konversi kawasan hutan : analisis masalah dan konsep penyelesaiannya tenaga ahli : 1
DESCRIPTION
oleh Sulaefi, Ph.D.; Dr. Agus Surono, S.H., M.H.; Drs. Herry Yogaswara, M.A.LAND MANAGEMENT AND POLICY DEVELOPMENT PROJECT ( LMPDP )IBRD Loan No. 4731 – IND and IDA Credit No. 3884 – INDBappenasTRANSCRIPT
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Jl. TAMAN SUROPATI NO. 2. JAKARTA 10310
DISTRIBUSI TANAH NEGARA
D O K U M E N T E K N I S - 2
KONVERSI KAWASAN HUTAN : ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA
Tenaga Ahli :
1. Sulaefi, Ph.D. 2. Dr. Agus Surono, S.H., M.H. 3. Drs. Herry Yogaswara, M.A.
LAND MANAGEMENT AND POLICY DEVELOPMENT PROJECT ( LMPDP )
IBRD Loan No. 4731 – IND and IDA Credit No. 3884 – IND
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Daftar Isi
Halaman
Daftar Isi ........................................................................................ i Daftar Tabel ................................................................................... ii Daftar Gambar ............................................................................... iii 1. Latar Belakang ........................................................................... 1 2. Konversi Kawasan Hutan .......................................................... 5 3. Kondisi Obyektif Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi ...... 8 4. Isu dan Permasalahan Konversi Kawasan Hutan ..................... 10
4.1. Isu Persepsi Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi ..... 11 4.2. Penelantaran Kawasan Yang telah dilepaskan ................ 12 4.3. Perencanaan dan Perijinan ………………………………………. 13 4.4. Klaim Masyarakat ............................................................ 20 4.5. Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus ........................... 21
5. Analisis Regulasi dan Kelembagaan ..………………….……………… 22 6. Reforma Agraria dan prioritas program Departemen
Kehutanan ……………………………………………………………………….
26 7. Kesimpulan dan Rekomendasi .................................................. 27
7.1. Kesimpulan .......................................................................... 27 7.2. Rekomendasi ....................................................................... 29
Lampiran
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas i
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Daftar Tabel
Halaman
Tabel 1. Luas Lahan Terlantar di Indonesia 2005 / 2006 ............ 15
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas ii
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Daftar Gambar
Halaman
Gambar 1: Bagan Alir Kerangka Berpikir Analisis dan Solusi Pemecahan Masalah Konversi Kawasan Hutan
Gambar 1. Prosedur Pelepasan Kawasan Hutan untuk untuk Transmigrasi ...... 28
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) iii
Dokumen Teknis 2 – Distribusi Tanah Negara 1
Dokumen Teknis 2:
Konversi Kawasan Hutan :
Analisis Masalah dan Konsep Penyelesaian
1. Latar Belakang
Salah satu kebijakan Reforma Agraria yang didengungkan oleh
Presiden RI adalah ”tanah untuk keadilan dan kemakmuran”, termasuk
mencoba apa yang disebut dengan Program Pembaruan Agraria Nasional
(PPAN), yaitu salah satunya dengan cara distribusi tanah negara seluas 9,25
juta hektar, dimana 8,15 juta hektar berasal dari hutan konversi dan 1,1 juta
ha berasal dari tanah dibawah kewenangan langsung BPN (Winoto 2006 via
Fauzi, 2008 : 18). Dengan demikian, keberhasilan PPAN dari tolok ukur
luasan yang akan dibagikan kepada petani miskin akan sangat tergantung
dari ketersediaan tanah yang ada, dalam hal ini tanah-tanah yang masih
dalam juridiksi Departemen Kehutanan. Dengan kata lain, konversi kawasan
hutan menjadi suatu hal yang penting untuk menunjang keberhasilan
program ini.
Konversi kawasan hutan, di dalam nomenklatur Departemen
Kehutanan adalah perubahan status kawasan hutan yaitu perubahan status
sebagian kawasan hutan menjadi bukan kawasan (Kepmenhut 70/Kpts-
II/2001). Hal ini tampaknya perlu dibedakan dengan konsep perubahan
fungsi kawasan hutan yang merupakan perubahan sebagian atau seluruh
fungsi hutan dalam suatu kawasan hutan (Kepmenhut 70/Kpts-II/2001).
Dalam dokumen ini pengertiannya lebih mengacu pada pengertian perubahan
status kawasan hutan, khususnya untuk kegiatan-kegiatan di luar sektor
kehutanan. Fokus dokumen ini adalah melihat kemungkinan perubahan
kawasan hutan untuk program distribusi tanah negara. Konversi kawasan
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Distribusi Tanah Negara 2
hutan itu sendiri telah dilakukan oleh Departemen Kehutanan untuk berbagai
keperluan, misalnya untuk lokasi transmigrasi, kawasan pertambangan,
kawasan perkebunan dan kebutuhan akan lahan lainnya.
Pemerintah melalui Departemen Kehutanan dan departemen lainnya
dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) telah memagari aturan-aturan
perubahan kawasan HPK untuk berbagai kepentingan. Untuk kepentingan
transmigrasi diatur melalui SKB 126/MEN/1994, No 422/Kpts-II/1994
tentang areal hutan untuk pemukiman transmigrasi. Sedangkan pelepasan
kawasan untuk pembangunan pertanian mengacu pada SKB Menhut, Mentan
dan BPN No. 364/Kpts-II/1990, 519/Kpts/JK.050/7/1990 tgl. 23-8-1990
tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian HGU untuk
Pengembangan Usaha Pertanian.
Data menunjukkan untuk perkebunan saja hingga tahun 2004 telah
dilepaskan kawasan hutan seluas 4.655,000 ha untuk 525 unit. Sedangkan
yang sudah mendapatkan ijin prinsip tetapi belum dilepaskan kawasannya
mencapai 4,055,000 ha dengan 274 unit ijin prinsip. Kemudian untuk
transmigrasi hingga tahun 2004 tercatat 956,672,81 ha, sementara ijin
prinsip lainnya telah tercatat seluas 601.658 ha, tetapi belum dilepaskan
karena belum dilakukan tata batas.
Dari angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kawasan hutan
memang memegang peranan penting sebagai penyedia sumber daya lahan
untuk kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan itu sendiri. Namun,
sesuai dengan kebijakan pemerintah yang akan mendistribusikan tanah
negara, dan potensi luasan tanah tersebut ada di wilayah kawasan hutan,
maka perlu untuk membangun suatu mekanisme konversi kawasan hutan
untuk kepentingan distribusi tanah. Tampaknya perlu ada suatu mekanisme
yang lebih spesifik mengenai konservasi kawasan hutan untuk kepentingan
distribusi tanah, mengingat terdapat karakter yang berbeda antara pelepasan
kawasan untuk transmigrasi, perkebunan, dan pertambangan, dimana subyek
penerima tanah tersebut merupakan badan pemerintah atau swasta yang
relatif lebih established dibandingkan calon penerima tanah obyek distribusi
yang hampir seluruhnya adalah petani (miskin).
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas
Dok
Land Manage
umen Teknis 2 – Distribusi Tanah Negara
ment and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas
3
Dokumen ini pada dasarnya merupakan sebuah assessmen mengenai
isu-isu tentang konversi kawasan hutan dan berbagai usulan untuk sebuah
solusi yang dapat diterima dan berkesinambungan, termasuk implikasi
hukum dan kelembagaannya
Dalam dokumen ini akan mengacu pada beberapa rumusan
pertanyaan, yaitu (1) apakah yang disebut dengan konversi kawasan hutan di
Indonesia, (2) bagaimana kondisi obyektif dari luas kawasan hutan yang
dapat dikonversi, khususnya untuk kepentingan reforma agraria, (3) Isu-isu
dan permasalahan apakah sajakah yang ada dalam konservasi kawasan hutan
di Indonesia, (4) Faktor-faktor regulasi dan kelembagaan apa sajakah yang
melatari permasalahan tersebut; dan (5) rekomendasi kebijakan apa yang
dapat diberikan untuk konversi kawasan hutan bagi kepentingan reforma
agraria yang dapat diterima oleh para pihak dan berkesinambungan, serta
implikasinya terhadap berbagai peraturan dan kelembagaannya.
