 3.8 Penduduk Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, Kelurahan Pundata Baji Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2005............................................................................ 63

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

xi

Page 13: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tabel 3.9 Distribusi Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha dan Kecamatan, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2003 (%)..... 65

Tabel 3.10 Distribusi Penduduk yang Bekerja Menurut Desa dan Lapangan Usaha, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2005 (%)..... 66

Tabel 3.11 Distribusi ART Terpilih Menurut Status Pekerjaan Utama dan Desa/Lokasi Penelitian, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (%) ....................... 69

Tabel 3.12. Jenis Sarana Penangkapan ikan yang dikuasai menurut jumlah dan Kepemilikan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2003 ........................................................ 71

Tabel 3.13. Jenis Alat Penangkapan Ikan yang dikuasai Menurut Kepemilikan, 2003 ..................................................... 71

Tabel. 3.14. Tabel Kondisi Tempat Tinggal dan Sumber Air Minum di Kabupaten Pangkep Berdasarkan Kecamatan.................................................................. 75

Tabel 4.1 PDRB Kabupaten Pangkep Atas Harga Berlaku, 19990-2003 ................................................................ 78

Tabel 4.2 Distribusi PDRB Kabupaten Pangkep Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku, 1999-2003 (dengan Semen Tonasa) .................................... 80

Tabel 4.3 Distribusi PDRB Kabupaten Pangkep Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku, 1999-2003 (tanpa Semen Tonasa) ....................................... 81

Tabel 4.4 Pertumbuhan Riil Setiap Sektor Ekonomi Kabupaten Pangkep, 1999-2003 (%) ........................................... 82

Tabel 4.5 Statistik Pendapatan Rumah Tangga Desa Mattiro Bombang, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006............................................................................ 87

Tabel 4.6 Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan, Desa Mattiro Bombang, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (N=100) ............... 88

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II xii

Page 14: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tabel 4.7 Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Kepala Rumah Tangga dan Besar Pendapatan, Desa Mattiro Bombang, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (N=100) ............... 89

Tabel 4.8 Statistik Pendapatan Rumah Tangga Dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, Desa Mattiro Bombang, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (N=96)............................................................... 91

Tabel 4.9 Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim, Desa Mattiro Bombang, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (%) (N=96)........................................................ 93

Tabel 4.10 Statistik Pendapatan Rumah Tangga Kelurahan Pundata Baji, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006............................................................................ 98

Tabel 4.11 Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan, Kelurahan Pundata Baji, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (N=100) ............... 99

Tabel 4.12 Statistik Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Kepala Rumah Tangga, Kelurahan Pundata Baji, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 ........................................................ 101

Tabel 4.13 Statistik Pendapatan Rumah Tangga Dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, Kelurahan Pundata Baji, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (N=18)........................................................................ 102

Tabel 4.14 Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim, Kelurahan Pundata Baji, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (%) (N=18)........................................................ 103

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

xiii

Page 15: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Peta Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan .............. 12

Gambar 2.2 Peta Lokasi Penelitian ............................................... 13

Gambar 2.3 Sebaran Karang dan Persentase Tutupan Karang Hidup di Perairan Kabupaten Pangkep ...................... 19

Gambar 2.4 Peraturan Mengenai Zona Perlindungan Laut dan Wilayah Zona Perlindungan Laut .............................. 30

Gambar

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II xiv

Page 16: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Gambar 2.5 Rantai Pemasaran Ikan di Desa Mattiro Bombang . 35

Gambar 2.6 Rantai Pemasaran Ikan Bandeng di Kelurahan Pundata Baji............................................................ 36

Gambar 2.7 Rantai Pemasaran Udang Windu di Kelurahan Pundata Baji............................................................ 37

Gambar 2.8 Rantai Pemasaran Kepiting..................................... 38

Gambar 2.9 Peta wilayah tangkap nelayan Desa Mattiro Bombang................................................................. 40

Gambar 2.10 Peta Wilayah tangkap Nelayan Pesisir Kelurahan Pundata Baji............................................................ 41

Gambar 3.1 Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2003 (%) .............................................. 51

Gambar 3.2 Distribusi ART Sampel Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Desa Mattiro Bombang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (%).. 56

Gambar 3.3 Distribusi ART Sampel Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Kelurahan Pundata Baji Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (%).. 57

Gambar 3.4 Distribusi Penduduk Usia 5 tahun ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2005 (%).. 61

Gambar 3.5 Distribusi Anggota Rumah Tangga Terpilih Usia 7 tahun ke atas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Lokasi Penelitian, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2005 (%).. 64

Gambar 3.6 Distribusi ART Terpilih Menurut Lapangan Pekerjaan Utama dan Desa/Lokasi Penelitian, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (%).. 68

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

xv

Page 17: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II xvi

Page 18: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Lampiran Tabel 1 Jumlah Sekolah, Murid dan Guru Sekolah Dasar

Menurut Kecamatan di Kab Pangkep, 2003..... 118

Lampiran Tabel 2 Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SLTP menurut Kecamatan di Kab Pangkep, 2003 ................... 118

Lampiran Tabel 3 Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SLTA Menurut Kecamatan di Kab Pangkep, 2003..... 118

Lampiran Tabel 4 Produksi Perikanan Laut di Kabupaten Pangkep, Tahun 1999-2002 ............................................. 119

Lampiran Tabel 5 Produksi Budidaya Tambak Kabupaten Pangkep, Tahun 1999-2002 ............................. 120

Lampiran Tabel 6 Distribusi Rumah Tangga Terpilih yang Mempunyai Pendapatan < Rp. 500.000,- Menurut Besar Pendapatan, Desa Mattiro Bombang, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (Persen) (N=61) ................... 120

Lampiran Konsep dan Definis .................................................. 121

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

xvii

Page 19: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagai negara bahari yang sekitar 70 persen dari luas wilayahnya merupakan wilayah perairan, Indonesia dilimpahi dengan potensi sumberdaya laut. Potensi tersebut sangat beragam jenisnya dan dalam jumlah yang besar. Salah satu dari sumberdaya laut yang menjadi kekayaan Indonesia adalah terumbu karang yang antara lain berfungsi sebagai tempat hidup berbagai jenis ikan, disamping juga untuk menjaga ekosistem laut dalam arti luas.

Kondisi terumbu karang di perairan Indonesia saat ini memprihatinkan karena banyak yang sudah rusak. Berdasarkan hasil pemantauan di 686 lokasi stasiun pantau, secara keseluruhan di Indonesia hanya 5,83 persen terumbu karang dalam kondisi sangat baik, dan sekitar 25,66 persen berada dalam keadaan baik.1 Sisanya, sebanyak 36,59 persen dan 31,92 persen masing-masing dalam kondisi cukup dan kurang (Suharsono, 2005). Kerusakan terparah terumbu karang ditemukan di wilayah timur Indonesia. Data dari 195 lokasi stasiun menunjukkan bahwa 42,05 persen terumbu karang berada dalam kondisi kurang, dan hanya 6,15 persen sumberdaya tersebut dalam kondisi sangat baik.

Di wilayah Kabupaten Pangkejene dan Kepulauan (Pangkep), salah satu wilayah yang terletak di Indonesia bagian timur, kondisi terumbu karang tidak berbeda dengan berbagai wilayah lainnya. Hasil pengamatan dari 18 lokasi stasiun memperlihatkan bahwa kondisi terumbu karang tergolong kurang di 11 lokasi sementara sisanya hanya dalam kategori cukup. Artinya, lebih dari separuh tutupan terumbu karang di wilayah kabupaten ini dalam kondisi rusak. Mengingat perannya yang sangat besar terhadap kondisi ekosistim laut, maka dapat dibayangkan kerugian yang mungkin timbul akibat kondisi terumbu karang yang rusak tersebut. Pada

1 Kondisi terumbu karang berdasarkan persentase luas tutupannya dikategorikan sebagai berikut:

- Sangat baik : 75-100 persen - Baik : 50-74,9 persen - Cukup : 25-49,9 persen - Kurang : 0-24,9 persen

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 1

Page 20: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

lingkup yang lebih luas, keadaan ini berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat.

Berbagai faktor berperan dalam menimbulkan kerusakan terumbu karang, baik faktor alam maupun manusia. Beberapa organisme laut yang berperan sebagai predator --diantaranya adalah bintang laut -- serta bencana alam, seperti yang terjadi di wilayah utara pulau Sumatra pada penghujung tahun 2004, merupakan faktor alam yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. Dari sisi manusia, kegiatan eksploitasi alam tanpa memperhatikan kelestariannya menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan terumbu karang, seperti pengunaan bom dan racun dalam kegiatan penangkapan ikan serta pembuangan limbah (industri dan rumah tangga) ke laut, untuk menyebutkan beberapa diantaranya.. Di Indonesia pada umumnya, manusia memainkan peranan yang besar dalam menimbulkan kerusakan terumbu karang karena kerusakan terbesar sumberdaya ini disebabkan oleh penggunaan bom untuk menangkap ikan (Coremap, 1998).

Fenomena yang sama juga terjadi di wilayah Kabupaten Pangkep. Penggunaan bom dan racun untuk menangkap ikan telah menyebabkan kerusakan terumbu karang yang parah di beberapa wilayah. Di lingkungan kepulauan Spermonde, umpamanya, intensitas penggunaan bom dan racun sangat tinggi di pulau-pulau yang tidak berpenghuni seperti Kapoposang, Pandagang, Bontosua, Sanane, Salekbok dan Samatello (hasil FGD dengan pejabat di Kecamatan Liukang Tupabbiring). Pelaku pengeboman pada umumnya penduduk setempat yang bekerja pada kapal-kapal penangkap ikan milik orang luar, termasuk pengusaha asal Makassar. Ketergantungan ekonomi karena ikatan hubungan punggawa-sawi menyebabkan kegiatan pengeboman dan penggunaan racun ini terus berlangsung. Meskipun masyarakat setempat berusaha menghalangi kegiatan tersebut, dalam kenyataannya mereka seringkali mengalami kesulitan. Armada yang dimiliki oleh penduduk setempat tidak mampu mengimbangi kecepatan armada yang digunakan oleh pelaku pengeboman (hasil FGD dengan nelayan di Pulau Salemo). Selain itu, kurang tegasnya penegakan hukum menyebabkan aktivitas pengeboman sulit dihentikan. Dengan intensitas kegiatan tersebut, maka kerusakan terumbu karang sulit dihindari dan bukan tidak mungkin akan semakin parah seiring dengan berjalannya waktu.

Sebagai respons terhadap masalah kerusakan terumbu karang ini, pemerintah Indonesia telah meluncurkan suatu program pengelolaan terumbu karang yang dinamakan Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Program). Tujuan utama dari program ini adalah untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya terumbu karang yang berkelanjutan untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Coremap, 1998).

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 2

Page 21: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Fase pertama Coremap dilaksanakan di sepuluh propinsi, yaitu Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, Riau dan Sumatra Barat. Salah satu penekanan dari program Coremap pada fase ini adalah pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan terumbu karang karena keterlibatan masyarakat menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilannya. Oleh karena itu, pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) menjadi salah satu komponen penting dalam program ini.

Program Coremap fase pertama kemudian diikuti oleh program yang sama untuk fase kedua. Sedikit mengalami perluasan dari tujuan program fase sebelumnya, Coremap fase kedua ini lebih ditekankan pada terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan agar sumberdaya laut ini dapat direhabilitasi, dilindungi dan dikelola. Semua kegiatan tersebut bermuara pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Sejalan dengan semangat otonomi daerah, pelaksanaan pengelolaan ekosistem terumbu karang ini juga didesentralisasikan kepada pemerintah daerah (kabupaten) dengan sistim pendanaan yang berkelanjutan. Desentralisasi kegiatan ini dilakukan untuk mendukung dan memberdayakan masyarakat pantai dalam co-menejemen sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan. Hal ini bertujuan agar kerusakan sumberdaya tersebut dapat dicegah, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Namun demikian, kegiatan ini dikoordinir secara nasional.

Tercapainya tujuan Coremap dilihat dari beberapa indikator yang mencakup berbagai aspek. Beberapa diantaranya adalah aspek biofisik dan sosial ekonomi. Dari aspek biofisik, melalui program ini diharapkan akan terjadi peningkatan tutupan karang paling sedikit sebanyak lima persen setiap tahun sampai menyamai daerah yang telah dikelola dengan baik atau ’pristin area’ (daerah terumbu karang yang masih asli atau yang belum dimanfaatkan). Selanjutnya, dari aspek ekonomi indikator pencapaian tujuan Coremap adalah sebagai berikut:

1) Peningkatan pendapatan dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya sebesar sepuluh persen pada akhir program (tahun 2009);

2) Sedikitnya 70 persen dari masyarakat nelayan (beneficiaries) di kabupaten lokasi program merasakan dampak positif Coremap terhadap tingkat kesejahteraan dan status sosial ekonominya (World Bank, 2004).

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 3

Page 22: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Sebagai program yang berkelanjutan, COREMAP fase kedua ini dilakukan di propinsi-propinsi yang menjadi lokasi kegiatan pada fase pertama. Namun demikian, terjadi perubahan, terutama akibat penambahan, lokasi kegiatan program pada tiap-tiap propinsi. Di Propinsi Sulawesi Selatan, misalnya, jika pada COREMAP fase pertama hanya Kabupaten Selayar yang menjadi lokasi kegiatan, pada fase kedua lokasinya diperluas dengan memasukkan Kabupaten Pangkep. Secara keseluruhan, sebanyak 37 desa di 10 kecamatan (dari 12 kecamatan)2 yang terdapat di Kabupaten Pangkep akan dijadikan lokasi COREMAP fase kedua ini. Lokasi COREMAP pada tahun 2005 meliputi 20 desa/kelurahan, yaitu 5 desa/kelurahan di daerah pesisir3 dan 15 desa kepulauan.4 Pada tahun 2006 kegiatan dilaksanakan di 21 desa/kelurahan, masing-masing 6 desa/kelurahan di pesisir dan 15 desa di wilayah kepulauan.5 Selanjutnya, pada tahun 2007 COREMAP akan dilaksanakan di 37 desa/kelurahan, yaitu sebanyak 21 desa/kelurahan yang menjadi kegiatan program tahun 2006 ditambah dengan 15 desa di Kecamatan Liukang Tangaya6 dan Liukang

2 Dua kecamatan yang tidak direncanakan sebagai lokasi program ini adalah Balocci dan Tondong Tallasa yang bukan wilayah pesisir dan kepulauan. 3 Lima desa/kelurahan pesisir adalah:

- Kelurahan Tamarupa, Kecamatan Mandalle - Kelurahan Bawasalo, Kecamatan Segeri - Kelurahan Talaka, Kecamatan Ma’rang - Keluarah Pundata Baji, Kecamatan Labakkang - Desa Bulu Cindea, Kecamatan Bungoro

4 Limabelas desa di wilayah kepulauan terletak di Kecamatan Liukang Tupabbiring, yang termasuk wilayah kepulauan Spermonde, yaitu:

- Desa Mattiro Sompe - Desa Mattiro Bulu - Desa Mattiro Deceng - Desa Mattiro Dolangeng - Desa Mattiro Langie - Desa Mattiro Labangeng - Desa Mattiro Walie - Desa Mattiro Bone - Desa Mattiro Matae - Desa Mattiro Baji - Desa Mattiro Bombang - Desa Mattiro Ujung - Desa Mattiro Kanja - Desa Mattiro Adae - Desa Mattiro Uleng

5 Enam desa di wilayah pesisir meliputi: - Desa Tamarupa, Kecamatan Mandalle - Desa Bawasalo, Kecamatan Segeri - Desa Marang, Kecamatan Tondong Tallasa - Desa Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene - Kelurahan Pundata Baji, Kecamatan Labakkang - Desa Bulu Cindea, Kecamatan Bungoro

6 Desa-desa yang termasuk Kecamatan Liukang Tangaya adalah sebagai berikut: - Desa Sabalana - Desa Sailus - Desa Balobaloang - Desa Satanger - Desa Sabaru - Desa Kapoposang Bali

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 4

Page 23: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Kalmas7 serta tambahan 1 lokasi lainnya di Desa Mattiro Sompe, Kecamatan Liukang Tuppabiring. Semua desa di wilayah kepulauan dijadikan lokasi COREMAP dengan pertimbangan kerusakan terumbu karang yang sudah memprihatinkan, sementara mayoritas penduduk di wilayah tersebut mempunyai matapencaharian yang sepenuhnya tergantung pada sumberdaya laut.

Keberhasilan Coremap dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu diantaranya adalah kesesuaian antara disain program dengan permasalahan, potensi dan aspirasi masyarakat. Untuk merancang program yang sesuai dengan permasalahan dan potensi daerah serta yang juga mempertimbangkan aspirasi masyarakat, diperlukan data dasar sosial-ekonomi berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang. Untuk itulah dilakukan kegiatan penelitian agar data dasar tersebut dapat diperoleh. Data dasar sosial-ekonomi, mulai dari tingkat desa, kecamatan sampai tingkat kabupaten, yang diperoleh melalui penelitian dapat dipergunakan sebagai salah satu masukan dalam merancang program pengelolaan terumbu karang. Disamping itu, data tersebut juga diperlukan dan penting untuk melakukan evaluasi keberhasilan program. Data dasar sosial-ekonomi tersebut merupakan titik awal (T0) yang menyajikan gambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum dilaksanakannya program/intervensi COREMAP.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya laut, khususnya terumbu karang.

- Desa Sapuka - Desa Poleonro - Desa Tampaang

7 Kecamatan Liukang Kalmas terdiri dari desa-desa berikut ini: - Desa Doang-doangan - Desa Kalakalukuang - Desa Dewakang - Desa Sabaru - Desa Marasende - Desa Pammas - Desa Kanyurang

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 5

Page 24: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tujuan Khusus

Untuk mencapai tujuan umum di atas, beberapa tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan gambaran umum tentang lokasi COREMAP yang meliputi kondisi geografi, sarana dan prasarana, potensi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya laut, dan pola pemanfaatannya.

2. Menggambarkan kondisi sumberdaya manusia dengan penekanan pada aspek pendidikan dan kegiatan ekonomi, khususnya kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang.

3. Memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang diindikasikan antara lain dari pemilikan asset rumah tangga (produksi dan non produksi), kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan

4. Mendeskripsikan tingkat pendapatan masyarakat, khususnya pendapatan dari kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang.

5. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat.

Sasaran Penelitian

Sarasan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Tersedianya data dasar aspek sosial-ekonomi penduduk yang terkait dengan sumberdaya terumbu karang, yang dapat dipakai oleh para perencana, pengelola dan pelaksana untuk merancang, melaksanakan dan memantau program Coremap.

2. Tersedianya data pendapatan dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya pada awal program (T0) yang dapat dipakai untuk memantau dampak Coremap terhadap kesejahteraan penduduk.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 6

Page 25: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

1.3. Metode Penelitian

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di dua dari 35 desa/kelurahan yang menjadi lokasi COREMAP fase kedua di Kabupaten Pangkep. Keduanya adalah Kelurahan Pundata Baji yang terletak di Kecamatan Labakkang, yang mewakili wilayah pesisir, serta Desa Mattiro Bombang di Kecamatan Liukang Tupabbiring yang merupakan wilayah kepulauan. Kedua lokasi tersebut dipilih melalui konsultasi dengan PIU Kabupaten Pangkep dengan beberapa pertimbangan. Khusus untuk Desa Mattiro Bombang, pemilihannya dilakukan dengan pertimbangan bahwa desa ini merupakan lokasi beberapa survei untuk berbagai kegiatan, termasuk yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan. Untuk memperkaya data dan informasi yang telah ada, maka desa ini dipilih sebagai lokasi penelitian.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer mencakup data kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data kuantitif dilakukan melalui survey dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang diajukan kepada responden dalam rumah tangga terpilih. Kuesioner berisi pertanyaan-pertanyaan tentang individu serta rumah tangga yang perberkaitan dengan berbagai aspek. Pertanyaan-pertanyaan untuk individu antara lain umur, status dalam rumah tangga, pendidikan dan pekerjaan. Berbagai pertanyaan menyangkut kondisi rumah tangga yang terdapat dalam kuesioner antara lain pendapatan, baik dari sektor perikanan maupun dari sektor-sektor lainnya (yang diperoleh dari individu-individu yang bekerja dalam rumah tangga), pengeluaran serta pemilikan asset rumah tangga (ekonomi dan non-ekonomi). Data sekunder mencakup berbagai publikasi yang terkait dengan penduduk dan pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga seperti Bappeda, Bada Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep.

Data primer diperoleh dari beberapa sumber, antara lain anggota rumah tangga yang terpilih sebagai responden penelitian serta tokoh dan pemimpin masyarakat di desa/kelurahan dan kecamatan yang menjadi lokasi penelitian. Selanjutnya, pihak perencana dan pelaksana kebijakan, terutama yang terkait langsung dengan pengelolaan sumberdaya laut pada umumnya

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 7

Page 26: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

dan terumbu karang, khususnya, di tingkat kabupaten seperti dari Bappeda dan Dinas Kelautan dan Perikanan, juga menjadi sumber dari data primer. Pengumpulan data primer melalui survei dilakukan dengan bantuan penduduk setempat (pewawancara) yang memenuhi kriteria, antara lain yang pernah terlibat dalam kegiatan pengumpulan data yang dilakukan oleh BPS atau kegiatan pendataan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN). Sebelum kegiatan pengumpulan data dilakukan, para pewawancara ini diberi pelatihan, agar memiliki pemahaman yang sama terhadap pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner. Pelatihan dilanjutkan dengan kegiatan uji coba pengumpulan data untuk mengetahui pemahaman mereka terhadap isi kuesioner. Setelah itu, dilakukan pengumpulan data kepada responden dalam rumah tangga yang pemilihannya dilakukan oleh peneliti.

Pengumpulan data primer melalui kuesioner dilakukan terhadap 100 rumah tangga di masing-masing lokasi penelitian, yang dipilih secara random. Rumah tangga yang terpilih tersebar di setiap dusun yang terdapat di wilayah desa/kelurahan lokasi penelitian. Sebagai contoh, di Desa Mattiro Bombang yang wilayahnya mencakup empat pulau (Pulau Salemo yang terdiri dari 2 dusun, Pulau Sakuala, Sabangko dan Sagara, dengan masing-masing satu dusun), rumah tangga terpilih berasal dari keempat pulau tersebut. Pemilihan rumah tangga di tiap-tiap dusun di kedua lokasi penelitian dilakukan secara proporsional. Kuesioner ditanyakan kepada kepala rumah tangga (KRT). Jika KRT tidak bisa ditemui, anggota rumah tangga lain seperti istri atau anak yang sudah dewasa dan yang mengetahui kondisi rumah tangga dapat menggantikannya.

Selain data kuantitatif yang dikumpulkan menggunakan kuesioner, dalam penelitian ini juga dikumpulkan data kuantitatif. Data ini dikumpulkan untuk mendapatkan berbagai informasi yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Pengumpulan data kualitatif dilaksanakan oleh peneliti melalui beberapa teknik pengumpulan data, sesuai dengan data yang dikumpulkan. Teknik yang digunakan adalah wawancara mendalam, focus group discussion (FGD), participatory rapid appraisal (PRA) dan observasi. Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa narasumber seperti individu-individu yang menjadi anggota rumah tangga terpilih, tokoh masyarakat serta pejabat pemerintah yang memahami informasi/data yang hendak digali. Pemilihan individu-individu anggota rumah tangga terpilih untuk diwawancarai secara mendalam dilakukan untuk menggali lebih dalam informasi yang sudah didapatkan melalui kuesioner. Wawancara dengan berbagai narasumber di tingkat desa/kelurahan dilakukan untuk memperdalam pemahaman mengenai

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 8

Page 27: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

kondisi sosial ekonomi dan demografi penduduk di lokasi penelitian. Selanjutnya wawancara dengan para pejabat dari berbagai instansi di tingkat kabupaten bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut pada umumnya dan terumbu karang pada khususnya, serta implementasi kebijakan-kebijakan tersebut. FGD dan PRA dilakukan terhadap kelompok-kelompok nelayan, terutama untuk mendapatkan informasi mengenai wilayah tangkap serta berbagai informasi lainnya yang berkaitan dengan kegiatan kenelayanan. Pengumpulan data melalui observasi bertujuan untuk menambah pemahaman mengenai kondisi lokasi penelitian, terutama tentang kondisi lingkungan dan kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang serta sumberdaya laut lainnya.

Data sekunder dikumpulkan melalui desk review tentang berbagai publikasi yang memuat data dan informasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya laut. Publikasi yang dikumpulkan bervariasi mulai dari yang berisi data statistik, kebijakan, (rancangan) perundang-undangan sampai dengan hasil penelitian mengenai topik-topik yang terkait dengan pengelolaan terumbu karang serta kondisi (sosial ekonomi) penduduk pada umumnya. Dengan bervariasinya data yang dikumpulkan, maka analisis mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat dan pengelolaan terumbu karang dapat dilakukan secara komprehensif.

Analisis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif, sesuai dengan jenis data. Data kuantitatif dianalisis menggunakan tabulasi silang, untuk melihat kaitan antarvariabel yang diteliti. Selanjutnya, data kualitatif dianalisis menggunakan teknik analisis isi (content analysis) guna mendapatkan pemahaman mengenai keterkaitan antar fenomena-fenomena yang menyangkut isu yang dianalisis. Melalui analisis terhadap data kuantitatif dan kualitatif ini diharapkan akan diperoleh pemahaman menyeluruh mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut pada umumnya serta sumberdaya terumbu karang pada khususnya.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 9

Page 28: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

1.4. Organisasi Penulisan

Buku ini terdiri dari lima bagian/bab dengan pembahasan yang berbeda-beda pada setiap bab. Bab pertama, Pendahuluan, berisi informasi mengenai latar belakang penelitian, terutama menyangkut perlunya penelitian dilakukan serta tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini. Metode penelitian yang meliputi pemilihan lokasi dan pengumpulan serta analisis data juga merupakan bahasan dalam bab ini. Selanjutnya, bab kedua memuat gambaran menyeluruh mengenai kondisi daerah penelitian, mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan sampai desa/kelurahan. Gambaran tersebut meliputi kondisi geografis, sumberdaya alam, baik di darat maupun di laut, serta sarana dan prasarana sosial ekonomi yang terdapat di lokasi penelitian. Analisis mengenai pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumberdaya laut secara khusus memperoleh penekanan dalam bab kedua ini. Kondisi sosial demografi penduduk di lokasi penelitian merupakan pokok bahasan pada bab ketiga. Secara rinci, bab ini memuat informasi mengenai kondisi penduduk dari berbagai karakteristik, mulai dari umur dan jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan sampai dengan tingkat kesejahteraan mereka. Kepemilikan asset, baik ekonomi maupun non-ekonomi digunakan sebagai indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Gambaran mengenai pendapatan penduduk, baik dari sektor perikanan maupun dari sektor-sektor lainnya merupakan isu yang dibahas pada bab keempat. Khusus untuk pendapatan dari sektor perikanan, pembahasan juga dilakukan berdasarkan musim gelombang yang mempengaruhi volume dan jenis hasil tangkapan, yang pada gilirannya berpengaruh terhadap jumlah pendapatan. Namun demikian, pembahasan mengenai pendapatan dari sektor perikanan mendapat penekanan lebih besar. Bab kelima, bagian akhir dari buku ini, berisi kesimpulan serta bahan rekomendasi untuk penyusunan kebijakan dan perencanaan program berdasarkan data empiris hasil penelitian ini.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 10

Page 29: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

BAB II PROFIL LOKASI PENELITIAN

Kabupaten Pangkejene dan Kepulauan (Pangkep) yang membentang di bagian barat Propinsi Sulawesi Selatan, wilayahnya terbagi menjadi tiga bagian yaitu pesisir, daratan tinggi dan kepulauan. Wilayah kepulauan di Kabupaten Pangkep terdiri dari 112 pulau dengan 22 pulau diantaranya belum berpenghuni. Kabupaten ini terdiri dari 12 kecamatan, yaitu sembilan kecamatan terdapat di daratan dan tiga kecamatan di kepulauan. Sembilan kecamatan yang terletak di daratan adalah Kecamatan Pangkajene, Balloci, Bongoro, Labakkang, Marang, Segeri, Tondong Tallasa dan Mandalle, sedangkan kecamatan yang terletak di wilayah kepulauan meliputi kecamatan Liukang Tupabbiring, Liukang Tangaya dan Liukang Kalmas. Fokus penelitian dalam studi ini adalah kawasan kepulauan dan kawasan pesisir. Desa Mattiro Bombang di Kecamatan Liukang Tuppabiring yang terpilih sebagai sampel mewakili kawasan kepuluan dan Kelurahan Pundata Baji di Kecamatan Labakkang mewakili kawasan pesisir.

Bab ini dideskrispsikan kondisi lokasi penelitian dilihat dari aspek (1) geografi, (2) potensi sumber daya alam di darat dan laut, (3) sarana dan prasarana sosial ekonomi yang mendukung pembangunan daerah, serta (4) pemanfaatan sumber daya laut oleh penduduk kepulauan dan pesisir di Kabupaten Pangkep. Uraian mengenai keempat aspek tersebut dimulai dari tingkat kabupaten sampai dengan kawasan atau desa.

2.1 Kondisi Geografis

Kabupaten Pangkep yang membentang sepanjang 45 km tepatnya berada pada 4,40° LS – 8° LS dan 110° - 113° BT. Kabupaten ini memiliki luas wilayah daratan sebesar 1.112,29 km2 dan luas wilayah lautan mencapai 17.100 km2. Secara administratif, Kabupaten Pangkep berbatasan langsung dengan Kabupaten Barru (sebelah utara), Kabupaten Maros (sebelah selatan), Kabupaten Bone (sebelah timur) dan di sebelah barat berbatasan dengan Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau Madura, Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Propinsi Nusa Tenggara Timur (Lihat Gambar 2.1). Topografi Kabupaten Pangkep terdiri dari wilayah pengunungan dan daratan landai. Wilayah pengunungan memiliki ketinggian 50 – 1000 meter dari

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 11

Page 30: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

permukaan laut, sedangkan wilayah daratan terdiri dari persawahan, tambak, rawa-rawa dan empang. Sebagai wilayah dengan tingkat permukaan yang beragam, maka temperatur udara di Kabupaten Pangkep berada pada kisaran dari 21° C sampai dengan 31°C atau rata-rata mencapai 26,40°C dengan kecepatan angin dari tinggi sampai dengan sedang.

Gambar 2.1

Peta Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

Lokasi Kepulauan (Desa Mattiro Bombang)

Lokasi Pesisir (Kelurahan Pundata

Sumber : BPS Kabupaten Pangkep , 2005

Kecamatan Liukang Tupabbiring adalah salah satu kecamatan kepulauan di Kabupaten Pangkep yang terletak di kepulauan Spermonde. Kecamatan ini memiliki luas wilayah 140 km2 atau 12,59 persen dari luas keseluruhan Kabupaten Pangkep, terdiri dari 42 pulau dengan 11 pulau diantaranya belum berpenghuni. Secara administratif, Kecamatan Liukang Tuppabiring terbagi menjadi 14 desa dan satu kelurahan. Desa Mattiro Bombang merupakan salah satu desa di Kecamatan Liukang Tuppabiring yang terletak di kawasan kepulauan. Desa Mattiro Bombang terdiri dari empat pulau yang berpenghuni dan beberapa gusung karang. Keempat pulau tersebut adalah Pulau Salemo, Pulau Sagara, Pulau Sabangko dan Pulau

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 12

Page 31: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Sakuala. Secara administratif, Desa Mattiro Bombang berbatasan dengan Desa Pancana Kabupaten Barru (sebelah utara), Desa Mattiro Kanja (sebelah selatan), Desa Mattiro Walie (sebelah barat), dan Kelurahan Talaka, Kecamatan Ma’rang (sebelah timur). Sebagai wilayah kepulauan, Desa Mattiro Bombang bertopografi datar dan landai dengan rata-rata ketinggian mencapai kurang dari 50 meter dengan luas wilayah 22 km2. Secara geografis, Desa Mattiro Bombang juga merupakan salah satu desa yang terdekat dengan daratan Kabupaten Pangkep dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi (Lihat Gambar 2.2a).

Gambar 2.2

Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2.2a Desa Mattiro Bombang

Kecamatan Liukang Tuppabiring

Gambar 2.2b Kelurahan Pundata Baji Kecamatan Labakkang

Sumber: CRITC – COREMAP Sumber: Monografi Kelurahan Pundata

Baji, 2005

Kecamatan Labakkang yang mewakili kawasan pesisir dalam penelitian ini, memiliki luas wilayah 101,73 km2 atau 12,69 persen dari luas wilayah Kabupaten Pangkep. Kecamatan ini terdiri dari sembilan desa dan empat kelurahan. Secara geografis, Kecamatan Labakkang terletak di antara 4,40° – 4,45° LS dan 111° – 112° BT, dengan batas administratif Kecamatan Ma’rang (sebelah utara), Kecamatan Bungoro (sebelah timur dan selatan) dan Kecamatan Liukang Tupabbiring (sebelah barat). Kelurahan Pundata Baji yang terpilih sebagai lokasi peneletian untuk kawasan pesisir secara administratif berbatasan dengan Desa Manakku dan

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 13

Page 32: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Bontomanae (sebelah utara), Desa Borimasunggu (sebelah selatan) dan Kelurahan Labakkang (sebelah timur) dan selat Makasar (sebelah barat). Kelurahan Pundata Baji merupakan hasil pemekaran, dari Kelurahan Pundata Baji (lama) yang sekarang wilayahnya terbagi dua menjadi Kelurahan Pundata Baji dan Desa Borimasunggu. Wilayah Kelurahan Pundata Baji terdiri dua lingkungan yaitu Lingkungan Pundata dan Lingkungan Maccine Baji dengan luas wilayah 522,58 km. Lingkungan Pundata terletak di daratan sedangkan lingkungan Maccine Baji berada di pesisir (lihat Gambar 2.2b).

Berdasarkan keadaan angin dan gelombang laut, Kabupaten Pangkep memiliki dua musim yaitu musim barat dan timur. Musim barat pada umumnya ditandai dengan keadaan gelombang laut yang kuat sedangkan musim timur ditandai dengan gelombang laut yang lemah. Musim barat biasanya juga diikuti dengan musim hujan yang berlangsung sejak Bulan Desember sampai dengan Maret. Pada puncak musim tersebut seringkali penduduk yang menetap di kepulauan tidak dapat berpergian akibat buruknya cuaca. Keadaan tersebut menyebabkan penduduk pulau menjadi terisolir. Musim timur sering disebut sebagai musim kering/kemarau, dimulai dari Bulan Mei sampai dengan September. Pada musim ini terjadi angin barubu dimana angin bertiup sangat kencang dan kering dari arah barat ke timur sehingga mempengaruhi kondisi perairan di sekitar Kabupaten Pangkep. Bagi penduduk yang bermatapencaharian tergantung pada laut, musim kering merupakan masa yang menguntungkan, tetapi tidak menguntungkan bagi sebagian penduduk lainnya, khususnya petambak. Berikut ini merupakan kalender musim di kedua lokasi penelitian (Tabel 2.1) .

Dengan melihat topografi kedua lokasi penelitian di atas maka diperlukan moda transportasi darat dan laut untuk mencapainya dari pusat pemerintahan Kabupaten Pangkep. Moda angkutan darat yang menghubungan kecamatan dan kota Pangkajene adalah mikrolet (pete-pete). Pete-pete juga merupakan alat angkutan antar kota dan antar desa yang menghubungkan seluruh kecamatan di daratan Kabupaten Pangkep. Kondisi jalan utama yang cukup baik, memperlancar hubungan antar desa, kecamatan dan Kota Pangkajene.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 14

Page 33: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tabel 2.1

Kalender Musim Gelombang Laut di Desa Mattiro Bombang dan Kelurahan Pundata Baji Menurut Bulan

Bulan

Lokasi Penelitian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Desa Mattiro Bombang

Gelombang Kuat

Gelombang Tenang

Pancaroba

Gelombang setengah kuat

Kelurahan Pundata Baji

Gelombang Kuat

Pancaroba

Gelombang setengah kuat

Gelombang Tenang

Sumber : Wawancara Mendalam dan Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006.

