korupsi
DESCRIPTION
pasal pasal tentang korupsiTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
PENGATURAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI
A. Latar Belakang
Korupsi secara umum, dapat dikatakan sebagai perbuatan dengan
maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
yang langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan negara atau
daerah atau keuangan suatu korporasi yang menerima bantuan keuangan
negara, dimana perbuatan tersebut dilakukan dengan menyalahgunakan
jabatan/wewenang yang ada padanya. Tindak Pidana Korupsi (tipikor) di
Indonesia sebenarnya sudah lahir dan tumbuh subur sebelum Indonesia
merdeka. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) pada buku Kedua tentang kejahatan yaitu pada bab
VIII kejahatan terhadap penguasa umum dan bab XXVIII kejahatan jabatan,
yang semuanya bersumber dari produk kolonial imperialis Belanda. Namun
demikian hal tersebut tidak secara tegas disebutkan dengan kata korupsi,
melainkan pengertian dari tindak tersebut memiliki pengertian yang sama
dengan korupsi secara esensial. Sesuai dengan perkembangan zaman dan
perbuatan korupsi terus merajalela maka dalam pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai kurang memadai.
2
Perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia yang tergolong
tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi sebagai suatu virus yang
dengan mudahnya menyebar ke seluruh tubuh / organ pemerintahan dalam
waktu yang relatif singkat dan cenderung mengalami peningkatan yang
cukup signifikan dari tahun ke tahun baik secara kualitas maupun
kuantitasnya dan telah menjadi salah satu permasalahan nasional.
Perkembangan korupsi yang demikian mempunyai relevansi dengan
kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, orang lain dan suatu
korporasi. Dalam mengantisipasi dan menanggulangi terjadinya tindak
pidana korupsi yang merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik
memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat
komprehensif, sistematis, dan berkesinambungan. Dalam melaksanakan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan
efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik oleh
seluruh komponen baik pemerintah maupun masyarakat sehingga
penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan.
Dalam upaya mencegah dan menanggulangi tindak pidana korupsi
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor .31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun sebelum Undang-Undang ini
diterapkan diadakan perubahan dengan di undangkan nya Undang-Undang
Nomor. 20 Tahun 2001 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang
Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor. 20 tahun 2001 ini merupakan
perubahan atau penambahan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang di anggap belum lengkap.
Beberapa perubahan penting dan mendasar dalam Undang-Undang
Nomor. 20 Tahun 2001 yang tidak ditemukan dalam Undang-Undang
Nomor. 31 tahun 1999. Yaitu, sebagai berikut :
1) Terjadi perubahan redaksi penjelasan Pasal 2 ayat (2) sehingga menjadi: “Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan social yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi”.
2) Rumusan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan Pasal 12 langsung disebutkan unsur-unsurnya dalam ketentuan pasal yang bersangkutan , tidak lagi mengacu pada pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selain itu, disisipkan beberapa pasal dalam Pasal 12 menjadi Pasal 12A, Pasal 12B, dan Pasal 12C yang pada dasarnya mengenai (a) pidana penjara dan pidana denda dalam Pasal 5, 6, 8, 9, 10, 11, dan 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000, (b) bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000 dipidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000, (c) sistem pembalikan beban pembuktian murni khusus grativikasi yang berkaitan dengan suap.
3) Perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana dalam ketentuan Pasal 26A khusus untuk tindak pidana korupsi yang diperoleh dari (a) alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan , dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan (b) dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara eletronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
4
4) Substansi Pasal 37 Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 dirubah khusus pada frase “keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan dirinya” menjadi “pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti”. Kata “dapat” dalam Pasal 37 ayat 4 undang-undang Nomor. 31 Tahun 1999 juga dibuang.
5) Pasal 43A menentukan bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor.31 tahun 1999 diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor. 3 tahun 1971 dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan terdakwa diberlakukan ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999. Ketentuan pidana penjara minimum tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999.
6) Adanya ketentuan Pasal 43B yang isinya menghapus dan menyatakan tidak berlaku Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 420, 423, 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada saat mulai berlaku Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.”1
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka mengubah dan memperbaiki
ketentuan-ketentuan yang masih dianggap kurang dalam Undang-Undang
Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .
Berkaitan dengan acara pemeriksaan tindak pidana korupsi, hukum
acara yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
ketentuan-ketentuan khusus yang ada dalam Undang-Undang Nomor. 32
Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang
1 Mahrus Ali, Asas, Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, Hal. 30-32.
5
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini terlihat dalam ketentuan
Pasal 285 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang berbunyi :
“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan/atau dinyatakan tidak berlaku lagi.”
Juga dalam ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi :
“Penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan ketentuan tersebut maka hukum acara pidana yang
berlaku untuk tindak pidana korupsi adalah hukum acara yang ada di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kecuali yang
ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Hukum acara yang diatur berbeda dalam Undang-Undang Nomor. 31
Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah yang menyangkut sistem atau
cara pembuktian yaitu sistem pembuktian terbalik yang dibebankan
6
terhadap terdakwa untuk membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah telah
melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam hukum acara pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak diatur tentang sistem pembuktian
terbalik artinya bahwa yang harus membuktikan kesalahan terdakwa adalah
Jaksa Penuntut Umum sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor. 31
Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimungkinkan adanya sistem
pembuktian terbalik.
Dimungkinkannya sistem pembuktian terbalik dalam pemeriksaan
tindak Pidana Korupsi disidang pengadilan diatur dalam Pasal 37 ayat (4)
Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:
“Dalam Hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi”
Artinya beban pembuktian yang semula dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum kemudian beralih menjadi beban terdakwa. Dalam hal ini terdakwa
berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak
pidana. Terdakwa didepan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala
pembuktian dan apa bila tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan
bersalah melakukan tindak pidana. Konsep inilah yang kemudian disebut
dengan “Pembuktian Terbalik”.
7
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka permasalahannya
adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi dasar pemikiran digunakannya asas
pembuktian terbalik di dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun
1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
2. Bagaimana pengaturan asas pembuktian terbalik dalam tindak
pidana korupsi di dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999
juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
C. Tujuan dan Manfaat
a) Tujuan Penelitian;
1) Untuk mengetahui dasar pemikiran digunakannya sistem
pembuktian terbalik di dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun
1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2) Untuk mengetahui pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam
tindak pidana korupsi di dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun
8
1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b) Manfaat Penelitian
1) Manfaat akademis, merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi ilmu hukum strata satu (S-1) pada Fakultas
Hukum Universitas Mataram.
2) Manfaat toritis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu
hukum pidana di Indonesia, khususnya tindak pidana formil
yang terkait dengan sistem pembuktian terbalik dalam tindak
pidana korupsi.
3) Manfaat praktis, di harapkan agar penelitian ini dapat menjadi
sumber informasi dan referensi bagi semua pihak, khususnya
para penegak hukum yang memiliki cita-cita luhur dalam
memajukan perkembangan pengaturan hukum di Indonesia.
D. Ruang Lingkup Penelitian
Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, maka penelitian ini
di fokuskan pada dasar pemikiran digunakannya sistem pembuktian terbalik
dan pengaturan sistem pembuktian terbalik di dalam Undang-Undang
Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Pidana
1. Istilah dan Pengertian Hukum Pidana
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat
diartikan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan /
dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan
suatu tindak pidana. Para ahli hukum di Indonesia membedakan istilah
hukuman dengan Pidana. Istilah hukuman adalah istilah umum yang
digunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata,
administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah Pidana diartikan
yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum Pidana.2
Pengertian Pidana juga telah banyak di artikan oleh parah ahli
hukum pidana diantaranya oleh Moeljatno dan Van Hamel, menurut
Moeljatno hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-d asar dan aturan-aturan
untuk :
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi
2http://www.pengertianahli.com/2013/10/pengertian-pidana-menurutparaahli.html?m=1
10
yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.3
Sedangkan menurut definisi dari Van Hamel dalam bukunya
Inlending Studie Ned. Strafrecht 1927 yang berbunyi:
“Hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.”4
Dengan demikian dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa
hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat
berlakunya norma-norma lain yang telah ada, misalnya norma agama dan
kesusilaan.
Adapun Sumber hukum pidana terdiri atas sumber hukum tertulis
dan sumber hukum yang tidak tertulis. Di Indonesia, belum memiliki
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih
diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) antara lain :
a) Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-130)
b) Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488)
3 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cetakan ketujuh, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 1.