Berdasarkan fokus pertanyaan tersebut, maka kerangka pikir
(framework) dari dokumen ini adalah sebagai berikut :
Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
4
Gambar 1: Bagan Alir Kerangka Berpikir Analisis dan Solusi Pemecahan Masalah Konversi Kawasan Hutan
Kondisi Obyektif Program PPAN yang membutuhkan 8,25 juta ha
lahan hutan
Temuan Hasil Studi di 4 propinsi : Kebutuhan KBNK untuk perkebunan, pertambangan, pertanian , transmigrasi, permukiman, pemerintahan
Okupasi Kawasan hutan oleh masyarakat
Konflik di kawasan hutan (Masyarakat VS Pemerintah, Masyarakat VS Perusahaan, Perusahaan VS Perusahaan)
Isu-Isu Konversi 1. Persepsi tentang
kawasan hutan yang dapat dikonversi
2. Penelantaran kawasan yang sudah dilepaskan karena fokus untuk pengambilan kayu melalui IPK
3. Tumpang-tindih ijin konversi
4. Berbagai ijin di daerah untuk HPK
5. Berbagai ijin di pemerintah pusat pada HPK
Analisis :
- Analisis Peraturan - Analisis Kelembagaan - Analisis politik dan
kebijakan
Rekomendasi - Penyempurnan
peraturan - Penegakan Peraturan
dan Kordinasi - Komitmen Dephut
dalam Reforma Agraria
Temuan Data sekunder Luas Hutan Produksi Konversi terbatas dan digunakan untuk berbagai kebutuhan non kehutanan
Reforma Agraria Belum menjadi prioritas Dephut hingga tahun 2009
Belum ada pengalaman Konversi HPK untuk kebutuhan masyarakat
Dokumen
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 5
2. Konversi Kawasan Hutan
Konversi atau perubahan kawasan hutan adalah suatu proses
perubahan terhadap suatu kawasan hutan tertentu menjadi bukan kawasan
hutan atau menjadi kawasan hutan dengan fungsi hutan lainnya. Namun yang
lebih difokuskan dalam dokumen ini adalah perubahan kawasan hutan
tertentu menjadi bukan kawasan hutan atau disebut dengan ”perubahan
status kawasan”. Fokus ini diberikan, karena dokumen ini pada intinya terkait
dengan perumusan kebijakan untuk distribusi tanah negara yang salah
satunya adalah memanfaatkan kawasan hutan yang dapat dikonversi.
Selain melalui pemanfaatan kawasan hutan yang dapat dikonversi,
alternatif lainnya mengenai reforma agraria yang memanfaatkan akses
sumber daya hutan dapat ditempuh melalui program-program seperti
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Tumpang Sari, Hutan
Desa, Sistem Hutan Kemasyarakatan, Hutan Rakyat, dan skema-skema
lainnya yang sementara ini telah dikerjakan oleh Departemen Kehutanan
maupun institusi kehutanan di tingkat daerah. Namun keterbatasan dari
skema-skema ini adalah pemberian akses terhadap sumberdaya, tidak
disertai dengan pemberian asset kepada calon penerima distribusi tanah,
mengingat penguasaan tanah masih ada di bawah institusi Departemen
Kehutanan. Namun, harus diakui penyerahan asset menjadi hak milik juga
mengandung resiko tertentu, seperti penjualan hak atas tanah kepada pihak
ketiga. Kondisi ini justru tidak sesuai dengan tujuan dari reforma agraria
untuk meningkatkan taraf hidup petani miskin.
Konversi kawasan hutan untuk kepentingan distribusi tanah negara
ini, selain mempunyai prinisp-prinsip ”keadilan dan kemakmuran”,
tampaknya perlu ditambahkan prinsip-prinisp lainnya seperti sebagai sarana
resolusi konflik dan mengacu pada peraturan-peraturan yang berlaku dalam
sistem per-undang-an. Selain itu, karena kompleksitas yang biasanya
terkandung dalam suatu kawasan hutan, maka pendekatan multi-pihak dan
multi tataranpun perlu dilakukan.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 6
Konversi kawasan hutan pada intinya adalah mengubah fungsi
kawasan hutan untuk kegiatan lainnya. Konsep lainnya misalnya menyebut
hutan konversi sebagai hutan yang dirancang (dengan izin IPK) untuk
pembukaan lahan dan konversi permanen menjadi bentuk tata guna lahan
lainnya, khususnya industri kayu atau (perkebunan) (WRI, 2008). Dengan
definisi itu sebetulnya hanya ada dua bentuk usaha yang dapat dijalankan
melalui hutan konversi, yaitu industri kayu atau perkebunan. Kebutuhan
lainnya, seperti transmigrasi dan untuk kebutuhan distribusi bagi masyarakat
miskin tampaknya belum tercakup.
Dengan demikian jelas bahwa perubahan fungsi kawasan hutan
merupakan suatu tindakan legal yang direncanakan untuk berbagai
kepentingan pembangunan lainnya. Didalam pengertian-pengertian yang
disebutkan di atas terdapat dua pengertian penting, yaitu (1) berkaitan
dengan perubahan status/peruntukan kawasan hutan dan (2) berkaitan
dengan fungsi kawasan hutan. Secara lebih terinci kedua pengertian tersebut
adalah sebagai berikut :
(a) Perubahan Status/Peruntukan Kawasan Hutan :
Perubahan status/peruntukan kawasan hutan adalah
merupakan suatu proses perubahan kawasan hutan menjadi bukan
kawasan hutan, kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara :
• Pelepasan kawasan hutan pada hutan produksi yang dapat dikonversi
(HPK)
• Tukar menukar kawasan hutan dilakukan apabila di wilayah yang
bersangkutan tidak tersedia HPK dan hanya pada hutan produksi.
(b) Perubahan Fungsi Kawasan Hutan
Perubahan fungsi kawasan hutan adalah suatu proses
perubahan fungsi kawasan hutan tertentu menjadi fungsi kawasan hutan
lainnya. HPK yang sudah dilepas sekitar 4,7 juta hektar yang sudah di
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 7
HGU-kan 2,4 juta hektar dan 2,3 juta hektar belum di HGU-kan
dicadangkan untuk bahan bakar nabati dan ketahanan pangan.
Berdasarkan PP No 47 tahun 1997 tentang RTRW Nasional dan
PP No 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan ditegaskan
bahwa kawasan hutan merupakan bagian dari tata ruang nasional yang
wilayahnya dikuasai oleh negara (Ali Djajono, 2007). Kawasan hutan
dibagi ke dalam dua bagian wilayah sesuai fungsinya, yaitu kawasan
hutan yang berfungsi lindung, yaitu Hutan Lindung (HL), kawasan
pelestarian alam yang meliputi Taman Nasional (TN), Taman Hutan
Raya (Tahura), dan Taman Wisata Aalam (TWA); Kawasan Suaka Alam
yang meliputi Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM) dan Taman
Buru. Selanjutnya adalah Kawasan hutan yang berfungsi budi daya, yaitu
hutan prouksi yang meliputi Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan
Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi
(HPK)
Sesuai dengan UU 41/1999 yang disebut dengan Hutan
Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan. Selanjutnya yang disebut dengan Hutan
Produksi Terbatas adalah hutan alam produksi yang karena faktor
topografi, kepekaan jenis tanah dan iklim sehingga pemanfaatan hasil
hutan kayunya dibatasi berdasarkan limit diameter tebang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku (Kepmenhut 88/kpts-II/2003.
Sedangkan Hutan Produksi Konversi (HPK) adalah kawasan hutan
produksi yang dapat diubah untuk kepentingan usaha perkebunan dan
tidak dipertahankan sebagai hutan tetap (Kepmenhut 146/Kpts-
II/2003)
Dari uraian-uaraian tersebut di atas, tampak bahwa konversi
hutan sebetulnya dapat dilakukan pada kawasan HPK. Walaupun
terdapat perkecualian apabila tidak terdapat fungsi HPK, maka
dimungkinkan pada kawasan hutan produksi lainnya dengan mekanisme
tukar-menukar lahan agar jumlah luasan hutan pada suatu wilayah
terdapat keseimbangan. Namun demikian Tidak semua HPK harus
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 8
dikonversi karena dalam kenyataannya bila kondisi HPK tersebut secara
geofisik dan sosial budaya dipandang perlu untuk dipertahankan dan
dibina sebagai kawasan hutan tepat maka HPK tersebut dapat dirubah
fungsinya menjadi kawasan dengan fungsi pokok lainnya seperti
kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, hutan lindung, HP atau
Hak Tanah Produksi Terbatas. Jadi tidak selalu HPK tersebut harus
dikonversi dijadikan penggunaan lain. Hal ini dimungkinkan karena
dalam kenyataannya penunjukan HPK pada waktu lalu tidak
berdasarkan survey atau pencermatan di lapangan yang sangat detail.
Sehingga sangat mungkin HPK yang telah ditetapkan tersebut mungkin
kondisi medannya bisa terjal sehingga tidak cocok digunakan untuk
kegiatan transmigrasi, pemukiman, pertanian atau perkebunan.
3. Kondisi Obyektif Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa kawasan hutan yang
mempunyai potensi untuk dialihkan kawasannya adalah fungsi hutan
produksi yang dapat dikonversi (HPK). Walaupun dalam kenyataannya,
terdapat beberapa kebijakan yang telah meng-alih fungsi-kan kawasan-
kawasan yang selama ini tidak dapat dikonversi, seperti hutan lindung.
Namun, untuk kepentingan reforma agraria, yaitu distribusi tanah bagi petani
miskin, maka seharusnya tanah-tanah yang secara agronomis layak
diusahakan untuk usaha-usaha berbasis tanah bagi para calon penerima
tanah. Sesuai dengan peruntukannya, maka Hutan Produksi Konversi-lah
(HPK) yang sebetulnya layak menjadi obyek tanah yang dapat
didistribusikan.