Desa Mattiro Bombang dapat dicapai dengan menggunakan mikrolet (pete-pete) sampai ke dermaga Limbangan. Setelah itu perjalanan dilanjutkan menggunakan alat transportasi laut dengan ongkos Rp. 6.000,- per orang. Sungai Limbangan merupakan pintu utama transportasi publik dengan 8 buah kapal beroperasi setiap hari sejak pukul 5.00 wita sampai dengan 17.00 wita. Perjalanan dari dermaga Limbangan menuju Desa Mattiro Bombang memakan waktu sekitar satu jam. Selain dari dermaga Limbangan, desa tersebut juga dapat dijangkau melalui dermaga Maccine Baji, dengan jarak tempuh juga sekitar satu jam serta dari darmaga Kasih Kebo yang terletak di Kecamatan Marang, dengan waktu yang lebih singkat, yaitu sekitar 20 menit.

Kelurahan Pundata Baji yang terletak di Kecamatan Labakkang relatif lebih mudah dan cepat dijangkau. Moda angkutan yang menghubungkan Kelurahan Pundata Baji ke pusat kecamatan yang berjarak sekitar 3 km adalah dokar/andong. Dari pusat pasar kecamatan perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan pete-pete dengan jarak tempuh 11 km ke Kota Pangkajene.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 15

Page 34: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

2.2 Sumber Daya Alam

Kabupaten Pangkep sebagai kawasan yang terletak di wilayah perairan dan daratan, mempunyai potensi sumber daya darat dan laut. Dengan kondisi alam yang indah dan nilai budaya dan sejarah yang tinggi, maka kawasan ini juga mempunyai potensi pariwisata. Potensi sumber daya alam di darat meliputi lahan petanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan budidaya, dan pertambangan, sedangkan potensi sumber daya alam di laut meliputi terumbu karang, mangrove, rumput laut, dan biota laut lainnya. Potensi pariwisata yang cukup besar adalah wisata alam (bahari) dan budaya.

2.2.1 Sumber daya alam di darat

Kabupaten Pangkep memiliki potensi sumber daya alam di darat yang sangat beragam mulai dari lahan pertanian sampai dengan pertambangan. Hasil pertanian merupakan komoditi yang memiliki peluang sebagai bahan baku untuk pengembangan industri pengolahan seperti padi menjadi tepung beras, daging buah jambu mete menjadi abon, kulit dan biji anggur menjadi minyak pelumas, mangga menjadi sari buah dan buah kaleng, dan kemiri menjadi minyak dan rempah8.

Komoditi tanaman pangan yang dibudidaya di Kabupaten Pangkep adalah padi sawah/ladang, jagung, kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, ketela pohon dan ketela rambat. Luas areal pertanian tanaman pangan, khususnya sawah pada tahun 2004 mencapai 18.248 hektar dengan produksi padi sebesar 102.116 ton. Persawahan di Kabupaten Pangkep terbagi menjadi empat jenis, yaitu sawah dengan pengairan teknis, pengairan setengah teknis, irigasi sederhana dan tadah hujan. Komoditi padi tersebar di semua kecamatan daratan di Kabupaten Pangkep. Kecamatan Labakkang merupakan kecamatan yang memberikan hasil produski padi terbesar, mencapai 3.007 ton pada tahun 2004 setelah Kecamatan Minasa Tene (BPS Kabupaten Pangkep, 2005). Namun demikian, sejak tahun 2000 sampai dengan 2006, produksi tanaman padi memperlihatkan penurunan. Adanya penurunan tersebut sejalan dengan perubahan fungsi lahan, yaitu dari sawah menjadi lahan produksi lainnya, terutama tambak dan juga perumahan. Kelurahan Pundata Baji yang menjadi lokasi penelitian memiliki luas sawah tadah hujan mencapai 150 hektar. Jika dibandingkan dengan kondisi 5 tahun yang lalu luas lahan sawah ini memperlihatkan penurunan. Keadaan tersebut 8 www.ppk.lipi.go.id/kbn.php

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 16

Page 35: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

menyebabkan terjadinya penurunan produksi. Berbeda dengan di Pundata Baji, tanaman yang tumbuh dan berkembang di pulau-pulau yang termasuk wilayah Desa Mattiro Bombang sangat terbatas, yaitu pohon sukun, jambu air dan berbagai jenis tanaman hias. Sukun dan jambu air tumbuh secara alamiah dan dipertahan oleh penduduk pulau. Mereka menyakini pohon sukun dapat menyerap air untuk mempertahakan pasokan kebutuhan air bersih bagi penduduk di pulau tersebut. Tanaman hias ditanam di dalam berbagai wadah pot untuk penghijauan dan keindahan kampung.

Selain potensi sumber daya lahan untuk kegiatan pertanian pangan, potensi pengembangan usaha peternakan juga cukup besar bagi penduduk di kawasan pesisir dan kepulauan. Jenis hewan perternakan yang banyak dipelihara oleh penduduk kepuluan (Desa Mattiro Bombang) adalah bebek. Hasil produksi perternakan di Desa Mattiro Bombang adalah telur yang dijual kepada penduduk sekitar atau untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. Di Kelurahan Pundata Baji, jenis ternak yang banyak dikembangkan oleh penduduk pesisir adalah bebek, ayam, dan kuda. Hasil produksinya selain bisa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga juga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan.

Potensi lainnya yang dapat dikembangkan dari ketersediaan sumber daya alam darat adalah perikanan budidaya. Perikanan budidaya yang berkembang dengan pesat adalah tambak. Data luas tambak dari tahun ke tahun memperlihatkan peningkatan yang signifikan. Hal tersebut terlihat dari peningkatan perubahan fungsi lahan persawahan menjadi lahan tambak, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan produksi ikan tambak. Komoditi unggulan perikanan tambak adalah ikan bandeng. Kabupaten Pangkep merupakan salah satu pemasok utama kebutuhan ikan bandeng di wilayah Makassar dan daratan Sulawesi Selatan. Kabupaten Labakkang, tepatnya kelurahan Pundata Baji merupakan salah satu sumber produksi ikan bandeng terbesar pada tingkat kecamatan dan kabupaten dengan luas tambak mencapai 283 hektar. Selain di pesisir, perikanan tambak juga terdapat di wilayah kepulauan, yaitu di Desa Mattiro Bombang, tepatnya di Pulau Sabangko, dengan luas tambak sebesar 89,22 hektar. Tambak di kepulauan pada umumnya bukan merupakan milik penduduk setempat melainkan milik pendatang yang mempekerjakan penduduk setempat untuk memelihara tambaknya. Manfaat ekonomi dari tambak ini baru dirasakan oleh sebagian kecil penduduk kepulauan saja.

Sumber daya alam lainnya di darat yang memiliki potensi besar dengan jenis yang cukup beragam adalah lahan pertambangan. Beberapa jenis tambang yang telah dikembangkan sampai dengan saat ini adalah batubara, pasir sillika, tanah liat, batu gamping, dan sirtu. Berdasarkan peta

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 17

Page 36: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

potensi sumber pertambangan, Kabupaten Pangkep masih memiliki berbagai macam jenis bahan galian lainnya yang belum dimanfaatkan sepenuhnya. Komoditi yang memiliki peluang pengembangan di sektor pertambangan adalah batu marmer menjadi tegel, batu hias/asesoris, batu sabak menjadi cat, tegel dan batu dekorasi, pasir kuarsa menjadi keramik, kaca dan gelas, batu bara menjadi bahan bakar dan batu gamping menjadi bahan bangunan, semen, keramik dan kapur. Potensi pergunungan Karts (batu kapur) di kawasan yang berbatasan dengan Kabupaten Maros menjadi daya tarik bagi pengusaha (lokal dan asing) untuk berinvestasi membangun perusahaan pengolahan marmer. Saat ini, tercatat 10 perusahaan marmer yang berizin dan aktif berproduksi. Empat diantaranya merupakan perusahaan yang mengelola marmer mulai dari penambangan sampai dengan menjadi produk siap pakai, sedangkan enam perusahaan lainnya hanya menambang marmer hingga menjadi blok-blok marmer (setengah jadi). Produk marmer dipasarkan di tingkat lokal maupun mancanegara (Korea dan Cina). Beberapa tambang marmer yang tercatat sudah dieksplorasi berada di Kecamatan Bungoro, Labakkang, Balocci, dan Tondong Talasa.

2.2.2 Sumber daya alam di laut

Di samping potensi sumber daya alam di darat yang melimpah, Kabupaten Pangkep mempunyai potensi sumber daya laut yang sangat besar. Potensi sumber daya laut mencakup hutan mangrove, terumbu karang serta beragama jenis ikan dan biota laut. Namun demikian, secara umum, kondisi mangrove di Kabupaten Pangkep telah mengalami kerusakanan yang cukup memprihatinkan. Keadaan tersebut dapat dilihat dari banyaknya hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak. Kelurahan Pundata Baji merupakan salah satu lokasi dimana sebagian hutan mangrovenya telah mengalami konversi menjadi tambak. Saat ini, mangrove hanya terdapat di garis tepi pantai dengan tingkat ketebalan yang sangat tipis. Keadaan yang sama juga terjadi di Pulau Sabangko yang hanya memiliki hutan mangrove di sekitar tepian pulau dengan ketebalan kurang dari 5 meter.

Di Wilayah perairan Kabupaten Pangkep terbentang terumbu karang seluas 37.000 hektar yang merupakan tempat ikan berkembang biak. Berdasarkan data terakhir yang dikumpulkan, kondisi terumbu karang diperkirakan sudah mengalami kerusakan berat mencapai 60 persen9, seperti dapat terlihat di sekitar perairan pulau-pulau Spermonde, termasuk

9 http://www.jurnalcelebes.com/view.php?id=227. Jumat, 11-04-2003 | 03:44:48 AM. 60 Persen Coral Reef Pangkep Rusak Berat Akibat Pemboman Ikan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 18

Page 37: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Kecamatan Liukang Tuppabiring. Kerusakan terumbu karang juga dirasakan oleh penduduk pesisir dan kepulauan melalui penurunan kuantitas hasil tangkapan nelayan di sekitar perairan pulau-pulau Spermonde. Kondisi terumbu karang yang masih relatif baik terdapat di perairan di sekitar kecamatan Liukang Kalmas dan Liukang Tanggaya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh LIPI – COREMAP, kondisi tutupan karang yang hidup (baik) di perairan Kabupaten Pangkep, khususnya perairan pulau spermonde mencapai 31,30 persen dengan mayoritas jenis non arcopora (Lihar Gambar 2.3).

Gambar 2.3

Sebaran Karang dan Persentase Tutupan Karang Hidup di Perairan Kabupaten Pangkep

Perairan Pangkep bagian Selatan Perairan Pangkep bagian utara

Sumber : Hasil Penelitian Tim Ekologi CRITIC COREMAP, 2005

Seperti yang telah dikemukan sebelumnya, wilayah Kabupaten Pangkep memiliki luas perairannya mencapai 17.000 km2 dengan garis pantai 45 km. Perairan Kabupaten Pangkep memiliki potensi perikanan yang sangat besar, dengan 11.063 jiwa penduduknya bermatapencahari sebagai nelayan (DKP Kabupaten Pangkep, 2005). Kekayaan perairan ini menjadi salah satu sumber pendapatan utama tidak hanya bagi penduduk Kabupaten Pangkep, namun juga sebagian penduduk Kota Makasar. Beberapa jenis ikan yang banyak ditangkap oleh penduduk untuk dikonsumsi dan dijual adalah ikan tenggiri, layang, tembang, tuna, kembung, cumi-cumi dan kepiting. Ikan Kerapu pada umumnya ditangkap untuk dijual dalam kondisi hidup melalui penampung yang terdapat di Kota Makasar untuk kemudian diekspor ke Hongkong atau Singapora. Menurut Sadovy dan Liu (2004),

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 19

Page 38: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

limapuluh persen volume import ikan karang hidup atau mencapai 6.500 – 11.500 ton di Hongkong dari tahun 1997-2002 berasal dari perairan Indonesia. Setiap tahun diperkirakan ikan karang hidup yang masuk ke negara tersebut mencapai 15.000 ton dari Indonesia, belum termasuk data yang tidak tercatat.

Berdasarkan data potensi perikanan tangkap Kabupaten Pangkep, produksi penangkapan pada tahun 2005 mencapai 9.775,1 ton dengan nilai ekonomi mencapai Rp.7.387.650,-. Nilai tersebut relatif kecil apabila dibandingkan dengan hasil kekayaan perairan yang sebenarnya ditangkap . Hal tersebut dikarenakan pada umumnya hasil tangkapan nelayan dari Kabupaten Pangkep dipasarkan langsung ke Kota Makasar tanpa melewati pasar di tingkat Kabupaten, sehingga tidak tersedia data statistiknya di tingkat kabupaten. Dilihat dari perkembangan produksi penangkapan, terjadi penurunan hasil yang signifikat dari tahun ke tahun dengan besar laju penurunan produksi dalam kurun waktu lima tahun (2000 – 2004) sebesar 3 persen per tahun. Penurunan produksi ini sejalan dengan penurunan kualitas terumbu karang di perairan Kabupaten Pangkep.

2.2.3 Potensi wisata alam/budaya

Kabupaten Pangkep juga memiliki kekayaan potensi wisata, baik yang telah dikelola maupun yang belum/akan dikelola. Secara umum, objek wisata di Kabupaten Pangkep terbagi menjadi 3 yaitu objek wisata bahari, objek wisata pegunungan, dan objek wisata budaya. Objek wisata pegunungan yang berupa perpaduan wisata budaya dan agro-wisata terdapat di Kecamatan Balloci dan Kecamatan Pangkajene dengan Taman rekreasi Mattapa dimana terdapat gua bersejarah dan museum karts. Museum ini memiliki koleksi buku karts yang bernilai sejarah sangat tinggi.

Objek wisata Bahari terdiri dari wisata taman laut Kapoposang dan Pulau Langkadea, Pulau Cengkeh, Pulau Pala serta beberapa pulau yang kosong. Objek wisata ini meyajikan keindahan pantai pasir yang putih, laut yang tenang dan keindahan berbagai macam terumbu karang serta ikan hias. Wisata bahari di Pulau Kapoposang kecamatan Liukang Tupabbiring telah dikelola oleh pihak swasta bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Pangkep.

Selain objek wisata yang telah dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Pangkep, Desa Mattiro Bombang, khususnya Pulau Salemo memiliki potensi wisata bahari yang sekaligus wisata budaya yang belum dikelola. Pulau Salemo memiliki nilai sejarah perkembangan masyarakat Bugis

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 20

Page 39: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

sebagai tempat pertama penyiaran agama Islam di tanah Bugis. Selain itu, di sekitar perairan ini juga terdapat gugusan karang yang masih dalam keadaan cukup baik dan pemandangan pasir putih yang indah. Kedua hal tersebut dapat menjadi potensi wisata besar bila dikelola dengan baik. Di kawasan pesisir potensi objek wisatanya adalah pemancingan di tambak bandeng yang dilengkapi dengan kendaraan dokar menuju lokasi pemancingan serta penyajian makanan tradisional. Saat ini, wisata alam dan budaya di Kelurahan Pundata Baji telah dikelola secara sederhana oleh pemerintahan Kelurahan Pundata Baji (Kecamatan Labakkang) meskipun hanyan terbatas pada tamu tertentu berdasar pemesanan..

2.3. Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi

Sarana dan prasarana sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembangungan ekonomi suatu daerah. Pada sub bagian ini akan diuraikan mengenai sarana dan prasarana sosial ekonomi yang terdapat di Kabupaten Pangkep secara umum, dan Desa Mattiro Bombang (Kecamatan Liukang Tuppabiring) serta Kelurah Pundata Baji (Kecamatan Labakkang) sebagai wilayah studi. Adapun sarana dan prasarana tersebut meliputi sarana pendidikan, kesehatan, ekonomi, komunikasi dan lembaga sosial dan ekonomi setempat.

2.3.1. Sarana Pendidikan

Secara umum, Kabupaten Pangkep memiliki fasilitas pendidikan formal yang cukup lengkap, mulai dari tingkat dasar (SD) sampai dengan perguruan tinggi. Pada umumnya, pusat fasilitas pendidikan terdapat di Kota Pangkajene, pusat pemerintahan dan perekonomian Kabupaten Pangkep. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Pangkep tahun 2005, tercatat jumlah sekolah dasar adaalah 306 unit, SLTP berjumlah 34 unit dan SLTA berjumlah 19 unit, yang tersebar di seluruh kecamatan dalam kabupaten. (Pemda Kabupaten Pangkep dan BPS Kabupaten Pangkep, 2005). Sarana dan prasarana tingkat dasar (SD dan SMP) terdapat di semua kecamatan termasuk ketiga kecamatan kepulauan, sedangkan pada tingkat yang lebih tinggi (SMA atau Perguruan Tinggi) umumnya hanya terdapat di pusat kecamatan daratan (Lihat Lampiran 1 s.d Lampiran 3).

Desa Mattiro Bombang memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang cukup memadai mulai dari tingkat SD sampai dengan SMP. Hampir di semua dusun terdapat SD, berjumlah satu atau dua sekolah, yang tersebar di

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 21

Page 40: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

masing-masing pulau, sedangkan untuk pendidikan tingkat SMP hanya terdapat di Pulau Salemo sebagai pusat pemerintahan desa. Sebelum adanya SMP di Pulau Salemo, penduduk Desa Mattiro Bombang yang berkeinginan melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP ke atas harus menetap di Pangkejene atau Makasar. Dengan demikian, saat ini, bagi sebagian penduduk Desa Mattiro Bombang, khususnya penduduk Pulau Salemo, untuk melanjutkan pendidikan SMP tidak menjadi kendala karena kedekatan jarak serta biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah. Akan tetapi, kesempatan tersebut tidak dapat dinikmati penduduk di pulau lainnya (Pulau Sagara, Sabangko dan Sakuala), karena mereka tetap harus keluar pulau untuk meneruskan pendidikan ke jenjang SMP, sehingga peluang terjadinya putus sekolah masih cukup tinggi.

Berbeda kondisinya dengan Desa Mattiro Bombang, Kelurahan Pundata Baji memiliki fasilitas pendidikan yang jauh lebih lengkap. Di kelurahan ini sudah terdapat SMA yang berada tidak jauh dari pusat kecamatan Labakkang. Dilihat dari aksesibilitasnya, kawasan pesisir tentunya memiliki akses yang relatif lebih mudah dijangkau karena tersedianya transportasi dan jarak menuju pusat Kota Pangkajene yang lebih dekat dan cepat terjangkau sehingga tingkat pendidikan masyarakat pesisir pun relatif lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat kepulauan. Selain itu, kesadaran untuk mendapatkan hak pendidikan bagi penduduk usia sekolah cukup tinggi. Keadaan tersebut dapat tercermin dari tingkat putus sekolah yang relatif lebih rendah di kawasan pesisir.

Guru merupakan salah satu faktor pendukung keberlangsungan pendidikan. Saat ini jumlah guru di Kabupaten Pangkep untuk tingkat SD mencapai 2.101 orang dan tingkat SLTP berjumlah 603 orang dengan ratio guru per murid masing-masing adalah 19,4 dan 12,48 (BPS Kabupaten Pangkep, 2005). Ratio tersebut memperlihatkan kondisi yang cukup baik bagi proses pendidikan. Selain itu, adanya program kesejahteraan bagi guru dari pihak pemerintah daerah Kabupaten Pangkep merangsang guru untuk menjalankan perannya dengan baik. Program tersebut adalah pemberian tunjangan khusus bagi guru yang mengabdi di wilayah terpencil dan tunjangan Hari Raya setiap tahunnya. Program kesejahteraan ini telah berlangsung sejak tahun anggaran 2005. Dengan demikian, ketersediaan sarana pendidikan dan pedukungnya tidak menjadi penghambat kelangsungan pendidikan.

Biaya pendidikan bagi penduduk Kabupaten Pangkep juga sudah tidak menjadi kendala utama bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya karena pemerintah Kabupaten Pangkep memberikan biaya pendidikan gratis bagi masyarakat yang mau melanjutkan pendidikannya dari tingkat SD

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 22

Page 41: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

sampai dengan SMA, dengan dana berasal dari APBN dan APBD Kabupaten Pangkep. Rendahnya tingkat partisipasi pendidikan pada jenjang SMP ke atas tercermin tidak hanya di kecamatan Liukang Tuppabiring yang terletak di daerah kepulauan namun juga tersebar di semua kecamatan, terkecuali Kecamatan Pangkejene (Lihat pada Lampiran 1, 2, dan 3). Untuk meningkatkan kualitas Sumber daya manusia Kabupaten Pangkep, tidak cukup hanya dengan melengkapi fasilitas pendidikan dan memberikan kemudahaan biaya pendidikan bagi masyarakat. Peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan yang lebih tinggi untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang juga sangat perlu dilakukan.

Pendidikan non formal di Kabupaten Pangkep hampir dikatakan tidak ada. Pada umummya, pendidikan non formal berupa pelatihan ketrampilan, seperti tata boga dan montir mesin, terdapat di pusat pemerintahan atau diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Pangkep. Pemerintah daerah kecamatan Liukang Tuppabiring pernah melakukan pelatihan singkat montir mesin kapal yang diselenggarakan di Pangkejene. Kendala biaya operasional pelatihan menyebabkan peserta yang ikut terbatas, sehingga keahlian tersebut tidak dapat dikembangkan secara berkelanjutan di tempat tinggal peserta dan ditularkan kepada penduduk lainnya.. Pelatihan yang diselenggarakan di tingkat desa, khususnya Desa Mattiro Bombang dan Kelurahan Pundata Baji masih terbatas pada pelatihan bagi ibu-ibu untuk mengolah hasil laut seperti cara pengasinan ikan yang baik, budidaya rumput laut dan membuat kerupuk ikan, dapat sehingga memberikan penghasilan tambahan. Akan tetapi, pengetahuan tersebut tampaknya juga tidak terimplementasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

2.3.2. Sarana Kesehatan

Sektor kesehatan menjadi perhatian utama pemerintah daerah Kabupaten Pangkep sejak tahun 2005. Kepedulian pemerintah tersebut diwujudkan dengan memberikan fasilitas pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh masyarakat yang memanfaatkan fasilitas kesehatan milik pemerintah. Puskesmas terdapat di semua kecamatan Kabupaten Pangkep yang seluruhnya berjumlah 18 buah. Selain puskesmas juga terdapat 2 buah Rumah Sakit di kabupaten ini. Jumlah tenaga medis yang tercatat bertugas di Kabupaten Pangkep pada tahun 2004 adalah 24 orang dokter umum, 4 orang dokter gigi, 91 orang bidan, 188 orang paramedis perawatan, 134 orang paramedis non perawatan dan 64 orang tenaga non medis, (BPS Kabupaten Pangkep, 2005).

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 23

Page 42: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Fasilitas kesehatan di kedua kawasan penelitian, kepulauan dan pesisir, memperlihatkan kondisi yang cukup memadai dilihat dari jumlah fasilitas dan tenaga medis. Selain itu, aksesibilitas transportasi mencapai pusat pelayanan juga cukup memadai. Selain dari itu, kesadaran penduduk untuk mendapatkan pengobatan dari tenaga medis juga cukup tinggi. Di Desa Mattiro Bombang terdapat seorang bidan yang cukup aktif memberikan pelayanan kesehatan, bukan saja untuk pelayanan pesalinan tetapi juga pengobatan umum dan dengan rutin mendatangi penduduk di pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah desa tersebut. Di Kelurahan Pundata Baji terdapat satu buah puskesmas dengan beberapa orang tenaga medis, yaitu tiga orang dokter umum, dua orang bidan dan tujuh orang perawat. Puskesmas Pundata Baji membawahi Kelurahan Pundata Baji, Desa Borimasunggu dan Bontomanae. Sarana kesehatan ini cukup memadai untuk pelayanan kesehatan masyarakat di ketiga wilayah tersebut.

Kesadaran akan pemanfaatan fasilitas kesehatan di kedua lokasi penelitian cukup tinggi, meskipun masih ada sebagian penduduk yang memilih berobat melalui sandro (dukun). Secara umum, pola pemanfaatan fasilitas kesehatan terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan pertama, pengobatan kesehatan melalui seorang sandro yang merupakan paranormal/ahli atau ulama yang dianggap mampu menyembuhkan penyakit. Tahapan kedua, apabila pengobatan melalui sandro tidak memperlihatkan hasil, , maka penderita akan mendatangi puskesmas/pustu (bidan/dokter) terdekat. Tahap ketiga terjadi apabila bidan/dokter tidak mampu untuk menangani kasus akibat keterbatasan sarana pengobantan, maka penderita akan dirujuk pada pelayanan yang lebih lengkap, seperti di Rumah sakit Kabupaten. Sebagian penduduk di Desa Mattiro Bombang dan Kelurahan Pundata Baji yang telah memiliki kesadara tinggi akan pentingnya kesehatan dan berobat kepada tenaga medis, umumnya tidak melewati tahapan pertama (berobat pada sandro), melainkan langsung ke tahapan kedua atau ketiga.

Penyakit yang banyak diderita penduduk Desa Mattiro Bombang dan Kelurahan Pundata Baji adalah penyakit gangguan pencernaan seperti diare dan typus, saluran pernapasan dan penyakit kulit. Ketiga kasus penyakit tersebut dirasakan oleh paramedis di kedua lokasi cukup banyak terjadi, di hampir semua dusun. Pada umumnya, kasus-kasus tersebut muncul pada saat musim kemarau (musim Timur) akibat dari kekurangan air bersih dan cuaca yang buruk. Pola hidup yang kurang sehat di masyarakat juga memicu terjadinya kasus diare, typus dan penyakit kulit lainnya. Kasus diare dan typus terjadi karena kebiasaan penduduk meminum air tanpa dimasak terlebih dahulu, sednagkan kasus penyakit kulit muncul akibat

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 24

Page 43: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

ketidakbiasaan membersihkan diri dengan baik dan benar, mungkin juga terkait dengan sulitnya mendapatkan air bersih, terutama di kelurahan Pundata Baji. Penyakit saluran pernapasan, seperti influenza dan deman tinggi muncul tanpa melibatkan musim dan umumnya terjadi di sepanjang tahun.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa tenaga medis, kondisi status gizi bayi dan balita di kedua lokasi cukup baik. Keadaan tersebut ditunjang dengan kebiasaan memberikan asupan makanan protein hewani yang cukup tinggi. Akan tetapi terdapat juga beberapa kasus gizi buruk di masyarakat. Angka kematian bayi di Desa Mattiro Bombang dan Kelurahan Pundata Baji cukup rendah. Hal tersebut dikarenakan kesadaran untuk melahirkan dengan pertolongan tenaga medis di kalangan masyarakat cukup tinggi. Kerjasama antara bidan dan sandro pamanak (dukun bayi) semakin baik dan menunjang keselematan ibu dan bayi. Strategi menjemput bola oleh tenaga medis, yaitu mendatangi ibu yang hamil untuk mengingatkan mereka agar melakukan pemeriksaan diri minimal 4 kali selama masa kehamilan, merupakan usaha untuk menekan tingkat kematian ibu dan bayi di kedua lokasi penelitian.

2.3.3. Sarana Ekonomi

Secara umum, fasilitas ekonomi di Kabupaten Pangkep seperti pasar tradisional, tersebar di setiap kecamatan, terkecuali tiga kecamatan kepulauan (Kecamatan Liukang Tangaya, Liukang Kalmas dan Liukang Tuppabiring). Bagi penduduk yang tinggal di kepulauan sarana ekonomi masih terbatas pada sarana pendukung kegiatan perdagangan, seperti toko dan warung. Pada umumnya warung tersebut menjual kebutuhan pokok sehari-hari. Selain itu, juga ada toko yang menjual kebutuhan untuk kegiatan melaut, seperti mata pancing, tali, bahan bakar dan es batu. Desa Mattiro Bombang, khususnya Pulau Salemo memiliki 5 buah warung besar, dan lebih dari 20 buah warung-warung kecil. Dibandingkan dengan kawasan kepulauan, kawasan pesisir tepatnya Kelurahan Pundata Baji memiliki fasilitas ekonomi yang lebih lengkap yaitu pasar besar, setiap dua minggu sekali (Pahing dan Kliwon). Selain itu, di Kelurahan Pundata Baji terdapat sejumlah toko besar dan kecil yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga sehari-hari selama pasar besar tidak beroperasi. Sarana pendukung perekonomian lainnya di Kawasan Kepulauan adalah pangkalan minyak. Untuk Desa Mattiro Bombang terdapat satu pangkalan minyak di Pulau Salemo yang membantu mendistribusi kebutuhan bahan bakar penduduk di sekitar kepulauan Desa Mattiro Bombang. Pangkalan bahan bakar tersebut

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 25

Page 44: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

mencakup dusun lainnya yang terdapat di Pulau Sabangko dan Pulau Sagara.

Lembaga ekonomi lainnya yang terdapat di Desa Mattiro Bombang adalah koperasi untuk permodalan nelayan, namun sudah tidak berfungsi lain. Koperasi permodalan nelayan tersebut hanya mampu bertahan selama 10 tahun. Selain itu, di Desa Mattiro Bombang pernah terdapat program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS), yaitu porgram pemberian modal secara bergilir kepada beberapa nelayan melalui BKKBN. Akan tetapi program tersebut hanya mampu berjalan selama satu tahun karena banyak nelayan (peminjam modal) tidak mengembalikan uang yang dipinjam. Lembaga ekonomi berupa pemberi modal seperti perbankan adalah rentenir. Di Desa Mattiro Bombang terdapat dua orang rentenir yang memberikan pinjaman uang kepada penduduk yang membutuhkan modal. Pada umumnya besar bunga yang harus dikembalikan adalah 20 persen dari besar pinjaman awal. Rentenir tersebut beroperasi secara sembunyi-sembunyi. Lembaga perekonomian selain pasar di kelurahan Pundata Baji adalah koperasi, akan tetapi koperasi tersebut sudah beberapa tahun terakhir ini tidak berfungsi lagi, sehingga kebanyak penduduk memperoleh modal untuk usaha dari perbankan yang berada tidak jauh dari Kelurahan Pundata Baji.

Sebagai wilayah yang penduduknya bermatapencaharian utama di laut, fasilitas utama yang dibutuhkan yaitu dermaga sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal nelayan. Desa Mattiro Bombang memiliki dua dermaga besar sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal. Begitu pula Kelurahan Pundata Baji, memiliki satu dermaga di Maccine Baji yang berfungsi sebagai tempat penurunan dan penjualan ikan hasil tangkapan penduduk sekitar atau penduduk pulau. Di kedua lokasi penelitian belum terdapat tempat pelelangan ikan, bahkan juga di tingkat Kabupaten Pangkep. Hal tersebut menyebabkan segala hasil tangkapan nelayan ditampung terlebih dahulu oleh pedagang pengumpul, yang kemudian dibawa langsung ke Kota Makasar sebagai tempat penjualan ikan terbesar di Propinsi Sulawesi Selatan. Keadaan ini juga mungkin disebabkan karena jarak dari ibukota Kabupaten Pangkep ke Makassar tidak terlalu jauh. Tetapi, tidak adanya TPI lokal (tingkat kabupaten) menyebabkan nelayan tidak mengetahui dengan pasti harga jual per kilogram ikan hasil tangkapannya.

Sarana perbankan yang komersil hanya terdapat di pusat pemerintahan daerah Kota Pangkajene, yaitu Bank BPD, BRI dan BNI 46. Dengan demikian, penduduk yang memanfaatkan fasilitas ini pun terbatas kepada kalangan tertentu saja yang memiliki akses yang mudah ke pusat kota. Mayoritas penduduk kepulauan tidak memanfaatkan fasilitas tersebut.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 26

Page 45: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Pada umumnya kegiatan simpan pinjam dilakukan melalui kelompok nelayan (punggawa – sawi) yang memiliki hubungan emosional. Punggawa memberikan bantuan mulai dari modal melaut sampai dengan kebutuhan rumah tangga. Keadaan tersebut menyebabkan ketergantungan antara sawi (anak buah kelompok) dengan ketua kelompok (Punggawa). Saat ini, di Pulau Salemo terdapat empat kelompok nelayan. Berbeda halnya dengan Kelurahan Pundata Baji, yang sebagian besar penduduknya sudah tidak sepenuhnya bergantung lagi pada hasil laut, keterikatan antara nelayan dengan bos (penampung hasil tangkapan nelayan) hanya sebatas pembelian hasil tangkapan tanpa ada ikatan emosional dan keterikatan modal sehingga tidak terjadi proses simpan pinjam diantara keduanya.

2.3.4. Sarana Komunikasi

Fasilitas Komunikasi melalui telepon hampir menjangkau seluruh kecamatan wilayah daratan di Kabupaten Pangkep. Fasilitas telepon seluler juga menjangkau beberapa kepuluan di Kabupaten Pangkep sehingga masalah komunikasi tidak menjadi faktor penghambat pembangunan ekonomi. Seperti kecamatan lainnya di Kabupaten Pangkep, Kecamatan Liukang Tupabbiring, khususnya Desa Mattiro Bombang mempunyai akses komunikasi yang cukup baik melalui jaringan telepon seluler sehingga mempermudah hubungan (perdagangan hasil laut) ke Kota Pangkajene dan Kota Makasar. Kelurahan Pundata Baji sebagai lokasi penelitian kawasan pesisir memiliki jangkauan fasilitas komunikasi telepon yang jauh lebih baik dibandingkan dengan kawasan kepulauan. Kelurahan Pundata Baji juga memiliki jaringan telepon berlangganan yang diakses oleh sebagian penduduknya.

Selain telepon, fasilitas komunikasi lainnya adalah televisi dan radio yang berfungsi sebagai penyalur informasi bagi penduduk di Kabupaten Pangkep. Siaran televisi dapat dijangkau hampir di semua kecamatan di Kabupaten Pangkep. Desa Mattiro Bombang dan Kelurahan Pundata Baji dijangkau siaran televisi melalui stasiun trasmisi televisi yang terdapat di Kabupaten Pangkep. Fasilitas komunikasi radio juga menjangkau sampai ke sebagian kecamatan di daratan dan kepulauan. Ketersediaan fasilitas televisi dan radio ini sangat mendukung penyebaran informasi di kedua lokasi penelitian.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 27

Page 46: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

2.4. Pengelolaan Sumber Daya Laut

Wilayah perairan Kabupaten Pangkep, yang terdiri dari 170 pulau memiliki potensi sumber daya laut (SDL) yang sangat besar. SDL bagi penduduk di kawasan kepulauan menjadi sumber kehidupan utama. Dari aspek ekonomi, SDL berperan sebagai sumber matapencaharian di sektor perikanan laut dan juga membuka peluang bagi sektor lainnya yang terkait dengan pemanfaatan hasil laut. Dilihat dari aspek sosial, SDL menjadi faktor penghubung antara satu daerah dengan daerah lain

Sub bagian ini membahas pengelolaan SDL baik yang dilakukan oleh masyarakat, khsususnya nelayan maupun pemerintah setempat. Pembahasan diawali dengan pengeloaan SDL dari sisi pembuat kebijakan mulai dari tingkat kabupaten sampai di tingkat desa. Pembahasan berikutnya adalah pengelolaan SDL dari sisi pelaku, meliputi produksi tiga komoditi utama perikanan dan rantai pemasarannya. Bagian berikutnya mengenai wilayah tangkap sesuai jenis ikan dan musim, teknologi (armada dan alat tangkap) perikanan serta permasalah dalam pengelolaan SDL.

2.4.1. Kebijakan

Kebijakan pengelolaan SDL merupakan peraturan, baik yang tertulis maupun tidak, yang mengatur pengelolaan SDL dengan tujuan tercapainya suatu kehidupan yang berkelanjutan. Tujuan akhir dari pengelolaan SDL ini adalah untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan penduduk yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dalam pemanfaatan SDL. Kebijakan pengelolaan SDL di perairan Kabupaten Pangkep, dibedakan menjadi dua, yaitu kebijakan pengelolaan SDL di tingkat Kabupaten dan kebijakan pengelolaan SDL di tingkat desa atau in situ.

Kabupaten Pangkep sebagai wilayah kepulauan sangat tergantung pada kekayaan hasil sumber daya laut bagi kehidupan masyarakatnya. Pemahaman masyarakat akan fungsi terumbu karang sebagai tempat berpijahnya ikan dan penyangga pantai, merupakan hal penting yang menjadi dasar bagi penyusunan berbagai kebijakan pengelolaan sumber daya ini. Wujud kesadaran dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk melestarikan dan menyelematkan lingkungan perairan Kabupaten Pangkep adalah dengan menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Pangkep No. 10 tahun 2001, tentang larangan pengusahaan dan perusakan terumbu karang dalam wilayah perairan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Adapun inti dari peraturan daerah tersebut adalah melarang pengambilan atau

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 28

Page 47: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

mengusahaan terumbu karang dalam wilayah perairan kabupaten dan melarang pengambilan organisme yang melekat pada terumbu karang baik untuk individu (pelaku) maupun badan (kelompok/organisasi). Apabila terjadi pelanggaran maka pelaku akan mendapatkan hukuman pidana atau denda. Perda Kabupaten Pangkep di atas ditindaklanjuti melalui instruksi Bupati No 359/40/DAP/2001. Intruksi tersebut merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai larangan menangkap ikan dan sejenisnya dengan menggunakan bahan peledak, sianida (bius) dan mata jaring kurang dari 25 mm. Berikuti ini merupakan slogan yang dikumandangkan dan digemakan sesuai dengan Perda Kabupaten Pangkep No. 10 tahun 2001.

Dukung !!!

“pelestarian terumbu karang, terumbu karang sehat ikan berlimpah nelayan sejahtera”

Stujuki !!!

“punna mannannungen kaniakanna batu karangta a’lamporoki jukuka, Bajike Tallasana, Pa’boya tamparangan. (bahasa Bugis)

Assituju !!!

Engkanna mannanungeng batu karang’e makessingi tuona maega to bak madecengi atuonna pattasi’e (bahasa Makasar)

Pemerintah daerah Kabupaten Pangkep juga telah menyusun rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan wilayah pesisir. Tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir adalah terciptanya sistem dan mekanisme pengelolaan sumber daya pesisir untuk menjamin pemanfaatannya yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sistem pengelolaan yang berwawasan lingkungan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraaan masyarakat pesisir dan menunjang pembangunan (BAPPEDA Kabupaten Pangkep, 2006).

Kebijakan di tingkat yang lebih rendah, diwujudkan dalam peraturan desa, seperti yang terdapat di Desa Mattiro Bombang Kecamatan Liukang Tupabbiring, tentang terumbu karang. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan Desa No. 078/DMBB/III/2004 mengenai daerah perlindungan laut Mattiro Bombang yang mencakup perairan di sekitar Pulau Sabangko, Pulau Sakuala, Pulau Sagara dan Pulau Salemo. Daerah perlindungan laut (DPL) atau dalam bahasa Bugis wanua allingrungeng tasik merupakan kawasan laut yang dilindungi demi menyelamatkan kondisi lingkungan dan produksi ikan di wilayah sekitarnya dengan zona intinya terletak di Gusung Toraja dan Gusung Ondorea. Zona ini tertutup untuk umum, terkecuali pada bulan Syafar karena pada masa itu penduduk sekitar

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 29

Page 48: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

melakukan kegiatan rekreasi wisata bersama keluarga dengan berenang-berenang disekitar gusung tersebut. Selain bulan tersebut, penduduk hanya boleh memasuki zona penyangga dan mereka yang bertujuan mencari ikan hanya boleh menggunakan alat tangkap pancing, dan tidak boleh menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (lihat Gambar 2.4).

Gambar 2.4

Peraturan Mengenai Zona Perlindungan Laut dan Wilayah Zona Perlindungan Laut

Sumber: Difoto dari papan pengumuman di depan Kantor Desa Mattiro Bombang

.

Di tingkat masyarakat dikenal kebijakan pengeloaan SDL yang merupakan kearifan lokal. Ada pemahaman tidak tertulis seperti di kalangan nelayan Desa Mattiro Bombang, untuk tidak menangkap ikan dan biota laut lainnya yang berukuran tertentu (masih kecil), sebagai contoh kepiting. Nelayan akan melepaskan kembali kepiting dalam ukuran kecil yang tersangkut jaringnya, karena ada pemahaman kalau biota laut yang masih kecil juga ditangkap akan berdampak pada punahnya biota tersebut (Hasil FGD dengan nelayan). Tetapi, karena tingginya permintaan dan dorongan kebutuhan ekonomi, sekarang ini nilai-nilai tersebut juga sudah dilanggar, sehingga kepiting dalam ukuran kecil yang tersangkut di jaring nelayan juga ditangkap. Nilai-nilai ini seharusnya dipertahankan dan masyarakat harus dkembalikan kesadarannya akan pentingnya nilai-nilai pengetahuan dan kearifan lokal alam pelestarian SDL. Sehubungan dengan hak nelayan untuk memanfaatkan hasil laut, umumnya memang tidak ada pembatasan bagi penduduk untuk memanfaatkan hasil laut. Setiap orang berhak

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 30

Page 49: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

memanfaatkan hasil laut di seluruh perairan Kabupaten Pangkep, bahkan perairan yang lebih luas (Indonesia) tanpa menganggu dan mengambil hasil tangkapan nelayan lain. Masyarakat pada umumnya memiliki tingkat kesadaran tinggi saling bertoleransi dan bertanggung jawab selama melakukan aktivitas penangkapan hasil laut. Kesadaran tersebut terwujud dengan saling menjaga dan tidak menganggu wilayah penangkapan ikan yang sedang berlangsung, seperti lokasi pelepasan jaring ikan, kepiting, bubu dan bagan.

2.4.2. Pemanfaatan SDL: Produksi dan Pemasaran

Kabupaten Pangkep memiliki potensi sumber daya laut yang sangat besar bagi kehidupan penduduk baik yang tinggal di kawasan kepulauan maupun kawasan pesisir. Pada subbagian ini akan duraikan pemanfaatan sumber daya laut di masyarakat dilihat dari sisi produksi dan pemasarannya. Produksi dan pemasaran sumber daya laut dilihat dari jenis ikan dominan di Desa Mattiro Bombang dan Kelurahan Pundata Baji.

Produksi

Secara umum, jenis sumber daya laut yang ditangkap oleh nelayan di perairan Pangkajene sangat bervariasi. Jenis ikan yang ditangkap adalah jenis ikan permukaan, ikan karang dan ikan di perairan dalam. Jenis-jenis ikan ini antara lain ikan kembung, layang, cakalang, selar, lamuru, tembang, kuwe, tenggiri, gamasi, belanak, ekor kuning serta kepiting, cumi-cumi, dan lain-lain (lihat Lampiran Tabel 4).). Dilihat dari perkembangan produksinya, jumlah tangkapan nelayan memperlihatkan penurunan untuk semua jenis ikan. Hanya pada jenis tertentu yang memperlihatkan peningkatan produksi. Adanya penurunan jumlah produksi tersebut sangat terkait dengan kondisi perairan. Selain itu, ada kecenderungan bahwa nelayan pergi melaut sesuai dengan kebutuhan dan kurang berorientasi komersil, sehingga dari jenis dan produksi yang ditangkap juga bervariasi. Adanya penurunan produksi perikanan tangkap di perairan Pangkajene terkait juga dengan aktivitas pengeboman, pembiusan dan penambangan karang yang sampai saat ini masih banyak dilakukan. Aktivitas tersebut menyebabkan berkurangnya jenis ikan di sekitar perairan Pangkajene. Akibatnya, jenis ikan yang bisa ditangkap oleh nelayan juga terbatas, hanya pada ikan permukaan. Beberapa jenis ikan yang telah sulit diperoleh di perairan pangkejene antara lain ikan awu-awu, kembung, cumi-cumi, dan udang.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 31

Page 50: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Produksi Perikanan Tangkap Desa Mattiro Bombang

Desa Mattiro Bombang merupakan salah satu desa di Kepulauan Spermonde yang hampir seluruh penduduknya menggantungkan hidupnya pada hasil laut. Nelayan desa ini memiliki tiga komoditi utama sumber daya laut, yaitu kepiting, ikan tenggiri dan ikan gamasi. Tiga komoditi utama tersebut dilihat dari nilai ekonominya yang tinggi, ketersediaannya sepanjang tahun dan besar volume hasi tangkapan oleh nelayan.. Kepiting merupakan jenis tangkapan dominan nelayan di Desa Mattiro Bombang karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan ketersediaanya sepanjang tahun. Penangkapan kepiting dilakukan sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Pada umumnya, musim barat merupakan puncak produksi kepiting karena saat itu gelombang laut yang kuat menyebabkan kepiting keluar dari sarangnya. Kepiting menjadi jenis tangkapan utama karena memiliki nilai ekonomi tinggi bersamaan dengan dibukanya industri pengupasan kepiting di Pulau Salemo dan beberapa di pulau lainnya di Kecamatan Liukang Tuppabiring. Sejak saat itu, kepiting menjadi jenis tangkapan utama nelayan. Pada awalnya, kepiting yang ditangkap adalah yang memiliki ukuran besar, akan tetapi karena penangkapan yang dilakukan terus menerus sepanjang tahun maka saat ini kepiting yang berukuran kecil pun juga ditangkap. Keadaan tersebut memperlihatkan adanya penurunan produksi dan kualitas kepiting yang ditangkap oleh nelayan.

Jenis SDL lainnya yang banyak ditangkap oleh nelayan di Desa Mattiro Bombang adalah ikan tenggiri. Ikan tenggiri juga merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Penangkapan ikan tenggiri dilakukan pada musim timur atau sejak Bulan April sampai dengan Juli. Saat ini, produksi ikan tenggiri masih memberikan hasil yang cukup besar bagi nelayan di perairan Desa Mattiro Bombang. Penangkapan ikan tenggiri hanya dilakukan oleh sebagian nelayan. Hal tersebut disebabkan keterbatsan modal. Untuk memiliki satu set jaring ikan tenggiri dibutuhkan modal sekitar 5 – 6 juta rupiah. Besarnya modal tersebut menyebabkan sebagian kecil nelayan saja yang menangkap ikan tenggiri.

Jenis ikan lainnya yang ditangkap pada musim timur adalah ikan gamasi, yang merupakan jenis ikan yang cukup banyak terdapat di perairan Pulau Salemo dan Desa Mattiro Bombang. Meskipun ikan gamasi secara ekonomi memiliki nilai yang rendah namun dilihat dari produksinya yang besar, ikan ini masih memberikan hasil yang cukup tinggi.. Semakin banyak produksi ikan gamasi di pasar maka nilai ekonominya juga semakin menurun. Dalam sekali melaut, produksi ikan gamasi dapat mencapai 32 kg dalam kondisi basah. Nilai ekonominya yang tidak stabil tersebut

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 32

Page 51: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

menyebabkan jenis ini tidak begitu diminati oleh nelayan di Perairan Desa Mattiro Bombang. Untuk mengatasi rendahnya nilai ekonomi ikan gamasi, maka sebagian penduduk mengolah ikan tersebut menjadi ikan asin sebagai sumber pendapatan tambahan rumah tangga.

Produksi Perikanan Kelurahan Pundata Baji

Penduduk di Kelurahan Pundata Baji merupakan penduduk yang sudah tidak sepenuhnya menggantungkan hidupnya dari hasil melaut. Mayoritas penduduk Kelurahan Pundata Baji telah mengusahakan budidaya perikanan di darat, yaitu ikan bandeng dan udang. Mempertimbangkan keadaan tesebut, maka tiga komoditi utama produksi penduduk Kelurahan Pundata Baji adalah ikan bandeng, udang dan ikan lure.

Kelurahan Pundata Baji merupakan sentra ikan bandeng di kecamatan Labakkang. Usaha tambak telah dilakukan sejak dahulu oleh penduduk di Kelurahan Pundata Baji. Menurut sejarah, asal muasal pertambakan di Kabupaten Pangkep adalah di Pundata Baji. Pada awalnya, bibit ikan bandeng diperoleh dari laut, namun dengan semakin berkembangnya teknologi budidaya maka pembibitan berasal dari hasil pembiakan yang diperjualbelikan. Saat ini, Kelurahan Pundata Baji cukup berperan besar sebagai pemasok utama ikan bandeng untuk kebutuhan Kota Pangkejene dan sebagian kota Makasar. Menurut salah seorang narasumber (pedagang pengumpul di Pundata Baji) yang diwawancarai dalam penelitian ini, dalam sehari, seorang pengumpul menjualkan/menampung produksi dari Kelurahan Pundata Baji, sekitar 5.000 – 10.000 ekor ikan bandeng, atau sekitar 1–2,5 ton10, dengan ukuran bervariasi Dengan demikan diperkirakan jumlah produksi dari Kelurahan Pundata Baji mencapai 15 ton – 35 ton per hari.

Selain ikan bandeng, udang merupakan komoditi yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Diperkirakan dalam sehari produksi udang di Kelurahan Pundata Baji mencapai 1 – 2 ton. Produksi udang di Kelurahan Pundata Baji mengalami penurunan sejak berjangkitnya penyakit udang, sehingga banyak petambak udang yang kemudian beralih membudidayakan ikan bandeng. Pada tahun 1998 produksi udang mencapai dua sampai dengan empat kali lipat dari produksi saat ini. Di sisi lain, penurunan produksi udang tidak menyebabkan penurunan harga udang. Harga udang di tingkat penduduk (petambak) relatif stabil, sehingga apabila terjadi

10 Di Kelurahan Pundata Baji terdapat 15 orang penyalur (pengumpul)

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 33

Page 52: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

peningkatan produksi udang berdampak positif bagi pengumpul. Puncak produksi udang di Kelurahan Pundata Baji terjadi pada bulan Maret, Mei dan Juni.

Komoditi lainnya yang banyak terdapat di perairan di sekitar pesisir Maccine Baji (Kelurahan Pundata Baji) adalah ikan lure atau tono – teri. Ikan ini banyak diperoleh pada musim timur dan ditangkap di bagan dengan menggunakan jaring. Selain dijual dalam keadaan segar, ikan ini diolah menjadi ikan asin yang kemudian setelah terkumpul cukup banyak dijual di pasar kelurahan. Dengan semakin menurunnya jumlah ikan yang terdapat di perairan di sekitar Maccine Baji, banyak nelayan yang beralih profesi menjadi petambak. Kegiatan melaut umumnya hanya dilakukan oleh sebagian kecil nelayan yang tidak memiliki mata pencaharian alternatif. Hal tersebut menyebabkan produksi ikan laut oleh nelayan di Kelurahan Pundata Baji juga mengalami penurunan dibandingkan dengan kondisi 20 tahun yang lalu. Penurunan produksi sejalan dengan berkurangnya variasi jenis ikan yang ditangkap.

Pemasaran

Pemasaran hasil SDL di perairan Kabupaten Pangkep terbagi menjadi dua jalur, yaitu pertama pemasaran langsung ke Kota Makasar dan kedua pemasaran di Kota Pangkejene. SDL yang dipasarkan di Kota Pangkajene dan sekitarnya merupakan SDL yang dikonsusmsi untuk kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan pemasaran ke Makasar tidak hanya untuk konsumsi penduduk Kota Makasar namun juga untuk pasar domestik dan manca negara, seperti Cina, Hongkong dan Singapura. Pasar domestik dan mancanegara umumnya terbatas pada beberapa SDL tertentu, seperti ikan tenggiri, kerapu, sirip hiu, bandeng, dan udang windu

Pemasaran SDL di Desa Mattiro Bombang dilakukan melalui seorang bos/perantara yang berfungsi menampung hasil tangkapan nelayan di sekitarnya. Jenis ikan yang biasanya ditampung oleh seorang bos antara lain ikan tenggiri, hiu, pari, gamasi dan lain-lain. Kemudian, Bos membawa hasil tangkapan nelayan ke Kota Makasar atau Kota Pangkajene. Berdasarkan jenis SDL maka ikan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari (pasar lokal) disalurkan boss kepada seorang palele di TPI. Pada umumnya, setiap boss sudah mempunyai seorang palele di setiap TPI. Palele kemudian memasarkan lagi kepada pembeli melalui pelelangan di TPI, yang kemudian dijual (kembali) untuk kebutuh pasar lokal. Keuntungan boss kecil diperoleh dari selisih harga di tingkat palele dengan harga di tingkat desa. Tinggi-rendahnya harga ikan tergantung keadaan pasar di TPI. Untuk SDL tertentu

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 34

Page 53: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

seperti ikan tenggiri dan sirip hiu, boss kecil menyalurkan hasil tangkapan nelayannya kepada boss besar. Harga jual ikan di tentukan oleh pihak boss besar dan sangat tergantung pada fluktuasi nilai dolar terhadap rupiah, karena ikan tersebut diexport ke Singapura, Cina dan Hongkong. Boss besar kemudian membawa dan mengirimkan hasil tangkapan nelayan ke negara tujuan. Adapaun bagan alur pemasaran ikan di Desa Mattiro Bombang dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut ini :

Rantai Pemasaran g

Bo

Palele

Pembeli/ TPI

Jenis ikan lokal

Pasar lokal

N

Sumber : Wawancara Mendalam d

Pemasaran ikan Bandikan lainnya. Pada umumnya terdapat di tingkat desa. Di Kyang berfungsi membawa haPetambak umumnya telah mpenyalur. Harga beli ikan berdasarkan harga jual bandemembawa hasil panennya dapalele. Palele berfungsi me

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kep

Gambar 2.5

Ikan di Desa Mattiro Bomban

ss Kecil

Boss Besar

Negara Tujuan (Singapura, Cina,

Hongkong)

Jenis ikan eksport (ikan tenggiri, sirip hiu, kerapu ,dll)

elayan

an FGD di Desa Mattiro Bombang

eng agak sedikit berbeda dengan pemasaran ikan bandeng disalurkan oleh penyalur yang elurahan Pundata Baji terdapat 15 penyalur sil panen petani tambak untuk dipasarkan. emiliki hubungan dan keterkaitan dengan bandeng di tingkat petambak ditentukan ng di tingkat palele. Kemudian, penyalur

n hasil petambak-petambak lainnya kepada nyalurkan ikan bandeng tersebut kepada

ulauan 35

Page 54: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

pembeli. Pada umumnya palele memasarkan terlebih dahulu di Kota Pangkejene. Apabila pembeli sepi maka palele akan memasarkan juga ke Maros, Bulu Kumba, Makasar dan lain-lain. Selain dipasarkan di tingkat Propinsi Sulawesi Selatan, sebagian ikan tersebut juga ada yang dipasarkan ke pasar domestik (Papua), hanya untuk ukuran-ukuran tertentu, berkisar antara 500 kg sampai dengan 750 kilogram melalui perusahaan di Kawasan Industri Makasar (KIMA). Besar keuntungan yang diperoleh penyalur adalah 20 persen dari selisih harga jual di tingkat desa dengan harga jual di pembeli. Semakin besar selisih maka semakin besar keuntungan yang diperoleh. Harga ikan bandeng pada umumnya ditentukan juga dengan kuantitas produksi ikan laut lainnya. Apabila ikan laut lainnya banyak, maka harga ikan bandeng mengalami penurunan. Berikut ini skema rantai pemasaran ikan bandeng di Kelurahan Pundata Baji :

Gambar 2.6

Rantai Pemasaran Ikan Bandeng di Kelurahan Pundata Baji

Pengumpul di tingkat desa/kel

Palele

Pembeli

Pasar

Petambak

Sumber : Wawancara Mendalam di Kelurahan Pundata Baji

Rantai pemasaran udang windu, pada umumnya lebih singkat. Petani menjual udangnya kepada pengumpul. Kemudian pengumupul membayarnya dengan kontan kepada petani. Besar harga udang sangat

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 36

Page 55: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

tergantung pada harga udang ditingkat bos. Pengumpul menyalurkan udang tersebut kepada bos, dan boss meneruskan kepada pabrik di Kawasan Industri Makasar (KIMA) yaitu PT Bomar, dan PT South Suco. Keuntungan yang diterima pengumpul merupakan selisih berat udang yang dibeli dari petani dengan yang dijual kepada bos. Rantai pemasaran udang windu dapat dilihat pada bagan berikut ini :

Gambar 2.7

Rantai Pemasaran Udang Windu di Kelurahan Pundata Baji

Pengumpul BossPerusahaan di KIMA

(PT. Bomar , PT South Suco)

Petani tambak

Sumber : Hasil Wawancara Mendalam di Kelurahan Pundata Baji

Jalur pemasaran produksi ikan lure/tono – teri di kelurahan Pundata Baji ada dua yaitu pertama, nelayan menjual langsung kepada pengumpul di tingkat desa apabila ukuran ikan yang ditangkapnya besar, dan kedua, nelayan mengasinkan terlebih dahulu sebelum dipasarkan. Rantai pemasaran ikan lure tidak berbeda jauh dengan rantai pemasaran ikan di Desa Mattiro Bombang untuk ikan-ikan lokal yang di pasarkan di pasar lokal Kota Pangkaejene (lihat Gambar 2.6 untuk jenis-jenis ikan lokal).

Rantai pemasaran yang sedikit berbeda adalah untuk kepiting. Kepiting hasil tangkapan nelayan ditampung oleh seorang pengumpul yang kemudian disalurkan kepada pengusaha pengupas kepiting. Nelayan juga dapat menyetor langsung hasilnya ke perusahaan (mini plan) tanpa melalui pengumpul. Setelah mengalami proses pengupasan dan pemisahan daging serta pengemasan, kepiting kemudian dikirim ke perusahaan di Kota Makasar untuk di ekspor ke Malaysia dan Amerika. Pengolohan kepiting di Mini plan dapat dilihat pada bagian tulisan yang mnguraikan tentang pengolahan pasca penangkapan. Adapun rantai pemasarannya adalah sebagai berikut :

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 37

Page 56: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Gambar 2.8

Rantai Pemasaran Kepiting

Nelayan Pengumpull

Mini Plan Perusahaan di Makasar

Negara Tujuan

Sumber : Hasil Wawancara Mendalam di Desa Mattiro Bombang

2.4.3. Pengelolaan Wilayah Penangkapan

Nelayan di Kabupaten Pangkep tidak mengenal batasan dalam pengelolaan wilayah penangkapan. Pada umumnya, wilayah tangkap nelayan di Kabupaten Pangkep terbatas pada perairan di wilayah Kabupaten Pangkep. Wilayah tangkap bersifat terbuka bagi semua nelayan, tidak hanya untuk nelayan di Kabupaten Pangkep, namun juga bagi nelayan Propinsi Sulawesi Selatan. Variasi wilayah penangkapan sangat tergantung pada kekuatan angin, alat tangkap dan jenis ikan yang ditangkap. Berikut ini wilayah tangkap dan jenis ikan yang ditangkap di perairan Kabupaten Pangkep.

Tabel 2.2

Pulau dan Jenis tangkapan

Nama Pulau Jenis Tangkapan

Balang Lompo Ikan Barukung, tembang, kembung, teri dan Pari Sabutung Ikang Barukung, Kepiting, Layang, Tembang dan Rumput

Laut Kapoposang Ikan Cakalang, Layang, Tuna, Cucut, Kerapu, Teripang dan

Lobster Doang-Doangan Ikan Tuna, Cakalang, Cucut, Tuna, Penyu sisik dan rumput

laut. Kalu Kalulung Ikan cucut, Sunu, Teripang, Penyu dan Rumput laut Gusung Ikan sunu, Cakalang, Tuna, Tombak, Tenggiri dan Layang Sabalanak Ikan kerapu, Cakalang, Cucut, Tuna, Layang, Kerang-

kerangan dan rumput laut Sapuka Ikan baronang, Tuna, Layang, Teripang dan Rumput Laut

Sumber : www.pangkep.go.id\prs.php

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 38

Page 57: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Wilayah tangkap nelayan di Desa Mattiro Bombang dan Kelurahan Pundata Baji terbatas pada perairan Kabupaten Pangkep. Wilayah penangkapan nelayan sangat tergantung pada kondisi gelombang laut (musim), jenis ikan, dan alat tangkap yang digunakan. Pada usim barat, ketika angin kuat, hasil tangkapan nelayan Desa Mattiro Bombang adalah kepiting dan ikan gamasi. Ini disebabkan karena pada saat itu nelayan tidak berani melaut terlalu jauh dari pulau. Wilayah tangkap kepiting dan gamasi berada di sekitar Pulau Salemo, Sabangko dan Sagara dengan waktu perjalanan ½ - 1 jam dari tepi pulau.

Pada musim timur, jenis tangkapan dan wilayah tangkap nelayah di Desa Mattiro Bombang lebih beragam dan semakin luas. Pada musim ini, gelombang laut cenderung tenang sehingga nelayan dapat melaut dengan jarak yang lebih jauh mencapai 33 mil atau 4 jam perjalanan dari Pulau Salemo menggunakan jolloro berkekuatan 20 pk. Adapun jenis SDL yang ditangkap adalah ikan tenggiri, hiu, pari, kembung, dan gamasi. Selain itu, ada juga sebagian nelayan yang mengumpulkan rumput laut di beberapa karang yang terletak tidak jauh dari pulau. Wilayah tangkap nelayan sampai mencapai Pulau Samatelu, dan dekat pulau-pulau yang berbatasan dengan Pulau Kalimantan, seperti Pulau Pandangan, Kapoposang, dan Kondang Bali. Di wilayah perairan ini, kondisi karang masih relatif baik sehingga nelayan melaut di wilayah ini untuk mendapatkan ikan karang, seperti kerapu, dan sunu. Semakin luas wilayah tangkap maka semakin beragam jenis alat tangkap yang digunakan. Untuk dapat menangkap ikan hiu dibutuhkan modal dan tenaga yang besar sehingga jenis ikan ini hanya ditangkap oleh sebagian nelayan saja. Peta wilayah tangkap nelayan Desa Mattiro Bombang dapat dilihat sebagai berikut :

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 39

Page 58: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Gambar 2.9.

Peta wilayah tangkap nelayan Desa Mattiro Bombang

Sumber : FGD nelayan Desa Mattiro Bombang.

Wilayah tangkap di Kelurahan Pundata Baji relatif tidak bervariasi seperti di Desa Mattiro Bombang.. Hal tersebut dikarenakan kondisi karang yang telah rusak dan produksi ikan yang menurun, serta adanya sumber pendapatan lainnya yaitu usaha tambak yang memberikan hasil lebih besar dibandingkan dengan melaut. Pada musim barat, jenis tangkapan utama nelayan di sekitar pesisir Maccine Baji adalah kepiting. Adanya perusahaan pengupas kepiting menyebabkan permintaan akan kepiting tidak pernah berkurang. Pada musim timur, jenis ikan yang banyak ditangkap nelayan adalah ikan lure/ tono – teri dan tembang yang ditangkap di bagan dengan alat tangkap berupa jaring. Akan tetapi ketebatasan kemampuan nelayan di pesisir menyebabkan hanya sebagian nelayan yang memiliki bagan tancap yang berada 100 – 200 meter dari garis pantai. Wilayah tangkap terjauh bagi nelayan di Maccine Baji adalah Pulau Saugi karena pulau ini masih memiliki kondisi karang yang cukup baik sehingga nelayan dapat menangkap jenis ikan karang terutama kerapu.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 40

Page 59: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Gambar 2.10

Peta Wilayah tangkap Nelayan Pesisir Kelurahan Pundata Baji

Sumber : Hasil FGD nelayan Kelurahan Pundata Baji

2.4.4. Teknologi (alat dan armada tangkap)

Teknologi penangkapan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu armada tangkap dan pengelolaan hasil laut. Armada tangkap terdiri dari kapal, perahu dan bahan/alat tangkap. Sedangkan pengelolaan hasil tangkapan dibatasi pada pengelolaan hasil laut pasca tangkap.

Armada Tangkap

Armada tangkap di perairan Kabupaten Pangkep menggunakan teknologi yang sederhana, yaitu berupa perahu motor biasa yang disebut jolloro atau katinting dan perahu tanpa motor (lepa-lepa). Menurut DKP Kabupaten Pangkep, jumlah armada tangkap di Kabupaten Pangkep mencapai 4.295 unit, yang berkapasitas 2 – 4 GT mencapai 1.100 unit, 5 –

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 41

Page 60: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

10 GT mencapai 145 unit dan 10 – 30 GT mencapai 50 unit. Jolloro dan katinting merupakan jenis perahu motor berkapasitas kurang dari 5 GT dengan kekuatan mesim tempel berkisar 16 – 20 pk. Mayoritas nelayan di Desa Mattiro Bombang mempunyai perahu dan/atau perahu tanpa motor (98 persen) dengan lebih dari 50 persennya memiliki jolloro dan/atau katinting. Berikut ini merupakan armada tangkap yang terdapat di Desa Mattiro Bombang (Lihat Tabel 2.3).

Tabel 2.3

Jumlah dan Jenis Kendaraan di Atas Air Menurut Pulau, Desa Mattiro Bombang Kecamatan Liukang Tuppabiring, 2004

Jenis Kenderaaan Air Pulau Kapal Jolloro +

Katinting Lepa Jumlah Nelayan

Salemo 24 140 36 250

Sakuala 6 90 14 145

Sagara 2 76 5 83

Sabangko 1 46 3 50

Sumber : DKP Kabupaten Pangkep 2004.

Di Desa Mattiro Bombang terdapat dua orang pembuat kapal yang menetap di Pulau Salemo. Untuk pembuatan satu buah kapal dibutuhkan waktu selama satu bulan, dengan kayu berasal dari Pulau Kalimantan, diperoleh dari pedagang kayu di Pulau Sabutung. Nelayan yang ingin membeli perahu terlebih dahulu harus memesan, dengan harga satu buah body perahu (jolloro) mencapai Rp. 8 juta, sedangkan harga jual satu mesin motor berukuran 20 pk adalah Rp. 4 juta. Menurut penduduk sekitar pulau, saat ini mereka kesulitan untuk mendapatkan bahan baku kayu untuk perahu akibat dari pelarangan penebangan ilegal di Pulau Kalimantan.

Rendahnya ketergantungan penduduk Kelurahan Pundata Baji terhadap sumber daya laut, khususnya perikanan tangkap tercermin dari sedikitnya kepemilikan armada perahu, seperti jolloro dan lepa-lepa. Dari 100 rumah tangga yang terpilih 27 persen rumah tangga memiliki perahu, dengan 4 persen diantaranya hanya mempunyai lepa-lepa. Kemilikan armada tangkap seperti perahu motor tidak menjamin meningkatkan hasil

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 42

Page 61: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

tangkapan. Hal tersebut menyebabkan banyak menjual perahu motornya dan menginvestasikan uangnya di lahan tambak yang lebih menjanjikan hasil yang pasti dibandingkan dengan hasil laut.

Alat tangkap

Secara turun temurun nelayan di perairan Kabupaten Pangkep telah mewarisi cara penangkapan secara tradisional dengan menggunakan pancing, jaring dan beberapa alat tangkap lainnya yang cukup sederhana. Sekitar tahun 1972, alat tangkap nelayan di perairan Kabupaten Pangkep adalah pukat /jala. Jala merupakan jaring besar yang besar ditebarkan dan ditarik dengan menggunakan perahu. Jala umumnya digunakan untuk menangkap ikan-ikan di permukaan seperti ikan kembung. Berkembangnya teknologi dan informasi pada tahun 1980-an, membawa perkembangan alat tangkap yang digunakan nelayah di perairan Kabupaten Pangkep menjadi trawl. Penggunaan alat tangkap trawl tersebut menyebabkan kuantitas ikan menjadi menurun dan juga menyebabkan kerusakan terumbu karang yang berada di sekitar kepulauan. Beberapa tahun kemudian, penggunaan trawl dilarang, sehingga munculah trawl mini. Secara operasional, trawl mini sebenarnya sama dengan trawl namun berukuran lebih kecil. Sistem kerja kedua jenis trawl menyebabkan terganggunya ekosistem laut. Larangan penggunaan trawl mini pun dikeluarkan oleh pihak pemerintah daerah. Akan tetapi dalam prakteknya, penggunaan trawl mini sampai saat ini masih berlangsung.

Sejak larangan penggunaan trawl mini, nelayan kembali menggunakan jaring untuk menangkap SDL. Tiga alat tangkap mayoritas yang digunakan oleh nelayan di peraiaran Kabupaten Pangkep adalah jaring insang (11.013 unit, pancing 224 unit dan pukat cincin (gae) 130 unit (DKP Kabupaten Pangkep, 2005). Pukat cincin diperkenalkan oleh nelayan dari Balloci dan Maros. Gae atau gill net merupakan jaring yang berbentuk bulat berukuran cukup besar. Untuk menggunakan alat tangkap tersebut membutuh 15 tenaga kerja dengan biaya operasional yang cukup besar. Besar biaya yang harus dikeluarkan menyebabkan hanya sebagian nelayan yang mempunyai modal besar saja yang mampu memiliki alat tangkap tersebut.

Bagi nelayan di Desa Mattiro Bombang, jenis alat tangkap yang umumnya digunakan adalah jaring. Jenis jaring yang digunakan adalah lampara (jaring kepiting), jaring gamasi, jaring tenggiri dan jaring hiu. Keempat jaring tersebut termasuk jaring insang tetap. Penggunakan lampara

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 43

Page 62: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

di perairan Desa Mattiro Bombang dimulai sekitar tahun 1990-an ketika permintaan akan kepiting di pasar cukup tinggi. Pada awalnya, untuk menangkap kepiting nelayan menggunakan tombak. Dengan berkembangnya teknologi penangkapan, untuk lebih praktis dan menghemat tenaga, digunakan jaring. Biaya pembuatan satu set lampara adalah sebesar Rp. 50.000. Pada umumnya, untuk sekali melaut nelayan membutuhkan 100 set, sehingga total modal awal yang dibutuhkan adalah Rp. 500.000. Masa penggunan satu set lampara sekitar tiga tahun. Setelah masa tersebut maka jaring perlu pembaruan untuk menghidari penurunan kuantitas tangkapan.

Selain lampara, jenis jaring yang juga banyak dimiliki oleh nelayan di Desa Mattiro Bombang adalah jaring tenggiri dan jaring gamasi. Jaring tenggiri memiliki ukuran mata yang lebih kecil dibandingkan dengan jaring kepiting. Jaring tenggiri membutuhkan modal awal sebesar 6 juta yang terdiri dari 10 set. Besarnya biaya kepemilikan jaring tersebut menyebabkan hanya sebagian nelayan saja yang memiliki jaring tersebut. Jaring lainnya yang umum dimiliki oleh nelayan Desa Mattiro Bombang adalah jaring gamasi. Untuk jaring ini, selain biaya yang dikeluarkan lebih murah daripada jaring tenggiri, juga kuantitas jenis tangkapan masih cukup banyak di perairang Desa Mattiro Bombang. Modal awal yang dibutuhkan untuk memiliki alat tangkap tersebut berkisar antara Rp. 600.0000,- sampai dengan Rp. 900.000,-. Ada beberapa jenis jaring lainnya yang juga dimiliki nelayan, yaitu jaring hiu dan pari. Namun pemilikan kedua jenis jaring ini sangat terbatas, hanya sebagian kecil nelayan yang memiliki karena selain modalnya besar juga membutuhkan biaya opersional yang besar untuk menggunakannya karena wilayah tangkapnya juga semakin jauh.

