konsep sabar dalam menuntut ilmu pada kitab diwan...
TRANSCRIPT
i
KONSEP SABAR DALAM MENUNTUT ILMU PADA KITAB
DIWAN AL-IMAM ASY-SYAFI’I
SKRIPSI
Disusun guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
VEGA FEBRIANI SAWITRI
NIM. 11114280
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2019
ii
iii
KONSEP SABAR DALAM MENUNTUT ILMU PADA KITAB
DIWAN AL-IMAM ASY-SYAFI’I
SKRIPSI
Disusun guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
VEGA FEBRIANI SAWITRI
NIM. 11114280
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2019
iv
HALAMAN PENGESAHAN
v
vi
vii
MOTTO
من صبر ظفر
“Barang siapa sabar, beruntunglah ia”
(Al-Mahfudzat)
viii
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah „ala kulli hal, atas limpahan rahmat serta karunia-Nya yang
telah mengantarkan penulis pada kesempatan ini. Penulis mempersembahkan karya
kecil ini sebagai kado bukti keseriusan dan rasa terimakasih kepada orang-orang
terkasih yang Allah SWT titipkan untuk mendampingi sampai penghujung awal
perjuangan. Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Bapakku dan mamaku tercinta, Muhammad Subur (Alm) dan Sutriyah yang
selalu memperjuangkan kebahagiaan anak-anaknya, memberikan doa tiada
hentinya, nasehat, kasih sayang, semangat, dan motivasi dalam kehidupanku.
2. Keluargaku di Tangerang, Karanggede, dan adikku Olivianti Zulianisa yang
selalu memberiku semangat dan mendoakan keberhasilanku.
3. Sahabatku Khafidzotus Solikhah, Siti Nur Jauharatul Uyuuni, Oktavita Sari,
Tyas Indra Yudiantari, Nurul Fatimah, Muhammad Mahzum, Azizah, Novi
Dyah Arisanti, Anis Aulia Arifani yang telah memberikan banyak pelajaran
berharga dalam hidupku, selalu memberikan motivasi kepadaku, dan selalu
membantuku dalam berbagai keadaan.
4. Abu Dhabi‟s room Ma‟had IAIN Salatiga th. 2014-2015, Vela, Pamela, Umi,
Sulis, Faizah yang telah memberikan banyak pelajaran dan pengalaman
berharga dalam hidupku.
5. Para penghuni kost Bapak Fatoni dan Ibu Sa‟diyah yang selalu membantuku
dalam banyak hal, khususnya Millatul Mustanida yang selalu menemaniku dan
mengantarku kemana pun dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Teman-teman seperjuanganku angkatan 2014 khususnya Jurusan PAI.
ix
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang selalu
memberikan nikmat, karunia, taufik, dan hidayah-Nya skripsi dengan judul Konsep
Sabar Dalam Menuntut Ilmu Pada Kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i dapat
terselesaikan, meski pun dalam wujud yang sederhana. Shalawat dan salam
senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad SAW,
satu-satunya suri tauladan terbaik yang dapat mereformasi umat manusia dari
zaman kegelapan menuju zaman terang benderang seperti zaman sekarang ini
dengan ajarannya, yakni agama Islam.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa motivasi, dukungan, dan
bantuan dari berbagai pihak terkait, sehingga kebahagiaan yang tiada tara penulis
rasakan setelah skripsi ini selesai. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak
terima kasih setulusnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zakiyuddin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Prof. Dr. Mansur, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan.
3. Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
4. Ibu Dra. Urifatun Anis, M.Pd.I., selaku Dosen Pembimbing Akademik.
5. Bapak Dr. Miftahuddin, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
mencurahkan segala tenaga, pikiran, dan bimbingannya dengan penuh
kesabaran, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
x
6. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah membekali berbagai ilmu
pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7. Kepala Bagian Akademik dan para stafnya yang senantiasa memberikan
pelayanan akademik yang mana membantu melancarkan proses pembuatan
skripsi dengan lancar.
8. Kepala Bagian Perpustakaan dan para stafnya yang telah memberikan ruang
untuk membuat skripsi dengan bahan sumber buku dan rujukan yang lengkap.
9. Bapak Muhammad Subur (Alm) dan Ibu Sutriyah serta keluarga besar yang
selalu memberikan doa, semangat, dukungan, dan kasih sayang tak terhingga.
10. Bapak Fatoni dan Ibu Sa‟diyah serta keluarga besar yang sangat berbaik hati.
11. Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas bantuan dan
dorongannya.
Demikian ucapan terimakasih penulis sampaikan, penulis hanya bisa
berdoa, semoga Allah SWT mencatat seluruh kebaikan ini sebagai amal shalih yang
akan mendapat balasan yang berlipat ganda.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna, masih banyak kekurangan baik dalam segi isi mau pun metodologi. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun penulis harapkan dari berbagai pihak
guna kebaikan penulisan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Amin.
Salatiga, 02 Juli 2019
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL LUAR ............................................................................. i
LEMBAR BERLOGO IAIN ................................................................................. ii
HALAMAN SAMPUL DALAM ......................................................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... iv
PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................ vi
MOTTO ................................................................................................................ vii
PERSEMBAHAN ................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xiii
ABSTRAK ............................................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 7
E. Kajian Pustaka ............................................................................................... 9
F. Metode Penelitian .......................................................................................... 11
G. Definisi Operasional ...................................................................................... 13
H. Sistematika Penulisan .................................................................................... 15
xii
BAB II BIOGRAFI
A. Biografi Imam Syafi‟i .................................................................................... 16
B. Setting Sosial .................................................................................................. 29
C. Karya-Karya Imam Syafi‟i............................................................................. 36
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Garis Besar Isi Kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i ......................................... 40
B. Kompilasi Kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i ................................................ 53
BAB IV PEMBAHASAN
A. Konsep Sabar Dalam Menuntut Ilmu Pada Kitab Diwan Al-Imam
Asy-Syafi‟i ...................................................................................................... 56
B. Relevansi Konsep Sabar Dalam Menuntut Ilmu Pada Kitab Diwan Al-Imam
Asy-Syafi‟i Di Era Modern ............................................................................. 101
C. Implikasi Konsep Sabar Dalam Menuntut Ilmu Pada Kitab Diwan Al-Imam
Asy-Syafi‟i Di Era Modern ............................................................................. 108
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................... 120
B. Saran .............................................................................................................. 121
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Lembar Konsultasi Skripsi
Lampiran 2: Daftar Satuan Kredit Kegiatan (SKK)
Lampiran 3: Daftar Riwayat Hidup Penulis
xiv
ABSTRAK
Sawitri, Vega Febriani. Konsep Sabar Dalam Menuntut Ilmu Pada Kitab Diwan Al-
Imam Asy-Syafi‟i. Salatiga tahun 2019. Skripsi. Jurusan Pendidikan
Agama Islam (PAI). Fakultas Tarbiyah dan Ilmu keguruan (FTIK). Institut
Agama Islam Negeri (IAIN). Pembimbing: Dr. Miftahuddin, M.Ag.
Kata Kunci: Konsep Sabar Dalam Menuntut Ilmu, Kitab Diwan Al-Imam Asy-
Syafi‟i.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep sabar dalam menuntut
ilmu pada kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i. Pertanyaan utama yang ingin dijawab
melalui penelitian ini adalah: (1) Apa garis besar isi kitab Diwan Al-Imam Asy-
Syafi‟i. (2) Apa konsep sabar dalam menuntut ilmu pada kitab Diwan Al-Imam Asy-
Syafi‟i. (3) Bagaimanakah relevansi konsep sabar dalam menuntut ilmu pada kitab
Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i di era modern.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), maka
data yang diperoleh bersumber dari literatur. Ada pun referensi yang menjadi
sumber data primer yaitu dari kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i. Dalam
pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi. Analisis data yang
digunakan dalam skripsi ini adalah analisis isi (content analysis).
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Garis besar isi kitab Diwan
Al-Imam Asy-Syafi‟i, adalah uraian moral dan nasehat serta refleksi dari keadaan
masyarakat saat itu, sekaligus mencerminkan gambar diri sang Imam, Imam
Syafi‟i. (2) Konsep sabar dalam menuntut ilmu pada kitab Diwan Al-Imam Asy-
Syafi‟i, yakni sabar dalam menghadapi sikap pendidik, sabar dalam menjalani
waktu menuntut ilmu yang lama, sabar dalam menyiapkan biaya yang cukup, sabar
dalam perantauan, sabar dalam berkawan, sabar dalam menghindari hawa nafsu dan
meninggalkan maksiat. (3) Relevansi konsep sabar dalam menuntut ilmu pada kitab
Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i di era modern, yaitu betapa pentingnya menanamkan
perilaku sabar dalam menuntut ilmu yang harus dilakukan sejak dini untuk
membentuk pribadi Islami yang berakhlak mulia.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap hari manusia menghadapi berbagai persoalan hidup yang
seperti tidak ada habisnya. Terkadang merasakan kebahagiaan, tapi tidak
jarang juga merasakan sedih dan kecewa dengan apa yang dialami.
Semuanya datang silih berganti, seiring pergantian siang dan malam yang
setia menemani. Pergantian siang dan malam memang mengisyaratkan
pergantian peristiwa yang terus terjadi dalam kehidupan manusia.
Terkadang ada di atas, terkadang juga ada di bawah. Terkadang hidup terasa
menyenangkan, tetapi pada saat lain, hidup terasa sebagai beban berat.
Begitulah, hidup membawa manusia pada berbagai persoalan yang
silih berganti dan itu akan terus terjadi sepanjang hidupnya. Karena itulah,
bagaimana cara seorang manusia menyikapi setiap peristiwa sangat
menentukan bagaimana hasil dan perasaan mereka terhadapnya. Karena
pada dasarnya, peristiwa yang terjadi di sekeliling manusia bersifat netral.
Manusialah yang memaknai peristiwa itu dalam perasaannya. Saat sesuatu
terjadi, mereka bisa merasakannya sebagai kesedihan, kegembiraan,
ketakutan, atau apa pun, bergantung pada bagaimana cara mereka
menyikapinya. Manusia sedih, senang, dan gembira bukan karena peristiwa
di luar dirinya, tetapi semua itu timbul dari dalam diri manusia sendiri.
Sangat bergantung pada bagaimana seorang manusia memandang
berbagai peristiwa tersebut. Saat seseorang mulai bekerja melakukan
2
sesuatu, kemudian ia belum berhasil atau gagal, saat itulah cara pandangnya
berperan. Jika ia memandang hidup sebagai proses panjang yang harus
dilalui secara terus-menerus dan konsisten, segala macam tantangan dan
kegagalan akan dianggap sebagai sebuah proses evaluasi terhadap apa yang
sudah dikerjakan. Karenanya, tidak perlu bersedih hati, jadikan kegagalan
sebagai sarana introspeksi dan perbaikan diri agar pada masa mendatang
bisa menjadi lebih baik.
Sebaliknya, jika kegagalan dianggap sebagai akhir hidup, hidupnya
akan semakin terpuruk. Bukannya bangkit dari kegagalan, tetapi justru
kegagalan itu membuatnya jatuh dan sulit untuk bangkit. Satu kegagalan
seakan-akan menutup semua pintu keberhasilan, merasa bahwa ia tidak
mungkin bisa bangkit dari keterpurukannya. Pola pikir semacam itulah yang
justru membuatnya semakin terpuruk. Sekali seseorang berfikir bahwa ia
tidak mungkin bangkit dari keterpurukan karena sebuah kegagalan, yang
terjadi adalah seperti apa yang dipikirkannya. Karena itulah, mestinya
seorang manusia melihat bahwa di balik semua peristiwa yang terjadi di
dunia ini selalu ada sisi baik yang bisa bermanfaat untuk kehidupannya,
baik saat ini mau pun saat mendatang.
Bahkan, dalam posisi yang sangat sulit sekali pun, seharusnya
seorang manusia masih bisa melihat ada kebaikan dari setiap peristiwa.
Dalam bahasa agamanya, selalu ada „hikmah‟ dari setiap peristiwa yang
terjadi. Tidak ada satu pun peristiwa di dunia ini yang terjadi secara
kebetulan. Semua sudah diatur agar manusia mau belajar (Zainudin, 2012:
3
97-99). Intinya, jangan sampai berbagai peristiwa yang menghampiri
manusia ini dapat menjerumuskannya pada hal-hal yang buruk berdampak
negatif dan bertindak semaunya sendiri tanpa memikirkan sebab-akibatnya
kelak.
Pada era modern ini, hampir semua orang menyukai hal-hal yang
berbau instan. Di sini uang menjadi patokannya, manakala memiliki uang,
maka hal-hal instan yang diinginkan bisa terwujudkan, begitu pun
sebaliknya. Misalnya, banyak orang yang mengaku berpendidikan tetapi
mengabaikan proses di dalamnya seperti sabar dalam menuntut ilmu,
bahkan dengan mudahnya mereka langsung membeli ijazah tanpa
menikmati proses di dalamnya. Terjadinya hal tersebut, salah satu
kemungkinan mereka pernah gagal mengenyam pendidikan di universitas
favorit yang diinginkan, karena tingginya tekad dan harapan hingga
membuat mereka frustasi serta putus asa. Sayangnya, mereka sudah
menyerah dahulu hingga akhirnya mengambil jalan pintas tersebut, padahal
perjuangan baru saja dimulai.
Inilah salah satu dampak dari berbagai peristiwa yang menghampiri
seorang manusia, yang mana mereka belum bisa memaknai berbagai
peristiwa tersebut dengan baik dan telah menjerumuskannya pada segala hal
yang negatif. Namun perlu disadari, bahwa semua hal yang berbau instan
belum tentu bisa membawa manfaat bagi manusia, bahkan dapat
menimbulkan penyesalan di akhir, sebab hal-hal yang berbau instan itu
banyak menimbulkan kecurangan. Sebagai manusia yang berpendidikan,
4
seharusnya mereka bisa menahan diri untuk tidak berbuat kecurangan hanya
untuk mendapatkan hasil akhir yang memuaskan. Dengan menahan diri
inilah, berarti seorang manusia muslim telah menjalankan perintah Allah
SWT yakni berlaku sabar atau ber-sabar dari segala bentuk hawa nafsu yang
dapat menjerumuskannya pada hal-hal buruk larangan Allah SWT.
Sabar merupakan akhlak terpuji yang harus dimiliki setiap muslim.
Dari segi bahasa, shabr artinya menahan dan mengendalikan diri agar tidak
„dijajah‟ hawa nafsu dan emosi (Elfanany, 2013: 24). Kesabaran juga
merupakan landasan pacu seorang muslim. Seorang muslim harus
menjalankan keyakinan imannya dengan berbasiskan pada kesabaran. Tidak
ada keimanan tanpa kesabaran. Jika pun ada, maka imannya lemah dan
rapuh. Ibarat seorang muslim menyembah Allah SWT dalam keadaan
compang-camping. Jika ada kenikmatan, ia akan tenang. Akan tetapi, jika
ada musibah yang menimpa, maka ia akan berpaling dari Allah SWT. Dari
sini, ia akan mendapatkan keuntungan dari kedua tempat ini kecuali hanya
kerugian yang tiada taranya (Al-Jauziyyah, 2005: xxxi).
Sabar bisa diklasifikasikan menjadi 5, yaitu sabar dalam ketaatan,
sabar dalam menjauhi kemaksiatan, sabar dalam menerima dan menghadapi
musibah, sabar dalam menuntut dan mengembangkan ilmu, serta sabar
dalam bekerja dan berkarya (Elfanany, 2013: 24). Namun, dalam hal ini
penulis hanya ingin membahas tentang sabar dalam menuntut ilmu.
Belajar atau menuntut ilmu merupakan hal yang sangat penting
untuk mewujudkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Tanpa ilmu,
5
manusia tidak dapat melakukan segala hal. Untuk mencari nafkah perlu
ilmu, beribadah perlu ilmu, bahkan makan dan minum pun perlu ilmu.
Dengan demikian, belajar merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat
ditolak, apalagi terkait dengan kewajiban seorang sebagai hamba Allah
SWT. Jika seorang muslim tidak mengetahui kewajibannya sebagai hamba,
bagaimana bisa ia dapat memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat
(Lubis, 2016: 229). Jadi sangat jelas, bahwa menuntut ilmu itu sangat
penting.
Imam Syafi‟i mengatakan dalam syairnya, bahwa sabar dalam
menuntut ilmu salah satunya adalah sabar dalam menghadapi sikap kerasnya
pendidik dan jangka waktu yang lama dalam menuntut ilmu. Namun pada
era modern ini, apakah cukup dengan 2 hal di atas? Tentu tidaklah cukup.
Seperti halnya perantau dalam menuntut ilmu, mereka tentu saja tidak hanya
harus sabar dalam menghadapi sikap kerasnya pendidik dan jangka waktu
yang lama dalam menuntut ilmu, akan tetapi sabar dalam menjumpai
kawan-kawan baru yang berbeda karakter, lingkungan baru yang mungkin
suasananya berbeda dengan kampung halamannya, dan tentunya sabar
dalam mengatur keuangan sebab jauh dari orang tua.
Seperti halnya jangka waktu yang lama dalam menuntut ilmu,
biasanya orang yang sudah berumur selalu mempermasalahkan masalah
waktu dalam menuntut ilmu. Terkadang terbesit rasa malu bila ingin belajar
ke bangku perkuliahan atau pun ke sebuah majelis karena penuntut ilmu
merasa sudah bukan masa-masa umurnya untuk belajar atau menuntut ilmu
6
lagi di tempat tersebut. Namun, perlu diketahui bahwa belajar atau menuntut
ilmu itu tidak mengenal batas dimensi waktu atau seumur hidup dan bisa
dilakukan di mana saja. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
ذ ئ احذ ا ؼ أغجا ا
Artinya: “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahat” (HR. Muslim).
Hadits ini menjelaskan bahwa prinsip menuntut ilmu itu tidak
mengenal batas usia, sejak seorang manusia terlahir sampai masuk kubur
pun mereka senantiasa mengambil pelajaran dalam kehidupan, dengan kata
lain Islam mengajarkan untuk menuntut ilmu sepanjang hayat dikandung
badan (Prayoga, 2015: 18). Seharusnya, dengan ber-sabar dalam menuntut
ilmu inilah bisa dijadikan motivasi untuk meraih kesuksesan, keberhasilan,
keberkahan, atau pun keberuntungan di masa yang akan datang.
Dari uraian di atas, penulis ingin lebih jauh mengkaji tentang nilai
sabar dalam menuntut ilmu pada kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i yang di
dalamnya terdapat beberapa uraian syair Imam Syafi‟i tentang sabar dalam
menuntut ilmu. Untuk itu, maka penulis mencoba untuk menyusun sebuah
skripsi yang berjudul: KONSEP SABAR DALAM MENUNTUT ILMU
PADA KITAB DIWAN AL-IMAM ASY-SYAFI‟I, dengan harapan semoga
dapat memberikan kontribusi dan manfaat terutama bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca.
7
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apa garis besar isi kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i?
2. Apa konsep sabar dalam menuntut ilmu pada kitab Diwan Al-Imam
Asy-Syafi‟i?
3. Bagaimanakah relevansi konsep sabar dalam menuntut ilmu pada kitab
Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i di era modern?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui garis besar isi kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i.
2. Mengetahui konsep sabar dalam menuntut ilmu pada kitab Diwan Al-
Imam Asy-Syafi‟i.
3. Mengetahui relevansi konsep sabar dalam menuntut ilmu pada kitab
Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i di era modern.
D. Manfaat Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi 2 bagian,
yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara
teoritis, yakni menambah pemahaman tentang nilai sabar dalam
menuntut ilmu yang terkandung pada kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i.
8
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
Penelitian ini merupakan salah satu bentuk pelatihan bagi
penulis dalam menganalisa isi kandungan yakni khususnya konsep
sabar dalam menuntut ilmu pada kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i
untuk dijadikan sebagai salah satu karya ilmiah (Skripsi) serta
dapat menambah wawasan dan pemahaman penulis yang
selanjutnya untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan
sehari-hari.
b. Bagi Masyarakat Umum
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam
pembuatan karya ilmiah yang berkaitan dengan konsep sabar dalam
menuntut ilmu dan mempermudah masyarakat umum untuk
mengetahui isi kandungan kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i
khususnya konsep sabar dalam menuntut ilmu yang terkandung
pada kitab tersebut.
E. Kajian Pustaka
Dari pengamatan penulis, ada beberapa hasil penelitian yang
berhubungan dengan penelitian ini, yakni:
1. Tesis yang ditulis oleh Ahmad Khoironi Arianto, mahasiswa Program
Studi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta 2013,
dengan judul “Metafora dalam Puisi Imam Syafi`i.” Penelitian ini
mengungkapkan bahwa, Metafora dalam syair-syair Imam Syafi‟i atau
9
kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i adalah ungkapan kebahasaan kitab
Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i yang maknanya tidak dapat dijangkau
secara langsung dari lambang yang dipakai, karena makna yang
dimaksud terdapat pada prediksi ungkapan kebahasaan tersebut
(Arianto, 2013).
2. Tesis yang ditulis oleh Abdullah Ridlo, mahasiswa Program Studi
Interdisciplinary Islamic Studies (IIS) Konsentrasi Ilmu Bahasa Arab
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta 2017, dengan
judul “Kompleksitas Gaya Bahasa Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i (Studi
Analisis Stilistika).” Penelitian ini mengungkapkan bahwa, penggunaan
gaya bahasa dalam kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i banyak ragam
diantaranya yang ditimbulkan dari aspek Mustawaa As-Sawtii (Ranah
Fonologi), berjumlah 7 gaya bahasa, diantaranya adalah Qaafiyah
(sajak), Tawaffuqul„ Aruud Waddarb (kesejajaran bait), Bahr (ritme),
Tikraar (repetisi), Tajaanus As-Saawti (asonasi), Sawt Nawwaah
(intonasi sedih), dan Aswat As-Saafir (suara gemerincing). Kemudian,
pada aspek Mustawa As-Sarfi (Ranah Morfologi), diantaranya gaya
bahasa, Perubahan kata ganti Al-Idmaar Fi Maudi‟ Al-Idhaar (Ridlo,
2017).
3. Skripsi yang ditulis oleh Rina Aisyah, mahasiswi Program Studi
Pendidikan Agama Islam Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Ponorogo 2015, dengan judul “Etika Menuntut
Ilmu dalam Al-Qur‟an Surat Al-Kahfi Ayat 69-78 Tafsir Al-Maraghiy
10
dan Tafsir Al-Misbah (Studi Komparatif).” Penelitian ini
mengungkapkan bahwa, Etika Menuntut Ilmu dalam Al-Qur‟an surat
Al-Kahfi ayat 69-78 yang dapat diambil dari kisah Nabi Musa AS dan
Nabi Khidhir yaitu tentang sifat dan akhlak seorang pelajar yang harus
dimiliki, kegigihan, sifat rasa ingin tahu, ketabahan dan kesabaran,
hormat dan rendah diri, serta menjaga kesopanan (Aisyah, 2015).
Berdasarkan kajian terhadap karya penelitian tersebut, penulis akan
membandingkan perbedaan antara penelitian di atas dengan penelitian yang
penulis lakukan.
Pada penelitian ke-1 dan ke-2, kajian keduanya hampir serupa yakni
mengkaji tentang gaya bahasa yang terdapat pada syair Imam Syafi‟i dalam
kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i secara menyeluruh. Namun, pada
penelitian yang penulis lakukan ini tidak mengkaji tentang gaya bahasa,
tetapi makna syair yang berada di dalamnya secara spesifik yaitu syair
Imam Syafi‟i tentang sabar dalam menuntut ilmu dalam kitab Diwan Al-
Imam Asy-Syafi‟i. Dan pada penelitian ke-3, kajiannya hampir serupa
dengan penelitian yang penulis lakukan yakni dalam menuntut ilmu salah
satu etika yang harus dimiliki penuntut ilmu adalah adanya ke-sabar-an.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Ada pun jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian
kepustakaan (library research), karena semua yang digali adalah
11
bersumber dari pustaka. Dan yang dijadikan objek kajian adalah hasil
karya tulis yang merupakan hasil dari pemikiran (Hadi, 1987: 3).
2. Sumber Data
Sumber data yang dijadikan bahan-bahan dalam kajian ini
merupakan sumber data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan
yang dikategorikan sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data yang langsung
dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertamanya (Suryabrata,
1995: 84-85).
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research), maka data yang diperoleh bersumber dari literatur. Ada
pun referensi yang menjadi sumber data primer yaitu data yang
diambil dari sumber utamanya. Data ini diambil dari kitab Diwan
Al-Imam Asy-Syafi‟i kompilasi Na‟im Zarzour yang diterbitkan Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah, Beirut, pada tahun 2014.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang telah tersusun
dalam bentuk dokumen-dokumen (Suryabrata, 1995: 85).
Ada pun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah
buku-buku atau karya ilmiah lain yang isinya dapat melengkapi
data penelitian yang penulis teliti, misalnya: Jejak Hidup dan
12
Keteladanan Imam 4 Mazhab (Kana Media, Yogyakarta),
Mengubah Musibah Menjadi Nikmat (Citra Risalah, Yogyakarta),
Kemuliaan Sabar dan Keagungan Syukur (Mitra Pustaka,
Yogyakarta), dan lain sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian
library research, sebagai sumber primer. Dengan demikian
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
dokumentasi data terkait variabel-variabel yang berupa catatan seperti
buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen harian,
catatan rapat, dan sebagainya (Arikunto, 2010: 202).
4. Analisa Data
Dalam menganalisis data yang ada, penulis menggunakan
metode content analysis (analisis isi) (Suryabrata, 1995: 85). Dengan
teknik analisis ini, penulis akan menganalisis terhadap makna atau pun
isi yang terkandung dalam ulasan-ulasan kitab Diwan Al-Imam Asy-
Syafi‟i dan konsep sabar dalam menuntut ilmu.
G. Definisi Operasional
Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang
menyimpang dengan yang dimaksud oleh penulis, maka penulis akan
menjelaskan istilah-istilah di dalam judul ini. Istilah-istilah yang perlu
penulis jelaskan adalah sebagai berikut:
13
1. Konsep
Konsep adalah rancangan, ide atau pengertian yang di
abstrakkan dari peristiwa konkret, gambaran mental dari objek, proses,
atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi
untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 2008: 748).
2. Sabar
Menurut pengertian bahasa, sabar berarti melarang dan
menahan. Dalam hal ini berarti menahan hati agar tidak gusar, menahan
keluhan, dan segala macam nafsu serta amarah. Sabar termasuk akhlak
utama yang dapat menghindarkan diri seseorang dari melakukan hal-hal
yang tidak baik. Oleh sebab itu, sabar menjadi kekuatan jiwa yang
menentukan kebaikan dan kelurusannya (Soebachman, 2014: 67).
3. Menuntut ilmu
Menuntut ilmu adalah suatu usaha mencari ilmu guna
mengetahui suatu pengetahuan yang ingin diketahui atau pun yang
belum diketahui, biasanya diwujudkan dengan cara belajar, seperti,
menempuh pendidikan di sekolah, mendengarkan tausiyah atau
ceramah, membaca berbagai buku, dan lain sebagainya. Si pencari atau
penuntut ilmu ini biasa disebut siswa, murid, pelajar, mahasiswa, dan
lain sebagainya.
Dan menuntut ilmu adalah hal yang paling wajib dilakukan
manusia untuk memperluas wawasan, sehingga derajat manusia pun
bisa terangkat. Menuntut ilmu merupakan ibadah, sebagaimana sabda
14
Nabi Muhammad SAW “Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim laki-
laki dan perempuan.”
4. Imam Syafi‟i
Imam Syafi‟i yang dimaksud di sini adalah Muhammad ibn Idris
ibn Al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi‟ ibn As-Sa‟id ibn „Ubaid ibn
„Abdun Yazid ibn Hasyim ibn Al-Muththalib ibn Abdul Manaf. Beliau
kemudian memiliki gelar Abu Abdullah (Sati, 2014: 140). Beliau
adalah seorang Mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri madzhab
Syafi‟i.
5. Kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i
Kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i adalah sebuah kitab yang
merangkum syair-syair Imam Syafi‟i. Bait syair dalam kitab Diwan Al-
Imam Asy-Syafi‟i tersebut kurang lebih berjumlah 802 bait dari 320
qashidah (himpunan/topik) yang dirangkum dalam 20 qafiyah (bab)
(Fahmi, 2014: 186). Sebagian besar syair-syair Imam Syafi‟i
menceritakan tentang moral dan nasehat serta refleksi dari keadaan
masyarakat saat itu, sekaligus mencerminkan gambar diri sang Imam,
Imam Syafi‟i.
H. Sistematika Penulisan
Guna memperoleh gambaran yang jelas, menyeluruh dan
mempermudah dalam memahami masalah-masalah yang akan dibahas,
maka penulis menyusun sistematika penelitian. Sistematika yang penulis
15
maksud di sini adalah sistematika penyusunan skripsi dari bab ke bab. Ada
pun sistematika penyusunan skripsi ini sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, menguraikan tentang: Latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka,
metode penelitian, definisi operasional, dan sistematika penulisan.
Bab II Biografi, menguraikan tentang: Biografi Imam Syafi‟i, setting
sosial, dan karya-karya Imam Syafi‟i.
Bab III Deskripsi Pemikiran, menguraikan tentang: Garis besar isi
kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i dan kompilasi kitab Diwan Al-Imam Asy-
Syafi‟i.
Bab IV Pembahasan, menguraikan tentang: Analisis konsep sabar
dalam menuntut ilmu pada kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i, relevansi
konsep sabar dalam menuntut ilmu di era modern, dan implikasinya.
Bab V Penutup, menguraikan tentang: Kesimpulan dan saran.
16
BAB II
BIOGRAFI
A. Biografi Imam Syafi’i
Imam yang ke-3 menurut tarikh kelahiran, yakni Abu Abdullah
Muhammad ibn Idris, yang lebih terkenal sebagai Imam Syafi‟i, pendiri
madzhab Syafi‟i, termasuk golongan suku Quraisy, seorang Hasyimiy dan
keluarga jauh Nabi Muhammad SAW (Ahmad, 1994: 89).
Imam Syafi‟i merupakan seorang tokoh Islam yang mempunyai
nama cukup besar dalam memberikan sumbangan dan kemaslahatan
(kebaikan), terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan
kepada seluruh umat Islam. Ketinggian ilmunya melebihi pujian yang
diucapkan kepadanya. Penguasaan ilmu pengetahuannya yang
bersumberkan kepada rujukan Al-Qur‟anul Karim dan Sunnah Nabi SAW
amat disegani oleh pihak kawan mau pun lawan. Beliau telah menghabiskan
sisa hidupnya dengan menimba berbagai ilmu pengetahuan untuk
ditaburkan kembali dalam tarbiyah (pendidikan) dan pembangunan
masyarakat. Tidak dapat dinafikan, beliau merupakan uswatun hasanah
(ikutan atau tauladan yang baik) sebagai ulama mulia yang
memperjuangkan madzhab Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama‟ah (Syafaruddin,
2015: 104).
1. Kelahiran
Layaknya tangkai tanaman yang patah, ia akan tergantikan oleh
tangkai yang baru. Demikianlah, kiranya yang terjadi pada Imam
17
Syafi‟i. Beliau lahir di Ghaza (Palestina) pada hari Jum‟at, di akhir
bulan Rajab tahun 150 H (767 M), sebagai “Tangkai yang baru”.
Sebab, kelahiran Imam Syafi‟i bertepatan dengan tahun meninggalnya
Imam Abu Hanifah. Pada saat umat Islam kehilangan seorang imam
besar, pada waktu bersamaan lahir seorang calon imam besar suatu saat
nanti (Sati, 2014: 139). Imam Syafi‟i lahir pada zaman dinasti Bani
Abbasiyah, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja‟far Al-Mansyur
(137-159 H/754-774 M) (Syafaruddin, 2015: 105).
Seorang keturunan Arab ini terlahir dengan nama asli
Muhammad ibn Idris ibn Al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi‟ ibn As-Sa‟id
ibn „Ubaid ibn „Abdun Yazid ibn Hasyim ibn Al-Muththalib ibn Abdul
Manaf. Beliau kemudian memiliki gelar Abu Abdullah (Sati, 2014:
139).
2. Nasab
Imam Syafi‟i terlahir dari seorang bapak keturunan Quraisy.
Bapaknya meninggal dunia saat beliau masih dalam buaian ibunya.
Nilai-nilai luhur telah tertanam dalam dirinya. Ibunya selalu
membimbing beliau untuk terus meraihnya dengan mengirimnya dari
Ghaza ke Makkah. Hal ini dilakukan agar Imam Syafi‟i bisa hidup tidak
jauh dari pusat ilmu kala itu. Sang ibu juga takut Imam Syafi‟i
kehilangan garis nasabnya di sana (Suwaidan, 2015: 22).
Keluarga Imam Syafi‟i adalah keluarga Palestina yang fakir dan
terusir, mereka tinggal di pemukiman orang-orang Yaman, namun
18
kemuliaan nasabnya menjadi pengganti kemiskinannya (Syurbashi,
2006: 211).
Abdul Manaf kakek ke-9 dari Imam Syafi‟i dan Abdul Manaf
pula kakek ke-4 dari Nabi Muhammad SAW. Jadi, nasab Imam Syafi‟i
bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdul Manaf. Ada pun
nasab Imam Syafi‟i dari ibunya adalah Muhammad ibn Fathimah binti
Abdullah ibn Hasan ibn Husen ibn Ali ibn Abi Thalib. Dengan
demikian, maka ibunya adalah cucu dari Sayyidina Ali ibn Abi Thalib,
menantu Nabi Muhammad SAW dan khalifah ke-4 yang terkenal
(Yanggo, 1997: 121).
Jadi, Imam Syafi‟i merupakan satu-satunya imam diantara 4
madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Ḥambali) yang mempunyai garis
keturunan sama dengan Rasulullah SAW (Anam, 2016: 60).
3. Tempat tinggal
Imam Syafi‟i berpindah-pindah tempat antara Yaman, Makkah,
Madinah, Iraq, dan terakhir beliau pindah ke Mesir dan menetap di sana
sampai beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir (Al-Jazairy,
2001: 357).
4. Perjalanan menuntut ilmu
a. Awal menuntut ilmu
Imam Syafi‟i mulai membuka mata dan hatinya di negeri
kelahiran moyangnya. Negeri yang merupakan tumpuan hati dan
harapan seluruh kaum muslim di dunia dan tempat turunnya wahyu
19
Islam, Makkah. Beliau mulai beradaptasi dengan lingkungan ini
untuk mengukuhkan posisinya di tengah para ulama dan orang-
orang terhormat. Ibunda yang cerdik ingin membawa Imam Syafi‟i
kecil ke tempat seorang guru untuk memintanya mengajari Imam
Syafi‟i membaca Al-Qur‟an dan menulis layaknya anak-anak saat
mulai belajar. Sayangnya, sang ibu tidak memiliki apa-apa untuk
diberikan sebagai upah kepada guru (Suwaidan, 2015: 24-25).
Masa kanak-kanak dan masa remaja dilalui Imam Syafi‟i di
bawah asuhan ibunya di lingkungan Bani Muthalib, Makkah.
Sesuai dengan tujuan perpindahannya ke Makkah, masa ini
dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk pendidikan, pembentukan
pribadi, dan penguasaan ilmu-ilmu yang bermanfaat (Hikmah,
2014: 21).
b. Kesungguhan dalam menuntut ilmu
Imam Syafi‟i mengenang masa kecilnya dengan penuh suka
cita. Kemiskinan tidak menghalangi niatnya untuk tetap menuntut
ilmu. Imam Syafi‟i berkata:
“Aku ini anak yatim, hanya diasuh oleh ibuku. Ibuku menyuruhku
mengaji. Padahal beliau tidak punya apa-apa untuk diberikan
kepada sang guru. Sang guru ridha, jika aku yang akan
menggantikannya mengajar kelak, jika beliau sudah pensiun.
Sesudah menghafalkan Al-Qur‟an, aku masuk ke dalam masjid,
duduk bersama para ulama untuk menyimak hadits dan
permasalahan yang dibicarakan, lalu aku menghafalnya. Ibuku
tidak punya apa-apa untuk membelikanku kertas. Aku pun
menggunakan tulang. Aku ambil tulang itu lalu menulis di atasnya.
Ketika sudah penuh, tulang itu aku lempar ke kendi (wadah dari
tanah liat), sampai terkumpul 2 bejana besar” (Al-Minsyawi,
2009: 3-4).
20
c. Anak yang matang dan cerdas
Suatu hari guru Imam Syafi‟i terlambat datang ke
majelisnya. Dengan nekad beliau berdiri menggantikan gurunya
mengajar anak-anak yang lain. Sejak itu, sang guru tahu bahwa
Imam Syafi‟i bukan anak biasa. Beliau pun mulai memerhatikan
Imam Syafi‟i dan memutuskan untuk membebaskannya dari biaya
pendidikan asal Imam Syafi‟i mau mengajari anak-anak lain jika
beliau terlambat atau berhalangan hadir. Imam Syafi‟i bertutur:
“Saat membaca buku, aku mendengar guruku tengah mengajari
seorang anak tentang ayat-ayat Al-Qur‟an. Aku pun mulai
menghafalnya. Ketika guru selesai mendiktekan semua ayat untuk
murid-muridnya, biasanya aku sudah menghafalnya terlebih
dahulu. Suatu hari guruku pernah berkata, „Tak layak bagiku untuk
memungut bayaran sepeser pun bayaran darimu‟” (Suwaidan,
2015: 25).
Sejak awal, daya ingat Imam Syafi‟i yang luar biasa dan
intelektualnya yang tajam membuat guru-gurunya menyayangi
beliau (Khan, 2012: 135).
d. Masa muda tanpa gejolak pubertas
Imam Syafi‟i mulai masuk ke masjid dan berkumpul
dengan para ulama. Beliau banyak mendengarkan pelajaran dari
mereka dengan mengerahkan segenap kemampuan otak dan
semangatnya. Setelah rampung menghafal Al-Qur‟an, beliau mulai
tertarik menghafal hadits. Antusiasnya terhadap hadits sangat
tinggi. Saking banyaknya beliau mendengarkan para Muhaddits
menyampaikan hadits, beliau berhasil menghafal banyak hadits
21
dengan hanya mendengar. Kadang beliau menuliskannya di atas
tembikar atau di atas kulit.
Beliau biasa pergi ke perpustakaan, tempat catatan-catatan,
dan manuskrip-manuskrip disimpan. Di sana beliau meminta
beberapa lembar manuskrip dan menulis catatan di bagian yang
belum ada catatannya. Pada fase ini beliau berhasil menghafal kitab
Al-Muwaththa‟ karya besar Imam Malik, bahkan sebelum beliau
bertemu dengan sang imam (Suwaidan, 2015: 26).
Menurut riwayatnya, beliau telah mahir membaca dan
menulis Arab pada usia 5 tahun. Pada usia 9 tahun, beliau telah
hafal Al-Qur‟an 30 juz. Pada usia 10 tahun, beliau sudah mampu
menghafal hadits yang terdapat dalam kitab Al-Muwaththa‟ karya
Imam Malik. Di usianya yang ke-15 tahun, beliau lulus dalam
spesialisasi hadits dari gurunya Imam Sufyan ibn Uyaina, sehingga
beliau diberi kepercayaan untuk mengajar dan memberi fatwa
kepada masyarakat dan menjadi guru besar di Masjidil Haram,
Makkah (Ratna, 2014: 71).
Ketika menginjak usia 20 tahun, beliau menemui Imam
Malik ibn Anas di Madinah dan membacakan apa yang beliau ingat
tentang isi kitab Al-Muwaththa‟ di depan sang imam tersebut, di
mana sang imam sangat mengagumi kemampuan mengingatnya ini.
Imam Syafi‟i muda kemudian tinggal bersama Imam Malik sampai
beliau wafat pada tahun 795 M (Pramono, 2012: 283).
22
Pada masa mudanya Imam Syafi‟i belum pernah menikmati
indahnya masa muda atau mengalami gejolak pubertas seperti
kebanyakan anak-anak seusianya. Beliau lebih menyibukkan diri
dengan menuntut ilmu dan menjadikannya sebagai tujuan
(Suwaidan, 2015: 27).
e. Petualangan Imam Syafi‟i sang penyair
Imam Syafi‟i sangat suka berpetualangan ke berbagai negeri
untuk mencari ilmu dari ulama ternama, disamping untuk
mendengarkan para sastrawan dan penyair, melihat kondisi umat
Islam dan tingkat pengetahuan mereka. Dalam hal ini beliau
berkata dalam bait-bait syairnya:
“Tidak ada tempat bagi orang-orang cerdas dan beradab untuk
istirahat, maka tinggalkan kampung halaman dan merantaulah,
merantaulah! Engkau pasti akan mendapatkan ganti atas apa yang
engkau tinggalkan, dan gantilah pekerjaan dengan yang baru,
karena kelezatan hidup ada dalam pekerjaan baru, aku melihat
bahwa air yang menggenang itu akan merusak, jika air itu
mengalir maka akan baik, sementara jika ia menggenang akan
rusak” (Al-Jamal, 2006: 65).
Beliau sangat tekun mempelajari kaidah-kaidah dan nahwu
bahasa Arab. Untuk tujuan itu beliau pernah mengembara ke
kampung-kampung dan tinggal bersama kabilah Huzail lebih
kurang 10 tahun, lantaran hendak mempelajari bahasa mereka dan
juga adat istiadat mereka. Kabilah Huzail adalah suatu kabilah yang
terkenal sebagai suatu kabilah yang paling baik bahasa Arabnya.
Imam Syafi‟i banyak menghafal syair-syair dan qasidah dari
kabilah Huzail (Asy-Syurbasi, 1991: 143).
23
Setelah menguasai ilmu bahasa, Imam Syafi‟i pulang ke
Makkah. Hafalan Al-Qur‟an dan kitab Al-Muwaththa‟nya tetap
beliau jaga, tapi beliau belum tergolong orang yang „alim. beliau
lebih dikenal sebagai penyair dan sastrawan. Ketika itu, para
penyair dan sastrawan memiki kedudukan yang cukup tinggi di
kalangan orang Arab. Imam Syafi‟i memiliki majelis-majelis
khusus untuk melantunkan syair-syairnya, menuturkan kisah-kisah,
dan berita-berita Arab, serta ragam sastranya. Banyak orang
menyukai majelis-majelis seni sastra seperti ini. Sejak itulah
mereka mulai berkumpul di sekeliling Imam Syafi‟i. Kala itu,
keilmuan Syafi‟i di bidang agama belum menonjol (Suwaidan,
2015: 33-34).
Wawasan Imam Syafi‟i berasal dari beberapa sumber dan
berdiri di atas pilar, Syaikh dan gurunya, penelaahan dan
bacaannya, pengembaraannya ke Yaman, Kufah, Bashrah, Makkah,
Baghdad, dan Mesir, manfaat yang diambilnya dari dialog, surat
menyurat, dan debat yang berlangsung pada masanya antara ulama
ilmu kalam, ulama filsafat, ulama fiqih, ulama hadits, dan ulama
bidang-bidang lainnya, selain itu, yang terakhir sendiri, terdapat
pula pemikirannya sendiri dan perenungannya, semua sumber ini
membentuk wawasan yang luas untuknya.
Imam Syafi‟i sendiri mengisyaratkan bahwa dirinya percaya
bahwa keragaman sumber untuk membentuk wawasan yang luas
24
adalah sesuatu yang wajib dan tidak bisa tidak, karena kepercayaan
ini, mendapatinya mengatakan:
“Barangsiapa belajar Al-Qur‟an nilainya akan mahal,
barangsiapa mencatat hadits hujahnya akan kuat, barangsiapa
menelaah fiqih kedudukannya akan mulia, barangsiapa
mempelajari bahasa tabiatnya akan lembut, barangsiapa belajar
berhitung pendapatnya akan cermat, dan barangsiapa tidak
menjaga dirinya tak akan mendapatkan manfaat ilmunya”
(Syurbashi, 2006: 218).
Imam Syafi‟i adalah seorang penyair yang bijaksana serta
pandai tentang menggunakan syair yang tinggi dan baik, sekali pun
beliau tidak mencurahkan segala tenaganya untuk mendalami
bidang ini (Asy-Syurbasi, 1991: 169).
Suatu ketika, Imam Syafi‟i ditanya tentang ilmu dan sastra:
“Bagaimana minatmu pada sastra?” beliau berkata, “Aku
mendengar 1 huruf sastra yang belum pernah aku dengar
sebelumnya, lalu seluruh anggota tubuhku serasa ingin mendengar
dan menikmati sastra itu sebagaimana telinga menikmatinya.”
Ditanya lagi, “Bagaimana usahamu untuk mencapainya?” beliau
berkata, “Dengan agresif layaknya usaha memperoleh kenikmatan
harta.” Ditanya lagi, “Bagaimana engkau mempelajarinya?”
“Seperti seorang wanita mencari anak semata wayangnya yang
hilang” kata beliau (Al-Minsyawi, 2009: 99).
Imam Syafi‟i pada awalnya berkonsentrasi pada syair,
sastra, dan kisah-kisah Arab terdahulu termasuk peperangannya,
25
namun, Allah SWT memalingkannya kepada fiqih dan ilmu
(Syurbashi, 2006: 213). Imam Syafi‟i berkata:
“Aku pergi mengembara untuk menimba ilmu nahwu dan sastra,
lalu aku bertemu dengan Muslim ibn Khalid, beliau bertanya,
„Wahai pemuda, dari manakah engkau?‟ „Aku dari Makkah,‟
jawabku. Beliau bertanya lagi, „Di Makkah, kamu tinggal
dimana?‟ Aku jawab, „di bukit Al-Khif.‟ „Dari kabilah mana
engkau berasal?‟ tanya beliau lagi. „Dari keturunan „Abd Manaf‟
jawabku. Lalu Muslim ibn Khalid berkata, „Bagus...bagus..., Allah
telah memuliakan engkau di dunia dan akhirat, alangkah baiknya
engkau mengkonsentrasikan diri dalam ilmu fiqih, dan menurutku
itu lebih baik bagimu‟” (Al-Fayumi, 2009: 4).
Sebagaimana telah diketahui bahwa Imam Syafi‟i pada
masa mudanya banyak menumpu tenaganya untuk mempelajari
syair, sastra dan sejarah, tetapi Allah SWT menyediakan baginya
beberapa sebab yang mendorong beliau untuk mempelajari ilmu
fiqih dan ilmu-ilmu yang lain (Asy-Syurbasi, 1991: 144). Salah
satu sebab yang mendorongnya untuk mempelajari ilmu fiqih dan
ilmu-ilmu lainnya yakni terjadinya percakapan antara Imam Syafi‟i
dan Muslim ibn Khalid.
Penulis mengambil kesimpulan, bahwa masa muda Imam
Syafi‟i sering mengembara ke pedalaman untuk mendengarkan
syair-syair dan kehebatan para penyair-penyair, hingga akhirnya
beliau telah banyak menghafal syair-syair dan matan-matan ilmu
bahasa.
5. Guru-guru
Imam Syafi‟i belajar fiqih dan hadits dari guru-guru yang tempat
tinggalnya jauh dan memiliki metode yang beragam. Bahkan, sebagian
26
gurunya ada yang berasal dari kelompok Mu‟tazilah yang menggeluti
ilmu kalam, ilmu yang dilarang beliau untuk ditekuni. Beliau telah
mendapatkan segala kebaikan dari mereka. Beliau mengambil apa yang
dianggapnya perlu dan meninggalkan apa yang harus ditinggalkan
(Suwaidan, 2015: 265). Berikut guru-guru Imam Syafi‟i:
a. Guru Imam Syafi‟i di Makkah: Muslim ibn Khalid Az-Zinji,
Sufyan ibn Uyainah, Sa‟id ibn Salim Al-Qidah, Daud ibn
Abdurrahman Al-Athar, dan Abdul Hamid ibn Abdul Aziz ibn Abu
Daud.
b. Guru Imam Syafi‟i di Madinah: Malik ibn Anas, Ibrahim ibn Sa‟ad
Al-Anshari, Abdul Aziz ibn Muhammad Ad-Darawardi, Ibrahim
ibn Yahya Al-Asami, Muhammad ibn Sa‟id ibn Abu Fadik, dan
Abdullah ibn Nafi‟ Ash-Shaigh.
c. Guru Imam Syafi‟i di Yaman: Muthraf ibn Mazin, Hisyam ibn
Yusuf Qadhi Shan‟a, Umar ibn Abu Maslamah, dan Yahya ibn
Hassan.
d. Guru Imam Syafi‟i di Iraq: Muhammad ibn Hasan, Waki‟ ibn
Jarrah Al-Kufi, Abu Usamah Hammad ibn Usamah Al-Kufi, Ismail
ibn Athiyah Al-Bashri, dan Abdul Wahab ibn Abdul Majid Al-
Bashri.
Demikianlah, para guru beliau dari aneka aliran dan corak, ada
di antara mereka yang menaruh perhatian pada hadits, akal, ada yang
Mu‟tazilah, ada yang Syi‟ah, ada yang madzhabnya berbeda dengan
27
madzhabnya beliau dan seterusnya. Ini meluaskan cakrawalanya,
memperbanyak materinya, dan memperbesar pengetahuannya
(Syurbashi, 2006: 219-220).
6. Murid-murid
Selain memiliki guru-guru yang terkenal, beliau juga memiliki
banyak murid yang menyebabkan nama Imam Syafi‟i abadi sepanjang
zaman. Para murid sang imam ini banyak berjasa dalam penyebaran dan
pengajaran madzhab Syafi‟i, meski pun mereka berasal dari berbagai
latar belakang pemikiran (Sati, 2014: 161). Berikut murid-murid Imam
Syafi‟i:
a. Murid Imam Syafi‟i di Hijaz: Muhammad ibn Idris (Abu Bakar),
Ibrahim ibn Muhammad ibn Al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi‟ Al-
Muththalibi (Abu Ishaq), Musa ibn Abi Al-Jarud Al-Makkiy (Abu
Al-Walid), dan Imam Abu Bakar Al-Humaidi.
b. Murid Imam Syafi‟i di Iraq: Imam Ahmad ibn Hanbal, Ibrahim ibn
Khalid Al-Kalbi (Abu Tsaur), Muhammad ibn Al-Hasan ibn Al-
Shabah Al-Za‟farani (Abu Ali), Abu Abdurrahman Ahmad ibn
Muhammad ibn Yahya Al-Asy‟ari Al-Bashri, dan Abu Ali Al-
Husain ibn Ali ibn Yazid Al-Karabisi.
c. Murid Imam Syafi‟i di Mesir: Abu Ya‟qub Yusuf ibn Yahya Al-
Buwaithi, Al-Rabi‟ ibn Sulaiman Abu Muhammad, Al-Rabi‟ ibn
Sulaiman Al-Jizi, Sulaiman ibn Yahya ibn Ismail Al-Muzanni,
Yunus ibn Abdul A‟la Al-Shadafi, Harmalah ibn Yahya ibn
28
Harmalah At-Tajibi, dan Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul
Hakam (Abu Abdullah) (Suwaidan, 2015: 273-294).
Pelajaran dan ilmu yang disampaikan Imam Syafi‟i kepada
murid-muridnya banyak dan beragam, mereka menunjukkan keluasan
Imam Syafi‟i dalam keilmuan dan menunjukkan keragaman tujuan
murid-muridnya dalam menuntut ilmu, ini menjadi lebih gamblang jika
telah diketahui bahwa Imam Syafi‟i -seperti diceritakan Rabi‟ ibn
Sulaiman- mulai duduk di halaqahnya selesai shalat shubuh, lalu
didatangi ahli Al-Qur‟an, jika matahari telah terbit, mereka bubar dan
diganti oleh ahli hadits yang menanyainya penafsirannya dan
maknanya, jika matahari mulai meninggi, mereka bubar lalu halaqah itu
dipenuhi orang untuk berdiskusi dan berdialog, jika waktu dhuha tiba,
mereka bubar, lalu datanglah ahli bahasa Arab, arudh, nahwu, dan
syair, dan mereka tetap di situ hingga menjelang tengah hari.
Ini berarti bahwa Imam Syafi‟i selama 6 jam setiap hari selalu
dalam keadaan menyampaikan pelajaran secara berkesinambungan,
berpindah dari satu ilmu ke ilmu lainnya dan dari satu materi ke materi
lainnya, beliau tetap di tempatnya, sedang gelombang murid silih
berganti mendatanginya, sekelompok dari mereka pergi dari sisinya
untuk digantikan oleh sekelompok yang lainnya, beliau tetap seperti itu
sehabis shalat shubuh hingga menjelang shalat dhuhur (Syurbashi,
2006: 225).
29
7. Peristiwa wafat
Imam Syafi‟i nampaknya menghabiskan hidupnya untuk
membaca dan menulis, serta berfikir keras dalam berbagai masalah dan
ilmu pengetahuan. Beliau banyak berpetualangan ke berbagai negeri,
walau pun umurnya telah beranjak, beliau masih terus mengarang buku
barunya, serta menebarkan madzhabnya kepada manusia.
Demikianlah, kehidupan yang beliau jalani hingga terkena
penyakit wasir. Wasir ini benar-benar telah menyiksanya selama hampir
4 tahun, beliau rela menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di
Mesir, menghasilkan 4.000 lembar. Selain itu beliau terus meneruskan
mengajar, meneliti, dialog serta mengkaji baik siang mau pun malam.
Hingga akhirnya beliau wafat pada malam Jum‟at menjelang subuh,
pada hari terakhir dari bulan Rajab tahun 204 H, dalam umurnya yang
ke-54 tahun (Al-Jamal, 2006: 84-86).
B. Setting sosial
Seorang ilmuwan Quraisy yang ilmunya tersebar ke berbagai
belahan bumi, dan terkenal di belahan bumi bagian timur dan barat, beliau
adalah Imam Syafi‟i. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa beliau termasuk
seorang ulama yang diakui kepintaran dan kredibilitas keilmuannya oleh
penduduk bumi, sehingga tidak ada seorang ulama pun yang datang
setelahnya yang melebihi kepintaran beliau. Imam Syafi‟i itu termasuk
seorang ilmuwan yang sangat cerdas dan memiliki wawasan keilmuan yang
sangat dalam pada masanya, sehingga banyak sekali para ulama pada
30
masanya yang menjadikannya sebagai sinar, petunjuk, dan pelindung bagi
mereka (Al-Jazairy, 2001: 349-350).
Imam Syafi‟i menghabiskan hidupnya pada zaman dinasti Abbasiyah
(suatu zaman permulaan dalam perkembangan ilmu pengetahuan), ia adalah
zaman kemajuan intelektual, perkembangan penerjemahan, pengadopsian
filsafat, kodifikasi ilmu, keragaman ras dalam masyarakat Islam, banyaknya
kejadian-kejadian sosial, kemunculan aliran-aliran pemikiran yang beragam,
kemunculan bencana zindik, usaha para perusak menyebarkan kerusakan
dan dekadensi moral di tengah-tengah umat, timbul perkumpulan-
perkumpulan ahli ilmu kalam dan pendebat pendapat-pendapat para
pemberontak agama, muncul ciri khas-ciri khas yang jelas antara aliran
hadits dan riwayat dengan aliran pikiran dan rasio, melebarnya lapangan
debat dan diskusi antara keduanya, dan Imam Syafi‟i lebih dekat pada aliran
pertama daripada aliran kedua.
Pada zaman ini, wilayah kekuasaan negara Islam pun semakin
meluas, sehingga muncullah ibu kota-ibu kota besar yang berkilauan yang
memiliki popularitas keilmuan yang cukup prestisius, ada Baghdad, Kufah,
Bashrah, Damaskus, Fusthath, Qordova, Qairuwan, dan sebagainya
(Syurbashi, 2006: 209).
Semasa hidupnya Imam Syafi‟i sangat suka berpetualang ke
berbagai negeri untuk mencari ilmu dari ulama ternama, di samping untuk
mendengarkan para sastrawan dan penyair, melihat kondisi umat Islam dan
tingkat pengetahuan mereka. Begitu umurnya menginjak 20 tahun, Imam
31
Syafi‟i yang masih tinggal di Makkah, menuntut ilmu, dan mengajarkan
ilmu yang beliau peroleh, beliau begitu rindu untuk melihat Madinah Al-
Munawwarah, dan masjidnya yang agung, serta mengunjungi makam
Rasulullah SAW beserta 2 sahabatnya, Abu Bakar dan Umar, bertemu
dengan Imam Malik untuk mengambil manfaat dari ilmu beliau. Pada saat
itu kitab Al-Muwaththa‟ yang dikumpulkan oleh Imam Malik berupa hadits-
hadits Rasulullah SAW sangat masyhur di kalangan umat Islam, mereka
sangat berantusias untuk menulisnya, dan Imam Syafi‟i sempat meminjam
buku ini dari seorang penduduk Makkah, lalu menghafalnya dalam waktu
yang relatif singkat.
Lalu Imam Syafi‟i pergi menghadap wali (gubernur) Makkah,
meminta kepadanya untuk menuliskan surat rekomendasi kepada wali
Madinah agar beliau diperkenalkan kepada Imam Malik. Pada saat itu,
gubernur Makkah sangat senang dengan Imam Syafi‟i, beliau juga sangat
mengetahui kredibilitas keilmuannya, kecerdasan serta keluasan cakrawala
berpikirnya. Permintaan ini disambut dengan senang, pada akhirnya wali
menulis 2 surat, surat pertama untuk gubernur Makkah dan surat kedua
untuk Imam Malik. Setelah itu, berangkatlah Imam Syafi‟i menuju
Madinah. Sesampainya di Madinah beliau langsung melepaskan rasa
rindunya, kemudian beristirahat sejenak lalu pergi menghadap gubernur
Madinah. Ternyata tidaklah mudah untuk bertemu dengan Imam Malik,
namun bukan Imam Syafi‟i namanya jika menyerah begitu saja.
32
Pada akhirnya Imam Syafi‟i bisa bertemu dengan Imam Malik,
setelah berbincang-bincang, keesokan harinya Imam Syafi‟i diminta untuk
membaca Al-Muwaththa‟ yang telah dihafalnya, Imam Malik menikmati
bacaan Imam Syafi‟i. Setelah itu, Imam Syafi‟i rajin datang ke rumah Imam
Malik bahkan tiap hari untuk membaca Al-Muwaththa‟ di hadapan Imam
Malik, sementara beliau menyimak dengan baik, hingga Imam Syafi‟i
menyelesaikan seluruh bacaannya dalam waktu yang relatif singkat. Imam
Malik sungguh sangat gembira sekali dengan prestasi ini. Imam Syafi‟i
akhirnya sangat disenangi Imam Malik, lalu menjadi tamu baginya selama
hampir 8 bulan, beliau selalu menemani Imam Malik, baik di rumah mau
pun di masjid. Imam Syafi‟i pun bekerja pada Imam Malik, terkadang Imam
Syafi‟i menggantikan Imam Malik mengajar di majelisnya.
Saat masih di Madinah, Imam Syafi‟i mengetahui bahwa Imam Abu
Hanifah dulu berada di Iraq. Ketika wafat, beliau telah melahirkan banyak
ulama, di antaranya, Imam Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan. Imam
Syafi‟i beristikharah dan bertekad untuk bertemu dengannya dan juga para
ulama yang lain. Imam Syafi‟i menemui Imam Malik, mengatakan bahwa
beliau berkeinginan pergi ke Iraq untuk menambah ilmu. Imam Malik pun
menyetujuinya sambil menyodorkan uang 64 dinar sebagai bekal menuntut
ilmu. Sesampainya di Kufah, Imam Syafi‟i langsung menuju masjid untuk
shalat hingga beliau dipertemukan dengan Abu Yusuf dan Muhammad ibn
Hasan. Selanjutnya mereka saling berkenalan, berbincang-bincang, dan
setiap kali ditanya sesuatu, Imam Syafi‟i menjawabnya dengan jawaban
33
yang cukup lengkap. Muhammad ibn Hasan sangat senang, lalu menerima
Imam Syafi‟i sebagai tamu, serta mengizinkannya untuk menulis buku-buku
yang beliau miliki di perpustakaan pribadinya sesuka hatinya.
Imam Syafi‟i tinggal beberapa waktu di Kufah bersama Muhammad
ibn Hasan, selama itu Imam Syafi‟i menulis banyak buku. Ketika Imam
Syafi‟i hendak meninggalkan Iraq untuk meneruskan petualangannya dalam
mengais ilmu, serta beliau ingin sekali keliling beberapa kota di Iraq, Persia,
dan tempat-tempat lainnya. Sehingga, disampaikan keinginan ini kepada
Muhammad ibn Hasan, beliau pun setuju. Akhirnya, Imam Syafi‟i di bekali
uang 3.000 dinar sebagai bekal perjalanannya. Imam Syafi‟i menerimanya
dengan senang hati sambil mendoakan Muhammad ibn Hasan. Setelah
menerima hadiah dari Muhammad ibn Hasan, Imam Syafi‟i segera
berpamitan. Uang yang diterima tersebut beliau pakai untuk keliling negeri
Persia dan sekitarnya. Perjalanan ini memakan waktu tepat 2 tahun dari
tahun 182-184 H, dari apa yang beliau hafal dari para ulama ternama, serta
wawasan kondisi umat, baik dari sisi akhlak mau pun adat, keilmuan Imam
Syafi‟i bertambah secara drastis.
Ketika sedang berada di Ramlah, kafilah dari Hijaz mengadakan
kunjungan, kesempatan ini digunakan Imam Syafi‟i untuk bertanya kepada
mereka tentang kabar Imam Malik, mereka mengatakan bahwa beliau baik-
baik saja. Pada kondisi Imam Syafi‟i dilapangkan rezekinya, beliau sangat
rindu untuk kembali ke Madinah, untuk bertemu dengan Imam Malik.
Sehingga, beliau membeli kendaraan dan langsung pergi menuju Madinah
34
Al-Munawwarah. Selanjutnya Imam Syafi‟i menetap kembali di Madinah
selama 4 tahun beberapa bulan, menemani Imam Malik dan bekerja kembali
padanya. Ketika berada di Madinah, Imam Syafi‟i sering berkunjung ke
Makkah, tanah kelahiran dan nenek moyangnya serta ibunda tercinta yang
selalu menasehati dan mengarahkannya dengan baik, tak lupa mengunjungi
para syaikh. Beliau selalu menghormati mereka dan tidak pernah melupakan
jasa-jasa mereka.
Ketika Imam Malik wafat, Imam Syafi‟i kesulitan ekonomi untuk
membiayai hidupnya. Akhirnya Imam Syafi‟i pergi menuju Yaman, hingga
mendapat pekerjaan sebagai hakim di Najran. Walau pun Imam Syafi‟i
sudah sangat terkenal di Makkah dan Madinah, juga di kalangan pelajar
yang datang dari seluruh penjuru negeri Islam, yang aktif mengikuti
pelajarannya dan sangat mencintainya, namun demikian, beliau tidak pernah
mengambil upah baik di Madinah mau pun Di Makkah. Namun, pekerjaan
sebagai hakim ini hanya sebentar disebabkan Imam Syafi‟i difitnah oleh
masyarakat Najran yang tidak menyukainya dan hampir saja merenggut
nyawanya.
Imam Syafi‟i kemudian meninggalkan Yaman dan kembali ke
Makkah, beliau tidak banyak melakukan banyak hal selama di Yaman,
kecuali bahwa beliau telah menikah dan mendapatkan anak. Imam Syafi‟i
masih tetap terus melakukan perjalanan menuntut ilmu, seperti ke Bashrah,
Baghdad, Mesir, dan lain sebagainya. Setelah kembalinya Imam Syafi‟i,
beliau aktif kembali menulis dan menyebarkan ilmu yang didapat dari
35
perjalanan-perjalanannya menuntut ilmu kepada murid-muridnya,
masyarakat, dan terkadang para ulama pun mendatanginya. Seluruh ilmu
yang dimiliki oleh Imam Syafi‟i ini sungguh memberikan manfaat kepada
umat Islam (Al-Jamal, 2006: 65-75).
Dengan modal pengetahuannya yang luas dan mendalam terhadap
fiqih dari berbagai sumber di Makkah, Madinah, Yaman, dan Irak, Imam
Syafi‟i menyusun kaidah-kaidah untuk menjadi dasar bagi madzhab baru
yang akan dibangun beliau di antara kedua aliran, Ahlu Ar-Ra‟yi dan Ahlu
Al-Hadits (Syafaruddin, 2015: 110). Hingga akhirnya, didirikannya
madzhab Imam Syafi‟i.
Pengetahuan Imam Syafi‟i tentang masalah sosial kemasyarakatan
sangat luas. Beliau menyaksikan secara langsung kehidupan masyarakat
desa (Badwy) dan menyaksikan pula kehidupan masyarakat yang sudah
maju peradabannya pada tingkat awal di Iraq dan Yaman. Juga
menyaksikan kehidupan masyarakat yang sudah sangat kompleks
peradabannya, seperti yang terjadi di Iraq dan Mesir. Beliau juga
menyaksikan kehidupan orang Zuhud dan Ahlu Al-Hadits. Pengetahuan
Imam Syafi‟i dalam bidang kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan yang
bermacam-macam itu, memberikan bekal baginya dalam ijtihadnya pada
masalah-masalah hukum yang beraneka ragam. Hal ini memberikan
pengaruh pula dalam madzhabnya (Yanggo, 1997: 124).
Penyebaran madzhab Syafi‟i terus berkembang dan tersiar ke seluruh
pelosok negara-negara Islam, baik di Barat, mau pun di Timur, yang dibawa
36
oleh para muridnya dan pengikut-pengikutnya dari satu negeri ke negeri
lain, termasuk ke Indonesia. Kini madzhab Syafi‟i banyak dianut oleh umat
Islam di Indonesia, Asia Tenggara, Mesir, Baghdad, dan negara-negara
lainnya (Ratna, 2014: 71).
C. Karya-karya Imam Syafi’i
Imam Syafi‟i adalah seorang penulis produktif yang mengisi hari-
hari beliau dengan menulis, selain mengajar, dan beribadah kepada Allah
SWT. Karya-karya yang dihasilkan sang imam ibarat mutiara yang tidak
ternilai harganya dan tetap abadi sepanjang masa. Sampai sekarang, karya-
karya tersebut masih dapat dibaca dan dipelajari. Menurut Muhammad ibn
Al-Hasan, Imam Syafi‟i menulis sekitar 113 buku dalam berbagai bidang,
baik fiqih, tafsir, adab mau pun lainnya. Padahal, usia sang imam hanyalah
54 tahun (Sati, 2014: 168-169).
Semangat Imam Syafi‟i untuk berkarya dan mentransfer ilmunya
pada umat tidak berhenti sampai maut menjemputnya. Peninggalannya pun
tidak hanya kitab Ar-Risalah, tapi segudang kitab rujukan penting lainnya
sebagai khazanah ilmu-ilmu Islam seperti, Al-Hujjah, Ahkam Al-Qur‟an,
Al-Umm (yang dihimpun dan ditulis oleh muridnya, Al-Buwaithi), dan lain
sebagainya. Dan tentu saja warisan yang tak kalah pentingnya adalah
semangatnya yang membara untuk selalu menggali, mengkaji, menghafal,
menulis, dan memikirkan kejayaan umat (Thabrani, 2006: 207).
37
Kitab-kitab Imam Syafi‟i, baik yang ditulisnya sendiri, didiktekan
kepada muridnya, mau pun dinisbahkan kepadanya, antara lain sebagai
berikut:
1. Kitab Ar-Risalah, yakni kitab yang membahas tentang masalah-masalah
ushul fiqih (hasil riwayat Al-Rabi‟ ibn Sulaiman Al-Muradi).
2. Kitab Al-Umm, yakni sebuah kitab fiqih yang di dalamnya
dihubungkan pula sejumlah kitabnya, yakni:
a. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa ibn Abi Laila.
b. Kitab Khilaf Ali wa ibn Mas‟ud, yakni sebuah kitab yang
menghimpun permasalahan yang diperselisihkan antara Ali dengan
Ibn Mas‟ud dan antara Imam Syafi‟i dengan Abi Hanifah.
c. Kitab Ikhtilaf Malik wa Asy-Syafi‟i.
d. Kitab Jama‟i Al-„Ilmi.
e. Kitab Ar-Radd „ala Muhammad ibn Al-Hasan.
f. Kitab Siyar Al-Auza‟iy.
g. Kitab Ikhtilaf Al-Hadits.
h. Kitab Ibthalu Al-Istihsan.
3. Kitab Al-Imla‟.
4. Kitab Al-Amaliy.
5. Kitab Harmalah, kitab yang didiktekan kepada muridnya yang bernama
Harmalah ibn Yahya.
6. Kitab Mukhtashar Al-Muzaniy, yakni kitab yang dinisbahkan kepada
Imam Syafi‟i.
38
7. Kitab Mukhtashar Al-Buwaithiy, yakni kitab yang dinisbahkan kepada
Imam Syafi‟i.
8. Kitab Ikhtilaf Al-Hadits, yakni penjelasan Imam Syafi‟i tentang hadits-
hadits Nabi SAW (Yanggo, 1997: 135).
9. Kitab Musnad Imam Syafi‟i, yakni kitab yang berisi hadits-hadits yang
diriwayatkan Imam Syafi‟i terkait permasalahan fiqih, seperti kitab Al-
Hajj, kitab Zakat, kitab Ash-Shaum, kitab „Alamat An-Nubuwwah,
kitab Al-Manaqib, dan lain-lain.
10. Kitab Tafsir Imam Syafi‟i, sementara Tafsir Imam Syafi‟i lebih banyak
berisi tafsir yang menunjukkan pemikiran-pemikiran sang Imam.
Utamanya dalam penafsiran berbagai ayat yang berkaitan dengan
hukum fiqih. Terdapat 95 surah dan sekitar 745 ayat di dalam kitab
tersebut (Sati, 2014: 169).
Dalam kitab Al-Umm (kitab intisari) dan Ar-Risalah ini, untuk
pertama kalinya dalam sejarah Islam, Imam Syafi‟i secara sistematis
merumuskan prinsip-prinsip dasar dari ilmu fiqih. Beliau memang belajar di
bawah bimbingan para ulama aliran Hanafi dan Maliki, tetapi beliau tidak
mengikuti mereka bulat-bulat. Beliau justru mengembangkan metodologi
dan pendekatannya sendiri dalam penggunaan sumber-sumber kitab suci
Islam. Dalam prosesnya, beliau menjadi pelopor Ushul Al-Fiqih (Khan,
2012: 140-141).
Penulis mengambil kesimpulan, bahwa keseluruhan karya-karya
Imam Syafi‟i berupa kitab yang di dalamnya terdapat berbagai pembahasan,
39
seperti masalah fiqih, aqidah, akhlak, dan lain sebagainya. Dalam proses
penulisan kitab-kitabnya, beliau menggunakan sumber-sumber dari Al-
Qur‟an, hadits, ijma‟, dan qiyas. Hingga kini kitab-kitab Imam Syafi‟i masih
tetap dikutip dan dikembangkan para muridnya yang tersebar di Makkah,
Iraq, Mesir, dan lain sebagainya.
40
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Garis Besar Isi Kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i
Karya sastra lahir karena adanya keinginan dari pengarang untuk
mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia. Substansi karya sastra
adalah ide, gagasan, dan pesan tertentu yang diilhami oleh imajinasi dan
realitas sosial budaya pengarang yang diungkapkan melalui media bahasa.
Karena itu, karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang
melibatkan kreativitas manusia. Salah satu bentuk karya sastra tertulis yang
sangat dikenal adalah puisi atau syair (syi‟r). Secara terminologis, para
sastrawan mendefinisikan syair sebagai “Perkataan yang memiliki wazn
(musikalitas/pola irama) dan qafiyah (bab/sajak/kesesuaian huruf akhir
setiap bait) yang mengungkapkan imajinasi dan gambaran indah yang
memberikan pengaruh.” Syair memiliki corak khusus seperti madh (pujian),
hija‟ (ejekan), ghazl (romantis), dan lain-lain.
Di dalam sebuah puisi, tersimpan makna yang dibalut dalam
keindahan bahasa yang mengandung beberapa nilai, seperti nilai-nilai
pendidikan. Sedangkan, nilai-nilai pendidikan merupakan salah satu kunci
utama dalam perkembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Menelaah puisi dengan tujuan untuk menggali nilai-nilai pendidikan dapat
dianggap sebagai cara yang tepat untuk menyerap nilai-nilai kearifan dan
keutamaan akhlak yang dapat diterapkan dalam dunia pendidikan (Fahmi,
2014: 181-182).
41
Barangkali akan membuat tercengang orang-orang yang belum
mengetahui biografi Imam Syafi‟i secara utuh jika dikatakan kepada mereka
bahwa beliau adalah seorang penyair, tetapi inilah yang terjadi, Imam
Syafi‟i adalah seorang penyair yang mahir mendeklamasikan syair meski
pun beliau tidak fokus terhadapnya, beliau tidak menggelutinya dengan
serius karena kesibukannya dengan fiqih dan hadits, Al-Mubarrad berkata,
“Syafi‟i termasuk penyair paling hebat, sastrawan paling prestisius, dan
orang yang paling mengetahui ilmu qira‟ah.” Dan Imam Syafi‟i tetap hafal
bait-bait syair ini hingga setelah beliau menggeluti fiqih dan hadits, dan
mendendangkannya di tempat yang jauh dari orang-orang yang tidak
menyukainya.
Mush‟ab Az-Zubairi menuturkan, “Bapakku dan Imam Syafi‟i
bergantian mendendangkan syair, Imam Syafi‟i mendendangkan bait-bait
syair Huzail di luar kepala, lalu meminta, „Jangan ceritakan ini kepada
siapa pun dari ahli hadits, karena mereka tak akan mampu menanggungnya
(menahan diri)‟.” Imam Syafi‟i mempunyai pembawaan, bakat, potensi, dan
kemampuan menggubah syair, ditambah dengan modal bait-bait syair yang
cukup banyak yang telah dihafal dan dipahaminya (Syurbashi, 2006: 243-
244).
Sosok Imam Syafi‟i sebagai seorang imam madzhab fiqih terkemuka
dalam Islam yang sudah tidak asing lagi bagi kaum muslim, apalagi di
Indonesia yang mayoritas menganut madzhab Syafi‟i. Dalam bidang ushul
fiqih (yurisprudensi Islam), beliau dikenal dengan metode istinbath
42
(perumusan hukum) yang khas, antara lain metode qiyas (analogi kasus
hukum), yang merupakan landasan penting dalam penegakan hukum Islam.
Namun, ketokohan Imam Syafi‟i tidak sebatas dalam bidang fiqih dan ushul
fiqih saja, tetapi juga dalam bidang kepenyairan. Hal ini dapat dibuktikan
dengan banyaknya nasehat dan hikmah dalam gubahan syair yang
merupakan karya sang imam atau karya muridnya yang dinisbahkan kepada
Imam Syafi‟i. Nasehat dan hikmah Imam Syafi‟i terangkai dalam bentuk
prosa dan sebagian lainnya dalam bentuk syair. Sebagai pakar kajian Al-
Qur‟an dan bahasa Arab, kualitas prosanya tidak dapat diragukan lagi secara
kualitas. Sedangkan, kualitas syairnya tidak dapat juga dipandang sebelah
mata. Keindahan bahasanya sangat memukau, pilihan diksinya sangat tepat
dan terinci, hikmah yang menjadi perhatiannya mencakup beragam aspek
kehidupan, dan aktualitasnya melintasi zaman.
Dengan bahasa yang lugas, tegas, dan mudah dicerna, syair-syair
Imam Syafi‟i mampu menjadi wadah ekspresi pesan nilai yang tidak lekang
ditelan zaman. Nilai-nilai pendidikan yang disampaikan sang imam kepada
para pembacanya (penyimaknya) pun sangat menyentuh kalbu serta
menyegarkan jiwa yang kehausan akan nilai, bak sebuah oase bagi musafir
yang hampir mati ditelan ganasnya terik di tengah padang pasir (Fahmi,
2014: 184). Demikianlah, sosok Imam Syafi‟i sebagai seorang penyair
kenamaan yang walau pun ditutupi oleh ketenaran fiqihnya, namun mutiara
sastra yang dimilikinya masih berkilau sepanjang zaman, dan mahkota
43
sastra yang disematkan orang di kepalanya tetap menampakkan dan
menambah kewibawaannya sebagai seorang ilmuwan sejati.
Lepas dari itu semua, syair-syair Imam Syafi‟i sangat sederhana
dalam bahasa dan ungkapan, tidak berbelit atau muja‟ad serta ringkas.
Sehingga, mudah untuk dihafal, karena bersinggungan dengan tema yang
selalu aktual untuk ukuran zamannya. Hal ini berbeda dengan para
pendahulunya dari kalangan penyair Jahiliyah yang dikenal akrobatik dalam
menggunakan bahasa yang sulit dan jarang digunakan orang kebanyakan,
seperti yang ditemukan dalam syair Imru‟ul Qais Al-Kindi mau pun Labid
ibn Rabi‟ah. Penguasaan kosa kata yang baik, tidak membuatnya bermain-
main dengan kalimat, namun malah meraciknya dengan kedalaman fiqih,
sehingga menghasilkan hikmah yang gampang diingat, mudah diucapkan
serta tidak menimbulkan kebosanan, karena syairnya dikenal ijaz atau
ringkas (Thabrani, 2006: 207-208).
Kumpulan syair Imam Syafi‟i ini sebagian besar bertajuk dalam
kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i, kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i adalah
sebuah kitab yang merangkum syair-syair Imam Syafi‟i. Bait-bait syair
dalam kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i tersebut kurang lebih berjumlah
802 bait dari 320 qashidah (himpunan/topik) yang dirangkum dalam 20
qafiyah (bab) (Fahmi, 2014: 186).
Dari jumlah itu, yang terbanyak adalah tentang ilmu dan segala
sesuatu yang berhubungan dengannya, seperti anjuran untuk mencarinya,
syarat-syarat pokok pencari ilmu, dan keutamaannya. Beliau sangat
44
menganjurkan pelajar dan mahasiswa untuk tidak puas dalam mencari ilmu,
bahkan sebisa mungkin melakukan rihlah atau perjalanan (berkelana) untuk
menambah wawasan dan memperdalam ilmu. Hal ini tidak lepas dari
pengalaman pribadinya sebagai seorang pengembara yang berkelana
mencari dan menimba ilmu mulai dari Madinah, Makkah, Yaman, Baghdad,
dan Mesir. Beliau merasakan profit dan spirit luar biasa dari perjalanan ini.
Ditambah susana dinamis yang selalu berganti-ganti sesuai dengan kondisi
geografis dan demografisnya.
Pada saat itu, Imam Syafi‟i hanya ingin berbagi pengalaman dengan
orang lain melalui media syair tentang bagaimana beliau mencapai semua.
Beliau juga merasa miris dengan kondisi sosial yang menurutnya timpang.
Tapi, hal ini juga menguatkan Sunnatullah atau hukum alam yang terjadi
pada setiap siklus kesejarahan dan kehidupan manusia. Di titik ini, seakan
beliau memotret dirinya sendiri, guru-gurunya, dan murid-muridnya
(Thabrani, 2006: 209-211). Jadi, sebagian besar syair-syair Imam Syafi‟i
menceritakan tentang moral dan nasehat serta refleksi dari keadaan
masyarakat saat itu, sekaligus mencerminkan gambar diri sang Imam. Dan
adanya syair-syair Imam Syafi‟i kurang lebih sebab dilatarbelakangi oleh
kondisi-kondisi tersebut.
