kontekstualisasi konsep kafa’ah dalam membentukrepository.radenintan.ac.id/4156/1/skripsi full...
TRANSCRIPT
KONTEKSTUALISASI KONSEP KAFA’AH DALAM MEMBENTUK
RUMAH TANGGA SAKINAH
(Menurut Pandangan Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh
Audia Pramudita
NPM :1421010025
Program Studi : Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
1439 H / 2018 M
ABSTRAK
KONTEKSTUALISASI KONSEP KAFA’AH DALAM MEMBENTUK
RUMAH TANGGA SAKINAH
(Menurut Pandangan Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung)
Oleh
Audia Pramudita
Kafa’ah adalah kesepadanan antara calon suami dan calon istri dalam
faktor-faktor tertentu. Islam menganjurkan adanya kafa’ah ini merupakan hal
yang perlu diperhatikan saja agar tujuan pernikahan dapat terwujud menjadi
keluarga yang bahagia dan abadi. Ulama sepakat bahwa kafa’ah merupakan hak
seorang perempuan dan walinya. Pengutamaan Islam dalam faktor agama tentu
saja tidak terlepas dari upaya untuk mewujudkan keluarga yang sakinah,
mawaddah, warahmah. Dalam hal ini dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan
Lampung berbeda pendapat tentang konsep kafa’ah, hal ini yang membuat penulis
tertarik memilih permasalahan melalui penulisan ini. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana pandangan dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden
Intan Lampung terhadap konsep kafa’ah dalam perkawinan dan bagaimana
tanggapan dosen mengenai seseorang yang saling mencintai namun tidak sekufu’.
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
untuk menggali informasi dari pandangan dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden
Intan Lampung terhadap konsep kafa’ah dalam perkawinan dan Untuk
mengetahui tanggapan dosen mengenai seseorang yang saling mencintai namun
tidak sekufu’
Dalam penelitian ini digunakan metode lapangan yang bersifat deskriptif
dengan menggunakan metode analisis kualitatif kemudian cara berfikir
menggunakan cara deduktif. Yang menekankan pada teknik pengambilan
sampling dengan cara purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan
dengan cara mengambil subyek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah
tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu.
Berdasarkan data hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa
Pandangan dosen mengenai konsep kafa’ah dalam perkawinan merupakan hal
yang dapat menunjang terjadinya keharmonisan rumah tangga, tetapi ada dosen
yang mengatakan bahwa kafa’ah hanya sebagian kecil saja untuk mewujudkan
keharmonisan rumah tangga, karena penentu keharmonisan adalah hak dan
kewajiban. Sedangkan mengenai kriteria kafa’ah, para dosen sepakat bahwa
agama menjadi faktor utama dalam kafa’ah, sedangkan kriteria yang lain mereka
berselisih pendapat.Sedangkan, ketika dalam memilih calon pasangan tidak ada
kafa’ah diantara kedua pasangan, hal ini tidak menjadi permasalahan dalam
melangsungkan pernikahan, karena kafa’ah bukan termasuk syarat sah
pernikahan. Apabila rukun dan syarat terpenuhi maka pernikahan tersebut dapat
dikatakan sah.Dengan demikian disarankan agar orang tua harus memberikan
pemahaman tentang kafa’ah kepada anaknya supaya tercapainya tujuan
pernikahan yang sakinah mawaddah warahmah tanpa melebihkan aspek tertentu
diluar aspek agama.
v
MOTTO
تخيروا ننطفكم : قال ر سى ل اهلل صم اهلل عهيه وسهم : عن عائشة، قا نت
وا نكحىا األ كفاء وأ نكحىا إنيهم
Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda,”Pilihkanlah bagi anak-anak
gadis kalian (jodoh yang baik). Menikahlah kalian dengan yang sekufu’ dan
nikahkanlah anak-anak gadis kalian dengan mereka.”1
1Abdullah Shonhaji, Terjemahan Sunan Ibnu Majah Jilid IV (Semarang: CV. Asy Syifa’,
1993). h. 688.
vi
PERSEMBAHAN
Karya skripsi ini saya persembahkan untuk orang-orang tercinta dan
terkasih yang ada dikehidupan saya, mereka adalah:
1. Orang tuaku, Ibu Sita Kusumawatidan Bapak Widada (Alm) yang telah
mendidik dengan penuh kesabaran, memberikan motivasi dengan nasihat-
nasihatnya dan selalu mendoakan dengan penuh ketulusan pada setiap
saat, serta selalu mendukung dalam mewujudkan cita-citaku.
2. Saudariku tercinta Rima Widyawati S.Pd dan Annisa Ulya yang telah
memberikan semangat dan keceriaan. Semoga kita dapat membanggakan
kedua orang tua kita. Amin.
vii
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap Audia Pramudita, lahir di Pringsewu pada tanggal 02 Mei
1996, merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak
Widada (Alm) dan Ibu Sita Kusumawati.
Pendidikan yang pernah ditempuh dimulai dari sekolah dasar di SD Negeri
01 Pringsewu Selatan, lulus pada tahun 2008. Melanjutkan pendidikan menengah
pertama pada SMP Muhammadiyah Pringsewu, lulus pada tahun 2011.
Melanjutkan pendidikan menengah atas pada SMA Muhammadiyah Pringsewu,
lulus pada tahun 2014. Pada tahun 2014 melanjutkan pendidikan di Universitas
Raden Intan Lampung, mengambil program Strata 1 (S1) Jurusan Ahwal
Syakhsiyah pada Fakultas Syari’ah.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kenikmatan Iman, Islam dan Ihsan serta nikmat kesehatan jasmani dan rohani,
sehingga skripsi dengan judul “Kontekstualisasi Konsep Kafa’ah Dalam
Membentuk Rumah Tangga Sakinah” dapat diselesaikan.
Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Hukum di Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung. Dalam skripsi ini tentu
saja tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu
melalui skripsi ini ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Alamsyah , S.Ag, M.Ag. selaku dekan Fakultas Syari’ah
UIN Raden Intan Lampung
2. Bapak Marwin, S.H., M.H. selaku ketua jurusan Ahwal Syakhsiyah
UIN Raden Intan Lampung dan Bapak Gandhi Liyorba Indra, S.Ag.,
M.Ag. selaku sekertaris jurusan Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syari’ah
UIN Raden Intan Lampung
3. Bapak Drs. Maimun, S.H., M.A. selaku pembimbing I dan Ibu Dra.
Firdaweri, M.H.I. selaku pembimbing II yang telah banyak
meluangkan waktu dalam membimbing, mengarahkan dan memotivasi
hingga skripsi ini selesai.
4. Segenap dosen dan pegawai Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan
Lampung yang telah memberikan kontribusi dalam mendapatkan
materi-materi selama ini, guna menyelesaikan skripsi ini.
ix
5. Pimpinan dan karyawan baik perpustakaan Fakultas Syari’ah maupun
perpustakaan pusat UIN Raden Intan Lampung yang telah memberikan
informasi, referensi dan lain-lain.
6. Kuucapkan terimakasih juga kepada Suyanti, Hasti Ani, Anisa
Nurbaiti, Regita Tari Lisena, Rita Sari, Supratna Sari, Rizky Silvia
Putri, Mia Adelina dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak bisa
disebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat, menemani
serta membantu selama proses belajar di bangku perkuliahan.
7. Sahabat-sahabat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Panjerejo
kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu.
8. Rekan-rekan mahasiswa yang telah ikut membantu proses
penyelesaian skripsi ini.
Semoga jerih payah dan amal bapak-bapak dan ibu-ibu serta teman-teman
sekalian akan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT dan
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan para
pembaca pada umumya.
Bandar Lampung, Mei 2018
Audia Pramudita
NPM. 1421010025
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
ABSTRAK ...................................................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... v
MOTTO ......................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN .......................................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul .......................................................................... 1
B. Alasan Memilih Judul ................................................................. 3
C. Latar Belakang ....................................................................... .... 4
D. Rumusan Masalah ....................................................................... 9
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................ 9
F. Metode Penelitian ....................................................................... 10
BAB II KONSEP KAFA’AH DALAM PERKAWINAN
A. Pengertian Kafa’ah ...................................................................... 14
B. Historisitas Kafa’ah .................................................................... 15
C. Status Kafa’ah dalam Perkawinan ............................................. 19
D. Konsep Kafa’ah Menurut Para Ulama dan Perundang
Undangan Indonesia ................................................................... 22
E. Penerapan Kafa’ah dalam Membangun Rumah Tangga
Sakinah ........................................................................................ 32
F. Kedudukan Kafa’ah Dalam Membentuk Rumah Tangga
Sakinah ....................................................................................... 34
xi
BAB III GAMBARAN UMUM DAN PANDANGAN DOSEN TERHADAP
KONSEP KAFA’AH
A. Gambaran Umum Fakultas Syariah UIN Raden Intan
Lampung .................................................................................... 37
B. Dosen Tetap Yang Menjadi Narasumber di Fakultas Syari’ah
UIN Raden Intan Lampung ......................................................... 46
C. Pandangan Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung
Terhadap Konsep Kafa’ah ......................................................... 47
BAB IV ANALISIS DATA
A. Pandangan Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung
Terhadap Konsep Kafa’ah dalam Perkawinan ........................... 65
B. Tanggapan Dosen Mengenai Seseorang Yang Saling Mencintai
Namun Tidak Sekufu’ ................................................................. 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 69
B. Saran .......................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul
Judul merupakan suatu gambaran dalam karya ilmiah, untuk menghindari
kesalahpahaman dalam memahami judul skripsi ini, maka terlebih dahulu
menguraikan pengertian dari istilah-istilah yang terdapat dalam skripsi yang
berjudul Kontekstualisasi Konsep Kafa’ah dalam Membentuk Rumah
Tangga Sakinah (Menurut Pandangan Dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden
Intan Lampung). Dengan judul tersebut maka istilah-istilah yang perlu
dijelaskan adalah sebagai berikut:
1. Kontekstualisasi Konsep Kafa’ah
a. Menurut Emanuel Gerrit Singgih Kontekstualisasi adalah sebuah proses
berteologi dalam kesadaran, perjumpaan dan kehendak untuk
mendengarkan suara-suara apapun dan siapa pun dari konteks, baik
konteks masa kini, masa lalu, dan masa depan. Kontekstualisasi
merupakan proses mendengar, memahami, mempertimbangkan dan
menerima secara kritis suara-suara yang ada dalam
konteks.1Kontekstualisasi juga merupakan tindakan atau proses
1Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks, Pemikiran-Pemikiran
Kontekstualisasi Teologi di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung mulia, 2000), h.
178-185
2
menempatkan informasi dalam konteks, membuat rasa informasi dari
situasi atau lokasi di mana informasi itu ditemukan.2
b. Konsep adalah rancangan atau ide yang diabstrakan dari peristiwa konkret,
gambaran mental dari objek, proses atau apapun yang diluar bahasa yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami ha-hal lain.3
c. Kafa’ahberarti sama, sederajat, sepadan, atau sebanding. Yang dimaksud
dengan kafa’ah di sini adalah pernikahan yang sebanding, baik itu
kedudukan, kekayaan, maupun akhlak.4
Jadi yang dimaksud dengan kontekstualisasi konsep kafa’ah adalah
penerapankonsep kesepadanan antara suami dan istri ketika melangsungkan
pernikahan.
2.Rumah Tangga Sakinah
a. Rumah tangga adalah bangunan untuk tempat tinggal yang berkenaan
dengan keluarga.5
b. Sakinah secara bahasa artinya ketenangan atau kedamaian. Sakinah berasal
dari kata sakana artinya menjadi tenang, mereda, hening, tinggal. Dalam
Islam, kata sakinah menandakan ketenangan dan kedamaian secara
khusus, yaitu kedamaian dari Allah yang berada di dalam kalbu.6
2http://kamus-internasional.com/definitions/?indonesian_word=contextualization diakses
30 April 2018
3Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Edisi
keempat, PT Gramedia Pustaka Utama), h. 725. 4Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqh (Jakarta: Amzah, 2013), h. 114.
5Peter Salim, Yani Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Lentera
Basritama, 1990), h. 1189. 6Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Quran (Jakarta: Amzah, 2012), h. 263.
3
Jadi yang dimaksud dengan rumah tangga sakinah adalah keluarga yang
hidup dengan rasa kasih sayang, ketenangan dan kedamaian yang dibangun
berdasarkan ajaran Islam serta mendapat rahmat dari Allah SWT.
3. Pandangan DosenFakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung
Pandangan adalah paham, pendapat atau pendirian.7 Dosen adalah seorang
tenaga pengajar pada perguruan tinggi. Sedangkan yang dimaksud dengan
pandangan dosen adalah suatu pemahaman yang dipahami oleh dosen di fakultas
syari‟ah UIN Raden Intan Lampung.
Dengan demikian maksud judul secara keseluruhan adalah penerapan
mengenai konsep kafa’ahdalam pernikahan yang mana penulis ingin mengetahui
bagaimana pendangan dosen Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung
mengenai kesepadanan tersebut.
B. Alasan Memilih Judul
Adapun alasan penulis memilih judul skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Alasan Objektif
a. Kafa’ah merupakan suatu kriteria untuk memilih calon suami dan calon
istri, tetapi bukan menjadi rukun maupun syarat dalam pernikahan.
b. Menurut dosen Fakultas Syari‟ah konsep kafa’ahmenjadi bahan
pertimbangan saja ketika akan memilih calon pasangan yang diutamakan
adalah kriteria agama sedangkan selain dari kriteria agama hanya sebatas
faktor pendukung.
7Haizar MA, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Jakarta: Referensi Perpustakaan, 2013),
h. 442.
4
2. Alasan subyektif
a. Penelitian ini didukung oleh literatur yang memadai sehingga
dimungkinkan dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang direncanakan.
b. Mengenai kafa’ah menurut pandangan dosen belum ada yang membahas,
khususnya dilingkungan Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung.
c. Judul skipsi ini relevan dengan disiplin ilmu yang dipelajari di Fakultas
Syari‟ah Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah (Hukum Keluarga).
C. Latar Belakang
Dengan seiring berkembangannya zaman, bahwa kafa’ah dimaknai dengan
berbagai macam, dimana dahulunya hanya berfokus pada kekayaan, keturunan,
kecantikan dan agama. Namun hal ini cukup meresahkan bagi sebagian
masyarakat, terutama bagi kalangan akademis, yakni terjadi pergeseran makna
dalam pemikiran masyarakat, terutama dikalangan menengah kebawah yang
sudah dipengaruhi dengan kesukuan, adat, organisasi masyarakat, ataupun akibat
latar belakang pendidikan yang rendah.
Dalam sebagian masyarakat, kafa’ah masih banyak dimaknai haruslah
sekufu’ atau sepadan dalam hal segalanya, misalnya apabila dari golongan kaya,
maka harus mendapatkan yang kaya, apabila dari kalangan berpendidikan, maka
mencari pasangan yang berpendidikan juga. Apabila dari kalangan dosen maka
dapatnya dari dosen juga. Dalam hal ini dosen-dosen Fakultas Syari‟ah antara satu
dengan yang lainnya pun berselisih pendapat dengan adanya konsep kafa’ah.
Yang mana bahwa kafa’ah memang memiliki kriteria yang dapat dijadikan
5
sebagai bahan pertimbangan untuk memilih calon pasangan.
Sehinggadaribeberapa kriteria yang dikemukakan, mereka berpendapat bahwa
lebih memprioritaskan kepada faktor agama dan kriteria lainnya mereka
berpendapat bahwa hanya dikesampingkan saja. Namun bukan berarti kriteria
yang lainnya tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan dalam memilih pasangan
sebagai kesepadanan diantara mereka, hanya saja yang diutamakan adalah agama.
