kurikulum pendidikan agama kristen (pak) di sekolah ... › bitstream › 123456789...sekelompok...

41
Kurikulum Pendidikan Agama Kristen (PAK) di Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam Kajian Pendidikan Karakter Oleh Ridolof Sefnat Mamarodi 71 2008 009 Tugas Akhir Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi Program Studi Teologi Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 2015

Upload: others

Post on 30-Jan-2021

25 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Kurikulum Pendidikan Agama Kristen (PAK) di Sekolah Menengah Atas (SMA)

    dalam Kajian Pendidikan Karakter

    Oleh

    Ridolof Sefnat Mamarodi

    71 2008 009

    Tugas Akhir

    Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi

    Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains

    Teologi

    Program Studi Teologi

    Fakultas Teologi

    Universitas Kristen Satya Wacana

    Salatiga,

    2015

  • i

  • ii

  • iii

  • iv

    Kata Pengantar

    “Jika anda bertannya apa manfaat Pendidikan, maka jawabannya sederhana: Pendidikan

    membuat orang lebih baik dan orang baik tentu berperilaku mulia.” - Plato

    Pendidikan menjadi bagian yang paling penting dalam pertumbuhan kehidupan

    manusia,pendidikan membantu manusia untuk dapat bertumbuh lebih cepat secara fisik dan

    mental.Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu membawa perubahan bagi

    peserta didiknya kearah kehidupan yang lebih bernilai. Seperti yang dikatakan Plato bahwa

    dengan pendidikan orang akan berperilaku mulia dan perilaku itu secara konsisten dilakukan

    terus sebagai keutamaan dalam hidupnya.

    Untuk mencapai perilaku yang bernilai sebagai keutamaan hidup, diperlukan

    pendidikan karakter yang merupakan bagian dari pendidikan yang baik. Pendidikan karakter

    membantu peserta didiknya untuk dapat menentukan nilai yang baik dan bermoral dalam

    setiap sikap dan perilaku dirinya sendiri. Pada dasarnya yang dihadapi generasi muda adalah

    tentang pendidikan moral dan nilai yang membentuk generasi baru yang berkarakter baik.

    Oleh sebab itu, tulisan ini penulis ajukan bukan pertama-tama demi mencapai gelar

    sarjana teologi –suatu upaya melanggengkan pragmatisme- seperti yang dituliskan dalam

    format administrasi Universitas (nampak pada halaman cover tugas akhir ini). Akan tetapi

    tulisan ini penulis ajukan sebagai realisasi dari kenginan untuk memperbaiki pendidikan yang

    terjadi di Indonesia. Maka tentu tulisan ini memuat banyak kelemahan sebab ia adalah

    langkah awal dari proses belajar.

    Atas rampungnya tugas akhir ini maka puji syukur tak terbilang penulis haturkan bagi

    Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab penulis sadar bila tanpa ijin-Nya tentu tulisan ini tak akan

    pernah terselesaikan dan bahkan ada sekalipun. Akan tetapi penulis juga sadar bahwa

    pencapaian ini dapat terwujud juga berkat bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin

    menghaturkan rasa terima kasih dan hormat kepada seluruh pihak yang telah membantu dan

    mendukung sehingga tugas akhir ini boleh terselesaikan. Kepada mama dan papa berserta

    kedua adik Keken dan Rian yang rela menderita demi kebahagiaan yang sekarang penulis

    rasakan, kepada merekalah rasa terima kasih dan hormat terbesar penulis berikan. Kemudian,

    tak kurang juga ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pdt. Dr. Jacob Daan Engel

    dan Pdt. Mariska Lauterboom, MATS yang telah membimbing penulis dalam menyusun

    tugas akhir ini. Penulis memberikan penghargaan kepada Ibu Ira D. Mangililo, Ph.D dan

    Bapak Pdt. Dr. Eben Nuban Timo selaku reviewer tugas akhir ini.

  • v

    Terkhusus Ibu Ira Mangililo, Ph.D penulis haturkan terima kasih yang sangat besar atas

    empat poin kritik yang sangat substansial terhadap tugas akhir ini. Kepada pembimbing

    ketiga mener Albert Joshua Putra Maliogha, S.Si-Teol yang selalu ada setiap dibutuhkan dan

    banyak meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam mengarahkan dan memberikan

    masukan dalam pembuatan tugas akhir ini, ucapan terima kasih juga penulis berikan. Kepada

    teman-temanBona Fide dan Las Vegas (AJPM, AOS, JGK, AH, JN, FS, AMS, YDD, DNK,

    Yopi Jr.), dan tokoh nasional Gusti A.B. Menoh, S.Si-Teol, M.Hum yang telah mencintai

    kami sekuat cintanya, semua penulis ucapkan terima kasih atas ruang diskusi dan kesempatan

    untuk mengenal berbagai pemikir-pemikir besar yang membuat penulis memiliki wawasan

    dan pengetahuan lebih banyak yang tidak didapatkan selama hampir 7 tahun belajar di

    Fakultas Teologi UKSW. Untuk keluarga yang selalu menemani penulis selama berada di

    Salatiga; Onco, Om, Cindy, Lestari, Since, Pak de, Jerry, dan Samuel, penulis juga

    mengucapkan banyak terima kasih. Ucapan terima kasih yang terakhir penulis haturkan

    kepada dua sosok perempuan yang telah membantu dan menemani penulis dalam pembuatan

    tugas akhir ini, kepada Ip yang bersama-sama dari awal penulisan ini ikut mencari dan

    memberikan masukan berupa ide-ide dan kepada Dania yang kemudian menggantikan Ip

    dalam menemani penulis sampai akhir penulisan tugas akhir ini. Terima kasih atas kehadiran

    kalian semua dalam kehidupan penulis.

    Semoga tulisan ini dapat berguna bagi mereka yang membacanya. Kritik dan saran

    dari siapapun yang membaca tulisan ini sangat penulis harapkan guna perbaikan kualitas

    penulisan. Tuhan kiranya memberkati kita.

    Salatiga, 1 Juli 2015

    Ridolof Sefnat Mamarodi

  • vi

    Daftar Isi

    Cover

    Lembar Pengesahan

    Pernyataan Tidak Plagiat

    Persetujuan Akses

    Kata Pengantar

    Daftar Isi

    Abstrak

    1 Pendahuluan

    1.1 Latar Belakang

    1.2 Rumusan Masalah

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.4 Metodologi

    1.5 Manfaat Penelitian

    1.6 Sistematika Penulisan

    2 Pendidikan Agama Krsiten dan Pendidikan Karakter

    2.1 Pendidikan Agama Kristen

    2.1.1 Pengertian Pendidikan Agama Kristen

    2.1.2 Tujuan Pendidikan Agama Kristen (PAK)

    2.2 Pendidikan Karakter

    2.2.1 Pengertian Pendidikan Karakter

    2.2.2 Inti dan Komponen Karakter

    2.2.3 Elemen – Elemen Karakter

    3 Peran Pendidikan Karakter dalam Kurikulum PAK

    a. Karakteristik Kurikulum 2013

    b. Landasan Filosofis

    c. Standar Kompetensi Kelulusan SMA/MA/SMK/MAK/SMALB/Paket C

    d. Kompetensi Inti

    e. Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti

    4 Kesimpulan

    Daftar Pustaka

    i

    ii

    iii

    iv

    vi

    vii

    1

    1

    6

    6

    6

    6

    6

    7

    7

    7

    8

    11

    11

    12

    16

    18

    18

    19

    23

    25

    26

    31

    32

  • vii

    Abstrak

    Pendidikan karakter akhir – akhir ini menjadi topik yang selalu dibahas dalam dunia

    pendidikan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa tahun terakhir ini indonesia

    mengalami perubahan besar yakni perubahan bentuk pemerintahan, perubahan tatanan

    ekonomi dan perubahan globalisasi. Perubahan ini tidak terjadi secara linear sehingga

    menyebabkan perkembangan yang saling berlawanan, dan menyebabkan krisis norma moral,

    hirarki nilai sikap dan pandangan hidup. Maka dari itu pemerintah mencari jalan keluar

    bangsa ini dari krisis tersebut dengan mengembangkan pendidikan nilai moral melalui

    pendidikan karakter yang didalamnya mencakup pula pendidikan agama Kristen dan budi

    pekerti.

    Tulisan ini akan membahas kurikulum 2013 yang diatur oleh pemerintah melalui

    permen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan

    Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah, secara khusus kurikulum

    mata pelajaran PAK dan budi pekerti ditinjau kesesuaiannya teori pendidikan karakter yang

    mencakup inti, komponen dan elemen karakter. Penulis akan menggunakan metode

    penelitian kualitatif guna menjawab isu yang penulis angkat dalam tulisan ini. Melalui tulisan

    ini penulis mendapati bahwa seluruh perubahan yang mencakup cara berpikir, seni, teknologi,

    budaya, olahraga sangat ditentukan oleh pendidikan. Guna memastikan perubahan sebagai

    dampak dari pendidikan bermuara pada perubahan yang menjunjung tinggi humanitas maka

    pendidikan karakter merupakan keniscayaan. Selain itu, penulis juga menemukan bahwa

    untuk mencapai tunjuan perubahan yang menjunjung tinggi humanitas melalui pendidikan

    karakter maka kurikulum harus disusun sedemikian rupa secara tepat. Sebab dalam

    kurikulumlah berbagai bentuk strategi dan tujuan dari pendidikan itu dirancang.

    Kata kunci : Pendidikan, Pendidikan Karakter, PAK, Kurikulum 2013, Moral, Inti Karakter,

    Komponen Karakter, Elemen Karakter.

  • 1

    1. Pendahuluan

    I.1. Latar Belakang

    Lebih dari satu dekade belakangan ini, Indonesia mengalami perubahan besar.

    Perubahan bentuk pemerintahan, tatanan ekonomi, dan Globalisasi. Perubahan terjadi dari

    bentuk pemerintahan yang otokrasi menjadi bentuk pemerintahan yang demokarsi sehingga

    memunculkan kesadaran untuk membentuk dan memperkuat masyarakat sipil (civil society).

    Dalam kaitan perubahan pada tatanan ekonomi, perubahan yang sangat cepat dari bentuk

    tatanan sosial-ekonomi agraris menjadi tatanan sosial-ekonomi industrial yang ditandai

    dengan berkembangnya kapitalisme dan pasar bebas. Perubahan ini tidak lantas membawa

    kemakmuran masyarakat secara merata, garis pemisah antara miskin dan kaya masih belum

    teratasi. Perubahan yang terakhir adalah globalisasi yang merambah hampir ke segala aspek

    kehidupan, terutama dalam bidang komunikasi yang menyebabkan begitu cepatnya aktivitas

    manusia, mulai dari peredaran uang, informasi, barang, jasa dan bahkan perpindahan manusia

    dari satu tempat ke tempat lain di dunia ini. Ketiga perubahan besar ini ternyata prosesnya

    tidak linear maka terjadilah perkembangan yang saling berlawanan. Hal ini menyebabkan

    krisis norma moral, hirarki nilai sikap dan pandangan hidup, generasi-generasi muda

    Indonesia yang sudah semakin jauh menyimpang dari nilai-nilai moral yang berlaku.