Selanjutnya berdasarkan PP 44/2004 (ibid : 1-2), kriteria HPK
adalah sebagai berikut : (1) kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng,
jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka
penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 124 atau kurang, di luar kawasan
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 9
hutan/suaka alam dan kawasan/hutan pelestarian alam (2) kawasan hutan
yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan
transportasi, transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan, industri dan
lain-lain. Dengan demikian jelas bahwa HPK merupakan peruntukan hutan
yang available bagi kegiatan usaha berbasis tanah.
Berdasarkan kriteria tersebut, hingga tahun 2006, luas HPK
mencapai 22.795.961,00 ha (Lihat lampiran 2 : Luas Kawasan Hutan
dan Perairan...) Namun perlu perlu dicatat bahwa HPK itu sendiri
merupakan suatu kawasan yang memang dicadangkan untuk kepentingan-
kepentingan pembangunan lainnya yang non-kehutanan, sehingga angka
tersebut akan mengalami penyusutan. Demikian halnya dengan tingginya
konflik pemanfaatan lahan di kawasan HPK, baik dengan masyarakat sekitar
maupun pihak lainnya seperti transmigrasi dan usaha perkebunan besar
swasta
Berdasarkan data hingga tahun 2006 tersebut di atas, beberapa
propinsi seperti Aceh, kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung,
Lampung, seluruh propinsi di Jawa dan Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi
Barat dan Maluku Utara adalah propinsi-propinsi yang tidak memiliki hutan
produksi yang dapat dikonversi. Oleh sebab itu di propinsi-propinsi tersebut,
untuk program distribusi tanah tidak mungkin mengambil dari kawasan
HPK, perlu diadakan skema yang lainnya, termasuk kemungkinan tukar-
menukar kawasan hutan produksi tetap dengan kawasan lainnya, atau pada
obyek tanah lainnya yang ada di bawah kewenangan BPN.
Sedangkan mengacu pada data mutasi kawasan hutan produksi yang
dapat dikonversi tahun 2003-2006 (Lampiran 3: Mutasi Kawasan
Hutan Produksi Terbatas...), terlihat bahwa Departemen Kehutanan
belum mempunyai pengalaman untuk melepaskan kawasan hutan untuk
kepentingan masyarakat miskin secara langsung, karena pada masa-masa itu
pelepasan kawasan diberikan kepada Taman Nasional, perkebunan dan
relokasi pada suatu kelompok hutan tertentu.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 10
Kawasan hutan belum clear karena perubahan – perubahan
kawasan, perambahan – perambahan belum terdata secara akurat sehingga di
lapangan terjadi kerumitan dalam penyusunan tata ruang daerah.
Misalnya berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Planologi
Kehutanan tersebut hingga tahun 2006, mutasi kawan hutan produksi yang
dapat dikonversi (HPK) mencapai lebih dari 22,5 juta ha. Dari penjelasan
diketahui konversi tersebut dapat dikategorikan pelepesan kawasn hutan
untuk perkebunan atas nama suatu kelompok masyarakat Buntu Turunan di
Sumatera Utara, menjadi kawasan Taman Nasional (Sebangau, Togean),
untuk perkebunan (Maluku, Maluku Utara, Riau, Kepulau Riau, Sulawesi
Barat, Sumatera Selatan) dan untuk kebutuhan LNG Tangguh. Dari data-data
itu tampak bahwa kepentingan perkebunan maish mendominasi alasan
konversi kawasan hutan.
4. Isu dan Permasalahan Konversi Kawasan Hutan
Konversi hutan merupakan salah satu isu yang sejak lama
berkembang dalam dunia pembangunan kehutanan di dunia, khususnya di
Indonesia. Konversi hutan ditengarai sebagai salahsatu penyebab dari
kerusakan hutan yang cukup parah di Indonesia, yang hal ini dapat dilihat
perhitungan deforestrasi 7 pulau besar di Indonesia tahun 2000-2005 di
Sumatera mencapai 1,3 juta ha, Kalimantan 1,2 juta ha, Sulawesi 866 ribu ha,
Maluku 214 ribu ha, Papua 718 ribu ha, Jawa 712 ribu ha dan Bali& Nusa
Tenggara 359 ribu ha. Dengan demikian dalam periode tersebut deforestrasi
di Indonesia mencapai 5,4 juta ha dengan rata-rata per tahun 1,01 juta ha
(Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, 2006). Tentunya hal
ini sangat mengkhawatirkan, mengingat fungsi hutan tidak hanya sebagai
penyedia kayu, melainkan fungsi-fungsi lainnya seperti jasa-jasa lingkungan
dari sumber daya hutan, termasuk dalam hal perubahan iklim dan fungsi
Daerah Aliran Sungai.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 11
Beberapa studi telah mencoba mengidentifikasikan masalah dan isyu
yang terkait dengan konversi hutan di Indonesia (Tim Perumus, 2000; Basyar
: anon; dan Djajono, 2007). Permasalahannya mulai dari perbedaan persepsi
tentang kawasan hutan yang dapat dikonversi, penelentaran kawasan hutan
yang telah dilepaskan (khususnya oleh perusahaan perkebunan), perbedaan
kepentingan antara para pihak (pemerintah, swasta dan masyarakat), hingga
masalah perijinan yang tumpang-tindih baik di daerah maupun di tingkat
pusat.
4.1. Isu Persepsi Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi
Berdasarkan rumusan ”Lokakarya Moratorium Konversi Hutan
Alam dan Penutupan Industri Pengolahan Kayu sarat Hutang (Tim
Perumus, Agustus 2000) ternyata terdapat beberapa persepsi yang
berbeda mengenai cakupan konversi hutan, antara lain (1) konversi dari
hutan alam dapat terjadi pada hutan alam primer, hutan alam sekunder
dan hutan alam rusak, (2) konversi hanya berasal dari hutan kawasan
hutan konversi saja, (3) konversi dapat berasal dari semua kawasan
hutan, (4) konversi hutan alam mencakup perubahan untuk keperluan
non kehutanan, (5) konversi hutan alam mencakup perubahan untuk
seluruh keperluan termasuk hutan tanaman dan (6) konversi dapat
didasarkan pada ijin atau de facto proses yang sedang dan atau akan
terjadi di lapangan bagi yang ijinnnya sudah dikeluarkan.
Perbedaan pandangan ini tampaknya belum terselesaikan
dengan baik dengan baik di tingkat pusat, dan hal ini sangat terasa
dalam implementasi kegiatan pembangunan di daerah. Misalnya Walhi
perah menulis surat kepada Menteri Kehutanan RI terkait dengan ijin
prinsip Gubernur Kalimantan Tengah No 525.26/830/EK tanggal 6 juli
2004 tentang persetujuan prinsip perubahan status kawasan di wilayah
kabupaten Seruyan, propinsi Kalimantan Tengah. Dari hasil kinjungan
lapangan ternyata sekitar 16,177 ha merupakan tanah di wilayah aman
Nasional tanjung Puting (TNTP) yang jelas –jelas tidak diperbolehkan
adanya kegiatan selain konservasi. Sedangkan areal sisanya berada di
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 12
wilayah hutan produksi eks 2 HPH. Hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah di daerah menjadi gamang dengan ketentuan mengenai
kawasan mana saja yang boleh dikonversi. Namun untuk kawasan
Taman nasional seharusnya sudah jelas tidak dimungkinkan. Selain itu,
dalam surat WALHI tersebut menyatakan bahwa untuk dapat diberikan
ijin pelepasan kawasan hutan (konversi), salah satu syaratnya adalah
tersediannya areal pencadangan pengganti berupa kawasan
pengembangan produksi atau kawasan pemukiman dan penggunaan
lainnya, sehingga luasan kawasan hutan dalam satu kesatuan unit tetap
proporsional (WALHI, 2004)
Kekhawatiran tentang konversi hutan sebetulnya telah lama
didengungkan, kemudian tim perumus (tahun 2000) kembali
memperingatkan tentang isu-isu penting apabila konversi hutan tidak
dihentikan, yaitu akan menimbulkan kehancuran hutan karena
deforestrasi dan degradasi hutan yang berskala besar.
Kelambanan dan kelengahan pengawasan terhadap kawasan
hutan, di tingkat lapangan telah menjadikan okupasi terhadap kawasan
hutan beradasarkan pengaruh-pengaruh politik lokal hingga
penggunaan identitas kesukuan. Misalnya di TN Kutai, penguasaan
wilayah-wilayah TN untuk permukiman dan perladangan telah
meruncing menjdai pertikaian antar etnis. Kemudian hal ini diperparah
dengan kepentingan jangka pendek dari elite politik lokal yang
memanfaatkan situasi untuk merebus konstituen. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa permasalahn kawasan hutan dan penguasaan
sumber dayanya seringkali gukan hanya bermotifkan penguasaan
sumber daya, tetapi harus dipahami dalam kaitan dengan kebudayaan
maupun politik lokal.