Agama merupakan suatu pedoman bagikehidupan manusia di semua segi
terutama dalam segi pernikahan karena manusia diciptakan oleh Allah itu
berpasang-pasangan yang tujuannya untuk menjadikan manusia berkembang biak
dan berlangsung dari generasi ke generasiberikutnya. Islam mengatur manusia
dalam hidup berpasang-pasangan itu melalui jenjang pernikahan.8
Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan laki-laki dan
perempuan berdasarkan rasa kasih sayang, dan berkewajiban untuk mengerjakan
tugas didalam rumah tangga seperti mendidik anak, dan menciptakan suasana
yang menyenangkan.9
Dalam Islam, setiap akan memulai pernikahan dianjurkan untuk diadakan
pinangan terlebih dahulu. Meminang maksudnya seorang laki-laki meminta
kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara yang sudah umum
berlaku di tengah-tengah masyarakat. Meminang termasuk usaha pendahuluan
sebelum dilakukan pernikahan, agar kedua belah pihak saling mengenal sehingga
pelaksanaan pernikahan nanti benar-benar berdasarkan pandangan dan penilain
8Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2008), h. 12.
9Khoirul Abror, Hukum Perkawinan dan Perceraian (Yogyakarta: Ladang Kata, 2017), h.
70.
6
yang jelas.10
Peminangan ini juga bertujuan, salah satunya untuk mengetahui
apakah calon suami dan istri mempunyai tingkatan sepadan atau kafa’ah.
Dalam hukum Islam, keseimbangan, keserasian, dan kesepadanan antara
calon suami dan istri disebut dengan kafa’ah atau kufu’, sehingga masing-masing
calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Artinya laki-laki
sepadan dengan calon istriya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat
sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayan. Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah
adalah seimbang, keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu
akhlak dan ibadah. Sebab kalau kafa‟ah diartikan persamaan dalam hal harta, atau
kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam Islam
tidak dibenarkan adanya kasta, karena manusia di sisi Allah swt adalah sama.11
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur‟an Surat Al-Hujurat Ayat 13 :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu.”12
Kebiasaan yang terjadi dalam menilai kafa’ahini dalam praktek di
masyarakat Indonesia sangat relatif karena dasar dan pedoman peninjauan bukan
berdasarkan hukum Islam, namun pada prakteknya dasar pedomannya adalah
pertimbangan hukum adat, tradisi, dan kekuasaan masyarakat setempat, biasanya
10
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999),
h 41. 11
Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit. h. 96. 12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2011), h. 517.
7
memiliki pengaruh yang lebih kuat dan besar. Jika calon suaminya tidak setara
dengannya, ikatan hubungan antara keduanya biasanya tidak bisa berlanjut. Ikatan
rasa kasih antara keduanya dapat terlepas. Seperti itu juga wali perempuan,
mereka merasa enggan untuk berbesanan dengan orang yang tidak sesuai dengan
mereka karena mereka akan merasa terhina dengan hal itu. Dengan demikian,
ikatan besanan akan terlepas dan menjadi rapuh sehingga membuat tujuan sosial
dan hasil yang dituju dari perkawinan tidak akan terwujud.
Ulama sepakat menyatakan bahwa kafa’ah merupakan hak seorang wanita
dan walinya. Apabila seorang wali menikahkan seorang wanita dengan seorang
pria yang tidak sekufu dengannya maka wanita ini berhak membatalkan
perkawinan tersebut. Sebaliknya, apabila seorang wanita memilih jodohnya
seorang pria yang tidak sekufu dengannya maka wali berhak menolak dan
menuntut pembatalan perkawinan tersebut.13
Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
عائ ه اهلل صو اهللشتع ا األ مفاء ، قا ىج : قاه س س نح ا ا ىطفن : حخيش سي عيي
ا إىي نح .أ
Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda,”Pilihkanlah bagi anak-anak
gadis kalian (jodoh yang baik). Menikahlah kaliandengan yang sekufu‟ dan
nikahkanlah anak-anak gadis kalian dengan mereka.”14
Seseorang yang baik kehidupan agamanya tidak sepadan menikah dengan
yang tidak baik kehidupan agamanya. Orang yang mempuyai ketakwaan tinggi,
13
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam 3 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 846. 14
Abdullah Shonhaji, Terjemahan Sunan Ibnu Majah Jilid IV (Semarang: CV. Asy Syifa‟,
1993). h. 688.
8
tidak layak menikah dengan orang yang tidak mempunyai taqwa. Orang yang
mempunyai budi pekerti yang mulia tidak kufu’ mempunyai teman hidup orang
jahat atau tidak berakhlak mulia. Itulah sebabnya implementasi kafa’ah ini
seyogyanya dikaitkan dengan kehidupan keagamaan dan akhlak.15
Untuk dapat terbina dan terciptanya suatu rumah tangga yang sakinah,
mawaddah warrohmah, islam menganjurkan akan adanya kafa’ah atau
kesepadanan antara calon suami istri. Tetapi ini bukan sesuatu hal yang mutlak,
melainkan suatu hal yang perlu diperhatikan guna terciptanya tujuan pernikahan
yang bahagia dan abadi.
Mencari pasangan hidup sebagai suami istri tidaklah mudah, karena cukup
banyak masalah-masalah yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan oleh
masing-masing pihak, sehubung dengan itu hendaklah masing-masing calon
suami istri untuk dapat mencari atau mempelajari sifat-sifat atau tingkah laku
serta memperhatikan watak kepribadian dari calon tersebut, agar tidak ada
penyesalan kemudian hari.
Oleh karena itu, saya terdorong untuk meneliti bagaimana pandangan
dosen Fakultas Syari‟ahUIN Raden Intan Lampung mengenai konsep kafa’ah.
Apakah menurut dosen Fakultas Syari‟ah mengenai kafa’ahtersebut sebagai syarat
dalam perkawinan. Adapun titik fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana
pandang dosen Fakultas Syari‟ahUIN Raden Intan Lampung tentang
kontekstualisasi konsep kafa‟ah dalam membentuk rumah tangga sakinah.
15
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan (Badung: Al-Bayan, 1995), h. 42.
9
D. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah dalam pembahasan penelitian ini, maka dirumuskan
beberapa masalah:
1. Bagaimana pandangan dosen Fakultas Syari‟ahUIN Raden Intan Lampung
terhadap konsep kafa’ah dalam perkawinan?
2. Bagaimana tanggapan dosen mengenai seseorang yang saling mencintai namun
tidak sekufu’?
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menggali informasi dari pandangan dosen Fakultas Syari‟ah UIN Raden
Intan Lampungterhadapkonsep kafa’ah dalam perkawinan.
2. Untuk mengetahui tanggapan dosen mengenai seseorang yang saling mencintai
namun tidak sekufu’
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan
tentangkafa’ahdalam perkawinan.
2. Secara praktis
Penelitian ini penulis gunakan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar
serjana pada jurusan al-ahwal al-syakhsiyah Fakultas Syariah UIN Raden
Intan Lampung.
10
F. Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yaitu
penelitian yang datanya diperoleh melalui wawancara dengan beberapa
informan yang sudah dipilih dan ditentukan. Pandangan dosen Fakultas
Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung yang menjadi data pokok yang telah
dipilihdengan berbentuk hasil wawancara. Jenis penelitian ini termasuk
dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif yaitu suatu proses penelitian
yang menghasilkan data-data deskriptif yaitu kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang yang diwawancarai dan perilaku yang diamati.16
Dimana
data-data deskriptif tersebut merupakan data yang dikumpulkan berupa
kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.17
Jadi penulis berusaha
semaksimal mungkin menjabarkan mengenai kontekstualisasi konsep
kafa’ah dalam membentuk rumah tangga sakinah yang mana dari
pandangan dosen memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya.
b. Kemudian sifat penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, yaitu suatu
metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu
kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas, peristiwa pada masa
16
Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1999). h. 3 17
Ibid. h. 6.
11
sekarang.18
Yang dimaksud dengan subjek penelitian adalah dosen Fakultas
Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung.
2. Sumber Data
Sumber data adalah tempat dimana data itu diperoleh. Adapun sumber
data pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer dalam penelitian ini merupakan data yang diperoleh
langsung dari hasil wawancara dilengkapi dengan dokumen yang memuat
pandangan dosen mengenai konsep kafa’ah. Sedangkan data sekunder dalam
penelitian ini diperoleh dari hasil pembacaan terhadap literarur-literatur tentang
konsep kafa’ah dan yang berkaitan dengan kajian ini.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Metode wawancara
Wawancara adalah alat pengumpulan informasi dengan cara mengajukan
sejumlah pertanyaan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Ciri-ciri
utama dari wawancara adalah kontak langsung dengan tatap muka antara
pencari informasi dengan sumber informasi.19
Dalam penelitian ini penulis
melakukan wawancara dengan beberapa dosen yang ada di Fakultas
Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung.
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa
catatan transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, ledger,
18
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 63. 19
Margono, Metode Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 54.
12
dan sabagainya.20
metode ini digunakan untuk memperoleh data yang
berhubungan dan yang berkaitan dengan kafa’ahdalam membentuk rumah
tangga sakinah.
4. Populasi dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari atas obyek/subyek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk mempelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.21
Yang
menjadi populasi dari penelitian ini yaitu pada dosen Fakultas Syari‟ah UIN
Raden Intan Lampung yang kurang lebih berjumlah 91 orang dengan perincian
dosen tetap 47 orang.22
Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti. Dalam penelitian
ini tidak semua populasi akan dijadikan sumber data melainkan diambil
sampelnya saja, antara lainbeberapa dosen tetap Fakultas Syari‟ah yang
memiliki kompetensi dalam bidang ilmu fiqh. Dalam penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan
dengan cara mengambil subyek bukan didasarkan atas strata, random atau
daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu.23
20
Suharsimi Arikunto, Prosedur Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Rineka Cipta, 1991),
h. 188. 21
Sugiono, Metode Penelitian Administrasi, (Bandung: Alfabeta, 2001), h. 57. 22
Buku Profil Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung 2016. 23
Sugiono, Statistika Untuk Penelitian (Bandung: Alfabeta CV, 2011), h. 64.
13
5. Metode Pengolahan Data
a. Editing
Editing adalah data yang diperoleh, diperiksa untuk mengetahui apakah
masih terdapat kekurangan-kekurangan serta apakah data tersebut sesuai
dengan permasalahan yang akan dibahas.
b. Penandaan data (coding)
Penandaan data adalah pemberian tanda pada data yang diperoleh, baik
berupapenemuan, simbol atau kata tertentu menurut jenis dan sumbernya,
dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna.
c. Sistematis
Sistematis adalah melakukan penyusunan pokok bahasan secara
sistematis atau berurutan sehingga memudahkan pembahasan.
6. Metode Analisis Data
Untuk menganalisa data dilakukan secara kualitatif, yaitu suatu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, tulisan atau
lisan dari orang-orang yang berperilaku yang dapat dimengerti.24
Setelah analisa data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif,
yaitu suatu penjelasan dan penginterpretasikan secara logis, sistematis. Dari
hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dengan menggunakan cara
berfikir deduktif.
24
Lexy J. Moeloeng, Loc.Cit.
14
Cara berfikir deduktif adalah metode analisa data dengan cara bermula dari
data yang bersifat umum tersebut kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat
khusus.25
25
Sutrisno Hadi, Methologi Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1984), h.
42.
15
BAB II
KONSEP KAFA’AH DALAM PERKAWINAN
A. Pengertian Kafa’ah
Menurut kamus Kontemporer Arab Indonesia karangan Ahmad Zuhdi
Muhdor فء, مفاء, مفاءة م artinya sama, persamaan, dan kesepadanan.26
Sedangkan kata kufu’ berarti sesuatu atau seorang yang setara atau
sepadan dengan sesuatu atau seorang lainnya. Adapun yang dimaksud disini
adalah sepadannya seorang suami dengan istrinya dalam kedudukan, pendidikan,
kekayaan, status sosial, dan sebagainya.27
Kata kufu’ ataukafa’ah dalam perkawinan mengandung arti bahwa
perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki, sifat kafa’ah mengandung arti
sifat yang terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut harus
ada pada laki-laki yang mengawininya.28
Kafa’ah adalah suatu hal yang dianggap penting didalam pernikahan,
bukan dalam syahnya akad nikah, bahkan karena hal itu menjadi hak calon istri
dan wali, maka mereka bisa menggugurkannya.29
Beni Ahmad Saebani menjelaskan bahawa pengertian kafa’ah ialah
kesepadanan atau setingkat, yang dimaksud dengan sepadan adalah keadaan dua
pasangan suami istri yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal, yaitu:
26
Ahmad Zuhdi Muhdor, Kamus kontemporer Arab-Indonesia,Cet II (Yogyakarta:
Yayasan Ali Maksum, 1996), h. 1511. 27
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), h. 48. 28
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2014), h.
140 29
Aliy As‟ad, Fathul Mu’min Jilid 3, Penerjemah Moh. Tolchah Mansoer (Yogyakarta:
Menara Kudus, 2006), h. 73.
16
1. Keduanya beragama Islam
2. Memiliki rupa yang tampan dan cantik
3. Keduanya dari keturunan yang baik
4. Keduanya orang kaya
5. Keduanya berpendidikan30
Sedangkan menurut M. Ali Hasan kafa’ah adalah kesetaraan yang perlu
dimiliki oleh calon suami dan istri, agar dihasilkan keserasian hubungan suami
istri secara mantap dalam menghindari cela dalam masalah-masalah tertentu.31
Menurut H.S.A Alhamdani kafa’ah adalah suami seimbang kedudukannya
dengan istrinya dimasyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan
kedudukan suami dan istri akan membawa kearah rumah tangga yang sejahtera,
terhindar dari ketidakberuntungan.32
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kafa’ahadalah
kesepadanan yang perlu dimiliki oleh calon suami dan istri agar dihasilkan
keserasian hubungan suami istri dalam rangka menghindarkan ketidakharmonisan
dalam rumah tangga yang nantinya menuju keluarga yang sakinah, mawaddah wa
rahmah.
B. Historisitas Kafa’ah
Memilih seseorang untuk menjadi pendamping yang sesuai dengan kriteria
memang tidak mudah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk menentukan
30
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2 (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 200. 31
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, cet ke-4 (Jakarta: Predana Media
Group, 2003), h. 33. 32
H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Pustaka Amani,
1989), h. 98.
17
siapa orang yang tepat. Namun Agama Islam mengatur seluruh aspek kehidupan
termasuk urusan jodoh. Menurut hadist Nabi Muhammad saw, setidaknya ada 4
kriteria ketika seseorang ingin mencari pendamping hidup yaitu:
ش يشة سضي اهلل أب اى ع ، ع شأ ة صي اهلل بيع نح اى ، قاه: ح سي ا عيي ىأس بع ى
ا فاظ ىذ ي ا ا ى ج ا ىحسب ا حش بج يذاك.ى فش بزا ث اىذ ي
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda: “Wanita dikawini karena empat
hal: Karena hartanya, karena status sosialnya, karena kecantikannya, dan karena
ketaatannya kepada agama. Pilihlah wanita yang taat kepada agama, maka kamu
akan beruntung.”33
Latar belakang historis dari hadis diatas yaitu Jabir menceritakan bahwa ia
menikah di zaman Rasullah saw, maka Rasullah saw bertanya: “Hai Jabir, sudah
menikahkah engkau?” sudah, wahai Rasullah, jawab Jabir. Rasullah bertanya lagi:
“Apakah isterimu perawan atau janda?” Jabir menjawab: “Sudah janda, wahai
Rasullah”. Maka nabi bersabda: “Kenapa tidak engkau nikahi saja perempuan
yang masih perawan, sehingga engkau dapat bermain dan menggaulinya dengan
mesra?” Jabir menjawab: “Wahai Rasullah, saya ini punya beberapa orang
saudara perempuan. Aku khawatir bahwa isteriku masuk antara saya dengan
mereka (merenggangkan saya dengan saudara-saudara perempuan saya itu).”
