kuasa menjual jaminan pada pembiayaan akad murabahah bil
TRANSCRIPT
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah BilWakalah (Studi Analisis Perkara Nomor : 0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt)
Endang Eko Wati1, Fetri Fatorina2
1,2Prodi Ilmu Hukum Fakultas Sosial Ekonomi dan Humaniora UNU Purwokerto.Email: [email protected]
AbstractThe existence of regulations that are so complex in concept and easy to implement inpractice related to the implementation of the murabahah contract, especiallymurabahah if the wakalah cannot be a guarantee that there will not be a dispute in theimplementation of the contract. One by one problems arise in the implementation of themurabahah bil wakalah contract on existing financing products in Islamic banking. Oneexample is the implementation of the murabahah bil wakalah contract in the case ofsharia economic disputes case number 0001 / Pdt.G.S / 2020 / PA.Pwt. The interestingthing in this case, which is filed by the Islamic bank against the debtor is that when themurabahah bil wakalah contract occurs, it turns out that the Islamic bank bindsimmovable property (land owned by the debtor's parents) with a power of attorney tosell. This research is a library research with a juridical-normative approach. Based onthe author's investigation, until now there has been no fatwa regulating in detail theimplementation of the murabahah bil wakalah contract so that the implementation ofthe murabahah bil wakalah contract is still based on the DSN-MUI fatwa number DSN-MUI Number 04 / DSN-MUI / IV / 2000 regarding murabahah. Seeing the process,there is a principal agreement in the form of a murabahah contract accompanied by anaccess agreement in the form of a guarantee agreement where a new guarantee can betaken if the debtor is in default. So that if at the same time there is a main agreement inthe form of a murabahah contract and the power to sell guarantees, there is lawsmuggling that is prohibited by law and. Keywords: Authorized selling guarantee; Guarantee; Murabahah bil wakalah contractmakes the contract unclear.
AbstrakAdanya peraturan yang begitu komplek secara konsep dan mudah dilaksanakan padaprakteknya terkait pelaksanaan akad murabahah khususnya murabahah bil wakalahbelum bisa menjadi jaminan tidak akan timbul sengketa dalam pelaksanaan akadtersebut. Satu demi satu permasalahan muncul dalam pelaksanaan akad murabahah bilwakalah pada produk pembiayaan yang ada di perbankan syariah. Salah satu contohnyaadalah pelaksanaan akad murabahah bil wakalah dalam perkara sengketa ekonomisyariah nomor perkara 0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt. Hal yang menarik dalam perkaratersebut, yang diajukan oleh bank syariah terhadap debiturnya adalah ketika akadmurabahah bil wakalah terjadi ternyata bank syariah mengikat jaminan benda tidakbergerak (tanah milik orang tua debitur) dengan surat kuasa menjual. Penelitian inimerupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan yuridis-normatif. Berdasarkan penelusuran penulis sampai saat ini belum ada fatwa yangmengatur secara rinci terkait pelaksanaan akad murabahah bil wakalah sehinggapelaksanaan dari akad murabahah bil wakalah masih menginduk pada fatwa DSN-MUI
At-Turost: Journal of Islamic Studies 102
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
nomor DSN-MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah. Melihatprosesnya ada perjanjian pokok berupa akad murabahah disertai dengan perjanjianaccesoir berupa perjanjian penjaminan dimana jaminan baru bisa dilakukan tindakanpengalihan apabila debitur wanprestasi. Sehingga apabila pada waktu yang bersamaanada perjanjian pokok berupa akad murabahah dan kuasa menjual jaminan maka disiniada penyelundupan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan menjadikan akadtersebut tidak jelas.Kata Kunci : Kuasa jual jaminan; Jaminan; Akad murabahah bil wakalah
Pendahuluan
Pembiayaan murabahah yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang
dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang atau jasa dengan kewajiban
mengembalikan talangan dana tersebut seluruhnya, ditambah margin keuntungan bank
pada waktu jatuh tempo. Bank memperoleh margin keuntungan berupa selisih harga
beli dari pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah. Widyaningsih (2005: 131)
Pembiayaan murabahah merupakan jenis pembiayaan yang sering diaplikasikan
dalam bank syariah, yang pada umumnya digunakan dalam transaksi jual beli barang
investasi dan barang-barang yang diperlukan oleh individu. Jenis penggunaan
pembiayaan murabahah lebih sesuai untuk pembiayaan investasi dan konsumsi. Dalam
pembiayaan investasi, akad murabahah sangat sesuai, karena ada barang yang
diinvestasi oleh nasabah atau akan ada barang yang menjadi objek investasi. Dalam
pembiayaan konsumsi, biasanya barang yang akan dikonsumsi oleh nasabah jelas dan
terukur. Pembiayaan murabahah kurang cocok untuk pembiayaan modal kerja yang
diberikan langsung dalam bentuk uang. Ismail (2011: 140-141)
Penjelasan Pasal 19 huruf (d) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah menerangkan bahwa maksud akad murabahah adalah akad
pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
Peraturan Bank Indonesia Nomor : 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip
Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan
Jasa Bank Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor :
10/16/PBI/2008, pengertian murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar
harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak,
dimana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 103
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
Bank syariah dalam aplikasinya dimana bank merupakan penjual atas objek
barang sedangkan nasabah adalah pembeli. Bank menyediakan barang yang dibutuhkan
oleh nasabah dengan membeli barang dari supplier, kemudian menjualnya kepada
nasabah dengan harga yang lebih tinggi dibanding harga beli yang dilakukan oleh bank
syariah. Pembayaran atas transaksi murabahah dapat dilakukan dengan cara membayar
langsung pada saat jatuh tempo atau melakukan pembayaran angsuran selama jangka
waktu yang disepakati. Ismail (2011: 138)
Ahmad Dahlan menyatakan bahwa pembiayaan dengan prinsip jual beli
diaplikasikan dalam skim murabahah (deffered payment sale), yaitu pembelian barang
oleh bank untuk nasabah dalam pemenuhan kebutuhan produksi (inventory) dengan
pembayaran ditangguhkan dalam jangka di bawah satu tahun (short run financing).
Dahlan (2012: 191)
Komoditas atau barang atau aset yang dapat digunakan sebagai objek
murabahah adalah sebagai berikut : (1). Rumah, (2). Kendaraan bermotor dan atau alat
transportasi. (3). Pembelian alat-alat industri, (4). Pembelian pabrik, gudang, dan aset
tetap lainnya, (5). Pembelian aset yang tidak bertentangan dengan syari’ah Islam. Ismail
(2011: 141)
Muhammad menyatakan bahwa akad murabahah digunakan oleh bank untuk
memfasilitasi nasabah melakukan pembelian dalam rangka memenuhi kebutuhan akan :
(1). Barang konsumsi, seperti rumah, kendaraan atau alat transportasi, alat-alat rumah
tangga dan sejenisnya (tidak termasuk renovasi atau proses membangun), (2).
Pengadaan barang dagangan, (3). Bahan baku dan atau bahan pembantu produksi (tidak
termasuk proses produksi), (4). Barang modal, seperti pabrik, mesin dan sejenisnya, (5).
Barang lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan disetujui bank. Muhammad
(2009: 68)
Pelaksanan akad murabahah pada lembaga keuangan syariah sudah diatur
sedemikian rupa baik dari segi konsep dan peraturan yang sesuai dengan peraturan yang
tertuang dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah dan fatwa Nomor : 111/DSN-MUI/
IX/2017 tentang akad jual beli murabahah guna menghindari adanya pelanggaran-
pelanggaran baik dari segi akad atau pun pelanggaran-pelanggaran lainnya yang dapat
At-Turost: Journal of Islamic Studies 104
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
merugikan pihak bank yang berperan sebagai lembaga keuangan syariah dan nasabah
sebagai konsumen dari lembaga keuangan syariah.
Peraturan yang begitu komplek secara konsep dan mudah dilaksanakan pada
prakteknya terkait pelaksanaan akad murabahah khususnya murabahah bil wakalah
belum bisa menjadi jaminan tidak akan timbul sengketa terhadap pelaksanaan akad
tersebut. Satu demi satu permasalahan muncul dalam pelaksanaan akad murabahah bil
wakalah pada produk pembiayaan yang ada di perbankan syariah. Salah satu contoh
kasus permasalahan yang muncul dari sekian banyaknya permasalahan terkait
pelaksanaan akad murabahah bil wakalah yaitu perkara sengketa ekonomi syariah
nomor perkara : 0001/Pdt.G.S/2020/PA Pwt.
Duduk perkara pada sengketa ekonomi syariah tersebut yaitu seorang nasabah
mengajukan pembiayaan menggunakan akad murabahah bil wakalah. Sampai jatuh
tempo pembayaran ternyata nasabah tidak mampu melakukan pembayaran sehingga
nasabah dianggap telah melakukan wanprestasi. Ketika nasabah tidak melakukan
angsuran pihak bank memberi peringatan dan akhirnya pembayaran berlanjut lagi.
Namun kemudian karena usaha nasabah mengalami bangkrut maka pihak nasabah tidak
mampu melaksanakan kewajiban sesuai dengan akad yang telah disepakati sampai jatuh
tempo pelaksanaan akad tersebut.
Disaat terakhir sebelum mengajukan gugatan sederhana ke pengadilan, bank
tidak melakukan peringatan atau somasi secara tertulis lagi namun langsung menempuh
jalur hukum untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Dalam perkara tersebut diketahui
bahwa sebagai penjamin adalah bapak kandung debitur karena sertifikat tanah yang
digunakan sebagai jaminan adalah atas namanya. Penjaminan diikat dengan surat kuasa
menjual jaminan. Surat kuasa menjual dibuat terpisah dengan akad murabahah bil
wakalah namun dalam tanggal yang sama. Secara konsep baik dalam fikih dan fatwa
DSN-MUI tidak dijelaskan mengenai kuasa menjual jaminan pada akad murabahah bil
wakalah.
Kajian terkait akad murabahah bil wakalah berdasarkan hasil penelusuran dan
pengamatan penulis pembahasan tentang akad murabahah bi wakalah masih sebatas
rekontruksi, penerapan akad murabahah bil wakalah pada Lembaga Keuangan Syariah.
Pembahasan terkait kuasa hak menjual jaminan pada akad murabahah bil wakalah
At-Turost: Journal of Islamic Studies 105
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
belum tersentuh. Padahal kejadian tersebut seringkali terjadi di kehidupan masyarakat.
Untuk itulah penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan judul
penelitian “Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil Wakalah
(Studi Analisis Perkara Nomor : 0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt)” dengan rumusan
masalah bagaimana keabsahan akad murabahah bil wakalah dan hukum kuasa menjual
jaminan pada akad murabahah bil wakalah menurut hukum positif yang ada di
Indonesia?. Adanya penelitian ini diharapkan menjadi wacana keilmuan baru terkait
akad murabahah bil wakalah bukan hanya dari penerapannya saja melainkan dari segi
hak kuasa menjual jaminan mengingat untuk sekarang ini pembiayaan yang ada di
Lembaga Keuangan Syariah mesti diharuskan menggunakan jaminan.
PEMBAHASAN
MURABAHAH BIL WAKALAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH
Murabahah bil wakalah merupakan salah satu bentuk turunan dari akad
murabahah. Dalam fikih Islam Murabahah sendiri secara sederhananya dipahami
sebagai bentuk turunan dari akad jual beli. Akad jual beli pada akad murabahah
merupakan penentu sah-tidaknya pelaksanaan akad murabahah pada prakteknya.
Bentuk murabahah yang diterapkan pada produk pembiayaan di perbankan syariah
dalam perspektif fikih dikenal dengan murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir
bi asy-syira. Sa’ad bin Turki al-Khaslani menyebutkan bahwa:
,حقيقة بيع المرابحة للآمر بالشراء وتكييفها الفقهي - وتسمى المرابحة المركبة
– أو المرابحة0 للواعد بالشراء, والتسمية0 الأخيرة أدل على حقيقة هذه المعاملة
أن يأتي رجل يريد سلعة معينة وليس عنده نقد ليشتريها, فيذهب إلى مصرف
أو مؤسسة أو فرد من الناس ويطلب أن تشترى له تلك السلعة, ثم يشتريها
ممن اشتراها بالتقسيط. وهذه المعاملة ليست مستحدثة وإنما المستحدث
.هو التسمية فقط. أما حقيقة المعاملة فهي معروفة في الفقة الإسلامي
“Murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir bi asy-syira sesuai dengan aturan
fikih. Nama lain dari akad ini adalah akad murabahah al-murakkabah atau murabahah
lil wa’ad bi asy-syira. Penamaan ini, dibuktikan dengan banyaknya transaksi yang
menggunakan akad ini baru-baru ini. Akad ini mulai dipraktekkan di bank syariah
At-Turost: Journal of Islamic Studies 106
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
ketika seseorang datang dan mengatakan ingin membeli barang tertentu, tetapi ia tidak
memiliki uang untuk membelinya. Kemudian dia pergi ke bank atau lembaga atau orang
perorangan meminta bank atau lembaga atau orang perorangan untuk membelikan
barang tersebut, kemudian barang tersebut akan dibeli orang itu dengan cara mencicil.
Pada dasarnya transaksi ini sudah ada dalam fikih Islam, hanya diperbaharui dari segi
namanya saja.” Sa’ad (2012: 108) Rafiq Yunus al-Misri menyatakan hal serupa. Dia
menyebutkan bahwa:
بيع المرابحة0 المصرفية: المشتري محتاج إلى المال, والبائع لا يؤجله أو ال0مصرف
.لايقرضه إلا بمنفعة, فيشتري له بنقد, ويبيعه لأجل بزيادة
“Akad murabahah di perbankan syariah bermula dari nasabah atau pembeli
membutuhkan barang yang diinginkan, tetapi dia tidak memiliki uang. Penjual tidak
menyediakan barang yang diinginkan tersebut, dan bank tidak mau memberikan
pinjaman uang untuk membeli barang tersebut. Bank hanya berjanji akan membelikan
barang tersebut secara tunai, dan nasabah membelinya dengan cicilan dan adanya
tambahan pada harga.” Yunus (2009: 112). Nazih Hammad menyebutkan bahwa:
ال0مرابحة0 للآمر بالشراء:0 تجري هذه العملية في الم0صارف الإسلامية عادة على
:أساس
طلب العميل من ال0مصرف أن يقوم بشراء0 سلعة معينة, ثم بيعها له بالنسيئة
إلى أجل محدد بعد تملكها على أساس ال0مرابحة0 التى تشمل التكلفة الكلية
للسلعة. مضافاف إليها الربح ال0متفق عليه مسبقا. ثم تعهد الم0صرف بشراء
السلعة ثم بيعها للعميل بعد تملكها بالثمن ال0معلوم. ثم تعهد العميل بشراء
.السلعة من ال0مصرف بعد تملكها مرابحة إلى الأجل ال0محدد بالثمن ال0متفق عليه
قيام ال0مصرف عقب ذلك بشراء0 تلك السلعة ال0مطلوبة, ثم بيعها بعد تملكها
.من العميل مرابحة0 وفق ما سبق الإتفاق عليه
"Murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir bi syira merupakan penjualan harta
yang biasa terjadi di bank-bank Islam atas dasar:
At-Turost: Journal of Islamic Studies 107
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
1. Nasabah bank meminta bank untuk membeli sejumlah barang tertentu. Kemudian
barang tersebut dijual dengan harga total biaya atas barang atau harga pokok barang
ditambah keuntungan yang disepakati bersama sebelumnya. Bank menjanjikan untuk
membelikan barang yang diinginkan oleh nasabah. Selanjutnya bank akan menjual
barang tersebut kepada nasabah setelah barang itu dimiliki oleh bank. Nasabah yang
telah berjanji, membeli barang dari bank setelah akad murabahah disepakati.
2. Bank membeli barang yang dibutuhkan, kemudian menjual barang setelah dimiliki
bank kepada nasabah sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Hammad (2007: 81)
Sa’ad bin Turki al-Khaslani juga mengatakan bahwa akad ini terjadi melalui dua
cara: (1). Orang atau nasabah berakad dengan bank atau lembaga atau perorangan
langsung berakad untuk membeli barang, (2). Akad ini didahului oleh akad murabahah
antara orang atau nasabah dengan bank atau lembaga atau perorangan, tetapi orang atau
nasabah tersebut hanya dijanjikan oleh lembaga atau bank atau perorangan akan
dibelikan barang yang diinginkan nasabah. Kemudian orang atau nasabah itu juga
berjanji akan membeli barang yang dijanjikan oleh bank atau lembaga atau perorangan.