4.2. Penelantaran Kawasan Yang telah dilepaskan
Berikut ini adalah kutipan-kutipan media yang berkaitan
dengan penelantaran tanah. Beberapa diantaranya adalah :
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 13
Departemen Kehutanan banyak mengkonversi kawasan hutan karena tuntutan kepentingan pembangunan non kehutanan. Diantaranya untuk perkebunan, Departemen Kehutanan telah melepas kawasan hutan seluas delapan juta hektar. Tapi dalam realisasinya hingga saat ini baru dua juta hektar yang diusahakan oleh pihak perkebunan. Sisanya seluas enam juta hektar masih belum diusahakan, tapi sudah gundul. ....”yang perlu diwaspadai adalah perilaku land banking dari para pemegang ijin usaha perkebunan. Yakni mereka menabung tanah dan melakukan spekulasi tanah. Pada saat yang lain tanah itu dilepas untuk keperluan lain. Sehingga mereka mendapat keuntungan besar tanpa mengusahakan tanah tersebut” (Kusukabumiku.blog.26 oktober 2006)
Kemudian kutipan-kutipan yang berskala daerah, diantaranya adalah :
Lahan terlantar di wilayah Lampung hingga sekarang diperkirakan mencapai 75 ribu hektar atau 2,27 persen dari luas provinsi itu, dan lahan terlantar itu terdapat di hampir seluruh wilayah Lampung. (Berita Sore, Lampung, 21 April 2008)
Departemen Kehutanan tidak bisa mencabut izin Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan yang menelantarkan lahannya di Kabupaten Siak, Riau. "Karena kewenangan pencabutan izin HGU berada di Badan Pertanahan Nasional," kata Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban. Perusahaan HGU yang menelantarkan lahannya itu adalah PT. Teguhkarsa Wanalestari yang memiliki konsesi lahan seluas 7 ribu hektar dan PT. Tri Setya Usaha mandiri dengan lahan konsesi seluas 10 ribu hektar. Akibatnya, Pemerintah Daerah Riau dan PT Perkebunan Nusantara V meminta untuk menjadi pengelola lahan itu. Selain itu, terdapat dua perusahaan lain yang berstatus pelepasan kawasan hutan konversi yang juga menelantarkan lahannya. Perusahaan itu adalah PT. Priyatama Riau dengan lahan seluas 6 ribu hektar dan PT. Duta Swakarsa Indah dengan lahan seluas 12.600 hektar. Menurut Kaban, untuk perusahaan yang baru berstatus pelepasan lahan, pencabutan izin harus melihat terlebih dahulu jenis izin yang akan dikeluarkan selanjutnya. Jika berupa izin Hutan Tanaman, maka peninjauan masih dimungkinkan. "Namun, jika berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) harus menunggu habis izinnya. Kalau tidak, kami bisa dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara,"katanya. (Tempo, 2 September 2005)
Kutipan-kutipan tersebut -- yang kasus-kasusnya berada di
wilayah studi ini -- memperlihatkan bahwa masalah tanah terlantar
demikian kompleksnya di Indonesia ini dan juga terkait dengan
kewenangan yang berbeda dari satu lembaga dengan lembaga
pemerintah lainnya. Namun dari kutipan tersebut tampak bahwa untuk
segala kegiatan yang berkaitan dengan investasi pemerintah tampaknya
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 14
memberikan ruang yang cukup luas untuk pelepasan kawasan hutan
untuk kepentingan investasi, walaupun seringkali ditelantarkan. Hal ini
seharusnya memberikan pelajaran bahwa untuk distribusi tanahpun
seharusnya pelepasan kawasan harus dimudahkan. Walaupun tentu saja
mekanisme yang ada harus menjamin agar pelepasan kawasan ini tidak
akan mempunyai masalah seperti pelepasan kawasan untuk usaha
investasi.
Sungguhpun pemerintah melalui Departemen Kehutanan telah
mencoba memfasilitasi kegiatan-kegiatan pembangunan diluar akvitas
kehutanan pada kawasan hutan, melalui pelepasan kawasan; namun
pada kenyataannya kawasan yang telah dilepaskan itu tidak digunakan
sebagaimana mestinya dikarenakan berbagai alasan. Para pihak yang
terlibat dalam penelantaran itu terdiri dari para pengusaha swasta
(utamanya adalah Perkebunan Besar Swasta – PBS) maupun
penyelenggaran tranmigrasi. Misalnya temuan dari Basyar (anon) pada
tahun 1999 dari luas pelepasan kawasan hutan seluas 4.012.946 ha (454
perusahaan), dan izin prinsip pelepasan kawasan hutan seluas 3.999.654
ha (245 perusahaan) ternyata realisasi penanaman hanya seluas
1.751.319 ha. Demikian halnya dengan propinsi Kalimantan Timur. Dari
sekitar 146 PBS yang telah mendapatkan kawasan dengan pencadangan
lahan 2,299 juta hektar, ternyata kegiatan penanaman baru dilakukan 39
perusahaan seluas 87.833,43 hektar saja. Dari situ situ tampak bahwa
walau kegiatan pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan
besar swasta telah difasilitasi oleh pemerintah namun banyak yang
belum melakukan aktivitas pengolah kebun dengan berbagai alasan.
Namun, ditengarai bahwa para pengusaha seringkali lebih mengincar
potensi kayunya dibandingkan untuk mengusahakan menjadi kebun
kepala sawit yang produktif.
Demikian halnya dengan tanah untuk kegiatan transmigrasi,
sekitar 601.658 ha kawasan hutan yang telah disetujui oleh Menteri
Kehutanan untuk 432 unit permukiman transmigrasi ternyata belum
dilepaskan karena belum dilakukan tata batas.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 15
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Tabel 1
Luas Tanah Terlantar di Indonesia, 2005/2006
Sumber : Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 29 No 23 Tahun 2007
Tanah terlantar merupakan suatu ironi dari ketimpangan antara
rakyat yang membutuhkan lahan untuk menyambung hidupnya pada
satu sisi, sementara pada sisi lainnya jutaan hektar tanah tidak digarap
dan tidak jelas statusnya. Data dalam tabel tersebut memperlihatkan
bahwa Kalimantan dan Sumatera merupakan suatu region dimana luas
lahan yang terlantar sangatlah luas. Hasil temuan dari Pulitbang
Pertanian (2007) telah mengidentifikasikan beberapa jenis lahan
terlantar, yaitu (1) lahan bekas HGU yang sudah habis waktunya, (2)
lahan HGU swasta yang hanya membuka hutan, mengambil hasil
kayunya tetapi tidak melakukan penanaman, (3) lahan negara sisa
kebakaran hutan, (4) unit pemukiman transmigrasi (lahan restan)1
Masalah tanah terlantar ini sebetulnya telah disadari
sepenuhnya oleh pemerintah baik pada masa lalu hingga masa kini.
UUPA sendiri telah memberikan beberapa pasal agar penelantaran
tanah tidak terjadi. Misalnya pasal 27, Pasal 34 dan pasal 40 dalam
UUPA (Parlindungan, 2003). Kemudian Peraturan Pemerintah No
1 Menurut Klarifikasi dari Depnakertrans lokasi tanah redistran yang pemukiman mendapat 10% artinya untuk transmigrasi swakarsa mandiri artinya dia akan berpindah dengan sendirinya waktu lokasi sudah berkembang akan dialokasikan tanah yang ada di situ. Sekarang sedang mengadakan kerjasama permintaan dengan Perkebunan yang ada di sekitar permukiman
Luas Lahan Pulau Ha %
Sumatera 3.039.390 24,5 Jawa 53.330 0,4
Bali dan Nusa Tenggara 913.785 7,4 Kalimantan 7.424.375 59,8
Sulawesi 987.176 7,9 Maluku dan Papua Td td
Total 12.418.056 100
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 16
36/1998 sebetulnya suatu langkah yang nyata untuk mencegah
penelantaran. Dalam Pasal 1 ayat 5 dikatakan bahwa… “tanah terlantar
adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah,
pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar
penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”….
Dalam loka-karya regional di Lombok Nusa Tenggara Barat,
para peserta yang berasal dari wilayah regional Kalimantan dan Nusa
Tenggara (NTB khususnya) memaparkan tentang masalah tanah
terlantar ini dari perspektif keadilan. Karena pada satu sisi maíz banyak
masyarakat miskin yang ingin mengelola suatu kawasan tanah untuk
lahan pertaniannya menghadapi kendala perijinan untuk
memperolehnya. Sedangkan pada sisi lain, para pengusaha swasta
demikian mudahnya mendapatkan perijinan untuk mengelola suatu
kawasan. Namur sebetulnya para pengusaha itu hanya ingin
mendapatkan ijin membuka hutan (berupa IPK), kemudian
menelantarkannya. Dalam diskusi tersebut berkembang pembicaraan
tentang kelemahan yang terkandung dalam PP 36/1998, diantaranya
adalah :
• jangka waktu hak atas tanah yang dikategorikan sbagai tanah
terlantar
• peringatan kepada pemegang hak yang berjarak sekitar 12 bulan,
kemudian alasan proses peringatan inipun berjalan lamban karena
tidak jelas dimana alamat si pemegang hak dan sertifikat yang
diagunkan ada di bank karena telah menjadi hak tanggungan.
Padahal hak tanggungan adalah urusan privat, sedangkan
pencabutan adalah hak publik.
• Proses yang cukup panjang untuk mengetahui adanya penelantaran
hingga tindakan yang perlu dilakukan, mulai BPN kabupaten, Kanwil
BPN propinsi Hingga BPN pusat.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 17
Mengambil pengalaman pengetahuan dari para peserta,
menunjukkan bahwa hanya 3 kasus saja yang diproses ke BPN pusat. Ini
memperlihatkan lemahnya komitmen pemerintah. Padahal tanah-tanah
terlantar tersebut adalah tanah pertanian, artinya sangat berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat
Sedangkan Parlindungan (2003) mengidentifikasikan 4
permasalahan dari PP 36/1998 ini, yaitu (1) tidak/belum menjelaskan
untuk kategori tanah terlantar jangka waktunya berapa tahun, (2)
Untuk di Desa dan Perkotaan belum diperinci berapa luas dan berapa
tahun tanah terlantar (3) Peraturan Perundangan Republik Indonesia
No.36 tahun 1998 untuk tanah terlantar baru hanya untuk tanah Hak
Milik. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Hak Pakai dan Hak
Pengelolaan (belum mencakup) untuk tanah-tanah terlantar untuk Hak
atas tanah yang lain (seperti) (a) tanah waqaf (b) tanah yang
dipergunakan untuk Real Estate, (c) tanah sudah dibebaskan tetapi
ternyata hanya sebagian yang dibangun dan sebahagian lagi hanya
menjual tanah (spekulasi tanah) dan (4) Tanah-tanah adat dan Hak
Ulayat belum ada katagori yang disebut sebagai kategori tanah terlantar.
Jangka waktu suatu tanah dianggap sebagai terlantar menjadi
penting untuk ditetapkan, mengingat pada bagian inilah dapat menjadi
ruang negosiasi bagi para pengusaha untuk menghindarkan diri dari
tuduhan melakukan penelantaran. Karena sangat dimungkinkan
berbagai alasan akan dikemukakan oleh pihak pengusaha untuk
menghindar dari tuduhan penelantaran.
Secara hukum adat, pada masa lalu dikenal berbagai istilah
“tanah terlantar” di beberapa daerah, tetapi lebih mengacu kepada
pengaturan subyek hukum masyarakat untuk obyek hukum seperti
hutan, semak-belukar, perladangan dan sawah. Misalnya di daerah
Grobogan Jawa Tengah dimana bagian sawah yang tidak dikerjakan
selama 3-5 tahun akan dikembalikan kepada masyarakat local,
kemudian di Jambi yang disebut dengan tanah terlantar adalah lading-
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 18
ladang yang berasal dari kawasan hutan, hutan tua, belukar yang selama
2-3 tahun tidak dimanfaatkan dianggap sebagai tanah terlantar.
Sedangkan untuk obyek tanah sawah apabila 5 tahun tidak dikerjakaan
dianggap sebagai tanah terlantar (ibid : 5-6)
Masalah penelantaran tanah sebetulnya dapat diantisipasi
melalui peraturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang. Menurut
Prof Maria Sumardjono prakarsa yang diawali dengan pengaturannya
dalam konsep RUU Hak Milik sepatutnya didukung dan perlu
diupayakan elaborasinya untuk selanjutnya dapat diterapkan pula
terhadap hak-hak atas tanah lainnya, kecuali HGU (Sumardjono, 2008 :
16). Namun RUU Hak Milik itu belum ada juga (Majalah Parlementaria,
5 Agustus 2007). Padahal dalam Prolegnas 2006-2009 RUU Hak Milik
menempati nomor urut pertama.
Kemudian perlu dilakukan elaborasi yang menyangkut lima hal
(Sumardjono, op.cit : 16-17), yaitu (1) pengertian tidak
diolah/dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu dalam arti sejauh
mana suatu usaha telah dilakukan pemegang hak dianggap emmenuhi
syrat “diolah/dimanfaatkan”, dengan mengacu kepada ketentuan
tentang tata ruang atau tata guna tanah da ketentuan lainnya yang
relevan, (2) instansi dan personalia yang kelak akan duduk dalam
panitia yang bertugas meneliti tentang adanya tanah terlantar sesuai
dengan jenis hak atas tanahnya, (3) pertimbangan/alasan yang dapat
diterima sebagai perkecualian dari tindakan menelantarkan tanah
karena tidak adanya kesengajaan dari peemgang hak, (4) pejabat yang
berhak menyatakan bahwa sebidang tanah adalah tanah terlantar dan
mekanisme untuk menentukan tanah terlantar. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa syrata untuk menentukan tanah terlantar adalah
pengertiannya, obyeknya, subyeknya, jangka waktunya, menkanismenya
serta instansi yang berwenang untuk menanganinya. Namun sebetulnya
dalam PP 36/1998 telah memberikan isi dari substansi yang dimaksud,
namun dalam praktek di lapangan hal ini masih terkendala dengan
penegakan hukum yang lemah terhadap para pelaku penelantaran.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 19
Walaupun tanah terlantar dan isu konversi kawasan hutan
merupakan hal yang berbeda, namun pada tingkat lapangan tidak dapat
disipisahkan begitu saja, mengingat tanah-tanah-tanah yang terlantar
kebanyakan berasal dari kawasan hutan yang dapat dikonversi, artinya
terjadi hubungan yang saling terkait
4.3. Perencanaan dan Perijinan
Di tingkat provinsi/kabupaten telah ada rencana pemanfaatan
kawasan hutan HPK untuk kebutuhan non kehutanan tanpa
mempertimbangkan peruntukan kawasan berdasarkan petunjuk dari
Menteri Kehutanan. Hal ini dapat diperiksa melalui RTRW Provinsi.
Salah satu contohnya adalah di Kalimantan Timur, dalam studi yang
dilakukan menunjukan bahwa berbagai rencana investasi yang
menyangkut perkebunan kelapa sawit dan batu bara berada di wilayah
HPK yang belum diminta pelepasan kawasan. Hal ini menimbulkan
konflik yang berlarut antara pemerintah peopinsi Kalimantan timur
dengan Menteri Kehutanan
Pada sektor pertambangan jika diperhatikan sampai saat ini
belum adanya rencana spasial. Biasanya sektor pertambangan ini akan
terjadi konflik dengan sektor yang lain. Karena di sektor pertambangan
ini bahkan areal yang sudah direklamasi kalau dilihat bahwa komoditas
dengan kualitas tertentu pasar memintanya akhirnya areal yang sudah di
reklamasi akhirnya dibongkar kembali dan ditambang kembali bisa
dilihat misalnya tambang batu bara dan tambang nikel. Sehingga
akhirnya apa yang sudah direklamasipun akan ditambang kembali
Demikian halnya dengan pemekaran wilayah administrasi
kabupaten biasanya banyak juga yang kurang memperhatikan Rencana
Tata Ruang Wilayah. Sehingga tidak heran kadangkala ada suatu
kabupaten pemekaran yang wilayahnya sama dengan atau hampir
seratus persen sama dengan wilayah taman nasional. Ini karena saat
pengembangan wilayah administrasi kurang memperhatikan rencana
tata ruang yang ada di wilayah tersebut.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 20
4.4. Klaim Masyarakat
Klaim masyarakat baik invidu maupun kelompok (termasuk
masyarakat adat). Klain-klaim seperti ini seringkali tidak diselesaikan
dan kedua pihak menganggap mempunyai hak terhadap kawasan
tersebut. Walaupun ada inisiatif-inisiatif seperti di Kabupaten Kutai
Barat dengan Perda-Perda untuk penanganan konflik, termasuk dalam
hal tata batas antar kampung. Namun di pihak masyarakatpun terdapat
perbedaan yaitu ada kelompok yang memang telah menempati kawasan
tersebut jauh sebelum penunjukan kawasan hutan, biasanya ini adalah
kelompok masyarakat adat. Kelompok masyarakat yang datang
setelahah penunjukan kawasan, namun tidak tahu kalau kawasan
tersebut telah ditunjuk menjadi kawasan HPK. Kelompok ketiga adalah
kelompok masyarakat yang memang pura-pura tidak tahu atau atas
suruhan pemilik modal untuk mengokupasi suatu kawasan HPK
Masyarakat yang ada di kawasan hutan memang bersifat
kompleks, karena itu klasifikasinyapun tidak bersifat tunggal. Sarjono
(2004) mengidentifikasi berbagai tipe masyarakat di kawasan hutan,
antara lain masyarakat pemburu (hunter), masyarakat peramu
(gatherer), penghuni hutan (forest dweller, petani di sekitar hutan
(forest farmer), penduduk desa di sekitar kawasan hutan (forest
surrounding villager), masyarakat terisolir, masyarakat baru yang
transisi, masyarakat yang menetap, masyarakat penghuni hutan (forest
dweller), masyarakat adat pengelola hutan (indigenous peoples),
masyarakat pemilik hutan (forest owner). Beragamnya penyebutan
kelompok-kelompok masyarakat di kawasan hutan itu untuk
menunjukkan bahwa terdapat keragaman yang tinggi dari berbagai
kelompok masyarakat yang ada di kawasan hutan di Indonesia, sehingga
cara penanganannyapun harus berbeda pula. Namun, pada dasarnya
harus diakui adanya masyarakat yang masih sepenuhnya menggunakan
hukum negara dalam kehidupannya, dan masih banyak pula yang
menggunakan hukum adat dalam kesehariannya.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 21
4.5. Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus
Perubahan konstelasi politik dan tata pemerintahan di
Indonesia telah menghasilkan otonomi daerah dan otonomi khusus.
Kedua bentuk otonomi ini mempunyai dampak yang signifikan dari
pengelolaan sumber daya alam, termasuk didalamnya yag berkaitan
dengan pengelolaan hutan. Tuntutan terhadap konversi kawasan hutan
dilakukan oleh pemerintah daerah, mengingat pada beberapa propinsi
luasan kawasan budi daya non kehutanan sangat terbatas, sementara
kawasan hutan tetap dan kawasan lindungnya cukup luas. Otonomi
daerah yang menuntut pemerintah di daerah untuk menghasilkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) kebanyakan mengharapkan pendapatan
dari pemanfaatan sumber daya alam, terutama yang berasal dari
kawasan hutan. Pemanfaatan kawasan hutan tersebut pada umumnya
diberikan kepada kalangan swasta untuk kepentingan perkebunan
(utamanya kelapa sawit) dan pertambangan (batu bara). Kepentingan
pemerintah daerah untuk mendapatka tanah-tanah dari kawasan hutan
ini seringkali berbenturan dengan kepentingan pemerintah pusat untuk
menetapkan kawasan hutan produksi tetap maupun kawasan lindung
Selain adanya otonomi daerah, provinsi Papua telah
mendapatkan otonomi khusus melalui UU 21/2001. Otonomi khusus
yang pada intinya memberikan kesempatan yang kebih luas kepada
masyarakat ”asli” Papua untuk memainkan peranan yang lebih besar
dalam kegiatan pembangunan, termasuk menikmati hasil-hasil
pembangunan di daerah tersebut. Namun implikasi lainnya adalah
adanya berbagai aturan yang bersifat khusus dalam hal pengelolaan
sumber daya alam, yang menyebabkan intervensi dari pemerintah pusat
tidak mudah dilakukan. Termasuk didalamnya mengenai reforma
agraria.
Desentralisasi dapat menimbulkan konflik perijinan
penggunaan dan pemanfaatan lahan kawasan hutan. Ini bisa dilihat
bahwa pada kawasan hutan yang telah diterbitkan ijin oleh pusat di
daerah seringkali pada kawasan yang sama diterbitkan ijin dari bupati.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 22
Sehingga pada obyek yang sama terjadi tumpang tindih perijinan dan ini
merupakan masalah dan mengakibatkan deforestasi yang tidak
terkendali.
5. Analisis Regulasi dan Kelembagaan
Konversi kawasan hutan untuk kepentingan kegiatan non-kehutanan
telah diatur melalui berbagai peraturan, mulai dari secara prinsipil melalui
UU Kehutanan No 41/1999 berikut peraturan pelaksanaannya. Peraturan itu
antara lain (Djajono,2007):
• SK Menhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan,
Perubahan status dan fungsi Kawasan Hutan. Serta Perubahannya melalui
SK Menut No. 48/Menhut-II/2004.
• SK Menhut No. 292/Kpts-II/1995 tentang Tukar Menukar Kawasan
Hutan. Serta perubahannya melalui Permenhut No. P.66/Menhut-
II/2006.
• SKB Menteri kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala BPN No.
364/Kpts-II/1990, No.519/Kpts/HK.050/7/90, No. 23-VIII-1990 tentang
Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian HGU untuk
PengembanganUsahaPertanian.
• Kepmenhut No. 418/Kpts-II/1993 Tentang Penetapan Tambahan
Persyaratan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha
Pertanian. Serta Perubahannya melalui SK Menhut No. 250/Kpts-II/1996.
• Permenhut No. P.13/Menhut-II/2005 tentang Pelepasan Kawasan Hutan
dalam Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan.
• SKB Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan dan Menteri
Menteri Kehutanan No. SKB.126/MEN/1994, No. 422/Kpts-II/1994
tentang Pelepasan Areal Hutan Untuk pemukiman Transmigrasi.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 23
Selain peraturan tersebut, beberapa peraturan lainnya mencoba
untuk menjadi safety guard dari kebijakan yang sebelumnya dikeluarkan,
yaitu diantaranya adalah :
• SK No. 76/Kpts-II/1997 tentang Pelimpahan Wewenang Pencabutan
Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Pelepasan Kawasan Hutan Untuk
Budidaya Perkebunan Kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
• Peraturan Pemerintah No 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar
• SK Menhutbun No. 728/Kpts-II/1998 tentang luas maksimum pelepasan
kawasan hutan untuk budidaya perkebunan Pembatasan luas pelepasan
kawasan hutan untuk budidaya perkebunan diberlakukan pada tahun
1998 lewat SK Menhutbun No. 728/Kpts-II/1998. Perusahaan atau
kelompok perusahaan, diperbolehkan mendapatkan lahan maksimal
seluas 20.000 ha dalam satu propinsi atau 100.000 ha untuk seluruh
Indonesia
• SKB Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.364/Kpts-II/90, 519/Kpts/HK.050/7/90, dan
23-VIII-1990
• Nilai-nilai kebijakan menyebutkan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk
perkebunan besar tidak diperbolehkan merusak dan mengganggu
lingkungan hidup dan kelestarian hutan (SK Mentan No.
764/Kpts/Um/10/1980), memperhatikan usaha konservasi tanah dan air
(SKB Mentan dan Menhut No. 550/246/Kpts/4/1984, 082/Kpts-II/1984,
memperhatikan asas konservasi lahan dan lingkungan hidup (SK Menhut
No. 145/Kpts-II/1986)
• Surat Edaran Nomor 603/Menhutbun-VIII/2000 tanggal 22 Mei 2000
yang ditujukan kepada gubernur dan bupati di seluruh Indonesia
mengintruksikan agar untuk sementara para kepala daerah tidak
menerbitkan rekomendasi pencadangan pelepasan kawasan hutan untuk
tujuan usaha perkebunan.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 24
Konversi kawasan hutan menjadi non-kawasan hutan yang telah
difasilitasi oleh berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen
Kehutanan maupun Surat Keputusan Bersama dengan departemen/badan
lainnya seperti BPN, Transmigrasi dan Pertanian/Perkebunan telah
berlangsung sejak lama. Pada intinya menunjukan bahwa kawasan hutan
dengan fungsi produksi yang dapat dikonversi memang ditujukan untuk
kepentingan pembangunan lainnya. Sejauh ini terdapat dua bentuk konversi
kawasan hutan menjadi non kawasan hutan, yaitu untuk perkebunan besar
dan transmigrasi. Namun sejauh ini belum ada pengalaman konversi untuk
kegiatan yang terkait dengan distribusi tanah negara. Walaupun program
transmigrasi merupakan salah satu bentuk landreform di Indonesia, namun
sifat perubahan kawasannya masih didominasi oleh peranan yang dominant
dari lembaga pemerintah. Pelepasan kawasan untuk kepentingan reforma
agraria, yaitu berupa distribusi tanah bagi rakyat miskin sejauh ini belum
pernah dilakukan. Departemen Kehutanan cenderung untuk melakukan
program-program yang terkait dengan pemberian akses pemanfaatan sumber
daya hutan melalui program PHBM, Hutan Rakyat, SHK, HkM, dan
sebagainya.
Walaupun pelepasan kawasan hutan merupakan tindakan legal yang
direncanakan (seperti adanya HPK), kemudian Departemen Kehutanan
sendiri merancang berbagai peraturan yang pada intinya berusaha untuk
mencegah kerusakan sumber daya alam melalui pemanfaatan kawasan yang
lestari, namun tetap saja laju kerusakan berlangsung dengan cepat. Selain itu,
fakta menunjukkan bahwa pemberiian ijin perubahan kawasan hutan
(khususnya untuk perkebunan), tidak segera dimanfaatkan oleh para
pengusaha perkebunan. Para pengusaha ini pada awalnya masih melihat
adanya celah mengenai tidak adanya ketentuan tentang masa tenggang dari
pemberian ijin prinsip, penataan batas, land clearing dan proses penanaman
tanaman yang akan diproduksi. Namun belakangan baru dimunculkan
beberapa SK yang pada intinya mengatur tentang (1) masa tenggang, (2)
maksimal luas lahan, dan (3) himbauan penghentian ijin yang ditujukan
kepada pemerintah di daerah.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 25
Tampaknya persoalannya bukan terletak pada ketiadaan peraturan,
melainkan pada beberapa hal, (1) penegakan hukum yang lemah di tingkat
lapangan, (2) benturan kepentingan antara ekonomi dan konservasi, (3)
benturan kepentingan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
termasuk juga benturan kepentingan antara pemerintah propinsi dengan
pemerintah kota/kabupaten.
Lemahnya penegakan hukum dapat dilihat dari belum dicabutnya
ijin-ijin prinsip bagi perusahaan yang jelas-jelas telah menelantarkan
lahannya, karena prusahaan masih bisa berkelit dengan berbagai alasan
mengenai iklim investasi, masalah belum jelasnya aturan dan yang paling
sulit dibuktikan, tetapi dirasakan dampaknya adalah kemungkinan adanya
keterlibatan aparat pemerintah yang melanggar prosedur pekerjaan.
