konsep khusyŪ dalam al-qur’an (suatu kajian dengan...
TRANSCRIPT
KONSEP KHUSYŪ‘ DALAM AL-QUR’AN
(SUATU KAJIAN DENGAN PENDEKATAN
SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun oleh:
Putri Sahara
11140340000125
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Putri Sahara
Nim : 11140340000125
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/Prodi : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Alamat Rumah : Jl. Raya Sungai Pua, gang Tiagan II.
Telp/HP : 089619216303
Judul Skripsi : Konsep Khusyū‘ dalam al-Qur’an (Suatu Kajian
dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu).
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Strata satu (S1) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan jiplakan orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 16 Oktober 2019
Putri Sahara
KONSEP KHUSYŪ‘ DALAM AL-QUR’AN
(SUATU KAJIAN DENGAN PENDEKATAN SEMANTIK
TOSHIHIKO IZUTSU)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun oleh:
Putri Sahara
11140340000125
Di Bawah Bimbingan
Dosen Pembimbing Skripsi
Dr. Yusuf Rahman, MA.
NIP. 196702131992031002
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KONSEP KHUSYŪ‘ DALAM AL-QUR’AN (SUATU
KAJIAN DENGAN PENDEKATAN SEMANTIK TOSHIHIKO
IZUTSU) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin
Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal, 20
November 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam
Jakarta, 20 November 2019
Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota,
Dr. Eva Nugraha, M.Ag
NIP. 19710217 199803 1 001
Sekretaris Merangkap Anggota,
Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH
NIP. 19820816 201503 1 004
Anggota
Penguji I,
M. Anwar Syarifuddin, MA
NIP. 19720518 199803 1 003
Penguji II,
Syahrullah, MA
NIP. 19780818 200901 1 016
Pembimbing,
Dr. Yusuf Rahman, MA
NIP. 19670213 199203 1 002
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara
latin:
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
‘ ‘ ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
’ ’ ء sy sh ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia,
terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
diftong, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatḥah
I Kasrah
U Ḍammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i أى
au a dan u أو
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Arab Indonesia Inggris
ā ā آ
ī ī إى
ū ū أو
i
ABSTRAK
Putri Sahara
Konsep Khusyū‘ dalam al-Qur’an (Suatu Kajian dengan Pendekatan
Semantik Toshihiko Izutsu)
Skripsi ini membahas konsep khusyū‘ dalam al-Qur’an dengan
menggunakan metodologi semantiknya Toshihiko Izutsu. Penafsiran
tentang khusyū‘ masih belum terkonsepkan sebagai mana mestinya dan
belum mengungkapkan makna lebih luas dari hanya sekedar bahasa yang
erat kaitannya dengan sebuah ritual ibadah. Akhirnya kata khusyū‘ ini
kadangkala dikaji hanya dalam lingkup ibadah saja. Untuk mengetahui
makna yang dalam penulis menelusuri dengan Perspektif Semantik
Toshihiko untuk menganalisis sebuah konsep yang dihasilkan dari kata
khusyū‘.
Dalam skripsi ini, penulis mengungkap makna dasar khusyū‘
adalah tunduk, merendahkan diri. Hal ini dibuktikan dari penelusuran
makna dasar, makna relasional, serta aspek sinkronik dan diakronik untuk
mendapatkan welthanschauung dari kata khusyū‘ ini. Makna dasar khusyū‘
adalah tunduk. Sedangkan makna relasionalnya adalah merendahkan diri,
tertunduk, dan takut. Hal ini terlihat ketika kata khusyū‘ menceritakan
tentang kehidupan manusia di dunia, keadaan manusia di akhirat, dan alam
semesta.
Dari penelitian ini akhirnya kita mengetahui konsep yang
terbangun dari kata khusyū‘ ini, bukan hanya sebagai kata yang fokus
untuk ritual ibadah saja melainkan terdapat konsep yang menyelimuti kata
ini yang erat kaitannya antara Allah, manusia, dan alam semesta.
Kata Kunci: Khusyū‘, Semantik, Toshihiko Izutsu
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt., karena atas
petunjuk, taufik, cahaya ilmu dan rahmat-Nya sehingga penelitian ini
dapat terwujud dengan judul “Konsep Khusyū dalam al-Qur’an (Suatu
Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu).” Salawat dan
salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw, beserta sahabat,
dan keluarganya, nabi yang membawa manusia dari zaman kegelapan
menuju zaman terang menerang dengan ilmu pengetahuan. Beliau adalah
sehebat-hebatnya manusia yang menjadi teladan dan panutan seluruh
manusia hingga akhir zaman.
Skripsi ini diajukan guna memenuhi syarat dalam penyelesaian
pendidikan pada Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis akan menerima dengan senang hati
semua koreksi dan saran-saran demi untuk perbaikan dan kesempurnaan
skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini
banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dukungan,
dana, bimbingan, arahan, masukan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Kepada mereka penulis haturkan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya, semoga Allah memberikaan balasan
yang sebesar-besarnya dan menghitungnya sebagai amal jariyah yang
tetap mengalir hingga di akhirat kelak.
Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada Dosen Pembimbing penulis, yaitu Bapak Dr. Yusuf
Rahman, MA. yang dengan penuh kesabaran memberikan arahan dan
bimbingan kepada penulis di tengah-tengah kesibukannya sebagai Dekan
iii
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, serta
Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Terima kasih yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan
kepada Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, MA., selaku rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku dekan
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Eva Nugraha,
MA., selaku ketua program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Seluruh dosen
di Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, yang telah bersedia mentranfer ilmu
kepada penulis.
Ucapan terima kasih kepada Dr. Eva Nugraha, MA.,yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga, fikiran untuk memeriksa dan
memberikan masukan atas skripsi ini. Selanjutnya ucapan terima kasih
juga kepada dosen penasehat akademik, yakni Dr. Lilik Ummi Kaltsum,
MA., yang banyak memberikan masukan kepada penulis selama penulis
menempuh pelajaran di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis kepada Lukman
Hakim yang selalu meluangkan waktu, tenaga, fikiran, serta memberikan
semangat, saran, dan dukungan penuh kepada penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
Ucapan terima kasih juga kepada temen-temen KKN (Lusi, Riri,
Oppa, Udin, Mamat, Fitri, Aini), sahabat-sahabat yang setia meluangkan
waktu bersama penulis, serta memberi motivasi untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
Penyelesaian skripsi ini ditulis di antara kesibukan penulis sebagai
tenaga pengajar di LPQ al-Bayyinah, sehingga banyak waktu izin selama
penyelesaian skripsi ini. Oleh karenanya, penulis ucapkan rasa terima
kasih kepada semua jajaran LPQ al-Bayyinah yang telah memaklumi
kesibukan penulis.
iv
Wa bi al-khusūs, penghargaan dan sujud ta’ẓim penulis untuk
Ayahanda Ali Umar (al-Marhūm) dan ibunda Rayana, yang dengan penuh
kasih dan sabar mendidik penulis dari kecil hingga dewasa, mengajari
untuk selalu cinta pengetahuan, dan tak henti-hentinya mendo’akan
penulis supaya menjadi pribadi yang baik dan berguna bagi agama,
bangsa, dan negara. Serta kepada kakak kandung, kakak ipar dan adek
penulis yang selalu memberikan do’a, semangat, perhatian, dan dorongan
baik moril maupun materil kepada penulis.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan doa ke
hadirat Allah Swt. Semoga amal baik semua pihak yang telah
membimbing, mengarahkan, memperhatikan dan membantu penulis
dicatat oleh Allah sebagai amal shaleh dan dibalas dengan pahala yang
berlipat ganda. Dan mudah-mudahan apa yang penulis usahakan dapat
bermanfaat. Āmīn.
Ciputat, 20 Januari 2020
Putri Sahara
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 6
C. Batasan dan Rumusan Masalah ...................................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 7
E. Manfaat Penelitian ......................................................................... 7
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 8
G. Metode Penelitian......................................................................... 14
H. Sistematika Penelitian .................................................................. 16
BAB II RESEPSI TERHADAP PENDEKATAN SEMANTIK
TOSHIHIKO IZUTSU .......................................................................... 17
A. Biografi Toshihiko Izutsu ............................................................ 17
1. Riwayat Hidup........................................................................... 17
2. Karya-Karya .............................................................................. 21
B. Definisi Semantik Menurut Toshihiko Izutsu .............................. 27
C. Metodologi Semantik Toshihiko Izutsu ....................................... 31
D. Skripsi dan Tesis terkait Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu di
UIN Jakarta .................................................................................. 35
1. Skripsi........................................................................................ 36
2. Tesis .......................................................................................... 49
BAB III DEFINISI KHUSYŪ‘ .............................................................. 55
A. Pengertian Khusyū‘ ...................................................................... 55
B. Inventarisasi Kata Khusyū‘ dalam Al-Qur’an .............................. 58
C. Kategorisasi dan Penafsiran Ayat Khusyū‘ dalam al-Qur’an ....... 62
vi
BAB IV PENDEKATAN SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU
TERHADAP KATA KHUSYŪ‘ DALAM AL-QUR’AN .................... 77
A. Makna Dasar ............................................................................. 77
B. Makna Relasional ...................................................................... 79
C. Analisis Sinkronik Diakronik .................................................. 105
D. Weltanschauung ...................................................................... 111
BAB V PENUTUP................................................................................ 115
A. Kesimpulan ................................................................................ 115
B. Saran ........................................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 119
LAMPIRAN.......................................................................................... 123
DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM
A. Daftar Tabel
Tabel 3.1: Rekapitulasi Kata Khusyū‘ dan Derivasinya ..................... 59
B. Daftar Diagram
Diagram 4.1: Medan Semantik secara Sintagmatik ............................ 90
Diagram 4.2: Medan Semantik secara Paradigmatik ........................ 105
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam hubungan antara manusia dengan Allah Swt yang secara
sederhana disebut sebagai ibadah, terdapat istilah khusyū‘. Dewasa ini,
kata khusyū‘ seringkali dikaitkan dengan ibadah salat. Padahal di dalam
al-Qur’an, kata khusyū‘ dan segala derivasinya disebutkan sebanyak 17
kali. Satu kali dengan fi‘il maḍī (kata kerja masa lalu), satu kali dengan
fi‘il muḍāri‘ (kata kerja masa kini dan akan datang), satu kali dengan
maṣdār (infinitif) dan selebihnya diungkapkan dengan isim fā‘il (kata
benda yang menunjukkan pelaku).1 Sedangkan kata khusyū‘ dalam al-
Qur’an mempunyai kriteria yang lebih luas dari sekedar istilah khusyū‘
yang ada dalam ibadah salat.
Khusyū‘ berasal dari kata bahasa Arab, namun term ini tidak
asing. Bahkan begitu populernya perkataan khusyū‘ ini, sehingga istilah
tersebut masuk ke dalam bahasa seseorang tanpa perlu terjemahan. Ini
seperti terminologi Islam lainnya yaitu kata salat, zakat, haji dan
sebagainya.2
Kata khusyū‘ dalam bahasa Arab merupakan bentuk maṣdār dari
khasya‘a (خشع) yang mengikuti wazan fa’ala (فعل) yang memiliki arti
tunduk (الخضوع), tenang (السكون), dan merendahkan diri )3.)التذلل Dalam
kamus al-Biṣri, khusyū‘ diartikan dengan tunduk, takluk dan
menyerah.4 Dalam kamus Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, (خشع)
1 Muḥammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu‘jam al-Mufahrās li Alfāẓ al-Qur’an al-
Karīm (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), 296. 2 Muchammad Ichsan, Hanya Salat Khusyū’ yang Dinilai Allah, cet. I
(Yogyakarta: Mocomedia, 2008), 17. 3 Majduddīn Ibn Muḥammad Ibn Ya‘qūb al-Fairūzābādī al-Syairāzi, al-Qāmūs al-
Muḥīṭ, cet. VI (Damaskus: Muassasah ar-Risālah, 1998), 713. 4 Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus al-Bisri (Surabaya: Pustaka Progresif,
1999), 160.
2
merupakan satu rangkaian huruf yang membentuk kata berindikasi
menunduk. Kata ini berarti menunduk dan mengangguk-anggukan
kepala. Khusyū‘ juga identik dengan khuḍū’, hanya saja khuḍū’
digunakan untuk tubuh dan khusyū‘ digunakan untuk suara dan
pandangan.5 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
khusyū‘ adalah penuh konsentrasi, bersungguh-sungguh, intens,
khidmat, serius, serta penuh kerendahan hati.6
Menurut Ibn Manẓūr al-Anṣārī (w. 711 H.)7 dalam bukunya Lisān
al-‘Arab, khusyū‘ adalah mengarahkan pandangan ke bumi dan
merendahkan suara.8 Rāghib al-Aṣfahānī (w. 502 H.)9 menyamakan arti
khusyū‘ dengan ḍirā’ah (merendahkan diri).10 Hanya saja pada
umumnya kata khusyū‘ lebih banyak dipergunakan untuk anggota
tubuh, sementara ḍirā’ah (merendahkan diri) lebih banyak
dipergunakan untuk hati (ketundukan hati). Ia mengemukakan contoh
sebuah riwayat yang mengatakan, idzā ḍara’a al-qalbu khasya’at al-
jawāriḥ “ketika hati telah tunduk, ketika itu pula anggota tubuh
menjadi tunduk.”11
5 Abī Ḥusain Aḥmad Ibn Fāris Ibn Zakariyā, Mu’jam Maqāyis al-Lughat, jilid 2
(Beirut: Dār al-Fikr, 1979), 182. 6 Umi Chulsum dan Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Surabaya:
Yoshiko, 2006), 387. 7 Nama lengkapnya adalah Muḥammad Ibn Mukrim ibn ‘Alī Abū Faḍal Jamāl al-
Dīn ibn Manẓūr al-Anṣārī, lahir pada bulan Muharram 630 /1232 M. dan wafat pada
bulan Sya’ban 711 /1311 M. Ia adalah seorang pekamus, sastrawan, sejarawan, ilmuan di
bidang fikih dan bahasa Arab. https://id.wikipedia.org/wiki/Ibn_Manzhur, diakses pada
17 Agustus 2019. 8 Ibn Manẓūr al-Anṣārī, Lisān al-‘Arab, vol. 8 (Mesir: al-Dār al-Miṣriyyāt, t.t), 71. 9 Nama lengkapnya adalah Abu al-Qāsim Ḥusain ibn Muḥammad Rāghib al-
Aṣfahānī adalah sarjana Muslim abad ke-11 dari penafsir al-Qur’an dan bahasa Arab.
https://en.wikipedia.org/wiki/Al-Raghib_al-Isfahani, diakses pada 17 Agustus 2019. 10 ‘Abdullah al-Ḥusain Ibn Muḥammad al-Dāmaghānī menjelaskan bahwa kata
khusyū’ dalam al-Qur’an mempunyai 4 (empat) makna, yaitu al-Tawāḍū‘, al-Khawf, al-
Taḍallul, dan al-Sukūn. Lihat ‘Abdullah al-Ḥusain Ibn Muḥammad al-Dāmaghānī, Al-
Wujūh wa al-Naẓā’ir li AlFāẓ Kitābillāh al-‘Azīz, vol. 1 (Kairo: t.p., 1996), 316. 11 Al-Rāghib al-Isfahānī, Mu‘jam Mufradāt AlFāẓ al-Qur’ān (Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmīyah, 2004), 167.
3
Secara terminologi, para ulama tidak sepakat dalam menetapkan
batasan khusyū‘. Para Fuqahā’ memberikan pengertian khusyū‘, yaitu
rasa takut seseorang jangan sampai salat yang dikerjakannya ditolak
oleh Allah yang ditandai dengan tertunduknya pandangan mata ke
tempat sujud. Para Fuqahā’ memberikan beberapa indikasi khusyū‘
dengan memelihara gerak di luar gerak salat, seperti tidak menguap,
menoleh ke kiri dan kanan, menggerak-gerakan jari tangan,
memandang ke atas. Sementara itu, kelompok Sufi memberikan
definisi khusyū‘ yaitu menghadirkan Allah atau kebesaran-Nya di
dalam benak dan hati orang yang salat, sehingga dia larut bersama
Allah atau bersama kebesaran-Nya dan tidak menyadari keadaan di
sekitarnya.12
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan
batasan khusyū‘ dan kaitannya dengan pelaksanaan salat, bila diteliti
term-term khusyū‘ yang terdapat dalam al-Qur’an, akan terlihat bahwa
tidak semua term tersebut mengacu kepada makna khusyū‘ yang
disebut di atas. Selain makna tersebut, term khusyū‘ yang disebut
dalam al- Qur’an sebanyak 17 kali dalam berbagai Surah dan ayat,
mempunyai konteks yang cukup bervariasi. Terkadang khusyū‘ berarti
membenarkan apa yang diturunkan oleh Allah, misalnya pada (Q.S. Al-
Baqarah [2]: 45).13
و ٱست ع ين وا ب ٱلصب ع إ ن ل و ٱ ٱخ ع ي ل ل ب و ٱلصو و و و ن
“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang
yang khusyū‘.”
12 Muḥammad al-Zuhri, al-Shirāj al-Wahhāj (Kairo: Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī,
1933), 33-58, dan Ibn Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 1: Ibadah
(Bandung: Pustaka Setia, 2007), 142-151. 13 Al-Qur’an, al-Baqarah [2]: 45. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahannya (Jakarta: CV Darus Sunnah, 2002), 8.
4
Di lain ayat, khusyū‘ mengandung arti merasa kecil, lemah, dan
kekurangan, misalnya, pernyataan Allah (Q.S. Al- Syurā [42]: 45).
ٱ و ق لل ٱلذ ين ء ام ن وا م ن ٱلذل ي نظ ر ون م ن ط رف خ ف ع و ت ر ى ه م ي عر ض ون ل و ي ه ل خ ع
ر ين اب مق يم ن ن ٱخ س ف ل ذ م ي وم ٱلق ي م ة أ ن ن ٱلظو م ر وا أ نف س ه م و أ هو يه ٱلذ ين خ س “Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam
keadaan tertunduk karena (merasa) hina, mereka melihat dengan
pandangan yang lesu. Dan orang-orang yang beriman berkata,
“Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang
merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari
kiamat.” Ingatlah, sesungguhnya orang- orang yang zalim itu
berada dalam azab yang kekal.”14
Pada tempat lain, kata khusyū‘ juga dipergunakan untuk orang-
orang yang beriman dengan melakukan ketaatan sepenuhnya kepada
Allah serta ajaran-ajaran-Nya.15 dihubungkan dengan orang-orang yang
berserah diri, beriman, taat, orang-orang yang benar, sabar, suka
bersedekah, dan berpuasa serta memelihara kehormatannya.16
Di samping pemakaian kata khusyū‘ di dalam pengertian-
pengertian di atas, di dalam al-Qur’an juga ditemukan kata itu dengan
makna lain yang dikaitkan dengan kemahakuasaan Allah, seperti Allah
mampu menghidupkan yang mati dengan mengemukakan
perumpamaan bumi yang kering tandus (khāsyi‘ah), jika Allah
menurunkan hujan maka ia menjadi hidup dan subur.17 Juga dikaitkan
dengan pembuktian dan kebenaran al-Qur’an sebagai mukjizat karena
ada tantangan dari orang kafir. Karena itu, Allah memberikan
perumpamaan jika al-Qur’an diturunkan di atas gunung maka gunung
itu akan merunduk dan pecah (خاشعا متصدعا) karena takut kepada
14 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 368. 15 QS. Alī Imrān [3]: 199. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
77. 16 QS. al-Aḥzab [33]: 35. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
423. 17 QS. Fuṣṣilat [41]: 39. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
482.
5
Allah.18 Di sini kata khāsyi’ disambung dengan kata mutaṣaddi‘an
untuk menguatkan perumpamaan tersebut, agar manusia berpikir.
Berdasarkan hal di atas, maka kata khusyū‘ menjadi kata kunci
yang menarik untuk dikaji dalam studi linguistik. Salah satu cabang
linguistik yang mempelajari makna sebuah kata adalah semantik.
Menurut para ahli bahasa, semantik adalah cabang dari ilmu bahasa
yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal
yang ditandainya (makna). Tanda linguistik yang dimaksud di sini
adalah seperti yang dikemukakan Ferdinand De Saussure yang terdiri
dari dua komponen yaitu, komponen yang mengartikan, yang terwujud
bentuk-bentuk bunyi bahasa dan komponen yang diartikan, atau makna
dari komponen yang pertama. Kedua komponen ini adalah tanda atau
lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambangi adalah sesuatu yang
berada di luar sesuatu yang lazim disebut referen atau sesuatu yang
ditunjuk.19
Dalam penelitian ini penulis akan mencoba menggunakan analisis
semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu. Menurut
Toshihiko Izutsu semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah
kunci suatu bahasa yang mengantarkan pada pandangan dunia
masyarakat pengguna bahasa itu sendiri weltanschauung, tidak hanya
sebangai alat berbicara dan berpikir tetapi yang terpenting adalah
pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.20
Semantik al-Qur’an menurut Toshihiko Izutsu harus dipahami
dengan pandangan dunia weltanschauung al-Qur’an melalui analisis
18 QS. al-Haṣr [59]: 21. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
549. 19 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,
2009), 2. 20 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan Dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap
Al-Qur’an, Terj. Agus Fahri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 3.
6
semantik terhadap materi-materi di dalam al-Qur’an itu sendiri, yakni
kosa kata atau istilah penting yang terdapat di dalam al-Qur’an.21
Untuk menganalisis bahasa tersebut Toshihiko Izutsu mengembangkan
beberapa langkah yang harus dilalui. Penelitian ini secara analisis akan
membahas bagaimana sebenarnya pandangan al-Qur’an tentang arti
kata khusyū‘ dengan pendekatan semantik Toshihiko Izutsu. Pilihan
semantik Izutsu sebagai pendekatan, karena ruang kerja semantiknya
mencakup bahasa pada setiap makna dasar dan makna relasional
dengan menggunakan analisis sintagmatik dan paradigmatik. Persoalan
kronologi sejarah linguistiknya akan terlihat pada masa pra-Qur’anik,
Qur’anik dan pasca-Qur’anik, sehingga akan mendapatkan pemahaman
yang komprehensif dan utuh tentang makna khusyū‘ dalam al-Qur’an.
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian singkat latar belakang masalah di atas, penulis
menemukan dan mengidentifikasi suatu masalah yang timbul
kemudian. Permasalahan tersebut antara lain:
1. Sebagian besar tokoh agama sering mengaitkan kata khusyū‘ dengan
ibadah. Padahal kata khusyū‘ juga digunakan untuk keadaan manusia
pada hari kiamat, serta tentang gunung dan bumi. Dengan demikian,
bagaimana pemahaman mendalam tentang konsep khusyū‘ dalam al-
Qur’an menggunakan metode semantik Toshihiko Izutsu.?
2. Kata khusyū‘ membahas tentang keadaan manusia di dunia dan di
akhirat. Maka, bagaimana ciri-ciri manusia yang khusyu’ itu.?
3. Kata khusyū‘ dalam al-Qur’an memiliki banyak konteks ayat. Maka,
apa saja konteks ayat ayat yang menggunakan kata khusyū‘.?
21 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan Dan Manusia, 3.
7
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dibahas di atas,
kemudian yang menjadi titik fokus dalam penelitian ini adalah kata
khusyū‘ di dalam al-Qur’an. Penulis ingin menggali lebih jauh tentang
konsep khusyū‘ di dalam al-Qur’an melalui pendekatan semantik
Toshihiko Izutsu. Penelitian ini penulis lakukan dengan cara
mengumpulkan seluruh ayat yang terdapat kata khusyū‘ di dalamnya,
untuk diteliti menurut metode semantik. Masalah yang akan dijawab
dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana konsep khusyū‘ dalam al-Qur’an menurut pendekatan
semantik Toshihiko Izutsu?
D. Tujuan Penelitian
Sebagaimana yang tertuang dalam rumusan masalah sebelumnya,
maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Menjelaskan konsep khusyū‘ menggunakan metode pendekatan
semantik Toshihiko Izutsu.
E. Manfaat Penelitian
Sehubungan dengan tujuan yang terealisasi maka diharapkan
penelitian ini dapat memberikan manfaat ke dalam dua kategori, yaitu
bersifat akademis dan bersifat praktis. Secara akademik, pertama
untuk menambah khazanah keilmuan Islam dalam kajian tafsir dengan
metode semantik tentang khusyū‘. Kedua, untuk melengkapi penjelasan
para tokoh terkait khusyū‘ yang sering dikaitkan dengan ibadah.
Ketiga, memperluas pemaknaan khusyū‘, sehingga khusyū‘ tidak selalu
tentang ibadah.
Secara praktis dari penelitian ini dapat dijadikan bahan ajar dalam
matakuliah semiotik di Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta
dapat menjadi perbandingan terhadap penelitian-penelitian berikutnya
8
khususnya penelitan yang dilakukan menggunakan metode pendekatan
semantik Toshihiko Izutsu. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam menunjukkan pentingnya kajian bahasa dalam
penafsiran.
F. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa karya tulis yang penulis temukan yang secara
langsung berhubungan dengan penelitian ini, namun perlu penulis
tegaskan bahwa dalam tinjauan pustaka ini penulis lebih memusatkan
pada tema-tema yang membahas tentang khusyū‘. Adapun pendekatan
dari metode Toshihiko Izutsu yang mendalam akan dipaparkan dalam
bab II di antarannya:
1. Skripsi
Pertama, “Khusyuk dalam Salat (Perbandingan Tafsir Al-Manar
dan Tafsir Al-Munir)” yang di tulis oleh Rinawi tahun 2009. Skripsi
yang diajukan kepada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel
Surabaya. Dalam skripsi tersebut, Rinawi hanya memfokuskan
pembahasan tentang khusyū dalam salat saja, dengan melakukan kajian
perbandingan penafsiran antara Rasyid Ridha dan Wahbah Zuhailī. 22
Kedua, sebuah skripsi yang ditulis oleh Mardiayanto dengan
judul “Urgensi Sholat Khusyū‘: Kajian Tahlīlī pada Q.S. Al-Mu’minūn
/23 : 1-2.” Dalam skripsinya Mardiyanto membahas tentang urgensi
khusyū‘ dalam salat yang terkandung dalam al-Qur’an terkhusus dalam
Surah al-Mu’minūn/23 : 1-2, sebab melakukan kemaksiatan. Khusyū‘
dalam salat sangatlah berpengaruh dengan kehidupan sehari-hari.
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tentang hakikat
salat, untuk mengetahui wujud salat yang terkandung dalam Q.S. al-
22 Rinawi, “Khusyuk dalam Salat: Perbandingan Tafsir Al-Manar dan Tafsir Al-
Munir.” (Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2009).
9
Mu’minūn /23 : 1-2 dengan kajian tahlīlī, dan untuk menjelaskan
tentang urgensi khusyū‘ dalam salat. Dari hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa makna dan hakikat salat adalah, pertama, salat
dari segi bahasa berarti membakar dan berdoa atau meminta, sedangkan
dari segi istilah adalah bentuk penyembahan atau peribadatan kepada
Allah melalui beberapa bacaan dan gerakan tertentu yang diawali
dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Kedua, dalam surah al-
Mu’minūn [23]: 1-2, menjelaskan bahwa orang yang salat dengan
khusyū‘ dalam arti tunduk dan merendahkan diri kepada Allah akan
mendapatkan keberuntungan yang pasti, yaitu, surga. Ketiga, salat yang
khusyū‘ mampu menjadikan orang yang salat termasuk orang-orang
yang beruntung sebagaimana yang telah dijanjikan Allah swt. Dalam
surah al-Mu’minūn ayat 1-2 (pasti beruntunglah orang-orang yang
beriman, yaitu mereka yang khusyū‘ dalam salatnya). Artinya dengan
salat yang khusyū‘ akan melahirkan sikap mental positif dalam diri
mereka, yang pada akhirnya tercipta amar ma’rūf nahī mungkar.
Dalam penelitian ini, Mardianto memahami bahwa khusyū‘ dalam
salat sangatlah penting karena orang yang salat dengan khusyū‘ akan
membangun sikap mental positif pada dirinya, sehingga menjadi orang
yang selalu merasa diawasi dan takut kepada Allah dan tidak
melakukan maksiat. Jadi fokus kajian yang dilakukan oleh Mardianto
hanya sebatas khusyū‘ dalam salat.23
2. Tesis
Ketiga, tesis yang berjudul “Makna Khusyū‘ dalam al-Qur’an
(Studi Tafsir Tematik)” yang ditulis oleh Aizul Maula, merupakan
merupakan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu al-Qur’an dan
23 Mardianto, “Urgensi Sholat Khusyu‘: Kajian Tafsir Tahlīlī pada Q.S. Al-
Mu’minun/23 : 1-2.”, (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2014).
10
Tafsir, Institut Agama Islam Negeri Surakarta tahun 2018. Dalam tesis
ini ia melakukan penelitian mengenai makna khusyū‘ dalam al-Quran
secara umum. Dari penelitian ini juga diperoleh informasi bahwa
khusyū‘ dalam al-Qur’an mengandung beberapa pesan, yaitu: Pertama,
khusyū‘ merupakan sikap yang harus dihadirkan ketika salat, kedua,
khusyū‘ merupakan sikap yang melekat pada para Nabi, ketiga, khusyū‘
merupakan pujian dari Allah kepada ahli kitab yang beriman kepada
Allah, Nabi Muhammad dan al-Qur’an, keempat, khusyū‘ dalam
mengingat Allah dan al-Qur’an dapat menjauhkan seseorang dari
kefasikan, dan kelima, orang yang khusyū‘ akan mendapatkan balasan
dari Allah berupa ampunan dan pahala yang besar. Lebih lanjut,
terdapat beberapa faktor yang dapat membantu dalam meraih khusyū‘,
di antaranya adalah; iman yang benar, ilmu yang bermanfaat,
mengingat kematian, dan tadabur ayat-ayat al-Qur’an.24
Keempat, tesis Program Pacasarjana Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga yang ditulis oleh M. Zikri dengan judul “Term al-
Khusyū‘ dalam Al-Quran: Kajian Semantik”. Dalam Tesis tersebut
term khusyū‘ di dalam al-Qur’an dikaji melalui pendekatan Semantik
dengan tujuan memahami lebih jauh makna kata khusyū‘ serta makna
relasional dari kata tersebut dalam al-Quran. Kesimpulan dari
penelitian tersebut menyatakan bahwa khusyū‘ memiliki relasi makna
dengan beberapa hal dasar, yaitu: 1) hubungan Tuhan dan manusia, 2)
ibadah, 3) fitrah manusia, dan 4) ke-khannifan manusia kepada arah
yang benar.25
24 Aizul Maula, “Term al-Khusyū’ dalam al-Quran: Kajian Semantik.” (Tesis S2.,
Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2018). 25 M. Zikri, “Term al-Khusyū‘ dalam al-Quran: Kajian Semantik”, (Tesis S2.,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga).
11
Kelima, Sebuah tesis yang ditulis oleh Kusroni dengan judul
“Khusyū‘ dalam al-Qur’an (Studi Penafsiran Ismā’il Hāqi dalam Rūh
al-Bayān)”, Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsīr, Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Pada penelitian ini,
Kusroni memfokuskan kajiannya pada ayat-ayat khusyū‘ yang
ditujukan untuk orang-orang mukmin di dunia. Pada penelitian
tersebut, disimpulkan bahwa khusyū‘ yang ditujukan kepada orang-
orang mukmin mencakup pada dua aspek. Pertama, khusyū‘ secara
teknis meliputi khusyū‘ lahiri yakni sikap tunduk, patuh, takut kepada
Allah serta perangai yang rendah diri. Sedangkan khusyū‘ batini yakni
ketenangan hati dengan senantiasa mengingat Allah. Kedua, khusyū‘
secara praktis meliputi khusyū‘ dalam salat, yakni dengan melakukan
gerakan-gerakan dalam salat sesuai standar syari’at, dan khusyū‘ di luar
salat yakni mengimplementasikan khusyū‘ dalam arti tunduk, patuh,
tenang, dan takut kepada Allah ke dalam segala bentuk ibadah selain
salat, serta sikap rendah hati kepada sesama dalam kehidupan sosial.26
3. Buku Ilmiah
Keenam, Buku karya Abu Sangkan dengan judul “Pelatihan
Salat Khusyū‘: Salat Sebagai Meditasi Tertinggi dalam Islam”. Dalam
buku tersebut dijelaskan tentang hukum dan teori mengenai salat
khusyū‘. Di dalamnya juga dijelaskan tentang langkah-langkah konkret
untuk dapat mencapai salat khusyū‘.27
Ketujuh, Buku karya Muhammad Shaleh al-Munjid dengan judul
“Salat yang Khusyū‘ dan Langkah-langkah Mencapainya”. Di
dalamnya dijelaskan tentang beberapa upaya untuk mengundang dan
26 Kusroni, “Khusyū’ dalam al-Qur’an: Studi Penafsiran Ismā’il Hāqi dalam Rūh
al-Bayān”, (Tesis S2., Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya). 27 Abu Sangkan, Pelatihan Salat Khusyuk; Salat Sebagai Meditasi Tertinggi
dalam Islam (Pustaka UI, 2008).
12
menguatkan kekhusyū‘an dalam salat. Selain itu dijelaskan juga tentang
segala penghalang dan pengganggu yang memalingkan dan
mengeruhkan rasa khusyū‘. 28
4. Jurnal
Kedelapan, karya akademik dalam bentuk artikel yang ditulis
oleh Eko Zulfikar.29 Ia merupakan mahasiswa Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Tulungagung. Dalam artikel tersebut ia membahas
tentang “Makna Ūlū al-Albāb dalam al-Qur’an: Analisis Semantik
Toshihiko Izutsu”. Dalam penelitian tersebut ia menjelaskan bahwa ūlū
al-albāb merupakan istilah yang disebutkan sebanyak 16 kali yang
terliputi dalam 10 surah di dalam al-Qur’an. Di setiap ayat yang
terdapat di berbagai surah tentunya memiliki makna yang berbeda,
sehingga membutuhkan pemahaman yang mendalam. Pengungkapan
makna ūlū al-albāb tersebut akan dianalisis dengan menggunakan
semantik al-Qur’an yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu.
Semantik al-Qur’an menurut Izutsu merupakan sebuah usaha
menyingkap pandangan dunia al-Qur’an (weltanschauung) melalui
analisis semantik terhadap kosakata atau istilah-istilah kunci al-Qur’an.
Proses yang dilakukan dalam penelitian ini adalah meneliti makna
dasar dan makna relasional kata ūlū al-albāb dengan menggunakan
analisis sintagmatik dan paradigmatik, kemudian meneliti penggunaan
kosakata ūlū al-albāb pada masa pra-Qur’anik, Qur’anik dan pasca-
Qur’anik.
Kesembilan, artikel yang membahas tentang semantik Toshihiko
Izutsu. Tulisan tersebut berjudul “Analisis Semantik Kata Syukūr
28 Muhammad Shaleh al-Munjid, Salat yang Khusyuk dan Langkah-Langkah
Mencapainya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002). 29 Eko Zulfikar, “Makna Ūlū al-Albāb dalam al-Qur’an: Analisis Semantik
Toshihiko Izutsu”. Jurnal Theologia, vol. 29, no. 1 (2018): 109-140.
13
dalam al-Qur’an”, yang ditulis oleh Mila Fatmawati, Ahmad Izzan, dan
Dadang Darmawan, merupakan mahasiswa Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati Bandung.30 Dalam tulisan tersebut, Terdapat
banyak istilah dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan kata syukūr.
Orang lazim mengartikan kata syukūr dengan makna pujian, memuji
dan berterimakasih. Kata syukūr di dalam berbagai bentuknya
ditemukan sebanyak 75 kali tersebar dalam 69 ayat dan 37 Surah,
terbagi ke dalam 18 bentuk (derivasi). Kata syukūr menjadi kata yang
menarik untuk dikaji lebih dalam untuk mengungkap makna syukūr
yang sesuai dengan makna yang disebutkan dalam al-Qur’an. kata
tersebut akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan semantik,
yaitu teori semantik Toshihiko Izutsu.
Dari telaah pustaka di atas, pembahasan tentang khusyū‘ hanya
dijelaskan secara umum berdasarkan pada pendapat para mufassir
dalam menjelaskan kata khusyū‘ di dalam al-Qur’an. Sedangkan
khusyū‘ yang dibahas dalam penelitian ini, berdasarkan semantik
Toshihiko Izutsu. Selain itu, tesis yang berjudul “Term al-Khusyū‘
dalam al-Qur’an: Kajian Semantik” walaupun memiliki term kajian
semantik yang sama dengan penelitian yang penulis lakukan, namun,
dalam tesis tersebut term khusyū‘ dikaji melalui pendekatan semantik
secara umum, yaitu mencari relasi makna khusyū‘ dengan beberapa hal
dasar dalam al-Qur’an, seperti yang dijelaskan di atas. Berbeda dengan
yang penulis teliti dalam skripsi ini, yaitu mengkaji term khusyū‘ dalam
al-Qur’an secara khusus melalui pendekatan semantik Toshihiko
Izutsu. Di samping itu, sejauh pengamatan penulis dalam karya ilmiah
lainnya, belum ada skripsi atau penelitian secara khusus membahas
30 Mila Fatmawati,dkk, “Analisis Semantik Kata Syukūr dalam al-Qur’an”. Al-
Bayan: Jurnal Studi al-Qur’an dan Tafsir 3, 1 (Juni 2018): 90-100.
14
term khusyū‘ dalam al-Quran menggunakan analisis semantik
Toshihiko Izutsu. Penulis hanya menemukan term Syaiṭān, Khalīfah,
Fitnah, Ūlūl al-Albāb, Syūkur, dan Sulṭān dalam analisis semantik
Toshihiko Izutsu. Oleh karena itu, penulis dalam penelitian ini
mencoba mengkaji kata khusyū‘ dalam al-Qur’an dengan menggunakan
metode semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu, supaya
memberikan perspektif baru dalam memahami konsep khusyū‘ yang
dijelaskan oleh al-Qur’an.
G. Metode Penelitian
Agar penelitian ini menghasilkan hasil yang baik dan dapat
dipertanggungkan jawabkan secara ilmiah, maka diperlukan metode
yang sesuai dengan yang dikaji. Metode adalah instrumen yang
digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode
menyangkut masalah cara kerja untuk memahami fokus kajian yang
menjadi sasaran dari ilmu yang bersangkutan.31 Metode penelitian
dimaksudkan agar penelitian dapat mencapai hasil optimal. Metode
dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah library research atau penelitian
kepustakaan. Yaitu penelitian yang berfokus pada literatur dan buku-
buku perpustakaan untuk menjawab permasalahan-permasalahan
yang menjadi objek penelitian. Baik literatur itu bersifat primer
maupun sekunder kemudian dianalisis dengan menggunakan
pendekatan semantik.
2. Sumber Data
31 Mohammad Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif (Yogyakarta: SUKA
Press, 2012), 63.
15
Secara umum, sumber data dalam penelitian ada dua yakni
sumber data primer dan sumber data sekunder. Dalam penelitian ini,
penulis mengambil sumber primernya dari ayat-ayat al-Qur’an yang
menggunakan term khusyū‘’ serta derivasi dan terjemahnya.
Selanjutnya, sumber data sekundernya adalah kamus klasik di
antaranya yaitu Lisān al-‘Arāb, al-Munjid fi al-Lugah wa al-‘Ālām,
Mu‘jām Mufahrāẓ li Alfaāẓ al-Qur′ān al-Karīm, Mufradāh Garrīb
al-Qur′ān, dan kamus al- Qur’an lainnya. Kitab tafsir, kitab hadis,
buku-buku, artikel-artikel, dan skripsi, dengan pokok permasalahan
yang sama dengan tema penelitian ini dan dianggap penting untuk
dikutip dan dijadikan informasi tambahan. Serta penulis
menggunakan buku-buku tentang semantik yang dalam hal ini, buku
Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap al-
Qur’an karya Toshihiko Izutsu sebagai pisau analisis.
3. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis. Metode deskriptif yang digunakan adalah untuk
memaparkan bagaimana konsep khusyū‘ dalam al-Qur’an.
Selanjutnya melakukan analisis terhadap kata khusyū‘ dalam al-
Qur’an dengan menggunakan pendekatan semantik yang digagas
oleh Toshihiko Izutsu
4. Langkah-langkah Operasional
Berikut langkah-langkah penelitian yang dilakukan:
a. Mengumpulkan ayat-ayat tentang khusyū‘ yang terdapat dalam
al-Qur’an kemudian memasukkan penafsiran-penafsiran ulama
tentang khusyū
b. Mencari makna dasar dan makna relasional kata khusyū‘.
16
c. Memaparkan perkembangan makna khusyū‘ pada periode pra
quranik, quranik, dan pasca quranik, setelah itu mencari
weltanschauung kata khusyū‘ yang terdapat dalam al-Qur’an.
H. Sistematika Penelitian
Sistematika pembahasan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
rumusan masalah yang akan diteliti, tujuan dan kegunaan penelitian,
kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Hal ini
bertujuan untuk memberikan arahan supaya penelitian ini tetap
konsisten sistematis sesuai rencana riset.
Bab kedua, berisi tentang analisis semantik Toshihiko Izutsu. Bab
ini terbagi tiga bagian yaitu biografi Toshihiko Izutsu, semantik dan
metodologi semantik Toshihiko Izutsu, skripsi dan tesis terkait
Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu di UIN Jakarta.
Bab ketiga, memuat tentang definisi dan deskripsi ayat-ayat
tentang khusyū‘. Bab ini terbagi menjadi tiga sub bab. Sub-sub tersebut
adalah pengertian khusyū‘, inventarisasi kata khusyū‘ dalam al-Qur’an,
klasifikasi ayat dan penafsiran ulama tentang ayat-ayat khusyū‘.
Bab keempat, membahas tentang pendekatan semantik Toshihiko
Izutsu terhadap kata khusyū‘ dalam al-Qur’an. Yang terdiri dari tiga sub
bab yakni makna dasar dan makna relasional, sinkronik dan diakronik
khusyū‘ meliputi dari pra Qur’anik, Qur’anik dan pasca Qur’anik, dan
terakhir tentang weltanschauung.
Bab kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh
pembahasan. Serta berisi saran-saran yang ditujukan pada penelitian
selanjutnya.
17
BAB II
RESEPSI TERHADAP PENDEKATAN SEMANTIK TOSHIHIKO
IZUTSU
Pandangan tentang sesuatu tidak muncul dalam ruang yang
kosong, tetapi sangat dipengaruhi oleh subyektifitas dan historitas yang
menyelimutinya. Maka pandangan tersebut harus dipahami melalui
usaha pembaca atau penafsir untuk merekonstruksi atau membangun
kembali pengalaman mental penulisnya atau mengulang proses kreatif
penulis secara utuh.1 Begitu juga halnya dengan pandangan Toshihiko
Izutsu terhadap kajian semantik al-Qur’an. Sebelum membahasnya
lebih lengkap harus dimengerti terlebih dahulu sosok pribadi dari tokoh
yang dimaksud. Oleh karena itu, dalam bab ini akan dijelaskan
mengenai riwayat hidup Toshihiko Izutsu dari sisi pengalamannya
sejak kecil, karir pendidikannya, karya-karyanya. Selain itu, bab ini
juga membahas resepsi dari para sarjana di Indonesia tentang
pandangan Toshihiko Izutsu.
A. Biografi Toshihiko Izutsu
1. Riwayat Hidup
Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo 4 Mei 1914. Izutsu berasal dari
keluarga taat, ia telah mengamalkan ajaran Zen Buddhisme sejak kecil.
Bahkan, pengalaman bertafakur dari praktik ajaran Zen sedari muda
telah turut memengaruhi cara berpikir dan pencariannya akan
kedalaman pemikiran filsafat dan mistisisme.2
Izutsu terbiasa dalam suasana cara berpikir Timur yang berpijak
pada ketiadaan (nothingness). Ayahnya sebagai seorang guru Zen,
1 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik
(Jakarta: Paramadina, 1996), 135. 2 Zuhadul Izmah “Konsep Iman Menurut Toshihiko Izutsu”. Hermeneutika, vol.9,
no.1, (Juni 2015): 207.
18
mengajarkan inti ajaran ini dengan menuliskan kata “kokoro” yang
berarti pikiran, di atas sebuah kertas. Tulisan ini diberikan kepada
Izutsu untuk ditatap pada waktu tertentu setiap hari. Kemudian,
ayahnya memerintahkan untuk menghapus tulisan itu dan meminta
Izutsu untuk melihat tulisan tersebut di dalam pikirannya, bukan
sebagai tulisan yang ada di atas kertas namun memusatkan pikiran pada
tulisan tersebut terus-menerus. Setelah itu, ayahnya memerintahkan
untuk menghapus kata yang ada dalam pikirannya saat itu juga, dan
memikirkan pengetahuan yang hidup dibalik kata yang tertulis.3
Dalam perjalanan intelektualnya, Izutsu membaca berbagai karya
yang ditulis oleh ahli mistik Barat. Pengalaman ini yang
mengantarkannya pada pemahaman yang sangat berlawanan dengan
keyakinan sebelumnya. Masa mudanya ia menekuni spritualisme
Timur, kemudian beralih pada spritualisme Barat dan mencurahkan
perhatiannya pada kajian filsafat Yunani. Penemuan pengalaman mistik
sebagai sumber pemikiran filsafat menjadi titik permulaan untuk
seluruh filsafat Izutsu selanjutnya. Penemuan ini menjadi asal-usul
pemikiran Izutsu ketika mengembangkan ruang lingkup aktivitas
penelitiannya pada filsafat Islam, pemikiran Yahudi, filsafat India,
filsafat Lao-Tsu Cina, filsafat Yuishiki dan Buddhisme Kegon dan
filsafat Zen.4
Gairah untuk menelusuri seluruh alam pemikiran dunia telah turut
menempatkan Izutsu pada pusaran pertikaian dan pada waktu yang
sama telah memunculkan gairah baru dalam menampilkan intisari dari
setiap kedalaman berpikir. Keluasan minat di atas terlepas dari latar
3 Ahmad Sahidah Rahem, Tuhan, Manusia Dan Alam dalam al-Qur’an;
Pandangan Toshihiko Izutsu (Pulau Pinang, Universiti Sains Malaysia Press, 2014), 138-
190. 4 Fathurahman, “Al-Qur’an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu”,
(Tesis S2., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010), 67.
19
belakang pendidikan Izutsu. Ia menyelesaikan pendidikan tingkat
perguruan tinggi di Universitas Keio Tokyo. Izutsu mengabdikan
dirinya sebagai dosen dan mengembangkan karir sebagai seorang
intelektual yang diakui dunia. Mengajar dari tahun 1954 hingga 1968
dan mendapatkan gelar Profesor Madya pada tahun 1950 di Universitas
yang sama.5
Wilfred Cantwell Smith sebagai pengarah kajian Islam di
Universitas MacGill Montreal Canada meminta kesediaan Izutsu
menjadi profesor tamu dari tahun 1962-1968 dan selanjutnya menjadi
profesor di Universitas ini antara tahun 1969-1975. Setelah mengajar di
MacGill, ia hijrah ke Iran untuk menjadi pengajar Imperial Iranian
Academy of Philosophy untuk memenuhi undangan koleganya, Sayyed
Hossein Nasr selama 5 tahun. Pada akhirnya ia mengakhiri karir
akademiknya sebagai profesor emiritus di Universitas Keio hingga
akhir hayatnya. Selain itu, ia juga aktif di beberapa lembaga keilmuan
seperti Academy of Arabic Language di Kairo Mesir pada tahun 1960,
Institut Internasional de Philosophy pada tahun 1971 dan Nihon
Gakushiin (The Japan Academy) pada tahun 1983. Sedangkan aktifitas
yag dilakukan di luar negara adalah Pelawat Rockefeller (1959-1961)
di Amerika Serikat dan Eranos Lecturer on Oriental Philosophy di
Switzerland antara tahun 1967-1982.6
Sebagai seorang intelektual terkenal, Izutsu menguasai lebih dari
tiga puluh bahasa asing. Dengan bakat cemerlang ini, Izutsu bisa
melakukan penelitian berbagai kebudayaan dunia dan menerangkan
secara khusus kandungan dari beragam sistem keagamaan dan filsafat
5 Zuhadul Izmah “Konsep Iman Menurut Toshihiko Izutsu”. Hermeneutika, vol.9,
no.1, (Juni 2015), 208. 6 Zuhadul Izmah, “Konsep Iman Menurut Toshihiko Izutsu, 208, dan
Fathurrahman, “Al-Qur`an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu”. (Tesis S2.,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), 52.
20
melalui bahasa asalnya. Keluasan pengetahuannya memungkinkan
untuk melihat persoalan dari berbagai perspektif, sehingga akan
melahirkan pandangan yang menyeluruh tentang suatu masalah.7
Izutsu adalah seorang sarjana yang jenius. Kemampuan Izutsu
dalam bidang bahasa memungkinkannya untuk melakukan penelitian
terhadap kebudayaan-kebudayaan dunia dan menjelaskan secara
spesifik berbagai sistem keagamaan dan filsafat melalui bahasa aslinya.
Bidang kegiatan penelitiannya sangat luas, mencakup Filsafat Yunani
kuno, Filsafat Barat abad pertengahan, mistisisme Islam (Arab dan
Persia), filsafat Yahudi, filsafat India, pemikiran Konfusianisme,
Taoisme China, dan filsafat Zen. Keluasan pengetahuan Izutsu
memungkinkan untuk melihat persoalan dari berbagai perpektif,
sehingga dapat melahirkan pandangan yang menyeluruh tentang satu
masalah. Izutsu mampu mengkhatamkan Al-Qur’an dalam durasi
waktu 1 (satu) bulan setelah mempelajari bahasa Arab. Suatu hal
menakjubkan hasil dari kerja keras lainnya adalah terjemahan langsung
pertama al-Qur’an dari bahasa Arab ke Jepang pada tahun 1958.8
Sejauh berkenaan dengan kajian Islam, kepentingan karya Izutsu
terletak pada sebuah pemikiran yang dibentuk oleh Zen Buddhisme,
Neo-Konfusianisme, dan Shintoisme (yang merupakan unsur-unsur
pembentuk kebudayaan klasik Jepang), yang dipertemukan dengan
dunia wahyu al-Qur’an dan pemikiran Islam. Inilah yang
membedakannya dengan sarjana-sarjana orientalis yang menghasilkan
begitu banyak karya tentang pemikiran Islam yang merupakan hasil
dari tradisi yang dibentuk oleh warisan Yahudi dan Kristen. Bagi
7 Fathurahman, “Al-Qur’an dan Tafsirnya, 53. 8 Nur Ahmad, Tafsir Semantik Ala Toshihiko,
Http://Nurahmadbelajar.Blogspot.Com/2013/06/Tafsir Semantik-Ala-Toshihiko-
Izutsu.Html (Diakses Pada Tanggal 30 Mei 2015 Pukul 09:03).
21
Seyyed Hossein Nasr, sebagaimana dikutip oleh Fathurrahman, bahwa
karya Toshihiko Izutsu dalam bidang kajian Islam menunjukkan betapa
pentingnya sebuah pandangan dunia yang dijadikan pijakan oleh
seorang sarjana dalam mengkaji dunia intelektual lain dan bagaimana
dangkalnya tuduhan-tuduhan yang disampaikan oleh begitu banyak
sarjana Barat menurut pengertian mereka. Baik disadari atau tidak hal
tersebut merupakan alasan yang anti-metafisis, bersifat sekuler, dan
rasionalisme abad pencerahan.9
Riwayat hidup singkat di atas dan perjalanan karir Izutsu menjadi
salah satu unsur penting untuk memahami lebih jauh terhadap
pemikirannya. Bagaimanapun juga, keutuhan pemahaman terhadap
sarjana Jepang ini akan sempurna apabila disertai dengan daftar karya
dan bagaimana beliau memulai sebuah pengkajian terhadap isu tertentu.
2. Karya-Karya
Izutsu telah menulis lebih dari 50 buku dan ratusan artikel.
Karya-karyanya meliputi semua bidang yang ia kuasai di antaranya,
Islamic Studies, Filsafat Timur dan Filsafat Barat. Semuanya ia tulis
dengan penelitian yang mendalam dan tajam. Karya-karya Izutsu ditulis
dalam bahasa Jepang dan Inggris.
Di antara karya-karya Toshihiko Izutsu adalah:10
a. Ethico-Religious Concepts in the Quran, telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia oleh Agus Fahri Husein, dkk
dengan judul Konsep–konsep Etika Religius dalam Qur’an.
b. The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical
Analysis of Iman and Islam. Buku ini telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh Agus Fahri Husein, dkk, dengan
9 Fathurahman, “Al-Qur’an dan Tafsirnya, 67. 10 Zuhadul Izmah “Konsep Iman Menurut Toshihiko Izutsu”. Hermeneutika, vol.
9, no. 1, (Juni 2015), 209.
22
judul Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis
Semantik Iman dan Islam.
c. God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic
Weltanschauung . Buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul Relasi Tuhan dan Manusia:
Pendekatan Semantik terhadap al-Qur‟an oleh Agus Fahri
Husein, dkk.
d. Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts.
e. Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic
Mystical Philosophy.
f. Toward a Philosophy of Zen Buddhism.
g. Language and Magic. Studies in the Magical Function of
Speech (1956).
h. The Metaphysics of Sabzvārī, diterjemahkan dari bahasa Arab
oleh Mehdi Mohagheg dan Toshihiko Izutso, Delmar, New
York, 1977.
i. Mollā Hādī Sabzavārī’s Šarḥ ḡorar al-farāʾed, maʿrūf be-
manẓūma-ye ḥekmat, qesmat-e omūr-e ʿāmma wa ǰawhar wa
ʿaraż.
Selain karya yang ditulis sendiri, Izutsu juga menerjemahkan
beberapa karya yang menjadi keahliannya ke dalam bahasa Jepang.11
Di dalam terjemahan ini, Ia berupaya untuk menghasilkan sebuah
pengalih bahasaan ke dalam gaya, perasaan dan makna dalam bahasa
Jepang. Karya yang dimaksud adalah:
11 Didik Musthofa, “Makna Ajal dalam al-Qur’an: Kajian Semantik Toshihiko
Izutsu.” (Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2018), 21-22.
23
a. M.C D’Arcy, The Mind and Heart of Love bersama dengan
Fumiko Sanbe (1957).
b. al-Qur’an 3 jilid (1957-1958).
c. Edisi Revisi terjemahan al-Qur’an (1964)
d. Mulla Shadra, Mashair (1964).
e. Jalaluddin, Fīhi ma Fīhi (1978).
Sebagai intelektual yang sering berkecimpung dalam berbagai
isu, Izutsu juga menulis banyak jurnal dalam bahasa Jepang, yang
meliputi berbagai disiplin ilmu seperti linguistik, filsafat Islam, filsafat
Barat, filsafat Timur, etika, dan tasawuf, di antaranya:12
a. “Contemporary Development in Arabic Linguistics” di dalam
Gengo Kenkyū, no. 3, Tokyo 1939, 110-116.
b. “On the Accadian particle ma” di dalam Gengo Kenkyū, No. 4,
Tokyo 1939, 27-68.
c. “Ethical Theory of Zamakhshari” di dalam Kaikyôken, Vol. 4
No. 8, Tokyo 1940, 11-18.
d. “A Characteristic Feature of Arabic Culture” di dalam Shin
Ajia, Vol. 2 No. 10, Tokyo 1940, 82-94.
e. “Introduction to the Turkish” di dalam Keio Gijuku Daigaku
Gogaku kenkyūjo, Tokyo 1943, 109-113.
f. “Introduction to the Arabic” dalam Keio Gijuku Daigaku
Gogaku kenkyūjo, Tokyo 1943, 121-128.
g. “Introduction to the Hindi” dalam Keio Gijuku Daigaku
Gogaku kenkyūjo, Tokyo 1943, 129-131.
h. “Introduction to the Tamil,” dalam Keio Gijuku Daigaku
Gogaku kenkyūjo, Tokyo 1943, 173-177.
12 Didik Musthofa, “Makna Ajal dalam al-Qur’an: Kajian Semantik Toshihiko
Izutsu,” 22-23.
24
i. “Revelation and Reason in Islam” dalam Nippon shogaku
kenkyū Hôkoku, No. 12, Tokyo 1944, 53-67.
j. “Ontology of Ibn al-‘Arabi” dalam Mita Tetsugakukai,
Tetsugaku, no. 25 dan 26 Tokyo 1944, 332-357.
k. “History of Islamic Thought” dalam Yasaka Asatarō, seia
sekaisi, Tokyo 1944, 73-110.
l. “Muhammad dalam Yasaka Asatarō,” seia sekaisi, Tokyo
1944, 249-265.
m. “Arabic Science and Technology” dalam Asatarō, seia sekaisi,
Tokyo 1944, 289-300.
n. “Arabic Philosophy” dalam Sekai Tetsugaku Kōza, Vol. 5,
Tokyo 1948, 149-305.
o. “The Mysticism of St. Bernard” dalam Mita Tetsugakukai,
Tetsugaku, No. 27, Tokyo 1952, 33-64.
Dalam penelitiannya, Izutsu ingin melakukan dialog dengan
berbagai kebudayaan di dunia. Oleh karena itu, beliau menulis buku
dalam bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar antarabangsa. Di antara
bukunya yang ditulis dengan bahasa Inggris adalah:13
a. Language and Magic: Studies in the Magical Function of
Speech. Tokyo: Keio University, 1956.
b. The Structure of the Ethical Terms in the Koran: A Study in
Semantics. Tokyo: Keio University, 1959.
c. God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic
Weltanschauung . Tokyo: Keio Institute of Cultural and
Linguistic Studies, 1964.
13 Didik Musthofa, “Makna Ajal dalam al-Qur’an: Kajian Semantik Toshihiko
Izutsu,” 24-25.
25
d. The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantic
Analysis of Iman and Islam. Tokyo: Keio Institute of Cultural
and Linguistic Studies, 1965.
e. Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, Montreal: McGill
University Press, 1966
f. A Comparative Study of the Key Philosophical Concepts in
Sufism and Taoism: Ibn ‘Arabi and Lao-tzū, Chuang-tzû.
Tokyo: Keio Universiti Press, 1966-1967.
g. The Concept and Reality of Existence. Tokyo: Keio Institute of
Cultural and Social Relations, 1971.
h. Toward a Philosophy of Zen Buddhism. Tehran: Iranian
Academy of Philosophy, 1974.
i. Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts. Tokyo: Iwanami Shoten Publisher,
1983. Berkeley: University of California Press, 1984
Ketika berada di Iran untuk mengajar di Institut Filsafat Izutsu
menyempatkan diri menerjemahkan karya pengarang Iran berkaitan
dengan kearifan Persia dan sekaligus menunjukkan kemampuan bahasa
Persia. Buku yang dimaksud adalah The Metaphysics of Sabzavārī yang
dilakukan bersama dengan Mehdi Mohagegh pada tahun 1977.
Keterlibatan Izutsu dalam pertukaran ilmiah antarabangsa juga
ditunjukkan di dalam berbagai jurnal, ensiklopedia dan bagian buku
sejak tahun 1960an hingga tahun 1990an yang berkisar pada persoalan
linguistik, filsafat, dan mistisisme.14 Inilah karya-karya yang dimaksud:
14 Didik Musthofa, “Makna Ajal dalam al-Qur’an: Kajian Semantik Toshihiko
Izutsu,” 25-27.
26
a. “Revelation as a Linguistic Concept in Islam di dalam Japanese
Society of Medieval Philosophy”, Studies in Medieval Thought,
vol. 5, Tokyo 1962, 122-1967.
b. “The Absolute and the Perfect Man in Taoism” di dalam Eranos-
Jahrbuch, Vo. 36, Zürich 1968, 379-440.
c. “The Fundamental Structure of Sabzawī’s Metaphysics” di dalam
Shar-I Ghurar al-Farāid atau Sharh-I Manzūmah. Pt. I, Tehran
1969, 1-152.
d. “Mysticism and the Linguistic Problem of Equivocation in the
Thought of ‘Ain al-Qudât al-Hamadani” dalam Studia Islamica,
vol. 31, Paris 1970, 153-170.
e. “The Archetipal Image of Chaos in Chuang Tzu: The Problem of
the Mythopoeic Level of Discourse”. Dalam: Joshep P. Strelka,
Anagogic Qualities of Literature: Yearbook of Comparative
Criticism, Vol. 4, Pennsylvania State University Press: University
Park 1971, 269-287.
f. “The Paradox of Light and Darkness in the Garden of Mystery of
Shabastarī.” Dalam: Joshep P. Strelka, Anagogic Qualities of
Literature: Yearbook of Comparative Criticism, Vol. 4,
Pennsylvania State University Press: University Park 1971, 288-
307.
g. “The Basic Structure of Methaphysical Thinking in Islam.”
Dalam: M. Mohaghegh & H. Landolt, Collected Papers on Islamic
Philosophy and Mysticism, Tehran 1971, 39-72.
h. “The Philosophy of Zen” dalam R. Klibansky, Contemporary
Philosophy: A Survey, Firenze 1971, 500-522.
27
i. “Poetry and Philosophy in Japan dengan Toyoko Izutsu” dalam R.
Klibansky, Contemporary Philosophy: a Survey, Firenze 1971,
523-548.
j. “The Structure of Selfhood in Zen Buddhism” dalam Eranos-
Jahrbuch, Vol. 38, Zürich 1971, 95-150.