Isi kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i yang dirangkum dalam 20
qafiyah (bab) itu, diantaranya adalah:
ضح .1 لبف١خ ا
a. غب ش ال (umur seorang pemuda) ػ
45
b. حت اغبء (mencintai wanita)
c. ب رشبء رفؼ (biarkan hari-hari berbuat sesukanya) دع ال٠
d. ػبء ضأ ثبذ (jangan meremehkan doa) ل ر
جبء .2 لبف١خ ا
a. ب د حجبة ف سث عبئ (maka apa yang bisa menghalangi
seseorang yang meminta pada Tuhannya)
b. حك الد٠ت (hak beradab)
c. حع (beginilah nasib) ىزا ا
d. فبء ١ت ز٠ش ا (uban adalah peringatan yang kekal) اش
e. ع١ذ الخ ح لق ا (kesantunan pemilik akhlak)
f. عفبخ (jawaban atas ucapan orang yang bodoh)
g. بي ثل (kaya tanpa harta) غ
h. ث١خ (musibah)
i. اوت اىبرثخ ى ءح ا (para peramal bintang yang berdusta) ج
j. صغ١ش غش غف (memperdaya anak-anak kecil) ا
k. اغزشة غب tinggalkanlah kampung halaman dan) دع ال
merantaulah)
l. ػشظب جلد ي ا غ aku akan mengarungi jauh) عأظشة ف
dan luasnya negeri)
m. جبي (perangai orang-orang) خك اش
n. ذ حغج (Engkau yang mencukupiku) أ
لبف١خ ازبء .3
a. غ (akhlak-akhlak yang tunduk) أخلق ا
b. ف١ (orang yang bodoh) اغ
46
c. ي للا (keluarga Rasulullah SAW) آي سع
d. ١ب ثبذ ٠ (menjual agama dengan dunia) ثبػا اذ
e. ص١جبد (berbagai macam musibah) ئحذ ا
f. ؼ (adab-adab ilmu) آدة ا
g. ح١بح (teman hidup) أصذقء ا
h. جزي جت ا بي ٠ (memurahkan harta itu wajib) ا
i. الخلق ىبس (akhlak yang mulia)
j. ج (akhlak seseorang) أخلق اش
4. ج١ لبف١خ ا
a. ١ ف حذ٠ش اع (tamu yang memberi berita)
b. ح١بح (jalan kehidupan) عخ ا
c. فشط للا لش٠ت (Allah SWT melapangkan sesuatu yang dekat)
d. فشط ب ألشة ا (betapa dekat kemenangan)
حبء .5 لبف١خ ا
a. خ ذ حى اص (hikmah diam)
b. ى ا فز ا (mufti Makkah)
c. ف اص فم١ ا (seorang faqih dan seorang shufi)
اي .6 لبف١خ اذ
a. أخلق ابط (perangai manusia)
b. ح شذ سخبء ش (masa senang dan susah) د
c. ؼش (syair) اش
d. صحجخ ابط (berteman dengan manusia)
e. بد ا ب ق ا ب٠ب ف (kematian berada di atas kepala)
47
f. ػفب اللا (pengampunan Allah SWT)
g. حغبد ح ا (permusuhan sebab iri hati) ػذا
h. خ ىش (sadar akan tipu daya) أ٠مظز
i. د ٠طج (kematian mengintainya) ا
j. للا (pengampunan Allah SWT) ػف
k. ٠ط لل (kemurahan Allah SWT) ازف
l. للا (ketakwaan Allah SWT) رم
m. ائذ ظ ف (faedah dalam pengembaraan 5) ف العفبس خ
n. ب اض ح (bencana pada setiap zaman)
o. (mencintai sang Kekasih) حت ا
اء .7 لبف١خ اش
a. ذ خ ا (keabadian surga) جب
b. ا إإ طش (hujankanlah berlian) أ
c. صش ق ئ (rindu kepada Mesir) ش
d. عل (hakikat Islam) حمبئك ال
e. ش ق أ ش ف (kehendak di atas kehendakku) أ
f. ح ا د بط ئحزس (berhati-hatilah dalam mencintai manusia)
g. ؼجبدح حذ (sendirian untuk beribadah)
h. حزس ا ١مظخ (jaga dan waspada) ا
i. ؼزس بط ا (permintaan maaf) از
j. ئ٠بن (jauhkan dirimu)
k. ب ش ٠ (macam masa 2) اذ
l. ذ (diam) اص
48
m. ش اذ ب حى (rela dengan ketetapan masa) ساض ث
n. حغب ا ض (laksana tajamnya pedang)
o. ا (aib yang hina) ػبس ا
p. ؼذ ا ذ٠ك (teman dan lawan) اص
q. فظ وج١شح (kebesaran jiwa)
8. ١ لبف١خ اغ
a. ذائذ صذ٠مه ؼه ف اش وب (temanmu adalah ia yang selalu
bersamamu untuk saling menguatkan)
b. زه ا (rahmat Allah SWT) سح
c. غش٠ك اجبح (jalan keselamatan)
d. حش ثجبة حظ لفخ ا (berdirinya seorang mulia di depan pintu
yang gelap)
e. ؼ (kemuliaan ilmu) ششف ا
بد .9 لبف١خ اص
a. ي للا (pengganti Rasulullah SAW) خفبء سع
b. س ؼ (ilmu adalah cahaya) ا
بد .10 لبف١خ اع
a. ا د رج (jika kalian tidak bermurah hati) ئرا
b. ت حص (berhentilah di Al-Muhashshab) لف ثب
11. ؼ١ لبف١خ ا
a. بح١ (mencintai orang-orang shaleh) أحت اص
b. أدة ابصح (adab memberi nasehat)
c. سع (menjauhkan diri dari dosa) ا
d. دػبء ئ للا (doa kepada Allah SWT)
49
e. م١بط حبي ف ا (perbandingan yang mustahil)
f. ى ا فز (mufti Makkah) ا
g. غ اط (waspada dari sifat tamak) حزاس
h. غ ي ف اط (kehinaan pada sifat tamak) ار
i. ص١حخ (nasehat)
فبء .12 لبف١خ ا
a. الصذلبء؟ (siapa teman-temanmu?)
b. ب ئ ب ئ ٠زوش فع (seorang imam menyebutkan kelebihan
seorang imam)
c. ؼ١ف اع أل م ب أظؼف ا (ketika sesuatu yang lemah
menjadi kuat dan yang kuat menjadi lemah)
d. ى زغ (ibadah yang mengenyangkan) ا
e. ص ي ئ عؼبد و١ف ا (bagaimana bisa sampai kebahagiaan)
مبف .13 لبف١خ ا
a. حش ف١ ا ٠عب غ ف مب jangan berdiam di negeri yang) ل
mana kamu dihina kebebasanmu)
b. ؼ ح ا (manisnya ilmu) حل
c. حع (nasib yang baik) ا
d. ابط الح ك (kebodohan manusia)
e. ؼ (ilmuku selalu bersamaku) ػ
f. ذ٠ك حك اص ب أخطأ ف ذ٠ك سث bisa jadi teman yang selalu) اص
salah itu teman yang sebenarnya)
g. ك ا ىش rusaknya manusia terletak pada tipu) خك ابط ا
daya dan bujukan)
50
h. غش٠ت (orang asing) ا
i. ذ ػ للا و (tawakal kepada Allah SWT) ر
j. حذ ل ٠غ ؼم akal tidak membuatku kaya dengan) ا
sendirinya)
ىبف .14 لبف١خ ا
a. ظفشن ض ذن ب حه ج (tak ada yang bisa memuaskan gatalnya
kulitmu selain garukan kulitmu sendiri)
b. غ (puncak kekayaan) سأط ا
c. مبء اش (sebuah kemalangan)
d. خ ؼظ١ فزخ ا (fitnah yang besar) ا
15. لبف١خ ال
a. ىل ل ا ؼ (perbuatan bukan perkataan) ا
b. ثذع (bid‟ah)
c. ف ابئجبد ل١ ا خ sedikit teman saat bencana datang) ال
menimpa)
d. ب ذ ػب شء ل ٠ seseorang tidak dilahirkan dalam keadaan) ا
berilmu)
e. خ حى (mencari hikmah) غبت ا
f. ثبلل (jauhilah karena Allah SWT) اعزغ
g. خفبؤ ي للا keluarga Rasulullah SAW dan para) آي سع
penggantinya)
h. ي للا (keluarga Rasulullah SAW) آي ث١ذ سع
i. شبوخ ابط (menyerupai orang-orang)
j. اعزؼشح وزت (meminjam kitab-kitab)
51
k. ؼب (jalan keluhuran) غش٠ك ا
l. ب ثج ػ semakin aku mengetahui tentang) صاد
kebodohanku)
m. شمبء ف م (celakanya orang yang malang) اش
n. ابط ى (tetapi aku telah berkawan dengan manusia) داس٠ذ و
16. ١ لبف١خ ا
a. ؼ جذ ا (kemuliaan ilmu)
b. ىبد (tiga hal yang membinasakan) صلس
c. غ س ػ ا ضش اذ -tak akan aku sebarkan intan kepada domba) ل أ
domba)
d. ش (demi umurku) ؼ
e. ب د٠ (zina adalah hutang) اض
f. غ (sebab-sebab kecukupan) أعجبة ا
g. ٠ ز١ ب (hari itu mereka tak mendatangi para pencaci) ١ظ ش
h. جبي اش ب حش (wahai penoda kehormatan orang lain) ٠ب برى
i. ره (aku telah mengujimu) لذ ث
j. ؼظ ح للا ا (kemenangan Allah SWT yang lebih besar) ػض
k. للا ؼف جبء ع mengharapkan keselamatan akan ampunan) اش
Allah SWT)
l. ؼ ا (kelebihan ilmu) فع
17. لبف١خ ا
a. ؟ ؼ ا (?bagaimana kami mendapatkan ilmu) و١ف
b. ا ا ػ ذ فغ (aku menjaga diriku dari kehinaan) ص
c. احفع غبه (jagalah lisanmu)
52
d. بب (mencela zaman kami) رؼ١ت ص
e. ضل ا (semisal pagi-pagi buta) أصجح
f. ش١ئخ للا (kehendak Allah SWT)
g. ص١حخ غب١خ (mahalnya nasehat)
h. ء اظ (berburuk sangka) ع
i. ١برشوا اذ (meninggalkan dunia)
j. اء (takziah) ػض
k. ١غ (wahai Dzat Yang Maha Mendengarkan) ٠ب ع
l. فإادن غبك (jauhkanlah hatimu dari hatiku) فإاد
m. ؼجبد kembalilah engkau kepada Tuhan para) اسجغ ئ سة ا
hamba)
n. شد أػ١ (terjaganya mata) ع
o. ؼ طب ذ (kumatikan ketamakanku) أ
p. ىل ا (banyak berbicara) حش
q. عأصجش (aku akan sabar)
r. ذ ٠ ؼ (ilmu memberi petunjuk) ا
s. ف عخ (seribu tahun) أ
t. ح ق ئ غض (rindu dengan tanah Gaza) ش
u. خ (kebaikan) ا
v. ١ ج ا ١ شاسح رح (pahit rasanya membebani sesuatu yang
indah)
w. ؼ ا (keutamaan ilmu-ilmu) أفع
x. ج ا (gilanya kegilaan) ج
y. ئبخ (menghinakan)
53
z. ي ؼبئذ (aku berkata kepada orang yang datang menjengukku) أل
بء .18 لبف١خ ا
a. ف١ اغ فم١ (orang yang pandai dan orang yang bodoh) ا
سح .19 مص لبف١خ الف ا
a. ائب -hidup orang-orang yang mulia dan orang) ح١بح الششاف
orang yang kikir)
١بء .20 لبف١خ ا
a. خ حت ػ فبغ عجط١ (mencintai Sayyidina Ali ibn Abi Thalib
dan dua anaknya serta Fatimah)
b. جب ا ػشاض ػ (tinggalkan orang yang bodoh) ال
c. ظب و١خ اش (pandangan simpatik yang tak terlihat) ػ١
B. Kompilasi Kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i
Telah diketahui bersama bahwa, Imam Syafi‟i adalah seorang ulama
pendiri madzhab Syafi‟i, paling tidak yang terbesit pertama dalam pikiran
tentang Imam Syafi‟i adalah beliau seorang ulama ahli fiqih. Namun,
mungkin tak banyak yang mengetahui bahwa Imam Syafi‟i adalah juga
seorang penyair, meski pun beliau tidak menulis buku atau kitab khusus
untuk syair-syairnya. Faktanya, Imam Syafi‟i pernah menjadi seorang ahli
syair yang syair-syairnya terkenal indah dan berisi. Syair-syairnya ibarat
untaian mutiara yang gemerlapan, penuh dengan ungkapan-ungkapan
balaghah, hikmah, dan nasehat yang bernilai tinggi (Syafaruddin, 2015:
108).
54
Dari sekian banyak fuqaha‟, lebih spesifik lagi para imam madzhab,
hanya Imam Syafi‟i yang dikenal sebagai sastrawan dan penyair yang
menjadi rujukan penting dunia sastra (Arab). Bukti konkret dalam hal ini
adalah ontologi puisi sang Imam yang sampai sekarang masih menjadi
magnet tersendiri bagi para pencinta syair Arab atau puisi. Seandainya tidak
sibuk dengan ilmu fiqih, sudah barang tentu beliau bisa mengalahkan Labid
ibn Rabi‟ah, sang penyair legendaris Jahiliyah. Memang tidak berlebihan
apa yang dikatakannya, “Seandainya syair tidak mengecilkan arti seorang
ulama‟, sudah barang tentu aku kini lebih hebat (dalam hal syair ) dari
Labid ibn Rabi‟ah)” (Thabrani, 2006: 201-202).
Imam Syafi‟i menyenandungkan syairnya secara spontan sebagai
cerminan atas keadaan tertentu atau sebagai jawaban pertanyaan seseorang
kepadanya. Seorang murid yang mendengar syair tersebut akan
menghafalnya, lalu menyampaikannya dari mulut ke mulut, turun-temurun.
Kemudian, para penulis akan menukil untuk buku-buku mereka syair-syair
yang sesuai dengan tema yang mereka tulis. Akhirnya, tersebarlah syair-
syair Imam Syafi‟i di berbagai karya tentang hadits, fiqih, sejarah, bahasa,
etika, dan lainnya (http://www.penerbitzaman.com). Hingga kini syair-syair
Imam Syafi‟i sangat populer di kalangan ulama, pelajar, mahasiswa, dan
para penuntut ilmu di mana pun berada.
Pertama kali yang mengumpulkan syair-syair Imam syafi‟i ini dalam
kitab tersendiri, dari berbagai syair yang ada dan tersebar di berbagai kitab,
sebagaimana disebutkan dalam kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i, adalah
55
Ahmad Al-Ajmi, dan dinamakan kitabnya dengan judul “Natijatul Afkar
fima Yughzi ila Al-Imam Asy-Syafi‟i min Asy‟ar” (diterbitkan oleh Dar Al-
Kutub Al-Mishriyah). Kemudian adalah Muhammad Mushthafa Asy-
Syadzili, dan dinamakan kitabnya dengan judul “Al-Jauharun Nafis fi
Asy‟ari Muhammad ibn Idris” (diterbitkan di Mesir tahun 1321 H/1903 M).
Sementara, orang pertama yang menamakan dengan judul “Diwan Al-Imam
Asy-Syafi‟i”, adalah Muhammad Ibrahim (diterbitkan di Mesir tahun 1329
H/1911 M). Kemudian terbit versi Muhammad Abdurrahim (diterbitkan di
Beirut oleh Dar Al-Fikr tahun 1415 H/1995 M), versi Abdurrahman Al-
Musthawi (diterbitkan di Beirut oleh Dar Al-Ma‟rifah tahun 1425 H/2005
M) (Al-Musthawi, 2005: 11-12). Dan versi-versi lainnya juga yang
termasuk penulis gunakan ini yakni versi Naim Zarzour (diterbitkan di
Beirut oleh Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah tahun 1435 H/2014 M).
56
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Konsep Sabar dalam Menuntut Ilmu pada Kitab Diwan Al-Imam Asy-
Syafi’i
Setiap manusia pasti mempunyai kesulitan hidup yang harus dijalani
dan dilewati. Tidak ada manusia yang hidup tanpa pernah merasakan
kesulitan. Kadar kesulitan hidup ini berbeda-beda sikap dan caranya dalam
menghadapi kesulitan tersebut. Ternyata kesulitan atau beban hidup itu
disesuaikan dengan tingkat kesiapan manusia dalam menghadapinya.
Karena itulah, beban itu diturunkan sesuai dengan kadar kehidupan setiap
manusia.
Saat anak-anak, beban yang mesti ditanggung tidaklah besar, karena
hampir semuanya dikerjakan oleh orang tuanya. Memasuki usia sekolah,
anak belajar menghadapi berbagai kesulitan, mulai dari memahami
pelajaran hingga kesulitan dalam pergaulan. Semuanya adalah proses
belajar. Semakin besar dan dewasa, beban yang mesti ditanggung juga
bertambah berat. Saat kuliah, misalnya, anak belajar mengerjakan tugas-
tugas perkuliahan dan belajar kepemimpinan di berbagai organisasi intra
dan ekstra kampus. Semuanya itu juga proses belajar. Hingga memasuki
jenjang pernikahan, beban yang ditanggungnya juga bertambah berat.
Bagaimana mengelola keluarga berdua bersama pasangan. Mempunyai anak
juga merupakan tanggung jawab tersendiri. Mulai dari menyiapkan
pendidikannya.
57
Alhasil, setiap usia mempunyai kesulitan sendiri yang harus
dihadapi. Pada dasarnya, setiap manusia mampu mengatasi semua kesulitan
itu dengan baik, selama ia mempunyai kesabaran dalam menghadapi
berbagai tantangan tersebut dan terus berusaha mencari jalan keluar dari
setiap masalah. Tanpa adanya kesabaran, sulit menemukan jalan keluar.
Sabar itulah kunci agar manusia menemukan jalan keluar. Karenanya, tidak
perlu takut dengan berbagai tantangan dan kesulitan hidup. Sebab, semua
masalah di dunia ini datang bersama jalan keluarnya. Tidak ada masalah
yang tidak bisa diselesaikan. Semua ada jalan keluarnya jika mau bersabar
(Zainudin, 2012: 102-104).
Sabar itu perihal menahan diri dari berputus asa, meredam amarah
jiwa, mencegah lisan untuk mengeluh, serta menahan anggota badan dari
berbuat kemungkaran (Soebachman, 2014: 65). Seperti halnya dalam
menuntut ilmu, kesabaran sangat diperlukan karena, kehidupan ini selalu
berproses, memerlukan waktu, dan tidak instan. Ketika „melamar‟ menjadi
murid Nabi Khidhir, Nabi Musa AS diminta memenuhi satu syarat saja
yaitu sabar (Elfanany, 2013: 25). Begitu pun dengan Imam Syafi‟i yang
berjuang menakhlukkan aral kemiskinan dalam menuntut ilmu hingga
mencapai surga keilmuan berkat kesabarannya.
Ilmu merupakan hal penting dalam diri manusia untuk menjalani
kehidupan, tanpa ilmu manusia tak bisa bergaul dengan baik, misalkan saja
ada manusia yang tak bisa membaca, tentu ia tak akan bisa memperoleh
pengetahuan karena, hakikatnya kegiatan membaca akan menghasilkan
58
pengetahuan, dan tanpa pengetahuan ia pun akan sulit menentukan arah
tujuan untuk melangkah ke depan serta bingung akan menjadi apa di masa
yang akan datang, sedangkan dunia terus maju dan berkembang seiring
waktu yang berjalan. Begitu sempurnanya Islam, perintah pertama yang
Allah SWT turunkan kepada hamba-hamba-Nya adalah perintah membaca,
agar manusia bisa membaca fenomena alam sekitar untuk mengambil ilmu
pengetahuan, dan bisa bersyukur terhadap nikmat yang Allah SWT
limpahkan (Angelia, 2017: 78).
Menuntut ilmu itu wajib, tidak mengenal batas tempat dan juga tidak
mengenal batas usia, baik anak-anak mau pun orang tua. Kewajiban
menuntut ilmu dapat dilaksanakan di sekolah, pesantren, majelis ta‟lim,
pengajian, belajar sendiri, penelitian atau diskusi, dan lain sebagainya. Ilmu
merupakan cahaya kehidupan bagi umat manusia. Dengan ilmu, kehidupan
di dunia terasa lebih indah, yang susah akan terasa mudah, yang kasar akan
terasa lebih halus. Dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT, harus
dengan ilmu pula. Sebab, beribadah tanpa didasarkan ilmu yang benar
adalah sia-sia belaka. Oleh karena itu, dengan mengamalkan ilmu di jalan
Allah SWT merupakan ladang amal (pahala) dalam kehidupan, dan dapat
memudahkan seseorang untuk masuk ke dalam surga Allah SWT (Prayoga,
2015: 19).
Dalam menuntut ilmu pun tidak mengenal gender. Pria dan wanita
punya kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu. Sehingga, setiap orang
baik pria mau pun wanita bisa mengembangkan potensi yang diberikan oleh
59
Allah SWT kepada dirinya sehingga, potensi itu berkembang dan sampai
kepada kesempurnaan yang diharapkan. Karena itulah, agama menganggap
bahwa menuntut ilmu termasuk bagian dari ibadah. Ibadah tidak terbatas
kepada masalah shalat, puasa, haji, dan zakat semata. Bahkan, menuntut
ilmu itu dianggap sebagai ibadah yang utama, karena dengan ilmulah
manusia bisa melaksanakan ibadah-ibadah yang lainnya dengan benar
(Mulyono, 2009: 217).
Menuntut ilmu itu harus didasari serta memiliki landasan (hujjah),
hujjah adalah dasar dan landasan yang dijadikan sebagai penguat ilmu
syariat tersebut. Imam Syafi‟i telah membuat perumpamaan bagi penuntut
ilmu syar‟i yang tidak berdasarkan hujjah. Beliau berkata:
“Perumpamaan manusia yang menuntut ilmu tanpa hujjah adalah seperti
manusia yang mencari kayu bakar pada malam hari, ia membawa seikat
kayu, di mana di dalamnya terdapat ular yang siap mematuknya, sedangkan
ia tidak mengetahuinya.”
Dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa beliau menganjurkan
kepada para penuntut ilmu, ketika menuntut ilmu harus berdasarkan kepada
hujjah yang berasal dari Al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah SAW. Apabila
manusia mempelajari ilmu agama, akan tetapi tidak merujuk kepada
sumbernya yang asli, yaitu Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka
bisa saja ia akan mendapatkan masalah-masalah yang disangka termasuk
agama, padahal bukan, sehingga akibatnya dapat terjatuh ke dalam
penyimpangan.
Maka kunci untuk dapat selamat dari kesesatan adalah dengan
berpegang kepada Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Jika para
60
penuntut ilmu tidak berpegang kepada kedua hujjah ini, maka ia akan
mendapatkan masalah besar dalam kehidupannya. Disisi lain, dalam wasiat
tersebut, Imam Syafi‟i menjelaskan tentang resiko dan bahaya yang akan
menimpa penuntut ilmu, apabila tidak berdasarkan kepada hujjah dalam
mempelajari ilmu yaitu akan tersesat tanpa disadarinya. Apabila manusia
mempelajari ilmu syariat tanpa dasar Al-Qur‟an dan hadits yang shahih,
maka akhirnya adalah berupa penyimpangan, kekeliruan, dan kesesatan
(Syafaruddin, 2015: 112-114).
Tak mudah untuk mendapatkan ilmu, terkadang berbagai penyakit
timbul secara tiba-tiba, seperti malas, jenuh, sombong, dan sebagainya.
Ketika semangat membara setan pun menggembosi, ikut andil untuk
menurunkan semangat. Penyakit-penyakit tersebut dapat diobati dengan
salah satu sifat yang terpuji, yaitu sabar. Memang menuntut ilmu bukanlah
perkara mudah dan sederhana. Butuh pengorbanan dan kesabaran tingkat
tinggi untuk menguasainya. Selain itu, godaan dalam proses menuntut ilmu
juga cukup banyak, beraneka ragam, dan datang silih berganti, baik godaan
dari luar mau pun dalam diri sendiri.
Kesuksesan penuntut ilmu sangat ditentukan oleh sejauh mana ia
mampu mengusir setiap godaan ini. Begitulah, sulitnya menuntut ilmu. Ada
banyak rintangan dan godaan yang harus disingkirkan. Sangat beruntung ia
yang mampu bersabar dalam melewati segala bentuk ujian ini. Di antara
deretan ujian di atas, umpatan dan cacian kawan sejawat mungkin adalah
ujian paling berat dibanding lainnya. Barangkali sudah nasib manusia
61
berilmu seperti itu. Terkadang kawan pun bisa jadi lawan, bahkan tak jarang
nyawa pun dikorbankan demi sebuah kebenaran. Namun, ketika datang
masanya, mereka akan tersenyum bahagia di depan Yang Maha Kuasa,
ketika mampu melewati tahapan di atas.
Syaikh Nu‟man pun menyatakan bahwa betapa banyak gangguan
yang harus dihadapi oleh manusia yang berusaha menuntut ilmu. Maka ia
harus ber-sabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari
keluarga, dan tanah airnya. Sehingga, ia harus bersabar dalam upaya
menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat,
memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran, dan lain
sebagainya. Hakikatnya, ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak
mengistirahatkan badan. Terkadang manusia harus menerima gangguan dari
orang-orang yang terdekat darinya. Tidak ada yang bisa bertahan, kecuali
manusia yang mendapat anugerah ketegaran dari Allah SWT. Manusia yang
ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi
gangguan yang ada di hadapannya (Elfanany, 2013: 41).
Banyak manusia yang awalnya bersemangat dalam menuntut ilmu,
tapi dengan silih bergantinya hari tak sedikit yang akhirnya putus di tengah
jalan. Apa sebabnya? Entahlah, namun yang jelas salah satunya karena tidak
mampu bersabar. Menuntut ilmu membutuhkan kesabaran yang tinggi,
pengorbanan, serta semangat membaja. Tanpa itu mustahil seorang
memperoleh ilmu. Imam syafi‟i berpesan dalam syairnya, berikut:
62
ئل ثغزخ ؼ ربي ا أخ رفص١ب ثج١ب ج١ه ػ عأ
غخ ر ث اجزبد حشص وبء ب ي ص غ صحجخ أعزبر
Artinya: Wahai saudaraku, kau tak akan meraih ilmu kecuali dengan 6
perkara. Aku akan memberi tahu kepadamu perinciannya dengan
penjelasan. Yaitu cerdas, semangat, kesungguhan, biaya yang
cukup, bimbingan pendidik, dan waktu yang lama (Diwan Al-Imam
Asy-Syafi‟i, 2014: 99).
Imam Syafi‟i mematok 6 bekal yang harus dimiliki serta dipenuhi
oleh para penuntut ilmu agar dapat meraih keberhasilan dan kesuksesan
dalam menuntut ilmu yang diciptakannya sesuai dengan harapan dan asas
manfaat dari ilmu tersebut bagi proses transmisi selanjutnya pada orang lain
dan masyarakat luas. Tidak perlu berputus asa ketika harus membutuhkan
waktu yang lama untuk memahami pelajaran, yang terpenting tetap sabar.
Oleh sebab itu, bersabarlah dalam menuntut ilmu. Tidak ada batasan waktu
dalam hal itu. Tidak ada batas umur. Manusia akan terus belajar agama
sampai nanti, ketika nafas sudah terhenti.
Berikut analisis sabar dalam menuntut ilmu yang terdapat pada kitab
Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i:
1. Sabar dalam menghadapi sikap pendidik dan sabar dalam menjalani
waktu menuntut ilmu yang lama
Mungkin terkadang para penuntut ilmu dihinggapi dengan rasa
jenuh, lelah, dan letih dalam menuntut ilmu. Itu merupakan hal yang
biasa terjadi dalam seluk beluk menuntut ilmu. Namun, jangan sampai
para penuntut ilmu mengalami dekadensi semangat dalam memperoleh
ilmu yang bermanfaat. Jangan pernah para penuntut ilmu merasa bosan
63
darinya. Bersabar merupakan ciri utama manusia beriman. Manusia
beriman akan bersyukur apabila ia mendapat nikmat dan akan bersabar
apabila ia mendapat musibah atau cobaan. Manusia beriman akan
bersabar terhadap semua cobaan dari Allah SWT, apabila ia melakukan
sesuatu dengan ikhlas, maka akan menambah pahala dan kasih sayang
dari Allah SWT.
Jadi maksudnya, para penuntut ilmu itu harus ulet dalam
menuntut ilmu, tidak putus di tengah jalan, dan tidak merasa bosan,
bahkan harus kontinu dalam belajar semampu mungkin. Hendaklah ia
memfokuskan perhatian kepada ilmu dan tidak merasa bosan, karena
apabila ia dihinggapi rasa bosan, maka ia akan cepat lelah lalu
meninggalkan belajarnya. Sabar dan tabah itu pangkal keutamaan
dalam segala hal, maka sebaiknya para penuntut ilmu harus mempunyai
hati tabah dan sabar dalam belajar, jangan sampai ditinggalkan sebelum
sempurna dipelajari, dalam suatu bidang ilmu jangan sampai berpindah
ke bidang lain sebelum memahaminya benar-benar dan sungguh-
sungguh (Maghfirah, 2014: 44-45).
Sejatinya tak sedikit manusia yang menginginkan dirinya
menjadi cerdas, pintar serta memiliki banyak ilmu. Cerdas di sini bukan
berarti harus memiliki IQ yang tinggi, melainkan orang yang bisa
menangkap ilmu yang diberikan oleh pendidik. Cerdas dapat
diasumsikan sebagai anugerah bawaan dari lahir, yaitu kemampuan
berpikir orang yang cepat mengerti, memahami, menangkap maksud
64
dari suatu kondisi atau pun keadaan. Sedangkan, pintar adalah
banyaknya ilmu yang diperoleh dari proses pembelajaran secara formal
di sekolah atau pun informal lewat lingkungan sekitar dan pengalaman
hidup (Muttaqien, 2014: 13).
Untuk mewujudkan keinginan ini, seorang harus menuntut ilmu
dengan rajin belajar, belajar dalam jangka waktu yang lama, dan lain
sebagainya. Tentu dalam mengejar kecerdasan ini para penuntut ilmu
harus sabar menjalaninya, sebab banyaknya tantangan dan rintangan
susahnya dalam mempelajari ilmu. Kesabaran dalam mempelajari dan
mengambil ilmu, ketika menghafal ilmu butuh kesabaran, ketika
memahami ilmu butuh kesabaran, ketika menghadiri majelis ilmu butuh
kesabaran, ketika memperhatikan hak-hak pendidiknya juga
membutuhkan kesabaran. Inilah poin penting dalam memahami hakikat
sabar bagi para penuntut ilmu.