Rasul bersabda: “Yah, sudahlah, itu sudah baik. Sesungguhnya perempuan itu
dinikahi . . . .” dan seterusnya bunyihadis diatas.
33
Zainuddin Hamidy, Terjemahan Hadits Shahih Bukhari, (Jakarta: Widjaya, 1992), h.
10.
18
Perempuan itu dinikahi karena faktor-faktor kebaikan dan ketakwaannya,
kekayaan material dan kecantikannya. Maka Nabi menyuruh faktor mana saja
yang disukai. Akan tetapi faktor yang (taat) beragama adalah yang paling penting
terpenuhi oleh wanita itu, meskipun dia kaya atau miskin dan keduanya (calon
suami dan istri) akan berantakan (rumah tangganya) bila faktor agama itu tidak
diindahkan. Maka memilih jodoh karena faktor agama menolong suami istri
sendiri, serta akan menjadi teladan bagi anak kelak, karena faktor agama akan
mendatangkan kebaikan yang banyak sekali.34
Faktor tersebut adalah unsur ideal kenapa seseorang perempaun dipilih
untuk dijadikan pedamping hidup. Namun yang terpenting dari keempat unsur
tersebut adalah unsur agamanya, karena agama akan menjadi fondasi utama dalam
membangun sebuah keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
Berbicara tentang sejarah kafa’ah, sedikitnya dimunculkan ada dua teori.
Teori pertama oleh M. M. Bravman yang berpendapat, konsep ini muncul sejak
masa pra Islam. Untuk mendukung teori ini, Bravman menulis beberapa kasus
yang pernah terjadi. Misalnya kasus rencana pernikahan Bilal. Disamping itu, dia
juga menulis dua kasus lain, yang didalam pernikahan itu sendiri dapat dilihat
adanya kafa’ah. Bahkan didalam rencana pernikahan tersebut kata kafa’ah
disebutkan dengan jelas. Teori kedua, dipaparkan oleh Coulson dan Farhat J.
Ziadeh mengatakan, kafa’ah bermula dari Irak, khususnya Kufah dari Abu Hanafi
hidup. Abu Hanafi adalah tokok pendiri mazhab Hanafi. Beliau adalah pencetus
pertama dari konsep kafa‟ah ini, konsep ini muncul karena kekomplekan masalah
34
Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi AD Damsyiqi, Asbabul Wurud 2, Penerjemah
Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 19.
19
dalam masyarakat yang hidup di Irak kala itu. Kompleksitas sebagai akibat
urbanisasi yang terjadi di Irak ketika itu. Urbanisasi melahirkan percampuran
sejumlah etnik, seperti percampuran orang Arab dan non-Arab yang baru masuk
Islam. Untuk menghindari salah pilih dalam pasangan. Teori kafa’ah ini menjadi
niscaya.35
Kafa’ah menjadi sebuah ketentuan yang khas didalam mazhab fiqih yang
ada di Kufah. Kafa’ah menjadi usaha untuk melindungi kepentingan wali didalam
perkawinan demi menjaga nama baik keluarga. Di Kufah, Abu Hanifah
menemukan masyarakat yang sangat beragam dan kompleks dengan kesadaran
kelas yang tinggi, yang tidak dirasakan oleh masyarakat Madinah. Di Kufah,
kelompok-kelompok etnis bercampur baur, tradisi urbanisasi telah lama ada, Arab
dan non-Arab berhadapan, diferensiasi sosial benar-benar memiliki hasil.Hal ini
merupakan faktor penting dikembangkannya konsep kafa’ah oleh mazhab Hanafi
dan kemudian menyebar didaerah lain serta diadopsi oleh mazhab-mazhab
lain.Maka secara historis kontekstual, kafa’ah muncul sebagai respon terhadap
kondisi sosial kemasyarakatan yang berkembang dan kemudian muncul sebagai
aturan hukum, sebagai akibat logis dari aturan hukum perkawinan lain yang sudah
ditetapkan. Pendek kata, argumentasi kemaslahatan perkawinan diterapkan secara
berbeda, karena perbedaan respon terhadap situasi sosial kemasyarakatan dan
logika hukum yang sudah ada.36
35
Siti Jahroh, “Reinterpretasi Prinsip Kafa‟ah SebagainNilai Dasar Dalam Pola Relasi
Suami Istri” https://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/ahwal/article/viewFile/05203/999diakses 15
Mei 2018 36
Siti Fatimah, “Konsep Kafa‟ah Dalam Pernikahan Menurut Islam” tersedia di:
http://ejournal.staidarussalamlampung.ac.id/index.php/assalam/article/view/56/53diakses 15 Mei
2018
20
C. Status Kafa’ah dalam Perkawinan
Dalam proses menuju suatu pernikahan yang merupakan pintu gerbang
dalam membangun suatu keluarga yang sakinah, lantaran memilih jodoh yang
tepat sudah merupakan separuh (sebagian) dari suksesnya suatu pernikahan.
Bahkan hal ini penting sekali apabila memang mendambakan suatu kehidupan
keluarga yang harmonis dan melahirkan generasi penerus bangsa.37
Pada dasarnya, suatu pernikahan terjadi apabila saling mencintai, suka
sama suka, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Peminangan (lamaran)
dilakukan sebagai permintaan secara resmi kepada wanita yang akan dijadikan
calon istri atau melalui wali wanita itu. Sesudah itu baru dipertimbangkan apakah
lamaran itu dapat diterima atau tidak.38
Sebelum diadakan peminangan, hendaklah
benar-benar memperhatikan dan memilah milih calon pasangan secara teliti dan
jeli, berdasarkan kriteria-kriteria yang telah dianjurkan oleh agama melalui nash-
nashnya baik al-Qur‟an maupun Hadis nabi. Hal ini harus sepenuhnya
diperhatikan dikarenakan berhubungan dengan kehidupan berumah tangga
nantinya diharapkan tidak ada hal-hal yang akan mengecewakan atau bahkan
memberi dampak buruk bagi perjalanan rumah tangga pasangan suami istri.
أب شع صي اهلل يشة قاه : قاه سسه اهلل ي سي عيي حش ض خ: إرا أحا م يق
فساد عش يض. فخت في األس ض ا حن ، إال حفعي ج فز دي
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seseorang
yang kalian telah rela perihal akhlaqnya dan agamanya datang (meminang anak
37
Dedi Junaedi, Keluarga Sakinah (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 45. 38
M. Ali Hasan., Op.Cit. h. 23.
21
gadis) kalian, maka kawinkanlah (anak kalian) dengannya. Jika kalian tidak
kerjakan, niscaya akan timbul fitnah dibumi dan kerusakan yang sangat luas
(besar).”39
Dalam hal memilih pasangan hidup, masalah kafa’ah juga sangat penting.
Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindarkan terjadinya
ketidakharmonisandidalam rumah tangga. Dengan adanya kafa’ah dalam
perkawinan diharapkan masing-masing calon mampu mendapat keserasian dan
keharmonisan. Walaupun keberadaan kafa’ah sangat diperlukan dalam kehidupan
perkawinan, namun dikalangan para ulama berbeda pendapat baik mengenai
status kafa’ah ini, apakah penting dalam sebuah perkawinan atau tidak.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafa’ah tidak penting dalam sebuah
perkawinan, menurutnya antara orang Islam yang satu dengan orang Islam yang
lainnya adalah sama. Semua orang Islam asalkan dia tidak pernah berzina, maka
ia berhak kawin dengan semua wanita muslim yang tidak pernah berzina.40
Sebagian ulama mengatakan mengatakan bahwa kafa’ah bukanlah salah
satu syarat sah perkawinan. Namun sebagian lainnya, Khusus ulama Mazahab
Hanafi mutakhir, mengatakan bahwa kafa’ah merupakan salah satu syarat sah
perkawinan dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Apabila seorang wanita baligh berakal menikahkan dirinya sendiri dengan
seorang yang tidak sekufu’ dengannya atau dalam perkawinan itu terdapat
unsur penipuan yang besar, maka dalam hal seperti ayah dan kakek, berhak
39
Abdullah Shonhaji, Terjemahan Sunan Ibnu Majah Jilid IV (Semarang: CV. Asy Syifa‟,
1993), h. 687. 40
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7, terjemahan oleh Moh. Thalib (Bandung: PT Alma‟arif,
1987), h. 36.
22
untuk tidak menyetujui perkawinan tersebut sebelum melangsungkannya
akad.
2. Apabila seorang wanita yang tidak cakap bertindak hukum, seperti anak kecil
atau orang gila, dinihkahkan oleh walinya selain ayah atau kakek dengan
seseorang yang tidak sekufu’, maka perkawinan itu rusak, karena tugas wali
terkait dengan kemaslahatan anak wanita tersebut.
3. Apabila ayah dikenal sebagai orang yang pilihannya selalu buruk menikahkan
anak wanita yang belum dewasa dengan seseorang yang tidak sekufu’,
misalnya orang gila atau fasik, maka ulama sepakat menyatakan bahwa
pernikahan ini batal.41
Begitu juga dengan al-Hasan al-Basri, as-Sauri, dan al-Karkhi berpendapat
bahwa kafa’ah bukanlah faktor penting dalam perkawinan dan tidak termasuk
syarat sah atau syarat lazim perkawinan. Menurut mereka, ketidaksekufu’an calon
suami dan calon istri tidak menjadikan penghalang kelangsungan perkawinan
tersebut. Sedangkan jumhur fuqaha, diantaranya adalah ulama empat mazhab
berpendapat bahwa kafa’ah sangat penting dalam perkawinan meskipun kafa’ah
bukan merupakan syarat sah suatu perkawinan dan hanya merupakan syarat lazim
suatu perkawinan.42
Karena kafa’ah tidak termasuk syarat pernikahan sehingga
pernikahan antara orang yang tidak se-kufu‟ akan tetap dianggap memiliki
legalitas hukum. Kafa’ah dipandang hanya merupakan segi afdholiyah saja.
41
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam 3 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 845. 42
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam 9, Abdul Hayyie al-Kattani dkk (Jakarta: Gema Insani,
2011) , h. 902.
23
Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa semua manusia
sama dalam hak dan kewajiban, tidak ada keistimewaan antara yang satu dengan
yang lainnya kecuali dengan takwa. Dan mereka juga menyatakan bahwa
penghormatan dan penghargaan terhadap darah seorang dalam hukum pidana
ialah sama saja. Jika yang membunuh adalah orang yang terhormat dan yang
dibunuh adalah orang jelata, maka hukum qishas tetap dijalankan. Jika kekufu’an
diterapkan dalam hukum pidana Islam, maka begitu pula ketentuan dalam
perkawinan seharusnya tidak ditetapkan.
D. Konsep Kafa’ah Menurut Para Ulama dan Perundang-Undangan Indonesia
Tidak disebutkan secara jelas tentang konsep kafa’ah perkawinan dalam
al-Qur‟an, sehingga kriteria yang digunakan untuk menentukan kafa’ah, ulama
berbeda pendapat. perbedaan pendapat dikalangan para ulama ini selain
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dimana ulama tersebut tinggal, juga
disebabkan karena adanya perbedaan menggunakan dalil-dalil dan cara berijtihad
diantara mereka, sehingga keadaan berijtihad mengakibatkan perbedaan dalam
fiqih sebagai hasil ijtihad, yang secara lengkap diuraikan sebagai berikut:43
Hanafi Maliki Syafi‟i Hambali
Nasab
Islam
Hirfah
Diniyah
Kemerdekaan
Kekayaan
Diniyah
Bebas dari cacat
Nasab
Diniyah
Kemerdekaan
Profesi
Diniyah
Profesi
Kekayaan
Kemerdekaan
Nasab
43
Wahbah az-Zuhaili, Ibid. h. 223.
24
Ulama sepakat menempatkan diniyah atau tingkat ketaatan beragama
sebagai kriteria kafa’ah bahkan menurut ulama Maliki hanya inilah satu-satunya
yang dapat dijadikan kriteria kafa’ah itu.44
Kesepakatan tersebut didasarkan pada
firman Allah dalam surat as-Sajdah ayat 18:
“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? mereka
tidak sama.”45
Abu Hanifah sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ahmad,berpendapat
bahwakriteria kafa‟ah hanya terbatas pada faktor agama dannasab saja. Akan
tetapimenurut riwayat lain, madzhab ini juga mengakuikriteria kafa‟ah dari segi
agama, nasab, kemerdekaan, pekerjaan dankekayaan. Sama halnya dengan
madzhab Syafi‟i, mereka mengakui beberapasegi yang perlu diperhatikan dalam
kafa‟ah yaitu agama, nasab, kemerdekaandan pekerjaan.Namun di kalangan para
sahabat Syafi‟i juga ditemukanpendapat yang menyatakan bahwa mereka juga
mengakui kriteria kafa‟ah darisegi bebas cacat.Sedangkan dari kalangan
Hanabilah ditemukan dua sumberyang berbeda. Sumber pertama mengatakan
bahwa Ahmad mempunyai ideyang sama dengan Syafi‟i, dengan catatan Ahmad
mengeluarkan urusan bebasdari aib secara jasmani. Sumber kedua menyebutkan
Ahmad hanyamencantumkan unsur taqwa dan nasab sebagai kriteria kafa‟ah.46
44
Amir Syarifuddin, Op.Cit. h. 141. 45
Departemen Agama RI, Op.Cit. h. 416. 46
Muhammad Abū Zahrah, Al-Ahwāl Asy-Syakhsiyyah (Kairo: Dār al-Fikr al-
Arabi,1957), h. 163.
25
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa masalah kafa’ah dalam
perkawinan menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama. Masing-masing
ulama mempunyai batasan yang berbeda mengenai masalah ini. Jika diamati,
perbedaan ini terjadi karena perbedaan pandangan dalam menilai sejauh mana
kafa’ah itu mempunyai kontribusi dalam melestarikan kehidupan rumah tangga.
Dengan demikian, jika suatu segidipandang maupun menjalankan peran dan
fungsinya dalam melestarikan kehidupan rumah tangga, maka bukan tidak
mungkin segi tersebut dimasukkan dalm kriteria kafa’ah. Dari penjelasan
kriteriakafa’ah diatas dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Agama
Semua ulama mengakui agama sebagai salah satu unsur kafa’ah yang
paling esensial. Penempatan agama sebagai unsur kafa’ah tidak ada
perselisihan di kalangan ulama. Hal ini karena Islam menjadi syarat sah dalam
melangsungkan pernikahan. Agama juga dapat diartikan dengan kebaikan,
istiqamah. Mengenai kafa’ah dalam agama, lelaki harus sama dengan
perempuan dalam kesucian dan istiqamah. Apabila lelaki fasik pezina, maka ia
tidak sekufu’ bagi perempuan yang suci, walaupun lelaki telah bertaubat dan
taubatnya sungguh-sungguh, karen taubat dari zina tidak menghapus nama
buruk. Apabila lelaki fasik selain fasik zina, seperti peminum khamar dan
pendusta kemudian bertaubat, maka ia kufu’ bagi perempuan istiqamah. Maka
sepatutnyalah perempuan sekufu’ dengan laki-laki yang menjaga kehormatan
dan kesuciannya.47
47
Mahmud Junus, Hukum Perkawinan Dalam Islam (Jakarta: Al Hidajah, 1388), h. 75.
