konteks kelahiran uu penyiaran
DESCRIPTION
Menggambarkan konteks historis kelahiran UU Penyiaran 2002TRANSCRIPT
UU Penyiaran: Konteks Kelahiran
Media Cetak dan Media Penyiaran
• Perbedaan utama: penggunaan frekuensi siaran yang merupakan ranah public (public domain)
• Karena frekuensi terbatas, harus ada perebutan kesempatan menggunakan frekuensi
• Siaran masuk ke rumah-rumah – media aktif versus media pasif
• Khalayaknya jauh lebih beragam• Efeknya lebih kuat
Implikasi
• Media Penyiaran jauh lebih diatur
• Kehadiran Lembaga Negara untuk mengatur dunia penyiaran, misalnya FCC
• Untuk media penyiaran, harus ada izin yang harus terus diperbarui dan bisa dicabut
• Kelahiran lembaga penyiaran swasta dan publik: berkaca pada pengalaman AS dan Eropa
• AS sejak awal menyerahkan kepada swasta – melihat nilai ekonomi: kompetisi akan memberikan produk yang lebih berkualitas, menumbuhkan industri media, efisiensi, mendukung industri consumer goods
• Eropa melihat penyiaran sebagai media yang membawa produk budaya
INDONESIA
Selama sekitar 27 tahun (1962-1989), masyarakat Indonesia hanya dilayani satu Lembaga Penyiaran pemerintah, TVRI
Lima Lembaga Penyiaran Swasta lahir dalam periode 1989-1993, tanpa rujukan peratruran perundangan yang tegas
Bisnis yang dikuasai keluarga dan kroni Presiden
TVRI “dikunci” untuk tidak menjadi pesaing (antara lain: iklan dilarang di TVRI)
Lembaga Penyiaran dikendalikan Departemen penerangan
Latar belakang lahirnyaUU Penyiaran 1997
Sejak awal 1990-an, angin demokratisasi mengalir kuat ke Indonesia
Internal: mulai ada penggerusan terhadap rezim Orde Baru yang kokoh terjadi konflik fraksi-fraksi yang berkuasa & masyarakat sipil makin berani berbicara.
Di DPR timbul kepedulian untuk menata dan memayungi perkembangan industri TV yang pesat.
UU Penyiaran 1997Dimulai penyusunannya pada 1994RUU yang semula dirancang DPR
membawa semangat desentralisasi, membatasi masa berlaku izin TV swasta, mengatur soal TVRI, membatasi daya jangkau siaran, membatasi peran pemerintah sebagai otoritas di bidang penyiaran.
RUU ini ditolak pemerintah RUU dikembalikan ke DPR untuk ditinjau ulang atas instruksi Presiden Soeharto (tanpa preseden)
DPR kalah, RUU ditulis ulang.
Pokok-pokok UU Penyiaran 1997 yang berbeda dari RUU-
nyaIzin TV menjadi 10 tahun (dalam
RUU: 5 tahun)Ketetapan tentang hak TVRI untuk
memperoleh iklan dihilangkan.Ketetapan tentang hak TVRI untuk
memperoleh bagian dari iklan TV swasta tidak ada sama sekali.
Gagasan tentang kehadiran badan regulasi penyiaran di luar pemerintah dihilangkan.
Pokok-pokok UU Penyiaran 1997 yang berbeda dari RUU-
nya• Adanya BP3N (Badan Pertimbangan dan
Pengendalian Penyiaran Nasional): berfungsi sebagai lembaga pemberi masukan dan pertimbangan dalam perumusan kebijakan penyiaran & dalam penyusunan dan penerapan peraturan yang terpaut dalam bidang penyiaran.
• Ketetapan tentang jangkauan siaran dihilangkan.
Reformasi 1998
Peraturan Menpen tentang pembatasan jumlah TV swasta direvisi.
Oktober 1999: lahir izin untuk 5 TV swasta baru (TransTV, DVN TV, Global TV, PR TV, dan Metro TV)
Pemiliknya pengusaha “di luar Istana”Stasiun TV yang berubah kepemilikan
sebelum sempat beroperasi: Global TV ke Bimantara dan DVN TV diambilalih Kompas Group (melahirkan TV 7)
Krisis moneter berimbas pada perubahan kepemilikan TV-TV swasta lain (RCTI, SCTV, TPI)
Kondisi Menjelang Kelahiran UU No. 32/2002 tentang
PenyiaranSejak Reformasi: desakan untuk
merombak UU Penyiaran 1997 sudah mengemuka, karena UU tsb dinilai sangat diwarnai semangat Orba yang sudah tidak sesuai zaman.