4 Ibid, hlm. 8.
11
c) Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
2. Pembagian Hukum Pidana Umum dan Khusus
Hukum pidana di Indonesia terbagi dua, yaitu hukum pidana umum
dan hukum pidana khusus. Secara difinitif, hukum pidana umum dapat
diartikan sebagai perundang-undangan pidana dan berlaku umum, yang
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Adapun hukum pidana khusus, dimaknai sebagai perundang-undangan
dibidang tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau tindak pidana yang
diatur dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP, baik perundang-
undangan pidana maupun bukan pidana tetapi memiliki sanksi pidana.
Menurut Andi Hamzah, perundang-undangan pidana khusus
artinya tersendiri terlepas dari KUHP dapat disebut Undang-undang
pidana tersendiri atau dapat juga disebut hukum pidana diluar kodifikasi
atau nonkodifikasi.5
Di Indonesia kini berkembang dengan subur undang-undang
tersendiri diluar KUHP, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,
Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, dan banyak Undang-Undang
administrasi yang bersanksi pidana. Perkembangan kriminalitas dalam
masyarakat telah mendorong lahirnya undang-undang tindak pidana
khusus, yaitu undang-undang hukum pidana yang ada diluar KUHP.
Kedudukan undang-undang hukum pidana khusus dalam sistem hukum
5 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm 27.
12
pidana adalah pelengkap dari hukum pidana yang telah dikodifikasi
dalam KUHP.
Terkait dasar timbulnya pengaturan tindak pidana khusus atau
peraturan tersendiri di luar KUHP, karena KUHP menyatakan tentang
kemungkinan adanya Undang-undang Pidana di luar KUHP itu,
sebagaimana yang disimpulkan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal
103 KUHP yang mengatakan, Ketentuan Umum KUHP kecuali Bab IX
berlaku juga terhadap perbuatan yang menurut undang-undang dan
peraturan lain diancam dengan pidana, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang. Maksudnya, Pasal 1-85 Buku 1 KUHP tentang
Ketentuan Umum berlaku juga bagi perbuatan yang diancam dengan
pidana berdasarkan undang-undang atau peraturan –peraturan lain diluar
KUHP diancam dengan pidana kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang. Adanya ketentua n pasal tersebut memungkinkan penerapan
aturan-aturan pidana umum bagi perbuatan-perbuatan pidana yang
ditentukan diluar KUHP, kecuali peraturan tersebut menyimpang.6
Hanya saja, Andi hamzah menggaris bawahi hal terpenting untuk
diperhatikan , yaitu penyimpangan-penyimpangan dalam undang-undang
atau peraturan-peraturan khusus tersebut terhadap Ketentuan Umum
KUHP. Selebihnya, yang tidak menyimpang dengan sendirinya tetap
berlaku Ketentuan Umum KUHP, berdasarkan asas lex specialis
derogate legi generali (ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan
6 http://zriefmaronie.blogspot.com/2012/10/sejarah-hukum-tindak-pidana-khusus.html?m=1
13
umum). Jadi selama tidak ada ketentuan khusus berlakulah ketentuan
umum.7
Tujuan pengaturan terhadap tindak pidana yang bersifat khusus
adalah untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang tidak
tercakup pengaturannya dalam KUHP.
B. Tindak Pidana Korupsi
1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Asal kata korupsi menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal
dari bahasa latin corruptio atau corruptus (Webster Student Dictionary;
1960), yang selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari
kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari
bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu
corruption, corrupt, Prancis yaitu corruption dan Belanda, yaitu corruptie
(korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa
Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu "korupsi".8
Dalam Kamus Umum Belanda Indonesia yang disusun oleh
Wijowasito, corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa
Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.9
Pengertian dari korupsi secara harfiah menurut A.LN. Kramer ST
mengartikan kata korupsi sebagai; busuk, rusak, atau dapat disuap.
7 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 12.8 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana nasional dan
Internasional, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.4-6. 9 Wijowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, PT. Ikhtiar Baru, Jakarta, 1999, hlm.
128.
14
Kemudian arti korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata
bahasa Indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta : “Korupsi ialah
perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok,
dan sebagaiannya”.10
Pengertian Korupsi juga di definisikan oleh Benveniste menjadi 4
jenis yaitu:
1) Discretionary corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
2) Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
3) Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
4) Ideological corruption, ialah jenis korupsi ilegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.11
Namun dari banyaknya pendapat-pendapat para ahli tentang
pengertian dari korupsi, ternyata dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak di tentukan
pengertian dari korupsi, tetapi didalam Undang-Undang Nomor. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pengertian tindak
pidana korupsi ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi :
“Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang
10 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hlm. 524.