Seorang ulama faqih yang perjalanan hidupnya dalam menuntut
ilmu sangat luar biasa, Imam Syafi‟i memberikan nasehat emasnya
teruntuk para penuntut ilmu di mana pun berada agar tetap bersabar
menjalani rutinitas menuntut ilmunya. Berikut beliau tuangkan nasehat
tersebut dalam syairnya:
ؼ جفب ش ا ف رصجش ػ ف ؼ ة ا سع فا شار
عبػخ ش ازؼ ٠زق ي ح١بر غ ج ع ري ا رجش
لذ شجبث فبر ازؼ١ فبر ب أسثؼ فىجش ػ١
فز راد ا ازم - للا - ؼ ث ٠ى ئرا ب اػزجبس زار
65
Artinya: Bersabarlah dalam menghadapi pahitnya ketidakramahan dari
seorang pendidik, karena sesungguhnya meresapnya ilmu itu
terletak pada pengajarannya. Barangsiapa yang tidak mau
merasakan pahitnya belajar sesaat, maka ia akan terus-
menerus merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.
Barangsiapa yang tidak sempat belajar di waktu mudanya,
maka takbirkanlah 4 kali untuk kematiannya. Demi Allah,
manusia dianggap ada sebab ilmu dan ketakwaannya, jika
keduanya tak ada pada diri manusia, maka keberadaannya tak
akan dianggap (Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i, 2014: 41).
Imam Syafi‟i menyimpulkan untuk para penuntut ilmu bahwa
kesuksesan dalam menuntut ilmu tidak bisa dicapai kecuali dengan
bersabar menghadapi sikap kerasnya pendidik, mulai belajar pada
waktu muda dengan memanajemen waktu, dan menyertai ilmunya
dengan ketakwaan. Jika tidak ada semua itu, maka kepribadian para
penuntut ilmu tidak akan berguna sama sekali dan tentu ia akan terus-
menerus merasakan hinanya kebodohan. Hal-hal tersebut penulis rinci
sebagai berikut:
a. Sabar dalam menghadapi sikap pendidik
Imam Syafi‟i menjelaskan bahwa seseorang yang sedang
menuntut ilmu itu salah satunya harus bersabar terhadap metode
pendidiknya dalam mengajar, meski pun metode itu dirasakan terlalu
keras baginya. Sebab, pada metode yang demikian, justru terletak
ilmu yang akan melekat pada diri penuntut ilmu. Frasa „murri-l-jafa
min mu‟allim‟, arti harfiahnya adalah sikap keras pendidik itu seperti
pil yang sangat pahit, maksudnya cara mengajar atau mendidik sang
pendidik yang dirasakan terlalu keras bagi para peserta didiknya
(Fahmi, 2014: 187).
66
Pendidik adalah pahlawan tanpa tanda jasa, tanpa jasa
seorang pendidik, seseorang yang sudah menginjak status mahasiswa
tidak akan pernah mengenal angka 1 sampai 10, tidak akan bisa
membaca dan dianggap buta huruf, sedangkan seorang ustadz
mengajarkan huruf alif sampai ya‟, tanpa seorang ustadz pun
seseorang tidak akan bisa mengaji atau membaca ayat-ayat suci Al-
Qur‟an, tidak akan tahu mana yang halal dan mana yang haram.
Peran orang tua mendukung anaknya agar semangat belajar dan
membiayai semua fasilitas yang diperlukan untuk menuntut ilmu.
Tetapi, tetap saja tanpa peranan dan dukungan orang tua anak tidak
akan mengenal yang namanya bangku pendidikan (Muttaqien, 2014:
21).
Adanya ilmu adalah karena didatangi, bukan ditunggu
kedatangannya. Mempelajarinya merupakan perkara yang dicintai
oleh Allah SWT dan ilmu menjadikan pemiliknya mempunyai
kedudukan yang mulia di sisi-Nya (Yiyin, 2016: 28). Sebagaimana
kisah Imam Syafi‟i yang mempersiapkan dirinya dengan persiapan
yang sangat matang untuk bertemu dengan Imam Malik, sang guru.
Persiapan yang menunjukkan potret spirit rasionalitas yang
disandangnya semenjak kecil, sebuah spirit dengan perenungan
sebagai pilar utamanya. Ada pun persiapan yang menunjukkan spirit
rasionalitas Imam Syafi‟i ini adalah mempelajari landasan berpikir
Imam Malik yang telah membuat keilmuannya tersohor, Imam
67
Syafi‟i menemukan landasan itu di dalam kitab Imam Malik, Al-
Muwaththa‟. Kemudian berusaha mencari kitab Al-Muwaththa‟,
hingga beliau mendapatkannya dan akhirnya beliau pun berhasil
meminjamnya dari seorang pria di Makkah. Lalu berupaya
mempelajari dan menghafal kitab Al-Muwaththa‟ (Al-Fayumi, 2009:
40).
Peranan pendidik sangat penting dalam melaksanakan
pendidikan, artinya pendidik memiliki tanggung jawab untuk
menentukan arah pendidikan tersebut. Itulah sebabnya, Islam sangat
menghormati dan memuliakan orang-orang berilmu. Setiap penuntut
ilmu wajib menghormati dan memuliakan mereka, berlapang dada
ketika terjadi ikhtilaf diantara mereka. Bagaimana pun seorang
pendidik hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan,
maka sebagai seorang penuntut ilmu sebaiknya, kita memaafkan dan
menyikapi hal tersebut dengan ber-husnudzan terhadap mereka
sebagai sebuah penghormatan.
Jangan sampai para penuntut ilmu menyikapi ikhtilaf tersebut
sebagai sebuah kesalahan yang menjadikannya berburuk sangka
terhadap pendidik, karena hal tersebut dapat menjadi penghalang
untuk memperoleh ilmu. Sejatinya, manusia tidak luput dari
kesalahan. Pendidik merupakan orang yang memiliki pengetahuan
yang luas, bisa dijadikan tauladan yang baik, dan biasanya memiliki
banyak pengalaman dalam segala hal terutama menghadapi para
68
peserta didiknya. Sedangkan, penuntut ilmu merupakan orang yang
masih perlu mendapatkan bimbingan serta ilmu, sehingga sudah
seharusnya para penuntut ilmu menghormati dan memuliakan
kedudukan para pendidiknya, baik ketika ada mau pun sudah tidak
ada (Maghfirah, 2014: 46).
Terkadang dalam upaya menuntut ilmu ditemukan kesulitan,
rintangan, serta kegalauan yang mengiringi para penuntut ilmu. Jika
dikaitkan dengan penyakit „galau‟ yang melanda anak muda zaman
sekarang, kegalauan yang sering dialami para pemuda di bangku
sekolah adalah menerima sikap yang tidak mengenakkan dari
pendidiknya. Mungkin bagi mereka, pendidik terlalu keras dalam
mengajar, otoriter, tidak demokratis, seenaknya sendiri, pilih kasih,
dan lain sebagainya. Tapi, janganlah semua itu dijadikan sebagai
penghambat. Sebaliknya, jadikanlah semua itu sebagai motivasi.
Sebab, orang yang belajar tanpa bimbingan seorang pendidik itu
bagaikan berlayar tanpa peta. Diombang ambing oleh hal yang tidak
jelas hingga akhirnya tersesat (Muttaqien, 2014: 15).
Bersabarlah dahulu selama beberapa waktu untuk
mempertimbangkan dan memilih pendidik. Janganlah suka
meninggalkan seorang pendidik dan pindah kepada pendidik yang
lain, jika hal demikian dilakukan, maka hal itu tidak membawa
keberkahan baginya dan dapat melukai perasaan seorang
pendidiknya. Seharusnya, ia konsisten dan bersabar dalam belajar
69
kepadanya. Dalam belajar, para penuntut ilmu harus memandang
pendidiknya dengan pandangan yang penuh penghormatan, meyakini
kesempurnaan ilmunya, dan keahliannya serta keunggulannya dari
kebanyakan para pendidik segenerasinya. Dengan cara ini, ilmu
pendidik tersebut akan lebih bermanfaat baginya dan meresap ke
dalam hatinya. Seyogyanya, ia bersabar terhadap kekasaran
pendidik, keburukan akhlaknya, dan janganlah hal itu
menghalanginya untuk terus mengikuti pengajarannya serta
meyakini kesempurnaannya. Hendaknya ia menafsirkan perbuatan-
perbuatan pendidiknya itu dengan penafsiran yang baik.
Para penuntut ilmu hendaklah memuliakan ilmu dan
pemiliknya dengan sepenuh hati. Penting untuk diketahui bahwa
para penuntut ilmu tidak akan mendapatkan ilmu dan manfaatnya,
melainkan dengan memuliakan ilmu itu sendiri dan menghormati
keagungan pendidiknya. Suksesnya seseorang dikarenakan
memuliakan ilmu dan pendidiknya. Sebaliknya, kegagalan seseorang
dalam belajar itu karena tidak beritikad memuliakan dan
menghormati pendidiknya. Manusia tidak akan pernah kufur
dikarenakan berbuat kemaksiatan, tetapi manusia dapat menjadi
kufur karena tidak mau menghormati perintah Allah SWT dan
larangan-larangan-Nya, bahkan meremehkannya. Barangsiapa
melukai hati pendidiknya, berkah ilmunya tertutup dan hanya sedikit
kemanfaatannya. Umpama dokter dan pendidik, keduanya tidak akan
70
memberi nasehat bila tidak dimuliakan. Maka terimalah penyakitmu,
bila kau acuhkan doktermu dan terimalah kebodohanmu, bila kau
tentang pendidikmu.
b. Sabar dalam menjalani waktu menuntut ilmu yang lama
Waktu menuntut ilmu yang lama di sini mempunyai arti
waktu yang mencukupi. Jika dianugerahi otak yang cerdas, maka
lebih cepat lebih baik, karena jika bisa lebih cepat, maka bisa
mempelajari hal yang lain. Jika memiliki daya tangkap yang pas-
pasan, maka harus sabar dan memang membutuhkan waktu belajar
yang lama (Muttaqien, 2014: 15).
Prinsip lain yang dinasehatkan oleh Imam Syafi‟i bagi
penuntut ilmu adalah memerlukan waktu lama. Para penuntut ilmu
harus menyiapkan diri menghabiskan waktu yang panjang untuk
mencapai pemahaman yang mendalam terhadap ilmu. Kesediaan
mencurahkan perhatian dan menempuh proses yang lama merupakan
kunci untuk meraih keutamaan-keutamaan ilmu yang sangat tinggi.
Banyak hal yang dapat dipelajari dalam waktu singkat, tapi untuk
menghasilkan penguasaan yang matang kerap memerlukan waktu
yang lama nan panjang. Meski demikian, sekedar siap menjalani
masa yang panjang tidak banyak bermakna, apabila tidak disertai
ketekunan.
Ada kesabaran, ada ketekunan. Sebagian ilmu menuntut
ketekunan untuk masa yang panjang. Keduanya diperlukan, sebab
71
dalam menuntut ilmu memerlukan daya tahan yang tinggi. Ada
orang yang cerdas sehingga mudah memahami. Tapi ada sebagian
ilmu yang menuntut ketekunan, masa yang panjang, dan sekaligus
kecerdasan. Dalam bidang sains pun sabar, tekun, dan cerdas
diperlukan secara bersamaan. Hendaklah para penuntut ilmu
menjauhi sikap instan dan tergesa-gesa ingin menguasai ilmu dengan
segera. Pengetahuan dapat diperoleh dengan cepat, tetapi
pemahaman yang matang dan mendalam hanya dapat diraih dengan
kesabaran dan kesungguhan (Syafaruddin, 2015: 121).
Dalam hal ini, para penuntut ilmu bisa mencontoh
keteladanan Imam Syafi‟i dalam membagi waktunya. Imam Syafi‟i
membagi waktu malamnya menjadi 3 bagian, sepertiga malam yang
pertama untuk menulis, sepertiga malam yang kedua untuk shalat,
dan sepertiga malam yang ketiga untuk tidur. Inilah nasehat Imam
Syafi‟i kepada para penuntut ilmu. Setiap waktu Imam Syafi‟i
memanfaatkannya untuk membaca, menulis, dan berceramah.
Kehidupan sehari-harinya amat teratur, beliau selalu membagi
waktunya secara sistematis dan jarang sekali menyimpang dari
rencana yang telah ditetapkan. Inilah yang dinamakan memanajemen
waktu yang baik dan bersikap selektif terhadap waktu.
Sejatinya orang yang sedang berusaha di jalan Allah SWT ini
selalu mendapat ujian, seperti susahnya mempelajari ilmu yang
memiliki tingkat kesulitan yang tinggi sehingga, membutuhkan
72
waktu yang sangat lama untuk memerangi kebodohan. Ini seperti
cerita Ibnu Hajar Al-Asqalani, beliau sudah mondok hingga puluhan
tahun tapi masih saja bodoh, akhirnya beliau boyong dan pulang ke
rumah, saat dalam perjalanan pulang ke rumah beliau istirahat di
dalam gua. Beliau terkejut melihat di gua ada air yang menetes di
atas batu dan mampu melubangi batu tersebut.
Akhirnya beliau berfikir, tetesan air saja lama-kelamaan bisa
melubangi batu, beliau pun sadar bahwa dengan ketekunan dan
usaha yang terus menerus pasti akan membuahkan hasil, kemudian
beliau kembali ke pondok untuk menuntut ilmu dan sukses seperti
sekarang (Muttaqien, 2014: 14). Para penuntut ilmu jangan sampai
menyangka bahwa menuntut ilmu itu cukup hanya dengan sehari
atau dua hari, setahun atau dua tahun. Karena, sesungguhnya
menuntut ilmu membutuhkan kesabaran bertahun-tahun lamanya.
Seringkali terdengar banyaknya alasan yang dikeluhkan para
penuntut ilmu dengan banyaknya kesibukan yang sedang
dialaminya. Padahal, sebenarnya mereka tidak memberikan
perhatian ketika menuntut ilmu. Dewasa ini, terlihat fenomena-
fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan. Lihatlah ketika di
kelas, dosen atau guru yang sedang menerangkan mata pelajaran
dengan penuh semangat, ternyata para peserta didik tidak
mengimbanginya dengan penuh semangat pula. Banyak peserta didik
yang bercanda, bermain-main, tidur, bahkan bermain handphone di
73
kelas. Waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk memberikan
perhatian menuntut ilmu, mereka gunakan untuk hal-hal yang tidak
bermanfaat. Hasil akhirnya pun jauh dari harapan para pendidik dan
para orang tua, sebab perbuatannya di masa muda yang tidak
bermanfaat. Jangan sampai perbuatan-perbuatan di masa muda
mendatangkan penyesalan di masa mendatang.
Modal utama dalam menuntut ilmu adalah waktu dan umur.
Pergunakanlah selalu waktu luang untuk belajar, jangan menganggur
apalagi malas. Jagalah waktu dengan selalu bekerja keras, belajar,
berkumpul dengan para pemilik ilmu, menyibukkan diri dengan
membaca mau pun mengajar, merenung, menelaah, dan menghafal
serta meneliti. Terutama pada saat umur masih muda di mana masih
dikaruniai kesehatan. Manfaatkanlah waktu yang sangat berharga ini
agar kelak mampu mendapatkan derajat ilmu yang tinggi, karena
waktu muda adalah waktu yang bagus untuk konsentrasi hati dan
fikiran, karena masih sedikit kesibukan untuk memenuhi kehidupan,
beban dan tanggungjawab masih ringan (Muttaqien, 2014: 26).
Terbiasanya mengulur-ulur waktu, pepatah Arab mengatakan,
„Waktu itu ibarat pedang‟. Jika tidak dipenggal, maka ganti pedang
itu yang akan memenggal. Sebab, waktu bekerja dalam umur.
Artinya, haruslah menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya untuk
menuntut ilmu, beramal shaleh, dan lain sebagainya, agar waktu
yang terus berjalan ini tidak tersia-siakan. Coba direnungkan, berapa
74
jamkah Allah SWT memberikan waktu kepada manusia untuk
bekerja, istirahat, dan berapa jamkah sisa dari itu semua? Apakah
masih tetap ingin memberikan alasan kesibukan dengan adanya sisa
waktu dari jam kerja dan jam istirahat? Untuk itu, hendaklah selalu
memanfaatkan waktu yang ada, waktu sebaik mungkin, terutama
untuk menuntut ilmu.
2. Sabar dalam menyiapkan biaya yang cukup
Biaya di sini mengandung arti, seorang yang ingin menuntut
ilmu harus dengan biaya. Misalnya, setiap orang tua yang ingin
mendaftarkan anaknya ke universitas harus membayar uang pangkal,
uang makan, dan uang kost jika anaknya merantau, serta kebutuhan
lainnya agar konsentrasi serta tidak terganggu selama proses menuntut
ilmu, dan pendidik pun seharusnya juga dibayar oleh peserta didik agar
pendidik bisa konsentrasi mengajar peserta didik dan tidak perlu kerja
lagi, karena sudah mendapat upah dari mengajarnya (Muttaqien, 2014:
14-15). Salah satu kewajiban orang tua dalam pendidikan anaknya
adalah menyiapkan bekal atau biaya yang cukup untuk kelangsungan
pendidikan anaknya. Begitu pula sang anak harus membantu
meringankan beban orang tuanya dalam hal biaya dengan cara
menghemat atau meminimalisir kebutuhan yang kurang penting nan
boros, serta mencoba mencari lowongan beasiswa.
Bagaimana pun keadaan ekonomi orang tua para penuntut ilmu,
mereka harus tetap semangat dengan tekun belajar, belajar dengan
75
sungguh-sungguh, dan pantang menyerah, karena menuntut ilmu itu
sulit dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Para penuntut ilmu
yang tidak punya semangat juang tinggi dalam menuntut ilmu, maka
akan menghabiskan biaya dan waktu dengan sia-sia. Merupakan suatu
keharusan bagi seorang penuntut ilmu untuk bersungguh-sungguh,
kontinu, dan tidak kenal lelah untuk berhenti belajar.
Perihal biaya dalam menuntut ilmu, kisah hidup Imam Syafi‟i
berikut dapat menggubah jiwa semangat juang para penuntut ilmu
untuk pantang menyerah dan tetap berusaha. Imam Syafi‟i berasal dari
keluarga Palestina yang miskin, dan hidup di perkampungan orang
Yaman. Semasa muda, Imam Syafi‟i hidup dalam kemiskinan, tetapi
keadaan tersebut tidak menyurutkan semangatnya untuk menuntut ilmu
dan berkarya. Beliau mengumpulkan tulang belulang, pelepah kurma,
tulang unta, batu, dan sebagainya untuk ditulis catatan-catatan pelajaran
di atasnya (Anam, 2016: 55).
Pada saat itu harga kertas sangat mahal. Dikarenakan sulitnya
mendapatkan kertas-kertas tersebut, Imam Syafi‟i lebih mengandalkan
ingatan melalui cara menghafal. Kebiasaan itulah yang menyebabkan
Imam Syafi‟i memiliki daya ingat yang kuat, sehingga dapat mengingat
semua pelajaran yang diterima dari guru-gurunya (Syafaruddin, 2015:
108). Namun, beliau tetap yakin dan optimis bahwasannya Allah SWT
tidak akan membiarkan hambanya yang sedang berjuang ini selalu di
76
dalam keadaan sulit dan penuh kekurangan. Sebagaimana diungkapkan
Imam Syafi‟i dalam syairnya berikut:
ب وب ظ سثب وفبن ثبل ئ ب ٠ى غذ ع١ىف١ه ف
Artinya: Sesungguhnya Tuhan yang telah mencukupimu kemarin, Dia
juga yang akan mencukupimu di hari esok (Diwan Al-Imam
Asy-Syafi‟i, 2014: 103).
Imam Syafi‟i menyakinkan kepada para penuntut ilmu
bahwasannya rezeki atau kecukupan kemarin hingga esok hari telah
Allah SWT cukupi. Tak perlu dikhawatirkan, Allah SWT mencukupi
atau memberi rezeki itu melalui berbagai cara, entah itu melalui
makanan yang telah diberi orang lain atau kawan sendiri, entah itu
berupa tawaran pekerjaan, entah itu uang sangu dari orang tua menjadi
lancar, atau pun mendapatkan beasiswa. Ini merupakan nikmat yang tak
terduga dan tentu harus tetap disyukuri. Bila manusia menginginkan
nikmat, maka manusia harus berusaha terlebih dahulu.
Ibarat pepatah, „Tak ada kenikmatan setelah kesusahan‟.
Adakalanya dalam hal biaya ini pun para penuntut ilmu diberi ujian
serta musibah yang berupa kesulitan, kemiskinan, kelaparan, mau pun
semakin mahalnya biaya pendidikan yang membuat semangat menuntut
ilmu kian menurun. Semua ini hanyalah masalah waktu. Para penuntut
ilmu dilatih agar berlaku sabar dengan selalu berusaha dan berdoa
kepada Allah SWT, sabar dalam menahan melakukan tindakan yang
dilarang Allah SWT seperti mencuri, mengemis, dan lain sebagainya.
Yakinlah masih banyak cara untuk mendapatkan biaya dalam menuntut
77
ilmu, namun lakukanlah dengan cara yang halal serta diridhai Allah
SWT dan perbanyak rasa syukur. Ketahuilah, orang sabar tidak pernah
mengeluh dan tidak pernah ada rasa putus asa, baik dalam keadaan
senang atau pun susah. Para penuntut ilmu harus tetap ikhlas
menghadapi ini semua dan menyerahkannya kepada Allah SWT.
3. Sabar dalam perantauan
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan muslimah,
baik itu melalui jalur formal atau informal. Di era sekarang, menuntut
ilmu menjadi sebuah hal yang harus dilakukan, termasuk di Indonesia,
sejak adanya program „wajib belajar 9 tahun‟. Oleh karena itu, pada
saat ini menuntut ilmu menjadi hal yang biasa dilakukan oleh setiap
orang terutama yang berada pada usia-usia pendidikan. Agama Islam
juga mewajibkan setiap muslim dan muslimah untuk menuntut ilmu.
Dengan adanya kewajiban tersebut, tentu orang akan berpikir
bagaimana cara menuntut ilmu atau di mana akan menuntut ilmu.
Salah satu bentuk menuntut ilmu tersebut adalah dengan pergi
merantau dari kampung asal menuju tempat yang berkembang ilmu
pengetahuan di sana, yaitu sekolah. Hal semacam inilah yang banyak
dilakukan oleh masyarakat Islam di Indonesia sebagai bentuk
menghidupkan sunnah dalam menuntut ilmu (Hasan, 2007: 68).
Merantau adalah meninggalkan kampung halaman dengan kemauan
sendiri untuk jangka waktu yang lama atau dengan tujuan mencari
78
penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman, biasanya
dengan maksud kembali pulang.
Seringkali para penuntut ilmu merasa cukup dengan sumber
ilmu dan para pendidik yang ada di daerah sendiri. Padahal rasa
kecukupan itu bisa menjadi bumerang dan hal buruk jika tidak
diantisipasi. Hal buruk yang dimaksud adalah minimnya pengalaman
dan pengetahuan. Dengan merantau para penuntut ilmu akan
mendapatkan ilmu dari berbagai sudut pandang, lebih menghargai ilmu,
dan lebih toleran dengan berbagai perbedaan. Lihatlah bagaimana
orang-orang yang hanya menuntut ilmu di daerahnya sendiri, lebih
kaku, dan sulit menerima perbedaan. Lebih fundamental dan kuat dalam
memegang prinsip yang mendarah daging di daerahnya. Padahal boleh
jadi prinsip-prinsip itu tidak semuanya baik dan tidak semua pandangan
baru dari luar daerah itu buruk.
Merantau untuk menuntut ilmu adalah hal yang sangat utama.
Hal ini dicontohkan oleh para Nabi, sahabat, dan generasi setelahnya.
Salah satu contoh, Imam Syafi‟i adalah seorang ulama yang melakukan
pengembaraan atau perantauan dalam menuntut ilmu. Dalam hal ini,
beliau memberi nasehat agar para penuntut ilmu merasakan merantau,
meninggalkan zona nyamannya menuju wilayah baru, suasana baru,
pengalaman baru, dan berkenalan dengan orang-orang baru pula. Beliau
pun menuangkan pengalaman merantaunya ke dalam bait-bait syair
berikut ini:
79
مب ب ف ا أدة ر ػم اغزشة ز غب ساحخ فذع ال
ب ظ رفبسل عبفش رجذ ػ ؼ١ش ف اصت ػ ز٠ز ا صت فا ا
Artinya: Orang yang berakal dan berbudaya tak kan tenang berdiam di
satu tempat. Karena itu, tinggalkanlah kampung halaman dan
merantaulah. Bepergianlah, niscaya kau akan menemukan
ganti dari orang yang kau tinggalkan. Dan berusahalah
karena kenikmatan hidup ada dalam usaha (Diwan Al-Imam
Asy-Syafi‟i, 2014: 36).
Memang benar perkataan orang tua dahulu, hendaknya
merasakan rasanya merantau supaya tahu makna pentingnya keluarga
dan jauhnya jarak. Dengan merantau pun jadi tahu bagaimana adab dan
sopan santun dengan sesama kawan dan masyarakat. Jangan takut untuk
pergi menuntut ilmu, kelak akan mendapatkan pengganti dari orang-
orang yang ditinggalkan, membina persahabatan baru, dan mengikat tali
kekeluargaan dengan orang-orang yang belum pernah ditemui
sebelumnya.
Orang yang hanya berdiam diri hidup di daerahnya sepanjang
hidup tidak akan memiliki banyak kawan, buta lingkungan, serta hidup
yang membosankan, dan cenderung flat life. Sangat berbeda dengan
orang yang pernah merantau, baik itu untuk menuntut ilmu mau pun
mengais rezeki, tak hanya kawan bahkan saudara yang akan didapat,
namun wawasan, kehidupan penuh tantangan, dan rahmat Allah SWT
di mana pun ia berada. Luasnya jaringan koneksi sosial mempermudah
jalan hidup seseorang menjadi pribadi yang lebih berkualitas,
dikarenakan mampu bersinggungan dengan berbagai karakter dan
kepribadian orang lain, sehingga ia bisa menempatkan diri. Sayangnya,
80
sebagian orang lebih memilih berada dalam comfort zone dan merasa
kehidupan sudah lebih baik saat ini dan begini-begini saja. Tak ingin
bersusah payah jauh dari rumah atau keluarga, hidup di tanah asing,
mau pun mengenal orang-orang asing.
Sangatlah wajar menemui orang-orang yang berbeda karakter
dan kehidupan, maka tak jarang sering ditemui ketidakcocokan atau
sesuatu yang tidak menyenangkan bagi diri masing-masing. Hanya saja
hal itu harus dihadapi dengan sabar sebagai bentuk mencari keridhaan
Allah SWT. Sebagai seorang penuntut ilmu yang harus memenuhi
hasrat akan menuntut ilmu, seringkali ia harus berpisah dengan orang
tua yang selalu ada, kenyamanan hidup di rumah serta kehangatan
keluarga dengan jarak ratusan kilometer. Akan tetapi, ia tidaklah
sendiri, puluhan ribu kawan sejawat juga tiba saatnya melepaskan diri
dari sangkar burung merpati, siap terbang mengepakkan sayap melihat
dunia dengan begitu indahnya mencari persinggahan baru, harus rela
hidup jauh dalam dimensi ruang yang berbeda dengan orang tua
mereka. Semua hanya demi menuntut ilmu, mengisi bejana kosong
dalam hati, dan otak yang haus akan pengetahuan.