26
2. Nasab
Maksud nasab disini adalah keturunan seseorang yang berkenaan dengan
latar belakang keluarganya baik menyangkut suku, kebudayaan, maupun status
sosialnya. Dalam unsur nasab ini terdapat dua golongan yaitu pertama
golongan „Ajam, kedua golongan Arab. Riwayat Hakim dari Ibnu Umar bahwa
Rasullah saw, telah bersabda:
ا قاه : قاه س ش سضي اهلل ع ع اب أ ع اىعشب بعض سي ه اهلل صو اهلل عيي س
أمفاء بعض، ا ى بعض اى {مفاء بعض، اىحا م ا . }س حجا ل أ إىا حا
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu „anhuma bahwa Rasulullah saw.
Bersabda,“Bangsa Arab itu sama derajatnya satu lain, dan kaum mawali (bekas
hamba yang telah dimerdekakan) sama derajatnya satu sama lain, kecuali
tukang tenun dan tukang bekam.” (HR. al-Hakim).48
Dengan ditetapkannya nasab sebagai kriteria kafa’ah, maka orang ajam
dianggap tidak sekufu’ dengan orang Arab baik dari suku Quraisy maupun
suku selain Quraisy. Orang Arab yang tidak berasal dari suku Quraisy
dipandang tidak sekufu’ dengan orang Arab yang berasal dari suku Quraisy.
Selain itu, untuk orang Arab yang berasal dari keturunan Bani Hasyim dan
Bani Muthalib hanya dapat sekufu’ dengan seseorang yang berasal dari
keturunan yang sama, tidak hanya lainnya.49
48
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram dan Dalil-Dalil Hukum, terjemahan
Khalifaturrahman dan Haer Haeruddin (Jakarta: Gema Isnani, 2013), h. 438. 49
Ahmad bin „Umar Ad-Dairabi, Fiqih Nikah, Penerjemah Heri Purnomo dan Saiful Hadi
(Jakarta: Mustaqiim, 2003), h. 199.
27
3. Kemerdekaan
Kriteria tentang kemerdekaan ini sangat erat kaitannya dengan masalah
perbudakan. Jumhur ulama selain Malikiyyah memasukkan merdeka dalam
kafa‟ah berdasarkan Al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 75:
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki
yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri
rezki yang baik dari kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara
sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama?”50
Ayat diatas mejelaskan bahwa seorang budak dimiliki oleh orang tuanya
dan dia tidak dapat melakukan sesuatu pun termasuk menafkahkan hartanya
sesuai dengan kenginginannya kecuali atas perintah tuannya. Akan tetapi orang
merdeka bebas melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya tanpa
menunggu perintah dari siapapun. Jadi budak laki-laki tidak sekufu‟ dengan
perempuan merdeka, budak laki-laki yang sudah merdeka tidak sekufu‟ dengan
perempuan yang merdeka sejak lahir.51
Menurut Hanafi laki-laki bangsa „Ajam
yang alim, lagi miskin sekufu’ dengan perempuan bangsa Arab yang jahil lagi
kaya, bahkan sekufu’ juga dengan perempuan Syarifah keturunan „Alawiyah.
50
Departemen Agama RI, Op.Cit. h. 272. 51
Sayyid Sabiq, Op.Cit. h. 59
28
Karena kemuliaan ilmu pengetahuan diatas dari kemuliaan kebangsaan dan
kekayaan. Demikian pendapat Ibnu Hamman dari ulama Hanafiah.52
4. Pekerjaan
Yang dimaksudkan dengan pekerjaan adalah berkenaan dengan segala
sarana maupun prasarana yang dapat dijadikan sumber penghidupan baik
perusahaan maupun yang lainnya. Pekerjaan seseorang adakalanya
menimbulkan perasaan kebanggaan ataupun kehinaan pada dirinya. Oleh sebab
itu, apabila ada seorang wanita dan suatu keluarga yang pekerjaannya
terhormat, tidak sekufu’ dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar. Tetapi kalau
pekerjaanya itu hampir bersamaan tingkatnya antara satu dengan yang lain
maka tidaklah dianggap perbedaan. Untuk mengetahui pekerjaan yang
terhormat atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat.
Sebab adakalanya pekerjaan terhormat pada suatu tempat, kemungkinan satu
ketika dipandang tidak terhormat disuatu tempat dan masa yang lain.53
5. Kekayaan
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan manusia terdapat
statifikasi sosial, diantara mereka ada yang kaya dan ada yang miskin. Para
ulama mazhab Syafi‟i berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian ada yang
menjadikannya ukuran kufu’. Jadi orang fakir menurut mereka tidak kufu’
dengan perempuan kaya. Mereka berkata pula bahwa kemampuan laki-laki
fakir dalam membelanjai istrinya adalah dibawah ukuran laki-laki kaya.
Sebagian lain berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu‟
52
Mahmud Junus, Op.Cit. h. 76. 53
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Op.Cit. h. 50.
29
karena kekayaan itu sifatnya datang dan pergi sewaktu-waktu, dan bagi
perempuan yang berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan.
Golongan Hanafi menganggap bahwa kekayaan menjadi ukuran kufu’.
Dan ukuran kekayaan disini yaitu memiliki harta untuk membayar mahar dan
nafkah. Bagi orang yang tidak memiliki harta untuk membayar mahar dan
nafkah, atau salah satu diantaranya, maka dianggap tidak kufu’. Dan yang
dimaksud dengan kekayaan untuk membayar mahar yaitu sejumlah uang yang
dapat dibayarkan dengan tunai dari mahar yang diminta.
Tetapi menurut Abu Yusuf, kemampuan atas mahar tidak merupakan
syarat kafa’ah dalam kekayaan. Selama seorang suami mampu memberikan
kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dan nafkah dari satu hari ke hari
berikutnya, maka ia dianggap termasuk kedalam kelompok yang mempunyai
kafa’ah. Abu Yusuf beralasan bahwa kemampuan membayar nafkah itulah
yang lebih penting untuk menjalin kehidupan rumah tangga kelak. Sementara
mahar dapat dibayar siapa saja di antara keluarganya yang mempunyai
kemampuan misalnya bapak atau kakek. Karena kalau perempaun yang kaya
bila berada ditangan suami yang melarat akan mengalami bahaya. Sebab suami
menjadi susah dalam memenuhi nafkahnya dan jaminan anak-anaknya.
Masyarakat juga menganggap kekayaan merupakan suatu kehormayan
sebagaimana keturunan, bahkan nilainya lebih tinggi.54
6. Bebas dari cacat
54
Sayyid Sabiq, Op.Cit. h. 46.
30
Sebagai kriteria kafa’ah, bebas dari cacat ini hanya diakui oleh ulama
Maliki tapi dikalangan sahabat Imam Syafi‟i ada juga yang mengakuinya.
Sementara mazhab Hanafi maupun Hambali, keberadaan cacat tersebut tidak
menghalangi kufu’nya seseorang. Walaupun cacat tersebut dapat menghalangi
kesekufu’an seseorang, namun tidak berarti dapat membatalkan perkawinan.
Karena keabsahan bebas dari cacat sebagai kriteria kafa’ah hanya diakui
manakala pihak wanita tidak menerimanya. Hanaya pihak perempuan yang
mempunyai hak untuk menerima atau menolak, dan bukan walinya. Karena
resikonya tentu dirasakan oleh perempuan. Akan tetapi jika terjadi kasus
penipuan atau pengingkaran misalnya sebelum perkawinan dikatakan orang
tersebut sehat tapi ternyata cacat maka kenyataan tersebut dapat dijadikan
alasan untuk manuntut fasakh.55
Adapun yang dapat menentukan kufu‟ adalah laki-laki, bukan perempuan.
Laki-laki yang dikenai syarat bahwa ia harus kufu‟ dengan perempuannya,
bukan sebaliknya perempuan harus kufu’ dengan laki-laki.
ج حز ا اعخق ا ث اىي احس ا حعيي احس ا جاس يت فعي ذ ع ما . اجشا ا في
}سا اىبخا س سي{
“Barang siapa yang mempunyai seorang budak perempuan lalu diajarkannya
dengan pelajaran yang baik kepadanya, kemudian dimerdekakan terus
dinikahinya, maka baginya dua pahala.”(H.R. Bukhari dan Muslim)56
55
Sayyid Sabiq, Ibid. h. 47. 56
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu Wal Marjan, Penerjemah H. Salim Bahreisy
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996), h. 488.
31
Latar belakang keturunan dan harta kekayaan menjadi pertimbangan
dalam memilih calon suami, dimana perempuan yang ingin menikah harus
meminta persetujuan dari orang tua ataupun walinya. Meskipun perempuan
boleh memilih pasangan hidupnyanamun diupayakan agar ia tidak menikah
dengan laki-laki yang derajatnya berada di bawahnya atau di bawah
keluarganya. Sebab menikahkan perempuan dengan laki-laki yang tidak
sekufu’ berarti memberi aib kepada keluarganya. Karena itulah hukumnya tidak
boleh kecuali walinya ridha. Jika wali dan perempuannya ridha maka ia boleh
dinikahkan, sebab wali berhak menghalangi nikahnya perempuan dengan laki-
laki yang tidak sekufu’. Jadi kalau kalau mereka semua setuju semua sudah
setuju maka hilanglah halangannya.
Kafa’ah diukur ketika berlangsungnya akad nikah. Jika selesai akad nikah
terjadi kekurangan, maka hal itu tidaklah mengganggu dan tidak membatalkan
apa yang sudah terjadi, serta tidak mempengaruhi hukum akad nikah, karena
syarat-syarat pernikahannya hanya diukur ketika berlakunya akad nikah. Jika
pada waktu akad nikah pekerjaan suami itu mulia dan mampu memberi nafkah
istrinya atau orang yang saleh, kemudian dikemudian hari terjadi perubahan,
maka akad nikahnya tetap sah. Bila terjadi suami seperti ini, maka istri
hendaklah bersabar dan bertakwa kepada Allah karena dengan sabar dan takwa
kepada Allah SWT niscaya pertolongan akan datang.57
Kafa’ah menjadi perbincangan hampir disemua kitab fiqih dan sama sekali
tidak disinggung oleh undang-undang perkawinan tetapi disinggung sekilas dalam
57
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1(Bandung: CV Pustaka Setia, 1999),
h. 62.
32
Kompilasi Hukum Islam, yaitu pada pasal 61 dalam membicarakan pencegahan
perkawinan dan yang diakui sebagai kriteria kafa’ah itu adalah apa yang telah
menjadi kesepakatan ulama, yaitu kualitas beragama.
Pasal 61
Tidak se-kufu‟ tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali
tidak se-kufu‟ karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.58
Oleh karena itu konsep kafa’ah yang masih memprioritaskan nasab
bertentangan dengan peraturan yang terdapat didalam Kompilasi Hukum Islam
yang hanay bersandar pada agama yang artinya bahwa, tidak ada pencegahan
perkwinan atas dasar tidak sekufu kecuali memiliki perbedaan agama.
Pencegahan perkawinan hanya dapat dilakukan kalau dilakukan atas dasar
hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini dapat dilihat
bahwa perkawinan antar suku atau antar daerah di Indonesia dengan latar
belakang adat yang berbeda sudah lama dipraktikkan oleh masyarakat, sehingga
tolak ukurnya tidak lagi suku tetapi agama. Hal ini diperkuat lagi Pasal 2 UU No.
1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Kata “itu” diakhiri ketentuan ini
berarti bahwa kepercayaan yang dimaksud terkait dengan agama yang dianut oleh
seorang warganegara.
58
Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta, 2011), h. 36.
33
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamnya dan kepercayaan itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.59
Jadi pemilah-milahan antar bangsawan dengan bukan bangsawan atau
keturunan raja dengan bukan keturunan raja merupakan peninggalan dari
kebudayaan tertentu yang melihat orang berkasta-kasta. Hal ini tidak relevan
dengan pandangan kesetaraan dalam Islam.60
Menurut hukum adat, perkawinan
bukan saja merupakan soal mengenai orang-orang yang bersangkutan (sebagai
suami istri), melainkan juga merupakan kepentingan seluruh keluarga dan bahkan
masyarakat adatpun ikut berkepentingan dalam soal perkawinan itu. Bagi hukum
adat perkawinana itu adalah perbuatan-perbuatan yang tidak hanya bersifat
keduniaan, melainkan juga bersifat kebatinan atau keagamaan.61
E. Penerapan Kafa’ah dalam Membangun Rumah Tangga Sakinah
Pada hakikatnya manusia tidak bisa berkembangbiak dengan baik tanpa
adanya perkawinan, karena perkawinan menyebabkan keturunan, dan keturunan
menimbulkan keluarga yang berkembang di masyarakat.Perkawinan juga
merupakan suatu hubungan yang sangat mendasar bagi manusia. Salah satu
59
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2. 60
Yaswirman, Hukum Keluarga (Jakarta: Raja wali Pers, 2013), h. 203. 61
Taufiqrrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinaan di Indonesia (Jakarta: Kecana,
2015), h. 64.
34
persoalan yang menjadi berdebatan dan sering di perbincangkan dalam bidang
perkawinan yaitu tentang masalah kafa’ah.
Kafa’ah sangat menarik dan sering diperbincangkan karena kafa’ah
merupakan salah satu unsur terpenting yang dapat mendorong terciptanya
kebahagiaan dan keharmonisan dalam rumah tangga karena dengan
adanyakafa’ah akan lebih menjamin perempuan dari kegagalan dan kegonjangan
dalam rumah tangga.62
Para ulama empat mazhab menyetujui bahwa yang pokok
dalam kesekufuan adalah segi agama. Kenapa agama itu paling penting dalam
membentuk keluarga, karena apabila calon suami dan calon istri memiliki
perbedaan agama, dalam hal ini akan mengakibatkan tidak terciptanya
keharmonisan dan akan menimbulkan perselisihan. Dalam kondisi masyarakat
Indonesia, misalkan kafa’ah hanyalah dalam hal agama, lain halnya adanya adat
budaya yang mempengaruhi aspek kafa’ah ini berkembang sesuai adat istiadat
misalkan seseorang yang bersuku Lampung harus menikah dengan yang bersuku
Lampung pula, suku Jawa dengan Jawa dan lain-lain, hal ini juga terjadi dalam
masyarakat Arab dimana seseorang laki-laki Arab harus menikah dengan
perempuan bersuku Arab pula, karena dimungkinkan jika memiliki kesamaan
suku akan lebih mudah bersosialisasi baik antar personal suami dan istri, begitu
pula bergaul dan berinteraksi dengan kedua keluarga besar. Pada masa modern
sekarang ini pendidikan juga memiliki andil dalam kafa’ah, Jika seseorang
memiliki pendidikan yang sama akan lebih mudah utuk bersosialisasi dalam
berbagai hal, baik dalam interaksi, interpersonal maupun lingkungan disekitar
62
Sayyid Sabiq, Op.Cit. h. 36.
35
dalam keluarga dan masyarakat.63
Meskipun demikian Allah swt menempatkan
manusia sama dalam hal derajat dan kedudukannya. Hal ini disebutkan dalam QS.
Al-Hujurat ayat 13 :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”64
Apabila pernikahan yang dilakukan oleh dua calon pasangan suami istri
tidak memerhatikan prinsip kesetaraan, rumah tangganya akan mengalami
kesulitan untuk saling beradaptasi, sehingga secara psikologi keduanya akan
terganggu. Misalnya, suaminya anak konglomerat, sedangkan istrinya anak orang
melarat. Kemungkinan besar jika terjadi konflik, pihak istri yang miskin akan
mudah dihinakan oleh pihak suaminya. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena
itu, prinsip kesetaraan dilaksanakan untuk dijadikan patokan dalam membentuk
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.65
Namun keadaan manusia itu tidak selalu sempurna dan selalu saja ada
kekurangannya, sehingga jarang sekali didapati seseorang calon suami atau calon
63
Siti Fatimah, “Konsep Kafa‟ah Dalam Pernikahan Menurut Islam” tersedia di:
http://ejournal.staidarussalamlampung.ac.id/index.php/assalam/article/view/56/53diakses 15 Mei
2018 64
Departemen Agama RI, Op.Cit. h. 517. 65
Beni Ahmad Saebani, Op.Cit. h. 200.