Alat tangkap yang dimiliki nelayan di Kelurahan Pundata Baji adalah lampara dan bagan. Jenis bagan yang dimiliki oleh sebagian nelayan pesisir adalah bagan tancap. Bagan tancap digunakan nelayan dengan ditancapkan sekitar 100 – 200 meter dari garis pantai dengan kedalaman air dari permukaan minimal 6 meter. Untuk membuat bagan ini membutuhkan biaya sekitar 1 – 3 juta per bagan. Besar biaya yang dikeluarkan untuk membuat satu buah bagan sangat tergantung pada letak bagan yang akan ditancapkan. Semakin ke tengah lautan letak bagan maka biaya yang dibutuhkan akan semakin besar. Jenis ikan yang ditangkap dengan bagan tancap adalah ikan kecil seperti ikan lure, tono – teri, dan tembang. Saat ini, bagan tancap tidak menjadi alat tangkap utama nelayan karena yang diperoleh dari bagan tancap kurang memberikan hasil akibat dari jumlah dan jenis ikan yang mulai berkurang, bahkan tidak ada lagi di perairan di sekitara pesisir.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 44

Page 63: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

• Teknologi Pasca Penangkapan

Teknologi yang berkaitan dengan pengolahan pasca tangkap nelayan di perairan Kabupaten Pangkep belum berkembang. Keadaan ini sesuai dengan kegiatan pengolahan pasca tangkap yang juga masih sangat terbatas pada pembuatan ikan asin dan pengupasan kepiting. Kedua pengolahan pasca tangkap tersebut terdapat di kedua lokasi penelitian (Desa Mattiro Bombang dan Kelurahan Pundata Baji)

Pengolahan ikan asin dilakukan khususnya untuk ikan yang tidak memiliki nilai jual ekonomi yang tinggi. Di kedua lokasi penelitian penduduk melakukan pengolahan ikan asin, hanya yang membedakan adalah jenis ikan yang diasinkan. Di Desa Mattiro Bombang jenis ikan yang diasinkan adalah ikan gamasi kecil dan bete-bete, sedangkan di Kelurahan Pundata Baji jenis ikan yang diasinkan adalah ikan lure/tono dan teri. Pengasinan dilakukan apabila kuantitas hasil tangkapan ikan cukup besar sehingga menyebabkan nilai ekonominya turun. Dengan pengolahan ini diharapkan akan memberikan nilai ekonomi yang lebih tinggi.. Pada umumnya pengolahan ikan asin dilakukan oleh oleh ibu-ibu rumah tangga. Cara pengolahan ikan asin masih sangat sederhana yaitu dengan menggunakan perlengkapan rumah tangga seperti panci (baskom) dan tikar untuk menjemur. Cara pengolahan yang sederhana ini menyebabkan kuantitas yang dihasilkan juga relatif rendah. Hasil pengolahan ikan asin dapat menjadi sumber pendapatan tambahan rumah tangga.

Pengolahan pasca tangkap lainnya adalah pengupasan kepiting. Pengupasan kepiting terdapat di Pulau Salemo, Desa Mattiro Bombang dan Kelurahan Pundata Baji. Pengupasan kepiting merupakan industri pengolahan yang mengolah kepiting menjadi bahan setengah jadi. Proses pengupasan kepiting adalah memisahkan daging bagian paha, badan, capit, dan kaki kepiting yang telah direbus. Bagian-bagian yang dipisahkan tersebut dikumpulkan dan kemudian dimasukan ke dalam toples-toples terpisah. Toples yang berisi bagian daging kepiting tersebut disimpan di dalam kotak stereofom yang kemudian diberikan es. Kotak-kotak tersebut dibawa ke Kawassan Industri Makasar (KIMA) untuk kemudian diekspor ke luar negeri. Proses pengupasan kepiting hanya sampai pada tahap pemisahan daging, sedangkan tahap selanjutnya dilanjutkan di perusahaan besar yang terdapat di Makasar.

Industri pengupasan dan pengolahan kepiting memiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang, mayoritas perempuan berusia 15 tahun keatas. Status pekerja merupakan pekerja harian lepas, sehingga apabila sewaktu-waktu pasokan kepiting berkurang maka dilakukan pengurangan

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 45

Page 64: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

tenaga kerja. Kondisi sebaliknya apabila pasokan kepinting mengalami peningkatan maka dilakukan penambahan tenaga kerja. Seorang pengupas kepiting, jika bekerja penuh dalam satu bulan bisa mendapatkan upah sebesar Rp. 150.000,-/bulan, dengan waktu bekerja dari pukul 10.00 sampai dengan 15.00 setiap harinya. Jumlah jam kerja dapat berubah tergantung pada besar pasokan kepiting. Bekerja di industri pengolahan merupakan salah satu alternatif pilihan bagi penduduk perempuan putus sekolah sebagai sumber pendapatan.

2.4.5. Permasalahan dalam Pengelolaan Sumber daya laut

Secara umum, permasalahan dalam pengelolaan SDL di perairan Kabupaten Pangkep dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) penurunan produksi SDL; (2) perusakan ekosistem terumbu karang dan (3) pengolahan SDL yang tidak effektif. Penurunan produksi SDL telah dirasakan oleh nelayan kepulauan dan pesisir sejak lima tahun terakhir. Penurunan produksi dirasakan dengan semakin sedikitnya kuantitas tangkapan dan keragaman jenis ikan yang semakin berkurang. Bahkan, ada beberapa jenis ikan atau biota laut lainnya yang sudah sangat sulit diperoleh diperairan di sekitar Desa Mattiro Bombang dan Pesisir Kelurahan Pundata Baji. Berkurangnya produksi dan jenis ikan tangkapan merupakan akibat dari penggunakan alat tangkap yang tidak ramah dengan perkembangbiakan ikan dan biota laut lainnya. Alat tangkap yang merusak ekosistem laut adalah trawl yang banyak ditemukan di perairan Kabupaten Pangkep. Penggunaan alat tangkap trawl menyebabkan semua bibit ikan yang kecil-kecil ikut tertangkap sehingga keberlangsung keberadaan ikan menjadi terancam. Kerusakan terumbu karang akibat penggunaan trawl juga menyebabkan rumah sebagai tempat tumbuh kembangnya ikan menjadi hilang.

Penurunan kuantitas dan jenis ikan sangat dirasakan oleh nelayan sehingga untuk dapat meningkatkan kuantitas dan jenis ikan nelayan harus meluaskan wilayah tangkapannya. Wilayah tangkap yang dulunya hanya berada disekitar kepulauan Desa Mattiro Bombang dan pesisir, sekarang menjangkau wilayah tangkap ke desa seberang bahkan desa yang terjauh yang berbatasan langsung dengan Pulau Kalimantan. Perluasan wilayah tangkap tentu sangat terkait dengan alat tangkap yang digunakan dan biaya operasional. Alat tangkap yang dulunya sangat sederhana dan murah menjadi lebih mahal. Selain itu, luasnya wilayah berkaitan erat dengan biaya operasional yang juga semakin meningkat. Kondisi tersebut menyebabkan hanya nelayan yang memiliki modal besar saja yang mampu untuk tetap meningkatkan hasil tangkapan dan pendapatannya. Keterbatasan modal dan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 46

Page 65: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

alat tangkap menjadi kendala yang sangat dirasakan oleh sebagian besar nelayan di kedua wilayah penelitian.

Pemakaian bahan peledak (bom) dan sianida oleh sebagian nelayan di perairan Kabupaten Pangkep menyebabkan kerusakan ekosistem semakin memprihatinkan. Kerusakan terumbu karang tersebut tentunya mempengaruhi kuantitas tangkapan nelayan. Pada umumnya, nelayan di perairan Kabupaten Pangkep mengetahui adanya larangan pemakaian bahan berbahaya tersebut. Akan tetapi, pelaku pengguna bom dan sianida tidak mempedulikan adanya larangan tersebut. Nelayan yang tidak terlibat tidak berdaya untuk memenentang tindakan nelayan pengguna bom dan sianida. Dengan penghilangan barang bukti di tengah laut menyebabkan penegakan hukum terhadap penguna bom dan sianida menjadi sulit. Pada umumnya, pelaku pengeboman dan pembiusan mengetahui adanya dampak buruk dari penggunaan bahan tersebut namun desakan kemiskinan dan keinginan untuk mendapatkan penghasilan yang besar dengan cepat tanpa harus mengeluarkan tenaga yang berlipat ganda.

Perusakan terumbu karang semakin diperparah dengan kegiatan nelayan penambangan batu karang untuk pondasi rumah. Saat ini, kegiatan penambangan batu karang telah berkurang intensistasnya. Akan tetapi, proses penambangan tetap berlangsung meskinpun dalam skala yang lebih kecil. Selain itu, penambangan pasir yang dapat menyebabkan abrasi pantai sampai saat ini masih berlangsung akibat dari tingginya permintaaan pasir untuk pembangunan rumah.

Dengan adanya aktivitas nelayan yang menyebabkan kerusakan terumbu karang, diperlukan suatu upaya pengelolaan sumber daya laut yang terintergrasi dimulai dari tingkat kabupaten sampai dengan desa. Pengelolaan sumber daya laut ini diharapkan dapat meningkatkan perekonomian penduduk yang bermatapencaharian baik langsung maupun tidak langsung dari SDL. Permasalahannya, bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang lebih peduli akan lingkungannya sehingga nantinya ekosistem yang baik akan terjaga dan akan berdampak pada tingkat kesejahteraan penduduk di masa yang akan datang. Dengan demikian keperdulian untuk menjaga dan memanfaatkan sumber daya laut secara konsisiten sesuai dengan kebutuhan tanpa harus merusak dan mematikan keberlangsungan hidup ikan dan biota laut lainnya, juga dapat ditingkatkan.

BAB III

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 47

Page 66: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

PROFIL SOSIO-DEMOGRAFI PENDUDUK

Bab ini menyajikan deskripsi tentang kondisi sosio-demografi penduduk di lokasi penelitian. Analisis mengenai isu ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan program (Coremap) dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam program tersebut. Gambaran sosial-demografi ini dimulai dari tingkat kabupaten, sampai dengan kecamatan dan desa/kelurahan lokasi penelitian. Berdasarkan gambaran ini, maka semua kegiatan dapat dilaksanakan sesuai perencanan yang didasarkan pada kondisi sosial-demografi masyarakat target program.

Pembahasan mengenai kondisi sosio-demografi penduduk lokasi penelitian mencakup beberapa aspek. Pertama adalah jumlah dan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin. Pada bagian ini juga diuraikan mengenai penduduk/suku pendatang yang tinggal di lokasi penelitian. Aspek kedua adalah pendidikan, yang merupakan salah satu indikator kualitas sumberdaya manusia di lokasi penelitian. Aspek ketiga adalah tentang pekerjaan, yang memberikan gambaran keadaan ekonomi penduduk, terutama dari kegiatan-kegiatan yang berbasis terumbu karang. Aspek terakhir adalah kesejahteraan, meliputi pemilikan dan penguasaan aset produksi, terutama perikanan tangkap dan budidaya. Pembahasan mengenai kesejahtteraan juga berisi gambaran mengenai kehidupan penduduk yang terkait dengan tempat tinggal, seperti kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan.

3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk

Selama kurun waktu tahun 2000-2004 jumlah penduduk Kabupaten Pangkep yang tersebar di 12 kecamatan terus meningkat (BPS Kabupaten Pangkep, 2005). Pada tahun 2000 penduduk kabupaten ini berjumlah 268.894 orang, yang pada tahun 2001 dan 2002 meningkat menjadi 274.326 orang dan 277.935. Jumlah ini selanjutnya bertambah menjadi 279.887 orang pada tahun 2003 dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 285.172 jiwa. Selama kurun waktu lima tahun tersebut, rata-rata laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Pangkep sebesar 1,18 persen per tahun.

Tabel 3.1 menyajikan data jumlah penduduk di Kabupaten Pangkep dan di kecamatan-kecamatan yang terdapat di wilayah kabupaten ini. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk terbanyak

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 48

Page 67: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

terdapat di Kecamatan Labakkang, diikuti oleh Kecamatan Pangkajene dan Ma’rang. Ketiga kecamatan ini juga merupakan kecamatan dengan penduduk terpadat di Kabupaten Pangkep, meskipun kepadatannya berbeda. Kecamatan dengan penduduk terpadat adalah Kecamatan Pangkajene, diikuti oleh Kecamatan Labakkang dan Ma’rang. Kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Tondong Tallasa yang sekaligus mempunyai kepadatan penduduk terendah.

Diantara tiga kecamatan yang terdapat di wilayah kepulauan (Liukang Tangaya, Liukang Kalmas dan Liukang Tupabbiring), Kecamatan Liukang Tupabbiring mempunyai jumlah penduduk terbanyak dan terpadat. Tabel 3.1 juga menunjukkan bahwa bahwa rasio jenis kelamin penduduk Kabupaten Pangkep sebesar 90, yang berarti jumlah penduduk laki-laki lebih sedikit dari penduduk perempuan .

Tabel 3.1

Jumlah Penduduk Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Menurut Kecamatan, Jenis Kelamin, Kepadatan dan Rasio Jenis Kelamin, 2004

Jenis Kelamin

Kecamatan Lk Pr

Lk+Pr Kepadatan Penduduk

(km2)

Rasio JK

Lk Tangaya 7.807 8.349 16.156 135 94 Lk Kalmas 5.451 5.776 11.227 123 94 Lk Tupabbiring 13.352 14.405 27.757 198 93 Pangkajene 17.765 19.621 37.386 789 91 Balocci 7.802 7.994 15.796 110 96 Bungoro 17.073 18.038 35.111 390 95 Labakkang 18.709 21.426 40.135 408 87 Ma'rang 13.940 15.836 29.776 396 88 Segere 9.518 10.746 20.264 259 89 Minasa Te'ne 13.236 16.144 29.380 384 82 Tondong Tallasa 4.459 4.884 9.343 84 91 Mandalle 6.018 6.823 12.841 320 88 Jumlah 135.130 150.042 285.172 256 90

Sumber : BPS Kabupaten Pangkep, 2005. Kabupaten Pangkep dalam Angka 2004/2005.

Berdasarkan kelompok umur, terlihat bahwa sekitar sepertiga dari

penduduk Kabupaten Pangkep berada pada kelompok usia muda (0-14 tahun). Sekitar 60 persen penduduk berada dalam kelompok umur produktif

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 49

Page 68: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

secara ekonomi (15-59 tahun) dan sisanya, 7,4 persen adalah penduduk lanjut usia. Dari sekitar 60 persen penduduk dalam umur ekonomi produktif tersebut, sebanyak 24,2 persen adalah mereka yang berada dalam usia kerja prima (prime working age), 25-39 tahun. Rasio ketergantungan penduduk Kabupaten Pangkep relatif rendah, yaitu sebesar 0,59. Artinya, satu orang penduduk usia produktif (15-64) mendukung kurang dari satu orang penduduk yang tidak produktif, baik anak-anak maupun penduduk lanjut usia (usia 0-14 tahun dan 65 tahun keatas).

Gambar 3.1

Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2003 (%)

-8.00 -6.00 -4.00 -2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00

0 – 4

5 – 9

10 – 14

15 – 19

20 – 24

25 – 29

30 – 34

35 – 39

40 – 44

45 – 49

50 – 54

55 – 59

60 – 64

65 +

Laki-laki Perempuan

Sumber : BPS Kab Pangkep. 2004. Penduduk Kabupaten Pangkep 2003 : Hasil Registrasi Penduduk. Pangkajene

Pada umumnya penduduk di Kabupaten Pangkep adalah campuran orang Bugis - Makasar. Hal tersebut terkait erat dengan sejarah kerajaan yang ada disekitar Pangkep dan Makasar dan adanya ikatan perkawinan antar kerjaan kecil yang ditaklukan di Sulawesi Selatan pada masa kerajaan kembar Goa dan Tallo (abad 17-18). Kerajaan kembar tersebut ketika itu berhasil menaklukan kerajaan Siang yang pusat kerajaannya berada di daerah Pangkep (http://www.sulsel.go.id/wilayah/pangkep/profil.html; http://www.pangkep.go.id/sejarah php). Walaupun demikian, penduduk di lokasi survei di wilayah kepulauan (Desa Matiro Bombang kecamatan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 50

Page 69: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Liukang Tupabbiring) majoritas bersuku Bugis, sementara di Kelurahan Pundata Baji pada umumnya penduduk asli adalah suku Makasar.

Dari seluruh desa yang terletak di kawasan Kecamatan Liukang Tupabbiring, jumlah penduduk terbanyak ditemukan di Desa Mattiro Sompe (Tabel 3.2). Meskipun mempunyai jumlah penduduk terbanyak, Mattiro Sompe bukanlah desa dengan penduduk terpadat di Kecamatan Liukang Tupabbiring. Desa dengan penduduk terpadat adalah Mattiro Bulu yang mempunyai penduduk sebanyak 766 orang per kilometer persegi. Sama halnya dengan kondisi di tingkat kabupaten, rasio jenis kelamin penduduk desa-desa yang ada di kecamatan ini pada umumnya kurang dari 100. Hanya Desa Mattiro Ujung yang mempunyai penduduk laki-laki lebih banyak daripada penduduk perempuan.

Tabel 3.2 Penduduk Kecamatan Liukang Tupabbiring Menurut Desa,

Jenis Kelamin, Kepadatan dan Rasio Jenis Kelamin, 2003

1.2.3.1 Jenis Kelamin Desa/Kelurahan

LK PR Jumlah Kepadatan

(km2) Rasio Jenis

Kelamin

Mattiro Sompe 2.005 2.052 4.057 507 98 Mattiro Deceng 1.348 1.452 2.800 311 93 Mattiro Langi 1.177 1.287 2.464 224 91 Mattiro Walie 951 979 1.930 62 97 Mattiro Matae 493 536 1.029 103 92 Mattiro Bombang 1.292 1.609 2.901 132 80 Mattiro Kanja 698 762 1.460 309 92 Mattiro Uleng 768 830 1.598 320 93 Mattiro Bulu 1.106 1.191 2.297 766 93 Mattiro Dolangeng 733 823 1.556 259 89 Mattiro Labangeng 502 512 1.014 254 98 Mattiro Bone 1.051 1.066 2.117 302 99 Mattiro Baji 614 685 1.299 304 90 Mattiro Ujung 578 556 1.134 76 104 Kec. Lk. Tupabbiring 13.316 14.340 27.656 198 93

Sumber : BPS Kab Pangkep. 2004. Penduduk Kabupaten Pangkep 2003 Hasil Registrasi Penduduk. Pangkajene

Berbeda dengan Desa Mattiro Bombang, Kelurahan Pundata Baji

termasuk desa/kelurahan yang mempunyai penduduk terbanyak (lihat Tabel 3.3). Kelurahan ini menduduki peringkat kedua di kawasan Kecamatan

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 51

Page 70: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Labakkang sebagai kelurahan/desa dengan penduduk terbanyak, setelah Kelurahan Labakkang. Besarnya jumlah penduduk di Kelurahan Pundata Baji kemungkinan disebabkan karena ketersediaan lapangan pekerjaan, khususnya di sub-sektor perikanan (tambak). Seperti telah dikemukakan pada Bab II, kelurahan ini memiliki lahan tambak yang luas. Sebagian pekerja tambak adalah pendatang yang tinggal di lokasi tambak dan kemungkinan tercatat sebagai penduduk Kelurahan Pundata Baji. Dari kepadatan penduduknya, Kelurahan Pundata Baji menempati urutan kedua , setelah Kelurahan Labakkang. Rasio jenis kelamin penduduk di kelurahan ini memperlihatkan keadaan yang sama dengan penduduk Kabupaten Pangkep secara keseluruhan. Angkanya bahkan lebih kecil dibandingkan dengan di tingkat kabupaten.

Tabel 3.3

Penduduk Kecamatan Labakkang Menurut Desa/Kelurahan, Jenis Kelamin, Kepadatan dan Rasio Jenis Kelamin, 2003

Jenis Kelamin Desa/Kelurahan LK PR Jumlah

Kepadatan (km2) Rasio JK

Pundata Baji 1.809 2.039 3.848 737 89 Mangallekana 1.905 2.078 3.983 579 92 Batara 1.591 1.862 3.453 520 85 Patallassang 884 1.016 1.900 258 87 Labakkang 1.777 2.229 4.006 890 80 Manakku 986 1.186 2.172 239 83 Gentung 967 1.143 2.110 277 85 Taraweang 1.726 2.034 3.760 379 85 Kassi Loe 949 982 1.931 281 97 Bonto Manai 1.108 1.237 2.345 339 90 Kanaungan 1.596 1.840 3.436 302 87 Bara Batu 1.681 1.764 3.445 318 95 Bori Masunggu 1.634 1.900 3.534 677 86 Kec. Labakkang 18.613 21.310 9.923 405 87

Sumber : BPS Kab Pangkep. 2004. Penduduk Kabupaten Pangkep 2003 : Hasil Registrasi Penduduk. Pangkajene

Desa Mattiro Bombang yang mencakup empat pulau mempunyai penduduk sebanyak 2.880 orang. Persebaran penduduk pada tiap-tiap pulau disajikan pada Tabel 3.5. Jumlah penduduk terbanyak bertempat tinggal di Pulau Salemo yang merupakan pusat pemerintahan desa ini. Pulau yang

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 52

Page 71: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

mempunyai luas 0,275 km2 ini juga merupakan daerah yang paling padat penduduknya, dibandingkan dengan Pulau Sabangko dan Pulau Sagara yang masing-masing mempunyai luas 0,998 km2 dan 0,733 km2. Kedua pulau ini hanya berpenduduk sebanyak 185 orang dan 385 orang.

Pada awalnya pulau-pulau di kawasan Desa Matiro Bombang belum berpenghuni. Wilayah yang termasuk dalam kekuasaan Raja Bone ini mulanya hanya merupakan pulau tempat rekreasi/peristirahatan Raja-raja Bone. Berdasarkan wawancara dengan salah seorang narasumber, sarjana jurusan sejarah, penduduk di Pulau Salemo adalah keturunan migran. Hal tersebut disebabkan Pulau Salemo berada pada jalur perdagangan antara Polmas dan Makasar. Jalur tersebut cukup padat, karena itu banyak orang Mandar dari Polmas dan orang Bugis dari Tanete (Barru) yang berdiam di Pulau Salemo. Dapat dikatakan bahwa kelompok penduduk tersebut merupakan populasi awal yang mendiami Pulau Salemo. Dalam perkembangannnya saat ini, penduduk Pulau Salemo sudah berkembang dan selain suku-suku tersebut di atas Pulau Salemo juga dihuni oleh penduduk yang berasal dari daerah lain seperti orang Mandar (Polewali), orang Makasar (Bulukumba) dan orang Bugis (Barru) (wawancara dengan salah seorang narasumber).

Sama dengan penduduk di Kabupaten Pangkep dan Kecamatan Liukang Tupabbiring pada umumnya, penduduk perempuan di Desa Mattiro Bombang lebih banyak dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Keadaan ini kemungkinan disebabkan karena adanya migrasi keluar penduduk laki-laki, terutama sejak produksi ikan mengalami penurunan. Sebagian mereka bahkan pergi ke luar Sulawesi Selatan, seperti ke Balikpapan dan Tarakan (Kalimantan Timur serta ke Kotabaru (Kalimantan Selatan). Berbagai pekerjaan dilakukan oleh kelompok penduduk ini, antara lain berjualan besi bekas dan bekerja di tambak, terutama sebagai pekerja. Organisasi-organisasi sosial yang beranggotakan penduduk asal pulau ini di beberapa daerah biasanya menjadi sarana bagi penduduk yang ingin mencari pekerjaan di luar daerah11. Hal ini didukung oleh beberapa narasumber yang diwawancarai yang mengatakan bahwa ada keluarga-keluarga yang tinggal tanpa kepala keluarga (laki-laki) karena mereka sedang merantau, terutama untuk mencari pekerajaan.

11 Di Kota Makassar orang-orang asal Salemo kebanyakan tinggal di dekat pelabuhan Poutre. Di Kalimantan mereka mempunyai perkumpulan sosial, misalnya HIMAS (Himpunan Masyarakat Salemo) di Balikpapan dan GAS (Gabungan Anak Salemo) di Kota Tarakan. Selanjutnya, di Surabaya, penduduk asal Salemo pada umumnya tinggal di sekitar pelabuhan Tanjung Perak.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 53

Page 72: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tabel 3.4

Jumlah Penduduk Desa Mattiro Bombang Menurut Pulau dan Jenis Kelamin, 2005

Jenis Kelamin Pulau Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan

Salemo 824 938 1.762 Sagara 122 263 385 Sabangko 92 93 185 Sakuala 255 293 548 Jumlah 1.293 1.587 2.880

Sumber: Bappeda Kabupaten Pangkep, 2006

Distribusi penduduk Kelurahan Pundata Baji berdasarkan kelompok umur disajikan pada Tabel 3.5. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa sekitar seperempat penduduk kelurahan ini adalah mereka yang berusia muda (dibawah 15 tahun). Meskipun tidak tersedia data mengenai struktur umur penduduk secara lebih rinci, dari besarnya proporsi penduduk usia muda tersebut dapat diperkirakan bahwa beban ketergantungan penduduk di desa ini tergolong tinggi.

Tabel 3.5

Penduduk Kelurahan Pundata Baji Menurut Kelompok Umur, 2005

Kelompok Umur (tahun) Jumlah Persentase

0-3 203 4,9 4-6 195 4,7

7-12 436 10,5 13-15 229 5,5 16-18 214 5,2 19 + 2.865 69,2

Jumlah 4.142 100,0 Sumber: Monografi Kelurahan Pundata Baji, Desember 2005

Gambar 3.2 dan Gambar 3.3 menyajikan komposisi umur ART dalam rumah tangga terpilih menurut kelompok umur dan jenis kelamin di kedua lokasi penelitian. Kedua lokasi penelitian terlihat mempunyai komposisi penduduk yang hampir sama. Sekitar sepertiga dari penduduk Desa Mattiro Bombang dan Kelurahan Pundata Baji adalah penduduk usia

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 54

Page 73: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

muda (0-15 tahun), sekitar 5 persen penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) dan sisanya adalah mereka yang berada dalam kelompok umur ekonomi produktif. Komposisi penduduk menurut umur di kedua lokasi ini mempunyai pola yang sama dengan penduduk di Kabupaten Pangkep.

Gambar 3.2 Distribusi ART Sampel Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin,

Desa Mattiro Bombang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (%)

-8.00 -6.00 -4.00 -2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00

0 – 4

10 – 14

20 – 24

30 – 34

40 – 44

50 – 54

60 – 64

Laki-laki Perempuan Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang

Indonesia, 2006

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 55

Page 74: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Gambar 3.3 Distribusi ART Sampel Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin,

Kelurahan Pundata Baji Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (%)

-8.00 -6.00 -4.00 -2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00

0 – 4

10 – 14

20 – 24

30 – 34

40 – 44

50 – 54

60 – 64

Laki-laki Perempuan

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

3.2. Pendidikan

Diskripsi mengenai pendidikan berdasarkan pada tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk. Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tingkat pendidikan yang ditamatkan dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk melihat kualitas sumberdaya manusia. Selain itu, pendidikan non-formal berupa keterampilan-keterampilan, terutama yang bermanfaat untuk kegiatan ekonomi juga disinggung pada sub-bab ini.

Data pada Tabel 3.6 menunjukkan tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Pangkep. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan penduduk kabupaten ini masih rendah, karena lebih dari 70 persen berpendidikan SD ke bawah. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk ini kemungkinan sumbangan dari wilayah kepulauan yang mempunyai keterbatasan sarana pendidikan. Sebagai contoh, di Pulau Salemo sampai dengan tahun 2004 hanya tersedia sekolah setingkat SD. SMP (swasta) baru berdiri pada tahun 2004). Dengan demikian, sebelum tahun 2004 anak-anak

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 56

Page 75: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

usia sekolah yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi harus pergi ke luar daerah. Kondisi ini menyulitkan bagi penduduk yang tidak mempunyai kemampuan ekonomi. Meskipun pemerintah Kabupaten Pangkep telah mengeluarkan kebijakan pembebasan iuran pendidikan (SPP) bagi anak-anak sekolah sampai ke tingkat SMP dan juga memberikan insentif bagi guru-guru yang bersedia ditempatkan di wilayah terpencil, termasuk kepulauan, tidak tersedianya sekolah di lokasi tempat tinggal mereka menyebabkan anak-anak yang tinggal di daerah tersebut tidak bisa mendapat manfaat dari kebijakan yang berpihak pada penduduk miskin tersebut.

Jika dibedakan berdasarkan jenis kelamin, tampak bahwa penduduk laki-laki mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini terlihat dari lebih besarnya proporsi perempuan yang berpendidikan SD ke bawah daripada laki-laki. Sebaliknya, di tingkat pendidikan yang lebih tinggi, proporsi penduduk laki-laki lebih besar daripada perempuan. Fenomena tersebut merupakan hal yang umum ditemukan di berbagai daerah lain di Indonesia, termasuk daerah kepulauan (Romdiati dan Noveria, 2005). Anggapan bahwa laki-laki perlu mendapatkan pendidikan lebih tinggi daripada perempuan karena mereka adalah pencari nafkah utama dalam keluarga, nampaknya masih dianut oleh sebagian masyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika lebih banyak laki-laki yang melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Akibatnya, penduduk perempuan lebih tertinggal dari laki-laki dalam aspek pendidikan

Tabel 3.6

Distribusi Penduduk Usia 5 tahun ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin, Kabupaten Pangkajene dan

Kepulauan, 2005 (%)

Jenis Kelamin Tingkat pendidikan Tertinggi yang

Ditamatkan Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan

Tidak tamat SD 32,25 35,18 33,73 SD 34,45 36,16 36,34 SLTP Umum dan Kejuruan 13,05 13,15 13,09

SM ke atas 20,25 13,51 16,84 Jumlah 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS Kab Pangkep. 2004. Penduduk Kabupaten Pangkep 2003 : Hasil

Registrasi Penduduk. Pangkajene.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 57

Page 76: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Rendahnya tingkat pendidikan penduduk di Kabupaten Pangkep juga tercermin dari angka melek huruf, seperti diperlihatkan pada Tabel 3.7. Membandingkan penduduk berdasarkan jenis kelamin, angka melek huruf lebih tinggi pada kelompok laki-laki daripada penduduk perempuan. Salah satu kemungkinan yang menyebabkan hal ini terjadi adalah lebih tingginya tingkat pendidikan laki-laki daripada perempuan (lihat Tabel 3.6).

Diantara 12 kecamatan yang terletak di wilayah Kabupaten Pangkep, Kecamatan Liukang Kalmas mempunyai angka melek huruf tertinggi, sedangkan angka terendah ditemukan di Kecamatan Tondong Tallasa. Jika dikaitkan dengan ketersediaan sarana pendidikan, kenyataan ini menunjukkan hal yang kontradiksi karena sebagai daerah yang terletak di wilayah kepulauan, kemungkinan besar Kecamatan Liukang Kalmas mempunyai sarana yang terbatas. Kemungkinan lain yang menyebabkan tingginya angka melek huruf di kecamatan ini adalah berhasilnya program penuntasan buta aksara melalui Kejar (kelompok belajar) paket A yang telah dilaksanakan oleh pemerintah sejak lebih dari dua dekade terakhir. Lebih tingginya angka melek huruf diantara penduduk laki-laki juga mungkin disebabkan karena perempuan lebih sedikit yang menjadi peserta program tersebut dibandingkan dengan laki-laki. Berbagai alasan diduga menyebabkan hal ini terjadi. Salah satu diantaranya adalah keterbatasan waktu perempuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan di luar rumah, termasuk untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Dengan demikian, mudah dimengerti jika angka melek huruf penduduk perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 58

Page 77: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tabel 3.7

Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 10 tahun keAtas Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2003

(%)

Kecamatan Jenis Kelamin LK + PR LK PR

1 Liukang. Tangaya 87,36 75,86 81,6 2 Liukang Kalmas 93,0 89,25 91,19 3 Liukang Tupabbiring 83,34 86,15 84,99 4 Pangkajene 93,5 86,71 89,88 5 Balocci 91,2 87,5 89,28 6 Bungoro 88,43 82,67 85,64 7 Labakkang 85,04 73,33 78,32 8 Ma'rang 84,98 77,18 80,84 9 Segere 85,43 75,39 79,77

10 Minasa Te'ne 90,35 81,71 85,77 11 Tondong Tallasa 77,22 68,92 73,2 12 Mandalle 88,66 81,25 84,69

Jumlah 87,74 80,53 83,95

Sumber : BPS Kab Pangkep. 2004. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Pangkep Tahun 2003. Kerjasama Bappeda Kabupaten Pangkep.

Dua kecamatan lokasi penelitian menunjukkan pola yang sama dengan Kabupaten Pangkep dalam hal tingkat pendidikan penduduknya. Lebih dari tiga per empat penduduk di Kecamatan Liukang Tupabbiring dan Kecamatan Labakkang berpendidikan SD ke bawah (Gambar 3.4). Di Kecamatan Liukang Tupabbiring, terutama, angka ini bahkan hampir mencapai 80 persen. Kenyataan ini mudah dimengerti mengingat Kecamatan Liukang Tupabbiring terletak di wilayah kepulauan yang mempunyai berbagai keterbatasan, termasuk sarana pendidikan. Kebanyakan desa di kecamatan ini hanya mempunyai sarana pendidikan setingkat SD, sehingga setelah menamatkan SD anak-anak usia sekolah yang ingin melanjutkan pendidikan harus meninggalkan desa untuk tinggal di daerah lain yang mempunyai sarana pendidikan lebih tinggi. Untuk itu, diperlukan biaya tambahan, terutama biaya hidup selama tidak berada di rumah orang tua.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 59

Page 78: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Untuk meningkatkan keterampilan penduduk telah dilaksanakan pelatihan keterampilan di Kecamatan Liukang Tupabbiring. Salah satu pelatihan tersebut adalah di bidang mekanik, khusus untuk mesin kapal. Pelatihan ini telah diberikan kepada 15 orang peserta. Mereka pada umumnya anak-anak muda putus sekolah dengan rata-rata usia 20-an tahun. Dengan pelatihan ini diharapkan mereka dapat memperbaiki kapal-kapal nelayan di desanya yang mengalami kerusakan. Disamping bertujuan agar nelayan tidak perlu memperbaiki mesin kapalnya yang rusak ke luar desa, pelatihan ini juga merupakan salah satu upaya untuk mengalihkan mata pencaharian penduduk dari kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan SDL (terutama yang tidak ramah lingkungan) kepada sumber mata pencaharian lain. Dengan demikian, ketergantungan terhadap sumber mata pencaharian yang berkaitan dengan eksploitasi SDL dapat dikurangi, yang diharapkan akan mengurangi kerusakan SDL dan terumbu karang pada khususnya,

Gambar 3.4

Distribusi Penduduk Usia 5 tahun ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2005 (%)

Liukang Tupabbiring

55%33%

8% 4%

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 60

Page 79: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Labakkang

44%

33%

9%14%

Tidak tamat SD

SD

SLTP Umum dan Kejuruan

SM ke atas

Sumber : BPS Kab Pangkep. 2004. Penduduk Kabupaten Pangkep 2003 : Hasil Registrasi Penduduk Pangkajene.

Rendahnya tingkat pendidikan penduduk juga ditemukan di wilayah Kelurahan Pundata Baji, seperti terlihat pada Tabel 3.8. Sebanyak 83 persen penduduk kelurahan ini adalah mereka yang berpendidikan SD ke bawah. Penduduk yang tidak/belum sekolah serta mereka yang tidak tamat SD bahkan mencapai 42 persen. Jika dikaitkan dengan ketersediaan sarana pendidikan, kenyataan ini terlihat memprihatinkan. Sarana pendidikan sampai ke tingkat SLTA tersedia di lokasi kelurahan ini, sehingga alasan seperti ’lokasi sekolah jauh dari rumah dan sulit dicapai’ sulit diterima untuk menjelaskan keadaan tersebut. Faktor lain kemungkinan berperan dalam menciptakan keadaan tersebut. Salah satu diantaranya adalah kesadaran terhadap pentingnya pendidikan, baik di kalangan orang tua dan terutama anak-anak. Tanpa kesadaran dan motivasi yang tinggi untuk bersekolah, maka sangat kecil kemungkinan untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, meskipun sarana/prasarana tersedia.

Pendidikan informal yang berupa peningkatan ketrampilan bagi penduduk di wilayah pesisir dan kepulauan merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dari pendidikan formal. Beberapa peserta pelatihan seperti telah dikemukakan sebelumnya, yaitu kursus etrampilan untuk memperbaiki mesin kapal berasal dari Desa Mattiro Bombang. Kursus ketrampilan lainnya yang diupayakan oleh Dinas Perikanan bekerjasama dengan Departemen Perindustrian ditujukan pada wanita nelayan, adalah pemanfaatan limbah kerang. Hasil karya yang berupa bermacam-macam hiasan rumah dari limbah kulit kerang tersebut diharapkan dapat menambah

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 61

Page 80: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

penghasilan keluarga nelayan (wawancara dengan seorang narasumber, pejabat di Kabupaten Pangkep).

Tabel 3.8

Penduduk Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, Kelurahan Pundata Baji Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkajene

dan Kepulauan, 2005

Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

Jumlah Persentase

Tidak/belum sekolah/tidak tamat SD 1.733 41,8 SD 1.712 41,3 SMP 315 7,6 SLTA 352 8,5 Akademi/D1-D2 13 0,3 Sarjana (S1-S3) 17 0,4

Jumlah 4.142 100,0

Sumber: Monografi Kelurahan Pundata Baji, Desember 2005

Hasil penelitian ini mendukung fenomena yang terjadi di tingkat kabupaten dan kecamatan di bidang pendidikan. Hal ini terlihat dari capaian pendidikan diantara anggota rumah tangga yang terpilih sebagai sampel penelitian. Lebih dari tiga per empat anggota rumah tangga terpilih di dua lokasi penelitian berpendidikan rendah (SD ke bawah) (Gambar 3.5). Di lokasi kepulauan (Desa Mattiro Bombang) proporsi ini bahkan lebih besar. Disamping keterbatasan sarana sekolah, kenyataan ini juga disebabkan oleh rendahnya motivasi untuk sekolah di kalangan penduduk desa ini. Pada umumnya tingkat kelulusan pendidikan (SD) rendah karena cukup banyak yang putus sekolah, terutama untuk membantu orang tua melaut. Mereka yang putus sekolah ini oleh penduduk setempat disebut sebagai ’patah potlot’.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 62

Page 81: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Gambar 3.5 Distribusi Anggota Rumah Tangga Terpilih Usia 7 tahun ke atas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Lokasi Penelitian,

Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2005 (%)

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Belum/ tidaksekolah

Belum/ tidaktamat SD

SD tamat SLTP tamat SLTA tamat keatas

Pundata Baji Mattiro Bombang

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

3.3. Pekerjaan

Sub-bab ini mendeskripsikan pekerjaan penduduk di lokasi penelitian, terutama di sektor perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Pembahasan pada bagian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kegiatan ekonomi penduduk, dengan fokus pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut pada umumnya serta terumbu karang pada khususnya. Seperti pada dua sub-bab sebelumnya analisis bagian ini dilakukan pada tingkat kabupaten, kecamatan dan desa/kelurahan yang menjadi lokasi penelitian.

Penduduk di Kabupaten Pangkep bekerja di berbagai sektor ekonomi, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 3.9. Dari data pada tabel tersebut terlihat bahwa pertanian merupakan sektor yang paling menonjol, dimana sektor tersebut menampung sebanyak 60 persen tenaga kerja. Sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar kedua adalah perdagangan (12,5

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 63

Page 82: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

persen). Berdasarkan keadaan ini dapat dikatakan bahwa sektor pertanian masih menjadi tumpuan kegiatan ekonomi masyarakat karena sebagian besar mereka mempunyai matapencaharian di sektor tersebut.

Tabel 3.9

Distribusi Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha dan Kecamatan, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2003 (%)

Lapangan Usaha Kecamatan Pertanian Industri Dagang Jasa Lainnya

1 Liukang Tangaya 78,5 5,2 8,2 3,7 4,4 2 Liukang Kalmas 90,8 0,8 2,5 1,7 4,2 3 Liukang Tupabbiring 67,2 6,8 15,8 3,9 6,2 4 Pangkajene 25,4 14,0 21,8 15,0 23,8 5 Balocci 36,8 6,3 11,6 10,5 34,7 6 Bungoro 42,0 15,1 14,1 8,7 20,1 7 Labakkang 57,4 2,8 16,1 10,4 13,3 8 Ma'rang 75,0 6,1 6,1 8,9 3,9 9 Segere 70,3 4,9 10,0 5,9 8,9

10 Minasa Te'ne 60,4 8,8 13,8 7,6 9,4 11 Tondong Tallasa 81,2 4,0 7,9 3,0 4,0 12 Mandalle 72,4 - 7,9 9,2 10,5

Kabupaten Pangkep 60,2 7,15 12,5 7,9 12,2 Sumber : BPS Kab Pangkep. 2004. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten

Pangkep Tahun 2003. Kerjasama Bappeda dengan BPS Kab.

Terdapat perbedaan sektor pekerjaan penduduk pada setiap kecamatan yang termasuk wilayah Kabupaten Pangkep. Proporsi pekerja di sektor pertanian yang terbesar ditemukan di Kecamatan Liukang Kalmas, sementara yang paling kecil di Kecamatan Pangkajene. Sebagai daerah kepulauan, kesempatan kerja di Kecamatan Liukang Kalmas didominasi oleh pekerjaan-pekerjaan di sektor pertanian. Sebaliknya, sektor-sektor lain seperti jasa dan industri belum berkembang di wilayah ini karena lokasinya yang berada di kepulauan tidak memungkinkan kegiatan-kegiatan ekonomi di sektor jasa dan industri berkembang. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika mayoritas penduduk di wilayah ini bekerja di sektor pertanian. Untuk Kecamatan Pangkajene, kecilnya proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian kemungkinan karena kecamatan ini merupakan pusat Kabupaten Pangkep yang terletak di daerah perkotaan yang memiliki potensi pertanian terbatas. Akibatnya, kesempatan kerja di sektor pertanian yang tersedia di

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 64

Page 83: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Kecamatan Pangkajene ini paling sedikit dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya. Sektor perdagangan dan jasa yang memang merupakan sektor ekonomi perkotaan menyerap tenaga kerja dalam proporsi yang relatif besar. Khusus untuk sektor perdagangan, proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor ini hanya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan yang bekerja di sektor pertanian. Selanjutnya, sektor ‘lainnya’ yang merupakan gabungan dari beberapa sektor, antara lain konstruksi dan keuangan, yang juga merupakan sektor ekonomi perkotaan, mempunyai peran yang besar pula dalam menyerap tenaga kerja di Kecamatan Pangkajene.

Tabel 3.10

Distribusi Penduduk yang Bekerja Menurut Desa dan Lapangan Usaha, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan,

2005 (%)

Lapangan Usaha Desa Pertanian Industri Dagang Jasa Lainnya

Mattiro Deceng 83,4 0,8 9,4 0,9 5,5 Mattiro Sompe 81,8 1,2 10,5 0,8 5,7 Mattiro Uleng 18,5 1,8 41,5 0,8 37,3 Mattiro Bulu 79,0 0,9 10,0 2,4 7,6 Mattiro Langi 77,9 1,7 13,1 1,2 6,2 Mattiro Matae 59,8 2,0 17,5 5,3 14,6 Mattiro Walie 73,0 2,4 10,9 3,6 10,1 Mattiro Kanja 29,0 21,5 24,3 2,2 23,0 Mattiro Bombang 66,0 12,3 12,1 0,6 9,0 Mattiro Bone 58,1 2,4 22,9 4,8 11,9 Mattiro Labangeng

30,7 4,5 31,1 5,3 28,4

Mattiro Dolangeng

70,2 5,4 15,1 1,5 7,7

Mattiro Ujung 63,8 4,4 18,8 3,3 9,6 Battiro Baji 56,3 19,8 12,8 1,7 9,3 Mattiro Adae 75,3 2,3 12,0 1,3 9,0

Jumlah N

65,9 4.820

5,0 369

15,7 1.146

1,9 139

11,4 833

Sumber: BPS Kabupaten, 2005. Kecamatan Liukang Tuppabiring Dalam Angka 2005/2006.

Tabel 3.10 menyajikan data tentang lapangan pekerjaan penduduk di semua desa yang termasuk wilayah Kecamatan Liukang Tupabbiring. Di

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 65

Page 84: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Desa Mattiro Bombang yang menjadi lokasi penelitian untuk kawasan kepulauan, proposi terbesar penduduk bekerja di sektor pertanian, diikuti oleh sektor industri dan perdagangan. Mengingat sektor pertanian di daerah ini didominasi oleh sub-sektor perikanan, maka penduduk yang bekerja di sektor pertanian pada umumnya melakukan kegiatan-kegiatan di bidang perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya. Kelompok ini mencakup mereka yang bekerja sendiri serta yang bekerja pada orang lain, seperti penjaga tambak. Pekerja di bidang industri pada umumnya adalah penduduk yang bekerja di industri pengolahan, terutama pengolahan SDL, seperti usaha pengupasan kepiting yang terdapat di beberapa desa di kecamatan ini. Sebagaimana telah dibicarakan pada Bab II, kebanyakan dari mereka merupakan buruh harian lepas yang hanya bekerja jika ada kepiting hasil tanggapan nelayan. Selanjutnya, pekerja di sektor perdagangan ádalah penduduk yang membuka warung/toko, menjual berbagai keperluan rumah tangga, termasuk juga keperluan untuk melaut seperti jaring, serta pedagang pengumpul hasil tangkapan nelayan.

Sejalan dengan kondisi di tingkat kabupaten dan kecamatan, sebagian besar ART dari rumah tangga yang terpilih di kedua desa/kelurahan lokasi penelitian ini juga bekerja di sektor pertanian (Tabel 3.15). Proporsi ART yang bekerja di sektor pertanian ini lebih besar ditemukan di Desa Mattiro Bombang daripada di Kelurahan Pundata Baji. Jika diperhatikan dari setiap sub-sektor, pekerja sektor pertanian di Kelurahan Pundata Baji menyebar pada berbagai sub-sektor, sementara di Desa Mattiro Bombang hanya terkonsentrasi pada perikanan tangkap. Hal ini disebabkan karena kesempatan kerja di sektor pertanian di Kelurahan Pundata Baji lebih bervariasi, seperti usaha tambak (udang dan bandeng) serta pertanian sawah. Sebagian wilayah daratan kepulauan ini telah dimanfaatkan untuk usaha tambak, baik yang dimiliki oleh penduduk setempat maupun penduduk dari luar daerah. Di Desa Mattiro Bombang, karena keterbatasan kondisi alam, hanya perikanan tangkap yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya untuk kehidupan ekonomi penduduk.

Dalam kegiatan melaut, nelayan Desa Mattiro Bombang juga mengambil rumput laut, disamping berbagai jenis ikan. Rumput laut ini kemudian dikeringkan dengan bantuan sinar matahari dan dijual kepada pedagang pengumpul yang mendatangi nelayan ke rumah-rumah mereka. Meskipun harganya relatif murah (rumput laut kering dijual dengan harga Rp. 1.000,-/kg) jenis SDL ini menjadi salah satu sumber pendapatan bagi nelayan di Desa Mattiro Bombang.

Di Desa Mattiro Bombang ada pula penduduk yang melakukan usaha budidaya teripang serta jenis-jenis SDL lainnya seperti ikan kerapu,

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 66

Page 85: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

dengan bibit yang diperoleh dari laut. Kegiatan ini dilakukan di laut di pinggir pantai dengan membuat semacam tambak tempat memelihara dan membesarkan SDL tersebut. Setelah mencapai ukuran yang layak untuk dijual, teripang serta berbagai jenis ikan yang dibudidayakan tersebut kemudian dijual melalui pedagang pengumpul yang datang ke desa ini.

Kegiatan perikanan di kedua lokasi penelitian tidak hanya terbatas pada kenelayanan dan usaha tambak, akan tetapi juga kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengannya. Salah satu yang menonjol adalah perdagangan, yang dilakukan oleh pedagang pengumpul yang membeli hasil tangkapan nelayan. Beberapa pedagang pengumpul mempunyai ikatan dengan nelayan, sebagai pemberi pinjaman (hutang). Hutang nelayan kemudian dibayar dengan tencicil, dari penjualan hasil tangkapan mereka.

Gambar 3.6

Distribusi ART Terpilih Menurut Lapangan Pekerjaan Utama dan Desa/Lokasi Penelitian, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (%)

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Perik

anan

tangk

ap

Perta

nian

pang

an

Indus

tripe

ngola

han

Perda

gang

an

Angk

utan

Perik

anan

budid

aya

Jasa

Bang

unan

Peter

naka

n

Labakang Liukang Tuppabiring

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang

Indonesia, 2006

Di kedua desa/kelurahan lokasi penelitian terdapat usaha pengolahan/pengeringan ikan yang berskala rumah tangga. Usaha ini pada umumnya dilakukan di rumah-rumah dengan hanya melibatkan anggota rumah tangga masing-masing, tanpa bantuan tenaga orang lain. Ikan yang dikeringkan ini pada umumnya adalah jenis ikan teri dan ikan gamasi, terutama dilakukan oleh penduduk di Kelurahan Pundata Baji. Seperti

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 67

Page 86: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

halnya ikan segar, penjualan ikan kering ini dilakukan melalui perantara pedagang pengumpul yang mendatangi rumah-rumah penduduk yang melakukan usaha pengolahan ini. Ikan kering menjadi alternatif lauk bagi penduduk pada saat produksi ikan basah berkurang.

Jika diperhatikan dari status pekerjaannya, proporsi terbesar ART dari rumah tangga terpilih dalam penelitian ini berusaha sendiri. Pekerja yang termasuk dalam kelompok ini adalah nelayan yang pergi melaut sendiri. Dari hasil FGD dengan kelompok nelayan diketahui bahwa kebanyakan nelayan, terutama yang bekerja menangkap kepiting melakukan pekerjaan secara sendiri-sendiri. Proporsi ART yang bekerja sebagai buruh menduduki urutan kedua terbesar untuk kedua desa/kelurahan penelitian. Namun demikian, proporsi pekerja yang berstatus sebagai buruh di Kelurahan Pundata Baji dua kali lebih besar daripada kelompok yang sama di Desa Mattiro Bombang. Ini juga Sangat berkaitan dengan lebih bervariasinya sektor pekerjaan di Kelurahan Pundata Baji. Jika di Desa Mattiro Bombang pekerja yang berstatus sebagai buruh pada umumnya adalah mereka yang bekerja pada industri pengolahan kepiting, buruh di Kelurahan Pundata Baji bekerja di berbagai usaha. Salah satu diantaranya adalah pekerja tambak, baik yang dibayar dengan sistim gaji maupun bagi hasil. Selain itu, sebagian dari mereka adalah buruh penggarap sawah. Meskipun pertanian sawah di Kelurahan Pundata Baji hanya dilakukan sekali dalam setahun, mereka yang memiliki lahan sawah yang luas mempekerjakan tenaga kerja setempat sebagai buruh.

Tabel 3.11 Distribusi ART Terpilih Menurut Status Pekerjaan Utama dan

Desa/Lokasi Penelitian, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (%)

Desa/Kelurahan Status Pekerjaan Utama Pundata

Baji Mattiro

Bombang

Total

Berusaha sendiri 34,2 43,8 39,0 Berusaha dengan anggota keluarga 6,7 9,8 8,2 Berusaha dengan buruh 3,1 - 1,6 Buruh 35,1 17,9 26,5 Karyawan/PNS 12,0 1,3 6,7 Pekerja keluarga 8,9 27,2 18,0 Jumlah N

100,0 225

100,0 224

100,0 449

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 68

Page 87: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

3.4. Kesejahteraan

Berbagai pedekatan digunakan untuk memberi gambaran kesejahteraan suatu masyarakat, diantaranya dengan mengamati kehidupan ekonomi masyarakat tersebut. Pengamatan terhadap kepemilikan dan penguasaan suatu masyarakat terhadap aset produksi dan non produksi serta . pengamatan terhadap kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan, adalah merupakan salah satu cara dimaksud di atas. Bagian berikut ini mendeskripsikan pola kehidupan ekonomi masyarakat di kabupaten Pangkajene kepulauan dan kecamatan serta lokasi penelitian, yaitu Kelurahan Pundata Baji, kecamatan Labakkang dan desa Matirro Bombang, kecamatan Lk Tupabbiring.

3.4.1. Pemilikan dan Penguasaan Aset produksi

Pemilikan aset produksi dapat dikaitkan dengan hak memiliki sarana produksi maupun alat atau benda berharga lainnya yang bermanfaat bagi produksi. Sedangkan penguasaan terkait dengan hak memanfaatkan atau mengelola alat atau sarana produksi tanpa harus memilikinya. Rumah tangga usaha perikanan tangkap dan budidaya di Kabupaten Pangkep Aset produktif berupa armada kapal dan alat produksi perikanan laut termasuk lahan atau tempat budidaya rumput laut, berikut dengan sarana dan aset produksi darat. Demikian pula dengan aset perikanan budidaya di tambak. Menurut data sensus pertanian 2005 alat produksi yang umum digunakan dalam rumah tangga usaha perikanan tangkap di Kabupaten pangkep termasuk Kapal, perahu dan alat tangkap. (lihat pula bab II sebelumnya)

Menurut Sensus pertanian 2005, armada kapal atau perahu di Kabupaten Pangkep tersebut terdiri dari kapal motor, perahu tempel dan perahu papan. Dari tabel 3.16. berikut diketahui bahwa 85 persen kapal motor dari 5559 unit kapal motor yang ada adalah milik sendiri, sedangkan sisanya 15 persen berqasal dari lainnya. Sedangkan untuk perahu motor tempel 96 persen milik sendiri dan hanya 4 persen yang berasal dari lainnya. Jenis armada lainnya adalah perahu papan dengan jumlah keseluruhan sebesar 757 unit perahu papan baik berukuran kecil, sedang maupun besar. Kepemilikan perahu papan tersebut sepenuhnya merupakan milik sendiri, hal ini berbeda dengan kapal motor dan perahu tempel yang sebagian besar milik sendiri namun sebagian lainnya berasal dari lainnya. Dari keseluruhan perahu papan tersebut 50 poersennya adalah perahu papan besar. (Sensus pertanian, 2005)

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 69

Page 88: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tabel 3.12.

Jenis Sarana Penangkapan ikan yang dikuasai menurut jumlah dan Kepemilikan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2003

Kepemilikan Jenis Sarana

penangkapan ikan Jumlah milik sendiri Orang lain

Kapal Motor 5559 4736 823

Parahu Motor tempel 3878 3739 139

Perahu pepan besar 375 375 0

Perahu papan sedang 191 191 0

Perahu papan Kecil 191 191 0

Sumber: Data Sesnsus Pertanian, 2005

Aset produksi lainnya yang tidak kalah pentingnya dengan armada kapal adalah alat tangkap. Paling tidak ada 7 jenis alat tangkap, yaitu termasuk berbagai jenis pukat, jaring, pancing dan perangkap, yang dimiliki nelayan Pangkep dan penggunaannya disesuaikan dengan sasaran tangkapan mereka. (lihat tabel 3.13).

Tabel 3.13.

Jenis Alat Penangkapan Ikan yang dikuasai Menurut Kepemilikan, 2003

Kepemilikan Jenis Sarana penangkapan ikan Jumlah milik sendiri Orang lain

Pukat Tarik 5.061 4.238 823 Pukat Kantong 2.980 2.265 715 Pukat Cincin 0 0 0 Jaring Insang 42.123 41.161 962 Jaring Angkat 0 0 0 Pancing 45.807 38.194 7613 Perangkap 109.832 89.612 20.220 Alat pengumpul rumput laut, penangkap kerang, Teripang dan Kepiting

996 996 0

Lainnya 5.976 5.976 0

Sumber: Sensus Pertanian, 2005

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 70

Page 89: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tabel 3.13 menggambarkan jumlah alat dan jenis alat penangkap serta status penguasaan alat tangkap tersebut yang statusnya tidak satupun berasal dari sewa. Dari tabel tampak bahwa Jumlah total perangkap yang ada adalah 109832, dengan 81 persen diantaranya merupakan milik sendiri (89612) dan sisanya 20220 atau 19 persen berasal dari lainnya. Dilihat dari jenis alat tangkap, maka 4 persen alat tangkap adalah termasuk dalam jenis pukat yaitu, pukat Tarik dan Pukat Kantong, 80% pukat milik sendiri, sisanya berasal dari lainnya. Dari keseluruhan alat tangkap yang terbesar penggunaannya adalah perangkap yang mencapai 52 persen (80 persen milik sendiri). Di kabupaten Pangkep menurut data tersebut tidak satupun rumah tangga perikanan tangkap menggunakan pukat cincin dan jaring angkat. Jaring yang digunakan adalah termasuk jaring insang yaitu 19 persen yang mana 97 persen diantaranya milik sendiri, disusul oleh alat tangkap pancing sebesar 22 persen yang juga majoritas atau sebesar 83% diantaranya milik sendiri. Alat pengumpul rumput laut, penangkap kerang, penangkap teripang dan kepiting merupakan 0,5 persen dari alat perikanan tangkap yang digunakan di kabupaten Pengkep, sedangkan yang terakhir adalah alat tangkap lainnya yang merupakan 3 persen dari seluruh alat tangkap yang digunakan dengan status kepemilikan sepenuhnya milik sendiri. (mengenai armada tangkap dan alat tangkap lihat bab 2 sebelumnya)

Selain armada penangkapan ikan atau kapal dan alat tangkap, penting juga tersedianya aset produksi lainnya, terutama untuk perikanan budidaya baik di laut maupun di darat/ pesisir. Aset dimaksud adalah termasuk lahan untuk tambak dan lahan atau daerah laut sekitar pantai dan keramba untuk pembesaran ikan. Tidak kalah pentingnya pula adalah tersediannya bibit atau benur yang baik yang akan dibesarkan di tempat tersebut. (Lihat bab 2 sebelumnya).

Potensi budidaya kelautan termasuk budidaya ikan Baronang, ikan Kerapu dan Teripang serta rumput laut. Di Kabupaten pangkep buddaya kelautan tersebut di lakukan di pulau Gondong Bali. Potensi budidaya kelautan di Kabupaten Pangkep mencapai 3305 Ha dengan luas terumbu karang 36000 hektar. (www.sulsel.go.id/wilayah/pangkep/profil.html). Sejak tahun 2000 budidaya rumput laut baik di laut sekitar pulau, di tambak maupun di daerah pantai di Sulawesi Selatan termasuk di kabupaten Pangkep telah mendatangkan keuntung yang besar bagi para petaninya. Permintaan ekspor rumput laut dari tahun ke tahun terus meningkat dengan negara tujuan seperti China, beberapa negara di Uni Eropa dan Singapura, (http://kompas.com/kompas-cetak/0604/28/ekora/2612107.htm). Pada sektor perikanan budidaya lainnya, kabupaten pangkep adalah daerah penghasil udang dan ikan bandeng dengan luas tambak sebesar 10463,68 hektar.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 71

Page 90: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Kabupaten ini merupakan salah satu daerah pemasok utama bagi kebutuhan ikan bandeng di wilayah Sulawesi Selatan (www.sulsel.go.id/wilayah/pangkep/ profil.html). Berikut adalah gambaran hasil Pemilikan dan Penguasaan Aset produksi di kelurahan pundata baji dan Matirro bombang.

Gambaran hasil survei di daerah kelurahan/desa kepulauan dan daratan/pesisir diperolah bahwa di kelurahan Pundata baji (daerah pesisir), rumah tangga di daerah ini memiliki 27 persen unit perahu dalam, 55 persen unit perahu tempel dan 17 persen unit perahu tanpa motor. Perahu atau kapal tersebut memiliki berbagai ukuran mesin yang dikelompokan dalam mesin yang berukuran kurang dari 5 Pk; (5 – 19) PK; (20 -30) PK dan yang lebih dari 30 PK. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa 60 persen mesin perahu motor dalam di Pundata baji yang berukuran ( 5 – 19) PK, sedangkan 40 persen sisanya yaitu yang berukuran antara (20 – 30 ) PK dan yang lebih dari 30 PK masing-masing 20 persen. Untuk perahu tempel hanya ada dua macam ukuran mesin yaitu 93 persen yang berukuran antara (5 – 19) Pk dan sisanya yang lebih dari 30 PK.

Kemudian ukuran body perahu motor dan perahu tempel yang ada di Pundata Baji dikelompokan kedalam tiga kelompok ukuran body yaitu masing-masing kurang dari 5 GT, (5- 10) GT dan > 10 GT. Dari hasil survei diperoleh hasil 33% adalah kapal dengan body kurang dari 5 GT , sisanya 66 persen berukuran antara (5 – 10) GT. Sedangkan body perahu tempel yang ada di Pundata Baji 40 % berukuran kurang 5 GT dan 60 % lainnya berukuran (5 – 10) GT. Data berikut adalah aset produksi berupa alat tangkap di kelurahan Pundata Baji dan aset produksi lainnya yang berupa sarana pembesaran ikan dan udang serta rumput laut hasil budidaya yaitu lahan tambak. Dari hasil survei alat tangkap di Pundata baji diketahui bahwa 13 persen alat tangkap adalah bagan dan sisanya hampir 90 persen alat tangkap yang ada di kelurahan ini adalah jaring. Sedangkan sarana budidaya berupa lahan dari hasil survei diketahui bahwa 38 perse tambak di Pundata Baji berukuran kurang dari 5 hektar, 38 persen lainnya adalah berukuran antara 5 – 10 hektar. Sedangkan yang berukuran 11- 30 hektar berjumlah 11 persen, demikian juga yang berukuran lebih dari 30 hektar berjumlah 11 persen.

Hasil survei di Desa Matirro Bombang terungkap bahwa armada kapal di desa kepulauan ini terdiri dari 80 persen unit perahu dalam, 5 persen unit perahu tempel dan 15 persen unit perahu tanpa motor. Dari hasil pengelompokan ukuran mesin yang dikelompokan dalam mesin yang berukuran kurang dari 5 Pk; (5 – 19) PK; (20 -30) PK dan yang lebih dari 30 PK. Dari hasil survei tersebut diketahui bahwa 2 persen berukuran

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 72

Page 91: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

kurang dari 5 PK, 56 persen yang berukuran ( 5 – 19) PK, sedangkan yang berukuran antara (20 – 30 ) PK berjumlah 40 % dan yang lebih dari 30 PK berjumlah 2 persen. Di desa Matirro Bombang untuk perahu tempel hanya ada dua macam ukuran mesin yaitu yang berukuran antara (5 – 19) Pk dan yang lebih dari 30 Pk, dengan jumlah berturut-turut sebesar 83 persen dan 17 persen. Dari hasil survei diketahui bahwa di desa Matirro Bombang terdapat tiga macam perahu yaitu perahu motor dalam, perahu tempel dan perahu tanpa motor. Ukuran body dari ketiga macam perahu ini dikelompokan atas body yang berukuran kurang dari 5 GT , antara 5 – 10 GT dan yang lebih dari 10 GT. 1 % perahu motor dalam dan 60 persen perahu tanpa motor di Desa kepulauan ini berukuran body kurang dari 5 GT, sedangkan untuk perahu tempel seluruhnya berukuran antara (5 – 10 GT). Ukuran 5 – 10 GT ini merupakan ukuran body dari 70 persen perahu motor dalam dan 20 persen perahu tanpa motor di Matirro Bombang. Terakahir adalah ukuran body di atas 10 GT yang dimiliki oleh 28 persen perahu motor dalam dan 20 persen perahu tanpa motor.

Dari hasil interview dan FGD yang dilakukan di lapangan diketahui bahwa dari alat tangkap pada umunya masyarakat nelayan di desa kepulauan mempunyai jaring kepiting, namun hanya sebagian saja nelayan saja yang memiliki jaring secara lengkap, misalnya seperti yang dijumpai pada salah satu responden yang memiliki sekaligus jaring kepiting, jaring tenggiri, jaring hiu dan jaring untuk ikan Gamasi. Mengenai pemilikan perahu diketahui bahwa nelayan tradisional di desa kepulauan seperti di p.Salemo paling tidak memiliki perahu tanpa motor dengan alat tangkap sederhana yaitu pancin. Nelayan tradisonal ini biasanya hanya dapat melaut dalam jarak yang tidak jauh dari sekitar pulau Salemo dengan hasil yang tidak seberapa dibandingkan dengan nelayan lain yang dapat melaut lebih jauh dengan perjalanan yang memakan waktu 1,5 – 1 jam kearah laut yang lebih dalam. Jaring kepiting yang banyak dimiliki oleh nelayan lokal dipasang disekitar pulau. Alat tangkap yang dahulu banyak digunakan adalah Jaring cincin. Jaring ini adalah jaring yang dikenalkan oleh orang Balosi/ Maros kepada penduduk di P. Salemo. Jenis jaring lainya yang dijumpai di P. Salemo adalah Jaring pari atau jaring hiu yang dikenal juga sebagai Pukat pari/ hiu dengan ukuran mata jaring 24 inci. Informasi detail mengenai alat tangkap dan armada di desa kepulauan beserta teknologi penangkapannya telah dibahasas di bab sebelumnya, yaitu bab II (lihat bab II).

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 73

Page 92: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

3.4.2 Kondisi Tempat Tinggal dan kepemilikan aset non produksi

Pada umumnya penduduk di Kabupaten Pangkep memiliki tempat tinggal sendiri dengan kondisi sanitasi yang baik. Data dari Suseda 2003 menyebutkan bahwa 91,05 persn penduduk Kab Pangkep sudah tingal di rumah sendiri (memiliki tempat tinggal). Jenis lantai pada tempat tinggal penduduk di Kabupaten Pangkep tersebut berbahan dasar kayu, dengan 37,75 persen diantara rumah tinggal tersebut mempunyai Luas lantai yang kurang dari 50 m2. Kondisi perumahan di kecamatan Liukang Tupabbiring lebih dari 50 persen memiliki luas lantai lebih dari 50 m2. Kecamatan Labakkan 71,87 persen lebih dari 50 m2. Bahan kayu juga menjadi mayoritas bahan yang digunakan untuk dinding selain bambu dan sejenisnya. Hanya sebagian rumah saja yang memiliki dinding dari tembok, yaitu 11,73 persen untuk keseluruhan kabupaten Pangkep dan masing-masing di kecamatan . Lk. Tupabbiring dan labakkang dindidng tembok digunakan oleh 5,36 persen dan 8,13 persen penduduk. ( Mayoritas jenis atap rumah tinggal penduduk adalah atap layak (93,99 persen). Sumber : Suseda Kab Pangkep 2003. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kab Pangkep Tahun 2003. Kerjasama Bappeda dan BPS ). Menurut Sensus pertanian 2005, atap rumah seng merupakan atap yang majoritas dimiliki rumah tangga usaha perikanan tangkap (78 %). Kemudian atap asbes dan rubia/ ijuk dimiliki berturut-turut oleh 2 % dan 15 % rumah tangga. Sisanya berupa atap lainnya dimiliki oleh 5 5 rumah tangga. (sensus perikanan, 2005).

Mengenai Kondisi air minum umumnya penduduk kabupaten Pangkep memperoleh dari Sumber air minum berasal dari mata air/sumur atau pompa (76,6 persen). Sisanya sebesar 20,51 persen diperroleh dari sumber air yang dikelola oleh perusahaan air minum (melalui leding ).. Di Kec. Lk. Tupabbiring 99,11 persen sumber air minum berasal dari mata air/sumur/pompa. Sedangkan di Kec. Labakkang 69,37 persen sumber air minum berasal dari mata air/sumur/pompa dan 26,88 persen dari leding. (Sumber : Suseda Kab Pangkep 2003. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kab Pangkep Tahun 2003. Kerjasama Bappeda dan BPS Kab Pangkep). (Lihat tabel 3.14 ). Dari observasi lapangan diketahui bahwa di desa kepulauan di p. Salemo dengan tersedianya air tawar, penduduk tidak kesulitan air, hal ini bebeda dengan di Pundata Baji. Di Desa pesisir ini air lebih sulit didapatkan, sebagian besar penduduk mengandalkan jatah air yang dibawa oleh mobil tangki yang datang di lokasi tersebut. Saluran pipa air ledeng belum dapat menjangkau masyarakat di lokasi dekat pesisir.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 74

Page 93: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tabel. 3.14.

Tabel Kondisi Tempat Tinggal dan Sumber Air Minum di Kabupaten Pangkep Berdasarkan Kecamatan

Kecamatan Luas Lantai Jenis lantai Jenis Dinding Sumber air minum

<50m2 >50m2

Bukan tanah Tanah Kayu Tembok lainnya

Sumur/ mata air Leding Lainnya

1 Lk. Tangaya 56,25 43,75 93,75 6,25 78,13 21,87 100 0

2 Lk. Kalmas 23,44 76,56 98,44 1,56 84,68 15,32 100 0

3 Lk. Tupabbiring 35,71 64,29 94,64 5,36 50,89 5,36 43,75 99,11 0,89

4 Pangkajene 28,13 71,87 98,7 1,3 32,5 23,75 43,75 63,74 34,38 1,88

5 Balocci 68,75 31,25 98,75 1,25 67,5 31,25 1,25 65 35 0

6 Bungoro 30,11 69,89 98,3 1,7 40,91 18,18 40,91 77,27 16,48 6,25

7 Labakkang 28,13 71,87 94,38 5,62 23,12 8,13 68,75 69,37 26,88 3,75

8 Ma'rang 35,94 64,06 98,44 1,56 61,72 7,03 31,25 68,75 30,47 0,78

9 Segere 34,37 65,63 89,58 10,42 54,17 8,33 37,5 65,63 30,21 4,16

10 Minasa Te'ne 50,78 49,22 99,22 0,78 74,22 7,81 17,97 74,22 25 0,78

11 Tondong Tallasa 33,33 66,67 91,67 8,33 81,25 12,5 6,25 97,92 2,08 0

12 Mandalle 51,56 48,44 93,75 6,25 60,94 10,94 28,12 75 7,81 17,19

Kab. Pangkep 37,75 62,25 96,28 3,72 52,74 11,73 35,53 76,6 20,51 2,89

Sumber: Sumber : Suseda Kab Pangkep 2003. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kab. Pangkep Tahun 2003. Kerjasama Bappeda dan BPS Kab Pangkep

Tidak semua Rumah tangga di Pangkep memiliki Jamban dengan septik tank, hanya sekitar 77,08 persen yang telah memiliki tempat pembuangan air besar dengan septik tank tersebut. Gambaran yang ebih buruk dijumpai di Kec. Lk. Tupabbiring karena 100 persen rumah tangga di kecamatan tersebut belum mempunyai tangki penampungan air besar (jemplung). Sedangkan di Kec. Labakkang : 66,07 persen rumah tangga telah memiliki tempat pembuang air besar (tangki) dan 33,93 persen belum mempunyai tangki (Sumber : Suseda Kab Pangkep 2003. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kab Pangkep Tahun 2003. Kerjasama Bappeda dan BPS Kab Pangkep). Penduduk di desa kepulauan membangun rumahnya dengan konstruksi sebagian di atas laut.

Kondisi Penerangan di Kab Pangkep telah mulai membaik, dengan 70,48 persen rumah tangga telah memanfaatkan penerangan listrik PLN., bahkan di Kec. Lk. Tupabbiring : ada 87,50 persen rumah tangga yang memanfaatkan tenaga penerangan listrik non PLN, sisanya menggunakan petromak, pelita dan penerangan lainnya. Di Kecamata. Labakkang 90,00 persen rumah tangga telah memanfaatkan listrik PLN sedangkan sisanya

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 75

Page 94: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

menggunakan listrik non PLN, pelita dan lainnya. (Sumber : Suseda Kab Pangkep 2003. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Pangkep Tahun 2003. Kerjasama Bappeda dan BPS Kab Pangkep). Dari hasil observasi selama di lapangan bahwa di desa kepulauan khususnya p, Salemo listrik PLN sudah masuk, hanya saja dengan sistem yang ada belum dapat menerangi desa selama 24 jam dengan kata lain listrik PLN padaam setiap pukul 11 waktu setempat. Setelah listrik padam, penduduk menggunakan lentera sebagai pengganti penerangan. Berbeda dengan di kecamatan daratan yang telah dialiri listrik dan dapat menerangi kawasan sampai 24 jam.

Untuk keperluan bahan bakar dari sensus pertanian 2005, diketahui bahwa jenis bahan bakar yang digunakan di Rumah Tangga usaha perikanan tangkap di Kabupaten Pangkajene pada umumnya adalah bahan bakar kayu, disusul minyak tanah dan arang kayu (tempurung). Sedangkan Sisanya menggunakan gas elpiji. Bahan bakar kayu digunakan oleh 68 persen rumah tangga, Minyak tanah oleh 29 persen rumah tangga dan Arang kayu digunakan oleh 2 persen rumah tangga. Sedangkan gas elpiji baru digunakan oleh 0,5 % rumah tangga.(Sensus pertanian, 2005).

