konsep persetujuan bersama dan pocket veto yang tidak kompatibel
DESCRIPTION
mempertanyakan konsep persetujuan bersama dalam pembuatan suatu UU dari berbagai aspek hukumTRANSCRIPT
Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Batasan Masalah
Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam penulisan makalah ini, maka
penulis akan membatasi masalahnya sebagai berikut:
1. Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses
Legislasi
2. Solusi penyelesaian masalah
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto)
dalam Proses Legislasi?
2. Apa solusi untuk menyelesaikan masalah ini?
1.4 Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan Penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Agar pembaca memahami Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden
(Presidential Veto) dalam Proses Legislasi;
2. Untuk menemukan solusi untuk menyelesaikan masalah ini.
1.5 Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan studi kepustakaan. Penulis
membaca buku-buku ataupun kumpulan mata pelajaran yang berkaitan dengan materi
makalah ini, yaitu tentang kewenangan dan tanggung jawab badan hokum. Selain
media cetak yang merupakan salah satu media yang dipakai oleh penu;is untuk
mendapatkan data, penulis juga menggunakan media internet yang merupakan jendela
dunia bagi seluruh umat manusia di dunia
1
Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Politik Hukum
Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem
hukum. Oleh karena itu, membahas mengenai politik pembentukan peraturan
perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas
mengenai politik hukum. Istilah politik hukum didasarkan pada prinsip bahwa hukum
dan/atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik
karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil
desain lembaga politik (politic body).1 Sedangkan pemahaman atau definisi dari
politik hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai arah kebijakan hukum yang
akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.2 Mahfud MD
mengemukakan bahwa politik hukum meliputi: Pertama; pembangunan hukum yang
berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat
sesuai dengan kebutuhan; Kedua; pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada
termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum3
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa politik peraturan perundang-undangan
merupakan bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat
dikatakan bahwa mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya sama
dengan memahami atau mempelajari politik perundang-undangan demikian pula
sebaliknya, karena pemahaman dari politik hukum termasuk pula di dalamnya
mencakup proses pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya
peraturan perundang-undangan) yang dapat menunjukkan sifat ke arah mana hukum
akan dibangun dan ditegakkan4. Bagir Manan mengartikan istilah politik perundang-
undangan secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau
obyek pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembentukan
1 HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2.
2 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 9.
3 Ibid.
4 Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1
2
Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”
peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan sebagai tindakan melahirkan suatu
peraturan perundang-undangan.
Dari beberapa pendapat ahli diatas, maka dapat disimpulkan bhwa politik
hokum merupakan kebijakan pemerintah mengenai pembentukan dan pelaksanaan
hokum itu untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
2.2 Fungsi Legislasi
Kata “Legislasi” berasal dari Bahasa Inggris “Legislation” yang berarti (1)
peundang-undangan dan (2) pembuatan undang-undang. Sementara itum kata
“Legislation” berasal dari kata kerja “to Legislate” yang berarti mengatur atau
membuat Undang-Undang 5 Dalam Kamus Besar (KBBI), kata legislasi berarti
pebuatan Undang-Undang. Dengan demikian, fungsi legislasi adalah fungsi membuat
Undang-Undang.
Sementara itu, Jimly Asshiddiqie dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara menyatakan bahwa fungsi legislasi menyangkut 4 bentuk kegiatan, yaitu
1. Prakarsa pembuatan Undang-Undang (Legislative Initiation);
2. Pembahasan rancangan Undang-Undang (Law making Process );
3. Persetujuan atas pengesahan rancangan Undang-Undang (Law enactment
approval);
4. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau
persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hokum yang mengikat
lainnya (binding decision making on international law agreement and treaties
or other legal binding documents)6.
Dari pengertian diatas, maka yang dimaksud dengan funsi legislasi tidak hanya
menyangkut proses perancangan UU saja, namun juga pembuatan, pembahasan dan
persetujuan Undang-Undang.
5 John M. Echols dan Hassan Shadily, 1997, Kamus Inggris-Indonesia, Cetakan ke- XXIV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.353.
6 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu….., hlm 34
3
Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”
2.3 Trias Politika Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan
Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut
diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di
suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan
harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.