    Pada akhirnya dunia pendidikanlah yang disiasati oleh pemerintah sebagai terapi atas

    berbagai penyakit sosial akibat perubahan ini, dengan menambahkan pada kurikulum jumlah

    jam pelajaran agama, budi pekerti dan berbagai corak pendidikan “nilai”. Dalam Undang-

    Undang no. 20 tahun 2003 menyinggung tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi:

    “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

    bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

    berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

    Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

    negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3)”.

    Pemerintah melihat pendidikan sebagai salah satu jalan keluar untuk membawa masyarakat

    Indonesai terlepas dari krisis moral yang melanda bangsa ini. Dari pengertiannya secara

    etimologi istilah Pedidikan dalam Bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari

    kata“Education” dalam Bahasa Inggris, dan kata “education” sendiri bersal dari bahasa

    Latin “educere” yang berarti membimbing (to lead), ditambah awalan “e” yang berarti

    keluar (out). Jadi arti dasar pendidikan adalah suatu tindakan untuk membimbing keluar.1

    1 Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen, (Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat

    (Kristen) Protestan dan Universitas Terbuka), 1994, 4.

  • 2

    Pendidikan dalam arti khusus dapat dirumuskan sebagai bimbingan atau pertolongan yang

    diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada orang lain yang belum dewasa untuk

    mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan dalam arti umum sebagai usaha yang dijalankan oleh

    sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok orang lain supaya ia atau

    mereka mencapai tingkat hidup yang lebih tinggi. 2

    Seorang filsuf bernama A.N. Whitehead juga mengatakan bahwa ada hukum alam

    yang mengatur segala sesuatu di alam semesta ini, yakni hukum kemajuan dan

    perkembangan. Karena manusia adalah bagian dari alam semesta ini maka manusia juga

    terkena hukum perkembangan tersebut ; manusia tumbuh secara fisik dan mental menurut

    tahapan tertentu yang disebut “daur” atau “ritme.” Tentunya setiap tahap ini bergerak ke arah

    perkembangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini Whitehead menekankan bahwa setiap anak

    sudah selalu memiliki prinsip pertumbuhan yang bersifat bawaan menuju kemajuan atau

    perbaikan diri. Dalam diri anak sudah terdapat sifat alamiah untuk memperbaiki diri dan

    menemukan sesuatu yang baru. Namun karena pertumbuhan alamiah ini bergerak lambat,

    maka dibutuhkan intervensi dari luar untuk mempercepat dan mengarahkan pertumbuhan

    tersebut. Menurutnya pendidikan dan sosialisasi merupakan salah satu intervensi yang terarah

    yang membantu perkembangan fisik dan mental, sehingga kepribadian anak dapat

    berkembang lebih mudah , lebih cepat dan lebih ekonomis.3

    N. Driyarkara mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses perubahan ganda,

    pertama perubahan dalam diri manusia (muda) sendiri, yang disebut eksistensia, dan yang

    kedua proses ini berlangsung dalam masyarakat dan budaya yang juga berubah. Dengan

    demikian, dalam pendidikan, manusia (muda) itu mau tak mau harus berubah juga bersama

    dengan yang lain, yang menjadi Umwelt (lingkungan hidup).4 Menurutnya pendidikan harus

    dipandang sebagai komunikasi eksistensia manusiawi yang autentik kepada manusia muda

    supaya dimiliki, dilanjutkan, dan disempurnakan. Komunikasi ini harus terjadi dalam

    kesatuan antara pendidik dan anak didik, yang berdasarkan das liebende Miteinander sein

    (hidup bersama dalam cinta kasih).

    2 Imam Barnadib, Beberapa Hal Tentang Pendidikan, (Yogyakarta : STUDING. 1982), 1.

    3 M. sastrapratedja, Pendidikan sebagai humanisasi, (Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan pancasila, 2013),

    24 4 Driyarkara, “Hominisasi dan Humanisasi” dalam A.Sudiarja, at.al (eds.), Karya Lengkap Driyarkara :

    Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: Gramedia Pustaka

    Utama, 2006), 415-417.

  • 3

    Ada tiga rumusan definisi pendidikan yang dibuat oleh Driyarkara, ketiga rumusan ini

    tidak terpisah melainkan saling memuat. Pertama, pendidikan adalah hidup bersama dalam

    kesatuan tri-tunggal bapak-ibu-anak, dimana terjadi pemanusiaan anak, dengan mana dia

    berproses untuk akhirnya menjadi manusia sendiri sebagai manusia purnawan. Kedua, pada

    kenyataannya pendidikan berarti pemasukan anak ke dalam budaya, atau juga masuknya alam

    budaya ke dalam diri anak. Pemasukan disini menunjukkan adanya aktivitas baik dari

    pendidik maupun dari anak didik. Kebudayaan yang dimaksud bukan hanya humanisasi,

    melainkan juga hominisasi sebagai tingkat fundamental. Maka dari itu pendidikan adalah

    hidup bersama dalam kesatuan tritunggal bapak-ibu-anak, dimana terjadi pembudayaan anak,

    dengan mana dia berproses untuk akhirnya bisa membudaya sendiri sebagai manusia

    purnawan. Yang ketiga, bahwa hidup bahwa hidup manusia sekalipun sangat primitif, tentu

    merupakan pelaksanaan nilai-nilai. Makan dan minum, tidur dan bekerja,bergaul dan

    bergurau, menangis dan bersuka ria semuanya itu adalah pelaksanaan nilai-nilai. Maka dari

    itu pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal bapak-ibu-anak, dimana

    terjadi pelaksanaan nilai-nilai, dengan mana dia berproses untuk akhirnya bisa melaksanakan

    sendiri sebagai manusia purnawan.5

    Menurut Driyarkara pendidikan secara prinsip berlangsung dalam lingkungan

    keluarga. Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang

    merupakan figur sentral dalam pendidikan. Ayah dan ibu bertanggung jawab untuk

    membantu memanusiakan, membudayakan dan menanamkan nilai-nilai terhadap anak-

    anaknya. Bimbingan bantuan ayah dan ibu tersebut berakhir apabila sang anak menjadi

    dewasa, menjadi manusia sempurna atau manusia purnawan. Dari uraian tersebut pendidikan

    terbatas kepada anak, jadi yang menjadi objek kajian pendidikan adalah pergaulan pendidikan

    antara orang dewasa dan orang yang belum dewasa. Dalam konteks ini proses pendidikan

    berlangsung sejak anak lahir sampai anak mencapai tahap dewasa. Pendidik dalam hal ini

    bisa orang tua atau guru yang fungsinya sebagai orang tua, membimbing anak yang belum

    dewasa mengantarkannya untuk dapat hidup mandiri dan menjadi dirinya sendiri.

    Sedangkan, menurut Martin Heidegger pendidikan harus dapat memanusiakan

    manusia (der mensch menscht).6 Dalam masyarakat Sulawesi juga mengenal istilah atau

    falsafah hidup orang Minahasa yang dikatakan oleh Dr. G.S.S.Y.Ratulangi (Sam Ratulangi)

    yaitu “Si Tou Timou Tumou Tou,” yang artinya manusia hidup untuk memanusiakan manusia

    5 Driyarkara, “Hominisasi dan Humanisasi,” 415-417.

    6 Driyarkara, “Hominisasi dan Humanisasi,” 275.

  • 4

    lain. Dengan demikian, ide memanusiakan manusia ini merupakan ide sentral atau

    fundamental pada beberapa budaya dan bangsa, namun sering dilupakan atau sengaja

    diabaikan oleh para pendidik, inilah yang menjadi masalah utama dalam pendidikan.

    Permasalahan pendidikan ini menurut Paulo Freire seorang tokoh pendidikan Amerika latin

    merupakan sistem pendidikan yang memperkuat struktur yang kurang adil dalam masyarakat.

    Menurutnya pendidikan yang sering terjadi selama ini adalah pendidikan sistem bank. Dalam

    hal ini guru sebagai subjek dan murid merupakan objek yang harus diberikan informasi,

    pendidikan meyerupai usaha mendepositkan uang di bank.7 Pendidikan sudah tidak melihat

    bagaimana hasil akhirnya, peserta didik yang diajarkan apakah akan menjadi benar-benar

    manusia purnawan atau tidak. Pendidikan hanya terbatas pada bagaimana cara mengajar dan

    apa yang diajarkan tanpa melihat prosesnya. Sehingga pendidikan sudah tidak lagi dipahami

    sebagai pendidikan secara ontologis. Oleh karena itu, pendidikan harus diperhatikan dengan

    serius agar mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri yaitu menjadikan homoniora yang

    humaniora.

    Berdasarkan pengertian pendidikan dari beberapa ahli di atas, maka pendidikan harus

    mengedepankan ide tentang pendidikan yang humanisme, kalau ini sudah dapat dicapai maka

    sebagai bentuk usaha dari pemerintah untuk menyembuhkan krisis moral lewat pendidikan

    bisa mencapai titik terang. Sehingga tidak sulit untuk menerapkan apa yang coba diusungkan

    oleh pemerintah dalam hal mencari jalan keluar atau solusi dari krisis moral tersebut, yakni

    lewat pendidikan nilai yang dikemas dalam bentuk kurikulum baru yang lebih menekankan

    pendidikan karakter. Oleh karena itu dengan menekankan pendidikan karakter pada peserta

    didik sekolah diharapkan mampu untuk membentuk generasi-generasi muda yang lebih baik.

    Ada empat alasan mendasar mengapa sekolah pada masa sekarang perlu lebih

    bersungguh-sungguh menjadikan dirinya tempat terbaik bagi pendidikan karakter, yakni; (a)

    Banyak keluarga yang tidak melaksanakan pendidikan karakter; (b) Sekolah tidak hanya

    bertujuan membentuk anak yang cerdas , tetapi juga anak yang baik; (c) Kecerdasan seorang

    anak hanya bermakna manakala dilandasi dengan kebaikan; (d) Membentuk anak didik agar

    berkarakter tangguh bukan sekedar tugas tambahan bagi guru, melainkan tanggung jawab

    yang melekat pada perannya sebagai seorang guru.8 Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri

    Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum

    2013 Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah, pada pasal 3 ayat 3 dinyatakan bahwa

    7 Sastrapratedja, Pendidikan sebagai humanisasi,26.

    8 Saptono, Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter; Wawasan,Strategi, dan Langkah Praktis,

    (Jakarta:Esensi Erlangga Group, 2011),24.

  • 5

    kompetensi inti yang hendak dicapai terdiri atas; kompetensi inti sikap spiritual, sikap sosial,

    pengetahuan dan ketrampilan. Hal ini bisa dicapai salah satunya lewat mata pelajaran

    Pendidikan Agama Kristen.