Selain kondisi rumah tinggal sebagai diuraikan di atas, kondisi perumahan dan Sanitasi lingkungan juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sanitasi dikedua lingkungan desa dan kelurahan di tempat penelitian secara umum kurang baik, terutama di desa pesisir di kawasan Pundata Baji. Tampak saluran yang tidak terpelihara dengan baik dan sebagian lainnya tidak ada saluran. Sistem pembuangan sampah di lokasi desa pundata baji menurut dokter Puskesmas setempat telah dibantu dengan mobil pembuangan sampah yang setiap hari mendatangi lokasi warga. Namun di desa pantai di Matirro Bombang pembuangan sampah masih di lakukan di laut.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 76

Page 95: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

BAB IV PENDAPATAN

Bab ini berisi pembahasan mengenai pendapatan, baik dalam level makro maupun di tingkat mikro. Pembahasan pada level makro mencakup pendapatan di tingkat kabupaten, yang ditunjukkan oleh Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Pemilihan PDRB untuk menggambarkan pendapatan daerah didasarkan pada pertimbangan bahwa PDRB merupakan salah satu indikator untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dan sektor ekonomi serta peranan tiap sektor tersebut terhadap pendapatan daerah. PDRB juga berguna untuk menggambarkan struktur ekonomi suatu daerah (Bappeda & BPS Kabupaten Pangkep, 2004). Selanjutnya, analisis di tingkat mikro bertolak dari data pendapatan masyarakat di tingkat desa, dengan fokus pada rumah tangga yang terpilih menjadi sampel dalam penelitian ini.

Bahasan mengenai pendapatan ini diperlukan karena pendapatan dipakai sebagai salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan Coremap. Dalam Appendix 3, Project Appraisal Document (World Bank, 2004) disebutkan bahwa salah satu indikator untuk mengukur capaian program ini adalah meningkatnya pendapatan penduduk dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya sebesar 10 persen. Meskipun indikator pendapatan lebih difokuskan pada pendapatan di tingkat mikro (masyarakat desa), gambaran pendapatan di tingkat makro (kabupaten) diperlukan sebagai konteks dalam analisis pendapatan pada level mikro.

4.1. Pendapatan Kabupaten Pangkep

Analisis pendapatan di tingkat kabupaten didasarkan pada data sekunder, yaitu publikasi yang dikeluarkan oleh Bappeda dan BPS Kabupaten Pangkep. Untuk memberikan gambaran mengenai kondisi yang mutakhir mengenai perekonomian Kabupaten Pangkep, pembahasan dibatasi pada kondisi beberapa tahun terakhir, dari tahun 1999 sampai 2003, sesuai dengan ketersediaan data.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 77

Page 96: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

4.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Pangkep

Data memperlihatkan bahwa PDRB Kabupaten Pangkep mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Tabel 4.1). PDRB yang berjumlah Rp. 1.035.680.000,- pada tahun 1999 mengalami kenaikan secara gradual dan di tahun 2003 berhasil mencapai angka Rp. 1.667.700.000,-. Kenyataan ini merupakan refleksi dari meningkatnya kondisi perekonomian (makro) kabupaten ini. Meskipun secara nominal pendapatan Kabupaten Pangkep meningkat setiap tahun, peningkatan yang terjadi berfluktuasi, dengan yang tertinggi (21,54 persen) terjadi antara tahun 1998-1999. Sebaliknya, peningkatan pendapatan terendah dialami oleh kabupaten ini pada tahun 2002-2003, dengan hanya 5,62 pesen lebih tinggi daripada tahun 2002. Sejalan dengan fluktuasi peningkatan jumlahnya, sumbangan PDRB Kabupaten Pangkep terhadap PDRB Propinsi Sulawesi Selatan juga berfluktuasi setiap tahun selama periode 1999-2003. Kontribusi paling rendah terjadi pada tahun 2003 (sebesar 4,14 persen), setelah mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4,32 persen.

Tabel 4.1

PDRB Kabupaten Pangkep Atas Harga Berlaku, 19990-2003

Tahun PDRB (milyar rupiah)

Persentase Pertumbuhan

Persentase terhadap PDRB Propinsi Sulsel

1999 1.035,68 21,54 4,30

2000 1.214,30 17,25 4,37

2001 1.379,88 13,64 4,30

2002 1.579,01 14,43 4,32

2003 1.667,70 5,64 4,14

Rata-rata 14,50 4,29

Sumber: Bappeda & BPS Kabupaten Pangkep, 2004

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 78

Page 97: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

4.1.2. Sektor Ekonomi: sumbangannya terhadap PDRB dan pertumbuhannya

Pembahasan mengenai pendapatan daerah pada sub-bagian ini didasarkan pada keadaan PDRB per sektor ekonomi, terutama sektor yang berpengaruh signifikan terhadap perekonomian Kabupaten Pangkep. Jika dibedakan berdasarkan sektor ekonomi sumbangan terbesar terhadap PDRB Kabupaten Pangkep berasal dari sektor industri pengolahan. Dengan memasukkan kegiatan ekonomi PT Semen Tonasa dalam perhitungan PDRB, sumbangan sektor industri pengolahan mencapai lebih dari 40 persen jumlah PDRB Kabupaten Pangkep sejak tahun 1999 (Tabel 4.2). Berdasarkan data pada tabel tersebut tampak bahwa sektor pertanian berada pada urutan kedua penyumbang terbesar bagi PDRB Kabupaten Pangkep. Perbedaan sumbangan antara sektor industri pengolahan dengan sektor pertanian terlihat cukup mencolok, dimana sumbangan sektor pertanian sebesar kurang dari separuh sumbangan sektor industri pengolahan setiap tahun. Selanjutnya, sumbangan sektor-sektor lain tidak mencapai 10 persen dari total PDRB. Sumbangan sektor listrik, gas dan air terhadap PDRB kabupaten bahkan kurang dari 1 persen.

Meskipun sektor industri pengolahan memberikan kontribusi paling besar terhadap PDRB Kabupaten Pangkep, kenyataan ini tidak berarti bahwa sektor ini memberikan nilai ekonomi paling besar terhadap penduduk daerah ini. Manfaat sektor ini lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat mengingat sumbangan terbesar terhadap sektor industri pengolahan berasal dari kegiatan PT Semen Tonasa (Bappeda & BPS Kabupaten Pangkep, 2004). Mengingat kegiatan industri ini melibatkan bahan tambang yang izin eksploitasinya merupakan kewenangan pemerintah pusat, maka sebagian keuntungan yang dihasilkannya menjadi pendapatan negara yang harus diserahkan kepada pemerintah pusat. Kabupaten Pangkep juga menerima pendapatan dari industri tersebut, dengan jumlah yang sesuai dengan ketentuan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang berlaku. Pendapatan dari sektor industri pengolahan ini kemudian menjadi salah satu sumber dana bagi pembangunan daerah Kabupaten Pangkep. Bertolak dari kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa manfaat dari sektor industri pengolahan tidak dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat, misalnya melalui pendapatan dari pekerjaan-pekerjaan di sektor ini. Penyerapan tenaga kerja di sektor industri yang hanya sebesar 7,21 persen, sementara di lain pihak sektor pertanian mampu menyerap lebih dari 60 persen tenaga kerja (Bappeda dan BPS Kabupaten Pangkep, 2004) memperkuat kenyataan bahwa sektor industri pengolahan bukan pemberi manfaat terbesar bagi perekonomi di tingkat masyarakat.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 79

Page 98: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tabel 4.2

Distribusi PDRB Kabupaten Pangkep Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku, 1999-2003 (dengan Semen Tonasa)

Lapangan Usaha 1999 2000 2001 2002 2003

Pertanian 24,76 23,14 21,50 20,04 19,29 Pertambangan dan penggalian

5,46 5,76 6,77 7,58 8,28

Industri pengolahan 48,32 49,62 48,26 48,38 47,10 Listrik, gas dan air 0,47 0,46 0,45 0,44 0,46 Bangunan/konstruksi 3,07 3,26 3,15 3,17 3,95 Perdagangan, hotel dan restoran

5,32 5,10 5,32 5,43 5,25

Angkutan dan komunikasi 4,60 4,36 4,57 4,36 4,43 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan

1,73 2,31 2,58 2,70 2,94

Jasa-jasa 6,26 5,98 7,39 7,91 8,30 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: Bappeda & BPS Kabupaten Pangkep, 2004

Besarnya sumbangan sektor-sektor ekonomi terhadap PDRB Kabupaten Pangkep mengalami perubahan jika nilai ekonomi yang berasal dari kegiatan PT Semen Tonasa tidak dimasukkan dalam perhitungan. Industri pengolahan tidak lagi menjadi sektor yang dominan dalam memberi kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Pangkep, sejalan dengan meningkatnya proporsi sumbangan dari sektor-sektor ekonomi lainnya. Selama tahun 2000-2002 sumbangan terbesar terhadap PDRB berasal dari sektor pertanian (lihat Tabel 4.3). Meskipun pada tahun 1999 dan 2002 sektor pertanian berada di bawah industri pengolahan, perbedaan proporsi sumbangan diantara keduanya terlihat tidak mencolok. Selanjutnya, hal menarik yang ditemui setelah dikeluarkannya sumbangan PT Semen Tonasa terhadap PDRB kabupaten ini adalah meningkatnya persentase sumbangan sektor jasa-jasa. Jika dengan Semen Tonasa sektor ini menyumbang kurang dari 10 persen terhadap PDRB Kabupaten Pangkep, setelah industri tersebut dikeluarkan sumbangan sektor jasa mencapai lebih dari 10 persen, terutama selama tiga tahun terakhir penghitungan. Selanjutnya, persentase sumbangan sektor-sektor lain tidak mengalami perubahan yang berarti.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 80

Page 99: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tabel 4.3

Distribusi PDRB Kabupaten Pangkep Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku, 1999-2003 (tanpa Semen Tonasa)

Lapangan Usaha 1999 2000 2001 2002 2003

Pertanian 32,06 33,01 29,96 28,42 26,54 Pertambangan dan penggalian

7,07 8,22 9,44 10,75 11,40

Industri pengolahan 33,09 28,11 27,88 26,79 27,20 Listrik, gas dan air 0,61 0,66 0,63 0,62 0,64 Bangunan/konstruksi 3,98 4,66 4,39 4,49 5,44 Perdagangan, hotel dan restoran

6,89 7,28 7,42 7,70 7,23

Angkutan dan komunikasi

5,96 6,23 6,36 6,18 6,09

Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan

2,23 3,30 3,60 3,83 4,05

Jasa-jasa 8,11 8,53 10,31 11,22 11,42 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: Bappeda & BPS Kabupaten Pangkep, 2004

Dengan mengeluarkan PT Semen Tonasa yang merupakan sektor industri berskala nasional tersebut, dalam arti pengurusan perizinan dan pengelolaan keuntungannya melibatkan kewenangan pemerintah pusat, struktur ekonomi Kabupaten Pangkep mencerminkan tipikal perekonomian daerah agraris. Sektor pertanian masih merupakan tumpuan utama perekonomian masyarakat. Meskipun secara makro sektor ini sering berada pada posisi kedua dalam urutan penyumbang terhadap PDRB, dalam tataran mikro (di tingkat masyarakat) sektor pertanian memberi manfaat ekonomi terbesar. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, misalnya, sektor ini menampung tenaga kerja terbesar, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Hal ini berarti bahwa masyarakat mendapat manfaat secara langsung dari sektor ini karena sebagian besar dari mereka memperoleh pendapatan dari kegiatan-kegiatan di sektor pertanian. Dengan kata lain, sektor pertanian masih menjadi sumber pendapatan yang dominan bagi masyarakat.

Pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di Kabupaten Pangkep bervariasi sepanjang waktu. Selama periode 1999-2003 pertumbuhan rata-rata tertinggi dialami oleh sektor pertambangan, diikuti oleh sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor industri pengolahan

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 81

Page 100: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

(Tabel 4.4). Sektor yang mengalami rata-rata pertumbuhan terendah sepanjang periode tersebut adalah sektor pertanian. Pada tahun 2001 dan 2002 pertumbuhan sektor ini bahkan mencapai titik terendah, dengan masing-masing sebesar -0,37 persen dan -2,91 persen secara berturut-turut. Mengingat sektor pertanian merupakan gabungan dari beberapa sub-sektor (pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan pertanian lainnya), maka penurunan ini terjadi akibat menurunnya pendapatan dari masing-masing sub-sektor tersebut. Pada sub-sektor perikanan, misalnya, produksi perikanan tangkap mengalami penurunan dari 11.357,3 ton pada tahun 2000 menjadi 10.598,0 ton pada tahun 2001 serta 7.050,0 ton pada tahun 2002 (Bappeda dan BPS Kabupaten Pangkep, 2005). Produksi padi sawah juga mengalami penurunan, yaitu dari 123.230 ton pada tahun 2000 menjadi 114.618 ton dan 111.264 ton pada tahun 2001 dan 2002 secara berturut-turut. Berkurangnya hasil produksi secara langsung berakibat pada penurunan pendapatan dari penjualan hasil produksi tersebut.

Tabel 4.4

Pertumbuhan Riil Setiap Sektor Ekonomi Kabupaten Pangkep, 1999-2003 (%)

Sektor Ekonomi 1999 2000 2001 2002 2003 Rata-rata

Pertanian 3,25 2,39 -0,37 -2,91 1,84 0,84 Pertambangan dan penggalian

19,62 3,07 17,77 14,51 8,64 12,72

Industri pengolahan 11,03 6,78 4,56 9,60 5,07 7,41 Listrik, gas dan air 3,57 4,04 3,27 7,39 9,30 5,51 Bangunan/konstruksi -7,63 3,15 0,96 9,94 25,57 6,40 Perdagangan, hotel dan restoran

3,33 4,35 6,12 7,36 5,51 5,33

Angkutan dan komunikasi 3,97 5,79 1,07 3,58 8,11 4,50 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan

-9,04 34,01 7,77 4,80 13,62 10,23

Jasa-jasa 1,51 0,42 15,60 5,30 9,11 6,39 PDRB 5,86 5,03 4,67 5,53 6,01 5,42

Sumber: Bappeda & BPS Kabupaten Pangkep, 2004

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 82

Page 101: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tingginya rata-rata pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian kemungkinan terjadi akibat semakin banyaknya perusahaan yang bergerak di bidang ini. Seperti telah dikemukakan pada Bab II, Kabupaten Pangkep mempunyai kekayaan potensi sumberdaya tambang, seperti marmer, yang jika dieksplorasi menjadi sumber pendapatan bagi daerah ini. Sejalan dengan semangat otonomi daerah, dimana kewenangan yang lebih besar diberikan kepada daerah untuk melaksanakan pembangunan maka peluang untuk mengembangkan sektor-sektor ekonomi potensial, termasuk sektor pertambangan, di kabupaten ini menjadi lebih terbuka. Hal ini terlihat dari bertambahnya jumlah perusahaan/usaha industri dari 2.216 unit pada tahun 2000 menjadi 2.292 unit di tahun 2004 (Bappeda dan BPS Kabupaten Pangkep, 2005). Diantara perusahaan tersebut terdapat pula perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan.

4.1.3. Pendapatan dari Sektor Pertanian dan Sub-sektor Perikanan

Sektor pertanian mencakup beberapa sub-sektor, yaitu sub-sektor tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Dari kelima sub-sektor tersebut, dominasi besarnya sumbangan terhadap pendapatan sektor pertanian berada pada sektor perikanan. Pada tahun 2003, dari 26,54 persen kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Pangkep, sebesar 15,71 persen berasal dari sub-sektor perikanan (Bappeda dan BPS Kabupaten Pangkep, 2004). Jika dibandingkan dengan empat tahun sebelumnya, persentase ini mengalami penurunan. Pada tahun 2000 sumbangan sub-sektor perikanan terhadap PDRB Kabupaten Pangkep hampir mencapai 20 persen. Hal ini berarti bahwa perikanan menjadi sub-sektor yang dominan dan paling menentukan dalam menghasilkan pendapatan di sektor pertanian.

Kontribusi sub-sektor perikanan terhadap PDRB Kabupaten Pangkep pada tahun 2003 sebesar Rp. 190.334.070,-. Nilai ini berasal dari kegiatan perikanan tangkap/laut dan perikanan budidaya. Pada tahun 2004 volume produksi kegiatan perikanan tangkap berjumlah 9.755,1 ton dengan nilai ekonomi sebesar Rp. 87.387.650,-. Selanjutnya, perikanan budidaya menghasilkan produksi sebanyak 4.158 ton dan nilai ekonomi yang disumbangkannya berjumlah Rp. 38.644.300,- (Bappeda dan BPS Kabupaten Pangkep, 2005). Berbagai jenis komoditas sumberdaya laut (SDL) yang ditangkap oleh nelayan Kabupaten Pangkep dan telah memberi sumbangan terhadap PDRB dari sub-sektor perikanan dapat dilihat pada Lampiran Tabel

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 83

Page 102: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Berbagai jenis komoditas yang disajikan pada lampiran tersebut mempunyai harga jual yang bervariasi. Beberapa diantaranya seperti udang, rajungan, cakalang, ikan kuwe dan ikan ekor kuning mempunyai harga tinggi, sehingga dengan menangkapnya berarti nelayan memperoleh pendapatan yang tinggi pula. Sementara itu, jenis ikan lain, seperti ikan kembung dan ikan tembang termasuk komoditas yang berharga rendah, akan tetapi karena produksinya yang besar, jenis-jenis komoditas ini juga mampu memberikan pendapatan yang besar kepada nelayan.

Kegiatan perikanan ini tidak hanya terbatas pada perikanan laut, melainkan juga mencakup kegiatan budidaya. Seperti telah dibicarakan pada Bab 3, kegiatan budidaya yang banyak diusahakan oleh penduduk Kabupaten Pangkep adalah tambak udang dan ikan bandeng. Data pada Lampiran Tabel memperlihatkan berbagai komoditas budidaya perikanan yang diusahakan oleh petambak di Kabupaten Pangkep. Komoditas udang, yang mempunyai nilai ekonomi serta permintaan yang tinggi, merupakan salah satu komoditas ekspor, disamping sebagian produksinya digunakan untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri. Dengan harga jual udang yang tinggi, maka mengusahakan tambak udang memberikan kemungkinan bagi petambak untuk memperoleh pendapatan yang besar.

Berbeda dengan sektor industri pengolahan, sektor perikanan tidak hanya menghasilkan pendapatan bagi kabupaten secara makro, akan tetapi juga memberikan manfaat paling besar bagi masyarakat. Sesuai dengan kondisi geografisnya yang dilingkupi oleh perairan, dan bahkan sebagian daerah merupakan wilayah kepulauan, kegiatan yang berbasis pada laut merupakan sumber matapencaharian utama bagi sebagian penduduk di wilayah Kabupaten Pangkep. Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 memperlihatkan bahwa sekitar 26,9 persen (22.830 orang) dari 84.825 tenaga kerja di Kabupaten Pangkep bekerja di sektor perikanan (BPS, 2001). Persentase ini merupakan yang terbesar diantara seluruh kabupaten/kota yang terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan. Pada tahun 2004 jumlah ini meningkat menjadi 28.556 orang, terdiri dari 17.493 tenaga kerja budidaya perikanan dan 11.063 orang pekerja perikanan laut (Bappeda dan BPS Kabupaten Pangkep, 2005).

4.2. Pendapatan Rumah Tangga Terpilih

Pendapatan rumah tangga terpilih yang dimaksudkan dalam bagian ini adalah jumlah keseluruhan pendapatan suatu rumah tangga yang berasal dari semua anggota rumah tangga yang bekerja. Dengan demikian,

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 84

Page 103: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

pendapatan rumah tangga tidak hanya berasal dari kepala rumah tangga (KRT) akan tetapi juga dari anggota rumah tangga lainnya yang bekerja, yang ’menyumbangkan’ pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota rumah tangga. Pada kasus KRT yang tidak bekerja, pendapatan rumah tangga sepenuhnya berasal dari anggota lainnya, terutama anak-anak yang sudah bekerja.

4.2.1. Desa Mattiro Bombang, Kecamatan Liukang Tuppabiring

Sebagai tipikal daerah kepulauan, sumber mata pencaharian mayoritas penduduk Desa Mattiro Bombang adalah kegiatan kenelayanan. Sebagian dari mereka bekerja sebagai nelayan penangkap ikan, baik yang melakukannya sendiri seperti nelayan kepiting maupun yang bekerja bersama dengan orang lain. Nelayan yang bekerja dengan orang lain biasanya menangkap ikan tenggiri, hiu dan ikan gamasi yang biasanya berkelompok 2-3 orang setiap kali melaut. Sebagian lainnya bekerja sebagai tenaga pengolah hasil perikanan, seperti pengupas kepiting di pabrik pengupasan kepiting yang terdapat di Pulau Salemo (Delta Dimensi Consultant, 2005). Masih terkait dengan kegiatan kenelayanan, beberapa penduduk bekerja sebagai pedagang pengumpul hasil tangkapan nelayan serta melakukan usaha pembesaran beberapa jenis SDL, terutama ikan kerapu, meskipun jumlahnya tidak terlalu besar.

Di luar kegiatan yang terkait dengan kenelayanan pendapatan rumah tangga diperoleh dari bidang perdagangan, umumnya dari warung (besar dan kecil) yang terletak di rumah-rumah penduduk dan jasa. Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, di pulau Salemo terdapat 2 buah warung besar/toko yang menjual berbagai jenis barang, mulai dari bahan makanan dan barang-barang keperluan sehari-hari seperti gula, terigu, sabun mandi dan cuci sampai dengan bahan bakar (solar), oli dan mesin perahu. Selain itu, terdapat pula 20 warung kecil bermodal sekitar 20-an juta rupiah yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari (wawancara dengan salah seorang narasumber, tokoh masyarakat di pulau Salemo). Di bidang jasa, pendapatan penduduk diperoleh dari pekerjaan-pekerjaan seperti guru dan PNS.

Pendapatan dari kegiatan kenelayanan berasal dari berbagai komoditas SDL yang jenisnya bervariasi pada setiap musim. Pada musim gelombang kuat (musim barat) yang berlangsung selama bulan Desember sampai dengan Februari, misalnya, pendapatan nelayan yang dominan berasal dari kegiatan menangkap kepiting karena kondisi laut yang

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 85

Page 104: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

bergelombang tidak memungkinkan mereka untuk berlayar jauh ke tengah laut mencari ikan. Jaring kepiting dipasang di perairan sekitar pantai, biasanya dinihari sekitar pukul 03.00 dan setelah 2-3 jam diangkat untuk diambil hasilnya. Meskipun berlangsung sekitar tiga bulan, pendapatan terbesar dari jenis SDL ini diperoleh pada bulan Januari, ketika gelombang mencapai puncak terkuat. Menurut penuturan salah seorang narasumber yang diwawancarai di lokasi penelitian, gelombang yang kuat menyebabkan air laut seperti diaduk sehingga menyebabkan kepiting keluar dari tempat persembunyiannya. Kepiting-kepiting tersebut kemudian mudah tersangkut pada jaring yang dipasang oleh nelayan.

Akhir-akhir ini pendapatan nelayan dari kepiting cenderung mengalami penurunan. Hal ini karena populasi kepiting di sekitar perairan tempat tinggal mereka telah berkurang jumlahnya. Permintaan yang tingginya terhadap sumberdaya laut ini menyebabkan semakin banyak penduduk yang bekerja mencari kepiting. Mereka tidak hanya menangkap kepiting berukuran besar, melainkan juga yang berukuran kecil. Akibatnya, kepiting tidak bisa hidup sampai mencapai masa untuk berkembangbiak, yang pada gilirannya dapat menyebabkan habisnya populasi sumberdaya ini di sekitar perairan Desa Mattiro Bombang.

Di saat gelombang tenang, terutama pada bulan April sampai dengan Juni, pendapatan nelayan yang utama berasal dari ikan tenggiri. Pada bulan Juli produksi ikan tenggiri mulai berkurang yang berimplikasi semakin kecilnya pendapatan nelayan dari jenis komoditas ini. Berbeda dengan kepiting, kegiatan penangkapan ikan tenggiri dilakukan di laut dalam (dengan jarak sekitar 33 mil laut dari pulau Salemo) yang dapat dicapai dengan waktu tempuh sekitar 4 jam menggunakan perahu jenis ‘joloro’ bermesin 20 PK. Selain tenggiri, pada musim gelombang tenang pendapatan nelayan juga didapat dari ikan kembung, hiu dan pari, merkipun jumlahnya lebih sedikit.

Tidak berbeda dengan masyarakat Desa Mattiro Bombang pada umumnya, responden terpilih dalam penelitian ini kebanyakan juga bekerja sebagai nelayan. Pada BAB III telah dikemukakan bahwa sekitar 62 persen anggota dari 100 rumah tangga terpilih bekerja di sektor perikanan dan sekitar 22 persen di sektor industri pengolahan. ART yang bekerja di sektor industri pengolahan ini mayoritas adalah pekerja di pabrik pengupasan kepiting. Implikasinya, pendapatan mayoritas rumah tangga juga bersumber dari kegiatan perikanan.

Tabel 4.5 menyajikan data statistik pendapatan rumah tangga yang terpilih sebagai responden penelitian. Median pendapatan per bulan dari

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 86

Page 105: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

rumah tangga terpilih berjumlah Rp. 402.083,-. Hal ini berimplikasi bahwa separuh (50 persen) rumah tangga mempunyai pendapatan Rp. 402.083,- atau lebih rendah. Selanjutnya, rata-rata pendapatan rumah tangga setiap bulan sebesar Rp. 547.250,-, lebih tinggi daripada median pendapatan. Lebih tingginya pendapatan rata-rata rumah tangga per bulan terjadi karena rentang pendapatan yang besar, yaitu mulai dari Rp. 30.000,- sampai dengan Rp. 3.330.000,-. Berdasarkan kenyataan ini dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan kesejahteraan yang signifikan diantara rumah tangga kaya dan rumah tangga miskin.

Tabel 4.5

Statistik Pendapatan Rumah Tangga Desa Mattiro Bombang, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006

Pendapatan per bulan Jumlah

Rata-rata Rp. 547.250,-

Median Rp. 402.083,-

Minimum Rp. 30.167,-

Maksimum Rp. 3.333.333,-

Per kapita Rp. 116.963,-

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Penelitian ini mendapatkan lebih dari separuh rumah tangga terpilih mempunyai pendapatan kurang dari Rp. 500.000,-. Dari data yang disajikan pada Tabel 4.6 terlihat bahwa sebanyak 61 persen rumah tangga berada dalam kelompok ini. Diantara rumah tangga yang berpendapatan di bawah Rp. 500.000,- ini, hampir sepertiganya mempunyai penghasilan kurang dari Rp. 200.000,- (lihat Lampiran Tabel 6). Proporsi rumah tangga terpilih yang mempunyai pendapatan sebesar Rp. 500.000,- – Rp. 999.999,- relatif besar, yaitu sebanyak 28 persen, sementara yang berpenghasilan Rp. 1.000.000,- dan lebih hanya sebanyak 11 persen. Data distribusi pendapatan ini memperkuat kenyataan adanya ketidakmerataan pendapatan diantara rumah tangga terpilih, yang bermuara pada perbedaan kesejahteraan diantara mereka.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 87

Page 106: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tabel 4.6

Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan, Desa Mattiro Bombang, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (N=100)

No Besar pendapatan Persen

1. < Rp. 500.000,- 61,0

2 Rp. 500.000,- - Rp. 999.000,- 28,0

3 Rp. 1.000.000,- – Rp. 1.499.000,- 7,0

4 Rp. 1.500.000,- – Rp 1.999.000,- 2,0

5 Rp. 2.000.000,- – Rp. 2.499.000,- 1,0

6 Rp. 2.500.000,- – Rp. 2.999.000,- 0

7 Rp. 3.000.000,- + 1,0

Jumlah 100,0

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Berdasarkan lapangan pekerjaan utama KRT, pendapatan rumah tangga terpilih hanya berasal dari dua sektor, yaitu perikanan laut dan jasa (lihat Tabel 4.7). Tidak ditemukan rumah tangga yang memperoleh pendapatan dari sektor perdagangan meskipun secara keseluruhan sebagian penduduk mempunyai mata pencaharian di sektor tersebut. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan munculnya kecenderungan ini. Pertama, rumah tangga dengan KRT yang bekerja di sektor perdagangan tidak terpilih sebagai sampel dalam penelitian ini. Kedua, ada kecenderungan sebagian penduduk untuk menganggap pekerjaan di sektor perdagangan bukan sebagai pekerjaan utama. Kebanyakan mereka menganggap bahwa perikanan laut merupakan sektor pekerjaan utama, sementara perdagangan hanya sebagai pekerjaan tambahan. Oleh karena itu, dapat dimaklumi jika pendapatan rumah tangga terpilih hanya berasal dari dua sektor di atas.

Dari segi jumlah, pendapatan rata-rata tertinggi didapatkan oleh rumah tangga dengan KRT yang mempunyai pekerjaan utama di sektor perikanan laut. Selanjutnya, pendapatan terbesar (Rp. 3.300.000,-) dan pendapatan terkecil (Rp. 30.167,-) juga didapatkan oleh rumah tangga yang dikepalai oleh KRT yang bekerja di sektor perikanan laut. Fenomena ini bukanlah hal yang mengherankan mengingat hampir semua rumah tangga

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 88

Page 107: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

(93 RT dari 100 RT terpilih) mempunyai KRT dengan pekerjaan di sektor perikanan laut. Perbedaan yang mencolok antara pendapatan tertinggi dengan pendapatan terendah pada rumah tangga dengan KRT yang bekerja di sektor perikanan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan sarana penangkapan, baik armada maupun alat tangkap yang dimiliki. Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, disamping perahu bermesin (joloro) terdapat pula responden yang mempunyai perahu tanpa mesin (lepa-lepa). Perbedaan jenis armada tangkap ini dapat berpengaruh terhadap volume produksi, terutama karena perbedaan jelajah pada setiap kegiatan melaut. Hal ini pada gilirannya menyebabkan perbedaan pendapatan diantara responden yang memiliki jenis armada tangkap yang berbeda.

Tabel 4.7

Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Kepala Rumah Tangga dan Besar Pendapatan, Desa Mattiro Bombang,

Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (N=100

Pendapatan (Rp)

No

Lapangan Pekerjaan Utama

KRT Rata-rata Minimum Maksimum

N

1 Perikanan laut 555.504 30.167 3.333.333 94

2 Jasa 344.000 280.000 472.000 3

3 KRT tidak bekerja 491.889 184.000 758.333 3

Jumlah 547.250 30.167 3.333.333 100

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006.

Fenomena menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah besarnya pendapatan rumah tangga yang mempunyai KRT yang tidak bekerja daripada daripada rumah tangga dengan KRT yang bekerja di sektor jasa. Seperti telah dikemukakan pada bagian awal sub-bab ini, pendapatan yang dimiliki oleh rumah tangga dengan KRT yang tidak bekerja tersebut diperoleh dari anggota rumah tangga yang bekerja, yang pada umumnya berstatus sebagai anak. Sebagian dari mereka bekerja di sektor perikanan laut dengan bekerja sebagai nelayan, namun ada pula yang bekerja di sektor jasa sebagai pekerja di pabrik pengupasan kepiting, terutama anak perempuan, dan sebagai guru di SD yang terdapat di pulau Salemo.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 89

Page 108: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Penghasilan yang didapat oleh anak-anak dari kelompok rumah tangga ini kemudian ‘disumbangkan’ kepada rumah tangga dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggotanya. Hampir sama dengan pendapatan rumah tangga yang dikepalai oleh KRT yang bekerja di sektor jasa, perbedaan antara pendapatan terendah dengan pendapatan tertinggi rumah tangga yang dikepalai oleh KRT tidak bekerja ini juga tidak terlalu mencolok.

Sesuai dengan karakteristik pekerjaan mereka yang sangat tergantung pada kondisi cuaca, pendapatan penduduk dari kegiatan kenelayanan bervariasi sepanjang tahun, tergantung pada kekuatan gelombang laut. Hal ini juga tercermin pada pendapatan rumah tangga yang terpilih sebagai sampel dalam penelitian ini. Tabel 4.8 menyajikan statistik pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan berdasarkan musim/gelombang. Dari tabel tersebut terlihat bahwa pendapatan rata-rata tertinggi dari kegiatan kenelayanan diperoleh pada musim gelombang lemah, yang terjadi pada bulan Maret-April, Juni-Juli dan bulan November. Tingginya pendapatan rata-rata selama waktu ini terjadi karena jenis SDL yang ditangkap bervariasi, termasuk yang bernilai ekonomis tinggi seperti ikan tenggiri, hiu dan pari. Gelombang laut yang tenang memungkinkan nelayan untuk berlayar sampai ke lokasi laut dalam yang kaya dengan jenis-jenis ikan tersebut. Ikan tenggiri yang ditangkap menggunakan jaring tenggiri dilepas nelayan ke pasar dengan harga jual sekitar Rp. 8.000,- s/d Rp. 10.000,- dan Rp. 12.000.000,- s/d Rp. 16.000,- per kg, tergantung pada ukurannya. Selanjutnya, sirip ikan hiu kering yang berukuran besar laku dijual dengan harga Rp. 1.000.000,- per kg. Selain kedua jenis ikan tersebut, pada musim gelombang lemah nelayan juga mengambil rumput laut yang setelah dikeringkan dijual dengan harga Rp. 1.000,-/kg. Meskipun biaya produksi lebih tinggi pada musim ini, misalnya akibat pemakaian bahan bakar yang lebih besar seiring dengan perjalanan melaut yang lebih jauh, hasil yang diperoleh dapat mengimbangi biaya yang dikeluarkan. Dengan hasil produksi yang terdiri dari berbagai jenis SDL ini, nelayan berhasil memperoleh penghasilan yang besar selama musim gelombang tenang (musim timur).

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 90

Page 109: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tabel 4.8

Statistik Pendapatan Rumah Tangga Dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, Desa Mattiro Bombang, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan,

2006 (N=96)

Musim Pendapatan

(Rp) Gelombang Lemah Pancaroba Gelombang Kuat

Rata-rata 539.104 343.219 486.958

Median 335.000 250.000 400.000

Minimum 7.000 30.000 0

Maksimum 3.000.000 2.000.000 2.550.000

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Pendapatan rumah tangga terpilih dari kegiatan kenelayanan mengalami penurunan pada musim gelombang kuat, meskipun tidak terlalu mencolok. Jika dilihat dari kondisi cuaca yang tidak memungkinkan nelayan untuk turun melaut karena gelombang yang kuat, diperkirakan pendapatan nelayan akan menurun drastis. Namun dalam kenyataannya, penurunan itu tidak setajam yang diperkirakan. Hal ini terjadi karena selama gelombang kuat, SDL yang banyak ditangkap adalah kepiting yang mempunyai harga jual tinggi. Kepiting berukuran besar (15 ekor dalam 1 kg) dijual nelayan ke pedagang pengumpul seharga Rp. 19.000,- - Rp. 20.000,-/kg jika nelayan mempunyai utang kepada mereka. Harga jual tersebut menjadi lebih mahal, yaitu Rp. 20.000,- per kg bagi nelayan tidak berutang kepada pedagang pengumpul12. Selama ini permintaan terhadap kepiting relatif besar, karena jenis SDL ini merupakan salah satu komoditas eksport yang sudah mempunyai pasar tetap, seperti Malaysia dan Amerika (wawancara dengan salah seorang narasumber di pulau Salemo). Selain pada musim ini, kepiting juga bisa didapatkan pada musim-musim yang lain, namun volume produksinya tidak sebesar yang dihasilkan pada musim gelombang kuat. Hal inilah yang menyebabkan nelayan bisa mempertahankan penghasilannya meskipun mereka tidak bisa melaut sampai ke lokasi yang jauh dari pantai.

12 Sebagian nelayan mempunyai utang kepada pedagang pengumpul, tidak hanya untuk membiayai kegiatan melaut akan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Nelayan yang berutang kepada pedagang ini harus menjual hasil tangkapan kepada mereka.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 91

Page 110: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Pendapatan rata-rata rumah tangga terendah diperoleh pada musim pancaroba yang jatuh pada setiap bulan April dan Oktober. Gelombang laut yang tidak menentu pada waktu ini mempengaruhi kegiatan nelayan untuk melaut. Beberapa nelayan yang diwawancarai dalam penelitian ini mengemukakan bahwa tidak jarang perjalanan mereka terganggu karena perubahan gelombang yang terjadi secara tiba-tiba. Menghadapi keadaan ini, mereka biasanya memilih kembali ke rumah atau berhenti di pulau terdekat dan menunggu sampai gelombang reda, seperti yang dikemukakan oleh salah seorang narasumber, seorang nelayan berikut ini.

Musim pancaroba itu paling sulit diramalkan kondisi cuaca. Kadang gelombang tenang, tapi tiba-tiba bisa berubah cepat, jadi gelombang besar. Saya pernah pergi ke Sakuala, waktu mau berangkat gelombang tenang seperti air kolam. Waktu mau pulang tiba-tiba berubah jadi gelombang besar. Saya ndak berani berlayar, akhirnya ya bermalam di sana. Nelayan juga sering begitu, udah jalan mau melaut, tapi di tengah jalan terpaksa balik karena melihat tanda-tanda gelombang mau besar.

Kondisi cuaca seperti ini menjadi hambatan bagi nelayan untuk turun ke laut menangkap ikan. Hal ini diperburuk oleh terbatasnya kemampuan armada tangkap yang mereka miliki untuk berlayar dalam kondisi gelombang yang kuat. Kebanyakan nelayan memiliki armada tangkap dengan mesin berkapasitas kecil, sehingga sebagian dari mereka lebih memilih untuk tidak melaut pantai pada musim pancaroba. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup, nelayan biasanya mencari ikan di sekitar pantai. Jenis SDL yang ditangkap dalam kegiatan ini adalah ikan gamasi yang secara ekonomis bernilai rendah. Harga jual ikan ini hanya Rp. 20.000,- per keranjang yang berisi 15 kg ikan.

Penelitian ini mendapatkan kecenderungan yang sama antara pendapatan maksimum dengan pendapatan rata-rata rumah tangga dari kegiatan kenelayanan. Penghasilan tertinggi diperoleh pada musim gelombang lemah, diikuti oleh musim gelombang kuat dan musim pancaroba secara berturut-turut. Analisis terhadap pendapatan rata-rata rumah tangga juga berlaku untuk menjelaskan keadaan ini. Kondisi cuaca yang bersahabat dengan nelayan pada musim gelombang lemah menyebabkan mereka mampu berlayar sampai ke wilayah laut dalam untuk menangkap jenis-jenis ikan berharga jual tinggi seperti tenggiri dan hiu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika rumah tangga memperoleh pendapatan maksimum pada musim ini.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 92

Page 111: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Statistik pendapatan rumah tangga di atas didukung oleh data distribusi pendapatan rumah tangga pada setiap musim yang disajikan pada Tabel 4.9. Lebih dari 60 persen rumah tangga terpilih mempunyai pendapatan kurang dari Rp. 500.000,- setiap bulan, baik pada musim gelombang lemah, gelombang kuat maupum musim pancaroba. Pada musim pancaroba jumlah rumah tangga yang berpenghasilan di bawah Rp. 500.000,- bahkan semakin besar, mencapai sekitar 85 persen. Sebaliknya, proporsi terkecil rumah tangga yang memiliki penghasilan kurang dari Rp. 500.000,- adalah pada musim gelombang lemah, diikuti oleh gelombang kuat. Jika diamati dari distribusi pendapatan yang lebih besar, misalnya Rp. 2.500.000,- dan lebih, persentase terbesar rumah tangga yang mempunyai jumlah penghasilan tersebut adalah pada musim gelombang lemah (2 persen), diikuti oleh musim gelombang kuat. Pada musim pancaroba tidak ada rumah tangga yang mempunyai penghasilan sebesar itu. Sekali lagi, data ini menunjukkan adanya fluktuasi pendapatan rumah tangga sesuai dengan kondisi gelombang laut. Musim gelombang lemah merupakan saat dimana rumah tangga memperoleh pendapatan paling besar daripada dua musim lainnya.

Tabel 4.9

Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim, Desa Mattiro Bombang, Kabupaten Pangkajene

dan Kepulauan, 2006 (%) (N=96)

Musim No

Besar Pendapatan Gelombang

Lemah Pancaroba Gelombang

Kuat 1 < Rp. 500.000,- 61,4 85,4 67,7

2 Rp. 500.000,- - Rp. 999.000,- 20,8 8,3 20,8

3 Rp. 1.000.000,- – Rp. 1.499.000,- 9,4 4,2 7,3

4 Rp. 1.500.000,- – Rp. 1.999.000,- 5,2 1,0 2,1

5 Rp. 2.000.000,- – Rp. 2.499.000,- 1,0 1,0 1,0

6 Rp. 2.500.000,- – Rp. 2.999.000,- 1,0 - 1,0

7 Rp. 3.000.000,- – Rp. 3.499.000,- 1,0 - -

8 Rp. 3.500.000,- – Rp. 3.999.000,- - - -

9 Rp. 4.000.000,- + - - -

10 Jumlah 100,0 100,0 100,0

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 93

Page 112: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Sejak sekitar dua dekade terakhir pendapatan penduduk dari kegiatan kenelayanan mengalami penurunan. Kondisi ini terjadi akibat beberapa faktor. Pertama adalah beroperasinya kapal trawl, baik yang dimiliki oleh nelayan asal pulau-pulau lain di wilayah Kecamatan Liukang Tuppabiring maupun yang berasal dari luar daerah, sejak akhir tahun 1970-an. Selain milik nelayan-nelayan asal Sulawesi Selatan, kapal trawl yang beroperasi di wilayah perairan Desa Mattiro Bombang juga dimiliki oleh orang dari luar pulau, termasuk dari pulau Kalimantan. Meskipun berdasarkan ketentuan yang berlaku wilayah operasi kapal jenis ini berada di luar areal tangkapan nelayan tradisional, namun dalam kenyataannya mereka sering masuk ke wilayah tersebut. Penduduk Desa Mattiro Bombang yang kebanyakan adalah nelayan tradisional kalah bersaing dengan kapal trawl yang mempunyai alat tangkap dengan kemampuan tangkap sampai kedalaman 7-20 meter (hasil FGD dengan beberapa pejabat di Kecamatan Liukang Tuppabiring). Dengan alat tangkap yang dimilikinya, armada trawl dapat menangkap berbagai jenis SDL dan bahkan yang berukuran kecil sekali pun. Akibatnya, hampir tidak ada SDL yang tersisa yang dapat ditangkap oleh nelayan tradisional. Sementara itu, keterbatasan kemampuan jelajah armada tangkap nelayan tradisional tidak memungkinkan mereka untuk berlayar sampai jauh dari pesisir, ke tempat yang masih kaya dengan SDL. Selain tidak menyisakan ikan untuk ditangkap oleh nelayan tradisional, kegiatan penangkapan ikan oleh kapal trawl juga menimbulkan kerusakan terumbu karang. Hal ini karena alat yang dimilikinya dapat ’menyapu’ terumbu karang daerah tutupan karang menjadi berkurang, yang berakibat pada berkurangnya populasi ikan. Kedua, kegiatan penangkapan ikan dengan bom yang dilakukan oleh orang-orang dari pulau lain di sekitar pulau Salemo telah menimbulkan kerusakan terumbu karang, sehingga SDL di daerah tangkapan nelayan menjadi berkurang. Berdasarkan hasil FGD dengan beberapa pejabat di wilayah Kecamatan Liukang Tuppabiring diketahui bahwa kegiatan pengeboman dilakukan oleh beberapa penduduk kepulauan atas permintaan orang-orang dari Makassar. Pelaku pengeboman ini sebelumnya bekerja sebagai nelayan pengail (punggae), namun karena keterdesakan ekonomi mereka kemudian bekerja pada nelayan (pemilik kapal/pukat) di Makassar. Hubungan kerja ini disertai dengan ikatan utang piutang karena pekerja pada umumnya mempunyai hutang kepada pemilik kapal. Hutang kepada pemilik kapal tidak hanya untuk keperluan melaut, akan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari, termasuk untuk kebutuhan makan. Hutang tersebut dibayar dengan upah kerja setiap kali melaut, sering dilakukan secara mencicil.

Karena penurunan pendapatan ini, sebagian penduduk kemudian meninggalkan tempat tinggal untuk pindah ke daerah lain. Beberapa

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 94

Page 113: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

diantaranya bekerja di luar sektor kenelayanan. Sebagian lainnya tetap bekerja di sektor ini tetapi menjadi pekerja pada armada tangkap yang lebih besar, termasuk kapal trawl.

4.2.2. Kelurahan Pundata Baji, Kecamatan Labakkang

Berbeda dengan Desa Mattiro Bombang, penduduk di Kelurahan Pundata Baji mempunyai sumber mata pencaharian yang lebih bervariasi. Di sektor perikanan, umpamanya, selain perikanan tangkap juga cukup banyak penduduk yang melakukan pekerjaan di sektor perikanan budidaya, terutama udang dan ikan bandeng (dalam bahasa lokal disebut bolu). Saat ini usaha budidaya ini bahkan dapat dikatakan lebih menonjol daripada kegiatan perikanan tangkap13. Usaha tambak garam juga dilakukan oleh sebagian penduduk, meskipun saat ini mulai mengalami penurunan. Pertanian tanaman pangan, antara lain sawah tadah hujan, juga merupakan salah satu sektor ekonomi yang menjadi sumber matapencaharian penduduk kelurahan ini. Kegiatan ekonomi yang tidak ditemukan di Desa Mattiro Bombang namun dilakukan oleh sebagian penduduk daerah ini adalah di bidang transportasi. Usaha ini mencakup beberapa jenis transportasi, yaitu mobil penumpang (dikenal dengan pete-pete), delman dan ojeg.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa narasumber yang bekerja sebagai nelayan, kegiatan perikanan tangkap di wilayah Kelurahan Pundata Baji mengalami penurunan sejak awal tahun 1980-an, setelah masuknya kapal trawl dari luar daerah seperti Makassar dan Kalimantan (wawancara dengan kelompok nelayan di daerah Maccine, Kelurahan Pundata Baji). Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal jenis ini menyebabkan menurun drastisnya hasil tangkapan nelayan SDL yang sebelumnya menjadi sumber mata pencaharian utama sebagian penduduk Kelurahan Pundata Baji, terutama yang bermukim di pinggir pantai. Hal ini terjadi karena terumbu karang yang terdekat dari lokasi permukiman (berjarak sekitar 400 m) telah mengalami kerusakan sebagai dampak beroperasinya kapal trawl di wilayah perairan kelurahan ini. Akibatnya, hasil yang diperoleh dari bagan-bagan yang biasanya dipasang

13 Kegiatan budidaya udang dan bandeng berhasil memberikan pendapatan yang besar bagi pemilik tambak kedua komoditas tersebut. Hal ini terbukti dari banyaknya mereka yang menunaikan ibadah haji dari hasil usaha ini (wawancara dengan salah seorang pejabat Kelurahan Pundata Baji). Namun demikian, setelah munculnya penyakit udang akibat virus yang sampai saat ini masih belum berhasil ditangani, usaha budidaya udang mulai mengalami penurunan. Disamping budidaya bandeng dan udang, usaha tambak garam juga telah berhasil ‘meng-haji-kan’ sebagian penduduk Kelurahan Pudata Baji.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 95

Page 114: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

dalam jarak 100-200 m dari pantai untuk menangkap ikan lure, rono, teri dan ikan tembang mengalami penurunan secara drastis. Padahal, sampai dengan tahun 1981-1982 nelayan masih bisa mendapatkan ikan dengan mudah di sekitar tempat tinggal mereka (hasil FGD dengan kelompok nelayan di daerah Maccine, Kelurahan Pundata Baji). Salah satu cara untuk mendapatkan ikan dalam jumlah besar pasca beroperasinya kapal trawl adalah menempatkan bagan di lokasi yang lebih jauh ke tengah laut. Namun hal ini sulit dilakukan mengingat besarnya biaya yang diperlukan, sementara di lain pihak nelayan tidak mempunyai kemampuan ekonomi/modal untuk itu.

Berkaitan dengan kegiatan perikanan, penduduk yang bekerja sebagai pedagang pengumpul lebih banyak ditemukan di Kelurahan Pundata Baji daripada di Desa Mattiro Bombang. Pedagang ini tidak hanya membeli hasil tangkapan nelayan di daerah pesisir, akan tetapi juga berbagai jenis SDL yang merupakan hasil tangkapan nelayan dari pulau-pulau, termasuk di wilayah Desa Mattiro Bombang.14 Pedagang pengumpul di kelurahan ini pada umumnya berada di bawah koordinator15 yang beroperasi di Makassar. Untuk komoditas udang, misalnya, produksi yang dibawa oleh pedagang pengumpul kemudian diserahkan kepada koordinatornya untuk dimasukkan ke pabrik-pabrik pengolahan udang di KIMA (Kawasan Industri Makassar). Hal ini karena perusahaan-perusahaan tersebut hanya bersedia untuk berurusan dengan koordinator pemasok, bukan dengan pedagang pengumpul yang jumlahnya relatif banyak

Karena bervariasinya kesempatan kerja yang tersedia di Kelurahan Pundata Baji sebagian penduduk mempunyai lebih dari satu jenis pekerjaan. Sebagai contoh, mereka yang bekerja sebagai PNS ada juga bekerja sebagai nelayan budidaya, baik di tambak milik sendiri maupun milik orang lain. Konsekuensinya sebagian penduduk mempunyai lebih dari satu sumber pendapatan. Dengan demikian, pendapatan mereka tidak hanya ditentukan

14 Salah seorang pedagang pengumpul udang yang diwawancai menyatakan bahwa dia mempunyai 5-6 orang nelayan asal pulau Sabangko, Sagara dan Sakuala yang selalu menjual hasil tangkapan kepada pedagang tersebut. 15 Koordinator biasanya pedagang besar yang adakalanya juga memberi modal kepada pedagang pengumpul untuk membeli hasil tangkapan nelayan. Mereka juga dikenal sebagai ‘bos’ dari pedagang pengumpul di desa-desa/kelurahan-kelurahan. Selain membeli produksinya, bos juga biasa memberi premi kepada pedagang pengumpul jika mereka berhasil membawa udang dalam jumlah besar. Sebagai contoh, jika membawa 1 ton udang, pedagang pengumpul memperoleh uang sebesar 2 juta rupiah. Hal ini dilakukan karena harga udang meningkat sejalan dengan semakin banyaknya jumlah yang disetorkan ke pabrik. Dengan banyaknya udang yang diterima pabrik dapat mengekspor komoditas ini dalam jumlah besar, yang pada gilirannya juga memberikan keuntungan besar pada pabrik.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 96

Page 115: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

oleh kondisi musim, sebagaimana yang dialami oleh penduduk Desa Mattiro Bombang yang mayoritas adalah nelayan tangkap.

Dibandingkan dengan Desa Mattiro Bombang yang terletak di wilayah kepulauan, pendapatan rumah tangga terpilih di Kelurahan Pundata Baji lebih besar, sebagaimana terlihat dari data pada Tabel 4.10. Pendapatan rata-rata, median pendapatan, pendapatan minimum serta pendapatan per kapita rumah tangga di kelurahan ini sekitar dua kali lebih besar daripada mereka yang di Mattiro Bombang. Mengacu pada median pendapatan, separuh (50 persen) rumah tangga terpilih di Kelurahan Pundata Baji mempunyai pendapatan sebesar Rp. 975.000,- atau lebih rendah setiap bulan. Kuat dugaan hal ini disebabkan bervariasinya sumber matapencaharian rumah tangga, sehingga pendapatan yang diperoleh bisa berasal dari lebih dari satu pekerjaan. Bervariasinya pekerjaan yang tersedia memungkinkan penduduk Kelurahan Pundata Baji untuk mempunyai lebih dari satu pekerjaan. Hal ini menyebabkan penduduk kelurahan ini bisa memperoleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan penduduk Desa Mattiro Bombang yang kebanyakan hanya melakukan satu pekerjaan. Selain itu, mata pencaharian penduduk Kelurahan Pundata Baji yang tidak sepenuhnya tergantung dari laut menyebabkan mereka bisa memperoleh pendapatan yang lebih stabil. Artinya, meskipun pada musim gelombang kuat atau pancaroba, mereka masih bisa memperoleh penghasilan yang besar dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak dipengaruhi oleh kondisi gelombang laut.

Seperti halnya rumah tangga di Desa Mattiro Bombang, terdapat perbedaan pendapatan yang mencolok diantara rumah tangga terpilih di Kelurahan Pundata Baji. Pendapatan minimum sebesar Rp. 60.000,- kemungkinan dimiliki oleh rumah tangga nelayan yang sepenuhnya menggantungkan hidup pada hasil laut. Sebaliknya, pendapatan maksimum yang mencapai lebih dari Rp. 4.500.000,- berasal dari rumah tangga pemilik tambak dan lahan sawah. Asumsi ini diperkuat oleh berbagai kenyataan di lapangan. Salah satu diantaranya adalah kondisi perumahan. Nelayan, yang mayoritas tinggal di daerah pantai, mempunyai rumah dengan kondisi yang lebih buruk daripada pemilik tambak atau lahan pertanian yang tinggal jauh dari pantai. Kondisi perumahan ini merupakan salah satu refleksi dari perbedaan pendapatan diantara rumah tangga nelayan dan petani.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 97

Page 116: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tabel 4.10

Statistik Pendapatan Rumah Tangga Kelurahan Pundata Baji, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2006

Pendapatan per bulan Jumlah

Rata-rata Rp. 1.137.574,-

Median Rp. 975.000,-

Minimum Rp. 60.000,-

Maksimum Rp. 4.796.667,-

Per kapita Rp. 222.319,-

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Data pada Tabel 4.11 menyajikan distribusi pendapatan rumah tangga terpilih di Kelurahan Pundata Baji. Dari data tersebut terlihat bahwa seperempat rumah tangga mempunyai pendapatan kurang dari Rp. 500.000,- setiap bulan. Proporsi rumah tangga dengan jumlah pendapatan tersebut lebih kecil daripada di Desa Mattiro Bombang yang mencapai lebih dari 60 persen. Seperti hanya di Desa Mattiro Bombang, lebih dari separuh rumah tangga dalam kelompok ini mempunyai pendapatan di bawah Rp. 300.000,- per bulan. Data ini memperlihatkan adanya kesenjangan yang besar pada pendapatan rumah tangga terpilih.Selanjutnya proporsi rumah tangga dengan pendapatan sebesar Rp.500.000,- sampai dengan kurang dari Rp. 2.000.000,- adalah 61 persen. Persentase ini lebih besar daripada rumah tangga di Desa Mattiro Bombang yang hanya sebesar 37 persen. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rumah tangga terpilih di Kelurahan Pundata Baji relatif lebih sejahtera dibandingkan dengan di Desa Mattiro Bombang. Besarnya pendapatan rumah tangga di Kelurahan Pundata Baji ini karena tersedianya berbagai alternatif pekerjaan, sehingga memungkinkan ART untuk memperoleh penghasilan dari beberapa jenis pekerjaan. Beberapa pekerjaan dilakukan tanpa dipengaruhi oleh kondisi cuaca, sehingga pendatapan yang diperoleh tidak terpengaruh oleh kondisi alam tersebut.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 98

Page 117: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Tabel 4.11

Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan, Kelurahan Pundata Baji, Kabupaten Pangkajene

dan Kepulauan, 2006 (N=100)

No Besar pendapatan Persen

1. < Rp. 500.000,- 25,0

2 Rp. 500.000,- - Rp. 999.000,- 26,0

3 Rp. 1.000.000,- – Rp. 1.499.000,- 21,0

4 Rp. 1.500.000,- – Rp 1.999.000,- 14,0

5 Rp. 2.000.000,- – Rp. 2.499.000,- 4,0

6 Rp. 2.500.000,- – Rp. 2.999.000,- 4,0

7 Rp. 3.000.000,- + 6,0

Jumlah 100,0

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Bervariasinya pekerjaan yang tersedia di Kelurahan Pundata Baji tercermin dari lapangan pekerjaan KRT terpilih dalam penelitian ini. Paling sedikit terdapat enam sektor pekerjaan yang menjadi sumber pendapatan rumah tangga sebagaimana terlihat dari data pada Tabel 4.12. Diantara keenam sektor tersebut jumlah KRT terbanyak bekerja di sektor perikanan budidaya, diikuti oleh perikanan laut dan sektor jasa. Rumah tangga dengan pendapatan rata-rata yang tergolong tinggi adalah yang dikepalai oleh KRT yang bekerja di sektor jasa dan perikanan budidaya. Namun bila dilihat dari pendapatan maksimum, maka rumah tangga dengan pendapatan tertinggi mempunyai KRT yang bekerja di sektor budidaya perikanan. Tingginya pendapatan rumah tangga yang mempunyai KRT dengan pekerjaan di sektor tersebut terjadi karena luasnya lahan tambak yang diusahakan. Selain itu, komoditas yang diusahakan adalah yang bernilai jual tinggi seperti udang, yang mencapai harga tertinggi pada bulan Maret, Mei dan Juni karena besarnya volume produksi pada saat tersebut.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 99

Page 118: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Sebagian KRT melakukan usaha tambak di lahan milik sendiri. Selain itu, tidak jarang pula yang melakukannya di lahan orang lain, baik dengan sistim sewa/kontrak lahan, bagi hasil maupun sistim upah.16 Permintaan yang tinggi terhadap hasil budidaya (ikan bandeng) memberikan pendapatan yang tinggi kepada petambak, meskipun harga komoditas itu juga berfluktuasi.17

Dari seluruh sektor pekerjaan, pendapatan (rata-rata, minimum dan maksimum) paling rendah dimiliki oleh rumah tangga dengan KRT yang bekerja di sektor pertanian (tanaman pangan). Hal ini karena tanaman pangan yang diusahakan adalah padi, sementara kegiatan penanamannya hanya dapat dilakukan sekali dalam setahun. Selain itu, luas lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian juga relatif kecil karena kondisi tanah yang kurang mendukung, terutama akibat intrusi air laut yang telah mencapai lahan pertanian. Bahkan ada kecenderungan lahan sawah dikonversi menjadi tambak karena pendapatan yang diperoleh dari hasil tambak lebih besar. Keadaan ini tidak hanya terjadi di Kelurahan Pundata Baji, akan tetapi juga di wilayah Kabupaten Pangkep pada umumnya. Pernyataan salah seorang pejabat di tingkat kabupaten berikut ini,

... dulu sebelum penyakit ada, mereka itu sejahtera semua sehingga mereka juga rame-rame membuat sawah pun menjadi tambak dengan jalan juga kalau mereka tidak dapat air pengairan dari laut mereka dapat dari sumber tadi. Tapi setelah ada penyakit udang sekarang ini, kasihan, mereka banyak yang rugi,

16 Sistim bagi hasil antara pekerja (sawi) dengan pemilik tambak yang biasa diberlakukan adalah sebagai berikut:

- 80 persen untuk pemilik dan 20 persen untuk sawi jika beras disediakan oleh pemilik tambak.

- 70 persen untuk pemilik tambak dan 30 untuk sawi jika pemilik tambak tidak memberi beras.

Lauk pauk untuk sawi adalah ikan selain bandeng yang dipelihara di tambak. Sewa lahan tambak berkisar antara Rp. 2.500.000,- - Rp. 4.000.000/ha/tahun, tergantung pada lokasi tambak. 17 Harga ikan banding hasil budidaya sangat dipengaruhi oleh jumlah produksi ikan laut. Harga bandeng turun jika produksi ikan laut besar. Selain itu, harga ikan ini juga tergantung pada ukurannya. Dalam kondisi normal harga ikan ini berkisar antara:

- Rp. 1.000,- per ekor (untuk ikan berukuran 7 ekor/kg) - Rp. 2.000,- - Rp. 2.500,- per ekor (untuk ikan dengan ukuran 4 ekor/kg) - Rp. 6.000,- - Rp. 7.000,- per ekor (untuk ikan dengan ukuran 2 ekor/kg)

Jika produksi ikan laut melimpah, ikan yang berharga Rp. 1.000,-/ekor bisa turun mencapai Rp. 500,- per ekor (wawancara dengan seorang pedagang pengumpul bandeng di Kelurahan Pundata Baji).

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 100

Page 119: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

sudah menurun pendapatan, produksi menurun, pendapatan menurun dan sebagainya.

Fenomena KRT yang tidak bekerja tetapi rumah tangga yang dikepalainya mempunyai pendapatan juga ditemukan di Kelurahan Pundata Baji, seperti yang terjadi di Mattiro Bombang. Pendapatan rata-rata rumah tangga dengan karakteristik ini bahkan lebih tinggi daripada rumah tangga dengan KRT yang bekerja di sektor pertanian dan transportasi. Beberapa kemungkinan diduga menyebabkan kondisi ini. Pertama, ada kemungkinan KRT dari rumah tangga ini adalah pensiunan yang memperoleh pendapatan dari uang pensiun setiap bulan. Kedua, pendapatan rumah tangga kelompok ini berasal dari ART yang bekerja. Mereka memberi kontribusi pendapatan terhadap rumah yangga untuk mempertahankan kelangsungan rumah tangga.

Tabel 4.12

Statistik Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Kepala Rumah Tangga, Kelurahan Pundata Baji, Kabupaten

Pangkajene dan Kepulauan, 2006

Pendapatan No Lapangan Pekerjaan

KRT Rata-rata Minimum Maksimum

N

1 Perikanan laut 974.226 191.667 2.116.667 14

2 Perikanan budidaya 1.216.513 155.833 4.796.667 39

3 Pertanian tanaman pangan dan keras

388.667 100.00 716.667 5

4 Jasa 1.545.145 600.000 2.300.000 11

5 Perdagangan & Industri Rumah Tangga 1.114.857 270.833 3.240.000 14

6 Transportasi 760.917 371.250 1.833.333 5

7 Lainnya 1.686.042 289.167 3.083.333 4

8 KRT tidak bekerja 920.000 60.000 2.500.000 7

9 Jumlah 1.137.574 60.000 4.796.667 99

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 101

Page 120: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Lazimnya nelayan tradisional yang mempunyai armada tangkap sederhana, pendapatan rumah tangga terpilih dari kegiatan kenelayanan bervariasi menurut musim. Musim gelombang lemah memberikan peluang bagi nelayan untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar karena mereka dapat melaut sampai ke lokasi yang jauh dari pantai. Data pada Tabel 4.13 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga pada musim gelombang kuat hampir mencapai tiga kali penghasilan pada musim pancaroba. Pendapatan pada musim gelombang lemah ini bahkan mencapai sepuluh kali lebih besar daripada gelombang kuat. Disamping rata-rata pendapatan yang paling kecil, pada musim gelombang kuat ditemukan rumah tangga yang tidak mempunyai pendapatan. Hal ini terjadi karena anggota rumah tangga ini tidak bisa turun ke laut, terutama karena mereka tidak mempunyai perahu bermesin. Kondisi gelombang yang kuat tidak memungkinkan nelayan dengan perahu dayung untuk melaut.

Tabel 4.13

Statistik Pendapatan Rumah Tangga Dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, Kelurahan Pundata Baji, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan,

2006 (N=18)

Musim Pendapatan

(Rp) Gelombang Lemah Pancaroba Gelombang Kuat

Rata-rata 1.378.611 457.222 135.000

Median 870.000 500.000 75.000

Minimum 250.000 200.000 -

Maksimum 4.000.000 9.550.000 500.000

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Catatan : Jumlah kasus sebanyak 18 orang terdiri dari 14 rumah tangga yang mempunyai KRT dengan pekerjaan di sektor kenelayanan ditambah dengan 4 rumah tanggalain yang mempunyai anggota yang bekerja di sektor kenelayanan.

Kecilnya pendapatan rumah tangga nelayan pada musim gelombang kuat tercermin pada distribusi pendapatan mereka seperti yang disajikan pada Tabel 4.14. Lebih dari 90 persen rumah tangga mempunyai pendapatan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 102

Page 121: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

kurang dari Rp. 500.000,- per bulan selama musim tersebut. Hanya sekitar 6 persen rumah tangga yang mempunyai pendapatan sebanyak Rp. 500.000,- s/d kurang dari Rp. 1.000.000,-. Selanjutnya pada musim pancaroba proporsi rumah tangga dengan pendapatan di bawah Rp. 500.000,- per bulan berkurang menjadi sekitar 44 persen dan pada musim gelombang lemah mencapai proporsi terkecil, yaitu sekitar 17 persen. Pada gelombang lemah terlihat bahwa rumah tangga terpilih mempunyai pendapatan lebih tinggi daripada dua musim yang lain. Tabel 4.14 memperlihatkan bahwa sekitar 61 persen rumah tangga mempunyai pendapatan lebih dari Ri. 1.000.000,-, sekitar 17 persen diantaranya bahkan mempunyai penghasilan sebesar Rp. 3.000.000,- dan lebih besar.

Tabel 4.14 Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim, Kelurahan Pundata Baji, Kabupaten

Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (%) (N=18)

Musim

No

Besar Pendapatan Gelombang

Lemah Pancaroba Gelombang

Kuat

1 < Rp. 500.000,- 16,7 44,4 94,4

2 Rp. 500.000,- - Rp. 999.000,- 44,4 55,6 5,6

3 Rp. 1.000.000,- – Rp. 1.499.000,- 5,6 - -

4 Rp. 1.500.000,- – Rp. 1.999.000,- 11,1 - -

5 Rp. 2.000.000,- – Rp. 2.499.000,- 5,6 - -

6 Rp. 2.500.000,- – Rp. 2.999.000,- - - -

7 Rp. 3.000.000,- + 16,7 - -

Jumlah 100,0 100,0 100,0

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Mengingat kecilnya pendapatan yang diperoleh dari kegiatan kenelayanan, sebagian nelayan kemudian beralih ke pekerjaan-pekerjaan di bidang lainnya. Beberapa nelayan tangkap berganti usaha menjadi nelayan

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 103

Page 122: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

budidaya.18 Mereka yang tidak mempunyai modal dan tidak bisa bertahan di daerah asal pindah ke daerah lain dan bekerja sebagai sawi di tambak milik orang lain (wawancara dengan salah seorang pejabat Kelurahan Pundata Baji). Selanjutnya, sebagian anak muda beralih profesi menjadi pengemudi ojeg, sementara sebagian lainnya menjadi kuli bangunan atau pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya, seperti buruh bongkar ikan di pelabuhan yang terdapat di Kelurahan Pundata Baji. Tidak hanya di wilayah Kabupaten Pangkep, ada pula mereka yang bekerja ke luar kabupaten, terutama ke Kota Makassar (hasil FGD dengan kelompok nelayan).

4.3. Sintesa Pendapatan

Berdasarkan analisis pendapat di kedua lokasi penelitian dapat disimpulkan bahwa rumah tangga terpilih di kawasan pesisir mempunyai pendapatan yang relatif lebih besar daripada rumah tangga di daerah kepulauan. Diantara rumah tangga-rumah tangga yang berada dalam satu kawasan pun ditemukan perbedaan yang juga relatif besar, yaitu dari yang berpendapatan rata-rata sebesar Rp. 30.167,- s/d Rp. 3.333.333,- setiap bulan di Desa Mattiro Bombang dan Rp. 60.000,- s/d Rp. 4.796.667,- di Kelurahan Pundata Baji. Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal, eksternal serta faktor struktural. Sub-bab ini mendiskusikan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga tersebut.

4.3.1. Faktor Internal

Faktor internal mencakup beberapa isu, antara lain sumber pendapatan, teknologi dan wilayah penangkapan serta biaya produksi. Perbedaan sumber pendapatan memegang peranan yang penting dalam menentukan jumlah pendapatan yang diperoleh. Di kawasan darat kesempatan kerja yang tersedia bervariasi, yang memungkinkan penduduk untuk mempunyai beberapa sumber pendapatan. Sebagai contoh, disamping bekerja sebagai nelayan, penduduk juga bisa melakukan pekerjaan di bidang pertanian (tanaman pangan) atau bekerja sebagai penyedia jasa angkutan seperti ojeg. Hal ini memungkinkan mereka untuk memperoleh pendapatan 18 Salah seorang nelayan yang tergolong mampu secara ekonomi meninggalkan kegiatan penangkapan di laut sejak produksi ikan mengalami penurunan sekitar awal tahun 1990-an. Armada dan alat tangkap yang dimilikinya dijual dan dibelikan lahan tambak. Sejak saat itu, nelayan ini memusatkan kegiatannya pada usaha budidaya bandeng.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 104

Page 123: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

dalam jumlah yang lebih besar. Selain itu, pekerjaan-pekerjaan di darat yang cenderung tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca (seperti gelombang laut pada pekerjaan nelayan) memungkinkan penduduk yang mempunyai matapencaharian di darat untuk memperoleh pendapatan yang relatif stabil setiap waktu.

Bagi rumah tangga-rumah tangga yang mempunyai sumber pendapatan utama dari kegiatan kenelayanan, penguasaan teknologi (armada dan alat tangkap) sangat berpengaruh terhadap jumlah pendapatan yang diperoleh. Armada tangkap dengan kapasitas mesin yang lebih besar yang dimiliki rumah tangga memungkinkan anggotanya untuk berlayar sampai ke wilayah yang lebih jauh, sehingga berpotensi untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Sementara itu, mereka yang hanya memiliki armada tangkap berkapasitas lebih kecil tidak mampu melaut sampai jauh dan terpaksa melakukan penangkapan di wilayah sekitar pesisir yang potensi SDL-nya cenderung menurun. Jumlah dan jenis alat tangkap yang dimiliki juga mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Semakin banyak jumlah (utas) jaring yang dimiliki, maka semakin besar kemungkinan anggota rumah tangga untuk mendapatkan produksi dalam jumlah besar. Selanjutnya, kepemilikan jenis jaring yang bervariasi, seperti jaring kepiting, jaring ikan tinggiri dan jaring udang menyebabkan nelayan dapat menangkap beragam jenis SDL setiap melaut. Lebih lanjut, mereka juga dapat menangkap jenis-jenis SDL pada setiap musimnya, misalnya kepiting pada bulan Desember-Januari atau ikan tenggiri pada bulan April-Juni. Dengan demikian, nelayan mampu mempertahankan jumlah pendapatan karena mempunyai sarana produksi untuk setiap jenis SDL yang produksinya berlimpah pada waktu yang berbeda-beda.

4.3.2. Faktor Eksternal

Isu-isu yang tercakup dalam faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pendapatan adalah pemasaran hasil produksi, ketersediaaan sarana dan prasarana yang terkait dengan pengelolaan hasil tangkapan, seperti transportasi untuk membawa hasil produksi serta kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya laut. Pemasaran hasil tangkapan nelayan di kedua lokasi penelitian sangat tergantung pada pedagang pengumpul, baik yang tinggal di lokasi maupun di luar lokasi penelitian. Sampai saat ini hasil tangkapan nelayan selalu dapat ditampung oleh pedagang pengumpul. Nelayan yang mempunyai hutang kepada pedagang pengumpul selalu menjual hasil tangkapan kepada pedagang pengumpul yang memberi hutang, sementara mereka yang tidak mempunyai hutang bebas memilih

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 105

Page 124: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

pedagang pengumpul. Biasanya nelayan memilih menjual produksi kepada pedagang yang membelinya dengan harga termahal. Rantai pemasaran produksi berbagai jenis SDL sudah dibahas pada Bab 2.

Meskipun selama ini nelayan dapat memasarkan hasil tangkapannya melalui pedagang pengumpul, tempat pelelangan ikan (TPI) sangat diperlukan masyarakat. Keberadaan TPI sangat membantu nelayan karena harga jual hasil tangkapan ditentukan melalui melalui penawaran tertinggi. Hal ini tidak terjadi pada pemasaran melalui pedagang pengumpul, dimana harga ditentukan oleh mereka. Tersedianya TPI memungkinankan nelayan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari penjualan hasil tangkapan mereka.