Berhubungan dengan pembatasan kekuasaan itu, Miriam Budiarjo dalam buku
Dasar-Dasar Ilmu Politik membagi kekuasaan secara vertical dan Horizontal7. Secara
vertical kekuasaan dibagian berdasarkan tingkatan atau hubungan antartingkatan
pemerintahan. Sementara secara horizontal, kekuasaan menurut fungsinya yaitu
dengan membedakan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislative,
eksekutif, dan Yudikatif8.
Berdasarkan sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan, gagasan pemisahan
kekuasaan (separation of Power) secara horizontal pertama kali dikemukakan oleh
John Locke dalam bukunya Two Treaties of Civil Government. Dalam buku tersebut
John Locke mebagi kekuasaan menjadi 3 bagian yaitu,
1. Legislatif: membuat Undang-Undang;
2. Eksekutif: melaksana Undang-Undang;
3. Federatif: melakukan hubungan internasional dengan Negara lain9.
Serlanjutnya Konsep Pemisahan kekuasaan John Locke dikembangkan oleh
Montesseqiue, menjadi:
1. Legislatif: membuat Undang-Undang;
2. Eksekutif: melaksana Undang-Undang;
3. Yudikatif: mengadili pelanggar Undang-Undang.
7 Miriam Budiardjo, 1989, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke 29, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 138.
8 Ibid.
9 John Locke, 1960, Two Treaties of Civil Government, J.M Dent and Sons Ltd., London, hlm. 190-192.
4
Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”
Dalam perkembangannya, prinsip pemisahan kekuasaan mengalami berbagai
kritikan, hingga kemudian munculah teori pembagian kekuasaan (distribution of
power)
2.4 Trias Politica di Indonesia
Ketika Undang-Undang Dasar 1945 disahkan tanggal 18 Agustus 1945, maupun
diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, para ahli hukum
tatanegara, seperti almarhum Professor Ismail Suny, mengatakan bahwa Undang-
Undang Dasar 1945 tidaklah menganut asas pemisahan kekuasaan (separation of
powers) secara ketat, sebagaimana dikenal dalam doktrin “trias politica”
Montesqeui10. Sejauh mengenai kewenangan lembaga negara yang menangani
kekuasaan kehakiman (yudikatif), pemisahan kekuasaan yang tegas antara lembaga
ini dengan lembaga-lembaga lain memang telah dirumuskan sejak awal penyusunan
Undang-Undang Dasar 1945. Namun dalam hubungan antara “eksekutif” dengan
“legislatif” sejak awal tidaklah terjadi pemisahan kekuasaan, melainkan “pembagian
kekuasaan” (division of powers). Dalam hal pembentukan undang-undang, DPR
berbagi kewenangan dengan Presiden. Dalam hal menetapkan APBN, Presiden juga
berbagi kewenangan dengan DPR, apalagi pengesahan APBN haruslah dilakukan
dengan undang-undang, yang kewenangan Presiden dan DPR adalah sama kuatnya.
Namun dalam melaksanakan undang-undang, termasuk dalam menggunakan seluruh
anggaran negara yang telah disepakati dalam undang-undang tentang APBN,
kewenangan Presiden tidaklah dibagi dengan DPR. Presiden melaksanakannya
sendiri. Namun, dalam konteks pelaksanaan itu, DPR memiliki kewenangan untuk
melakukan pengawasan terhadap Presiden.
BAB III
PEMBAHASAN
10 Ismail Suny, 1978, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 50
5
Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”
3.1 Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam
Proses Legislasi
Dalam teori pembangunan hukum dikenal 2 konsep yang harus diperhatikan,
yaitu strategi pembangunan hokum responsif dan posisi hokum sebagai alat
pembaruan masyarakat. Strategi pembangunan hokum responsif ini melingkupi
pembentukan hukum dan bagaimana hokum ditegakkan demi mencapai keadilan dan
kepastian hukum.
Dalam pembentukan hokum, tidak bisa terlepas dari siapa lem,baga yang
membuatnya dan bagaimana mekanisme pembuatannya. Di Indonesia UU dibuat oleh
suatu badan legislatif yaitu DPR bersama Presiden. Dikatakan dalam Pasal 20 ayat (2)
UUD bahwa setiap RUU harus mendapat “persetujuan bersama” dari DPR dan
Pemerintah. Konsep adanya persetujuan bersama ini diterjemahkan menjadi
pembahasan yang sifatnya sangat teknis secara bersama-sama oleh DPR dan wakil
dari pemerintah. Mekanismenya, untuk RUU yang diajukan oleh Pemerintah, presiden
akan mengirimkannya kepada DPR melalui suatu Surpres11. Kemudian DPR akan
menentukan komisi mana yang akan membahasnya atau akan dibuat suatu Panitia
Khusus (Pansus) yang terdiri dari berbagai komisi. Sementara untuk RUU yang dibuat
oleh DPR, DPR akan mengirim surat kepada presiden untuk meminta presiden
mengutus salah satu wakilnya dalam pembahasan di DPR.