36
istri yang memiliki faktor-faktor tersebut secara menyeluruh. Apabila faktor-
faktor tersebut tidak dimiliki dan didapati seluruhnya, maka yang harus
diutamakan adalah faktor agama. Sebab berbeda agama mempunyai kemungkinan
kegagalan yang lebih besar daripada yang seagama. Tercapainya tujuan
pernikahan memang tidak mutlak ditentukan oleh faktor kesepadanan semata,
tetapi hal tersebut bisa menjadi penunjang yang utama dan faktor agama serta
akhlaklah yang lebih penting dan harus diutamakan.
F. Kedudukan Kafa’ah Dalam Membentuk Rumah Tangga Sakinah
Salah satu pertimbangan dalam menentukan calon pasangan baik suami
maupun istri adalah pertimbangan kafa’ah. Tujuan disyari‟atkannya kafa’ah
adalah untuk menghindari celaan yang terjadi apabila pernikahan dilangsungkan
antara sepasang mempelai yang tidak sekufu’ (sederajat) dan juga demi
kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab apabila kehidupan pasangan suami
istri sebelumnya tidak jauh berbeda tentunya tidak terlalu sulit untuk saling
menyesuaikan diri dan lebih menjamin kelangsungan kehidupan rumah tangga.66
Para Imam empat mazhab menyatakan bahwa kafa’ah adalah syarat lazim
dalam perkawinan bukan syarat sah sebuah akad pernikahan. Jika perempuan
yang tidak setara maka akad tersebut sah. Sedangkan syarat sahnya pernikahan
adalah apabila syaratnya terpenuhi, maka terjadilah pernikahan. Syarat pertama
adalah halalnya seorang perempuan bagi suami yang menjadi pendampingnya.
Artinya tidak diperbolehkan perempuan yang hendak dinikahi itu berstatus
66
Mufidah, Psikologi Keluarga Islam (Malang: UIN Maliki Press, 2013), h. 77.
37
sebagai muhrimnya dengan sebab apapun, yang mengharamkan pernikahan
mereka berdua, baik itu bersifat sementara maupun selamanya. Syarat yang kedua
adalah saksi yang mencakup hukum kesaksian dalam pernikahan. Dengan
demikian kafa’ah hukumnya adalah dianjurkan.67
Islam pada dasarnya tidak menetapkan bahwa seorang laki-laki hanya
boleh menikah dengan perempuan yang sama dengannya. Islam juga tidak
menjadikan perbedaan kedudukan, harta, pendidikan, suku maupun fisik sebagai
penghalang dalam pernikahan, karena Islam tidak membuat aturan mengenai
kafa’ah, tetapi manusialah yang menetapkannya, sebab yang menjadi ukuran
dalam Islam adalah agamanya dan Islam memandang bahwa manusia diciptakan
adalah sama. Ada hal yang dapat mempengaruhi terjadinya kerukunan dalam
rumah tangga yaitu antara suami istri memiliki kesepadanan. Keharmonisan dan
kebahagiaan dalam suatu rumah tangga sangat ditentukan oleh keharmonisan
pasangan tersebut. Tidak diragukan lagi jika kedudukan antara laki-laki dan
perempuan sapadan, maka suami istri akan terhindar dari kegagalan atau
kegoncanan rumah tangga.68
Bahwa manusia itu sama dalam hak-hak dan kewajiban, mereka tidak
lebih utama dari kecuali dengan ketakwaan. Sedangkan selain ketakwaan yang
berdasarkan nilai kepribadian yang berlandaskan tradisi dan adat istiadat, maka
pasti diantara manusia saling memiliki perbedaan. Ada perbedaan dalam sisi
rezeki dan kekayaan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalan surat an-Nahl ayat
71:
67
Wahbah az-Zuhaili, Op.Cit. h. 223. 68
Anshari Taslim, Indahnya Nikah Sambil Kuliah, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim,
2005), h. 181.
38
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal
rezki”69
Secara akal pun, yang namanya kafa’ah ini sangat diterima, karena sudah
menjadi pengetahuan umum yang semua orang tahu, bahwa kesamaan status dan
kesepadanan strata antara kedua pasangan itu menjadi salah satu faktor
keharmonisan keluarga, karena bagaimana pun kafa’ah mempunyai pengaruh atas
lancar atau tidaknya sebuah hubungan keluarga. Maka kafa’ah ini sebagai faktor
yang dapat mewujudkan rumah tangga yang sakinah dan menjadi bahan
perhitungan juga.
Namun walaupun kafa’ah ini dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon
suami dan calon istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan.
Kafa’ah adalah hak bagi wanita dan walinya dan kafa’ah atau tidaknya pasangan
tersebut dilihat dari perempuannya bukanya dari laki-laki. Perempuanlah yang
dijadikan patokan apakah laki-laki jodohnya itu sekufu’ dengannya atau tidak.
Karena sesuatu perkawinan yang tidak seimbang atau serasi akan menimbulkan
problema berkelanjutan dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya
perceraian. Namun semua itu juga tergantung kepada pasangan tersebut yang akan
menjalankan bahtera kehidupan rumah tangga kedepannya. Kisah pernikahan
Fathimah binti Qais dengan Usamah bin Zaid merupakan gambaran bahwa
kedudukan dan kehormatan bukan merupakan aspek utama kafa’ah, Fathimah
69
Departemen Agama RI, Op.Cit. h. 274.
39
binti Qais adalah perempuan terhormat, cantik dan termasuk golongan orang
hijrah yang pertama, sedangkan Usamah bin Zaid adalah seorang budak, padahal
ketika itu Mu‟awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm datang meminang.
Mu‟awiyah adalah seorang bangsawan. Dilihat dari aspek ini, Mu‟awiyah sangat
pantas untuk memperistrinya, tetapi Rasulullah menyuruh Fatimah binti Qais
untuk menikah dengan Usman bin Zaid.70
Sehingga ketika itu Allah swt berfirman
dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”71
Ayat diatas menegaskan bahwa orang yang paling mulia disisi Allah
adalah orang yang paling bertakwa. Maka ayat tersebut menunjukkan bahwa
kemuliaan itu ditentukan oleh ketakwaan kita. Sebenarnya menurut Iman Malik,
kafa’ah ini khusus untuk kesepadanan dalam agama, iman taqwa dan juga
akhlaknya. Bahwa orang yang bagus agamanya, ia sekufu’ dengan pasangan yang
70
Mohammad Fuazil Adhim, Di Ambang Pernikahan (Jakarta: Gema Insani Press, 2002),
h. 74. 71
Departemen Agama RI, Op.Cit. h, 517.
40
bagus pula agamanya. Imam Syafi‟i pun mendukung pendapat ini. Bahwa kafa’ah
berlaku dalam bidang agama.
41
BAB III
GAMBARAN UMUM DAN PANDANGAN DOSEN
TERHADAP KONSEP KAFA’AH
A. Gambaran Umum Fakultas SyariahUIN Raden Intan Lampung
1. Sejarah dan Perkembangan
Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung merupakan salah satu dari
lima Fakultas di lingkungan IAIN Raden Intan Lampung saat ini. Keberaaan
Fakultas ini mempunyai sejarah yang panjang sejak didirikan pada tahun 1968.
Sejarah berdirinya Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung tidak terlepas
dari sejarah berdirinya IAIN Raden Intan Lampung, yaitu melalui musyawarah
Alim Ulama Daerah Lampung di Metro sebagai ibu kota Lampung Tengah
ketika itu, dalam rangka membentuk Yayasan Sejahtera Islam Lampung
(YKIL) pada tahun 1963, yang membidani berdirinya Perguruan Tinggi Agama
Islam (PTAI). Pada tahun itulah (1963) berdirinya PTAI dengan membuka 2
(dua) Fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syari‟ah di Lampung di
bawah binaan dan santunan YKIL dengan lokasi perkantoran dan perkuliahan
ditempatkan di aula Fakultas hukum Unsri jalan Hasanuddin No. 1
Telukbetung. Setelah berjalan beberapa bulan perkuliahan kedua Fakultas
tersebut dialihkan ke Masjid Jami‟ Lungsir Telukbetung, yang sekarang
bernama masjid Jami‟ al-Furqon. Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan didirikan
bersama dengan peresmian IAIN Raden Intan Tanjungkarang dengan Surat
Keputusan (SK) Menteri Agama RI Nnomor 187 Tahun 1968 tanggal 26
42
Oktober 1968 pada masa kepemimpinan Rektor pertama Muktamar Hasan,
S.H. yang berlokasi di Jalan Raden Fattah Kaliawi Tanjungkarang.Pada masa
transformasi menjadi perguruan tinggi negeri berdasarkan SK Menteri Agama
RI No. 187 tahun 1968, Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung
memiliki dua jurusan yaitu Jurusan Peradilan Agama atau Qodho‟ dan Jurusan
Perdata Pidana Islam. Sesuai dengan kebijakan Departemen Agama (sekarang
Kementerian Agama) pada tahun 1995, maka dua jurusan tersebut
dikembangkan menjadi tiga program studi, yaitu al-Ahwal al-Syakhsiyah (AS)
atau hukum keluarga/perdata, Mu‟amalah (M) atau Hukum Ekonomi dan
Bisnis, dan Jinayah Siyasah (JS) yang kemudian berubah menjadi jurusan
Siyasah (S) atau Hukum Tata Negara. Pada tahun 2006 fakultas Syari‟ah
membuka lagi jurusan Ekonomi Islam (EI) dan pada tahun 2013 dibuka lagi
jurusan baru Perbankan Syari‟ah (PS). Jadi sampai pertengahan tahun 2015
Fakultas Syari‟ah menyelenggarakan lima jurusan, yaitu Hukum Keluarga,
Hukum Ekonomi dan Bisnis, Hukum Pidana dan Politik, Ekonomi Islam dan
Perbankan Syari‟ah, sedangkan pada tahun 2016 Fakultas Syari‟ah
menyelenggarakan konsentrasi ilmu hukum dan kelas internasional. Sejalan
dengan pengembangan kelembagaan yang dilakukan Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Islam (Dirjen Pendis), maka pada tahun 2015 dibuka
fakultas baru yaitu Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) sebagai
pengembangan (pecahan) dari Fakultas Syari‟ah. Dua jurusan yang ada
sebelumnya ada di Fakultas Syari‟ah yaitu Ekonomi Islam dan Perbankan
Syari‟ah turut dipindah keseluruhannya, baik mahasiswa lama dan baru
43
maupun dosennya, ke FEBI tersebut. Dengan demikian Fakultas Syari‟ah
menyelenggarakan empat jurusan, yaitu Hukum Keluarga (AS), Hukum
Ekonomi dan Bisnis (M), Hukum Pidana dan Politik yang berubah menjadi
Hukum Tata Negara atau Siyasah (S) dan Ilmu Hukum (IH), tersebut
dibentuknya kelas internasional untuk jurusan Siyasah.72
2. Visi, Misi dan Tujuan Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung
a. Visi : Menjadikan Fakultas yang unggul dan komperatif dalam pendidikan,
pengkajian dan pengembangan hukum Islam dan ilmu hukum secara
integratif, yang berwawasan keIslamian, kemanusiaan, dan keindonesiaan,
baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional.
b. Misi :
1)Melaksanakan pendidikan yang berkualitas dalam hukum Islam dan ilmu
hukum terkait secara integratif, baik dalam bidang hukum perdata atau
keluarga, hukum ekonomi, hukum tata negara, hukum pidana, dan
sebagainya.
2) Melakukan penelitian, pengkajian dan pengembangan hukum Islam
dan ilmu hukum terkait di bidangnya.
3) Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat sesuai bidangnya serta
kerjasama yang simbiotif dengan berbagai lembaga dalam dan luar
negeri.
72
Buku Profil Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung 2016.
44
c. Tujuan:
1) Melahirkan sarjana hukum yang beriman, bertakwa, dan berakhlak
mulia.
2) Menghasilkan sarjana hukum bidang keIslamian dan ilmu hukum yang
ahli dan profesional dalam memutuskan dan menyelesaikan persoalan
hukum yang terjadi serta melaksanakan tugas pelayanan masyarakat
sesuai dengan disiplin keahlian hukum.
3. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung periode
2015-2019 terdiri dari pimpinan fakultas, sub-sub bagian, jurusan/program
studi, lembaga-lembaga atau pusat-pusat kajian. Sruktur tersebut dapat dilihat
dalam uraian di bawah ini:
a. Pimpinan
1) Dekan : Dr. Alamsyah, M.Ag.
2) Wakil Dekan I : Dr. H. Khairuddin Tahmid, M.H.
3) Wakil Dekan II : Drs. H. Haryanto, M.H.
4) Wakil Dekan III : Drs. H. Chaidir Nasution, M.H.
b. Kepala Bagian Tata Usaha dan Kasubag
1) Kabag Tata Usaha : Drs. H. Aziz Mohadi, M.M
2) Kasubag Akademik dan : Drs. Muhammad Kirom
Kemahasiswaan
3) Kasubag Umum, : Suciati M. SH
45
Kepegawaian, dan
Keuangan
c. Ketua-Ketua Prodi
1) Ketua Jurusan AS : Marwin, S.H., M.H.
Sekretaris : Gandhi Liyorba Indra, S.Ag., M.Ag.
2)Ketua Jurusan Muamalah : Dr. H. A. Khumedi Ja‟far, S.Ag., M.H.
Sekretaris : Khoirudin, S.Th.I., M.S.I.
3)Ketua Jurusan Siyasah : Drs. Susiadi AS, M.Sos.I.
Sekretaris : Frenki, S.E.I., M.S.I.
4. Program Studi
Fakultas Syari‟ah UIN Raden intan Lampung pada saat ini memiliki 3
jurusan atau program studi sebagai berikut:
a. Prodi Hukum Keluarga (Al-Ahwal Al-Syakhsiyah)
Jurusan (Prodi) ini meyiapkan sarjan muslim yang mempunyai
keahlian dibidang hukum Kekeluargaan dalam Islam (Perkawinana, waris,
wakaf, hibah, wasiat, dan lain-lain). Mampu mengkaji mendalami dan
meneliti problematika hukum kekeluargaan serta mampu mengembangkan
teori dan konsep hukum kekeluargaan dalam Islam sehingga diharapkan
dapat diaplikasikan dan disebarluaskan dalam masyarakat. Program Studi
Hukum Keluarga (Al-Ahwal Al-Syakhsiyah) ini telah terakreditasi oleh
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi dengan nilai B.
46
1) Visi : Program Studi Hukum Keluarga (Al-Ahwal Al-Syakhsiyah) ini
adalah menjadi pusat pendidikan, pengkajian, dan pengembangan
Hukum Keluarga berbasis ilmu syari‟ah, yang unggul, kompetitif,
inovatif dan responsif terhadap perkembangan persoalan kemanusiaan
dan berdaya saing global pada tahun 2023.
2) Misi :
a) Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran di bidang hukum
keluarga, baik yang bersifat teoritis maupun praktis.
b) Melakukan pengkajian dan pengembangan ilmu syari‟ah dan ilmu
hukum di bidang hukum perdata yang berbasis penelitian.
c) Melaksanakan pengabdian pada masyarakat guna membangun
kehidupan keluarga harmonis berdasarkan hukum keluarga serta
menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga luar.
3) Tujuan :
a) Menghasilkan sarjana hukum yang beriman, bertakwa, dan
berkhlak mulia.
b) Menghasilkan sarjana yang menguasai hukum keluarga dan hukum
keperdataan, baik hukum Islam maupun ilmu hukum, serta maupun
menyelesaikan persoalan dan melakukan pelayanan sesuai dengan
bidang keahliannya.