11 Suyatno, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hlm. 17
15
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Dengan demikian dapat dijabarkan mengenai pengertian dari
“Tindak Pidana Korupsi” adalah semua ketentuan hukum materiil yang
terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-
Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.12
2. Lembaga yang Berwenang Memberantas Korupsi
1) Komisi Pemberantasan Korupsi
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga
yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi, diatur dalam
beberapa hukum positif, yaitu :
a) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pasal 2 angka 6 huruf a, yaitu:
"Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi".13
b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Pasal 43 ayat (1)
12 Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm. 25.
13 Ibid, hlm. 11
16
"Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak UndangUndang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi". 14
c) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pembe-rantasan Tindak Pidana Korupsi.Pasal 2"Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi". 15
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan melakukan
koordinasi dan supervise, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi,
tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta
keanggotaannya diatur dengan undang-undang.
2) Kepolisian Negara Republik Indonesia
Tentang institusi Kepolisian Republik Indonesia diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai institusi penegak
hukum, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana atau yang lebih dikenal sebagai Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memiliki kewenangan
melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara pidana termasuk
perkara pidana khusus korupsi.
Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bagi
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diinstruksikan dalam
14 Ibid, Hal. 409.15 Ibid, Hal. 434.
17
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi, Huruf Kesebelas butir 10 diins-
truksikan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai
berikut:
a) Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dengan menyelamatkan uang negara.
b) Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum.
c) Meningkatkan kerja sama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi”.16
3) Kejaksaan Republik Indonesia
Lingkup tupoksi atau tugas dan fungsi Kejaksaan Republik
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bagi
Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diinstruksikan dalam Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, Huruf Kesebelas butir 9 diinstruksikan kepada
Jaksa Republik Indonesia, sebagai berikut :
a) Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan
16 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPKK-Komisi Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 512.
18
terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.
b) Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penya-lahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum.
Meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang
terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian
keuangan negara akibat tindak pidana korupsi".17
C. Sistem Pembuktian
1. Ketentuan Tentang Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
Berkaitan dengan acara pemeriksaan tindak pidana korupsi, hukum
acara yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
ketentuan-ketentuan khusus yang ada dalam Undang-Undang Nomor. 30
Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini terlihat dalam ketentuan
Pasal 285 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang berbunyi :
“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan/atau dinyatakan tidak berlaku lagi.”
17 Ibid, Hal. 511-512
19
Dalam ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi :
“Penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka hukum acara pidana
yang berlaku untuk tindak pidana korupsi adalah hukum acara yang ada
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kecuali
yang ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999
juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Hukum acara yang diatur berbeda dalam Undang-Undang Nomor.
31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah yang menyangkut sistem
atau cara pembuktian.
Dalam hukum acara pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak diatur tentang sistem pembuktian
terbalik artinya bahwa yang harus membuktikan kesalahan terdakwa
adalah Jaksa Penuntut Umum sedangkan di dalam Undang-Undang
Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimungkinkan adanya
sistem pembuktian terbalik.
Dimungkinkannya sistem pembuktian terbalik dalam pemeriksaan
tindak pidana korupsi disidang pengadilan diatur dalam Pasal 37 ayat (4)
20
Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berbunyi:
“Dalam Hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi”
Artinya beban pembuktian yang semula dilakukan oleh Jaksa
Penuntut Umum kemudian berubah/beralih menjadi beban terdakwa.
Dalam hal ini terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan
sebagai pelaku tindak pidana. Terdakwa didepan sidang pengadilan yang
akan menyiapkan segala pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan,
terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.
2. Teori Sistem Pembuktian
Dikaji secara umum, “pembuktian” berasal dari kata “bukti” yang
berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk
memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian
adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi
(memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran,
melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Dikaji dari
makna leksikon, “pembuktian” adalah suatu proses , cara, perbuatan
membuktikan , usaha menunjukan benar atau salahnya si terdakwa dalam
21
sidang pengadilan. Dikaji dari perspektif yuridis, menurut M. Yahya
Harahap “pembuktian” adalah:
“Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-Undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.”18
Proses “pembuktian” hakikatnya memang lebih dominan pada
sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan peristiwa
yang terjadi dan memberikan keyakinan kepada hakim tentang kejadian
tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin.
