kontra bpjs

3
KONTRA BPJS BPJS kesehatan mengundang banyak keluhan dari masyarakat, dan tenaga kesehatan khususnya dokter. Secara keseluruhan, saya melihat banyak ketidaksiapan dan ketidakadilan pada BPJS ini. Pertama saya akan membahas dari ketidaksiapan BPJS. BPJS mengganti sistem pengobatan PT ASKES dengan membuat masyarakat harus datang terlebih dahulu ke fasilitas kesehatan (faskes) primer lalu dirujuk ke rumah sakit dengan hari yang sudah ditentukan sehingga diharapkan tidak terjadi antre panjang di rumah sakit. Untuk pasien yang gawat darurat tidak perlu dirujuk dan dapat langsung ke rumah sakit. Nyatanya sekarang antrean di rumah sakit membludak karena keengganan rumah sakit swasta untuk bergabung dengan BPJS karena tarif INA CBG tidak masuk akal. Ketidaksiapan rumah sakit daerah untuk menampung seluruh rujukan menyebabkan membludaknya pasien. Proses yang bertele tele ini juga merugikan pasien karena selain uang transportasi meningkat, pasien harus rajin mendatangi rumah sakit dan mengantre dari pagi buta hanya untuk mendapatkan terapi yang jumlahnya sudah dibatasi oleh BPJS yang sangat tidak efisien. Ketidakadilan BPJS menurut saya sangatlah banyak. Dengan metode sistem kapitasi pada faskes primer, faskes ini akan menangani pasien sejumlah 3000 warga dengan pemberian uang sebesar Rp.30.000.000,00 per bulan atau jumlah lain yang ditentukan. Harapan BPJS peserta ini harus dicegah untuk sakit agar faskes mendapat keuntungan lewat kapitasi ini. Pola masyarakat Indonesia yang susah melakukan pencegahan menyebabkan ketidakadilan pada tenaga kesehatan yang jatah jasanya tidak masuk akal bisa mencapai Rp.2.000,00 sama dengan tarif saya buang air kecil di mal. Pengobatan yang tidak adekuat juga membuat pasien BPJS mengeluh. Akhirnya ada kecenderungan dokter suka merujuk saja pasiennya agar tidak banyak obat yang harus ia keluarkan. Metode ini juga menyebabkan penumpukan pasien pada dokter “favorit” sehingga dokter itu malah akan semakin merugi dengan membludaknya

Upload: andrygonius

Post on 21-Feb-2016

18 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

artikel

TRANSCRIPT

Page 1: KONTRA BPJS

KONTRA BPJS

BPJS kesehatan mengundang banyak keluhan dari masyarakat, dan tenaga kesehatan khususnya dokter. Secara keseluruhan, saya melihat banyak ketidaksiapan dan ketidakadilan pada BPJS ini. Pertama saya akan membahas dari ketidaksiapan BPJS. BPJS mengganti sistem pengobatan PT ASKES dengan membuat masyarakat harus datang terlebih dahulu ke fasilitas kesehatan (faskes) primer lalu dirujuk ke rumah sakit dengan hari yang sudah ditentukan sehingga diharapkan tidak terjadi antre panjang di rumah sakit. Untuk pasien yang gawat darurat tidak perlu dirujuk dan dapat langsung ke rumah sakit. Nyatanya sekarang antrean di rumah sakit membludak karena keengganan rumah sakit swasta untuk bergabung dengan BPJS karena tarif INA CBG tidak masuk akal. Ketidaksiapan rumah sakit daerah untuk menampung seluruh rujukan menyebabkan membludaknya pasien. Proses yang bertele tele ini juga merugikan pasien karena selain uang transportasi meningkat, pasien harus rajin mendatangi rumah sakit dan mengantre dari pagi buta hanya untuk mendapatkan terapi yang jumlahnya sudah dibatasi oleh BPJS yang sangat tidak efisien.