47
b. Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah)
Jurusan ini menyiapkan sarjana muslim yang mempunyai keahlian
dalam sidang Muamalah, dengan kajian utama Hukum Perikatan dan
Bisnis Syari‟ah serta menyiapkan mahasiswa untuk memiliki pengetahuan
tentang kaidah-kaidah muamalah kebendaan, hak milik dan sosial budaya,
memiliki keterampilan dalam menejemen perusahaan, asuransi dan
lembaga keuangan Islam lainnya.Program studi Hukum Ekonomi Syari‟ah
atau Mu‟amalah ini telah terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi dengan nilai A.
1) Visi : Program Studi Hukum Ekonomi Syari‟ah adalah menjadi pusat
pendidikan, pengkajian, dan pengembangan Hukum Ekonomi berbasis
ilmu Syari‟ah yang unggul, kompetitif, inovatif dan responsif terhadap
perkembangan hukum dan ekonomi yang berdaya saing global pada
tahun 2023.
2) Misi :
a) Melaksanakan pendidikan, pengkajian dan pengembangan Hukum
Ekonomi dan ilmu ekonomi berbasis syari‟ah baik teoritis maupun
praktis.
b) Mengembangkan sistem ekonomi dan lembaga keuangan dengan
berbasis kepada prinsip-prinsip syari‟ah.
c) Melaksanakan pengabdian pada masyarakat di bidang Hukum dan
Ekonomi Syari‟ah serta menjalin kerjasama yang baik dan
48
menguntungkan dengan lembaga-lembaga terkait, pemerintah dan
swasta, baik dalam negeri maupun luar negeri.
3) Tujuan :
a)Menghasilan sarjana hukum yang beriman, bertakwa, berakhlak
mulia dan memiliki penguasaan hukum ekonomi syari‟ah.
b) Menghasilkan serjana yang mampu menyelesaikan persoalan
hukum dan ekonomi kemasyarakatan yang terjadi dan
melaksanakan pelayanan sesuai dengan disiplin keahlian di
bidang hukum ekonomi syari‟ah.
c. Prodi Hukum Tata Negara (Siyasah)
Jurusan Siyasah bertujuan meyiapkan sarjana muslim yang mengetahui
Hukum Tata Negara yang memiliki keterampilan dalam memberikan
pendapat atau fatwa dalam Hukum Pidana Islam serta mempunyai
Kompetensi tentang konstalasi dan pengembangan Ilmu Tata Negara dan
Pemerintahan dalam Islam serta mengaplikasiannya. Program Studi
Hukum Tata Negara (Siyasah) ini telah terakreditasi oleh Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi dengan nilai B.
1) Visi : Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) adalah menjadi
pusat pendidikan, pengkajian, dan pengembangan ilmu hukum tata
negara yang berbasis ilmu syari‟ah dan ilmu hukum yang unggul,
kompetitif, inovatif, dan responsif terhadap perkembangan persoalan
kontemporer dan berdaya saing global pada tahun 2023.
49
2) Misi :
a) Melaksanakan pendidikan dan pengajaran hukum tata negara yang
berbasis ilmu-ilmu syari‟ah dan ilmu hukum, baik teoritis maupun
praktis.
b) Melakukan pengkajian dan pengembangan Hukum Tata Negara
dengan berbasis penelitian.
c) Melakukan pengabdian untuk membangun sistem ketatanegaraan
dan pemerintahan sesuai dengan nilai-nilai prinsip syari‟ah.
d) Menjalin kerjasama yang baik dan menguntungkan dengan
lembaga-lembaga terkait, pemerintahan dan swasta, baik dalam
negeri maupun luar negeri.
3) Tujuan :
a) Menghasilkan sarjana hukum yang beriman, bertakwa dan
berakhlak mulia.
b) Menghasilkan sarjana yang menguasai hukum tata negara dan
pemerintahan serta mampu mengimplementasikannya sesuai
dengan nilai-nilai syari‟ah.
c) Menghasilkan sarjana yang mampu menyelesaikan persoalan tata
negara, pemerintahan dan perundang-undangan yang terjadi dan
melakukan pelayanan sesuai dengan keahliannya di bidang hukum
tata negara.
50
5. Paradigma Keilmuan
Pendidikan di Fakultas Syari‟ahUIN Raden intan Lampung dirancang
untuk mencetak sarjana hukum yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia,
yang menguasai hukum Islam dan ilmu hukum terkait sesuai bidangnya, secara
integratif dan interdisipliner yang kokoh dan mendalam. Struktur leilmuan
Fakultas Syari‟ah dan Hukum berakar dari al-Qur‟an dan as-Sunnah sebagai
sumbernya, yang ketika ditafsirkan melalui ilmu al-Qur‟an dan al-Hadis, lalu
melahirkan ilmu fikih atau ilmu hukum Islam, sebagai dari ilmu-ilmu
keIslaman secara umum. Sebagai ilmu yang memuat aturan-aturan praktis
kehidupan manusia, maka ilmu fikih terpolarisasi menjadi ilmu bidang besar
hukum Islam, yaitu fikih ibadah (hukum ibadah ritual), fikih mu‟amalah
(hukum ekonomi-bisnis), fikih munakahat (hukum keluarga/perdata), fikih
jinayah (hukum pidana), dan fikih siyasah (hukum tata negara dan politik).
Oleh karena itu, kajian-kajian hukum keluarga dengan mata kuliah inti
fikih munakat dilakukan secara terpadu dengan hukum perdata, psikologi
hukum keluarga,mediasi dan advikasi. Kajian hukum ekonomi berbasis pada
fikih mu‟amalah dilaksanakan secara menyatu dengan kajian ilmu ekonomi
dan ilmu sosial umumnya. Demikian pula kajian hukum tata negara yang
berbasis kepada kajian fikih siyasah diintegrasikan dengan berbasis disiplin
ilmu terkait, seperti ilmu hukum tata negara, ilmu politik, dan sebagainya.
51
B. Dosen Tetap Yang Menjadi Narasumber di Fakultas Syari’ah UIN Raden
Intan Lampung
Obyek dalam penelitian ini adalah dosen yang memiliki kompetensi dalam
bidang fiqh secara umum di Fakultas Syari‟ah. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang membahas mengenai kafa’ah. Tetapi hanya dosen tetap saja yang menjadi
informan. Adapun dosen tetap Fakultas Syari‟ah yang menjadi informan dalam
penelitian ini yaitu:
1. Drs. Khoirul Abror, M.H.
Beliau merupakan dosen mata kuliah fiqh ibadah di Fakultas Syari‟ah dan
beliau juga telah menulis buku mengenai Hukum Perkawinan dan Perceraian
yang menjelaskan bahwa beliau pun membidangi fiqh munakahat.
2. Dra. Firdaweri, M.H.I.
Beliau merupakan dosen senior mata kuliah fiqh munakahat di Fakultas
Syari‟ah dan beliau pernah menjabat Lektor Kepala Mata Kuliah Fiqh pada
tahun 1997.
3. Drs. H. Muhammad Rusfi, M.Ag.
Beliau adalah dosen yang mengajar mata kuliah ushul fiqh
4. Rohmat, S.Ag., M.H.I.
Beliau adalah dosen yang mengajar mata kuliah fiqh jinayah sekaligus ilmu
falak
5. Dr. H. A.Khumedi Ja‟far, S.Ag., M.H.
52
Beliau merupakan dosen tetap di Fakultas Syari‟ah yang membidangi fiqh
muamalah. Beliau sekarang menjabat sebagai ketua Jurusan Muamalah dan
beliau baru saja mendapatkan gelar Doktor dalam bidang Hukum Keluarga.
6. Abdul Qodir Zaelani, S.H.I., M.A.
Beliau adalah dosen yang mengajar mata kuliah fiqh mawaris dan beliau juga
mengelola lembaga kajian redaksi al-„Adalah sebagai pemimpin.
7. Yufi Wiyos Rini Masykuroh, S.Ag., M.Si.
Beliau merupakan dosen yang mengajar mata kuliah fiqh ibadah.
C. Pandangan Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung
TehadapKonsep Kafa’ah
Kafa’ah merupakan suatu hal yang yang perlu diperhatikan dalam memilih
calon pasangan agar tidak terjadi kesenjangan antara kedua belah pihak. Kafa’ah
sendiri pun bukanlah suatu hal yang dijadikan sebagai syarat dalam perkawinan.
Walaupun bukan menjadi syarat dalam perkawinan para ulama banyak berbeda
pendapat mengenai hal ini.
Beberapa tanggapan dosen Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung
mengenai konsep kafa’ahyang mempunyai spesifikasi dalam bidang ilmu Hukum
Perkawinan yaitu dosen-dosen yang mengajar dalam bidang ilmu Fiqh. Terdapat
beberapa pertanyaan yang diajukan mengenai kafa’ah, antara lain mengenai
tanggapan tentang kafa’ah dalam rumah tangga, apa saja kriteria kafa’ah, setuju
atau tidak bahwa kafa’ahdijadikan konsep untuk mewujudkan keharmonisan
rumah tangga, bagaimana dengan seseorang yang sudah saling mencintai tetapi
53
tidak sekufu’, adakah hal-hal selain dalam konsep kafa’ah untuk mencapai rumah
tangga rumah tangga yang harmonis. Diantara beberapa dosen yang diwawancarai
antara lain:
1. Menurut bapak Drs. Khoirul Abror, M.H,73
mengenai tanggapan beliau tentang
kafa’ah dalam rumah tangga, beliau mengatakan bahwakafa’ah itu seimbang atau
seirama baik dengan laki-laki maupun perempuan, baik seirama dalam hal
pendidikan ekonomi dan ilmu pengetahuan, tetapi tidak harus sama tetapi tidak
pula jauh secara keseimbangannya.
Lalu kriteria kafa’ah menurut beliau yaitu seirama dalam hal pendidikan,
dalam hal ekonomi dan seirama dalam hal pengetahuan. Namun yang paling
utama yaitu dalam hal umur yaitu jarak antara umur laki-laki dan perempuan tidak
jauh berbeda.
Beliau setuju bahwa kafa’ahdijadikan konsep untuk mewujudkan
keharmonisan rumah tangga dengan syarat laki-laki harus seimbang, kemudian
antara wali dan laki-laki tidak bermusuhan, dan laki-laki pun sanggup membayar
mas kawin.
Ketika ada seseorang yang saling mencintai tetapi dia tidak sekufu’ itu bukan
menjadi hal yang dipermasalahkan tetapi setidaknya antara laki-laki dan
perempuan itu seagama, karena didalam KHI juga sudah jelas bahwa tidak sekufu’
tidak dapat menghalangi untuk menikah kecuali karna tidak sekufu’ dalam hal
agama. Karena kalau berbicara tentang kafa’ah sama halnya berbicara masalah
ijbar. Hak ijbar itu orang tua memaksakan anak gadisnya menikah dengan laki-
73
Wawancara dengan bapak Khoirul Abror, Bandar Lampung, 02 Februari 2018.
54
laki tanpa izin dari gadis yang bersangkutan tetapi dengan pertimbangan dan
syarat tertentu, karena sering kali perempuan tidak pandai memilih jodohnya
dengan tepat. Maka disitu baru muncullahkafa’ah karena kafa’ah memang harus
diperhatikan benar.
Hal-hal selain dari konsep kafa’ah untuk mencapai rumah tangga yang
harmonis adalah tidak ada permusuhan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya
saling menjaga perasaan masing-masing dan saling menghormati agar tidak
adanya permusuhan karena tidak ada permusuhan itu wajib.
2. Menurut ibu Dra. Firdaweri, M.H.I.74
dianjurkannya didalam perkawinan itu
adanya kafa’ah tetapi kafa’ah yang dikatakan dalam hadits bahwa wanita
dinikahkan karena empat hal yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya
dan agamanya. Pilihkan wanita karena agamanya maka kamu akan beruntung.
Kriteria kafa’ah itu hanya ada emapat yaitu harta, keturunan, kecantikan dan
agama tetapi yang paling ditekankan dalam Islam adalah agama. Tetapi kalau bisa
selain agama disamping itu ada unsur-unsur lain yaitu pendidikan.
Beliau mendukung bahwa kafa’ah dapat menimbulkan keharmonisan dalam
rumah tangga, bila terjadi kesenjangan dalam rumah tangga dikhawatirkan akan
menimbulkan konflik karena kedua belah pihak tidak memahami satu sama lain.
Tidak apa-apa ketika laki-laki dan perempuan tidak kafa’ah akan melangsungkan
pernikahan asal terpenuhinya rukun dan syarat karena kafa’ah itu bukan rukun
dan syarat dalam pernikahan, tetapi ketika akan melihat harmonis dan tidak
harmonisnya itu dilihat setelah menikah.
74
Wawancara dengan ibu Firdaweri, Bandar Lampung, 05 Februari 2018.
55
Untuk mencapai rumah tangga yang harmonis adalah hak dan kewajiban, namun
hak dan kewajiban suami istri itu bisa bergeser dengan kemajuan zaman sekarang,
contohnya istri harus memasak nasi, memasak nasi itu bisa digantikan dengan alat
elektronik, tetapi hak dan kewajiban hubungan seks tidak bisa bergeser namun
hak dan kewajiban yang lain bisa bergeser asalkan keduanya bisa menerima.
Memenuhi dan menerima hak dan kewajibannya itu sudah menimbulkan
keharmonis dalam kehidupan rumah tangganya. Karena kafa’ah itu hanya
sebagian kecil dari keharmonisan rumah tangga bukan penentunya, penentu
kebahagiaan itu hak dan kewajiban.
3.Menurut bapak Drs. H. Muhammad Rusfi, M.Ag.75
beliau mengatakan bahwa
kafa’ah itu persamaan, kedudukan, sederajat dan sama agamanya dengan calon
pasangan.
Kriteria kafa’ah yang paling utama adalah agamanya karena agama merupakan
pondasi dari semuanya. Selain agamanya status sosial juga perlu diperhatikan
karena status sosial yang ningrat dengan yang ningrat juga belum menjamin
kebahagiaan tetapi tidak menjadi patokan dan jangan terlalu jauh juga statusnya
nanti akan canggung didalam rumah tangga. Maka kafa’ah ini harus diperhatikan
tetapi yang paling diutamakan adalah agamanya.
Beliau setuju bahwa salah satu yang dapat mewujudkan keluarga harmonis itu
adalah konsep kafa’ah ini. Namun ketika ada seseorang yang sudah saling
mencintai namun tidak sekufu’ merupakan hal yang anak remaja lakukan
sekarang, mereka hanya melihat luarnya saja yaitu cantik dan ganteng, mereka
75
Wawancara dengan bapak Muhammad Rusfi, Bandar Lampung, 07 Februari 2018.
56
tidak berfikir panjang apabila sudah berumah tangga seperti apa perilaku antar
keduanya maka orang tualah yang mepunyai hak untuk mnerima dan menolak
calon pasangan anak perempuan mereka. Ketika hendak memilih pasangan
sebaiknya melihat agamnya terlebih dahulu.
Selain dari konsep kafa’ah hal yang dapat mencapai keharmonisan rumah tangga
yaitu pasangan saling pengertian, saling membantu, sama-sama saling menutupi
kekurangan pasangan, persoalan suami istri tidak boleh keluar dari pintu kamar
dan yang terakhir persoalan rumah tangga tidak boleh keluar dari pintu rumah.
4.Menurut bapak Rohmat, S.Ag., M.H.I.76
beliau mengatakan kafa’ah itu
seimbang, sebanding yang sebanding dalam Islam itu dalam hal agama.
Sementara ini kafa’ah yang penting beragama Islam saja, Islam dengan Islam.
Sementara banyak yang sama-sama Islam tetapi yang perempuannya taat
beragama yang laki-laki tidak dan sebaliknya yang laki-laki taat beragama yang
perempuannya tidak. Maka apabila didalam rumah tangga ada kesenjangan
biasanya salah satunya ada yang kurang nyaman.
Kedudukan kafa’ah itu bukan syarat dan bukan rukun pula tetapi nilai idealisme
artinya sama-sama seimbang baik dalam sosial, ekonomi maupun agama. Nilai
idealisme kafa’ah itu dalam berbagai hal termasuk cara berfikir harus seimbang,
dalam hal kebutuhan seksual itupun harus kafa’ah.
Beliau setuju bahwa konsep kafa’ah bisa mencapai keharmonisan dalam rumah
tangga, apabila didalam rumah tangga suami istri tidak kafa’ahdan itu akan
mempengaruhi dalam keharmonisan rumah tangga tersebut. Namun konsep
76
Wawancara dengan bapak Rohmat, Bandar Lampung, 05 Februari 2018.
57
kafa’ah ini hanya seyogyanya saja, karena yaitu tadi apabila didalam rumah
tangga suami istri tidak kafa’ah dalam tatanan nilai idealisme, maka akan
membuat tidak nyaman dan akan terjadi ada yang lebih dominan diantara
keduanya.
Menurut beliau jikaada seseorang yang saling mencintai namun tidak sekufu‟ itu
tidak apa-apa karena kafa’ah bukan menjadi penentu sah atau tidaknya suatu
perkawinan. Kafa’ah bukan syarat, bukan rukun dan bukan disunnahkanjuga.
Untuk mencapai rumah tangga yang harmonis hal-hal selain dari konsep kafa’ah
yaituyang terpenting adalah hak dan kewajiban, masing-masing mengetahui dan
melaksanakan hak dan kewajibannya. Ketika hak dan kewajibannya terpenuhi
akan relatif nyaman dan akan relatif bahagia, tetapi kebahagiaan itu tidak mutlak
namun standar hukumnya. Mengetahui hak dan kewajiban laki-laki apa, hak dan
kewajiban perempaun apa. Ketika semua itu sudah ditunaikan secara hukum itu
bahagia, tetapi namanya kebahagiaan itu ukurannya individu, kalau ukurannya
individu tidak bisa dipaksa, karena hak dan kewajiban sudah terpenuhi belum
tentu bahagia itu kalau ukurannya individu namun kalau ukurannya hukum sudah
bahagia.
5.Menurut bapak Dr. H. A.Khumedi Ja‟far, S.Ag., M.H.77
kafa’ah itu kesepakatan
sebelum terjadi pernikahan, jadi kafa’ah dalam hal pra perkawinan itu sangat
diperlukan karena salah satu kunci atau syarat untuk menjadi suami istri atau
untuk menuju rumah tangga itu antara calon mempelai laki dengan calon
77
Wawancara dengan bapak Kumedi Ja‟far, Bandar Lampung, 13 Februari 2018.
58
perempuan harus seiya sekata artinya sepakat, saling menerima dalam konsep
kafa’ah itu sangat diperlukan bagi calon mempelai laki-laki dan perempuan.
Beliau mengatakan bahwa kriteria kafa’ahyaitu sepakat dalam hal janji kesetiaan
yang harus disepakati dari awal, harus menerima kekurangan dan kelebihan
masing-masing, jadi menerima kondisi yang akan terjadi dan siap menerima apa
yang akan terjadi nantinya, tidak hanya ketika enaknya saja.
Beliau juga setuju bahwa kafa’ah sebagai acuan untuk dijadikannya keharmonisan
dalam rumah tangga, sehingga didalam rumah tangga nantinya akan terjalin
keserasian.
Ketika seseorang saling mencintai namun tidak sekufu, itu perlu dikaji ulang,
biasanya mereka berdua hanya semata-mata cinta buta, tidak melihat masa depan,
tidak melihat aturan-aturan dalam Islam, sedangkan dalam Islam kan yang
dimaksud sekufu‟ disini yang dalam hal apa saja, minimal dalam hal agama kalau
bisa yang dalam ekonomi, pendidikan dan penghasilan tetapi minimal sekufu’
dalam hal agama.
Untuk mencapai rumah tangga yang harmonis suami istri harus saling setia, saling
percaya, saling terbuka, saling menghargai satu dengan yang lain, saling
menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Insyaallah keharmonisan
dalam rumah tangga salalu terwujud dan menghindari dari macam keributan dan
keretakan dalam rumah tangga.
59
6.Menurut bapak Abdul Qodir Zaelani, S.H.I., M.A.78
kafa’ah dalam rumah tangga
itu menjadi suatu pertimbangan yang penting karena dapet menimbulkan
keserasian antara kedua belah pihak.
Keseimbangan antara kedua belak pihak ini misalnya, keseimbangan intelektual,
keseimbangan ekonomi, agama, dan keserasian dengan amalan agama karena
kalau tidak menjadikan pertimbangan hal ini akan menjadi jomplang. Nabi
mengatakan memilih wanita itu dari hartanya, keturunannya, kecantikannya dan
agama. Walaupun ulama-ulama menyatakan ada beberapa kriteria, saya melihat di
hanafi, maliki, syafi‟i dan hambali mengatakan yang pertama adalah nasab,
kualitas agamanya.
Beliau setuju bahwa kafa’ahdapat dijadikan sebagai keharmonisan rumah tangga,
ketika tidak ada persoalan yang terpenting keluarga mengkomunikasikan segala
sesuatu sehingga apa yang dikomunikasikan itu nyampe, jangan sampai melihat
keluarga dari ukuranya bisa menjadi tidak harmonis, tetapi bagaimana keridhoan
keduanya.
Ketika seseorang dengan agamanya muslim kemudian tidak sekufu’ atau tidak
selaras dengan agama non muslim lalu dia menikah, ini kan menjadi
pertimbangan juga tidak mungkin dalam satu keluarga ada dua nahkoda, nahkoda
yang berbeda, maka kafa’ah dalam Islam ini menjadi pertimbangan bukan
menjadi syarat syahnya pernikahan. Tidak apa-apa tidak sekufu’ karena cinta,
tetapi ada konsekuensi logis ketika tidak sama.
78
Wawancara dengan bapak Abdul Qodir Zaelani, Bandar Lampung, 05 Maret 2018.
60
Dalam al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 187, Istri kalian adalah pakaian kalian
dan kalian adalah pakaian bagi istri kalian. Dan suami istri itu saling melindungi,
memahami, menghargai, menghormati, menerima dengan kelebihan dan
kekurangan karena tidak ada yang sempurna, ketika hendak berkeluarga maka
harus sudah siap dengan konsekuensi kekurangan pasangan. Maka itu menurut
saya untuk mencapai keharmonisan dalam rumah tangga.
7.Menurut ibu Yufi Wiyos Rini Masykuroh, S.Ag., M.Si.79
kafa’ah menurut beliau
berarti sama, sederajat, seimbang dalam kehidupan rumah tangga kemudian sama-
sama seiman dalam kehidupan. Kalau seiman dalam kehidupan akan
menimbulkan kesamaan dalam beribadah dan dalam menjalankan kehidupan akan
dapat saling mengisi.
Terhadap beberapa kriteria yang paling utama adalah agama, keturunan yang
seiman, kalau harta bisa dicari bersama sehingga harta bukan merupakan kriteria
kafa’ah.
Keterkaitan antara kafa’ah dan kebahagiaan rumah tangga tentu sangat
mendukung, sebab didalam keluarga harmonis itu akan mencerminkan kepada
setiap anggota keluarga akan merasa tenang, setiap anggotanya merasa dalam
suasana tentram, damai, aman, bahagia dan sejahtera lahir dan batin. Sejahtera
lahir adalah bebas dari kemiskinan harta dan tekanan penyakit jasmani, sedangkan
sejahtera batin maksudnya bebas dari kemiskinan iman, rasa takut akan kehidupan
dunai akhirat, mampu mengkomunikasikan nilai-nilai keagamaan dalam keluarga
dan masyarakat.
79
Wawancara dengan ibu Yufi Wiyos Rini Masykuroh, Bandar Lampung, 06 Februari
2018.
61
Rasulullah memberikan persyaratan kepada manusia yang akan membina keluarga
baru, yaitu calon pasangan suami dan istri hendaklah sekufu’, baik berupa
keturunan, kekayaan dan agama. Namun syarat yang utama adalah keduanya
harus seagama dan taat beragama. Memang laki-laki yang beragama Islam boleh
menikah dengan wanita ahi kitab, namun kebolehan itu dalam rangka dakwah
tetapi tetap diharuskan wanita tersebut harus masuk Islam.
Untuk mencapai rumah tangga yang harmonis hal-hal yang harus ditanamkan
selain dalam kafa’ah, yaitu terwujudnya keluarga sakinah bahagia tentram dan
damai, bukanlah hal yang mudah kalau tidak dilaksanakan dengan baik. Dimana
keluarga senantiasa harus dilandasi adanya kasih sayang, setiap anggota keluarga
memahami akan kewajibannya masing-masing dalam keluarga itu sendiri.
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh beberapa dosen Fakultas
Syari‟ah didapatkan beberapa pendapat yang dibahas dalam skripsi ini, antara
lain:
Pertanyaan pertama, yaitu bagaimana pendapat dosen mengenai kafa’ah dalam
rumah tangga, didapat jawaban yang beragam namun dapat ditarik kesimpulan
yaitukafa’ah merupakan kesepadanan antara calon mempelai laki-laki dan calon
mempelai perempuan ketika akan melangsungkan pernikahan tetapi kafa’ah ini
hanya menjadi hal yang dianjurkan saja agar didalam rumah tangga tidak terjadi
kesenjangan dan menimbulkan keserasian.
Pertanyaan kedua, mengenai kriteria kafa’ah, banyak tanggapan yang berbeda dari
beberapa dosen namun banyak yang mengatakan kriteria kafa’ah ini dari segi
ekonomi, pendidikan dan status sosial tetapi ada dosen yang mengatakanyaitu ibu
62
Yufi bahwa harta bukan merupakan kriteria kafa’ah karena harta bisa dicari
bersamanamun dari kriteria tersebut narasumber sepakat bahwa agama yang
paling diutamakan.
Pertanyaan ketiga, merupakan tanggapan mengenai setuju atau tidaknya kafa’ah
dapat mewujudkan keharmonisan rumah tangga, hampir semua
respondenmengatakan setuju dengan kafa’ah ini, karena didalam rumah tangga
akan terjalin keserasian sehinggakedua belah pihak saling memahami satu sama
lain, yang mana tidak terjadi kesenjangan dan tidak ada yang merasa lebih
dominan didalam rumah tangga. Tetapi menurut ibu firdaweri kafa’ah itu hanya
sebagian kecil dari keharmonisan rumah tangga bukan penentunya, penentu
kebahagiaan itu hak dan kewajiban.
Pertanyaan keempat, mengenai seseorang yang saling mencintai namun tidak
sekufu’, para dosen menanggapi hal ini dengan berbagai pendapat yaitu ada yang
mengatakan tidak apa-apa tidak sekufu’ karena kafa’ahbukan merupakan rukun
dan syarat suatu pernikahan, tetapi ada juga yang berpendapatbahwa harus
menerima konsekuensinya ketika tidak sekufu’, kalau bisa harus ada ridho dari
orang tua.
Pertanyaan kelima, mengenai hal-hal selain dari konsep kafa’ah yang dapat
mencapai rumah tangga harmonis, para dosen menanggapi hampir semuanya
mengatakan yang paling terpenting yaitu hak dan kewajiban terpenuhi, saling
terbuka, menerima dan menutupi kekurangan pasangan. Maka keharmonisan akan
terwujud dan terhindar dari keributan maupun keretakan dalam rumah tangga.
63
Pada prinsipnya semua dosen mengatakan bahwa kafa’ahdalam segi
agama itu yangmenentukan sahnya perkawinan karena kalau tidak sama-sama
Islam maka pernikahanya tidak boleh dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi
syarat pernikahan. Tetapipada kriteria kafa’ah lainnya para dosen berbeda
pendapat, antara lain:
Dr. Khoirul Abror, M.H. Pendidikan, Ekonomi, Pengetahuan,
dan Jarak Umur
Dra. Firdaweri, M.H.I Harta, Keturunan, dan Pendidikan
Drs. H. Muhammad Rusfi, M.Ag. Status Sosial
Rohmat, S.Ag., M.H.I. Status Sosial, dan Ekonomi
Dr. H. A.Khumedi Ja‟far, S.Ag., M.H. Ekonomi, dan Pendidikan
Abdul Qodir Zaelani, S.H.I., M.A Ekonomi, dan Intelektual
Yufi Wiyos Rini M, S.Ag., M.Si. Keturunana Seiman
64
65
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Pandangan Dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung Terhadap
Konsep Kafa’ah dalam Perkawinan
Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dari hasil penelitian
dilapangan yaitu di Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung yang kemudian
dituangkan dalam penyusunan bab-bab terdahulu, maka pada langkah selanjutnya
akan menganalisis data yang telah dikumpulkan untuk menjawab permasalahan
dalam penelitian ini.
Kafa’ahmerupakan sesuatu hal yang menjadi pertimbangan dalam
memilih pasangan ketika akan melangsungkan pernikahan, yang mana persoalan
kafa’ah ini memang dirasa penting, agar terjadi kesepadanan antara kehidupan
suami istri dalam membina rumah tangga.
Dari beberapa tanggapan dosen mengenai kafa’ah, yaitu hampir semua
dosen menyetujui bahwa kafa’ah ini dapat menunjang terjadinya keharmonisan
rumah tangga, yang mana rumah tangga tersebut nantinya akan terjalin keserasian
dan tidak ada kesenjangan dari kedua belah pihak. Namun, ada satu dosen yang
berpendapat yaitu ibu Firdaweri bahwa kafa’ah itu hanya sebagian kecil saja dari
keharmonisan rumah tangga dan bukan penentunya, tetapi menurut beliau penentu
kebahagiaan itu adalah hak dan kewajiban.
Untuk kriteria kafa’ah sendiri pun banyak tanggapan yang berbeda dari
para dosen, namun dari perbedaan pendapat tersebut dosen sepakat bahwa ktriteria
66
kafa’ah yang paling diutamakan adalah mengenai agama. Sedangkan perbedan
kriteria tersebutseperti bapak Rohmat, dan bapak M. Rusfi yaitu dari status sosial
yang diperhatikan. Karena ketika status sosialnya saja tidak sepadan maka akan
terjadi kesenjangan atau ada yang lebih dominan dari salah satu diantara mereka
didalam rumah tangga, Sedangkan untuk beberapa dosen lainnya mereka
mengatakan kriteria kafa’ah ini dari pendidikan, keturunan, pengetahuan, dan
ekonomi, namun menurut ibu Yufi Wiyos Rini Masykuroh ekonomi
bukantermasuk sebagai kriteria kafa’ah karena menurut beliau ekonomi
merupakan sesuatu yang dapat dicari bersama-sama ketika sudah hidup berumah
tangga. Sedangkan menurut bapak Khoirul Abror dalam kriteria kafa’ah yang
paling utama selain dari segi agama adalah ketika jarak umur antara calon laki-
laki dan calon perempuan tidak jauh berbeda. Sehingga ketika sudah menjalankan
hidup berumah tangga mudah untuk saling berkomunikasi.
Jadi dari kriteria kafa’ah tersebut prinsipnya para dosen sepakat bahwa
kriteria agamalah yang paling penting, tetapi dalam kriteria kafa’ah lainnya pun
tidak menutup kemungkinan untuk menjadi bahan pertimbangan juga dalam
memilih calon pasangan. Namun hanya sebatas untuk dikesampingkan saja.