Selain itu, kehadiran UU otonomi daerah yang seharusnya disambut
sebagai bagian dari proses demokratisasi dan pemerataan pembangunan di
seluruh daerah di Indonesia, ternyata berdampak lain di daerah. Pemerintah
di daerah merasa bahwa pemerintah pusat belum sepenuhnya rela untuk
melepaskan kewenangannya, sementara itu pemerintah di daerah yang
merasakan paling memahami situasi pembangunan di daerahnya seringkali
membuat kebijakan yang tumpang tindih dan bertentangan. Kasus-kasus
timpang tindih ijin prinsip antara satu perusahaan dengan perusahaan
lainnya yang kerapkali terjadi di daerah
Benturan kepentingan antara pihak yang mendukung konservasi
dengan yang mendukung pertumbuhan ekonomi seringkali terjadi di daerah-
daerah. Para pengusaha dengan mengatasnamakan untuk kepentingan
ekonomi, seringkali menabrak aturan-aturan yang ada di kawasan hutan
Selain faktor regulasi, faktor kelembagaan memainkan peranan yang
sangat penting, khususnya dengan pemberlakukan otonomi daerah, dimana
kekuasaan pemerintah pusat tidak terlalu kuat seperti pada masa lalu, dan
munculnya actor-aktor baru di daerah yang tidak segan-segan untuk
mengabaikan regulasi yang ada di pemerintah pusat, apabila dianggap tidak
menguntungkan pembangunan di daerah
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 26
Selain itu, walaupun telah terjadi perbaikan hubungan antara
kalangan pemerintah dengan organisasi non-pemerintah (atau LSM). Namun
agenda dari kedua institusi ini masih belum sejalan. Ornop semestinya tidak
hanya menjalankan fungsi menyuarakan kritik saja, melainkan memberikan
solusi alternative terhadap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
sekarang ini
6. Reforma Agraria dan prioritas program Departemen Kehutanan
Reforma agraria adalah suatu kesepakatan politik yang tidak hanya
dapat dijalankan oleh satu periode kepemimpinan nasional, Namun harus
dilakukan secara berkesinambungan. Demikian halnya dalam suatu periode
kepemimpinan nasional, reforma agraria tidak dapat diletakkan tanggung
jawabnya hanya semata-mata kepada Badan Pertanahan Nasional. BPN
memang dapat menjadi leading agency dalam hal reforma agraria, tetapi
perlu didukung oleh departemen lainnya, mengingat “agraria” ada di berbagai
sector. Dalam hal ini posisi Departemen Kehutanan menjadi salah satu tulang
punggung keberhasilan reforma agraria, khususnya dalam distribuís tanah.
Mengingat masih banyak tanah-tanah yang sebetulnya eligible untuk
didistribusikan, tetapi berada dibawah yuridiksi Departemen kehutanan.
Namur apabila kita melihat SK Menteri Kehutanan Nomor 456/Menhut-
II/2004, tentang lima kebijakan prioritas bidang kehutanan dalam program
pembangunan nasional kabinet Indonesia Bersatu, terdiri dari :
a. Pemberantasan Pencurian Kayu di Hutan Negara dan perdagangan kayu
illegal.
b. Revitalisasi Sektor Kehutanan, khususnya Industri Kehutanan.
c. Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan.
d. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di dalam dan di Sekitar Kawasan
Hutan.
e. Pemantapan Kawasan Hutan.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 27
Tampak bahwa reforma agraria belum dianggap sebagai program
prioritas Departemen Kehutanan. Namun demikian prioritas tentang
pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan
dapat menjadi jalan masuk mengenai akses masyarakat untuk memanfaatkan
kawasan hutan melalui program-program seperti PHBM, Hutan
kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat dan sebagainya. Namun tampaknya
pelepasan kawasan untuk distribusi tanah negara tampaknya belum menjadi
bagian dari priorita sprogram. Apalagi rancangan
Distribusi tanah kawasan hutan memang belum merupakan prioritas
bagi Departemen Kehutanan karena memang Dephut kalau diperhatikan
memang tidak ada yang berkaitan dengan distribusi tanah kawasan hutan.
Sehingga kalau hal itu tidak merupakan program prioritas Departemen
Kehutanan mungkin bisa dimaklumi, karena memang distribusi tanah
kawasan hutan memang bukan TUPOKSI dari Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan hanya mengatur akses masyarakat pada tanah dan
sumberdaya kawasan hutan. Hal itu dapat dipacu melalui program
pembangunan hutan bersama masyarakat, atau pembangunan melalui
program hutan tanaman rakyat. Dimana program ini juga memberi akses
pada kemudahan masyarakat misalnya HTR yang diberikan ijin selama 60
tahun kepada masyarakat untuk memperoleh lahan sekitar 15 hektar yang
dapat diperpanjang selama 35 tahun. Sehingga tanpa memiliki lahan kawasan
hutan tersebut bisa mengakses selama 95 tahun pada kawasan hutan
tersebut.
7. Kesimpulan dan Rekomendasi
7.1. Kesimpulan
1. Reforma agraria yang dicanangkan oleh pemerintah melalui
distribusi tanah negara pada daerah-daerah di luar Jawa hanya dapat
dimungkinkan dengan adanya perubahan hutan produksi yang dapat
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 28
dikonversi menjadi tanah-tanah negara yang dapat didistribusikan
dan layak dijadikan usaha untuk pertanian bagi masyarakat miskin
2. Dari sisi obyektif reforma agraria di Indonesia membutuhkan tanah
yang berasal dari konversi kawasan hutan, namun ketersediaan
kawasan yang dapat dikonversi melalui Hutan Produksi yang dapat
Dikonversi (HPK) luasannya belum memadai dan masih
diperebutkan untuk kepentingan non-kehutanan lainnya seperti
perkebunan, pertambangan dan transmigrasi
3. Tidak semua propinsi mempunyai kawasan HPK, sehingga tidak
semua propinsi dapat mengandalkan tanah-tanah untuk obyek
reforma agraria yang berasal dari kawasan HPK. Sehingga pada
propinsi-propinsi tersebut diperlukan kebijakan lainnya untuk
mencari kawasan yang dapat menyediakan tanah untuk kepentingan
distribusi
4. Pemerintah telah cukup memberikan berbagai regulasi yang terkait
dengan konversi kawasan hutan, termasuk untuk mengurangi
dampak kerusakannya, namun tanpa suatu penegakan hukum yang
kuat dari institusi lainnya, maka regulasi tersebut tidak akan
mengurangi dampak kerusakan hutan akibat konversi hutan
5. Konversi kawasan hutan selama ini hanya terjadi untuk kawasan-
kawasan yang dimintakan oleh institusi swasta maupun pemerintah,
seperti perkebunan, transmigrasi dan pertambangan Pemerintah
belum mempunyai pengalaman melakukan konversi kawasan hutan
untuk kepentingan distribusi tanah kepada masyarakat. Oleh sebab
itu diperlukan suatu mekanisme pengaturan di tingkat Departemen
Kehutanan untuk memberikan petunjuk mengenai tata-cara
pelepasan kawasan untuk kepentingan distribusi tanah negara,
seperti pengaturan tentang kewajiban dan hak dari calon penerima
manfaat, kewenangan yang ada di tingkat pemerintah daerah dan
peran serta kelompok-kelompok non pemerintah dalam pelepasan
kawasan hutan untuk kepentingan distribusi tanah.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 29
6. Walaupun reforma agraria di kawasan hutan bukanlah Tupoksi dari
Departemen Kehutanan dan juga belum menjadi prioritas program;
tetapi sebagai sebuah program nasional yang mendesak, maka
diperlukan peran yang lebih besar dari Dephut untuk terlibat dalam
kegiatan reforma agraria dan memasukannya menjadi suatu program
nasional
7. Departemen Kehutanan selama ini telah mempunyai beberapa
program kehutanan di Jawa dan luar Jawa yang pada intinya
memberikan akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan
kawasan hutan. Program-program tersebut dilakukan pada kawasan
hutan hak maupun hutan negara dan mempunyai prinsip security
tenure, dalam jangka waktu tertentu dan tidak memberikan hak
kepemilikan kepada penerima manfaat,
8. Penelantaran tanah oleh para pengusaha merupakan suatu indikasi
mengenai lemahnya penegakan hukum di tingkat lapangan,
termasuk peraturan pemerintah yang mengatur penelantaran tanah
itu sendiri mengandung beberapa ketidak-jelasan mengenai
pengertian menelantarkan, jangka waktu penelantaran, dan proses
sanksi yang diberikan kepada pihak yang menelantarkan
9. Impelementasi otonomi daerah telah menimbulkan konflik
kepentingan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, hal
ini terjadi bukan karena regulasi dari otonomi itu sendiri, melainkan
belum disadarinya niat mulia yang terkandung didalam otonomi
daerah, yaitu memperkuat kapasitas pemerintah di daerah dan
mensejahterakan masyarakat di daerah.