Faktor eksternal yang juga tidak kalah pentingnya dalam menentukan pendapatan nelayan adalah persaingan wilayah tangkap. Hal ini bisa terjadi diantara sesama nelayan di lokasi penelitian maupun antara mereka dengan nelayan yang berasal dari luar daerah yang menggunakan teknologi penangkapan yang lebih tinggi daripada nelayan lokal. Untuk kasus sesama nelayan lokal, persaingan terlihat pada kegiatan penangkapan kepiting. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, semakin tingginya permintaan terhadap komoditas ini menyebabkan semakin banyak pula nelayan yang menangkap kepiting. Hal ini berakibat menurunnya populasi kepiting karena nelayan juga menangkap kepiting berukuran kecil. Akibatnya, pendapatan nelayan dari sumberdaya ini mengalami penurunan dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Persaingan wilayah tangkap dengan nelayan dari luar melibatkan mereka yang menangkap ikan dengan armada kapal trawl. Meskipun izin operasi kapal ini adalah di perairan di luar wilayah penangkapan nelayan tradisional, dalam kenyataannya banyak kapal trawl yang melanggar ketentuan yang berlaku. Tidak jarang mereka memasuki wilayah tangkap nelayan tradisional. Akibatnya, jaring yang dipasang nelayan tersapu oleh kapal trawl, disamping juga rusaknya terumbu karang di wilayah yang dilalui. Semua ini berujung pada berkurangnya pendapatan nelayan.

4.3.3. Struktural

Faktor struktural yang berperan dalam perolehan pendapatan dari kegiatan kenelayanan meliputi kebijakan, peraturan, penegakan hukum serta program/intervensi terhadap pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang. Kebijakan yang mengatur wilayah dan penggunaan teknologi penangkapan bertujuan untuk menghambat dan mengurangi kerusakan terumbu karang.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 106

Page 125: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Terumbu karang yang terjaga kondisinya menjadi pendukung kegiatan kenelayanan karena memungkinkan ikan berkembang biak dalam jumlah yang besar. Hal ini karena salah satu fungsinya adalah sebagai tempat hidup beberapa jenis ikan. Selanjutnya, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku penangkapan dengan teknologi yang merusak, juga berpotensi untuk menghambat kerusakan terumbu karang. Program/intervensi dalam pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang juga tidak kalah pentingnya dalam peningkatan pendapatan nelayan. Berbagai program/kegiatan yang terkait dengan pengelolaan terumbu karang sangat berperan dalam memelihara dan mempertahankan kondisi terumbu karang. Dengan terumbu karang yang terpelihara kondisinya yang pada gilirannya mendukung ’produksi’ ikan, pendapatan nelayan akan mengalami peningkatan, seiring dengan besarnya volume produksi.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 107

Page 126: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Sesuai dengan namanya, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) mencakup wilayah daratan dan juga kepulauan yang dikelilingi oleh perairan. Dari 12 kecamatan yang termasuk wilayah Kabupaten Pangkep, 3 diantaranya berupa pulau-pulau. Secara keseluruhan kabupaten ini mempunyai 112 pulau, dari yang terkecil dengan luas 0,032 km2 sampai dengan pulau terbesar yang mempunyai luas 11,064 km2. Dari seluruh pulau tersebut, 45 pulau diantaranya belum berpenghuni.

Dengan letak geografis yang sebagian dikelilingi oleh perairan, kabupaten ini mempunyai potensi sumberdaya laut yang besar, baik dari variasi jenis maupun volumenya. Potensi sumberdaya tersebut antara lain berbagai jenis ikan, disamping terumbu karang yang berfungsi sebagai tempat hidup berbagai biota laut, termasuk ikan. Namun potensi terumbu karang sudah mengalami penurunan, terutama akibatnya banyaknya tutupan karang yang berada dalam kondisi rusak. Berdasarkan hasil pantauan beberapa stasiun diketahui bahwa lebih dari separuh tutupan karang di wilayah Kabupaten Pangkep saat ini dalam keadaan rusak. Kerusakan terumbu karang ini tidak hanya berdampak terhadap ekosistim (laut), akan tetapi juga berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan masyarakat karena banyak penduduk mempunyai matapencaharian yang terkait dengan sumberdaya laut.

Meskipun kerusakan terumbu karang bisa disebabkan oleh faktor alam dan manusia, kerusakan sumberdaya ini di Kabupaten Pangkep terutama disebabkan oleh manusia. Kegiatan eksploitasi sumberdaya laut dengan menggunakan bahan, alat dan teknologi yang merusak seperti penggunaan bom dan sianida serta beroperasinya kapal trawl yang dilengkapi dengan alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang, menjadi sebab utama kerusakan sumberdaya ini. Kegiatan-kegiatan yang bersifat merusak terumbu karang ini pada umumnya dilakukan oleh nelayan yang berasal dari luar daerah. Meskipun penduduk setempat, khususnya nelayan-nelayan di Desa Mattiro Bombang (Kecamatan Liukang Tupabbiring) berusaha mencegahnya, keterbatasan sarana seperti kapal untuk mengejar pelaku perusak, menyebabkan mereka kalah bersaing dengan pelaku pengeboman.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 108

Page 127: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Agar kerusakan terumbu karang tidak semakin parah, pemerintah telah melakukan berbagai intervensi yang tidak hanya difokuskan pada aspek fisik, akan tetapi juga untuk penduduk yang menggantungkan hidup pada sumberdaya laut pada umumnya. Salah satu intervensi yang telah dilakukan adalah penetapan daerah perlindungan laut seperti di Desa Mattiro Bombang, yang mencakup Gusung Torajae dan Onderea. Di sebagian daerah perlindungan tersebut, pemakaian jenis alat tangkap dibatasi hanya pada pancing yang tidak merusak terumbu karang. Aturan tersebut sangat dipatuhi oleh penduduk setempat, sehingga mereka tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang melanggar aturan. Dengan kebijakan tersebut, kondisi terumbu karang dapat terjaga, sehingga mendukung kehidupan populasi ikan yang memungkinkan besarnya volume hasil tangkapan nelayan.

Disamping sumberdaya laut, Kabupaten Pangkep juga memiliki kekayaan sumberdaya alam di darat. Lahan pertanian, baik tanaman pangan maupun perkebunan serta lahan untuk perikanan budidaya (tambak) merupakan beberapa potensi sumberdaya alam di darat yang berperan penting dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Selain itu, potensi bahan tambang seperti marmer juga dimiliki oleh kabupaten ini. Semua potensi sumberdaya alam tersebut memberi sumbangan yang besar bagi pendapatan daerah untuk kelangsungan kegiatan pembangunan di kabupaten ini.

Berbagai sarana sosial dan ekonomi seperti sekolah dengan tenaga pendidik mulai dari SD sampai perguruan tinggi, rumah sakit dan puskesmas yang dilengkapai dengan tenaga kesehatan serta berbagai lembaga keuangan, seperti bank dan koperasi, terdapat di Kabupaten Pangkep. Namun demikian, penyebarannya tidak merata untuk seluruh wilayah. Sebagai contoh, sarana sekolah sangat terbatas di wilayah kepulauan. Kebanyakan daerah ini hanya memiliki sekolah di tingkat SD, meskipun di beberapa pulau sudah didirikan sekolah setingkat SMP. Anak-anak usia sekolah yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi terpaksa meninggalkan rumah dan tinggal di daerah yang memiliki sarana pendidikan tersebut. Hal ini menyebabkan bertambahnya biaya pendidikan dan menjadi penghambat bagi penduduk untuk memperoleh pendidikan tinggi. Ditambah dengan rendahnya motivasi untuk sekolah, baik dari anak maupun kurangnya dukungan orang tua, tidak mengherankan jika kebanyakan penduduk berpendidikan rendah. Hal ini terlihat dari besarnya proporsi penduduk yang berpendidikan SD ke bawah.

Besarnya potensi di perikanan yang dimiliki oleh kabupaten ini, menyebabkan banyak penduduk yang menggantungkan hidupnya pada kegiatan-kegiatan perikanan. Pekerjaan-pekerjaan di sektor perikanan, salah

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 109

Page 128: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

satu sub-sektor pertanian menjadi sumber matapencaharian utama bagi sebagian besar penduduk pesisir dan kepulauan. Disamping perikanan tangkap, perikanan budidaya juga berperan dalam memberi pendapatan bagi penduduk. Di lokasi-lokasi tertentu, seperti di Kelurahan Pundata Baji, Kecamatan Labakkang, keuntungan ekonomi dari usaha budidaya perikanan bahkan lebih besar didapatkan oleh penduduk dibandingkan dengan perikanan tangkap. Permintaan yang tinggi terhadap produksi budidaya disertai dengan harga komoditas budidaya yang juga tinggi, terutama udang, menyebabkan sebagian masyarakat lebih memilih untuk melakukan kegiatan budidaya. Oleh karena itu, konversi lahan sawah menjadi lahan tambak sering tidak dapat dihindarkan. Bahkan, sebagian hutan bakau yang terdapat di sekitar pantai juga sering ditebang penduduk untuk memperluas lahan tambak mereka.

Luasnya lahan budidaya di Kabupaten Pangkep secara keseluruhan terbukti dari paling besarnya komoditas budidaya, terutama bandeng, yang dihasilkan oleh kabupaten ini. Kabupaten Pangkep merupakan pemasok ikan bandeng terbesar di Propinsi Sulawesi Selatan. Selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal, ikan produksi kabupaten ini juga dikirim ke luar daerah, seperti ke Papua dan bahkan juga ke luar negeri, yang dikirim oleh perusahaan di KIMA (Kawasan Industri Makassar).

Besarnya jumlah penduduk yang terlibat dalam kegiatan ekonomi di sektor pertanian (dalam arti luas), telah memberikan sumbangan yang berarti terhadap PDRB Kabupaten Pangkep. Hal ini terlihat dari besarnya persentase sumbangan sektor ini dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya pada hampir setiap tahun. Jika diurutkan, dari lima sub-sektor pertanian (tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan) sumbangan terbesar pendapatan berasal dari sub-sektor perikanan. Meskipun sektor industri juga memberikan sumbangan yang hampir sama besarnya dengan sektor pertanian, keuntungan langsung yang diperoleh masyarakat dari sektor industri relatif kecil. Hal ini disebabkan karena serapan tenaga kerja di sektor ini juga kecil, jauh di bawah sektor pertanian. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sektor pertanian masih menjadi sumber ekonomi utama bagi penduduk di Kabupaten Pangkep.

Nelayan Kabupaten Pangkep pada umumnya adalah nelayan tradisional yang memiliki armada tangkap sederhana. Di lokasi penelitian, khususnya armada tangkap yang dimiliki berupa perahu berkapasitas kecil (maksimal 30 GT) dengan kekuatan mesin sekitar 16-20 PK. Selain itu, ditemukan pula nelayan yang mempunyai perahu tanpa motor. Jaring merupakan alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan untuk

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 110

Page 129: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

menangkap ikan. Berbagai jenis jaring, mulai dari jaring teri, udang, jaring kepiting, ikan tenggiri, ikan hiu dan pari merupakan alat tangkap yang dimiliki oleh hampir semua nelayan di lokasi penelitian. Namun kondisi ekonomi yang terbatas menyebabkan mereka tidak mampu mempunyai jaring dalam jumlah besar. Hal ini menyebabkan nelayan tidak bisa memperoleh hasil tangkapan dalam jumlah besar, yang berdampak terhadap pendapatan mereka.

Kemampuan armada tangkap yang terbatas menjadi hambatan bagi nelayan untuk menangkap ikan dalam volume produksi yang besar. Hal ini karena kemampuan jelajah yang terbatas, terutama pada saat gelombang laut besar, mereka sulit melaut sampai jauh. Padahal di perairan sekitar pantai potensi ikan semakin berkurang, terutama akibat kondisi terumbu karang yang rusak. Akibatnya, pendapatan penduduk dari kegiatan kenelayanan mengalami penurunan dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya.

Secara tradisional, nelayan telah mempraktekkan berbagai cara untuk menjaga sumberdaya laut. Salah satu diantaranya adalah mengambil hasil tangkapan yang sudah berukuran besar seperti yang dilakukan oleh nelayan penangkap kepiting. Kepiting kecil yang tertangkap di jaring nelayan biasanya tidak diambil dan dibuang kembali ke laut. Namun demikian, karena permintaan yang semakin tinggi terhadap SDL ini, semakin banyak nelayan yang menangkapnya dan bahkan kepiting yang berukuran kecil pun ditangkap. Akibatnya, populasi kepiting menjadi berkurang drastis karena kepiting besar yang dapat berkembang biak sudah sangat sedikit populasinya.

Penelitian ini mendapatkan bahwa pendapatan nelayan mengalami fluktuasi sesuai dengan musim gelombang. Pendapatan tertinggi diperoleh pada musim gelombang lemah, sedangkan pada musim gelombang laut besar pendapatan mencapai jumlah terendah. Di kawasan kepulauan, pendapatan rata-rata rumah tangga terpilih sebagai sampel penelitian pada musim gelombang lemah sebesar Rp. 539.100,- per bulan, sedangkan pada gelombang kuat pendapatan rata-rata mereka turun menjadi Rp. 486.900,- setiap bulan. Hal yang sama juga ditemui di wilayah pesisir, dengan rata-rata pendapatan rumah tangga sampel sebesar Rp. 1.378.600,- setiap bulan, sementara pada musim gelombang kuat menurun drastis menjadi Rp. 135.000,- per bulan, dipengaruhi oleh angin yang sangat kuat disebut oleh penduduk setempat dengan angin barubu.

Pendapatan penduduk dari kegiatan perikanan tangkap lebih kecil daripada kegiatan perikanan budidaya, sebagaimana terlihat pada jumlah pendapatan 200 rumah tangga terpilih di lokasi penelitian. Di Kelurahan

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 111

Page 130: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Pundata Baji, wilayah pesisir, pendapatan rata-rata per bulan dari rumah tangga yang mempunyai KRT yang bekerja di perikanan laut lebih kecil (Rp. 974,200,-) daripada rumah tangga yang dikepalai oleh KRT yang bekerja pada perikanan budidaya (Rp. 1.216.500,-). Rata-rata pendapatan rumah tangga terpilih di kawasan kepulauan, yang mayoritas bekerja sebagai nelayan tangkap, lebih rendah daripada rumah tangga terpilih di kawasan darat yang mempunyai variasi matapencaharian.

Jumlah rata-rata pendapatan rumah tangga di kawasan kepulauan sebesar Rp. 547.250,- setiap bulan, sementara pada rumah tangga di kawasan daratan jumlahnya adalah Rp. 1.137.574,- per bulan. Namun demikian, data ini perlu diinterpretasikan secara hati-hati karena besarnya perbedaan jumlah pendapatan tertendah dengan pendapatan yang tertinggi diantara seluruh rumah tangga terpilih. Jika perhitungan didasarkan pada median pendapatan rumah tangga, penelitian ini mendapatkan bahwa separuh (50 persen) rumah tangga di kawasan kepulauan mempunyai pendapatan paling tinggi Rp. 402.000,- per bulan, sedangkan di kawasan daratan separuh rumah tangga terpilih mempunyai pendapatan paling tinggi sebesar Rp. 975.000,- setiap bulan. Besarnya pendapatan rumah tangga terpilih di kawasan daratan disebabkan karena di wilayah ini jenis pekerja, yang tersedia lebih bervariasi, sehingga penduduknya dapat mempunyai lebih dari satu pekerjaan. Dengan demikian, mereka juga bisa memperoleh pendapatan yang lebih besar.

Sebagaimana layaknya nelayan di daerah-daerah lain, nelayan di Kabupaten Pangkep juga mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap pemilik modal (bos). Termasuk diantara pemilik modal ini adalah pedagang pengumpul yang membantu nelayan memenuhi berbagai keperluan, baik untuk melaut maupun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Bantuan tersebut kemudian diperhitungkan sebagai hutang yang harus dibayar secara mencicil, dengan menjual hasil tangkapan kepada bos yang memberi hutang. Disamping dapat memenuhi berbagai kebutuhan mereka, pedagang pengumpul sangat berperan dalam memasarkan hasil tangkapan nelayan. Hal ini karena tidak tersedianya tempat pelelangan ikan di sekitar tempat tinggal nelayan, terutama di lokasi penelitian. Dengan menjual hasil tangkapan kepada pedagang pengumpul di desa, nelayan tidak mempunyai posisi tawar dalam menentukan harga. Padahal, di tempat pelelangan, harga ditentukan oleh penawaran tertertinggi oleh pembeli, sehingga memungkinkan nelayan untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar pula. Ketergantungan terhadap bos juga ditemukan pada kelompok nelayan budidaya. Sebagian dari mereka meminjam modal produksi, seperti untuk membeli bibit dan makanan ikan/udang kepada bos. Konsekuensinya,

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 112

Page 131: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

mereka juga harus menjual produksi budidaya kepada bos tempat berhutang, pada setiap kali panen.

Bertolak dari berbagai kenyataan yang telah dikemukakan di atas, beberapa pertimbangan dalam pelaksanaan program-program yang terkait dengan pelestarian terumbu karang dan SDL pada umumnya dikemukakan sebagai kerikut.

1. Karena ketergantungan penduduk yang tinggi pada SDL, sementara di lain pihak populasi beberapa jenis SDL mengalami penurunan yang tajam, maka perlu dipertimbangkan alternatif mata pencaharian penduduk yang dapat mengurangi ketergantungan tersebut. Salah satu diantaranya adalah pengembangan kegiatan budidaya berbagai jenis SDL seperti ikan, udang dan rumput laut, sesuai dengan kondisi alam, terutama di kawasan pulau-pulau yang jarang penduduknya. Hal ini mengingat sebagian pulau sudah sangat padat, seperti pulau Salemo, sehingga tidak tersedia lahan untuk dijadikan tambak. Untuk mendukung pengembangan kegiatan budidaya, diperlukan bantuan modal usaha, termasuk untuk makanan ikan atau SDL yang dibudidayakan sampai mencapai umur untuk dipanen.

2. Keterampilan khusus untuk perempuan seperti pembuatan kerajinan dari bahan kulit kerang dapat dikembangkan sebagai alternatif matapencaharian bagi kelompok penduduk ini. Selama ini kulit kerang yang banyak jumlahnya tidak pernah dimanfaatkan, padahal bahan-bahan ini dapat dimanfaatkan menjadi barang-barang kerajinan seperti hiasan dinding. Dengan penguasaan keterampilan tersebut, maka tenaga kerja perempuan yang selama ini banyak terserap di sektor industri pengolahan yang kegiatannya tidak berlangsung secara terus menerus, bisa mempunyai sumber pendapatan yang tetap.

3. Mengingat tingginya kesadaran penduduk untuk menjaga kelestarian terumbu karang dari kegiatan-kegiatan yang merusak yang pada umumnya dilakukan oleh orang-orang dari luar daerah, maka diperlukan sarana pendukung untuk menjaga terumbu karang. Pengadaan kapal dengan kemampuan mesin yang memadai yang dapat digunakan untuk kegiatan ’patroli’ laut sangat perlu dilakukan. Tenaga pelaksananya dapat direktur dari anak-anak muda setempat yang bertanggungjawab menjaga laut di sekitar tempat tinggal mereka dari berbagai kegiatan yang merusak terumbu karang.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 113

Page 132: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

4. Potensi sumberdaya pariwisata (bahari) perlu dikembangkan untuk menciptakan alternatif pekerjaan bagi penduduk. Pulau-pulau dengan pemandangan laut yang indah merupakan daya tarik tersendiri untuk pengembangan sektor ini. Lokasi penelitian di pulau Salemo yang mempunyai sejarah perkembangan agama Islam dan di beberapa pulau di Kelurahan Liukang Tupabbiring yang menjadi tempat persinggahan wali yang mengembangkan agama ini dapat pula dikembangkan menjadi daerah pariwisata sejarah dan budaya. Untuk itu, perlu dilakukan persiapan bagi pengembangan kegiatan ini seperti menyiapkan sumberdaya manusia yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 114

Page 133: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

DAFTAR PUSTAKA BAPPEDA Kabupaten Pangkep. 2006. Rancangan Perda Kabupaten

Pangkep tentang Pengelolaan sumber daya pesisir dan laut. Bekerjsama dengan Proyek Pengelolaan sumber daya pesisir dan laut Direktorad Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelauratan dan Perikanan.

Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep dan BAPPEDA Prop Sulawesi

Selatan. 2006. Data luas wilayah dan jarak Pulau-pulau di Kabupaten Pangkep. Pangkejene.

DKP Kabupaten Pangkep. 2005. Data Potensi Kelautan, Pesisir dan Pulau-

pulau Kecil Kabupaten Pangkep. Pangkajene. BPS Kabupaten Pangkep. 2005. Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

dalam Angka 2004/2005. Kerjasama dengan Bappeda Kabupaten Pangkejene dan Kepulauan. Pangkajene.

BPS Kabupaten Pangkep. 2006. Kecamatan Labakkang dalam Angka 2005.

Pangkejene. BPS Kabupaten Pangkep. 2006. Kecamatan Liukang Tupabbiring dalam

Angka 2005. Pangkajene. Bappeda Kabupaten Pangkep, 2006. Data Luas Wilayah dan Jarak Pulau-

pulau Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Pemeritah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.

BPS Kabupaten Pangkep. 2004. Penduduk Kabupaten Pangkep 2003: Hasil

Registrasi Penduduk Pangkajene. Pangkajene. BPS. 2003. Sensus Pertanian 2003 Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

Propinsi Sulawesi Selatan. CV. Delta Dimensi Cons. 2004. Surcei Sosial Ekonomi COREMAP Fase II

Kabupaten Pangkep. Laporan Akhir. Pangkajene.

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 115

Page 134: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Pusat Studi Terumbu Karang UNHAS. 2001.Penilaian Ekosistem Kepulauan Spermonde, Kabupaten Pangkep. Universitas Hasanuddin. Makasar.

COREMAP Sulawesi Selatan. 2001. Studi Sosial Ekonomi Kepulauan

Spermonde dan Pulau-Pulau Sembilan Sulawesi Selatan. Buku 1. Project Maganer Office COREMAP. Makasar.

http://www.sulsel.go.id/wilayah/pangkep/profil.html. http://www.pangkep.go.id/sejarah.php www.sulsel.go.id/wilayah/pangkep/profil.html http://kompas.com/kompas-cetak/0604/28/ekora/2612107.htmT. Romdiati, Haning dan M. Noveria. 2005. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu

Karang Indonesia Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang Kota Batam. COREMAP – LIPI dan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. Jakarta.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 116

Page 135: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Lampiran Tabel 1

Jumlah Sekolah, Murid dan Guru Sekolah Dasar Menurut Kecamatan di Kab Pangkep, 2003

Jumlah

Kecamatan Murid Guru sekolah

Rasio Murid Guru

Rasio Murid

Sekolah Lk. Tupabbiring 4.494 184 39 24,42 115,23

Labakkang 6.012 245 35 24,54 171,77

Kab. Pangkep 40.716 2.099 308 19,40 132,19

Sumber : BPS Kab Pangkep. 2004. Penduduk Kabupaten Pangkep 2003 : Hasil Registrasi Penduduk. Pangkajene.

Lampiran Tabel 2

Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SLTP menurut kecamatan di Kab Pangkep, 2003

Jumlah

Kecamatan Murid Guru sekolah

Rasio Murid Guru

Rasio Murid

Sekolah Lk. Tupabbiring 233 27 2 8,63 116,50 Labakkang 1.218 83 3 14,67 406,00 Kab. Pangkep 9.027 703 30 12,84 300,90

Sumber : BPS Kab Pangkep. 2004. Penduduk Kabupaten Pangkep 2003 : Hasil Registrasi Penduduk. Pangkajene

Lampiran Tabel 3 Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SLTA Menurut Kecamatan

di Kab Pangkep, 2003

Jumlah Kecamatan

Murid Guru sekolah

Rasio Murid Guru

Rasio Murid

Sekolah Lk. Tupabbiring - - - - -

Labakkang 303 28 1 10,82 303,00

Kab. Pangkep 5.894 488 16 12,08 368,38

Sumber : BPS Kab Pangkep. 2004. Penduduk Kabupaten Pangkep 2003 : Hasil Registrasi Penduduk. Pangkajene

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 117

Page 136: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 118

Page 137: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Lampiran Tabel 4

Produksi Perikanan Laut di Kabupaten Pangkep, Tahun 1999-2002

Produksi (ton)a Jenis ikan

2000 2001 2002 2003 2004 Peperek 123,1 121,3 61,8 55,4 92,5 Manyung 59,6 8,5 69,9 - 12,0 Gerot-gerot 171,2 91,4 160,3 32,0 71,7 Ikan Merah/Bambangan 118,4 15,4 168,7 13,2 81,3 Kerapu - - 6,6 2,9 29,4 Lencam 94,9 21,1 - 2,2 19,5 Kakap Putih - - 5,5 - 7,2 Cucut - - 11,8 - - Pari 22,3 29,8 73,6 1,4 - Alu-alu/Asa-asa 94,8 - - 0,8 36,6 Layang 1.621,5 1.190,8 539,5 1.064,2 1.111,0 Selar 326,5 423,8 184,1 467,5 498,3 Kuwe 133,2 402,9 186,3 405,2 402,3 Tetengkek 186,6 258,3 - 413,4 387,0 Tenggiri Papan 74,4 11,7 19,1 11,4 - Belanak 45,3 19,1 52,8 37,9 64,5 Sebelah - 4,0 - - - Teripang - 10,8 8,8 2,9 - Ekor Kuning 18,0 27,5 10,1 - 15,7 Tembang 1.712,6 1.564,4 825,5 1.048,1 407,6 Lamuru 447,3 642,6 368,9 533,7 496,7 Kembung 2.739,7 2.131,7 1.654,9 1.838,4 1.820,4 Gulamah 65,5 87,3 15,6 33,5 Cakalang 628,5 655,8 372,6 644,3 646,1 Ikan Campuran 380,9 258,5 156,5 154,5 Rajungan 672,1 812,5 770,2 212,9 669,4 Udang Putih 377,5 539,5 253,0 114,7 369,7 Cumi-cumi - - 51,6 6,2 203,7 Bawal Putih - 205,2 66,3 65,7 158,4 Udang Lain/Rebon 32,5 25,8 122,0 101,3 240,3 Senanging/Mananging 51,4 34,9 - 15,2 45,0 Udang Barong/Kipas - 8,5 - 29,6 31,7 Japuh 258,9 254,2 88,8 25,1 84,4 Terubuk 685,6 610,6 442,5 294,7 528,0 Udang Windu/Flower 31,4 29,5 44,1 42,5 103,5 Tuna - - 33,8 - - Daun Bambu - - 60,9 - 0,4 Tongkol 255,3 - - - - Bawal Hitam - - 60,9 143,5 184,7 Gurita - - 5,5 1,3 -

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 119

Page 138: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Teri - - - 21,3 681,5 Udang Dogol - - - 23,3 20,9 Kapas-kapas - - - - 9,2 Baronang - - - - 18,6 Layur - - - - 17,3 Sunglir - - - - 0,6

Jumlah 11.357,3 10.598,0 7.050,0 7.944,3 9.775,1

Sumber : Kabupaten Pangkep dalam Angka 2004/2005. Kerjasama Bappeda dengan BPS Kabupaten Pangkep.

Lampiran Tabel 5

Produksi Budidaya Tambak Kabupaten Pangkep, Tahun 1999-2002

Produksi (ton) Jenis ikan

2000 2001 2002 2003 2004

Bandeng 6.389,7 5.885,9 7.819,5 5.493,5 3.557,1

Udang Windu 1.150,6 1.616,2 751,1 589,3 369,5

Udang Putih 11,6 16,8 8,0 13,1 65,7

Campuran 211,7 76,6 307,4 106,4 161,1

Jumlah 7.763,6 7.595,5 8.886,0 6.402,3 4.153,4

Sumber : Kabupaten Pangkep dalam Angka 2004/2005. Kerjasama Bappeda dengan BPS Kabupaten Pangkep.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 120

Page 139: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

Lampiran Tabel 6

Distribusi Rumah Tangga Terpilih yang Mempunyai Pendapatan < Rp. 500.000,- Menurut Besar Pendapatan, Desa Mattiro Bombang, Kabupaten

Pangkajene dan Kepulauan, 2006 (Persen) (N=61)

No Besar pendapatan (Rp.) Persen

1. < 100.000,- 6,3

2 100.000,- - 199.999,- 23,4

3 2000.000,- - 299.999,- 25,0

4 300.000,- - 399.999,- 21,9

5 400.000,- - 599.9999,0 19,7

6 Jumlah 100,0

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 121

Page 140: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

LAMPIRAN

Konsep dan Definisi

Bekerja adalah seseorang yang dalam satu minggu terakhir melakukan pekerjaan/kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang atau jasa, atau membantu menghasilkan barang atau jasa dengan maksud untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atau balas jasa berupa uang atau barang. Termasuk dalam kategori bekerja adalah mereka yang mempunyai pekerjaan tetapi sedang tidak bekerja, seperti, sakit dan cuti.

Menganggur adalah mereka yang tidak bekerja dan juga tidak mencari kerja

Mencari pekerjaan adalah mereka yang selama satu minggu yang lalu berusaha mencari pekerjaan, sedangkan usaha untuk mendapatkan pekerjaan misalnya dapat dilakukan dengan cara: mendatangi majikan untuk mendapatkan pekerjaan, mendatangi kantor pabrik, dsb.

Sekolah adalah mereka yang selama satu minggu yang lalu mempunyai kegiatan sekolah/kuliah. Anak sekolah yang selama seminggu yang lalu sedang libur dan tidak melakukan kegiatan atau lainnya dimasukkan ke dalam kategori sekolah.

Mengurus rumah tangga adalah mereka yang satu minggu terakhir mengurus rumah tangga atau membantu mengurus rumah tangga.

Pekerjaan Utama yang biasanya dilakukan selama satu minggu terakhir adalah pekerjaan yang menurut pengakuan responden paling banyak menyita waktu selama satu minggu terakhir, misalnya: nelayan pancing dengan kapal sendiri, nelayan bagan/bubu/keramba milik sendiri, nelayan bagan yang bekerja pada orang lain, nelayan yang bekerja dengan cara bagi hasil (sebagai pemilik atau sebagai pembawa kapal), pegawai negeri di kantor kecamatan, staf administrasi di kantor desa, perawat Puskesmas, pedagang makanan keliling, pedagang ikan di pasar, pemilik warung sembako. Informasi mengenai pekerjaan utama tersebut dapat dirinci berdasarkan:

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 123

Page 141: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

a. Jenis pekerjaan yang dilakukan misalnya nelayan punggawa, nelayan keluarga, petambak, petani, buruh tani

b. Status pekerjaan yang dilakukan (bekerja sendiri, membantu keluarga-pekerja tak dibayar, memperkerjakan orang lain, karyawan, PNS dsbnya)

c. Lapangan kerja adalah sektor dimana ia bekerja (pertanian, industri, jasa)

Pekerjaan tambahan yang biasanya dilakukan selama satu minggu terakhir adalah pekerjaan tambahan diluar pekerjaan utama. Pekerjaan tambahan tersebut diuraikan seperti pada pekerjaan utama Pendapatan rumah tangga (pendapatan bersih rumah tangga) dalam satu bulan terakhir adalah pendapatan setelah dikurangi biaya produksi yang diterima oleh rumah tangga dalam satu bulan terakhir. Pendapatan rumah tangga mencakup penghasilan dari pekerjaan pokok dan pekerjaan tambahan. Pendapatan keluarga tersebut dikelompokan dalam 5 kategori yaitu :

a. Pendapatan dari kegiatan usaha perikanan tangkap di laut, dihitung dari pendapatan bersih yang diterima oleh nelayan setiap kali melaut. Pendapatan bersih ini merupakan penjualan hasil tangkapan dikurangi biaya produksi untuk melaut yang umumnya meliputi biaya BBM, ransum dan rokok. Pendapatan bersih sekali melaut ini kemudian dikonversikan ke dalam pendapatan satu bulan dengan mengalikan pendapatan bersih dengan jumlah melaut dalam satu bulan. Pendapatan dari kegiatan usaha perikanan laut ini dibagi ke dalam 3 musim yaitu :

(i) Musim banyak ikan atau musim panen di daerah yang bersangkutan.

(ii) Musim pancaroba adalah musim peralihan antara musim banyak ikan dan tidak banyak ikan dan sebalikya dari musim kurang ikan ke musim banyak ikan.

(iii) Musim kurang/sulit ikan (musim paceklik) di daerah yang bersangkutan.

Pendapatan sebulan dari kegiatan perikanan tangkap merupakan penjumlahan dari pendapatan rata-rata per bulan per musim dibagi dengan banyaknya musim, dengan rumus :

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 124

Page 142: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

nIII

I p321 ++

=

dimana : Ip adalah pendapatan sebulan dari perikanan tangkap; I1 adalah pendapatan rata-rata per bulan per musim ke-1; I2 adalah pendapatan rata-rata per bulan per musim ke-2; I3 adalah pendapatan rata-rata per bulan per musim ke-3; n =3 adalah banyaknya musim

b. Pendapatan dari budidaya perikanan adalah pendapatan bersih yang diterima oleh seseorang yang mengusahakan budidaya biota laut/hasil laut seperti tambak bandeng, udang, pembesaran ikan kerapu, tanaman rumput laut dll. Pendapatan bersih per sekali panen dihitung dari harga penjualan produksi biota/hasil laut yang dibudidayakan (tambak bandeng, udang, pembesaran kerapu dan rumput laut) dikurangi dengan biaya produksi seperti benih, pakan dan ongkos tenaga kerja. Pendapatan sebulan dari budidaya perikanan dihitung dari penjumlah pendapatan bersih yang diterima setiap panen dibagi dengan banyaknya panen dalam satu tahun terakhir, maka formulanya adalah :

nPPPI n

b+++

=....21

dimana : Ib adalah pendapatan sebulan dari budidaya perikanan P1 adalah pendapatan bersih dari panen ke -1 P2 adalah pendapatan bersih dari panen ke-2 Pn adalah pendapatan bersih dari panen ke-n n adalah banyaknya panen dalam satu tahun terakhir

c. Pendapatan dari usaha pertanian di luar perikanan adalah

pendapatan bersih yang diterima oleh seseorang yang mengusahakan tanaman padi, palawija, kelapa, dll. Pendapatan bersih per sekali panen dihitung dari harga penjualan produksi (padi, palawija, kelapa dll) dikurangi dengan biaya produksi seperti benih, pupuk, obat-obatan dan upah tenaga kerja. Produksi yang ditanyakan pada bagian ini adalah produksi yang dijual. Pendapatan sebulan dari usaha pertanian di luar perikanan merupakan perkalian

Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 125

Page 143: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KEPULAUANcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Pangkajene_2007.pdfRANGKUMAN Penelitian “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia” yang dilakukan

dari pendapatan bersih rata-rata yang diterima setiap panen dengan banyaknya panen dalam satu tahun terakhir terakhir yang kemudian dibagi dengan 12.

12jPIt

×=

dimana : It adalah pendapatan sebulan dari usaha pertanian P adalah pendapatan rata-rata setiap panen j adalah banyak panen dalam satu tahun terakhir d. Pendapatan dari usaha perdagangan adalah pendapatan bersih yang

diterima oleh seseorang yang berusaha di bidang jasa perdagangan. Pendapatan bersih merupakan keuntungan yang diperoleh (tidak termasuk modal).

e. Pendapatan lainnya yang diterima baik secara rutin maupun

eksidental setiap bulan seperti PNS/Guru, ABK yang diupah, kiriman/pemberian orang tua/saudara, dll.

Pendapatan rata-rata rumah tangga per bulan merupakan penjumlahan pendapatan dari seluruh anggota rumah tangga yang bekerja di berbagai sektor: perikanan tangkap, budidaya, perdagangan, pertanian dan pendapatan lainnya. Pendapatan per-kapita per bulan dihitung dari jumlah pendapatan rumah tangga dibagi dengan seluruh jumlah anggota rumah tangga.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 126