    Pendidikan Agama Kristen (PAK), sangat berperan penting dalam pembentukan

    karakter siswa di sekolah. Di saat mata pelajaran yang lain lebih menekankan nilai pada

    ranah kognitif (pengetahuan), PAK lebih cenderung kepada ranah afektif (sikap dan

    perilaku). Menurut Thomas Groome istilah “Pendidikan Agama Kristen” dapat membantu

    mengingatkan kita lebih jauh bahwa kita semua dipanggil menjadi gereja Kristen yang

    universal,9 dalam hal ini Pendidikan Agama Kristen tidak hanya belajar dari dalam komunitas

    Kristen saja melainkan dari dunia luar dengan berbagai pengalaman-pengalaman yang ada

    dalam masyarakat umum. Ia juga mengatakan bahwa setiap jenis pendidikan cepat atau

    lambat akan mempengaruhi orang-orang dalam cara mereka menjalani kehidupan dalam

    masyarakat. Werner C. Graendorf juga mengatakan bahwa tujuan PAK adalah untuk

    membimbing individu-individu pada semua tingkat perkembangannya, dengan cara

    pendidikan kontemporer, menuju pengenalan serta pengalaman akan tujuan serta rencana

    Allah dalam hidup Kristus melalui setiap aspek kehidupan, dan juga untuk memperlengkapi

    mereka dalam pelayanan yang efektif.10

    Jadi, PAK membentuk karakter peserta didik

    berdasarkan nilai kekristenan atau wujud dari kasih yang telah Yesus ajarkan sejak dini,

    dalam hal ini pada usia remaja atau pada tingkat Sekolah Menegah Atas.

    Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah satu jenjang sekolah yang memiliki

    mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen yang dalam pelaksanaannya mengacu pada

    Kurikulum PAK 2013. Dalam mata pelajaran ini Firman Tuhan dan nilai-nilai kekristenan

    menjadi landasannya, secara tidak langsung mata pelajaran PAK sangat berperan penting

    untuk manamkan kasih yang telah Yesus ajarkan. Tentunya dengan harapan akan berimbas

    ke berbagai bidang di sekolah maupun di luar sekolah, misalnya di bidang mata pelajaran

    yang lain atau pun dalam organisasi sekolah dan bidang ekstrakulikuler. Namun sejauh mana

    PAK mempengaruhi para peserta didik dalam pembentukan pendidikan karakter? Ini perlu di

    kaji dalam suatu karya ilmiah. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengambil judul :

    “ Kurikulum Pendidikan Agama Kristen (PAK) di Sekolah Menengah Atas

    (SMA) dalam Kajian Pendidikan Karakter ”

    9 Thomas H. Groome,Christian Religious Education: Sahring Our Story and Vision, (New York:

    Harper &Row, Publishers, 1980), 24 10

    Daniel Nuhamara, Pembimbing PAK,(Bandung:Jurnal Info Media,2007),30

  • 6

    1.2. Rumusan Masalah

    Bagaimana kajian pendidikan karakter terhadap kurikulum Pendidikan Agama Kristen

    (PAK) di Sekolah Menengah Atas ?

    1.3. Tujuan

    Mendeskripsikan kajian pendidikan parakter terhadap kurikulum Pendidikan Agama

    Kristen(PAK) di Sekolah Menengah Atas.

    1.4. Manfaat Penelitian:

    1. Manfaat Teoritis: diharapkan dari penulisan ini dapat menambah kontribusi

    pengetahuan tentang peran dan dampak PAK dalam pendidikan karakter peserta didik

    disekolah.

    2. Manfaat Praktis: sebagai bahan acuan sekolah SMA lain nya.

    I.5. Metodologi Penelitian:

    1. Metode dan Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif

    dengan pendekatan kualitatif yang bermaksud untuk mendeskripsikan atau menjelaskan

    sebuah kejadian atau situasi sebagaimana adanya11

    , sehingga dapat memberikan sebuah

    gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti tanpa direkayasa.

    2. Teknik Pengumpulan Data

    Yang menjadi data primer dari penulisan ini adalah dokumen – dokumen yang

    berkaitan dengan kurikulum PAK Sekolah Menangah Atas . Dengan ini akan membantu

    proses penulisan untuk lebih spesifik dan mendetail. Dalam hal ini, kajian-kajian pustaka

    yang digunakan sangat membantu proses penulisan.

    I.6. Sistematika Penulisan:

    Dalam penulisan diatas, penulis menggunakan sistematika penulisan yakni pada

    bagian yang pertama adalah latar belakang masalah yang terdiri dari rumusan masalah, tujuan

    penelitian, manfaat penelitian, lokasi penelitian, dan metode penelitian yang terdiri dari jenis

    penelitian dan teknik pengumpulan data.Penulis menguraikan dan menjelaskan satu persatu

    dari setiap point-point yang merupakan latar belakang masalah. Setelah bagian yang pertama

    selesai kemudian dilanjutkan pada bagian yang kedua yaitu teori. Dalam penelitian ini

    penulis menggunakan teori pendidikan karakter menurut beberapa ahli dalam melihat sejauh

    mana pendidikan karakter berperan dalam membentuk kepribadian peserta didik yang

    berkarater lewat kurikulum PAK. Teori ini yang akan membantu penulis sebagai acuan untuk

    11

    Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta:CV.Rajawali, 1983), 19.

  • 7

    menjelaskan dan memahami sejauh mana PAK berperan terhadap pembentukan karakter

    peserta didik. Selanjutnya adalah bagian yang ketiga yaitu hasil penelitian dan analisis,

    kemudian pada bagian yang keempat sebagai kesimpulan dan saran.

    2. Pendidikan Agama Kristen dan Pendidikan Karakter

    2.1 Pendidikan Agama Kristen

    Pada dasarnya Pendidkan Agama Kristen sudah ada sejak zaman gereja purba. Namun

    gereja purba bukanlah penemu pendidikan agama, melainkan gerejalah yang merupakan hasil

    dari pendidikan tersebut. Hal ini disebabkan karena pesekutuan Kristen mengambil dasar

    agama Yahudi selaku dasar iman Kristen, yaitu perbuatan hebat yang dilaksanakan Allah di

    tengah-tengah umat Israel.12

    Kemudian PAK mengalami perkembangan dari masa-ke masa,

    dimana konsep pendidikan yang sudah ada dari dahulu kala mengalami perubahan demi

    perubahan hingga pada akhirnya secara teratur Pedidikan Agama Kristen dijadikan ilmu

    tersendiri.

    2.1.1 Pengertian Pendidikan Agama Kristen

    Pendidikan Agama Kristen sama seperti pendidikan yang lain yakni kegiatan yang kompleks

    dan tidak pernah ada deskripsi yang lengkap mengenai Pendidikan Agama Kristen. Salah satu

    pengertian dari PAK yang dikemukakan oleh Yohanes Calvin seorang tokoh reformasi

    protestan yang digelari doctor ecclesia ;

    “Pendidikan Agama Kristen adalah pemupukan akal orang-orang percaya dan anak-anak mereka dengan Firman Allah dibawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar yang

    dilaksanakan gereja. Sehingga dalam diri mereka dihasilkan pertumbuhan rohani yang bersinambung

    yang diejawantahkan semakin mendalam melalui pengabdian diri kepada Allah Bapa Tuhan Yesus

    Kristus berupa tindakan-tindakan kasih terhadap sesamanya.”13

    Dari rumusan pengertian diatas Calvin ingin mengutamakan sifat intelektual dan

    pengalaman belajar. Menurutnya orang-orang percaya telah dipilih dalam Kristus dan

    dijadikan anak-anak gereja, karena itu sudah sewajarnya mereka dibesarkan dalam

    lingkungan pedagogis gereja. Mereka di didik dengan Firman melelui Roh Kudus yang

    dikenakan kepada mereka sebagai peserta didik. Para peserta didik ini tidak akan tamat dalam

    sekolah mereka karena didepan mereka akan selalu ada kemungkinan-kemungkinan untuk

    belajar lagi. Dengan demikian, Calvin mengharapkan agar semua yang terlibat dalam

    pengalam-pengalaman belajar tersebut semakin berdisiplin dalam pengabdian diri kepada

    Allah, melalui pelayan-pelayan yang mewujudkan kasih dalam semua lapisan dan lembaga

    masyarakat.

    12

    Robert R.Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: dari Plato sampai Ignatius Loyola, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 1.

    13 Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran, 413.

  • 8

    2.1.2 Tujuan Pendidikan Agama Kristen (PAK)

    Mengapa kita melakukan Pendidikan Agama Kristen? Pertanyaan ini tentunya

    meminta refleksi diri dari setiap pendidik Kristen karena Pendidikan Agama Kristen tidak

    hanya memiliki satu tujuan. Hal ini dapat terjadi karena setiap pendidik memiliki tujuannya

    masing-masing dalam kegiatan pendidikan tersebut, ada yang sangat bagus dan bermanfaat

    namun ada juga yang sangat buruk. Oleh karena itu, Thomas Groome mencoba untuk

    mengusulkan tujuan utama dari pendidikan agama Kristen adalah Kerajaan Alllah.14

    Kerajaan

    Allah ini masih belum sempurna, karena itu harus disempurnakan seiring bejalannya waktu,

    kesempurnaan Kerajaan Allah berarti pemenuhan terhadap seluruh kerinduan hati manusia

    dan kebutuhan umat manusia yang autentik.15

    Konsep Kerajaan Allah sebagai tujuan dari

    PAK juga sudah nampak dari masa kehidupan Yesus, hal ini terlihat dari teks-teks Injil

    sinoptik dimana Yesus selalu atau sering membicarakan mengenai Kerajaan Allah

    (Pemerintahan Allah, Kerjaan Alla, Kerjaan surga, dsb) dalam setiap pengajaran Yesus.16

    Groome menegaskan bahwa Kerajaan Allah adalah rencana Allah bagi ciptaan-Nya

    dan merupakan tema dan tujuan utama dalam pemberitaan dan kehidupan Yesus. Oleh sebab

    itu, kegiatan PAK harus mampu mensponsori orang-orang untuk bergerak menuju ke arah

    iman Kristen dimana tujuan dari pendidikan yang demikian adalah Kerjaan Allah di didalam

    Yesus Kristus. Bagi orang-orang Kristen Kerajaan Allah dan ke-Tuhanan Kristus harus ada

    bersam-sama dalam bagian utama pemberitaan dan Pendidikan Agama Kristen. Dalam

    rangka mewujudkan Kerajaan Allah yang adalah tujuan utama PAK, Groome juga menyadari

    bahwa sejak dahulu komunitas Kristen telah mempunyai tujuan dari usaha-usaha pendidikan

    Kristen yakni untuk mempromosikan orang-orang ke arah iman Kristen sebagai realitas yang

    hidup.17

    Oleh sebab itu PAK harus bersama-sama dengan iman Kristen bergerak menuju

    tercapainya Kerajaan Allah. Disini iman bukan sesuatu yang diberikan oleh para

    pendidik/pengajar agama Kristen, tetapi iman adalah anugerah pemberian Allah (Yoh. 6:44

    dan Ef. 2:8). PAK yang adalah suatu proses pendidikan, akan membentuk dan

    14

    Kerajaan Allah yang dimaksud bukan sebagai wilayah pemerinthan atau kekuasaan, juga bukan

    sebagai konsep yang abstrak. Kerajaan Allah adalah sebuah symbol yang menunjuk pada kegiatan Allah yang

    nyata didalam sejarah yang memperhatikan kedaulatan Allah. Artinya Kerajaan Allah merupakan

    situasi/keadaan kongkrit dalam dunia yang tercipta karena adanya kegiatan-kegiatan Allah yang sedang

    berlangsung. [Thomas Groome, Christian Religius Education, 50] 15

    Thomas H. Groome,Christian Religious Education – Pendidikan Agama Kristen :Berbagi ceerita

    dan Visi Kita, Terj. Daniel Stefanus (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 52. 16

    Groome, Christian Religious Education – Pendidikan, 54 17

    Groome, Christian Religious Education – Pendidikan, 80

  • 9

    mengembangkan iman Kristen yang sudah ada pada setiap manusia untuk menciptakan atau

    menghadirkan Kerajaan Allah di lingkunagn sekitarnya.

    Menurut Groome iman Kristen merupakan realitas yang hidup memiliki tiga dimensi

    yang diekspresikan dalam tiga kegiatan yaitu; 1) iman sebagai kegiatan percaya (faith as

    believing), 2) iman sebagai kegiatan mempercayakan (faith as trusting), dan 3) iman sebagai

    kegiatan melakukan (faith as doing). Fakta bahwa iman adalah pemberian Allah tidak

    membuat usah-usaha pendidikan kita menjadi tidak perlu, sebaliknya iman harus menjadi

    Kristen secara eksplisit, dimana manusia harus memiliki hubungan yang hidup dengan Allah

    dalam Yesus, maka cerita iman komunitas Kristen harus dijumpai dalam pengalaman hidup,

    lewat tiga kegiatan tersebut.18

    Artinya dalam setiap kegiatan pendidikan agama Kristen, baik

    pengajar maupun peserta didik tidak hanya berbicara tentang konsep iman Kristen yang

    abstrak melainkan harus melakukan iman itu sebagai tindakan praxis.

    Pendidikan agama Kristen sebagai tindakan praxis, Groome mengusulkan pendekatan

    praxis oleh beberapa tokoh yang terkenal dalam kegiatan praxisnya;

    a. Aristoteles

    Menurut Aristoteles ada tiga gaya kehidupan manusia yang dapat menghasilkan suatu

    kehidupan yang bermakna, yakni: Theoria, suatu kegiatan pencarian kebenaran dengan

    proses kontemplatif/reflektif, suatu kegiatan atau tindakan yang tidak terlibat (mengasingkan

    diri, menarik diri). Praxis (praxis), suatu kegiatan dengan keterlibatan diri yang reflektif

    dalam situasi sosial. Poiesis, sebuah cara mengetahui terwujud dalam dan muncul dari

    “membuat” atau cara berhubungan dengan realitas dimana benda kongkret dihasilkan (hasil

    dari sebuah pengetahuan yang melibatkan pengetahuan).19

    Bagi Aristoteles praxis merupakan suatu kegiatan etis yang dipilih dengan bebas,

    harus selalu melibatkan pilihan yang dilakukan dengan sengaja. Segala bentuk tindakan

    praxis adalah pilihan, dan sumber dari pilihan itu adalah hasrat dan penalaran yang memiliki

    tujuan yang jelas. Aristoteles juga menjelaskan bahwa ada tiga hal yang dalam jiwa yang

    mengontrol tindakan praxis dan untuk mencapai kebenaran, yaitu perasaan, kecerdasan dan

    hasrat. Dengan demikian, praxis merupakan sebuah pilihan tindakan yang selalu melibatkan

    perasaan, disini sesungguhnya apatheia (keheningan atau tidak adanya perasaan) selalu

    menghalangi sebuah tindakan praxis. Praxis juga tidak menuruti hasrat yang tidak masuk

    18

    Groome, Christian Religious Education – Pendidikan, 107 19

    Groome, Christian Religious Education – Pendidikan, 224

  • 10

    akal, artinya bagi Aristoteles praxis adalah kegiatan manusia yang utuh-melibatkan pikiran,

    perasaan, dan gaya hidup.20

    b. Paulo Freire

    Ada tiga asumsi utama yang menjadi dasar dalam pendekatan pendidikan Paulo

    Freire. Pertama, panggilan utama dari manusia adalah humanisasi. Kedua, manusia mampu

    merubah realitas mereka, dimana manusia dapat memiliki kesadaran kritis terhadap realitas

    manusia tersebut sampai pada tingkat untuk bertindak mengubah realitas manusia itu. Ketiga,

    pendidikan tidak pernah netral. Pendidikan memiliki konsekuensi-konsekuensi politis yang

    dapat mengontrol orang-orang dengan menyesuaikan mereka dengan masyarakat yang ada

    atau untuk membebaskan mereka dalam menghadapi realitas mereka secara kreatif dan

    kristis. Berdasarkan tiga asumsi dasar ini Freire mengusulkan pendekatan “pemecahan

    masalah” refleksi kritis atas realitas masa kini sebagai bagian dari pendidikan praxis.

    Menurutnya pendidikan harus memiliki tujuan sebagai praktek pembebasan, sudah saatnya

    meninggalkan proses belajar dengan metode menyimpan pengetahuan (banking method) dan

    harus mempromosikan motode kesadaran kritis (conscientization). Dengan kesadaran kritis

    manusia akan berproses menemukan makna realita, dan mengubah realitas itu kea rah

    humanisasi.21

    Berdasarkan pendekatan praxis dari kedua tokoh diatas Groome menyimpulkan

    bahwa untuk mencapai tujuan PAK yakni menciptakan Kerajaan Allah, maka pendidikan

    agama Kristen harus dilakukan dengan pendekatan praxis karena menurutnya;22

    1) Pendekatan yang didasari pada tindakan praxis kelihatannya mampu

    mempromosikan “mengenal” dalam arti yang sesuai dengan Alkitab.

    2) Pendekatan yang didasarkan pada tindakan praxis mempertahankan kesatuan

    antara teori dan praxis, pendekatan ini lebih memungkinkan untuk

    mempromosikan iman Kristen yang hidup dan dapat mengurangi kesenjangan

    antara iman yang kita yakini dan cara kita hidup.

    3) Pendekatan yang didasari pada tindakan praxis lebih mampu untuk mepromosikan

    emansipasi dan kebebasan manusia dari pada cara memahami teori ke dalam

    praktik.

    20

    Groome, Christian Religious Education – Pendidikan, 226 21

    Groome, Christian Religious Education – Pendidikan, 257. 22

    Groome, Christian Religious Education – Pendidikan, 259.

  • 11

    2.2. Pendidikan Karakter

    2.2.1. Pengertian Pendidikan Karakter

    Menurut Wynne (1191), karakter berasal dari bahasa Yunani “karasso” yang berarti

    “to mark” (menandai) atau mengukir dan memfokuskan bagaimana menerapkan nilai-nilai

    kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari.23

    Pada masa Yunani kuno konsep

    karakter ini telah dipakai oleh beberapa filsuf dalam pengajaran mereka. Pertama, Socrates

    menilai bahwa formulasi doktrin kebaikan adalah pengetahuan. Bagi Socrates orang yang

    bijak adalah orang yang mengetahui, dimana pengetahuan yang benar akan membimbing

    pada tindakan yang benar. Jadi, dalam karakter Socrates yang bisa diambil adalah bahwa

    nilai-nilai yang lahir dari pengetahuan yang benar amatlah penting dalam pembentukan nilai

    oleh seseorang.24

    Kedua, setelah Socrates munculah muridnya yang bernama Plato. Menurut

    Plato orang-orang yang keutamaannya mengejar kesuksesan, rasa hormat, dan popularitas

    adalah orang yang berkarakter rendah. Sebaliknya, Plato berusaha mencetak karakter dengan

    ukuran kebijaksanaa sebagai akibat dari pengetahuannya (kebajiakan adalah pengetahuan).

    Plato percaya bahwa dengan mencetak orang-orang yang bijak, kita dapat menciptakan

    Negara yang ideal. Ketiga, Aristotels dalam karyanya buku “Etika Nikomakea” mengatakan

    bahwa hidup harus bertujuan pada eudaminia yang bila dipahami dengan baik akan

    menghasilkan perbuatan dan moral yang baik dan bijak. Aristoteles memaknai pendidikan

    dengan menekankan pada tujuan praxis sebuah pendidikan sabagai jalan menuju

    eudamonia.25

    Thomas Lickona mengatakan bahwa karakter yang baik terdiri dari mengetahui hal

    yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan hal yang baik – kebiasaan dalam cara

    berpikir, kebiasaan dalam hati, dan kebiasaan dalam tindakan.26

    Menurut Lickona ketiga hal

    tersebut mengarahkan anak-anak peserta didik pada kehidupan yang bermoral. Dalam buku

    “Whats Works in Character Educations” oleh Marvin Berkowitz dikatakan bahwa

    pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan

    karakter yang baik (good character) berlandaskan kebijakan-kebijakan inti (core virtues)

    yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat.27

    Mulyasa dalam buku

    23

    H.E.Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Askara, 2014), 3 24

    Fatchul Mu’in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 304.

    25 Mu’in, Pendidikan Karakter , 305 – 306 .

    26 Thomas Lickona, Edocation For Character : How our schools can teach respect and responsibility.

    Terj. J.A Wamaungo, (Jakarta: Bumi Askara, 2013), 82. 27

    Marvin W. Berkowitz & Melinda C. Bier, Whats Works in CharacterEducations: A Research-driven

    Guide for Educators,(Washington DC: Character Education Partnership, 2005),2.

  • 12

    “Manajemen Pendidikan Karakter” mengatakan bahwa pendidikan karakter bermakna lebih

    tinggi dari pada moral, karena pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah

    benar – salah, melainkan suatu proses untuk dapat menanamkan kebiasaan (habit) mengenai

    hal-hal yang baik dalam kehidupan, sehingga peserta didik dapat memiliki kesadaran,

    pemahaman yang tinggi, dan kepedulian serta komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam

    kehidupan sehari-hari.28

    Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Ratna Megawangi bahwa

    moral dan karakter memiliki perbedaan. Moral adalah pengetahuan seseorang tentang hal

    yang baik dan buruk. Sedangkan karakter adalah tabiat seseorang dalam setiap tindakan dan

    perilakunya langsung di-drive oleh otak. Oleh sebab itu, dengan adanya pendidikan karakter

    dapat mengakomodasikan peran dan fungsi pendidikan yang bernilai.29

    Tetapi secara

    substansial moral dan karakter tidak memiliki perbedaan yang prinsipil.

    2.2.2. Inti dan Komponen Karakter

    Karakter yang baik harus didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan

    untuk berbuat baik dan melakukan perbuatan kebaikan. Peterson dan Seligman (2004)

    mengusulkan konsep klasifikasi karakter dengan menggunakan model klasifikasi dari

    Linnean yaitu virtues (kebajikan), character strengths (kekuatan karakter) dan situational

    themes (kondisi situasional).30

    Pada level pertama yakni virtues (kebijaksanaan) terdapat nilai-nilai inti yang

    karakteristiknya dinilai melalui cara pandang moral filosofi dan pemikiran religious. Nilai-

    nilai inti tersebut mencakup ;

    - Kebijaksanaan dan pengetahuan yaitu kekuatan kognitif yang memerlukan

    akuisisi dan penggunaan pengetahuan.

    - Keberanian yaitu kekuatan emosional yang melibatkan latihan untuk mencapai

    tujuan dalam menghadapi oposisi, eksternal atau internal.

    - Kemanusiaan yaitu kekuatan interpersonal untuk melibatkan, merawat dan

    berteman dengan orang lain.

    - Keadilan yaitu kekuatan sipil yang mendasari kesehatan kehidupan masyarakat.

    - Kesederhanaan yaitu kekuatan untuk melindungi dan melawan suatu kelebihan.

    - Transendensi yaitu kekuatan yang membentuk koneksi ke alam yang lebih besar

    dan memberikan suatu makna.

    28

    Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, 3. 29

    Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter : Konsepsi dan Aplikasi dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2012), 33

    30 Roslyn De Braine, Leadership, Character and Its Development: A Qualitative Exploration, SA

    (Journal of Human Resource Management, 2007), 2

  • 13

    Pada level kedua atau kekuatan karakter (character strengths), faktor-faktor

    psikologis membentuk dan memproses mekanisme nilai-nilai virtues. Kemudian mampu

    membedakan rute untuk menunjukan satu dengan yang lain dari nilai virtues, yaitu;31

    - Kebijaksanaan dan pengetahuan (wisdom & knowledge) meliputi kreativitas

    (orisinalitas), rasa ingin tahu, pemikiran yang terbuka, belajar kasih sayang dan

    perspektif kebijaksanaan.

    - Keberanian (courage) meliputi persistensi (kegigihan, keuletan), integritas

    (ketulusan dan kejujuran) dan vitalitas (semangat antusiasme).

    - Kemanusiaan (humanity) meliputi cinta kasih, kebaikan dan kecerdasan sosial

    (kecerdasn emosional dan kecerdasan pribadi).

    - Keadilan (justice) meliputi kewarganegaraan (tanggung jawab sosial, loyalitas dan

    kerja sama), melakukan keadilan dan kepemimpinan.

    - Kesederhanaan (temperance) meliputi pengampunan dan belas kasihan,

    kerendahan hati, kehati-hatian dan pengendalian diri.

    - Transendensi (transendence) meliputi apresiasi keindahan dan keunggulan

    (kekaguman), perasaan bersyukur (rasa terima kasih), harapan (optimis,

    berorientasi ke masa depan), humor dan spiritualitas.

    Kemudian pada level yang terakhir yaitu kondisi situasional (situational themes),

    pada situasi tertentu dapat mendorong orang untuk dapat menunjukan karakter seperti apa

    yang akan keluar sesuai dengan situasi yang dialaminya.

    Selain inti karakter yang menjadi dasar paling utama suatu karakter baik itu terbentuk,

    Lickona murumuskan suatu konsep komponen karakter yang baik, yaitu pengetahuan moral

    (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action). Ketiga

    konsep ini memiliki komponennya masing masing. Gambar berikut ini merupakan bagan

    keterkaitan antara ketiga kerangka konsep dan komponen karakter yang baik32

    .

    31

    Braine, Leadership, Character and Its, 3. 32

    Lickona, Edocation For Character, 84

    Karakter

    Pengetahuan Moral: - Kesadaran moral - Pengetahuan nilai moral - Penentuan respektif - Pemikiran moral - Pengambilan keputusan

    - Pengetahuan pribadi

    Perasaan Moral: - Hati nurani - Harga diri / percaya diri - Empati - Mencintai kebaikan - Pengendalian diri - Kerendahan hati Tindakan Moral:

    - Kompetensi/ kemampuan - Keinginan/kemauan - Kebiasaan

  • 14

    1. Pengetahuan Moral (moral knowing).

    a. Kesadaran Moral. Dua tanggung jawab moral yang harus diambil oleh manusia

    khusunya orang muda, yang pertama adalah menggunakan pemikiran mereka untuk melihat

    suatu situasi yang memerlukan penilaian moral kemudian memikirkan dengan cermat ke arah

    mana suatu tindakan yang memiliki nilai kebenaran. Yang kedua adalah memahami informasi

    dari permasalaahn yang bersangkutan.33

    Kesadaran moral ini dapat membantu peserta didik

    untuk bisa menentukan fakta sebelum mengambil keputusan suatu nilai moral.

    b. Mengetahui Nilai Moral. Nilai-nilai moral yakni menghargai kehidupan, tanggung

    jawab bagi orang lain, jujur, toleransi, keadilan, rasa hormat, disiplin diri, integritas,

    kebaikan, belas kasih, dan dorongan/dukungan adalah nilai untuk menjadi pribadi yang

    baik.34

    c. Penentuan Prespektif. Ini merupakan prasyarat dalam penilaian moral, dimana kita

    harus bisa memahami dan menentukan suatu penilaian dari sudut pandang orang lain, melihat

    situasi yang sebenarnya, ikut merasakan apa yang meraka rasakan, bereaksi dan

    membayangkan apa yang akan mereka lakukan. Sasaran fundamental moral adalah peserta

    didik mengalami dunia bukan dari sudut pandang mereka sendiri melainkan dari sudut

    pandang orang lain yang benar-benar berbeda dari diri mereka.35

    d. Pemikiran Moral. Manusia mempelajari pemikiran moral yang baik dan yang

    tidak baik melalui tindakan atau perbuatan suatu hal. Artinya manusia selalu bertindak untuk

    mencapai kebaikan yang terbaik dan bertindak seolah-olah dengan apa yang kita lakukan

    orang lain juga akan melakukan hal yang sama pada situasi serupa.36

    e. Pengambilan Keputusan.37 Manusia harus mampu memikirkan bagaimana

    mengambil keputusan yang memiliki nilai moral, dimana ketika kita bertindak dalam

    permasalahan moral kita dapat mengetahui konsekuensi apa yang akan terjadi, tentunya ke

    arah memaksimalkan konsekuensi yang baik dan lebih bernilai.

    f. Pengetahuan Pribadi. Kita harus dapat mengulas dan mengevaluasi secara kritis

    perilaku kita, agar dapat menjadi manusia yang bermoral.38

    Dengan demikian kita mnjadi

    sadar akan kekuatan dan kelemahan karakter diri kita, sehingga kita dapat mengolah

    kelemahan kita didalam karakter tersebut.

    33

    Lickona, Edocation For Character, 86 34

    Lickona, Edocation For Character, 87 35

    Lickona, Edocation For Character, 88 36

    Lickona, Edocation For Character, 88 37

    Lickona, Edocation For Character, 89. 38

    Lickona, Edocation For Character, 89.

  • 15

    2. Perasaan Moral (moral feeling)

    a. Hati Nurani. Ada dua sisi yang harus diperhatikan yakni sisi kognitif (mengetahui

    apa yang benar) dan sisi emosional (merasa berkewajiban untuk melakukan apa yang benar).

    Dengan hati nurani kita memiliki kemampuan untuk merasa bersalah yang membangun

    (constructive guilt).39

    b. Harga Diri / Percaya diri. Dengan kepercayaan diri kita dapat menilai diri kita

    sendiri tanpa bergantung pada persetujuan orang lain. Kemudian, kita dapat mengembangkan

    harga diri/percaya diri berdasarkan rasa tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan yang

    diyakini dari kemampuan diri kita sendiri.40

    c. Empati. Rasa empati ini merupakan cara kita memahami atau mengidentifikasi

    suatu keadaan dengan cara seolah-olah sedang terjadi dalam keadaaan orang lain. Empati

    mempukan kita untuk keluar dari diri kita sendiri dan masuk kedalam diri orang lain.41

    d. Mencintai Kebaikan. Seseorang telah mencintai kebaikan, maka ia akan

    melakukan hal-hal yang baik itu. Ini adalah bentuk karakter yang tertinggi dimana seseorang

    bisa mengikutsertakan sifat yang benar-benar tertarik pada hal yang baik (moralitas).42

    e. Pengendalian Diri. Dalam kebaikan moral manusia perlu pengendalian diri, hal ini

    diperlukan untuk menahan diri agar tidak memanjakan diri kita. Dengan pengendalian diri

    memampukan kita untuk dapat beretika bahkan disaat kita tidak menginginkannya.43

    f. Kerendahan Hati. Rendah hati merupakan sisi afektif dari pengetahuan pribadi.

    Kerendahan hati membantu kita mengatasi kesombongan dan melindungi kita dari keinginan

    untuk berbuat jahat.44

    3. Tindakan Moral (moral action)

    a. Kompetensi / Kemampuan. Komponen ini memiliki kemampuan untuk mengubah

    penialain dari perasaan moral kedalam tindakan moral yang efektif.45

    Kemampuan untuk

    mengolah perasaan yang dirasakan (misalnya rasa empati) menjadi suatu tindakan nyata yang

    bisa dirasakan manfaatnya oleh orang lain.

    39

    Lickona, Edocation For Character, 93. 40

    Lickona, Edocation For Character, 93. 41

    Lickona, Edocation For Character, 94. 42

    Lickona, Edocation For Character, 95. 43

    Lickona, Edocation For Character, 96. 44

    Lickona, Edocation For Character, 97. 45

    Lickona, Edocation For Character, 98.

  • 16

    b. Keinginan / Kemauan. Untuk menjadi sesorang yang baik ia memerlukan tindakan

    keinginan yang baik atau suatu penggerak dari dalam diri untuk melakuan apa yang kita pikir

    itu baik dan harus dilakukan. Keinginan ini berada pada inti dari dorongan moral.46

    c. Kebiasaan. Kebiasaan untuk melakuakan hal yang baik harus dilakukan terus

    menerus (tindakan habit) sehingga moral action dapat terus terwujud dalam dirinya bahkan

    dalam situasi tersulit sekalipun.47

    2.2.3 Elemen – Elemen Karakter

    Inti karakter dan komponen karakter di atas ternyata masih berada pada tatanan

    konseptual dari karakter, sehingga dibuthkan elemen – elemen karakter yang merupakan

    perwujudan dari kedua konsep sebelumnya dalam wujud praktis atau lebih dari pada itu

    sebagai tindakan praxis. Elemen – elemen karakter tersebut ialah:48

    1. Kepemimpinan (leadership). Seorang pemimpin adalah memimpin dengan contoh

    sebagai panutan dan teladan, memungkinkan orang lain untuk melakukan

    pekerjaan sesuai dengan bidangnya. Pemimpin memberikan kepuasan serta

    menginspirasi bawahannya, kemudian mereka akan meningkatkan kinerja dan

    mengembangkan etos kerja mereka;

    2. Integritas (intergrity / faithfulness) yaitu perkataan yang benar dan yang dapat

    dipercaya dalam kondisi apapun. Konsisten dan setia dalam setiap tugas dan

    tanggung jawab.

    3. Kerajinan (industriousness) yaitu karakter dan kemampuan yang menghasilkan

    kualitas kerja yang tinggi secara konsisten. Terdapat kemauan dalam diri untuk

    terus giat dalam mengahasilkan karya.

    4. Empati (empathy) mendasari semua aspek kepemimpinan dengan menempatkan

    diri pada posisi orang lain untuk memahami apa kebutuhan mereka dalam posisi

    mereka, agar benar-benar berkomunikasi secara efektif mendapatkan perspektif

    yang seimbang dan membangun rasa hormat dari orang lain;

    5. Kesetiaan (loyalty). Kesetiaan kepada diri sendiri, orang lain dan atau lembaga

    menggambarkan citra dan komitmen diri.

    6. Optimisme (optimism) dalam melakukan sesuatu yang melibihi dari yang

    diharapkan.

    46

    Lickona, Edocation For Character, 99. 47

    Lickona, Edocation For Character, 99. 48

    Braine, Leadership, Character and Its, 6

  • 17

    7. Keadilan (fairness) menerapkan aturan secara konsisten dan memberikan orang

    lain kesempatan yang sama.

    8. Belas kasihan (compassion) bagian sisi manusia yang membutuhkan perhatian dan

    konseling untuk masalah yang dihadapinya.

    9. Cinta (love) merupakan layanan dalam konsep kasih, tulus dan peduli. Hal ini

    bersifat universal dan mempunyai prinsip yang mendukung perkembangan dan

    pembangunan kehidupan masyarakat.

    10. Humor (humour) sebagai suatu cara manusia untuk keluar dari situasi yang terlalu

    serius, menjadi sebuah selingan dan hiburan dalam mengatasi masalah.

    11. Disiplin diri (self-disclipline), bertanggung jawab dalam setiap kegiatan dalam

    organisasi, dibutuhkan kedisiplinan untuk mematuhi kebijakan dan prosedur

    dalam peruhasan

    12. Ketekunan (perverance) merupakan keinginan bawaan atau gairah untuk

    mencapai sesuatu.

    13. Percaya diri (seff-confidance), keputusan yang diambil membuatnya percaya diri

    itu benar atau buruk dan orang lain mengakuinya.

    14. Kerendahan hati (humility), tidak pernah berpikir bahwa kita selalu lebih baik dari

    orang lain, selalu menempatkan sikap untuk terus belajar dan ingin selalu

    berkembang tanpa merasa hebat.

    15. Pengetahuan diri (self-knowledge) yaitu mengetahui kekuatan dan kelemahan diri

    serta jujur terhadap diri sendiri.

    16. Inisiatif (initiative) selalu berkeinginan untuk “menjadi” tanpa harus menunggu

    dorongan orang lain.

    17. Hati nurani (conscience), dorongan untuk bertindak benar atau salah, pada taraf

    ini biasa nilai kebenaran yang selalu diutamakan.

    18. Kreativitas (creativity) , memodifikasi diri, memiliki ide-ide baru yang inovatif,

    dan tidak hanya pada tataran ide tetapi mengahasilkan sesuatu yang kreatif.

    19. Spiritualitas (spirituality), dimensi kekuatan dari dalam yang melampaui diri

    sendiri, dalam hal yang berkaitan dengan roh dan emosi.

    Selain elemen-elemen karakter di atas, McElmeel (2002), memberikan ciri-ciri

    karakter manusia yang memenuhi inti dan komponen karakter yaitu; kepedulian, keberanian,

    rasa ingin tahu, fleksibilitas, persahabatan, kerendahan hati, humor, inisiatif, integritas,

    kesabaran, beprilaku baik, pemecahan masalah, disiplin diri dan kerja sama.

  • 18

    3. Peran Pendidikan Karakter dalam Kurikulum PAK

    Kurikulum 2013 ini adalah kurikulum yang di rancang oleh pemerintah sebagai

    kurikulum baru setelah mengembangkannya dari kurikulum sebelumnya yakni Kurikulum

    Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini bertujuan untuk mempersiapkan manusia

    Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman,

    produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan

    bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Sesuai dengan Peraturan Menteri

    Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur

    Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah,49

    kurikulum ini memiliki beberapa

    bagian penting yakni;

    a. Karakteristik Kurikulum 2013

    1. Mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa

    ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik;

    2. Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar

    terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke

    masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar;

    3. Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkannya dalam

    berbagai situasi di sekolah dan masyarakat;

    4. Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap,

    pengetahuan, dan keterampilan;

    5. Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut

    dalam kompetensi dasar mata pelajaran;

    6. Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements)

    kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran

    dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti;

    7. Kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling

    memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antar mata pelajaran dan

    jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal).

    Karakteristik kurikulum yang dijabarkan ke dalam tujuh poin diatas merupakan ciri

    khas dari kurikulum ini. Tentunya karakteristik ini yang dasar sehingga kurikulum 2013 ini

    49

    Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah dalam

    https://urip.files.wordpress.com/2013/06/07-b-salinan-lampiran-permendikbud-no-69-tahun-2013-ttg-

    kurikulum-sma-ma.pdf, diakses 10 Juni 2015.

    https://urip.files.wordpress.com/2013/06/07-b-salinan-lampiran-permendikbud-no-69-tahun-2013-ttg-kurikulum-sma-ma.pdfhttps://urip.files.wordpress.com/2013/06/07-b-salinan-lampiran-permendikbud-no-69-tahun-2013-ttg-kurikulum-sma-ma.pdf

  • 19

    berbeda dari kurikulum yang sebelumnya. Tujuh poin diatas merupakan hal-hal yang ingin

    dicapai oleh pemerintah yang belum tercapai pada karikulum sebelumnya baik itu kurikulum

    KBK maupun kurikulum KTSP.

    Karakteristik kurikulum 2013 ini nampaknya ingin menciptakan peserta didiknya

    menjadi generasi – generasi baru yang mempunyai keseimbangan antara pengembangan

    sikap spiritual dan sosial, yang kemudian dengan segala pengetahuan yang didapat disekolah

    dapat menerapkanya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mencapai hal tersebut tentunya

    harus ada kompetensi yang dicapai, berdasarkan karakteristik di atas maka kompetensi

    dinyatakan dalam kompetensi inti dan kompetensi dasar.

    Penulis melihat bahwa dalam karakteristik ini sudah nampak nilai-nilai dari inti dan

    komponen karakter, dimana jelas dijabarkan pada poin satu sampai empat tentang peserta

    didik seperti apa yang diinginkan nantinya. Pada poin tersebut terdapat unsur-unsur yang

    dibutuhkan untuk menjadi peserta didik yang berkarakter baik yakni moral knowing,

    curiosity, wisdom and knowledge, dan moral action. Pemerintah menyadari bahwa nilai-nilai

    karakter ini sangat dibutuhkan, dimana peserta didik yang dihasilkan harus mampu

    memahami dan menganalisa lalu mengambil tindakan yang sesuai dengan pengetahuan yang

    dimilikinya. Namun ini baru sebagai konsep ideal yang diinginkan oleh pemerintah. Oleh

    sebab itu pada poin ke lima sampai tujuh dalam karakteristik kurikulum 2013 ini, dipaparkan

    bagaimana cara agar poin pertama sampai ke empat dapat tercapai, yakni dengan kompetensi

    inti dan kompetensi dasar.

    b. Landasan Filosofis

    Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan filosofis yang memberikan dasar

    bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia berkualitas

    yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. Pada dasarnya tidak ada satupun filosofi

    pendidikan yang dapat digunakan secara spesifik untuk pengembangan kurikulum yang dapat

    menghasilkan manusia yang berkualitas. Berdasarkan hal tersebut, Kurikulum 2013

    dikembangkan menggunakan filosofi sebagai berikut:

    1. Pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa

    kini dan masa mendatang. Pandangan ini menjadikan Kurikulum 2013 dikembangkan

    berdasarkan budaya bangsa Indonesia yang beragam, diarahkan untuk membangun kehidupan

    masa kini, dan untuk membangun dasar bagi kehidupan bangsa yang lebih baik di masa

    depan. Mempersiapkan peserta didik untuk kehidupan masa depan selalu menjadi kepedulian

  • 20

    kurikulum, hal ini mengandung makna bahwa kurikulum adalah rancangan pendidikan untuk

    mempersiapkan kehidupan generasi muda bangsa.

    Pendidikan sebagai upaya mempersiapkan peserta didik menjadi generasi muda yang

    lebih baik di masa depan. Bangsa Indonesia yang memiliki banyak kebudayaan, tentunya

    harus diperhatikan dengan benar oleh pendidikan itu sendiri, agar dalam penerapan

    pendidikan ini sesuai dengan kebudayaan yang ada di Indonesia. Dalam pendidikan terdapat

    konsep atau dimensi masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Jadi menurut

    penulis landasan filosofis dari kurikulum 2013, khususnya pada poin ini sudah memenuhi

    dimensi pendidikan tersebut. Dalam penerapan pendidikan di Indonesia lewat kurikulum ini

    peserta didik diajarkan untuk tidak melupakan masa lalu dari bangsa ini yakni kebudayaan

    yang sudah ada dari dulu dan membentuk konsep diri primer masayarakat indonesia,

    kemudian dari beragam kebudayaan itu akan membangun pemahaman peserta didik pada

    masa kini dan membangun dasar yang baik untuk kehidupan bangsa dimasa depan sebagai

    kesadaran yang ingin dicapai.

    Beragam budaya berarti beragam pula watak dan kebiasaan dari setiap masyarakat

    Indonesia, oleh sebab itu diperlukan nilai-nilai karakter dalam memaknai kebudayaan kita

    yang beragam ini. Menurut penulis peserta didik juga harus memiliki nilai kebijaksanaan dan

    pengetahuan yang merupakan bagian dari virtue sebagai inti karakter, terutama pengetahuan

    tentang kebudayaan itu sendiri. Dampaknya adalah peserta didik mampu menganalisa

    kebudayaan orang lain yang berbeda dari dirinya kemudian menghargainya. Selain itu di

    butuhkan juga moral feeling yang merupakan bagian dari rasa empati, percaya diri, dan

    rendah hati. Dengan moral feeling peserta didik akan merasa percaya diri dengan

    kebudayaannya yang berbeda dari yang lain, namun bisa juga ikut merasakan sebagai bagian

    dari kebudayaan orang lain. Namun yang paling penting adalah peserta didik tidak merasa

    kebudayaannya lebih baik dari kebudayaan orang lain.

    2. Peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Menurut pandangan

    filosofi ini, prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di masa lampau adalah sesuatu

    yang harus termuat dalam isi kurikulum untuk dipelajari peserta didik. Proses pendidikan

    adalah suatu proses yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan

    potensi dirinya menjadi kemampuan berpikir rasional dan kecemerlangan akademik dengan

    memberikan makna terhadap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari dari warisan

    budaya berdasarkan makna yang ditentukan oleh lensa budayanya dan sesuai dengan tingkat

    kematangan psikologis serta kematangan fisik peserta didik. Kurikulum 2013 juga

  • 21

    memposisikan keunggulan budaya tersebut dipelajari untuk menimbulkan rasa bangga,

    diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan pribadi, dalam interaksi sosial di

    masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan berbangsa masa kini.

    Pada poin ini landasan filosofis yang hendak dibangun adalah peserta didik sebagai

    pewaris dari kebudayaan bangsa kemudian dapat mengeksposnya dengan kreatif. Dalam hal

    ini peserta didik dorong untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya untuk dapat

    berpikir secara rasional terhadap hal-hal yang dihadapinya. Selain itu landasan ini berupaya

    untuk melestarikan kebudayaan bangsa dan kemudian menanamkan rasa kebanggaan atas

    budaya tersebut.

    Pada tataran ini landasan filosofi dari kurikulum 2013 ini juga sudah memenuhi

    sebagian hakikat pendidikan itu sendiri. Dimana menurut Driyarkara bahwa pendidikan

    merupakan proses perubahan ganda, yakni perubahan dalam diri manusia (muda) sendiri,

    yang disebut eksistensia, dan proses ini berlangsung dalam masyarakat dan budaya yang juga

    berubah. Oleh karena itu dalam pendidikan, manusia (muda) itu berubah juga bersama

    dengan lingkungan hidupnya. Sebenarnya pemerintah ingin ada suatu tindakan untu

    melestarikan kebudayaan tersebut sebagai bagian dari pendidikan. Dalam hal ini peserta didik

    harus mewujudkannya dengan nilai karakter yang terdapat pada moral action sebagai

    komponen karakter. Dalam moral action sisi kemampuan, kemauan dan kebiasaan. Peserta

    didik dengan kempuan yang ia miliki, akan mengembangkan potensi dalam dirinya kemudian

    ada hasrat kemauan untuk melakukan dalam kehidupannya, dan itu dilakukan secara terus

    menerus menjadi suatu kebiasaan yang baik.

    3. Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan

    kecemerlangan akademik melalui pendidikan disiplin ilmu. Filosofi ini menentukan bahwa isi

    kurikulum adalah disiplin ilmu dan pembelajaran adalah pembelajaran disiplin ilmu

    (essentialism). Filosofi ini mewajibkan kurikulum memiliki nama mata pelajaran yang sama

    dengan nama disiplin ilmu, selalu bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual

    dan kecemerlangan akademik.

    Landasan filosofi ini pemerintah ingin menekankan bahwa mata pelajaran yang

    beredar di sekolah-sekolah harus sesuai dengan disiplin ilmu yang ada. Hal ini dijadikan

    sebagi landasan filosofi karena terdapat banyak sekolah yang memiliki mata pelajar tidak

    sesui dengan kontennya atau ilmu yang harus diberikan. Hal ini akan berdampak buruk bagi

    siswa kalau dibiarkan terus berlanjut, karena siswa nantinya akan seperti orang yang

    kelihatanya mengetahui banyak hal padahal hanya sedikit yang dia pahami.

  • 22

    Pada poin ini, pemerintah menyadari bahwa untuk mengembangkan kecerdasan

    manusia tidak ada jalan lain selain pendidikan, oleh kerana itu pendidikan yang di ajarkan

    harus sesuai dengan disiplin ilmu yang dibutuhkan peserta didik tersebut. Hal ini sesuai

    denagn konsep Whitehead bahwa pada dasarnya manusia bisa berkembang dengan sendirinya

    menuju kearah yang lebih baik, namun karena perkembangan itu secara alami bergerak

    lambat, maka dibutuhkan intervensi pendidikan. Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan

    peserta didik akan lebih cepat membantu proses perkembangan peserta didik tersebut.

    Ketika pendidikan sudah dilakukan secara benar, dalam hal ini mata pelajaran sudah

    sesuai dengan disiplin ilmu yang dibutuhkan maka dengan sendirinya peserta didik akan

    mudah memahami dan manyukai pelajaran tersebut. Sehingga, elemen-elemen karakter yang

    berkaitan dengan kerajinan, ketekunan, optimis, percaya diri, inisiatif dan kreatif akan mudah

    di wujudkan oleh peserta didik. Peserta didik akan dengan gembira dan sangat berantusias

    dalam mengikuti proses pembelajaran, bukan tidak mungkin mereka akan menghasilkan

    karya-karya yang kreatif dan luar biasa. Karena pada dasarnya ketika mereka mata pelajaran

    sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka butuhkan, konsep inti karakter akan berhasil

    dicapai.

    4. Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih

    baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, kemampuan berkomunikasi,

    sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan

    bangsa yang lebih baik (experimentalism and sosial reconstructivism).

    Landasan filosofis yang terakhir ini sebenarnya menunjukan suatu konsep ideal yang

    hanya akan tercapai ketika tiga poin sebelumnya sudah tercapai. Pada poin ini pemerintah

    ingin pendidikan untuk menciptakan generasi baru yang mampu membangun kehidupan yang

    lebih baik dari sebelumnya. Hasil dari pendidikan tersebut tidak hanya di nikmati sendiri oleh

    peserta didik, melainkan harus mampu ditransformasikan ke lingkungan masyarakat dan

    bangsa. Hasil pendidikan yang bagaimana? Paling tidak hasil pendidikan yang mampu

    membawa perubahan pada diri sendiri kearah yang lebih baik. Dengan landasan filosofi ini,

    sebenarnya Kurikulum 2013 bermaksud untuk mengembangkan potensi peserta didik

    menjadi kemampuan dalam berpikir reflektif bagi penyelesaian masalah sosial di masyarakat,

    dan untuk membangun kehidupan masyarakat demokratis yang lebih baik.

    Perubahan pada diri sendiri dan masyarakat luas hanya bisa tercapai ketika semua

    elemen-elemen karakter bisa dilakukan. Pembentukan karakter peserta didik dari proses

    pembelajaran harus berhasil peserta didik sehingga mampu membawa perubahan, virtue

  • 23

    sebagai inti karakter yang mempunyai kekuatan untuk dapat mengetahui dan mengendalikan

    diri dengan situasi yang dia hadapi. Moral knowing sebagai bentuk kesadaran diri untuk

    mengetahui mana yang baik dan buruk, kemudian dengan moral feeling dapat menumbuhkan

    rasa percaya diri, berempati dengan orang lain, mencintai kebaikan dan tidak pernah merasa

    lebih hebat dari orang lain, yang terakhir adalah tindakan, dengan kemampuan kita

    melakukan sesuatu kebaikan dan itu atas dasar kemauan diri sendiri bukan dorongan orang

    lain. Dengan demikian maka peserta didik sudah siap untuk membawa perubahan dalam

    dirinya dan masyarakat sekitar.

    c. Standar Kompetensi Kelulusan SMA/MA/SMK/MAK/SMALB/Paket C50

    Dimensi Sikap : Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman,

    berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara

    efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan

    bangsa dalam pergaulan dunia.

    Dimensi Pengetahuan : Memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan

    metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan

    kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab serta dampak

    fenomena dan kejadian.

    Dimensi Ketrampilan : Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif

    dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yang dipelajari di sekolah

    secara mandiri.

    Standar Kompetensi Kelulusan ini merupakan standar paling dasar yang harus di

    capai para peserta didik untuk bisa dinyatakan lulus atau berhasil dari proses pembelajaran

    selama satu semester. Berkaitan dengan kurikulum 2013 yang lebih menekankan pada

    pengembangan karakter sudah seharusnya standar kompetensi kelulusan ini memiliki unsur

    karakter yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Hal ini bertujuan supaya paserta didik

    yang dinyatakan lulus atau berhasil benar-benar menjadi peserta didik yang berkarakter yang

    baik dan bermoralitas. Dari ketiga dimensi yang hendak dicapai yaitu dimensi sikap,

    pengetahuan dan keterampilan di atas tentunya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat

    dipisahkan. Artinya ketiga-tiga nya harus dicapai oleh peserta didik untuk dapat dinyatakan

    lulus.

    50

    Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 54 Tahun 2013 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar Dan Menengah dalam

    https://urip.files.wordpress.com/2013/06/01-b-salinan-lampiran-permendikbud-no-54-tahun-2013-ttg-skl.pdf,

    diakses 10 Juni 2015.

    https://urip.files.wordpress.com/2013/06/01-b-salinan-lampiran-permendikbud-no-54-tahun-2013-ttg-skl.pdf

  • 24

    Standar kompetensi kelulusan ini menginginkan peserta didik untuk lulus dengan

    karakter yang baik dan mampu membawa perubahan. Hal ini bisa dilihat dari dimensi

    pertama yakni sikap, peserta didik dituntut untuk mampu memiliki perilaku yang

    mencerminkan sikap yang baik. Peserta didik harus memiliki nilai karakter untuk dapat

    membentuk dirinya menjadi individu yang bersikap baik, yang paling utama adalah ia harus

    mempunyai konsep tentang karakter yang baik itu seperti apa, kemudian mengolah dan

    menerimanya dalam diri dan melakukan dalam kehidupannya. Dimensi sikap ini lebih

    menekankan bagaimana peserta didik mengambil sikap dan berinteraksi dalam alam dan

    lingkungan sosial, berkaitan dengan sikap maka moral feeling tentunya sangat berpengaruh

    bagaimana dalam pengambilan sikap selalu diikuti dengan pertimbangan hati nuraninya.

    Kadang kala dengan pengetahuan kita ingin mencoba melakukan sesuatu yang negatif namun

    hati nuranilah yang selalu mengingatkan kita.

    Demensi yang kedua yang hendak dicapai peserta didik adalah pengetahuan. Peserta

    didik tentunya diharapkan memiliki pengetahuan yang baik tentang ilmu pengetahuan,

    teknologi, seni dan budaya. Pada dimensi ini peserta didik yang dinyatakan lulus atau

    berhasil ialah mereka yang memiliki nilai-nilai karakter yaitu pengetahuan dan

    kebijaksanaan, serta kemanusiaan sebagai bagian dari kekuatan karakter, selain itu kesadaran

    moral, pengetahuan pribadi dan penentuan perspektif dalam moral knowing juga diperlukan.

    Dengan demikian peserta didik dapat lebih bijak dalam menyelesaikan masalah dengan

    pengetahuannya, ia mampu memikirkan dengan cermat arah mana suatu tindakan yang

    memiliki nilai kebenarnanya. Juga dengan kebijaksaan peserta didik mampu merespon segala

    pesrubahan sosial yang terjadi.

    Dimensi yang terakhir yang harus dicapai peserta didik adalah dimensi keterampilan.

    Pesrta didik harus mempunyai keterampilan yang baik, dari hasil pembelajaran pengetahuan

    yang didapat kemudian dikelolah dan menghasilkan suatu kreativitas yang baik. Peserta didik

    tidak cukup hanya memiliki sikap dan penetahuan yang baik, ia juga harus terampil dalam

    bidangnya. Ketrampilan ini akan menjadi kerampilan yang baik ketika pesrta didik mampu

    mewujudkan elemen-elemen karakter dalam dirinya. Elemen karakter seperti ketekunan

    dalam melakukan tugas dan tanggung jawab, integritas tinggi, disiplin diri yang baik, inisiatis

    untuk melakukan hal-hal yang baru, percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya,

    optimis terhadap niat dan kemauannya, rendah hati dan kreatif dalam mengembangkan

    potensi yang ada dalam dirinya. Pada akhirnya peserta didik dapat menjadi individu yang

    mempunyai ketrampilan dapat bermanfaat pada dirinya terlebih bagi masyarakat sekitarnya.

  • 25

    d. Kompetensi Inti

    1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya

    2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong

    royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap

    sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif

    dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa

    dalam pergaulan dunia.

    3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural

    berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan

    humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait

    penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang

    kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah

    4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait

    dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu

    menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

    Kompetensi inti merupakan tujuan umum yang hendak dicapai dalam satu proses

    pembelajaran. Dalam kompetensi inti ini memuat hal-hal yang merujuk pada tercapainya

    standar kompetensi kelulusan. Kompetensi inti juga masih berupa sebuah konsep yang

    nantinya akan dilihat kompetensi ini bisa tercapai atau tidak dengan perwujudan kompetensi

    dasar. Kompetensi inti melalui empat poin yang dijabarkan diatas benar-benar ingin

    mehasilkan generasi baru yakni peserta didik yang tidak hanya paham pada konsep dan

    pengetahuan melainkan mampu mekukannya sebagai tindakan praxis. Dengan pendidikan

    yang didapat di sekolah diharapkan dapat membentuk peserta didik menjadi individu yang

    tidak hanya mengalami perubahan pada diri sendiri, melainkan harus di transformasikan

    dalam lingkungan sosial.

    Kempetensi inti menginginkan peserta didik untuk dapat menghayati dan

    mengamalkan ajaran agam meraka masing-masing. Menghayati berarti memahami dengan

    betul serta benar-benar menyakini, ini merupakan bagian dari pada moral knowing dan moral

    feeling dimana peserta didik harus mengetahui ajaran agama mereka kemudian secara sadar

    mencintai kebaikan dari nilai-nilai agama mereka dan mengamalkanya dalam kehidupan

    mereka. Dalam mengamalkan sebagai moral action, peserta didik harus benar-benar

    melakukannya dengan niat yang baik dan secara berkelangsungan. Selain ajaran agama,

  • 26

    perilaku jujur, disiplin dan tanggung jawab juga harus bersamaan menjadi tindakan yang

    nyata dalam kehidupannya di sekolah, dirumah, dan di lingkungan masyarakat.

    Kompetensi inti juga menginginkan peserta didik mengembangkan rasa ingin tahu

    mereka tentang pengetahuan diajarakan, kemudian dikembangkan dan menjadikan bahan

    pertimbangan untuk pemecahan masalah yang dihadapi. Pada tahap ini peserta didik

    membutuhkan nilai-nilai moral untuk mencapai kompetensi ini. Inisiatif menjadi nilai yang

    utama, dimana dengan inisiatif maka peserta didik memiliki dorongan untuk

    mengembangkan pengetahuannya. Selain rasa ingin tahu, dalam kompentensi inti juga

    menginginkan peserta didiknya untuk mampu menghasilkan sesuatu sesuai dengan

    pengetahuan yang didapatkan disekolahnya. Sebuah kemauan, kemampuan dan sekali lagi

    kebiasaan dan moral action ini menjadi bagian penting untuk mewujudakan kompentisi inti

    tersebut. Karena hanya dengan kemampuan dan kemauan dari dalam diri peserta didik

    mampu menghasilkan keterampilan sesuai dengan potensinya.

    e. Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti

    Kelas X

    1.1 - Mensyukuri karunia Allah bagi dirinya yang terus bertumbuh sebagai pribadi

    dewasa.

    1.2 - Menghayati nilai-nilai Kristiani: Kesetiaan, kasih dan keadilan dalam kehidupan

    sosial.

    1.3 - Mengakui peran Roh Kudus dalam membarui kehidupan orang beriman.

    1.4 - Mensyukuri karunia Allah melalui kebersamaan dengan orang lain tanpa kehilangan

    identitas

    2.1 - Mengembangkan perilaku sebagai pribadi yang terus bertumbuh menjadi dewasa.

    2.2 - Meneladani Yesus dalam mewujudkan nilai-nilai Kristiani: Kesetiaan, kasih dan

    keadilan dalam kehidupan.

    2.3 - Bersedia hidup baru sebagai wujud percaya pada peran Roh Kudus sebagai

    pembaharu.

    2.4 - Bersedia hidup bersama dengan orang lain tanpa kehilangan identitas dan alam.

    3.1 - Mengidentifikasi ciri-ciri pribadi yang terus bertumbuh menjadi dewasa.

    3.2 - Memahami makna nilai Kristiani: Kesetiaan, kasih dan keadilan dalam kehidupan.

    3.3 - Menjelaskan peran Roh Kudus dalam membaharui kehidupan orang beriman.

    3.4 - Menjelaskan makna kebersamaan dengan orang lain tanpa kehilangan identitas.

    4.1 - Menunjukkan ciri-ciri pribadi yang terus bertumbuh menjadi dewasa.

  • 27

    4.2 - Menerapkan nilai-nilai Kristiani: Kesetiaan, Kasih dan Keadilan dalam kehidupan.

    4.3 - Memberikan kesaksian tentang peran Roh Kudus sebagai pembaharu.

    4.4 - Mengkaji bagian Alkitab yang berbicara mengenai peran Roh Kudus dalam

    membarui kehidupan orang beriman dari kitab Kisah Rasul.

    Kelas XI

    1.1 - Mengakui peran Allah dalam kehidupan keluarga.

    1.2 - Menghayati nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan keluargaagar siap menghadapi

    gaya hidup modern.

    1.3 - Mengakui peran keluarga dan sekolah sebagai lembaga pendidikan utama dalam

    kehidupan modern.

    1.4 - Mengakui bahwa perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi

    adalah anugerah Tuhan.

    2.1 - Mengembangkan perilaku tanggung jawab sebagai wujud dari pengakuan terhadap

    peran Allah dalam kehidupan keluarga.

    2.2 - Mewujudkan nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan keluargauntuk menghadapi gaya

    hidup modern.

    2.3 - Bersikap kritis dalam menyikapi peran keluarga dan sekolah sebagai lembaga

    pendidikan dalam kehidupan modern.

    2.4 - Bersikap kritis dalam menghadapi perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan

    dan tekonologi dengan mengacu pada Alkitab.

    3.1 - Menjelaskan peran Allah dalam kehidupan keluarga.

    3.2 - Menjelaskan pentingnya nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan keluargauntuk

    menghadapi gaya hidup modern.

    3.3 - Menganalisis peran keluarga dan sekolah sebagai lembaga pendidikan dalam

    kehidupan modern.

    3.4 - Mengidentifikasi perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan tekonologi

    dengan mengacu pada Alkitab.

    4.1 - Bersaksi tentang peran Allah dalam keluarganya.

    4.2 - Berperan aktif mewujudkan nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan keluarganya untuk

    menghadapi gaya hidup modern.

    4.3 - Membuat refleksi tentang peran keluarga dan sekolah sebagai lembaga pendidikan

    dalam kehidupan modern.

  • 28

    4.4 - Membuat karya untuk mengkritisi perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan

    dan tekonologi dengan mengacu pada Alkitab.

    Kelas XII

    1.1 - Menerima HAM sebagai anugerah Allah.

    1.2 - Mensyukuri pemberian Allah dalamkehidupan multikultur.

    1.3 - Menghayati kasih Allah kepada semua orang yang diwujudkan dalam nilai-nilai

    demokrasi pada konteks lokal dan global.

    1.4 - Menghayati perannya sebagai pembawa damai sejahtera dalam kehidupan

    seharihari.

    2.1 - Mengembangkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai HAM.

    2.2 - Mengembangkan sikap dan perilaku yang menghargai multikultur.

    2.3 - Menunjukkan nilai-nilai demokrasi pada konteks lokal dan global.

    2.4 - Mengembangkan perilaku sebagai pembawa damai sejahtera dalam kehidupan

    sehari-hari.

    3.1 - Memahami arti HAM dan hubungannya dengan tuntutan keadilan yang Allah

    kehendaki.

    3.2 - Menganalisis berbagai pelanggaran HAM di Indonesia yang merusak kehidupan dan

    kesejahteraan manusia.

    3.3 - Memahami nilai-nilai multikultur.

    3.4 - Menjelaskan makna nilai-nilai demokrasi pada konteks lokal dan global dengan

    mengacu pada teks Alkitab.

    3.5 - Menguraikan perannya sebagai pembawa damai sejahtera dalam kehidupan sehari-

    hari selaku murid Kristus.

    4.1 - Menerapkan sikap dan perilaku yang menghargai HAM.

    4.2 - Berperan aktif dalam menjunjung kehidupan yang multikultur.

    4.3 - Menalar nilai-nilai demokrasi pada konteks lokal dan global mengacu pada teks

    Alkitab.

    4.4 - Proaktif sebagai pembawa damai sejahtera selaku murid Kristus.

    Kompetensi dasar ini merupakan penjabaran poin-poin yang akan mewujudkan

    kompetensi inti, baik kelas X, XI, dan XII. Kompetensi inti sebagai suatu konsep akan

    diwujudkan dalam proses pembelajaran dikelas. Proses pembelajaran bisa berlangsung hanya

    dengan melihat atau merancang RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang sesuai

    dengan kompetensi dasar yang ada pada kurikulum. Tentunya kompetensi dasar harus secara

  • 29

    spesifik memaparkan hal-hal apa yang dapat mewujudkan kompetensi inti pada akhir

    pembelajaran.

    Kurikulum 2013 khususnya mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen, kompetensi

    inti sudah menjelaskan bahwa secara keseluruhan kompetensi inti bertujuan menghasilkan

    peserta didik yang berkarakter. Peserta didik yang berkarakter dapat tercapai bilamana nilai-

    nilai karakter dihidupi oleh peserta didik, mulai dari inti karakteer yang meliputi virtues,

    kekuatan karakter, situasional karakter, moral knowing, moral feeling, moral action dan

    elemen – elemen karakter. ketika nilai-nilai ini dimiliki oleh peserta didik maka cara dia

    memahami pengetahuan yang dia dapat, mengelolahnya, berinteraksi dengan sesama,

    menunjukan sikap, serta menghasilkan keterampilan keseluruhannya adalah individu yang

    berkarakter yang siap membawa perubahan bagi dirinya dan lingkungan. Oleh sebab itu

    seharunya kompentensi dasar hanya menjawab kompetensi inti dengan menjabarkan poin-

    poin yang mengandung unsur karakter tersebut.

    Dalam kompetensi dasar ini lebih banyak memuat nilai-nilai dan pemahaman pesrta

    didik terhadap Allah, bagaimana kita mengahayati, memahami, merespon, bersaksi mengenai

    karya Allah. Yang mana semua itu dimaksudkan merujuk kepada tujuan PAK untuk

    mewujudkan terciptanya Kerajaan Allah. Hal tersebut nampak dari isi kompetensi dasar yang

    mana kelas X hanya menyinggung karya Allah dalam diri pribadi peserta didik untuk menjadi

    lebih dewasa, kelas XII juga demikian, hanya menyinggung peran Allah dalam keluarga, dan

    pada kelas XII isi kompetensi hanya menyinggung tentang bagaimana menilai HAM sebagai

    karya dan anugerah Allah. Tentunya hal ini menjadi kotradiksi dengan apa yang hendak

    dicapai kompetensi inti pada akhir proses pembelajaran. Jika kompetensi dasar gagal

    mewujudkan peserta didik yang dikonsepkan pada kompetensi inti maka secara otomatis,

    peserta didik itu dinyatakan gagal atau tidak lulus karena tidak memenuhi apa yang hendak

    dicapai pada standar kompetensi kelulusan.

    Dalam pengembangan karakter sebenarnya ada pendekatan agama yang di

    kembangkan oleh beberapa ahli, dalam agama kristen lanadasan dari pengembangan karakter

    itu nampak pada kesepuluh hukum Tuhan, kitab Amsal, dan bagaimana kesetiaan serta

    ketaatan manusia (De Braine,2007). Namun hal ini juga tidak banyak nampak pada

    kompetensi dasar kurikulum PAK. Padahal nilai-nilai ini sangat penting dalam membentuk

    karakter peserta didik kristen dalam memahami imannya kepada Allah, kemudian memaknai

    dan menghayati panggilan hidupnya. Sehingga Kerajaan Allah boleh diwujudkan oleh peserta

    didik yang berkarakter dan bermoralitas.

  • 30

    Dari sekian banyak poin yang terdapat pada kompetensi dasar hanya beberapa poin

    yang memuat nilai-nilai karakter yang menjadi kebutuhan utama kurikulum 2013. Pada kelas

    X terdapat nilai kasih, kesetiaan dan keadilan. Ini merupakan nilai karakter yang termasuk

    pada elemen-elemen karaker. Kesetian, kasih dan keadilan merupakan nilai kristiani yang

    mau diterapkan kepada peserta didik. Dengan nilai te