Pada proses pembuktian ini, adanya korelasi dan interaksi mengenai apa
yang akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materiil
melalui tahap pembuktian alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap
aspek-aspek sebagai berikut :
a) Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti.b) Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-
perbuatan yang didakwakan kepadanya.c) Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-
perbuatan itu.d) Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.19
Pada hakikatnya, dalam rangka menerapkan pembuktian atau
hukum pembuktian Hakim bertitik tolak kepada sistem pembuktian
dengan tujuan mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil
pembuktian terhadap perkara yang sedang diadilinya. Secara teoritis guna
18 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.252.
19 Martimah Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999), CV. Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 99.
22
penerapan sistem pembuktian dalam hukum pidana Indonesia , dikenal
adanya beberapa teori hukum pembuktian, untuk itu secara teoritis
asasnya dikenal 3 (tiga) teori tentang sistem pembuktian, 20 yaitu berupa :
1) Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif
(Positief Wettelijke Bewijs Theorie)
Pada dasarnya, sistem pembuktian menurut undang-
undang secara positif berkembang sejak abad pertengahan.
Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung kepada
alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam
undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan
tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai Hakim,
cara bagaimana Hakim harus mempergunakannya kekuatan alat-
alat bukti tersebut dan bagaimana caranya Hakim harus
memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili.
Dalam aspek ini, Hakim terikat kepada adagium kalau alat-alat
bukti tersebut telah dipakai sesuai ketentuan undang-undang,
Hakim mesti menentukan terdakwa bersalah, walaupun Hakim
berkeyakinan bahwa sebenarnya terdakwa tidak bersalah. Begitu
pun sebaliknya, apabila tidak dapat dipenuhi cara
mempergunakan alat bukti sebagaimana ditetapkan undang-
undang, hakim harus meyatakan terdakwa tidak bersalah
walaupun menurut keyakinannya sebenarnya terdakwa bersalah.
20 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T. Alumni, Bandung, 2007, hlm. 92.
23
Dengan demikian, pada hakikatnya menurut D. Simons, sistem
atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif
(positif zvettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua
pertimbangan subyektif Hakim dan mengikat Hakim secara
ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras.
Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkuisitor
(inquisitoir) dalam acara pidana. Lebih lanjut lagi, apalagi dikaji
secara hakiki ternyata sistem pembuktian positif mempunyai
segi negatif dan segi positif. Hal ini tampak melalui asumsi M.
Yahya Harahap sebagai berikut:
"Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata bergantung kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut Undang-Undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah dipenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana Undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya seolah-olah tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim, suatu kewajiban mencari dan dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengenyampingkan jauh-jauh faktor keyakinannya. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa
24
mencampuradukkan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subyektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-undang, mereka tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya”.21
Kemudian, dalam perkembangannya dengan titik tolak
aspek negatif dan positif baik secara teoritis dan praktik sistem
pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief
wettelijke bewijs theorie) sudah tidak pernah diterapkan lagi.
2) Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (Conviction
Intime / Conviction Raisonce)
Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim,
hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan
belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot
gemoedelijke overtidgmg, Conviction Intime). Dalam
perkembangannya, lebih lanjut sistem pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim mempunyai 2 (dua) bentuk polarisasi, yaitu:
"Conviction Intime" dan "Conviction Raisonce". Melalui
sistem pembuktian "Conviction Intime", kesalahan terdakwa
bergantung kepada keyakinan belaka, sehingga hakim tidak
terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging,
convictionintime). Dengan demikian, putusan hakim di sini
tampak timbal nuansa subyektifnya. misalnya dalam putusan
hakim dapat berdasarkan pada mistik, keterangan medium,
21 M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 789-799.
25
dukun dan lain sebagainya sebagaimana pernah diterapkan
dahulu pada praktik pengadilan distrik dan pengadilan
kabupaten. Apabila dikaji secara detail, mendalam dan
terperinci, penerapan sistem pembuktian "Conviction Intime"
mempunyai bias subyektif, yaitu:
"Apabila pembuktian conviction-intime menentukan salah tidaknya terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction-intime ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selain hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction-intime, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya, walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang paling dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini."22
22 Ibid., hlm. 797-798
26
Sedangkan pada sistem pembuktian "Conviction
Raisonce" biasanya identik sistem "Conviction Intime". Lebih
lanjut lagi, pada sistem pembuktian "Conviction Raisonce"
keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk
menentukan tentang kesalahan terdakwa, tetapi penerapan
keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam arti
keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-
alasan jelas dan rasional dalam mengambil keputusan.
3) Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-Undang Secara
Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie)
Pada prinsipnya, teori hukum pembuktian menurut
undang-undang negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie)
menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif
ditentukan oleh Undang-undang dan didukung pula oleh adanya
keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.
Dari aspek historis ternyata teori hukum pembuktian menurut
Undang-undang secara negatif, hakikatnya merupakan
"peramuan" antara teori hukum pembuktian menurut Undang-
undang secara positif dan teori hukum pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim.
Substansi teori hukum pembuktian menurut Undang-
undang secara negatif tentulah melekat adanya anasir:
27
a. Prosedural dan tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagaimana limitatif ditentukan Undang-Undang dan
b. Terhadap alat-alat bukti tersebut hakim baik secara materiil maupun secara prosedural.23
3. Pembuktian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Apabila teori sistem pembuktian di atas dikaitkan dengan sistem
pembuktian yang dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), teori yang mana yang diikuti? Jawaban atas pertanyaan
ini dapat diketahui dengan ketentuan Pasal 183 dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Terdapat dua hal yang harus diperhatikan hakim di dalam
menjatuhkan pidana kepada terdakwa, yaitu kesalahan terdakwa haruslah
terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan atas dua
alat bukti tersebut hakim harus memperoleh keyakinan bahwa tindak
pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan terdakwalah pelakunya.
KUHAP sebenarnya menganut sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif, karena disamping mensyaratkan adanya minimal dua alat
bukti, juga harus disertai dengan keyakinan hakim atas alat-alat bukti
tersebut. Walaupun terdapat dua alat bukti yang sah, tapi hakim tidak
23 Lilik Mulyadi, Op. Cit, hlm 247
28
memiliki keyakinan atas dua alat bukti tersebut, maka hakim dilarang
menjatuhkan pidana kepada terdakwa.24
Dari penjelasan di atas tampak Pasal 183 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada sistem pembuktian Undang-undang
secara positif bahwa unsur “sekurang-kurangnya dua alat bukti” merupakan
aspek dominan, sedangkan segmen “keyakinan Hakim” hanyalah bersifat
sebagai aspek pelengkap karena tanpa adanya aspek tersebut tidak
mengakibatkan batalnya putusan, dan praktiknya hanya diperbaiki dan
ditambahi pada tingkat banding atau kasasi.25
4. Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi
Sistem pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi
berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga berdasarkan
kepada Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang
Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Akan tetapi dalam undang-undang tersebut terdapat perbedaan sistem
pembuktian dalam pemeriksaan perkara dalam tindak pidana korupsi.
Dalam hukum acara pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak diatur tentang sistem pembuktian
terbalik artinya bahwa yang harus membuktikan kesalahan terdakwa
adalah Jaksa Penuntut Umum sedangkan di dalam Undang-Undang
24 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 70-71.
25 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, P.T. Alumni, Bandung, 2011, hlm. 251.
29
Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimungkinkan adanya
sistem pembuktian terbalik.
Dimungkinkannya sistem pembuktian terbalik dalam pemeriksaan
tindak pidana korupsi disidang pengadilan terlihat dalam Pasal 37 ayat
(4) Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang
Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang berbunyi:
“Dalam Hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi”
Dalam hal ini beban pembuktian yang semula dilakukan oleh Jaksa
Penuntut Umum kemudian berubah/beralih menjadi beban terdakwa.
Dalam hal ini terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan
sebagai pelaku tindak pidana. Terdakwa didepan sidang pengadilan yang
akan menyiapkan segala pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan,
terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.
Dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-
Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan
berimbang hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a,
dari penjelasan-penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor. 31 Tahun
30
1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan unsur-unsur sebagai berikut:
1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.
2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.”26
Berdasarkan ketentuan Pasal di atas, sistem pembuktian terbalik yang
diterapkan adalah sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan
berimbang, karena terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan
harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.
Dalam penerapan sistem pembuktian terbalik sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, beberapa ahli hukum pidana berpendapat jika sistem
26 Ibid, hlm.77.
31
pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi bertentangan dengan Hak
Asasi Manusia (HAM) seperti Mulyadi dan Indryanto Seno Adji.
Mulyadi mengingatkan dimensi Asas Pembalikan Beban Pembuktian
hendaknya dilakukan secara hati-hati dan selektif karena sangat rawan
terhadap pelanggaran HAM dan dilakukan dalam Rangka “proceeding”.
Aspek ini dikatakan, bahwa :
“...secara universal tidak dikenal pembuktian terbalik yang bersifat umum, sebab hal ini sangat rawan terhadap pelanggaran HAM. Seorang tidak dapat dituduh melakukan korupsi diluar “proceeding” (dalam kedudukan sebagai terdakwa), hanya karena dia tidak dapat membuktikan asal-usul kekayaannya. Dengan demikian, sekalipun dalam hal ini berlaku asas praduga bersalah (presumtion of gult) dalam bentuk “presumtion of corruption”, tetapi beban pembuktian terbalik tersebut harus dalam kerangka “proceeding” kasus atau tindak pidana tertentu yang sedang diadili berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku (presumtion of corruption in certain case). Tanpa adanya pembatasan semacam ini sistem pembuktian terbalik pasti akan menimbulkan apa yang dinamakan “miscarriage of justice” yang bersifat kriminogin.”27
Lebih lanjut, teori pembalikan beban pembuktian yang meletakan
beban pembuktian pada terdakwa untuk membuktikan bahwa tidak
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Indryanto
Seno Adji menyebutkan Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan
penyimpangan asas umum Hukum Pidana yang menyatakan siapa yang
menuntut, maka dialah yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya.
Dalam hal Pembalikan Beban Pembuktian, terdakwalah yang harus
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, apabila ia tidak dapat
membuktikannya, maka ia dianggap bersalah. Sebagai suatu
27 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T. Alumni, Bandung, 2007, hlm. 106.
32
penyimpangan, asas ini hanya diterapkan terhadap perkara-perkara tertentu,
yaitu yang berkaitan dengan delik korupsi, khususnya terhadap delik baru
tentang pemberian gratifikasi dan yang berkaitan dengan suap.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
33
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif. Penelitian
hukum normatif disebut juga penelitian hukum yang doktrinal. Penelitian
hukum normatif yang seperti ini yang biasa disebut penelitian hukum
sebagai peraturan perundang-undangan (law in books) dan hukum sebagai
kaidah atau norma sebagai patokan dalam bertingkah laku yakni mengkaji
hukum positif dan asas-asas hukum serta aspek teoritisnya.28
B. Metode Pendekatan
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa metode pendekatan yang
bertujuan agar peneliti mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai
masalah yang diteliti.
1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), yaitu
merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengkaji dan
menganalisis semua undang-undang dan peraturan yang terkait
dengan isu hukum dalam penelitian ini. Peraturan yang akan dikaji
adalah UU Nomor. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor. 31 Tahun
1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor. 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
28 Amirudin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-enam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 118.
34
tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan Undang-Undang
Nomor. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan peraturan perundangan yang
lainnya.
2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) yaitu pendekatan
dengan mempelajari dan memahami konsep-konsep teoritik sebagai
suatu doktrin yang telah berkembang dan diakui dari kalangan para
ahli secara akademik dalam bentuk teori hukum serta hal-hal yang
berkaitan dengan obyek yang diteliti terkait dengan pengaturan
sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi.
3. Pendekatan Historis (Historical Approach) yaitu pendekatan yang
dilakukan dengan mengkaji sejarah suatu aturan hukum dari masa
ke masa atau dari waktu kewaktu guna mengetahui perkembangan
pengaturan tindak pidana korupsi.
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Data sekunder diperoleh dari berbagai macam sumber bacaan
berupa documen, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, yang
dapat membantu menjelaskan permasalahan yang diteliti terkait dengan
pengaturan asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi.
Adapun jenis data sekunder dimaksud yaitu terdiri dari bahan hukum
yang digunakan yaitu bahan hukun primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier.
35
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat. Sumber
bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari UU Nomor. 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHP), Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-
Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang-Undang Nomor. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Undang-Undang No mor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, dan Undang-Undang Nomor. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, dan peraturan perundangan lainnya.
2. Bahan hukum sekunder , yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti pemikiran dan
pendapat para pakar yang melatar belakangi lahirnya peraturan
hukum, jurnal ilmiah, karya ilmiah dan lain-lain.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, yang dapat diperoleh dari kamus hukum,
esiklopedia dan lain-lain.
D. Teknik/ Cara memperoleh Sumber Bahan Hukum
36
Bahan hukum yang dikaji dan di analisis dalam penelitian hukum
normatif, meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier. Tehnik untuk mengkaji dan mengumpulkan ketiga bahan
hukum ini yaitu menggunakan studi kepustakaan seperti buku-buku,
perundang-undangan yaitu UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan
literatur yang terkait dengan penelitian ini.