Sedangkan mengenai kriteria kafa’ah dalam hal pendidikan, status sosial,ilmu
pengetahuan, dan masalah umur yang tidak boleh terlampau jauh antara pasangan,
tidak termasuk kriteria yang disebutkan menurut ulama empat mazhab. Maka hal
ini menjadi bukti bahwa pendapat dosen tidak sepenuhnya sama dengan pendapat
para ulama mazhab. Apabila dilihat pada era zaman sekarang ini maka kriteria
yang disebutkan oleh para dosen menggambarkan pada era zaman yang sudah
67
modern ini. Contohnya saja dalam hal pendidikan, di zaman sekarang ini
pendidikan termasuk dalam katagori yang diwajibkan kepada setiap orang untuk
melaksanakannya, karena dengan melaksanakan pendidikan maka seseorang akan
terbentuk menjadi pribadi yang memiliki pola pikir yang terus berkembang.
Apabila memilih pasangan yang memiliki pola pikir yang sama antar pasangan
maka akan mudah untuk melangkah kedepan dengan tujuan yang sama dalam
membangun rumah tangga. Contoh yang kedua yaitu mengenai status sosial, tidak
dapat dipungkiri bahwa status sosial seseorang dapat menentukan siapa seseorang
tersebut. Sehingga di dalam rumah tangga apabila status sosialnya itu terlalu jauh
maka akan ada yang lebih dominan dan akan ada yang merasa canggung.
Alangkah baiknya apabila status sosial juga perlu diperhatikan dalam memilih
calon pasangan.
Masyarakat kita memang dikenal dengan berbagai macam etnis, suku dan
budayanya, bahkan banyak pemeluk agama yang berbeda-beda. Dalam kaitannya
dengan kehidupan yang sekarang, konsep ini dirasa menimbulkan pengelompokan
diantara manusia yang dianggap tidak saling berkaitan lagi.Disamping itu
masyarakat pun berkembang dari berbagai macam stratifikasi sosial. Namun
dengan perkembangan zaman, kafa’ah ini malah menambah berbagai macam
kriteria yang membuat masyarakat menjadi semakin mengelompokan antara etnis,
suku dan budaya.Sehingga penetapan oleh Islam mengenai kriteria yang
diutamakan yaitu agama menjadi kriteria yang terlupakan, tetapi setelah saya
mewawancarai kepada para dosen di Fakultas Syari‟ah maka mereka sepakat
68
bahwa kriteria kafa’ah yang paling diutamakan adalah dari segi agama yang
sesuai dengan hukum Islam.
Saya sendiri setuju dengan adanya konsep kafa’ah ini, seperti apa yang
telah dikatakan oleh dosen-dosen sebelumnya,yang beranggapan bahwa kafa’ah
dapat menunjang terjadinya keharmonisan dalam rumah tangga. Sehingga
didalam rumah tangga tersebut dapat terjalin keserasian antara suami istri.
Walaupun kafa’ah ini hanya sebagai penunjang namun menurut saya kafa’ah juga
perlu diperhatikan ketika akan memilih pasangan. Karena tidak dapat dipungkiri
bahwa apabila memilih pasangan yang akan dijadikan sebagai pendamping hidup
itu memiliki kesepadanan diantara keduanya maka ketika melangsungkan bahtera
kehidupan rumah tangga kedepannya akan lebih mudah untuk menyesuaikan
antara keduanya dan tidak ada yang dominan didalam rumah tangga, ketika antara
kedua pasangan tersebut terjadi kesenjangan maka akan rentan terjadinya konflik
dikeduanya, sebagaimana Rasulullah saw berkata:
عائشت، قا ىج ه ع ا صو اهلل اهلل: قاه س س نح ا ا ىطفن : حخيش سي عيي
ا إىي نح أ .األ مفاء
Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda,” Pilihkanlah bagi anak-anak
gadis kalian (jodoh yang baik). Menikahlah kalian dengan yang sekufu‟ dan
nikahkanlah anak-anak gadis kalian dengan mereka.”80
80
Abdullah Shonhaji, Terjemahan Sunan Ibnu Majah Jilid IV (Semarang: CV. Asy Syifa‟,
1993). h. 688.
69
Dalam kriteria kafa’ahsaya setuju untuk memilih calon pasangan dengan
memperhatikan terlebih dahulu mengenai agama dan ketakwaannya, karena
agama merupakan suatu pondasi dari suatu hubungan. Ketika seseorang memiliki
ketakwaan kepada Allah swt maka ia akan menjadikan setiap aktivitasnya
termasuk pernikahan hanya karena Allah dan semata-mata untuk ibadah.
Rasulullah SAW berkata dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya:
ش يشة سضي أب اى اهللع ، ع ا اهللبي صي ع شأ ة ىأس بع ى نح اى ، قاه: ح سي عيي
حش ا فاظفش بزا ث اىذ ي ىذ ي ا ا ى ج ا ىحسب ا بج يذاك. ى
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda: “Wanita dikawini karena empat
hal: Karena hartanya, karena status sosialnya, karena kecantikannya, dan karena
ketaatannya kepada agama. Pilihlah wanita yang taat kepada agama, maka kamu
akan beruntung.”81
Dari hadist diatas sudah jelas bahwa ketika memilih calon pasangan dilihat
dari ketakwaan agamanya. Sepasang suami istri yang memiliki iman dan
keyakinan yang sama dalam kehidupannya tentu akan sangat mudah berjalan
beriringan dalam membangun sebuah keluarga sakinah. Dengan adanya kesamaan
iman ini perbedaan dan perselisihan yang mungkin terjadi dapat diminimalisir
secara baik, karena pandangan yang mereka miliki telah sama. Salah satu hikmah
dari anjuran ini adalah kesetaraan dalam agama dapat menjadi faktor
kelanggengan rumah tangga.
81
Zainuddin Hamidy, Terjemahan Hadits Shahih Bukhari, (Jakarta: Widjaya, 1992) h. 10.
70
B. Tanggapan Dosen Mengenai Seseorang Yang Saling Mencintai Namun Tidak
Sekufu’
Kafa’ah dapat diartikan sebagai bahan pertimbangan ketika akan memilih
pasangan, sehingga kafa’ah ini berlakunya sebelum akad nikah. Namun ketika
memilih pasangan ada yang perlu diperhatikan dari segi agama, keturunan,
pendidikan, status sosial, umur, ilmu pengetahuan, dan ekonomi. Kriteria tersebut
merupakan pendapat dari para dosen.Jika salah satu calon mempelai memiliki
salah satu dari kategori tersebut, maka kesepadanannya telah dianggap terpenuhi.
Tetapi hal ini tidak berpengaruh pada sahnya akad nikah yang dilakukan,
karenakafa’ah itu bukan termasuksyarat sah nikah. Seandainya seorang
perempuan menikah dengan seorang laki-laki yang tidak sepadan dengannya dan
perempuan tersebut atau walinya tidak mau menerima dan menyetujui, maka
pernikahan tersebut menjadi batal.
Ketika dalam memilih calon pasangan ada ketidak sekufu’an diantara
kedua pasangan tersebut, maka hal ini tidak menjadi masalah dalam
melangsungkan pernikahan. Menurut dosen yang mengatakan hal seperti ini
adalah bapak Rohmat, beliau mengatakan bahwa kafa’ah ini bukan menjadi
penentu sah atau tidaknya suatu pernikahan. Kafa’ah juga bukan syarat, bukan
rukun dan bukan disunnahkan juga.Sehingga diperbolehkan ketika tidak ada
kafa’ah diantara pasangan yang akan melangsungkan pernikahan.Sama halnya
dengan pendapat ibu Firdawerikafa’ah itu bukan rukun dan syarat dalam
pernikahan, asalkan terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan, maka pernikahan
tersebut sudah dikatakan sah. Kemudian menurut bapak Abdul Qodir Zaelani
71
bahwa tidak apa-apa apabila tidak ada kafa’ah karena rasa cinta, tetapi harus
menerima konsekuensinya ketika tidak kafa’ah. Sedangkan dari pendapat bapak
Kumedi Ja‟far, beliau mengatakan bahwa perlu dikaji ulang ketika tidak kafa’ah,
biasanya hanya semata-mata karna rasa cinta sehingga tidak melihat aturan-aturan
dalam Islam. Sedangakan dalam Islam yang dimaksud kafa’ah ini adalah dalam
hal agama. Untuk pendapat dosen yang lain mereka mengatakan bahwa yang
terpenting pasangan tesebut sama-sama beragama Islamkarena tidak kafa’ah
seseorang bukan menjadi hal yang dipermasalahkan.
Mungkin kafa’ah ini menjadikan seseorang yang seolah-olah terlalu
idealis atau pilih-pilih, karena memilih pendamping hidup bukan dilakukan untuk
waktu yang sebentar saja, melainkan dilakukan untuk sepanjang hidupnya,
sehingga memilih pasangan harus dilakukan terlebih dahulu, agar tidak
mendapatkan penyesalan dikemudian hari. Karena tujuan utama kafa’ah ini
adalah untuk ketentraman dan kelanggengan sebuah rumah tangga, jika rumah
tangga didasari dengan kesamaan persepsi, kesesuaian pandangan, dan saling
pengertian, maka rumah tangga akan tentram, bahagia, dan selalu dinaungi rahmat
Allah swt. Namun sebaliknya, jika rumah tangga yang sama sekali tidak didasari
dengan kecocokan antara pasangan, maka permasalahan yang kelak akan selalu
dihadapi.
72
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan dan analisis yang telah uraikan pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pandangan dosen mengenai konsep kafa’ah dalam perkawinan merupakan
hal yang dapat menunjang keharmonisan rumah tangga, tetapi ada dosen
yang mengatakan bahwa kafa’ah hanya sebagian kecil sajauntuk
mewujudkan keharmonisan rumah tangga karena penentu keharmonisan
adalah hak dan kewajiban. Sedangkan kriteria kafa’ah, para dosen
sepakatagamalah yang dijadikan faktor utama dan terpenting dalam
kafa’ah, namun kriteria lain diluar dari kriteria agama mereka berselisih
pendapat, seperti pendidikan, umur tidak boleh terlalu jauh, keturunan,
ekonomi, status sosial dan ilmu pengetahuan. Tetapi kriteria-kriteria
tersebut tidak menutup kemungkinan untuk dijadikan juga sebagai kriteria
kafa’ah dalam keharmonisan rumah tangga, tetapi hanya sebatas faktor
pendukung.
2. Ketika dalam memilih calon pasangan tidak ada kafa’ah diantara kedua
pasangan, hal ini tidak menjadi permasalahan dalam melangsungkan
pernikahan, karena kafa’ah bukan termasuk syarat sah pernikahan.
Apabila rukun dan syarat terpenuhi maka pernikahan tersebut dapat
dikatakan sah.
74
B. Saran
Setelah melakukan pembahasan dan mengambil beberapa kesimpulan
maka perlu untuk memberikan saran-saran yang mungkin ada manfaat kepada
semua pihak adalah:
1. Bagi yang ingin melangsungkan pernikahansebaiknya sudah
mempersiapkan diri dan mempertimbangkan terlebih dahulu persamaan
maupun perbedaan yang terdapat diantara keduanya, sehingga dalam
menghadapi persoalan rumah tangga sudah siap dan tidak mudah labil
dalam setiap masalah.
2. Orang tua harus memberikan pemahaman tentang kafa’ah, kepada
anaknya agar tercapainya tujuan pernikahan yang sakinah mawaddah
warahmah tanpa melebihkan aspek tertentu diluar aspek agama.
DAFTAR PUSTAKA
A. Zuhdi Muhdlor. Memahami Hukum Perkawinan. Badung: Al-Bayan, 1995.
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam 3. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2006.
Abdul Rahman Ghozali. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2008.
Abdullah Shonhaji. Terjemahan Sunan Ibnu Majah Jilid IV. Semarang: CV. Asy
Syifa’, 1993.
Ahmad bin ‘Umar Ad-Dairabi. Fiqih Nikah. Penerjemah Heri Purnomo dan Saiful
Hadi. Jakarta: Mustaqiim, 2003.
Ahmad Zuhdi Muhdor. Kamus kontemporer Arab-Indonesia,Cet II. Yogyakarta:
Yayasan Ali Maksum, 1996.
Ahsin W. Alhafidz. Kamus Fiqh. Jakarta: Amzah, 2013.
-------. Kamus Ilmu Al-Quran. Jakarta: Amzah, 2012.
Aliy As’ad. Fathul Mu’min Jilid 3. Penerjemah Moh. Tolchah Mansoer
Yogyakarta: Menara Kudus, 2006.
Amir SyarifuddinHukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2014.
Anshari Taslim.Indahnya Nikah Sambil Kuliah. Jakarta: Cendekia Sentra Muslim,
2005.
Beni Ahmad SaebaniFiqh Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Dedi Junaedi. Keluarga Sakinah. Jakarta: Akademika Pressindo, 2007.
Departemen Agama Republik Indonesia. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta, 2011.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah. Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2011.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Edisi
keempat, PT Gramedia Pustaka Utama.
Emanuel Gerrit Singgih. Berteologi dalam Konteks. Pemikiran-Pemikiran
Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius dan BPK
Gunung mulia, 2000.
H.S.A. Alhamdani. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka
Amani, 1989.
Haizar MA. Kamus LengkapBahasa Indonesia. Jakarta: Referensi Perpustakaan,
2013.
https://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/ahwal/article/viewFile/05203/999
diakses 15 Mei 2018
http://kamus-internasional.com/definitions/?indonesian_word=contextualization
diakses 30 April 2018
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/galuhjustisi/article/view/795/721diakses 15
Mei 2018
Ibnu Hajar al-Asqalani. BulughulMaramdanDalil-DalilHukum.
TerjemahanKhalifaturrahmandanHaerHaeruddin. Jakarta: GemaIsnani,
2013.
Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi AD Damsyiqi. Asbabul Wurud 2. Penerjemah
Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim. Jakarta: Kalam Mulia, 1999.
Khoirul Abror. Hukum Perkawinan dan Perceraian. Yogyakarta: Ladang Kata,
2017
Lexy J. Meleong. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1999.
M. Ali Hasan. Pedoman Hidup Berumah Tangga. cet ke-4. Jakarta: Predana
Media Group, 2003.
Mahmud Junus. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: Al Hidajah, 1388.
Margono. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Mohammad Fuazil Adhim.Di Ambang Pernikahan. Jakarta: Gema Insani Press,
2002.
Moh. Nazir. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Mufidah. Psikologi Keluarga Islam. Malang: UIN Maliki Press, 2013.
Muhammad Abū Zahrah. Al-Ahwāl Asy-Syakhsiyyah. Kairo: Dār al-Fikr al-Arabi,
1957.
Muhammad Bagir Al-Habsyi. Fiqih Praktis. Bandung: Penerbit Mizan, 2002.
Muhammad Fuad Abdul Baqi. Al-lu’lu Wal Marjan. Penerjemah H. Salim
Bahreisy. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996.
Peter Salim, Yani Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Lentera
Basritama, 1990.
Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah 7. Terjemahan oleh Moh. Thalib. Bandung: PT
Alma’arif, 1987.
Slamet Abidin dan Aminudin. Fiqih Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Setia,
1999.
Sugiono. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta, 2001.
-------. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta CV, 2011.
Suharsimi Arikunto. Prosedur Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta,
1991.
Sutrisno Hadi. Methologi Research. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1984.
Taufiqrrohman Syahuri. Legislasi Hukum Perkawinaan di Indonesia. Jakarta:
Kecana, 2015.
Wahbah az-Zuhaili. Fiqih Islam 9. Abdul Hayyie al-Kattani dkk. Jakarta: Gema
Insani, 2011.
Yaswirman. Hukum Keluarga. Jakarta: Raja wali Pers, 2013.
Zainuddin Hamidy. Terjemahan Hadits Shahih Bukhari. Jakarta: Widjaya, 1992.