konsep kecantikan wanita jawa dalam panyandra sebuah
TRANSCRIPT
1
Konsep Kecantikan Wanita Jawa dalam Panyandra:
Sebuah Analisis Metafora
Arif Nur Setiawan¹, Widhyasmaramurti²
¹˒ ² Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected], [email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas konsep kecantikan wanita dalam panyandra berbahasa Jawa. Penelitian ini adalah penelitian
kualitatif deskriptif. Sementara itu, sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 7 buku teks berbahasa
Jawa yang terbit pada tahun 1958 hingga 2011. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan makna metaforis
panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa. Teori yang digunakan untuk menganalisis data adalah
teori metafora Lakoff dan Johnson (1980) dan teori komponensial Nida (1975). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
melalui analisis makna metaforis ditemukan 70 makna metaforis panyandra berbahasa Jawa yang terdiri atas 3
kategori dan 34 subkategori pembangun konsep kecantikan wanita Jawa.
Kata kunci:
Konsep kecantikan wanita Jawa; metafora; dan panyandra.
Abstract
This research discusses women’s beauty concepts of Javanese panyandra (proposition). Data that is used consisted
of primary and secondary data which are taken from 7 Javanese language textbooks since 1958 until 2011, and
analyzed based on descriptive qualitative research method by using theory of metaphor by Lakoff and Johnson
(1980) and theory of componential meaning by Nida (1975). The aim is to discover the metaphorical meaning of the
women’s beauty concepts of Javanese panyandra. As a result, there are 70 panyandra which can be found that form
the concepts of women’s beauty, and those panyandra have 3 categories and 34 subcategories of metaphorical
meaning that form the concept of women’s beauty of Javanese panyandra.
Key words: Women’s beauty concepts; metaphor; and Javanese panyandra (proposition).
Pendahuluan
Konsep kecantikan dalam budaya Jawa tercermin melalui ungkapan berbahasa Jawa dalam
bentuk proposisi yang digunakan oleh masyarakat pendukungnya, salah satu jenis proposisi
dalam bahasa Jawa adalah panyandra. Menurut pengamatan peneliti, panyandra yang
membangun konsep kecantikan wanita Jawa diciptakan oleh kaum pria. Hal ini sesuai dengan
penjelasan dari Old Javanese-English Dictionary (Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti ‘yang
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
2
diinginkan’. Dalam pengertian ini, wanita merupakan ‘sesuatu yang diinginkan pria’. Jadi, kaum
pria mengungkapkan gagasannya tentang konsep kecantikan wanita Jawa melalui panyandra.
Penelitan ini berfokus pada kecantikan wanita karena dalam budaya Jawa, wanita dapat
dimaknai dengan wani ditata 'berani ditata' dan sekaligus wani nata 'berani menata' (Ensiklopedi
Istri-Istri Raja Jawa, 2013: 9). Dalam pengertian ini, wanita merupakan seseorang yang telah
dewasa, baik itu dewasa dalam berpikir maupun bertindak. Hal ini senada dengan arti secara
leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), arti kata wanita adalah 'perempuan
dewasa' atau 'kaum putri (dewasa)'. Hal tersebut diperkuat dengan penjelasan dari Kamus Dewan
(1970) bahwa kata wanita merupakan bentuk eufemistis1 dari kata perempuan. Sementara itu,
dalam sejarah kontemporer bahasa Indonesia, kata wanita menduduki posisi dan konotasi
terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi, suatu perubahan makna yang semakin positif,
arti sekarang lebih tinggi daripada arti dahulu (Harimurti, 1993: 12). Selain itu, menurut
Harimurti dalam Kamus Linguistik (1993), kata perempuan mengalami degradasi semantis, atau
peyorasi, penurunan nilai makna, arti sekarang lebih rendah dari arti dahulu. Berdasarkan hal
tersebut maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan kata wanita2.
Dalam khazanah budaya Jawa Kuna terdapat konsep kecantikan wanita yang disebut
dengan rupasampat wahyabyantara (Martha, 1999: 58). Konsep tersebut menjelaskan bahwa
kecantikan merupakan paduan yang harmonis antara dua unsur yakni lahiriah dan batiniah.
Kecantikan lahiriah adalah keelokan wajah dan tubuh. Sementara itu, kecantikan batiniah adalah
keluhuran budi yang memancar keluar dari dalam diri. Selanjutnya, kedua unsur ini berpadu dan
membentuk suatu keseimbangan. Keseimbangan tersebut tampak dalam panyandra.
Panyandra merupakan ungkapan yang mengandung pengandaian dan terdapat hal yang
diperbandingkan. Hal tersebut berkaitan dengan kajian metafora. Menurut Frans (1994: 1)
metafora merupakan fenomena lingual yang unik karena dalam metafora terdapat unsur
ketidaksesuaian antara isi tuturan secara harfiah dengan maksud penuturnya. Secara semantis
fenomena ini menarik karena dalam metafora dapat ditemukan makna harfiah dan makna
metaforis.
1 Menurut KBBI (2007), eufemistis berarti bersifat melembutkan tentang bahasa dan sebagainya.
2 Kata wanita berasal dari bahasa Sansekerta yaitu vanita. Kata ini diserap oleh bahasa Jawa Kuna (Kawi) menjadi
wanita, yang terdapat perubahan labialisasi dari labiodental ke labial: [v] [w], dari bahasa Kawi, kata ini diserap
oleh bahasa Jawa (Modern), lalu dari bahasa Jawa, kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia. Setelah diadopsi
bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata ini mengalami tambahan nilai positif. (Sudarwanti dan D. Jupriono, 1997)
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
3
Lakoff dan Johnson (1980: 3) mengemukakan bahwa pemikiran metaforis menggambarkan
ada kecenderungan dasar dari pikiran manusia untuk memikirkan referen tertentu dengan cara
tertentu. Pernyataan tersebut dapat dicontohkan dengan panyandra berikut ini.
Contoh (1)
kecantikan salah satu bagian dari fisik wanita Jawa dalam panyandra:
Pakulitane ngulit langsep ‘kulitnya seperti kulit buah langsat’.
Penggunaan unsur alam yang berupa buah langsat mempunyai ketentuan khas sehingga
menjadi pilihan nenek-moyang orang Jawa dalam menggambarkan kata keindahan yang mengacu
pada kecantikan seorang wanita. Ciri-ciri kulit buah langsat yang berwarna kuning cerah dan
permukaannya halus diibaratkan dengan keindahan kulit seorang wanita. Berdasarkan hal
tersebut, dapat dikatakan bahwa deskripsi kecantikan wanita terdapat dalam khazanah budaya
Jawa. Sebagai penutur jati bahasa Jawa3, maka peneliti terdorong untuk menemukan makna
metaforis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya maka masalah yang
dikaji dalam penelitian ini, yakni bagaimana proses pembentukan metafora dalam panyandra
yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa.
Adapun rumusan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Apa sajakah source domain ‘ranah sumber’ dan target domain ‘ranah sasaran’ metafora
dalam panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa?
2. Apa sajakah komponen makna pada korespondensi antara source domain ‘ranah
sumber’ dan target domain ‘ranah sasaran’ metafora dalam panyandra yang
membangun konsep kecantikan wanita Jawa?
3. Apakah makna metaforis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa?
Tinjauan Teoritis
Penelitian ini menggunakan dua teori untuk menganalisis metafora dalam panyandra yang
membangun konsep kecantikan wanita Jawa. Kedua teori tersebut adalah teori yang dikemukakan
3 Menurut KBBI (2007), penutur jati (native speaker) berarti penutur yang menggunakan bahasa ibu. Dalam hal ini,
penutur jati bahasa Jawa merupakan penutur yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu.
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
4
oleh Lakoff dan Johnson (1980) tentang metafora konseptual dan Nida (1975) tentang komponen
makna. Adapun penjelasan kedua teori tersebut sebagai berikut:
1. Teori Metafora Konseptual
Lakoff dan Johnson (1980: 3-6) berpendapat bahwa metafora merupakan hal umum dalam
kehidupan sehari-hari, tidak hanya dalam bahasa, tetapi juga dalam perilaku dan pemikiran.
Definisi metafora Lakoff dan Johnson ini yang digunakan sebagai landasan teori utama untuk
menganalisis data dalam penelitian ini. Lebih lanjut, mereka mengemukakan sistem konseptual
manusia merupakan proses pembentukan metafora secara alami. Proses tersebut terimplementasi
baik dalam cara berpikir atau berperilaku. Dengan demikian, metafora konseptual merupakan
suatu konsep yang sistematis yang terbentuk secara kognitif (Lakoff dan Johnson, 1980: 3-6).
Menurut Lakoff dan Johnson (Cruse, 2004: 201), metafora konseptual dianalisis sebagai
proses konseptualisasi kognitif bergantung pada tiga hal, yaitu (1) ranah sumber (source domain),
(2) ranah sasaran (target domain), (3) pemetaan atau korespondensi (a set of mapping relation or
correspondences). Dengan kata lain, metafora konseptual melihat ada hubungan antara kedua
ranah yaitu ranah sumber dan ranah sasaran ke dalam bentuk pemetaan atau korespondensi.
Ranah sumber berkenaan dengan dunia pengalaman yang biasanya konkret (nyata) dan dikenal
akrab, sedangkan ranah sasaran biasanya lebih bersifat abstrak (Rahyono, 2012: 190).
2. Teori Komponen Makna
Komponen makna adalah elemen-elemen makna yang membedakan makna suatu kata dari
kata lainnya yang berada pada medan makna yang sama (Nida, 1975: 32). Untuk menemukan
komponen makna sebuah kata dengan kata lainnya, maka digunakan analisis komponen. Analisis
komponen adalah teknik untuk mendeskripsikan hubungan makna suatu referen dengan memilah-
milah setiap konsep menjadi komponen minimal (Nida, 1975:64). Di dalam analisis
komponensial, nilai komponen makna yang dimiliki sebuah kata dilambangkan dengan (+) dan
nilai yang tidak memiliki dilambangkan dengan (-).
Sebagai contoh, untuk mendeskripsikan perbedaan antara suami, bujangan, istri dan gadis
(adaptasi dari Saeed, 2003: 249), dapat dilihat dari komponen makna (KM) yang dimiliki dari
setiap kata tersebut.
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
5
- Suami terdiri dari KM1 [+manusia], KM2 [+dewasa], KM3 [+laki-laki], dan KM4
[+menikah]. Jadi KM1, KM2, KM3, KM4 adalah komponen makna yang membentuk
kata suami.
- Bujangan terdiri dari KM1 [+manusia], KM2 [+dewasa], KM3 [+laki-laki], dan KM4
[-menikah]. Jadi, KM1, KM2, KM3, KM4 merupakan komponen makna yang
membentuk kata bujangan.
- Istri terdiri dari KM1 [+manusia], KM2 [+dewasa], KM3 [-laki-laki], dan KM4
[+menikah]. Jadi, KM1, KM2, KM3, KM4 merupakan komponen makna yang
membentuk kata istri.
- Gadis terdiri dari KM1 [+manusia], KM2 [+dewasa], KM3 [-laki-laki], dan KM4 [-
menikah]. Jadi, KM1, KM2, KM3, KM4 merupakan komponen makna yang
membentuk kata gadis.
Berdasarkan uraian di atas dipaparkan bahwa setiap kata memiliki komponen makna yang
sama dan dapat berbeda dengan komponen makna yang dimiliki kata lainnya. Oleh karena itu,
Nida (1975: 32-37) membagi komponen makna menjadi tiga kategori, yaitu:
1. Komponen makna bersama (common components), yaitu komponen makna yang
dimiliki bersama oleh beberapa kata, contohnya, kata husband ‘suami’ dan wife ‘istri’
memiliki komponen makna yang sama yakni [+manusia], [+dewasa], dan [+menikah].
2. Komponen makna pembeda (diagnostic components), yaitu komponen makna yang
berfungsi untuk membedakan makna suatu kata dengan kata lainnya, contohnya, kata
husband ‘suami’ dan wife ‘istri’ memiliki komponen makna yang berbeda yakni kata
husband ‘suami’ untuk komponen makna [+laki-laki] dan kata wife ‘istri’ untuk
komponen makna [-laki-laki].
3. Komponen makna tambahan (supplementary components), yaitu komponen makna yang
bersifat perluasan makna suatu kata, contohnya, kata kata husband ‘suami’ dan wife
‘istri’ memiliki komponen makna tambahan yakni kata husband ‘suami’ memiliki
komponen makna tambahan [-melahirkan] dan kata wife ‘istri’ memiliki komponen
makna tambahan [+melahirkan].
Lebih lanjut, Nida (1975: 64) mengemukakan ada empat tipe prosedur linguistik yang
digunakan dalam analisis komponensial, yaitu: (1) penamaan (naming), (2) paraphrase
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
6
(paraphrasining), (3) pendefinisian (defining), dan (4) pengklasifikasian (classifying). Penamaan
adalah tindakan spesifik dalam membentuk sejenis referen. Parafrase adalah cara
mendeskripsikan ciri pembeda dalam unit makna dengan mengacu pada interpretasi perorangan,
contohnya, kata paman dapat diparafrese menjadi saudara laki-laki ayah atau ibu. Pendefinisian
mencakup mengombinasikan semua parafrasa yang spesifik menjadi satu pernyataan berdasarkan
komponen pembeda dari sebuah makna, contohnya, kata paman didefinisikan saudara laki-laki
dari seorang ayah atau suami dari seorang bibi. Selain itu, kata paman dapat didefinisikan
sebagai panggilan keluarga terhadap laki-laki yang lebih tua dan panggilan yang digunakan oleh
beberapa penutur bahasa Inggris ekspatriat kepada laki-laki dewasa. Kemudian pengklasifikasian
yang terdiri atas tiga prosedur, yaitu (a) mengumpulkan unit makna yang mempunyai kesamaan
ciri, (b) memisahkan unit makna yang berbeda, dan (c) menentukan dasar pengelompokan.
Oleh sebab itu, untuk memulai menganalisis, peneliti menyusun kesimpulan dari landasan
teori yang dapat dijabarkan dalam Bagan 1 berikut:
Bagan 1 Kerangka Acuan Teoritis Penelitian
Berdasarkan bagan di atas, dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Wacana tidak hanya sekadar bahasa, tetapi juga cara memandang dunia atau kehidupan
yang terungkap dalam bahasa, tindakan, nilai, kepercayaan, sikap, dan identitas sosial
(Kramsch, 1998).
WACANA
- Pemikiran
- Nilai-nilai
- Tindakan
Panyandra
Teori Metafora Konseptual
Lakoff dan Johnson (1980)
Teori Komponensial Nida
(1975)
Makna Metaforis
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
7
2. Dalam pandangan fungsional, yaitu dalam penggunaan panyandra dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Jawa, panyandra merupakan salah satu bentuk wacana
deskriptif4. Dalam mengkomunikasikan pesannya
5, panyandra menggunakan makna
metaforis.
3. Analisis metaforis panyandra dilakukan dengan menggunakan teori metafora
konseptual Lakoff dan Johnson (1980) dengan tiga langkah kerja sehingga dapat
ditemukan ranah sumber, ranah sasaran, dan pemetaan. Sementara itu, teori
komponensial Nida (1975) dibutuhkan untuk menemukan komponen makna, yaitu
komponen makna bersama, komponen makna pembeda, dan komponen makna
tambahan jika ada.
4. Melalui analisis dengan menggunakan kedua teori tersebut maka makna metaforis
panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa dapat ditemukan.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif yakni metode yang
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, analisis data bersifat induktif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2008: 1).
Penulis mendapatkan data panyandra, pertama-tama dipelajari, kemudian ditemukan masalah
yang ada dalam data itu. Setelah menemukan masalah, maka ditentukanlah teori yang cocok
untuk memecahkan masalah yang terdapat dalam panyandra yang membangun konsep
kecantikan wanita Jawa. Oleh karena itu, analisis data yang dilakukan bersifat induktif
berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan kemudian dapat dikonstruksikan menjadi hipotesis
atau teori (Sugiyono, 2008: 3).
Berikut adalah tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian:
1. Mengumpulkan data dengan teknik simak.
4 Kushartanti, dkk (2009) seperti dikutip dari Leech (1974) menjelaskan bahwa berdasarkan pemaparan, wacana
dapat dikelompokkan atas wacana naratif, wacana deskriptif, wacana ekspositoris,
wacana argumentatif, wacana persuasif, wacana hortatoris, dan wacana prosedural. Wacana deskriptif dicirikan oleh
adanya detail suatu hal, seperti pada profil. 5 Lyons (1977) seperti dikutip dari Cruse (2004: 5) mengemukakan bahwa dalam model komunikasi akan terdapat
penyampaian pesan atau informasi yang telah dikodekan dengan menggunakan tanda-tanda (bunyi bahasa) dari
penutur ke petutur.
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
8
2. Mengklasifikasikan panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa
berdasarkan kategori keseimbangan antara kecantikan lahiriah dan batiniah, kecantikan
lahiriah, dan kecantikan batiniah.
3. Menganalisis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa berdasarkan
teori metafora Lakoff dan Johnson (1980) dan teori komponensial Nida (1975).
4. Mendapatkan hasil analisis makna metaforis panyandra yang membangun konsep
kecantikan wanita Jawa.