Janji (wa’ad) di sini tidak mengikat, karena tidak akan ada janji (wa’ad) bila tidak ada
akad. Janji (wa’ad) ini akan mengikat orang atau nasabah berkata: jika kamu membeli
barang dengan spesifikasi ini, maka saya berjanji akan membelinya darimu. Saad (2012:
108)
Hukum murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir bi asy-syira kasus
pertama menurut mayoritas ulama adalah haram. Alasannya, bank atau lembaga atau
perorangan tidak menjual obyek akad. Diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam, Rasulullah
saw berkata: seorang laki-laki datang kepadaku dan menginginkan saya menjual apa
yang tidak saya miliki. Laki-laki tersebutkan kemudian bertanya kepada Rasulullah
saw: Apa dapat dibenarkan praktik seperti itu di pasar? Rasulullah berkata: janganlah
kamu menjual yang tidak kamu miliki karena hal tersebut merupakan hilah riba. Artinya
laki-laki tersebut, melakukan hilah riba atas bunga pinjaman. Dikatakan oleh laki-laki
itu bahwa meminjamkan suatu barang untuk kepentingan tertentu dengan akad jual beli
sebagai gantinya berarti telah melakukan hilah riba. Bentuk pinjaman yang seperti itu
adalah haram. Sa’ad (2012: 109-113)
At-Turost: Journal of Islamic Studies 108
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
Hukum murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir bi asy- syira pada
kasus kedua terbagi menjadi dua kelompok yaitu: (1). Kelompok yang mengharamkan,
ulama yang mengharamkan murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir bi asy-
syira adalah Syaikh Mohammed Ibn Usaimin dan Syaikh Nasiruddin al-Bani dari
mazhab Malikiyah. Mereka beranggapan bahwa murabahah bil wakalah atau
murabahah lil amir bi syira adalah haram, karena hal tersebut temasuk hilah riba. (2),
Kelompok yang membolehkan, ulama yang membolehkan murabahah bil wakalah atau
murabahah lil amir bi asy-syira adalah mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah.
Mereka beranggapan bahwa hukum murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir bi
asy-syira adalah boleh. Hukum kebolehan murabahah bil wakalah atau murabahah lil
amir bi asy- syira disahkan oleh para ulama dan ilmuwan International Fiqh Islamy
Academy, dengan dua syarat : (a) Adanya kesepakatan akan janji (wa’ad) diantara
mereka yang bersepakat, baik janji untuk menjual maupun untuk membeli. Janji
(wa’ad) dalam akad ini tidak mengikat masing-masing pihak. Masing-masing pihak
mempunyai satu atau dua pilihan yaitu untuk meneruskan atau tidak meneruskan akad
tersebut. Dalam pelaksanaannya, jika pembeli tertarik dengan barang yang dijadikan
objek akad, pembeli berjanji untuk membeli barang tersebut. Janji (wa’ad) tersebut
dilakukan sebelum penandatangan akad. Tujuannya, untuk memastikan bahwa lembaga
atau bank atau perorangan berjanji membelikan barang yang diinginkan nasabah sebagai
pembeli. Hal ini, karena lembaga atau bank atau perorangan tidak memiliki barang yang
diinginkan nasabah atau pembeli untuk waktu sekarang ini. Bank atau lembaga hanya
bisa berjanji untuk membelikan barang yang diinginkan oleh nasabah atau pembeli. Dari
situlah, dapat diketahui perbedaan antara janji (wa’ad) dan akad, (b). Akad yang
disepakati bersama antara mereka tidak rusak, setelah adanya janji untuk membeli
barang dari lembaga atau bank atau perorangan. Adanya janji tersebut nasabah atau
pembeli dapat mengambil alih kepemilikan barang tersebut sepenuhnya.
Pelanggaran terhadap dua syarat tersebut atau salah satu dari dua syarat tersebut,
menjadikan haram hukumnya akad murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir bi
asy-syira. Bentuk pelanggaran dua syarat tersebut adalah sebagai berikut: (1). Penjual
atau lembaga atau bank atau perorangan membeli barang sebelum akad murabahah
terjadi. Hal tersebut sama saja dengan menjual barang yang belum dimiliki. Karena
At-Turost: Journal of Islamic Studies 109
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
barang yang sudah dibeli belum tentu sesuai dengan yang diinginkan oleh nasabah atau
pembeli, (2). Tidak adanya janji (wa’ad) dalam akad murabahah bil wakalah atau
murabahah lil amir bi asy-syira, tetapi bank atau lembaga atau perorangan berjanji
untuk membelikan barang. Padahal bank atau lembaga atau perorangan tidak memiliki
barang yang dijadikan objek akad sesuai dengan yang diinginkan nasabah atau pembeli.
Caranya, adalah menunjukkan bukti penjualan barang yang diinginkan oleh nasabah.
Tujuannya, adalah bank atau lembaga atau perorangan tidak mau mengecewakan dan
kehilangan nasabah atau pembeli. Meskipun cara ini tidaklah cukup menarik nasabah
atau pembeli akan barang yang ditawarkan. Sa’ad (2012: 109-113)
MURABAHAH BIL WAKALAH DALAM PERSPEKTIF FATWA DSN MUI
Fatwa DSN-MUI yang mengatur terkait pembiayaan Murabahah yaitu fatwa
DSN-MUI Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. Kemudian didukung
dengan fatwa DSN-MUI Nomor : 111 DSN-MUI/IX/2017 tentang akad jual beli
murabahah.
Fatwa DSN-MUI Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah memuat
aturan-aturan terkait pelaksanaan pembiayaan menggunakan akad murabahah mulai
dari pengertian akad murabahah, ketentuan umum pelaksanaan murabahah pada bank
Syariah, ketentuan murabahah kepada nasabah, ketentuan jaminan dalam murabahah,
ketentuan utang dalam murabahah, ketentuan penundaan pembayaran dalam
murabahah, ketentuan jika nasabah bangrut dalam murabahah.
Dari seluruh ketentuan dalam fatwa DSN-MUI Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000
tentang murabahah dapat diketahui bahwa konsep murabahah yang diterapkan pada
perbankan syariah menurut fatwa DSN-MUI yaitu murabahah menggunakan jaminan
dan ada penangguhan pembayaran dalam pembayarannya. Selain itu, dalam
pembiayaan murabahah diperbolehkan mewakilkan pembelian objek akad
murabahah. Adapun syarat yang berlaku pada pembiayaan murabahah adalah sebagai
berikut: (a). Akad murabahah bebas dari riba, (b). Objek murabahah tidak dilarang
syar’i, (c). Pembelian objek murabahah harus sah dan bebas dari riba, (d). Adanya
penyampaian dari pihak bank terkait segala sesuatu dalam pembelian objek
murabahah. (e). Bank harus memiliki objek murabahah, apabila ingin mewakilkan
At-Turost: Journal of Islamic Studies 110
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
pembelian objek akad, maka bank harus mewakilkan pada pihak ketiga, (f). Nasabah
diharuskan membeli objek murabahah yang dipesannya, (g). Harga jual murabahah
ditentukan berdasarkan pada harga beli ditambah keuntungan, (h). Nasabah harus
membayar uang muka atas pemesanan objek murabahah sesuai dengan kesepakatan,
jika pihak bank menghendakinya, (i). Nasabah harus membayar ganti kerugian yang
ditanggung pihak bank atas pembatalan pembelian objek murabahah, (j). Nasabah
harus menyiapkan jaminan yang bisa dipegang oleh pihak bank, (k). Nasabah
diharuskan membayar keseluruhan angsuran dalam keadaan apapun atas pemesanan
objek murabahah. (l). Sah tidaknya akad murabahah pada pembiayaan murabahah
tergantung pada sahnya akad pertama.
Konsep murabahah dalam fatwa DSN-MUI apabila dilihat dari konsep multi
akad dapat diketahui bahwa bentuk multi akad pada akad murabahah dianggap sah
apabila memenuhi segala ketentuan yang berlaku pada akad pertama. Apabila
ketentuan akad pertama tidak terpenuhi, maka multi akad tersebut dianggap tidak sah.
Alasannya, akad pertama dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan. Sehingga tidak
berlaku akibat hukum yang ditimbulkan pada akad pertama dan tidak berlaku pula
akibat hukum pada akad-akad yang terhimpun didalamnya.
Murabahah dianggap sah apabila terpenuhi segala ketentuan hukum yang
berlaku pada akad wakalah sebagai akad pertama dalam multi akad tersebut. Hal
tersebut, seperti tertuang pada ketentuan umum point kesembilan fatwa DSN-MUI
Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 yang menyatakan bahwa “Jika bank hendak
mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli
murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.”
Adanya akad wakalah pada bentuk multi akad murabahah menjadikan pihak bank
memiliki barang yang diinginkan oleh nasabah. Selain itu, adanya akad wakalah
menjadikan pihak bank tidak melanggar larangan hadis yang menyatakan dilarang
menjual barang yang tidak ada dalam genggamannya (penjual atau bank).
Landasan hukum yang dijadikan landasan kebolehan multi akad dalam fatwa
DSN-MUI tidak terlepas dari landasan hukum tentang akad, dan landasan hukum akad
pertama pada akad-akad dalam fatwa DSN-MUI yang mengandung multi akad.
Namun hal ini berbeda pada akad murabahah. Pada akad murabahah yang dijadikan
At-Turost: Journal of Islamic Studies 111
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
landasan hukum adalah landasan hukum kedua yaitu akad murabahah, bukan akad
wakalah sebagai akad pertama. Hal ini dikarenakan praktek pada umumnya, akad
yang pertama pada multi akad murabahah adalah akad murabahah, bukan akad
wakalah. Adapun landasan hukum murabahah antara lain sebagai berikut:
1) al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275
....وأحل الله البيع وحرم الربا...
“…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….” (Q.S. al-
Baqarah:275).
2) Hadis
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه واله وسلم
قال: إنما البيع عن تراض ,رواه ابن ماجه
“Dari Abu Sa’id al-Khudry bahwa Rasulullah saw bersabda “sesungguhnya jual beli
itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR. Ibnu Majjah).
3) Ijma
Mayoritas ulama membolehkan jual beli dengan cara murabahah.
Landasan hukum tersebut di atas, memang tidak menyebutkan secara langsung
adanya akad wakalah pada bentuk multi akad murabahah, sehingga apabila dilihat
dari segi akadnya, fatwa DSN-MUI Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang
murabahah tidak terlihat adanya multi akad atau akad ganda, yang terlihat hanyalah
murni akad murabahah. Landasan hukum tersebut hanya menjelaskan tentang
murabahah, sama sekali tidak menyinggung landasan hukum wakalah yang berlaku
pada akad murabahah. Akibatnya, keberadaan akad wakalah pada fatwa DSN-MUI
Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah adalah lemah, bahkan dapat
dikatakan tidak terlihat. Meskipun dalam ketentuan umum fatwa DSN-MUI
tersebut, mencantumkan kebolehan adanya akad wakalah pada akad murabahah.
Menurut penulis, landasan hukum kebolehan adanya akad wakalah pada
akad murabahah terletak pada hadis nabi saw yang menyatakan bahwa:
At-Turost: Journal of Islamic Studies 112
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه واله وسلم
قال: إنما البيع عن تراض )رواه ابن ماجه(
“Dari Abu Sa’id al-Khudry bahwa Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya jual beli
dilakukan atas dasar suka sama suka.” (HR. Ibnu Majjah).
Adanya hadis tersebut, dapat memperkuat kedudukan akad wakalah pada
akad murabahah. Alasannya, akad wakalah yang berlaku pada akad murabahah
terjadi atas dasar suka sama suka dan atas persetujuan dari kedua belah pihak yaitu
pihak bank sebagai penjual, dan pihak nasabah sebagai pembeli sekaligus wakil
bank.
Landasan hukum kebolehan akad wakalah pada akad murabahah, juga dapat
dilihat dari kaidah yang menyatakan bahwa:
أن يدل دليل على تحريمها الأصل في المعاملات الإ باحة إلا
“Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkan.” A. Djazuli (2007: 130)
Artinya, adanya akad wakalah pada akad murabahah hukumnya adalah
boleh, selama belum ada dalil yang melarang atau mengharamkannya. Selain itu,
menurut penulis, landasan hukum kebolehan multi akad murabahah masih terlalu
umum, dan hanya terfokus pada akad murabahah. Padahal di dalam akad
murabahah terdapat akad wakalah, sehingga perlu adanya landasan hukum akad
wakalah untuk memperkuat akad wakalah pada akad murabahah.
Selain itu, kebolehan multi akad pada akad murabahah dalam fatwa DSN-
MUI ditentukan oleh adanya janji (wa’ad) yang disepakati oleh kedua belah pihak
yang berakad. Janji (wa’ad) tersebut dilaksanakan setelah berakhirnya akad
pertama atau setelah terpenuhinya semua kewajiban yang timbul dari akad pertama.
Hal tersebut seperti tertuang dalam ketentuan yang menyatakan bahwa “Untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank
dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 113
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
Sedangkan fatwa DSN-MUI Nomor : 111 DSN-MUI/IX/2017 tentang akad
jual beli murabahah merupakan fatwa DSN-MUI yang menjelaskan aturan
tambahan terkait pelaksanaan akad murabahah yang belum tertuang pada fatwa
DSN-MUI Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah. Aturan tambahan
yang tertuang pada fatwa DSN-MUI Nomor: 111 DSN-MUI/IX/2017 tentang akad
jual beli murabahah diantaranya: (a). ketentuan umum istilah-istilah baru dalam
akad murabahah seperti bai' al-murabahah, al-Ba'i, al-Musytari, Wilayah
ashliyyah, Wilayah niyabiyyah, Mutsman/mabi, Ra's mal al-murabahah, Tsaman
al-murabahah, Bai' al-murabahah al-'adiyyah, Bai' al-murabahah li al-amir bi al-
syira, At-Tamwil bi al-murabahah, Bai' al-muzayadah, Bai' al-munaqashah, Al-Bai'
al-hal, Al-Bai' bi al-taqsith, Bai' al-muqashshah, Khiyanah/Tadlis, (b). Ketentuan
terkait Hukum dan Bentuk Murabahah Akad jual beli murabahah, (c). Ketentuan
terkait Shigat al-'Aqd, (d).Ketentuan terkait para pihak yang terlibat dalam akad
murabahah, (e). Ketentuan terkait Mutsman/Mabi', (f). Ketentuan terkait Ra's Mal
al-Murabahah, (g). Ketentuan terkait Tsaman, (h). Ketentuan terkait produk dan
kegiatan murabahah, (i). Ketentuan terkait penyelesaian sengketa pada akad
murabahah.
Secara sederhana dapat dipahami bahwa dua fatwa tersebut sama-sama
mengatur terkait praktek pembiayaan murabahah pada lembaga keuangan syariah
terutama perbankan syariah. Perbedaan keduanya yaitu fatwa DSN-MUI Nomor :
04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah menjelaskan tentang konsep
pelaksanaan murabahah secara umum saja sehingga fokusnya masih sah dan
tidaknya akad, belum diatur secara rinci terkait harga, cara pembayaran, untung dan
ruginya. Sedangkan fatwa DSN-MUI Nomor : 111 DSN-MUI/IX/2017 tentang
akad jual murabahah menjelaskan secara rinci terkait harga, cara pembayaran,
untung dan rugi, bentuk murabahah yang dapat dilaksanakan pada lembaga
keuangan syariah khususnya perbankan syariah. Namun dari dua fatwa yang
menjelaskan tentang murabahah belum terlihat penjelasan terkait teknik
pelaksanaan murabahah bil wakalah ataupun teknik pelaksanaan wakalah secara
rinci.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 114
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
Berdasarkan penelusuran penulis sampai sekarang ini belum ditemukan
secara khusus terkait fatwa murabahah bil wakalah yang diterapkan pada lembaga
keuangan syariah khususnya perbankan syariah. Pelaksanaan murabahah bi
wakalah yang diterapkan lembaga keuangan syariah masih mengacu pada fatwa
DSN-MUI Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. Hal tersebut
dipertegas dalam fatwa DSN-MUI Nomor : 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang akad
jual murabahah pada poin “Ketentuan terkait produk dan kegiatan murabahah
dalam fatwa DSN-MUI Nomor : 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang akad jual
murabahah menyatakan bahwa murabahah yang direalisasikan dalam bentuk
pembiayaan (al-tamwil bi al-murabahah), baik al-murabahah li al-amir bi al-syira'
maupun al-murabahah al-'adiyah, berlaku ketentuan (dhawabith) dan batasan
(hudud) murabahah sebagaimana terdapat dalam fatwa DSN-MUI Nomor :
04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.”
APLIKASI AKAD MURABAHAH BIL WAKALAH PADA PERBANKAN
SYARIAH
Bentuk pembiayaan murabahah memiliki beberapa ciri atau elemen dasar, dan
yang paling utama adalah bahwa barang dagangan harus tetap dalam tanggungan bank
selama transaksi antara bank dan nasabah belum diselesaikan. Ciri atau elemen pokok
pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut: (1). Pembiayaan murabahah bukan
pinjaman yang diberikan dengan bunga. Pembiayaan murabahah adalah jual beli
komoditas dengan harga tangguh yang termasuk margin keuntungan di atas biaya
perolehan yang disetujui bersama, (2). Sebagai bentuk jual beli, dan bukan bentuk
pinjaman, pembiayaan murabahah harus memenuhi semua syarat-syarat yang
diperlukan untuk jual beli yang sah, (3). Murabahah tidak dapat digunakan sebagai
bentuk pembiayaan, kecuali ketika nasabah memerlukan dana untuk membeli suatu
komoditas atau barang, (4). Pemberi pembiayaan harus telah memiliki komoditas atau
barang sebelum dijual kepada nasabahnya, (5). Komoditas atau barang harus sudah
dalam penguasaan pemberi pembiayaan secara fisik atau konstruktif, dalam arti bahwa
risiko yang mungkin terjadi pada komoditas tersebut berada di tangan pemberi
pembiayaan meskipun untuk jangka waktu pendek, (6). Cara terbaik untuk
At-Turost: Journal of Islamic Studies 115
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
bermurabahah, yang sesuai syariah, adalah bahwa pemberi pembiayaan membeli
komoditas dan menyimpan dalam kekuasaannya atau membeli komoditas melalui orang
ketiga sebagai agennya sebelum menjualnya kepada nasabah, (7). Jual beli tidak dapat
berlangsung kecuali komoditas atau barang telah dikuasai oleh penjual, tetapi penjual
dapat berjanji untuk menjual meskipun barang belum berada dalam kekuasaan ini.
Ketentuan ini berlaku juga untuk murabahah, (8). Sejalan dengan prinsip-prinsip yang
telah dikemukakan di atas, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat menggunakan
murabahah sebagai bentuk pembiayaan dengan mengadopsi prosedur pembiayaan
murabahah yang berlaku pada lembaga keuangan syariah pada umumnya, (9). Syarat
sah yang harus dipenuhi dalam murabahah adalah komoditas atau barang dibeli dari
pihak ketiga, (10). Prosedur pembiayaan murabahah yang dijelaskan di atas merupakan
transaksi yang rumit ketika pihak-pihak terkait memiliki kapasitas berbeda pada tahap
yang berbeda, (11). LKS dapat meminta nasabah untuk menyediakan keamanan sesuai
permintaan untuk pembayaran yang tepat waktu dari harga tangguh. LKS juga dapat
meminta nasabah untuk menandatangani promissory nota (nota kesanggupan) atau bill
of exchange sesudah jual beli dilaksanakan, (12). Jika terjadi wanprestasi oleh pembeli
(nasabah) dalam pembayaran yang jatuh waktu, harga tidak boleh dinaikkan. Namun
demikian, jika dalam perjanjian awal disepakati bahwa nasabah harus memberikan
donasi atau infak kepada lembaga sosial, maka nasabah harus memenuhi janji tersebut.
Uang ini tidak boleh diambil sebagai penghasilan LKS, tetapi harus disalurkan ke
kegiatan sosial atas nama nasabah. Ascarya (2011: 85-88)
Aplikasi akad murabahah pada pembiayaan murabahah di bank syariah tidak
akan dapat berjalan tanpa harus memenuhi ketentuan yang berlaku. Adapun ketentuan-
ketentuan yang berlaku pada pembiayaan murabahah di bank syariah adalah sebagai
berikut:
1. Ketentuan yang berlaku bagi pihak bank, di antaranya adalah sebagai berikut: (a).
Bank berhak menentukan dan memilih supplier dalam pembelian barang. Bila
nasabah menunjuk supplier lain, maka bank syariah berhak melakukan penilaian ter-
hadap supplier untuk menentukan kelayakannya sesuai dengan kriteria yang ditetap-
kan oleh bank syariah, (b). Bank menerbitkan purchase order (PO) sesuai dengan ke-
sepakatan antara bank syariah dan nasabah agar barang dikirimkan ke nasabah, (c).
At-Turost: Journal of Islamic Studies 116
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
Cara pembayaran yang dilakukan oleh bank syariah yaitu dengan mentransfer lang-
sung pada rekening supplier atau penjual, bukan kepada rekening nasabah.
2. Ketentuan yang berlaku bagi nasabah, di antaranya sebagai berikut: (a). Nasabah
harus sudah cakap hukum menurut hukum, sehingga dapat melakukan transaksi, (b).
Nasabah memiliki kemauan dan kemampuan dalam melakukan pembayaran.
3. Ketentuan yang berlaku bagi supplier, adalah sebagai berikut: (a). Supplier adalah
orang atau badan hukum yang menyediakan barang sesuai permintaan nasabah, (b).
Supplier menjual barangnya kepada bank syariah, kemudian bank syariah akan
menjual barang tersebut kepada nasabah, (c). Dalam kondisi tertentu, bank syariah
memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli barang sesuai dengan spesifikasi
yang ditetapkan dalam akad. Purchase Order (PO) atas pembelian barang tetap yang
diterbitkan oleh bank syariah, dan pembayarannya tetap dilakukan oleh bank kepada
supplier. Namun penyerahan barang dapat dilakukan langsung oleh supplier kepada
nasabah atas kuasa dari bank syariah.
4. Ketentuan yang berlaku pada harga, adalah sebagai berikut: (a). Harga jual barang
telah ditetapkan sesuai dengan akad jual beli antara bank syariah dan nasabah dan
tidak dapat berubah selama masa perjanjian. (b). Harga jual bank syariah merupakan
harga jual yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. (c). Uang muka (urbun)
atas pembelian barang yang dilakukan oleh nasabah (bila ada), akan mengurangi
jumlah piutang murabahah yang akan diangsur oleh nasabah. Jika transaksi muraba-
hah dilaksanakan, maka urbun diakui sebagai bagian dari pelunasan piutang muraba-
hah, sehingga akan mengurangi jumlah piutang murabahah. Jika transaksi muraba-
hah tidak jadi dilaksanakan (batal), maka urbun (uang muka) harus dikembalikan
kepada nasabah setelah dikurangi dengan biaya yang telah dikeluarkan oleh bank
syariah.
5. Ketentuan yang berlaku pada jangka waktu, adalah sebagai berikut: (a). Jangka
waktu pembiayaan murabahah, dapat diberikan dalam jangka pendek, menengah,
panjang, sesuai dengan kemampuan pembayaran oleh nasabah dan jumlah
pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah, (b). Jangka waktu pembiayaan tidak
dapat diubah oleh salah satu pihak. Bila terdapat perubahan jangka waktu, maka pe-
rubahan ini harus disetujui oleh bank syariah maupun nasabah.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 117
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
6. Ketentuan-ketentuan lain yang berlaku pada pembiayaan murabahah yang meliputi:
(a). Denda atas tunggakan nasabah (bila ada), diperkenankan dalam aturan perbankan
syariah dengan tujuan untuk mendidik nasabah agar disiplin dalam melakukan
angsuran atas piutang murabahah. Namun pendapatan yang diperoleh bank syariah
karena denda keterlambatan pembayaran angsuran piutang murabahah, tidak boleh
diakui sebagai pendapatan operasional, akan tetapi dikelompokkan dalam pendapatan
non halal, yang dikumpulkan dalam suatu rekening tertentu atau dimasukkan dalam
titipan (kewajiban lain-lain). Titipan ini akan disalurkan untuk membantu masyarakat
ekonomi lemah, misalnya bantuan untuk bencana alam, beasiswa untuk murid yang
kurang mampu, dan pinjaman tanpa imbalan untuk pedagang kecil, (b). Bila nasabah
menunggak terus, dan tidak mampu lagi membayar angsuran, maka penyelesaian
sengketa ini dapat dilakukan melalui musyawarah. Bila musyawarah tidak tercapai,
maka penyelesaiannya akan diserahkan kepada pengadilan agama. Ismail (2011:
141-144)
Aplikasi akad murabahah pada perbankan syariah dapat dibedakan menjadi dua
macam, yang meliputi:
1. Murabahah tanpa pesanan
Murabahah tanpa pesanan, maksudnya ada yang memesan atau tidak, ada
yang membeli atau tidak, bank syariah menyediakan barang dagangannya.
Penyediaan barang dilakukan sendiri oleh bank syariah dan dilakukan tidak terkait
dengan jual beli murabahah sendiri.
2. Murabahah berdasarkan pesanan
Murabahah berdasarkan pesanan, maksudnya bank syariah baru akan
melakukan transaksi murabahah atau jual beli apabila ada nasabah yang memesan
barang sehingga penyediaan barang baru dilakukan jika ada pesanan. Pada
murabahah ini, pengadaan barang sangat tergantung atau terkait langsung dengan
pesanan atau pembelian barang tersebut.
Murabahah berdasarkan pesanan dapat dibedakan menjadi dua yang meliputi:
(a). Murabahah berdasarkan pesanan dan bersifat mengikat, maksudnya apabila telah
pesan harus dibeli, (b). Murabahah berdasarkan pesanan bersifat tidak mengikat,
At-Turost: Journal of Islamic Studies 118
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
maksudnya walaupun nasabah telah memesan barang, tetapi nasabah tidak terikat,
nasabah dapat menerima atau membatalkan barang tersebut.
Sedangkan jika dilihat dari cara pembayarannya, maka murabahah dapat
dilakukan dengan cara tunai atau dengan pembayaran tangguh. Yang banyak dijalankan
oleh bank syariah saat ini adalah murabahah berdasarkan pesanan dengan sifatnya
mengikat dan cara pembayarannya tangguh. Ismail (2011: 37)
Pada prinsipnya, dalam transaksi murabahah pengadaan barang menjadi
tanggung jawab bank syariah sebagai penjual. Dalam murabahah tanpa pesanan, bank
syariah menyediakan barang atau persediaan barang yang akan diperjualbelikan
dilakukan tanpa memperhatikan ada nasabah yang membeli atau tidak. Sehingga proses
pengadaan barang dilakukan sebelum transaksi jual beli murabahah dilakukan.
Pengadaan barang yang dilakukan oleh bank syariah ini dapat dilakukan dengan
beberapa cara antara lain: (1). Membeli barang jadi kepada produsen (prinsip
murabahah), (2). Memesan kepada pembuat barang dengan pembayaran dilakukan
secara keseluruhan setelah akad (prinsip salam), (3). Memesan kepada pembuat
(produsen) dengan pembayaran yang bisa dilakukan didepan, selama dalam proses
pembuatan, atau setelah penyerahan barang (prinsip istisna), (4). Merupakan barang-
barang dari persediaan mudarabah atau musyarakah. Ismail (2011: 38)
Sedangkan proses transaksi jual beli murabahah, dilakukan oleh bank syariah
dengan nasabah dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: (1). Nasabah melakukan
proses negosiasi atau tawar menawar keuntungan dan menentukan syarat pembayaran
dan barang sudah berada ditangan bank syariah. Dalam negosiasi ini, bank syariah
sebagai penjual harus memberitahukan dengan jujur perolehan barang yang
diperjualbelikan beserta keadaan barang, (2). Apabila kedua belah pihak sepakat, tahap
selanjutnya dilakukan akad untuk transaksi jual beli murabahah tersebut, (3). Tahap
berikutnya, bank syariah menyerahkan barang yang diperjualbelikan (yang diserahkan
dari penjual ke pembeli adalah barang). Dalam penyerahan barang ini, hendaklah
diperhatikan syarat penyerahan barang, misalnya sampai tempat pembeli atau sampai
tempat penjual saja. Hal ini akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan dan akhirnya
akan mempengaruhi harga perolehan barang, (4). Setelah penyerahan barang, pembeli
atau nasabah melakukan pembayaran harga jual barang dan dapat dilakukan secara tunai
At-Turost: Journal of Islamic Studies 119
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
atau dengan tangguh. Kewajiban nasabah adalah sebesar harga jual, yang meliputi harga
pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati dan dikurangi dengan uang muka
jika ada. Ismail (2011: 39)
Fathurrahman Djamil menyatakan bahwa mekanisme penerapan murabahah di
LKS, didasarkan pada asumsi bahwa nasabah membutuhkan barang atau objek tertentu,
tetapi kemampuan finansial tidak cukup untuk melakukan pembayaran secara tunai.
Untuk itulah maka nasabah berhubungan dengan LKS. Namun karena LKS pada
umumnya tidak memiliki inventory terhadap barang atau objek yang dibutuhkan oleh
nasabah, maka LKS melakukan pembelian atas barang yang yang diinginkan nasabah
kepada pihak lainnya, seperti kepada supplier atau pemasok, dealer, developer, atau
penyedia barang lainnya. Dengan demikian, LKS bertindak selaku penjual disatu sisi,
dan disisi lain bertindak selaku pembeli, yang kemudian akan menjualnya kembali
kepada nasabah pemesan dengan harga jual yang disepakati. Fathurrahman (2012: 120)
Ismail menyebutkan bahwa prosedur yang berlaku pada pembiayaan murabahah
adalah sebagai berikut: (1). Bank syariah dan nasabah melakukan negosiasi tentang
rencana transaksi jual beli yang akan dilaksanakan. Poin negosiasi meliputi jenis barang
yang akan dibeli, kualitas barang, dan harga jual, (2). Bank syariah melakukan akad jual
beli dengan nasabah, dimana bank syariah sebagai penjual dan nasabah sebagai
pembeli. Dalam akad jual beli ini, ditetapkan barang yang menjadi objek jual beli yang
telah dipilih oleh nasabah, dan harga jual barang, (3). Atas dasar akad yang
dilaksanakan antara bank syariah dan nasabah, maka bank syariah membeli barang dari
supplier atau penjual. Pembelian yang dilakukan oleh bank syariah ini sesuai dengan
keinginan nasabah yang telah tertuang dalam akad, (4). Supplier mengirimkan barang
kepada nasabah atas perintah bank syariah. (5). Nasabah menerima barang dari supplier
dan menerima dokumen kepemilikan barang tersebut, (5). Setelah menerima barang dan
dokumen, maka nasabah melakukan pembayaran. Pembayaran yang lazim dilakukan
oleh nasabah ialah dengan cara angsuran. Ismail (2011: 139-140)
Ahmad Dahlan menyatakan bahwa prosedur pembiayaan murabahah pada
perbankan syariah adalah sebagai berikut:
1. Nasabah mengajukan pembiayaan dalam bentuk barang. Dalam tahap ini antara bank
dan nasabah melakukan negoisasi dalam: (a). Teknis dan spesifikasi barang atau
At-Turost: Journal of Islamic Studies 120
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
objek yang dibutuhkan oleh nasabah, (b). Nominal harga barang yang dibutuhkan
serta estimasi kemampuan nasabah untuk membayar secara tangguh, (c). Jangka
waktu pembiayaan. Penentuan jangka waktu didasarkan pada kemampuan nasabah
dalam mengangsur cicilan dari harga barang yang dibeli. Serta, jangka waktu perjan-
jian akan berpengaruh pada mark-up price atau profit margin yang akan diambil oleh
bank.
2. Bank membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah kepada supplier sesuai yang
telah disepakati pada negosiasi.
3. Supplier bersama-sama dengan pihak bank mengirim barang kepada nasabah.
Setelah barang terkirim kepada nasabah, dan terdapat syarat nasabah untuk
melengkapi segala persyaratan yang tertuang dalam perjanjian formal, maka dalam
aspek ini disebut telah terjadi asas formalisme.
4. Nasabah membayar keuntungan (ribhun) dan cicilan harga pokok barang yang dibeli.
Waktu pembayaran sesuai dengan kesepakatan, tetapi biasanya setiap bulan.
5. Akhir akad sesuai dengan kesepakatan pada negosiasi. Barang sudah menjadi milik
nasabah sebagaimana pada jual beli. Dahlan (2012: 192)
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pada pembiayaan murabahah
yang diterapkan di perbankan syariah, melibatkan tiga pihak yaitu pihak bank, nasabah,
dan supplier atau pemasok. Supplier sebagai pihak ketiga terlibat langsung pada
pembiayaan murabahah yang diterapkan di bank syariah. Alasannya, seperti telah
dijelaskan sebelumnya bahwa pihak bank tidak memiliki barang atau komoditas yang
diinginkan oleh nasabah. Selain itu, pembiayaan murabahah yang diterapkan di bank
syariah mengenal adanya penangguhan dalam pembayarannya.
Dari keterangan tersebut, juga dapat diketahui bank syariah menerapkan akad
wakalah pada pembiayaan murabahah. Dengan akad wakalah, pihak bank mewakilkan
pembelian atas barang atau komoditas yang menjadi objek murabahah kepada supplier
ataupun nasabah. Adanya akad wakalah pada pembiayaan murabahah dirasa efisien
bagi pihak nasabah dan pihak bank. Adanya akad wakalah pada pembiayaan
murabahah menjadikan bank memiliki barang yang diinginkan oleh nasabah. Meskipun
bank tidak membeli secara langsung barang tersebut.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 121
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
Hal ini sejalan dengan pernyataan Jaih Mubarok yang menyatakan bahwa alasan
adanya akad wakalah pada pembiayaan murabahah yaitu: (a). Adanya akad wakalah
menjadikan pembelian objek murabahah lebih simpel dibandingkan pihak bank
membeli sendiri objek murabahah. Alasannya, dalam penyediaan objek murabahah
oleh bank terjadi ketidakcocokan barang yang dibeli oleh bank dengan barang yang
diinginkan nasabah. (b). Adanya akad wakalah pada pembiayaan murabahah
menjadikan pihak bank terhindar dari larangan hadis yang melarang menjual barang
yang tidak dipegang atau dimiliki. Apabila tidak ada wakalah pada murabahah,
menjadikan pihak bank melakukan larangan yang ada pada hadis yang melarang
menjual barang yang tidak dimiliki. Selain itu, bank tidak bisa transparan terhadap
nasabah seperti tuntutan pada akad murabahah itu sendiri.
Apabila aplikasi pembiayaan murabahah di bank syariah diterapkan sesuai
dengan bagan tersebut, maka akan terjadi ketidakefisienan bagi pihak bank dan nasabah.
Ketidakefisienan tersebut pada pihak bank terlihat dengan adanya penumpukan barang
atau komoditas objek murabahah di bank syariah ataupun pada supplier yang melebihi
kapasitasnya, apabila nasabah menolak untuk membeli objek akad. Sedangkan
ketidakefisienan pada pihak nasabah terlihat pada tingkat kepuasan nasabah. Apabila
barang atau komoditas objek murabahah sesuai dengan keinginan nasabah, maka
nasabah akan terpuaskan. Apabila sebaliknya, maka tingkat kepuasan nasabah
cenderung berkurang.
Alternatifnya, bank mewakilkan secara langsung untuk pembelian objek akad
murabahah kepada nasabah. Dengan begitu tingkat kepuasan nasabah akan terpenuhi
secara langsung. Meskipun, tingkat kerugian yang harus ditanggung oleh bank lebih
besar dibandingkan bank mewakilkan pembelian pada supplier.
KUASA MENJUAL JAMINAN DALAM AKAD MURABAHAH BIL WAKALAH
Pelaksanaan akad murabahah bil wakalah dilihat dari segi konsep akad dalam
fikih mualamah termasuk kategori akad ghairu musamma (akad tak bernama) karena
akad ini merupakan akad baru. Selain itu akad murabahah bil wakalah juga termasuk
salah satu bentuk multi akad atau gabungan beberapa akad didalamnya. Kebolehan akad
murabahah bil wakalah dalam ketentuan yang tertuang dalam fatwa DSN-MUI
At-Turost: Journal of Islamic Studies 122
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
mengacu pada konsep multi akad termasuk kategori akad muta’addidah yaitu
penggabungan dua akad atau lebih yang masing-masing akadnya berdiri sendiri.
Pelaksanaan akad murabahah bil wakalah pada perkara ekonomi syariah dengan
register Nomor : 0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt dilihat dari segi pelaksanaan akadnya
dinyatakan sah karena sudah sesuai dengan aturan yang terdapat dalam fikih dan sesuai
dengan ketentuan yang tertuang dalam fatwa DSN-MUI tentang murabahah. Namun
adanya kuasa untuk menjual jaminan yang dibuat secara tersendiri diluar akad
murabahah menjadikan pelaksanaan akad murabahah tidak sesuai aturan yang tertuang
dalam fatwa DSN-MUI. Memang di dalam fatwa DSN-MUI nomor DSN-MUI Nomor
04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah disebutkan adanya jaminan dan perjanjian
khusus dalam pelaksanaan akad murabahah Menurut hemat penulis, jaminan dalam
akad murabahah tertuang dalam klausul perjanjian antara pihak penjual dan pembeli
yang menjadikan akad murabahah terjaga keabsahan dalam satu perjanjian sehingga
tidak menimbulkan dua perjanjian yang dilakukan secara bersamaan dan tidak
menyalahi aturan yang tertuang dalam fatwa DSN-MUI tentang pelaksanaan akad
murabahah khususnya murabahah bil wakalah. Adanya bukti kuasa untuk menjual
jaminan dalam pelaksanaan akad murabahah bil wakalah pada perkara Nomor :
0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt menjadikan pelaksanaan akad murabahah bil wakalah pada
produk pembiayaan menggunakan akad murabahah bil wakalah kurang sesuai dengan
ketentuan fatwa DSN-MUI.
Pelaksanaan akad murabahah bil wakalah pada perkara ekonomi syariah dengan
register Nomor : 0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt dilihat dari segi hukum positif Indonesia
berkaitan erat dengan keabsahan surat kuasa, dan hak tanggungan. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut:
Surat Kuasa
Pengertian kuasa secara umum, merujuk pada Pasal 1792 KUH Perdata yang
berbunyi: “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang
memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas
namanya menyelenggarakan urusan.” Bertitik tolak dari ketentuan tersebut, dalam
perjanjian kuasa, terdapat dua pihak, yang terdiri dari : (a). Pemberi kuasa, (b).
Penerima kuasa. Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving
At-Turost: Journal of Islamic Studies 123
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
(volmacht, full power), jika : 1). Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau
mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan
fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa, 2). Dengan demikian,
penerima kuasa berkuasa penuh bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak
ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa, 3). Oleh karena itu, pemberi kuasa
bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa.
Sifat pokok yang penting dalam surat kuasa : (a). Penerima kuasa langsung
berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa, (b). Pemberian kuasa bersifat konsensual
yaitu berdasarkan kesepakatan, (c). Berkarakter garansi kontrak sesuai dengan Pasal
1806 KUH Perdata. Dan berakhirnya kuasa menurut Pasal 1813 KUH Perdata yaitu :
(a). Pemberi kuasa menarik kembali secara sepihak, (b). Salah satu pihak meninggal
dunia, (c). Penerima kuasa melepas hak.
Untuk menghindari ketidakpastian pemberian kuasa, dihubungkan dengan hak
pemberi kuasa untuk dapat mencabut secara sepihak, serta hak penerima kuasa untuk
melepas secara sepihak maka lalu lintas pergaulan hukum telah memperkenalkan dan
membenarkan pemberian kuasa mutlak, yang memuat klausul : (a). Pemberi kuasa tidak
dapat mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa, (b).
Meninggalnya pemberi kuasa, tidak mengakhiri perjanjian pemberian kuasa. Klausul
tersebut menyingkirkan ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata, sehingga ada yang
berpendapat, persetujuan kuasa mutlak bertentangan dengan hukum. Akan tetapi,
pendapat tersebut dikesampingkan dalam praktik peradilan yang membenarkan
persetujuan yang demikian Diperbolehkannya membuat persetujuan kuasa mutlak,
bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak yang digariskan Pasal 1338 KUH
Perdata.
Asas ini menegaskan, para pihak bebas mengatur kesepakatan yang mereka
kehendaki, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu
kesepakatan itu tidak mengandung hal yang dilarang oleh undang-undang atau
berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Akan tetapi, perlu diingat larangan
yang dimuat dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982, Notaris dan PPAT dilarang
memberi surat kuasa mutlak dalam transaksi jual beli tanah. Pemilik tanah dilarang
memberi kuasa mutlak kepada kuasa untuk menjual tanah miliknya. Alasan larangan
At-Turost: Journal of Islamic Studies 124
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
itu, dijelaskan dalam Putusan MA No. 2584 K/Pdt/1986 (14-4-1988), yang mengatakan
surat kuasa mutlak, mengenai jual beli tanah, tidak dapat dibenarkan karena dalam
praktik sering disalahgunakan menyelundupkan jual beli tanah. Yahya (2006: 1-6)
Yang dimaksud dengan kuasa mutlak oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri
Nomor 14 Tahun 1982 adalah kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan
pemindahan hak atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa
untuk melakukan semua tindakan kepemilikan yang disebutkan satu per satu yang
menurut hukum hanya boleh dilakukan oleh pemegang haknya. Satrio (2018: 104)
Kuasa mutlak sebagaimana tersebut didalam Pasal 39 ayat (1) huruf (d) PP Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dimana Pejabat Pembuat Akta Tanah menolak
untuk membuatkan akta, jika salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu
surat kuasa khusus mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum
pemindahan hak.
Dalam penjelasan PP Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan surat kuasa mutlak
adalah pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali oleh pihak yang memberi
kuasa, sehingga pada hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak.
Hak Tanggungan
Hipotik adalah lembaga yang diatur dalam KUH Perdata. Sebagai konsekuensi
dari asas pembedaan benda ke dalam benda bergerak dan benda tidak bergerak, maka
diaturlah lembaga jaminan gadai untuk benda bergerak dan hipotik untuk benda tidak
bergerak. Dan mengenai apa yang dimaksudkan dengan benda tidak bergerak, undang-
undang pun telah menegaskannya (Pasal 506, Pasal 507, dan Pasal 508), dengan
mengambil tanah sebagai pokok dan berdasarkan asas accesie meliputi pula bangunan-
bangunan, tanaman-tanaman yang melekat atau tertanam dan beberapa benda lain
berdasarkan peruntukannya. Namun, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah, maka semua itu menjadi berubah total, sebab objek hipotik
yang berupa tanah dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah, sekarang
dikeluarkan dan menjadi objek hak tanggungan (Pasal 29 jo Pasal 1 sub 1 dan Pasal 4
Undang-Undang Hak Tanggungan). Satrio (2002: 189)
At-Turost: Journal of Islamic Studies 125
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
Objek hak tanggungan terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Hak Tanggungan yang menyebutkan : (1). Hak atas tanah yang dapat dibebani dengan
hak tanggungan adalah: pertama, hak milik, kedua, hak guna usaha, ketiga, hak guna
bangunan. (2). Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Hak
Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan
menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani dengan hak
tanggungan. Menurut Pasal 4 ayat (4) UU Hak Tanggungan yang berbunyi : “Hak
tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman
dan hasil karya yang telah ada dan akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan
tanahnya, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya
dengan tegas dinyatakan didalam akta pemberian hak tanggungan yang
bersangkutan”. Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Hak Tanggungan menyebutkan ciri-ciri
hak tanggungan diantaranya: pertama, hak jaminan, kedua, atas tanah berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah yang bersangkutan,
ketiga untuk pelunasan suatu hutang, keempat, memberikan kedudukan yang
diutamakan. Disini nampak sifat accessoir dari suatu perikatan jaminan, karena ia
mengabdi pada suatu perikatan pokok tertentu yang dijamin, pada asasnya bisa berupa
kewajiban perikatan apa saja, tetapi pada umumnya berupa perjanjian hutang piutang
atau kredit. Perikatan pokoknya merupakan perikatan yang berdiri sendiri, tidak
bergantung dari perikatan jaminannya.
Sesuai dengan sifat accesoir suatu perikatan, maka adanya, berpindahnya dan
hapusnya perikatan jaminan, bergantung kepada perikatan pokoknya (Pasal 16 jo Pasal
18 Undang-Undang Hak Tanggungan). Kalau perikatan pokoknya beralih, maka
perikatan jaminannya turut berpindah, apabila perikatan pokoknya hapus, maka
perikatannya juga hapus. Perikatan jaminan baru lahir atau mempunyai daya kerja,
kalau perikatan pokoknya sudah lahir. Satrio (2002: 280) Pasal 6 Undang-Undang Hak
Tanggungan menyebutkan : “Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut.” Hak parate eksekusi pemegang hak tanggungan didalam Pasal 6 Undang-
Undang Hak Tanggungan tidak didasarkan atas perjanjian pemberian kuasa, tetapi
At-Turost: Journal of Islamic Studies 126
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
diberikan ex lege, sehingga semua permasalahan parate eksekusi yang timbul karena
sifat-sifat/ciri-ciri kuasa tidak akan muncul disini. Ada kewenangan yang bersyarat,
yaitu hak tersebut baru ada kalau debitur sudah wanprestasi. Satrio (2002: 286)
Kesimpulan
Murabahah bil wakalah merupakan salah satu bentuk dari akad murabahah.
Berdasarkan penelusuran penulis sampai saat ini belum ada fatwa yang mengatur secara
rinci terkait pelaksanaan akad murabahah bil wakalah sehingga pelaksanaan dari akad
murabahah bil wakalah masih menginduk pada fatwa DSN-MUI nomor DSN-MUI
Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah. Adanya perubahan fatwa terkait
pelaksanaan akad murabahah hanya menjelaskan sekilas terkait akad murabahah bil
wakalah. Pelaksanaan akad murabahah bil wakalah pada perkara perdata sengketa
ekonomi syariah Nomor 0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt ditinjau dari fatwa DSN-MUI
secara akad pelaksanaannya sudah sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam fatwa
nomor fatwa DSN-MUI nomor DSN-MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Murabahah. Namun, adanya bukti surat perjanjian untuk menjual yang dibuat secara
terpisah dari perjanjian yang sudah disepakati menjadikan akad tersebut kurang
sempurna dari segi akad dan kurang sesuai dengan ketentuan yang ada dalam fatwa
DSN-MUI yang membahas tentang murabahah.
Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dimana sebuah perjanjian harus memenuhi
syarat berupa sepakat, cakap, suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Dilihat dalam
perkara tersebut, ada kesepakatan antara debitur dan kreditur untuk melakukan akad
murabahah serta dengan jaminan dari penjamin berupa tanah sebagai agunan untuk
menjamin debitur apabila wanprestasi. Melihat prosesnya ada perjanjian pokok berupa
akad murabahah disertai dengan perjanjian accesoir berupa perjanjian penjaminan
dimana jaminan baru bisa dilakukan tindakan pengalihan apabila debitur wanprestasi.
Sehingga apabila pada waktu yang bersamaan ada perjanjian pokok berupa akad
murabahah dan kuasa menjual jaminan maka disini ada penyelundupan hukum yang
dilarang oleh undang-undang dan menjadikan akad tersebut tidak jelas.
Padahal penjaminan bersifat accessoir dimana timbulnya penjaminan
tergantung pada adanya piutang yang dijaminkan pelunasannya. Penjaminan akan
At-Turost: Journal of Islamic Studies 127
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
menjadi hapus apabila hutangnya berakhir namun hapusnya penjaminan tidak
menyebabkan hapusnya hutang yang dijamin. Sebagaimana tersebut dalam hukum
kebendaan bahwa semula jaminan berupa tanah diikat dengan hipotik namun dengan
adanya Undang-Undang Hak Tanggungan maka jaminan berupa tanah diikat dengan
hak tanggungan. Hak tanggungan hanya dibebani dengan tanah dan dapat atau tidak
diikutsertakan benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah. Ikut atau
tidaknya benda-benda lainnya itu dinyatakan dengan tegas dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan. Sehingga menjadi jelas apabila terjadi wanprestasi pada debitur, sejauh
mana pengikatan terhadap jaminan tersebut.
Daftar Pustaka
Abu Abd Allah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini w. 273 H, Sunan Ibnu Majah,
(Bairut: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt) II: 737, Nomor Hadis : 2185.
Abrori, F. (2019). Implementasi Kesejahteraan Perspektif BKKBN Dalam Kajian
Maqᾱṣid al-Syarῑ’ah. At-Turost: Journal of Islamic Studies, 6(2), 233-243.
al-Khaslani, Sa’ad bin Turki (2012). Fikih al-Mu’amalat al-maliyyah al-Mu’asirah,
Riyad: asami’I lil syara wa al tauzi’.
al-Misri, Rafiq Yunus (2009). Buhut fi fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah, Suriah: Darul
Maktabi.
Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian; suatu pendekatan Praktis, Jakarta: Rineka
Cipta.
Ascarya. (2011). Akad Dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Rajawali Pres.
Dahlan, A. (2012). Bank Syariah Teori, Praktik, dan kritik, Yogyakarta: Teras.
Djamil, F. (2012). Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Djazuli. (2007). Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah, Jakarta: Kencana, Cet.II.
Hammad, N. (2007). Fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah Wa al-Masrafiyyah al-
Mu’asirah, Damaskus: Darul al-Qalam.
Harahap, M, Y. (2006). Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika.
Ismail. (2011). Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 128
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622
Muhammad. (2009). Model-Model Akad Pembiayaan Di Bank Syariah: Panduan
Teknis Pembuatan Akad Atau Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Syariah,
Yogakarta: UII Press.
Satrio, J. (2002). Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
Tim Penyusun. (2000). Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Jakarta: Kementerian Agama.
Tim Penyusun. (2014). Himpunan Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional
MUI, Jakarta : Erlangga.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
Usman, R. (1999). Pasal-Pasal tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Jakarta:
Djambatan.
Widyaningsih. (2005). Bank dan Asuransi di Indonesia, Jakarta: Kencana.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 129