korupsi vs sendal jepit
DESCRIPTION
WorkTRANSCRIPT
![Page 1: Korupsi vs Sendal Jepit](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022083011/5695cf0a1a28ab9b028c525c/html5/thumbnails/1.jpg)
Kasus Korupsi Vs Pencurian Sendal Jepit
XI IPA 3
Kelompok 3
Nama anggota :
1. Acnes Oktaviani
2. Alya Gustirinanda
3. Moch. Ramli Noor
4. M.Harits Iqbal
5. Gamal Abdel Nasir
6. Uci Riliani
7. Anggia Novaliza
ANALISIS KASUS :
Tidak perlu menutup mata karena kenyataan itu ada di depan mata kita. Aparat negeri
ini terkesan lebih suka menjepit rakyat kecil yang sudah biasa menjerit karena ketidakadilan
di negeri ini. Mereka terkesan lebih senang membela pejabat dengan kekayaan berlipat,
dibandingkan rakyat kecil yang biasa hidup melarat.
Mau bukti? Tengoklah kasus Nenek Minah (55) asal Banyumas yang divonis 1,5
tahun pada 2009, hanya karena mencuri tiga buah Kakao yang harganya tidak lebih dari Rp
10.000. Bahkan, untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek yang sudah renta dan buta huruf
itu harus meminjam uang Rp 30.000 untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang
memang jaraknya cukup jauh.
Yang paling anyar, kasus pencurian sandal jepit yang menjadikan AAL (15) pelajar
SMK 3, Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di hadapan meja hijau. Ia dituduh mencuri
sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Hanya gara-
gara sandal jepit butut AAL terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara.
Proses hukum atas AAL pun tampak janggal. Ia didakwa mencuri sandal merek Eiger
nomor 43. Namun, bukti yang diajukan adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Selama
persidangan tak ada satu saksi pun yang melihat langsung apakah sandal merek Ando itu
memang diambil AAL di depan kamar Rusdi.
![Page 2: Korupsi vs Sendal Jepit](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022083011/5695cf0a1a28ab9b028c525c/html5/thumbnails/2.jpg)
Di persidangan, Rusdi yakin sandal yang diajukan sebagai barang bukti itu adalah
miliknya karena, katanya, ia memiliki kontak batin dengan sandal itu. Saat hakim meminta
mencoba, tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar.
AAL memang dibebaskan dari hukuman dan dikembalikan kepada orangtuanya.
Namun, majelis hakim memutus AAL bersalah karena mencuri barang milik orang lain.
Sosiolog dari Universitas Indonesia Imam Prasodjo kepada Kompas.com, Kamis
(5/1/2012) di Jakarta mengatakan, hukuman yang diberikan kepada Nenek Minah dan AAL
itu menggambarkan bahwa proses hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri. Hukum,
kata dia, hanya mengikuti aturan formal, tidak memperhitungkan subtansi dan hati nurani.
"Ancaman lima tahun dan vonis 1,5 tahun itu, bukan masalah Jaksa, Polisi, atau
Hakim saja. Tapi mereka semua telah melakukan kesesatan kolektif. Meskipun banyak protes
dari masyarakat, mereka masih juga memproses dan memutuskan sesuatu secara tidak
sedikitpun ada kesadaran dan evaluasi," kata Imam.
Sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto pun mengatakan hal serupa. Hakim kini
dinilainya terlalu legalistik terhadap putusan bersalah rakyat kecil. Hakim tidak mampu
memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang terkandung dalam aturan hukum.
"Undang-undang itu dead letter law (hukum yang mati). Hukum menjadi aktif dan
dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim. Kalau putusannya itu aneh, itu bukan salah
undang-undang, melainkan hakim. Hakimnya harus pandai memberi putusan yang bisa
diterima," kata Soetandyo.
Meskipun, seyogyanya mencuri atau mengambil barang orang lain sekecil apa pun
tanpa izin adalah perbuatan melanggar hukum. Dan hukum harus ditegakkan. Namun, apakah
hal itu sudah sesuai rasa keadilan di masyarakat?
Lihat saja bagaimana para pejabat dan koruptor berdasi putih mencuri uang rakyat
yang nilainya sebanding dengan jutaan sandal jepit dan kakao itu diperlakukan dengan
terhormat oleh aparat. Mereka dapat melanggeng bebas dari hukuman yang tidak terlalu
berat. Mereka pun dapat mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang
dibuat-buat.
![Page 3: Korupsi vs Sendal Jepit](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022083011/5695cf0a1a28ab9b028c525c/html5/thumbnails/3.jpg)
Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukan koruptor rata-rata hanya
dihukum di bawah dua tahun. Pada 2010, sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen hanya
dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Sedangkan, 87 kasus divonis 3-5 tahun, 13 kasus atau
2,94 persen divonis 6-10 tahun. Adapun yang dihukum lebih dari 10 tahun hanya dua kasus
atau 0,45 persen.
Fakta itu, memperlihatkan bahwa keadilan hukum di negeri ini hanya sebatas keadilan
sendal jepit, keadilan yang menjepit rakyat kecil. Sungguh ironi, di negeri yang dalam butir-
butir dasar negaranya disebut menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perilaku
berkeadilan ini, rakyatnya diperlakukan dalam perbedaan kasta besar dan kecil. Penegakan
hukum di negeri ini masih sangat diskriminatif. Keras dan tegas untuk rakyat kecil, tapi loyo
bagi kalangan atas.
“ WELCOME TO INDONESIA, NEGARA DIMANA HUKUM BISA DIBELI “