konstelasi politik masa percobaan demokrasi

11
1 KONSTELASI POLITIK PADA MASA PERCOBAAN DEMOKRASI (1950-1957) Tsabit Azinar Ahmad A. Pendahuluan Masa-masa awal kemeredekan merupakan salah satu masa yang labil dalam berbagai hal. Dalam bidang politik, tahun-tahun pertama kemerdekaan merupakan masa peralihan ketika terbentuk pemerintahan Indonesia yang baru dan tekanan kekuatan luar, yaitu Belanda dan perpolitikan global pasca perang dunia kedua. Daam bidang sosial, perubahan sosial akibat kemerdekaan terjadi. Dalam bidang ekonomim kondisi ekonomi mengalami ketidakstabilan. Setelah Indonesia menyatakan diri sebagai wilayah sendiri dengan dileburkannya Republik Indonesia Serikat, Indonesia memasuki satu masa baru yakni masa ketika Indonesia mencari format baru dalam sistem pemerintahan dan politik. Masa pencarian ini disebut pula dengan masa percobaan demokrasi. Masa percobaan demokrasi merupakan satu tahapan ketika Indonesia masih mencari format pemerintahan dan sistem politik yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Masa ini berlangsung pada 1950-1957 ketika pada masa itu sistem pemerintahan bersifat liberal ketika sistem pemerintahan menggunakan sistem parlementer. Masa antara tahun 1950-1957 merupakan satu periode yang berbeda dengan situasi politik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Periode Demokrasi Parlementer merupakan masa paling dinamis saat mania bangsa Indonesia mulai bereksprimen dengan demokrasi. Sistem parlementer multi partai dengan kekuatan berimbang memicu persaingan antar berbagai faksi politik untuk saling menjatuhkan. Hal itu terbaca melalui polemik terbuka dan keras antar surat kabar di Jakarta masa itu. Dalam makalah ini akan dipaparkan berkaitan dengan bagaimaman kondisi perpolitikan pada masa percobaan demokrasi serta bagaimana dampak yang dihasilkannya.

Upload: tsabit-azinar-ahmad

Post on 14-Jun-2015

2.394 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

1

KONSTELASI POLITIK PADA MASA PERCOBAAN DEMOKRASI

(1950-1957)

Tsabit Azinar Ahmad

A. Pendahuluan

Masa-masa awal kemeredekan merupakan salah satu masa yang labil dalam

berbagai hal. Dalam bidang politik, tahun-tahun pertama kemerdekaan merupakan

masa peralihan ketika terbentuk pemerintahan Indonesia yang baru dan tekanan

kekuatan luar, yaitu Belanda dan perpolitikan global pasca perang dunia kedua.

Daam bidang sosial, perubahan sosial akibat kemerdekaan terjadi. Dalam bidang

ekonomim kondisi ekonomi mengalami ketidakstabilan. Setelah Indonesia

menyatakan diri sebagai wilayah sendiri dengan dileburkannya Republik

Indonesia Serikat, Indonesia memasuki satu masa baru yakni masa ketika

Indonesia mencari format baru dalam sistem pemerintahan dan politik. Masa

pencarian ini disebut pula dengan masa percobaan demokrasi.

Masa percobaan demokrasi merupakan satu tahapan ketika Indonesia masih

mencari format pemerintahan dan sistem politik yang sesuai dengan kondisi

Indonesia. Masa ini berlangsung pada 1950-1957 ketika pada masa itu sistem

pemerintahan bersifat liberal ketika sistem pemerintahan menggunakan sistem

parlementer. Masa antara tahun 1950-1957 merupakan satu periode yang berbeda

dengan situasi politik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Periode

Demokrasi Parlementer merupakan masa paling dinamis saat mania bangsa

Indonesia mulai bereksprimen dengan demokrasi. Sistem parlementer multi partai

dengan kekuatan berimbang memicu persaingan antar berbagai faksi politik untuk

saling menjatuhkan. Hal itu terbaca melalui polemik terbuka dan keras antar surat

kabar di Jakarta masa itu.

Dalam makalah ini akan dipaparkan berkaitan dengan bagaimaman kondisi

perpolitikan pada masa percobaan demokrasi serta bagaimana dampak yang

dihasilkannya.

2

B. Kondisi Politik Indonesia Sebelum Masa Percobaan Demokrasi

Kondisi perpolitikan di Indonesia senantiasa mengalami pasang surut dan

dinamika. Pada tahun-tahun pertama kemerdekaan, kondisi politik di Indonesia

masih sangat labil. Hal ini dikarenakan masih banyaknya aktivitas yang dilakukan

baik oleh Indonesia sendiri atau oleh pihak luar berkaitan dengan status

pascakemerdekaan. Pihak Indonesia sendiri masih sibuk dengan segala urusan

yang berkaitan dengan pemindahan kekuasaan serta upaya-upaya untuk segera

berbenah diri guna membangun negara. Dari pihak luar, setelah menangnya blok

sekutu atas blok poros, ada keinginan dari pihak pemenang perang dunia untuk

mengawal Indonesia yang baru lahir. Akan tetapi hal ini menjadi satu kesempatan

bagi pihak Belanda untuk kembali lagi ke Indonesia. Akibatnya, masih terdapat

campur tangan dari pihak luar terhadap Indonesia. Selain itu, kebijakan-kebijakan

dalam bidang politik pada masa ini masih belum dapat dikatakan bersifat benar-

benar lepas dari pengaruh Belanda, aplagi ditambah adanya agresi militer I dan II

serta perjanjian-perjanjian yang telah mengubah sistem konstitusi dan struktur

perpolitikan nasional. Praktis pada masa ini Indonesia masih belum menemukan

“jati dirinya”.

Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia cenderung bersifat

kompromistis walaupun beberapa langkah radikal dilakukan. Puncak dari sifat

kompromis Indonesia adalah dengan diadakannya Konferensi Meja Bundar

(KMB) yang dilaksanakan di Den Haag pada 23 Agustus 1949 dan selesai pada 2

November 1949. Konferensi ini diikuti oleh Republik Indonesia, Bijeenkomst

voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga

oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.

Dari KMB ini dihasilkan beberapa kesepakatan yaitu (1) didirikannya negara

Republik Indonesia Serikat, (2) penyerahan kedaulatan (baca “pemulihan

kedaulatan”) kepada Republik Indonesia Serikat, serta (3) didirikannya Uni antara

Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda. Adanya Republik Indonesia

Serikat merupakan satu bentuk campur tangan dari pihak luar yang sangat besar

terhadap Indonesia. Akan tetapi campur tangan tersebut pada akhirnya dapat

diminimalisir keberadaannya dengan adanya kesadaran untuk bersatu dari rakyat

Indonesia. Kesadaran untuk bersatu ini nampak pada kesediaan dari negara-negara

3

bagian di RIS untuk menyatukan komando serta berbagai aksi yang dilakukan

oleh rakyat berkaitan dengan upaya untuk mengubah sistem pemerintahan

menjadi unitaris.

Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi

demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui

perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara

Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan

Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950. Sejak 17 Agustus 1950, Negara

Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara

Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer.

C. Konstelasi Politik pada Masa Percobaan Demokrasi

Kondisi Indonesia pada akhir tahun 1950-an, dilihat dari kaca mata

sekarang, adalah Indonesia yang semrawut kondisi sosial, politik, dan

ekonominya. Pada masa pascakemerdekaan itulah, Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang masih "bayi", untuk pertama kalinya, mencoba menerapkan sistem

demokrasi parlementer dalam kehidupan politiknya. Dan diduga, seandainya tidak

banyak "rongrongan" terhadap demokrasi parlementer yang dilaksanakan saat itu,

niscaya bentuk demokrasi itulah yang tampaknya akan terus terpakai sampai

sekarang. Ide bahwa pemerintahan Indonesia harus menganut sistem demokrasi

parlementer sebenarnya telah ada di benak tokoh-tokoh pergerakan sejak awal

kemerdekaan. Buktinya adalah lahirnya Maklumat Wakil Presiden (Wapres) X

pada 16 Oktober 1945. Isi maklumat Hatta itu adalah membangun sistem banyak

partai dan menggusur kekuasaan rangkap presiden--sebagai penguasa eksekutif

dan legislatif sekaligus--sebelum MPR dan DPR dibentuk. Komite Nasional

Indonesia Pusat (KNIP) pun difungsikan sebagai lembaga legislatif

(Poesponegoro dan Notosusanto [et.al], 1984)

Kemudian setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia diberkalukan

kembali pada 17 Agustus 1950, terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai

bidang, khususnya dalam bidnag politik. Menurut amanat UUDS, pemerintahan

RI berdasarkan sistem demokrasi parlementer dengan kabinet dan menteri-

menteri yang bertanggung jawab ke parlemen. Perdana menteri pertama

4

pascapenyerahan kedaulatan itu adalah Mohammad Natsir, dari Masyumi.

Sedangkan, Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) merupakan kelanjutan

dari DPR RIS, yang kebanyakan anggotanya adalah orang Federal yang mewakili

daerah atau negara bagian pada masa RIS.

Pada masa ini, terjadi satu pesta demokrasi yang pertama di Indonesia, yaitu

pemilihan umum yang berlangsung secara bebas dan rahasia. Pada masa ini pula

Hatta menyatakan mundur sebagai wakil presiden di mana jabatan ini akan terus

kosong sampai sekitar awal dekade 1970-an setelah pemilu yang kedua.

Mundurnya Hatta sebagai wakil presiden menjadi salah atu dinamika politik yang

menunjukkan kurva menanjak. Hatta yang pada masa itu adalah satu dari sedikit

pendukung sistem parlementer, menjadi kaum yang minoritas ketika terjadi

euphoria menuju demokrasi terpimpin.

Sistem kabinet seperti yang telah dijelaskan di atas adalah sistem

parlementer, di mana kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Pada masa itu

ada beberapa kabinet yang pernah memeirntah di Indonesia, yaitu kabinet

Muhammad Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951), Sukiman (April 1951-

Februari 1952), Wilopo (April 1952 -Juni 1953), Ali Sastroamidjojo (Juni 1953-

Juli 1955), Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), Ali Sastroamidjojo

(Maret 1956-Maret 1957), dan Djuanda sampai Juli 1959 (Poesponegoro dan

Notosusanto [et.al], 1984; Ricklefs, 2005).

Kabinet pertama dari masa demokrasi parlementer adalah kabinet yan

dipimpin oleh Muhammd Natsir sebagai Perdana Menteri. Natsir yang mendapat

dukungan penuh dari masyumi yang berkoalisi dengan PSI setelah usaha koalisi

dengan PNI gagal. Pada masa itu Indonesia diterima sebagai anggota PBB. Tugas

utama dari kabinet in adalah usaha untuk mengembalikan Irian ke tangan

indonesia. Kegagalan dari partai ini disebabkan karena mosi tidak percaya dari

parlemen. PNI yang kala itu sebagai partai terbesar kedua dalam Parlemen

menolak turut serta dalam kabinet karena kedudukan yang diberikan tidak sesuai.

Karena penolakan tersebut, inti kabinet diisi kalangan Masyumi dan para menteri

yang ahli di bidangnya (zaken kabinet) dan berasal dari luar partai politik. Namun,

dalam perjalanannya kabinet ini tidak dapat melanjutkan kerjanya, salah satunya

oleh karena kegagalan dalam perundingan soal Irian dengan Belanda dan mosi

5

Hadikusumo, dari PNI tentang pencabutan DPRS dan DPRDS yang diterima oleh

Parlemen. Tak pelak, Kabinet Natsir jatuh dan menyerahkan mandatnya kepada

Presiden.

Kabinet kedua adalah kabinet Sukiman. Kabinet ini berkoalisi dengan

Masyumi dan PNI. Kabinet sukiman menjadi paling terkenal karena usahanya

ynag serius untuk menumpas PKI. Kegagalan Sukiman dalam menangani masalah

pemberontakan kahar muzakar di sulawesi sangat melemahkan kekuasaannya.

Adapun penyebab dari jatuhnya kabinet ini adalah ditandatanganinya persetujuan

bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika kepada Indonesia atas dasar

MSA. Hal ini menimbulkan pertentangan dengan program kabinet dalam hal

politik luar negeri yang bebas aktif, dengan ditandatanganinya menimbulkan

tafsiran bahwa indonesia condong ke blok barat.

Setelah jatuhnya kabinet Sukiman, terbentuklah Kabinet Wilopo (April

1952-Juni 1953). Kabinet ini merupakan koalisi dari Masyumi dan PNI. Program

kabinet ini adalah untuk mempersiapkan pelaksanaan pemilu. Sedangkan politik

luar negeri ditujukan untuk penyelesaian hubungan indonesia-belanda dan

pengembalian irian barat. Tetapi dalam perjalanannya, banyak sekali hambatan

yaitu timbulnya provinsialisme dan separatisme, hal ini muncul karena adanya

rasa kekecewaan terhadap pemerintah pusat. Kabinet ini kehilangan kepercayaan

akibat kegagalan demobilisasinya. Tanggal 2 juni 1953 Wilopo mengembalikan

mandat kepada presiden.

Kabinet berikutnya adalah Ali Sastroamidjojo (Juni 1953-Juli 1955) yang

merupakan hasil koalisi dari PNI, NU, serta partai-partai kecil, sedangkan PSI dan

Masyumi tidak mendapatkan tempat di kabinet namun dua orang simpatisan PKI

dimasukkan. Kabinet ini menekankan pada indonesianisasi perekonomian dan

memberi dukungan pada penguasa pribumi. Salah satu kesuksesan kabinet ini

adalah terselenggaranya Konfrensi Asia-Afrika. Pada masa ini berbagai

permasahan, seperti pemberontakan-pemberontakan daerah yang belum juga

berhasil dipadamkan serta persiapan menghadapi pemilu yang pertama.

Kabinet Ali Sastroamidjojo atau yang dikenal juga dengan kabinet Ali-

Wongso merupakan kabinet yang paling lama bertahan. Jatuhnya popularitas

6

kabinet ini karena permasalahan dengan angkatan darat serta banyaknya kasus

korupsi dan keadaan perekonomian yang semakin memburuk.

Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956) adalah pengganti

dari kabinet Ali. Kabinet ini merupakan hasil koalisi dari masyumi, PSI dan NU.

Pada masa kabinet ini dilakukan pemilihan umum pertama di Indonesia. Lebih

dari 37 juta orang memberikan suara mewakili 91,5 % dari para pemilih yang

terdaftar. Kabinet inipun tidak bertahan lama. Akibat dari banyaknya mutasi yang

dilakukan di beberapa kementerian membuat beberapa pertai menarik dukungan

sehingga pada 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap jatuh.

Setelah Burhanudin Harahap, presiden kembali mempercayakan kabinet

kepada Ali Sastroamidjojo (Maret 1956-Maret 1957). Dia bertekad membentuk

koalisi PNI-Masyumi-NU dan mengesampingkan PSI dan PKI. Kabinet ini

memiliki program lima tahun yang didalamnya memuat tentang pembebasan Irian

Barat, pembentukan daerah-daerah otonom, serta mewujudkan ekonomi nasional.

Dalam pelaksanaanya, kabinet tersebut mengalami perpecahan sehingga tidak

dapat bekerja maksimal. Permasalahan yang muncul pada kabinet-kabinet

sebelumnya sepertinya memuncak pada masa kabinet Ali II ini, permasalah

tentara serta militer, pemberontakan-pemberontakan daerah (separatis) semakin

jelas terlihat. Kondisi masyarakat saat itu sudah terpolularkan, Jakarta yang

menjadi pusat pemerintahan sudah tidak mendapat kepercayaan dari daerah diluar

Jawa. Para politisi sibuk dengan urusan partai masing-masing sehingga yang

terjadi adalah politik saling menjatuhkan. Berbagai hal diatas membuat sistem

demokrasi perlementer tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi.

Partai Politik dan Pemilu

Selain itu pada masa percobaan demokrasi tersebut banyak bermunculan

partai-partai yang mewakili ideologi-ideologi tertentu seperti PNI (Partai Nasional

Indonesia) yang mewakili kalangan nasionalis dan demokrastis, basisnya adalah

dalam birokrasi dan kalangan pegawai kantor, PSI (Partasi Sosialis Indonesia)

yang mewakili masyarakat sosialis, Masyumi, NU, Parkindo (Kristen) yang

mewakili golongan agamis, serta PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mewakili

7

ideologi komunis, partisannya adalah kaum buruh perkotaan dan buruh

perusahaan pertanian.

Momentum paling demokratis pada masa itu tentu saja adalah pelaksanaan

pemilu yang bebas dan rahasia berhasil dilaksanakan ada masa perdana menteri

Burhanudin Harahap. Pemilu itu sendiri merupakan program kabinet-kabinet

sebelumnya, yang tak pernah terlaksana. Dan, pemilu tahun 1955 itu telah

memunculkan kembali harapan rakyat Indonesia akan kemakmuran dan

kesejahteraan yang tak muncul sejak RI diproklamasikan tahun 1945.

Menjelang pemilu, pertarungan ideologi pun semakin meruncing. Ideologi

politik yang paling besar dan berpengaruh ketika itu adalah Islam,

Nasionalisme, dan Komunisme. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang runtuh

setelah Pemberontakan Madiun tahun 1948 bangkit dengan cepat. PKI tampil

lebih korporatif dan memanfaatkan pertarungan antara Islam dan Nasionalis.

Kondisi politik yang penuh pertikaian elite, keadaan ekonomi yang parah,

serta sektor strategis dan modal yang dikuasai asing membuat PKI cepat

meraih massa. Selain itu, ketakutan kemenangan Masyumi pada pemilu 1955 itu

juga membuat PKI mudah mendapat teman dari pihak Nasionalis, setidaknya dari

elite yang khawatir Masyumi akan mendirikan negara Islam.

Pemilu 1955 bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan dewan

konstituante. Lebih dari 39 juta orang memberikan suara dan mewakili 91,5% dari

para pemilih yang terdaftar. Pemilihan umum ini menawarkan pilihan yang bebas

di kalangan partai-partai yang tak terbatas, yang kesemuanya berkampanye

dengan penuh semangat. Oleh karena itu, hasil-hasil pemilihan umum tersebut

dapat menunjukkan kesetiaan-kesetiaan politik pada saat itu.

Pemilihan umum tersebut menimbulkan beberapa kekecewaan dan kejutan.

Jumlah partai bertambah banyak, dengan jumlah partai 28 yang mendapatkan

kurssi, padahal sebelumnya hanya 20 partai yang mendapatkan kursi. Akan tetapi

hanya empat partai yang mendapat lebih dari delapan kursi, yakni PNI, Masyumi,

NU, dan PKI. Dilkalangan partai-partai “empat besar” ini hampir terjadi jalan

buntu. Partai yang terbsar hanya menguasai 22% kursi DPR. Beberapa pemimpin

Masyumi merasa bahwa kemajuan Islam menuju kekuasaan nasional kini

terhalang dan bahwa perhatian mereka seharusnya dialihkan untuk

8

mengintensifkan Islam di tingkat rakyat jelata. Akan tetapi para para pemimpin

NU sangat gembira atas hasil yang menambah kursi DPR medeka dari 8 menjadi

45 kursi. Penampilan PKI sangat mengejutkan kalangan elit Jakarta dan membuat

PNI makin cemas akan ancaman potensial yang ditimbulkan oleh PKI (Ricklefs,

2005:496).

Tabel 1. Hasil Pemilu 1955 (Sumber: Ricklefs, 2005:496)

Partai Suara yang

Sah

% Suara

yang Sah

Kursi

Parlemen

% Kursi

Parlemen

PNI 8.434.653 22,3 57 22,2

Masyumi 7.903.886 20,9 57 22,2

NU 6.955.141 18,4 45 17,5

PKI 6.176.914 16,4 39 15,2

PSII 1.091.160 2,9 8 3,1

Parkindo 1.003.325 2,6 8 3,1

Partai Katolik 770.740 2,0 6 2,3

PSI 753.191 2,0 5 1,9

Murba 199.588 0,5 2 0,8

Lain-lain 4.496.701 12,0 30 11,7

Jumlah 37.758.299 100 257 100

Hasil Pemilu 1955 itu memang akhirnya sangat mencerminkan ideologi

yang menonjol dari empat partai besar waktu itu: PNI, Masyumi, NU, dan PKI.

Sedangkan kabinet pertama yang dihasilkan pemilu itu adalah Kabinet pimpinan

Ali Sastroamidjojo dari PNI.

Konferensi Asia Afrika

Konferensi Asia Afrika merupakan suatu pertemuan negara-negara yang

berada di kawaan Asia dan Afrika untuk saling bertukar pendapat dan

merundingkan permasalahan yang dihadapi bersama. Permasalahan yang

dibincangkan dalam KAA berkaitan dengan amsalah kerjasama ekonomi,

kerjasama budaya, hak asasi manusia dan menentukan nasib sendiri, masalah

9

negara-negara yang belum merdeka dan masalah perdamaian dunia dan kerja

sama internasional, yakni Rodhesia (Federasi Afrika Tengah) karena pergol;akan

politik. Peserta konferensi Asia Afrika tersebut adalah Afganistan, Ethiopia,

Filipina, India, Indonesia, Irak, Iran, Jepang, Kamboja, Laos, Lebanon, Lybia,

Mesir, Myanmar, Nepal, Pakistan, Pantai Emas, Saudi Arabia, Sri Lanka, Sudan,

Syiria, Thailand, Tiongkok, Turki, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Yaman, dan

Yordania (Poeponegoro dan Nugroho [et.al], 1984).

Dalam pelaksanaannya, KAA memiliki tujuan utama yaitu untuk

mewujudkan perdamaian dunia dan ketentraman hidup antarbangsa-bangsa Asia-

Afrika. Spesifikasi tujuan KAA adalah (1) memajukan kerjasama dan hubungan

bertetangga dengan baik, (2) mempertimbangkan masalah-masalah sosial,

ekonomi, kebudayaan negara-negara anggota, (3) mempertimbangkan masalah-

masalah khusus bangsa-bangsa Asia-Afrika, (4) meninjau keuddukan asia serta

rakyatnya di dunia ini serta sumbangan bagi perdamaian dan kerja sama dunia

(Sekretariat Negara, 1986)

Pelaksanaan KAA adalah pada tanggal 18-25 April 1955 di Bandung.

Adapun alasan pelaksanaan KAA ini adalah (1) adanya persaman dalam banyak

bidang dan keadaan yang dianggap saling melengkapi sehingga dapat dijadika

satu kesatuan, (2) munculnya permasalahan-permasalahan yang harus diatasi

bersama. Dengan alasan tersebut, pemipin negara Indonesia (Ali Sastroamidjojo),

India (Jawaharlal Nehru), Myanmar (U Nu), dan Sri Lanka (Sir John Kotelawala)

pasca konferensi Pancanegara I (Kolombo, 28 april-2 Mei 1954) dan konferensi

Pancanegara II (Bogor, 28-29 Desember 1954) sepakat untuk mengadakan

Konferensi Asia Afrika dengan mengundang 30 negara untuk turut berpartisipasi

di dalamnya. Akan tatapi dalam pelaksanaannya hanya 29 negara yang hadir.

Hasil dari KAA adalah dengan diputuskannya sepuluh keputusan yang

disebut Dasasila Bandung. Dengan adanya Dasasila Bandung ini, berarti satu

lembaran baru dalam sejarah perkembangan tata kehidupan internasional

mengalami perubahan karena dengan dilaksanakannya KAA yang pada waktu itu

sedang terjadi persaingan antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat muncul satu

kekuatan baru, yakni Asia dan Afrika.

10

Akhir Masa Percobaan Demokrasi

Setelah Pemilu menghasilkan DPR dan Konstituante, keadaan ternyata

bertambah buruk, tak seperti yang diharapkan rakyat. Pertikaian

antarmiliter, pergolakan daerah melawan pusat, dan ekonomi yang semrawut

tetap membuat masa depan tampak suram. Masalah yang menghadang Kabinet itu

datang dari para panglima daerah, yang menuding pusat tidak memperhatikan

kesejahteraan prajurit daerah. Mereka pun didukung Masyumi dan PSI. Lalu

pada tahun 1956, timbul beberapa pemberontakan militer yang gagal, yang

diatur bekas Pejabat KSAD Kolonel Zulkifli Lubis. Para pendukungnya

mengkritik bahwa Kabinet telah melalaikan negara, dan mereka mengarahkan

perlunya diktator militer.

Akhir tahun 1956, keadaan pun bertambah buruk. Panglima militer di

beberapa daerah mengambil alih kekuasaan dari pimpinan sipil. Mereka menilai

Jakarta terlalu sentralistis, korup, mengabaikan luar Jawa, serta banyak tuduhan

lainnya. Mereka juga memaksa Kabinet Ali mundur, dan mendukung kembalinya

Hatta--yang mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden pada 1 Desember

1956--untuk memimpin kabinet baru. Kelompok itu disebut-sebut berhubungan

dengan militer kelompok Zulkifli Lubis, Masyumi, PSI, dan Parkindo. Inti

tuntutan mereka sebenarnya adalah kembalinya dwitunggal Soekarno--Hatta ke

kekuasaan. Pada tahun itulah, Soekarno sudah mulai mendesak dikuburkannya

demokrasi liberal dan diganti dengan demokrasi terpimpin. Konsep Soekarno itu

kemudian diumumkan secara luas di halaman Istana Merdeka pada 21 Februari

1957. Intinya adalah demokrasi terpimpin, perlunya Kabinet Kaki Empat, dan

pembentukan Dewan Nasional. Konsep itu menjadi perdebatan sekaligus

pertentangan di DPR. Soalnya, hanya Konstituante yang berwenang mengubah

sistem pemerintahan dan susunan ketatanegaraan secara radikal. Cuma, dalam

pandangan Soekarno, Konstituante terlalu lambat menyelesaikan rancangan UUD,

dan sepertinya akan gagal.

Tetapi tahun 1957, percobaan demokrasi mengalami kegagalan, hal itu

disebabkan karena dasar untuk dapat membangun demokrasi perwakilan hampir

tidak ditemukan. Penyebabnya antara lain karena kebanyakan rakyat indonesia

kebanyakan masih buta huruf, miskin, terbiasa dengan kekuasaan yang otoriter

11

dan paternalistik, dan tersebar di kepulauan yang sangat luas/dalam posisi yang

sulit untuk memaksa pertanggungjawaban atas perbuatan para politisi di jakarta.

Selain itu pada tahun 1957, korupsi tersebar luas, kesatuan terancam, keadilan

sosial belum tercapai, msalah-masalah ekonomi belum terpecahkan dan harapan

dari revolusi belum tercapai.

Ada berbagai masalah yang dihadapi juga terjadi dalam bidang ekonomi,

sosial, politik dan militer. Pada bidang ekonomi ada kepentingan-kepentingan

non-indonesia mempunai arti penting, misalnya saja belanda dan cina. Selain itu

karena lambatnya pemulihan ekonomi menyebabkan terjadinya inflasi, sehingga

biaya hidup melinjat sampai 100% dan sektor kemasyarakatan menderita. Dalam

bidang demografi jumlah meningkat tajam sehingga produksi pangan meningkat

tetapi tidak cukup. Sehingga untuk mengatasi itu pemerintah melakukan impor.

Dalam bidang perdagangan jaringan perdagangan luas tetapi tidak mempunyai

dukungan politk dan sebagian kaum borjuis indonesia masih berpegang teguh

kepada agama islam yang jaringan perdagangannya tidak begitu luas dan

dukungan politiknya terbatas. Dalam bidang pendidikan ini diberi prioritas utama

dan jumlah lembaga pendidikan meningkat luas. Sementara itu dalam bidang

militer terdapat perpecahan dalam tubuh tentara.

D. Penutup

Masa percobaan demokrasi merupakan satu masa ketika di dalamnya banyak

terjadi aktivitas politik yang bebas. Hal ini dikarenakan maa ini merupakan masa

demokrasi liberal dan menganut sistem parlementer. Akan tetapi berbagai

dinamika politik ini pada akhirnya telah membawa serangkaian kegagalan

merugina di berbagai bidang.

Daftar Pustaka

Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto (et.al). 1984. Sejarah

Nasional Indonesia Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi

Sekretariat Negara Indonesia. 1986. 30 Yahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT

Citra Lamtoro Gung Persada.