7.2. Rekomendasi
1. Diperlukannya suatu Kepres yang secara khusus mencadangkan
kawasan hutan untuk kepentingan reforma agraria, yaitu distribusi
tanah bagi masyarakat miskin. Apabila pemerintah sebelumnya telah
berani mengeluarkan Perpu untuk kepentingan usaha pertambangan,
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 30
maka Kepres tentang pencadangan tanah untuk reforma agraria
yang tanahnya berasal dari kawasan hutan merupakan tugas
pemerintah untuk mewujudkannya
2. Reforma agraria perlu menjadi salahsatu prioritas program dari
Departemen Kehutanan, karena potensi tanah-tanah negara yang
akan didistribusikan kebanyakan berada di wilayah kehutanan.
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas
31
Kewajiban : Pungutan ijin hasil hutan (2) pungutan lainnya
n : Pungutan ijin hasil hutan (2) pungutan lainnya
Lampiran 1 Lampiran 1
Sumber : Bachriadi, dkk 2005 : 73 Sumber : Bachriadi, dkk 2005 : 73
Catatan : nomenklatur seperti Kantor Wilayah masih mengikuti sebelum
penerapan otonomi daerah
Catatan : nomenklatur seperti Kantor Wilayah masih mengikuti sebelum
penerapan otonomi daerah
Permohonan Hak Pengelolaan
Gambar 2: Gambar 2:
Prosedur Pelepasan Kawasan Hutan untuk untuk Transmigrasi Prosedur Pelepasan Kawasan Hutan untuk untuk Transmigrasi
SK Pelepasan (Syarat untuk sertifikasi pengelolaan)
Penerimaan BAP
Penerimaan Saran dan Rekomendasi
Surat Permohonan
Saran dan Pertimbangan
Penerimaan Permohonan Pertimbangan
Penerimaan Permohonan Pertimbangan
Proses Penyusunan
Pertimbangan
Mengajukan Surat
Permohonan
Peta Kaw. Hutan Peta Survei Laporan Hasil Survey Laporan Hasil Studi Tahap Kedua
Penyampaian Saran dan
Pertimbangan
Menteri Kehutanan
Tim Pertimbangan Sekjen Kehutanan
MenTrans dan Perambah Hutan
Penolakan Permohonan
Penerimaan Prinsip
Pencadangan Kawasan Hutan
Kanwil
Kehutanan
Penerimaan Prinsip
Pencadangan Kawasan Hutan
Surat Permohonan
Permohonan Kawasan
HPH
Melaksanakan Kegiatan dalam Surat
Persetujuan
Ke BPN
Penerimaan Persetujuan Prinsip
Pencadangan Kawasan Hutan
Melakukan Persiapan
Pembangunan
BAP
Menunggu Jawaban Untuk Penguasaan
Hasil Hutan selama 3 hari
Disampaikan permohonan melalui Dirjen Inventarisasi
Disampaikan melalui ke Kanwil Kehutanan melalui
Pengelolaan oleh perusahaan lain atau koperasi
Pengelolaa oleh HPH
Jawaban
Y t Tida
a
ad
da
Tdk ad
?
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 32
Lampiran 2
: LUAS KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PENUNJUKAN KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN/
Forest Area Based on Decree of Minister of Forestry
LUAS KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN (Ha) *) Surat Keputusan
KSA dan KPA No PROPINSI LUAS DARATAN
PROPINSI (Ha)
Nomor Tanggal Jumlah Perairan Daratan HL HPT HP HPK
JUMLAH LUAS DARATAN KAWASAN
HUTAN
1 DI Aceh 5.539.000,00 170/Kpts-II/2000 29 Juni 2000 1.066.733,00 231.400,00 835.333,00 1.844.500,00 37.300,00 601.280,00 - 3.318.413,00 2 SUMBAR 4.289.800,00 422/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 846.175,00 39.900,00 806.275,00 910.533,00 246.383,00 407.849,00 189.346,00 2.560.386,00 3 Jambi 5.343.600,00 421/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 676.120,00 - 676.120,00 191.130,00 340.700,00 971.490,00 - 2.179.440,00 4 Bengkulu**) 1.978.900,00 420/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 444.882,00 - 444.882,00 252.042,00 189.075,00 34.965,00 - 920.964,00 5 Lampung 3.538.500,00 256/Kpts-II/2000 23 Agustus 2000 462.030,00 - 462.030,00 317.615,00 33.358,00 191.732,00 - 1.004.735,00 6 DKI Jakarta 66.400,00 220/Kpts-II/2000 2 Agustus 2000 108.272,34 108.000,00 272,34 44,76 - 158,35 - 475,45 7 Jawa Barat 4.317.700,00 419/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 252.604,00 46.187,35 206.416,65 240.402,00 213.412,00 338.653,00 - 998.883,65 8 JATENG 3.254.900,00 435/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 115.086,00 110.117,30 4.968,70 75.538,00 174.185,00 396.751,00 - 651.442,70 9 Jawa Timur 4.792.300,00 417/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 230.248,30 - 230.248,30 315.505,30 - 811.452,70 - 1.357.206,30
10 DI Yogyakarta 318.600,00 171/Kpts-II/2000 29 Juni 2000 910,34 - 910,34 2.057,90 - 13.851,28 - 16.819,52 11 Bali 563.300,00 433/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 26.293,59 3.415,00 22.878,59 95.766,06 6.719,26 1.907,10 - 127.271,01 12 NTB **) 2.015.300,00 418/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 139.025,00 11.064,00 127.961,00 421.854,00 334.409,00 126.278,00 - 1.010.502,00 13 NTT 4.734.900,00 423/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 350.330,00 253.922,00 96.408,00 731.220,00 197.250,00 428.360,00 101.830,00 1.555.068,00 14 KALBAR 14.680.700,00 259/Kpts-II/2000 23 Agustus 2000 1.645.580,00 77.000,00 1.568.580,00 2.307.045,00 2.445.985,00 2.265.800,00 514.350,00 9.101.760,00 15 KALSEL 3.653.500,00 453/Kpts-II/1999 17 Juni 1999 175.565,00 - 175.565,00 554.139,00 155.268,00 688.884,00 265.638,00 1.839.494,00
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 33
16 SULSEL 6.248.300,00 890/Kpts-II/1999 14 Oktober 1999 789.066,00 580.765,00 208.301,00 1.944.416,00 855.730,00 188.486,00 102.073,00 3.299.006,00 17 SULUT 2.748.800,00 452/Kpts-II/1999 17 Juni 1999 518.130,00 89.065,00 429.065,00 341.447,00 552.573,00 168.108,00 34.812,00 1.526.005,00 18 SULTRA 3.814.000,00 454/Kpts-II/1999 17 Juni 1999 1.664.069,00 1.471.800,00 192.269,00 1.061.270,00 419.244,00 633.431,00 212.123,00 2.518.337,00 19 SULTENG 6.368.900,00 757/Kpts-II/1999 23 September 1999 676.248,00 - 676.248,00 1.489.923,00 1.476.316,00 500.589,00 251.856,00 4.394.932,00 20 Maluku 7.787.100,00 415/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 443.345,00 118.598,00 324.747,00 1.809.634,00 1.653.625,00 1.053.171,00 2.304.932,00 7.146.109,00 21 Irian Jaya 42.198.100,00 891/Kpts-II/1999 14 Oktober 1999 9.704.300,00 1.926.475,00 7.777.825,00 10.619.090,00 2.054.110,00 10.585.210,00 9.262.130,00 40.298.365,00 22 SUMSEL 10.925.400,00 76/Kpts-II/2001 15 Maret 2001 714.416 - 714.416 760.523 217.370 2.293.083 431.445,00 4.416.837,00 23 KALTIM 21.098.500,00 79/Kpts-II/2001 15 Maret 2001 2.165.198 500,00 2.164.698 2.751.702 4.612.965 5.121.688 - 14.651.053,00 24 SUMUT 7.168.000,00 - - - - - - - - - - 25 R i a u 9.456.100,00 - - - - - - - - - - 26 KALTENG 15.356.400,00 - - - - - - - - - -
JUMLAH 192.257.000,00 23.214.626,57 5.068.208,65 18.146.417,92 29.037.397,02 16.215.977,26 27.823.177,43 13.670.535,00 104.893.504,63 Sumber/ Source : Badan Planologi Kehutanan/ Forestry Planning Agency
Keterangan/Note : - Data TN (L) Wakatobi seluas 1.390.000 ha belum dimasukkan dalam SK Penunjukkan Kawasan Hutan Prop. Sulawesi Tenggara No.454/Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 - Untuk 3 propinsi (Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah) saat ini sedang diproses di Daerah. *) Data luas didasarkan pada perhitungan secara manual (belum digitasi) **) Hutan Fungsi Khusus (HFK) di Prop. Bengkulu seluas 6.865 ha (Pusat Latihan Gajah) dimasukkan kedalam fungsi pokok kawasan hutannya (HPT) dan di Propinsi Nusa Tenggara Barat seluas 403 ha (Hutan Penelitian) kedalam Hutan Lindung (HL)
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas
Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas
34
Lampiran 3
Dokumen
Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 35
Kepustakaan :
C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim
Basyar.rtf Halaman
http://jayono.blogspot.com/2007/05/reforma-agraria.html
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas