kumpulan tulisan blog abufurqan.wordpress · mewujudkan kepemimpinan islam ini –yaitu khilafah...
TRANSCRIPT
KUMPULAN TULISAN BLOG
abufurqan.wordpress.com
Penulis:
Abu Furqan al-Banjary
Publikasi Ke-1
Ramadhan 1434 / Juli 2013
Ebook ini merupakan kumpulan sebagian tulisan yang dimuat di blog
abufurqan.wordpress.com. Untuk melihat tulisan lainnya, silakan
berkunjung ke blog tersebut.
2 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Daftar Isi
Daftar Isi ............................................................................................................................................... 2
Islam adalah Diin yang Sempurna ................................................................................................... 3
Perlukah Negara Islam? ..................................................................................................................... 6
Khilafah Menurut Haji Sulaiman Rasjid ......................................................................................... 9
Penyebab Utama Umat Islam Tak Bisa Bersatu .......................................................................... 12
Saya Orang Indonesia atau Orang Islam? ..................................................................................... 15
Haruskah Kita Bangga Menjadi Orang Indonesia? ..................................................................... 18
Soekarno-Hatta, Founding Fathers Sekularisme Indonesia ..................................................... 23
Tidak Ada Paksaan dalam Agama .................................................................................................. 27
Mengapa Radikalisme Tumbuh Subur di Indonesia? ................................................................ 30
Islam yang Rasional dan Toleran ................................................................................................... 33
Makna Rahmatan Lil ‘Aalamiin, Antara Pluralisme dan Islam ................................................ 39
Membendung Arabisasi Ala Abdul Moqsith Ghazali .................................................................. 45
Konsep Keliru Desakralisasi Al-Qur’an ........................................................................................ 48
Wacana Kebenaran Islam Pluralis ................................................................................................. 51
Mematikan ‘Truth Claim’, Menghidupkan Kebimbangan ......................................................... 54
Kesalahan Tafsir Pendukung Pluralisme Terhadap Surah Al-Baqarah Ayat 62 .................. 57
Ramadhan dan Al-Qur’an ................................................................................................................ 60
Beberapa Sikap Ilmiah dalam Pengkajian Pemikiran Islam .................................................... 64
Umat Islam, Umat yang Memadukan Ilmu dan Amal ................................................................. 70
Totalitas Dalam Keberislaman ....................................................................................................... 72
Bersegera Melaksanakan Syariah.................................................................................................. 74
Profil Singkat Penulis ....................................................................................................................... 76
3 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Islam adalah Diin yang Sempurna
Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah al-Maa-idah ayat 3 berfirman:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم اإلسالم دينا
Artinya: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian diin kalian, dan telah Aku
sempurnakan atas kalian nikmatku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai diiin kalian.”
Dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Imam Ibn Katsir mengomentari ayat ini sebagai
berikut:
دينهم، فال يحتاجون إلى دين غيره، هذه أكبر نعم اهللا، عز وجل، على هذه األمة حيث أكمل تعالى لهم
وال إلى نبي غير نبيهم، صلوات اهللا وسالمه عليه؛ ولهذا جعله اهللا خاتم األنبياء، وبعثه إلى اإلنس والجن،
فال حالل إال ما أحله، وال حرام إال ما حرمه، وال دين إال ما شرعه
Artinya: “Ini adalah nikmat Allah ‘azza wa jalla yang terbesar bagi umat ini, dimana
Dia yang Maha Tinggi telah menyempurnakan bagi umat ini diin mereka (Islam),
sehingga mereka tak memerlukan lagi diin selainnya, dan Nabi selain Nabi mereka
(Muhammad) shalawatullahi wa salamuhu ‘alaih. Dan Allah telah menjadikannya
(Muhammad) sebagai penutup para Nabi, dan mengutusnya kepada manusia dan jin.
Maka, tidak ada yang halal kecuali yang telah Allah halalkan, dan tidak ada yang
haram kecuali yang telah diharamkan-Nya. Dan tidak ada diin kecuali apa yang telah
disyari’atkan-Nya.”
وتمت كلمت ربك صدقا {: وكل شيء أخبر به فهو حق وصدق ال كذب فيه وال خلف، كما قال تعالى
صدقا في األخبار، وعدال في األوامر والنواهي، فلما أكمل الدين لهم تمت : أي] 115: األنعام[} وعدال
النعمة عليهم
Artinya: “Dan setiap yang dikabarkan-Nya adalah haq dan benar, tidak ada
kebohongan di dalamnya, dan tidak ada pelanggaran terhadap janji yang
disampaikan-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala: “Dan telah sempurna kalimat
Tuhanmu yang benar dan adil.” [al-An’am: 115], yaitu benar dalam seluruh informasi
yang disampaikan, dan adil dalam seluruh perintah dan larangan yang diberikan. Dan
4 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
ketika Allah menyempurnakan diin mereka, maka sempurnalah nikmat yang
diberikan kepada mereka.”
: أي} أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم اإلسالم دينا اليوم{ولهذا قال تعالى
فارضوه أنتم ألنفسكم، فإنه الدين الذي رضيه اهللا وأحبه وبعث به أفضل رسله الكرام، وأنزل به أشرف
كتبه
Artinya: “Dan firman Allah ta’ala: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian
diin kalian, dan telah Aku sempurnakan atas kalian nikmatku, dan telah Aku ridhai
Islam sebagai diiin kalian.” Maksudnya adalah: maka ridhalah kalian pada diin
tersebut, karena diin tersebut adalah diin yang diridhai dan dicintai oleh Allah. Dan
bersama diin tersebut, Dia mengutus Rasul-Nya yang paling utama, dan menurunkan
kitab-Nya yang paling mulia.”
Ayat ini, mengikuti pemahaman Imam Ibn Katsir rahimahullah, merupakan dalil yang
sangat jelas yang menunjukkan kesempurnaan Islam sebagai diin, sebagai pandangan
hidup, sebagai way of life. Dan dengan sempurnanya Islam, tak layak kita berpaling
kepadadiin yang lain. Setelah adanya Islam, tak seharusnya kita mengambil
pandangan hidup yang lain.
Bandingkanlah dengan kondisi sekarang. Begitu banyak orang yang KTP-nya Islam,
sangat banyak yang mengaku muslim, tapi tanpa merasa bersalah mengambil selain
Islam sebagai pandangan hidup. Sudah sangat jelas, Islam melarang wanita membuka
auratnya di tempat umum, namun banyak wanita yang malah mengumbar auratnya
dengan alasan sedang tren. Islam memuji wanita yang menutup rapat auratnya
dengan pakaian syar’i, namun banyak orang yang malah mencela, curiga, dan bahkan
menuduh mereka sebagai teroris atau istri teroris.
Demikian juga, Islam telah memberi garis tegas antara keimanan dan kekufuran serta
keharaman mencampur adukkannya, namun banyak sekali orang yang begitu bangga
mengusung ide pluralisme, menyamaratakan semua agama. Ketika ada muslim yang
ingin konsisten dengan ketegasan al-Qur’an dan as-Sunnah, tuduhan intoleran,
sektarian, berpandangan sempit, sok benar, sok suci, dan lain-lain malah
dilemparkan kepada mereka.
5 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Islam pun dengan sangat tegas mengharamkan berhukum dengan hukum selain
hukum Allah, dan menyatakan bahwa pemimpin umat wajib mengurusi umatnya
dengan aturan Allah. Namun, ketika ada sekelompok umat Islam yang ingin
mewujudkan kepemimpinan Islam ini –yaitu Khilafah Islamiyah–, yang akan
menerapkan hukum dan aturan Allah dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, ternyata cibiran, ejekan dan hinaan yang harus mereka terima.
Inilah ironi zaman ini. Al-Qur’an lebih dari seribu tahun yang lalu telah menyatakan
kesempurnaan Islam sebagai diin, sebagai pandangan hidup, satu-satunya jalan
keselamatan. Al-Qur’an juga mencela orang-orang yang masih mengambil diin selain
Islam. Namun, saat ini, orang-orang yang mengaku muslim dan muslimah, ternyata
dengan bangganya menunjukkan dan mempropagandakan pemikiran dan perilaku
yang bertentangan dengan Islam.
Bagi muslim dan muslimah yang masih mengagungkan pemikiran dan perilaku yang
tidak Islami, mari sama-sama kita renungkan ayat berikut ini:
ومن يبتغ غير اإلسالم دينا فلن يقبل منه وهو في اآلخرة من الخاسرين
Artinya: “Siapa saja yang mencari diin selain Islam, diin tersebut tidak akan diterima
oleh Allah, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” [Ali ‘Imran ayat
85]
Tafsir Jalalayn dengan sangat cerdas menafsirkan makna الخاسرین ini dengan ‘tempat
kembalinya adalah neraka, dan ia kekal di dalamnya’.
Semoga kita terhindar dari panasnya bara api neraka. Wallahul musta’an.
*****
6 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Perlukah Negara Islam?
Diskusi dan wacana tentang negara Islam sudah lama mengemuka di negeri ini. Di
buku “Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20” terbitan Gema Insani Press
yang dieditori oleh Herry Mohammad, disebutkan bahwa pada tahun 1940-an,
Mohammad Natsir pernah terlibat polemik dengan Soekarno tentang agama dan
negara.
Menurut Soekarno, agama mesti dipisahkan dari negara. Ia berpendapat, dengan
mengutip –salah satunya– gagasan yang dilontarkan oleh Ali Abdur Raziq, pengajar di
Universitas Al-Azhar, Kairo, bahwa dalam al-Qur’an dan as-Sunnah maupun Ijma’
Ulama, tidak ada keharusan bersatunya negara dengan agama.. Soekarno lalu
menengok ke negara Turki yang didirikan oleh Mustafa Kemal Attaturk yang
memisahkan agama dan negara. Menurut Soekarno, karena proses sekularisasi
tersebut, Turki bisa maju.
Bagi Natsir, pemikiran Soekarno tersebut keliru. Menurutnya, agama, dalam hal ini
Islam, tak bisa dipisahkan dari negara. Urusan negara adalah bagian dari
menjalankan perintah Allah. Ia lalu mengutip al-Qur’an surah adz-Dzaariyat [51] ayat
56, “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.”
Tentang menyatunya agama dengan negara, Natsir menulis, “Bagi kita kaum
muslimin, negara bukanlah suatu badan tersendiri yang menjadi tujuan. Dengan
persatuan agama dengan negara yang kita maksudkan, bukanlah bahwa agama itu
cukup sekedar dimasukkan saja di sana sini kepada negara itu. Bukan begitu! Negara,
bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada
dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu ‘intergreerenddeel’ dari
Islam. Yang menjadi tujuan ialah, ‘Kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi,
baik yang berkenaan dengan perikehidupan masyarakat sendiri (sebagai individu),
ataupun sebagai anggota dari masyarakat’.”
Bahkan, menurut Dr. Adian Husaini, sejarah nusantara adalah sejarah peradaban
Islam, sebelum warna Islam tersebut berusaha dikikis habis oleh penjajah Eropa.
Dalam makalah beliau yang berjudul “Meluruskan Sejarah Indonesia”, beliau
menulis, “Menyadari arti penting sejarah, kaum penjajah juga secara serius
merekayasa sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam
7 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
sejarah Indonesia. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama
mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk
memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Dalam bukunya, Islam
dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1990), Prof. Naquib al-Attas menulis
tentang masalah ini, ‘Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam
sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck
Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang
menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan
mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu
masih berlaku sampai dewasa ini.’
Dalam kasus hukum, misalnya, sudah menjadi kenyataan, hukum Islam merupakan
hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang Islam di Indonesia,
sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan hukum Islam. Dalam disertasi
doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal Ka’bah mencatat, bahwa sebelum
kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hukum baru di
Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama rata
dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi
baru di bidang hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat
kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S.
Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik
supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah
administrasi pemerintahan.”
Dari paparan Dr. Adian Husaini di atas dan kenyataan bahwa sejak pertama kali
menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini sampai sekarang, Islam –sebagai ideologi
dan sistem politik– tak pernah berhenti memberi warna bagi kehidupan masyarakat
Indonesia, tentu upaya mengembalikan Islam sebagai ideologi dan sistem politik bagi
negeri ini merupakan upaya yang punya dasar sangat kuat. Orang-orang yang
menganggap bahwa perjuangan penegakan negara Islam dan formalisasi Syariah
sebagai perjuangan usang, sepertinya sudah melupakan sejarah negerinya sendiri.
Islam sebagai ideologi nyatanya tak pernah benar-benar hilang dari benak
masyarakat, sejak ratusan tahun yang lalu hingga kini.
Dalam sejarah Indonesia, peran Islam sebagai kekuatan ideologi dan politik, hanya
pernah coba diberangus oleh kekuatan-kekuatan zalim yang memaksa. Sebelum
8 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
kemerdekaan, yang berperan memberangus adalah penjajah Eropa dengan senjata
dan propaganda kalangan orientalis. Ketika awal kemerdekaan Indonesia, yang
berupaya memberangus adalah Orde Lama, setelah itu dilanjutkan oleh tangan besi
Orde Baru. Islam sebagai ideologi tak pernah benar-benar ditinggalkan oleh
masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia selama ini dipaksa untuk melupakan
bahwa Islam, agama yang mereka anut, punya peran besar dalam perjalanan sejarah
negeri ini, bukan hanya sebagai nilai moral, tapi sebagai ideologi dan sistem politik.
Dari kenyataan yang saya paparkan di atas saja sudah menunjukkan bahwa
perjuangan penegakan negara Islam di negeri ini merupakan sesuatu yang sangat
relevan serta punya basis historis dan sosiologis yang sangat kuat. Seharusnya dan
senyatanya, jika tak dihalang-halangi oleh kelompok pembenci Islam dan orang-
orang yang tertipu oleh mereka, dukungan masyarakat Indonesia terhadap
penegakan negara Islam akan cepat diraih. Apalagi, secara ‘aqidah, umat Islam
memang dituntut untuk mendirikan institusi yang bertujuan menerapkan hukum-
hukum Allah secara menyeluruh.
Lalu, masih pantaskah kita berdebat tentang perlu tidaknya negara Islam?
*****
9 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Khilafah Menurut Haji Sulaiman Rasjid
Salah satu kitab fiqih lengkap paling populer yang ditulis dalam bahasa Indonesia
oleh penulis asli Indonesia adalah Kitab “Fiqh Islam” karya H. Sulaiman Rasjid. Kitab
fiqih ini –menurut penerbit, Sinar Baru Algesindo–menjadi salah satu rujukan di
sekolah menengah dan perguruan tinggi Islam di Indonesia dan Malaysia. Popularitas
buku ini bisa dilihat dari seringnya cetak ulang terhadap buku ini. Buku yang saya
miliki merupakan cetakan ke 40, tahun 2007. Cetakan pertama tak disebutkan,
namun ‘Kata Pengantar’ dari HAMKA sedikit memberi gambaran. ‘Kata Pengantar’
tersebut bertahun 1954.
Salah satu kekuatan buku ini adalah merujuk langsung kepada al-Qur’an dan as-
Sunnah, tak fanatik terhadap satu madzhab, namun sekaligus tidak menafikan
pendapat ulama-ulama madzhab tersebut. Ini merupakan kewajaran, karena sang
penulis memang berasal dari kalangan ‘kaum muda’.
Perlu diketahui juga, H. Sulaiman Rasjid yang lahir tahun 1986 ini memperoleh
pendidikan agama di Perguruan Tawalib, Padang Panjang, kemudian dilanjutkan di
sekolah guru Mualimin, Mesir, setelah itu dilanjutkan ke Perguruan Tinggi Al-Azhar
jurusan Takhashshush Fiqh di Kairo, Mesir. Dalam karir intelektual, beliau tercatat
pernah menjadi Rektor mata kuliah Ilmu Fiqh di IAIN Jakarta pada tahun 1962 –
1964, dan menjelang masa pensiun, beliau diangkat menjadi Rektor IAIN Lampung.
H. Sulaiman Rasjid di kitab beliau Fiqh Islam mencantumkan satu kitab (ket: yang
dimaksud dengan ‘kitab’ adalah ‘bab’ menurut lazimnya penulisan sekarang)
bernama Kitab al-Khilafah. H. Sulaiman Rasjid mendefinisikan al-Khilafah dengan
“suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam,
sebagaimana yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw. semasa beliau
hidup, dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abu Talib). Kepala negaranya dinamakan
khalifah.”
Beliau, sebagaimana banyak penulis kitab fiqih lainnya, menyatakan bahwa hukum
mendirikan khilafah adalah kewajiban atas semua kaum muslimin. Berikut
pernyataan beliau, “Kaum muslim (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa
hukum mendirikan khilafah itu adalah fardu kifayah atas semua kaum muslim.”
10 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Beliau menyebutkan alasan kewajiban mendirikan khilafah adalah berdasarkan: (1)
Ijma’ Shahabat, sehingga mereka (para shahabat) mendahulukan musyawarah untuk
memilih khalifah daripada menyelesaikan pengurusan jenazah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam; (2) Kaidah Maa laa yatimmu al-waajib Illaa bihi fahuwa waajib,
tidak mungkin dapat menyempurnakan kewajiban –misalnya membela agama,
menjaga keamanan, dan sebagainya– selain dengan adanya khilafah; dan (3)
beberapa ayat al-Quran dan al-Hadits.
Tentang berbilangnya pemimpin bagi umat Islam, H. Sulaiman Rasjid menulis,
“Menurut asal hukum syara’ Islam, diwajibkan adanya pimpinan pemerintahan yang
satu di seluruh negeri Islam sebagaimana yang ada di masa khalifah-khalifah di
zaman keemasannya. Kata Mawardi dalam kitab Al-Ahkamus Sultaniyah, ‘Apabila
terdapat dua imam di dua negeri Islam, pimpinan keduanya tidak sah, sebab pada
umat Islam tidak boleh ada dua khalifah’.”
Memang H. Sulaiman Rasjid termasuk ulama yang mentolerir berbilangnya pemimpin
bagi umat Islam, seperti pernyataan beliau, “Adapun sesudah agama Islam tersiar
meluas di seluruh dunia, timur dan barat, selatan dan utara, serta didorong pula oleh
beberapa kepentingan dan dipaksa oleh keadaan-keadaan serta kesulitan-kesulitan
politik, mau tak mau pimpinan Islamiyah (khalifah) pada abad kedelapan Masehi
(kedua Hijriah) terjadi dua daulah Islamiyyah: (1) Daulah Abbasiyah di timur
(Bagdad), (2) Daulah Umawiyyah di barat, di Andalus, yaitu Spanyol.”
Atau pernyataan beliau, “Al-Khilafah dapat ditegakkan dengan perjuangan umat
Islam yang teratur menurut keadaan dan tempat masing-masing umat, baik
berbentuk nasional untuk sebagian kaum muslim yang merupakan suatu bangsa
yang memperjuangkan suatu negara yang telah mereka tentukan batas-batasnya, –
sebagaimana telah terjadi mulai dari Khilafah Umawiyah, Khilafah Abbasiyah, dan
lain-lain sesudah itu; khilafah-khilafah itu diakui dan ditaati oleh ulama muslim–
ataupun berbentuk umum (internasional) untuk seluruh umat Islam sedunia.”
Namun hal ini harus dilihat dari sisi:
(1) Beliau dengan sangat gamblang menyatakan bahwa hukum asal adalah hanya
boleh ada satu khalifah bagi seluruh umat Islam;
(2) Kebolehan berbilangnya pemimpin merupakan kajian fakta dan sejarah umat
Islam. Jika ada kajian fakta kontemporer yang lebih tajam dan mendalam yang
11 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
menyebutkan bahwa sangat mungkin umat Islam bersatu dalam satu negara, di
bawah pimpinan satu orang khalifah, maka tentu kita harus kembali ke hukum asal
tersebut.
(3) H. Sulaiman Rasjid tetap menegaskan bahwa fardhu kifayah atau umat Islam
sedunia berusaha mencari jalan untuk menyatukan pimpinan. Kewajiban ini tetap
hingga tercapainya tujuan yang diinginkan.
Sekarang, mari kita lihat apa yang terjadi dengan banyaknya negara-negara yang
dihuni oleh mayoritas umat Islam, tak mungkinkah mereka bersatu? Atau masalah
sebenarnya bukan mungkin atau tidak mungkin, melainkan mau atau tidak mau?
Masalah besar berikutnya adalah seluruh negara-negara tersebut tak menerapkan
Syariah Islam secara kaffah, paling banter mungkin Arab Saudi, namun Arab Saudi
pun tak menerapkan Syariah Islam dalam politik pemerintahan dan politik luar
negeri, apalagi Indonesia.
Penjelasan H. Sulaiman Rasjid tentang Khilafah di kitab beliau, paling tidak bisa
menyadarkan banyak tokoh umat Islam yang menjadi pionir penghalang perjuangan
penegakan kembali Khilafah. Sikap anti mereka terhadap gagasan Khilafah
merupakan suatu keanehan. Aneh, karena sejak dulu ulama telah bersepakat tentang
kewajiban adanya Khilafah. Bahkan kewajiban itu kembali ditegaskan oleh seorang
ulama asli Indonesia, H. Sulaiman Rasjid, di kitab beliau. Marilah kita berpikir.
*****
12 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Penyebab Utama Umat Islam Tak
Bisa Bersatu
Persatuan umat Islam sepertinya sekarang masih berupa mimpi. Walaupun begitu
banyak ulama dan anasir umat Islam yang menginginkan terwujudnya persatuan
umat Islam, tapi ternyata tak jarang juga apa yang mereka lakukan melanggengkan
perpecahan umat ini. Sepertinya kita masih harus sering mentadabburi firman Allah
dalam Surah Ali Imran ayat 103. Kita mungkin sudah sering membaca ayat tersebut,
tapi kita seakan-akan tak pernah mengerti semangat dari ayat ini.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) Allah SWT dan janganlah
kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103).
Secara garis besar, paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan umat ini susah
bersatu. Yang pertama adalah fanatisme mazhab dan kelompok secara berlebihan.
Sikap ini kemudian menjadikan kita memiliki sikap yang tidak proporsional, sikap
ingin menang sendiri, merasa pendapat mazhab atau kelompoknya paling dan pasti
benar sedangkan pendapat mazhab atau kelompok lain pasti salah. Yang terjadi
kemudian adalah saling menghujat, melecehkan, menyesatkan bahkan mengkafirkan
semua pendapat yang berbeda dengan pendapat mazhab atau kelompoknya.
Ada tulisan menarik dalam sebuah kata pengantar buku fiqh yang menganut mazhab
tertentu karangan ulama Indonesia. Dalam kata pengantar tersebut disebutkan
bahwa salah satu penyebab perpecahan umat Islam di nusantara adalah karena
masuknya paham atau mazhab fiqh baru di Indonesia yang berbeda dengan
mainstream mazhab fiqh nusantara. Beliau menyatakan bahwa hal ini berbahaya
bagi persatuan dan kesatuan umat sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk
mempertahankan eksistensi mazhab yang sudah ada dan mencegah
menyebarluasnya mazhab baru atau kelompok yang tidak terikat dengan mazhab
tertentu. Hasil dari pemahaman ini adalah, perdebatan panjang berpuluh-puluh
tahun, hanya dalam permasalahan khilafiyah, sedangkan masalah-masalah umat lain
yang lebih asasi malah terlupakan.
Sikap fanatisme berlebihan ini jelas tidak meneladani sikap Salafus Shalih. Perbedaan
pendapat sudah terjadi pada masa Shahabat, kemudian tradisi perbedaan ini terus
13 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
terjadi pada generasi-generasi Salafus Shalih berikutnya. Tapi, tak ada satupun dari
para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan kalangan ulama klasik yang menjadikan
perbedaan pendapat untuk menghujat dan mengkafirkan pendapat lain. Perbedaan
pendapat di antara mereka hanya terbatas pada kajian-kajian dan tak sampai
menyebabkan perpecahan umat. Mereka punya prinsip, selama masih dalam perkara
furu’ dan khilafiyah tak seharusnya perbedaan pendapat mengakibatkan
permusuhan. Indah sekali prinsip mereka yang menyatakan bahwa pendapatku
adalah benar tapi masih terbuka kemungkinan salah sedangkan pendapat yang lain
adalah salah tapi punya kemungkinan benar. Mereka baru bersikap intoleran jika
perbedaan yang terjadi adalah dalam masalah ushul seperti terhadap kelompok yang
punya Nabi baru atau kelompok yang ingkar terhadap ayat-ayat Qath’i.
Penyebab kedua susahnya mewujudkan persatuan umat adalah tumbuh
kembangnya wabah nasionalisme. Nasionalisme merupakan suatu ikatan untuk
mempersatukan sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai
sebuah “bangsa” (M. Shiddiq Al-Jawi. 2005. Membuang Nasionalisme Ke Tempat
Sampah). Kata “bangsa” sengaja diberi tanda kutip, karena memiliki makna yang tak
baku bahkan bersifat imajiner. Contohnya adalah, dulu warga Timor Leste dianggap
sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tetapi setelah merdeka mereka tak lagi
menjadi bangsa Indonesia melainkan bangsa Timor. Andaikan Papua memisahkan
diri dari NKRI, maka di Papua tak akan ada lagi bangsa Indonesia, yang ada hanya
bangsa Papua.
Konsep nasionalisme juga bukanlah sesuatu yang telah ada sejak dulu kala. Istilah
dan konsep nasionalisme muncul beriringan dengan terjadinya Revolusi Prancis,
industrialisasi, liberalisasi dan sentimen bangsa yang berupaya menggantikan sistem
feodalisme (Kurniawan. 1996. Diskursus Nasionalisme: Artefak Masa Lalu di
Panggung Masa Kini). Paham nasionalisme juga tak pernah dikenal oleh umat Islam
selama 10 abad. Paham ini baru masuk ke dunia Islam ke�ka Barat melancarkan
penjajahan ke negeri-negeri Islam sejak abad ke-17 M. Bersamaan dengan
penjajahan fisik, Barat dipimpin oleh Inggris dan Prancis juga menyebarkan paham
nasionalisme kepada umat Islam, tujuannya jelas adalah untuk melemahkan
persatuan umat Islam dan Daulah Islam yang ujung-ujungnya memecah belah umat
dan melanggengkan penjajahan mereka di tanah umat Islam. Bukti keberhasilan
Barat memecah belah umat Islam adalah dengan berdirinya lebih dari 50 negara
bangsa (nation-state) dalam dunia Islam, sesuatu yang tak pernah terjadi dalam
14 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
tubuh umat Islam selama lebih dari 13 abad. Dan yang paling menyedihkan adalah,
tak pernah ada upaya serius dari para pemimpin negara-negara bangsa tersebut
untuk menyatukan kembali umat Islam di bawah satu bendera.
Penyebab ketiga penghambat persatuan umat Islam adalah sikap pesimisme, pasrah
dengan keadaan dan keputusasaan terhadap kondisi perpecahan umat seperti
sekarang. Sikap ini kemudian menjadikan banyak umat Islam yang tak lagi
bersemangat untuk mewujudkan persatuan umat, mereka menganggap upaya
tersebut hanyalah upaya yang sia-sia, tak akan berhasil bahkan utopis. Hal ini juga
menjadikan sebagian pejuang Islam mengambil sikap pragmatis, kompromi dengan
cara-cara di luar Islam yang dianggap akan lebih cepat membuahkan hasil. Realita
dan kondisi empiris dijadikan tameng dan pembenaran untuk mengambil langkah
pragmatis dan kompromistis tersebut, padahal hal tersebut menyimpang dari garis
yang ditetapkan dien Islam. Dan sikap ini sebenarnya akan semakin menjauhkan
umat Islam dari persatuannya yang hakiki.
*****
15 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Saya Orang Indonesia atau Orang Islam?
SAYA ADALAH ORANG INDONESIA YANG KEBETULAN BERAGAMA ISLAM. Coba baca
berulang-ulang kalimat yang saya tulis di depan artikel ini. Apa yang Anda rasakan?
Apa yang Anda pikirkan? Jika masih bingung, mohon dibaca lagi…
Jelas kalimat “saya adalah orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam”
merupakan kalimat yang rancu maknanya dan keliru. Kita sebagai orang Indonesia –
dengan pemahaman bahwa kita lahir dan besar di negeri bernama Indonesia–
merupakan sesuatu yang tidak bisa kita pilih. Ini sudah merupakan qadha Allah. Yang
bisa kita lakukan hanyalah ridha terhadap ketetapan Allah ta’ala tersebut. Kita tidak
bisa memilih lahir sebagai orang Arab atau sebagai orang Eropa –yang bagi sebagian
orang secara fisik lebih baik dari orang Indonesia atau Melayu secara umum–, jadi,
kita terima saja ketetapan Allah ini.
Sedangkan menjadi orang Islam -yang tentunya harus terikat dengan semua aturan
dalam ’ajaran hidup’ tersebut- merupakan pilihan. Ya, menjadi muslim merupakan
pilihan. Pikirkan sendiri, begitu banyak orang yang lahir dari seorang muslimah dan
punya ayah seorang muslim yang taat, namun kemudian pindah agama. Begitu
banyak pula, seorang yang lahir dan tumbuh besar sebagai non Muslim, namun
kemudian mendapat hidayah hingga akhirnya dia menjadi muslim.
Sekarang kembali ke kalimat yang kita permasalahkan tadi. Bagi yang masih bingung,
silakan baca lagi. Kalimat tersebut jelas keliru karena menempatkan keberadaan kita
sebagai orang Indonesia seakan-akan merupakan sesuatu yang dapat dipilih. Begitu
juga sebaliknya, seakan-akan status keislaman kita merupakan hal yang saklek, yang
harus kita terima tanpa perlu mempertanyakannya lagi. Ini adalah cara berpikir yang
terbalik.
Hasil dari keterbalikan cara berpikir ini adalah orang-orang yang begitu
membanggakan keindonesiaan dan menginferiorkan keislaman dia sendiri. Seakan-
akan status muslim yang dia miliki harus tunduk pada status dia sebagai orang
Indonesia. Akhirnya muncullah istilah-istilah aneh seperti “Islam Indonesia”, yang
mereka maknai sebagai pemahaman Islam yang tepat bagi orang Indonesia, dan tak
harus selalu persis dengan pemahaman Islam dari Arab (catatan tambahan saya:
frase Islam Arab ini juga sangat rancu, jika yang dimaksud adalah pemahaman Islam
16 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
murni seperti yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in yang notabene orang Arab, tentu WAJIB kita
ikuti. Namun, jika Islam Arab yang dimaksud adalah seperti Arab saat ini, tentu kita
juga tidak sepakat jika itu dijadikan rujukan).
Kalimat di atas, atau yang mirip dengan kalimat tersebut, sering diungkapkan oleh
orang-orang yang ingin menunjukkan kecintaan terhadap Indonesia secara membabi-
buta, atau orang-orang yang ingin menegaskan bahwa nasionalisme ekuivalen
dengan Islam, tidak bertentangan. Menunjukkan kecintaan terhadap Indonesia
secara membabi-buta maksudnya adalah kecintaan tanpa proses dan cara berpikir
yang benar. Cinta Indonesia sebagai tanah air, kampung halaman kita, merupakan
hal yang fitrah. Rasulullah pun juga memiliki cinta yang fitri tersebut. Namun
kecintaan ini akan menjadi keliru, jika kemudian diembel-embeli dengan berbagai
logika paksaan untuk mendukung argumentasi mereka. Keberadaan hadits palsu
“hubbul wathan minal iman” merupakan salah satu hasil dari cara berpikir yang
keliru ini. Sayangnya, hadits palsu ini masih saja dipakai oleh orang-orang yang tak
mau berpikir untuk menguatkan pendapat mereka.
Kecintaan terhadap Indonesia juga tak seharusnya menggerus identitas keislaman
seseorang, yang sebenarnya jauh lebih penting untuk dimiliki. Fakta bahwa banyak
orang yang begitu tersinggung ketika keindonesiaan dihina, namun bersikap biasa
ketika Islam dihina, merupakan hasil dari kecintaan yang membabi buta ini. Apalagi
jika dua hal ini (keislaman dan keindonesiaan) bersinggungan, maka akan terlihat
siapa yang kecintaannya membabi buta dan siapa yang masih bisa berpikir dengan
waras. Contoh, seorang muslim yang membanggakan tampilnya Putri Indonesia dari
Aceh dalam ajang Miss Universe, berarti dia telah mengalahkan keislamannya.
Contoh-contoh lain akan sangat banyak jika disebutkan di sini.
Bagi pendukung nasionalisme, dengan alasan apapun, tentu kalimat yang sedang kita
bahas ini –atau yang mirip dengan itu– merupakan salah satu kalimat favorit mereka.
Memang kita sadari, walaupun sama-sama mendukung nasionalisme, kadang alasan
mereka sangat berbeda bahkan cenderung saling bertentangan. Namun tetap saja,
dengan alasan apapun, pemahaman mereka yang menyatakan nasionalisme
merupakan hal yang baik bahkan merupakan ajaran Islam, merupakan pemahaman
yang keliru dan harus diluruskan.
17 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Nasionalisme, sejatinya menempatkan kecintaan terhadap tanah air di atas
segalanya. Paham ini tumbuh berkembang di Eropa dan kemudian disebarkan oleh
mereka ke seluruh penjuru dunia dengan menumpang aksi imperialisme. Paham ini
bukan saja tidak berakar dari Islam, bahkan bertentangan. Fakta bahwa umat
manusia berbangsa-bangsa bukan merupakan pembenaran terhadap nasionalisme,
karena nasionalisme bukan sekedar fakta namun dia adalah ide atau isme yang
berasal dari akar ideologi tertentu. Islam telah menetapkan bahwa cinta Allah dan
cinta Rasul di atas segalanya, sedangkan nasionalisme meletakkan dua kecintaan
tersebut dibawah kecintaan terhadap negeri, bangsa dan negara. Para penolak ide
Khilafah –yang ingin menyatukan umat Islam seluruh dunia– sebagian besar berpijak
pada paham nasionalisme ini. Mata hati mereka telah buta, sehingga ayat al-Qur’an
al-Karim maupun sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam rendah saja bagi mereka,
bahkan tak jarang mereka pelintir untuk kepentingan mereka.
Akhirul kalam, tulisan ini bukan untuk memaksa Anda sependapat dengan saya,
namun hanya berusaha mengajak Anda sedikit berpikir di luar kotak, berpikir terbuka
dan melihat segala sesuatu secara lebih proporsional. Tuhan telah memberi kita akal,
tentu tak elok jika akal tersebut tak kita gunakan sebagaimana mestinya. Wallahu
a’lam bishshawwab.
*****
18 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Haruskah Kita Bangga Menjadi
Orang Indonesia?
Manusia secara keseluruhan merupakan keturunan dari bapak dan ibu yang sama,
Adam dan Hawa. Allah kemudian menjadikan bani Adam bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, untuk saling mengenal, bukan untuk saling membanggakan suku,
bangsa ataupun ras masing-masing. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam
surah al-Hujuraat ayat 13:
وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند اهللا أتقاكم إن اهللا يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى
عليم خبير
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ibn Katsir rahimahullah, dalam kitab tafsir beliau, berkomentar tentang ayat ini,
“Allah ta’ala berfirman sebagai pemberitahuan kepada manusia bahwa Dia
menciptakan manusia dari satu orang, kemudian Dia ciptakan pasangannya, yaitu
Adam dan Hawa.”
Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah, salah seorang faqih abad ini, dalam kitab tafsir
beliau, memaparkan bahwa ayat ini merupakan ayat yang menjelaskan persamaan
kedudukan seluruh manusia, tak ada keunggulan nasab (suku, bangsa, ras) salah
seorang di antara mereka dibandingkan yang lain, karena seluruh manusia berasal
dari bapak dan ibu yang sama. Beliau juga menjelaskan bahwa diciptakannya
manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal, bukan
untuk saling membanggakan nasab.
Ibn Katsir, Dr. Wahbah az-Zuhaili dan mufassir lainnya sepakat bahwa ukuran
keutamaan seseorang dibandingkan yang lain adalah dari sisi ketaqwaannya kepada
Allah ta’ala, bukan karena suku, bangsa, dan nenek moyangnya. Sepakatnya mereka
–rahimahumullah– sangat wajar, karena redaksi ayat ini sangat jelas.
19 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Ayat ini saja sudah cukup menjadi hujjah untuk menunjukkan kekeliruan sebagian
orang yang begitu membanggakan ke-Indonesia-annya. Indonesia –jika dimaknai
sebagai sebuah bangsa– tak lebih mulia dibandingkan bangsa Malaysia, China, Arab,
Turki, Iran, Eropa maupun bangsa-bangsa lain.
***
Jika Indonesia dimaknai sebagai sebuah negara, maka kita perlu lihat dulu, apakah
negara Indonesia merupakan negara yang diberkahi Allah ta’ala, negara yang
menerapkan syari’ah-Nya, atau malah sebaliknya. Faktanya, Indonesia sudah
memproklamirkan diri menjadi negara sekuler, negara yang mengerdilkan peran
agama, khususnya diinul Islam. Islam yang punya aturan bagi seluruh sisi kehidupan,
tak diberi ruang untuk diterapkan, kecuali hanya di sebagian kecil bagian kehidupan,
semacam ibadah ritual dan pernikahan. Sebagian besarnya dicampakkan. Bahkan
anak bangsa yang menyerukan penerapan syari’ah Islam, dicurigai dan dituduh
sebagai teroris atau minimal menginspirasi terorisme. Membanggakan negara
semacam ini tidaklah bisa diterima. Allah ta’ala berfirman dalam surah an-Nisaa ayat
60:
ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت
وقد أمروا أن يكفروا به ويريد الشيطان أن يضلهم ضالال بعيدا
Artinya: “Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya
telah beriman terhadap apa yang diturunkan kepadamu dan yang diturunkan
sebelummu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah
diperintahkan untuk mengingkari thaghut tersebut. Dan syaithan ingin menyesatkan
mereka sesesat-sesatnya.”
Ibn Jarir Ath-Thabari rahimahullah menyebutkan bahwa sababun nuzul ayat ini
adalah tentang sengketa antara seorang munafik (zhahirnya muslim, namun
sebenarnya kafir) dan seorang Yahudi. Si munafik ingin menyerahkan urusan mereka
berdua kepada kepada kalangan Yahudi, karena mereka biasa menerima suap.
Sedangkan si Yahudi ingin menyerahkan urusan mereka kepada kaum muslimin,
karena mereka tak menerima suap. Akhirnya mereka berdua sepakat menyerahkan
urusan mereka kepada seorang dukun dari Juhainah.
20 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Ibn Katsir rahimahullah menyatakan bahwa ayat ini secara umum menunjukkan
celaan kepada siapapun yang menyimpang dari al-Kitab dan as-Sunnah, serta
menyerahkan penyelesaian perkaranya kepada selain keduanya yang jelas-jelas
bathil.
Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan
kewajiban setiap muslim untuk menerapkan hukum-hukum yang termaktub dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah jika nash-nya jelas. Jika satu perkara tidak disebutkan dalam
wahyu, maka harus mengikuti pendapat mujtahid berdasarkan istinbath mereka
terhadap kaidah-kaidah Syari’ah yang umum. Beliau juga menegaskan, bahwa orang
yang secara sengaja berpaling dari hukum Allah dan hukum Rasul-Nya, maka ia
adalah seorang munafik.
Indonesia –sebagai negara– telah berpaling dari hukum Allah dan hukum Rasul-Nya,
dan memilih hukum buatan manusia yang jauh dari petunjuk Allah ta’ala. Negara
semacam ini tak layak kita banggakan. Yang harusnya kita lakukan adalah mengubah
negara ini menjadi negara yang menerapkan syari’ah Islam secara kaffah, melindungi
aqidah umat, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
***
Nyatanya, ide nasionalisme-lah yang menyesatkan pemikiran anak negeri ini. Dengan
alasan nasionalisme, mereka saling ejek dengan saudara muslim mereka di Malaysia,
bahkan sampai ada ancaman ganyang-mengganyang. Gara-gara nasionalisme,
hampir seluruh mata anak negeri ini memelototi layar kaca untuk menonton
pertandingan sepakbola Sea Games antara Indonesia vs Malaysia, padahal secara
teknis pertandingan dua negara ini tidaklah terlalu menarik. Gara-gara nasionalisme,
muslim di negeri ini tak peduli dengan nasib saudara mereka di Palestina, Irak,
Afghanistan, dan negeri-negeri kaum muslimin lainnya yang membutuhkan
pertolongan. Gara-gara nasionalisme, ikatan aqidah dianggap tak penting bila
dibandingkan ikatan darah. Bahkan, gara-gara nasionalisme, sampai-sampai ada
wacana mempatenkan fiqih Indonesia yang berbeda dengan fiqih Arab (?).
Namun anehnya, ketika Barack Obama datang ke Indonesia untuk memastikan
kepentingan negaranya di Indonesia dan Asia Pasifik tetap aman terkendali, untuk
memastikan kacung-nya di negeri ini tetap nurut, semangat nasionalisme anak
21 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
bangsa ini tak muncul. Mereka manut saja ketika Obama berupaya melanggengkan
penjajahan atas negeri ini, tak ada perlawanan.
Anak bangsa ini pun tak kelihatan nasionalismenya ketika emas, minyak dan gas
bumi, serta kekayaan alam negeri ini lainnya dikeruk habis-habisan oleh perusahaan
asing. Mereka santai-santai saja ketika Freeport setiap hari mengeruk emas di tanah
Papua, sedangkan ExxonMobil melahap minyak dan gas bumi di blok Cepu dan blok
Natuna. Mereka santai-santai saja melihat kekayaan alam negerinya diangkut ke luar
negeri, sedangkan mayoritas rakyat negeri ini hidup serba kekurangan. Inilah
absurdnya nasionalisme.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah di kitab beliau ad-Daulah al-Islamiyah
telah menjelaskan bahwa ide nasionalisme ditanamkan secara paksa di benak kaum
muslimin oleh imperialis Barat. Ide nasionalisme sejatinya bukan berasal dari Islam,
dan bertentangan dengan Islam. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan sebuah
hadits di kitab Shahih-nya:
من قتل تحت راية عمية، يدعو عصبية، أو ينصر عصبية، فقتلة جاهلية
Artinya: “Siapa saja yang terbunuh di bawah bendera fanatisme buta, menyeru
kepada‘ashabiyah, atau menolong karena ‘ashabiyah, maka matinya adalah seperti
mati jahiliyah.”
Tentang definisi ‘ashabiyah, kita bisa merujuk ke hadits Imam Abu Dawud
rahimahullah di bawah ini:
أن تعين قومك : يا رسول اهللا، ما العصبية؟ قال: قلت: عن بنت واثلة بن األسقع، أنها سمعت أباها، يقول
على الظلم
Artinya: “Dari bintu Waatsilah ibn al-Asqa’, sesungguhnya dia mendengar ayahnya
bercerita, ‘Aku bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, apakah ‘ashabiyah
itu?’ Rasulullah menjawab, ‘engkau membantu kaummu atas kezhaliman mereka.’”
Walaupun hadits di atas dipertanyakan keshahihannya isnad-nya, namun isinya
bersesuaian dengan hadits-hadits shahih. Dari hadits di atas, kita temukan definisi
‘ashabiyah, yaitu membantu kaum atau kelompok dalam kezhaliman mereka.
Maksudnya, tak peduli kaum atau kelompoknya benar atau salah, akan selalu dibela.
22 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Inilah nasionalisme. Nasionalisme adalah salah satu bentuk ‘ashabiyah yang sangat
nyata.
Nasionalisme telah berhasil memecah belah Khilafah ‘Utsmaniyah. Barat berhasil
memancing sentimen Arab, Turki dan Persia, hingga akhirnya ikatan aqidah luntur
digantikan ikatan nasionalisme yang absurd. Setelahnya bisa ketahui sendiri, Khilafah
dihapuskan dari muka bumi oleh agen Inggris, Attaturk laa Mushthafa laa Kamal. Dan
saat ini, musuh-musuh Islam tahu bahwa salah satu hal yang mampu menahan laju
kebangkitan kembali umat Islam adalah ide nasionalisme. Maka, ide tersebut akan
terus diupayakan langgeng dan bertahan di negeri-negeri kaum muslimin. Sebagai
catatan, sebagaimana ide-ide lain yang dipaksakan oleh Barat, ide nasionalisme tak
akan pernah diizinkan mengganggu kepentingan Barat, makanya di Papua dan Blok
Cepu, nasionalisme tak berlaku.
***
Ide nasionalisme adalah ide yang absurd. Hanya orang-orang yang tak mau berpikir
saja yang masih tetap mempertahankannya. Karena ide nasionalisme adalah ide yang
absurd, ide turunannya seperti kebanggaan menjadi bagian dari bangsa Indonesia
juga absurd. Menjadi bangsa Indonesia adalah ketetapan Allah, sebagaimana Dia
menentukan saudara muslim kita yang lain lahir di tanah Arab, di Turki, atau di
Afrika. Tak ada kelebihan pada bangsa Indonesia dibandingkan bangsa lain yang bisa
dibanggakan. Begitu pula, tak ada kelebihan bangsa lain dibandingkan bangsa
Indonesia.
Daripada berbangga-bangga sebagai orang Indonesia, lebih baik kita turut serta
dalam perjuangan memperbaiki bangsa dan negeri ini. Menjadikan negeri ini negeri
yang berlimpah berkah dari Allah ta’ala, dengan menerapkan syari’ah-Nya secara
keseluruhan dan mencampakkan berbagai aturan yang bertentangan dengan
syari’ah-Nya. Inilah tugas kita.
*****
23 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Soekarno-Hatta, Founding Fathers
Sekularisme Indonesia
Berbagai permasalahan yang terjadi pada umat Islam Indonesia dewasa ini, seperti
berkembangnya paham sesat Ahmadiyah di tubuh umat Islam, maraknya orang yang
mengaku sebagai nabi baru dan pendiri agama baru sempalan Islam, berkembangnya
paham sesat pluralisme dan liberalisme yang kebanyakan diusung anak-anak muda
berlatar belakang pendidikan agama, susahnya menggolkan RUU APP yang notabene
untuk menjaga moral bangsa Indonesia, disintegrasi bangsa serta berbagai
keterpurukan umat Islam di segala bidang dapat kita katakan penyebab utamanya
adalah paham sekularisme yang menjadi asas berdirinya negara ini.
Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai: “A system of doctrines
and practices that rejects any form of religious faith and worship” (Sebuah sistem
doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual
keagamaan) atau sebagai: “The belief that religion and ecclesiastical affairs should
not enter into the function of the state especially into public education” (Sebuah
kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi
negara, khususnya dalam pendidikan publik) (Lihat M. Shiddiq Al-Jawi, tt, Mengapa
Kita Menolak Sekularisme?). Dari definisi ini jelas, paham sekularisme adalah paham
yang mengusung gagasan fashluddin ‘anil hayah (pemisahan agama dengan
kehidupan) yang berarti Islam tak boleh campur tangan sama sekali terhadap aturan-
aturan bermasyarakat dan bernegara. Konsekuensinya, Indonesia yang menganut
falsafah ini meniscayakan negara tersebut untuk meninggalkan sama sekali ajaran
Islam sebagai bagian integral pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Konsep negara Indonesia yang sekuler sebenarnya bukanlah digali dari falsafah hidup
bangsa Indonesia. Gagasan ini bahkan tak pernah dikenal dalam perjalanan panjang
sejarah bangsa Indonesia. Sejak Indonesia meninggalkan fase prasejarah dengan
ditemukannya prasasti di Kalimantan pada abad ke-4 M, kerajaan-kerajaan di
Indonesia kemudian secara bergantian menggunakan ajaran Hindu dan Budha
sebagai falsafah kehidupan kerajaan nusantara. Bahkan sejak masuknya Islam di
Indonesia pada abad ke-7 M, ins�tusi kerajaan nusantara secara bertahap bergan�
baju menjadi kesultanan Islam yang menjadikan Syariah Islam sebagai asas bernegara
24 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
dan baru berakhir pada awal abad ke-20 M (Lihat Booklet HTI, 2007, Jejak Syariah
dan Khilafah di Indonesia). Konsep Indonesia sekuler baru melembaga dengan
berdirinya Budi Utomo pada 1908 dan semakin diperkuat dengan Sumpah Pemuda
oleh berbagai kelompok pemuda pada 1928 yang sama sekali tak memasukkan Islam
dalam isi sumpahnya.
Gagasan Indonesia sekuler yang diselubungi dengan gagasan nasionalisme
merupakan gagasan yang diusung oleh anak-anak bangsa yang mengecap pendidikan
sekuler barat dan kemudian silau dengan gaya kehidupan barat yang sekuler.
Maraknya pengusung ideologi sekularisme ini di Indonesia sejak awal abad ke-20 M,
bukanlah tanpa perlawanan dari anak bangsa yang masih menginginkan Islam –yang
sudah sejak turun-temurun menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia– tetap menjadi
falsafah hidup bangsa Indonesia dan menjadi asas negara Indonesia yang kelak akan
didirikan. Lahirnya Jong Islamiten Bond (JIB) yang berasal dari pecahan Jong Java
pada 1924 bisa dikatakan sebagai awal dari pertentangan antara kelompok pro Islam
dengan kelompok pro sekuler (Lihat Mohammad Roem, 1977,Bunga Rampai Sejarah
(II) hal. 90 dalam Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs
Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara hal 68).
Dan sebagaimana lazimnya sebuah ideologi, ia hanya akan menjadi tumpukan buku
dan literatur di rak-rak perpustakaan dan tak akan menghasilkan apa-apa jika tak ada
yang mengusungnya serta menjadikannya sebuah dasar bagi sebuah kelompok atau
negara. Dan ideologi sekularisme yang berkembang pada masa pergerakan
kebangsaan Indonesia menemukan bentuk utuhnya setelah diproklamirkan oleh
Soekarno-Ha�a pada tahun 1945. Tanpa menafikan kontribusi tokoh-tokoh lain
dalam mengusung gagasan Indonesia yang sekuler, tak bisa dipungkiri tokoh
dwitunggal Soekarno dan Hatta lah yang paling bertanggung jawab terhadap
menancapnya ideologi ini dalam negara Indonesia.
Soekarno, sang proklamator, dikenal sebagai pengagum berat bapak sekularisme
Turki, Mustafa Kemal Pasha. Kekagumannya terhadap sang tokoh terlihat dari
gagasan-gagasannya tentang konsep bernegara yang banyak mengambil dari Kemal
Pasha. Soekarno pernah mengutip pernyataan Kemal Pasha tentang pemisahan
agama dan negara, “Jangan marah, kita bukan melempar agama kita, kita cuma
menyerahkan agama kembali ke tangan rakyat kembali, lepas dari urusan negara
supaya agama dapat menjadi subur”. Dengan mengutip pernyataan ini, Soekarno
25 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
ingin membenarkan pendapatnya yang meninggalkan agama dalam kehidupan
bernegara Indonesia. Ia ingin menyesatkan pemahaman umat Islam Indonesia,
bahwa dalam negara Indonesia yang sekuler Islam akan tumbuh lebih baik, sesuatu
yang sebenarnya tak pernah dibuktikan oleh Kemal Pasha sendiri di Turki.
Soekarno benar-benar serius mewacanakan gagasan Indonesia yang sekuler lewat
diskusi-diskusi dan tulisan-tulisannya bertahun-tahun sebelum RI diproklamasikan.
Tercatat beberapa tulisan Soekarno yang ingin menyingkirkan Islam dalam ranah
kehidupan bernegara seperti: Memudakan Pengertian Islam, Apa Sebab Turki
Memisahkan Agama dari Negara, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara,
Islam Sontoloyo, dan lain sebagainya (Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3,
2008, Soekarno vs Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara hal 70). Walaupun
argumentasi-argumentasi Soekarno mampu dipatahkan oleh M. Natsir, tapi
sepertinya Soekarno tak bergeming dan tetap mewacanakan gagasan tersebut. Dan
gagasan sekularisme Indonesia ini benar-benar terwujud setelah Indonesia
diproklamasikan dan Soekarno dipilih menjadi presiden pertama RI. Sebelumnya
bahkan upaya ini telah menjadi bahan perdebatan yang hangat di sidang BPUPKI dan
PPKI (Suratno, 2006, Islam dan Pancasila, Menegaskan Kembali Peran Islam di
Negara Pancasila).
Setali tiga uang, pasangan dwitunggal Soekarno yaitu Mohammad Hatta ternyata
juga pengagum berat gagasan sekularisme. Hatta merupakan orang yang paling
bertanggung jawab terhadap hilangnya 7 kata dalam Piagam Jakarta. Sehari setelah
proklamasi, kata-kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” yang tercantum dalam Piagam Jakarta diganti menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan alasan ada keberatan dari masyarakat
Indonesia Timur yang non Muslim terhadap kata-kata tersebut. Info itu disampaikan
oleh Hatta dalam sidang PPKI dengan menyatakan bahwa dia mendapatkannya dari
seorang Kaigun Jepang (Lihat Mohammad Ha�a, 1982, Sekitar Proklamasi hal. 60
dalam Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs Natsir:
Dialog Kritis Agama dan Negara hal 69).
Setelah kita mengetahui hal ini, telah jelas bagi kita siapa yang menggagas negara
Indonesia yang sekuler. Dan juga sangat jelas bagi kita, sekularisme bukan berakar
dari budaya dan falsafah hidup bangsa Indonesia melainkan hanya imajinasi dari
26 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
segelintir tokoh pergerakan Indonesia yang terlalu silau dengan sekularisme Barat,
yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta.
*****
27 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Tidak Ada Paksaan dalam Agama
Pada postingan kali ini saya akan mencoba menyampaikan tafsir surah al-Baqarah
ayat 256. Berikut ayatnya:
بالعروة ال إكره فى الدين ، قد تبين الرشد من الغي ، فمن يكفر بالطغوت ويؤمن باهللا فقد استمسك
الوثقى ال انفصام لها ، واهللا سميع عليم
Frase laa ikraaha fid diin kadang digunakan sebagai dalih (bukan dalil) oleh
pengusung pluralisme untuk membenarkan ide mereka. Kata mereka, Al-Qur’an
sendiri menjamin kebebasan beragama bagi setiap individu, buktinya Al-Qur’an
melarang untuk melakukan paksaan (ikraah) dalam memeluk dan memilih agama.
Bahkan, lebih jauh, mereka juga menyatakan bahwa ayat ini juga merupakan salah
satu dasar dibolehkannya seorang muslim meninggalkan agamanya alias murtad atau
mengikuti ajaran yang menyimpang seperti Ahmadiyah.
Benarkah hal tersebut? Jawabannya, tidak. Sudah merupakan prinsip dasar bagi
kalangan pengusung ide liberalisme dan pluralisme untuk menyimpangkan dan
menyesatkan pemahaman umat dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-
Hadits dengan tafsir seenak perut mereka sendiri. Tujuannya adalah untuk
menghancurkan umat Islam dari dalam.
Lalu apa pemahaman yang benar terhadap ayat ini? Berikut saya akan sedikit
jelaskan berdasarkan kitab-kitab tafsir yang mu’tabar.
Kata ad-diin dalam ayat ini, menurut Imam al-Qurthubi, bermakna al-mu’taqad
(keyakinan/aqidah) dan al-millah (jalan hidup) (lihat al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an juz 4
hal 280). Ath-Thabari dalam kitab tafsir beliau, mengutip Abu Ja’far, menyatakan
makna ad-diin adalah Islam (lihat Tafsir at-Thabari juz 5 hal 415). Dari penjelasan
tersebut, frase laa ikraaha fid diin artinya tidak ada paksaan dalam memeluk aqidah
Islam. Mengapa? Jawabannya ada di kelanjutan ayat, qad(t) tabayyanar rusydu minal
ghayyi.
Ar-rusyd artinya al-haqq (kebenaran), sedangkan al-ghayy artinya ad-dhalal
(kesesatan). Jadi frase qad(t) tabayyanar rusydu minal ghayyi berarti sesungguhnya
telah jelas kebenaran dari kesesatan, telah jelas yang haq dari yang batil. Frase ini
28 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
dengan sangat jelas menyatakan diinul Islam sebagai kebenaran dan diin ghairil
Islam sebagai kesesatan, frase ini juga menyatakan bahwa yang benar itu telah jelas
dan yang sesat itu juga telah jelas (silakan lihat tafsir ath-Thabari dan kitab tafsir lain
tentang penjelasan hal ini). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ulama mujtahid abad ke-
20 sekaligus muassis Hizbut Tahrir, dalam kitab beliau Nizham al-Islam bab Thariqul
Iman telah menjelaskan dalil aqli dan naqli yang menunjukkan kebenaran diinul
Islam. Artinya, untuk mengetahui dan mengikuti kebenaran Islam tidak perlu
paksaan, karena Allah telah menunjukkan jalan kebenaran tersebut dengan jelas dan
mampu kita indra dan pikirkan melalui akal kita, afala ta’qiluun?
Jadi frase ini dengan sangat jelas mencela orang-orang yang masih mengambil diin
selain Islam, karena dengan hal tersebut mereka telah menutup diri dari kebenaran
dan tak mau menggunakan akal mereka untuk mencari kebenaran.
Faman(y) yakfur bith-thaaghuuti wa yu’min(m) billahi faqadis tamsaka bil ‘urwatil
wutsqaa lan(m) fishaama lahaa, wallahu samii’un ‘aliim. Frase ini adalah untuk
orang-orang yang mengikutidiinul Islam, yaitu orang-orang yang mengingkari thaghut
(apapun yang disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala) dan beriman kepada Allah
ta’ala (hanya meyakini Allah sebagaiilah dan rabb). Mereka telah berpegang pada al-
‘urwah al-wutsqa (pegangan yang paling kuat) yaitu al-Iman, al-Islam dan kalimat
tauhid laailaahaillallah. Al-‘urwah al-wutsqa ini juga yang dinamakan dengan ash-
shirath al-mustaqim (jalan yang lurus) (silakan lihat tafsir ath-Thabari, al-Qurthubi
dan Ibnu Katsir). Frase al-‘urwah al-wutsqa dilanjutkan dengan lan(m) fishaama
lahaa, yang tidak akan putus. Ini merupakan penguat yang menunjukkan bahwa
diinul Islam ini merupakan pegangan yang paling kuat dan tidak akan pernah putus,
artinya selama seseorang memegang Islam, dia pasti akan selamat.
Ayat ini ditutup dengan penyebutan sifat Allah subhanahu wa ta’ala yaitu samii’
(maha mendengar) dan ‘aliim (maha mengetahui). Imam al-Qurthubi menyatakan
bahwa disebutkannya sifat ini untuk menunjukkan bahwa Allah maha mendengar
ucapan seseorang yang menyatakan kufr terhadap thaghut dan beriman kepada
Allah serta mengetahui keyakinan seseorang yang ada di dalam hati tentang
kekafirannya terhadap thaghut dan keimanannya kepada Allah ta’ala.
Tentang ikraah (paksaan) dalam memeluk Islam, secara umum hal ini dilarang,
namun ada dua pengecualian menurut Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah dalam kitab tafsir
beliau Taysir fi Ushul at-Tafsir, yaitu:
29 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
1. Ketundukan ahludz dzimmah (non muslim yang tinggal di negara Islam) kepada
hukum-hukum Islam selain perkara keyakinan. Dikecualikan juga adalah peribadatan
mereka di tempat-tempat ibadah mereka, minuman dan makanan mereka. Selain
perkara-perkara tersebut (keyakinan, ibadah, minuman dan makanan), mereka
diwajibkan dan dipaksa untuk tunduk dan mengikuti hukum Islam dalam kehidupan
umum mereka. Dalil dalam hal ini adalah firman Allah dalam surah at-Taubah ayat 29
sebagai berikut:
حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صغرون
Artinya: “Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk (kepada hukum Islam)”. (TQS. At-Taubah [9]: 29)
2. Orang-orang musyrik Arab, mereka dipaksa untuk memeluk Islam, jika tidak
mereka akan dibunuh. Dalilnya adalah:
تقتلونهم أو يسلمونستدعون إلى قوم أولى بأس شديد
Artinya: “Kalian akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan
yang besar, kalian akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam)”.
(TQS. Al-Fath [48]: 16)
Kaum yang dimaksud dari ayat diatas adalah kalangan musyrik Arab.
Demikianlah penjelasan yang benar terhadap surah al-Baqarah ayat 256. Sama sekali
keliru jika ada yang menggunakan ayat ini sebagai hujjah untuk membela ide
pluralisme dan liberalisme, bahkan jelas sekali ayat ini kontradiktif dengan
pemahaman orang-orang bodoh tersebut. Semoga kita mendapatkan taufiq dari
Allah subhanahu wa ta’ala agar tetap berpegang pada al-‘urwah al-wutsqa sampai
akhir hayat kita. Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin.
*****
30 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Mengapa Radikalisme Tumbuh Subur
di Indonesia?
Dalam sebuah tulisan di Catatan Akhir Pekan (CAP) Hidayatullah.com berjudul
“’Radikalisme’ dan ‘Terorisme’, Adian Husaini mencoba mempertanyakan definisi
“radikalisme” sebagai sebuah istilah. Menurut beliau, hal tersebut sangat penting,
karena jika suatu istilah tidak memiliki definisi yang jelas, tentu akan menjadi rancu
dan sangat memungkinkan multi tafsir dan disalah gunakan. Pertanyaan menarik,
apalagi ketika istilah radikalisme kembali menyeruak, terutama setelah adanya
Simposium Nasional bertajuk “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme”,
yang menghadirkan banyak pemateri dari berbagai kalangan, Juli lalu.
Beberapa poin rekomendasi dari simposium nasional tersebut menyebutkan kata
“radikalisme” secara langsung. Misalnya poin: “Dukungan kepada Kementerian
Pendidikan Nasional agar menjauhkan lembaga pendidikan dasar, menengah dan
tinggi dari kemungkinan sebagai tempat persemaian radikalisme.” Kemudian poin:
“Pemerintah, media-massa maupun tokoh masyarakat seyogyanya menghindari
sikap dan tindakan yang bernada “memaklumi” atau “memaafkan” radikalisme
apalagi terorisme, karena melalui hal seperti itulah terorisme bertahan dan
berkembang. Khususnya MUI, perlu membuat dan mensosialisasikan fatwa-fatwa
yang tidak mendukung radikalisme dan terorisme “ Dan poin: “Mendorong studi-
studi radikalisme dan terorisme inter-disiplin yang akademis guna mendukung
pembuatan kebijakan dan langkah operasional BNPT dan instansi terkait lainnya.”
Bahkan dari keseluruhan 10 poin rekomendasi simposium nasional, is�lah radikal,
radikalisasi dan radikalisme menjadi primadona dan disandingkan dengan istilah
terorisme. Menarik jika kita coba hubungkan pertanyaan dari Adian Husaini dengan
hasil rekomendasi dari simposium nasional tersebut. Sebelumnya, menjadi catatan
penting juga, istilah radikalisme (dan terorisme) yang menjadi tajuk simposium
nasional yang diadakan oleh LSM Lazuardi Birru bekerjasama dengan beberapa
instansi tersebut sangat jelas menunjuk pada Islam. Ini misalnya terlihat pada poin
yang menghubung-hubungkan radikalisme dan terorisme dengan MUI yang
notabene merupakan lembaga keislaman.
31 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Mengutip Adian Husaini, beliau menyatakan bahwa John L. Esposito (yang juga beliau
kutip dari buku “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” hasil penelitian PPIM UIN
Jakarta) memaparkan ciri-ciri ideologi dari Islam radikal adalah: (1) mereka
berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan
bersifat total, sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat ;
(2) mereka seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekular
dan cenderung materislis�s harus ditolak ; (3) mereka cenderung mengajak
pengikutnya untuk ‘kembali kepada Islam’ sebagai sebuah usaha untuk perubahan
sosial ; (4) karena ideologi masyarakat Barat harus ditolak, maka secara otomatis
peraturan-peraturan sosial yang lahir dari tradisi Barat, juga harus ditolak ; (5)
mereka tidak menolak modernisasi sejauh tidak bertentangan dengan standar
ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan tidak merusak sesuatu
yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final ; (6) mereka berkeyakinan,
bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil tanpa
menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang
kuat.
Jika kita baca secara seksama hasil kajian John L. Esposito tersebut, maka akan sangat
jelaslah yang mereka maksud dengan radikal adalah setiap orang atau kelompok
yang menginginkan diterapkannya kembali Islam sebagai ideologi. Ini juga berarti
bahwa setiap orang yang ingin mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah secara
keseluruhan berarti radikal, karena ajaran Islam dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
sangat jelas menunjukkan bahwa Islam memang merupakan sebuah ideologi (dalam
bahasa Arab: mabda). Jadi siapa yang mereka tunjuk sebagai radikal dan pengusung
radikalisme sudah sangat jelas.
Dalam simposium nasional yang saya sebutkan di atas, hasil rekomendasi mencoba
menghubungkan radikalisme (dengan makna yang senada dengan uraian John L.
Esposito) dengan terorisme. Pada kelompok-kelompok yang dituduh (padahal
buktinya tidak kuat) melakukan aksi kekerasan atas nama Islam, baik pengeboman
maupun bentuk kekerasan dan teror lainnya, hubungan radikalisme dan terorisme
sangat jelas kelihatan. Bahkan, bagi kelompok yang menyatakan bergerak “tanpa
kekerasan” pun, tak luput mendapat cap yang sama. Mereka yang tak memiliki
image kekerasan, jika masih memegang ideologi Islam radikal (menurut John L.
Esposito), akan dianggap menginspirasi kekerasan. Misal: seruan jihad melawan
Israel, dianggap memprovokasi umat Islam melakukan aksi teror.
32 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Hasil rekomendasi dari simposium nasional sudah bergulir dan tentu kita akan
merasakan dampaknya. Namun, sebagai “wacana berbeda”, tulisan ini tentu tidak
bisa dengan mudah dituduh “menginspirasi terorisme”. Tulisan ini lebih kepada
sumbang saran bagi semua elemen umat Islam maupun bangsa Indonesia
(pemerintah, militer, parpol, LSM, dan masyarakat secara umum) untuk menilai dan
melihat sesuatu secara lebih proporsional. Misal saja, dibanding melakukan upaya
deradikalisasi Islam (dengan pengertian deideologisasi Islam atau lebih jelas
deislamisasi) yang pada faktanya tidak mungkin bisa dilakukan (karena Islam ideologi
merupakan tuntutan keimanan seseorang sebagai muslim), lebih baik mencoba urun
rembuk dengan berbagai pihak untuk mengatasi masalah-masalah riil di lapangan,
seperti korupsi, kerusakan moral, pencurian SDA oleh segelintir orang, dan hal-hal riil
lainnya. Semoga menjadi bahan diskusi.
*****
33 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Islam yang Rasional dan Toleran
“Senang saya membaca situs JIL. Isinya jauh dari emosi dan caci maki, dan selalu
mengajak kita untuk berpikir tenang dan rasional. Di seberang sana, yang
sebenarnya tidak jauh-jauh amat, ada situs yang isinya penuh dengan emosi dan
kelihatannya tiada tulisan tanpa caci maki, situs yang isinya mengajak kita untuk
membenci sesama umat Islam. JIL sebaiknya mempertahankan sikapnya, yaitu
istiqomah mengembangkan budaya Islam yang rasional dan toleran.“
Kutipan di atas merupakan komentar salah seorang pembaca tulisan Ulil Abshar-
Abdalla yang berjudul “Demokrasi dan Problem Konsensus” di situs islamlib.com
(diakses pada tanggal 28 Maret 2012). Islam yang rasional dan toleran, itulah yang
diusung oleh Jil, paling tidak menurut salah satu komentator situs JIL tersebut. Islam
dengan tipe ini kemudian coba dihadap-hadapkan dengan Islam yang penuh emosi
dan caci maki. Begitulah.
Pertanyaan besarnya, benarkah kelompok JIL dan kroni-kroninya memang benar-
benar rasional dan toleran? Mari kita lihat.
1. Kasus FPI
“Adalah kabar baik ke�ka Sabtu 11 Februari lalu masyarakat adat suku Dayak
menegaskan sikapnya menolak kehadiran FPI di Bandar Udara Cilik Riwut,
Palangkaraya. Mengapa kabar baik? Ini tidak berarti pihak-pihak yang selama ini
dibuat gerah oleh satu kelompok kecil yang kerap melakukan tindakan anarkis dalam
aksi-aksinya hendak merayakan sedikit kemenangan para pejuang pluralisme. Juga
bukan berarti kita melanggar kebebasan suatu kelompok masyarakat dalam
berserikat. Tetapi, ini berdasar pada kebutuhan mutlak manusia: kebebasan dari
tekanan.“
“Pelbagai alasan di atas dan pertimbangan lainnya yang muncul dalam pertemuan
itu, lantas pada sekitar pukul 17.00 WIB disepaka� kelahiran “Gerakan Indonesia
Tanpa FPI.” Gerakan ini memiliki satu visi: penolakan terhadap kekerasan atas nama
apapun. Tugas pertama yang ingin diembannya adalah menolak secara tegas
keberadaan FPI di Indonesia. Pernyataan sikap berupa petisi dan press release
mengenai penolakan ini menjadi prakondisi yang akan ditempuh gerakan ini. Petisi
34 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
akan diajukan di antaranya kepada Kemendagri, Kemenkumham, Polri dan kelompok
FPI itu sendiri. Di samping itu, gerakan ini pun akan memanfaatkan momentum
Valentine’s day (yang diharamkan FPI) sebagai hari di mana aksi penolakan terhadap
FPI akan dilakukan secara massif di Jakarta.“
(Dua paragraf di atas merupakan kutipan artikel yang berjudul “Indonesia Tanpa FPI“,
tulisan Evi Rahmawati di situs islamlib.com, diakses pada tanggal 28 Maret 2012)
Lihatlah. Ini salah satu bukti atas ketidak konsistenan mereka mengusung gagasan
toleransi. JIL dan yang semisalnya hanya akan toleran terhadap kelompok, orang
atau gagasan yang satu akar dengan mereka. Sedangkan kelompok, orang atau
gagasan yang berbeda apalagi bertentangan, secara sistematis akan mereka
upayakan tereliminasi dari negeri ini. Inilah watak mereka sesungguhnya.
Padahal, seandainya JIL dan kawan-kawannya konsisten, yang seharusnya disalahkan
dan dikritik adalah kelompok penghadang FPI, karena mereka telah melakukan
tindakan anarkis dan sangat intoleran terhadap kelompok yang berbeda. (berita
tentang kasus ini, bisa dibaca di: http://www.eramuslim.com/berita/nasional/sikap-
resmi-fpi-atas-penolakan-suku-dayak-terhadap-kehadiran-fpi.htm,
http://www.eramuslim.com/berita/nasional/siapa-yang-bermain-dalam-penolakan-
fpi-di-dayak.htm, h�p://hidayatullah.com/read/21133/13/02/2012/tokoh-adat%3A-
justru-warga-dayak-meminta-pendirian-fpi.html, dan
h�p://hidayatullah.com/read/21111/12/02/2012/habib-rizieq%3A-provokator-ingin-
rusak-hubungan-baik-fpi-dengan-dayak.html, semuanya diakses pada tanggal 28
Maret 2012).
2. Konsep Islam Nusantara dan Islam Substantif
“Ini adalah dampak dari Islam sebagai agama universal. Dalam quran disebut, “dan
kami utus kamu ya Muhammad sebagai penebar kasih sayang.” Artinya Islam itu
bukan hanya tumbuh di Timur Tengah tapi juga di seluruh dunia. di India
berkembang sebagai Qadian, di Persia ada Syiah, di Asia, Eropa dan Amerika.
Ketika Islam menjadi agama universal, maka ekspresi-ekspresi dalam bentuk mazhab
dan sekte adalah sesuatu bentuk keniscayaan, kita tidak mungkin membuat
parameter tunggal terhadap Islam lalu mengatakan, ini yang paling absah dalam
Islam. Ini yang terjadi pada masyarakat kita. bahwa pemahaman masyarakat
terhadap Islam hanya bersifat tekstual dan tidak bersifat kontekstual sosiologis
35 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
melihat bagaimana pengaruh-pengaruh sosial yang terjadi, ini akibat kita
menjadikan Arab sebagai kiblat dalam beragama, mestinya kita mendudukan Arab
sebagai salah satu parameter saja dan mencoba untuk memahami parameter-
parameter lain, kasus Ahmadiyah ini kalau kita tak hati-hati, maka keberagaman
islam di Indonesia akan punah, tidak bisa berkembang seperti hari ini, di mana islam
beradaptasi atau berakulturasi dengan kebudayaan.
Karenanya kita harus merumuskan dengan apa yang disebut Islam Nusantara, yakni
islam yang berbeda dengan Islam yang ada di Arab. Gus Dur dulu merumuskan, Islam
yang lebih mendekati kepada substansi ajaran Islam bukan pada aksesorisnya atau
simbol-simbolnya, atau hukum-hukumnya. Substansi Islam itu kalau kita tarik
keadilan, kedamaian, kesetaraan, kebijaksanaan, kalau kita tarik akan memperkuat
solidaritas di kalangan umat Islam sendiri dan umat agama lain, dan itu sesuai
dengan misi kenabian yang dibawa oleh Nabi Muhammad.“
(Tiga paragraf di atas merupakan kutipan wawancara Kompas dengan Zuhairi
Misrawi yang berjudul “Gus Mis: Ghulam Ahmad Nabi Bayangan“, diakses pada
tanggal 28 Maret 2012)
Jika yang dimaksud dengan rasional adalah sesuai dengan akal pikiran yang sehat,
maka gagasan yang dikemukakan oleh Zuhairi Misrawi di atas tidak rasional.
Alasannya sederhana saja:
a) Bagi muslim yang aqidahnya lurus, meyakini kebenaran dan kesempurnaan ajaran
islam adalah sebuah keniscayaan.
b) Mempertentangkan Islam Arab dengan Islam Nusantara sangat tidak relevan,
karena dua istilah tersebut tidak dikenal dalam Islam. Islam mainstream (yang
disebut oleh Zuhairi Misrawi sebagai Islam Arab. Istilah Islam mainstream pun
sebenarnya kurang tepat, saya cuma menggunakannya untuk memperjelas saja)
tidaklah lahir dari budaya Arab. Ia lahir dari wahyu.
Bagi yang pernah mengkaji sejarah Islam, tentu tahu bahwa banyak ajaran Arab yang
ditentang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak sesuai dengan
tuntunan wahyu dari Allah ta’ala. Karena gagasan Islam Arab tidak relevan, maka
gagasan Islam Nusantara tentu lebih tidak relevan.
36 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
c) Mempertentangkan Islam substantif dengan Islam formalistik juga tidak relevan.
Islam adalah aqidah dan syariah. Islam mencakup ibadah, muamalah, siyasah, hudud,
akhlak dan ajaran-ajaran lainnya yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, yang
kemudian terkodifikasi dalam kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh para ulama yang
keilmuannya diakui selama rentang waktu yang panjang.
Jika ada yang menyatakan bahwa substansi Islam adalah keadilan, kedamaian dan
persatuan, maka tiga hal tersebut hanya akan bisa terwujud jika hukum-hukum
formal Islam seperti politik Islam, ekonomi Islam, hudud, pemerintahan Islam, dan
seterusnya diterapkan. Keadilan misalnya –jika dipahami sebagai substansi Islam–,
tanpa penerapan hukum Islam secara formal, hanya akan menjadi pepesan kosong
belaka, tak akan pernah terwujud.
d) Keniscayaan beragamnya pemikiran dan pendapat di tubuh umat Islam memang
benar. Lahirnya berbagai madzhab dalam bidang fiqih dan aqidah misalnya
menunjukkan hal tersebut. Namun, yang kadang ditutupi oleh kalangan liberal
adalah, ulama (sebagai waratsah al-anbiyaa dalam ilmu) tetap punya standar dalam
menilai perbedaan tersebut. Pada kelompok atau pemikiran yang jelas-jelas
menyimpang dari pokok aqidah dan syariah Islam, ulama dengan tegas memvonis
kekafiran dan kesesatan mereka. Saat ini, hal ini misalnya berlaku pada Ahmadiyah
yang memiliki Nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Konsep Islam Rahmatan Lil ‘Aalamiin
Konsep lain yang juga menunjukkan tidak rasionalnya pemikiran JIL dan kawan-
kawannya adalah tentang rahmatan lil ‘aalamiin. Untuk sedikit memahami
kekeliruan fatal konsep rahmatan lil ‘aalamiin-nya kalangan liberal, silakan baca
tulisan saya yang berjudul “Makna Rahmatan Lil ‘Aalamiin, Antara Pluralisme dan
Islam“.
4. Gugatan Terhadap Klaim Kebenaran
“Tentu, pelabelan sesat dan kafir terhadap pihak yang disandarnya menimbulkan
dampak yang begitu besar. Kalau saya boleh katakan, pelabelan tersebut secara
tidak langsung kita boleh membunuh orang yang sudah dklaim sesat dan kafir
tersebut, atas berbedanya pandangan, pemikiran dan keyakinan. Begitu pula
sebaliknya manusia yang di tuduh sesat dan kafir itu melakukan sebuah pembelaan
atas haknya, bahkan saling tuduh kembali, melemparkan kesesatan itu pada yang
37 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
menuduhnya. Masalah yang muncul selanjutnya adalah perang klaim kebenaran dan
perang penyelamatan (truth claim-salvation). Kaum beragama mengaku bahwa
agama sendirinyalah yang paling benar dan agama yang lain itu salah. Hal ini
menurut D’adamo merupakan krisis epistemologis dalam agama berakar pada RWK
(religion way of knowing). Mengklaim bahwa teks agama itu pertama: bersifat
konsisten dan penuh dengan klaim kebenaran- tanpa kesalahan sama sekali. Kedua
bersifat lengkap dan final- jadi tidak ada kebenaran (tidak ada kebenaran di agama
lain), ketiga: teks-teks keagamaan itu dianggap satu-satunya jalan untuk
keselamatan, pencerahan, pembebasan. Dan keempat dalam bahasa aslinya
D’adamo have an inspired or divine author (god who is their true author).“
(Paragraf di atas merupakan kutipan artikel yang berjudul “Keyakinan sebagai
Wilayah Otonom Manusia“, tulisan Muhamad Isomuddin di situs islamlib.com,
diakses pada tanggal 28 Maret 2012)
Membaca kutipan paragraf di atas, saya bisa menyimpulkan satu hal, kelompok yang
menggugat truth claim bukan saja tidak rasional, namun sangat bodoh. Sederhana
saja kita melihatnya, jika kita sebagai muslim tak meyakini bahwa hanya agama Islam
saja yang akan menunjukkan jalan keselamatan dunia akhirat bagi kita, lalu untuk
apa kita menjadi muslim? Toh, agama lain pun –yang mungkin ‘beban’ perintah dan
larangannya tak seberat Islam– juga bisa menyelamatkan kita. Lihatlah kedunguan
logika ini.
Untuk tema truth claim ini, silakan baca juga tulisan saya yang berjudul “Mematikan
‘Truth Claim’, Menghidupkan Kebimbangan“.
*****
Seandainya ingin diungkap lebih lanjut, maka banyak sekali bukti yang menunjukkan
bahwa konsep ‘Islam yang rasional dan toleran’ yang dijajakan oleh JIL dan yang
serupa dengannya ternyata gagal mereka praktikkan sendiri. Gagasan mereka adalah
gagasan yang absurd.
Alhamdulillah, saat ini sudah banyak kalangan, baik muda maupun tua, yang sudah
mengetahui dan menyadari kebobrokan pemikiran liberal yang diusung oleh JIL dan
semisalnya. Namun, sayangnya kesadaran tersebut masih belum sampai ke akar
persoalan. Bagaimanapun, pemikiran nyeleneh ala Cak Nur, Gus Dur, dan Ulil hanya
bisa tumbuh dan berkembang di negara yang tidak berfungsi menjaga aqidah umat.
38 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Dalam negara yang sekularisme menjadi asas berdirinya, pemikiran sesesat apapun
akan diizinkan menetap di dalamnya. Di tengah-tengah masyarakat yang pemikiran
dan perasaannya teracuni oleh gagasan-gagasan sekuler dan anti syariah,
keberadaan JIL dan yang semisalnya akan selalu dan terus ada, paling banter mereka
hanya akan ganti baju.
Inilah akar masalahnya. Akar masalah dari berkembangnya pemikiran liberal yang
diusung JIL dan konco-konconya adalah tidak diterapkannya Islam secara kaffah. Dan
penerapan Islam secara kaffah hanya bisa terwujud jika ada institusi (negara, state,
daulah) yang berasaskan aqidah Islam yang menjaga keberlangsungan
penerapannya.
*****
39 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Makna Rahmatan Lil ‘Aalamiin, Antara
Pluralisme dan Islam
Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘aalamiin, begitulah ungkapan yang sering kita
dengar. Saking populernya ungkapan ini, begitu banyak orang yang
menggunakannya, dengan kepentingan masing-masing, kadang tanpa mengetahui
makna sebenarnya dari ungkapan tersebut.
Dalam sebuah berita di situs Republika.co.id, ketua umum Garda Bangsa, M. Hanif
Dakhiri misalnya menyatakan, “Jadi, Islam Indonesia itu ya Islam yang rahmatan lil
‘alamin. Itu pasti moderat, toleran, anti-kekerasan dan menolak ide negara Islam.
Yang mengusung panji-panji Islam tetapi tidak rahmatan lil ‘alamin saya kira bukan
Islam Indonesia. Itu Islam yang lain, yang asing dalam konteks kebudayaan
masyarakat Indonesia yang majemuk.”(sumber:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/08/19/lq5w9t-
ciriciri-islam-indonesia-islam-yang-rahmatan-lil-alamin, diakses pada tanggal 2
Februari 2012).
Di situs islamlib.com, Muzayyin Ahyar, mengutip Ulil Abshar Abdalla, menyatakan,
“Kemanusiaan, tegas Ulil, adalah nilai yang sejalan dengan Islam, bukan berlawanan
dengan Islam. Islam dengan pandangannya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin
mendskripsikan keuniversalan Islam tersebut. Allah bukan hanya Tuhan yang
diperuntukkan bagi etnis Arab saja, tetapi semua etnis dan suku yang mengakui dzat-
Nya dan menjalankan nilai universal yang merupakan the greatest goal dari sebuah
praktek yang telah di buat oleh-Nya.” (sumber:
http://islamlib.com/id/artikel/menyortir-aspek-lokalitas-mengambil-aspek-
universalitas-islam, diakses pada tanggal 2 Februari 2012).
Marzuki Wahid, Direktur Fahmina Institute, menyatakan, “Islam-murni (puritan) bagi
mereka adalah Islam sebagaimana dijalankan Rasulullah SAW selama hidupnya di
Arab pada abad ketujuh Masehi di padang pasir, yang belum mengenal teknologi
secanggih hari ini. Demi menjaga kemurnian ajaran Islam, penganut Islam di
manapun berada diharuskan meniru dan mengikuti “Islam masa Rasulullah” dengan
keseluruhan budaya dan tradisi kearabannya. Jika model Islam ini yang diikuti, maka
yang terjadi adalah arabisasi, pengaraban dunia. Jika Islam adalah arabisasi, maka
40 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Islam tentu bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis (sebab kata “Arab” adalah
konsep politik). Jika Islam bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis, maka tentu
bertentangan dengan misi utama Islam sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin,
menebarkan cinta-kasih kepada seluruh umat manusia di dunia dan segala ciptaan
Tuhan di alam semesta.” (sumber:
h�p://wahidins�tute.org/Opini/Detail/?id=279/hl=id/Inspirasi_Dari_Pemikiran_Gus_
Dur, diakses pada tanggal 2 Februari 2012).
Lihatlah tiga contoh pernyataan di atas, semuanya memaknai Islam rahmatan lil
‘aalamiin sebagai Islam yang anti kekerasan, Islam yang toleran terhadap semua
perbedaan, serta Islam yang tidak mengikuti Islam ala Arab. Jika kita telisik lebih
dalam, yang dimaksud anti kekerasan oleh mereka bukanlah sekedar kekerasan fisik,
namun juga kekerasan pemikiran.
Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin, versi mereka, adalah Islam yang harus selalu
menerima perbedaan yang ada di tengah-tengah umat Islam, baik perbedaan itu
dalam perkara-perkara furu’i maupun ushuli. Jadi, Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin
adalah Islam yang menerima Ahmadiyah –yang menyatakan ada Nabi setelah Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagai bagian dari Islam.
Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin, versi mereka, adalah Islam yang mengakomodasi
berbagai kemaksiatan, karena menurut mereka, tidak ada pemahaman baku
terhadap kemaksiatan itu sendiri. Sebagai contoh, orang yang murtad, dalam
literatur fiqih Islam, adalah pelaku kemaksiatan yang sangat besar dan layak dihukum
berat, namun bagi pengusung Islam rahmatan lil ‘aalamiin, orang murtad harus
dibiarkan hidup bebas dan tidak boleh diganggu sama sekali. Mengikuti perayaan
agama non-Islam, dalam khazanah fiqih Islam, adalah terlarang, namun bagi
pengusung Islam rahmatan lil ‘aalamiin, mengikuti misa natal di gereja sama
pentingnya dengan shalat di masjid.
Bagi kelompok ini, Islam ala Arab adalah musuh utama. Jilbab (baju kurung panjang),
bagi mereka, adalah pakaian wanita khas Arab dan tidak cocok dipakai di Indonesia.
Hukum potong tangan bagi pencuri dan qishash bagi pelaku pembunuhan, menurut
mereka adalah hukuman khas Arab yang kejam dan kurang beradab, sehingga
penerapan hukuman semacam itu harus dihindari. Konsep Khilafah Islamiyah, bagi
mereka adalah konsep khas Arab, dan tidak cocok untuk bangsa Indonesia yang
majemuk.
41 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Kesimpulannya adalah, Islam rahmatan lil ‘aalamiin versi Ulil dan kawan-kawan
sebenarnya bukanlah Islam rahmatan lil ‘aalamiin, melainkan ‘Islam semau gue’.
Demi mengusung ide pluralisme agama, mereka berani mengubah makna-makna
dalam al-Qur’an, bahkan memelintir tafsirnya agar sesuai dengan pemahaman
mereka. Ulil dan kawan-kawan sejatinya tidak mengusung Islam rahmatan lil
‘aalamin, melainkan sedang menjajakan pluralisme dan kekufuran berpikir dengan
bungkus agama.
Makna Rahmatan Lil ‘Aalamin yang Sebenarnya
Dalam tradisi Islam, tak semua orang boleh berbicara dan menjadi rujukan dalam
agama. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum ia
layak berbicara. Dan tradisi ini adalah tradisi yang baik, yang harus terus dilestarikan.
Dari tradisi semacam inilah, kemurnian ajaran Islam terus bertahan selama belasan
abad.
Di bidang yang berbeda pun hal ini sebenarnya ada dan terus berlaku. Sebagai
contoh, seseorang tak berhak berbicara tentang dunia pengobatan dan kedokteran
sebelum mendalami ilmu kedokteran yang standar selama bertahun-tahun.
Seseorang tak layak dan tak berhak menjadi pilot pesawat terbang, sebelum sekolah
di bidang tersebut dalam rentang waktu tertentu dan akhirnya dianggap layak
menjadi pilot. Jika ada orang yang tak punya kapabilitas sebagai pilot mencoba
mengemudikan pesawat terbang, kita tentu bisa membayangkan apa yang akan
terjadi.
Demikian pula untuk memahami makna-makna al-Qur’an, bagi yang tak punya
kapasitas keilmuan yang mencukupi, lebih baik mengikuti pendapat ‘ulama yang
diakui keilmuannya. Imam Ibn Katsir rahimahullah adalah salah satu ‘ulama tafsir
paling berpengaruh, dan kitab tafsir yang ditulis oleh beliau diakui selama beratus
tahun sebagai salah satu kitab tafsir terbaik dan layak menjadi rujukan umat Islam.
Bagaimana Imam Ibn Katsir memahami makna rahmatan lil ‘aalamiin? Sebagaimana
kita ketahui, ungkapan Islam rahmatan lil ‘aalamiin merujuk pada al-Qur’an surah al-
Anbiyaa’ ayat 107, yang berbunyi:
وما أرسلناك إال رحمة للعالمين
42 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Artinya: “Dan tidaklah Kami mengutusmu (wahai Muhammad) kecuali sebagai
rahmat bagi seluruh alam.”
Mengomentari ayat ini, Imam Ibn Katsir berkata:
أرسله رحمة لهم كلهم، فمن : رحمة للعالمين، أييخبر تعالى أن اهللا جعل محمدا صلى اهللا عليه وسلم
قبل هذه الرحمة وشكر هذه النعمة، سعد في الدنيا واآلخرة، ومن ردها وجحدها خسر في الدنيا واآلخرة
Artinya: “Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia menjadikan Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Maksudnya adalah, Allah
mengutusnya sebagai rahmat bagi mereka seluruhnya. Barangsiapa menerima
rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, maka ia akan bahagia di dunia dan akhirat,
dan barangsiapa yang menolak dan mengingkarinya, maka ia akan merugi di dunia
dan akhirat.”
Setelah berkomentar seperti di atas, Imam Ibn Katsir kemudian mengutip ayat al-
Qur’an yang berhubungan dengan tema ini, yaitu surah Ibrahim ayat 28 dan 29,
sebagai berikut:
دار البوار ؛ جهنم يصلونها وبئس القرارألم تر إلى الذين بدلوا نعمة اهللا كفرا وأحلوا قومهم
Artinya: “Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah
dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?, Yaitu neraka
Jahannam, mereka masuk ke dalamnya, dan Itulah seburuk-buruk tempat
kediaman.”
Dari penjelasan Imam Ibn Katsir di atas, bisa kita pahami bahwa diutusnya Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam –membawa diin Islam– merupakan rahmat atau kasih
sayang bagi seluruh alam. Namun, manusia menyikapi hadirnya rahmat ini dengan
dua sikap. Pertama, yang menerima rahmat ini dan mensyukuri kehadirannya.
Orang-orang yang menerima rahmat ini adalah orang-orang yang menjadikan Islam –
yang dibawa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagai diin mereka, mereka
akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Kedua, yang menolak dan yang mengingkari, yaitu orang-orang yang menolak seruan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk hanya berpegang pada diin Islam,
mereka akan merugi di dunia dan di akhirat.
43 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Dari penjelasan Imam Ibn Katsir di atas, kita tidak menemukan makna rahmatan lil
‘aalamiin sebagaimana yang dipahami kelompok liberal dan pendukung pluralisme.
Bahkan, di banyak ayat, al-Qur’an memberi garis yang sangat tegas antara keimanan
dan kekufuran, antara ketaatan dan kemaksiatan.
Penjelasan yang serupa dengan yang disampaikan oleh Imam Ibn Katsir juga kita
temukan di kitab at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj karya
ulama kontemporer, Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah. Beliau mengatakan:
وهديه وأحكامه إال لرحمة جميع العالم من اإلنس والجن في وما أرسلناك يا محمد بشريعة القرآنأي
الدنيا واآلخرة، فمن قبل هذه الرحمة، وشكر هذه النعمة، سعد في الدنيا واآلخرة، ومن ردها وجحدها،
خسر الدنيا واآلخرة
Artinya: “Maknanya yaitu, dan Kami tidak mengutusmu wahai Muhammad dengan
syari’ah, petunjuk dan hukum-hukum al-Qur’an kecuali sebagai rahmat bagi seluruh
alam, dari kalangan manusia dan jin, di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang
menerima rahmat ini dan mensyukuri nikmat ini, maka ia akan bahagia di dunia dan
akhirat, dan barangsiapa yang menolak dan mengingkarinya, ia akan merugi di dunia
dan di akhirat.”
Lihatlah, dengan sangat tegas Dr. Wahbah az-Zuhaili menyatakan yang dimaksud
dengan rahmat bagi seluruh alam itu adalah syari’ah, petunjuk dan hukum-hukum al-
Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jauh sekali
dari pemahaman kalangan liberal yang memaknai Islam rahmatan lil ‘aalamiin
sebagai Islam yang meniadakan banyak sekali hukum-hukum al-Qur’an hanya demi
toleransi dan keragaman yang semu.
***
Hadirnya Islam di tengah-tengah kita merupakan rahmat dari Allah subhanahu wa
ta’ala. Bahkan Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berdasarkan riwayat dari Imam ath-
Thabari rahimahullah, menyatakan bahwa orang-orang kafir pun merasakan rahmat
ini, yaitu dengan diselamatkannya mereka dari bencana yang ditimpakan kepada
orang-orang kafir dari umat-umat terdahulu, seperti ditenggelamkan ke dalam bumi,
atau ditenggelamkan ke dalam air. Tentu di akhirat orang-orang kafir ini tetap akan
mendapat siksa, dan di dunia pun hidup mereka tidak akan bahagia.
44 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Saat ini, kita berada pada dua pilihan, menerima dan mensyukuri adanya rahmat
Allah ini, dengan hanya menjadikan diin Islam sebagai way of life. Atau sebaliknya,
mengingkari rahmat Allah ini, dengan mengusung ide dan pemikiran yang
bertentangan dengan diin Islam. Di manakah posisi kita?
*****
45 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Membendung Arabisasi Ala Abdul
Moqsith Ghazali
Saya tertarik menanggapi tulisan Abdul Moqsith Ghazali di situs Islamlib.com yang
berjudul “Ulama Arab dan Ulama Indonesia”. Sebagai seorang yang ingin bersikap
objektif, saya akui tulisan Abdul Moqsith Ghazali ini punya semangat positif yang
harus diapresiasi yaitu bahwa tidak ada bedanya antara Arab dan ‘Ajam, tidak ada
bedanya antara ulama Arab dan ulama ‘Ajam, yang membedakan satu dengan yang
lain hanyalah kualitas ketaqwaan dan keilmuwannya. Saya yakin kita semua sepakat
dengan hal ini.
Tapi, kita patut curiga dengan tulisan dari Abdul Moqsith Ghazali tersebut karena
sepak terjangnya dan kelompok JIL-nya yang selama ini selalu berusaha
menghancurkan Islam dan ajaran Islam yang mulia dari dalam. Kecurigaan ini
menjadi semakin berdasar ketika kita membaca utuh tulisannya tersebut. Coba kita
analisa secara sederhana beberapa kutipan tulisannya di artikel tersebut.
“Sementara para ulama non-Arab dianggap pinggiran dan karya-karyanya
dipandang sebelah mata. Ini, salah satunya, karena ulama non-Arab diposisikan
sebagai orang ‘ajam (asing) yang tak cukup memadai untuk memahami detail dan
seluk beluk ajaran Islam, agama yang memang pertama kali lahir di Arab. Jika
orangnya dianggap `ajam, maka kitab-kitabnya pun dianggap ghair mu`tabarah
(kurang absah), sehingga tak pantas menjadi referensi umat Islam.”
Dari kutipan paragraf diatas, kita bisa melihat bahwa ada pernyataan yang membabi
buta dari seorang Abdul Moqsith Ghazali yang seakan-akan ingin memprovokasi
umat Islam Indonesia bahwa ada ketidakadilan dalam dunia Islam. Seakan-akan karya
ulama non-Arab dianggap tak bermutu dan tak berguna di dunia Islam. Pernyataan
ini jelas berbahaya karena akan semakin memicu perpecahan dunia Islam yang
memang sekarang sudah pecah. Pernyataan ini juga ternyata tak benar-benar sesuai
fakta karena ada banyak karya ulama Indonesia kontemporer yang diakui di dunia
internasional, misalnya: DR. Sayyid Muhammad Aqil al-Mahdaly (Bugis) dari ‘Ain
Syams, yang telah mengarang lebih 50 judul buku tentang aqidah dan filsafat dan
diterbitkan oleh Darul Hadits Mesir; DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni (Bugis) dari
Cairo Univ. thesis master beliau (Masail alal-I’tiqadiyah Inda al-Imam al-Qurthubi) di
46 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
cetak oleh Muassasah al-’Alya Mesir th 2006. dan Thesis Ph.D (Mauqif az-Zaidiyah
wa Ahli as-Sunnah Min Aqidah al-Bathiniyah wa Falsafatuha) tahun ini sedang proses
cetak di Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut. Itu baru beberapa contoh dari sekian banyak
karya ulama Indonesia yang diakui dunia Islam.
“Keulamaan dalam Islam makin kuat beraroma Arab-Timur Tengah. Para ilmuwan
dari sana menjadi kiblat dan kitab-kitabnya serta fatwa-fatwanya menjadi rujukan
umat Islam yang tinggal di kawasan lain. Dahulu, Ratu Kamalat Sjah dimakzulkan
sebagai Ratu Kerajaan Aceh Darussalam (tahun 1699), setelah ulama Mekah
mengharamkan perempuan menjadi pemimpin atau ratu. Sebagian ulama nusantara
pernah menolak Megawati sebagai (calon) presiden berdasar pada fatwa ulama
Arab. Ketika terjadi soal atau kasus di suatu kawasan, para tokoh agama di daerah
itu kerap meminta jawaban pada ulama Timur Tengah, seperti Yusuf Qardawi,
Wahbah al-Zuhaili, dan lain-lain. Mereka mentaklid pendapat-pendapat yang datang
dari sana. Walhasil, Arab merupakan sumber otoritas keulamaan dan parameter
kesahihan sebuah tafsir dalam Islam. Sehingga, pengembangan keilmuan Islam pun
bisa efektif kalau dilakukan para ulama Arab-Timur Tengah.”
Dari konstruksi tulisan Abdul Moqsith Ghazali diatas, jelas ada upaya penyesatan
terhadap pemahaman umat Islam. Contoh yang digunakan untuk menunjukkan
hegemoni ulama Arab atas ulama Indonesia adalah tentang keharaman perempuan
sebagai penguasa. Disini Abdul Moqsith Ghazali ingin mengambil dua keuntungan
sekaligus, pertama dia ingin menunjukkan bahwa selama ini kita terlalu percaya
dengan ulama Arab-Timur Tengah dan sebaliknya menafikan keberadaan ulama
Indonesia, dan yang kedua, dia ingin menunjukkan bahwa keharaman perempuan
sebagai penguasa hanya pendapat ulama Arab yang masih sangat perlu untuk
diperdebatkan. Padahal kalau kita mau menelaah kitab-kitab klasik dan kontemporer
tulisan ulama seluruh dunia, bukan hanya Arab tapi juga Andalusia, India, Asia
Tengah termasuk Indonesia, jelas sekali tidak ada perbedaan pendapat bahwa
perempuan haram menjadi penguasa. Hanya cendekiawan keblinger yang
menentang pendapat ini.
Jelas, ada motif tersembunyi dari tulisan Abdul Moqsith Ghazali ini, yaitu
penentangan terhadap Islamisasi di Indonesia. Kalangan liberal, yang merupakan
antek zionis, berusaha sekuat tenaga untuk membendung semakin berkembangnya
Islam politik yang mengusung ide penerapan Syariah Islam secara kaffah dan
47 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
persatuan asasi umat Islam. Mereka mencoba menghembuskan keburukan ide
Islamisasi yang disama artikan dengan Arabisasi. Mereka menyebarkan teror bahwa
dengan Islamisasi dan Arabisasi umat Islam Indonesia akan kehilangan identitasnya
dan akan terpinggirkan. Mereka kemudian mencoba merusak konstruksi Syariah
Islam yang sudah baku dengan mewacanakan Fiqh Indonesia, yang sangat kelihatan
tak berdalil tapi tapi lebih banyak bertendensi hawa nafsu. Mereka juga mencoba
meruntuhkan kewibawaan ulama Arab-Timur Tengah, salah satunya dengan tulisan
Abdul Moqsith Ghazali tersebut, kemudian menawarkan ‘ulama Indonesia’ dari
kalangan mereka sendiri seperti Nurcholis Madjid, Masdar F Mas’udi, Ulil Abshar
Abdalla termasuk Abdul Moqsith Ghazali sendiri untuk dijadikan rujukan umat Islam
Indonesia.
*****
48 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Konsep Keliru Desakralisasi Al-Qur’an
Berbagai upaya dilakukan oleh kelompok yang tidak senang dengan Syariah Islam
untuk menghalang-halangi upaya penerapan Syariah Islam. Salah satu upaya yang
mereka lakukan adalah merusak sakralitas Al-Qur’an. Al-Qur’an yang menurut ijma’
umat Islam merupakan hal yang sakral karena merupakan kalamullah, tuntunan
hidup bagi manusia dan tak akan pernah berubah sepanjang masa kemudian mau
dirusak oleh mereka dengan konsep bahwa Al-Qur’an merupakan produk budaya,
yang berarti buatan manusia atau minimal ada campur tangan manusia dalam
pembentukannya.
Upaya yang jika berhasil disepakati umum akan secara otomatis menutup peluang
untuk memunculkan Syariah Islam di tengah-tengah kehidupan. Kekuatan Syariah
Islam yang terletak pada kekhasannya dibanding sistem lain yaitu berasal dari Allah
yang lebih tahu tentang apa yang terbaik bagi manusia akan serta merta hilang. Islam
yang bersumberkan Al-Qur’an adalah produk budaya, hasil karya pikiran manusia,
sehingga sama saja dengan sistem sekuler yang ada sekarang. Kalau seperti itu,
untuk apa kita memperjuangkan Syariah Islam?
Wacana desakralisasi Al-Qur’an semakin menguat ketika Nasr Hamid Abu Zayd,
seorang intelektual Mesir, menyatakan pendapatnya bahwa Al-Qur’an adalah produk
budaya (muntaj tsaqafi) sekaligus produsen budaya (muntij li ats-tsaqafah) (Mafhum
al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 1994, edisi
II dalam Adnin Armas, Kritik Terhadap Teori Al-Qur’an Abu Zayd). Pendapat ini
jugalah yang kemudian diusung oleh kalangan anak muda liberal di Indonesia
pengagum Nasr Hamid Abu Zayd.
Konsep yang ditawarkan Nasr Hamid Abu Zayd ini terlihat dengan sangat jelas
memiliki banyak kelemahan. Kelemahan yang paling mendasar adalah pendapatnya
yang menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah produk budaya dan sekaligus
sebagai produsen budaya. Hal ini jelas sangat kontradiktif dan membingungkan. Al-
Qur’an sebagai produsen budaya, berarti Al-Qur’an telah berhasil mengubah budaya
Arab Jahiliyah pada saat datangnya Islam menjadi sebuah kebudayaan baru yaitu
kebudayaan Islam. Ini yang selama ini kita kenal dan kita pahami. Tetapi menjadi
sebuah keanehan ketika Nasr Hamid juga menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan
49 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
sebuah produk budaya. Al-Qur’an sebagai produk budaya, berarti Al-Qur’an
merupakan hasil cipta kebudayaan pada masa itu yaitu budaya Arab Jahiliyah.
Ar�nya sepanjang 23 tahun turunnya Al-Qur’an, Al-Qur’an terbentuk dari realitas dan
budaya bangsa Arab pada rentang waktu tersebut.
Konsep yang ditawarkan Nasr Hamid ini, kalau coba kita analisa, merupakan sebuah
konsep kompromi. Nasr Hamid sebagai salah seorang pionir paham liberalisme di
dunia Islam mencoba untuk melakukan desakralisasi dan delegitimasi Al-Qur’an
dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah produk budaya, sehingga
Al-Qur’an sangat terkait dengan kebudayaan Arab pada abad ke-7 dan sudah �dak
layak pakai lagi bagi masyarakat modern abad ke-21. Tetapi kemudian konsepsi
lemah yang ditawarkan Nasr Hamid ini coba untuk dibuat terkesan ilmiah dan
rasional dengan mengatakan Al-Qur’an selain sebagai produk budaya juga
merupakan produsen budaya. Fakta Al-Qur’an sebagai sebuah produsen budaya,
yang mengubah budaya bangsa Arab Jahiliyah menjadi kebudayaan Islam yang
sangat tinggi, terasa begitu kuat dan dipahami bahkan oleh orang awam sekalipun.
Fakta ini, bagi Nasr Hamid, tentu tak bisa serta merta dinafikan kemudian diberikan
tawaran yang jauh berbeda.
Konsep Al-Qur’an sebagai sebuah produk budaya, didasarkan pada pemahaman awal
bahwa sebuah kebudayaan tidak dapat dipisahkan dengan bahasa. Keterkaitan
bahasa dan budaya menjadikan Al-Qur’an yang merupakan teks bahasa (nash
lughawi) kemudian juga diartikan sebagai teks manusiawi (nash insani). Walaupun
Al-Qur’an merupakan teks ilahi (nash ilahi) tetapi kemudian termanusiawikan karena
berada dalam ruang dan waktu tertentu. Menurut konsep ini, akulturasi Al-Qur’an
sebagai teks ilahi menjadi teks manusiawi bahkan sudah terjadi pada kali pertama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan teks Al-Qur’an di hadapan para
Shahabat. Pemahaman Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atas teks
mempresentasikan tahap paling awal interaksi teks dengan akal manusia, yang
kemudian menjadi sebuah kebudayaan. Konsep ini jelas bertentangan dengan firman
Allah sendiri: “Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan
atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian kami
potong pembuluh jantungnya” (Al-Haqqah: 44–46). Allah juga berfirman: “Dan
tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut hawa nafsunya. Tidak lain (Al-
Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan” (An-Najm: 3–4). Dari ayat-ayat diatas
50 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Allah dengan sangat tegas telah menyatakan bahwa tidak ada sedikitpun campur
tangan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap teks Al-Qur’an.
Fakta ini semakin diperkuat dengan fakta sirah nabawiyah, bahwa Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasul yang ummi, tidak bisa baca dan tulis
(Lihat Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam dan Shafiyurrahman Al-Mubarakfury). Fakta ini
menafikan sama sekali campur tangan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam teks Al-Qur’an yang memiliki nilai kekuatan bahasa yang sangat tinggi, yang
meniscayakan pembuatnya atau minimal pihak yang turut campur dalam
pembuatannya memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang bacaan dan tulisan
Arab.
Kemurnian Al-Qur’an dari campur tangan manusia juga terlihat dari banyak bagian
teks Al-Qur’an yang memiliki makna baru yang berbeda dari makna yang dipahami
oleh bangsa Arab pada abad ke-7. Kata ‘karamah’, misalnya, yang sebelumnya
bermakna ‘memiliki banyak anak, harta, dan karakter tertentu yang merefleksikan
kelelakian’, diubah Al-Qur’an dengan memperkenalkan unsur ketakwaan (taqwa).
Contoh lain, juga pada ‘ikhwah’, yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan
kesukuan. Ini diubah maknanya oleh Al-Qur’an, dengan memperkenalkan gagasan
persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada
persaudaraan darah (lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy
and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original
Concept of Islamization – Kuala Lumpur: ISTAC, 1998, dalam Adnin Armas, Kritik
Terhadap Teori Al-Qur’an Abu Zayd).
Jelas sekali, tawaran konsepsi Al-Qur’an sebagai produk budaya yang bertujuan
untuk melakukan desakralisasi terhadap Al-Qur’an merupakan konsepsi yang lemah
dan mengada-ada. Konsep ini juga semakin membuktikan bahwa ada upaya
sistematis dari musuh-musuh Islam untuk menghancurkan sendi-sendi ajaran Islam.
Mereka tak sudi Islam kembali jaya dan menjadi mercusuar peradaban dunia.
Sayangnya, langkah ini diikuti oleh anak-anak kaum muslim sendiri yang sangat
bangga dengan label pengusung Islam liberal.
*****
51 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Wacana Kebenaran Islam Pluralis
Dengan melepas klaim-klaim kebenaran dan penyelamatan yang berlebihan,
mengoreksi diri tentang standar ganda yang sering kita pakai terhadap agama orang
lain, dan selanjutnya memperluas pandangan inklusif mengarah kepada pandangan
yang pluralis dari teologi kita sendiri, agama-agama akan mempunyai peranan
penting di masa depan, dalam membangun dasar spiritualitas dan peradaban
masyarakat kita. “Kita para penganut agama akan bertemu dalam the road of
life (jalan kehidupan yang sama).” Kata Bhagavan Das dalam bukunya, The Essential
Unity of All Religions (1966: hlm. 604). “Yang datang dari jauh, yang datang dari
dekat, semua kelaparan dan kehausan: Semua membutuhkan roti dan air kehidupan,
yang hanya bisa didapat melalui kesatuan dengan The Supreme Spirit.”
Kutipan paragraf diatas merupakan sebuah Kata Pengantar dari Budhy Munawar-
Rachman dalam bukunya yang lumayan tebal: ISLAM PLURALIS, Wacana Kesetaraan
Kaum Beriman. Buku yang bermotifkan keinginan untuk membumikan ajaran Islam
Pluralis di tengah masyarakat muslim Indonesia ini berisikan banyak sekali justifikasi
atas keabsahan konsep pluralisme dalam Islam. Saya akan mencoba sedikit
mengkritisi buku tersebut, terutama dari bagian tulisan kata pengantar yang saya
kutip diatas.
Seperti sudah lazim kita ketahui, ajaran pluralisme didasarkan pada asas
ketidakpercayaan terhadap wahyu Tuhan. Hampir setiap tulisan tentang pluralisme
dari para pengusung ajaran tersebut berisikan kritik dan sikap skeptis terhadap teks-
teks ayat suci yang telah mapan. Dan hanya dengan sikap inilah pluralisme bisa
dikembangkan. Jika konsep pluralisme masih mengacu pada ayat suci semisal Al-
Qur’an maka konsep tersebut akan runtuh sebelum ia sempat dibangun. Maka yang
harus menjadi landasan sikap kita ketika menganalisa hasil pemikiran dari para
pengusung pluralisme adalah bahwa mereka merupakan kelompok orang yang tidak
mempunyai keimanan terhadap wahyu Allah sehingga setiap hasil pemikiran mereka
berasaskan kekufuran.
Dari kutipan kata pengantar buku ISLAM PLURALIS diatas, dapat kita lihat beberapa
kesalahan mendasar dari pemikiran mereka. Yang pertama adalah kewajiban untuk
melepas klaim-klaim kebenaran dan konsep penyelamatan dari semua agama.
52 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Artinya kalau kita mau menjadi seorang muslim pluralis kita harus melepaskan
keyakinan akan kebenaran agama yang kita anut. Mari kita bandingkan pemahaman
ini dengan teks Al-Qur’an: “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-
kali tidak akan diterima (agama itu) darinya.” (TQS. Ali Imran: 85). Coba saja
sampaikan ayat ini kepada pengusung ajaran pluralisme Islam, tentu mereka akan
mengatakan bahwa ayat ini perlu ditafsirkan ulang agar sesuai dengan pemahaman
mereka. Atau mungkin lebih ekstrim, mereka akan mengatakan bahwa ayat ini
sebenarnya hanya merupakan tambahan yang dimasukkan oleh cendekiawan muslim
klasik ke dalam mushaf.
Yang kedua, adalah tuduhan mereka bahwa muslim yang tidak mengikuti paham
pluralisme menggunakan standar ganda terhadap agama orang lain. Coba kita simak
kutipan dari bagian lain kata pengantar Budhy Munawar-Rachman: “Dalam soal
teologi misalnya, standar yang menimbulkan kebingungan itu adalah standar bahwa
agama kita adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedangkan agama
lain adalah hanya konstruksi manusia –atau mungkin juga berasal dari Tuhan, tapi
telah dirusak oleh konstruksi manusia. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya
dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah
agama kita sendiri”. Secara halus, sang penulis ingin menyesatkan pemikiran umat
Islam dengan pernyataan bahwa ada dua kemungkinan yang sama-sama mungkin
yaitu semua agama benar atau semua agama salah. Jelas sekali pemahaman ini
berbeda dengan konsep kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai
Allah subhanahu wa ta’ala. “Dan telah kuridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian”.
(TQS Al-Maidah: 3). Ditambah dengan pernyataan Allah pada Ali Imran ayat 85 yang
saya tulis diatas, jelas sekali Al-Maidah ayat 3 ini menunjukkan mafhum mukhalafah
bahwa selain agama Islam tidak diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Yang ketiga, adalah kebingungan para pengusung pluralisme tentang konsep
kebenaran itu sendiri. Berbagai pernyataan dan teori yang mereka sampaikan yang
kelihatannya sangat ilmiah, menunjukkan kelemahan cara berpikir mereka. Mereka
hanya mampu menunjukkan kesalahan beragama para penganut agama sekarang –
ini menurut klaim mereka– tapi sepertinya mereka tak pernah mampu menunjukkan
kebenaran itu sendiri. Coba saja rangkai berbagai tulisan mereka kemudian kita lihat
secara seksama, maka kita akan menemukan keanehan dan keganjilan dari pemikiran
mereka yang disebabkan oleh kebingungan mereka. Dan itu merupakan konsekuensi
53 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
wajar terhadap orang yang tak mau beriman terhadap ayat-ayat Allah subhanahu wa
ta’ala.
*****
54 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Mematikan ‘Truth Claim’,
Menghidupkan Kebimbangan
Salah satu gagasan utama para pendukung pluralisme adalah membuang klaim
kebenaran (truth claim). Mereka beranggapan, truth claim-lah yang menyebabkan
banyaknya konflik antar umat beragama, sikap intoleran, bahkan terorisme. Apakah
anggapan ini benar? Jelas sekali anggapan ini keliru, jauh dari kebenaran dan
berdasarkan asumsi yang mentah.
Bagi seorang muslim, truth claim merupakan ‘harga mati’. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman di dalam surah Ali ‘Imran ayat 19:
إن الدين عند اهللا اإلسالم
Allah ta’ala juga berfirman dalam surah Ali ‘Imran ayat 85:
ومن يبتغ غير اإلسلم دينا فلن يقبل منه وهو في األخرة من الخسرين
Dua ayat di atas menunjukkan klaim kebenaran (truth claim) yang dimiliki oleh Islam.
Saya yakin, di agama lain juga punya konsep seperti ini.
Secara ‘aqli, truth claim merupakan hal yang wajar dan ‘wajib’ ada di setiap ajaran
agama. Mengapa? Jelas, karena setiap agama (diin) hadir membawa sebuah ajaran
sekaligus menafikan ajaran-ajaran selainnya. Coba pikirkan, mengapa Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam rela meninggalkan kenikmatan hidup
duniawi untuk memperjuangkan Islam, bahkan harus bersitegang dan berperang
dengan suku, kabilah dan keluarga beliau sendiri demi meninggikan kalimat Islam?
Jawabannya tentu karena Rasulullah dan para shahabat beliau meyakini kebenaran
Islam dan mengingkari kebenaran ajaran-ajaran lain selain Islam. Jika beliau tidak
berpikiran seperti itu, tentu lebih baik beliau hidup tenang-tenang saja di Makkah.
Sekarang mari kita telanjangi kesalahan pemikiran para pendukung pluralisme
tentang konsep ini.
1. Benarkah truth claim menyebabkan konflik berkepanjangan antar umat
beragama?
55 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Jika kita sedikit saja mencoba mempelajari sejarah kegemilangan Islam sejak pertama
kali tumbuh di Madinah sampai kemudian mendunia, kita akan mengetahui bahwa
umat yang paling toleran terhadap perbedaan adalah umat Islam. Tentang
perbedaan suku dan kelas sosial, tak perlu diperjelas lagi. Cahaya Islam terlalu terang
untuk ditutupi dan dibuat buram. Islam telah menegaskan bahwa ukuran kemuliaan
adalah ketaqwaan, bukan suku, ras, ekonomi atau kelas sosial.
Tentang toleransi antar umat beragama, Madinah di masa Nabi adalah contohnya. Di
sana, selain Islam hidup pula orang-orang Yahudi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallammembiarkan mereka dan bersikap sangat toleran dengan mereka. Yahudi baru
diusir dari Madinah karena pengkhianatan mereka terhadap perjanjian yang telah
mereka buat bersama umat Islam.
Sikap toleran ini juga terpampang jelas di dunia Islam. Dulu, –ketika Palestina masih
di bawah kepemimpinan Islam– Yahudi, Nasrani dan Islam bisa hidup berdampingan
dan tidak ada konflik seperti sekarang. Di negeri-negeri Islam lain pun juga begitu.
Dan sikap toleransi umat Islam kepada umat agama lain sama sekali tidak
menghilangkan truth claim yang mereka miliki. Mereka masih memegang
pemahaman yang disampaikan Allah ‘azza wa jalla di surah al-Kaafiruun. Toleransi –
yang tidak kebablasan– pada faktanya bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan
‘aqidah. Untuk rujukannya, silakan baca kitab-kitab Tarikh Islam.
2. Apakah ujung dari konsep peniadaan truth claim?
Bagi pendukung pluralisme, umat Islam tak boleh mengatakan dan meyakini bahwa
hanya melalui Islam-lah ‘keselamatan’ akan didapatkan. Bagi mereka, umat Islam
harus meyakini bahwa semua agama –termasuk ajaran pagan dan ajaran setan (?)–,
menuju hal yang sama, cuma jalannya saja yang berbeda. Bagi mereka, perbedaan
jalan adalah hal yang wajar dan masing-masing tidak boleh mengklaim hanya jalan
mereka lah yang benar. Inilah dasar dari ajaran pluralisme. Apa hasil dari konsep
seperti ini?
Hasilnya adalah kebimbangan. Pernyataan-pernyataan aneh akan muncul jika
seseorang mengadopsi pemikiran keblinger ini, semisal, ‘Jika Islam dan Nasrani sama-
sama benar, lalu untuk apa saya bertahan dengan keislaman saya, ajaran Islam kan
susah.’ Atau, ‘Jika kebenaran tak hanya ada pada Islam, berarti boleh dong saya
gonta-ganti agama semau saya.’ Atau, ‘Jika semua agama menuju satu tujuan yang
56 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
sama, boleh dong saya membuat agama baru dengan tatacara baru, yang penting
tujuannya sama.’ Atau, ‘Kalau tidak ada agama yang memiliki kebenaran mutlak,
untuk apa saya beragama?’
Ternyata, ujung dari pluralisme adalah agnostisisme dan ateisme. Makanya, di Eropa
–yang mengagungkan pluralisme– begitu banyak orang yang tak beragama, bahkan
sebagian menyatakan tak percaya –minimal meragukan– adanya Tuhan. Dr.
Syamsuddin Arif yang pernah belajar di Jerman –di buku beliau “Orientalis &
Diabolisme Pemikiran”– menceritakan fenomena tersebut.
*****
Jadi, bisa kita simpulkan, ide pluralisme yang menafikan dan mematikan truth
claim hanya akan melahirkan kebimbangan pemikiran. Para pendukung ide
pluralisme hanya akan berputar pada kebimbangan, karena –jika mereka jujur
dengan konsep mereka– mereka tak akan punya ‘konsep kebenaran’ yang bisa
mereka pegang. Bahkan, mereka –kembali, jika mereka jujur dengan konsep
mereka– tak boleh mengklaim ide pluralisme sebagai ide yang pasti dan mutlak
benarnya, karena itu sama saja mereka melakukan klaim kebenaran yang selama ini
selalu mereka tolak.
Bagi pendukung pluralisme, silakan berbimbang ria. Bagi umat Islam, semoga kita
selalu mendapatkan taufiq dari Allah ta’ala sehingga bisa selamat dari berbagai
kesesatan pemikiran yang saat ini begitu banyak dijajakan. Wallahul muwaffiq ilaa
aqwaam ath-thariiq.
*****
57 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Kesalahan Tafsir Pendukung Pluralisme
Terhadap Surah Al-Baqarah Ayat 62
Ada saja cara kalangan liberal dan pendukung pluralisme untuk menjustifikasi
pemikiran mereka. Salah satu cara yang sangat sering mereka lakukan adalah
memelintir ayat dan menafsirkannya sekehendak perut mereka. Mereka selalu
berargumen bahwa menafsirkan kitab suci adalah hak setiap orang, dan tidak boleh
ada yang mengklaim dan membatasi kebenaran hanya pada satu tafsir saja. Bagi
saya, pernyataan ini berbahaya karena terkesan benar padahal pondasinya sangat
rapuh.
Berbicara tafsir Al-Qur’an, maka pijakan awal kita adalah kesepakatan bahwa Al-
Qur’an adalah kalam Allah, Tuhan semesta alam. Mengapa Al-Qur’an harus diyakini
sebagai kalam Allah? Saya persilakan Anda mengkajinya di kitab-kitab yang
membahas ‘Aqidah maupun ‘Ulumul Qur’an. Pijakan awal ini mengharuskan kita
untuk menyepakati bahwa tafsir yang benar adalah tafsir dari-Nya sendiri. Jadi, untuk
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, yang pertama harus dilakukan adalah
menafsirkannya dengan ayat Al-Qur’an lain yang relevan atau melalui hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang Allah sendiri telah nyatakan bahwa
hadits Rasulullah juga merupakan wahyu dari-Nya–.
Cara kedua –jika tafsirnya tak dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits– adalah
dengan mengikuti penafsiran kalangan shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in.
Mengapa? Sangat jelas, karena shahabat adalah murid langsung dari Nabi, mereka
mengiringi Nabi sepanjang perjalanan hidup beliau, tentu mereka lebih bisa
memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dibanding kita. Hal ini terlalu
logis untuk dibantah.
Cara ketiga –jika pun tak ada juga tafsir dari shahabat–, maka kita harus kembali ke
fakta bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan dalam bahasa Arab. Untuk
memahami makna-maknanya, kita harus merujuk ke bahasa tersebut. Maka, di
sebagian kitab tafsir, ada ulama tafsir yang menafsirkan sebagian ayat mengikuti
makna bahasanya. Untuk melakukan ini, perlu mujahadah untuk memahaminya.
Tidak bisa sembarangan, apalagi serampangan. Selain penguasaan bahasa, ahli tafsir
58 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
juga perlu menguasai ilmu-ilmu syar’i lainnya, tentunya agar tafsirnya tidak
menyimpang dari pondasi dasar Islam.
Nah, sayangnya, para penganut pluralisme dengan pongahnya menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an seenak perut mereka sendiri tanpa mengikuti kaidah ilmiah yang
seharusnya. Tentu wajar jika tafsirnya harus kita gugat. Tentu wajar jika tafsirnya tak
layak untuk dirujuk. Sangat logis.
Nah, salah satu ayat yang mereka pelintir adalah surah Al-Baqarah ayat 62. Berikut
bunyi ayatnya.
بٱلله وٱليـوم ٱآلخر وعمل صالحا فـلهم أجرهم إن ٱلذين آمنوا وٱلذين هادوا وٱلنصارى وٱلصابئين من آمن
عليهم وال هم يحزنون عند ربهم وال خوف
Secara serampangan mereka menafsirkan ayat ini sebagai pembenaran bahwa bukan
cuma umat Islam yang akan selamat, bukan cuma yang mengikuti Muhammad yang
berada di jalan kebenaran. Benarkah tafsirnya seperti itu? Jawabannya, tidak.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, beliau menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
pertanyaan Salman Al-Farisi tentang shahabat-shahabat beliau dulu yang beragama
Nashrani. Dari pertanyaan Salman tersebut, turunlah ayat ini.
Ibnu Katsir kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Yahudi di ayat
tersebut adalah orang-orang yang mengikuti Taurat dan sunnah Musa hingga datang
‘Isa. Yang dimaksud Nashrani adalah orang-orang yang mengikuti Injil dan Syariat ‘Isa
hingga datangnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau juga menjelaskan,
pengikut Musa yang tidak mengimani dan mengikuti ‘Isa –setelah kedatangan Isa–
akan celaka. Demikian juga pengikut ‘Isa yang tidak mengikuti Muhammad dan
syariat yang dibawanya, juga akan celaka. Tentang Shabiin, sebagian ahli tafsir
berbeda pendapat, namun semuanya menunjuk pada satu pemahaman bahwa
Shabiin adalah penganut ajaran-ajaran terdahulu sebelum kedatangan Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Statusnya pun sama persis dengan Yahudi dan
Nashrani.
Jika ingin lebih yakin, silakan langsung merujuk ke kitab Tafsir Ibnu Katsir atau tafsir
mu’tabar lainnya.
59 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Dari sini bisa kita pahami bahwa ayat ini sama sekali tidak membenarkan ‘aqidah
orang-orang yang menganut selain Islam setelah kedatangan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Secara ‘aqidah mereka adalah kafir dan tidak akan mendapatkan
keselamatan di akhirat kelak. Bagi seorang muslim, pemahaman seperti ini harusnya
mudah saja diterima. Pemahaman ini juga sesuai dengan firman Allah di surah Ali
‘Imran ayat 85 sebagai berikut.
ر ٱإلسلـم دينا فـلن يـقبل منه وهو فى ٱآلخرة من ٱلخـسرين ومن يـبتغ غيـ
*****
60 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Ramadhan dan Al-Qur’an
Bulan Ramadhan adalah Bulan Diturunkannya Al-Qur’an
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan
dalam surah al-Baqarah ayat 185:
شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبـيـنات من الهدى والفرقان
Artinya: “Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk
bagi manusia, penjelasan yang sangat jelas mengenai petunjuk tersebut dan
pembeda (antara yang haq dan yang batil)”
Di awal surah al-Qadr, disebutkan lebih spesifik lagi bahwa Al-Qur’an diturunkan di
malam al-Qadr:
لة القدر إنا أنـزلناه في ليـ
Artinya: “Sesungguhnya Kami (Allah) menurunkannya (Al-Qur’an) di malam
kemuliaan.”
Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa malam al-Qadr itu ada di salah satu malam
di antara malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
Dalam tafsir Ibn Katsir, diriwayatkan bahwa Ibn ‘Abbas radhiyaLlahu ‘anhuma
menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada bulan
Ramadhan, di malam al-Qadr. Kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam selama lebih dari 20 tahun.
Sedangkan menurut Syaikh Muhammad ‘Ali al-Hasan, penulis kitab al-Manar fii
‘Uluumil Qur’an, yang dimaksud dengan diturunkannya Al-Qur’an di bulan Ramadhan
adalah diturunkannya awal Al-Qur’an, yaitu surah al-‘Alaq ayat 1-5, kepada
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.
Kesimpulannya, semua ulama sepakat bahwa Al-Qur’an diturunkan di bulan
Ramadhan, di malam al-Qadr (kemuliaan). Mereka hanya berbeda pendapat, apakah
yang dimaksud adalah turunnya seluruh Al-Qur’an secara langsung dari Lauhul
61 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Mahfuzh ke langit dunia, atau turunnya awal al-Qur’an kepada Rasulullah shallaLlahu
‘alaihi wa sallam.
Bagaimana Kita Memaknai Diturunkannya Al-Qur’an di Bulan Ramadhan
Memaknai diturunkannya Al-Qur’an di bulan Ramadhan tidak cukup hanya dengan
melakukan peringatan nuzulul Qur’an secara seremonial. Memaknai diturunkannya
Al-Qur’an harus dengan memahami tujuan diturunkannya Al-Qur’an bagi umat
manusia.
Surah al-Baqarah ayat 185 telah menunjukkan kepada kita tujuan diturunkannya al-
Qur’an. Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia, penjelasan yang terang dan sangat
jelas, serta pembeda antara yang haq dan yang bathil, antara yang halal dan yang
haram.
Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pedoman hidup bagi umat manusia. Untuk
menjadi way of life. Jika tidak ingin tersesat dalam kehidupan dunia, ikutilah al-
Qur’an (dan juga as-Sunnah).
Imam Malik, dalam kitab al-Muwaththa, meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah
(Hadits ini di-hasan-kan oleh al-Albani dalam kitab Misykatul Mashabih):
تـركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب اهللا وسنة نبيه
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara bagi kalian, yang jika kalian berpegang pada
keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-
Nya.”
Jadi, memaknai diturunkannya al-Qur’an harus dengan menjadikan Al-Qur’an (dan
As-Sunnah) sebagai petunjuk hidup, sebagai pedoman untuk mengetahui mana yang
benar dan mana yang salah, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh
dilakukan oleh kita.
Tidak Boleh Menerima Sebagian Isi Al-Qur’an dan Menolak Sebagian yang Lain
Kita diwajibkan untuk mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah secara keseluruhan. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah an-Nisa ayat 59:
62 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
الله آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي األمر منكم فإن تـنازعتم في شيء فـردوه إلىيا أيـها الذين
ر وأحسن تأويال والرسول إن كنتم تـؤمنون بالله واليـوم اآلخر ذلك خيـ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan
ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.”
Kita wajib mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah secara keseluruhan, tanpa membeda-
bedakan satu perintah dengan perintah yang lain. Ketika Allah mewajibkan puasa
bagi kita, kita laksanakan. Ketika Allah mewajibkan shalat dan zakat, kita jalankan.
Ketika Allah mengharamkan riba kita terima. Ketika dalam hadits disebutkan bahwa
umat Islam wajib menutup aurat di tempat umum dan aurat wanita adalah seluruh
tubuhnya kecuali wajah dan kedua tapak tangan, kita terima.
Pertanyaannya, mengapa orang-orang saat ini membedakan hal ini?
Contoh yang sangat jelas adalah mengapa orang-orang saat ini membedakan
perintah Allah dalam surah al-Baqarah 183 (tentang puasa) dan al-Baqarah 178
(tentang kewajiban qishash dalam pembunuhan), padahal bentuk seruannya sama,
redaksi pewajibannya pun sama. Dan ulama fiqih pun sepakat bahwa keduanya wajib
dijalankan.
Mari kita cek redaksi dua ayat tersebut.
QS. Al-Baqarah 183:
يا أيـها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام
Artinya: “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa.”
QS. Al-Baqarah 178:
لى يا أيـها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتـ
Artinya: “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian menerapkan qishash
dalam pembunuhan.”
63 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Inilah keanehan sebagian umat Islam saat ini.
Semoga momentum Ramadhan tahun ini menjadi titik balik mereka, tidak lagi
memilih dan memilah ayat-ayat Al-Qur’an, yang disukai diamalkan, sedangkan yang
dibenci diabaikan. Semoga kita semua, umat Islam, bisa menjadi muslim yang kaffah,
muslim yang ketika menerima perintah Allah dan Rasul-Nya berkata sami’naa wa
atha’naa.
*****
64 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Beberapa Sikap Ilmiah dalam Pengkajian
Pemikiran Islam
1. Al-Qur’an dan as-Sunnah Sebagai Rujukan Utama
Memang benar, dalam tradisi keilmuan Islam, tak semua orang mampu merujuk
langsung kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Ada beberapa disiplin ilmu yang harus
dikuasai oleh seseorang untuk bisa mengambil sebuah kesimpulan hukum dan
pemahaman dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Ini tak perlu dipersoalkan.
Yang jadi masalah, di masa sekarang, banyak sekali orang yang melontarkan gagasan,
ide dan pendapat, yang sebagiannya bertentangan bahkan bertolak belakang dengan
yang lain. Menghadapi kondisi seperti ini, bagaimana sikap kita seharusnya? Di posisi
inilah, al-Qur’an dan as-Sunnah harus menjadi rujukan utama.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah an-Nisaa ayat 59:
كنتم تؤمنون باهللا واليوم اآلخر ذلك خير وأحسن تأويالفإن تنازعتم في شيء فردوه إلى اهللا والرسول إن
Artinya: “Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, itu
lebih utama dan lebih baik akibatnya.“
Makna ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ dalam ayat di atas adalah kembali kepada
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, sebagaimana disampaikan oleh Imam Mujahid
yang dikutip oleh Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya. Lebih lanjut, Ibn Katsir
menjelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah Allah ‘azza wa jalla untuk merujuk
kepada al-Kitab dan as-Sunnah dalam setiap perkara yang diperselisihkan oleh
manusia, baik dalam hal pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya.
Dalam praktiknya, bagi kebanyakan orang yang derajat keilmuannya belum mencapai
mujtahid, yang bisa dilakukan adalah mencoba membandingkan beberapa pendapat
yang ada, yang mana yang lebih dekat dengan al-Qur’an dan as-Sunnah maka itulah
yang diambil. Yang dimaksud lebih dekat dengan al-Qur’an dan as-Sunnah ini tentu
sebatas yang dipahami olehnya, dari sedikit ilmu yang pernah dia pelajari.
65 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Jika ada pendapat yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terdapat
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang mudah dipahami oleh kebanyakan orang,
seperti tentang kepastian adanya hari kiamat dan perhitungan amal manusia,
kekuasaan Allah atas segala sesuatu, atau tentang status Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi, maka pendapat yang
menyelisihi prinsip-prinsip ini bisa dipastikan keliru, bahkan sesat dan menyesatkan.
Jika ada dua pendapat yang dua-duanya memiliki hujjah yang kuat, yang sulit bagi
kebanyakan orang untuk memilah mana yang lebih kuat, maka yang perlu dilakukan
adalah mengambil salah satu pendapat berdasarkan beberapa pertimbangan,
misalnya pendapat tersebut lebih banyak diamalkan oleh para ulama, atau yang
mengemukakan pendapat tersebut kapasitas keilmuannya lebih diakui oleh para
ulama, dan lain-lain. Dengan catatan, pendapat yang berbeda dengan pendapat yang
kita ikuti tidak boleh dicela, karena faktanya kita sendiri sebenarnya tak mengetahui
pendapat manakah yang lebih kuat.
2. Jujur dan Bertanggung Jawab dalam Penukilan
Kekeliruan mendasar yang masih banyak dilakukan oleh banyak orang adalah
mengutip suatu perkataan, baik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
shahabat, tabi’in maupun para ulama setelah mereka, tanpa menyebutkan dari mana
kata-kata tersebut mereka dapatkan.
Jika seorang ahli Hadits yang berkata ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda’, tentu pernyataan tersebut bisa dipertanggung jawabkan, namun jika
orang awam atau thalibul ‘ilm ‘kemarin sore’ yang berkata ‘ Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda’ tanpa menyebutkan dari kitab mana dia ambil kata-kata
tersebut, kita patut ragu dan curiga, jangan-jangan perkataan yang dia sandarkan
kepada Nabi tersebut bukanlah perkataan Nabi. Wal ‘iyadzu billah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
النار من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من
Artinya: “Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah
dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” [Hadits mutawatir, dikeluarkan
oleh al-Bukhari, Muslim dan selain mereka. Menurut Dr. Mahmud ath-Thahhan,
66 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang shahabat, dan jumlah yang banyak ini
terus berlangsung sepanjang thabaqat sanad.]
Hadits di atas mengancam orang-orang yang berdusta atas nama Nabi, mengatakan
bahwa Nabi berkata begini dan begini, padahal Nabi tidak pernah mengatakan
demikian. Termasuk dalam hal ini adalah mengatakan ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda’, padahal ia tidak mengetahui apakah perkataan tersebut benar-
benar berasal dari Nabi atau bukan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ا سمعكفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل م
Artinya: “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia menyampaikan semua yang
ia dengar.” [Dikeluarkan oleh Muslim (I/10).]
Mengomentari hadits ini, Ibn Hibban berkata, “khabar ini berupaya mencegah
seseorang menyampaikan semua yang ia dengar, sampai ia yakin atas
keshahihannya.” (pernyataan Ibn Hibban ini dikutip oleh al-Albani dalam kitab
Tamamul Minnah fi at-Ta’liq ‘ala Fiqh as-Sunnah hal. 33).
Ada lagi kekeliruan yang juga masih sering dilakukan, yaitu mengutip suatu perkataan
atau teks, kemudian menyebutkan sumber rujukannya, yang sebenarnya tak pernah
diaksesnya. Misalnya seperti ini, “Imam asy-Syafi’i berkata, ‘siapa saja yang
melakukan istihsan, sesungguhnya ia telah membuat syari’at sendiri’. (al-Mustashfa
hal. 171).”, apa yang salah dari kutipan tersebut? Tidak ada yang salah, jika ia
memang mengutipnya langsung dari kitab al-Mustashfa-nya al-Ghazali. Menjadi
keliru, jika sebenarnya ia sama sekali tak pernah membaca isi kitab tersebut, ia
ternyata hanya melakukan copy-paste dari tulisan orang lain.
Kekeliruan semacam ini, walaupun terkesan sepele, namun tetaplah penting. Dalam
ilmu hadits, orang yang melakukan kekeliruan semacam ini serupa dengan perawi
yang mudallis. Perawi tersebut mengatakan ‘fulan A berkata’, padahal ia tak pernah
mendengarnya langsung dari fulan A tersebut. Sebenarnya, hadits tersebut ia dengar
dari fulan C, fulan C sendiri mendengarnya dari fulan B, dan fulan B lah yang benar-
benar mendengar dari fulan A. Jadi si perawi mudallis menghilangkan dua orang
sekaligus (yaitu fulan C dan B). Dalam ilmu Hadits, seorang perawi mudallis seperti ini
secara umum dikategorikan dha’if.
67 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Sebenarnya, dalam karya-karya ilmiah standar yang berlaku saat ini pun, kekeliruan
semacam ini tak dapat ditoleransi.
Dari sisi lain, kejujuran dalam penukilan juga bisa dilihat dari kesamaan pemahaman
si penukil dengan maksud dan tujuan sebenarnya dari teks atau perkataan yang ia
kutip. Saat ini, kalangan liberal seringkali mengutip ayat al-Qur’an, al-Hadits maupun
qaul ‘ulama untuk mendukung pemahaman mereka, padahal yang dimaksud oleh
teks atau perkataan tersebut tidaklah mendukung pemahaman mereka.
Sebagai contoh, makna rahmatan lil ‘aalamiin yang disandingkan dengan Islam –
menjadi Islam rahmatan lil ‘aalamiin– sering dimaknai oleh kalangan liberal sebagai
Islam yang sangat toleran, anti kekerasan (termasuk kekerasan pemikiran), dan tidak
formalistik. Frase Islam rahmatan lil ‘aalamiin ini mereka ambil dari al-Qur’an surah
al-Anbiyaa’ ayat 107. Benarkah pemahaman kalangan liberal ini? Silakan baca tulisan
saya yang berjudul ‘Makna Rahmatan Lil ‘Aalamiin, Antara Pluralisme dan Islam‘.
3. Berlapang Dada Terhadap Perbedaan Pendapat dan Terbuka Terhadap
Kemungkinan Kebenaran dari Pihak Lain
Dalam perkara-perkara ijtihadiyah, peluang terjadinya perbedaan pendapat terbuka
lebar. Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, seorang ulama kontemporer, menyebutkan
beberapa kondisi yang menyebabkan para fuqaha berbeda pendapat (baca:
Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat di Kalangan Fuqaha Menurut Syaikh Dr.
Wahbah az-Zuhaili), dan ini wajar terjadi.
Namun sangat disayangkan, sebagian orang, yang bahkan keilmuannya pun belum
matang, menjadikan perbedaan pendapat semacam ini sebagai dasar untuk
menghujat pihak lain. Seakan-akan pendapat yang berbeda dengan pendapat yang ia
ikuti adalah mutlak salah, sesat dan menyesatkan. Juga tak jarang terjadi, antar
kelompok, antar madzhab fiqih, atau antar pengikut ulama tertentu, bermusuhan
hanya karena perbedaan dalam perkara-perkara furu’i.
Bagaimana teladan dari generasi salafus shalih? Mari kita simak pernyataan Imam
Malik ibn Anas berikut ini:
افق الكتاب إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في قولي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوا به وما لم يو
والسنة فاتركوه
68 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Artinya: “Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah
setiap perkataanku, semua yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka
ambillah. Sedangkan jika itu tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka
tinggalkanlah.” [Dikutip dari kitab I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Juz 1 hal.
60 karya Ibn al-Qayyim al-Jauziyah]
Lihatlah perkataan Imam Malik di atas, beliau yang kapasitas keilmuannya tak
diragukan lagi, Imam Darul Hijrah, guru para ulama besar, ternyata tak memonopoli
kebenaran. Beliau, dengan rendah hati, mengakui bahwa beliau hanyalah manusia
biasa, yang bisa jadi benar, bisa juga keliru. Coba bandingkan dengan sikap sebagian
orang saat ini, keilmuannya belum sampai setengah dari yang dimiliki Imam Malik,
namun lagaknya sudah seperti ulama besar. Dengan gampangnya mereka
meremehkan, menghujat dan bahkan menyesatkan pihak lain yang mengikuti
pendapat berbeda dengan yang dianutnya.
Dalam riwayat yang masyhur, disebutkan di banyak kitab, Imam asy-Syafi’i pernah
mengatakan, “Siapa saja yang melakukan istihsan, sesungguhnya ia telah membuat
syari’at sendiri.” (Penisbahan ini misalnya disebutkan oleh al-Ghazali dalam al-
Mustashfa [171], al-Amidi dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam [IV/156] dan al-Qarafi
dalam al-Furuq [IV/145]). Dan sudah masyhur, Imam Malik adalah ulama yang
menggunakan istihsan dalam ushul fiqihnya (lihat al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu
[I/46]). Apakah Imam asy-Syafi’i pernah menghujat atau menyesatkan Imam Malik?
Tak pernah sama sekali.
Imam Ahmad berpendapat bahwa wajib wudhu karena keluar darah dari hidung dan
karena berbekam. Kemudian beliau ditanya, “Jika imam shalat keluar darah, dan ia
tidak berwudhu lagi, apakah saya tetap shalat di belakangnya?”, imam Ahmad
menjawab, “Mengapa engkau tidak mau shalat di belakang Sa’id ibn al-Musayyib dan
Malik?” (cerita ini saya dapatkan di Fatawa Mu’ashirah Juz I karya Dr. Yusuf al-
Qaradhawi, baca online di:http://www.qaradawi.net/library/50/2284.html, dan
di Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam karya Dr. Thaha Jabir Fayadh al-’Alwani, baca online
di:h�p://www.islamweb.net/newlibrary/display_umma.php?lang=A&BabId=10&Cha
pterId=10&BookId=209&CatId=201&startno=0; keduanya diakses pada tanggal 11
Februari 2012).
69 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Lihatlah Imam Ahmad, walaupun beliau berbeda pendapat dengan Imam Malik dan
Sa’id ibn al-Musayyib, tidak sedikitpun beliau merendahkan kedudukan mereka
berdua.
Perbedaan pendapat, dalam perkara ijtihadiyah, sangat memungkinkan melahirkan
beragam pendapat. Menghadapi hal ini, seharusnya kita bisa berlapang dada.
Walaupun kita menganggap pendapat yang kita ikuti lebih kuat, kita tetap harus
menghormati orang lain yang pendapatnya berbeda. Adanya keragaman pendapat
ini juga seharusnya membuka cakrawala berpikir kita, jika ternyata kebenaran ada
pada orang lain, kita harus siap untuk menerima kebenaran tersebut dan
meninggalkan pendapat kita sebelumnya.
*****
70 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Umat Islam, Umat yang Memadukan Ilmu
dan Amal
Dalam surah al-Fatihah, surah yang sangat sering dibaca oleh umat Islam, disebutkan
dua jalan yang harus dihindari oleh setiap muslim, yaitu jalan orang-orang yang
dimurkai, dan jalan orang-orang yang sesat.
Imam Abul Fida’ rahimahullah dalam kitab tafsir beliau, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,
setelah menjelaskan makna الصراط المستقیم dan صراط الذین أنعمت علیھم, beliau kemudian
menjelaskan makna غیر المغضوب علیھم وال الضالین. Beliau menjelaskan bahwa orang-
orang yang dimurkai (المغضوب علیھم) adalah orang-orang yang mengetahui al-haq,
namun mereka menyimpang darinya. Sedangkan orang-orang yang tersesat (الضالین)
adalah orang-orang yang tak berilmu, mereka terjebak dalam kesesatan dan tak
mendapatkan petunjuk pada kebenaran.
Dua jalan yang kita diwajibkan menghindarinya tersebut adalah jalan yang ditempuh
oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani. Orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang
memiliki ilmu, namun mereka tidak mengamalkan ilmu tersebut, sehingga mereka
disebut sebagai golongan yang dimurkai. Sedangkan orang-orang Nashrani adalah
orang-orang yang beramal tanpa ilmu, sehingga mereka disebut sebagai golongan
yang tersesat.
Memang benar, baik Yahudi maupun Nashrani adalah golongan yang dimurkai
sekaligus tersesat. Namun, secara khusus orang-orang Yahudi disifati dengan
‘kemurkaan’, sebagaimana firman Allah ta’ala tentang mereka dalam surah al-
Maidah ayat 60, من لعنھ هللا وغضب علیھ. Dan orang-orang Nashrani secara khusus disifati
dengan ‘kesesatan’, sebagaimana firman Allah ta’ala tentang mereka dalam surah al-
Maidah ayat 77, قد ضلوا من قبل وأضلوا كثیرا وضلوا عن سواء السبیل.
Penisbahan golongan yang dimurkai kepada Yahudi dan golongan yang tersesat
kepada Nashrani ini, juga disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi rahimahullah dalam kitab Sunan
beliau (hadits no. 2953, terbitan Mushthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, cetakan ke-2).
Beliau rahimahullah berkata tentang hadits tersebut, ‘hadits ini hasan gharib, kami
tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Simak ibn Harb’.
71 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk menghindari jalan orang-orang
yang dimurkai-Nya dan jalan orang-orang yang tersesat, sekaligus memerintahkan
kita untuk mengikuti jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh-Nya, yaitu jalan
orang-orang yang mendapatkan petunjuk, yang istiqamah, yang taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, dan yang menjalankan perintah-perintah-Nya, serta menjauhi
larangan-larangan-Nya. Dalam surah al-Fatihah, hal ini diungkapkan dalam bentuk
doa kita kepada Allah ta’ala.
Imam Abul Fida’ rahimahullah menegaskan bahwa jalan orang-orang yang beriman
adalah jalan yang memadukan antara ilmu dan amal. Umat Islam wajib memahami
ilmu tentang al-haq, sekaligus mengamalkan ilmu tersebut, tidak seperti Yahudi dan
Nashrani yang mengambil sebagian, dan mengabaikan bagian yang lain.
Umat Islam tidak boleh beramal tanpa ilmu, karena itu adalah jalan orang-orang
Nashrani yang tersesat. Imam al-Bukhari rahimahullah, dalam kitab Shahihnya,
bahkan menyatakan ilmu itu sebelum perkataan dan perbuatan, artinya sebelum kita
mengatakan atau melakukan sesuatu, kita wajib mengetahui dulu tuntunan Islam
tentang hal tersebut. Demikian juga, umat Islam wajib beramal sesuai dengan ilmu
yang dimilikinya, tidak seperti orang-orang Yahudi, mereka berilmu, namun amal
mereka menyimpang dari ilmu yang mereka miliki.
Dari sini, bisa kita pahami bahwa umat Islam wajib menuntut ilmu syar’i, minimal
sebatas hal-hal yang wajib dilakukan dan dijauhi oleh seorang muslim setiap harinya,
agar mereka tidak beramal tanpa ilmu. Setelah itu, mereka juga wajib beramal sesuai
dengan ilmunya, sesuai ketetapan Syariah, dan bukan sekedar menjadi pengumpul
ilmu, tanpa mengamalkannya.
Ihdina(a)shshiraathal mustaqiim, shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim, ghairil
maghdhuubi ‘alaihim wa la(a)adhdhaalliin. Aamiin.
*****
72 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Totalitas Dalam Keberislaman
Masyarakat Indonesia, walaupun sebagian besar beragama Islam, namun hanya
sebagian kecil dari mereka yang berislam secara total. Sebagian besarnya
mencampuradukkan Islam dengan berbagai adat istiadat yang sangat tidak Islami.
Dengan justifikasi bahwa Islam yang berasal dari Arab harus diakulturalisasikan
dengan budaya daerah setempat, akhirnya lahirlah Islam kejawen dengan berbagai
macam ritual yang tidak Islami. Model Islam seperti ini juga muncul di daerah-daerah
lain di Indonesia.
Model keberislaman lain yang juga banyak dianut oleh masyarakat Indonesia adalah
hanya menjadikan Islam sebagai agama ritual belaka, tak menganggapnya sebagai
panduan bagi seluruh kehidupan manusia. Inilah yang dikenal dengan paham
sekulerisme, paham yang memisahkan agama dengan kehidupan.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana harusnya keberislaman kita, apakah seperti
Islam kultural (untuk menunjukkan ajaran Islam yang dicampur adukkan dengan adat
istiadat yang bukan berasal dari Islam) atau Islam sekuler (Islam hanya di masjid dan
mushalla, sedangkan di kantor, rumah dan pasar Islam tidak dipakai), atau seperti
apa? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan mengutip penjelasan Imam Ibnu
Katsir rahimahullah terhadap surah al-Baqarah ayat 208 dalam kitab Tafsir beliau.
Berikut ayat 208 dari surah al-Baqarah:
الذين آمنوا ادخلوا في السلم كافة وال تـتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدو مبين يا أيـها
Imam Ibnu Katsir mengutip pernyataan dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Thawus, adh-
Dhahhak, ‘Ikrimah, Qatadah, as-Suddi, Ibnu Zaid ketika menafsirkan kata (السلم)
mereka sepakat bahwa artinya adalah Islam (اإلسالم). Adh-Dhahhak, Ibnu ‘Abbas, Abu
al-‘Aliyah dan ar-Rabi’ ibn Anas menafsirkan kata (السلم) dengan keta’atan (الطاعة).
Sedangkan kata (كـافة) diartikan dengan keseluruhan (جمیعا). Ini pendapat Ibnu ‘Abbas,
Mujahid, Abu al-‘Aliyah, ‘Ikrimah, Rabi’, as-Suddi, Muqatil Ibn Hayyan, Qatadah dan
adh-Dhahhak. Kemudian kalimat (وال تتبعوا خطوت الشیطن) yang biasanya diterjemahkan
dengan “dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaithan”, ditafsirkan oleh Imam
Ibnu Katsir dengan “laksanakanlah keta’atan dan jauhilah apa-apa yang
73 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
diperintahkan syaithan kepada kalian”. Dan syaithan memerintahkan untuk
melakukan perbuatan jahat (السوء) dan keji (الفحشاء) sebagaimana firman Allah
subhanahu wa ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 169.
Dalam tafsir surah al-Baqarah ayat 168, Imam Ibnu Katsir mengu�p perkataan
Mujahid dan as-Suddi, yang menafsirkan kalimat (وال تتبعوا خطوت الشیطن), mereka
mengatakan bahwa semua kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
merupakan bagian dari langkah-langkah syaithan.
Ayat 208 ini ditutup dengan peringatan dari Allah subhanahu wa ta’ala bahwa
syaithan adalah musuh yang nyata bagi kita (إنھ لكم عدو مبین). Imam Ibnu Katsir
rahimahullah dalam tafsir surah al-Baqarah ayat 168 menegaskan bahwa kita harus
berpaling dari syaithan dan waspada terhadapnya.
Dari tafsir surah al-Baqarah ayat 208 ini kita bisa memahami bahwa Allah ‘azza wa
jalla memerintahkan kita untuk berislam secara keseluruhan, tidak setengah-
setengah. Kita diperintahkan untuk ta’at kepada seluruh aturan Allah subhanahu wa
ta’ala baik berupa perintah yang harus kita laksanakan maupun larangan yang harus
kita tinggalkan, dalam seluruh aspek kehidupan, inilah yang dimaksud dengan
kalimat (ادخلوا في السلم كـافة).
Kemudian Allah juga memperingatkan kita untuk menjauhi langkah-langkah syaithan,
yaitu berupa seluruh kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Yang dimaksud dengan
kemaksiatan adalah meninggalkan segala kewajiban yang diperintahkan Allah
subhanahu wa ta’ala bagi kita atau melakukan hal-hal yang dilarang oleh-Nya.
Acuannya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan pendapat masyarakat.
*****
74 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Bersegera Melaksanakan Syariah
Seorang muslim sejati tidak akan menunda-nunda pelaksanaan kewajiban dari Allah
yang di-taklif-kan kepadanya. Inilah karakter muslim sejati yang telah diteladankan
oleh generasi terbaik umat ini, yaitu para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in.
Sebelum kita membaca keteladanan para shahabat radhiyallahu ‘anhum tentang hal
ini, mari kita simak firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut.
وسارعوا إلى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السموت واألرض أعدت للمتقين
Artinya: “Dan bersegeralah kalian pada ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 133)
Menurut Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu, tafsir ‘wa saari’uu ilaa maghfiratin(m)
min(r) rabbikum’ adalah ‘bersegeralah untuk takbiratul ihram bersama imam (dalam
shalat)’. Menurut ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu maksudnya adalah
‘bersegeralah dalam melaksanakan berbagai kewajiban’. Menurut ‘Utsman ibn ‘Affan
radhiyallahu ‘anhu maksudnya adalah ‘bersegeralah kepada keikhlasan’. Ada juga
penafsiran-penafsiran lain yang diajukan para ulama. Imam al-Qurthubi menjelaskan
bahwa ayat ini bersifat umum dan mencakup semua tafsir yang telah disebutkan
(silakan lihat al-Jaami’ li Ahkam al-Qur’anJuz 5 hal 313). Dari sini bisa kita pahami,
ayat ini berisi perintah kepada kita umat Islam untuk bersegera melaksanakan segala
ketaatan kepada Allah ta’ala.
Berikut beberapa riwayat keteladanan dari para shahabat:
في الجنة ، فألقى تمرات : أرأيت إن قتلت فأين أنـا؟ قال : قال رجل للنبي صلى اهللا عليه وسلم يوم أحد
في يده ثم قاتل حتى قتل
Artinya: “Seorang laki-laki (shahabat) bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada perang Uhud, ‘Tahukah engkau di mana tempatku jika aku terbunuh?’.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Di surga’. Mendengar jawaban
tersebut, laki-laki itu serta-merta melemparkan buah kurma yang ada di tangannya,
kemudian ia terjun ke medan perang hingga terbunuh.” (HR. Bukhari [4046])
75 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
–وليضربن بخمرهن على جيوبهن –عن عائشة قالت يرحم اهللا نساء المهاجرات األولى لما أنـزل اهللا
شققن مروطهن فاختمرن بها
Artinya: “Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, ‘Semoga Allah merahmati
kaum wanita yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya [Dan
hendaklah mereka mengenakan kain kerudung mereka hingga kerah baju mereka
(an-Nuur ayat 31)]. Kaum wanita tersebut merobek kain sarung mereka (untuk
dijadikan kerudung) dan menutup kepala mereka dengannya’.” (HR. Bukhari [4758])
عن أنس بن مالك قال كنت أسقي أبا طلحة األنصاري و أبا عبيدة بن الجراح و أبي بـن كعب شرابا من
فقال أبو طلحة يا أنس قم إلى هذه الجرار فضيخ وهو تمر فجاءهم آت فقال إن الخمر قد حرمت
فاكسرها قـال أنس فقمت إلى مهراس لنا فضربتها بأسفله حتى انكسرت
Artinya: “Dari Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, ‘Suatu hari aku
memberi minum perasan kurma (termasuk khamr) kepada Abu Thalhah al-Anshari,
Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarrah dan Ubay ibn Ka’ab (radhiyallahu ‘anhum). Kemudian ada
seseorang yang datang dan berkata, ‘Sesungguhnya khamr telah diharamkan’, Maka
Abu Thalhah berkata, ‘Wahai Anas, berdirilah dan pecahkanlah kendi (tempat
perasan kurma) itu!’. Maka aku pun berdiri mengambil tempat menumbuk biji-bijian
milik kami, lalu memukul kendi itu pada bagian bawahnya hingga kendi itu pecah’.”
(HR. Bukhari [7253])
Masih banyak riwayat dari para shahabat dan pembesar umat Islam lainnya yang
menunjukkan bersegeranya mereka dalam melakukan berbagai kebaikan dan
ketaatan kepada aturan Allah ta’ala. Semoga kita mampu mengikuti keteladanan
mereka. Wallaahul muwaffiq ilaa aqwaamith thariiq.
*****
76 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com
Profil Singkat Penulis
Nama
Muhammad Abduh ibn Masran ibn Ahmad al-Banjary an-Naqary
Kunyah
Abu Furqan
Tempat dan Tanggal Lahir
Negara, 16 Sya’ban 1405 H
Tempat Tinggal Sekarang
Banjarmasin, Kalimantan Selatan
Status
Menikah
Pendidikan Saat Ini
S1 Jurusan Syariah, Universitas Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, Saudi
Arabia (ta’lim ‘an bu’d)
Pekerjaan dan Aktivitas
(1) Pemilik An-Najah Agency (Agen Penjualan Buku-buku Keislaman)
(2) Pemimpin Lembaga Pendidikan Ilmu Keislaman dan Bahasa Arab Al-Mubarak
(3) Pengajar di Ma’had Taqiyuddin an-Nabhani Banjarmasin
Blog
abufurqan.wordpress.com
No. HP
0878.1534.6405
www.facebook.com/sy.muhammad.abduh
twitter.com/muhammadabduh