Ketidakadilan BPJS menurut saya sangatlah banyak. Dengan metode sistem kapitasi pada faskes primer, faskes ini akan menangani pasien sejumlah 3000 warga dengan pemberian uang sebesar Rp.30.000.000,00 per bulan atau jumlah lain yang ditentukan. Harapan BPJS peserta ini harus dicegah untuk sakit agar faskes mendapat keuntungan lewat kapitasi ini. Pola masyarakat Indonesia yang susah melakukan pencegahan menyebabkan ketidakadilan pada tenaga kesehatan yang jatah jasanya tidak masuk akal bisa mencapai Rp.2.000,00 sama dengan tarif saya buang air kecil di mal. Pengobatan yang tidak adekuat juga membuat pasien BPJS mengeluh. Akhirnya ada kecenderungan dokter suka merujuk saja pasiennya agar tidak banyak obat yang harus ia keluarkan. Metode ini juga menyebabkan penumpukan pasien pada dokter “favorit” sehingga dokter itu malah akan semakin merugi dengan membludaknya pasien sedangkan dokter yang “biasa biasa saja” akan kurang pasien dan menguntungkan dirinya.

Ketidakadilan BPJS di fase pelayanan lanjutan adalah tarif INA CBG yang menurut saya konyol. Saya ambil contoh tarif sirkumsisi ringan pada ruang perawatan kelas 3 Rp. 5.345.437,00 (Sumber: depkes.go.id) sedangkan penanganan cardiac arrest tidak diketahui yang berat hanya diberikan tarif Rp. 5.265.485,00 untuk ruang perawatan kelas 3. INA CBG ini dihitung berdasarkan keseringan suatu tindakan. Namun, untuk cardiac arrest yang membutuhkan alat monitoring, beban kerja tinggi dan obat yang jumlah nya tidak sedikit hingga perawatan di CVCU tentu biayanya besar namun dihemat sedemikian rupa yang tentu membuat dokter spesialis mengeluh, pasien pun tidak puas. Sirkumsisi menurut saya tindakan invasif yang tidak memerlukan biaya besar, obat secukupnya, dokter umum pun bisa mengerjakan mendapat bayaran tinggi. Kejanggalan-kejanggalan seperti inilah seharusnya yang dikoreksi BPJS. Standar penetapan INA CBG yang tidak transparan menyebabkan banyak tenaga medis mengeluh. Saya tidak menyalahkan ada pasien terlantar kalau memang seperti ini sistemnya.

Ketidakadilan BPJS lainnya adalah tidak jelasnya penyakit yang dimaksud dalam gawat darurat. Gawat darurat menurut persepsi pasien dengan ilmu kedokteran sangatlah

Page 2: KONTRA BPJS

berbeda. Pada saat pasien datang dengan asumsi ia merasa sedang gawat, dan menurut rumah sakit tidak gawat terjadi penolakan pasien yang menyebabkan tereksposnya rumah sakit dengan asumsi menelantarkan pasien padahal pihak rumah sakit tidak mau menanggung karena bila masuk UGD tidak akan dibayar BPJS karena tidak gawat. Sistem bagi-bagi INA CBG juga menjadi kesewanangan rumah sakit terhadap tenaga medis. Untuk dokter spesialis di rumah sakit tertentu saya pernah melihat hanya Rp.10.000,00 per pasien dan hanya Rp.5.000,00 untuk dokter radiologi. Jumlah yang sangat tidak setara untuk kesejahteraan dokter dibanding beban kerja tinggi yang penuh dengan resiko kerja dan dihantui oleh penegak hukum yang kadang-kadang berlebihan atas laporan pasien.

Menurut saya BPJS harus memperbaiki sistem ini, jika tidak kepercayaan masyarakat akan rendah dan BPJS hanya dijadikan tameng saja kalau pasien sudah sakit. Jika pasien masih sehat tidak akan ikut BPJS karena merasa rugi jika sakit ringan dan kalau sudah sakit berat baru mencari BPJS agar biaya gratis. Tarif INA CBG juga disesuaikan agar rasional dengan adanya subsidi kesehatan dari pemerintah yang meningkat tentu hal ini mudah terealisasi.