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan korpus data yang berasal dari sumber data tertulis. Sumber data
tertulis tersebut berasal dari tujuh buku teks berbahasa Jawa, yang terbagi atas 1 buku teks
berbahasa Jawa sebagai sumber data primer dan 6 buku teks berbahasa Jawa sebagai sumber data
sekunder. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Sumber Data Primer
- Buku Ngengrengan Kasusastran Djawa jilid I6 (S. Padmosoekotjo, 1958);
Buku Ngengrengan Kasusastran Djawa merupakan sumber data tertua yakni
diterbitkan pada tahun 1958 yang dijadikan peneliti sebagai sumber data primer.
Pemilihan buku karangan Padmosoekotjo tersebut sebagai data primer didasari pada
penjelasan panyandra secara terperinci dan disertai dengan contoh penggunaannya
dalam macapat ‘puisi Jawa bertembang’.
2. Sumber Data Sekunder
- Buku Padalangan Djangkep Sedalu Muput Lampahan Kartopijogo Tjidra
(Wignjawirjanta, 1963);
- Buku Sapala Basa Jawa (Y.A. Yuwono, 1987);
- Buku Gita Wicara Jawi (Suwarna Pringgawidagda, 1998);
- Buku Pepak Basa (S. Rahardjo, 2008);
- Buku Kawruh Pepak Basa Jawa Anyar (S. Yadi, 2009); dan
- Buku Pepak Basa Jawa Lengkap (Sri Hartatik, 2011).
6 Buku Ngengrengan Kasusastran Djawa merupakan sumber tertua yang diterbitkan oleh Penerbit Hien Hoo Sing,
Yogyakarta pada tahun 1958. Buku karangan S. Padmosoekotjo ini terdiri atas 2 jilid, yaitu Ngengrengan
Kasusastran Djawa I dan II.
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
9
Sumber data sekunder ini digunakan sebagai validasi sumber data primer
sekaligus untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Dalam hal
penggunaan panyandra, buku Padalangan Djangkep Sedalu Muput Lampahan
Kartopijogo Tjidra, buku Sapala Basa Jawa dan buku Gita Wicara Jawi menjelaskan
tentang konteks penggunaan panyandra, yaitu dalam pertunjukan wayang kulit dan
upacara pernikahan adat Jawa. Selanjutnya, peneliti juga menggunakan buku teks
berbahasa Jawa terbitan baru, yakni berkisar antara tahun 2008 hingga tahun 2011.
Buku teks berbahasa Jawa ini merupakan buku pendamping mata pelajaran Bahasa
Jawa untuk siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
masih dipelajari oleh masyarakat umum. Materi pelajaran di dalam buku teks tersebut
masih digunakan dalam kegiatan belajar mengajar baik di sekolah maupun masyarakat
umum.
Berdasarkan ketujuh sumber data tertulis tersebut, diperoleh 70 panyandra tentang kecantikan
wanita Jawa.
Analisis Makna Metaforis Panyandra yang Membangun Konsep Kecantikan Wanita Jawa
Berdasarkan data berupa 70 panyandra tentang kecantikan wanita Jawa, telah dilakukan
analisis yang menghasilkan temuan berupa 3 kategori dan 34 subkategori pembangun konsep
kecantikan wanita Jawa yang terdapat dalam panyandra. Ketiga kategori tersebut terbagi atas: (1)
keseimbangan antara kencantikan lahiriah dan batiniah terdapat 1 panyandra; (2) kecantikan
lahiriah terdapat 42 panyandra; dan (3) kecantikan batiniah terdapat 27 panyandra. Jadi,
sebanyak 70 panyandra mengandung makna metaforis yang membangun konsep kecantikan
wanita Jawa. Sehubungan dengan jumlah data yang cukup banyak, maka analisis dalam tulisan
ini dibatasi hanya pada penjelasan ringkas terhadap 3 kategori untuk memudahkan penyampaian
makna metaforis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa. Selain itu,
pemilihan panyandra yang dianalisis dalam tulisan ini bersifat umum dan sesuai dengan urutan
penomoran yang pertama dalam setiap kategorinya, sebagaimana dijelaskan dalam analisis
berikut ini.
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
10
1. Panyandra Berdasarkan Kategori Keseimbangan Antara Kecantikan Lahiriah dan
Batiniah
Pada bagian ini berisi analisis makna metaforis panyandra yang membangun konsep
kecantikan wanita Jawa berdasarkan kategori keseimbangan antara kecantikan lahiriah dan
batiniah. Berdasarkan data yang terjaring, ditemukan satu panyandra yang masuk dalam kategori
ini. Panyandra ini merupakan panyandra dengan struktur pepindhan. Hal ini didasari dari
penggunaan kata kaya ‘seperti’ pada panyandra ini.
1.1 Ayune kaya Dewi Ratih ‘Cantiknya seperti Dewi Ratih’
Berikut alur analisis makna metaforis panyandra di atas.
Tabel 1 Alur Analisis Makna Metaforis Ayune kaya Dewi Ratih
RSu
Ayune kaya Dewi Ratih. RSa
Keseimbangan kecantikan antara lahiriah dan batiniah wanita.
KM
- ayu ‘cantik’:
[+elok]
[+molek tentang wajah atau muka
perempuan]
[+indah]
- dewi ‘dewi’:
[+dewa perempuan]
[+perempuan yang cantik]
- ratih ‘bulan’:
[+benda langit yang mengitari bumi, bersinar
pada malam hari karena pantulan sinar
matahari]
KM
- seimbang:
[+setimbang]
[+sebanding]
[+sama]
- cantik:
[+elok]
[+molek tentang wajah atau muka perempuan]
[+indah]
- lahir:
[+tampak dari luar]
[+berupa benda yang kelihatan, keduniaan, jasmani]
- batin:
[+sesuatu yang terdapat di dalam hati]
[+sesuatu yang menyangkut jiwa atau perasaan hati dan
sebagainya]
- wanita:
[+perempuan dewasa]
Pemetaan
Ciri-ciri tokoh Dewi Ratih diibaratkan dengan keseimbangan antara kecantikan lahiriah dan batiniah wanita, sehingga
menghasilkan perbandingan komponen makna di bawah ini.
Korespondensi Antara RSu dan RSa
KM KM
[+kecantikan lahiriah]
[+kecantikan batiniah]
[+dewi]
[+istri dari Batara Kamajaya]
[+kecantikan lahiriah]
[+kecantikan batiniah]
[-dewi]
[-istri dari Batara Kamajaya]
Makna Metaforis Kecantikan wanita yang seimbang antara kecantikan lahiriah dan kecantikan batiniah yang menyerupai dewi.
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
11
Berdasarkan alur analisis di atas, terlihat bahwa panyandra ini memiliki satu ranah sumber,
yaitu tokoh Dewi Ratih7. Sementara itu, ranah sasarannya adalah keseimbangan kecantikan antara
lahiriah dan batiniah wanita. Kedua ranah tersebut memiliki komponen makna masing-masing
dan menghasilkan pemetaan, yakni ciri-ciri tokoh Dewi Ratih diibaratkan dengan keseimbangan
antara kecantikan lahiriah dan batiniah wanita. Selanjutnya, dilakukan korespondensi antara
ranah sumber dan ranah sasaran yang menghasilkan komponen makna sebagai berikut: (1)
komponen makna bersama, yaitu [+kecantikan lahiriah] dan [+kecantikan batiniah] pada kedua
ranah; (2) komponen makna pembeda, yaitu [+dewi] pada komponen makna ranah sumber dan [-
dewi] pada komponen makna ranah sasaran; (3) komponen makna tambahan, yaitu [+istri dari
batara Kamajaya] pada komponen makna ranah sumber dan [-istri dari batara Kamajaya] pada
komponen makna ranah sasaran. Berpijak pada hasil korespondensi tersebut maka makna
metaforis panyandra ini dapat dirumuskan, yaitu kecantikan wanita yang seimbang antara
kecantikan lahiriah dan kecantikan batiniah yang menyerupai dewi.
2. Panyandra Berdasarkan Kategori Kecantikan Lahiriah
Pada bagian ini berisi analisis makna metaforis panyandra yang membangun konsep
kecantikan wanita Jawa berdasarkan kategori kecantikan lahiriah. Pembentuk kategori kecantikan
lahiriah tersusun atas: (1) karakteristik kulit; (2) karekteristik rambut; (3) karakteristik wajah; (4)
karakteristik dahi; (5) karakteristik alis; (6) karakteristik bulu mata; (7) karakteristik mata; (8)
karakteristik hidung; (9) karakteristik bibir; (10) karakteristik gigi; (11) karakteristik pipi; (12)
karakteristik dagu; (13) karakteristik leher; (14) karakteristik badan; (15) karakteristik pundak;
(16) karakteristik payudara; (17) karakteristik pinggang; (18) karakteristik tangan; (19)
karakteristik jari tangan; (20) karakteristik kaki; (21) karakteristik bokong; (22) karakteristik
paha; (23) karakteristik betis; (24) karakteristik tumit; dan (25) karakteristik jari kaki. Adapun
7 Dewi Ratih atau Dewi Kamaratih merupakan istri dari Batara Kamajaya. Keduanya sangat dicintai oleh bangsa
Nuswantara7, sehingga ada kepercayaan apabila ada seorang wanita yang hamil, diperlukan syarat berupa sepasang
cengkir gading atau kelapa gading yang masih muda yang dilukis dengan gambar Kamajaya dan Kamaratih.
Menurut masyarakat pendukungnya, kepercayaan ini mempunyai maksud agar anaknya kelak jika lahir pria akan
tampan seperti Kamajaya, dan jika lahir wanita akan secantik Kamaratih dan bertabiat seperti keduanya (Eksiklopedi
Wayang Purwa, 1991: 430). Putri Batara Soma ini terkenal kecantikannya yang luar biasa. Dalam pewayangan, ia
dan suaminya merupakan lambang cinta kasih yang murni dan abadi (Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 3, 1999:
730).
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
12
salah satu analisis makna metaforis panyandra kategori lahiriah yang akan diuraikan dalam
penelitian ini dipilih tentang karakteristik kulit yang bersifat visual, sebagai berikut:
2.1 Pakulitane ngulit langsep ‘Kulitnya seperti kulit buah langsat’
Berikut alur analisis makna metaforis panyandra di atas.
Tabel 2 Alur Analisis Makna Metaforis Pakulitane ngulit langsep
RSu
Pakulitane ngulit langsep. RSa
Keindahan kulit wanita.
KM
- kulit ‘kulit’:
[+pemalut paling luar buah]
- langsep ‘buah langsat’:
[+buah tropis]
[+berwarna kuning cerah]
[+kulit buah bertekstur halus]
KM
- keindahan:
[+sifat-sifat keadaan yang indah]
[+cantik]
[+elok]
- warna:
[+corak rupa]
- tekstur:
[+ukuran dan susunan bagian suatu benda]
- kulit:
[+pemalut paling luar tubuh manusia]
- wanita:
[+perempuan dewasa]
Pemetaan
Ciri-ciri kulit buah langsat diibaratkan dengan keindahan kulit wanita, sehingga menghasilkan perbandingan
komponen makna di bawah ini.
Korespondensi Antara RSu dan RSa
KM KM
[+kulit yang berwarna kuning cerah]
[+flora]
[+permukaan kulit yang halus]
[+kulit yang berwarna kuning cerah]
[-flora]
[+permukaan kulit yang halus]
Makna Metaforis Keindahan kulit wanita yang berwarna kuning cerah dan permukaannya halus.
Berdasarkan alur analisis di atas, terlihat bahwa panyandra ini memiliki satu ranah sumber,
yaitu kulit buah langsat8. Sementara itu, ranah sasarannya adalah keindahan kulit wanita. Kedua
ranah tersebut memiliki komponen makna masing-masing dan menghasilkan pemetaan, yakni
ciri-ciri kulit buah langsat diibaratkan dengan keindahan kulit wanita. Selanjutnya, dilakukan
korespondensi antara ranah sumber dan ranah sasaran yang menghasilkan komponen makna
sebagai berikut: (1) komponen makna bersama, yaitu [+kulit yang berwarna kuning cerah] pada
kedua ranah; (2) komponen makna pembeda, yaitu [+flora] pada komponen makna ranah sumber
8 Langsat (Lansium domesticum) merupakan pohon yang tingginya mencapai 10-20 meter, batang pokoknya lurus,
bunganya berwarna putih atau kuning, buahnya menyerupai duku, bergerombol dalam tandan, rasanya asam-asam
manis atau lebih asam daripada duku, berkulit tipis dan bergetah (KBBI, 2007: 636).
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
13
dan [-flora] pada komponen makna ranah sasaran; (3) komponen makna tambahan, yaitu
[+permukaan kulit yang halus] pada kedua ranah. Berpijak pada hasil korespondensi tersebut
maka makna metaforis panyandra ini dapat dirumuskan, yaitu visualisasi keindahan kulit wanita
dapat dilihat jelas melalui kulitnya yang berwarna kuning cerah dan permukaannya halus.
3. Panyandra Berdasarkan Kategori Kecantikan Batiniah
Pada bagian ini berisi analisis makna metaforis panyandra yang membangun konsep
kecantikan wanita Jawa berdasarkan kategori kecantikan batiniah. Pembentuk kategori
kecantikan batiniah tersusun atas: (1) cara berpikir; (2) cara menulis; (3) tekad; (4) mimik
muka/pesona wajah; (5) suara saat bertutur kata; (6) cara tersenyum; (7) cara berjalan; (8) cara
menari; dan (9) cara bekerja. Adapun salah satu analisis makna metaforis panyandra yang akan
dianalisis adalah tentang cara berpikir karena kecantikan batiniah merupakan representasi hasil
dari proses berpikir seorang wanita, seperti analisis berikut ini.
3.1 Pintere kaya bisa njara langit ‘Kecerdasannya seperti dapat mengebor langit’
Berikut alur analisis makna metaforis panyandra di atas.
Tabel 3 Alur Analisis Makna Metaforis Pintere kaya bisa njara langit
RSu
Pintere kaya bisa njara langit. RSa
Kecerdasan berpikir wanita.
KM
- pinter ‘cerdas’:
[+sempurna perkembangan akal budinya
untuk berpikir, mengerti, dan sebagainya]
[+tajam pikiran]
- bisa ‘bisa’:
[+mampu]
[+kuasa melakukan sesuatu]
- jara ‘bor’:
[+gurdi]
[+bor kecil untuk membuat lubang pada kayu
atau sarung keris dan sebagainya]
- langit ‘langit’:
[+ruang luas terbentang di atas bumi]
[+tempat beradanya bulan, bintang, matahari,
dan planet yang lain]
KM
- cerdas:
[+sempurna perkembangan akal budinya untuk berpikir,
mengerti, dan sebagainya]
[+tajam pikiran]
- berpikir:
[+menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan
memutuskan sesuatu]
[+menimbang-nimbang dalam ingatan]
- wanita:
[+perempuan dewasa]
Pemetaan
Ciri-ciri tindakan mengebor langit diibaratkan dengan kecerdasan berpikir wanita, sehingga menghasilkan
perbandingan komponen makna di bawah ini.
Korespondensi Antara RSu dan RSa
KM KM
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
14
[+sangat tinggi]
[+keadaan alam]
[+luar biasa]
[+sangat tinggi]
[-keadaan alam]
[+luar biasa]
Makna Metaforis Kecerdasan berpikir wanita yang sangat tinggi dan luar biasa.
Berdasarkan alur analisis di atas, terlihat bahwa panyandra ini memiliki satu ranah sumber,
yaitu tindakan mengebor langit. Sementara itu, ranah sasarannya adalah kecerdasan berpikir
wanita. Kedua ranah tersebut memiliki komponen makna masing-masing dan menghasilkan
pemetaan, yakni ciri-ciri tindakan mengebor langit diibaratkan dengan kecerdasan wanita yang
dihasilkan dari proses berpikir. Selanjutnya, dilakukan korespondensi antara ranah sumber dan
ranah sasaran yang menghasilkan komponen makna sebagai berikut: (1) komponen makna
bersama, yaitu [+sangat tinggi] pada kedua ranah; (2) komponen makna pembeda, yaitu
[+keadaan alam] pada komponen makna ranah sumber dan [-keadaan alam] pada komponen
makna ranah sasaran; (3) komponen makna tambahan, yaitu [+luar biasa] pada kedua ranah.
Berpijak pada hasil korespondensi tersebut maka makna metaforis panyandra ini dapat
dirumuskan, yaitu kecerdasan berpikir wanita yang sangat tinggi dan luar biasa.
Kesimpulan
Berdasarkan 70 panyandra yang telah dianalisis maka didapatkan kesimpulan yang
menjawab tiga permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu:
1. a) Ranah-ranah sumber dari panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita
Jawa bersifat abstrak dan konkret, serta kerap ditemui dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Jawa. Ranah-ranah sumber tersebut, sebagai berikut:
1. tokoh Dewi Ratih 2. kulit buah langsat 3. emas yang telah digosok
4. warna hitam manis 5. bunga bakung 6. bunga bakung
7. uang logam yang tumpah 8. burung belibis
9. kuncup bunga turi
10. irisan kunyit
dan tebaran emas
11. batu pualam
12. bulan sabit
pada tanggal satu
13. tulang daun
14. lengkungan arah langit 15. lentera yang terhembus angin
16. bintang 17. bawang satu siung 18. kuncup bunga melati
19. emas yang telah digosok 20. buah manggis yang merekah 21. buah pinang yang terbelah
22. sepotong gula jawa 23. biji buah mentimun 24. buah durian satu juring
25. tangkai senjata yang patah 26. asahan pisau yang sudah lama
digunakan
27. lebah yang tergantung
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
15
28. daun ubi jalar yang melilit
pada inangnya
29. pohon beringin yang terbalik 30. gambar bangunan
31. timbangan emas 32. kelapa gading 33. badan lebah
34. busur panah yang
dibentangkan
35. busur gading 36. pucuk duri
37. kaki belalang 38. wadah dari janur yang
berbentuk bulat
39. tanaman pandan
40. batang padi yang hamil 41. kaki gangsir 42. bentuk yang dihasilkan oleh
jangka
43. kepala ular 44. tindakan mengebor langit 45. tindakan mengikat langit
46. bentuk ketumbar 47. bentuk batu bata yang telah
dicetak
48. bentuk duri
49. sifat api dan kobarannya 50. sifat madu dan rasa manisnya 51. cairan gula jawa
52. sinar bintang johar 53. tokoh Dewi Sembadra 54. suara ombak
55. suara bambu yang terhembus
angin
56. madu yang sangat manis 57. madu yang paling manis
58. burung merak yang sayapnya
lungkai ke bawah
59. pelepah kelapa yang patah 60. harimau lapar
61. burung jalak yang sedang
berjalan
62. ayam hutan yang menelusup 63. burung merak yang sayapnya
lungkai ke bawah
64. pohon pinang yang
terhembus angin
65. cahaya kilat 66. kecepatan angin
67. kecepatan gerakan kadal 68. kecepatan gerakan banteng
yang terluka
69. kecepatan gerakan jangkrik
yang dibaui rumput
70. gerak burung sikatan yang
menyambar belalang
b) Ranah-ranah sasaran dari panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita
Jawa mengacu pada keseimbangan kecantikan antara lahiriah dan batiniah wanita,
kecantikan lahiriah, dan kecantikan batiniah. Ranah-ranah sumber tersebut, sebagai
berikut:
1. Keseimbangan kecantikan
antara lahiriah dan batiniah
wanita.
2. Keindahan kulit wanita. 3. Keindahan kulit wanita.
4. Keindahan kulit wanita. 5. Keindahan rambut wanita. 6. Keindahan rambut wanita.
7. Keindahan poni wanita. 8. Keindahan poni wanita. 9. Keindahan cambang wanita.
10. Keindahan wajah wanita. 11. Keindahan dahi wanita. 12. Keindahan alis wanita.
13. Keindahan alis wanita. 14. Keindahan bulu mata wanita. 15. Keindahan mata wanita.
16. Keindahan mata wanita. 17. Keindahan mata wanita. 18. Keindahan hidung wanita.
19. Keindahan hidung wanita. 20. Keindahan bibir wanita. 21. Keindahan bibir wanita.
22. Keindahan bibir wanita. 23. Keindahan gigi wanita. 24. Keindahan pipi wanita.
25. Keindahan dagu wanita. 26. Keindahan dagu wanita. 27. Keindahan dagu wanita.
28. Keindahan leher wanita. 29. Keindahan badan wanita. 30. Keindahan badan wanita.
31. Keindahan pundak wanita. 32. Keindahan payudara wanita. 33. Keindahan pinggang wanita.
34. Keindahan tangan wanita. 35. Keindahan tangan wanita. 36. Keindahan jari tangan wanita.
37. Keindahan kaki wanita. 38. Keindahan bokong wanita. 39. Keindahan paha wanita.
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
16
40. Keindahan betis wanita. 41. Keindahan betis wanita. 42. Keindahan tumit wanita.
43. Keindahan ibu jari kaki
wanita.
44. Kecerdasan berpikir wanita. 45. Kecerdasan berpikir wanita.
46. Keindahan tulisan wanita. 47. Keindahan tulisan wanita. 48. Keindahan tulisan wanita.
49. Kebulatan tekad wanita. 50. Kebulatan tekad wanita. 51. Keindahan mimik
muka/pesona wajah wanita.
52. Keindahan mimik
muka/pesona wajah wanita.
53. Keindahan mimik
muka/pesona wajah wanita.
54. Keindahan suara wanita saat
bertutur kata.
55. Keindahan suara wanita saat
bertutur kata.
56. Keindahan senyuman wanita. 57. Keindahan senyuman wanita.
58. Keindahan berjalan wanita. 59. Keindahan berjalan wanita. 60. Keindahan berjalan wanita.
61. Keindahan berjalan wanita. 62. Keindahan berjalan wanita. 63. Keindahan wanita dalam
menari.
64. Keindahan wanita dalam
menari.
65. Kecepatan wanita dalam
bekerja.
66. Kecepatan wanita dalam
bekerja.
67. Kecepatan wanita dalam
bekerja.
68. Kecepatan wanita dalam
bekerja.
69. Kecepatan wanita dalam
bekerja.
70. Kecepatan wanita dalam
bekerja.
2. Melalui analisis komponen makna pada korespondensi antara source domain ‘ranah
sumber’ dan target domain ‘ranah sasaran’ metafora dalam panyandra yang membangun
konsep kecantikan wanita Jawa, ditemukan komponen makna bersama, komponen
makna pembeda, dan komponen makna tambahan pada masing-masing panyandra.
3. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, melalui analisis makna metaforis
panyandra ditemukan 70 makna metaforis panyandra yang membangun konsep
kecantikan wanita Jawa. Makna metaforis tersebut berbagi atas 3 kategori dan 34
subkategori pembangun konsep kecantikan wanita Jawa.
- Kategori pertama, yakni keseimbangan antara kecantikan lahiriah dan batiniah
yang hanya memiliki 1 subkategori yakni tercermin dalam panyandra: Ayune kaya
Dewi Ratih ‘Cantiknya seperti Dewi Ratih’.
- Kategori kedua, yakni kecantikan lahiriah yang meliputi 25 subkategori, yaitu: (1)
karakteristik kulit, (2) karakteristik rambut, (3) karakteristik wajah, (4)
karakteristik dahi, (5) karakteristik alis, (6) karakteristik bulu mata, (7)
karakteristik mata, (8) karakteristik hidung, (9) karakteristik bibir, (10)
karakteristik gigi, (11) karakteristik pipi, (12) karakteristik dagu, (13) karakteristik
leher, (14) karakteristik badan, (15) karakteristik pundak, (16) karakteristik
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
17
payudara, (17) karakteristik pinggang, (18) karakteristik tangan, (19) karakteristik
jari tangan, (20) karakteristik kaki, (21) karakteristik bokong, (22) karakteristik
paha, (23) karakteristik betis, (24) karakteristik tumit, dan (25) karakteristik jari
kaki.
- Kategori ketiga, yakni kecantikan batiniah yang meliputi 9 subkategori berikut ini:
(1) cara berpikir, (2) cara menulis, (3) tekad, (4) mimik muka/pesona wajah, (5)
suara saat bertutur kata, (6) cara tersenyum, (7) cara berjalan, (8) cara menari, dan
(9) cara bekerja.
Melalui deskripsi atas jawaban 3 permasalahan tersebut, dapat dikatakan bahwa konsep
kecantikan wanita Jawa yang terdiri atas keseimbangan antara kecantikan lahiriah dan batiniah,
kecantikan lahiriah, dan kecantikan batiniah terdapat dalam panyandra. Ketiga kategori tersebut
merupakan representasi dari konsep rupasampat wahyabyantara. Konsep ini berisi tentang
keseimbangan antara kecantikan lahiriah dan batiniah wanita Jawa.
Saran
Sejauh ini penelitian tentang ungkapan bahasa Jawa sudah banyak dilakukan. Akan tetapi,
kajiannya masih bersifat umum. Padahal, ungkapan berbahasa Jawa jika digali lebih mendalam
akan ditemukan nilai-nilai yang luhur yang dapat membentuk jati diri suatu bangsa.
Kajian panyandra dalam penelitian ini hanya membahas mengenai konsep kecantikan
wanita Jawa. Kajian panyandra yang membahas konsep-konsep lainnya dengan menggunakan
acangan linguistik lainnya, misalnya pada tataran pragmatik masih jarang dilakukan. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa penelitian tentang ungkapan berbahasa Jawa memiliki prospek yang
sangat besar untuk dikaji lebih lanjut.
Selanjutnya, kajian panyandra ini merupakan salah satu pelestarian bahasa dan budaya
Jawa. Peneliti berharap agar penggunaan panyandra lebih diaktifkan kembali oleh masyarakat
Jawa, khususnya generasi muda. Dengan mengetahui sekaligus memahami panyandra khususnya
tentang konsep kecantikan wanita Jawa, nilai-nilai yang dikandungnya akan tetap lestari dan
dapat berkembang di tengah arus globalisasi dewasa ini.
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
18
Daftar Referensi
Bambang Harsrinuksmo. (1999). Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 1-5. Jakarta: Sena Wangi.
Cruse, Alan. (2004). Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics (2nd
ed.). Oxford: Oxford University Press.
Frans Asisi Datang. (1994). Teori Kognitif Tentang Metafora: Sebuah Penjelasan Teoritis.
Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Harimurti Kridalaksana. (1993). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kramsch, Claire. (1998). Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.
Krisna Bayu Adji. (2013). Ensiklopedi Istri-istri Raja Jawa. Yogyakarta: Araska.
Kushartanti, dkk. (2009). Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Lakoff, George dan Mark Johnson. (1980). Metaphor We Live By. Chicago: The University of
Chicago Press.
Martha Tilaar. (1999). Kecantikan Perempuan Timur. Magelang: IndonesiaTera.
Nida, Eugene A. (1975). Componential Analysis of Meaning. New York: Mouton Publisher.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi
ke-3 cetakan ke-4). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Rahyono. (2012). Studi Makna. Jakarta: Penaku.
S. Padmosoekotjo. (1958). Ngengrengan Kasusastran Djawa (jilid I). Yogyakarta: Hien Hoo
Sing.
S. Prawiroadmodjo. (1996). Bausastra (Kamus) Jawa-Indonesia (edisi ke-3). Jakarta: PT Toko
Gunung Agung.
S. Rahardjo. (2008). Pepak Basa. Surakarta: CV. Ita.
S. Yadi. (2009). Kawruh Pepak Basa Jawa Anyar. Surakarta: Pelangi Ilmu.
Saeed, John. I. (2003). Semantics. Malden: Blackwell Publishers Inc.
Sri Hartatik. (2011). Pepak Basa Jawa Lengkap. Surabaya: Penerbit Dua Media.
Sudaryanto, dkk. (1991). Kamus Indonesia-Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014
19
Sugiyono. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.
Sutrisno Sastro Utomo. (2013). Kamus Lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Suwandono, Dhanisworo, dan Mujiyono. (1991). Ensiklopedi Wayang Purwa. Jakarta: Balai
Pustaka.
Suwarna Pringgawidagda. (1998). Gita Wicara Jawi. Yogyakarta: Kanisius.
T. Iskandar. (1970). Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian
Pelajaran.
W.J.S. Poerwadarminta. (1939). Baoesastra Djawa. Groningen: J.B. Wolters’ Uitgevers-
Maatschappij N. V.
Wignjawirjanta. (1963). Pedalangan Djangkep Sedalu-Muput, Lampahan: Kartopijogo Tjidra.
Solo: Penerbit Keluarga Soebarno.
Y.A. Yuwono. (1987). Sapala Basa Jawa. Surabaya: Marfiah.
Zoetmulder. P.J. (1982). Old Javanese-English Dictionary. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Konsep kecantika..., Arif Nur Setiawan, FIB, 2014