Departemen Penerangan dihapuskan pada 1999 tidak ada lagi lembaga yang memiliki oritas untuk menegakkan amanat UU dunia penyiaran Indonesia tak berinduk.
Kondisi Menjelang Kelahiran UU Penyiaran 2002
Tanpa departemen penerangan, TV-TV swasta bebas melahirkan beragam program siaran tanpa tunduk pada panduan tentang apa yang boleh & tidak boleh mulai muncul acara gosip, sinetron penuh intrik & kekerasan, komedi bermuatan seks, dll.
Lahir berbagai lembaga penyiaran baru hanya dengan sekedar izin dari Pemda setempat.
Penyusunan RUU dimulai 1999.
Pertarungan di Belakang Layar UU Penyiaran 2002
Masyarakat sipil tidak tunggal.DPR ingin memperjuangkan UU yang lebih
demokratis, didukung masyarakat sipil.Pemerintah ingin mempertahankan
otoritasnya, didukung industriATVSI (berdiri 2000) menjadi motor utama
di belakang kampanye penolakan UU.Setelah UU lahir, ATVSI terus berupaya
mendelegitimasi UU.
Isu-isu kontroversial
1. Seberapa jauh pembatasan bagi lembaga penyiaran
2. Siapa yang seharusnya mengatur dunia penyiaran
3. Struktur industri media (soal kepemilikan terpusat, kepemilikan )
4. Digantinya sistem siaran nasional dengan sistem penyiaran berjaringan
Pengesahan UU Penyiaran 2002
• Industri kompak menggalang kampanye penolakan melalui media penyiaran dan media cetak bagi kampanye penolakan
• Tidak seperti dalam kasus UU Pers, Masyarakat Sipil Terbelah
• 28 November 2002 RUU disahkan
• Tidak ditandatangani Presiden Megawati
• Desember 2002 UU disahkan
Pokok-pokok UU Penyiaran 2002: Demokratisasi Penyiaran, Public
Sphere1. Lahirnya KPI sebagai regulator utama, walau
Pemerintah masih berperan 2. KPI sebagai pengendali utama, pemerintah
menjaga agar jangan sampai KPI menjadi pemegang kekuasaan tunggal
3. Desentralisasi penyiaran, lahirnya kewajiban sistem penyiaran berjaringan
4. Izin penyelenggaraan penyiaran diberikan melalui proses terbuka dan melibatkan publik.
5. Tidak ada lagi LP pemerintah. TVRI & RRI menjadi LP publik.
6. Lahirnya LP komunitas7. KPI wajib menyusun Pedoman
penyelenggaraan Penyiaran dan Standard Program Siaran
Judicial Review UU Penyiaran
5 Maret 2003, diajukan JR oleh 6 organisasi:1. ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta indonesia)2. IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia)3. PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta
Nasional Indonesia)4. P3I (Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia)5. Persusi(Persatuan Sulih Suara Indonesia)6. KomTeve (sebuah organisasi praktisi
penyiaran)
Judicial Review UU Penyiaran
Juli 2004: lahir keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)
MK menolak permintaan para pemohon JR untuk membatalkan UU maupun menganulir sebagian isi UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 ataupun semangat demokratisasi.
Keputusan terpenting: kewenangan KPI dipangkas KPI tidak lagi memiliki wewenang dalam membuat peraturan sebagai peraturan pelaksana UU yang membuat aturan hanya pemerintah.
Lahirnya PP dan Permen
Departemen Komunikasi dan Informatika melahirkan serangkaian Peraturan Pemerintah (PP) tahun 2005 yang menghancurkan amanat demokratisasi penyiaran yang dibawa UU Penyiaran pemerintah adalah pengendali media penyiaran: PP tentang RRI (PP No. 12), TVRI (PP No. 13), LP Komunitas (PP No. 49), LP Swasta (PP No. 50), LP Berlangganan (PP No. 52).
Lahir berbagai Peraturan Menteri (Permen)
Penentangan terhadap PP oleh KPI
2006 KPI mengajukan JR ke MA soal rangkaian PP yang dianggapan bertentangan dengan UU Penyiaran
2007 baru keluar hasil keputusan MA: MA menolak permohonan KPI MA menilai tidak ada isi PP yang bertentangan dengan UU Penyiaran
2007 MK juga menolak permohonan KPI tentang sengketa kewenangan lembaga negara Menurut MK, KPI dianggap tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan