konsep persetujuan bersama dan pocket veto yang tidak kompatibel

18

Click here to load reader

Upload: hany-ayuning-putri

Post on 13-Aug-2015

37 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mempertanyakan konsep persetujuan bersama dalam pembuatan suatu UU dari berbagai aspek hukum

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep Persetujuan Bersama Dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Batasan Masalah

Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam penulisan makalah ini, maka

penulis akan membatasi masalahnya sebagai berikut:

1. Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses

Legislasi

2. Solusi penyelesaian masalah

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, masalah yang akan dibahas dalam makalah

ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto)

dalam Proses Legislasi?

2. Apa solusi untuk menyelesaikan masalah ini?

1.4 Tujuan Penulisan

Adapun Tujuan Penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Agar pembaca memahami Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden

(Presidential Veto) dalam Proses Legislasi;

2. Untuk menemukan solusi untuk menyelesaikan masalah ini.

1.5 Metode Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan studi kepustakaan. Penulis

membaca buku-buku ataupun kumpulan mata pelajaran yang berkaitan dengan materi

makalah ini, yaitu tentang kewenangan dan tanggung jawab badan hokum. Selain

media cetak yang merupakan salah satu media yang dipakai oleh penu;is untuk

mendapatkan data, penulis juga menggunakan media internet yang merupakan jendela

dunia bagi seluruh umat manusia di dunia

1

Page 2: Konsep Persetujuan Bersama Dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Politik Hukum

Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem

hukum. Oleh karena itu, membahas mengenai politik pembentukan peraturan

perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas

mengenai politik hukum. Istilah politik hukum didasarkan pada prinsip bahwa hukum

dan/atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik

karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil

desain lembaga politik (politic body).1 Sedangkan pemahaman atau definisi dari

politik hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai arah kebijakan hukum yang

akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.2 Mahfud MD

mengemukakan bahwa politik hukum meliputi: Pertama; pembangunan hukum yang

berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat

sesuai dengan kebutuhan; Kedua; pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada

termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum3

Sebagaimana telah disebutkan, bahwa politik peraturan perundang-undangan

merupakan bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat

dikatakan bahwa mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya sama

dengan memahami atau mempelajari politik perundang-undangan demikian pula

sebaliknya, karena pemahaman dari politik hukum termasuk pula di dalamnya

mencakup proses pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya

peraturan perundang-undangan) yang dapat menunjukkan sifat ke arah mana hukum

akan dibangun dan ditegakkan4. Bagir Manan mengartikan istilah politik perundang-

undangan secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau

obyek pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembentukan

1 HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2.

2 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 9.

3 Ibid.

4 Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1

2

Page 3: Konsep Persetujuan Bersama Dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”

peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan sebagai tindakan melahirkan suatu

peraturan perundang-undangan.

Dari beberapa pendapat ahli diatas, maka dapat disimpulkan bhwa politik

hokum merupakan kebijakan pemerintah mengenai pembentukan dan pelaksanaan

hokum itu untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

2.2 Fungsi Legislasi

Kata “Legislasi” berasal dari Bahasa Inggris “Legislation” yang berarti (1)

peundang-undangan dan (2) pembuatan undang-undang. Sementara itum kata

“Legislation” berasal dari kata kerja “to Legislate” yang berarti mengatur atau

membuat Undang-Undang 5 Dalam Kamus Besar (KBBI), kata legislasi berarti

pebuatan Undang-Undang. Dengan demikian, fungsi legislasi adalah fungsi membuat

Undang-Undang.

Sementara itu, Jimly Asshiddiqie dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Tata

Negara menyatakan bahwa fungsi legislasi menyangkut 4 bentuk kegiatan, yaitu

1. Prakarsa pembuatan Undang-Undang (Legislative Initiation);

2. Pembahasan rancangan Undang-Undang (Law making Process );

3. Persetujuan atas pengesahan rancangan Undang-Undang (Law enactment

approval);

4. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau

persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hokum yang mengikat

lainnya (binding decision making on international law agreement and treaties

or other legal binding documents)6.

Dari pengertian diatas, maka yang dimaksud dengan funsi legislasi tidak hanya

menyangkut proses perancangan UU saja, namun juga pembuatan, pembahasan dan

persetujuan Undang-Undang.

5 John M. Echols dan Hassan Shadily, 1997, Kamus Inggris-Indonesia, Cetakan ke- XXIV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.353.

6 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu….., hlm 34

3

Page 4: Konsep Persetujuan Bersama Dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”

2.3 Trias Politika Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan

Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut

diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di

suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan

harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. 

Berhubungan dengan pembatasan kekuasaan itu, Miriam Budiarjo dalam buku

Dasar-Dasar Ilmu Politik membagi kekuasaan secara vertical dan Horizontal7. Secara

vertical kekuasaan dibagian berdasarkan tingkatan atau hubungan antartingkatan

pemerintahan. Sementara secara horizontal, kekuasaan menurut fungsinya yaitu

dengan membedakan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislative,

eksekutif, dan Yudikatif8.

Berdasarkan sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan, gagasan pemisahan

kekuasaan (separation of Power) secara horizontal pertama kali dikemukakan oleh

John Locke dalam bukunya Two Treaties of Civil Government. Dalam buku tersebut

John Locke mebagi kekuasaan menjadi 3 bagian yaitu,

1. Legislatif: membuat Undang-Undang;

2. Eksekutif: melaksana Undang-Undang;

3. Federatif: melakukan hubungan internasional dengan Negara lain9.

Serlanjutnya Konsep Pemisahan kekuasaan John Locke dikembangkan oleh

Montesseqiue, menjadi:

1. Legislatif: membuat Undang-Undang;

2. Eksekutif: melaksana Undang-Undang;

3. Yudikatif: mengadili pelanggar Undang-Undang.

7 Miriam Budiardjo, 1989, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke 29, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 138.

8 Ibid.

9 John Locke, 1960, Two Treaties of Civil Government, J.M Dent and Sons Ltd., London, hlm. 190-192.

4

Page 5: Konsep Persetujuan Bersama Dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”

Dalam perkembangannya, prinsip pemisahan kekuasaan mengalami berbagai

kritikan, hingga kemudian munculah teori pembagian kekuasaan (distribution of

power)

2.4 Trias Politica di Indonesia

Ketika Undang-Undang Dasar 1945 disahkan tanggal 18 Agustus 1945, maupun

diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, para ahli hukum

tatanegara, seperti almarhum Professor Ismail Suny, mengatakan bahwa Undang-

Undang Dasar 1945 tidaklah menganut asas pemisahan kekuasaan (separation of

powers) secara ketat, sebagaimana dikenal dalam doktrin “trias politica”

Montesqeui10. Sejauh mengenai kewenangan lembaga negara yang menangani

kekuasaan kehakiman (yudikatif), pemisahan kekuasaan yang tegas antara lembaga

ini dengan lembaga-lembaga lain memang telah dirumuskan sejak awal penyusunan

Undang-Undang Dasar 1945. Namun dalam hubungan antara “eksekutif” dengan

“legislatif” sejak awal tidaklah terjadi pemisahan kekuasaan, melainkan “pembagian

kekuasaan” (division of powers). Dalam hal pembentukan undang-undang, DPR

berbagi kewenangan dengan Presiden. Dalam hal menetapkan APBN, Presiden juga

berbagi kewenangan dengan DPR, apalagi pengesahan APBN haruslah dilakukan

dengan undang-undang, yang kewenangan Presiden dan DPR adalah sama kuatnya.

Namun dalam melaksanakan undang-undang, termasuk dalam menggunakan seluruh

anggaran negara yang telah disepakati dalam undang-undang tentang APBN,

kewenangan Presiden tidaklah dibagi dengan DPR. Presiden melaksanakannya

sendiri. Namun, dalam konteks pelaksanaan itu, DPR memiliki kewenangan untuk

melakukan pengawasan terhadap Presiden.

BAB III

PEMBAHASAN

10 Ismail Suny, 1978, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 50

5

Page 6: Konsep Persetujuan Bersama Dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”

3.1 Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam

Proses Legislasi

Dalam teori pembangunan hukum dikenal 2 konsep yang harus diperhatikan,

yaitu strategi pembangunan hokum responsif dan posisi hokum sebagai alat

pembaruan masyarakat. Strategi pembangunan hokum responsif ini melingkupi

pembentukan hukum dan bagaimana hokum ditegakkan demi mencapai keadilan dan

kepastian hukum.

Dalam pembentukan hokum, tidak bisa terlepas dari siapa lem,baga yang

membuatnya dan bagaimana mekanisme pembuatannya. Di Indonesia UU dibuat oleh

suatu badan legislatif yaitu DPR bersama Presiden. Dikatakan dalam Pasal 20 ayat (2)

UUD bahwa setiap RUU harus mendapat “persetujuan bersama” dari DPR dan

Pemerintah. Konsep adanya persetujuan bersama ini diterjemahkan menjadi

pembahasan yang sifatnya sangat teknis secara bersama-sama oleh DPR dan wakil

dari pemerintah. Mekanismenya, untuk RUU yang diajukan oleh Pemerintah, presiden

akan mengirimkannya kepada DPR melalui suatu Surpres11. Kemudian DPR akan

menentukan komisi mana yang akan membahasnya atau akan dibuat suatu Panitia

Khusus (Pansus) yang terdiri dari berbagai komisi. Sementara untuk RUU yang dibuat

oleh DPR, DPR akan mengirim surat kepada presiden untuk meminta presiden

mengutus salah satu wakilnya dalam pembahasan di DPR.

Dalam proses pembahasan, yang dilakukan adalah pembahasan pasal per pasal,

kalimat per kalimat, yang kadang-kadang berkepanjangan dan terlampau rinci.

Idealnya, proses yang terjadi DPR adalah sebuah proses politik. Sementara hal yang

sifatnya teknis diselesaikan tersendiri oleh sekelompok orang yang mempunyai tugas

yang bersifat teknis. Persetujuan bersama ini jadi terlihat janggal dalam suatu sistem

ketatanegaraan dengan sistem pembagian kekuasaan yang berkeinginan untuk

menciptakan keseimbangan (checks and balances). Sebagaimana dikemukakan oleh

Sartori: “...the problems of presidentialism are not in the executive arena but in the

legislative arena.”12 Dalam sistem presidensial, forum yang lebih penting dalam hal

keseimbangan peran eksekutif dan legislatif terletak pada wilayah legislatif daripada

11 Surpres merupakan singkatan dari surat Presiden, sebelum UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dikenal dengan nama “Ampres” atau “Amanat Presiden”

12 Giovanni Sartori, 1997, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives, and Outcomes, 2nded, New Yor,: New York University Press, hlm. 83.

6

Page 7: Konsep Persetujuan Bersama Dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”

wilayah eksekutif. Di sini seharusnya muncul proses “adu kekuatan” antara legislatif

dan eksekutif, yang sebenarnya merupakan mekanisme politik dalam

menyeimbangkan kekuasaan mereka dalam sebuah sistem presidensial.13

Dengan begitu, adanya konsep “persetujuan bersama” sesungguhnya bersifat

distortif dalam sebuah sistem presidensial karena meniadakan karakteristik penting

dalam sistem presidensial, yaitu adanya eksekutif dan legislatif yang saling

menyeimbangkan dalam proses penentuan kebijakan di luar mekanisme dalam

parlemen sebagaimana terjadi dalam sistem parlementer.14

Sistem pembentukan undang-undang di Indonesia menjadi lebih ganjil lagi

ketika kemudian model persetujuan bersama ini dikawinkan dengan dibolehkannya

penolakan presiden untuk menandatangi undang-undang yang sudah disahkan secara

bersama-sama oleh presiden dan DPR dalam proses yang terjadi di DPR.

Setidaknya ada lima undang-undang yang diundangkan tanpa tanda tangan

Presiden, yaitu:

Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Profesi Advokat,

Undang-Undang No. 25 tahun 2002 tentang Kepulauan Riau,

Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran,

Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan

Undang-Undang tentang No. 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO

Convention No. 81 Concerning Labour Inspection In Industry and Commerce

(Konvensi ILO NO. 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam

Industri dan Perdagangan)

Hal ini tidak banyak mendapat sorotan dari publik karena memang tidak ada

akibat langsungnya pada publik. Namun terlihat adanya problem konstitusional yang

cukup pelik di sini. Tidak ditandatanganinya suatu undang-undang oleh presiden

13 Bivitri SusantiV, _____, “Problem Kelembagaan dalam Proses Legislasi”, Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net, Diakses tanggal 31 Oktober 2012.

14 Bandingkan dengan Sartori, ibid. dan Douglas V. Verney, Parliamentary Government And Presidential Government, dalam Parliamentary versus Presidential Government, edited by Arend Lijphart, New York, Oxford University Press, 1998. Karena itu pula, sebagaimana dikemukakan oleh Verney, berbeda dengan sistem parlementer, dalam sistem presidensial tidak ada fokus kekuasaan dalam sistem politik.

7

Page 8: Konsep Persetujuan Bersama Dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”

didasari oleh Pasal 20 ayat (5) UUD. Ketentuan ini berbunyi, “dalam hal RUU yang

telah disetujui bersama oleh presiden dan DPR tidak disahkan oleh Presiden dalam

waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undang-

undang dan wajib diundangkan”. Mekanisme adanya undang-undang yang berlaku

tanpa adanya tanda tangan kepala negara dikenal dan diberlakukan di beberapa

negara. Ini merupakan salah satu bentuk konkrit dari mekanisme checks and balances

antara eksekutif dan legislative serta implementasi dari DPR sebagai legislator utama

dari pembentukan perundang-undangan. Karena tujuan itu. ada beberapa prosedur

yang mendahuluinya. Biasanya presiden juga diberikan hak veto atas suatu undang-

undang yang dibuat oleh parlemen15. Selanjutnya, parlemen masih bisa menggagalkan

hak veto presiden tersebut melalui persetujuan dari parlemen dalam jumlah tertentu

yang lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk mengesahkan suatu undangundang.16

Hasil tentangan parlemen inilah yang biasanya masih bisa di-veto “secara diamdiam”

oleh presiden melalui tidak ditandatanganinya undang-undang tersebut. Meski

demikian, karena undang-undang itu dianggap sudah disetujui secara mayoritas oleh

parlemen yang merepresentasikan rakyat, undang-undang tersebut tetap sah.

Mekanisme ini didisain untuk menciptakan ruang untuk adanya kompetisi politik,

tanpa menciptakan suatu kondisi buntu (deadlock) sehingga sistem justru tidak

berjalan. Tidak bersedianya presiden menandatangani sebenarnya merupakan sebuah

pernyataan politik. Karena itu, biasanya ada penjelasan-penjelasan dari presiden

ataupun parlemen dalam peristiwa penolakan-penolakan ini.

Namun sayangnya pada kenyataan yang ada, tidak pernah ada pernyataan resmi

dari presiden mengenai tidak ditandatanganinya keempat undang-undang di atas. Satu

lagi yang terlihat janggal adalah kenyataan bahwa seharusnya presiden dianggap

sudah mengetahui dan mengemukakan hal-hal yang dirasakan perlu melalui adanya

mekanisme “persetujuan bersama” yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD. Tidak

ditandatanganinya suatu undang-undang menjadi suatu hal yang aneh karena

bukankah berdasarkan di saat yang sama undang-undang merupakan hasil

“persetujuan bersama” antara pemerintah dan DPR.

15 Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia), Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 83

16 Ibid

8

Page 9: Konsep Persetujuan Bersama Dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”

Jika merujuk dari konsep hokum perdata, persetujuan bersama mengindikasikan

adanya kesepakatan bersama antar kedua belah pihak, yang dalam posisi ini adalah

presiden dan DPR. Sepakat (Toestemming) merupakan kesesuaian, kecocokan,

pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak

yang disetujui antara pihak-pihak. 17 Adapun unsur-unsur dari kesepakatan adalah 18

1. Offerte (Penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan

2. Acceptansi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima

penawaran

Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan tidak

ditandatanganinya beberapa UU yang ada, konsep persetujuan bersama yang

tercantum dalam pasal 20 ayat 2 UUD 1945 jelas-jelas tidak terpenuhi.

Oleh karena itu, konsep persetujuan bersama sebagaimana yang dimaksud oleh

pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dengan ketentuan dalam pasal 20 ayat (5) UUD 1945

mengenai pembatalan veto Presiden oleh DPR ini seringkali menimbulkan konflik

antara eksekutif dan legislative yang tak jarang dapat mengakibatkan “kelumpuhan”

(paralysis) akibat koeksistensian dari dua badan independen yang diciptakan dalam

sistem presidensial19, apalagi dengan adanya dual democratic legitimacy antara

eksekutifdan legislatif yang sama-sama memperoleh legitimasi langsung dari rakyat.20

Konflik ini tentu akan menghambat pembentukan Produk hokum yang responsive

yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

3.2 Solusi

Adapun beberapa solusi untuk menyelesaikan permasalahan mengenai distorsi

konsep persetujuan bersama adalah

1. Mempertegas Konsep Pembagian Kekuasaan (Distribution of Power) dari

Indonesia berkenaan dengan fungsi eksekutif dalam proses legislasi karena

17 Mariam darus Badrulzaman, KUH Perdata (Buku III), Bandung, 2006, Hlm.98

18 Ibid

19 Saldi Isra, Op.cit, Hlm 84.

20 Juan J. Linz, 1992, The Perils of Presidensialism, dalam ibid., Hlm 120.

9

Page 10: Konsep Persetujuan Bersama Dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”

jika tidak, maka keberadaan Presiden beserta hak veto-nya dalam

pembentukan UU menjadi tidak berfungsi;

2. Harmonisasi hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam proses

legislasi21. Seringkali konflik yang terjadi anatara Eksekutif dan Legislatif

didasari oleh kepentingan politik semata, misalnya karena mayoritas fraksi

yang duduk dalam lembaga legislatif berbdeda dengan partai politik darimana

Eksekutif berasal;

3. Dalam hal Presiden tidak menandatangani UU yang akan berlaku, maka

Presiden harus memberikan penjelasan dan keterangan berkaitan dengan alas

an tidak ditandatanganinya UU tersebut;

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Di Indonesia UU dibuat oleh suatu badan legislatif yaitu DPR bersama

Presiden

Permasalahan :

21 Robbert L. Maddex, 1996, The Illustrated Dictionary of Constitusional Concepts, Congressional Quarterly Inc., Washington, hlm 175.

10

Page 11: Konsep Persetujuan Bersama Dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”

o Konsep persetujuan bersama pada pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tidak

berjalan. Terbukti dari ada beberapa Undang-Undang yang tidak

ditandatangani oleh Presiden;

o Hak veto penolakan Presiden atas RUU tidak berfungsi efisien.

Solusi

o Mempertegas Konsep Pembagian Kekuasaan (Distribution of Power)

dari Indonesia berkenaan dengan fungsi eksekutif dalam proses

legislasi karena jika tidak, maka keberadaan Presiden beserta hak veto-

nya dalam pembentukan UU menjadi tidak berfungsi;

o Harmonisasi hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam

proses legislasi. Seringkali konflik yang terjadi anatara Eksekutif dan

Legislatif didasari oleh kepentingan politik semata, misalnya karena

mayoritas fraksi yang duduk dalam lembaga legislatif berbdeda dengan

partai politik darimana Eksekutif berasal;

o Dalam hal Presiden tidak menandatangani UU yang akan berlaku,

maka Presiden harus memberikan penjelasan dan keterangan berkaitan

dengan alas an tidak ditandatanganinya UU tersebut;

4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

SUMBER PRIMER

Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia

SUMBER SEKUNDER

Buku

11

Page 12: Konsep Persetujuan Bersama Dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”

Asshiddiqie, Jimly 2006. Pengantar Ilmu…… _____. ______

Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata (Buku III). Bandung: 2006.

Budiardjo, Miriam. 1989. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke 29. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi legislasi (Menguatnya Model Legislasi

Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia). Jakarta: Rajawali Pers.

Linz, Juan J. 1992. The Perils of Presidensialism. ______:_______.

Locke, John. 1960. Two Treaties of Civil Government. London: J.M Dent and

Sons Ltd.

Maddex, Robbert L. 1996. The Illustrated Dictionary of Constitusional

Concepts. Washington: Congressional Quarterly Inc.

Mahfud, M. 2001. Politik Hukum di Indonesia, cet.  II Jakarta: LP3ES.

Sartori, Giovanni. 1997. Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry

into Structures, Incentives, and Outcomes. New York: New York University Press,

2nded.

Suny, Ismail. 1978. Pembagian Kekuasaan Negara. Jakarta: Aksara Baru

Verney, Douglas V. 1998. Parliamentary Government And Presidential

Government, dalam Parliamentary versus Presidential Government, edited by Arend

Lijphart, New York: Oxford University Press.

Artikel/ Dokumen/ Jurnal

Aliamsyah. 2010. “Politik Perundang-undangan”. _______. Diakses tanggal 31

Oktober 2012.

SusantiV, Bivitri. _____, “Problem Kelembagaan dalam Proses Legislasi”,

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net, Diakses tanggal 31 Oktober 2012.

12

Page 13: Konsep Persetujuan Bersama Dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Hany Ayuning Putri, “Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi”

Mahendra, Yusril Ihza. 2012. “Keterangan Ahli Dalam Sengketa kewenangan

Presiden dan DPR Tentang Divestasi Saham Newmont”.

http://yusril.ihzamahendra.com/2012/03/27/keterangan-ahli-dalam-sengketa-

kewenangan -presiden-dan-dpr-tentang-divestasi-saham-newmont/. Diakses tanggal

31 Oktober 2012.

Manan, Bagir. 1994. Politik Perundang-undangan. Makalah.

Marzuki, HM. Laica. 2006. Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi

Terhadap Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3.

SUMBER TERSIER

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1997. Kamus Inggris-Indonesia, Cetakan

ke- XXIV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

13