Dalam proses pembahasan, yang dilakukan adalah pembahasan pasal per pasal,
kalimat per kalimat, yang kadang-kadang berkepanjangan dan terlampau rinci.
Idealnya, proses yang terjadi DPR adalah sebuah proses politik. Sementara hal yang
sifatnya teknis diselesaikan tersendiri oleh sekelompok orang yang mempunyai tugas
yang bersifat teknis. Persetujuan bersama ini jadi terlihat janggal dalam suatu sistem
ketatanegaraan dengan sistem pembagian kekuasaan yang berkeinginan untuk
menciptakan keseimbangan (checks and balances). Sebagaimana dikemukakan oleh
Sartori: “...the problems of presidentialism are not in the executive arena but in the
legislative arena.”12 Dalam sistem presidensial, forum yang lebih penting dalam hal
keseimbangan peran eksekutif dan legislatif terletak pada wilayah legislatif daripada
11 Surpres merupakan singkatan dari surat Presiden, sebelum UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dikenal dengan nama “Ampres” atau “Amanat Presiden”
12 Giovanni Sartori, 1997, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives, and Outcomes, 2nded, New Yor,: New York University Press, hlm. 83.
6
Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”
wilayah eksekutif. Di sini seharusnya muncul proses “adu kekuatan” antara legislatif
dan eksekutif, yang sebenarnya merupakan mekanisme politik dalam
menyeimbangkan kekuasaan mereka dalam sebuah sistem presidensial.13
Dengan begitu, adanya konsep “persetujuan bersama” sesungguhnya bersifat
distortif dalam sebuah sistem presidensial karena meniadakan karakteristik penting
dalam sistem presidensial, yaitu adanya eksekutif dan legislatif yang saling
menyeimbangkan dalam proses penentuan kebijakan di luar mekanisme dalam
parlemen sebagaimana terjadi dalam sistem parlementer.14
Sistem pembentukan undang-undang di Indonesia menjadi lebih ganjil lagi
ketika kemudian model persetujuan bersama ini dikawinkan dengan dibolehkannya
penolakan presiden untuk menandatangi undang-undang yang sudah disahkan secara
bersama-sama oleh presiden dan DPR dalam proses yang terjadi di DPR.
Setidaknya ada lima undang-undang yang diundangkan tanpa tanda tangan
Presiden, yaitu:
Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Profesi Advokat,
Undang-Undang No. 25 tahun 2002 tentang Kepulauan Riau,
Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran,
Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan
Undang-Undang tentang No. 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO
Convention No. 81 Concerning Labour Inspection In Industry and Commerce
(Konvensi ILO NO. 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam
Industri dan Perdagangan)
Hal ini tidak banyak mendapat sorotan dari publik karena memang tidak ada
akibat langsungnya pada publik. Namun terlihat adanya problem konstitusional yang
cukup pelik di sini. Tidak ditandatanganinya suatu undang-undang oleh presiden
13 Bivitri SusantiV, _____, “Problem Kelembagaan dalam Proses Legislasi”, Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net, Diakses tanggal 31 Oktober 2012.
14 Bandingkan dengan Sartori, ibid. dan Douglas V. Verney, Parliamentary Government And Presidential Government, dalam Parliamentary versus Presidential Government, edited by Arend Lijphart, New York, Oxford University Press, 1998. Karena itu pula, sebagaimana dikemukakan oleh Verney, berbeda dengan sistem parlementer, dalam sistem presidensial tidak ada fokus kekuasaan dalam sistem politik.
7
Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”
didasari oleh Pasal 20 ayat (5) UUD. Ketentuan ini berbunyi, “dalam hal RUU yang
telah disetujui bersama oleh presiden dan DPR tidak disahkan oleh Presiden dalam
waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undang-
undang dan wajib diundangkan”. Mekanisme adanya undang-undang yang berlaku
tanpa adanya tanda tangan kepala negara dikenal dan diberlakukan di beberapa
negara. Ini merupakan salah satu bentuk konkrit dari mekanisme checks and balances
antara eksekutif dan legislative serta implementasi dari DPR sebagai legislator utama
dari pembentukan perundang-undangan. Karena tujuan itu. ada beberapa prosedur
yang mendahuluinya. Biasanya presiden juga diberikan hak veto atas suatu undang-
undang yang dibuat oleh parlemen15. Selanjutnya, parlemen masih bisa menggagalkan
hak veto presiden tersebut melalui persetujuan dari parlemen dalam jumlah tertentu
yang lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk mengesahkan suatu undangundang.16
Hasil tentangan parlemen inilah yang biasanya masih bisa di-veto “secara diamdiam”
oleh presiden melalui tidak ditandatanganinya undang-undang tersebut. Meski
demikian, karena undang-undang itu dianggap sudah disetujui secara mayoritas oleh
parlemen yang merepresentasikan rakyat, undang-undang tersebut tetap sah.
Mekanisme ini didisain untuk menciptakan ruang untuk adanya kompetisi politik,
tanpa menciptakan suatu kondisi buntu (deadlock) sehingga sistem justru tidak
berjalan. Tidak bersedianya presiden menandatangani sebenarnya merupakan sebuah
pernyataan politik. Karena itu, biasanya ada penjelasan-penjelasan dari presiden
ataupun parlemen dalam peristiwa penolakan-penolakan ini.
Namun sayangnya pada kenyataan yang ada, tidak pernah ada pernyataan resmi
dari presiden mengenai tidak ditandatanganinya keempat undang-undang di atas. Satu
lagi yang terlihat janggal adalah kenyataan bahwa seharusnya presiden dianggap
sudah mengetahui dan mengemukakan hal-hal yang dirasakan perlu melalui adanya
mekanisme “persetujuan bersama” yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD. Tidak
ditandatanganinya suatu undang-undang menjadi suatu hal yang aneh karena
bukankah berdasarkan di saat yang sama undang-undang merupakan hasil
“persetujuan bersama” antara pemerintah dan DPR.
15 Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia), Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 83
16 Ibid
8
Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”
Jika merujuk dari konsep hokum perdata, persetujuan bersama mengindikasikan
adanya kesepakatan bersama antar kedua belah pihak, yang dalam posisi ini adalah
presiden dan DPR. Sepakat (Toestemming) merupakan kesesuaian, kecocokan,
pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak
yang disetujui antara pihak-pihak. 17 Adapun unsur-unsur dari kesepakatan adalah 18
1. Offerte (Penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan
2. Acceptansi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima
penawaran
Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan tidak
ditandatanganinya beberapa UU yang ada, konsep persetujuan bersama yang
tercantum dalam pasal 20 ayat 2 UUD 1945 jelas-jelas tidak terpenuhi.
Oleh karena itu, konsep persetujuan bersama sebagaimana yang dimaksud oleh
pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dengan ketentuan dalam pasal 20 ayat (5) UUD 1945
mengenai pembatalan veto Presiden oleh DPR ini seringkali menimbulkan konflik
antara eksekutif dan legislative yang tak jarang dapat mengakibatkan “kelumpuhan”
(paralysis) akibat koeksistensian dari dua badan independen yang diciptakan dalam
sistem presidensial19, apalagi dengan adanya dual democratic legitimacy antara
eksekutifdan legislatif yang sama-sama memperoleh legitimasi langsung dari rakyat.20
Konflik ini tentu akan menghambat pembentukan Produk hokum yang responsive
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3.2 Solusi
Adapun beberapa solusi untuk menyelesaikan permasalahan mengenai distorsi
konsep persetujuan bersama adalah
1. Mempertegas Konsep Pembagian Kekuasaan (Distribution of Power) dari
Indonesia berkenaan dengan fungsi eksekutif dalam proses legislasi karena
17 Mariam darus Badrulzaman, KUH Perdata (Buku III), Bandung, 2006, Hlm.98
18 Ibid
19 Saldi Isra, Op.cit, Hlm 84.
20 Juan J. Linz, 1992, The Perils of Presidensialism, dalam ibid., Hlm 120.
9
Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”
jika tidak, maka keberadaan Presiden beserta hak veto-nya dalam
pembentukan UU menjadi tidak berfungsi;
2. Harmonisasi hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam proses
legislasi21. Seringkali konflik yang terjadi anatara Eksekutif dan Legislatif
didasari oleh kepentingan politik semata, misalnya karena mayoritas fraksi
yang duduk dalam lembaga legislatif berbdeda dengan partai politik darimana
Eksekutif berasal;
3. Dalam hal Presiden tidak menandatangani UU yang akan berlaku, maka
Presiden harus memberikan penjelasan dan keterangan berkaitan dengan alas
an tidak ditandatanganinya UU tersebut;
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Di Indonesia UU dibuat oleh suatu badan legislatif yaitu DPR bersama
Presiden
Permasalahan :
21 Robbert L. Maddex, 1996, The Illustrated Dictionary of Constitusional Concepts, Congressional Quarterly Inc., Washington, hlm 175.
10
Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”
o Konsep persetujuan bersama pada pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tidak
berjalan. Terbukti dari ada beberapa Undang-Undang yang tidak
ditandatangani oleh Presiden;
o Hak veto penolakan Presiden atas RUU tidak berfungsi efisien.
Solusi
o Mempertegas Konsep Pembagian Kekuasaan (Distribution of Power)
dari Indonesia berkenaan dengan fungsi eksekutif dalam proses
legislasi karena jika tidak, maka keberadaan Presiden beserta hak veto-
nya dalam pembentukan UU menjadi tidak berfungsi;
o Harmonisasi hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam
proses legislasi. Seringkali konflik yang terjadi anatara Eksekutif dan
Legislatif didasari oleh kepentingan politik semata, misalnya karena
mayoritas fraksi yang duduk dalam lembaga legislatif berbdeda dengan
partai politik darimana Eksekutif berasal;
o Dalam hal Presiden tidak menandatangani UU yang akan berlaku,
maka Presiden harus memberikan penjelasan dan keterangan berkaitan
dengan alas an tidak ditandatanganinya UU tersebut;
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER PRIMER
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
SUMBER SEKUNDER
Buku
11
Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”
Asshiddiqie, Jimly 2006. Pengantar Ilmu…… _____. ______
Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata (Buku III). Bandung: 2006.
Budiardjo, Miriam. 1989. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke 29. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi legislasi (Menguatnya Model Legislasi
Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia). Jakarta: Rajawali Pers.
Linz, Juan J. 1992. The Perils of Presidensialism. ______:_______.
Locke, John. 1960. Two Treaties of Civil Government. London: J.M Dent and
Sons Ltd.
Maddex, Robbert L. 1996. The Illustrated Dictionary of Constitusional
Concepts. Washington: Congressional Quarterly Inc.
Mahfud, M. 2001. Politik Hukum di Indonesia, cet. II Jakarta: LP3ES.
Sartori, Giovanni. 1997. Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry
into Structures, Incentives, and Outcomes. New York: New York University Press,
2nded.
Suny, Ismail. 1978. Pembagian Kekuasaan Negara. Jakarta: Aksara Baru
Verney, Douglas V. 1998. Parliamentary Government And Presidential
Government, dalam Parliamentary versus Presidential Government, edited by Arend
Lijphart, New York: Oxford University Press.
Artikel/ Dokumen/ Jurnal
Aliamsyah. 2010. “Politik Perundang-undangan”. _______. Diakses tanggal 31
Oktober 2012.
SusantiV, Bivitri. _____, “Problem Kelembagaan dalam Proses Legislasi”,
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan
ditampilkan di www.parlemen.net, Diakses tanggal 31 Oktober 2012.
12
Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”
Mahendra, Yusril Ihza. 2012. “Keterangan Ahli Dalam Sengketa kewenangan
Presiden dan DPR Tentang Divestasi Saham Newmont”.
http://yusril.ihzamahendra.com/2012/03/27/keterangan-ahli-dalam-sengketa-
kewenangan -presiden-dan-dpr-tentang-divestasi-saham-newmont/. Diakses tanggal
31 Oktober 2012.
Manan, Bagir. 1994. Politik Perundang-undangan. Makalah.
Marzuki, HM. Laica. 2006. Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi
Terhadap Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3.
SUMBER TERSIER
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1997. Kamus Inggris-Indonesia, Cetakan
ke- XXIV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
13