Berikut hikmah menuntut ilmu di perantauan daripada di
lingkungan rumah sendiri ada 5, seperti yang diterangkan oleh Imam
Syafi‟i:
a. Hilangnya perasaan sumpek. Ketika di rumah sudah merasa sumpek
maka dengan bepergian perasaan sumpek itu biasanya cepat hilang,
81
perasaan sumpek biasanya terjadi karena apa yang dirasakan dan
dilihat adalah itu-itu saja, dunia itu memang membosankan dan
menyumpekkan bila apa yang dilakukan, dihadapi, dan yang dilihat
serta urusi selalu sama, maka para penuntut ilmu pun dihimbau
untuk sesekali menghibur diri, jangan sampai dalam menuntut ilmu
menemukan hal yang membosankan (Muttaqien, 2014: 28).
b. Mendapatkan penghidupan. Kadang kala kampung halaman tidak
menyediakan lebih banyak hal untuk mengais rezeki atau tempat
pendidikan yang lebih layak, karena berbagai faktor. Maka merantau
pun menjadi pilihan, sebagaimana yang terlihat saat ini, banyak
masyarakat lebih memilih pergi ke kota yang konon menjanjikan
lapangan penghidupan lebih luas. Meski tak harus ke kota, namun
ketika seseorang merantau, ia akan berusaha untuk menjalani
keadaan secara mandiri, dan muncullah kemampuan untuk
mempertahankan hidupnya.
c. Bertambahnya ilmu. Ibarat pepatah, „Setiap ladang punya
kumbangnya sendiri‟. Setiap daerah atau negara punya kelebihan dan
keistimewaan ilmu serta hikmah yang tak bisa didapat di kampung.
Maka, merantau adalah satu sarana menuntut ilmu, mendapatkan
sebanyak mungkin ibrah dan teladan, agar batin bisa menjadi
semakin terisi dengan kebijaksanaan, baik dalam wawasan mau pun
bersikap.
82
d. Mendapatkan pelajaran tata krama. Etika mau pun akhlak menjadi
sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kelangsungan hidup
berbangsa dan bernegara, dengan merantau orang akan tahu berbagai
macam watak dan etika seseorang. Dengan merantau pula seseorang
akan belajar dan beradaptasi bersosial dengan orang lain (Muttaqien,
2014: 29). Setiap daerah atau negara punya kulturnya masing-
masing. Hal ini akan menyadarkan orang yang merantau bahwa
hidup bersama dalam keragaman memerlukan proses belajar hidup
yang terus menerus. Belajar toleransi, menghargai orang lain, dan
saling membantu adalah tata krama yang bisa didapat jika seseorang
sudah merantau dan mengenali realitas daerah perantauannya.
e. Bergaul dengan orang baik dan bertambahnya kawan yang mulia.
Kawan yang baik adalah kawan yang bisa mengajak kawannya pada
keutamaan dan mencegahnya dari perbuatan yang buruk serta
membukakan pintu-pintu kebaikan untuknya. Apabila kawannya
berbuat salah, maka ia akan melarangnya tanpa harus merusak
kehormatan. Inilah kawan yang baik. Dengan merantau seseorang
bisa menemukan dan mencari kawan yang bisa mengajak pada
kebaikan dan melarangnya untuk berbuat buruk (Muttaqien, 2014:
29-30). Di tanah rantau, menjalin relasi-relasi baru yang baik akan
sangat menguntungkan, baik dalam perjalanan karir mau pun proses
menuntut ilmu. Dari relasi dan pertemanan bisa didapat kebaikan-
kebaikan yang tak terduga. Ketika pulang, hal itu bisa dimanfaatkan
83
untuk kembali turut membangun kampung halaman,
memberdayakan masyarakat bersama, dan lain sebagainya.
Demikianlah, kurang lebih bagaimana Imam Syafi‟i
menunjukkan keistimewaan dalam sebuah pengembaraan atau
perantauan. Mengapa harus merantau? Merantau memang memberikan
dampak yang begitu besar bagi hidup seseorang. Berbicara kemandirian
tentu sudah pasti, namun di balik itu ada yang penting lagi yakni
mengasah nilai-nilai spiritual individu sebagai manusia. Para perantau
menyadari betul hidup dengan sendirian begitu berat, kadang ketika
masalah menerpa dan tidak ada tempat mengadu. Di sinilah, kesabaran
para perantau di uji, terkadang susahnya menyesuaikan diri dengan
lingkungan atau pun kawan baru, kelaparan sebab kehabisan uang, dan
sebagainya.
Agar para penuntut ilmu yang merantau tetap sabar menjalani
semua ini, mari diingat kembali niat awal kalian untuk merantau.
Tanyakan pada diri masing-masing, untuk apa kalian berada di daerah
atau negeri orang ini? Untuk apa kalian datang jauh-jauh ke sini jika
tidak belajar? Ingatlah bagaimana keringat terus mengucur dari kening
kedua orang tua yang tiada lelah membanting tulang demi membiayai
kelangsungan belajar kalian? Sudahkah kalian berbakti kepada mereka
dengan menuntut ilmu sebaik-baiknya seperti yang mereka harapkan?
Jika menekuni semua itu, maka mari kembalilah ke jalan Allah SWT
dengan selalu mengawali kegiatan mengucapkan Basmallah, berniat
84
untuk menjadi orang yang berguna, melakukan yang baik-baik, dan
menghindari bentuk kegiatan buruk serta berdoa agar selalu diberi
kemudahan dan kelancaran dalam segala urusan.
4. Sabar dalam berkawan
Jiwa manusia sering dihinggapi keresahan, lebih-lebih ketika
sedang diuji dengan penderitaan dan situasi yang sulit. Saat resah, orang
sering mencari tempat untuk mengadu dan mencari kawan untuk
mencurahkan perasaan. Tujuannya agar persoalan yang membelitnya
cepat terpecahkan. Di sinilah pentingnya seorang kawan atau sahabat.
Dalam berbagai situasi, sahabat yang baik akan selalu memberikan
dukungan dan menawarkan saran yang bijak, tidak membiarkan
sahabatnya terkungkung dalam jalan yang gelap. Kawan atau sahabat
sejati hanya didapat melalui proses pencarian. Dari sekian kawan yang
dimiliki, tidak semuanya tepat menjadi tempat untuk berbagi, karena
tidak semua kawan selalu seperjuangan.
Dalam situasi sulit, kawan sejati akan selalu ada, membantu dan
memberikan dukungan agar kawannya tetap tegak berdiri. Jika bisa
membantu dengan materi, ia akan membantu kawannya dengan materi.
Jika materi tak ada, ia akan membantu kawannya dengan jasa atau
saran. Ia akan membantu dengan tulus dan ikhlas, tanpa mengharap
pujian apalagi imbalan. Ia melakukan semua itu semata-mata agar
kawannya segera terbebas dari penderitaan. Kawan seperti inilah yang
disebut sahabat sejati (Effendy, 2012: 111-112).
85
Di antara yang dapat memberikan pengaruh kepada seseorang
dalam menuntut ilmu adalah seorang kawan. Maka itu sudah
sepantasnya ia jeli dalam memilih kawan. Karena, sebagian dari
penuntut ilmu tidak memperhatikan perkara ini sehingga, ketika
semangatnya sedang membara, kemudian datanglah kawan yang buruk,
maka ia dapat memadamkan api semangatnya sehingga meninggalkan
belajarnya (Al-Jauziyyah, 2010: 76).
Pergaulan sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Oleh
karena itu, Islam mengajarkan manusia agar selektif memilih kawan.
Musibah cepat atau lambat akan menimpa seseorang, jika ia bergaul
dengan orang-orang yang berperilaku buruk. Sebaliknya, manfaat yang
besar akan didapatkannya, jika ia bergaul dengan orang-orang yang
baik. Rasulullah SAW bersabda:
“Permisalan kawan yang baik dan kawan yang buruk, ibarat seorang
penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi
mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli
minyak wangi darinya, dan kalau pun tidak, engkau tetap mendapatkan
bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi percikan apinya
mengenai pakaianmu, dan kalau pun tidak, engkau tetap mendapatkan
bau asapnya yang tak sedap” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW
menganjurkan manusia untuk bergaul dengan kawan-kawan yang baik.
Sebab, bergaul dengan kawan yang baik akan mendapatkan dua
kemungkinan yang kedua-duanya baik, yaitu seseorang akan menjadi
baik atau minimal ia akan memperoleh kebaikan dari apa yang
dilakukan oleh kawannya kala itu. Bergaul dengan kawan yang shaleh
86
akan mendatangkan banyak kebaikan, seperti penjual minyak wangi
yang akan memberikan manfaat dengan aroma minyak wanginya.
Kebaikan yang akan diperoleh seseorang yang berkawan dengan orang
shaleh tentu lebih banyak dan lebih utama daripada keharuman minyak
wangi.
Kawan yang baik akan mengajarkan kepada kawannya hal-hal
yang bermanfaat bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Ia akan
memberikan saran dan nasehat. Ia juga akan mengingatkan kawannya
untuk tidak mendekati hal-hal yang membuatnya celaka. Dan yang
terpenting, ia akan senantiasa memotivasi kawannya untuk taat kepada
Allah SWT dan bersabar dengan segala kekurangan yang dimilikinya.
Kawan yang baik akan mengajak kawannya untuk berakhlak terpuji,
baik dalam perkataan mau pun perbuatan. Karena, seseorang akan
terpengaruh oleh sahabat atau kawan dekatnya dalam tabiat dan
perilakunya. Keduanya saling terikat satu sama lain, baik dalam
kebaikan mau pun keburukan.
Selain kebaikan-kebaikan di atas, masih banyak manfaat lain
yang didapatkan dari kawan yang baik. Minimal, seseorang akan
tercegah dari perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji. Kawan yang baik
akan senantiasa menjaga kawannya dari maksiat dan mengajaknya
untuk berlomba-lomba melakukan kebaikan. Sebaliknya, bergaul
dengan kawan yang buruk juga akan mendatangkan dua kemungkinan
yang sama-sama buruk, yakni seseorang akan berperilaku buruk atau ia
87
ikut mendapat kerugian akibat keburukan yang dilakukan oleh
kawannya itu.
Orang yang bersifat buruk dapat mendatangkan bahaya bagi
orang yang berkawan dengannya. Betapa banyak orang yang hidupnya
hancur karena, keburukan kawan-kawan mereka. Oleh karena itu,
merupakan nikmat Allah SWT yang besar jika seseorang mendapatkan
kawan yang baik. Jangan sampai seseorang menyesal di dunia dan
akhirat karena, pengaruh kawan buruk yang membuatnya tergelincir
dari jalan kebenaran dan terjerumus dalam kemaksiatan (Effendy, 2012:
112-114).
Dalam berkawan alangkah baiknya, para penuntut ilmu memilih
kawan yang bersungguh-sungguh, warak, memiliki tabiat baik, dan
lainnya. Dan alangkah baiknya, para penuntut ilmu menghindari
berkawan dengan orang yang malas, pelit membagi ilmunya, banyak
bicara yang tidak bermanfaat, suka merusak, gemar memfitnah, dan
lainnya. Keburukan akhlak biasanya mudah menular dan menyebar,
sebaiknya para penuntut ilmu lebih berhati-hati dan selektif dalam
berkawan.
Imam Syafi‟i memberikan salah satu contoh tentang kawannya
yang enggan meminjamkan kitab-kitabnya pada beliau. Alkisah, saat
Imam Syafi‟i tiba di kota Baghdad, beliau mendatangi Syaikh
Muhammad ibn Al-Hasan salah seorang murid dari Imam Abu Hanifah
untuk meminjam kitab-kitab beliau, tetapi Syaikh Muhammad ibn Al-
88
Hasan tidak berkenan meminjaminya. Imam Syafi‟i adalah orang yang
sangat menghormati Syaikh Muhammad ibn Al-Hasan dan sering
memuji beliau. Kemudian Imam Syafi‟i mengirim surat kepada Syaikh
Muhammad ibn Al-Hasan dengan untaian syair berikut:
رش ػ١ ب ز ض ل سآ
سآ وب لج لذ سأ
ب ٠ج ل بي و ى فبق ا
أ ٠ ؼ ا أ ؼ ٠ أ
٠جز ؼ ؼ ل
Artinya: Katakan pada orang-orang yang engkau belum pernah melihat
sebuah mata yang semacamnya, jika ia melihat belum ada
yang semisalnya. Dan orang yang apabila orang lain
melihatnya, seakan-akan orang itu melihat orang yang
sebelumnya. Karena sesungguhnya apa yang ia sembunyikan,
mengungguli semua kesempurnaan. Ilmu melarang
pemiliknya, menghalangi orang yang berhak mendapatkan
ilmu untuk mendapatkannya. Semoga saja ia bersedia
memberikan, kepada orang yang berhak mendapatkan ilmu
itu, semoga saja (Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i, 2014: 90).
Setelah mendapatkan surat dari Imam Syafi‟i, Syaikh
Muhammad ibn Al-Hasan mengirimkan kepada Imam Syafi‟i banyak
sekali kitab-kitab melebihi yang pernah beliau inginkan dulu. Entah
sebab apa Syaikh Muhammad ibn Al-Hasan enggan meminjamkan
kitab-kitabnya kepada Imam Syafi‟i. Namun, Imam Syafi‟i secara tidak
langsung telah mengajarkan kepada para penuntut ilmu bahwa jangan
langsung berburuk sangka atau pun langsung mendendam kawan sebab
hal sepele. Melakukan siasat lain agar seorang kawan benar-benar
mengetahui sifat asli kawannya dengan cara lain, seperti Imam Syafi‟i
89
menggunakan cara halus dengan mengirimkan surat berupa bait-bait
syair yang membuat Syaikh Muhammad ibn Al-Hasan menjadi luluh
sehingga, meminjamkan kitab-kitabnya bahkan melebihi yang
diinginkan Imam Syafi‟i.
Jangan membuat diri sendiri menjadi orang yang pendendam.
Jika rajin mengikuti berbagai peristiwa, baik yang tersaji melalui media
massa atau pun yang langsung ditemui dalam kehidupan masyarakat,
banyak kasus negatif kehidupan manusia yang muncul disebabkan oleh
balas dendam. Balas dendam adalah tindakan emosional tanpa
memikirkan akibat buruk yang akan ditimbulkan di kemudian hari.
Tindakan semacam ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor yang tidak
mampu dikontrol lagi secara manusiawi. Itu sebabnya, banyak pula
yang mengklaim akibat perbuatan ini sebagai yang tidak manusiawi.
Sifat balas dendam yang disertai dengan mengorbankan orang lain
dalam ajaran Islam amat dicela dan karenanya, ini dikategorikan ke
dalam perbuatan akhlak yang tidak terpuji (Muttaqien, 2014: 25).
Islam mengajarkan kepada setiap orang beriman untuk
senantiasa berbuat kebaikan dan mempunyai hati yang mulia. Bahkan,
terhadap orang yang berbuat jahat sekali pun. Dalam batas-batas
tertentu, tetap diperintahkan untuk berbuat baik kepadanya, misalnya
dengan mendoakannya agar diberikan kesadaran atau pun tetap bersikap
baik kepadanya. Tujuan dari semua itu tidak lain adalah agar semua
orang terbiasa dan terpola untuk melakukan kebaikan dalam seluruh
90
aspek kehidupan. Tidak ada ruginya berbuat kebaikan, karena manfaat
dari kebaikan itu akan kembali pada diri sendiri, mulai dari
mendapatkan perlakuan dan penghargaan yang layak dari orang lain,
bahkan sampai mendapatkan pahala yang mulia di sisi-Nya dengan
mendapatkan nikmat surga-Nya (El-Sutha, 2009: 104).
Imam Syafi‟i pun menafikan rasa dendamnya dengan bersikap
baik dan ramah kepada siapa pun, sebagaimana beliau dendangkan
dalam syair berikut:
أحمذ ػ أحذ د ب ػف اد أسح ؼذا ا ذ فغ
ذ سؤ٠ز ػ ػذ أح١ ثبازح١بد ئ لدفغ اشش ػ
أثغع غب جشش ل ش ا أظ حجبد ج لذ حش ل وأ
Artinya: Saat aku memaafkan dan tidak menyimpan dendam kepada
seseorang, jiwaku terlepas dari susahnya permusuhan. Aku
menghormati musuhku saat melihatnya, supaya terhindar
keburukan dariku dengan penghormatan tersebut. Aku
menampakkan keramahan kepada manusia yang aku benci,
seakan-akan hatiku penuh dengan cinta (Diwan Al-Imam Asy-
Syafi‟i, 2014: 39).
Imam Syafi‟i menganjurkan agar pribadi masing-masing belajar
memaafkan segala kesalahan siapa pun dan bersikap ramah kepada
siapa pun, meski pun kepada orang yang dibenci. Sikap ramah itu harus
ditampilkan dalam wajah yang ceria dan murah senyum, seperti orang
yang sedang jatuh cinta. Keramahan adalah salah satu nilai akhlak
mulia yang terkandung dalam syair di atas. Dan Imam Syafi‟i
menganjurkan untuk bersikap diam terhadap orang yang suka
menghina. Anjuran untuk diam dan tidak menanggapi penghinaan
91
tersebut dinilai sebagai jawaban yang tepat atas penghinaan yang
terjadi. Sikap ini merupakan prinsip akhlak yang mulia (Fahmi, 2014:
189-190).
Berbuatlah yang baik dan terbaik, niscaya kelak akan
mendapatkan yang baik dan terbaik pula. Inilah prinsip hidup yang
tidak diragukan lagi kebenarannya. Adalah suatu hukum yang tidak bisa
ditolak bahwa „Untuk memperoleh, maka harus memberi‟. Setiap orang
pasti akan memetik apa yang telah ditanamnya. Tanamlah kebaikan,
maka engkau akan memetik kebaikan. Sebaliknya, jika engkau
menanam keburukan, maka keburukan pula yang akan engkau petik.
Hasil akan selalu berbanding lurus dengan usaha dan upaya yang telah
dilakukan (El-Sutha, 2009: 106-107).
Berkumpul dengan orang-orang shaleh adalah sebuah cara untuk
tetap dapat menjaga dan mengembangkan potensi kebaikan yang ada
dalam diri. Di dalam teori pengembangan modern juga diakui, bahwa
salah satu faktor yang dapat memengaruhi perkembangan moral
manusia adalah lingkungan tempat tinggal. Di dalam Islam dinyatakan,
bahwa sebaik-baik rumah adalah yang dekat dengan masjid. Rumah
dekat dengan masjid akan selalu mengingatkan seseorang untuk selalu
melaksanakan shalat dan menjauhkan diri dari perilaku-perilaku buruk
dan jahat. Kehadiran kawan-kawan juga dapat memengaruhi semangat
belajar seseorang. Karena itu, berkawan dengan orang-orang yang baik,
92
rajin, dan bersungguh-sungguh dalam belajar tentu akan mempermudah
penuntut ilmu untuk mencapai hasil seperti yang diharapkan.
5. Sabar dalam menghindari hawa nafsu dan meninggalkan maksiat
Roda kehidupan terus berputar, begitu pun dengan kesedihan
dan kesenangan terus bergulir dalam kehidupan. Setiap saat manusia
bergelut dengan hal yang sesuai dan tidak sesuai dengan harapan.
Ketika mendapatkan hal yang sesuai dengan harapan, rasa syukur
memenuhi hati. Namun demikian, sabar tak bisa ditinggalkan karena,
kesabaran membuat manusia mampu bertahan dari godaan nafsu yang
melalaikan dan membuat lupa diri. Sebaliknya, ketika manusia
mendapatkan hal yang tidak sesuai dengan harapan, sabar menjadi
pilihan yang utama sehingga, manusia tidak menjadi lemah dan putus
asa (Asma, 2010: 11).
Sabar yang tertinggi derajatnya adalah sabar yang berasal dari
kehendak personal dalam melawan segala dorongan hawa nafsu tercela.
Secara psikologi, manusia mempunyai dua kekuatan yang bekerja di
dalam dirinya. Salah satunya adalah „kekuatan pendorong‟, yang
mendorong ia untuk melakukan suatu tindakan, dan yang lain adalah
„kekuatan penahan‟, yang menahan ia untuk melakukan suatu tindakan.
Sabar pada intinya mengarahkan kekuatan pendorong agar mendorong
manusia untuk melakukan perbuatan yang baik, dan mengarahkan
kekuatan penahan untuk menahan manusia dari tindakan yang bisa
merugikan dirinya sendiri atau orang lain (Al-Jauziyyah, 2010: 16).
93
Manusia selalu diuji dengan hawa nafsu, selalu menginginkan
segala macam kenikmatan hidup, kesenangan, dan kemegahan dunia.
Manusia tidak seperti hewan yang tidak memiliki kehendak dan
keinginan. Setiap saat manusia mengalami berbagai macam gejolak,
oleh karena itu, manusia harus memiliki dua peredam, yaitu akal sehat
dan agama. Maka, manusia diperintahkan untuk mengangkat seluruh
hawa nafsu kepada agama dan akal sehat. Dengan begitu, manusia
harus selalu memperhatikan hasil yang baik dan kesembuhan yang
didapat dari seteguk kesabaran, dan selalu mengingat pahitnya
kepedihan yang dirasakan daripada kelezatan menuruti kehendak hawa
nafsu. Kedudukan dan martabat di sisi Allah SWT dan di hati para
hamba-Nya yang terpilih lebih baik dan berguna daripada kelezatan
mengikuti tuntutan hawa nafsu. Di samping itu, manusia hendaknya
lebih mengutamakan manis dan lezatnya menjaga kesucian diri dan
kemuliaannya daripada kelezatan kemaksiatan (Syukur, 2013: 49).
Di dunia ini banyak sekali godaan hawa nafsu dalam menuntut
ilmu yang pada akhirnya membuat para penuntut ilmu melakukan
perbuatan maksiat. Sebagai contoh, malasnya belajar, banyaknya tidur,
seringnya bermain, seringnya berbaur dengan lawan jenis hingga
timbulnya perasaan saling suka lalu menjalin suatu hubungan yang
secara langsung sudah menjerumuskannya untuk berbuat kemaksiatan,
dan lain sebagainya. Berikut bait-bait syair Imam Syafi‟i agar para
penuntut ilmu tetap konsisten serta fokus pada niat awal tujuan
94
menuntut ilmu dan meninggalkan perbuatan yang jelas-jelas tidak
disukai serta dilarang oleh Allah SWT:
أز ؼ م١ح ا ز غ١ت ػبق عش غب١بح ص
ػ صفحبرب صش٠ش ؼشبق ألل ا وبء اذ أح
ب أز فزبح ذف مش ا سال أ ػ م اش ل مش
٠صخ ػ غشث ب ح ب٠ خ عبق ر ذا ف اذسط أش
رج١ز ج اذ شا ؟ أث١ذ ع ثؼذ ران حبل رجغ ب
Artinya: Belajar pada waktu malam terasa lebih lezat bagiku daripada
berhubungan dengan biduan yang cantik juga pelukan yang
wangi. Dan goresan-goresan penaku di atas lembaran kertas,
lebih terasa manis daripada menggauli wanita dan
kerinduan para pecinta. Dan terasa lebih lezat pukulanku
pada lembaran kertas untuk menghilangkan debu daripada
tabuhan seorang gadis pada rebananya. Dan terhuyung-
huyungku sebab kebingungan mengurai sebuah kalimat yang
sulit dalam belajar, lebih membuatku senang daripada
mabuk sebab minum arak. Aku arungi gelapnya malam
dengan terjaga sedangkan engkau menghabiskannya dengan
tidur, apakah engkau masih juga berharap untuk bisa
menandingiku? (Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i, 2014: 81).
Syair ini menjelaskan tentang manisnya ilmu. Menurut Imam
Syafi‟i, untuk merasakan manisnya ilmu seperti halnya merasakan
nikmatnya mandi di kolam, harus menceburkan diri ke dalamnya.
Beliau ingin berbagi pengalaman dengan orang lain melalui media syair
tentang bagaimana beliau mencapai semua itu dengan malam-malam
yang penuh derak-derak bunyi pena yang menari dengan lincah di atas
kertas. Kenikmatan tersebut menjadikannya sibuk dengan belajar di
malam hari dan memalingkannya pada perbuatan maksiat. Mungkin
perbuatan inilah yang bisa dicontoh dari Imam Syafi‟i untuk
95
menghindari hawa nafsu dan meninggalkan maksiat. Namun, ternyata
dengan manisnya ilmu saja tidak cukup untuk menghindari hawa nafsu
yang berdampak maksiat. Manisnya ilmu hanya sebuah tameng kecil
untuk berlindung.
Sejak awal perjalanannya dalam menuntut ilmu, Imam Syafi‟i
berpegang teguh pada istiqamah dan menjauhi maksiat serta dosa,
tampaknya beliau mengambil manfaat yang tidak sedikit dari nasehat
Imam Malik ibn Anas untuknya ketika beliau mengatakan kepadanya:
“Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah SWT sebab Dia telah
meniupkan cahaya ke hatimu dan jangan padamkan cahaya dengan
maksiat, karena kamu akan memiliki suatu kedudukan.”
Sebagaimana beliau juga mengambil manfaat yang besar dari
nasehat gurunya, Imam Waki‟ ibn Jarrah yang diungkapkan Imam
Syafi‟i dalam bahasanya (Syurbashi, 2006: 263), sebagai berikut:
ء حفظ و١غ ع د ئ شى ؼبص ئ رشن ا فأسشذا
س ؼ ا ثأ أخجش ذ ؼبص س للا ل ٠
Artinya: Aku mengadu kepada Imam Waki‟ tentang buruknya
hafalanku, beliau lalu memberiku petunjuk agar aku
meninggalkan kemaksiatan. Dan beliau menyampaikan
kepadaku, sesungguhnya ilmu adalah cahaya dan cahaya
Allah tidak dianugerahkan kepada orang yang bermaksiat
(Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i, 2014: 71).
Dalam syair ini, Imam Syafi‟i mengadu kepada Imam Waki‟
tentang sebab hafalannya yang sedang buruk padahal, beliau tidak
pernah meninggalkan belajar dan memiliki daya ingat yang kuat. Imam
Waki‟ pun menyarankan agar Imam Syafi‟i untuk benar-benar
meninggalkan kemaksiatan, karena ilmu adalah cahaya Allah SWT dan
96
cahaya Allah SWT tidak akan diberikan kepada pemaksiat. Berkaitan
hal ini, syaikh-syaikh Makkah berkata tentang Imam Syafi‟i, “Beliau
tak pernah merayu wanita”. Imam Syafi‟i banyak beribadah dan
mengerjakan shalat tahajjud, cukuplah diketahui bahwa beliau membagi
waktu malamnya menjadi 3 bagian, sepertiga untuk menulis, sepertiga
untuk shalat dan tahajjud, dan sepertiga untuk tidur (Syurbashi, 2006:
264). Jelas sudah, syair ini menganjurkan para penuntut ilmu agar
benar-benar meninggalkan maksiat dan bujuk hawa nafsu. Dan inilah
yang menjadi sebab susahnya menyerap ilmu dan seringnya lupa akan
ilmu.
Jika para penuntut ilmu menghendaki „kesuksesan‟ dalam
kehidupan ini, maka mereka harus bersabar dengan disertai tekun
belajar dan bekerja keras. Jika mereka menghendaki untuk
mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, maka mereka harus bersabar
untuk taat kepada Allah SWT dan bersabar untuk menjauhi segala
larangan-Nya (Hartanto, 2012: 22).
Banyaknya godaan dan rintangan membuat para penuntut ilmu
harus bersabar dalam menghindari hawa nafsu dan meninggalkan
maksiat. Sabar bila timbul rasa malas, terlalu banyak rasa ingin selalu
tidur, dan sebagainya. Lalu apa yang harus para penuntut ilmu perbuat
agar tetap semangat dalam menuntut ilmu? Selalu konsisten terhadap
apa yang dicita-citakan, mencari cara penguat hafalan, seperti hal-hal
yang dapat menguatkan hafalan atau mudah hafal adalah dengan
97
kesungguhan, mengulang-ulang atau dilakukan secara terus-menerus,
menuliskan atau mencatat kembali apa yang telah dihafal, mengerjakan
shalat malam dengan kerendahan diri dan kekhusyukan serta membaca
Al-Qur‟an. Dan para penuntut ilmu harus menghindari hal-hal yang
menyebabkan lupa yakni banyak melakukan kemaksiatan dan gelisah
karena, terlalu sibuk memikirkan urusan dunia.