E. Analisis Bahan Hukum
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. Analisis
kualitatif merupakan analisis bahan hukum yang memberikan gambaran-
gambaran dengan kata-kata dengan cara menguraikan, menjelaskan, dan
menyimpulkan guna menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
37
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
38
Berdasarkan uraian dalam bagian pembahasan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Dasar pemikiran digunakannya sistem pembuktian terbalik dalam tindak
pidana korupsi di Indonesia, adalah karena semakin berkembangnya
tindak pidana korupsi dengan berbagai modus operandi dengan teknologi
yang canggih serta terjadi secara sistematis yang dilakukan oleh orang-
orang yang pintar, sehingga dalam pembuktiannya tidak lagi bisa
menggunakan cara-cara pembuktian biasa sebagaimana yang ditentukan
dalam KUHAP, melainkan dituntut untuk menggunakan cara-cara baru
yang dianggap lebih efektif yaitu dengan sistem pembuktian terbalik
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999
juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
2. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik dalam Undang-Undang
Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat dalam Pasal 12
B ayat (1), Pasal 37, Pasal 37A, dan Pasal 38. Berdasarkan ketentuan
pasal-pasal tersebut, pembalikan beban pembuktian hanya berlaku dan di
terapkan kepada dua obyek pembuktian, yakni :
a) Pada harta benda terdakwa yang di dakwakan dan diduga kuat berkaitan
dengan tindak pidana korupsi dan pada harta benda terdakwa yang belum
di dakwakan.
39
b) Pada korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp. 10.000.000
(sepuluh juta rupiah) atau lebih, beban pembuktiannya dibebankan
kepada terdakwa dimana terdakwa yang harus membuktikan bahwa ia
tidak melakukan perbuatan korupsi, mengenai gratifikasi yang nilainya
kurang dari Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) maka menjadi
kewajiban penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya. Hal
tersebut merupakan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan
berimbang dimana terdakwa tindak pidana korupsi hanya diberikan hak
tetapi tidak diberikan kewajiban untuk membuktikan terdakwa tidak
melakukan tindak pidana korupsi (Psl 37 UU No. 31 Tahun 1999) serta
meskipun terdakwa diberikan hak untuk membuktikan bahwa terdakwa
tidak melakukan tindak pidana korupsi penuntut umum masih
mempunyai kewajiban untuk membuktikan dakwaannya (Psl 37 A ayat
(3) UU No. 31 Tahun 1999)
B. Saran
1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan pengaturan
pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi, karena masih banyak
masyarakat yang beranggapan negatif mengenai pembuktian terbalik
yang dianggap merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas praduga
tidak bersalah (Presumtion of innocent) dan terhadap pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM).
2. Diperlukan adanya peningkatan kualitas ilmu, kualitas moral dan kualitas
sumber daya manusia, mengingat pentingnya peranan para penegak
40
hukum dalam penerapan pembuktian terbalik dalam tindak pidana
korupsi, karena patut disadari penerapan pembuktian terbalik tidaklah
mudah apabila pemahaman para penegak hukum terhadap pembuktian
terbalik kurang memadai. Karena apabila hal tersebut terjadi maka pasal-
pasal yang mengatur mengenai pembuktian terbalik hanya akan menjadi
pasal-pasal tidur karna tidak diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku, Makalah dan Artikel.
Amirudin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012
41
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana nasional dan Internasional, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006.
-------------------, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPKK-Komisi Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
----------------------, Tipologi Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Cv Mandar Maju, Bandung , 2010.
Indryanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta.
------------------------------------, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T. Alumni, Bandung, 2007.
----------------, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, P.T. Alumni, Bandung, 2011.
Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2011.
-------------, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013
Martimah Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999), CV. Mandar Maju, Bandung, 2001
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.252.
Suyatno, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.
2. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
42
Indonesia, Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Indonesia, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
3. Sumber Lain
Wijowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, PT. Ikhtiar Baru, Jakarta, 1999.
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976.
http://www.pengertianahli.com/2013/10/ pengertian-pidana-menurut-para- ahli .html?m=1
http://sirkulasiku.blogspot.com/2013/05/unsur-unsur-tindak-pidana.html?m=1
http://zriefmaronie.blogspot.com/2012/10/sejarah-hukum-tindak-pidana-khusus.html?m=1