Bila dicermati dengan sungguh-sungguh, karya-karya di atas
menunjukkan keteguhan Izutsu untuk menyuarakan keyakinannya
tentang kegunaan pendekatan bahasa dalam menjelaskan teks,
khususnya semantik, meskipun semantik tidak dijadikan tujuan,
melainkan sebagai sarana untuk mengungkapkan realitas yang ada di
baliknya. Untuk memahami bagaimana sebenarnya pendekatan itu
dilihat hanya sebagai cara, di bawah ini akan diuraikan kaitan antara
corak pemikiran dan karya-karyanya berdasarkan beberapa catatan
yang diungkapkan oleh para sarjana.
B. Definisi Semantik Menurut Toshihiko Izutsu
Semantik merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu
sema yang berarti lambang atau tanda. Kata kerjanya adalah semaino
yang berarti melambangkan atau menandai. Secara khusus, yang
dimaksud dengan lambang atau tanda di sini adalah lambang atau tanda
linguistik (kebahasaan).15 Dari tanda tersebut yang didapat adalah arti
atau makna melalui petunjuk-petunjuk dalam tanda yang terdapat
dalam linguistik. Sederhananya bahwa semantik merupakan teori untuk
mendapatkan sebuah makna, atau teori arti.
Sedangkan definisi semantik secara terminologis dipahami
sebagai ilmu yang mempelajari relasi antara tanda-tanda linguistik
dengan hal-hal yang ditandainya. Atau secara sederhana, semantik
15 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,
2013), 2.
28
adalah subdisiplin linguistik yang khusus mengkaji makna bahasa. Dari
sini ia nampak mirip dan sering disamakan dengan istilah semiotika,
semiologi, semasiologi, semik, dan sememik. Akan tetapi, pada
hakikatnya semantik bersifat lebih spesifik dibanding istilah-istilah
studi kemaknaan di atas dari segi cakupan objek kajiannya.16 Objek
utama semantik adalah bahasa, sebab semantik berdasarkan pemaparan
di atas mengungkap makna atas bahasa itu sendiri. Semantik adalah
bagian dari struktur bahasa (language structure) yang berhubungan
dengan makna ungkapan dan makna suatu wicara atau sistem
penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa pada umumnya.
Semantik juga banyak membicarakan ilmu makna, sejarah makna,
bagaimana perkembangan dan mengapa terjadi perubahan makna
dalam sejarah bahasa.17
Seiring dengan berkembangnya kajian semantik, ilmu ini juga
digunakan sebagai alat untuk menganalisis berbagai literatur klasik. Al-
Qur’an sebagai salah satu literatur klasik yang penuh dengan estetika
kebahasaan dan kaya akan nilai-nilai sastra dan budaya tidak luput dari
perhatian para ahli. Semantik dianggap merupakan metode yang ideal
untuk mengungkap makna dari ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana
kehendaki oleh Allah SWT. Dengan semantik, pergeseran dan
penyimpangan dalam pemahaman terhadap makna kosakata-kosakata
al-Qur’an di tengah masyarakat juga dapat diketahui dengan jelas.
Tokoh semantik yang dikenal sebagai pelopor kajian semantik al-
Qur’an dan dinilai konsisten mengkaji al-Qur’an melalui pendekatan
semantik adalah Toshihiko Izutsu (1914-1993). Izutsu menjelaskan
bahwa maksud semantik di sini menurutnya adalah kajian analitik
16 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, 3. 17 Muflihun Hidayatullah, “Ikhlas dalam al-Qur’an: Perspektif Semantik
Toshihiko Izutsu”. (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2018), 22.
29
terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan
yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau
pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak
hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi yang lebih penting lagi,
pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Dalam hal ini
ia menambahkan, bahwa apa yang disebut semantik sekarang ini adalah
susunan rumit yang sangat membingungkan. Salah satu alasannya,
semantik menurut etimologi adalah ilmu yang berhubungan dengan
fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata, begitu
luas sehingga hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna
merupakan objek semantik.18
Kaidah semantik ini dimulai dengan membuka seluruh kosakata
al-Qur’an, semua kata penting yang mewakili konsep-konsep penting
serta menelaah apa makna semua kata itu dalam konteks al-Qur’an,
bukan konteks sempit berkaitan dengan alasan turunnya ayat tertentu,
tetapi konteks yang lebih luas. Namun, ini tidak mudah. Kata-kata atau
konsep-konsep di dalam al-Qur’an adalah tidak sederhana (simple).
Kedudukan masing-masing saling terpisah, tetapi sangat saling
bergantung dan menghasilkan makna konkrit justru dari seluruh sistem
hubungan itu. Artinya, kata-kata itu membentuk kelompok-kelompok
yang beragam, besar dan kecil, dan saling terkait satu sama lain dengan
berbagai cara, lalu pada akhirnya menghasilkan keteraturan yang
syumul, sangat kompleks dan rumit sebagai rangka kerja gabungan
konseptual. Dengan demikian, dalam menganalisis konsep-konsep
kunci individual yang ditemukan di dalam al-Qur’an, orang tidak bisa
18 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap
Al-Qur’an (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), 3.
30
kehilangan wawasan hubungan ganda yang saling memberi muatan
dalam keseluruhan sistem.19
Al-Qur’an menurut Izutsu berdasarkan pembacaannya pada
konsep al-Qur’an itu sendiri sepenuhnya berasal dari Tuhan,
kalāmullāh.20 Sesuatu yang berseberangan dengan pendapat
mainstream para orientalis barat. Namun, menurutnya al-Qur’an secara
linguistik adalah buah karya murni dari Arab.21 Hal ini tidak berarti
Izutsu berpendapat bahwa al-Qur’an adalah buatan manusia, melainkan
ia memandang al-Qur’an sebagai murni bahasa manusia Arab, bukan
bahasa langit maupun bahasa bangsa lain seperti bahasa Syria-Aramaik
sebagaimana yang dipahami sebagian kalangan.22
Sebagai sebuah teks yang menggunakan bahasa Arab murni,
pendekatan paling efektif untuk memahami kandungan al-Qur’an
adalah melalui teori-teori bahasa Arab itu sendiri. Selain itu, di dalam
al-Qur’an, menurutnya tidak terdapat kosakata asing, bahkan tiap-tiap
kosakata memiliki latar belakang historis pada era Islam atau era pra-
Islam. Banyak kosakata yang menjadi kosakata kunci al-Qur’an
sebelumnya telah akrab dipergunakan oleh orang Jahiliyah sebagai kata
sehari-hari mereka.23
19 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 10. 20 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 165-166. 21 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 38. 22 Fathurrahman, Al-Qur’an dan Tafsirnya. 59. 23 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: 39.
31
C. Metodologi Semantik Toshihiko Izutsu
Metode analisis semantik yang digunakan oleh Toshihiko Izutsu
adalah berusaha membuat al-Qur’an menginterpretasikan konsepnya
dengan mengeksplorasi data-data yang berasal dari al-Qur’an serta
berbicara untuk dirinya sendiri. Analisis ini dalam kajian al-Qur’an
akan sangat membantu untuk memberikan pemahaman yang utuh
terhadap pemaknaan dan penafsiran suatu konsep tertentu. Konsep
pokok tersebut terkandung dalam kosakata yang termuat dalam ayat-
ayat al-Qur’an.24
Kosakata al-Qur’an dapat terbagi menjadi tiga kosakata.
Pertama, kosa kata yang hanya memiliki satu makna. Kedua, kosakata
yang memiliki dua alternatif makna. Dan ketiga, kosakata yang
memiliki banyak kemungkinan makna yang selaras dengan konteks dan
struktur dalam kalimat yang memakainya.25 Tahap awal yang dilakukan
Toshihiko Izutsu untuk mendapatkan konsep-konsep pokok yang jelas
dalam al-Qur’an adalah menemukan makna dasar dan makna
relasional.
Makna dasar adalah sebuah makna yang melekat pada kata itu
sendiri dan akan selalu terbawa dimana pun kata itu berada. Atau
makna dasar sering disebut dengan makna leksikal yaitu makna
sesungguhnya dari sebuah kata tanpa konteks tertentu. Sedangkan
makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan
ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu
pada posisi khusus dalam bidang khusus, berada pada relasi yang
24 M. Kholisur Rohman Fanani, “Jihad dalam al-Qur’an Perspektif Semantik
Toshihiko Izutsu”. (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah), 38. 25 Muhammad Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar
(Yogyakarta, eLSAQ Press, 2006), 17.
32
berbeda dengan semua kata-kata pentingl ainnya dalam sistem
tersebut.26
Dalam menelusuri makna relasional Toshihiko Izutsu
menggunakan dua model analisis, yaitu analisis sintagmatik dan
paradigmatik. Analisis sintagmatik adalah analisis yang berusaha
menentukan makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata
yang ada di depan dan belakang kata yang sedang dibahas dalam satu
bagian tertentu. Kata-kata tersebut memiliki hubungan ketertarikan satu
sama lain dalam membentuk suatu makna sebuah kata. Analisis
paradigmatik adalah suatu analisis yang mengompromikan kata atau
konsep tertentu dengan kata atau konsep lain yang mirip (sinonimitas)
atau sebaliknya, bertentangan (antonimitas).27
Mencari hubungan makna antar satu konsep dengan konsep lain
(integrasi antar konsep), serta mengetahui posisi konsep yang memiliki
makna yang lebih luas dan posisi konsep yang memiliki makna yang
lebih sempit sehingga menghasilkan pemahaman yang komprehensif
sesuai pandangan dunia al-Qur’an. Istilah-istilah yang digunaknan
dalam analisis ini adalah kata kunci28, kata fokus29, dan medan
semantik30 oleh Toshihiko Izutsu.31
26 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 12. 27 Zulaikhah Fitri Nur Ngaisah, “Keadilan dalam al-Qur’an: Kajian Semantik atas
Kata al-‘Adl dan al-Qisṭ” (SkripsiS1., Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2015), 14. 28 Kata kunci adalah kata-kata yang memainkan peranan yang sangat menentukan
dalam penyusunan struktur konseptual dasar pandangan dunia al-Qur’an. Toshihiko
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 18. 29 Kata fokus adalah kata kunci yang secara khusus menunjukkan dan membatasi
bidang konseptual yang relatif independen dan berbeda dalam kosakata yang lebih besar
dan ia merupakan pusat konseptual dari sejumlah kata kunci tersebut. Kata fokus ini
menjadi prinsip penyatu. Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 18. 30 Medan semantik adalah wilayah atau kawasan yang dibentuk oleh beragam
hubungan di antaranya kata-kata dalam sebuah bahasa. Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan
dan Manusia, 20. 31 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 32.
33
Pada tahapan selanjutnya, Toshihiko Izutsu menggunakan istilah
yang berhubungan dengan kesejarahan kosakata dalam al-Qur’an yang
disebut dengan semantik historis, istilah tersebut sinkronik dan
diakronik. Sinkronik adalah sudut pandang masa dimana kata tersebut
lahir dan berkembang untuk memperoleh suatu sistem kata yang statis.
Dengan sudut pandang ini, akan terlihat unsur-unsur lama yang terlepas
dalam sebuah bahasa, kemudian muncul unsur-unsur baru yang
menemukan tempatnya sendiri dalam sistem bahasa tersebut.
Sedangkan diakronik adalah pandangan terhadap bahasa yang pada
prinsipnya menitikberatkan pada unsur waktu. Dengan demikian,
secara diakronik, kosakata bentuk sekumpulan kata yang masing-
masing tumbuh dan berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang
khas. Kemungkinan dalam suatu masa sebuah kata tersebut
mengandung makna yang penting dalam kehidupan masyarakat, dan
pada masa lain mungkin kata itu mengalami distorsi makna karena ada
kata-kata baru yang muncul. Tidak menutup kemungkinan juga sebuah
kata bisa bertahan dalam jangka waktu lama pada masyarakat yang
menggunakannya.32
Toshihiko Izutsu membagi periode waktu penggunaan kosakata
dalam tiga periode waktu, yaitu pra-Qur’anik (Jahiliyah), Qur’anik, dan
pasca-Qur’anik. Yang menjadi patokan pencarian kosakata pra-
Qur’anik adalah (1) kosa kata Badwi murni masa nomaden, (2) kosa
kata kelompok pedagang, (3) kosa kata Yahudi-Kristen. (4) syair-syair
jahiliyyah. Keempat point tersebut merupakan unsur-unsur penting
kosa kata Arab pra-Islam.33
32 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 32-33. 33 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 35.
34
Pada masa Qur’anik, kosakata al-Qur’an sangat luar biasa,
bahkan tiada taranya sebagai bahasa Wahyu Ilahi, wajarlah semua
sistem pasca al-Qur’an sangat terpengaruh oleh kosa kata al-Qur’an
tersebut. Pada periode pasca-al-Qur’an, Islam banyak menghasilkan
banyak sistem pemikiran yang berbeda khususnya pada masa Abasiyah,
yakni teologi, hukum, teori politik, filsafat, tasawuf. Masing-masing
produk kultural Islam ini mengembangkan sistem konseptualnya
sendiri, kosakatnya sendiri yang mencakup sejumlah subsistem.
Dengan demikian, kita sepenuhnya berhak untuk membicarakan
kosakata teologi, Islam, kosa kata tasawuf dan yang lain-lain menurut
teknis yang berbeda-beda.34
Untuk menentukan mana kosakata dalam al-Qur’an yang dapat
dikategorikan istilah kunci membutuhkan kejelian dari pengkaji.
Sebelumnya, pengkaji terlebih dahulu harus memiliki gambaran
skematik secara umum terhadap semua objek yang ingin dikaji. Untuk
mendapatkan gambaran skematik umum ini, pengkaji dianjurkan
merujuk pada al-Qur’an lansung tanpa melalui telaah atas kajian-kajian
pemikir lain sebelumnya.35
Di antara kata kunci, ada yang menduduki tingkat teratas.
Menurut hasil dari kajian Izutsu, term “Allah” merupakan kata fokus
tertinggi dalam al-Qur’an. Semua kosakata yang ada dalam al-Qur’an
berkorelasi langsung dengan kata sentral ini. Oleh karena itu, Izutsu
tidak ragu menyebut bahwa dunia al-Qur’an pada hakikatnya bersifat
teosentris.36 Term Allah secara historis telah dikenal sejak masa pra-
Qur’anik, namun tidak memiliki posisi paling vital seperti halnya
34 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 42. 35 Fathurrahman, Al-Qur’an dan Tafsirnya, 112. 36 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 24.
35
ketika ia memasuki era Qur’anik dan pasca Qur’ani. Kata ini dahulunya
bernilai setara dengan kata alihah yang berarti tuhan-tuhan.37
Dalam sistem al-Qur’an, semua medan semantik termasuk di
dalamnya semua istilah kunci berada di bawah pengaruh kata fokus
sentral dan tertinggi tersebut. pengaruhnya tidak saja terhadap konsep-
konsep yang secara langsung berhubungan dengan agama dan
keimanan, tetapi juga semua gagasan moral, bahkan juga konsep-
konsep yang mewakili aspek-aspek keduniaan, seperti perkawinan dan
perceraian, warisan, perdagangan, dan lain sebagainya.38
D. Skripsi dan Tesis terkait Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu di
UIN Jakarta
Dari hasil penemuan penulis mengenai karya-karya terkait
pendekatan Toshihiko Izutsu yang berbentuk skripsi dan tesis, penulis
membatasi kajian ini hanya dilingkup karya sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapatkan karya
sarjana di luar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta secara utuh. Adapun
karya ilmiah yang telah dibahas oleh sarjana di lingkup UIN Syarif
Hidayatullah mencakup lima tokoh secara keseluruhan, empat di
antaranya tertuang dalam skripsi dan hanya satu karya ilmiah yang
berupa tesis.
Toshihiko Izutsu merupakan sarjanawan yang memiliki peran
sangat signifikan dalam dunia Islam. Ia adalah salah satu sarjana yang
menggagas metode analitik semantik dalam kajian al-Quran. Menurut
Toshihiko, semantik bukanlah analisis sederhana terhadap struktur
bentuk kata maupun kajian terhadap makna asli yang melekat pada
bentuk kata tersebut (analisis etimologis), tetapi lebih penting lagi
37 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 44. 38 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 22.
36
sebagai kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa
dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian
konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang
menggunakan bahasa tersebut. Ia melakukan pendekatan melalui
metode semantik terhadap al-Qur’an. Menurut Toshihiko sendiri bahwa
al-Qur’an memiliki pandangan dunia atau weltanshauung,39 yang dapat
dikaji dengan metode-metode khusus yang ditemukan dalam semantik
Toshihiko Izutsu. Sehingga banyak para sarjana Universitas Islam
Negeri yang merujuk terhadap semantik Toshihiko Izutsu dalam
mendapatkan pandangan melalui al-Quran itu sendiri. Diantaranya
adalah:
1. Skripsi
Pada pembahasan ini, penulis mengkaji karya ilmiah dari sarjana
yang menggeluti pemikiran Toshihiko Izutsu, terutama dalam bidang
kajian semantik. Penulis mengambil karya ilmiah berupa skripsi yang
dikhususkan di lingkup Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, setidaknya terdapat empat karya skripsi yang
membahas tentang semantik dalam karya Toshihiko Izutsu dengan
menggunakan kata kunci yang berbeda. Berikut adalah skripsi yang
membahas tentang semantik Toshihiko Izutsu:
a. Syaiful Fajar
Syaiful Fajar adalah sarjana UIN Syarif Hidayatullah angkatan
2011. Ia mengangkat tema makna syaiṭān dalam al-Qur’an dan
melakukan analisis menggunakan pendekatan semantiknya Toshihiko
Izutsu. Di bawah bimbingan dosen pembimbing Bapak Eva Nugraha,
M.Ag. Kata syaiṭān menempati posisi yang urgen kaitannya dengan
manusia. Karena ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Qur’an
39 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 3
37
menyebutkan secara berulang-ulang bahwa syaiṭān adalah musuh bagi
manusia. Oleh karena itu, manusia harus mengetahui maksud dan arti
yang sesungguhnya tentang syaiṭān dalam al-Quran.
Penelitian dalam skripsi ini berkaitan tentang makna kata syaiṭān
dalam al-Quran. Data yang digunakan adalah ayat-ayat al-Qur’an yang
membahas mengenai syaiṭān. Penelitian ini menggunakan pendekatan
semantik Toshihiko Izutsu, untuk menemukan makna kata yang
memiliki hubungan kesejarahan makna kata tersebut, sehingga
membangun konsep tentang makna kata tersebut dalam benak manusia.
Bagi Fajar, kata syaiṭān adalah kata kunci yang dapat dianalisis
melalui pendekatan semantic Toshihiko Izutsu, yaitu dengan
menelusuri makna dasar dan makna relasional yang terkandung dalam
kata tersebut dan kaitannya dengan kata-kata lain yang saling mengikat
dalam rangkaian kata sebuah kalimat dalam al-Qur’an. Kata-kata
tersebut dikaji secara sistematis, sehingga dapat melahirkan sebuah
makna yang melingkupi arti sebuah kata secara utuh.
Dalam skripsi tersebut dijelaskan mengenai definisi syaiṭān yang
berasal dari bahasa Arab yaitu syaṭana yang berarti jauh. Kata syaiṭān
disebutkan dalam empat bentuk di dalam al-Qur’an: al-syaiṭān, syaiṭān,
al-syayātīn, dan syayātīn. Masing-masing kata menunjuk pada karakter
yang berbeda. Di antaranya yaitu mengarah pada golongan jin dan
manusia. Al-Qur’an menjadikan kosakata syaiṭān sebagai term yang
senantiasa bermakna buruk untuk manusia, yaitu: menjauhkan manusia
dari menyembah Allah swt., mengganggu diri manusia dan menjadikan
manusia saling bermusuhan. Sehingga setan di dalam al-Qur’an
dikatakan bahwa ia adalah benar-benar musuh yang nyata bagi
manusia.
38
Kata syaiṭān seperti dijelaskan di atas yaitu memiliki makna
dasar “jauh”. Secara sintagmatik kata syaiṭān senantiasa melingkupi
tiga makna, yaitu: yang merusak iman dan aqidah manusia, yang
merusak diri manusia, dan yang menjadi prajurit Nabi Sulaiman As.
Sedangkan secara paradigmatik kata syaiṭān menjalin hubungan
sinonimitas dengan kata al-ins, dan al-jinn. Sedangkan hubungan
antonimitas kata syaiṭān adalah rabb dan raḥmān yaitu Tuhan sendiri.
Kata syaiṭān ini pada masa pra Qur’anik dipahami sebagai
makhluk seperti jin. Sedangkan di masa Qur’anik, kata ini
dikonsepsikan sebagai sifat keburukan yang juga dimiliki manusia,
karena al-Qur’an sendiri menyebutnya dengan syayātīn al-ins wa al-
jinn. Dengan demikian secara semantik, kata syaiṭān bermakna sebagai
suatu bentuk keburukan yang ada pada diri jin dan manusia yang
mengarahkan untuk menjauhi Allah Swt. Menariknya, seperti yang
dibahas dalam skripsi ini, bahwa kata syaiṭān tidak menjadi sosok yang
berdiri sendiri seperti halnya jin dan manusia. Sebaliknya, jin dan
manusia yang sesat dan menyesatkan yang disebut al-Qur’an dengan
istilah syaiṭān.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa, segala hal yang
menunjukkan kepada sikap yang menjauhkan dan meninggalkan Allah
adalah syaiṭān. Ia diciptakan Allah swt untuk menguji manusia dalam
kehidupannya di muka bumi ini. Seperti yang dijelaskan dalam al-
Qur’an bahwa tidaklah manusia mampu lolos dari ujian itu kecuali atas
karunia dan rahmat Allah swt.40
40 Saiful Fajar, “Konsep Syaiṭān Dalam Al-Qur’an: Kajian Semantik Toshihiko
Izutsu” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018).
39
b. Asep Muhammad Pajarudin
Asep Muhammmad Pajarudin adalah sarjana UIN Syarif
Hidayatullah angkatan 2012. Ia mengangkat tema skripsi “Konsep
Munafik dalam al-Qur’an: Analisis Semantik Toshihiko Izutsu”. Di
bawah bimbingan dosen Bapak Eva Nugraha, M.Ag. Menurut Asep
Muhammad Pajarudin tafsir mengenai term munāfiq sampai hari ini
belum terkonsepkan dengan rapih dan belum mengungkapkan makna
lebih dalam seperti makna dasar dan makna relasional. Sehingga
memunculkan justifikasi makna yang berarti munafik antara umat
Islam itu sendiri. Seperti yang terjadi pada proses PILKADA DKI
Jakarta 2016 lalu. Al-Qur’an merupakan pedoman manusia yang
memiliki makna luas dan dalam, yang sebenarnya juga terdapat dalam
term munāfiq. Sehingga skripsi yang dibahas Asep ini merupakan suatu
usaha kecil dalam proses penafsiran tersebut.
Memahami kata munāfiq yang terdapat dalam al-Qur’an
membutuhkan pemaknaan yang mendalam dan menyeluruh. Sebab,
pemahaman konsep munāfiq masih menimbulkan kontroversi. Kata
munafik menjadi kata kunci menarik untuk dikaji dalam studi
linguistik, terlebih lagi al-Qur’an menjadikan kata munafik menjadi
kata kunci religius dalam Islam. Salah satu cabang linguistik yang
mempelajari makna pada sebuah bahasa adalah semantik. Semantik
diartikan oleh ahli bahasa sebagai kajian analitik terhadap istilah-istilah
kunci suatu bahasa tersebut. Pandangan ini tidak saja sebagai alat
bicara dari berpikir, tetapi lebih penting lagi pengonsepan dan
penafsiran dunia yang melingkupinya.41
41 Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: Elsaq
Press, 2006), 166.
40
Dalam skripsi ini, Asep mengungkapkan makna dan konsep yang
terkandung di dalam kata munāfiq yang terdapat di dalam al-Qur’an
dengan menggunakan analisis semantik yang dikembangkan oleh
Toshihiko Izutsu. Proses yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
meneliti makna dasar dan makna relasional kata munāfiq dengan
menggunakan analisis sintagmatik dan paradigmatik, kemudian
meneliti penggunaan kosa kata munāfiq pada masa pra Qur’anik,
Qur’anik dan pasca Qur’anik. Kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini bahwa kata munāfiq dalam al-Qur’an berposisi sebagai
subjek (pelaku) dan objek (yang dikenai perlakuan). Dalam posisi
subjek ditujukan untuk orang atau golongan yang melakukan
kemunafikan dengan dua bentuk sikap atau perilaku, pertama, dalam
bentuk perkataan, dan kedua, dalam bentuk perbuatan. Dalam bentuk
perkatan, yang menjadi sasaran perbuatan mereka adalah kafir dan
mukmin. Dalam bentuk tindakan, yang menjadi sasaran mereka adalah
mukmin dan Allah. Menurut Asep Muhammad, bentuk sikap dan
perilaku mereka bervariatif namun tujuan akhirnya sama, yaitu mereka
mencari keuntungan, menghindar dari kerugian, dan berargumentasi.
Dalam posisi objek, maka Allah menjadi subjek. Orang-orang munafik
disejajarkan dengan kāfir, musyrik, mujrif, dan fāsik. Mereka diancam,
diperangi, dan disiksa.
Kesimpulan tersebut diperoleh setelah Asep Muhammad melihat
makna dasar kata munāfiq (membuat lubang), dan makna relasional
secara sintagmatik dan paradigmatik. Menurutnya, secara sintagmatik
kata munāfiq berelasi dengan kata kadzaba (berbohong), shudūdan
(menghalangi beribadah), khodiūn (penipu), kasala’ (malas beribadah),
riya (tidak ikhlas dalam beribadah), yakbiḍūn ‘aidihim (kikir atau tidak
mau berinfak di jalan Allah), yaktumūn (yang tersembunyi), an- nār wa
41
jahannam mereka sebagai calon penghuni neraka Jahanam. Kata
munāfiq memiliki relasi paradigmatik dengan kāfir, fāsiq, musyrik,
murjifūn, dalam posisi objek dan Allah sebagai subjek. Allah menjadi
subjek maka mereka memiliki posisi yang sama dalam ketentuan Allah,
di ancam, diperangi, dan dimasukan ke dalam neraka.
c. Muflih Hidayatullah
Muflih Hidayatullah adalah sarjana UIN Syarif Hidayatullah
angkatan 2011. Ia mengangkat judul skripsi “Ikhlas dalam al-Quran:
Perspektif Semantik Toshihiko Izutsu,” di bawah bimbingan dosen
pembimbing Bapak Kusmana, MA., Ph.D. Tema makna ikhlas dalam
al-Qur’an diangkat dalam skripsi ini untuk menjawab relevansi
penggunaan ikhlas yang dikaitkan dengan musibah. Dalam menjawab
permasalahan penelitian Muflih menggunakan analisis deskriptif yaitu
dengan menggambarkan data-data yang ditemukan secara apa adanya
dan merekontruksinya melalui kategorisasi sesuai data yang didapat.
Kata ikhlas disebut dalam al-Qur’an sebanyak 31 kali dengan 14
derivasi.42 Di kalangan masyarakat umum, kata ikhlas sudah sangat
familiar. Menurut Muflih banyak masyarakat yang menggunakan kata
ikhlas saat memberi nasihat kepada orang yang sedang dilanda
musibah, misalnya dengan ucapan “yang ikhlas ya.” Si Pengucap
seolah-olah memberikan arahan kepada si pendengar agar rela atas
musibah yang sedang menimpanya. Kata ikhlas dipandang memiliki
makna rela atas sebuah musibah.
42 Muḥammad Fu’ad Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān al-
Karīm (Mesir, Dār al-Kutub, 1945).
42
Ikhlas secara etimologis memang bisa diartikan rela,43 termasuk
rela atas musibah yang sedang melanda. Tetapi istilah tersebut menurut
Muflih belum tentu memiliki arti demikian secara teologis, apalagi jika
penelusuran maknanya digali dari al-Qur’an. Faktanya seluruh ayat al-
Qur’an tentang ikhlas sama sekali tidak ada yang menjelaskan
mengenai musibah. Tidak ada kata ikhlas yang bergumul dalam satu
ayat dengan kata musibah. Oleh karena itu, jika ada penafsiran al-
Qur’an tentang ikhlas yang diartikan musibah, maka perlu diteliti lebih
jauh lagi.
Muflih menjelaskan dalam Tafsir al-Kasysyāf, bahwa ikhlas
hanya berkaitan dengan tiga hal; salat, ibadah, dan tauhid, tidak ada
uraian tentang musibah di dalamnya. Akan tetapi jika ditelusuri lebih
jauh, maka kita akan menemukan bahwa musibah dapat bersentuhan
dengan konsep ikhlas saat ikhlas dikaitkan dengan konsep tauhid; yakni
percaya bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa dan bersikap hanya
menyandarkan diri kepada Allah. Artinya, manakala ikhlas
dikembangkan dari tataran teologis ke tataran etis, maka ikhlas tidak
berbicara tentang tauhid atau keesaan Allah saja, tetapi juga dapat
diartikan sebagai suatu sikap rela menerima musibah.
Dalam penelitiannya Muflih menemukan bahwa penggunaan
ikhlas dalam al-Qur’an dengan pendekatan Toshihiko Izutsu bermakna
ketauhidan, keselamatan, dan terpilih. Hal tersebut Ia buktikan dengan
pencarian makna dasar, makna relasional serta analisis diakronis dan
sinkronis untuk mendapatkan weltanschauung. Menurut Muflih, dalam
analisis skripsinya bahwa ikhlas memiliki makna dasar yaitu murni,
sedangkan makna relasinya berkaitan dengan selamat, terpilih, khusus,
43 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas memiliki salah satu arti
rela. Misalkan meng-ikhlas-kan; merelakan: kami telah – kepergiannya.
43
dan bersih. Atas dasar itulah penelitian mengenai makna ikhlas dalam
al-Qur’an perspektif semantik Toshihiko ini menghasilkan
weltanschauung (paradigma) yang kembali pada konsepsi ketuhanan
dan konsepsi manusia. Dengan demikian weltanschauung ketauhidan
adalah konsepsi tentang ketuhanan, sedangkan selamat dan terpilih
kembali kepada konsepsi manusia.
Dalam konsepsi ketuhanan, dalam skripsi tersebut dijelaskan
bahwa derivasi ikhlas dalam al-Qur’an berhubungan dengan persoalan
agama dan perintah untuk taat. Makna yang mendasar dalam konsepsi
ketuhanan adalah memurnikan. Memurnikan berarti mensucikan Allah
dari segala persifatan-Nya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah
mengesakan Allah. Atas dasar tersebut, weltanschauung ikhlas dalam
konsepsi ketuhanan adalah mentauhidkan Allah.
Sedangkan pada konsepsi manusia, derivasi ikhlas dalam al-
Qur’an berhubungan dengan harapan, terpilih, dibersihkan serta
diselamatkan. Makna mendasar derivasi ikhlas dalam al-Qur’an adalah
suci atau bersih, baik dalam konteks penghambaan, maupun dalam
konteks terpilih (menjadi Nabi). Makna mendasar derivasi ikhlas dalam
konsepsi manusia adalah dibersihkan. Debersihkan dalam konteks
dibebaskan dan diselamatkannya dari dosa maupun siksa. Atas dasar
ini, weltanschauung derivasi ikhlas dalam konsepsi manusia berarti
keselamatan.
Atas dasar weltanschauung di atas dapat dikatakan bahwa
penggunan kata ikhlas dalam keseharian bersifat kontradiktif.
Sebagaimana dalam perspektif umum ikhlas diartikan dengan kerelaan
yang konteksnya pada ranah musibah, akan tetapi ikhlas dalam al-
Qur’an tidak menyinggung sama sekali persoalan musibah. Dari
perspektif al-Qur’an, ikhlas tidak bisa digunakan untuk konteks
44
musibah. Adapun kerelaan dalam makna ikhlas seharusnya dikaitkan
dengan konteks ketaatan dalam hal ibadah kepada Allah swt. Oleh
sebab itu menurut Muflih hasil penelitiannya menggunakan perspektif
Toshihiko Izutsu tersebut menjawab relevansi penggunaan ikhlas dalam
al-Qur’an tidak ada yang berkaitan dengan musibah sama sekali.
Dengan demikian, penggunaan ikhlas yang berkaitan dengan musibah
menjadi tidak relavan.44
d. M. Kholisur Rohman Fanani
M. Kholisur Rohman Fanani merupakan mahasiswa Program
Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta angkatan 2013.45 Ia membahas mengenai
semantik Toshihiko Izutsu dengan judul ”Jihad dalam al-Qur’an
(Perspektif Semantik Toshihiko Izutsu)”. Di bawah bimbingan dosen
pembimbing Bapak Kusmana, MA., Ph.D. Menurutnya, pemahaman
jihad saat ini masih belum mengungkapkan makna lebih dalam seperti
makna dasar dan makna relasional. Sehingga istilah jihad mengalami
perbedaan pemahaman di kalangan masyarakat, bahkan telah menjadi
trend ideologi bagi sebagian umat Islam tersendiri, dengan artian
kadangkala istilah ini mengalami persempitan makna yang berakibat
pada timbulnya hal yang negatif dan juga mengalami perluasan makna
yang dapat menaikan nilai-nilai positif dalam kandungan makna jihad
tersebut.
44 Muflih Hidayatullah, “Ikhlas dalam al-Qur’an Perspektif Semantik Toshihiko
Izutsu” (Skripsi S1., Universitas Islan Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018). 45 M. Kholisur Rohman Fanani, “Jihad dalam al-Qur’an (Perspektif Semantik
Toshihiko Izutsu)” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018).
45
Menurut Ibn Manṣūr, jihad adalah memerangi musuh,
mencurahkan segala kemampuan dan tenaga berupa perkataan,
perbuatan atau segala sesuatu yang seseorang mampu. Hans Wehr
mengartikan, jihad yaitu perjuangan, bertempur, dan perang suci
melawan musuh-musuh sebagai kewajiban agama yang haq. Beberapa
pakar yang lain juga mendefinisikan kata jihad yaitu menurut al-Raghib
al-Asfāhānī menyatakan bahwa jihad adalah mencurahkan kemampuan
dalam menahan musuh. Di dalam skripsi tersebut juga dijelaskan
bahwa jihad sendiri ada tiga macam. Pertama, berjuang melawan
musuh yang tampak. Kedua, bertujuan menghadapi setan. Ketiga
menghadapi hawa nafsu.46
Saat ini kalimat jihad banyak dihubungkan dengan kata al-ḥarb,
al-qitāl, dan al-gazwah. Padahal tidak semua kata jihad itu berarti
perang.47 Sejumlah orang yang salah mengartikan bahwa yang disebut
dengan jihad akbar adalah perjuangan melawan hawa nafsu, maka
perjuangan di bidang ekonomi, sosial, politik, dan meliter, tidak perlu
diprioritaskan.48
Term jihad dengan berbagai bentuknya, dalam al-Qur’an terulang
sebanyak 28 kali, empat kali dalam ayat makkiyah dan 24 kali dalam
ayat madaniyah.49 Adapun yang berkenaan dengan pembicaraan
konsepsi jihad dan menjelaskan tentang substansi jihad sebagai ujaran
agama terdapat tiga ayat pada tiga Surah Makkiyah dan 24 ayat pada 13
surah Madaniyah, selebihnya hanya digunakan dalam konteks lain yang
46 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Mauḍu’i Berbagai Persoalan
Umat, cet. VIII (Bandung: Mizan, 1998), 40. 47 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), 1394. 48 M. Chirzin, Jihad dalam al-Qur’an Telaah Normatif, Historis, dan Prospektif
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), 4. 49 Muḥammad Fu’ad Abd al-Bāqī, al-Mu‘jam al-Mufahrās li Alfāẓ al-Qur’an al-
Karīm (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), 232.
46
tidak berkaitan dengan substansi jihad. Namun, secara sistematis masih
digunakan dalam pengertian jihad menurut bahasa (etimologis) berarti
kesungguhan dalam mencapai tujuan.50 Jihad merupakan bagian
integral wacana Islam sejak masa-masa awal muslim hingga
kontemporer. Pembicaraan tentang jihad dan konsep-konsep yang di
kemukakan sedikit atau banyak mengalami pergeseran dan perubahan
sesuai konteks dan lingkungan masing-masing pemikir.51
Di samping pengertian umum tersebut, ada juga pengertian
khusus yang dikemukakan oleh berbagai ulama. Imam Syafi’i
mendefinisikan makna jihad dengan memerangi kaum kafir untuk
menegakkan Islam. Pengertian inilah yang secara luas dibicarakan
dalam kitab-kitab fikih yang senantiasa dikaitkan dengan pertempuran,
peperangan, dan ekspedisi meliter.52
Sedangkan Ibn Taimiyah berkata di dalam kitabnya Muṭālib Ūlī
al-Nuhā, yaitu, jihad yang diperintahkan ada yang digunakan dengan
hati (seperti istiqamah untuk berjihad dan mengajak kepada syariat
Islam), argumentasi (memberi argumentasi kepada yang batil),
penjelasan (menjelaskan kebenaran, menghilangkan ketidakjelasan, dan
memberikan pemikiran yang bermanfaat untuk Islam), dan tubuh
(seperti berperang). Jihad wajib dilakukan jika seluruh hal tersebut bisa
dilakukan.53
50 Rohimin, Jihad: Makna dan Hikmah (Jakarta: Erlangga, 2006), 16. 51 M. Chirzin, Jihad dalam al-Qur’an Telaah Normatif, Historis, dan Prospektif,
1. 52 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ichtar Baru
Van Hoeve, 2001), 315. 53 Yusuf Qarḍawi, Fiqih al-Jihad, terj. Irfan Maulana, dkk (Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2010), 5.
47
Dari beberapa penjelasan ulama dan cendekiawan Muslim di atas,
pemaknaan jihad memiliki konsep yang berbeda-beda. Hal ini
dimungkinkan karena perbedaan sudut pandang dan metode
pemahaman yang digunakan dalam mengkaji makna kata tersebut.
Bagi M. Kholisur Rohman, kata jihad merupakan kata kunci yang
dapat dikaji melalui metode semantik, yaitu dengan menelusuri makna
dasar dan makna relasional yang terkandung dalam kata tersebut dan
kaitannya dengan kata-kata lain yang selain mengikat dalam rangkaian
kata sebuah kalimat dalam al-Qur’an. Kata-kata tersebut dikaji secara
sistematis, sehingga dapat melahirkan sebuah makna yang melingkupi
arti sebuah kata secara utuh.
Dalam skripsi tersebut, M. Kholisur Rohman mengungkapkan
makna yang terkandung di dalam term jihad yang terdapat pada al-
Qur’an dengan menggunakan analisis semantik yang dikembangkan
oleh Toshihiko Izutsu. Semantik menurut Toshihiko Izutsu berusaha
menyingkap pandangan dunia al-Qur’an (weltanschauung) melalui
analisis sintagmatik dan paradigmatik kemudian meneliti penggunaan
kata jihad pada masa pra Qur’anik, Qur’anik dan pasca Qur’anik.
Berdasarkan uraian yang dipaparkan, jihad sangat erat dengan
sesuatu yang sulit, susah, payah, dan sejenisnya, sehingga menuntut
kemampuan tertentu al-Qur’an menggunakan banyak istilah untuk
menunjuk jihad, di antaranya adalah al-qitāl, al-ḥarb, al-ghazwu, al-
nafr, dan al-irhāb (teror), padahal pemaknaannya tidak tepat dari
sekian term yang digunakan al-Qur’an, ditemukan bahwa masing-
masing term tersebut mempunyai karakter dan penekanan.
Term al-jihad sendiri menunjukkan bahwa jihad tidak semata-
mata mencurahkan kemampuan menghadapi musuh, kesulitan dan
kesungguhan, akan tetapi dapat diartikan pengendalian diri, bijaksana,
48
dan bersabar dalam menghadapi cobaan dan penganiayaan. Term al-
qitāl memberi kesan bahwa ayat-ayatnya semua diturunkan pada
periode Madinah dan mempertegas pengertian jihad dalam konteks
perang di jalan Allah. Term al- ḥarb digunakan dalam konteks yang
berbeda-beda, yaitu perang, nama tempat (miḥrāb) dan azab.
Pernyataan perang dalam term al-ḥarb tidak selamanya berobjek
kepada orang-orang kafir tetapi juga untuk menyatakan sikap-sikap
orang munafik yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Term al-ghazwu
memberi kesan bahwa jihad di sini bermakna perang melawan musuh
yang nyata dengan melakukan perang fisik. Dan al-Qur’an menegaskan
bagaimana sikap yang harus diambil orang kaum mukmin dalam suatu
peperangan. Sedangkan term al-nafr memberikan pemahaman bahwa
adanya perintah dianjurkan kepada kaum muslimin agar melakukan
jihad secara fisik atau terjun langsung ke medan perang.
Kesimpulan dari skripsi tersebut bahwa kata jihad merupakan
kewajiban bagi setiap muslim sesuai dengan kesanggupan dan
kemampuan masing-masing. Namun jihad seringkali dipahami sebagai
(al-qitāl) perang, padahal jihad yang diperintahkan al-Qur’an tidak
terbatas pada jihad dalam makna perang, akan tetapi mencakup banyak
aktifitas keagamaan yang lain. Jihad dalam periode Mekkah dilakukan
bukanlah dengan perang, tetapi dengan mencurahkan segala
kemampuan menghadapi orang-orang musyrik dengan kalimat yang
menyentuh nalar dan kalbu, karena melihat situasi dan kondisi umat
Islam yang masih lemah dan belum memiliki kekuatan fisik. Sementara
jihad dalam periode Madinah, lebih cenderung diartikan dengan perang
yaitu upaya kaum muslim untuk membalas serangan yang ditujukan
kepada mereka. Dengan melalui beberapa proses seperti hijrah,
49
larangan bersekutu dengan orang kafir, perintah berperang, dan
berjihad dengan harta dan jiwa.
2. Tesis
Penulis hanya menemukan satu karya ilmiah berupa tesis yang
ditulis oleh Fathurrahman dengan judul “Al-Qur’an dan Tafsirnya
dalam Perspektif Toshihiko Izutsu”. Di bawah bimbingan dosen
pembimbing Bapak Dr. Yusuf Rahman. M.A. Fathurrahman
merupakan mahasiswa Sekolah Pascasarjana Bidang Pendidikan
Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Fathurrahman menjelaskan bahwa kajian mengenai al-Qur’an
tidak hanya dilakukan oleh umat Muslim, tetapi juga oleh kalangan
non-Muslim. Akan tetapi kelompok yang disebut terakhir tidak
memandang al-Qur’an sebagaimana kelompok pertama. Mayoritas
kaum Muslim meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalām Allah yang
diturunkan kepada Muhammad melalui perantara Jibril, kemudian
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara mutawātir,
yang tertulis dalam mushaf dan membacanya dianggap ibadah.54
Keyakinn demikian pada gilirannya menimbulkan ketertarikan dalam
diri kaum Muslim tersebut untuk memahami kandungan al-Qur’an,
sehingga melahirkan karya melimpah yang terhimpun dalam kitab-
kitab tafsir. Sementara non-Muslim pada umumnya memandang bahwa
al-Qur’an bukanlah firman Tuhan, tetapi sebagai ucapan Muhammad.
Ketertarikan umat Muslim untuk mengkaji al-Qur’an,
menurutnya, tentu saja tidak menimbulkan keheranan, karena al-Qur’an
adalah kitab suci dan pedoman hidup mereka, sehingga merupakan
suatu kewajiban jika mereka mencurahkan segenap perhatian dalam
54 J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J.
Brill, 1974), 1-2.
50
memahami ajaran-ajarannya untuk membimbing diri mereka dalam
menempuh kehidupan yang sesuai dengan tuntunan kitab suci tersebut.
Sebaliknya, ketertarikan non-Muslim terhadap al-Qur’an sering
mengundang tanda tanya. Apa motivasi yang mendorong mereka
mendedikasikan hidupnya untuk menggeluti al-Qur’an, sementara
dalam hati mereka tidak ada keyakinan terhadap al-Qur’an dan ajaran-
ajarannya sebagai berasal dari Tuhan.
Kajian non-Muslim terhadap al-Qur’an telah muncul sejak awal
kitab suci tersebut diwahyukan kepada Muhammad dan terus berlanjut.
Sejak abad pertengahan aktivitas ini tidak bisa dipisahkan dari
orientalisme.55 Orientalisme ini memiliki akar historis sejak adanya
polemik keagamaan antara kaum Yahudi dan Kristen dengan kaum
Muslim pada masa awal. Polemik ini berlangsung bersama dengan
makin meluasnya kekuasaan kekhalifahan Islam ke Suriah,
Yarussalem, dan Mesir di belahan Timur, dan sampai ke Afrika Utara,
Spanyol, dan Sicilia di belahan Barat.
Orientalisme mulai menemukan fokusnya yang lebih jelas pada
abad ke-11, tepatnya seiring dengan pecahnya perang Salib (1096-
1291). Akibat perang Salib, kelompok intelektual di Barat mulai
menaruh perhatian terhadap Islam. Aktivitas ilmiah yang menandai
awal munculnya kajian orientalis terhadap Islam adalah penerjemahan
al-Qur’an ke dalam bahasa Latin oleh Robert dari Ketton (Robertus
Retenensis), yang selesai pada tahun 1143. Dari bahasa Latin inilah
kemudian al-Qur’an diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa.
55 Joesoef Sou’yb memberikan definisi orientalisme sebagai suatu paham atau
aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di
Timur beserta lingkungannya. Lebih jauh ia juga mendefinisikan orientalisme dalam arti
sempit sebagai kegiatan penyelidikan ahli-ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama
di Timur, khususnya tentang agama Islam. Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, cet.
III (Jakarta: Bulan Ibntang, 1995), 1-2.
51
Di sisi lain perang Salib juga menimbulkan kesalahpahaman
Barat terhadap Islam. Hal ini dapat dipahami karena dalam suasana
konflik perang, dengan sendirinya akan sulit melahirkan pandangan
yang positif satu sama lain. Sebab memandang Islam secara negatif,
maka dengan sendirinya sarjana-sarjana Barat juga memandang negetif
terhadap al-Qur’an.
Namun, Pandangan sarjana-sarjana non-Muslim terhadap Islam
tidak selamanya negatif. Di penghujung abad ke-16 sampai dengan
abad ke-18, yang sering disebut abad pencerahan (enlightment eges),
mulai terjadi pergeseran dalam cara pandang mereka. Kesan negatif
yang tadinya mendominasi karya-karya mereka, mulai berkurang.
Seperti pada penelitian tesis ini, bahwa pandangan positif terhadap
Islam jika diperhatikan dengan sikap terbuka, tanpa kecurigaan akan
motif-motif yang tersembunyi , kajian non-Muslim dapat membuka
horizon baru dalam kajian Islam. Untuk tujuan demikian, maka dalam
tesis tersebut melakukan penelusuran terhadap pendekatan dan karya
Toshihiko Izutsu, seorang sarjana Jepang penganut Zen Bushism,
tentang al-Qur’an. Menurutnya juga, terdapat beberapa alasan
pemilihan terhadap Toshihiko Izutsu. Pertama, tokoh tersebut
merupakan sosok intelektual yang dikenal memiliki pengetahuan yang
baik tentang Islam. Bahkan menurut Seyyed Hussein Nasr, Toshihiko
Izutsu adalah seorang sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan
oleh Jepang dan seorang tokoh yang mumpuni di dalam bidang
perbandingan filsafat. Selain itu, Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama
pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius
tidak hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak
hanya melakukan perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan
persinggungan serius pertama antara arus intelektual yang lebih dalam
52
dan utama antara pemikiran Islam dan Timur jauh di dalam konteks
kesarjanaan modern. Sebagai pelengkap kecermelangannya, ia
menguasai lebih dari tiga puluh bahasa dunia termasuk Yahudi, Persia,
Cina, Turki, Sansekerta, dan Arab, serta beberapa bahasa Eropa
lainnya.
Kedua, ia merupakan sarjana non-Muslim yang dengan metode
dan pendekatan yang dipakainya kalau dibanding dengan sikap terbuka,
tanpa kecurigaan akan tujuan negatif yang tersebunyi dapat membuka
cakrawala baru atau mengingatkan lagi pada khazanah yang selama ini
terlupakan. Di antara sebabnya, menurut Machasin, karena kalangan
non-Muslim (outsiders) relatif dapat bersikap lebih netral terhadap
data-data historis yang tersimpan dalam karya-karya kaum Muslim
sendiri.56
Dari pembahasan tesis ini, dapat disimpulkan bahwa wahyu
sebagai suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep yang
berhubungan dengan tiga individu, yaitu Tuhan sebagai pengirim
pesan, Muhammad sebagai penerima pesan, dan Jibril sebagai
perantara (channel) dalam pengiriman pesan tersebut agar sampai
kepada penerima, yaitu Muhammad. Pemilihan bahasa Arab sebagai
bahasa al-Qur’an bukan karena superioritas bahasa ini dibanding
bahasa-bahasa lain, tetapi lebih merupakan teknis penyampaian pesan.
Dengan demikian pendapat Toshihiko Izutsu terhadap proses
pewahyuan sejalan dengan mayoritas umat Muslim yang menyatakan
bahwa al-Qur’an diturunkan Tuhan melalui perantara malaikat Jibril
dalam bahasa Arab.
56 Muchasin, “Kata Pengantar” untuk edisi terjemahan bahasa Indonesia dalam
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung.
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan Dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-
Qur’an, xiii.
53
Di sisi lain, Toshihiko Izutsu menyatakan bahwa pandangan
dunia al-Qur’an bersifat teosentris. Hal ini dibuktikan bahwa tidak ada
satupun istilah kunci dalam al-Qur’an yang tidak terkait dengan kata
fokus tertinggi, yaitu Allah. Pembuktian ini dilakukan dengan
menggunakan metode analisis semantik yang dipahaminya bukanlah
analisis sederhana terhadap struktur bentuk kata maupun kajian
terhadap makna asli (makna denotatif) yang melekat pada bentuk kata
tersebut atau analisis etimologis, tetapi sebagai suatu kajian analisis
terhadap istilah-istilah kunci dari suatu bahasa dengan maksud untuk
akhirnya menangkap pandangan dunia (weltanchauung) dari orang-
orang yang menggunakan bahasa itu tidak hanya sebagai alat untuk
berbicara dan berpikir, namun lebih penting lagi sebagai alat untuk
menangkap dan menerjemahkan dunia yang mengelilinginya.
Dari empat karya skripsi mahasiswa Universitas Negeri Islam
Syarif Hidayatullah di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa dari
setiap tema yang dikemukakan berusaha menemukan makna dasar
setiap kata, kemudian mencari makna relasional yang mengelilingi
makna dasar tersebut. Kemudian melakukan analisis mendalam
terhadap kata yang ingin diteliti baik itu melalui sejarah penggunaan
kata tersebut sebelum diturunkannya al-Qur’an, pada masa diturunkan
al-Qur’an dan setelah al-Qur’an itu diturunkan. Sedangkan dari karya
ilmiah yang berupa tesis, lebih kepada al-Qur’an dan tasirnya dalam
kajian non-Muslim yang dikhususkan kepada Toshihiko Izutsu dalam
menjelaskan al-Qur’an sebagai pandangan dunia (weltanchauung). Dari
sederetan analisis yang mereka lakukan melalui langkah-langkah
kongkrit yang ditunjukkan Toshihiko, akhirnya mereka menemukan
bahwa setiap kata yang mereka kaji dan teliti memiliki wawasan yang
54
luas, tidak hanya kata dengan makna yang dipahami secara umum,
namun lebih kepada konsep-konsep yang luas dari hanya sekedar kata.
55
BAB III
DEFINISI KHUSYŪ‘
Pada dasarnya kata khusyū‘ merupakan salah satu kata yang tidak
asing bagi seorang muslim bahkan di seluruh dunia, terutama negara-
negara Islam. Kata ini sangat populer sehingga hampir semua muslim
mengetahui kata ini. Akan tetapi, belum semua muslim mengetahui
kata ini sesuai dengan apa yang hendak diajarkan al-Qur’an. Hal ini
terjadi karena al-Qur’an tidak memberikan definisi tentang khusyū‘, al-
Qur’an hanya memberikan patokan-patokan yang mengantarkan
seseorang kepada ke-khusyū‘an. Kata khusyū‘ sering digunakan pada
perkara ibadah terutama salat. Berdasarkan informasi ayat-ayat al-
Qur’an yg berkaitan dengan khusyū‘ maka didapati pengertian
bermacam-macam yang intinya tetap mengacu kepada ‘ketundukan dan
rasa takut’.1 Bervariasinya pengertian khusyū‘ dalam al-Qur’an ini
menunjukkan bahwa sifat khusyū‘ tidak hanya berlaku dalam satu
konteks ibadah saja seperti salat akan tetapi bisa meluas kepada
berbagai aspek baik yang berhubungan dengan ibadah maupun yang
non ibadah. Oleh karena itu, pada bagian bab ini akan dibahas
mengenai pengertian khusyū‘ menurut beberapa ulama berdasarkan
interpretasi makna di dalam al-Qur’an serta kategorisasi ayat mengenai
khusyū‘.
A. Pengertian Khusyū‘
Kata khusyū‘ merupakan bentuk masdar dari kha sya ‘a (خ ش ع)
yang mengikuti wazan fa‘ala (فعل) yang berati memiliki pengertian
tunduk ( الخضوع, tenang (السكون), dan merendahkan (التذلل).2 Dalam
1 Ahmad Ibn Faris, Mu‘jam Maqāyis al-Lughah, jilid 2 (Beirut: Dār al-Fikr, 1979),
182. 2 Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus al-Bisri (Surabaya: Pustaka Progresif,
1999), 160.
56
kamus Mu‘jam Maqāyis al-Lughah, (خشع) merupakan satu rangkaian
huruf yang membentuk kata berindikasi menunduk. Kata ini berarti
menunduk dan mengangguk-anggukan kepala. Khusyū‘ juga identik
dengan khuḍu’, hanya saja khuḍu’ digunakan untuk tubuh dan khusyū‘
digunakan untuk suara dan pandangan.3
Dalam kamus Mahmud Yunus juga dikatakan bahwa kata
khusyū‘ berasal dari akar kata‚ khasya‘a – yakhsya‘u - khusyū‘an yang
berarti tunduk, rendah, takluk.4 Sedangkan dalam Qamūs al-Qawīm,
arti kata khusyū‘ adalah‚ tenang (al-sukūn), tunduk (al-khuḍū’), dan
merendahkan diri‛ (al-istakānah) 5.
Beberapa pendapat menyamakan antara khusyū‘ dan khuḍū’,
hanya saja al-khuḍū’ identik terjadi pada tubuh, sedangkan al-khusyū‘
terjadi pada tubuh, suara, dan pandangan.6 Sedangkan menurut Ibn
Katsir khusyū‘ pada suara dan pandangan sama artinya dengan khuḍū’
pada tubuh.7
Aṣfahānī mengatakan bahwa khusyū‘ sama artinya dengan aḍ-
ḍarā’ah, hanya saja kata al-khusyū‘ lebih banyak digunakan oleh
anggota badan, sedangkan kata aḍ-ḍarā’ah digunakan untuk sesuatu
yang terdapat di dalam hati.8 Sama halnya Ibn Qayyim berpendapat
bahwa khusyū‘ secara bahasa memiliki arti tunduk, merendah dan
3 Ahmad Ibn Faris, Mu‘jam Maqāyis al-Lughah, 182. 4 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus
Wadzuryah, 1990), 116. 5 Ibrāhīm Ahmad ‘Abdul Fatīh, al-Qamūs al-Qawīm li al-Qur’ān al-Karīm, juz 1
(Al-Azhār: Mujma’ al-Buhūs al-Islāmiyyah, 1983), 194-195. 6 Said Ibn Ali Ibn wahf al-Qahthani, Khusyuk dalam Salat Menurut al-Qur’an
dan as-Sunnah, terj. Abu Anisa Farid Abdul Aziz Qurusy (Yogyakarta: Darul Uswah,
2013), 17. 7 Ibn al-Katsir, al-Nihāyah fī Gharīb al-Hadiṡ wa al-Aṡār (Riyāḍ: al-Maktabah al-
Islamiyah, T.Th), 34. 8 Ar-Rāghib al-Aṣfahānī, al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān, jilid 1 (T.Tp:
Maktabah Nazār Mustafā al-Bāz, T.Th), 197.
57
tenang.9 Al-Fayumī juga berpendapat bahwa khusyū‘ itu artinya
tunduk.10 Sedangkan menurut al-Qurtubī, khusyū‘ ialah suatu keadaan
di dalam jiwa di mana dia mewujudkan keadaan tetap (tenang) dan
merendah diri segala anggota badan.11 Dari semua uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa khusyū secara bahasa mengidentifikasikan suatu
sikap tunduk, tenang, dan merendah.
Secara istilah terdapat beberapa pendapat yang mendefinisikan
tentang khusyū‘ di antaranya adalah al- Qusyairi dalam ar-Risālat al-
Qusyairiyyah memberikan berbagai macam definisi khusyū‘ yang
diambil dari para ulama tasawuf. Di antaranya adalah takut secara
konsisten untuk kepentingan hati, tunduknya hati dengan berperilaku
baik, dan keringnya hati dan perasaan rendah ketika berada di hadapan
Allah.12 Menurut Salim al-Hilali, khusyū‘ adalah lembutnya hati
manusia, redupnya hasrat yang bersumber dari hawa nafsu dan
halusnya hati karena Allah. Sehingga menjadi bersih dari rasa sombong
dan tinggi hati. Pada saat itulah, perasaan berada di hadapan Allah akan
menguasai seorang hamba, tenteram, tenang, tunduk, terenyuh dan
tersentuhnya hati. Hati yang khusyū‘ akan selalu diikuti oleh
khusyū‘nya seluruh anggota badan. Hati yang khusyū‘ akan diikuti oleh
khusyū‘ nya pendengaran, penglihatan, kepala, wajah, dan seluruh
anggota tubuh, dan berikut segala sesuatu yang timbul darinya.13
sebagaimana sabda Rasulullah SAW. :
9 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madāriju as-Sālikin (Riyadh: Dar as-Ṣami’i, 2011),
1321. 10 Al-Fayyumī, al-Mishbāḥ al-Munīr (Beirut: Maktabah Lubnān, 1897), 65. 11 Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad al-Ansārī’ al-Qurtubī, al-Jāmi’ li Aḥkām
al-Qur’ān, juz 12 (Dār al-Fikr, 1414 H/1993 M), 103. 12 Abu al-Qāsim al-Qusyairi, Al-Risālah al-Qusyairiyyah (Kairo: Dār asy-Sya’b,
1989), 168. 13 Ibn Rajab al-Hanbali, Khusyū fī Sholāt (Kairo: Dār al-Risalah, 2009), 5.
58
ال س د ك وه أ و ن ن ف ال س د م ضغ ة ن ذ ا ص و ح ت ص و ح ال س د ك وه و ن ذ ا ف س د ت ف س د ي الق وب
و ه “Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang
apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka
rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati”.14
Maka jika hati seseorang khusyū‘, pendengaran, penglihatan,
kepala, wajah dan semua anggota badannya ikut khusyū‘, bahkan
semua yang bersumber dari anggota badannya.15 Definisi mengenai
khusyū‘ menurut para mufassir ini dapat dilihat di lampiran.
B. Inventarisasi Kata Khusyū‘ dalam Al-Qur’an
Setelah melakukan penelusuran terhadap ayat-ayat al-Qur’an
yang di dalamnya memuat kata khusyū‘ melalui kitab-kitab mu’jam,
seperti al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qurān al-Karīm karya
Muhammad Fu’ād ‘Abdul al-Bāqī, Mu‘jam Mufradāt Alfāẓ Al-Qur’ān
karya ar-Rāghib al-Aṣfahāni, Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān karya ar-
Rāghib al-Aṣfahāni, melalui indeks al-Qur’an. Penulis menemukan kata
khusyū‘ ini terulang sebanyak 17 kali dengan segala derivasinya dan
terdapat di 16 Surah.16
14 Zainudin Ahmad Ibn Abdul Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari,
terj. Achmad Zaidun, Ringkasan Hadits Shaheh al-Bukhari (Jakarta: Pustaka Amani,
2002), 29. 15 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madāriju al-Sālikin, 521. 16Muḥammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu‘jam al-Mufahrās li Alāẓ al-Qur’an al-
Karīm (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), 233.
59
Tabel 3.1: Rekapitulasi kata khusyū‘ dan derivasinya:
N
o Lafaz Makna Surah Ayat Historis
Merendahk
an diri
Al-
Anbiyā’:
90
ي ن ل ل ه و و ه ي ف لست ج ن ل ل ه لن وا و أ صو حن ل ل ه ز وج ه ن م ك ل و ي دل ون ن ي س لر ل ون ف اخ ات
و ر ه يل و ك لن وا ل ر غ يل ع ن ل خ لش
Makkiyah
Merendahk
an diri,
takut,
tunduk
Asy-
Syūra: 45
و ت ر اه م ي عر ض ون ل و ع ي ه ل خ لش رف م ن الذل ي نظ ر ون م ن ط
ي و ق لل الذ ين آم ن وا ن ن خ ف
ر ين الذ ين خ س م ه ر وا أ نف س اخ لس م ي وم الق ي لم ة أ ن ن و أ هو يه
اب م ف ل ذ ق يم الظلل م
Makkiyah
خاشعين .1Merendahk
an diri
Āli
‘Imrān:
199
م ن و ن ن م ن أ هل الب ت لب ل لل و م ل أ نز ل ن ل يب م و م ل ي ؤم ن ب
م أ نز ل ن ل يه ع خ لش لل ت الل ي نل ق و يا ي عت ون ب
ن ند ر ب م ن أ ول ئ ك ل م أ جر ه م ل الل س ر يع ال س لب
Madaniyyah
Taat,
tentram,
takut.
Al-
Baqarah:
45
لصب ل و الصا و ن و است ع ين وا ب ل و ٱ اخ إ ن ل ب ي ع لش Madaniyyah
Merendahk
an diri
Al-
Aḥzāb:
35
و الم سو م لت الم سو م و الم ؤم ن لت و الق لن ت و الم ؤم ن
و الق لن ت لت و الصلد ق و الصلد ق لت و الصلب ر ين ع و الصلب ر ات و اخ لش
ع لت و الم ت ص د ق و اخ لش و الم ت ص د ق لت و الصلئ م
ف ر وج ه م و الص لئ م لت و ال لف ظ
Madaniyyah
60
ا ث و ال لف ظ لت و الذاك ر ين الل ك و الذاك ر ات أ ل د الل ل م مغف ر
و أ جرا ل ظ يمل
Menunduk
kan
pandangan
An-
Nāzi’at:
9
ع ةإ Makkiyah أ بص لر ه ل خ لش
Kering dan
gersang
Al-
Fuṣṣilat:
39
ت ه أ نك ت ر ى ال رض و م ن آي ع ة ف إ ذ ا أ نز لن ل ل و ي ه ل الم لء خ لش ل اهت زت و ر ب ت ن ن ال ذ ي أ حي له
و ٱ ك ل ل م حي ي الم وت ٱ ن نه ل ش يء ق د يرإ
Makkiyah
خاشعة .2Menunduk
kan
pandangan
Al-
Ma‘ārij:
44
ع ة أ بص لر ه م ت ره ق ه م ذ لةإ خ لش ا ي ول د ون ذ ل ك الي وم الذ ي ك لن و Makkiyah
Menunduk
kan
pandangan
Al-
Qalam:
43
ع ة أ بص لر ه م ت ره ق ه م ذ لةإ خ لش السج ود و ق د ك لن وا ي دل ون ن ل
س لل م ون و ه م Makkiyah
Menunduk
terhina
Al-
Ghāsyiah
: 2
ع ةإ Makkiyah و ج وهإ ي وم ئ ذ خ لش
Menunduk خاشعون .3
kan hati
Al-
Mu’minū
n: 2
ت ع ون الذ ين ه م ف ص ا م خ لش Makkiyah
اشع .4 الخ ا Merendahk
an Diri
Al-
Aḥzāb:
35
و الم سو م لت ن ن الم سو م و الم ؤم ن لت و الق لن ت و الم ؤم ن
و الق لن ت لت و الصلد ق و الصلد ق لت و الصلب ر ين ع و الصلب ر ات و اخ لش
ع لت و الم ت ص د ق و اخ لش و الم ت ص د ق لت و الصلئ م
ف ر وج ه م و الص لئ م لت و ال لف ظ ا ث و ال لف ظ لت و الذاك ر ين الل ك و الذاك ر ات أ ل د الل ل م مغف ر
و أ جرا ل ظ يم
Madaniyyah
61
Tunduk خاشعا .5
Al-
Ḥasyr:
21
ا الق رآن ل و ٱ ج ي ل ل و أ نز لن ل ه ذ عل مت ص لر أ ي ت د لل م ن ه خ لش
ب ل مث لل ن ضر خ عي ة الل و ت وك ال بر ونل ونلس ل ع وه م ي ت ف
Madaniyyah
خشعا .6tertunduk
Al-
Qomar: 7
ج ون م ن خ ععل أ بص لر ه م ي ر رإ ال جد اث ك أ م ج ر ادإ م نت ع Makkiyyah
7. عأنتخش Tunduk
hati
Al-
Ḥadīd:
16
أ ن ت ع ع أ ل ي ن ل وذ ين آم ن وام ل ن ز ل م ن ق و وب م ل ذ كر الل و
ذ ين أ وت وا ال ق و ي ب ون وا ك لل ل ل و يه م الب ت لب م ن ق يل ف ط ل
إ ق و وب ال م د ف ق س ت م و ك ث ق ون ن ه م ف لس م
Madaniyyah
8. Merendahk خشعت
an suara
Ṭāha:
108
ي ل و ي وم ئ ذ ي تي ع ون الد ال
ل ورح ن ل ه و خ ع ع ت ال صو ات ف ا ت سم ع ن ه سل
Makkiyah
خشوعا .9Tunduk Al-Isrā’:
ه م ب ون و ي ز يد و ي رون ل لأ ذق لن ي ي Makkiyah خ ع وع
Berdasarkan bentuknya, derivasi term khusyū‘ muncul sebanyak
13 kali dalam bentuk isim fā‘il, sebagaimana terdapat dalam Surah al-
Anbiyā’ ayat 90, asy-Syūra ayat 45, Āli ‘Imrān ayat 199, al-Baqarah
ayat 45, al- Aḥzāb ayat 35, al-Mu’minūn ayat 2, al- Ḥasyr ayat 21, al-
Fuṣṣilat ayat 39, an-Nāzi’at ayat 9, al- Ma‘ārij ayat 44, al-Qalam ayat
43, al-Ghāsyiah ayat 2, dan al-Qamar ayat 7.
Derivasi khusyū‘ dalam bentuk fi’il māḍi, khasya’at disebut
dalam al-Qur’an satu kali pada Surah Ṭāha ayat 108. Begitu juga
penyebutan khusyū‘ dalam bentuk fi’il muḍari’ dan Maṣdar yang
masing-masing hanya disebutkan satu kali dalam Al-Qur’an.
Penyebutan khusyū‘ dengan fi’il muḍari’ muncul pada Surah al-Ḥadīd
62
ayat 16, sedangkan dalam bentuk maṣdar muncul pada Surah al-Isrā’
109.
C. Kategorisasi dan Penafsiran Ayat Khusyū‘ dalam al-Qur’an
Ayat-ayat khusyū‘ dalam al-Quran dapat dikategorikan dalam
beberapa hal berikut:
1. Khusyū‘ Sebagai Sifat yang Harus Ada dalam Salat.
Terdapat pada Q.S. Al Mu’minūn. [23]:1-2.
ع ون ع ت م خ م ف ص ا ين ه ن ون ٱلذ ؤم م و ح ٱل ق د أ ف “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)
orang-orang yang khusyū‘ dalam sembahyangnya.”17
Allah menerangkan bahwa salah satu tanda seorang mukmin yang
beruntung adalah yang khusyū‘ dalam salatnya. Kata Qad dalam ayat
tersebut menunjukkan tahqīq bahwa Allah benar-benar memberikan
kemenangan dan keberuntungan bagi orang-orang mukmin, yang salah
satu tandanya adalah orang yang khusyū‘ salatnya.18
Terdapat beberapa pendapat tentang khusyū‘ dalam salat. Quraish
Shihab mengatakan bahwa khusyū‘ dalam ayat ini diartikan oleh
sebagian ulama sebagai rasa takut jangan sampai salat yang
dikerjakannya tertolak. Rasa takut ini ditandai dengan ketundukan mata
ke tempat sujud dan kerendahan hati.19 Sama halnya al-Ṭabarī
menambahkan pengertian khusyū‘ (خشوع), berdasarkan beberapa
riwayat yang dikemukakannya dengan menundukkan kepala dan
17 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: CV Darus
Sunnah, 2002), 343. 18Aizul Maula, “Term al-Khusyū’ dalam al-Qur’an: Studi Tafsir Tematik” (Tesis
S2., Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Institut Agama Islam Negeri Surakarta,
2018 ), 72. 19 M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
vol. 9, 147.
63
melihat tempat sujud, tenang melakukannya, tidak menoleh ke kiri dan
ke kanan, menundukkan hati dan menjaga penglihatan”20
Lain halnya al-Baghawī memahami keberuntungan bagi orang
yang khusyū‘ adalah keselamatan, dan kekekalan. yakni kekekalan
dalam surga.21 Sedangkan Abdurraḥmān Nāṣir al-Sa’dī (Pakar Tafsir
Terkini) mendefinisikan khusyū‘ dalam ayat ini adalah hadirnya hati di
hadapan Allah SWT, seraya mengkonsentrasikan hati agar terasa dekat
dengan-Nya, sehingga hati jadi tenang, gerakannya terarah, sikapnya
beradab, konsentrasi pada apa yang diucapkan dan sadar atas apa yang
dilakukan dalam salat, dari awal sampai akhir, dan jauh dari was-was
setan. Khusyū‘ merupakan ruh salat. Salat yang tidak memiliki ke
khusyū‘an adalah salat yang tidak ada ruhnya.”22
Begitu juga menurut Ibn Kaṣir orang beriman yang beruntung
meraih surga itu adalah mereka yang khusyū‘ dalam salatnya. Kalbu
mereka khusyū‘ mereka memejamkan penglihatan mereka dan
merendahkan diri serta penglihatan mereka tidak melampaui tempat
salat. Khusyū‘ dalam salat akan tercapai oleh orang yang konsentrasi
kalbunya terhadap salat, mencurahkan seluruh perhatiannya untuk salat
dan memprioritaskan salat dari perbuatan lain.23
Hal ini tentu bukanlah perkara yang mudah. Butuh kerja keras
untuk mencapai tingkatan ini. Sering kali ketika mengerjakan salat,
antara ucapan dan pikiran tidak sejalan. Lidah melafalkan bacaan al-
Qur’an, sementara hati memikirkan persoalan-persoalan di luar salat.
20 Muhammad Ibn Jarīr Ibn Yazīd Ibn Kaṡīr Ibn Gālib al-Amly Abū Ja’far al-
Ṭabarī, Jami‘ul Bayān fī Ta‘wil al-Qur’ān, cet I, juz 1 (t.tp. Muassasat al-Risālah, 2000),
9. 21 Abū Muhammad al-Husain ibn Mas’ūd al-Baghawī, Ma’ālim al-Tanzīl, juz 5,
cet. IV (t.tp. Dār al-Ṭayyibah, 1997), 408. 22 Abdu al-Raḥmān ibn Nāṣir ibn al-Sa’dī, Taisīru al-Karīmi al-Rahmān, cet I
(t.tp, Muassasah al-Risālah, 2000), 547. 23 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 3 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 407.
64
Namun demikian tidak berarti khusyū‘ tidak bisa dijangkau, karena apa
yang diperintahkan Allah sejatinya sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki manusia.
Khusyū‘ sebagai sesuatu yang berat difirmankan Allah dalam
Q.S. Al-Baqarah [2]: 45 sebagai berikut:
ع ل و ٱ ٱخ ع إ ن ي ل ل ب ن و و و و ت ع ين وا ب ٱلصب و ٱلص و ٱس“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. dan
Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyū‘.”24
Ayat di atas disebutkan dengan jelas tentang tanda orang yang
khusyū‘, yaitu mereka yang yakin akan bertemu Tuhannya. Dalam
pengertian lain orang yang khusyū‘ adalah orang yang yakin bahwa
kehidupan dunia ini hanya sementara. Sedangkan kehidupan yang kekal
adalah kehidupan akhirat.
Konsisten terhadap shalat adalah perkara yang berat kecuali bagi
orang-orang yang jiwanya khusyu’ kepada Allah, yang takut kepada
hukumnya yang berat, dan hati mereka penuh terisi iman serta mereka
memercayai adanya pertemuan dengan Allah dan adanya perhitungan
amal, sehingga mereka bersegera melaksanakan Shalat untuk
mengistirahatkan jiwa mereka, menenangkan hati mereka, dan
melenyapkan kegundahan mereka.25
Puncak iman adalah apa yang disebut dengan yakin. Yaitu suatu
pengetahuan tentang apa yang diimaninya tanpa ada sedikit pun
keraguan di dalamnya. Keyakinan seseorang akan adanya kematian,
dan kebangkitan di akhirat akan memberikan motivasi tersendiri dalam
beribadah maupun menjalani kehidupan. Yakin akan adanya kehidupan
akhirat dan pengadilan Allah merupakan salah satu tanda orang yang
24 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan, 8. 25 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, cet. I, jilid 7 (Jakarta: Gema Insani, 2013),
118.
65
khusyū‘. Sedangkan menurut Ibn Katsir sikap sabar dan salat itu
sangatlah berat kecuali bagi orang-orang yang tawadhu’ dan konsisten
mentaati semua perintah dan larangan disebabkan rasa takut mereka
kepada Allah.26
Berkaitan dengan khusyū‘ dalam salat, al-Ghazali memberikan
cara yang dapat ditempuh agar seseorang bisa menghadirkan khusyū‘
ketika salat. Pertama; Huḍūr al-Qalbi, yaitu menghadirkan hati dengan
membuang segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan salat. Kedua, at-
Tafahhum; yaitu berusaha memahami seluruh makna bacaan dan
makna gerak salat. Menghayati, merenungkan dan merasakan secara
lahir dan batin. Antara ucapan dan kalbu sama-sama memahami dengan
benar bahwa diri kita sedang menghadap Allah, sedang berdialog atau
berkomunikasi dengan Allah.
Ketiga, at-Ta‘ẓīm, yaitu merasakan kebesaran Allah di satu sisi
dan merasakan kelemahan diri kita. Keempat, al-Haibah, yaitu sebuah
sikap yang melebihi at-Ta’ẓīm. Sebuah sikap di mana seorang hamba
tidak hanya merasakan kebesaran ilahi, namun juga merasa takut akan
kebesarannya tersebut. Kelima, ar-Rajā’ yaitu selalu menaruh harapan
besar kepada Allah. Dialah satu-satu zat yang selalu memberi harapan,
tempat kita bergantung dan meminta pertolongan. Keenam, al-Ḥaya’,
yaitu rasa malu terhadap Allah. Perasaan malu ini timbul karena kita
bukanlah pribadi yang sempurna, masih selalu lalai melakukan salah
dan dosa. Kita malu karena sering dikalahkan oleh hawa nafsu, sering
melalaikan kewajiban dan perintah-Nya.27
2. Khusyū‘ Merupakan Sikap dalam Berdo’a
26 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 3, 125. 27 Abu Hāmid al-Ghazālī, Iḥya Ulūmiddin, jilid 1 (Indonesia: Dār al-Iḥya al-Kutub
al-‘Arabiyyah), 162.
66
Terdapat pada Q.S. Al-Anbiyā’ [21]: 90.
لر ل ون لن وا ي س م ك و ن ه ن ل ل ه ز وج و ح و أ ص ن ل ل ه ي ن ل ل ه و و ه ي ت ج ف لس ع لش لن وا ل ن ل خ ل و ك ي ل و ر ه ي ل ون ن ل ر غ ي د ات و ف اخ
“Maka kami memperkenankan doanya, dan kami anugerahkan
kepada nya Yahya dan kami jadikan isterinya dapat mengandung.
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam
(mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa
kepada kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang
yang khusyū‘ kepada kami.”28
Dalam ayat ini, Allah menceritakan sebuah kisah dari hamba-Nya
yang selalu melakukan kebaikan berupa aneka taqarrub dan ketaatan.
Allah memperkenankan doa hambanya, yakni nabi Zakariya, istrinya
yang sebelumnya mandul Allah jadikan dapat mengandung. Nabi
Zakariya dan istrinya berdoa kepada Allah dengan penuh harap dan
cemas disertai harapan mendapat pahala dari sisi Tuhannya dan takut
mendapat azabnya. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyū‘
memiliki rasa takut yang menetap dan tidak pernah sirna di hati
mereka. Ali bin Abi Ṭalḥah berkata dari Ibn ‘Abbās yakni, mereka
termasuk orang-orang yang tawadhu’ merendahkan hati, orang-orang
beriman yang membenarkan setiap apa yang diturunkan Allah.29
Sama halnya menurut Quraish Shihab kata khusyū‘ dalam ayat ini
bermakna perasaan takut yang dirasakan para nabi terpilih salah
satunya yaitu nabi Zakariya, yang takut kepada azab yang Allah
berikan, sehingga ia berdoa kepada Allah dengan perasaan harap dan
cemas (harapan agar diberikan keturunan dan cemas terhadap azab
28 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 330. 29 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 3 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 324.
67
Allah).30 Begitulah Allah menggambarkan perasaan yang dirasakan
oleh para nabi dan orang terpilih yang kuat dalam keimanan dan
ketaatannya tepada Allah. Mereka senantiasa selalu menyegerakan
perbuatan baik dan bersifat tawadhu’.
Pada ayat ini juga ditekankan bahwasanya khusyū‘ hanya
dilakukan untuk Allah semata. Dalam realita kehidupan, sering kali
manusia tunduk terhadap sesuatu yang berbau duniawi, sehingga ia
melupakan aturan-aturan Allah. Sering kali, manusia karena takut
kehilangan jabatannya, maka ia akan melakukan segala usaha agar
jabatannya tersebut tidak lepas, termasuk dengan cara-cara yang tidak
dibenarkan oleh agama. Dalam hal ini berarti dia telah tunduk kepada
jabatannya. Terkadang ada juga karena tidak sabar terhadap kemiskinan
yang melingkari kehidupannya, seseorang kemudian melakukan
tindakan-tindakan yang dilarang oleh agama. Orang yang seperti ini
berarti khusyū‘ terhadap harta dunia.31
3. Khusyū‘ Sebagai Ketundukan kepada Allah Sepenuhnya.
Terdapat pada Q.S. ‘Āli-‘Imrān [3]: 199.
ل م لل و ن ب ن ي ؤم ب ت لب ل م ل ال ن أ ه ن ن م ز ل و ل أ ن م م و ب ز ل ن ل ي أ نم ر ه ئ ك ل م أ ج ل ق و يا أ ول ن ت الل ي ت ون ب ي ع لل ع لش م خ ه ن ل ي
لب ر يع ال س د ر ب م ن ن الل س ل ن
“Dan Sesungguhnya diantara Ahli Kitab ada orang yang beriman
kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan
yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati
kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah
dengan harga yang sedikit. mereka memperoleh pahala di sisi
Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.”32
30 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an, vol. 8, 500. 31 Aizul Maula, “Term al-Khusyū’ dalam Al-Quran: Studi Tafsir Tematik”, 84. 32 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 77.
68
Secara umum, Ahli Kitab adalah kaum yang memiliki kitab suci.
Adapun secara khusus istilah Ahli Kitab dipakai untuk menyebut para
penganut agama sebelum datangnya Islam. Bagi mereka telah
diturunkan kitab-kitab suci seperti Injil, Taurat dan Zabur, yang
diwahyukan kepada para Rasul atau Nabi. Namun para penganut agama
yang dimaksud, lebih tampak tertuju kepada kaum Yahudi dan
Nasrani.33
Khasyi’in atau orang-orang yang khusyu’, tunduk, berendah hati.
Mereka tidak menukar apa yang ada pada mereka dengan apa yang ada
pada mereka dalam kitab taurat dan injil berupa keterangan tentang
diutusnya nabi muhammad tentang harga yang sedikit dari dunia.34
Ayat di atas menceritakan perihal sebagian Ahli Kitab yang
beriman kepada Allah dan apa saja yang diturunkan kepada nabi
Muhammad dan rasul-rasul sebelumnya. Bagi mereka balasan dari
Allah di akhirat kelak pasti akan mereka terima. Mereka tidak menukar
atau mengganti bukti-bukti nyata dengan kesenangan dunia, meskipun
melimpah. Karena bagi mereka semua itu pada hakikatnya hanyalah
perbuatan yang kecil dibandingkan dengan balasan yang nanti akan
mereka terima.35
Hal ini ditegaskan Allah dalam Q.S. ‘Āli-‘Imrān [3]: 110.
ت ل ونلس ت م ر ون ر ج ة أ خ أ م ت م خ ن ر ك ب ن م ون ل ن ال ه ن ت ر وف و ع م ل ب ن ون ؤم م م ال ه ن ا ل م و م لن خ ب ت لب ل ب ل ال ن أ ه ل و آم لل و ن ون ب ت ؤم و
ق ون لس ف م ال ث ر ه و أ ك
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar,
33 Zulyadin, “Menimbang Kontroversi Pemaknaan Konsep Ahl-al-Kitab dalam al-
Qur’an”, Jurnal Ulumuna, vol.16, no.2, (2012): 295. 34 Wahbah zuhaili jil 2 hal 551. 35 M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Quran,
vol. 2, 320.
69
dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah
itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”36
Dalam al-Qur’an ayat-ayat yang mengandung term Ahli Kitab
terkadang ditujukan untuk Yahudi dan Nasrani dan terkadang salah satu
di antara keduanya saja. Selain itu penggunaan ahli kitab juga bisa
dalam rangka pujian dan dalam rangka kecaman bahkan ancaman.
Pujian terhadap Ahli Kitab diungkapkan oleh al-Qur’an kepada mereka
yang mengakui dan beriman terhadap nabi Muhammad dan apa yang
diturunkan kepadanya berupa al-Qur’an. Di antara salah satu pujian
yang disematkan kepada mereka adalah pujian khusyū‘.37
Adapun dalam Tafsīr Jalālain diterangkan bahwa mereka
mengatakan bahwa ahli kitab yang beriman kepada Allah tersebut
seperti Abdullah bin Salam dan sahabat-sahabatnya serta Najasyi.
Mereka beriman terhadap al-Qur’an yang telah diturunkan dan juga
beriman kepada kitab sebelumnya yaitu Taurat dan Injil. Dan mereka
dalam keadaan merendahkan diri dengan artian tawāḍu’. Mereka tidak
menukar ayat-ayat Allah demi mendapatkan kedudukan dan harta
dunia, dan mereka juga tidak takut kehilangan pengaruh seperti yang
dilakukan oleh orang-orang Yahudi lainnya. Karena mereka yakin akan
memperoleh dua kali dari amal perbuatannya.38 Sebagaimana terdapat
dalam Surah al-Qaṣaṣ (sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-
Nya).
Pada ayat ini, khusyū‘ berkaitan erat dengan keimanan, di mana
seorang yang menyatakan beriman, maka selayaknya dia tunduk dan
taat kepada Allah. Seorang yang tunduk kepada Allah, maka dia akan
36 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 65. 37 Aizul Maula, “Term al-Khusyū’ dalam Al-Quran: Studi Tafsir Tematik”, 86. 38 Jalāluddīn Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalli dan Jalāluddīn ‘Abdul al-Rahman
Ibn Abī Bakr al-Suyūṭi, Tafsīr Jalalain (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), 290-
291.
70
menyampaikan kebenaran dalam kondisi dan situasi apapun. Hal
tersebut karena ketundukan kepada Allah akan menghilangkan
ketundukan-ketundukan kepada selain Allah, baik itu harta, tahta,
jabatan dan kenikmatan dunia lainnya. Hal ini berbeda dengan apa yang
dilakukan oleh mayoritas dari Ahli Kitab, terutama para pemuka
agamanya yang menyembunyikan kebenaran tentang kedatangan nabi
Muhammad yang tertulis dalam kitab mereka.39
Selain Surah Ali Imrān di atas, kata khusyū‘ yang ditujukan
kepada Ahli Kitab juga terdapat pada Surah al-Isrā’ ayat 109. Konteks
ayat ini sebenarnya lebih kepada ejekan kepada orang-orang musyrik
yang tidak mau beriman kepada Allah. Dalam Q.S. Al-Isrā’ [17]: 109.
ل ول م خ ع ه ي ز يد ون و ب ق لن ي ي رون ل لأ ذ و ي
“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis
dan mereka bertambah khusyū‘.”40
Ayat di atas bercerita tentang ahli kitab yang beriman kepada
Allah. Ayat ini dimulai dengan sindiran Allah terhadap orang-orang
musyrik yang tidak mau beriman kepada apa yang dibawa dan
disampaikan nabi Muhammad. Kalimat ini mengandung arti bahwa
keengganan orang musyrik untuk beriman tidak berpengaruh apa-apa
terhadap Islam. Kemudian disebutkan bahwa ada segolongan kaum
yang lebih baik dari mereka, yaitu orang orang ahli kitab yang berilmu.
Ilmu tersebut menjadikan mereka beriman kepada Allah, nabi
Muhammad dan apa yang diwahyukan berupa al-Qur’an. Mereka inilah
para ulama dari ahli kitab yang lurus, yang berpegang teguh kepada
kitab mereka serta tidak mengganti dan mengubahnya.41
39 Aizul Maula, “Term al-Khusyū’ dalam Al-Quran: Studi Tafsir Tematik”, 87. 40 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 294. 41 Aizul Maula, “Term al-Khusyū’ dalam Al-Quran: Studi Tafsir Tematik”, 88.
71
Ibn Kaṣir menyebutkan ayat ini menceritakan keadaan orang-
orang yang beriman setelah diberikan pengetahuan lalu diperdengarkan
al-Qur’an mereka menangis dan menyungkurkan wajah dan
membenarkan. Hingga makin bertambah tunduk patuh (khusyū‘)
kepada Allah.42 Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S.
Muḥammad [47]: 17.
م و اه م ت ق ه ى و آت د م ه وا ز اد ه ت د ين اه و الذ
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah
menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan
ketaqwaannya.”43
Menurut Zamakhsyari dalam kitabnya al-Kasysyāf, mengartikan
ke-khusyū‘an orang yang beriman di dalam ayat ini disebabkan oleh
lembutnya hati mereka sehingga ketika dibacakan kepada mereka ayat-
ayat al-Qur’an mereka tersungkur sujud menerima kebenaran yang
diberikan dan menangis hingga membuat mata mereka sembab.44
Dari berbagai pengertian yang ada, khusyū‘ pada ayat ini
penekanannya adalah kepada ketundukan batin atau kerendahan hati.
Kerendahan hati akan mengantarkan pelakunya kepada bertambahnya
keimanan, keislaman, serta menjadikan hati menjadi lembut.45
4. Khusyū‘ dapat Melembutkan Hati
Khusyū‘ sebagaimana dikatakan oleh Hudzaifah adalah perkara
yang akan hilang dari agama. Perintah untuk khusyū‘ difirmankan
Allah dalam Q.S. Ḥadīd [57]: 16.
42 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 3 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 108. 43 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 509. 44 Muhammad Ibn Umar az-Zamakhsyari. al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq at-Tanzīl wa
‘Uyūn al-Aqāwīl fiī Wujūh at-Ta’wīl, jilid 3 (Riyadh: Maktabah al-‘Abikan, 1998), 559. 45 Aizul Maula, “Term al-Khusyū’ dalam Al-Quran: Studi Tafsir Tematik”, 89.
72
أ ل ي ن ن ال ق و ل ن ز ل م م ر الل و ع ق و وب م ل ذ ك ع ن وا أ ن ت ين آم ل وذ ت د ف ق س م ال م ه ل ف ط لل ل و ي ي ن ق ب ت لب م ين أ وت وا ال للذ ون وا ك ي ب
ق ون م ف لس ه ن إ م ث ق و وب م و ك “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman,
untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran
yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab
kepadanya, Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka
lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka
adalah orang-orang yang fasik.”46
Pada ayat di atas, Allah memberikan ‘itāb atau teguran kepada
umat Islam karena banyak di antara mereka yang mulai lalai mengingat
Allah SWT. Allah memperingatkan umat Islam agar tidak mengikuti
jejak orang-orang Yahudi dan Nasrani yang seiring berubahnya waktu
hati mereka menjadi keras karena mereka lalai dari Allah dan kitab
mereka. Kebanyakan mereka keluar dari ketentuan-ketentuan agama.
Pada ayat ini, khusyū‘nya hati ditujukan untuk mengingat Allah dan al-
Qur’an.47
Mengingat Allah atau yang biasa dikenal dengan zikir merupakan
salah satu jenis ibadah yang urgen dalam ajaran Islam, karena ia adalah
sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. seseorang yang merasa
dekat dengan Allah, maka senantiasa tunduk dan patuh pada-Nya.
Penggunaan kata takhsya’a dan kata qalb pada ayat ini
menunjukkan bahwa zikir yang dimaksud pada ayat ini bukan sebatas
mengingat Allah dalam pengertian sempit, namun mengingat Allah
agar menjadi pendorong utama dalam melaksanakan segala perintah
dan menjauhi segala larangan-Nya. Penggunaan kata khusyū‘
menandakan bahwa khusyū‘ dalam mengingat Allah dan al-Qur’an
46 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 540. 47 M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
29.
73
dapat memberikan dampak kepada lembutnya hati seseorang. Hati yang
lembut tentu saja akan mudah menerima kebenaran Allah, sedangkan
hati yang keras akan mengantarkan kepada kefasikan. Hal ini sejalan
dengan firman Allah dalam Q.S. al-Ḥasyr [59]: 19.
للذ ون وا ك ت ب ق ون و لس ف ل م ا ئ ك ه م و أ ول ه ف س م أ ن له س وا الل ف أ ن ين ن س “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada
Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri.
mereka Itulah orang-orang yang fasik.”48
Selain ditujukan untuk Allah, zikir juga ditujukan untuk al-
Qur’an. Istilah ini biasa disebut dengan tadabbur al-Qur’an. Tadabbur
adalah memikirkan dan merenungkan ayat-ayat al-Qur’an untuk dapat
memahami makna, hikmah, ataupun maksudnya.49 Seperti apa yang
dikutip oleh Ibn Katsir melalui ungkapan Hasan al-Basri bahwa, “demi
Allah, tadabbur al-Qur’an bukan dengan menghafal huruf-hurufnya
namun mengabaikan batasan batasannya, sehingga ada yang
mengatakan, aku telah membaca semua al-Qur’an, namun al-Qur’an
tidak terlihat pada akhlak dan amalannya.”50
Selain mengandung ‘itāb, Surah al- Ḥadīd ini juga mengandung
sebuah pelajaran bagi orang-orang yang mungkin hatinya sudah mulai
lalai, di mana pada Q.S. Ḥadīd [57]: 17, Allah berfirman:
ي ي وا أ ن الل و م م ال ت ل ع وب ي م ال نل ل ب وت ل و ق د ب ي د م ال رض ب عو ون ق ت ع
“Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan
bumi sesudah matinya. Sesungguhnya kami telah menjelaskan
kepadamu tanda-tanda kebesaran (kami) supaya kamu
memikirkannya.”51
48 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 549. 49 Fathor Rosy, “Kitab Tadabbur al Quran karya Bachtiar Nasir dalam Perspektif
Epistemologi” (Tesis S2., Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2017), 54. 50 Ismāil Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm., jilid 7, 64. 51 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 540.
74
Pada ayat tersebut dikatakan bahwa bumi yang sudah kering,
sudah mati bisa dihidupkan kembali oleh Allah, maka hati yang keras
dan kering juga bisa dihidupkan, dilembutkan lagi dengan zikir. Hati
yang lembut akan mudah menerima kebenaran dari Allah, sedangkan
hati yang kasar akan membawa kepada kefasikan.52
5. Balasan Bagi Orang-Orang yang Khusyū‘
Bagi orang-orang yang beriman khusyū‘ adalah sebuah sikap
yang harus selalu ada dalam kehidupan di dunia. Sebagai sebuah sikap
yang terpuji, seseorang yang khusyū‘ akan diberikan pahala oleh Allah.
Di antara pahala tersebut adalah sebagaimana disebutkan dalam Q.S.
Aḥzāb [33]: 35.
لن ت لت ن ن ق ال و لن ت ق ال ن لت و ؤم م ال و ن ؤم م ال لت و و م س م ال و و م س م الع لت و اخ لش ع لب ر ات و اخ لش الص لب ر ين و ق لت و الص الصلد و ق لد و الص
الص و لئ م ق لت و الص ت ص د م ال و ق ت ص د م ال م و ه ف ر وج لت و ال لف ظ لئ م را ر و أ ج ف غ اك ر ات أ ل د الل ل م م ث ا و الذ اك ر ين الل ك الذ و ال لف ظ لت و
ل يم ل ظ “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki
dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang
tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan
yang khusyū‘, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki
dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang
banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar.”53
Pada ayat ini Allah berfirman tentang ampunan dan pahala yang
besar, yang salah satunya diberikan kepada orang-orang yang khusyū‘
baik perempuan maupun laki-laki. Tentang pahala orang yang khusyū‘
juga disebutkan dalam Surah Āli ‘Imrān ayat 199 sebagaimana telah
52 Aizul Maula, “Term al-Khusyū’ dalam Al-Quran: Kajian Semantik”, 96. 53 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 423.
75
diungkapkan di atas. Selain itu khusyū‘ juga merupakan salah satu
faktor yang menjadikan seorang mukmin meraih keberuntungan, yaitu
orang yang akan mendapatkan balasan surga di akhirat sebagaimana
tercantum dalam Surah al-Mukminūn ayat 1-11.
Seperti apa yang diungkapkan oleh Quraish Shihab bahwa
sesungguhnya kaum lelaki dan wanita yang tunduk, percaya pada Allah
dan Rasul-Nya, melakukan ketaatan, jujur dalam perkataan, perbuatan
dan niat, tabah dalam menghadapi cobaan dalam berjuang di jalan
Allah, merendahkan diri, menyedekahkan sebagian harta bagi orang
yang membutuhkan, melakukan puasa wajib dan sunnah, menjaga
kemaluan dari hal-hal yang dilarang, serta berzikir pada Allah dengan
hati dan lisan, niscaya Allah akan memberikan pengampunan bagi
segala dosa dan pahala yang besar atas perbuatan baik mereka.54
Sedangkan Ibn Katsir mengartikan khusyū‘ dalam ayat ini adalah
diam, tentram, tenang, terkontrol, dan tawadhu’ hal yang membuat ke
khusyū‘an itu adalah rasa takut kepada Allah dan merasa diawasi oleh-
Nya. Dalam sebuah hadis dikatakan: “Beribadahlah kepada Allah
seolah-olah kamu melihat-Nya, kalaupun kamu tidak melihat-Nya Dia
melihat kamu”.55
Ini adalah gambaran orang-orang beriman yang senantiasa dalam
ketaatan kepada Allah, mereka memiliki rasa takut kepada Allah dan
selalu merasa diawasi, sehingga membuat ibadahnya sesuai dengan
petunjuk-petunjuk-Nya.
Setelah mencari dan meneliti kata khusyū‘, hingga akhirnya
penulis mengetahui definisi khusyū‘ menurut bebarapa ulama, yang
54 M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
271. 55 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 3, 858.
76
pada intinya, khusyū‘ secara etimologi bermakna tunduk. Sedangkan
secara terminologi menurut Imam Qusyairi adalah tunduknya hati
dengan berperilaku baik dan keringnya hati dan perasaan rendah ketika
berada di hadapan Allah. Sedangkan menurut Salim al-Hilali, khusyū‘
adalah lembutnya hati manusia, redupnya hasrat yang bersumber dari
hawa nafsu dan halusnya hati karena Allah. Sehingga menjadi bersih
dari rasa sombong dan tinggi hati. Di dalam al-Qur’an sendiri, kata
khusyū‘ terulang sebanyak 17 kali dengan segala derivasinya yang
terdapat di 16 Surah. Dan juga terdapat penafsiran dari masing-masing
ayat yang terkandung dari kata khusyū‘ yang mufasir memaknainya
tergantung dari konteks ayat tersebut. Oleh karena itu, Penemuan ini
nantinya akan mempermudah penulis untuk menjelaskan dan
membandingkan bagaimana tahapan dari metodologi semantik
Toshihiko Izutsu terhadap kata khusyū‘ dalam al-Qur’an pada bab
selanjutnya.
77
BAB IV
PENDEKATAN SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU TERHADAP
KATA KHUSYŪ‘ DALAM AL-QUR’AN
Semantik Toshihiko Izutsu bertujuan untuk menemukan
pandangan dunia atau weltanschauung al-Qur’an. Untuk memenuhi
tujuan tersebut, Izutsu menggunakan pendekatan strukturalisme
linguistik. Pemilihannya terhadap pendekatan ini dapat dilihat dari
keyakinannya, bahwa bahasa itu tidak hanya sebagai alat untuk
berbicara dan berpikir. Namun, lebih penting lagi sebagai alat untuk
menangkap dan menerjemahkan dunia yang mengelilinginya.1
Sebagaimana dalam penjelasan ini, penulis mengambil kata
khusyū‘ untuk dikaji secara mendalam. Kata tersebut akan dianalisis
dengan menggunakan pendekatan semantik Toshihiko Izutsu, yaitu
studi analisis terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu
pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual atau
pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak
hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi yang lebih penting lagi,
pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya
(weltanschauung). Berikut ini adalah langkah-langkah metodologi
semantik Toshihiko Izutsu untuk menyingkap pandangan dunia al-
Qur’an.
A. Makna Dasar
Seperti yang telah dijelaskan pada bab dua sebelumnya, makna
dasar adalah sebuah makna yang melekat pada kata itu sendiri dan akan
1 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap
Al-Qur’an, ), cet I (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), 3.
78
selalu terbawa di mana pun kata itu berada.2 Atau makna dasar sering
disebut dengan makna leksikal yaitu makna sesungguhnya dari sebuah
kata tanpa konteks tertentu. Dalam hal ini media yang representatif
digunakan untuk melacak makna secara leksikal adalah kamus.
Seperti halnya kata khusyū‘ merupakan bentuk masdar dari kha
sya ‘a (خ ش ع) yang mengikuti wazan fa ‘a la (فعل) yang berati
memiliki pengertian tunduk (الخضوع) , tenang (السكون), dan
merendahkan (التذلل).3 Dalam kamus Mu’jam Maqāyis al-Lughah, (خشع)
merupakan satu rangkaian huruf yang membentuk kata berindikasi
menunduk. Kata ini berarti menunduk.4
Dalam kamus Mahmud Yunus juga dikatakan bahwa kata
khusyū‘ berasal dari akar kata‚ khasya‘a – yakhsya‘u - khusyū‘an yang
berarti tunduk, rendah, takluk.5 Sedangkan dalam Qamūs al-Qawīm ,
arti kata khusyū‘ adalah‚ tenang (al-sukūn), tunduk (al-khuḍū’), dan
merendahkan diri (al-istakānah).6 Al-Fayumī juga berpendapat bahwa
khusyū‘ itu artinya tunduk.7 Sedangkan menurut Imām al-Qurtubī,
khusyū‘ ialah suatu keadaan di dalam jiwa di mana dia mewujudkan
keadaan tetap (tenang) dan merendah diri segala anggota badan.8 Dari
semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa khusyū‘ secara bahasa
mengidentifikasikan suatu sikap tunduk, tenang, dan merendah.
2 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap
Al-Qur’an, 12. 3 Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus al-Bisri (Surabaya: Pustaka Progresif,
1999), 160. 4 Ahmad Ibn Faris, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, jilid 2 (Beirut: Dār al-Fikr, 1979),
182. 5 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus
Wadzuryah, 1990), 116. 6 Ibrāhīm Ahmad ‘Abdul Fatīh, al-Qamūs al-Qawīm li al-Qur’ān al-Karīm, juz I
(Al-Azhār: Mujma’ al-Buhūs al-Islāmiyyah, 1983), 194-195. 7Al-Fayyumī, al-Misbāḥ al-Munīr (Beirut: Maktabah Lubnān, 1897), 65. 8 Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad al-Ansārī’ al-Qurtubi, al-Jāmi’ li Aḥkām
al-Qur’ān, juz 12 (Dār al-Fikr, 1414 H/1993 M), 103.
79
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa
kata khusyū‘ memiliki makna dasar tunduk, tenang dan merendah.
Sebagai makna dasar, makna ini akan selalu terbawa dimana pun kata
khusyū‘ di tempatkan dalam sebuah struktur kalimat, baik di dalam al-
Qur’an maupun di luar al-Qur’an.
B. Makna Relasional
Tahap selanjutnya setelah mengetahui makna dasar dari kata
khusyū‘ adalah menentukan makna relasionalnya. Makna relasional
seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, yaitu makna konotatif
pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata tersebut pada
posisi khusus dalam bidang khusus, atau makna baru yang diberikan
pada sebuah kata yang tergantung pada kalimat di mana kata tersebut
berada. Untuk mendapatkan makna relasional ini perlu dilakukan
analisis sintagmatik dan paradigmatik.
1. Analisis Sintagmatik
Analisis sintagmatik adalah suatu analisis yang berusaha untuk
menentukan makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata yang
terletak di depan dan belakang kata yang dibahas dalam suatu bagian
tertentu.9 Oleh karena itu, pada bagian ini sangat penting untuk
dibahas, sebab sebuah kata pasti dipengaruhi oleh kata-kata yang ada di
sekelilingnya, sehingga kata khusyū‘ dapat diketahui kata-kata yang
melingkupi maknanya. Berikut ini terdapat 3 (tiga) hal yang saling
berkaitan dengan makna khusyū‘. Berikut rinciannya:
9 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan Dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap
Al-Qur’an, 32.
80
a. Hubungan Sintagmatik Kata Khusyū‘ Dengan Orang-Orang
Beriman
Kata khusyū‘ ketika menceritakan orang-orang beriman akan
bermakna tunduk, patuh, rasa takut dan pengharapan kepada Allah.
Dengan mentaati perintah Allah seperti melakukan perbuatan baik,
tidak menjual ayat-ayat dengan harga yang murah serta melakukan
ibadah seperti salat, zakat dan ibadah-ibadah lainnya. Makna ini
dihasilkan dari hubungan kata khusyū‘ dengan beberapa kosa kata,
diantaranya: yabkūn, lā yasytarūna biāyātillah, yusāri‘ūna fil khairāt,
shalāh, sabr. Seperti dalam Surah-Surah berikut:
1. Terdapat dalam Q.S. al-Isrā’ [17]: 109.
ل ول ع م خ ه ي ز يد ون و ب ق لن ي ي رون ل لأ ذ و ي
“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis
dan mereka bertambah khusyū‘.”10
Pada ayat ini kata khusyū‘ bermakna tunduk dan patuh terhadap
kebenaran yang telah didengar oleh orang-orang beriman. Sehingga
ketika mereka mendengar ayat-ayat al-Qur’an mereka menyungkurkan
wajahnya seraya menangis.11 Zamakhsyarī menafsirkan untuk
memperjelas keadaan yang tersungkur sujud sambil menangis hingga
membuat mata mereka menjadi sembab.12 Kata yabkūn pada ayat ini
berelasi dengan kata khusyū‘ yang kemudian berujung pada
bertambahnya ketundukan dan kepatuhan yang mereka lakukan
semata-mata karena yakin dan percaya atas semua balasan yang nanti
akan mereka terima di akhirat kelak.
2. Pada Q.S. Āli-‘Imrān [3]: 199.
10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: CV Darus
Sunnah, 2002), 294. 11 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 3 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 108. 12Muhammad Ibn Umar az-Zamakhsyari. al-Kasysyāf ‘an Ḥaqā’iq At-Tanzīl wa
‘Uyūn al-Aqāwīl fiī Wujūh at-Ta’wī), jilid 3 (Riyadh: Maktabah al-‘Abikan, 1998), 559.
81
ن ي ؤم ب ت لب ل م ل ال ن أ ه ن ن م ز ل و ل أ ن م م و ب ز ل ن ل ي ل أ ن م لل و ن ب م ر ه ئ ك ل م أ ج ل ق و يا أ ول ن ت الل ي ت ون ب ي ع لل ع لش م خ ه ن ل ي
لب ر يع ال س د ر ب م ن ن الل س ل ن
“Dan Sesungguhnya diantara Ahli Kitab ada orang yang beriman
kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan
yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati
kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah
dengan harga yang sedikit. mereka memperoleh pahala di sisi
Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.”13
Ayat ini menceritakan tentang Ahli Kitab yang beriman kepada
Allah dan apa saja yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad dan
rasul-rasul sebelumnya. Meyakini akan setiap berita yang disampaikan
dan tidak menukar bukti-bukti nyata untuk kesenangan sesaat mereka,
disebabkan mereka percaya akan mendapat balasan dari Allah di
akhirat kelak, dan mereka juga meyakini di hari pembalasan mereka
akan mendapatkan pembalasan yang lebih baik.14
Kata khusyū‘ dalam ayat ini bermakna merendahkan diri yakni
sikap tawadhu’. Kata khusyū‘ berelasi dengan kata lā yasytarūna
biāyātillah yaitu sikap mereka yang tidak memperjual belikan ayat-ayat
Allah dan tidak takut kehilangan pengaruh di kalangannya disebabkan
perkataan jujur dan tetap menyampaikan kebenaran yang diturunkan
kepada mereka. Yakni, sesuatu yang disampaikan dalam Taurat dan
Injil.15
13 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 77. 14 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh : Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-
Qur’an, vol. 2 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), 320. 15 Jalāluddīn Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalli dan Jalāluddīn ‘Abdul al-Rahman
Ibn Abī Bakr al-Suyūṭi, Tafsīr Jalalain (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), 290-
291.
82
3. Dalam Q.S. al-Anbiyā’ [21]: 90.
ه ن ل ل ه ز وج و ح و أ ص ن ل ل ه ي ن ل ل ه و و ه ي ت ج لر ل ون وف لس لن وا ي س م ك ن ع لش لن وا ل ن ل خ ل و ك ي ل و ر ه ي ل ون ن ل ر غ ي د ات و ف اخ
“Maka kami memperkenankan doanya, dan kami anugerahkan
kepada nya Yahya dan kami jadikan isterinya dapat mengandung.
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera
dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka
berdoa kepada kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah
orang-orang yang khusyū‘ kepada kami.”16
Kata khusyū‘ dalam ayat ini bermakna rasa takut yang menetap
dan tidak pernah sirna di hati orang-orang beriman. Kata khusyū‘
berelasi dengan kata yusāri‘ūna fil khairāt yang akhirnya
menimbulkan rasa takut yang menetap di hati kepada Allah. Nabi
Zakariya adalah contoh orang yang selalu menyegerakan melakukan
kebaikan. Ia yang selalu membenarkan setiap apa yang diturukan Allah.
Dan ketika ia berdo’a selalu ada perasaan takut dan harap yang
dirasakan.17
4. Terdapat dalam Q.S. al-Mu’minūn [23]: 2.
م ف ين ه ع ون الذ لش ت م خ ص ا
“(yaitu) orang-orang yang khusyū‘ dalam sembahyangnya.”18
Kata khusyū‘ dalam ayat ini bermakna menundukkan. Kata ṣalāh
berelasi dengan kata khusyū‘ yang kemudian berujung dengan
menundukkan kepala. orang yang dalam salatnya ia menghadirkan
hatinya di hadapan Allah, serta mengkonsentrasikan hati agar terasa
dekat dengan-Nya, sehingga hati yang tenang akan membuat
gerakannya terarah, konsentrasi dengan apa yang diucapkan dan sadar
dengan apa yang dilakukan dalam salat, dari awal hingga akhir, dan
16 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 330. 17 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, 324. 18 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 343.
83
jauh dari was-was setan sehingga kepalanya hanya tertunduk ke tempat
sujud. Khusyū‘ merupakan ruh salat. Salat yang tidak memiliki ke
khusyū‘an adalah salat yang tidak ada ruhnya.”19
Sama halnya dengan pendapat Ibn Kaṣir, orang yang beruntung
meraih surga itu adalah mereka yang khusyū‘ dalam salatnya. Kalbu
mereka khusyū‘ mereka memejamkan penglihatan mereka dan
merendahkan diri serta penglihatan mereka tidak melampaui tempat
salat. Khusyū‘ dalam salat akan tercapai oleh orang yang konsentrasi
kalbunya terhadap salat, mencurahkan seluruh perhatiannya untuk salat
dan memprioritaskan salat dari perbuatan lain.20
5. Terdapat dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 45.
إ ن ي ل ل ب ن ب و الصا و و لص ت ع ين وا ب و اس ع ل و ٱ اخ لش
“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. dan
Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyū‘.”21
Kata khusyū‘ dalam ayat ini bermakna tunduk, patuh, taat. Kata
khusyū‘ berelasi dengan kata sabr yang akhirnya melahirkan sikap
tunduk, patuh, taat kepada-Allah, takut kepada pembalasan-Nya, serta
percaya kepada janji dan ancaman. Seperti apa yang dikutip Ibn Katsir
dari perkataan Ibn Jarir bahwa, makna ayat ini ialah “hai para ulama
Ahli Kitab (Yahudi), jadikanlah sabar dalam menjalankan ketaatan
kepada Allah dan sebagai penolong kalian, dirikanlah salat, mengingat
salat dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar,
mendekatkan diri kepada ridha Allah, dan berat dikerjakannya kecuali
19 Abdul al-Rahmān Ibn Nāṣir ibn al-Sa‘dī, Taisīru al-Karīmi al-Raḥmān, cet. I
(t.tp, Muassasah al-Risālah, 2000), 547. 20 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, 407. 21 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 8.
84
bagi orang-orang yang khusyū‘”, yaitu orang-orang yang rendah diri,
berpegang teguh kepada ketaatan, dan merasa takut kepada-Nya.22
Dari keseluruhan ayat di atas merupakan penggunaan kata
khusyū‘ yang berelasikan dengan perbuatan-perbuatan seperti berbuat
baik, tidak menjual ayat-ayat Allah, salat, sabar maupun sifat dari
orang-orang yang beriman lainnya kepada Allah. Sehingga dari relasi
yang ada menimbulkan sikap penghambaan yang tunduk dan patuh
kepada Allah dan senantiasa selalu melakukan apa saja yang
diperintahkan-Nya.
b. Hubungan Sintagmatik Kata Khusyū‘ dengan Keadaan Manusia
pada Hari Kiamat
Kata khusyū‘ juga digunakan ketika menggambarkan keadaan
manusia pada hari kiamat, yang mana pandangan mereka tertunduk
hina disebabkan apa yang mereka saksikan pada hari kiamat. Adapun
secara umum ayat yang mengandung makna ini dihasilkan dari relasi
dengan kata baṣar, yaumaidzin dan yauma al-qiyāmah. Seperti pada
ayat-ayat berikut:
1. Q.S. An-Nāziāt [79]: 9.
ع ةإ لش ل خ لر ه ص أ ب
“Pandangannya tunduk.”23
Quraish Shihab berpendapat bahwa sorot mata mereka diliputi
oleh rasa duka dan hina melihat semua kejadian setelah mereka
dibangkitkan kembali yaitu hari kiamat.24
2. Q.S. Al-Qalam [68]: 43.
22 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 3, 125. 23 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 584. 24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an, vol. 15, 36.
85
ع ة لش م خ ود و ه ج ل ون ن ل الس لن وا ي د ق د ك لةإ و م ذ ه ق م ت ره لر ه ص أ بون لل م س
“(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi
mereka diliputi kehinaan. dan sesungguhnya mereka dahulu (di
dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan
sejahtera.”25
Menurut Ibn Kaṣir pandangan mereka tertunduk di akhirat nanti
disebabkan dosa-dosa mereka dan kesombongan mereka ketika di
dunia, maka mereka dihukum dengan kebalikan dari apa yang pernah
mereka perbuat. Ketika mereka diseru untuk bersujud di dunia, mereka
menolaknya, padahal keadaan mereka sedang sehat dan sejahtera.
Maka demikianlah mereka diazab dengan tidak mempunyai
kemampuan untuk bersujud di hari kemudian, yaitu ketika Tuhan Yang
Mahamulia lagi Mahaagung menampakkan diri-Nya, dan orang-orang
mukmin semuanya bersujud kepada-Nya, maka tiada seorang pun dari
orang-orang kafir dan orang-orang munafik yang mampu melakukan
sujud kepada-Nya, bahkan punggung mereka kembali berdiri tegak.
Tiap kali seseorang dari mereka mencoba untuk sujud, punggungnya
mental kembali ke arah kebalikan sujud, seperti keadaan mereka ketika
di dunia; maka berbeda dengan keadaan kaum mukmin.26
3. Q.S. Al-Qamar [54]: 7.
م أ اث ك د ن ال ج ون م ر ج م ي لر ه ص ل أ ب ع ع رإ خ ت ع ن ر ادإ م ج
“Sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari
kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.”27
Menurut Quraish Shihab, pada hari kiamat pandangan orang-
orang kafir tertunduk karena dahsyatnya bencana yang mereka
25 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 567. 26 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 8, 262. 27 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 530.
86
saksikan. Mereka keluar dari kuburnya bagaikan belalang yang
beterbangan karena begitu banyak dan cepatnya mereka.28
4. Q.S. Al-Ma’ārij [70]: 44.
ون لن وا ي ول د وم الذ ي ك ي ل ل ك ا لةإ و ذ م ذ ق ه م ت ره لر ه ص ع ة أ ب لش خ
“Dalam keadaan mereka menekurkan pandangannya (serta)
diliputi kehinaan. Itulah hari yang dahulunya diancamkan kepada
mereka.”29
Menurut Ibn Katsir makna ayat ini yakni menundukkan
pandangan mata mereka serta diliputi kehinaan. Hal ini sebagai
pembalasan atas kesombongan mereka sewaktu di dunia, karena
mereka tidak mau taat kepada Allah SWT. Itulah hari yang dahulunya
diancamkan kepada mereka.30
Dari keempat contoh ayat di atas, kata khusyū‘ ketika diikuti oleh
kata baṣar akan mengindikasikan suatu keadaan di mana tertunduk
seluruh manusia termasuk orang-orang yang tidak beriman pada saat
datangnya hari kiamat. Mereka merasakan rasa takut yang sangat
dahsyat pada saat itu.
Sedangkan tiga ayat lainnya diiringi oleh kata yauma’idzin dan
yauma al-qiyāmah. Di antaranya terdapat dalam Surah:
5. Q.S. Al-Ghāsyiah [88]: 2.
ع ةإ لش ئ ذ خ وهإ ي وم و ج “Banyak muka pada hari itu tunduk terhina.”31
Qatadah mengatakan bahwa banyak wajah yang tertunduk hina.
Ibn ‘Abbās berkata: “yang membuat khusyū‘ dan mengamalkan tidak
mendatangkan manfaat.”32
28 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an, 458. 29 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 571. 30 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 7, 294. 31 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 592.
87
6. Q.S. Ṭaha [20]: 108.
و ات ل ورح ن ف ا ع ت ال ص ع ل و ل ه و خ ال ي ئ ذ ي تي ع ون الد ي وم ل ه س ع ن م ت س
“Pada hari itu manusia mengikuti (menuju kepada suara) penyeru
dengan tidak berbelok-belok; dan merendahlah semua (lirih)
suara kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Maka kamu tidak
mendengar kecuali bisikan saja.”33
Pada hari itu manusia mengikuti (menuju kepada suara) penyeru
dengan tidak berbelok-belok pada saat mereka melihat kengerian hari
kiamat, mereka memenuhi seruan penyeru dengan cepat. Kemana pun
mereka diperintahkan, kesanalah mereka pergi. Seandainya pemenuhan
tersebut dilakukan oleh mereka di dunia, tentulah hal itu bermanfaat.
Akan tetapi pemenuhan mereka saat ini tidaklah berguna. dan
merendahlah semua suara kepada Tuhan yang Maha Pemurah, maka
kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja: Ibn ‘Abbās menafsirkan
khasya‘at dengan “membisu” maka kamu tidak mendengar kecuali
bisikan saja, suara lembut dan derap kaki dalam kebisuan dan
ketundukan.34
7. Q.S. Asy-Syūrā [42]: 45.
ي ف ن ط رف خ ظ ر ون م ل ي ن ن الذ م ع لش ل خ ه و ي ر ض ون ل م ي ع ت ر اه و م و يه م و أ ه ه ف س ر وا أ ن س ين خ ر ين الذ ن وا ن ن اخ لس ين آم ق لل الذ ي وم و
يم ق اب م ف ل ذ أ ن ن الظلل م ة ي لم ق ال “Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam
keadaan tunduk karena (merasa) hina, mereka melihat dengan
pandangan yang lesu. dan orang-orang yang beriman berkata:
"Sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah orang-orang yang
kehilangan diri mereka sendiri dan (kehilangan) keluarga mereka
32 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 8, 456. 33 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 319. 34 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 8, 268.
88
pada hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya orang- orang yang
zalim itu berada dalam azab yang kekal.”35
Kamu akan melihat juga bahwa orang-orang zalim itu dihadapkan
ke api neraka dalam keadaan tunduk karena terhina akibat rasa amat
takut yang menimpa mereka. Mereka mencuri pandang ke arah neraka
karena takut akan bahayanya. Ketika itu, orang-orang Mukmin
mengatakan, “yang benar-benar merugi adalah orang-orang yang
menganiaya diri mereka sendiri dengan sikap ingkar. Mereka
kehilangan istri, anak dan kerabat karena tidak dapat menemui
mereka.” Allah pun lalu mengingatkan bahwa orang-orang zalim itu
akan mendapatkan azab yang kekal.36
Tiga ayat di atas menceritakan tentang tertunduknya manusia
pada hari kiamat. Manusia yang merasa rugi di akhirat karena tidak
memanfaatkan waktunya di dunia. Mereka yang tidak melakukan
ketaatan, tertunduk hina disebabkan kelalaian dan rasa takut akibat
menyaksikan azab yang akan diperoleh nantinya. Ayat ini secara umum
bercerita tentang keadaan manusia pada hari akhir. Akan tetapi lebih
kepada pembelajaran bagi orang-orang beriman tentang keadaan orang-
orang yang tidak beriman. Hal ini diketahui ketika ayat tersebut juga
disandingkan dengan berita kepada orang-orang yang beriman.
c. Hubungan Sintagmatik Kata Khusyū‘ Dengan Kuasa Allah
Korelasi Sintagmatik dalam term ini dengan kuasa Allah terdapat
pada ayat-ayat berikut:
1. Q.S. al-Fussilat [41]: 39.
زت ت لء اه م ل ال ه ن ل ل و ي ز ل ة ف إ ذ ا أ ن ع لش ت ه أ نك ت ر ى ال رض خ ن آي م و يرإ ء ق د ي ل ش و ن نه ل و ٱ ك وت ٱ م ي ي ال ح ل ل م ي له و ر ب ت و ن ن الذ ي أ ح
35 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 489. 36 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an, 517.
89
“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi
kering dan gersang, maka apabila kami turunkan air di atasnya,
niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang
menghidupkannya, pastilah dapat menghidupkan yang mati.
Sesungguhnya dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”37
Kata khusyū‘ dalam ayat ini bermakna kering dan gersang. Ada
pun kaitan kata khusyū‘ di sini dengan kering dan gersangnya bumi
adalah di sebabkan ketidak berdayaan bumi, sehingga ketika Allah
turunkan hujan barulah bumi itu bergerak dan menghidupkan sesuatu
yang ada di atasnya hingga tumbuh subur. Dengan meresapnya air dan
tumbuhnya berbagai tumbuhan, bumi menjadi tampak hidup dan
bertambah besar.38
Jadi kata khusyū‘ ini ketika berelasi dengan kata bumi memiliki
makna tak berdaya sedikitpun untuk bergerak dan menumbuhkan
sesuatu di atasnya.
2. Q.S. al- Ḥasyr [59]: 21.
ي ة ع ن خ ل م ل ت ص د ل م ع لش ت ه خ ي ل ل ر أ ي رآن ل و ٱ ج ق ا ال ذ ن ل ه ز ل ل و أ نر ب ل ل ونلس ث لل ن ض ك ال م ت و ر ون الل و و ف ب م ي ت ل ع وه
“Kalau sekiranya kami turunkan Al-Qur’an Ini kepada sebuah
gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah
disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-
perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka
berpikir.”39
Kata khusyū‘ dalam ayat ini juga berelasi dengan gunung. Yang
mana Allah membuat perumpamaan untuk manusia, jika Allah
menurunkan al-Qur’an kepada sebuah gunung lalu Allah berikan akal
pada gunung tersebut sebagaimana manusia pasti kamu akan
melihatnya terpecah belah disebabkan takut kepada Allah.
37 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 482. 38 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an, 421. 39 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 549.
90
Diagram 4.1: Medan Semantik secara Sintagmatik
Dari diagram di atas, kata khusyū‘ dapat dikategorikan kedalam
3 konsep yaitu:
a. Jika kata khusyū‘ berelasi dengan perbuatan-perbuatan manusia yang
secara lahiriyah ingin mendekatkan diri kepada Allah, maka kata
khusyū‘ di sini akan bermakna tunduk, patuh, dan takut dalam
lingkaran ketaatan kepada Allah.
b. Jika kata khusyū‘ berelasi dengan kondisi hari kiamat, maka kata
khusyū‘ di sini akan bermakna keadaan manusia yang tertunduk
pandangannya karena rasa takut dan cemas dengan keadaan yang
akan menimpanya.
c. Adapun yang ketiga, jika kata khusyū‘ berelasi dengan benda mati,
maka kata khusyū‘ di sini akan bermakna ketidak berdayaan dan
juga rasa takut kepada Allah.
Khusyū‘
Yabkūn
Ṣabr
Ṣalāt Al-Arḍ
Al-Jabal
Yaum al-Qiyāmah Āyāt al-Allāh
Abṣār
Khairāt
91
2. Analisis Paradigmatik
Analisis paradigmatik ialah suatu analisis yang
mengkompromikan kata atau konsep tertentu dengan kata atau konsep
lain, baik dengan kata yang memiliki kemiripan makna ataupun dengan
kata yang maknanya berlawanan.40 Sinonim ataupun antonim adalah
hasil akhir dari analisis paradigmatik. Boleh jadi terdapat sinonim
ataupun antonim boleh jadi tidak ada. Karena pada dasarnya yang
dimaksud analisis paradigmatik oleh Izutsu adalah asosiatif menurut
Saussure. Hubungan asosiatif ini ada yang muncul, ada yang tidak
dalam ujaran. Istilah asosiatif diganti menjadi paradigmatik atas saran
pengikut Saussure, Louis Hjelmslev, seorang ahli linguistik Denmark.41
Adapun kata-kata lain yang berelasi secara paradigmatis dengan kata
khusyū‘ dalam bentuk sinonim antara lain:
a. Khasyyah
Al-Khasyyah secara bahasa adalah bentuk maṣdar dari fi'il maḍi
yang mempunyai arti takut.42 Ibnu Manẓūr خشي – يخشى – خشية
menjelaskan dalam kitab Lisān al-‘Arab bahwa
al-Khasyyah adalah al-Khauf.43 yang arti keduanya adalah takut,
namun keduanya memiliki sisi perbedaan.
Al-Rāgib Aṣfahānī menjelaskan dengan detail dan spesifik makna
khasyyah yaitu:
ل ب م و ل ن ل ك ل ذ ن و ب ل ي م ر ث ك أ ، و مإ ي ظ ع ت ه ب و ع ي فإ و : خ ة ي ع خ ا لب لء م و ع ل ا ص خ ك ل ذ ل ، و ه ن ٱ م ع ي
40 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 32. 41 Harimurti Kridalaksana, Mongin Ferdinand de Saussure, Peletak Dasar
Strukturalisme dan Linguistik Modern (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 33. 42 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT Mahmud Yunus
Wadzuryah, 1972), 117. 43 Ibnu Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Dār al-Ma‘ārif, 2008), 1129.
92
Al-Khasyyah: “Rasa takut yang dilandasi dengan sikap
mengagungkan. Kebanyakan dalam penggunaan kata tersebut didasari
dengan pengetahuan mengenai hal tersebut (sesuatu yang ditakuti).
Oleh karena itu kata khasyyah tersebut dikhususkan hanya untuk para
ulama.”44 Sedangkan al-Alusi memaknai khasyyah dengan ketakutan
yang luar biasa walaupun yang takut adalah seorang yang kuat.45
Dalam al-Qur’an kata khasyyah diulang sebanyak 48 kali, dalam
22 bentuk.46 Antara lain firman Allah Q.S. Fāṭir [35]: 28 yaitu:
ن م و اب النلس و ع لم و الد ل ك و ان ه أ ل م ت و فإ و ال ن ذ ع ن ن ل ك ن الل ٱي م ه لء ل ي لد ع و م غ ف ورإ ل ز يزإ الل ن ن ال
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata
dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah
di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”47
Al-Ṭabari menjelaskan bahwa kata khasyyah di atas adalah rasa
takut yang dimiliki oleh seseorang karena adanya pengetahuan yang ia
miliki.48 Sama halnya dengan Ar-Razi menyebutkan bahwa khasyyah
atau rasa takut tersebut dimiliki seseorang berdasarkan keilmuan yang
dimilikinya.49
Kata ‘Ulamā’ ( الماء ) yang terdapat pada ayat di atas adalah
bentuk jamak dari kata ‘ālim yang terambil dari akar kata yang berarti
mengetahui secara jelas. Karena itu, semua kata yang terbentuk dari
huruf-huruf ‘ain, lām dan mīm selalu menunjuk kepada kejelasan.
44 Al-Rāgib Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān, 198. 45 Al-Alusi al-Bagdadi, Rūh Al-Ma’ānī: Tafsīr Al-Qur’ān al-‘Aḍīm wa al-Sab’i al-
Maṣāni, 141. 46 233-234 47 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 437. 48 Al-Ṭabari, Tafsīr al- Ṭabarī: Jāmi’ al- Bayān ‘an Ta’wīl ay al-Qur’ān (Bairūt
Syūriyā: Muassasah Risālah, 1994), 251. 49Fahkruddīn al- Rāzī, Tafsīr al-Fakhri al-Rāzi: Mafātih al-Gaibi (Dār Al- Fikr,
1981), 21.
93
Seperti yang dikutip oleh M. Quraish Shihab dari ungkapan Ibn ‘Āsyūr
dan Ṭabāṭabā’i bahwa mereka memahami kata ini dalam arti ‘yang
mendalami ilmu agama’ orang yang mengenal Allah Swt. Dengan
nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya, sehingga hati
mereka menjadi tenang dan keraguan serta kegelisahan menjadi sirna.50
Pada Q.S. Al-Mu‘minūn [23]: 57 penggunaan kata khasyyah.
ين ن ن م الذ ن ه ي ة م ع ق ون ر ب م خ ف م ع“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan
adzab Tuhan mereka.”51
Al-Ṭabari menerangkan bahwa khasyyah pada ayat ini memiliki
makna perasaan takut yang menyebabkan seseorang akan berusaha
untuk terus berbuat baik untuk mencapai ridha Allah.52 Sedangkan
dalam kitab Mafatih al-Ghaib diterangkan bahwa khasyyah adalah rasa
takut yang disertai dengan perasaan lemah, minder dan pesimis
terhadap keagungan yang dihadapi. Dikarenakan perasaan takut
tersebut maka seseorang akan sebisa mungkin menjauhi hal-hal yang
dilarang dan berusaha untuk mencapai ridha Allah. Al-Razi
menjelaskan bahwa ayat di atas dengan menerangkan berberapa macam
ketakutan di antaranya: 53
1. Takut jangan sampai amalan baik tidak diterima-Nya.
2. Takut terhadap hamba-hamba Allah karena mengetahui kadar
kedudukan mereka.
3. Takut menyangkut waktu, jangan sampai digunakan dengan
sia-sia.
4. Takut menyangkut kalbu, jangan sampai dikotori oleh pamrih.
50 M. Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāh; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an, vol.11, 61. 51 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 345. 52 Al-Ṭabari, Tafsīr al- Ṭabarī, 251. 53 Fahkruddīn Al- Rāzī, Tafsīr al-Fakhri al-Rāzi: Mafātih al-Gaibi, 107.
94
Jadi, dari penjelasan ayat dan penafsiran ayat di atas, dapat
diketahui bahwa khasyyah memiliki sinonim makna dengan kata
khusyū’ dari makna takut kepada Allah.
b. Khuḍū’
Kata khuḍū’ berasal dari kata kerja yang terdiri dari tiga huruf,
yaitu kha’, ḍat dan ‘ain, rangkaiannya mengandung makna tunduk dan
merendahkan diri.54 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, khuḍū’
diartikan dengan rendah hati.55 Kata khuḍū’ dalam al-Qur’an
disebutkan sebanyak dua kali yaitu dalam Q.S. al- Aḥzāb [33]: 32 dan
Q.S. Asy-Syu’arā’ [26] 26 yaitu.
ول ق ل ن ب ع ض ف ا ت ت ي ت ق لء ن ن ا ن الن س د م أ ح ك لء النب ل ست ي ن س و ن ق ق و ر ضإ و ي ه م و ع الذ ي ف ق م ي ط ر وفف ع م
“Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit
dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.”56
Ayat ini menjelaskan tentang adab yang diperintahkan kepada
para istri nabi serta wanita lainnya. Allah memerintahkan untuk
bertakwa, maka mereka tidak seimbang dengan wanita lainnya dalam
keutamaan dan kedudukan. Dan juga janganlah para istri Nabi untuk
tunduk yaitu berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian
orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka. Menurut as-Suddi
yang dimaksud tunduk yaitu melembutkan kata-kata apabila berbicara
54 Ahmad Munawwir Warson, Kamus Al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1996), 347. 55 Umi Chulsum dan Windi Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Surabaya:
Kashiko, 2006), 378. 56 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 422.
95
dengan laki-laki, sehingga berkeinginan laki-laki yang ada penyakit di
dalam hatinya untuk berniat buruk.57
Oleh karena itu, jika mengadakan pembicaraan dengan laki-laki,
maka mereka para istri nabi dan wanita lainnya dilarang merendahkan
suara yang dapat menimbulkan perasaan kurang baik terhadap kesucian
dan kehormatan mereka, terutama jika yang dihadapi itu orang-orang
fasik atau munafik yang i’tikad baiknya diragukan.58 Sedangkan dalam
Q.S. al-Syu’arā’ [26]: 4.
ع لض م ل ل خ ن لق ه لء آي ة ف ظ وت أ ل م ن الس م م ه ز ل ل و ي أ ن ن ن ن نع “Jika kami kehendaki niscaya kami menurunkan kepada mereka
mukjizat dari langit, Maka senantiasa kuduk-kuduk mereka
tunduk kepadanya.”59
Ayat ini menerangkan tentang kuasa Allah jika hendak memaksa
mereka kaum Quraisy supaya beriman, hal itu sangat mudah bagi
Allah. Namun demikian, Allah hendak memberlakukan sunnah-Nya
bahwa beriman itu bukanlah dengan paksaan dan kekerasan, tetapi
dengan kesadaran dan kemauan sendiri. Memaksa orang agar beriman
bertentangan dengan firman-Nya60 serta sunnah. Seandainya Allah
menghendaki mereka untuk beriman niscaya Allah akan menurunkan
suatu tanda yang memaksa mereka untuk mengimaninya. Akan tetapi
Allah tidak melakukannya karena Allah tidak menghendaki dari
57 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid. 6, 477. 58 Muhammad Ibn Jarīr Ibn Yazi Ibn Khālid Ibn Kaṣīr Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’
al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān, 422. 59 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 367. 60 QS. Al-Baqarah (2): 256.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia
Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” Lihat Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan Terjemahannya, 42.
96
seseorang kecuali keimanan ikhtiyari (hasil dari kemauan manusia itu
sendiri).61
Jadi, dari penjelasan ayat dan penafsiran di atas dapat diketahui
bahwa kata khuḍū’ ini memiliki sinomim makna dengan kata khusyū‘.
c. Taḍarru’
Secara bahasa taḍarru’ memiliki arti tunduk, patuh, dan
merendahkan diri.62 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
taḍarru’ diartikan kerendahan hati, kesahajaan, kesederhanaan.63
Dalam al-Qur’an term taḍarru’ dengan berbagai perubahannya terdapat
pada delapan tempat,64 antara lain firman Allah yaitu:
م ب ه ن ذ و ك ف أ خ ي ن ق م م ون ل ن ل أ م د أ رس ل ق م و لء و الضراء ل ع وه س ي أ لرل ون ي ت ض
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada
umat-umat yang sebelum kamu. Kemudian kami siksa mereka
dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya
mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan
diri.” (Q.S. Al-An’ām [6]: 42).65
ط لن ي ت ق و وب م و ز ين ل م الع ل ب ن ق س رل وا و ن ل ت ض م ب س لءه ف و و ن ذ ج و ون م لن وا ي ع ل ك م
“Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan
tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan kami kepada
mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan pun
menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka
kerjakan.” (Q.S. Al-An’ām [6]: 43).66
61 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 6, 140. 62 Ahmad Munawir Warson, Al-Munawir, 820. Lihat Shūq Ḍayf, et.al. Mu’jam al-
Wasīṭ, 559. 63 Umi Chulsum dan Windi Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 638. 64 QS. al-An’ām (6): 42, 43, 63; QS. al-Mu’minūn (23): 76; QS. al-A’rāf (7): 55,
94, 205; QS. al-Ghāshiyah (88): 6. Lihat Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-
Mufahrash li Ālfāẓ al-Qur’ān al-Karīm, 533. 65 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 132. 66 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 132.
97
ي ة لئ ن ف رلل و خ ل ون ه ت ض ر ت د ي ح ل ا ب و لت ال ن ظ و م م م يب ن ي ن ج ق ل م لك ر ين ن الع ون ن م ه ل ن ب ن ه ذ أ نج لن م
“Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari
bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya
dengan rendah diri dengan suara yang lembut (dengan
mengatakan: “Sesungguhnya jika dia menyelamatkan kami dari
(bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang
bersyukur.” .” (Q.S. Al-An’ām [6]: 63).67
اب ع ذ ل م ب ه ن ذ د أ خ ل ق رل ون و ل ي ت ض م لن وا ل ر ب م و ت ب ل اس ف م “Dan sesungguhnya kami telah pernah menimpakan azab kepada
mereka68, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan
(juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri.”
.” (Q.S. Al- Mu’minūn [23]: 76).69
ين ت د ع م ل ب ا ي ة ن نه ف رلل و خ م ت ض ل وا ر بب اد“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara
yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.” (Q.S. Al-A’rāf [7]: 55).70
م لء و الضراء ل ع وه س ي أ ل ل ب و ه ن أ ه ذ أ خ ن ن نب ري ة م ن ل ف ق و ل أ رس م و رل ون ي ض
“Kami tidaklah mengutus seseorang Nabi pun kepada sesuatu
negeri, (lalu penduduknya mendustakan Nabi itu), melainkan
kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan
supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.” (Q.S. Al-
A’rāf [7]: 94).71
و غ د ل ول ب ق ل ن ا ر م د ون ال ه ة و يف رلل و خ ك ت ض س ر ربك ف ن ف و اذك ن ن م ت ب لل و و الص غ لف و ال
“Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan
merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan
67 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 135. 68Yang dimaksud dengan azab tersebut antara lain kekalahan mereka pada
peperangan Badar, yang dalam peperangan itu orang-orang yang terkemuka dari mereka
banyak terbunuh atau ditawan, dan musim kering yang menimpa mereka, hingga mereka
menderita kelaparan. Hal ini dapat diketahui dari ayat sebelumnya ayat 75. 69 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 347. 70 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 157. 71 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 162.
98
suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-A’rāf [7]: 205).72
س ل م ر يع لي ن ض م ط ع لمإ ن “Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang
berduri.” (Q.S. Al-Ghāshiyah [88]: 6).73
Semua ayat di atas, rata-rata berbicara tentang manusia
yang membangkang dan sombong kepada Allah. Mereka tidak
mau tunduk merendahkan diri untuk berdoa kepada Allah.
Sehingga ditimpakan azab kepada mereka, namun apa yang terjadi
mereka tetap tidak mau beriman justru mereka terus pada
penyimpangan dan kesesaatan mereka. Mereka terus-terusan
menyombongkan diri dan enggan untuk berdoa kepada Allah.
Jadi, dari penjelasan ayat dan penafsiran di atas dapat
diketahui bahwa kata taḍarru’ ini memiliki sinomim makna
dengan kata khusyū‘. Akan tetapi taḍarru’ lebih kepada konotasi
negatif.
d. Al-Ikhbāt
Secara etimologis الإخبات (al-ikhbāt) berarti tanah datar yang
luas.74 Mujāhid (w. 103 H) mengartikan kata al-mukhbitīn sebagai
orang-orang yang tenang. Sedangkan menurut al-Ẓahāk (w. 45 H)
seperti yang dikutip oleh ‘Alī al-Ṣabūnī bahwa ia mengartikan kata al-
mukhbitīn sebagai orang-orang yang merendahkan diri.75 M. Quraish
Shihab menjelaskan bahwa kata al-mukhbitīn ( تينالمخب ) terambil dari
kata al-khabt ( الخبت ) yaitu dataran rendah yang siap diolah guna
berbagai manfaat. Kata yang digunakan ayat ini bermakna orang yang
72 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 176. 73 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 592. 74 Muhammad Dawud, Mu’jam al-Furūq al-Dalāliyah (Kairo: Dār Gharīb, 2008),
222. Lihat, Shawqi Ḍayf, dkk., al-Mu’jam al-Wasīṭ (Kairo: Maktabah al-Shurūq al-
Dawliyah, 2008), 221. 75 Muhammad ‘Alī al-Ṣabūnī, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, vol. 3 (Bairūt: Dār al-
Fikr, t.th), 543.
99
berjalan di dataran rendah. Kata tersebut secara majazi bermakna orang
yang rendah hati, tidak angkuh, tulus, tidak pamrih, serta selalu siap
melakukan hal-hal yang bermanfaat.76 Bila dilihat dalam al-Qur’an,
kata al-ikhbāt (الإخبات) terulang sebanyak tiga kali dalam dua Surah.77
a. Al-Ikhbāt yang berarti merendahkan diri, sebagaimana firman Allah
Q.S. Al-Hūd [11]: 23:
لب ئ ك أ صح ت وا ن ل ر ب م أ ول ي و وا الصلل لت و أ خ ل م ن وا و ين آم ن ن الذ ون لل د ل خ م ف يه ال نة ه
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal-amal shaleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka.
Mereka itu adalah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di
dalamnya.”78
Ayat ini menjelaskan mengenai nasib orang-orang yang beriman
dan beramal shaleh. Mereka selalu berserah diri kepada Allah dengan
patuh dan taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, mengerjakan
berbagai kebajikan di dunia, melaksanakan ketaatan pada Allah dengan
tulus ikhlas dan meninggalkan segala yang mungkar. Mereka itu adalah
penghuni-penghuni surga yang tidak akan keluar lagi darinya, dan
mereka tidak akan mati, bahkan kekal di dalamnya untuk selamanya.79
Mereka menjadi pewaris beraneka ragam surga yang mempunyai
banyak kamar yang tinggi, pelaminan yang berderet rapi, aneka buah-
buahan yang segar, permadani yang tebal, serta berbagai keindahan
76 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an, vol. 8, 204. 77 Muḥammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu‘jam al-Mufahrās li Alfāẓ al-Qur’an al-
Karīm (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), 226. 78 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 224. 79 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an, 402.
100
yang menyenangkan, mereka memiliki kesempatan memandang kepada
rabb pencipta langit dan bumi. 80
b. Al-Ikhbāt yang berarti tunduk dan patuh, sebagaimana firman Allah
Q.S. Al-Ḥaj [22]: 34:
ة ن ب يم م م ل ر ز ق ه م الل ل و ٱ م ر وا اس بل ل ي ذك نس ن ل م و ع ة ج ل أ م ل ب و ي ت خ م ر ال ب ع وا و و م دإ ف و ه أ س م ن ل هإ و اح ع لم ف إ ل ب ال ن
“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan
(kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang
ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka
Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah
kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-
orang yang tunduk patuh (kepada Allah).”81
Allah telah menetapkan syariah bagi tiap-tiap manusia termasuk
di dalamnya syariah kurban. Seseorang yang berkurban berarti ia telah
menumpahkan darah binatang untuk mendekatkan dirinya kepada Allah
dan ingin mencari keridhaan Allah. Allah memerintahkan kepada
orang-orang yang berkurban itu agar mereka menyebut dan
mengagungkan nama Allah waktu menyembelih binatang kurban, dan
agar supaya mereka menyukuri nikmat Allah yang telah dilimpahkan
kepada mereka. Di antara nikmat Allah itu adalah berupa binatang
ternak, seperti unta, lembu, kambing dan sebagainya yang merupakan
rezeki dan makanan yang halal bagi mereka. Dari ayat ini dapat
dipahami bahwa orang-orang yang beriman dilarang mengagungkan
nama apapun selain dari nama Allah. Pada akhir ayat ditegaskan bahwa
Allah yang berhak disembah itu adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan
kepercayaan tauhid itu telah dianut pula oleh orang-orang dahulu,
karena itu patuh dan taat hanya kepada Allah, mengikuti semua
perintah-perintah-Nya, menjauhi semua larangan-Nya dan melakukan
80 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 4, 338. 81 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 336
101
semua pekerjaan semata-mata karena-Nya dan untuk mencari
keridhaan-Nya. Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar
menyampaikan berita gembira kepada orang-orang yang tunduk, patuh,
taat, bertobat dan merendahkan dirinya kepada-Nya bahwa bagi mereka
disediakan pahala yang berlipat ganda, berupa surga di akhirat nanti.
Mereka adalah orang-orang yang ṭuma’ninah, orang-orang yang
tawadhu’ dan tunduk serta lagi ridha dengan qadha Allah dan selalu
berserah diri.82
c. Al-Ikhbāt yang berarti menerima (pasrah), sebagaimana firman
Allah Q.S. Al-Ḥaj [22]: 54:
ي ت ل ه ت خ ن وا ب ه ف ؤم ي ن رب ك ف م أ نه ال ق م ع و ل ين أ وت وا ا و م الذ ع ل ي و يم ت ق س ر اط م ن وا ن ل ص ين آم ن ن الل ل لد الذ ق و وب م و
“Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini
bahwasanya al-Qur’an itulah yang hak dari Tuhan-mu. Lalu
mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan
sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang
yang beriman kepada jalan yang lurus.”83
Pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan tentang berbagai usaha
setan-setan beserta pengikut-pengikutnya untuk memperdayakan
manusia dengan menambah pengertian yang salah dalam ayat-ayat al-
Qur’an dan dalam agama Islam. Perbuatan mereka itu menjadi cobaan
bagi manusia, terutama bagi orang-orang yang beriman, orang-orang
yang ingkar dan sesat hatinya serta orang-orang munafik. Godaan setan
itu menambahkan sesat dan menimbulkan penyakit dalam hatinya,
sehingga kekafiran dan kemunafikan mereka bertambah. Sedang orang-
orang yang kuat imannya tidak akan tertipu oleh setan, sebab setiap
godaan setan yang datang kepadanya akan menambah kuat imannya.
82 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 5, 512. 83 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 338.
102
Sebaliknya orang-orang yang sesat hatinya dan ada penyakit di
dalamnya akan jauh menyimpang dari jalan yang benar. Mereka tidak
dapat lagi mengharap keridhaan Allah dan tidak akan lepas dari siksaan
Allah.84
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah melakukan yang demikian
itu agar orang-orang yang berilmu pengetahuan mengetahui dan
merenungkan segala macam hukum yang telah ditetapkan Allah,
pokok-pokok sunnatullah, segala macam subhat dan penafsiran ayat-
ayat dengan cara yang salah yang dibuat oleh setan dan pengikut-
pengikutnya. Dengan pengetahuan dan pengalaman itu diharapkan
iman mereka bertambah, meyakini bahwa Allah menjamin keaslian al-
Qur’an dari campur tangan manusia di dalamnya dan dari penafsiran
yang salah. Karena itu hendaklah orang-orang yang beriman yang telah
dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, antara iman dan
kufur menundukkan dan menyerahkan diri kepada Allah. Di samping
itu membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan sungguh-sungguh,
melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya, menghentikan segala
larangan-Nya, baik yang berhubungan dengan ibadah, muamalat, budi
pekerti, hukum dan tata cara bergaul dalam kehidupan masyarakat.85
Jadi, dari penjelasan ayat dan penafsiran di atas dapat diketahui
bahwa kata ikhbāt ini memiliki sinomim makna dengan kata khusyū‘.
Kata ikhbāt berkonotasi positif.
84 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 5, 435. 85 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, jilid 5, 436.
103
Selanjutnya antonim kata khusyū‘ antara lain:
a. Qaswah
Kata qaswah menjadi antonim dari kata khusyū‘. Qaswah adalah
hati yang keras yang tidak terpengaruh hatinya ketika dibacakan ayat-
ayat al-Qur’an. Berbeda halnya dengan orang-orang beriman, hati
mereka akan bergetar jika dibacakan ayat-ayat al-Qur’an atau
diingatkan tentang Allah. Seperti yang Allah jelaskan dalam Q.S. Al-
Anfāl [8]: 2.
م ه ن ذ ا ت و ي ت ل و ي و ت ق و وب م و ين ن ذ ا ذ ك ر الل و ج ن ون الذ ؤم م ل ن ن ل او ون و ك ل و ٱ ر ب م ي ت ت م ن يم لن و ت ه ز اد آي
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang
bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya),
dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”86
Qaswah beserta derivasinya dalam al-Qur’an terulang sebanyak 7
kali, yang terdiri dari kata benda sebanyak 4 kali, dipakai kata kerja
sebanyak 3 kali, dan terdapat dalam 6 Surah.87 Allah berfirman dalam
Q.S. Al-Baqarah [2]: 7:
ي د ذ ل ك ف ه ن ب ع م م ت ق و وب ب ن ن ث ق س و و د ق س لر أ و أ ش لل ج ك ر ي خ قق ف ل ي ع ل ل م ه ن ن ن م لر و ه ال ن ر م ف ج ل ي ت لر ل م ن ال ج م ل ل الل ب غ لف ل ل م م ي ة الل و ع ن خ ي ط م ل ي ه ل ل م ه ن ن ن م لء و م ه ال ن م
و ون م ت ع“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan
lebih keras lagi. padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang
mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh
ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan
diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, Karena takut
86 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 178. 87 Muḥammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu‘jam al-Mufahrās li Alfāẓ al-Qur’an al-
Karīm (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), 545.
104
kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang
kamu kerjakan.”88
Kata qaswah menerangkan tentang orang yang hatinya sangat
keras itu tercela dan dalam kesesatan yang nyata. Seperti perkataan
Mālik bin Dīnār yang dikutip oleh al-Baghawī dalam tafsirnya
ma‘ālim al-tanzīl, bahwa “seorang hamba tidaklah dihukum dengan
suatu hukuman yang lebih besar daripada hatinya yang dijadikan keras.
Tidaklah Allah marah terhadap suatu kaum kecuali Dia akan mencabut
rasa kasih sayang-Nya dari mereka.89
Kata ini berlawanan dengan kata khusyū‘. Orang-orang yang
khusyū‘ merendahkan hati mereka untuk tunduk mengingat Allah.
Dalam hati mereka terdapat rasa takut akan azab Allah sehingga
melahirkan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan oleh Allah.
Mereka taat kepada setiap perintah. Beda halnya dengan orang-orang
yang keras hatinya, mereka sombong dan mendurhakai Allah.
b. Muḥāddah
Muḥāddah adalah menyelisihi, memerangi, membangkang,
memusuhi dan melawan.90 Kata muḥāddah ini dengan segala
derivasinya terulang sebanyak 25 kali dalam 12 Surah.91 Kata ini
menjadi antonim dari kata khusyū‘, yang mana muḥāddah merupakan
salah satu karakteristik orang munafik. Seperti firman Allah dalam Q.S.
Al-Taubah [9]: 63 sebagai berikut:
88 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 12. 89 Abu Muhammad al-Husain Ibn Mas’ud al-Farra Al-Bagawī, Ma‘ālim at-Tanzīl,
jilid 1, Tahqiq Muhammad Abdullah an-Namr, Utsman Jam’ah Dhamiriya Cet.VII
(Riyāḍ: Dār Ṭayyiibah li an-Nasyr wa at-Tawzi’, 1997), 115. 90 Muhammad Ibn Umar Ibn Al-Hasan At-Tamimi Al-Bakri At-Tabaristani Ar-
Razi Fakhruddin, al- Tafsīr al- Kabīr aw Mafātīh al-Ghaib, cet. VIII (Beirut Lebanon:
Dār al-Fikr, 1981), 122 91 Muḥammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu‘jam al-Mufahrās li Alfāẓ al-Qur’an al-
Karīm, 195.
105
ل لل دا ف يه نم خ ه ر ج ول ه ف أ ن ل ه ن لد د الل و ر س ن وا أ نه م و م أ ل ي عيم ع ظ ذ ل ك اخ زي ال
“Tidaklah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui
bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya neraka Jahannamlah baginya, kekal mereka di
dalamnya. itu adalah kehinaan yang besar.”92
Orang-orang munafik menyelisihi syari’at Allah dan
membangkang kepada-Nya. Apabila diseru untuk berinfak di jalan
Allah, mereka enggan, jika diseru berjihad mereka tidak laksanakan.
Mereka tidak mengerjakan salat kecuali dalam kemalasan, sehingga
yang mereka lakukan hanyalah berbagai bentuk penentangan. Lain
halnya dengan orang-orang yang khusyū‘, mereka senangtiasa
melaksanakan semua perintah dengan hanya mengharap ridha Allah.
Diagram 4.2: Medan Semantik secara Paradigmatik
C. Analisis Sinkronik Diakronik
Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa untuk
mendapatkan analisis semantik secara mendalam, diperlukan
92 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 197.
Khusyū‘
Khuḍū’
Taḍarru’
Khasyyah
Ikhbāt
Qaswah Muḥāddah
106
pendekatan sinkronik dan diakronik. Sinkronik berasal dari perpaduan
dua kata dalam bahasa yunani yaitu “syn” dan “khronos”, “Syn”
memiliki arti “dengan” dan “khronos” berarti waktu, dengan demikian
sinkronik memiliki arti mempelajari suatu bahasa pada satu zaman.
Dalam kata lain, sinkronis adalah meneliti suatu kosakata dari
perspektif tertentu yang terbatas hanya pada satu waktu tertentu. Kajian
sinkronik bisa dilakukan dengan pengkajian terhadap sejarah kata-kata
berdasarkan seluruh sistem statis atau ketika kita membandingkan dua
kata atau lebih dari bahasa yang sama maka akan memunculkan tahap-
tahap sejarah yang berbeda, yang satu sama lainnya dipisahkan oleh
interval waktu. Begitu juga dengan kosakata dalam al-Qur’an atau
bahasa al- Qur’an. Bahasa al-Qur’an memiliki proses historis yang
berlangsung selama 22 tahun dengan dua periode yaitu periode Makkah
dan Madinah. Maka kosakata al-Qur’an secara keseluruhan terbentuk
sebagai sistem yang statis sebagaimana objek kajian sinkronik ini.93
Sedangkan aspek diakronik adalah aspek sekumpulan kata yang
masing-masing tumbuh dan berubah bebas dengan caranya sendiri yang
khas. Pendekatan yang digunakan untuk melakukan studi atas
fenomena kebahasaan sesuai dengan urutan sejarah. Kajian diakronik
bahasa berkaitan dengan variasi, ragam-ragam atau dialek-alek satu
bahasa. Kemungkinan dalam suatu masa sebuah kata tersebut
mengandung makna yang penting dalam kehidupan masyarakat, dan
pada masa lain mungkin kata itu mengalami distorsi makna karena ada
kata-kata baru yang muncul. Tidak menutup kemungkinan juga sebuah
93 Ismatillah, dkk. “Makna Wali dan Auliya dalam al-Qur’an: Suatu Kajian
dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu,” Diya al-Afkar, vol. 5 no. 02 (Desember
20016): 51.
107
kata bisa bertahan dalam jangka waktu lama pada masyarakat yang
menggunakannya.94
Objek penelitian ini adalah kosa kosakata al-Qur’an, sedangkan
kosakata al-Qur’an sendiri berkaitan dengan kata kata yang sebelumnya
digunakan oleh masyarakat pra Islam. Aneka penelusuran kosa kata di
luar sistem al-Qur’an masih relevan, sepanjang hal tersebut dapat
memberi informasi yang berguna bagi pembentukan konsep semantik
al-Qur’an, terdapatnya signifikansi penggabungan semantik historis
dengan semantik sinkronik dalam menganalisis struktur kosakata al-
Qur’an, dan kandungan unsur semantik dasar sebuah kata masih ada
dimanapun kata tersebut diletakkan dan digunakan.95 Dalam analisis
semantik historis kosakata ini, toshihiko Izutsu memberi upaya
simplikasi pada persoalan ini dengan membagi kedalam tiga periode
waktu penggunaan kosakata, yaitu pra Qur’anik, Qur’anik, pasca
Qur’anik.96
1. Pra Qur’anik
Periode pra Qur’anik adalah masa sebelum Islam datang. Dalam
memahami arti kosakata pada masa pra Qur’anik, sya‘ir-sya‘ir
Jahiliyah adalah salah satu media yang representatif untuk digunakan.
Sya‘ir Jahiliyah adalah syair yang berkembang pada masa sebelum
Islam datang. Sistem pra Qur’anik juga bisa dilakukan dengan cara
melihat kosakata Badui yang memiliki pandangan dunia Arab kuno,
kosakata kelompok kafilah (pedagang), dan kosakata yang merupakan
sistem istilah-istilah religius Yahudi-Kristen yang hidup di tanah Arab.
Namun, bagi bangsa Arab kuno, sya‘ir atau puisi merupakan produk
94 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 22-23. 95 Ismatillah, dkk. “Makna Wali dan Auliya dalam al-Qur’an: Suatu Kajian
dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu,” 45. 96 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 35.
108
budaya terbesar. Sya‘ir mereka banyak bertutur tentang kisah roman
dan peperangan, solidaritas kelompok, dan mengecam musuh.97
Pada masa pra Qur’anik kata khusyū‘ memiliki beberapa makna
yang bersumber dari akar kata (خشع) artinya adalah tunduk atau
menundukkan (الخضوع). Term khusyū‘ juga bermakna menjatuhkan
atau terbenam (خسفت) dan menutupi atau menghilang (كسفت). Berkata
Abū Ṣālih al-Kilābī:
له ي ي غ م ف ب ي غ ت ت لد ك و ت لر غ اذ ن ب اك و ب ال ع و ع خ “Bintang-bintang tunduk ketika hampir jatuh dan bersembunyi
dalam keterbenamannya.”
Seperti pada syi‘ir Abu ‘Adnani, seorang yang ahli dalam syi‘ir-
syi‘ir bahasa Arab zaman Jahiliyah. Dalam sya‘irnya: # ب ي غ م ال ن م ت ن ا د ذ ن ب اك و ب ل ا ت ع ع خ ب ي غ ت ل ت لل م ى أ ب اك و ب ال ى د ي أ ت ع ض خ و
“Bintang-bintang tunduk ketika mendekati arah barat # Dan
matahari menyerahkan tangannya yang berarti condong untuk
tidak muncul.”98
Jadi pada masa pra Qur’anik kata khusyū‘ ditujukan untuk benda
mati yang ada di alam semesta seperti matahari, bintang yang mana
hanya mengandung makna lughawi saja. Dalam artian lain, term
khusyū‘ pra Qur’anik tidak berhubungan dengan keimanan dan ketaatan
seseorang kepada Allah.
2. Qur’anik
Yang dimaksud dengan masa Qur’anik di sini adalah masa di
mana Islam telah datang. Islam bersama al-Qur’an membawa konsep-
konsep baru yang berbeda dengan konsep yang telah dipegang pada
masa Jahiliyah. Maka beberapa kata kunci al-Qur’an ada yang berubah
97 Igrid Mattson, Ulumul Qur’an Zaman Kita: Pengantar untuk Memahami
konteks, Kisah, dan Sejarah Al-Qur’an (Jakarta: Zaman, 2008), 28. 98 Ibn Mandẓur, Lisān al-‘Arab (Libanon: Dār al-Ma’ārif, 1981), 1165.
109
maknanya dari masa Jahiliyah kepada masa Islam, meskipun pada
dasarnya tidak menghapus makna aslinya, karena makna asli dari
sebuah kata akan selalu melekat pada kata tersebut. Hanya saja dengan
datangnya konteks yang baru, maka makna dan penggunaannya dapat
berubah bahkan cakupannya bisa meluas.
Pada periode Qur’anik, secara umum kata khusyū‘ dalam al-
Qur’an sejalan dengan pengertian khusyū‘ dalam bahasa Arab,
sebagaimana khusyū‘ dalam bahasa Arab diartikan tenang, tenggelam,
tunduk, merendahkan diri.99 Hal ini sejalan dengan khusyū‘ yang
terdapat dalam al-Qur’an yang mengacu kepada keadaan tunduk,
tenang, dan merendahkan diri. Namun ketika kata khusyū‘ menempati
sebuah sistem bahasa al-Qur’an yang membangun konsep tersendiri
pada pengguna bahasa. Maka khusyū‘ dalam al-Qur’an memiliki makna
beragam. Hal ini diketahui ketika kata khusyū‘ diiringi dengan kata
lain.
Di antaranya ketika kata khusyū‘ dikhususkan untuk manusia
akan terbangun sebuah ruang lingkup yang memperluas pandangan
tentang makna kata ini, contohnya kata khusyū‘ ketika digunakan bagi
orang-orang beriman. Kata ini menjadi tidak hanya sebatas makna
tunduk, merendah, dan tenang secara lahiriyah, namun lebih dari hal itu
khusyū‘ berhubungan dengan rohaniahnya orang-orang beriman, yang
mana hatinya tunduk kepada Allah. Jadi khusyū‘ di sini adalah
ketundukan, ketenangan, kerendahan hati mentaati Allah, dan juga rasa
takut yang teramat dalam kepada Allah SWT., yang selanjutnya akan
terlihat dari seluruh anggota tubuh, baik lahir maupun batin.
99 Majduddīn Ibn Muḥammad Ibn Ya‘qūb al-Fairūzābādī al-Syairāzi, al-Qāmūs
al-Muḥīṭ, cet. VI (Damaskus: Muassasah ar-Risālah, 1998), 713.
110
Adapun ketika kata khusyū‘ digunakan untuk menceritakan
keadaan manusia pada hari kiamat, ini akan membangun konsep yang
berbeda juga yaitu lebih kepada keadaan manusia tersebut yang
tertunduk hina, lesu, yang menyesali semua perbuatan mereka di dunia.
Mereka menunduk bukan atas ketaatan melainkan atas penyesalan dan
rasa takut atas balasan apa yang nanti akan mereka terima.
Begitu juga ketika kata khusyū‘ yang ditujukan untuk benda mati
yang ada di semesta seperti bumi, gunung, memiliki makna
ketidakberdayaan semua ciptaanNya dan juga rasa takut terhadap Allah
3. Pasca Qur’anik
Periode pasca Qur’anik dalam hal ini adalah periode masa
sekarang. Pada periode ini, Islam telah menghasilkan banyak sistem
pemikiran yang berbeda dengan masa Qur’an, seperti, teologi, hukum,
teori politik, filsafat, dan tasawuf. Toshihiko Izutsu mengungkap pada
masa ini, kita berhak sepenuhnya membicarakan kosakata teologis
Islam, kosakata hukum Islam, kosakata tasawuf dan lain-lain. Menurut
pengertian teknis yang tepat sebagaimana didefinisikan dalam
bidangnya tersebut. Begitu juga dengan kata khusyū‘.
Orang-orang yang khusyū‘ adalah mereka yang menekan
kehendak nafsunya dan membiasakan dirinya menerima dan merasa
tenang menghadapi ketetapan Allah serta, selalu berharap mendapatkan
akhir yang baik. Mereka bukanlah orang yang terperdaya oleh nafsu.
Dengan itu, mereka mempersiapkan dirinya menerima dan
mengamalkan kebaikan. Mereka termasuk orang yang takut
mengarahkan pandangan mereka terhadap kesudahan sesuatu. Sehingga
111
hal tersebut membuat mereka berlaku sabar yang mampu menekan
gejolak nafsu.100
Pada saat ini pun kata khusyū‘ telah mengalami perluasan makna,
seperti halnya kata ini telah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang lebih identik kepada makna penuh konsentrasi,
bersungguh-sungguh, dan penuh kerendahatian. Khusyū‘ diartikan
kelembutan hati, ketenangan sanubari yang berfungsi menghindari
keinginan keji yang berpangkal dari memperturutkan hawa nafsu
hewani, serta kepasrahan dihadapan ilahi yang dapat melenyapkan
keangkuhan, kesombongan dan sikap tinggi hati.101
D. Weltanschauung
Weltanschauung secara sederhana sering diartikan sebagai filsafat
hidup atau prinsip hidup. Setiap agama (kepercayaan), bangsa, dan
budaya, bahkan setiap orang memiliki weltanschauung masing-masing.
Pada tataran wacana ilmiah, kata ini dimaknai lebih kompleks.
Sebagaimana Fathurrahman mengutip pendapat dari dua tokoh yaitu
Ninian Smart yang mengartikan, weltanschauung adalah kepercayaan,
perasaan, dan apa saja yang terdapat dalam pikiran orang yang
berfungsi sebagai motor bagi keberlansungan perubahan sosial dan
moral. Sedangkan Thomas F. Wall memaknai weltanschauung sebagai
sistem kepercayaan asasi manusia yang integral mengenai hakikat
dirinya sendiri, realitas yang mengelilinginya, dan makna eksistensi.
Pengertian-pengertian ini menunjukkan bahwa weltanschauung
merupakan sumber kekuatan bagi keberlangsungan atau perubahan
100 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an, vol. 1, 223. 101 Shūq Ḍayf, Mu’jam al-Wasīṭ (Kairo: Maktabah al-Shurūq al-Dawlīyah, 2008),
244, dan Al-Rāghib al-Isfahānī, Mu’jam Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān Qur’ān (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2004), 331.
112
sosial dan moral, sekaligus merupakan landasan bagi pemahaman
realitas dan aktivitas ilmiah.102
Menurut Syed Naquib al-Attas, dari perspektif Islam, sebuah
“pandangan dunia” tidak hanya pandangan akal terhadap dunia fisik
dan keterlibatan manusia secara historis, sosial, politik, dan budaya di
dalamnya. Ia tidak berdasarkan pada spekulasi filsafat yang dirumuskan
terutama dari penyelidikan terhadap data pengalaman dan penginderaan
semata, karena semua itu terbatas dalam dunia materi saja. Pandangan
dunia menurut Islam berhubungan dengan aspek alam akhirat. Segala
sesuatu dalam Islam pada akhirnya difokuskan pada aspek akhirat,
tanpa mengabaikan aspek dunia.103
Pandangan Syed Naquib al-Attas sejalan dengan weltanschauung
al-Qur’an yang ingin diungkap Toshihiko Izutsu yang tidak hanya
berkisar pada realitas yang tampak saja, namun juga realitas yang tidak
tampak. Menurut Izutsu, analisis semantik akan membentuk sebuah
ontologi wujud dan eksistensi pada tingkat kongkrit sebagaimana
cerminan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Tujuannya adalah untuk
memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari al-Qur’an dengan
penelaahan analisis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok
yang tampaknya memainkan peran yang menentukan dalam
pembentukan weltanschauung al-Qur’an. Jadi, semantik bagi Toshihiko
Izutsu tidak hanya untuk memahami makna, tetapi sekaligus budaya
yang terkandung dalam bahasa itu. Menurut Toshihiko Izutsu, hal ini
bukan pekerjaan yang mudah. Kata-kata atau konsep-konsep dalam al-
Qur’an tidak sederhana kedudukannya masing-masing terpisah, tetapi
102 Fathurrahman. “Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu”
(Tesis S2., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), 106 103 Syed Naqaib al-Attas, “Islamic philosophy: an introduction”, dalam journal of
Islamic philosophi 1 (2005), 11.
113
memiliki ketergantungan yang sangat kuat antara satu dengan yang
lain, dan makna kongkrit dihasilkan dari seluruh sistem yang saling
berhubungan tersebut. 104
Toshihiko Izutsu berusaha untuk membiarkan al-Qur’an
menjelaskan konsepnya sendiri dan berbicara untuk dirinya sendiri,
supaya tidak terjadi eliminasi dalam memahami weltanschauung al-
Qur’an. Caranya adalah dengan mengumpulkan semua kata-kata
penting yang mewakili konsep-konsep penting seperti Allah, Islam,
Nabi, iman, kafir dan lain sebagainya, setelah itu menelaah makna kata
dalam konteks al-Qur’an. Kata-kata penting ini, oleh Toshihiko Izutsu
disebut kata kunci. Konsep ini menunjukkan bahwa tidak semua kata-
kata dalam suatu kosakata memiliki nilai yang sama dalam
pembentukan struktur dasar konsepsi ontologis yang didasari kosakata
tersebut.105
Kosakata khusyū‘ dalam al-Qur’an membentuk hubungan antara
Allah, manusia, dan alam semesta. Hubungan antara Allah dan manusia
meliputi keadaan di dunia dan diakhirat kelak. Sedangkan hubungan
Allah dan alam semesta adalah ketidakberdayaan alam karena takut
kepada Allah. Seperti yang telah dijelasakan sebelumnya bahwa kata
khusyū‘ apabila menceritakan tentang manusia ketika hidup didunia
akan merujuk kepada sikap ataupun sifat mereka sebagai manusia yang
selalu merendahkan diri kepada Allah dalam ketaatan, mereka termasuk
orang-orang yang menyegerakan perintah Allah, mereka tunduk atas
segala perintah dan larangan Allah hal ini disebabkan oleh rasa takut
yang teramat dalam kepada Allah. Sedangkan kata khusyū‘ ketika
menceritakan keadaan manusia pada hari kiamat maknanya
104 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 3-4. 105 Fathurrahman. “Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu,”
2010.
114
merendahkan diri mereka karena hina, dan takut akan azab yang akan
menimpa mereka. Adapun ketika kata khusyū‘ berelasi dengan benda
mati seperti bumi, gunung dan lainnya. Maka, makna yang dihasilkan
akan merujuk kepada ketidakberdayaan alam atas dirinya dan juga
ketakutan yang besar atas kekuasaan Allah.
Dari semua uraian di atas dapat diketahui bahwa kata khusyū‘
akan tetap memiliki makna dasar “tunduk” yang mana semuanya
mengarah kepada satu titik ketundukan dengan rasa takut kepada Allah.
Jadi, di mana pun kata ini ditempatkan maknanya akan tetap mengarah
kepada ketundukan dengan rasa takut kepada Allah. Akan tetapi ketika
kata ini disandingkan atau digandengkan dengan kata lain maka “kata”
ini bukan lagi hanya sebagai “kata” bagi pengguna bahasa melainkan
terdapat konsep luas yang melingkupi “kata” tersebut. Seperti halnya
kata khusyū‘ sebagaimana yang telah dijelaskan di atas ketika berelasi
dengan kata lain ternyata kata ini memiliki konsep luas, yang
berhubungan dengan Allah, manusia, dan alam semesta.
115
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang terdapat dalam bab I, maka
jawaban atas pertanyaan tersebut adalah:
Khusyū‘ dalam beberapa kamus bermakna tunduk, merendahkan
diri. Sedangkan para ulama berbeda-beda dalam menetapkan makna
khusyū‘, disebabkan perbedaan latar belakang konsentrasi keilmuan
yang dimiliki. Hal ini terlihat misalnya ketika Para Fuqaha’
memberikan pengertian khusyū‘, yaitu rasa takut seseorang jangan
sampai salat yang dikerjakannya ditolak oleh Allah SWT. Yang
ditandai dengan tertunduknya pandangan mata ke tempat sujud.
Sedangkan ahli Tasawuf mengartikan khusyū‘ yaitu takut secara
konsisten untuk kepentingan hati, tunduknya hati dengan berperilaku
baik, dan keringnya hati dan perasaan rendah ketika berada di hadapan
Allah.
Lain halnya kata khusyū‘ dalam al-Qur’an jika dikaji dengan
menggunakan analisis semantik Toshihiko Izutsu, maka akan
ditemukan sebuah konsep yang lebih luas. Bukan hanya sebagai suatu
kata dalam susunan bahasa melainkan kata ini memiliki konsep makna
yang luas.
Hal ini menjadi inti kajian yang penulis lakukan. Untuk
mengetahui konsep khusyū‘ dengan menggunaan metode semantik
Toshihiko Izutsu, diperlukan beberapa tahapan yaitu: menentukan
makna dasar. Makna dasar dari khusyū‘ adalah tunduk, sedangkan
makna relasionalnya ketika diteliti melalui aspek sintagmatik maka,
kata khusyū‘ memiliki hubungan secara sintagmatik dengan kehidupan
manusia didunia, keadaan manusia pada hari kiamat dan alam semesta.
116
Sedangkan yang berhubungan dengan aspek paradigmatik seperti kata
khayyah, khuḍu’, taḍarru’, dan ikhbat dalam hal sinonim dan Qaswah
dan Muḥāddah dalam hal antonim.
Adapun dalam aspek sinkronik dan diakroniknya diketahui
bahwa sebelum al-Qur’an turun kata khusyū‘ digunakan untuk
menerangkan tentang keadaan, perubahan yang terjadi di alam semesta
seperti matahari, bintang, bumi dan lainnya. Setelah al-Qur’an turun
kata ini membangun sebuah konsep yang lebih luas terkait hubungan
Allah, manusia, dan alam semesta. Tidak hanya perihal ibadah semata,
kata ini juga mengidentifikasikan tentang kehidupan manusia di dunia
dan keadaan manusia pada hari kiamat. Serta ketidakberdayaan alam
semesta dan rasa takut kepada Allah.
Dari keseluruhan tersebut relasi yang dihadirkan merujuk kepada
suatu perasaan dan keadaan yang menghasilkan rasa takut kepada
Allah. Ketundukan manusia didunia, ketundukan manusia pada hari
kiamat, serta ketundukan gunung dan bumi kepada Allah disebabkan
oleh rasa takut yang begitu dalam. Hanya saja berbeda dalam
konteksnya.
Sehingga akhirnya memberi pandangan dunia atau
welthanschuung al-Qur’an dari kata tersebut. Yaitu welthanschuung
khusyū‘ dalam al-Qur’an berorientasi pada dua hal: Allah dan manusia.
Dalam konsep ketuhanan, derivasi khusyū‘ berhubungan dengan kuasa
Allah terhadap ciptaan-Nya. Makna dasar dari konsepsi ketuhanan
adalah tunduk secara lughawi tanpa ada unsur keimanan di dalamnya.
welthanschuung khusyū‘ dalam konsepsi ketuhanan adalah bahwa
Allah Maha Kuasa
117
Sedangkan dalam konsepsi manusia. Derivasi khusyū‘
berhubungan dengan manusia di dunia dan pada hari kiamat. Makna
dasar derivasi khusyū‘ di dunia berpusat kepada orang-orang beriman
yang berhubungan dengan perbuatan mereka seperti menyungkurkan
wajah, menangisi perbuatan dosa, menyegerakan perbuatan baik, salat,
sabar, dan lainnya. Sehingga makna dasar bagi manusia beriman
ketundukan dalam ketaatan dan rasa takut dalam keimanan kepada
Allah. Sedangkan dalam konteks hari kiamat berhubungan dengan
orang kafir yang makna menghasilkan makna dasar tunduk dalam
kehinaan dan rasa takut terhadap azab yang akan menimpa mereka.
welthanschuung khusyū‘ dalam konsepsi manusia adalah tunduk
diiringi rasa takut dalam keimanan dan tunduk diiringi rasa takut
dalam kehinaan.
B. Saran
Serangkaian penelitian ini dari awal hingga akhir, tentu ini
penulis menyedari bahwa sebuah penelitian pasti tidak lepas dari
sebuah kekurangan dan kesalahan dan masih jauh dari kata sempurna.
Untuk itu, penelitian ini tidak dapat dikatakan telah selesai, tetapi
masih bisa dikaji ulang secara mendalam lagi. Akan tetapi, paling tidak
diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi khazanah keilmuan
Islam yang begitu luas. Karenanya, penyempurnaan dan pengembangan
dari penelitian ini sangat diharapkan, terutama kaitannya dengan kajian
kata khusyū‘, maupun analisis semantik perspektif Toshihiko Izutsu.
Selanjutnya penelitian mendetail yang penulis lakukan hanya
dilingkaran kata khusyū‘ dalam al-Qur’an. Namun kata-kata yang
semakna dengan khusyū‘ belum diteliti secara mendetail dan
komprehensip. Oleh karena itu penelitian ayat-ayat yang semakna
118
dengan kata khusyū‘ seperti khuḍu’, taḍarru’, dan ikhbat dapat
dilakukan oleh peneliti selanjutnya.
119
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-Bāqī, Muḥammad Fu’ād. al-Mu‘jam al-Mufahrās li Alfāẓ al-
Qur’an al-Karīm. Beirut: Dār al-Fikr, 1994.
‘Abdul Fatīh, Ibrāhīm Ahmad. al-Qamūs al-Qawīm li al-Qur’ān al-Karīm.
Al-Azhār: Mujma’ al-Buhūs al-Islāmiyyah, 1983.
Ābādī, al-Fayrūz. al-Qāmūs al-Muḥīṭ. Damaskus: Muassasah ar Risālah,
1998.
Aṣfahānī, Ar-Rāghib. al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān. T.Tp: Maktabah
Nazār Mustafā al-Bāz, T.Th.
Al-Baghawī, Abū Muhammad al-Husain ibn Mas’ūd. Ma’ālim al-Tanzīl.
Dar al-Ṭayyibah, 1997.
Bisri, Adib dan Munawwir AF, Kamus al-Bisri. Surabaya: Pustaka
Progresif, 1999.
Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta, 2009.
Chirzin, M. Jihad dalam al-Qur’an Telaah Normatif, Historis, dan
Prospektif. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997.
Chulsum, Umi dan Windy Novia. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Surabaya: Yoshiko, 2006
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1996.
Dāmaghānī, Ḥusayan bin Muḥammad. Qamus aw Ishlah Al-Wujūh wa al-
Naẓā’ir fi al-quran al-karim. Bairut: Dār al ‘Ilmi al- Malayin,
1987.
Dawud, Muhammad. Mu’jam al-Furūq al-Dalāliyah. Kairo: Dār Gharīb,
2008.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtar
Baru Van Hoeve, 2001.
Ḍhaif,Shauqi. al-Mu’jam al-Wasīṭ. Kairo: Maktabah al-Shurūq al-
Dawliyah, 2008.
Fajar, Saiful “Konsep Syaiṭān Dalam Al-Qur’an: Kajian Semantik
Toshihiko Izutsu”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
Fanani, M. Kholisur Rohman. “Jihad dalam al-Qur’an Perspektif Semantik
Toshihiko Izutsu.” Skripsi S1., Universitas Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018.
Fathurahman. “Al-Qur’an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko
Izutsu.” Tesis S2., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010.
Al-Fayyumī, al-Mishbāh al-Munīr. Beirut: Maktabah Lubnān, 1897.
Hanbali, Ibn Rajab. khusyū fī Sholāt. Kairo: Dār al-Risalah, 2009.
120
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik Jakarta: Paramadina, 1996.
Hidayatullah, Muflihun “Ikhlas dalam al-Qur’an: Perspektif Semantik
Toshihiko Izutsu.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2018.
Ibn ‘Āsyūr, Muhammad at-Ṭāhir. Tafsīru at-Tahrīr wa at-Tanwīr. Tunis:
ad-Dār at-Tūnisiyyah, 1984.
Ibn Atsir. an-Nihāyah fī Gharīb al-Hadiṣ wa al-Atsār. Riyadh: al-
Maktabah al-Islamiyah, T.Th.
Ibn Fāris, Ahmad. Mu’jam Maqāyis al-Lughat. Beirut: Dār al-Fikr, 1979.
Ibn Manẓūr. Lisān al-‘Arab. Kairo: al-Dār al-Miṣriyyāt, t.th.
Ibn Mas’ud dan Zainal Abidin. Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 1: Ibadah.
Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Ibn Sa’dī, Abdul al-Rahmān ibn Nāṣir. Taisīru al-Karīmi al-Rahmān. t.tp,
Muassasah al-Risālah, 2000.
Ichsan, Muchammad. Hanya Salat Khusyū’ Yang Dinilai Allah.
Yogyakarta: Mocomedia, 2008.
Al-Isfahānī, Al-Rāghib. Mu‘jam Mufradāt AlFāẓ al-Qur’ān. Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2004.
Ismatillah, dkk. “Makna Wali dan Auliya dalam al-Qur’an: Suatu Kajian
dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu.” Diya al-Afkar,
vol. 5, no. 02 (Desember 2016): 45-51.
Izutsu, Toshihiko.Relasi Tuhan Dan Manusia: Pendekatan Semantik
Terhadap Al-Qur’an Terj Agus Fahri Husein Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2003.
Al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim. Madāriju as-Sālikin. Riyadh: Dar as-Ṣami’i,
2011.
Kridalaksana, Harimurti. Mongin Ferdinand de Saussure, Peletak Dasar
Strukturalisme dan Linguistik Modern. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005.
Kusroni. “Khusyū’ dalam al-Qur’an: Studi Penafsiran Ismā’il Hāqi dalam
Rūh al-Bayān.” Tesis S2., Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya,
Mardianto. “Urgensi Sholat Khusyu’: Kajian Tafsir Tahlili pada Q.S. Al-
Mu’minun/23: 1-2.” Skripsi S1, Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar, 2014.
Mattson, Igrid. Ulumul Qur’an Zaman Kita. Jakarta: Zaman, 2008.
Maula, Aizul.“Term al-Khusyū’ dalam Al-Quran: Studi Tafsir Tematik.”
Tesis S2., Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2018.
Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. Shahih Tafsir Ibn Katsir. Jakarta: Pustaka
Ibn Katsir, 2017.
121
Al-Munjid, Muhammad Shaleh. Salat yang Khusyuk dan Langkah-
langkah Mencapainya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Musthofa, Didik. “Makna Ajal dalam al-Qur’an: Kajian Semantik
Toshihiko Izutsu.” Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri
Surakarta, 2018. Ngaisah, Zulaikhah Fitri Nur. “Keadilan dalam al-Qur’an: Kajian
Semantik atas Kata al-‘Adl dan al-Qisṭ.” Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2015.
Al-Qahtani, Said bin Ali. Khusyuk dalam Salat Menurut al-Qur’an dan
as-Sunnah, terj. Abu Anisa Farid Abdul Aziz Qurusy.
Yogyakarta: Darul Uswah, 2013.
Al-Qarḍawi, Yusuf Fiqih al-Jihad, terj. Irfan Maulana, dkk. Bandung: PT.
Mizan Pustaka, 2010.
Al-Qurtubi, Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad al-Ansārī’. al-Jāmi’ li
Ahkām al-Qur’ān. Dār al-Fikr, 1414 H/1993.
Al-Qusyairi, Abu al-Qāsim. Ar-Risālat al-Qusyairiyah. Kairo: Dār asy-
Sya’b, 1989.
Rahem, Ahmad Sahidah Tuhan, manusia dan Alam dalam Al-Qur’an ;
Pandangan Toshihiko Izutsu, Pulau Pinang, Universiti Sains
Malaysia Press, 2014.
Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Rinawi, “Khusyuk dalam Salat: Perbandingan Tafsir Al-Manar dan Tafsir
Al-Munir.” Skripsi S1., IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009.
Rohimin. Jihad: Makna dan Hikmah. Jakarta: Erlangga, 2006.
Al-Ṣabūnī, Muhammad ‘Alī. Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr. Bayrūt: Dār al-
Fikr, t.th.
Sangkan, Abu. Pelatihan Salat Khusyuk; Salat Sebagai Meditasi Tertinggi
dalam Islam. Pustaka UI, 2008.
Setiawan, Muhammad Nur Kholis. Al-Qur’an Kitab Sastra
Terbesar.Yogyakarta, eLSAQ Press, 2006.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Mauḍu’i Berbagai
Persoalan Umat,. Bandung: Mizan, 1998.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah : Pesan, Kesan, Dan Keserasian
Al-Quran. Jakarta : Lentera Hati, 2002.
Soehadha, Mohammad. Metode Penelitian Sosial Kualitatif. Yogyakarta:
SUKA Press, 2012.
Sou’yb, Joesoef. Orientalisme dan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Suyūṭi, Jalāluddīn Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalli dan Jalāluddīn
‘Abdul al-Rahman Ibn Abī Bakr. Tafsīr Jalalain. Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2009.
122
Al-Ṭabarī, Muhammad Ibn Jarīr Ibn Yazīd Ibn Kaṣīr ibn Gālib al-Amly
Abū Ja’far. Jami’ul Bayān fī Ta’wil al-Qur’ān. t,t, Muassasat al-
Risālah, 2000.
Warson, Ahmad Munawwir. Kamus Al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1996.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus
Wadzuryah, 1990.
Zabidi, Zainudin Ahmad bin Abdul Lathif. Mukhtshar Shahih Al-Bukhari,
Terj. Achmad Zaidun, Ringkasan Hadits Shaheh Al-Bukhari.
Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Zamakhsyari. Muhammad Ibn Umar. al-Kasysyāf Haqāiq at-Tanzīl wa
‘Uyūn al-Aqāwīl fiī Wujūh at-Ta’wīl. Riyadh: Maktabah al-
‘Abikan, 1998.
Zikri, Muhammad. “Term al-Khusyū’ dalam Al-Quran: Kajian Semantik.”
Tesis S2., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Zuhri, Muḥammad. al-Shirāj al-Wahhāj. Kairo: Muṣṭafā al-Bābī al-
Ḥalabī, 1933.
Jurnal
Al-Attas, Syed Naqaib. “Islamic Philosophy: an Introduction.” Journal of
Islamic Philsophy 1 (2005): 11.
Fatmawati, Mila, Ahmad Izzan, dan Dadang Darmawan, Al-Bayan: Jurnal
Studi al-Qur’an dan Tafsir. no. 3 (Juni 2018): 99-100.
Izmah, Zuhadul. “Konsep Iman Menurut Toshihiko Izutsu.”
Hermeneutika, vol. 9, no. 1 (Juni 2015): 209.
Internet
https://en.wikipedia.org
Lampiran
Makna Khusyū Menurut Mufassir
No Mufassir Kitab Penafsiran
1 Ar-Rāghib al-
Aṣfahānī
Al-Mufradāt fī Gharīb
al-Qur’ān
Khusyū‘ sama artinya dengan aḍ-ḍarā’ah, hanya saja kata al-khusyū‘ lebih
banyak digunakan oleh anggota badan, sedangkan kata aḍ-ḍarā’ah
digunakan untuk sesuatu yang terdapat di dalam hati.
2 Ibn Katsir Al-Nihāyah fī Gharīb
al-Hadiṡ wa al-Aṡār
Beberapa pendapat menyamakan antara khusyū‘ dan khuḍū’, hanya saja al-
khuḍū’ identik terjadi pada tubuh, sedangkan al-khusyū‘ terjadi pada tubuh,
suara, dan pandangan. Sedangkan menurut Ibn Katsir khusyū‘ pada suara
dan pandangan sama artinya dengan khuḍū’ pada tubuh.
3 Ibn Qayyim Madāriju as-Sālikin Khusyū‘ secara bahasa memiliki arti tunduk, merendah dan tenang.
4 Al-Fayyumī Al-Mishbāḥ al-Munīr Al-Fayumī juga berpendapat bahwa khusyū‘ itu artinya tunduk.
5 Al-Qurtubī Al-Jāmi’ li Aḥkām al-
Qur’ān
khusyū‘ ialah suatu keadaan di dalam jiwa di mana dia mewujudkan
keadaan tetap (tenang) dan merendah diri segala anggota badan.
6 Abu al-Qāsim
al-Qusyairi
Al-Risālah al-
Qusyairiyyah
Al-Qusyairi memberikan berbagai macam definisi khusyū‘ yang diambil
dari para ulama tasawuf. Di antaranya adalah takut secara konsisten untuk
kepentingan hati, tunduknya hati dengan berperilaku baik, dan keringnya
hati dan perasaan rendah ketika berada di hadapan Allah.
7 Ibn Rajab al-
Hanbali Khusyū fī Sholāt
Khusyū‘ adalah lembutnya hati manusia, redupnya hasrat yang bersumber
dari hawa nafsu dan halusnya hati karena Allah. Sehingga menjadi bersih
dari rasa sombong dan tinggi hati.