Orang yang berakal janganlah sampai terlena dengan urusan
dunia, karena akan membahayakan dan sama sekali tidak ada
manfaatnya. Terlena dan terlalu sibuk terhadap urusan dunia tidak
terlepas dari akibat kegelapan di dalam hati, sedangkan sibuk terhadap
akhirat tidak terlepas dari akibat cahaya yang ada di dalam hati. Cahaya
itu akan terasakan di dalam hati ketika shalat. Terlena kepada dunia
akan menghalangi berbuat kebajikan, tetapi terlena kepada akhirat akan
membawa kepada amal kebajikan. Dan dengan mempelajari berbagai
ilmu pengetahuan akan dapat menghilangkan kegelisahan di dalam hati.
Melaksanakan shalat dengan khusyuk juga dapat mengatasi kegelisahan
di dalam hati. Shalat dengan khusyuk juga akan dapat lebih
memudahkan mencapai kesuksesan belajar. Salah satu fungsi shalat
adalah mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar. Dan terjaganya
diri dari perbuatan keji dan munkar adalah salah satu syarat agar ilmu
dapat masuk dengan mudah ke dalam hati dan akal para penuntut ilmu.
Kehidupan ini adalah tempat manusia menuntut ilmu untuk bekal
ketika suatu hari nanti ia pulang ke rumah-Nya. Maka, sudah sejauh mana ia
98
mempersiapkan ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya, ilmu-ilmu yang telah
dibaginya, dan sikap yang telah diberikannya sebagai penuntut ilmu. Dalam
proses menuntut ilmu tentunya para penuntut ilmu dihadapkan dengan
berbagai macam ujian dan cobaan, berbagai macam kesedihan, dan berjuta
kebahagiaan. Orang-orang yang menuntut ilmu sudah sejatinya memiliki
kesabaran seluas lautan, setinggi langit, sesejuk angin, dan sehangat mentari
yang menyinari perut bumi. Untuk itu, para penuntut ilmu harus memahami
betul pentingnya belajar dengan menuntut ilmu.
Orang-orang yang menuntut ilmu adalah orang-orang yang akan
diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Namun, banyak kasus yang menimpa
para penuntut ilmu ketika mereka dihadapkan oleh suatu permasalahan atau
hambatan yang meluluh-lantahkan semangatnya dalam menuntut ilmu.
Maka, satu hal yang harus mereka tanamkan adalah sabar dalam menuntut
ilmu. Sabar adalah sebuah kesadaran bahwa hal yang menyakitkan di hati,
apa pun bentuknya bukanlah sebuah petaka melainkan semua itu adalah
bentuk cobaan yang melahirkan satu keyakinan bahwa hidup ini adalah
perjalanan yang di dalamnya ada ujian dan cobaan, di mana keduanya
merupakan bentuk kasih sayang dan perhatian Allah SWT kepada manusia.
Dengan itu semua, para penuntut ilmu bisa lebih banyak belajar dan
lebih bijak dalam mengendalikan otak dan perasaan, bukan lantas disesali
dengan frustasi, melainkan mereka harus lapang dada, ikhlas menerima, dan
tetaplah berusaha sekuat tenaga. Kuncinya sabar adalah mentalitas. Maka,
untuk para penuntut ilmu yang saat ini sedang dirundung duka, dilanda
99
kegalauan akut, sedang berada pada titik jenuh, mulai lelah, dan lapar,
kembalilah kepada-Nya. Memang sabar merupakan hal yang gampang
diucapkan, namun berat untuk dijalani oleh semua orang. Maka dari itu,
mereka memerlukan suatu proses untuk mencapai pada sebuah kesabaran
yang hakiki.
Bentuk ujian atau musibah dalam hidup yang dihadapi oleh manusia,
tak pernah peduli serta memandang apa pun statusnya. Apakah laki-
perempuan, tua-muda, besar-kecil, atau kaya-miskin. Semua akan melalui
fase ujian yang sama. Hanya soal waktu dan seberapa berat materi ujiannya.
Hal itu mutlak menjadi rahasia Allah SWT, yang jelas semua itu semestinya
membuat manusia semakin tambah bersyukur kepada Allah SWT.
Sebabnya? Sebab kemurahan-Nya, Allah SWT berkenan memberi manusia
„bocoran‟ rahasia tentang macam-macam ujian dan musibah yang bakal
mereka hadapi selama berada di dunia ini. Termasuk para penuntut ilmu pun
sebetulnya telah diberi bekal oleh Allah SWT tentang kunci rahasia untuk
menghadapi berbagai macam ujian tersebut.
Jadi, bila diresapi sungguh-sungguh, sebetulnya tak ada tempat bagi
manusia untuk berkecil hati atau putus asa ketika sedang dihadapkan dengan
berbagai macam ujian dan musibah. Sebab, jauh sebelum manusia itu
dihujani dengan berbagai macam ujian atau musibah, Allah SWT telah
mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan processing ujian dan
musibah tersebut, yang mana kelak bakal dihadapi dengan sebaik-baiknya.
Itulah bukti nyata dari kasih sayang Allah SWT (Azka FM, 2012: 23-24).
100
Sejatinya ujian dan cobaan bertubi-tubi yang menerpa hidup manusia dalam
menuntut ilmu merupakan salah satu ketentuan yang telah ditetapkan Allah
SWT, yang mana tak ada para penuntut ilmu yang mampu menghalaunya
selain dengan kokohnya pondasi kesabaran tuk hadapi badai cobaan demi
meraih kemenangan yang mereka cita-citakan. Maka, dengan sabar
hilanglah noda kejahilan dan kelak kelezatan ilmu akan dirasakan.
B. Relevansi Konsep Sabar dalam Menuntut Ilmu pada Kitab Diwan Al-
Imam Asy-Syafi’i di Era Modern
Nihil bila hidup terlepas dari problematika menjalani kehidupan,
terkadang suasana hati berubah-ubah dari detik ke detik, menit ke menit,
hari ke hari, dan dalam situasi yang berbeda. Permasalahan hidup yang ada
pada seseorang memerlukan adanya suatu penyelesaian, salah satunya
dengan sifat sabar. Sabar berarti keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan
konsekuen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan serta pendiriannya
tidak berubah, bagaimana pun berat tantangan yang dihadapinya. Dengan
sabar pula, seseorang tidak akan mengambil jalan pintas. Banyak orang
yang menghalalkan segala cara. Namun, kini sabar hanya menjadi lip
service saja. Sabar seolah-olah barang langka. Padahal, orang yang bersabar
merupakan aset yang tak terkira nilai dan harganya. Zaman sekarang pun,
kebanyakan orang ingin semua hal serba instan, cari yang mudah serta
melupakan tekad usaha. Seperti halnya dalam menuntut ilmu, para penuntut
ilmu pun tak sedikit yang mengambil jalan pintas yang instan demi meraih
kesuksesan, sebab mereka belum sanggup melatih diri untuk bersabar.
101
Pendidikan adalah ujung tombak peradaban manusia. Manusia dapat
dilihat kemajuan peradabannya menurut tingkat pendidikannya. Kebutuhan
manusia akan pendidikan menjadi sangat penting karena, pendidikan dapat
membentuk dan mempersiapkan manusia menjadi pribadi yang disiplin dan
hidup bermakna. Kebermaknaan hidup manusia menjadikannya
berkembang dari satu waktu ke waktu. Dengan demikian, pendidikan
mempunyai tugas ganda, yakni mengembangkan kepribadian manusia
secara individual dan mempersiapkan manusia sebagai anggota penuh
dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan lingkungan
dunianya (Fahmi, 2014: 182).
Dalam kenyataan sejarah perkembangan Islam, proses belajar-
mengajar itu menimbulkan perkembangan ilmu, yang lama mau pun baru,
dalam berbagai cabangnya. Ilmu telah menjadi tenaga pendorong perubahan
dan perkembangan masyarakat. Hal itu terjadi karena ilmu telah menjadi
suatu kebudayaan. Dan sebagai unsur kebudayaan, ilmu mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat Islam di masa lampau
(Noer, 2014: 14-15).
Para penuntut ilmu di masa lampau tidak sama dengan para penuntut
ilmu di masa kini yang telah dimanjakan oleh berbagai fasilitas dan
kemudahan sarana. Di masa salafus shaleh para penuntut ilmu terbiasa
dengan lingkungan yang „keras‟ dalam menuntut ilmu. Kekerasan yang
dimaksud bukan bersinggungan dengan dimensi kehidupan yang memang
dari dulu tetap akan menampakkan dinamika sesuai dengan kondisi
102
geografis dan sosio kultural sebuah komunitas penduduk, namun pada
tatanan penciptaan dan penataan lingkungan belajar yang membuat sebuah
habitat terjerat untuk selalu bersaing secara sehat untuk mencari dan
menghimpun ilmu sebanyak-banyaknya dengan cara menulis dan menghafal
sampai mencapai derajat dan gelar sebagai „Imam‟. Kondisi yang sangat
maju ini kemudian, dimunculkan sebagai sebuah budaya teks atau hafalan
oleh Barat dan para orientalisnya, sehingga timbul kesan bahwa budaya
Islam itu hafalan, kaku, dan stagnan. Jelas, ini sebuah pemutarbalikan fakta
yang sangat mengganggu „stabilitas keilmuan tradisional‟ (Thabrani, 2006:
202).
Dalam sejarah keilmuan Islam yang begitu luar biasa, para penuntut
ilmu akan dibuat malu dan merasa minder dengan kesungguhan dan
kegigihan para ulama dalam mencari ilmu. Bagaimana pengorbanan mereka
hanya demi mendapatkan sebuah hadits, bagaimana pengorbanan Imam
Bukhari dalam mengumpulkan hadits dari tempat-tempat yang jauh. Begitu
juga, Imam Muslim yang rela meninggalkan tempat tinggalnya selama
beberapa tahun demi berguru guna mengumpulkan hadits. Para penuntut
ilmu di masa kini tidak akan bisa mendapatkan kemudahan dalam belajar
hadits, apabila para ulama dahulu tidak memiliki kesungguhan yang tinggi
dalam menuntut ilmu.
Para ulama zaman dahulu pun rela mengorbankan harta bendanya
untuk melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu. Abu Hatim yang
menjual bajunya untuk dapat menuntut Ilmu, Imam Malik ibn Anas menjual
103
kayu atap rumahnya untuk bisa menuntut ilmu, bahkan Al-Hamadzan Al-
Athar, seorang syaikh dari Hamadzan yang rela menjual seluruh warisannya
untuk biaya menuntut ilmu. Inilah semestinya jati diri para penuntut ilmu,
mencurahkan segala kemampuan baik materi atau apa pun yang dimilikinya
hingga mereka menggapai cita-citanya, hingga mereka mumpuni dalam
bidang keilmuan dan kekuatannya, baik hafalan, pemahaman mau pun
kaidah dasarnya.
Begitu pula dengan ulama faqih madzhab fiqih terkemuka dalam
Islam yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat muslim, apalagi muslim
di Indonesia yang mayoritas menganut madzhabnya, yakni Imam Syafi‟i
yang berjuang menakhlukkan aral kemiskinan dalam menuntut ilmu hingga,
mencapai surga keilmuan berkat kesabarannya. Alkisah, pada masa itu
harga kertas sangat mahal. Untuk mencatat pelajaran, beliau mengumpulkan
kepingan-kepingan tulang yang lebar dan besar. Di atas tulang-tulang itulah
beliau menulis catatan-catatannya. Bila tak ditemukan tulang, beliau pergi
ke diwan (tempat masyarakat mencatatkan berbagai urusannya dalam
kehidupan sehari-hari, semacam kantor) untuk mengumpulkan buangan
kertas yang bagian belakangnya masih dapat digunakan untuk menulis
catatan-catatan pelajaran.
Dikarenakan sulitnya mendapatkan kertas-kertas tersebut Imam
Syafi‟i lebih mengandalkan ingatan melalui cara menghafal. Kebiasaan
itulah yang menyebabkan Imam Syafi‟i memiliki daya ingat yang kuat,
sehingga dapat mengingat semua pelajaran yang diterima dari guru-gurunya
104
(Syafaruddin, 2015: 108). Dan dikisahkan pula oleh muridnya, ketika beliau
sedang mengajar di majelisnya. Dengan senyum tipis dan raut muka
menyiratkan keridhaan dan kesederhanaan, Imam Syafi‟i duduk di antara
murid-muridnya. Beliau bercerita tentang penderitaan yang pernah
dilaluinya. Saat beliau menakhlukkan berbagai rintangan yang
menghalanginya untuk belajar. Beliau berkata: “Selama 16 tahun, makanku
hanyalah adonan basah dan sebiji kurma. Aku makan hanya untuk
menguatkan tubuhku.” Ada yang bertanya, “Apa yang engkau maksud
wahai Abu Abdullah?” jawab Imam Syafi‟i, “Aku ingin bisa menghafal ilmu
dan fiqih” lanjutnya, “Aku menyerahkannya kepada Allah SWT, setelah itu
Allah SWT mengaruniakannya kepadaku.” Imam Syafi‟i mengajarkan
kepada murid-muridnya agar selalu bersabar dalam menuntut ilmu (Al-
Minsyawi, 2009: 5-6).
Segala usaha untuk meraih kesuksesan senantiasa beliau lakukan
dengan gigih, penuh semangat dan tekad, serta ketabahan agar kemiskinan
yang dirasakannya dapat terangkat dan hilang dari beliau (Hikmah, 2014:
20). Dan kini, usaha beliau dahulu kala telah menghasilkan ratusan kitab
dan buku, serta para murid yang meneruskan perjuangan beliau dalam
menulis kitab dan buku, seperti kitab yang penulis gunakan ini.
Setiap orang yang menuntut ilmu harus berani menempuh kesulitan
demi kesulitan yang menghadangnya. Dan tidak ada yang instan atau mudah
di dunia ini, seperti halnya orang yang mencari harta harus melalui kerja,
apalagi mencari ilmu, ya tentu harus sekolah dan rajin belajar. Alangkah
105
baiknya para penuntut ilmu terus berusaha memaksa dirinya untuk meraih
ilmu, bersungguh-sungguh, dan rajin dengan cara menghayati keutamaan
ilmu. Karena, sesungguhnya ilmu itu abadi, sedang harta benda itu akan
binasa (Muttaqien, 2014: 12). Berikut nasehat Imam Syafi‟i yang semoga
dapat mengubah mindset para penuntut ilmu yang sudah lelah dengan
menuntut ilmu serta ingin dan sudah menyerah dengan cara yang instan:
ب ذ ػب شء ٠ ف١ظ ا ١ظ أ رؼ جب و ػ خ
ذ ػ ل ػ م وج١ش ا ئ جحبف ا زفذ ػ١ صغ١ش ئرا ا
ب ػب وب ئ م صغ١ش ا ئ حبف ا وج١ش ئرا سدد ئ١
Artinya: Belajarlah! Seseorang tidak dilahirkan sebagai ilmuwan, seorang
pemilik ilmu tidak akan pernah sama dengan orang yang tak
memilikinya (orang bodoh). Pemimpin suatu kaum yang tidak
memiliki ilmu, akan tampak kecil jika dikelilingi oleh pasukannya.
Orang yang kecil di tengah satu kaum jika memiliki ilmu, akan
tampak besar di tengah masyarakatnya (Diwan Al-Imam Asy-
Syafi‟i, 2014: 88).
Sungguh dalam nasehat di atas, menggambarkan bahwa kemuliaan
ilmu tidak serta merta diraih secara mudah dan singkat. Tapi, perlu adanya
usaha dari sang pendamba ilmu tersebut. Usaha yang dimaksud adalah
belajar dengan giat dan tekun, sehingga kelak menjadikannya cerdas dan
berpotensi. Anggaplah tak ada alasan yang membuat para penuntut ilmu
menyerah dalam menuntut ilmu. Sejatinya, tidak ada yang tidak mungkin
jika Allah SWT menghendaki atas apa yang telah diusahakan dengan belajar
giat dan tekun ini.
Imam Syafi‟i pernah ditanya, “Bagaimana ambisi anda untuk
mendapatkan ilmu?” Beliau menjawab, “Seperti ambisi orang yang tamak
106
terhadap dunia dan bakhil ketika memperoleh kelezatan harta.” Lalu
ditanyakan kembali kepada beliau, “Seperti apakah anda di dalam mencari
ilmu?” Beliau menjawab, “Seperti pencarian seorang wanita yang
kehilangan anak satu-satunya.” Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
dalam menuntut ilmu dibutuhkan kesungguhan dan semangat yang kuat.
Kesungguhan dan semangat yang kuat inilah kelak dapat menghantarkan
para penuntut ilmu kepada keberhasilan dalam menuntut ilmu (Syafaruddin,
2015: 118).
Menuntut ilmu dan mengembangkan ilmu itu tidak semudah
menikmati hasil, di balik kesuksesan tentu ada perjuangan besar, dalam
menuntut ilmu pun tentu akan ditemukan banyak rintangan, baik berupa
hambatan serta ujian yang timbul dari dalam atau pun jiwa sendiri, seperti
menghadapi pendidik yang sifatnya keras, cepatnya waktu berlalu,
mahalnya biaya pendidikan, goyahnya kesehatan, kecerdasan yang
terkadang menjadi sebuah perbandingan, dan keikhlasan yang hakikatnya
harus tertanam dalam jiwa. Orang yang ikhlas dalam menuntut ilmu akan
Allah SWT mudahkan ia dalam perjalanannya, rintangan yang ada bukanlah
hambatan untuk melangkah pergi menuntut ilmu dan mengembangkan ilmu.
Bukankah orang yang menuntut ilmu sama halnya sedang berada di jalan
Allah SWT sampai ia kembali.
Keterbatasan keadaan yang ada pada diri para penuntut ilmu, berupa
materi atau pun fisik seharusnya, tidak menjadi penghalang untuk
melakukan amal-amal shaleh seperti halnya menuntut ilmu dan
107
mengembangkan ilmu. Apabila para penuntut ilmu menerima ketetapan
tersebut dengan sabar, maka Allah SWT akan senantiasa memberikan
petunjuk dan rahmat-Nya. Dengan petunjuk dari Allah SWT, maka suatu
saat kelak jalan yang serasa sempit menjadi luas, hal yang sulit menjadi
mudah dan keadaan yang gelap akan menjadi terang benderang (Asma,
2010: 209).
C. Implikasi Konsep Sabar dalam Menuntut Ilmu pada Kitab Diwan Al-
Imam Asy-Syafi’i di Era Modern
Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian. Itulah, pepatah yang sering didengar.
Pepatah yang menggambarkan bagaimana sebaiknya menyikapi perjalanan
hidup ini, yaitu jangan pernah menyerah dan jangan pernah berputus asa.
Karena, memang begitulah konsekuensi hidup. Namun, tak sedikit yang
beranggapan, buat apa seseorang harus naik rakit untuk bisa pergi ke hulu,
sementara ada cara lain yang lebih enak dan nikmat yang bisa ditempuh?
Misalnya, dengan cara naik kapal atau helikopter.
Mengapa harus bersakit-sakit dahulu untuk bisa meraih kesenangan,
sementara ada cara lain yang lebih singkat? Bodoh namanya, jika untuk
meraih kesenangan ia harus bersusah payah terlebih dahulu, sedang jelas-
jelas ada cara lain yang lebih mudah. Anggapan yang demikian, tidak
sepenuhnya salah. Begitulah watak manusia pada umumnya. Mereka ingin
hidup dengan cara yang serba instant. Apalagi bagi manusia zaman akhir
seperti sekarang ini. Bila memang ada cara yang super cepat dan gampang,
108
mengapa harus berlama-lama dan bersusah payah? Jadi, wajar jika
kebanyakan orang ingin memilih cara yang gampang untuk bisa meraih
nikmat (Azka FM, 2012: 1-4).
Setiap insan yang hidup di muka bumi ini pasti pernah mengalami
suka dan duka. Tak ada insan yang diberi duka sepanjang hidupnya karena,
ada kalanya manisnya hidup juga menghampirinya. Demikian pula
sebaliknya, tak ada insan yang terus merasa suka karena, pasti suatu ketika
duka menyapanya. Jika demikian, tidaklah salah apabila ada pepatah yang
mengatakan, „Kehidupan ini ibarat roda yang berputar.‟ Terkadang di atas,
terkadang di bawah. Terkadang bangun dan sukses, terkadang jatuh dan
bangkrut. Terkadang kalah, terkadang menang. Terkadang susah, terkadang
bahagia. Dan terkadang suka, terkadang duka. Begitulah kehidupan di dunia
ini, kesengsaraan dapat berganti bahagia, namun kebahagiaan tidaklah kekal
adanya (Syukur, 2013: 12).
Ibarat manusia berada di tengah samudra luas, jika ingin selamat
sampai ke pantai, tentu ia harus berusaha berenang dengan sungguh-
sungguh. Atau meminta pertolongan agar tidak tenggelam ditelan
gelombang. Begitulah konsekuensinya, jika ingin selamat. Sama halnya
dengan hidup di dunia ini, jika ingin selamat dalam mengarungi perjalanan
hidup, jangan sekali-kali manusia menolak pertolongan dari Allah SWT.
Sebab, jika menolak pertolongan-Nya, sama saja artinya ia telah menggali
kuburannya sendiri. Namun faktanya, banyak orang yang mengaku punya
otak, bisa berpikir, bisa membedakan yang benar dan salah, punya harta,
109
kedudukan, dan ilmu pengetahuan tinggi itu malah seringkali menolak
pertolongan yang dikirim Allah SWT untuk dirinya. Buktinya apa? Lihatlah
bagaimana sikap orang-orang yang mengaku mulia itu tatkala mereka
dihujani dengan berbagai masalah atau ujian. Sebagian besar di antara
mereka justru berlomba-lomba untuk lari dan melepaskan diri dari masalah,
musibah, atau pun ujian (Azka FM, 2012: 9-10).
Sabar pun menjadi kunci jawabannya. Orang-orang yang sabar
adalah orang-orang yang mampu melewati segala tantangan kehidupan
dengan baik. Sabar menjadi kekuatan yang ampuh dalam menghadapi
berbagai tantangan dan cobaan hidup. Orang-orang yang sabar saat ditimpa
kesulitan akan tegar menghadapi kesulitan tersebut untuk kemudian bangkit.
Ketegaran inilah yang akan memberikannya jalan keluar. Ketika seseorang
mampu keluar dari satu kesulitan, dirinya akan bertambah kuat menghadapi
berbagai tantangan lainnya di depan. Begitu seterusnya, setiap ia mampu
melewati kesulitan, ia akan siap menghadapi tantangan dan kesulitan yang
lebih besar. Bila seseorang sudah siap menghadapi tantangan dan rintangan
yang lebih besar, artinya ia telah menyiapkan diri untuk kesuksesan yang
lebih besar. Seperti diketahui, semakin tinggi prestasi dan jabatan seseorang,
semakin besar pula tantangan dan rintangan yang akan dihadapinya.
Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula tiupan angin yang
menerpanya. Karena itulah, kesabaran dalam hidup manusia tidak ada
batasnya.
110
Semakin besar ujian dan rintangan, akan memperbesar pula
kesempatan untuk meraih prestasi yang lebih baik. Bukankah seseorang jika
ingin kariernya naik tidak bisa melepaskan diri dari tugas dan tanggung
jawab yang lebih besar dan berat? Sabar, dengan demikian, adalah tangga di
mana seseorang akan mampu menghadapi berbagai tantangan di depannya
dengan baik, sekaligus menjadikan dirinya menjadi lebih maju dari waktu
ke waktu. Dengan prestasi yang semakin baik inilah, terbuka kemungkinan
untuk bisa semakin bermanfaat bagi orang banyak. Karena itulah, jika ada
rintangan, halangan, mau pun cobaan yang menimpa seseorang,
bersyukurlah karena itulah cara terbaik dalam melatih kesabaran. Saat
seseorang melatih kesabaran, di situlah ia melatih pribadinya untuk
menyongsong kesuksesan yang lebih besar. Percayalah bahwa di balik
semua cobaan, rintangan, dan halangan yang ada dalam hidup, pertolongan
Allah SWT sangat dekat (Zainudin, 2012: 104-107).
Imam Syafi‟i pun menganjurkan agar manusia selalu menjaga
keindahan sabar ketika menghadapi masalah, musibah, ujian, atau pun
kegalauan. Sebab, kebahagiaan setelah kesulitan atau kelapangan sesudah
kesempitan, itu sangat dekat dengan orang yang bersabar. Karena itu,
menurut Imam Syafi‟i, manusia yang menjaga ketaatan pada perintah Allah
SWT, termasuk perintah sabar, akan meraih keselamatan dan kemenangan
dari semua urusan yang dihadapinya (Fahmi, 2014: 188). Dalam hal ini,
Imam Syafi‟i mendendangkan syairnya berikut:
111
فز ذ للا شة بصخ ٠ع١ك ب ا ػ ب خشط رسػ ب ا
ذ حمبرب ب اعزحى ب ل رفشط ظبلذ ف ذ أظ و فشجذ
Artinya: Terkadang musibah yang menimpa seorang pemuda (seseorang)
membuat dadanya semakin sesak, padahal di sisi Allah ada jalan
keluarnya. Semakin menjadi sempit, tatkala tali yang mengikatnya
semakin kuat, Allah menganugerahkan jalan keluar, padahal
sebelumnya ia menyangka tak ada lagi jalan keluar (Diwan Al-
Imam Asy-Syafi‟i, 2014: 48).
Menjadi pribadi yang sabar memang tidak semudah membalik
telapak tangan. Namun, bukan berarti para penuntut ilmu tidak bisa menjadi
salah satunya. Mereka semua pasti menginginkannya karena, begitu banyak
kebaikan yang akan diperoleh oleh orang yang sabar. Para penuntut ilmu
bisa meraihnya asal mau berlatih dengan tekun sehingga, sedikit demi
sedikit kesabaran memenuhi diri mereka (Asma, 2010: 158). Memang
kehidupan ini tidaklah semulus yang direncanakan. Ada kalanya ujian saling
bergantian menghadang. Jika para penuntut ilmu mampu menggenggam erat
rasa sabar, sabar itu akan menjadi salah satu kekuatan utama untuk
menyikapi ujian-ujian tersebut dengan sikap yang baik. Jagalah keindahan
sabar, karena betapa dekatnya kelapangan itu. Siapa yang menjaga Allah
SWT dengan kesabarannya, niscaya selamat dari segala masalah. Begitu
pun sebaliknya. Yakinlah bahwa Allah SWT tidak akan membiarkan
hamba-Nya yang sedang menuntut ilmu dalam keadaan susah. Imam Syafi‟i
berkata:
“Keadaan manusia dalam ilmu bertingkat-tingkat. Apa yang mereka
hasilkan dari ilmu sesuai dengan tingkatan mereka padanya. Selayaknya
bagi para penuntut ilmu, mencurahkan segala upayanya dalam menambah
ilmunya, sabar atas setiap rintangan tatkala mencarinya, mengikhlaskan
niat karena Allah SWT saat meraih ilmu, baik sebuah nash atau
112
pemahaman terhadap istinbath, dan berharap kepada Allah SWT agar
membantunya, karena tidak ada kebaikan yang bisa diraih melainkan
dengan bantuan-Nya”(Soebachman, 2012: 20).
Seseorang apabila mengetahui nilai pentingnya sesuatu pasti ia akan
berusaha dengan semangat untuk mendapatkannya. Sedangkan, ilmu adalah
sesuatu yang paling berharga yang dicari oleh setiap orang. Para penuntut
ilmu hendaknya memiliki semangat membaja untuk menghafal dan
memahami ilmu, duduk bermajelis dengan para ulama, dan mengambil ilmu
langsung dari mereka, memperbanyak membaca, menggunakan umur dan
waktunya semaksimal mungkin serta menjadi orang yang paling pelit
menyia-nyiakan waktunya.
Sejatinya, untuk menjadi pemenang tidak selalu menggunakan
kekuatan fisik, tetapi salah satunya dengan kesabaran justru mempunyai
kekuatan luar biasa. Sifat tersebut merupakan bukti keimanan seseorang,
sumber kebahagiaan, dan kesuksesan. Seseorang mungkin pernah tiba-tiba
merasa bahagia tanpa sebab apa pun. Rasa itu sebenarnya diakibatkan oleh
rasa sabar atas apa yang ia terima baik saat karunia yang didapat atau
musibah yang didapat. Seseorang yang sabar akan memiliki kekuatan yang
besar. Ia seakan-akan menjadi pancaran energi yang melimpah. Kesabaran
seseorang dapat dilihat pula dari raut muka, tutur kata, serta gerak-gerik
perilakunya yang selalu tenang dan damai. Seseorang yang selalu meratapi
apa yang terjadi, menyesali kesalahan atau kekeliruan yang dibuat dan
terpaku pada waktu mereka yang terbatas hanya akan merasakan kesusahan,
113
kesengsaraan dan keputusasaan. Dengan kesabaran dan menerima apa yang
terjadi, maka kita akan menjadi manusia tangguh.
Ketika para penuntut ilmu merasa kelelahan dalam perjuangan
menuntut ilmu ini, mari kuatkanlah kembali keimanan, mari kuatkanlah
kesabaran. Bersabar dengan ujian dalam menuntut ilmu, bersabar dalam
ujian-ujian kehidupan dunia, yang di dunia ini hanyalah seperti sekian menit
saja dibanding lamanya masa di akhirat. Mari kobarkanlah kembali
semangat untuk meraih derajat tinggi dan mulia di sisi-Nya. Sesungguhnya
cita-cita para penuntut ilmu tidak terhenti pada kebahagiaan dunia,
melainkan akhirat. Semangatnya generasi terdahulu dalam belajar dan
mengajarkan ilmu, Rasulullah SAW juga telah mendidik umatnya untuk
menjadi orang yang selalu bersemangat. Wahai para penuntut ilmu, calon
generasi peradaban Islam. Hendaklah ilmu yang kalian miliki menjadikan
kalian semakin takut untuk bermaksiat dan semakin bersemangat dalam taat
kepada Allah SWT. Menjadikan kalian terus berjuang untuk mewujudkan
kegemilangan Islam. Bersemangatlah dan berlelah-lelahlah, karena lelahmu
akan memuliakanmu.
Sekali lagi, sabar bukanlah kelesuan, tetapi gairah hidup. Sabar
bukan kecengengan, tetapi ketegaran. Sabar bukanlah pesimis, tetapi
optimis. sabar bukanlah diam membisu, tetapi pantang menyerah. Dan
orang yang sabar bukanlah yang tidak menangis ketika mendapatkan
musibah, bukan pula tidak mengeluh ketika tertimpa kesulitan, karena itu
barulah tahap awal kesabaran. Meraih kemenangan adalah janji Allah SWT
114
kepada hamba-hamba-Nya yang bersabar dan janji-Nya pastilah benar.
Namun, jangan lupa bahwa sabar juga bukanlah kekuatan tanpa
perhitungan, bukan ketegaran tanpa tujuan, bukan pesimis tanpa arahan,
bukanlah gerak pantang menyerah tanpa pemikiran yang matang. Tetapi,
sabar merupakan keterpaduan antara kekuatan dan perhitungan, ketegaran
dan tujuan, optimis dan arahan, serta gerak pantang menyerah dan
pemikiran matang. Maka, tunggulah kemenangan yang dijanjikan oleh
Allah SWT kepada orang-orang yang penyabar (Syukur, 2013: 21-23).
Janganlah pernah merasa terlalu terhimpit, terkekang karena di dunia
ini segala sesuatu pasti berubah. Saat hati tidak bisa sabar, cobalah berdoa
untuk bisa sabar. Tataplah masa depan, jalani dengan penuh kesabaran,
karena pasti di balik sebuah permasalahan pasti akan muncul kemudahan.
Sabar itu tidak berarti pasrah. Sabar itu menerima dengan baik apa yang
terjadi, dengan tetap berusaha mencapai apa yang diinginkan. Menjadi sabar
merupakan pilihan baik. Ujian atau cobaan pasti akan terus mengalir. Sabar
menjalani adalah sebuah kunci kehidupan. Saat ditimpa suatu musibah pasti
akan sulit bersabar dan menerimanya. Tetapi, coba diingat lagi bahwa di
balik kesulitan pasti ada kemudahan. Setiap tangisan pasti akan ada sebuah
senyuman. Berbagai tantangan dan hambatan hidup yang dijumpai manusia
terkadang sangat berat. Pada dasarnya semua yang terjadi itu bisa baik dan
bisa buruk. Tinggal dari sisi mana seseorang yang memandangnya?
Ingatlah, apa pun masalah, harus tetap dalam kesabaran. Orang sabar tidak
hanya bersikap lapang dada saat menghadapi kesulitan dan musibah, tetapi
115
juga teguh pendirian (istiqamah) dalam memperjuangkan kebenaran serta
selalu dinamis dan optimis dalam meraih masa depan yang lebih baik dan
bermakna (Elfanany, 2013: 21-24).
116
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan penelitian kitab Diwan Al-Imam Asy-
Syafi‟i dengan kajian berupa konsep sabar dalam menuntut ilmu, maka
penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Garis besar isi kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i
Kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i adalah sebuah kitab yang
merangkum syair-syair Imam Syafi‟i. Bait-bait syair dalam kitab
tersebut kurang lebih berjumlah 802 bait dari 320 qashidah
(himpunan/topik) yang dirangkum dalam 20 qafiyah (bab). Sebagian
besar syair-syair Imam Syafi‟i menceritakan tentang moral dan nasehat
serta refleksi dari keadaan masyarakat saat itu, sekaligus mencerminkan
gambar diri sang Imam. Dan kompilasi kitab Diwan Al-Imam Asy-
Syafi‟i dilakukan oleh murid-murid sang Imam secara turun-temurun,
terbukti dengan adanya kitab-kitab syair Imam Syafi‟i tersebut dalam
berbagai versi.
2. Konsep sabar dalam menuntut ilmu pada kitab Diwan Al-Imam Asy-
Syafi‟i
Beberapa bait syair Imam Syafi‟i dalam kitab Diwan Al-Imam
Asy-Syafi‟i tersebut, memberikan nasehat kepada para penuntut ilmu
agar sabar dalam menghadapi sikap pendidik, sabar dalam menjalani
waktu menuntut ilmu yang lama, sabar dalam menyiapkan biaya yang
117
cukup, sabar dalam perantauan, sabar dalam berkawan, sabar dalam
menghindari hawa nafsu dan meninggalkan maksiat.
3. Relevansi dan implikasi konsep sabar dalam menuntut ilmu pada kitab
Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i di era modern
Para penuntut ilmu di masa lampau tidaklah sama dengan para
penuntut ilmu di masa kini yang telah dimanjakan oleh berbagai
kemudahan. Di masa salafus shaleh para penuntut ilmu terbiasa dengan
lingkungan yang keras dalam mencari ilmu. Semestinya, para penuntut
ilmu masa kini malu dan minder dengan kesungguhan dan kegigihan
para penuntut ilmu dahulu dalam mencari ilmu. Maka, sangat relevan
jika para penuntut ilmu di masa kini mencontoh para penuntut ilmu
dahulu dengan mengabaikan segala hambatan dan tetap terus berusaha
hingga mencapai target yang diinginkan, sebab ilmu dan pendidikan itu
tidak ada yang instan. Dan tentu sangat direkomendasikan apabila
konsep sabar dalam menuntut ilmu pada kitab Diwan Al-Imam Asy-
Syafi‟i ini diterapkan pada pendidikan masa kini, meninjau betapa
pentingnya menanamkan perilaku sabar dalam menuntut ilmu yang
harus dilakukan sejak dini untuk membentuk pribadi Islami yang
berakhlak mulia.
B. Saran
Setelah melakukan kajian tentang sabar dalam menuntut ilmu pada
kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i, penulis ingin menyampaikan beberapa
saran, antara lain:
118
1. Bagi orang tua
Alangkah baiknya selalu memberikan semangat, dukungan,
kasih sayang, serta pengawasan terhadap anak-anaknya agar mereka
selalu terdukungi serta semangat dalam kehidupan sehari-hari, baik
dalam menuntut ilmu mau pun sebelum dan setelahnya. Tanamkan
selalu pendidikan akhlak kepada anak-anak, sehingga anak-anak
terbiasa dengan nilai kesabaran terutama menjalani sabar dalam
menuntut ilmu dan menjadi anak yang penyabar, tidak terburu-buru
dengan selalu mengambil jalan pintas dan instan.
2. Bagi para penuntut ilmu
Diharapkan karya ini menjadi tambahan wacana baru bagi para
penuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas pendidikan akhlak dengan
mengamalkan konsep sabar dalam menuntut ilmu yang terdapat dalam
kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i ini. Ada pun saran penulis terhadap
sekian sabar dalam menuntut ilmu tersebut, hendaknya para penuntut
ilmu dapat menerapkan perilaku sabar dalam menghadapi sikap
pendidik, sabar dalam menjalani waktu menuntut ilmu yang lama, sabar
dalam menyiapkan biaya yang cukup, sabar dalam perantauan, sabar
dalam berkawan, sabar dalam menghindari hawa nafsu dan
meninggalkan maksiat. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para
penuntut ilmu dahulu. Dan alangkah baiknya apa pun yang terjadi saat
menuntut ilmu, tetaplah semangat, ikhlas, dan sabar dalam
menjalaninya.
119
3. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil dari analisis tentang kajian konsep sabar dalam menuntut
ilmu pada kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i ini belum sepenuhnya bisa
dikatakan sempurna. Sebab, tidak menutupi kemungkinan masih
banyak kekurangan di dalamnya sebagai akibat dari keterbatasan waktu,
sumber rujukan, metode, pengetahuan, dan ketepatan analisis yang
dimiliki penulis. Oleh karena itu, alangkah baiknya peneliti selanjutnya
untuk dapat mengkaji ulang hasil penelitian ini secara lebih kritis,
komprehensif, dan sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Jamil. 1994. Seratus Muslim Terkemuka. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Aisyah, Rina. 2015. Etika Menuntut Ilmu dalam Al-Qur‟an Surat Al-Kahfi
Ayat 69-78 Tafsir Al-Maraghiy dan Tafsir Al-Misbah (Studi
Komparatif). Skripsi tidak diterbitkan. Ponorogo: Program Studi
Pendidikan Agama Islam STAIN Ponorogo.
Al-Fayumi, Muhammad Ibrahim. 2009. Imam Syafi‟i: Pelopor Fikih dan
Sastra. Jakarta: Erlangga.
Al-Jamal, M. Hasan. 2006. Biografi 10 Imam Besar. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.
Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. 2005. Kemuliaan Sabar dan Keagungan Syukur.
Yogyakarta: Mitra Pustaka.
_______________________. 2010. Membeli Surga dengan Sabar &
Syukur. Yogyakarta: Golden Books.
Al-Jazairy, Abu Bakar. 2001. Ilmu dan Ulama: Pelita Kehidupan Dunia dan
Akhirat. Jakarta: Pustaka Azzam.
Al-Minsyawi, Muhammad Shiddiq. 2009. 101 Kisah Imam Syafi‟i.
Surakarta: Rahma Media Pustaka.
Al-Musthawi, Abdurrahman. 2005. Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i. Beirut: Dar
Al-Ma‟rifah.
Anam, Saiful. 2016. Imam Al-Shafi‟i dan Pesantren. Jurnal Dirosat
(Pendidikan Islam), (Online), Vol. 1, No. 1,
(http://ejournal.idia.ac.id/, diakses 28 November 2017).
Angelia, Yeni & In‟amul Hasan. 2017. Merantau dalam Menuntut Ilmu
(Studi Living Hadis oleh Masyarakat Minangkabau). Jurnal Living
Hadis, (Online), Vol. 2, No. 1, (http://ejournal.uin-suka.ac.id/,
diakses 16 November 2018).
Arianto, Ahmad Khoironi. 2013. Metafora dalam Puisi Imam Syafi`i. Tesis
tidak diterbitkan. Yogyakarta: Program Studi Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada (UGM).
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Asma, Ummu. 2010. Dahsyatnya Kekuatan Sabar. Jakarta: Belanoor.
Asy-Syurbasi, Ahmad. 1991. Sejarah dan Biografi Imam Empat Mazhab.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Azka FM, Abu. 2012. Mengubah Musibah Menjadi Nikmat. Yogyakarta:
Citra Risalah.
Effendy, Yudy. 2012. Sabar & Syukur: Rahasia Meraih Hidup Supersukses.
Jakarta: Qultum Media.
Elfanany, Burhan. 2013. Rahasia Dahsyat di Balik Keajaiban Sabar, Syukur
& Shalat. Yogyakarta: Pinang Merah Publisher.
El-Sutha, Saiful Hadi. 2009. Seri Perkaya Hati 8: Mau Gak Rugi Lagi?
Banyakin Sabar!. Jakarta: Erlangga.
Fahmi, Ari Khairurrijal & Nuruddin. 2014. Nilai Pendidikan Akhlak dalam
Syair Imam Al-Syafi‟i (Kajian Struktural Genetik). Jurnal
Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaaraban, (Online), Vol. 1,
No. 2, (http://journal.uinjkt.ac.id/, diakses 28 November 2017).
Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan
Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Hartanto, Ihsan. 2012. Dahsyatnya 4 Kekuatan Mahadahsyat: Motivasi Diri
dengan Ikhlas, Sabar, Syukur & Do‟a. Yogyakarta: In AzNa Books.
Hasan, Abdillah F. 2009. Setengah Syukur, Setengah Sabar. Jogjakarta:
Diva Press.
Hikmah, Nur. 2014. Moderasi Imam Syafi‟i antara Ahlul Ra‟yi dan Ahlul
Hadis. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: Jurusan Perbandingan
Mazhab dan Hukum UIN Alauddin.
Http://www.penerbitzaman.com/celah/86/gambar-diri-imam-syafi‟i-dalam -
syair (diakses 07 Oktober 2018).
Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Jakarta: Pusat Bahasa.
Khan, Muhammad Mojlum. 2012. 100 Muslim Paling Berpengaruh
Sepanjang Sejarah. Jakarta: Noura Books (PT Mizan Publika).
Lubis, Zulfahmi. 2016. Kewajiban Belajar. Jurnal Ihya‟ Al-Arabiyah,
(Online), Vol. 6, No. 2, (http://jurnal.uinsu.ac.id/, diakses 16
November 2018).
Maghfirah, Muflihatul. 2014. Etika Menuntut Ilmu (Studi Buku Kitab Al-
„Ilmu Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-„Utsaimin). Skripsi
tidak diterbitkan. Jakarta: Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif
Hidayatullah.
Mulyono. 2009. Kedudukan Ilmu dan Belajar dalam Islam. Jurnal Tadris,
(Online), Vol. 4, No. 2, (http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/,
diakses 16 November 2018).
Muttaqien, M. Habibi. 2014. Etika Bagi Penuntut Ilmu Perspektif Kitab
Alaalaa (Kajian atas Kitab Alaalaa: Syair Alaalaa dan Nadham
Ta‟lim). Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Pendidikan
Agama Islam UIN Maulana Malik Ibrahim.
Noer, M. Fadholi. 2014. Menuntut Ilmu Sebagai Transformasi Perubahan
Paradigma. Jurnal Qathruna, (Online), Vol. 1, No. 1,
(http://jurnal.uinbanten.ac.id/, diakses 16 November 2018).
Pramono, Teguh. 2012. 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa. Jogjakarta:
Diva Press.
Prayoga, Anggi., Arifah Hawa., & Koimah. 2015. Makalah: Kewajiban
Menuntut Ilmu, (Online), (http://www.academia.edu/, diakses 16
November 2018).
Ratna, Qori. 2014. 100 Ilmuwan Muslim: Para Pelopor Sains Modern.
Klaten: Galmas Publisher.
Ridlo, Abdullah. 2017. Kompleksitas Gaya Bahasa Diwan Al-Imam Asy-
Syafi‟i (Studi Analisis Stilistika). Tesis tidak diterbitkan.
Yogyakarta: Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies (IIS)
Konsentrasi Ilmu Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga.
Sati, Pakih. 2014. Jejak Hidup dan Keteladanan Imam 4 Mazhab.
Yogyakarta: Kana Media.
Soebachman, Adiba A. 2012. Rahasia 5 Kekuatan Sapu Jagad. Yogyakarta:
Syura Media Utama.
____________________. 2014. 6 Spirit Mahadahsyat: Ikhlas, Tawakal,
Sabar, Syukur, Doa, Zikir. Yogyakarta: Syura Media Utama.
Suryabrata, Sumadi. 1995. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Suwaidan, Tariq. 2015. Biografi Imam Syafi‟i. Jakarta: Zaman.
Syafaruddin., Candra Wijaya., & Ahmad Syukri Sitorus (Eds.). 2015.
Peningkatan Kontribusi Manajemen Pendidikan dalam
Pengembangan Sumber Daya Manusia Berkualitas untuk
Membangun Masyarakat Ekonomi ASEAN. Medan: Perdana Publishing.
Syukur, Abdul. 2013. Dahsyatnya Sabar, Syukur & Ikhlas: Rahasia Hidup
Sukses dan Bahagia. Jogjakarta: Sabil.
Syurbashi, Ahmad. 2006. Biografi Empat Imam Mazhab. Solo: Media
Insani Press.
Thabrani, Abdul Mukti. 2006. Mahkota Sastra Imam Syafi‟i (Menyingkap
Sisi Lain Kepenyairan Sang Imam). Jurnal Bahasa dan Sastra,
(Online), Vol. 2, Thn. 1, (http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/,
diakses 28 November 2017).
Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Yiyin. 2016. Iman Merekah di Bulan Berkah: Memancarkan Cahaya Ilmu.
Majalah Muslimah Aisyah, Edisi 1, Vol. 1, No. 1, hlm. 28-29.
Zainudin, Akbar. 2012. Hasanah Dunia Akhirat: Rahasia Sukses
Berdasarkan Energi Doa Sapu Jagat. Bandung: Mizania.
Zarzour, Na‟im. 2014. Kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi‟i. Beirut: Dar Al-
Kotob Al-Ilmiyah.
LAMPIRAN
DAFTAR SATUAN KREDIT KEGIATAN
(SKK)
Nama : Vega Febriani Sawitri
NIM : 111-14-280
Fakultas/Jurusan : Tarbiyah/PAI (Pendidikan Agama Islam)
Dosen Pembimbing Akademik : Dr. Miftahuddin, M.Ag.
NO. NAMA KEGIATAN PELAKSANAAN SEBAGAI NILAI
1. OPAK STAIN Salatiga 2014
dengan tema “Aktualisasi
Gerakan Mahasiswa yang
Beretika, Disiplin, dan Berfikir
Terbuka”
18-19 Agustus
2014
Peserta 3
2. OPAK Jurusan Tarbiyah
STAIN Salatiga 2014 dengan
tema “Aktualisasi Pendidikan
Karakter Sebagai Pembentuk
Generasi yang Religius,
Educative, dan Humanis”
20-21 Agustus
2014
Peserta 3
3. Orientasi Dasar Keislaman
(ODK) dengan tema
“Pemahaman Islam Rahmatan
Lil „Alamin sebagai Langkah
Awal Menjadi Mahasiswa
Berkarakter” di selenggarakan
oleh LDK dan ITTAQO STAIN
Salatiga
21 Agustus 2014 Peserta 2
4. Workshop Enterpreneurship
dengan tema “Menanamkan
Nilai-Nilai Jiwa
Kewirausahaan Mahasiswa
yang Kreatif dan Inovatif” di
selenggarakan oleh KSEI dan
SSC STAIN Salatiga
22 Agustus 2014 Peserta 2
5. Achievement Motivation
Training (AMT) dengan tema
“Dengan Semangat
Menyongsong Prestasi” di
selenggarakan oleh CEC dan
JQH STAIN Salatiga
23 Agustus 2014 Peserta 2
6. Library User Education dengan
tema “Pendidikan Pemustaka”
di selenggarakan oleh UPT
Perpustakaan STAIN Salatiga
28 Agustus 2014 Peserta 2
7. English Friendship Camp
(EFC) CEC STAIN Salatiga
dengan tema “CEC is the Best
Way for Great Generation”
27-28 September
2014
Peserta 3
8. Study Club Held by Division of
Education and Linguistic CEC
STAIN Salatiga
07 Desember 2014 Peserta 2
9. Talkshow dengan tema
“Ciptakan Karakter Mahasiswa
Religius dan Berakhlaq Mulia”
di selenggarakan oleh Al-
Khidmah Kampus Kota
Salatiga
19 September 2014 Peserta 2
10. Masa Ta‟aruf (MASTA) IMM
dengan tema “Membentuk
Pribadi, Kembangkan Diri,
Lahirkan Potensi” di
selenggarakan oleh Pimpinan
Cabang IMM Kota Salatiga
26 September 2014 Peserta 2
11. Bedah Buku “Membidik
Bintang” di selenggarakan oleh
LDK STAIN Salatiga
01 Oktober 2014 Peserta 2
12. Training UTS “SIBA-SIBI”
Semester Ganjil Tahun 2014 di
selenggarakan oleh CEC dan
ITTAQO STAIN Salatiga
24-25 Oktober
2014
Peserta 3
13. Sarasehan dan Donor Darah
dengan tema “Berkarya Sesuai
Potensi” di selenggarakan oleh
Pimpinan Cabang IMM
Salatiga
27 Oktober 2014 Peserta 2
14. Talkshow dengan tema “Beauty
and Islamic Fashion” di
selenggarakan oleh Ma‟had
Putri STAIN Salatiga
08 November 2014 Peserta 2
15. Talkshow Pra Nikah dengan
tema “Menjemput Jodoh
Impian” di selenggarakan oleh
RKI (Rumah Keluarga
Indonesia) Kota Salatiga dan
LDK STAIN Salatiga
09 November 2014 Peserta 2
16. PERBASIS (Perbandingan
Bahasa Arab Bahasa
Inggris)/CEA (Comparison
English Arabic) di
selenggarakan oleh CEC dan
ITTAQO STAIN Salatiga
27 November 2014 Peserta 2
17. Seminar Nasional dengan tema
“Perlindungan Hukum
Terhadap Usaha Mikro
Menghadapi Pasar Bebas
Asean” di selenggarakan oleh
HMPS STAIN Salatiga
15 Desember 2014 Peserta 8
18. Seminar Nasional dengan tema
“Aktualisasi Bahasa Arab untuk
Membentuk Karakter Bangsa
yang Bermartabat” di
selenggarakan oleh ITTAQO
STAIN Salatiga
10 Juni 2015 Peserta 8
19. Program MA‟HAD
MAHASISWA selama 1 tahun
28 Agustus 2014-
01 Juli 2015
Peserta 8
20. Ibtida‟ LDK IAIN Salatiga
dengan tema “Ikat Hati, Bina
Diri, Songsong Teladan Sejati”
03-04 Oktober
2015
Peserta 2
21. Seminar Pendidikan dengan
tema “Menciptakan Metode
Pendidikan Agama Islam yang
Ideal dalam Proses
Membebaskan dan
Memerdekakan Manusia” di
selenggarakan oleh HMJ PAI
IAIN Salatiga
12 November 2015 Peserta 2
22. Seminar Nasional dengan tema
“Muslimah Sejati Bertabur
Inspirasi” di selenggarakan
oleh LDK IAIN Salatiga
29 November 2015 Peserta 8
23. Seminar Nasional dengan tema
“Implementasi Nilai-Nilai
Pancasila sebagai Benteng
dalam Menolak Gerakan
Radikalisme” di selenggarakan
oleh Dewan Mahasiswa IAIN
Salatiga
10 Februari 2016 Peserta 8
24. Training Kader (TEKAD) 1
LDK IAIN Salatiga dengan
tema “Peneguhan Karakter
Dakwah Mewujudkan Generasi
Rabbani”
01-02 April 2016 Peserta 2
25. Seminar Nasional dalam rangka
Milad LDK IAIN Salatiga ke-
14 dengan tema “Esensi
Dakwah Kontemporer”
21 Mei 2016 Panitia 8
26. Seminar Nasional dengan tema
“LGBT dalam Perspektif
Psikologi dan Kesehatan” di
selenggarakan oleh PIK
Sahajasa
26 Mei 2016 Peserta 8
27. Seminar Nasional dengan tema
“Indonesia Budayaku Indonesia
Warisanku (SALATIGA KOTA
PUSAKA)” di selenggarakan
oleh HMJ PGMI
02 Juni 2016 Peserta 8
28. Seminar Internasional dalam
rangka kegiatan Festival
Solidaritas untuk Petani
Indonesia dengan tema “Petani
Untuk Negeri” di selenggarakan
oleh BPH
24 September 2016 Peserta 2
29. Seminar Nasional Achievement
Motivation Training (AMT)
dengan tema “Solusi Cerdas,
Sukses Akademis, dan
Organisasi” di selenggarakan
oleh LDK IAIN Salatiga
01 Oktober 2016 Panitia 8
30. Seminar Nasional dengan tema
“Ya Allah, I‟m Falling in Love”
di selenggarakan oleh LDK
IAIN Salatiga
26 November 2016 Panitia 8
31. Seminar Online via WhatsApp
Grup NOBAR (Nongkrong
Online Bareng) “Beasiswa
ICCR India” di selenggarakan
oleh Rumah Belajar „Aku Bisa‟
03 Desember 2016 Peserta 2
32. Seminar Online via WhatsApp
Grup Cerita Ilmu Discuss
dengan tema ”Menulis Essay
yang Baik dan Memenangkan
Kompetisi Essay” di
selenggarakan oleh Cerita Ilmu
15 Desember 2016 Peserta 2
33. Seminar Online via WhatsApp
Grup Forum Penulis Inspiratif
(FPI) dengan tema “Creative
Writers and Best Creations” di
selenggarakan oleh Forum
Penulis Inspiratif
26 Februari 2017 Peserta 2
34. SK Pengangkatan Pengurus
LDK Fathir Ar-Rasyid IAIN
Salatiga oleh Rektor IAIN
Salatiga
27 Februari 2017 Pengurus 4
35. Seminar Internasional dengan
tema “Be Global Citizen
through Non Formal Learning
in Internasional Voluntary
Service: Another Way to Go
Abroud” di selenggarakan oleh
KKI IAIN Salatiga dan GREAT
(Gerakan Kerelawanan
Internasional)
04 April 2017 Peserta 8
36. Pelantikan Pengurus Cabang
dan Kohati HMI Cabang
Salatiga Periode 2017/2018 dan
Seminar Nasional dengan tema
“Kontekstualisasi Peran HMI:
Peneguhan Kembali Ikhtiar
Perjuangan HMI dalam Rangka
Mengawal Kemaslahatan Umat
dan Bangsa”
29 Agustus 2017 Peserta 2
37. Seminar Nasional dengan tema
“Strategi Pemberdayaan
Masyarakat Menuju Desa
17 November 2017 Peserta 8
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : Vega Febriani Sawitri
TTL : Jakarta, 22 Februari 1996
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : JL. H. Mair II RT. 001 RW. 004 No. 66 Kelurahan
Larangan Indah, Ciledug, Kota Tangerang
Nama Orang Tua : Muhammad Subur (Alm) dan Sutriyah
No. HP/WA : 081299685360
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan : 1. TK Al-Mubaarokah Tangerang (2002)
2. SDN Sudimoro 03 Malang (2008)
3. SMP Al-Munawwariyyah Malang (2011)
4. SMA Plus Ibadurrahman Tangerang (2014)
5. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga (2019)
Salatiga, 02 Juli 2019
Penulis